Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN SAINS

LATAR BELAKANG
Pembahasan dalam makalah ini adalah tentang hubungan ilmu pengetahuan (sains)
dengan filsafat. Sains atau ilmu pengetahuan pada zaman klasik tak terpisah dengan filsafat.
Para filsuf terdahulu seperti Aristoteles dan Plato selalu mendasarkan penyelidikannya pada
metafisika. Plato misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang kita punya saat ini adalah
bawaan dari alam idea. Proses berfikir ia samakan dengan proses mengingat apa-apa yang
pernah dilihat oleh manusia di alam idea dahulu. Baginya, pengetahuan manusia bersifat
apriori (mendahului pengalaman). Begitu pula dengan para filsuf-filsuf sebelumnya. Sejak
Thales dan para pemikir sebelum Sokrates dan Kaum Shopis, mereka menumpahkan
perhatian filsafatnya pada proses kejadian alam semesta, yang berarti objek fisik.
Dalam hubungan ini Harold H. Titus menerangkan : Ilmu pengetahuan mengisi
filsafat dengan sejumlah besar materi yang faktual dan deskriptif, yang sangat perlu dalam
pembinaan suatu filsafat. Banyak ilmuan yang juga filosuf. Para filosuf terlatih di dalam
motede ilmiah, dan sering pula menuntut minat khusus dalam beberapa ilmu.
Tapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang diawali oleh
renaisans yang kemudian disambut hangat oleh kaum empirisme, peta sains mulai bergeser.
Namun metodelogi rasionalisme yang dimotori Descrates sebagai penggerak renaisans
berbeda dengan empirisme. Jika rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih
hanya diperoleh melalui rasio, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan yang sahih
bersumber dari pengalaman. Menurut empirisme, pengetahuan tidak diperoleh secara apriori
melainkan aposteriori (melalui pengalaman).
Gejolak renaisains itu pun terus bergulir ke Jerman dengan zaman pencerahannya. Kemudian
sampailah kita pada aliran positivisme yang dibangun oleh Agust Comte. Melalui
positivismenya, Comte menegaskan pengetahuan tidak melampaui fakta-fakta. Ia kemudian
menolak metafisika. Dan pada akhirnya, ia menolak, etika, teologi dan seni, yang dianggap
melampaui fenomena-fenomena yang teramati. Menurut Comte, sejarah pengetahuan
berkembang melalui tiga tahap. Dari tahap teologis, metafisis dan terahir positifis. Baginya
perkembangan ini layaknya perkembangan kehidupan manusia, mulai dari anak-anak, remaja,
kemudian dewasa.

Pengertian Filsafat
Filsafat didefinisikan sebagai "kebijaksanaan" . Kata filsafat atau philosophy, berasal dari
bahasa Yunani yaitu Sophia yang berarti kebijaksanaan dan Philein yang berarti mencintai.
Jadi, filsafat adalah semata-mata mencintai kebijaksanaan. Filsafat merupakan ilmu yang
universal. Berfilsafat berarti mempertanyakan dasar dan asal usul dari segala-galanya,
ataupun induk dari segala pengetahuan.
Objek Filsafat
Objek penyelidikan filsafat itu sendiri adalah segala yang ada dan yang mungkin ada,
tidak terbatas. Inilah yang disebut objek material filsafat. Ada beberapa objek materi filsafat,
yaitu :
 Masalah Tuhan, yang sama sekali diluar atau diatas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
 Masalah alam, yang belum atau tidak bisa dijawab dengan ilmu pengetahuan biasa.
 Masalah manusia
Obyek material filsafat yang diselidiki akan terus berlangsung hingga permasalahannya selesai,
dan dapat ditemukan sampai akar-akar permasalahannya. Bahkan filsafat baru menemukan
hasil kerjanya manakala ilmu pengetahuan suduh terhenti penyelidikannya, yakni ketika ilmu
tidak mampu memberi jawaban atas masalah. Inilah salah satu sifat ciri khas filsafat yang tidak
dimiliki ilmu pengetahuan.
Seorang filosuf berfikir dan merenung untuk menemukan persoalan kyang memenuhi
benaknya, ia berfikr sedalam dalamnya hingga seakar-akarnya untuk mencari hakikat sesuatu.
Hasil penyelidikannya masih bersifat menduga-duga (spekulatif) dan subyektif.[5] Berarti
filsafat adalah berfikir, tetapi bukan berarti setiap berfikir adalah berfilsafat. Ada beberapa ciri-
ciri berfikir filsafat, antara lain :
 Radikal
Radikal berasal dari bahasa radix (bahasa yunani), berarti akar. Berfikir radikal berarti berfikir
sampai keakar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensinya yang terakhir.
Tidak ada yang tabu, tidak ada yang suci, dan tidak ada yang terlarang bagi yang berfikir
radikal.
 Sistematis
Berfikir sistematis ialah berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh
kesadaran dangan urutan-urutan yang saling berhubungan dan teratur.
 Universal
Berfikir universal berarti pola pikir yang tidak khusus, terbatas dan hanya pada bagian tertentu
saja, akan tetapi mencakup keseluruhannya.

A. Pengertian Sains
Sains atau Science berasal dari Bahasa Latin Scientia artinya pengetahuan. Sains adalah Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA), terdiri phusical sciences (ilmu astronomi, kimia, geologi,
minerologi, meteorology dan fisika) dan life sciences (biologi, zoology, fisiologi).

Secara sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang muncul
dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak jaman dahulu,
atau biasa disebut sains sebagai produk. Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-
prinsip, model-model, hukum-hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta
pengetahuan ilmiah yang biasa diibaratkan sebagai bangunan dimana berbagai hasil kegiatan
sains tersusun dari berbagai penemuan sebelumnya. Sains juga bisa berarti suatu metoda
khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Metode ilmiah
merupakan hal yang sangat menentukan, sains sebagai proses ini sudah terbukti ampuh
memecahkan masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi
berbagai pengetahuan yang sudah ada.

Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat digunakan setelah
kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang tidak lain biasa disebut sebagai teknologi.
Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekwensi logis dari sains
yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sehingga biasanya salah satu definisi
popular tentang sains termasuk juga teknologi di dalamnya. Aspek-aspek lain dari sains dari
kemungkinan lainnya pada jawaban pertanyaan di atas adalah: dampak sains melalui teknologi
terhadap masyarakat, sifat sains yang terus berkembang, tujuan akhir dari sains, karakteristik
seorang ilmuwan dan lainnya.

Sesungguhnya, sains itu sendiri sudah ada sejak awal sejarah manusia ada, demikian juga sejak
manusia lahir. Tetapi dalam prosesnya, manusia tidak langsung cepat membaca, memahamai
dan menguasainya. Salah satu penyebab utama, mengapa terjadi kelambanan dan
keterlambatan penguasaan sains, adalah faktor manusia nya sendiri. Yang di dalam benaknya
sudah dipenuhi dengan beragam doktrin, persepsi, keyakinan. mitos yang berlangsung antar
generasi terhadap suatu dan kejadian di diri kita dan sekitar kita.

Sebagai gambaran, saat ini kita berkeyakinan dan membuktikan secara sains , bahwa bumi
mengelilingi matahari. Namun dulu pernah berabad-abad, manusia berkeyakinan bahwa bumi
ini diam dan mataharilah yang mengelilingi bumi. Dan masih banyak lagi keyakinan lama dan
mitos-mitos yang berubah karena sains. Mitos dan keyakinan salah di sekitar kita harus diubah
persepsinya, bahwa segala kejadian ini sudah sangat teratur melalui hukum-hukum yang pasti
yang bisa rasakan, amati, buktikan dan kembangkan. Sains terdiri dari 3 aspek:

1. Sains adalah alat untuk menguasai alam dan memberikan sumbangan kepada kesejahteraan
manusia.

2. Sains sebagai suatu pengetahuan yang sistematis dan tangguh , merupakan hasil dari berbagai
peristiwa.

3. Sains sebagai metode untuk mendapatkan aturan, hukum-hukum atau teori-teori dari obyek yang
diamati.

B. Persyaratan - persyaratan Sains

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu
dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan. Sifat
ilmiah sebagai persyaratan ilmu pengetahuan banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam
yang telah ada lebih dahulu.

1. Objektif, Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama
sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada,
atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari
adalah kebenaran, yakni penyesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran
objektif bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.

2. Metodis, adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya


penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk
menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti:
cara, jalan. Secara uniurn metodis berarti metode tertentu
yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu
sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian
sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam
rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.

4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum
(tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180.

C. Sumber - Sumber Ilmu Menurut Sains Sekuler dan Sains Islam

C.1. Menurut Sains Sekuler

Sains sekuler melihat ilmu dari dua sumber yaitu rasio dan pengalaman yang diperkenalkan aliran
rasionalisme dan emperisme. Menurut rasionalisme dengan pendekatan deduktifnya
menyatakan didapatkan ilmu itu dari ide, bukan ciptaan manusia. Faham ini biasa disebut
idealisme dan faham ini menyatakan dengan penalaran yang rasional bisa mendapatkan satu
kebenaran. Untuk kaum imperealis ilmu itu diketahui lewat satu pengalaman tetapi mereka
tidak bisa membuktikan hahekat pengalaman itu, karena alat yang diperoleh manusia itu
mempunyai keterbatasan yaitu panca indra yang sangat memiliki keterbatasan.
Selain dua sumber di atas ada juga sumber lain yang berupa intuisi, yaitu suatu proses kebenaran
tanpa melalui belajar lebih dahulu. Jadi sumber ilmu menurut sains sekuler diperoleh melalui
hasil usaha maksimal manusia dengan melaui pengamatan dan hasil kerja rasio secara
maksimal. Menurut Imanuel Kant perlu mengkritisi kedua aliran tersebut agar terdapat
kenetralan jangan menjadi berat sebelah maka ia muncul dengan aliran kritisisme. Di samping
itu Titus menekankan bahwa perlu digaris bawahi pertentangan filosof sains sekuler tentang
sumber ilmu, ia menekankan kedua aliran di atas dinilai sebagai sumber pengetahuan yang
mungkin. Menurut filsafat sains sekuler ada empat sumber pengetahuan.

1. Manusia yang memiliki otoritas. Filsafat sekuler menempatkan adanya manusia yang mendapat
otoritas sebagai sumber ilmu yaitu mereka yang karena otoritasnya tepat dan relefan dijadikan
sebagai sumber pengetahuan tentang sesuatu hal. Otoritas tersebut didasarkan pada kesaksian
yang bisa diberikannya.
Pada zaman modern ini orang yang ditempatkan mendapat otoritas misalnya dengan pengakuan
melalui gelar, ijazah, hasil publikasi resmi, namun penempatan otoritas sebagai sumber
pengetahuan tidaklah dilakukan dengan penyandaran pendapat sepenuhnya. Dalam arti tidak
dilakukan secara kritis untuk tetap bisa menilai.

2. Indra, Dalam pandangan filosof sains modern indra adalah peralatan pada diri manusia sebagai
salah satu sumber internal pengetahuan. Untuk mengetahui kemampuan indra bisa diajukan
pertanyaan, bagaimana bisa mengetahui besi dipanaskan bisa memuai atau air bisa membeku
menjadi es, menurut filsafat sains sekuler terhadap pertanyaan seperti ini indra bisa
menjawabnya. Ilmu sekuler mengembangkan prinsip tersebut secara metodis melalui
pengamatan terarah dan eksperimen untuk mendapatkan data dari fakta emperik. Untuk
mewujudkan hal itu, ilmu sekuler menggunakan peralatan teknologis untuk menjalankan
prinsip presepsi indra dalam mempresepsi secara terarah terhadap data, fakta yang relefan.

3. Akal, Dalam kenyataan ada pengetahuan tertentu yang bisa dibangun oleh manusia tanpa harus
atau tidak bisa mempresepsinya dengan indra terlebih dahulu manusia bisa membangun
pengetahuan. Bertitik tolak dari pandangan seperti ini, maka filsafat ilmu sekuler menempatkan
akal adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan. Pandangan ini merupakan representasi dari
pandangan filsafat rasionalisme yang dalam pandangan moderatnya berpendirian bahwa
manusia memiliki potensi mengetahui.

4. Intuisi, Bahwa suatu sumber pengetahuan yang mungkin adalah intuisi atau pemahaman yang
langsung tentang pengetahuan yang tidak merupakan hasil pemikiran yang sadar atau presepsi
rasa yang langsung. Memahami istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang
langsung dirasakan. Jadi intuii merupakan pengetahuan tentang diri sendiri. Intuisi ada dalam
pemahaman kita tentang hubungan antara kata-kata yang membentuk bermacam-macam
langkah dan argumen.

C.2. Sumber ilmu menurut sains Islam

Islam melihat Allah sebagai maha pencipta dan yang diciptakan sebagai hamba, manusia termasuk
yang diciptakan. Maka yang dihasilkan oleh manusia adalah memiliki beberapa kelemahan,
dengan kekurangan dan kelemahan itu tidak mungkin ia sebagai sumber ilmu. Dan Allah yang
mengajarkan kepada manusia tentang apa yang tidak diketahuinya, dan melengkapi manusia
segala perlengkapan dan fasilitas mendengar, melihat, dan hati sebagai timbangan atas apa
yang hendak dibuat oleh manusia. Dan Allah sudah tegaskan dalam QS. Al- Nahl (16): 78:
Bahwa Allah keluarkan manusia dari perut ibunya masih dengan tidak tahu apa-apa. Pada saat
itu Allah melengkapi pada manusia pendengaran, penglihatan agar manusia itu menyadari dan
bersyukur atas apa yang diberikan dan pada ayat lain Allah menyuruh manusia itu untuk selalu
belajar mencari ilmu, melalui pendidikan. Ini menunjukkan bahwa manusia bukan sumber ilmu
tetapi sumber ilmu itu dari Allah.

Pandangan bahwa Allah adalah sumber ilmu tidak berarti bahwa manusia tidak memiliki ilmu
tetapi Allah sebagai sumber ilmu yang mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya, dan Allah melengkapi manusia segala perlengkapan dan jalan yang
meniscayakan manusia mengusahakan untuk perolehan ilmu. Dan manusia bisa menjadi jalan
bagi manusia lain untuk memperoleh ilmu dan orang seperti adalah orang yang mempunyai
otoritas yang diperoleh dari Allah sebagai jalan bagi manusia lain untuk memperoleh bagian
kecil dari ilmu Allah yang banyak itu. Maka tidak mungkin manusia menjadi sumber ilmu.

D. Sejarah Singkat Filsafat Sains

Pada awalnya filsafat sains lebih berupa metodologi atau telaah tentang tata kerja atau metode
dalam berbagai sains serta pertanggungjawabanya secara rasional. Dalam logika sains biasa
dibedakan ada yang disebut dengan konteks penemuan sains (context of scientific
justification).

Tradisi sains, sebenarnya telah dimulai sejak filsafat itu lahir, yaitu sejak atau sekitar abad ke 6
SM. Thales, yang disebut-sebut sebagai bapak filsafat telah mengutarakan dengan mencari tahu
tentang bahan dasar alam semesta ia menyimpulkan bahwa bahan dasar alam semesta itu adalah
air. Jawaban ini tidak memuaskan murid dan pemikir setelahnya. Anaximenes misalnya
mengatakan bahwa bahan dasar yang membangun alam semesta itu adalah udara.
Anaximandros mengatakan suatu prinsip yang tidak terbatas(to Apeiron). Penyelidikan para
pendahulu filsafat ini lebih bersifat kosmologi-ontologis, belum epistemologis, artinya belum
begitu serius. Baru setelah Aristoteles (1384-322 SM) membahas epistemologis mulai
dipertanyakan.Arisoteles mengemukakan acuan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar,
yaitu dengan menggunakan pengamat induktif dan metode deduktif.
Dari kedua metode yang nampak bertolak belakang itu, Aristoteles mengusulkan bahwa untuk
mencapai pengetahuan yang solid, kedua metode tersebut mesti sama-sama digunakan, artinya
apa yang kita pikirkan itu harus bisa dibuktikan atau berhubungan dengan realitas dan
kenyataan konkret.

Zaman semakin maju, revolusi terjadi dalam berbagai bidang, maka arah kajian filsafat sains
berkembang ke zaman yang lebih baru dan lebih positive. Agar nampak tidak terlalu naf,
tampilah para tokoh filsafat sains yang menberikan landasan filsafat bahasa pada positivme
hingga tampil menjadi logis gerakan ini muncul setelah didirikan kelompok kajian filsafat sains
yang disebut dengan, lingkaran wina.aliranya disebut positivisme logis. Pada awal abad ke 20
inilah filsafat sains mencapai puncaknya.

E. Hubungan Antara Filsafat dan Sains

Pada akhirnya kita memang melihat adanya sebuah hubungan antara filsafat dengan sains. Mereka
memiliki spirit dan tujuan yang sama yaitu jujur dan mencari kebenaran. Dalam pencarian
kebenaran ini sais menentukan dalam dirinya sendiri tugas khas tertentu dan tugas ini
memerlukan batas-batas tertentu. Tetapi penyelidikan pikiran manusia yang selalu ingin tahu,
melukai batas-batas ini dan menuntut perembesan terhadap wilayah yang berada di balik
bidang sains, dengan demikian lalu filsafat muncul.

F. Perbandingan Antara Filsafat Dan Sains

Dalam hal ini tidak salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal ini bahwa keduanya
merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berfikir filosofi spekulatif dan berfikir
empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk aliran filsafat pendidikan
tradisional, adalah bahwa filsafat menetukan tujuan dan science manentukan alat sarana untuk
hidup.

Untuk lebih jelas dan untuk lebih mengetahui tentang perbandingan antara filsafat dan sains, maka
di bawah ini akan dijelaskan tentang persamaan dan perbedaan antara keduanya, yaitu :

F.1. Persamaan :
Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya
sampai ke akar-akarnya.
Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-
kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab akibatnya.
Keduanya hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
Keduanya mempunyai metode dan system.
Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat
manusia (obyektifitas) akan pengetahuan yang lebih mendasar.

F.2. Perbedaan :

obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada
(realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris.
Artinya ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-
kotak sedangkan kajian filsafat tidak terkokta-kotak dalam disiplin tertentu. Obyek formal
(sudut pandang) filsafat itu bersifat fregmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu
ada itu secara luas, mendalam dan mendasar, sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik,
dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik yang berarti bahwa cara-cara ide
manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita. Filsafat dilaksanakan dalam suasana
pengetahuan yang menonjol daya spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah
diadakan riset lewat pendekatan tital dan error. oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada
kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.

Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary
cause) sedangkan ilmu menunjukan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, lebih dekat,
yang sekunder (secondary cause).

Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas
sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis yang dimulai
dari tidak tahu menjadi tahu.

Sekarang, filsafat sama dengan sains dalam menemukan pengetahuan yang seksama dan
terorganisir dengan baik. Tapi filsafat tidak puas dengan definisi semacam ini. Filsafat mencari
pengetahuan yang juga konprehensif. Pikiran manusia tidak puas semata-mata dengan
menyusun rangkaian yang tetap tentang fenomena dan sekedar merumuskan cara-cara mereka
bertingkah-laku. Pikiran manusia sangat membutuhkan beberapa penjelasan akhir berkenaan
dengan berbagai fenomena dengan perilaku.

G. Sekilas Sejarah Sains Dalam Peradaban Islam

Kontribusi Ilmuwan Muslim dalam bidang sains, khususnya ilmu alam (natural science) amatlah
besar, sehingga usaha menutupinya, memperkecil perannya, mengaburkan sejarahnya tidak
sepenuhunya berhasil. CIPSI (Center for Islamic philosophical studies and information) sebuah
lembaga penelitian yang dipimpin oleh Prof. Mulyadhi Kartanegara telah meninventarisasi
setidaknya ditemukan tidak kurang dari 756 ilmuwan Muslim terkemuka yang memiliki
konstribusi dalam perkembangan sains dan pemikiran filsafat. Daftar ini baru tahap awal, dan
tidak termasuk di dalamnya ribuan ulama dalam disiplin ilmu-ilmu shariyyah.

Sebut saja beberapa sainitis muslim seperti; Ibn al-Haitam, seorang pakar optik dan pencetus
metode eksperimen. Dalam bidang Fisika-Astronomi, Ibnu Qatir, ilmuwan Muslim yang
mempelajari gerak melingkar planet Merkurius mengelilingi matahari. Karya dan persamaan
Matematikanya sangat mempengaruhi Nicolaus Copernicus yang pernah mempelajari karya-
karyanya. Ibn Firnas dari Spanyol sudah membuat kacamata dan menjualnya keseluruh
Spanyol pada abad ke-9. Christoper Colombus ternyata menggunakan kompas yang dibuat oleh
para ilmuwan Muslim Spanyol sebagai penunjuk arah saat menemukan benua Amerika.
Ilmuwan lain, Taqiyyuddin (966 M.) seorang astronom telah berhasil membuat jam mekanik
di Istanbul Turki. Sementara Zainuddin Abdurrahman ibn Muhammad ibn al-Muhallabi al-
Miqati, adalah ahli astronomi masjid (muwaqqit penetap waktu) Mesir dan penemu jam
matahari. Ahmad bin Majid pada tahun 9 H. atau 15 Masehi, seorang ilmuwan yang membuat
kompas berdasarkan pada kitabnya berjudul Al-Fawaid.

H. Faktor-Faktor Pendorong Tumbuhnya Sains Dalam Peradaban Islam

Ada banyak aspek yang menyebabkan sains atau komunitas ilmuwan berkembang, namun
sekurangnya dapat dirangkum pada tiga faktor utama yang saling berkaitan: pertama, adanya
suatu worldview dari masyarakatnya yang mendukung, worldview ini dapat berupa suatu
pandangan hidup, agama, filosofi, dan lain-lain. Kedua, apresiasi dari masyarakat, yakni sikap
dan penghargaan masyarakat terhadap para ilmuwan. Ketiga, adanya patronase dan dukungan
dari penguasa.

Pertama, dorongan sebuah worldview dalam kemajuan sains merupakan unsur paling penting.
Dalam Islam, worldview ini terpancar dari sumber utamanya yakni al-QurAn dan Sunnah.
Motif agama dalam mempelajari sains ini dapat kita temui dari pengakuan seorang ilmuwan
terkemuka al-Khawarizmi: Agamalah yang mendorong saya menyusun karya tulis singkat
dalam hal hitungan dengan memakai prinsip operasi hitung seperti penambahan dan
pengurangan, yang bermanfaat untuk pengguna aritmatika, yang biasa digunakan para pria
yang terlibat dalam persoalan benda pusaka, warisan, perkara hukum, dan perdagangan serta
dalam segala kesepakatan kerja atau yang bertalian dengan pengukuran dalamnya tanah,
penggalian kanal, perhitungan geometri dan segala jenis objek dan yang ditekuninya.

Para ilmuwan muslim pada umumnya tidak pernah menjadikan harta dan jabatan sebagai tujuan
untuk pencarian ilmu. Sebaliknya, harta dan jabatan adalah sarana untuk pencarian ilmu. Ibnu
Rusyd, Ibn Hazm, dan Ibn Khaldun adalah ilmuwan yang berasal dari keluarga kaya.
Kekayaannya tidak menghentikan mereka dalam pencarian ilmu. Sebaliknya, al-Jahid, Ibn
Siddah, Ibn Baqi, all-Bajji, adalah beberapa contoh ilmuwan yang miskin, namun kemiskinan
tidak menghalangi kegairahan mereka terhadap ilmu. Jadi jelas bahwa harta dan kekayaan
bukan tujuan mereka, ada dan tidak adanya harta tidak mengurangi gairah mereka terhadap
ilmu. Ada suatu motif yang lebih luhur dalam pencarian mereka terhadap ilmu. Sikap dan
pandangan para ilmuwan Islam ini tentu lahir dari sebuah konsep tentang ilmu, lebih luas lagi
dari sebuah pandangan hidup, yakni worldview Islam.

Kedua, sikap masyarakat yang menghargai ilmu dan ilmuwan sesungguhnya lahir dari masyarakat
yang sadar akan pentingnya ilmu. Sekali lagi, dorongan ini pun lahir dari motif agama.
Penghormatan (adab) mereka yang khas terhadap ulamA merupakan sesuatu yang unik dan
sulit ditemui dalam masyarakat manapun, penghormatan yang bukan berasal dari pengkultusan
individu, namun berasal dari suatu kesadaran akan mulianya ilmu dan mereka yang
membawanya. Sebagai contoh ketika Imam al-RAzi mendatangi Herat untuk berceramah,
seluruh penduduk kota menyambutnya dengan sangat meriah bagaikan suatu hari raya, dan
masjid raya pun penuh sesak dipenuhi jamaah yang hendak mendengarkannya. Ini
menunjukkan betapa besar penghargaan masyarakat kepada seorang ilmuwan. Masyarakat
pada umumnya sangat antusias menyaksikan suatu ceramah umum, diskusi, debat terbuka, dan
forum-forum ilmiah yang dibuka untuk umum. Para orang tua sangat ingin menjadikan
anaknya sebagai ulamA, dan hal itu merupakan cita-cita yang paling mulia. Banyak diantara
para ulamA yang sudah dititipkan kepada ulamA terkemuka sejak mereka masih sangat kecil
dengan harapan agar anaknya menjadi seorang ilmuwan terkemuka.

Ketiga, peran dukungan atau patronase dari penguasa, misalnya berupa dana, merupakan hal yang
tidak bisa diabaikan. Imam Asy-SyAfii dalam ad-DiwAn pun menegaskan bahwa salah satu
syarat untuk memperoleh ilmu adalah adanya harta untuk memenuhi fasilitas penuntut ilmu.
Bentuk-bentuk patronase yang dialami oleh ilmuwan muslim adalah : undangan untuk
memberikan orasi ilmiah di istana dan didengarkan oleh para penguasa; pembangunan sarana
pendidikan seperti akademi, observatorium, perpustakaan, rumah sakit, madrsah, dll;
penyelenggaraan event ilmiah seperti seminar; pemberian beasiswa; pemberian insentif pada
karya-karya para ilmuwan.

Ketiga faktor di atas, jika ditelisik lebih dalam sebenarnya bermuara pada suatu semangat ilmiah
yang bersumber dari suatu pandangan hidup tertentu. Suatu pandangan hidup yang meletakkan
ilmu di posisi yang amat mulia, sehingga tak pantas jika seseorang melakukan pencarian ilmu
semata-mata untuk mencari harta dan jabatan. Pandangan hidup itu ialah tidak lain dari Islam.

BAB III

KESIMPULAN

Sistematika filsafat membicarakan masalah sains atau pengetahuan tentang apa yang telah
diketahui dan sejauh mana kebenaran pengetahuan yang dimaksudkan. Hakikat tahu,
mengetahui, dan pengetahuan dengan segala kaitannya meliputi hal-hal yang dimaksud dengan
tahu atau mengetahui suatu hal. Kemudian, setiap tahu dan mengetahui akan melibatkan suatu
gagasan dalam pikiran dan pengalaman indrawi, sehingga pengetahuan itu mengandung
kriteria kebenaran filosofis.

Dalam hal ini tidak salah bahwa keduanya memiliki persamaan, dalam hal bahwa keduanya
merupakan hasil ciptaan kegiatan pikiran manusia, yaitu berpikir filosofis spekulatif dan
berpikir empiris ilmiah. Perbedaan antara keduanya, terutama untuk aliran filsafat pendidikan
tradisional adalah bahwa filsafat menentukan tujuan dan sains memberikan alat sarana untuk
hidup.

Islam menempatkan sains dengan segala aspeknya pada posisi yang sangat terhormat memandang
sains pebagai sebuah keharusan bagi setiap umat manusia sebab dengannya manusia dapat
bertahan hidup dan mengerti tujuan hidup.

Istilah sains dalam Islam, sebenarnya berbeda dengan sains dalam pengertian Barat modern saat
ini, jika sains di Barat saat ini difahami sebagai satu-satunya ilmu, dan agama di sisi lain
sebagai keyakinan, maka dalam Islam ilmu bukan hanya sains dalam pengertian Barat modern,
sebab agama juga merupakan ilmu, artinya dalam Islam disiplin ilmu agama merupakan sains.

Pandangan Islam tentang sains, dan adanya keselarasan antara kitab yang diturunkan dengan kitab
ciptaan akan memberikan dampak dan akibat, baik secara teoretis maupun praktis, terhadap
tujuan utama pendidikan dan pembelajaran sains dalam suatu masyarakat Muslim. Inilah
mengapa para saintis muslim, seperti yang sudah kita ulas di atas, menjadikan aktivitas
ilmiahnya sebagai ibadah, bukan hanya suatu jargon dan basa-basi belaka, namun dilandasi
suatu pemahaman menda

Anda mungkin juga menyukai