Anda di halaman 1dari 8

Pariwisata dalam Hubungan Internasional

Review 'Real Bali' as Western construct: Rethinking tourism's 'ruination' of Bali (Lisa
Qian) & The Environmental, Economic, and Social Impacts of Resort Development and
Tourism on Native Hawaiians (Jon Matsuoka & Terry Kelly)

Essay ini bertujuan untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester dalam mata kuliah
Pariwisata dalam Hubungan Internasional

Dosen Pengampu: Sukma Sushanti, S.S., M.Si

Oleh:

Made Indah Desiana D (1521105037)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018
Review 'Real Bali' as Western construct: Rethinking tourism's 'ruination' of Bali (Lisa
Qian) & The Environmental, Economic, and Social Impacts of Resort Development and
Tourism on Native Hawaiians (Jon Matsuoka & Terry Kelly)

Pada tulisan pertama yang ditulis oleh Lisa Qian, seorang mahasiswa Universitas
Yale, Amerika Serikat, membahas mengenai bagaimana industri pariwisata merusak Bali.
Pertanyaan "Apakah pariwisata merusak Bali?" telah menjadi pertanyaan yang akrab
didengar apabila berbicara mengenai industri pariwisata Bali. Pertanyaan ini telah menjadi
topik utama perdebatan klise di antara wisatawan dan penduduk. Sebagai seorang mahasiswa
yang mempelajari transformasi ekonomi di masyarakat Bali, penulis juga sudah sangat
mengenal pertanyaan tersebut. Terutama setelah rencana pemerintah Indonesia untuk
mengembangkan “10 Bali Baru”, hal ini jelas bahwa keberlanjutan industri pariwisata Bali
dalam segala bentuknya harus ditangani.

Terdapat kekhawatiran Bali akan hancur karena dampak keberlanjutan industri


pariwisatanya. Kata “hancur” disini menyiratkan bahwa ada sesuatu yang murni, bahwa Bali
yang autentik dan murni pernah ada dan sekarang menjadi terancam. Sebenarnya “Bali yang
asli” yang dirujuk oleh banyak orang, yang dibayangkan sebagai surga abadi dengan
budayanya yang langgeng dan kaya tidak diciptakan oleh orang Bali. Sebaliknya merupakan
konstruksi kolonial Belanda yang awalnya dikembangkan untuk membenarkan
pengambilalihan berdarah pulau Bali dan sebagai respon rasa malu mereka terhadap dunia
internasional atas tragedi puputan yang mendahului pemerintahan kolonialnya. Oleh karena
itu, Belanda kemudian memutuskan bahwa Bali memiliki budaya spiritual yang kaya dan
membutuhkan pelestarian. Mempertahankan budaya Bali, kemudian menjadi kebijakan
kolonial Belanda. Kebijakan ini terkadang memasukkan penafsiran penjajah Belanda
terhadap budaya Bali yang kemudian berbenturan dengan apa yang sebenarnya diinginkan
oleh orang Bali. Banyak aspek budaya Bali seperti sawah bertingkat dan sistem kasta yang
merupakan produk dari kebijakan Belanda tersebut.

Setelah munculnya pemerintahan Belanda yang mempromosikan narasi Bali Belanda,


menyebabkan banyak para seniman Barat yang datang ke Pulau Bali. Para seniman ini tidak
hanya menciptakan Bali sebagai “museum hidup”, tetapi juga menambahkan kesan surgawi
mereka sendiri di Bali yang berdasarkan dengan tema-tema Eden dan Orientalis yang asing
bagi orang Bali, untuk menciptakan citra yang masih diterima luas hingga saat ini. Karya seni
mereka ditampilkan di seluruh dunia hingga ke pulau-pulau generasi wisatawan yang ingin
mengalami penafsiran para seniman tersebut mengenai Bali. Namun hal ini tidak membuat
ilustrasi mereka merepresentasikan Bali yang dimaksud oleh orang Bali. Ilustrasi mereka
hanya bisa mewakili pengalaman seorang elit Barat. Hal inilah yang menyebabkan, citra
"Bali sebagai surga" adalah konstruksi yang tidak autentik. Semua sejarah kolonial ini bersatu
menjadi titik tuggal bahwa Bali yang “asli” yang dikhawatirkan “hancur” sebenarnya
bukanlah Bali yang asli. Tidak hanya premis “bali rusak” yang terjadi kesalahpahaman,
namun juga terhadap penyebabnya atau alasan dibaliknya yang umum dikatakan orang.
Bahwa adanya perubahan fungsi dari budaya di bali yang mana merosoti nilai didalamnya.
Hal ini mengacu pada perubahan makna budaya dan agama ketika wisatawan membayar
untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Pernyataan ini menunjukan bahwa hal itu
memaksakan ide-ide Barat tentang agama pada Hindu Bali.

Pada dasarnya tujuan utama pariwisata adalah menciptakan citra dan identitas, namun
orang Bali tidak mengendalikan identitas dasar yang menjadi dasar industri pariwisata pulau
ini. Kegagalan untuk mengenali ini kemudian membenarkan pariwisata sebagai konstruksi
kolonial yang telah menghapus pengalaman Bali yang sesungguhnya. Alasan lain yang
mendukung argumen untuk "Bali yang rusak" adalah dampak lingkungan dari pembangunan
massal di pulau Bali. Namun dengan mengatakan bahwa pariwisata telah merusak lingkungan
Bali menyiratkan bahwa pariwisata merupakan lembaga yang dominan yang menekan orang-
orang Bali. Hal ini kemudian mengabaikan lembaga yang dilatih untuk memanfaatkan
pariwisata untuk mendukung lingkungan dan komunitas mereka. Argumen bahwa pariwisata
telah merusak Bali mempromosikan kekeliruan yaitu hal ini membenarkan konstruksi "Bali
asli" yang berakar pada upaya kolonial Belanda untuk menutupi kekejaman dan yang
diciptakan oleh orang Barat, bukan orang Bali. Menurut penulis, dalam upaya untuk
menemukan solusi untuk mengatasi masalah nyata keberlanjutan di pulau Bali, sudah
seharusnya juga mengingat apa sebenarnya pariwisata bagi Bali.

Pada tulisan kedua yang di tulis oleh Jon Matsuoka dan Terry Kelly dengan judul The
Environmental, Economic, and Social Impacts of Resort Development and Tourism on Native
Hawaiians), membahas mengenai pengembangan lahan dan industri yang terjadi di Hawaii.
Pergeseran fokus dari pertanian ke pariwisata telah menyebabkan pembangunan lahan besar-
besaran di seluruh pulau untuk mengakomodasi pertumbuhan industri ini. Hal ini kemudian
berdampak pada perubahan lingkungan yang kemudian berimbas pada penduduk asli Hawaii
yang hidup selaras dengan tanah dan laut. Kepulauan Hawaii merupakan salah satu daerah
paling terpencil di dunia. Selama seribu tahun, orang-orang Hawaii hidup terisolasi sampai
kemudian Kapten James Cook tiba pada tahun 1778. Hal ini kemudian menyebabkan
terjadinya perubahan besar di Hawaii. Orang-orang Hawaii kemudian segera merasakan
dampak dari kontak dengan orang-orang Barat. Orang-orang Barat menularkan penyakit ke
penduduk asli yang tidak memiliki kekebalan alami. Selain itu kedatangan orang Barat ke
pulau tersebut juga menyebabkan orang-orang Hawaii mulai kehilangan kendali atas apa
yang sedang disebarkan di seluruh budaya mereka. Pengaruh dari luar ini mampu menembus
proses sosialisasi dan memulai standar dan kriteria baru untuk hidup. Para misionaris Kristen
pertama tiba di Hawaii pada tahun 1820 dan pada tahun 1831. Strategi umum di antara para
misionaris Kristen, setelah mereka membangun pijakan dalam masyarakat, adalah
mengembangkan sekolah untuk anak-anak, ada seribu sekolah misionaris yang telah
dibangun (Daws, 1974). Indoktrinasi sikap dan keyakinan Kristen pada tingkat ini menjamin
bahwa generasi berikutnya akan hidup sesuai dengan doktrin dan sistem nilai ini. Dominasi
oleh para misionaris ini berlanjut hingga abad ke-20, menciptakan perubahan dramatis dalam
ekonomi. Mereka juga berperan dalam menggulingkan monarki Hawaii dan mengubah sistem
kepemilikan tanah sehingga mereka bisa mengambil bagian dalam kepemilikan tanah. Sistem
pembagian tanah baru yang dikenal sebagai "Great Mehele" mengubah seluruh struktur
masyarakat Hawaii karena orang-orang kehilangan tanah mereka. Pada akhir abad
kesembilan belas, orang kulit putih memiliki empat hektar tanah untuk setiap orang yang
dimiliki oleh penduduk asli (Daws, 1974).

Isu-isu sejarah ini memainkan bagian penting dalam isu-isu kontemporer mengenai
orang-orang Hawaii. Dalam 25 tahun terakhir, Hawaii telah mengalami perubahan sosial dan
ekonomi paling dramatis yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Pergeseran fokus dari
pertanian ke pariwisata telah menyebabkan transformasi tanah besar-besaran di seluruh pulau
untuk mengakomodasi pertumbuhan industri ini. Sektor ekonomi pulau tersebut kemudian
menjadi semakin tergantung pada pengembangan pariwisata dan resort, hal ini dikarenakan
tingkat pertumbuhan wisatawan yang kemudian membuat perekonomian terlalu bergantung
pada sektor ini. Sangat menarik untuk dicatat bahwa banyak pendukung utama pariwisata
adalah keturunan kaya misionaris yang mencoba mengubah lahan pertanian mereka menjadi
hotel dan fasilitas rekreasi yang lebih menguntungkan. Pembangunan hotel dan fasilitas
rekreasi tersebut sering bertentangan langsung dengan kepentingan banyak penduduk lokal
yang waspada terhadap perubahan dan pengaruhnya terhadap penghidupan mereka. Tulisan
ini lebih lanjut membahas mengenai dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial dari
pengembangan resort dan pariwisata pada suku asli Hawaii.
Pembangunan resort dan pengembangan lainnya yang berhubungan dengan
wisatawan telah berdampak buruk pada ekologi kawasan pesisir. Terdapat tumbuhan dan
hewan asli Hawaii yang telah punah atau berada di daftar spesies terancam punah. Dari 150
"komunitas alami" yang ada di pulau tersebut, 88 di antaranya dikepung oleh pembangunan.
Pembangunan ini juga berdampak pada penduduk lokal yang memiliki mata pencaharian
sebagai nelayan. Dalam membersihkan tanah untuk konstruksi, para pengembang resort
menghancurkan 70% dari kolam ikan air tawar yang unik yang merupakan rumah bagi
spesies laut seperti udang. Pembangunan dan polusi menyebabkan berkurangnya hasil
tangkapan para nelayan. Pencemaran dan pengendapan di atas terumbu karang oleh limpasan
konstruksi telah menyebabkan penghancuran habitat alami dan tempat makan untuk ikan. Hal
ini menyebabkan para nelayan berulang kali mengeluhkan kuantitas dan kualitas tangkapan.
Namun respon lembaga pemerintahan yakni The Hawaii Department of Land and Resources
berpendapat bahwa hal tersebut diakibatkan oleh penangkapan ikan yang dilakukan secara
berlebihan. Selain itu pembangunan hotel, resort dan lapangan golf yang diperuntukkan bagi
wisatawan juga menyebabkan banyaknya lahan tanah yang berpotensi menjadi lahan
pertanian sebaliknya diubah untuk pembangunan fasilitas-fasilitas yang mendukung sektor
pariwisata di Hawaii.

Selain berdampak pada lingkungan, pembangunan lahan besar-besaran di seluruh


pulau untuk mengakomodasi pertumbuhan industri pariwisata, juga berdampak pada sektor
ekonomi di pulau tersebut. banyak penduduk lokal yang lebih memilih karir yang tidak
berkaitan dengan pariwisata. Mereka melihat pekerjaan yang berhubungan dengan turis
merupakan hal yang merendahkan atau penyalahgunaan bakat mereka. Dalam hal
neokolonialisme telah dijelaskan bahwa pada aspek pariwisata, penduduk lokal dikenakan
posisi bawahan yang melayani orang kulit putih (Erisman, 1983). Sehingga di Hawaii,
banyak penduduk lokal memilih untuk menghindari jenis posisi ini dengan mencari pekerjaan
di bidang lain. Dengan pengembangan industri Hawaii yang telah menjadi proses satu
dimensi yang relatif terkait dengan pariwisata, dan pekerjaan alternatif yang langka
menyebabkan banyak penduduk lokal yang bermigrasi ke daratan Amerika untuk mencari
pekerjaan lain. Sebagian besar migran ini pindah karena kesempatan kerja lebih banyak di
tempat lain, bayarannya lebih tinggi, dan biaya hidup yang lebih rendah. Survei mendalam
menunjukkan bahwa migran dari Hawaii cenderung memiliki pendidikan yang lebih baik,
memiliki pekerjaan status yang lebih tinggi, dan menikmati pendapatan yang lebih tinggi
daripada rekan-rekan mereka di Hawaii (Pai, 1985). Banyak para imigran yang ingin kembali
ke pulau tersebut, namun pekerjaan alternatif yang lebih sedikit, upah yang lebih rendah, dan
biaya hidup yang lebih tinggi mencegah mereka untuk kembali. Ketika pariwisata pertama
kali mengambil alih ekonomi Hawaii pada tahun 1970-an, untuk setiap dua puluh dolar upah
yang meningkat untuk pekerja, biaya hidup mereka mejadi naik tiga puluh dolar. Sementara
standar minimum hidup yang ditetapkan oleh pemerintah adalah lebih dari $ 34.000 untuk
keluarga yang beranggotakan empat orang. Tren ekonomi dengan upah rendah yang kontras
dengan biaya hidup yang tinggi terus memburuk selama tahun 1980-an. Hal ini juga
menyebabkan terjadinya krisis perumahan di seluruh pulau hal ini disebabkan oleh
ketidakmampuan penduduk lokal untuk membeli perumahan yang ditempati oleh pemilik di
negara mereka sendiri. Tingkat pertumbuhan wisatawan yang kemudian membuat
perekonomian bergantung pada sektor ini juga memberikan dampak sosial bagi penduduk asli
Hawaii. Penduduk asli Hawaii secara konsisten dihadapkan pada isu-isu yang berkaitan
dengan perubahan gaya hidup dan budaya mereka. Secara tradisional, penduduk asli Hawaii
telah mengembangkan identifikasi yang kuat dengan dunia alam. Ada pemahaman yang
tajam tentang konsep keseluruhan ekologis di mana ada banyak sistem yang saling
berinteraksi dan saling bergantung. Harmoni dan stabilitas dengan dunia alam jelas terlihat
dalam nilai-nilai tradisional Hawaii. Perhatian utama yang berkaitan dengan pariwisata dan
pengembangan resort adalah bagaimana perubahan ini mempengaruhi kesejahteraan sosio-
psikologis individu yang sebagian besar bergantung pada sumber daya lahan dan laut untuk
identitas diri dan subsistensi. Kesulitan dalam adaptasi penduduk asli Hawaii terhadap
norma-norma Barat diwujudkan melalui tingkat masalah sosial yang sangat tinggi. Dalam
tulisan ini, kemudian disimpulkan oleh penulis bahwa penipisan sumber daya tanah dan air
mempengaruhi semua orang yang tinggal atau mengunjungi pulau-pulau Hawaii, Hal ini
terutama merugikan penduduk asli Hawaii di mana lingkungan alam merupakan bagian
integral dari kehidupan sehari-hari. Mereka menjadi tidak berdaya di tengah-tengah
perubahan yang dibawa oleh orang luar. Penduduk asli Hawaii dipaksa menjadi relasi yang
bergantung pada pengembangan resort dan industri pariwisata secara keseluruhan. Dalam
tulisannya, penulis berpendapat sudah seharusnya mempertimbangkan efek pengembangan
resort dan pariwisata pada kesejahteraan semua orang Hawaii, terutama penduduk aslinya.

Dari dua tulisan diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu: Tulisan pertama membahas
mengenai pertanyaan “apakah pariwisata merusak bali?”. Pernyataan ini mengacu pada
kekhawatiran keaslian bali yang “rusak” karena gencarnya keberlanjutan industri pariwisata
Bali untuk menarik wisatawan. Selain itu adanya perubahan fungsi nilai dalam ritual yang
yag mencerminkan budaya Hindu Bali yang mana di komodifikasi menjadi produk untuk
memenuhi permintaan atau pengalaman pengunjung terhadap ekspektasinya mengenai Bali.
Dalam tulisannya, penulis menekankan citra "Bali sebagai surga" adalah konstruksi yang
tidak autentik yang merupakan hasil konstruksi barat mengenai gambaran Bali. Sehingga
menurut penulis argumen bahwa pariwisata telah merusak Bali mempromosikan kekeliruan
yaitu hal ini membenarkan konstruksi "Bali asli" yang berakar pada upaya kolonial Belanda
untuk menutupi kekejaman dan yang diciptakan oleh orang Barat, bukan orang Bali

Sementara pada tulisan kedua membahas mengenai pengembangan lahan dan industri
yang terjadi di Hawaii. Pergeseran fokus dari pertanian ke pariwisata telah menyebabkan
pembangunan lahan besar-besaran di seluruh pulau untuk mengakomodasi pertumbuhan
industri ini. Hal ini kemudian berdampak pada perubahan lingkungan yang kemudian
berimbas pada penduduk asli Hawaii yang hidup selaras dengan tanah dan laut. Sektor
ekonomi pulau tersebut kemudian menjadi semakin tergantung pada pengembangan
pariwisata dan resort, hal ini dikarenakan tingkat pertumbuhan wisatawan yang kemudian
membuat perekonomian terlalu bergantung pada sektor ini. Penduduk asli Hawaii dipaksa
menjadi relasi yang bergantung pada pengembangan resort dan industri pariwisata secara
keseluruhan. Tulisan ini lebih lanjut membahas mengenai dampak lingkungan, ekonomi, dan
sosial dari pengembangan resort dan pariwisata pada suku asli Hawaii. Perubahan ekonomi
yang terjadi di Hawaii tidak terlepas dari kedatangan para misionaris pertama yang datang ke
Hawaii pada tahun 1820 dan pada tahun 1831. Dominasi oleh para misionaris ini berlanjut
hingga abad ke-20, menciptakan perubahan dramatis dalam ekonomi. Keluarga-keluarga ini
juga berperan dalam menggulingkan monarki Hawaii dan mengubah sistem kepemilikan
tanah sehingga mereka bisa mengambil bagian dalam kepemilikan tanah. Isu-isu sejarah ini
memainkan bagian penting dalam isu-isu kontemporer mengenai orang-orang Hawaii. Dalam
25 tahun terakhir, Hawaii telah mengalami perubahan sosial dan ekonomi paling dramatis
yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Pergeseran fokus dari pertanian ke pariwisata
telah menyebabkan transformasi tanah besar-besaran di seluruh pulau untuk mengakomodasi
pertumbuhan industri ini. Menarik untuk dicatat bahwa banyak pendukung utama pariwisata
adalah keturunan kaya misionaris yang mencoba mengubah lahan pertanian mereka menjadi
hotel dan fasilitas rekreasi yang lebih menguntungkan. Sektor ekonomi pulau tersebut
kemudian menjadi semakin tergantung pada pengembangan pariwisata dan resort, hal ini
dikarenakan tingkat pertumbuhan wisatawan yang kemudian membuat perekonomian terlalu
bergantung pada sektor ini.
Berdasarkan dua tulisan di atas, menurut analisis penulis, keaslian suatu wilayah
dapat pudar atau hilang seiring dengan gencarnya keberlanjutan industri pariwisata yang
mana di komodifikasi menjadi produk untuk memenuhi permintaan atau pengalaman
pengunjung terhadap ekspektasinya terhadap wilayah/daerah tersebut. Selain itu hal ini juga
menyebabkan penduduk lokal kehilangan kendali atas apa yang sedang disebarkan di seluruh
budaya mereka dan menyebabkan penduduk lokal menjadi tidak berdaya di tengah-tengah
perubahan yang dibawa oleh orang luar ketika melakukan kolonialisasi di wilayah/daerah
tersebut.

Referensi:

Qian, Lisa. 2017. 'Real Bali' as Western construct: Rethinking tourism's 'ruination' of Bali.
Yale University.

Matsuoka, Jon & Terry Kelly. 1988. The Environmental, Economic, and Social Impacts of
Resort Development and Tourism on Native Hawaiians. Western Michigan
University. Dapat di unduh di
https://scholarworks.wmich.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1868&context=jssw

Anda mungkin juga menyukai