Anda di halaman 1dari 48

ASKEP ASFEKSIA

Oleh :

Kelompok 1

Asriaty Lambaty

Natalia Bura Tasik

Nilam sari

Widya Reski Imelia

Muhammad Riswandi

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAKASSAR


MAKASSAR
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelahiran merupakan hal yang sangat membahagiakan bagi seorang ibu. Anak
yang lahir dengan kondisi sehat adalah harapan semua wanita. Tetapi tidak semua
wanita melahirkan secara normal serta mendapatkan bayi yang sehat. Terdapat
berbagai komplikasi yang terjadi pada saat persalinan. Dalam hal ini yang paling
sering ditemukan adalah kasus asfiksia neonatorum atau asfiksia pada bayi baru lahir.
Menurut WHO, setiap tahunnya , sekitar 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi lahir
mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini kemudian meninggal. Di Indonesia, dari
seluruh kematian balita, sebanyak 38% meninggal pada masa BBL (IACMEG, 2005).
Kematian BBL di Indonesia terutama disebabkan oleh prematuritas (32%), asfiksia
(30%), infeksi (22%), kelainan kongenital (7%), lain-lain (9%).
Hipoksia janin yang menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena
gangguan pertukaran gas serta transpor oksigen dari ibu ke janin, sehingga terdapat
gangguan dalam persediaan oksigen dan dalam menghilangkan karbondioksida.
Faktor-faktor predisposisi pada asfiksia bayi baru lahir antara lain karena persalinan
tindakan (ekstraksi forceps, vacuum ekstraksi, dan seksio sesarea) dengan berbagai
komplikainya yang bersifat depresi terhadap pernafasan bayi baru lahir, hipertensi
dan preeklamsia pada ibu, solusio plasenta, maupun kompresi tali pusat
bayi,sementara itu proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang
bersifat sementara pada bayi (asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu
untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi ‘primary gasping’ yang
kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur (Hasan .Ed.,dkk, 2007). Dampak
asfiksia yang tidak tertangani dengan cepat dan baik dapat menyebabkan kematian
bayi baru lahir (Hasan Ed.,dkk, 2007).
Upaya-upaya yang aman dan efektif untuk mencegah dan mengatasi penyebab
utama kematian BBL adalah pelayanan antenatal yang berkualitas, asuhan persalinan
normal/dasar dan pelayanan kesehatan neonatal oleh tenaga profesional. Untuk
menurunkan kematian BBL karena asfiksia, persalinan harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki kemampuan dan ketrampilan manajemen asfiksia pada
BBL. Kemampuan dan ketrampilan ini digunakan setiap kali menolong persalinan.
(JNPK-KR, 2008), sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan taraf hidup ibu dan
bayi yang pada akhirnya dapat menurunkan AKI dan AKB. Oleh karena itu dalam
makalah ini akan kami bahas mengenai asfiksia neonatorum serta penatalaksanaan
pada kasus asfiksia neonatorum.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir
dengan asfiksia.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan: definisi asfiksia neonatorum,
etiologi, klasifikasi dan tanda gejala klinis, patogenesis, patofisiologi, prognosis,
komplikasi, diagnosis, dan penanganan asfiksia neonatorum.
b. Mahasiswa mampu melakukan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dengan kasus
asfiksia neonatorum.
C. Manfaat
Setelah mempelajari, memahami dan menggunakan manajemen kebidanan ini
Mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan teori yang telah didapat dengan kasus
yang ada di lapangan untuk memberikan pelayanan yang bermutu sehingga dapat
mendukung peran, tugas dan tanggung jawab bidan.
TINJAUAN TEORI

A. ASFIKSIA
1. Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat
bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan
makin meningkatkan karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk
dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2007).
Asfiksia neonaturum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernapas spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir
(Mansjoer,2005)
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir.
Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan
bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala
lanjut yang mungkin timbul (Manuaba, 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
asfiksia adalah bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan
sehingga dibutuhkan penanganan segera setelah bayi lahir agar tidak
menimbulkan akibat buruk dalam kelangsungan hidupnya .
2. Klasifikasi Asfiksia
Menurut Mochtar (2008), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2
macam, yaitu sebagai berikut :
a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit
kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif,
bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik.
b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat,
tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung
irreguler, prognosis jelek.
Berikut ini adalah tabel APGAR score untuk menentukan Asfiksia
(Ghai, 2010).
Tabel 2.1 Nilai APGAR

Nilai 0 1 2

Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur


Denyut jantung Tidak ada < 100 x/mnt > 100 x/mnt
Warna kulit Biru/ pucat Tubuh dan kaki Merah jambu
Gerakan/ tonus Tidak ada merah jambu, Fleksi
otot Tidak ada tangan biru Kuat
Refleks Sedikit fleksi
(menangis Lemah/ lambat
Sumber : (Ghai, 2010)
Menurut Mochtar (2008) setiap bayi baru lahir dievaluasi
dengan nilai APGAR, tabel tersebut di atas dapat digunakan untuk
menentukan tingkat atau derajat asfiksia, apakah ringan, sedang, atau
asfiksia berat dengan klasifikasi sebagai berikut:
1) Asfiksia berat (nilai Apgar 0-3) Memerlukan resusitasi segera secara
aktif, dan pemberian oksigen terkendali. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan frekuensi jantung 100X/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan terkadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
2) Asfiksia sedang (nilai Apgar 4-6) Memerlukan resusitasi dan
pemberian oksigen sampai bayi dapat bernapas kembali. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung 10 lebih dari
100X/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada.
3) Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai Apgar 7-10) Bayi dianggap
sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
3. Patofisiologi
Patofisiologi Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada
keadaan janin pada masa hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri
selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara. Proses ini
sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor pusat pernapasan untuk
terjadinya usaha pernapasan yang pertama yang kemudian akan berlanjut
menjadi pernapasan yang teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha
napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada
tingkat ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi)
ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid).
Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak
menunjukan upaya bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama
gangguan pertukaran gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah)
mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan
berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi
sehingga terjadi asidosis metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan
kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh
berakibat buruk terhadap sel-sel otak, dimana kerusakan sel-sel otak ini
dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa (squele) (Depkes RI, 2005).
4. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
hipoksia janin. Menurut Saifuddin (2002) diagnosis hipoksia dapat dibuat
ketika dalam persalinan yakni saat ditemukannya tanda-tanda gawat janin.
Tiga hal yang perlu mendapat perhatian antara lain:
a. Denyut jantung janin
Frekuensi normal denyut jantung janin adalah antara 120 sampai
160x/menit. Selama his frekuensi tersebut bisa turun, tetapi di luar his
kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut
jantung umumnya tidak banyak artinya, namun apabila frekuensi turun
sampai dibawah 100 per menit di luar his dan terlebih jika tidak
teratur, hal tersebut merupakan tanda bahaya.
b. Mekonium dalam air ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi
dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal tersebut dapat dilakukan dengan
mudah.
c. Pemeriksaan darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan melalui
servik yang dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil
contoh darah janin. Darah tersebut diperiksa pH nya, adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH turun sampai 7.2 hal tersebut
dianggap sebagai tanda bahaya. Kelahiran yang telah menunjukan
tanda-tanda gawat janin dimungkinkan akan dissertai dengan asfiksia
neonatorum. Oleh karena itu perlu diadakan persiapan untuk
menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia. Tingkatannya
perlu diketahui untuk melakukan tindakan resusitasi yang sempurna.
Hal tersebut diketahui dengan penilaian menurut APGAR.
Untuk menentukan tingkat asfiksia dengan tepat membutuhkan
pengalaman dan observasi klinis serta penilaian yang tepat, sehingga
pada tahun 1953-1958 seorang bernama Virginia Apgar mengusulkan
beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan neonatus. Menurut
Novita (2011), nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1
menit dan 5 menit sesudah bayi lahir. akan tetapi, penilaian bayi harus
segera dimulai sesudah bayi lahir. apabila memerlukan intervensi
berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi,
maka penilaian ini 12 harus segera dilakukan. Nilai APGAR dapat
menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi.
Apabila nilai APGAR kurang dari 7 maka penilaian nilai
tambahan masih diperlukan yaitu 5 menit sampai 20 menit atau sampai
dua kali penilaian menunjukan nilai 8 atau lebih. Penilaian untuk
melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting
yaitu pernafasan, denyut jantung, dan warna kulit. Resusitasi yang
efektif bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian
oksigen, dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke
otak, jantung dan alat vital lainnya (Novita, 2011).
Patokan klinis yang dihitung meliputi menghitung frekuensi
jantung, melihat usaha bernapas, menilai tonus otot, menilai reflek
rangsangan, memperlihatkan warna kulit. Setiap bayi yang dilahirkan
kemudian menangis biasanya hidup, sedangkan bayi lahir tidak
menangis biasanya cepat meninggal, hal tersebut dikemukakan oleh
Virginia Apgar. Oleh karenanya beliau membuat daftar penilaian
dengan mengobservasi pada menit pertama dan menit kelima setelah
lahir. pada menit pertama untuk menunjukan beratnya asfiksia dan
menentukan kemungkinan hidup selanjutnya, sedangkan menit kelima
untuk menentukan gejala sisa (Ilyas, 2004).
5. Penanganan pada asfiksia neonatorum
Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia
janin. Resusitasi dapat dilihat dariberat ringannya derajat asfiksia, yaitu
dengan cara menghitung nilai APGAR (Novita, 2011).
Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu
diingat adalah :
a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan
saluran pernapasan tetap bebas serta merangsang timbulnya
pernapasan, yaitu agar oksigen dan pengeluaran CO2berjalan lancar.
b. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang
menunjukan usaha pernapasan lemah.
c. Melakukan koreksi terhadap asidosisyang terjadi.
d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.

Menurut Ilyas (2004), alat-alat resusitasi yang perlu dipersiapkan meliputi


sebagai berikut :
a. Meja resusitasi dengan kemiringan kurang dari 10 derajat.
b. Guling kecil untuk menyangga/ekstensi
c. Lampu untuk memanaskan badan bayi
d. Penghisap slim
e. Oksigen
f. Spuit ukuran 2,5cc atau 10cc
g. Penlon back atau penlon masker
h. ETT (endo trakheal tube)
i. Laringoskop
j. Obat-obatan (natrium bikarbonat 7,5% (meylon), dekstrose 40%,
kalsium glukonas, dekstrose 5%, dan infus set).

Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat


asfiksia. Penatalaksanaan penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa.
a. Asfiksia ringan-bayi normal (skor apgar 7-10)
Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian
lingkungan suhu yang baik pada bayi, pembersihan jalan napas bagian
atas dari lendir dan sisa-sisa darah, jika diperlukan memberikan 14
rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh, apabila cenderung
turun untuk sementara waktu dapat dimasukan kedalam inkubator.
b. Asfiksia sedang (skor apgar 4-6)
Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian
membersihkan jalan nafas. Melakukan stimulasi agar timbul refleks
pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan,
ventilasi aktif harus segera dimulai.Ventilasi yang aktif yang
sederhana dapat dilakukan secara ‘frog brething’. Cara tersebut
dikerjakan dengan meletakan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan
dengan 1-2 liter/menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakan dalam
posisi dorsofleksi kepala. Apabila belum berhasil maka lakukan
tindakan rangsangan pernapasan dengan menepuk-nepuk telapak kaki,
bila tidak berhasil juga maka pasang penlon masker kemudian di
pompa 60x/menit. Bila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih
sianosis, berikan kolaborasi terapi natrium bikarbonat 7,5% dengan
dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose 40% sebanyak 1-2 cc/kg
berat badan dan diberikan melalui umbilikalis.
c. Asfiksia berat (skor apgar 0-3)
Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan
jalan nafas sambil memompa jalan nafas dengan ambu bag. Berikan
oksigen 4-5 liter/menit. Apabila tidak berhasil biasanya dipasang ETT
(endo trachealtube), selanjutnya bersihkan jalan nafas melalui lubang
ETT. Bila bayi bernafas namun masih sianosis maka berikan tindakan
kolaborasi berupa natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc dan dektrose
40% sebanyak 4cc. Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk ICU
dan infus terlebih dahulu.

B. Faktor Risiko Penyebab Asfiksia Neonatorum


Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan
gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga oksigen ke bayi menjadi
berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin
yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir (Prawiroharjo, 2005).
Beberapa 15 faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya faktor Ibu, faktor plasenta, faktor
bayi, dan faktor persalinan.
1. Faktor Ibu
a. Umur Ibu
Bagian komponen dari status reproduksi adalah umur ibu dan
jumlah paritas atau jumlah persalinan. Menurut Chi, dkk (2009), pada
kelompok ibu berumur 20-30 tahun angka kematian ibu lebih rendah
dibanding dengan kelompok ibu berumur kurang dari 20 tahun, dan
dibanding dengan kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih. Umur,
tinggi badan dan berat badan wanita merupakan faktor risiko kehamilan.
Wanita yang berumur 15 tahun atau lebih muda meningkatkan risiko
preeklamsi (sebuah tipe tekanan darah tinggi yang berkembang selama
kehamilan). Wanita yang berumur 35 tahun atau lebih meningkat
risikonya dalam masalah-masalah seperti tekanan darah tinggi, gestasional
diabetes (diabetes yang berkembang pada saat kehamilan) dan komplikasi
selama kehamilan (Bobak, 2005). Pada umur kurang dari 20 tahun, organ-
organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga bila terjadi
kehamilan dan persalinan akan mudah mengalami komplikasi. Selain itu,
kekuatan otot-otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara
optimal (Saifuddin, 2006).

b. Hipertensi pada Kehamilan


Hipertensi adalah tekanan darah lebih tinggi dari tekanan darah
normal yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hipertensi pada
kehamilan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan
fetus.
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan menurut The Seven Of The
Joint National Committee on Prevention, Detection Evaluation and
Treatment 16 of High Blood Pressure (JNC VII) dibagi atas 5 kategori
yaitu:
1) Hipertensi kronik, yaitu tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau
tekanan diastolic ≤ 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum 20
minggu gestasi, menetap sampai 12 minggu atau lebih postpartum.
2) Preeklamsi tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau tekanan
diastolic ≤ 90 mmHg dengan proteniuria (300mg/ 24jam) setelah 20
minggu gestasi. Dapat berkembang menjadi eklamsi (kejang). Sering
terjadi pada wanita nullipara, multiple gestasi, wanita dengan riwayat
preeklamsi, dan wanita dengan riwayat penyakit ginjal.
3) Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi adanya protenuria
muncul setelah 20 minggu protein naik tiba- tiba 2-3 kali lipat, tekanan
darah meningkat tiba- tiba peninggian SGOT-SGPT.
4) Gestasional hipertensi yaitu hipertensi tanpa proteinuria timbul setelah
20 minggu gestasi.
5) Transien hipertensi diagnose retrospektif. Tekanan darah normal
dalam 12 minggu postpartum, dan dapat berulang pada kehamilan.

Preeklampsi dan eklampsia dapat mengakibatkan keterlambatan


pertumbuhan janin dalam kandungan atau Intrauterine Growth
Restriction (IUGR) dan kelahiran mati. Hal ini disebabkan karena
preeklampsia dan eklampsiapada ibu akan menyebabkan perkapuran
didaerah plasenta, sedangkan bayi memperoleh makanan dan oksigen dari
plasenta, dengan adanya perkapuran didaerah plasenta, suplai makanan
dan oksigen yang masuk ke janin berkurang (Wiknjosastro, 2005).
c. Pendarahan antepartum
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pada kehamilan di atas
22 minggu hingga menjelang persalinan yaitu sebelum bayi dilahirkan.
Komplikasi utama dari perdarahan antepartum adalah perdarahan yang
menyebabkan anemia dan syok yang menyebabkan keadaan ibu semakin
17 jelek. Keadaan ini yang menyebabkan gangguan ke plasenta yang
mengakibatkan anemia pada janin bahkan terjadi syok intrauterin yang
mengakibatkan kematian janin intrauterine. Bila janin dapat diselamatkan,
dapat terjadi berat badan lahir rendah, sindrom gagal napas dan
komplikasi asfiksia (Wiknjosastro, 2005).
1) Perdarahan pada Trimester I
Sekitar 20% wanita hamil mengalami perdarahan pada awal
kehamilan dan separohnya mengalami abortus. Abortus adalah
pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat badan janin
<500 gram atau kehamilan kurang dari 20 minggu.
2) Perdarahan pada Trimester II Pada Trimester II kehamilan perdarahan
sering disebabkan partus prematurus, solusio plasenta, mola dan
inkompetensi serviks.
3) Perdarahan pada Trimester III Pada Trimester III (perdarahan
antepartum) adalah perdarahan setelah 29 minggu atau lebih.
Perdarahan disini lebih berbahaya dibanding umur kehamilan kurang
dari 28 minggu, sebab faktor plasenta, dimana perdarahan plasenta
biasanya hebat sehingga mengganggu sirkulasi O2 dan CO2 serta
nutrisi dari ibu kepada janin.
a) Plasenta Previa
Ini adalah plasenta yang terletak pada segmen bawah rahim,
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.
Bila usia kehamilan 37 minggu, perdarahan sedikit sedangkan
keadaan ibu dan anak baik, maka dapat dipertahankan sampai
aterm. Bila perdarahan banyak hendaknya segera mengahiri
kehamilan misalnya dengan persalinan perabdominal (sectio
caesarea) (Farrer, 2001).
b) Solusio Plasenta Terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta, pada
lokalisasi yang normal, sebelum janin lahir pada umur kehamilan
20 minggu atau lebih. Atau terlepasnya plasenta pada
fungus/korpus uteri sebelum 18 janin lahir. Pasien yang mengalami
resiko tinggi adalah primi tua, multiparitas, hipertensi, eklamsi,
preklamsi dan perokok. Komplikasi pada solusio plasenta biasanya
adalah berhubungan dengan banyaknya darah yang hilang, infeksi,
syok neurogenik oleh karena kesakitan, gangguan pembekuan darah
dan gagal ginjal akut. Pada janin akan terjadi asfiksi, prematur,
infeksi dan berat badan lahir rendah (Farrer, 2001).
d. Demam selama persalinan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
Penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan parasit seperti
toksoplasmosism penyakit hubungan kelamin dan oleh virus seperti
HIV/AIDS dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital pada janin
dan kelainan jalan lahir (Manuaba, 2007).
e. Kehamilan postdate (sesudah 42 minggu kehamilan). Kehamilan yang
melampaui usia 292 hari (42 minggu) dengan gejala kemungkinan
komplikasinya.
f. Amnionitis
Amnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion, amnion
dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Amnionitis merupakan
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut
menjadi sepsis (Prawirohardjo, 2008). Membran khorioamnionitik terdiri
dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau
infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah
disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik. Grup B streptococcus
mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis. Selain itu
Bacteroides fragilis, Lactobacilli dan
Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering ditemukan
pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri-bakteri tersebut
dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan 19 kontraksi
uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan pembukaan serviks,
dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).
g. Anemia
Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah eritrosit yang beredar
atau konsentrasi hemoglobin (Hb) menurun. Sebagai akibatnya, ada
penurunan transportasi oksigen dari paru ke jaringan perifer. Kemampuan
transportasi oksigen semakin turun sehingga konsumsi oksigen janin tidak
terpenuhi. Selama kehamilan, anemia lazim terjadi dan biasanya
disebabkan oleh defisiensi besi sekunder terhadap kehilangan darah
sebelumnya atau masukan besi yang tidak adekuat. Seseorang dikatakan
anemia bila kadar hemoglobin (Hb) <10 gr% disebut anemia berat, dan
bila kadar Hb <6 gr% disebut anemia gravis. Batas anemia pada ibu hamil
di Indonesia adalah <11 gr% (Manuaba, 2007).
h. Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu
hidup diluar rahim (28 minggu). Sedangkan menurut Manuaba (2007),
paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm. Klasifikasi
paritas antara lain:

1) Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang
cukup besar untuk hidup di dunia luar.
2) Multipara Multipara adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau
lebih.
3) Grandemultipara Grandemultipara adalah wanita yang telah
melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit
dalam kehamilan dan persalinan.
2. Faktor plasenta
Plasenta merupakan akar janin untuk menghisap nutrisi dari ibu dalam
bentuk O2, asam amino, vitamin, mineral dan zat lain dan membuang sisa
metabolisme janin dan O2. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi
oleh luas kondisi plasenta. Gangguan pertukaran gas di plasenta yang akan
menyebabkan asfiksia janin. Fungsi plasenta akan berkurang sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan O2 dan memberikan nutrisi pada metabolisme
janin. Asfiksia janin terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta.
Kemampuan untuk transportasi O2 dan membuang CO2 tidak cukup sehingga
metabolisme janin berubah menjadi anaerob dan akhirnya asidosis dan PH
darah turun (Mochtar, 2008). Dapat terjadi pada situasi :
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
Prematuritas adalah kelahiran hidup bayi dengan berat < 2500 gram
(Cone, 2005 ). Kriteria ini dipakai terus secara luas, sampai tampak bahwa
ada perbedaan antara usia hamil dan berat lahir yang disebabkan adanya
hambatan pertumbuhan janin. WHO (2001) menambahkan bahwa usia
hamil sebagai kriteria untuk bayi prematur adalah yang lahir sebelum 37
minggu dengan berat lahir dibawah 2500 gram. Bayi lahir kurang bulan
mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk
bertahan hidup diluar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ
tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosis juga semakin buruk.
Karena masih belum berfungsinya organ-organ tubuh secara sempurna
seperti sistem pernafasan maka terjadilah asfiksia.
b. Berat Bayi Lahir (BBL)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir yang berat 21
badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. Berkaitan dengan penanganan
dan harapan hidupnya. Menurut Prawirohardjo (2005), bayi berat lahir
rendah dibedakan dalam:
1) Bayi dengan berat badan lahir rendah, berat lahir 1500-2500 gram.
2) Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, berat lahir 1000-1500
gram.
3) Bayi dengan berat badan lahir ekstra rendah, berat lahir <1000 gram.
Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah Premature Baby
dengan
Low Birth Weight Baby (bayi dengan berat badan lahir rendah), dan
kemudian WHO merubah ketentuan tersebut pada tahun 1977 yang
semula kriteria BBLR adalah ≤ 2500 gram menjadi hanya < 2500 gram
tanpa melihat usia kehamilan.
c. Kelainan bawaan (kongenital), misalnya hernia diafragmatika, atresia/
stenosis pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan). Janin yang
mengalami hipoksia atau gangguan suplai oksigen dapat menyebabkan
meningkatnya gerakan usus sehingga mekonium (tinja janin) akan
dikeluarkan dari dalam usus kedalam cairan ketuban yang mengelilingi
bayi didalam rahim. Mekonium ini kemudian bercampur dengan air
ketuban dan membuat ketuban berwarna hijau dan kekentalan yang
bervariasi.
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa
hal, yaitu:
a. Pemakaian obat analgesi/ anastesi yang berlebihan sehingga ibu secara
langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin. Analgesia 22
dan anastesi obstetrik maternal diberikan untuk menghilangkan nyeri akibat
kontraksi uterus dan pelahiran pervaginam atau perabdominam. Idealnya
analgesia dan anastesia obstetrik tidak boleh memperburuk kontraksi uterus,
usaha meneran ibu atau mengganggu kesejahteraan ibu dan janin (Saifuddin,
2006).
b. Trauma persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.
5. Faktor Persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup
dari uterus melalui vagina ke dunia luar. Letak sungsang merupakan keadaan
dimana janin terletak memanjang/ membujur dengan kepala di fundus uteri
sedangkan bokong dibagian bawah kavum uteri (Mochtar, 2008).
a. Klasifikasi
1) Presentasi bokong (Frank breech) (50-70%).
Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki
terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala
janin.Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba
bokong.
2) Presentasi bokong kaki sempurna (Complete breech) ( 5-10%)
Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba
kaki.
3) Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki
(Incomplete or footling) (10-30%).
Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki
di samping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada
presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki.
b. Diagnosis
1) Palpasi : kepala teraba di fundus, bagian bawah bokong dan punggung
di kiri atau kanan. 23
2) Auskultasi: Denyut Jantung Janin (DJJ) paling jelas terdengar pada
tempat yang lebih tinggi dari pusat.
3) Pemeriksaan dalam: dapat diraba os sakrum, tuber ischii, dan anus,
kadang-kadang kaki.
4) Pemeriksaan abdomen : perasat Leopold I-IV
5) USG: USG idealnya digunakan untuk memastikan perkiraan klinis
presentasi bokong dan, bila mungkin, untuk mendeteksi anomali janin.
6) Foto sinar-X (rontgen) : bayangan kepala di fundus.
(Manuaba, 2007)
c. Mekanisme persalinan
Mekanisme persalinan hampir sama dengan letak kepala, hanya disini
yang memasuki pintu atas panggul (PAP) adalah bokong. Persalinan
berlangsung agak lama, karena bokong dibandingkan kepala lebih lembek,
jadi kurang kuat menekan, sehingga pembukaan agak lama. Persalinan
pada letak sungsang merupakan kontroversi karena komplikasinya yang
tidak dapat diduga sebelumnya, terutama persalinan kepala bayi
(Manuaba, 2007).
Persalinan sungsang pervaginam dengan prognosis baik bila skoring
antara 0-4. Persalinan sungsang perabdominam dengan SC saat ini lebih
sering dilakukan. Risiko SC terhadap ibu (perdarahan, anestesi dan
infeksi) dan risiko janin pada persalinan sungsang (asfiksia dan trauma)
harus merupakan pertimbangan kuat dalam pengambilan keputusan
mengenai cara persalinan yang dipilih (Saifuddin, 2006).
1) Persalinan pervaginam
Persalinan pervaginam dibagi 3 (tiga), yaitu :
a) Persalinan spontan, janin dilahirkan dengan kekuatan dan tenaga
ibu sendiri. Cara ini disebut Bracht. Pertolongan pada tahap
persalinan ini tidak boleh tergesa-gesa oleh karena persalinan
kepala yang terlalu cepat pada presentasi sungsang dapat 24
menyebabkan terjadinya dekompresi kepala sehingga dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial (Aminullah, 2005).
b) Manual aid (partial breech extraction), janin dilahirkan sebagian
dengan tenaga dan kekuatan ibu dan sebagian lagi dengan tenaga
penolong.
c) Ektraksi sungsang (total breech extraction), janin dilahirkan
seluruhnya dengan memakai tenaga penolong.
Bobak (2005) menyatakan bahwa syarat partus pervaginam pada
letak sungsang, antara lain:
(1) Janin tidak terlalu besar.
(2) Tidak ada suspek ( Cephalopelvic Disproportion) CPD.
(3) Tidak ada kelainan jalan lahir.
(4) Jika berat janin 3500 gram atau lebih, terutama pada
primigravida atau multipara dengan riwayat melahirkan kurang
dari 3500 gram, SC lebih dianjurkan.
Prawirohardjo (2005), menyatakan bahwa penyulit yang mungkin
terjadi pada persalinan letak sungsang adalah:
(1) Sufokasi
Bila sebagian besar badan janin telah lahir, terjadilah
pengecilan rahim, sehingga terjadi gangguan sirkulasi plasenta
dan menimbulkan anoksia janin sehingga darah, mukus cairan
amnion dan mekonium akan di aspirasi, yang dapat
menimbulkan sufokasi. Badan janin yang sebagian sudah
berada di luar rahim, juga merupakan rangsangan yang kuat
untuk janin bernapas.
(2) Asfiksia fetalis Selain akibat mengecilnya uterus pada waktu
badan janin lahir, yang menimbulkan anoksia, maka anoksia
ini diperberat lagi, dengan bahaya terjepitnya tali pusat pada
waktu kepala masuk 25 panggul (fase cepat).
(3) Kerusakan jaringan otak Trauma pada otak janin dapat terjadi,
khususnya pada panggul sempit atau adanya diproporsi sefalo-
pelvik, serviks yang belum terbuka lengkap, atau kepala janin
yang dilahirkan secara mendadak, sehingga timbul dekompresi.
(4) Prolaps tali pusat.
(5) Fraktur pada tulang tulang bayi. Cedera flexus brakialis,
hematoma otot-otot.
2) Persalinan Perabdominam
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram (Aminullah, 2005). Beberapa kriteria yang dapat dipakai
pedoman bahwa letak sungsang harus dilahirkan perabdominam,
misalnya:
a) Primigravida tua.
b) Nilai sosial janin tinggi ( high social value baby).
c) Riwayat persalinan yang buruk ( bad obstetric history).
d) Janin besar , lebih dari 3500 gram – 4000 gram.
e) Dicurigai adanya kesempitan panggul.
f) Prematuritas.

Menurut Prawirohardjo (2005), menyatakan bahwa prognosis


persalinan perabdominam antara lain:
a) Morbiditas maternal
Karena frekuensi kelahiran dengan tindakan lebih tinggi, termasuk
didalamnya sectio caesarea, terdapat morbiditas maternal yang
lebih tinggi dan mortalitas yang sedikit lebih tinggi pada
kehamilan yang dipersulit dengan presentasi bokong persisten.
b) Morbiditas dan mortalitas janin dan bayi Prognosis bayi pada
presentasi bokong jauh lebih buruk daripada presentasi puncak
kepala.Faktor utama kematian perinatal adalah pelahiran prematur,
kelainan kongenital, serta trauma lahir. Pada setiap tahap
kehamilan , bahwa kematian antepartum, intrapartum serta
kematian neonatal secara bermakna lebih tinggi daripada
presentasi bokong. Angka kematian bayi pada persalinan letak
sungsang lebih tinggi dibandingkan dengan letak kepala, menurut
Eastman 12-14%.
Penatalaksanaan pada presentasi bokong, baik ibu maupun
janinnya menghadapi risiko yang lebih besar dari pada presentasi
kepala. Pemeriksaan cepat harus dilakukan untuk menentukan
keadaan selaput ketuban, kala persalinan, dan kondisi
janin.Pemantauan ketat frekuensi denyut jantung janin dan
kontraksi uterus harus dimulai.Pemanggilan perawat dan
paramedik yang diperlukan untuk menangani kasus ini baik
melalui persalinan pervaginam maupun perabdominam harus
segera dilakukan pula. Termasuk diantaranya staf ruang rawat bayi
dan anastesi (Farrer, 2001).
Infus intravena mulai diberikan setelah wanita yang
bersangkutan tiba dikamar bersalin. Kemungkinan dilakukannya
induksi anastesi darurat, atau terjadinya perdarahan akibat laserasi
atau atonia uteri, adalah dua diantara banyak alasan dibutuhkannya
akses intravena segera yang dapat digunakan untuk memasukkan
obat atau cairan, termasuk darah (Farrer, 2001).
c) Partus lama atau partus macet
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam
pada primi, dan lebih dari 18 jam pada multi. Sedangkan partus
macet adalah merupakan fase terakhir dari suatu partus yang macet
27 dan berlangsung terlalu lama sehingga timbul komplikasi pada
ibu dan atau janin, seperti dehidrasi, infeksi, kelelahan ibu, serta
asfiksia dan Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK)
(Manuaba, 2007).
d) Ketuban Pecah Dini (KPD) KPD adalah pecahnya ketuban
sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3cm
dan pada multipara kurang dari 5 cm. Ketuban pecah dini
disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau
meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi
yang dapat berasal dari vagina dan serviks (Bobak, 2005).
Ketuban pecah lama merupakan jarak waktu antara pecahnya
ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam yang mempunyai
peranan penting terhadap timbulnya plasentitis dan amnionitis.
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan
tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan
antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion,
semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat. Semakin lama
periode laten, semakin lama pula kala satu persalinan dan semakin
besar insidensi infeksi. Janin bisa terinfeksi sekalipun tidak terlihat
tanda-tanda sepsis pada ibu. Tempat paling sering mengalami
infeksi adalah tractus respiratorius. Kebanyakan pneumonia yang
terjadi dalam 2 minggu pertama kehidupan berasal dari dalam
rahim.Setelah terjadi persalinan dan ditemukan tanda infeksi
biasanya bayi memiliki nilai APGAR dibawah 7 dan dapat
mengalami hipotermia. Disisi lain bayi dapat memiliki nilai
APGAR yang tinggi lalu turun pada 10-25 menit setelah lahir.
Pengamatan terus secara hati-hati pada bayi selama jam pertama
setelah persalinan adalah penting (Mochtar, 2008).
ASKEP ASFIKSIA

TINJAUAN KASUS

Tanggal pengkajian : 7 Februari 2016


Nama pengkaji : widya,natalia,,nilam,rojia
Ruang : Peristi
Waktu pengkajian : Jam 07.30 WIB
A. IDENTITAS
1. Identitas Klien
Nama : By Ny. Partiyah
Tanggal lahir : 6 Februari 2016, jam 23.45 WIB
Umur : 0 hari 7 3/4 jam
Jenis kelamin : Laki-laki
BB : 2750 gram
PB/TB : 48 cm
Alamat : Kalirancang 3/2 Alian
Agama : Islam
Pendidikan :--
Suku bangsa : Jawa
Tanggal masuk : 6 Februari 2016
No. RM : 851755
Diagnosa Medik : Asfiksia berat
2. Identitas penanggung jawab :
Nama : Ny. T
Umur : 60 thn
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kalirancang RT/RW 3/2 Alian
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Hubungan dengan klien : Nenek bayi

B. RIWAYAT KEPERAWATAN
1. Keluhan utama
Bayi lahir post SC dengan sesak nafas
2. Riwayat penyakit sekarang
Bayi baru lahir post SC dengan indikasi gagal vakum 1x, bayi di vakum 1x ±15 menit
kemudian gagal. 1 jam sebelum lahir direncanakan SC, bayi lahir secara SC, jenis
kelamin laki-laki, bayi tidak langsung nangis, nafas tidak spontan, BB 2750 gram,
PB: 48cm, Apgar skor : 3-4-5, tonus otot lemah, bayi pucat, air ketuban hijau. Hasil
TTV : Nadi : 105 x/m, RR : 46 x/m, S : 350C. Pada jam 23.46 bayi dapat bernafas
spontan, jam 00.00 bayi dibawa ke peristi, jam 00.05 di cek TTV( Nadi : 140x/m, RR
: 80x/m), bayi mengalami sianosis, tonus otot sangat lemah, bayi agak pucat.
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 7 februari 2013 jam 07.30 WIB keadaan
bayi masih lemah, tonus otot lemah, agak sianosis, bayi menangis. Hasil TTV( N :
148x/m, S : 35,50C, RR : 55x/m).
3. Riwayat penyakit dahulu
Tidak terkaji
4. Riwayat penyakit keluarga
Di dalam keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit menurun dan menular
seperti HIV, hepatitis, TBC, DM, HT.
5. Riwayat kehamilan
G1 P0 A0, umur kehamilan 38 minggu lebih 4 hari, ANC: 9x, presentasi kepala
6. Riwayat persalinan
Bayi baru lahir post SC a/i gagal vakum 1x, bayi di vakum 1x±15 menit kemudian
gagal. 1 jam sebelum lahir direncanakan SC, bayi lahir secara SC, bayi tidak
langsung nangis, nafas tidak spontan, air ketuban hijau, APGAR Score: 1-2-3.
APGAR Score 1 menit 5 menit 10 menit
1. Appearance/ warna kulit 0 0 1
2. Pulse/ nadi 1 1 1
3. Grimace 0 0 0
4. Respiratory 0 1 1
5. Activity/ tonus otot 0 0 0
TOTAL 1 2 3

7. Riwayat imunisasi
Belum mendapat imunisasi Hbo dan lainnya
8. Genogram
Tidak terkaji
9. Kebutuhan cairan
Bayi usia 0 hari, rumus: 100ml/BB(kg) /hari atau 120-140ml/kg BB/hari
Jadi kebutuhannya 100ml/2,75kg/hari=275ml/hari atau 120/2,75kg/hari=330ml/hari.
140ml/2,75kg/hari=385ml/hari, jadi kebutuhannya 330-385ml/hari.
10. Kebutuhan kalori
Bayi usia 0 hari, rumus: 80-90kkal/kgBB/hari
= 80x2.75kg =220kkal/hari
= 90x2,75kg =247,5kkal/hari
Jadi kebutuhan kalorinya 220-247,5kkal/hari
C. PENGKAJIAN FUNGSIONAL (GORDON)
1. Pola persepsi Manajemen Kesehatan
Jika ada keluarga yang sakit maka langsung di bawa ke mantri/ bidan terdekat.
2. Pola Nutrisi/Metabolik
Diit ditunda
3. Pola Eliminasi
bayi sudah BAK 3x bau khas, warna kuning jernih dan BAB 1x mekonium warna
hijau kehitaman
4. Pola Aktivitas dan Latihan
bayi belum bergerak aktif disebabkan tonus otot masih lemah , gerakannya masih
lemah
5. Pola Tidur/Istirahat
bayi tidur selama ±5jam dan terbangun menangis jika BAB/BAK atau sebab lain
yang mengganggu kenyamanan bayi
6. Pola Persepsi Kognitif
tidak terkaji
7. Pola Konsep Diri
tidak terkaji

8. Pola Peran dan Hubungan


Bayi adalah anak pertama yang kelahirannya sangat diharapkan oleh kedua orang
tuanya dan keluarga lain, hubungan dengan ibunya kurang karena harus terpisah
dengan ibunya sementara waktu untuk menjalani perawatan di ruang peristi.
9. Pola Seksualitas/Reproduksi
Alat reproduksi lengkap yaitu antara testis dan penis ada dan sudah terbentuk alat
kelamin yang sempurna, tidak ada kelainan pada lubang saluran urinnya, dapat BAK
tanpa kesulitan dan kesakitan.
10. Pola Koping dan Toleransi Stress
bayi selalu menangis jika merasa tidak nyaman
11. Pola Nilai dan Kepercayaan
Setelah bayi lahir di adzani, bayi beragama islam sama dengan orang tuanya.

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. TTV : S: 35,50C, N: 148x/menit, RR: 55x/menit
2. Keadaan umum : lemah
3. Antropometri : BB: 2750 gram, PB: 48cm, LILA: 11cm, LK: 32cm,LD:31cm
4. Kepala :Mesocepal, tampak bekas luka di kaput ektrasi, ubun-
ubun/fontanel anterior dan pesterior belum menutup
5. Mata :simetris, sklera tak ikterik, konjungtiva tak anemis, tidak ada
kotoran yang melekat di mata
6. Telinga : simetris, tidak ada serumen, tidak ada kelainan bentuk telinga
7. Mulut : mukosa bibir agak kering, tidak ada labio palatoschizis, agak
sianosis
8. Hidung : simetris, tidak ada polip, tidak ada sekret
9. Leher :tidak ada pembesaran kelenjar tyroid dan tidak ada
peningkatan vena jugulasis
10. Dada
Jantung
a. Inspeksi : tampak retraksi dinding dada interkostalis dan suprasternalis
b. Perkusi : bunyi pekak
c. Palpasi : tidak teraba ictus cordis, tidak ada nyeri tekan
d. Auskultasi : S1-S2 Reguler, tidak ada bunyi tambahan

Paru
a. Inspeksi : expansi dada tidak optimal
b. Perkusi : terdengar bunyi sonor
c. Palpasi : fokal fremitus seimbang antara kanan dan kiri
d. Auskultasi : bunyi vesikuler, ada bunyi nafas tambahan ronkhi.
11. Abdomen
a. Inspeksi : tali pusat masih basah, perut cembung, agak sianosis
b. Auskultasi : peristaltik 12 x/mnt
c. Perkusi : tympani
d. Palpasi : tidak teraba pembesaran hepar
12. Punggung : simetris
13. Kulit : elastis, akral dingin, terlihat sianosis
14. Ekstermitas
a. Atas : lengkap kedua tangan, untuk bergerak masih lemah, tidak ada
kelainan bentuk tangan
b. Bawah :lengkap kedua kaki, untuk bergerak masih lemah, masih pucat, akral
dingin
15. Genetalia : alat kelamin yaitu antara kedua testis dan penis sudah
terbentuk sempurna, tidak ada kelainan pada anatomi fisiologinya.
16. Anus : Berlubang, tidak ada kecacatan, sudah dilakukan colok dubur

E. REFLEK
1. Moro : (+) masih lemah
2. Roothing : (+) masih lemah
3. Walking : (+) masih lemah
4. Grosping : (+) masih lemah
5. Sucking : (+) masih lemah
6. Tonick neck : (+) masih lemah
7. Swallowing : (+) masih lemah

F. ELIMINASI
1. Miksi : (+) kuning jernih
2. Mekonium : (+) hijau kehitaman
G. HASIL KOLABORASI
1. IVFD RL 10 tpm mikro
2. Inj. Vit K 1mg
3. Inj. Hepatitis B0
4. inj. ampicilin 2x140 mg
5. Erlamicetin salep mata
6. O2 headbox 10 L/mnt

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 7 Februari 2016, jam 00:59:09 WIB.
Pemeriksaan Hasil Satuan N
Parameters
WBC 26,19 (10^3/uL) M
RBC 4,19 (10^6/uL) M
HGB 14,8 (g/dl) M
HCT 44,6 (%) M
MCV 106,4 (fl) 79
MCH 35,3 (pg) 27
MCHC 33,2 (g/dl) 33
PLT 287 (10^3/uL) 15
RDW-CV 16,1 + (%) 11
RDW-SD 61,9 + (fl) 35
PDW 8,7 - (fl) 9,
MPV 8,6 – (fl) 7,
P-LCR 14,2 (%) 15
DIFFERENTIAL
NEUT# 10,54 (10^3/uL) 1,
LYMPH# 13,64 (10^3/uL) 0,
MONO# 1,73 (10^3/uL) 0,
EO# 0,19 (10^3/uL) 0,
BASO# 0,09 (10^3/uL) 0-
NEUT% 40,3 (%) 50
LYMPH% 52,1 (%) 25
MONO% 6,6 (%) 2-
EO% 0,7 (%) 2-
BASO% 0,3 (%) 0-

 Pemeriksaan kimia darah pada tanggal 7 Februari 2013


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
GDS 188 Mgr% 70-120
I. ANALISA DATA

tgl/jam DATA ETIOLOGI PROBL


7/2/2013 DS : - Penumpukan sekret Bersihan
Jam 07.40 DO:
- Terlihat sianosis
- Ada bunyi ronkhi pada auskultasi paru
- RR : 55x/mnt
7/2/2013 DS : - Terpajan lingkungan dingin hipoterm
Jam 07.40 DO :
- S : 35,5OC
- Terlihat pucat, agak sianosis
- Akral teraba dingin
7/2/2013 DS : - Prosedur invasif Resiko i
Jam 07.40 DO:
- WBC : 26.19 10^3/uL
- tampak bekas luka di kaput ektrasi
- tali pusat masih basah
- terpasang infus umbilikal

J. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret
2. Hipotermi b.d terpajan lingkungan dingin
3. Resiko infeksi b.d prosedur invasif
K. RENCANA KEPERAWATAN
Tgl/jam No.DP Tujuan dan KH ( NOC) Intervensi ( NIC ) TTD
7/2/2013 1 Setelah di lakukan- Cek dan observasi
Jam tindakan keperawatan KU dan TTV
07.45 selama 1x15 menit di- Atur posisi untuk
harapkan bersihan jalan memaksimalkan
nafas efektif dengan KH : ventilasi
- Tidak ada secret - Lakukan pengisapan
- Tidak sianosis menggunakan suction
- Tidak ada bunyi- Beri oksigen sesuai
tambahan program
- RR dapat dipertahankan
30 – 60 x/mnt
- Dapat menangis keras
- Tak tampak retraksi
dinding dada
7/2/2013 2 Setelah di lakukan- Cek dan observasi
Jam tindakan keperawatan KU dan TTV
07.45 selama 3x24 jam di- Selimuti bayi dan
harapkan hipotermi gunakan tutup kepala
teratasi dengan KH : - Gunakan pakaian
- Suhu tubuh bayi normal hangat dan kering
36-37OC - Tempatkan bayi
- Akral hangat dalam incubator
- Tidak sianosis - Pelihara suhu
- Tidak pucat lingkungan stabil
- cek dan pantau suhu
7/2/2013 3 Setelah di lakukan- Cek dan observasi
Jam tindakan keperawatan KU dan TTV
07.45 selama 3x24 jam di- Pantau tanda dan
harapkan resiko infeksi gejala infeksi
tidak terjadi dengan KH : - Cuci tangan sesudah
- Tidak di temukan tanda- dan sebelum
tanda infeksi melakukan tindakan
- Suhu tubuh normal - Gunakan teknik
- Leukosit turun atau aseptic dan antiseptic
normal(4,8-10,8) - Kolaborasi
pemberian antibiotik
- Pantau hasil
lab(WBC)
L. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tgl/jam No.DX Implementasi Respon
7/2/2016
08.00 1,2,3 - Mengobservasi KU dan mengecek TTV - KU lema
RR:47x/m.
- Melakukan suction - Lendir di
1 suara tamba
- Terapi head
- Melanjutkankan terapi headbox - Bayi dibed
08.30 1 - Mengganti popok, membedong dengan kain yang lampu untu
kering, menutupi kepala dengan kain kering, tetap inkubatotor
2 menempatkan bayi didalam inkubator dan
memberikan lampu penghangat untuk kehangatan
bayi
- Memelihara suhu ruangan dan lingkugan tetap
stabil
- Memantau tanda dan gejala infeksi - Suhu ruang
- Memberikan terapi injeksi amicillin 140mg
- Tidak ada t
dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah
- Injeksi amp
melakukan tindakan menangis sa
- Memberikan imunisasi Hbo diawali dengan cuci
09.00 2 tangan dan diakhiri dengan cuci tangan - Imunisasi H

3 - Mengukur TTV

3 - Mengukur dan memantau KU


- Mengukur TTV - N : 128 x/m
- KU: lemah
- Mengganti popok dan bedong
- S : 36,20C,
10.00 3 - Mengobservasi KU bayi - Bayi dibed
yang digant
- Mengganti popok dan bedong - KU : lemah

- Memberikan terapi injeksi ampicillin 140 mg - Popok dan


11.00 2,3 kain yag ker
- Injeksi am
14.00 2,3 menangis sa
- Mengukur TTV
16.00 2,3
- Menyeka bayi dan merawat tali pusat - S : 35,50C,
2,3 - Bayi mena
tetapi masih
- Mengobservasi KU - KU : Lema
21.00 1,2,3 - Mengganti popok dan bedong - Bayi terpa
kering
2,3 - Memberikan inj. Ampicilin 140 mg - Injeksi amp
- Mengukur TTV - S: 35,80C,
- KU lemah
22.00 3 - Mengobservasi KU - Minum 5 c
- Memberikan minum pengganti asi

8/2/2016 - Mengukur TTV - S: 36,2 0C,


04.00 2,3 - 5 cc gumoh
- Memberikan minum - NGT terpsa
05.00 3 - Memasang NGT - 5cc masuk
- KU lemah
- Memberi minum - Inj. Ampici
- Mengobservasi KU - Minum 15
07.00 1,2,3 - Memberikan inj. Ampicilin 140 mg
2,3 - Memberikan minum dan mengecek residu
- Minum 5cc

10.00 3 - Memberikan minum dan mengecek residu - S : 36,40c,


- Mengukur TTV - Bayi bersih
11.00 2,3
- Menyeka bayi, dressing infus, dan merawat tali
13.30 2,3 pusat - 5c masuk l
14.30 - Memberi minum dan mengecek residu

16.00 2,3

17.30
19.00

20.30
21.00 2,3
22.00 3

23.30
9/2/2016
02.30

04.00 2,3
04.30
05.30 2

07.00 2,3 - Mengobservasi KU - KU lemah,


10.00 2,3 - Mengganti popok - BAK
10.30 2,3 - Mengukur TTV - S: 37OC, N
- KU lemah
14.00 2,3 - Mengobservasi KU - BAB dan B
15.00 2,3 - Mengganti popok - S:36,9OC, N
16.00 2,3 - Mengukur TTV - KU lemah,

21.00 2,3 - Mengobservasi KU


M. EVALUASI KEPERAWATAN
Tgl/jam No.DP SOAP TTD
7/2/2016 1,2,3 S:-
Jam 14.00 O:
- Masih agak terlihat sianosis, pucat, akral agak
teraba dingin
- KU : Lemah, bayi menangis keras
- N : 128 x/m, S : 35,8 0C, RR : 45 x/m
A: masalah bersihan jalan nafas teratasi sebagian,
hipotermi, resiko infeksi teratasi sementara ditandai
0
dengan suhu meningkat menjadi 35,8 C, masih
sianosis
P : pertahankan intervensi sampai tercapai kriteria
hasil
- Pantau KU dan TTV
- Berikan terapi injeksi dan lanjutkan terapi oksigen
sesuai program
7/2/2013 2,3 - Pantau tanda-tanda infeksi
Jam 21.00
S:-
O:
- KU : Lemah
- S : 36,2 0 c, N : 114 x/m, RR : 45 x/m.
- Tidak sianosis, pucat berkurang, akral masih hangat
- Tidak ada tanda-tanda infeksi
A : hipotermi teratasi sementara, resiko infeksi
teratasi sementara
P : pertahankan intervensi memberikan kehangatan
8/2/2016 2,3 S:-
Jam 07.00 O:
- Masih pucat, sianosis
- Akral teraba dingin, S : 35,10C, N : 86 x/m, RR : 37
x/m
- KU : Lemah

A : hipotermi, resiko infeksi teratasi sementara


P : pertahankan intervensi
- Monitor KU dan TTV
- Selimuti bayi dan gunakan tutup kepala
- Gunakan pakaian hangat dan kering
- Tempatkan bayi dalam incubator
- Pelihara suhu lingkungan/Inkubator stabil
- Cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan
tindakan

Jam 14.00 2,3 S:-


O:
- Tidak terlihat pucat, tidak sianosis, akral dingin
- S : 35,70C, N : 139 x/m, RR : 36x/m
- KU : Lemah
- Minum ditunda
- Tidak ada tanda-tanda klinis infeksi
A : hipotermi, resiko nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, resiko infeksi
P : pertahankan dan lanjutkan intervensi
- Monitor KU dan TTV
- Selimuti bayi dan gunakan tutup kepala
- Gunakan pakaian hangat dan kering
- Pelihara suhu lingkungan/Inkubator stabil
- Pantau tanda-tanda infeksi
- Cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan
tindakan

Jam 21.00 2,3 S:-


O:
- Tidak terlihat pucat, tidak sianosis, akral hangat
- Akral teraba dingin, S : 36,90C, N : 140 x/m, RR :
45x/m, terpasang NGT karena selalu gumoh jika
diberi minum
- KU : Lemah
- Tidak ada tanda-tanda klinis infeksi
A : hipotermi, resiko infeksi, resiko nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
P : pertahankan intervensi
- Monitor KU dan TTV
- Pantau tanda-tanda dan gejala infeksi
- Cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan
tindakan

9/2/2016 2,3 S :-
Jam 07.00 O:
- Tidak terlihat adanya tanda dan gejala infeksi
- Tidak tampak sianosis, akral hangat, tidak pucat
- S : 36,40c, N : 140 x/m, RR : 48 x/m
- Terpasang NGT
- Injeksi mpicillin 140mg masuk
- KU : masih lemah, bayi menangis
- Tali pusat mulai kering
A : hipotermi, resiko infeksi teratasi, resiko nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
P : pertahankan intervensi
- Monitor TTV
- Pantau tanda dan gejala infeksi
- Cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan
tindakan
- Lanjutkan terapi program injeksi

Jam 14.00 2,3 S :-


O:
- Tidak terlihat adanya tanda dan gejala infeksi
- Tidak tampak sianosis, akral hangat, tidak pucat
- S : 36,10c, N : 125 x/m, RR : 50x/m
- KU : masih lemah, bayi menangis
- Residu 2 cc
- Minum 15cc
- Tali pusat mulai kering
A : hipotermi, resiko infeksi,masalah baru : resiko
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi
P : pertahankan intervensi
- Monitor TTV dan KU
- Pantau tanda dan gejala infeksi
- Cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan
tindakan
- Lanjutkan terapi program injeksi
- Pantau minum dan residunya
- Jaga kehangatan

Jam 21.00 1,2,3 S :-


O:
- Tidak terlihat adanya tanda dan gejala infeksi
- Tidak tampak sianosis, akral hangat, tidak pucat
- S : 36,70c, N : 136 x/m, RR : 42x/m
- KU : masih lemah
- Terpasang NGT
- Residu 0,4 cc
- Minum 30 cc
- Tali pusat kering
A : hipotermi, resiko nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh belum teratasi, resiko infeksi teratasi
P : pertahankan intervensi
- Monitor TTV dan KU
- Pantau tanda dan gejala infeksi
- Cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan
tindakan
- Lanjutkan terapi program injeksi
- Pantau minum dan residunya
- Jaga kehangatan
PENUTUP

A. Kesimpulan
Asfiksia neonatorum merupakan kasus yang banyak dijumpai dilapangan yang
disebabkan karena keadaan ibu, keadaan tali pusat, serta keadaaan bayi pada
pertolongan persalinan. Sebagai bidan tentunya harus memiliki kemampuan atau
berkompeten untuk melakukan resusitasi pada bayi baru lahir saat terjadi kasus
asfiksia. Karena tindakan yang cepat dan tepat dalam penanganan kasus asfiksia
sangat berpengaruh terhadap penurunan Angka Kematian Bayi (AKB). Selain itu
konseling dan pemberian inform consent sangat penting dilakukan dalam penanganan
kasus asfiksia ini.

B. Saran
Hendaknya dalam asuhan kebidanan dikumpulkan data yang lengkap dan
valid, agar kita sebagai tenaga kesehatan memberikan asuhan yang optimal baik pada
intervensi maupun implementasi terlebih dalam menentukan atau mengidentifkasi
atau diagnosa dan masalah sehingga kita dapat memahami dan melakukan kebutuhan
segera melakukan penanganan yang sesuai atau kompeten.
DAFTAR PUSTAKA

Berhman, Kliegman & Arvin.( 1996 ). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Alih Bahasa : A. Samik
Wahab. Jilid 1. Jakarta : EGC
http://www.authorstream.com/Presentation/zhukma-195191-asfiksia-tugas-keperawatan-anak-
ii-asfiksi-education-ppt-powerpoint/
http://www.scribd.com/doc/31144164/ASKEP-ASFIKSIA NEONATORUM
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid II. Jakarta : Media
Aesculapius.
Manuaba, I. B. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta :
EGC
World Health Organization Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009).
Pelayaan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit & Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. World Health Organization: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai