Anda di halaman 1dari 31

STATUS UJIAN BEDAH PLASTIK

SEORANG PEREMPUAN USIA 41 TAHUN DENGAN CEDERA OTAK


RINGAN GCS E4V5M6, OEDEM CEREBRI, TRAUMA TUMPUL OCULI
DEXTRA, DENGAN FRAKTUR OS NASAL, RIMA ORBITA INFERIOR
BILATERAL, RIMA ORBITA SUPERIOR DEXTRA, RIMA ORBITA
LATERAL SINISTRA, DAN FRAKTUR CORPUS MANDIBULA DEXTRA

DISUSUN OLEH :
FAUZIAH NUR SABRINA G 99181030
Periode : 4 – 10 November 2019

PEMBIMBING :
dr. AMRU SUNGKAR, Sp.B., Sp.BP-RE(K).

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU BEDAH PLASTIK DAN REKONSTRUKSI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2019

0
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Bedah Plastik dan Rekonstruksi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Perempuan Usia 41 Tahun dengan Cedera Otak Ringan GCS


E4V5M6, Oedem Cerebri, Trauma Tumpul Oculi Dextra, dengan Fraktur Os
Nasal, Rima Orbita Inferior Bilateral, Rima Orbita Superior Dextra, Rima
Orbita Lateral Sinistra, dan Fraktur Corpus Mandibula Dextra

Hari, tanggal : Jumat, 8 November 2019

Disusun Oleh:
Fauziah Nur Sabrina G 99181030

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP-RE(K).


NIP. 19570328 198410 1 001

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam

Alamat : Sidomukti, Magetan, Jawa Timur


Tanggal masuk : 3 November 2019
Tanggal pemeriksaan : 7 November 2019
No. RM : 01482xxx

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Sekitar 22 jam SMRS, saat pasien sedang mengendarai sepeda motor
dengan menggunakan helm standar, tiba-tiba motor yang dikendarai
pasien ditabrak oleh motor lain dari arah berlawanan. Pasien terjatuh
dengan posisi tidak diketahui. Pasien langsung tidak sadarkan diri dan
dibawa warga setempat ke RSUD di Magetan. Setelah kejadian pasien
mengalami nyeri pada bagian kepala. Pingsan (+), mual (+), muntah (-)
dan kejang (-). Karena keterbatasan sarana pasien langsung dirujuk ke
Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.

2
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes melitus : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Mondok : (+) Pemasangan IUD
Riwayat Trauma : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien berusia 41 tahun yang merupakan pedagang. Pasien merupakan
pasien BPJS dengan bantuan fasilitas berobat menggunakan Jasa
Raharja.

F. Riwayat Kebiasaan
Nutrisi : Makan 2-3 kali/hari porsi sedang
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Primary Survey
1. Airway : Bebas
2. Breathing
Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri, RR: 20 x/menit
Palpasi : Krepitasi -/-
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (normal/normal), Suara tambahan (-/-)

3
3. Circulation : Tekanan darah=110/70 mmHg, Nadi = 88x / menit
4. Disability : GCS E4V5M6, refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), lateralisasi (-)
5. Exposure : Suhu 36,8 oC
B. Secondary Survey
Keadaan Umum
1.Keadaan umum : Tampak sakit berat
2.Derajat kesadaran : Composmentis
Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-)
2. Mata : hematom periorbita (+/-), mata kemerahan (+/+), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva
pucat (-/-), visus (N/N), gerak bola mata (N/N)
3. Telinga : normotia, sekret (-/-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tragus
(-)
4. Hidung : sekret (-/-), bloody rhinorrhea (-/-), deviasi (-)
5. Mulut : maloklusi (+), gusi berdarah (+), lidah kotor (-), jejas (-),
gigi goyang (-), gigi tanggal (-) (Cek status lokalis)
6. Leher : jejas (-), krepitasi (-), pembesaran limfonodi (-),
pembesaran tiroid (-), nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat
7. Thorak : normochest, flail chest (-), retraksi dinding dada (-)
8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising(-)

9. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
10. Abdomen
Inspeksi : dinding toraks = dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani

4
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), defance muscular (-)
11. Ekstremitas :
akral dingin oedem
- - - -
- - - -

IV. STATUS LOKALIS


A. Regio Midfacial
1. Inspeksi
Tampak Oedema (+/+), depresi mallar (+/+)
2. Palpasi
Hipoesthesi (+/+)
B. Regio Intraoral
1. Inspeksi
Maloklusi (+) open bite, deformitas step off (-), gigi tanggal (-)
2. Palpasi
Gigi goyang (-), unstable maxilla (-)
C. Regio Mandibula
1. Inspeksi
Oedem (+)
2. Palpasi
Hipoesthesi sulit dievaluasi

5
V. KLINIS

VI. ASSEESSMENT I
1. Cedera otak ringan, GCS E4V5M6
2. Suspek oedema cerebri
3. Suspek closed fracture maksila D/S
4. Suspek closed fracture mandibula
VII. PLAN I
Diagnosis
1. Cek darah lengkap
2. Foto rontgen thorax, cervical, kepala
3. MSCT Brain + 3D
Terapi
1. Head up 30o
2. Oksigenasi 3 lpm NK
3. Infus NaCl 0,9 % 20 tpm
4. Inj Metamizole 1 gr/ 8 jam
Monitoring
1. Keadaan umum dan vital sign
Edukasi
1. Rencana tatalaksana selanjutnya

6
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi (Thorak PA) 4/11/2019

Kesimpulan :
1. Fraktur komplit pada costae 3, 4, 5, 6, 7 anterior kiri
2. Cor dan pulmo tak tampak kelainan

MSCT Brain tanpa Kontras (3/11/2019) di RSUD Sragen


Kesimpulan:
1. Oedem cerebri
2. Hematosinus di sinus frontalis kanan, sinus maksilaris kanan, dan
ethmoidalis kanan kiri, sphenoidalis kanan kiri
3. Bloody rinore kanan
4. Fraktur kominutif rima lateral os orbita kanan, os zygoma kanan, rima
anterior-media-lateral, sinus maksilaris kanan kiri, sinus ethmoidalis
kanan kiri septum nasi, rima inferior orbita kanan kiri, os maksila kanan,
os mandibula kiri
5. Soft tissue swelling regio facialis kanan

7
Waters (4/11/2019)

Kesimpulan:
1. Suspek hematosinus ethmoidalis dan maksilaris bilateral
2. Fraktur pada os nasal, fraktur rima orbita inferior bilateral, rima orbita
lateral kiri, dinding anterior et lateral sinus maksilaris kiri, dinding
anterior sinus maksilaris kanan, septum
3. Fraktur pada corpus mandibula kanan, fraktur angulus mandibula kiri

Cervikal (4/11/2019)

Kesimpulan:
1. Spondyloarthrosis cervicalis
2. Paracervical muscle spasme

8
IX. ASSESMENT II
1. Cedera Otak Ringan GCS E4V5M6
2. Fraktur Os Nasal
3. Fraktur Rima Orbita Inferior Bilateral, Rima Orbita Superior (D), Rima
Orbita Lateral (S)
4. Fraktur Corpus Mandibula (D)

X. PLANNING II
1. Oksigen 3 lpm
2. Head up 30o
3. Infus NaCl 0,9% 1500 cc/24jam
4. Injeksi Metamizole 1g/8jam
5. Bedah saraf konservatif
6. Bedah plastik Pro ORIF elektif dan oral hygiene
7. Konsul TS Mata

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Fraktur tulang wajah adalah diskontinuitas struktur tulang wajah. Tulang


wajah terdiri dari tiga bagian yaitu diatas alis (upper third), di atas mulut (middle
third) dan di mandibula (lower third). Yang termasuk tulang wajah adalah os
frontal, os nasal, os zygoma, os maksila dan os mandibula. Sedangkan yang
terletak lebih dalam adalah os sfenoid, os etmoid, os lakrimal, os vomer dan os
temporal sebagai penyokong tulang wajah. Fraktur pada wajah dapat terjadi jika
kekuatan jejas melebihi batas tertentu.

Os nasal : 30g
Os zygoma : 50g
Os mandibular : 70-100g
Os frontalis : 80g
Os maksilaris : 100g
Os supraorbital : 200g
Tulang wajah terdiri dari tiga bagian yaitu diatas alis (upper third), di atas
mulut (middle third) dan di mandibula (lower third).(3) Yang termasuk tulang
wajah adalah os frontal, os nasal, os zygoma, os maksila dan os mandibula.
Sedangkan yang terletak lebih dalam adalah os sfenoid, os etmoid, os lakrimal, os
vomer dan os temporal sebagai penyokong tulang wajah.
Bagian depan dari tulang tengkorak adalah tulang wajah. Terdiri dari os
frontal yaitu bagian superior dari os orbita. Bagian medial dari superior os orbita
terdapat arcus supersiliar dan bagian superior os orbita terdapat supraorbital notch
(foramen) sedangkan di bagian tengah terdapat glabella. Di bagian lateral dari os
orbita terdapat prosesus zigomatik.
Selain itu tulang wajah terdiri dari tulang zigomatik dan tulang hidung.
Tulang zigomatik atau tulang pipi terdapat di bagian bawah tepi dari tulang orbita.
Bagian medial dari tulang orbita terdapat tulang hidung kanan dan kiri.

10
Os maksila juga merupakan bagian dari tulang wajah. Letaknya berada di
antara bawah os orbita dan atas dari gigi atas. Os maksila memanjang sampai ke
prosesus zigomatik kanan dan kiri dan ramus maksila. Selanjutnya adalah os
mandibula. Os mandibula atau rahang bawah terletak bagian paling inferior dari
os fasial. Bagian os mandibula adalah angle of madibula, body of mandibula dan
ramus mandibula.(6)

Fraktur zygomaticomaxillary complex (ZMC) memegang peranan penting


dalam struktur, fungsi, dan keindahan penampilan pada rangka wajah. ZMC
membentuk kontur pipi normal dan memisahkan isi rongga orbita dari fossa
temporal dan sinus maxilaris, juga mempunyai peranan dalam penglihatan dan
pengunyahan. Zygomatic arch adalah tempat insersio otot masseter serta
melindungi otot temporalis dan processus coronoid (Ascani G, 2014, Satish M.
2014).

Gambar 1.-Anatomy of the zygoma. 1-5, Temporal, frontal, maxillary, orbital,


and infraorbital processes of zygoma; 6. frontal bone; 7, maxillary bone; 8,
temporal bone; 9, greater wing of sphenoid bone; 10, zygomatic process of
temporal bone; 11, zygomatic temporal suture; 12, zygomatic process of maxilla;
13, zygomatic maxillary suture; 14, orbital surface of maxilla; 15, infraorbital
foramen (Fujioka et al. 2013, Satish M. 2014).

11
ZMC terdiri dari 4 struktur pendukung (buttress), yaitu :
1. Zygomaticomaxillary buttress
2. Frontozygomatic buttress
3. Infraorbital buttress
4. Zygomatic arch buttress (Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
ZMC mempunyai 4 perlekatan pada tengkorak, yaitu :
1. Sutura zygomaticofrontal (perlekatan daerah superior pada os frontale)
2. Sutura zygomaticomaxillary (perlekatan daerah medial pada maksila)
3. Sutura Zygomaticotemporal (perlekatan daerah lateral pada os temporal)
4. Sutura Zygomaticosphenoidal (perlekatan pada sayap terbesar os
sphenoid) (Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
Fraktur ZMC juga dikenal sebagai fraktur tetrapod dan merupakan
merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur
ZMC berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol dan berstruktur
konveks. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan
perempuan dan memuncak pada usia 20-30 tahun (Ascani G, 2014).
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila,
tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya
terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri
semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik”.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta
suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura
zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita
atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat
mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.

Etiologi
Penyebab dari fraktur ZMC yang paling sering adalah akibat benturan atau
pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi
dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian, atau cidera olahraga
(Kamath RAD et al. 2012).
Epidemiologi

12
Di Indonesia kejadian fraktur tulang wajah meningkat dengan
meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Pada cedera yang berat hampir 50% terjadi
fraktur tulang wajah, terutama terjadi pada kecelakaan motor di negara
berkembang. Kejadian fraktur tulang wajah banyak terjadi pada laki-laki dengan
perbandingan 3 : 1. Fraktur tulang wajah juga sering terjadi pada anak-anak akibat
child abuse. Kejadian fraktur tulang wajah meningkat seiring dengan
meningkatkan usia yaitu di atas 64 tahun.

Insiden kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebesar 52,2%. Fraktur yang


tersering adalah fraktur maksila dengan angka kejadian sebesar 81,73%. Selain os
maksila, os nasal dan os mandibula juga merupakan fraktur tersering. Didapatkan
75% fraktur tersering yaitu pada fraktur os mandibula, os zygoma dan os nasal.

Pada anak-anak biasanya pada sekitar umur 12,5 tahun pada anak laki-laki
sering didapatkan fraktur os facial. Sedangkan untuk dewasa biasanya pada laki-
laki sekitar umur 32 tahun.

Patofisiologi
Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas
nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura
zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding
medial orbita tetap utuh (Yamamoto K et al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).

13
Gambar 2.-A. Impingement of temporalprocess of zygoma on coronoid process
of mandible as result of depressed zygomatic complex fracture. B and C.
Downward displacement of frontal process of zygoma and its attached lateral
palpebral ligament with separation of zygomaticofrontal suture. Lateral canthus of
eyelid and eyeball are depressed. On upward gaze. involved eyeball remains fixed
due to incarceration of inferior rectus and inferior oblique muscles between bony
fracture fragments of orbital floor. D, Fractures of infraorbital process, floor of
orbit, and lateral maxillary sinus involving infraorbital canal, infraorbital foramen,
and nerve (Yamamoto K et al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).

Diagnosis
Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi
kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda
klinis. Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya
penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat
mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif
terhadap adanya fraktur zigoma (Miscusi et al. 2013).
Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral
sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma
komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering
mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior (Miscusi et al.
2013).
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan
dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita
dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,
abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala
yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya (Pau
CY et al. 2010).

14
Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan
prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang
normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus.
Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada
tepi orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk
dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang
oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat
melakukan pemeriksaan ini (Pau CY et al. 2010).
Gejala klinis yang paling sering ditemui adalah:
 Keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada
kelopak mata
 Perdarahan subkonjungtiva
 Proptosis (eksophtalmus)
 Mungkin terjadi diplopia (penglihatan ganda), karena fraktur lantai dasar
orbita dengan penggeseran bola mata dan luka atau terjepitnya otot
ekstraokuler inferior
 Mati rasa pada kulit yang diinervasi oleh n.infraorbitalis (Loxha MP et al.
2013, Yamamoto K et al. 2013).

Gambar 3. Pergeseran bola mata ke arah postero inferior (tanda panah) yang
terjadi setelah fraktur ZMC yang melibatkan rima orbitalis dan dasar orbita
(enophtalmos)
Pemeriksaan radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus
maksilaris yang terkena. Pengamatan yang lebih cermat pada dinding lateral

15
antrum pada regio pendukung (buttres) (basis os zygomaticum) sering
menunjukkan diskontinuitas atau step. Pergeseran yang umumnya terjadi adalah
inferomedial yang mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke dalam sinus
maksilaris dan mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar (Bali R. et al,
2013, Loxha MP et al. 2013, Regan et al. 2014).

Gambar 4.(kiri) pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur ZMC adalah ke arah
inferomedial. (kanan) sesudah dilakukan reduksi, elemen fraktur distabilisasi
dengan kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis (Joe T, KimJ. 2014, Ungari
et al. 2012 ).

Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan


diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan. CT scan
pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien
dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat
pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat
memperlihatkan keadaan pilar dari midfasial: pilar nasomaxillary,
zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan
zygomaticotemporal. Penilaian radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat
menggunakan foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters
dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto
caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus.
Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus (Bali R. et al. 2013, Ungari
et al. 2012). Berikut adalah klasifikasi fraktur os Facial

16
Fraktur Maksila
Fraktur maksila adalah terlepasnya maksila dari dasar tengkorak sehingga
maksila menjadi mobile dan dapat mengakibatkan maloklusi maupun diplopia.

Tulang maksilofasial terdiri atas os maksila, zigomatikus dan etmoid.


Fraktur tulang wajah di bagi menjadi LeFort I, LeFort II dan LeFort III.

Gambar 5. Fraktur Le Fort

Le Fort I : fraktur transversal yang melalui lantai rongga sinus maksila


diatas gigi, sehingga memisahkan prosesus alveolaris, palatum dan prosesus
pterygoid dari struktur tengkorak wajah diatasnya. Tanda dan gejala dari Le Fort I
adalah dapat ditemukan oedem wajah dan pergerakan dari hard plate, alveolus
maksila dan gigi.

Le Fort II : membentuk patahan fraktur berbentuk piramida. Garis fraktur


berjalan diagonal dari lempeng pterigoid melewati maksila menuju tepi inferior
orbita dan keatas melewati sisi medial orbita hingga mencapai hidung, sehingga
memisahkan alveolus maksila, dinding medial orbita dan hidung sebagai bagian
tersendiri. Tanda dan gejala Le Fort II adalah dapat ditemukan oedem wajah,

17
telekantus, perdarahan subkonjungtiva, pergerakan maksila pada sutura
nasofrontal, epitaksis dan rinore cairan serebrospinal.

Le Fort III : fraktur yang melewati sutura zigomatikofrontalis, berlanjut ke


dasar orbita hingga sutura nasofrontalis. Tanda dan gejala Le Fort III adalah
oedem massif wajah dengan wajah yang elongasi atau mendatar, epitaksis,
ataupun rinore cairan serebrospinal. Dapat teraba gerakan seluruh tulang wajah
dengan kaitannya dengan basis kranii, atau yang dikenal dengan maksila goyang.

Fraktur maksila umumnya bilateral. Biasanya tampak bengkak, hematom


pada mata, epitaksis dan gangguan kesadaran. Penggolongan LeFort berguna
untuk tatalaksana, sedangkan pada fraktur tulang wajah yang berat perlu
ditatalaksana secara bedah karena menyangkut dengan sekuele estetis dan
fungsional. Oklusi normal dapat di perbaiki dengan menggunakan kawat
intradental dan maxillomandibular fixation (MMF).

Fraktur Frontal
Fraktur os frontal biasanya diakibatkan oleh trauma dengan energi yang
besar pada dahi. Tanda dan gejala fraktur frontal adalah adanya laserasi, kontusio,
nyeri fasial atau hematoma di dahi. Selain itu dapat ditemukan krepitasi
supraorbita rims, emfisema subkutan atau paresthesia supraorbital dan saraf
supratroklear. Dapat pula disertai rinore cairan serebrospinal yang menunjukkan
adanya kerusakan sinus frontalis.

Fraktur Dasar Orbita


Fraktur dasar orbita biasanya disebut blow out fracture yang melibatkan
dinding medial dan dasar orbita. Biasanya disebabkan jika ada tekanan yang
menekan bola mata atau orbita rim yang mengakibatkan kerusakan pada bagian
terlemah yaitu dinding medial dan dasar. Tanda dan gejalanya adalah hematoma
atau edema periorbital, ekimosis, perdarahan subkonjungtiva, enoftalmus,
perubahan ketajaman visus, diplopia. Kerusakan nervus infraorbitalis dapat
menimbulkan paresthesia atau anestesi dari lateral hidung, bibir atas dan gingiva
maksila. Pemeriksaan yang dilakukan adalah lapang pandang bila dicurigai

18
adanya kerusakan nervus optikus. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan
gerak bola mata dan reflex pupil langsung dan tidak langsung.

Fraktur Zigoma
Os zigoma terdiri dari zigomatikofrontal, zigomatikotemporal,
zigomatikomaksila dan zigomatikoorbita. Fraktur yang melibatkan
zigomatikoorbita dan zigomatikomaksila dapat menyebabkan maloklusi dan
diplopia. Gangguan estetik disebabkan oleh fraktur zigoma adalah depresi malar
eminence atau tulang pipi yang rata yang dapat menyebabkan wajah asimetri.
Tanda dan gejala pada fraktur arkus zigoma adalah nyeri sedangkan pada fraktur
zigomatikoorbita dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva dan defek pada
palpasi di sepanjang orbita lateral atau infroorbita rim. Selain itu dapat muncul
diplopia, trismus, ekimosis intraoral dan luka pada gusi. Jika terkena nervus
infraorbital dapat menyebabkan parestesia. Pemeriksaan yang di perlukan adalah
CT Scan.(7)

Gambar 6. Fraktur Os Zigoma

Fraktur Nasal

19
Fraktur os nasal merupakan fraktur yang sering terjadi. Os nasal dapat
bergeser ke lateral atau posterior dan dapat melibatkan kartilago septum dan os
nasal. Biasanya pasien datang dengan riwayat trauma pada hidung. Tanda dan
gejalanya adalah edema, epitaksis, nyeri, deviasi, krepitasi, dan terdapat fraktur.
Pada inspeksi biasanya terlihat hematoma septum.(7)

Gambar 7. Fraktur Os Nasal

Fraktur Mandibula
Paling sering ditemukan pada korpus, angulus dan kondilus atau ramus
dan simfisis mandibular. Tanda dan gejalanya adalah nyeri saat menggerakan
rahang bawah, maloklusi gigi dan kesulitan membuka mulut atau menggigit ke
arah bawah. Maloklusi adalah keadaan dimana tidak bertemunya molar 1 atas dan
bawah, kiri dan kanan pada posisi yang baik. Pada palpasi dirasakan adanya
krepitasi dan mobilitas sepanjang simfisis, sudut atau korpus. Selain itu terdapat
edema intraoral, ekimosis dan perdarahan gusi. Jika nervus alveolaris tertekan
maka dapat mengakibatkan paresthesia, anesthesia dari setengah bibir bawah,
dagu, gigi dan gusi.

20
Gambar 8. Fraktur Os Mandibula

Sementara itu, klasifikasi fraktur ZMC dibagi sebagai berikut:


Fraktur stable after elevation:
(a) hanya arkus (pergeseran ke medial),
(b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral (Ramanathan
M dan Cherian MP. 2010).

Fraktur unstable after elevation:


(a) hanya arkus (pergeseran ke medial);
(b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral;
(c) dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral;
(d) comminuted fracture (Cheon et al. 2013).
Klasifikasi fraktur ZMC terbagi menjadi :
1. Type A
a. Relatif jarang terjadi
b. Luka terbatas pada 1 komponen dari struktur tetrapod, yaitu
i. zygomatic arch (type A1)
ii. dinding lateral orbital (type A2)
iii. tepi inferior orbital (type A3)
2. Type B
a. Mencakup seluruh 4 penopang ZMC (fraktur tetrapod klasik)
b. Terjadi sekitar 62% dari fraktur ZMC
3. Type C
a. Type C adalah fraktur komplek dengan patahnya os zygomatic itu
sendiri.
b. Biasanya fraktur terjadi pada zygomaticomaxillary dan
zygomaticotemporal (Cheon et al. 2013, Regan et al. 2014)

Penatalaksanaan fraktur ZMC

21
Fraktur ZMC biasanya memerlukan pengungkitan dan pergeseran lateral
pada waktu reduksi. Fraktur dengan pergeseran minimal dan sedang yang tidak
mengakibatkan gangguan penglihatan bisa direduksi secara pengangkatan, disertai
insersi pengait tulang atau trakeal melalui kulit (Akadiri OA, 2012, Ramanathan
M dan Cherian MP. 2010).
Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur lain bisa dipilih
misalnya metode Gilles (jalan masuk melalui kulit dengan melakukan diseksi
mengikuti fascia temporalis profundus ke aspek medial corpus zygomaticus dan
arcus zygomaticus), melalui insisi pada regio sutura zygomaticofrontalis dan
peroral, baik di sebelah lateral tuberositas atau melalui antrum (Akadiri OA,
2012).

Gambar 9. Gillies approach to reduction of a zygomatic arch fracture

Reduksi yang memuaskan bisa disapatkan dengan cara apa saja, dan faktor
kritis adalah pengangkatan corpus zygomaticus yang mengalami pergeseran, harus
memadai dan dipertahankan. Mengisi antrum dengan menggunakan kasa yang
mengandung obat melalui jendela nasoantral, merupakan teknik yang umum
digunakan (Gandi et al. 2012, Subramanian et al. 2010).
Reduksi yang lebih akurat dengan stabilisasi segmen yang diangkat
dengan pengawatan sutural langsung atau penempatan pelat adaptasi
(zygomaticofrontal) kadang lebih disukai. Walaupun pelat memberikan fiksasi
yang bersifat kaku, jaringan lunak tipis yang menutupinya memungkinkan pelat
menjadi menonjol dan teraba sehingga nantinya harus dikeluarkan (Gandi et al.
2012).

22
Fraktur ZMC tertentu direduksi dengan insersi pengait (hook) tulang di
bawah corpus zygomaticus secara perkutan (Lee et al. 2014).

Gambar 10. Intraoperative photograph of a titanium plating for rigid fixation of a


zygomatic-maxillary buttress fracture in a complex maxillary fracture
(Andrades P et al, 2010, Baek JE. et al, 2012).

Beberapa treatment untuk fraktur ZMC yang bisa dilakukan:


1. Gillies approach
2. Lateral eyebrow approach
3. Upper buccal sulcus approach
4. Fixation at the ZF suture only
5. Fixation at the ZM suture only
6. Fixation at the ZF and ZM sutures
7. No treatment due to financial constraints
8. Antral packing
9. Observation (Baek JE. et al, 2012, Lee et al. 2014)

Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi


pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Keputusan untuk penanganan tidak

23
perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan
yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu
sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah (Andrades P et
al. 2010).
Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang,
segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak
ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan
parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu
diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau
mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari
fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan,
perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami
pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi (Beogo R et al. 2014,
Yamamoto K. et al. 2014).

Pemeriksaan Radiologi
Diagnosa fraktur zygomatikum biasanya dibuat dengan pemeriksaan
riwayat dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan
koronal, adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur
zygomatik. Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi
medikolegal dan untuk menentukan perluasan cedera tulang.
1. Tomografi Komputasi
CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur
zygomatik.Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur,
derajat pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital.
Secara spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari
tengkorak wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris,
infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.
Pandangan koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita.
Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-

24
otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus
maksilaris.
2. Foto polos kepala
Pemindaian CT (CT scan) telah banyak dilakukan untuk pemeriksaan
penunjang utama pada fraktur zygomaticomaxillaris complex. Meskipun
demikian, sebuah pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada
banyak ruang emergensi dan rumah sakit, masih dilakukan foto polos pada semua
pasien trauma. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film untuk
menegakkan diagnosa dan merawat pasien-pasien ini menjadi penting.

a. Water’s View
Foto SPN yang digunakan untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik
adalah Water’s view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala
yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset
(cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,
memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita.
Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Water’s view yang terangkat,
sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien yang tidak
mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Water’s view terbalik
memberikan informasi yang sama (Andrew P et al. 2009).
b. Caldwell’s View
Caldwell’s view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah
pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi
(disekitar aksis horisontal) (Andrew P et al. 2009).
c. Submentovertex View
Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula ke
vertex tengkorak. Dengan submentovertex view dapat membantu dalam evaluasi
arcus zygomatik dan proyeksi malar (Andrew P et al. 2009).

Rencana Penatalaksanaan

25
Apabila pasien tidak sadar perlu penanganan segera pada airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure. Airway dipertahankan dengan
chin lift dan jaw trust, sebelum hal tersebut dilakukan pasang cervical collar
terlebih dahulu. Pastikan jalan nafas terbebas dari hambatan. Tinjau kembali
saluran nafas, jika intubasi dengan rute oral sulit dilakukan maka lakukan
cricotiroidektomi. Bila saluran nafas telah bebas lakukan penilaian untuk
breathing dilanjutkan dengan circulation jika breathing pasien spontan.
Pada circulation lakukan pemeriksaan nadi. Bila nadi tidak teraba perlu
dilakukan RJPO dengan sistem CAB. Setelah RJPO berasil dan nadi kembali
berdenyut, periksa kembali nafasnya. Bila pasien belum bernafas berikan bantuan
nafas atau bagging sesuai pola nafas pasien. Setelah survey primer selesai dan
pasien terbebas dari kegawatdaruratan maka dilakukan survey sekunder.
Secondary survey dilakukan dengan pemeriksaan head to toe. Pemeriksa
mencari kelainan pada pemeriksaan fisik mulai dari mata sampai kaki dan
memberikan penjabaran pada status lokalis trauma. Evaluasi semua fraktur yang
terdapat di maksilofasial, pada epistaksis dapat dilakukan tampon anterior. Rujuk
pasien ke bedah THT jika terdapat fraktur di daerah THT, dan bedah saraf jika
dicurigai terdapat perdarahan intracranial, subdural, maupun epidural.
Penanganan fraktur maxilla dan nassal bergantung pada tingkat pergeseran
dan resultan estetik dan defisit fungsional.Perawatan oleh karena itu merentang
dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak, disfungsi otot
ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur
multipel.

Edukasi, Penyuluhan, Dan Pencegahan Sekunder


Edukasi, penyuluhan, dan pencegahan sekunder yang dapat dilakukan
adalah dengan menyarankan agar menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
fraktur zygomaxillary complex, yaitu :
a. Menggunakan pengaman selama mengendarai kendaraan seperti helm
dan seat belt.
b. Berhati-hati dalam berkendara terutama pada malam hari dan kondisi
hujan. Hindari mengendarai kendaraan dalam kondisi mabuk.

26
Selain itu edukasi selama dirawat di RS yang dapat diberikan antara lain:
1. Pasien melakukan diet makanan secara bertahap, mulai dari diet
cair, bubur, sampai kembali mengonsumsi nasi. Pada fraktur
zygomaticomaxillaris complex, pasien akan merasakan nyeri pada
bagian rahang dan tidak dapat membuka mulut maksimal.
2. Pasien diminta untuk tetap menjaga oral hygiene dengan menyikat
gigi (apabila memungkinkan) atau setidaknya berkumur dengan
larutan pembersih mulut.
3. Penjelasan mengenai rencana operasi ataupun prosedur yang akan
dilakukan kepada pasien baik yang bersifat invasif maupun
konservatif juga perlu dilakukan. Selain itu selama perawatan
pasien juga perlu diedukasi untuk tetap menjaga kebersihan oral/
oral higiene dan untuk sementara mengonsumsi diet lunak.
4. Penatalaksanaan lanjutan seperi ORIF elekif akan dilakukan oleh
ahli bedah plastik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Ozinko, M. O. et al. (2016) ‘Epidemiology and Management of Facial Soft Tissue


Trauma in Calabar , Southern Nigeria’, (1), pp. 12–15.
‘A History of Limb Amputation J. Kirkup 181 × 261’ (2008), p. 6384. doi:
10.1002/bjs.6331.
Joe T, KimJ. 2014. An anthropometric and three dimensional computed
tomographic evaluation of two-point fixation of zygomatic complex
fractures. Arch Plast Surg 41: 493-499.

Kaukola, L., Snäll, J., Roine, R., Sintonen, H., & Thorén, H. (2017). Health-
related quality of life of patients with zygomatic fracture, 22(5), 636–642.
doi:10.4317/medoral.21914

Kim et al. 2014. Evaluation of soft tissue asymmetry using cone-beam computed
tomography after open reduction and internal fixation of
zygomaticomaxillary complex fracture. J Korean Assoc Oral Maxillofac
Surg 40:103-110.

Kreshanti, P., & Gianni, L. F. (2017). RECONSTRUCTIVE TETRAPOD


FRACTURE : SURGICAL ANATOMY REVISITED AS A GUIDE FOR 3D
REDUCTION USING CARROLL GIRARD T-BAR SCREW, (February),
82–87.

Akadiri OA. 2012. Evolution and trends in reconstructive facial surgery: an


update. J Maxillofac Oral Surg 11(4):466–472.
Baek JE. et al. 2012. Reduction of Zygomatic Fractures Using the Carroll-Girard
T-bar Screw. Archives of Plastic Surgery 39(5):556-560.

Budacu, C., Nemtoi, A., Constantin, M., Martu, M. C., & Haba, D. (n.d.).
Biomaterials used in Reduction and Fixation of Unstable Fractures of the
Zygomaticomaxillary Complex, 2–5.

Cinpolat, A., Ozkan, O., Bektas, G., & Ozkan, O. (2016). Closed reduction of
zygomatic tripod fractures using a towel clip. Journal of Plastic Surgery and
Hand Surgery, 0(0), -000. doi:10.1080/2000656X.2016.1251934

Lee et al. 2014. Optimizing the surgical management of zygomaticomaxillary


complex fractures. Seminars in Plastic Surgery 24(4): 289-296.
Loxha MP et al. 2013. Maxillofacial Fractures: Twenty Years of Study in the
Department of Maxillofacial Surgery in Kosovo. Mater Sociomed 25(3):
187-191

28
Maheedhar, A. V., Ravindran, C., & Azariah, E. D. S. (2017). Use of C-Arm to
Assess Reduction of Zygomatic Complex Fractures : A Comparative Study, i,
35–43.

Noor, M., Ishaq, Y., & Anwar, M. A. (2017). Frequency of infra-orbital nerve
injury after a Zygomaticomaxillary complex fracture and its functional
recovery after open reduction and internal fixation, 4(2), 685–689.

Beogo R et al. 2014. Wire internal fixation: an obsolete, yet valuable method for
surgical management of facial fractures. Pan African Medical Journal.

Birgfeld, C. B., Mundinger, G. S., & Gruss, J. S. (2016). Evidence-Based


Medicine: Evaluation and Treatment of Zygoma Fractures, 168–180.
doi:10.1097/PRS.0000000000002852

Parashar et al. 2014. Rigid internal fixation of zygoma fractures: a comparison of


two point and three point fixation. Indian J Plast Surg 40(1):18-24
Pau CY et al. 2010. Three-dimensional analysis of zygomatic-maxillary complex
fracture patterns. Craniomaxillofacial trauma & reconstruction 3(3): 167-
176.

Peretti, N., & Macleod, S. (2017). Zygomaticomaxillary complex fractures :


diagnosis and treatment, 1–6. doi:10.1097/MOO.0000000000000372

Ramanathan M dan Cherian MP. 2010. Isolated Bilateral Zygomatic Complex and
Arch Fracture: A Rare Case Report. Craniomaxillofacial Trauma &
Reconstruction 3(4):185-187.
Regan et al. 2014. Screw-wire osteo-traction: an adjunctive or alternative method
of anatomical reduction of multisegmentmidfacial fractures? A description
of technique and prospective study of 40 patients. Craniomaxillofac
Trauma Reconstruction 6:215-220.
Satish M. 2014. Use of Cortical Bone Screws in Maxillofacial Surgery - A
Prospective Study. Journal of International Oral Health 6(2):62-67

Si, J., Ren, R., Wang, M., Li, H., Shen, S. G. F., & Shi, J. (2017). Case Report
Three-point fixation of displaced tripod zygomaticomaxillary complex
fracture : a modified surgical technique, 10(4), 7199–7203.

Strong, E. B., & Gary, C. (2017). Management of Zy gomaticomaxil lar y C o m p


l e x Fr a c t u re s. Facial Plastic Surgery Clinics of NA, 25(4), 547–562.
doi:10.1016/j.fsc.2017.06.006

29
Thangavelu K et al. 2013. Evaluation of the lateral orbital approach in
management of zygomatic bone fractures. Journal of Natural Science,
Biology and Medicine 4(1):117-121.
Ungari et al. 2012. Etiology and incidence of zygomatic fracture: a retrospective
study related to a series of 642 patients. European Review for Medical
and Pharmacological Sciences 1559-1562.
Yamamoto K. et al. 2014. Clinical Analysis of Midfacial Fractures. Mater
Sociomed 26(1): 21-25.

30

Anda mungkin juga menyukai