DISUSUN OLEH :
FAUZIAH NUR SABRINA G 99181030
Periode : 4 – 10 November 2019
PEMBIMBING :
dr. AMRU SUNGKAR, Sp.B., Sp.BP-RE(K).
0
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Fauziah Nur Sabrina G 99181030
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. SR
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas
2
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes melitus : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Mondok : (+) Pemasangan IUD
Riwayat Trauma : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
Nutrisi : Makan 2-3 kali/hari porsi sedang
Merokok : disangkal
Minum alkohol : disangkal
3
3. Circulation : Tekanan darah=110/70 mmHg, Nadi = 88x / menit
4. Disability : GCS E4V5M6, refleks cahaya (+/+), pupil isokor
(3mm/3mm), lateralisasi (-)
5. Exposure : Suhu 36,8 oC
B. Secondary Survey
Keadaan Umum
1.Keadaan umum : Tampak sakit berat
2.Derajat kesadaran : Composmentis
Status Generalis
1. Kepala : mesocephal, rambut hitam, rambut rontok (-)
2. Mata : hematom periorbita (+/-), mata kemerahan (+/+), sklera
ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva
pucat (-/-), visus (N/N), gerak bola mata (N/N)
3. Telinga : normotia, sekret (-/-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tragus
(-)
4. Hidung : sekret (-/-), bloody rhinorrhea (-/-), deviasi (-)
5. Mulut : maloklusi (+), gusi berdarah (+), lidah kotor (-), jejas (-),
gigi goyang (-), gigi tanggal (-) (Cek status lokalis)
6. Leher : jejas (-), krepitasi (-), pembesaran limfonodi (-),
pembesaran tiroid (-), nyeri tekan (-), JVP tidak meningkat
7. Thorak : normochest, flail chest (-), retraksi dinding dada (-)
8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intenstas normal, regular, bising(-)
9. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-)
10. Abdomen
Inspeksi : dinding toraks = dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
4
Palpasi : supel, nyeri tekan (+), defance muscular (-)
11. Ekstremitas :
akral dingin oedem
- - - -
- - - -
5
V. KLINIS
VI. ASSEESSMENT I
1. Cedera otak ringan, GCS E4V5M6
2. Suspek oedema cerebri
3. Suspek closed fracture maksila D/S
4. Suspek closed fracture mandibula
VII. PLAN I
Diagnosis
1. Cek darah lengkap
2. Foto rontgen thorax, cervical, kepala
3. MSCT Brain + 3D
Terapi
1. Head up 30o
2. Oksigenasi 3 lpm NK
3. Infus NaCl 0,9 % 20 tpm
4. Inj Metamizole 1 gr/ 8 jam
Monitoring
1. Keadaan umum dan vital sign
Edukasi
1. Rencana tatalaksana selanjutnya
6
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi (Thorak PA) 4/11/2019
Kesimpulan :
1. Fraktur komplit pada costae 3, 4, 5, 6, 7 anterior kiri
2. Cor dan pulmo tak tampak kelainan
7
Waters (4/11/2019)
Kesimpulan:
1. Suspek hematosinus ethmoidalis dan maksilaris bilateral
2. Fraktur pada os nasal, fraktur rima orbita inferior bilateral, rima orbita
lateral kiri, dinding anterior et lateral sinus maksilaris kiri, dinding
anterior sinus maksilaris kanan, septum
3. Fraktur pada corpus mandibula kanan, fraktur angulus mandibula kiri
Cervikal (4/11/2019)
Kesimpulan:
1. Spondyloarthrosis cervicalis
2. Paracervical muscle spasme
8
IX. ASSESMENT II
1. Cedera Otak Ringan GCS E4V5M6
2. Fraktur Os Nasal
3. Fraktur Rima Orbita Inferior Bilateral, Rima Orbita Superior (D), Rima
Orbita Lateral (S)
4. Fraktur Corpus Mandibula (D)
X. PLANNING II
1. Oksigen 3 lpm
2. Head up 30o
3. Infus NaCl 0,9% 1500 cc/24jam
4. Injeksi Metamizole 1g/8jam
5. Bedah saraf konservatif
6. Bedah plastik Pro ORIF elektif dan oral hygiene
7. Konsul TS Mata
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Os nasal : 30g
Os zygoma : 50g
Os mandibular : 70-100g
Os frontalis : 80g
Os maksilaris : 100g
Os supraorbital : 200g
Tulang wajah terdiri dari tiga bagian yaitu diatas alis (upper third), di atas
mulut (middle third) dan di mandibula (lower third).(3) Yang termasuk tulang
wajah adalah os frontal, os nasal, os zygoma, os maksila dan os mandibula.
Sedangkan yang terletak lebih dalam adalah os sfenoid, os etmoid, os lakrimal, os
vomer dan os temporal sebagai penyokong tulang wajah.
Bagian depan dari tulang tengkorak adalah tulang wajah. Terdiri dari os
frontal yaitu bagian superior dari os orbita. Bagian medial dari superior os orbita
terdapat arcus supersiliar dan bagian superior os orbita terdapat supraorbital notch
(foramen) sedangkan di bagian tengah terdapat glabella. Di bagian lateral dari os
orbita terdapat prosesus zigomatik.
Selain itu tulang wajah terdiri dari tulang zigomatik dan tulang hidung.
Tulang zigomatik atau tulang pipi terdapat di bagian bawah tepi dari tulang orbita.
Bagian medial dari tulang orbita terdapat tulang hidung kanan dan kiri.
10
Os maksila juga merupakan bagian dari tulang wajah. Letaknya berada di
antara bawah os orbita dan atas dari gigi atas. Os maksila memanjang sampai ke
prosesus zigomatik kanan dan kiri dan ramus maksila. Selanjutnya adalah os
mandibula. Os mandibula atau rahang bawah terletak bagian paling inferior dari
os fasial. Bagian os mandibula adalah angle of madibula, body of mandibula dan
ramus mandibula.(6)
11
ZMC terdiri dari 4 struktur pendukung (buttress), yaitu :
1. Zygomaticomaxillary buttress
2. Frontozygomatic buttress
3. Infraorbital buttress
4. Zygomatic arch buttress (Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
ZMC mempunyai 4 perlekatan pada tengkorak, yaitu :
1. Sutura zygomaticofrontal (perlekatan daerah superior pada os frontale)
2. Sutura zygomaticomaxillary (perlekatan daerah medial pada maksila)
3. Sutura Zygomaticotemporal (perlekatan daerah lateral pada os temporal)
4. Sutura Zygomaticosphenoidal (perlekatan pada sayap terbesar os
sphenoid) (Parashar et al. 2014, Rana M. et al. 2012)
Fraktur ZMC juga dikenal sebagai fraktur tetrapod dan merupakan
merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur
ZMC berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol dan berstruktur
konveks. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan
perempuan dan memuncak pada usia 20-30 tahun (Ascani G, 2014).
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila,
tulang dahi serta tulang temporal, dan karena tulang – tulang tersebut biasanya
terlibat bila tulang zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri
semacam ini disebut “fraktur kompleks zigomatik”.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta
suturanya, yakni sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura
zigomatikomaksilar. Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita
atau pada tonjolan tulang pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat
mengalami fraktur tanpa terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.
Etiologi
Penyebab dari fraktur ZMC yang paling sering adalah akibat benturan atau
pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang pipi
dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian, atau cidera olahraga
(Kamath RAD et al. 2012).
Epidemiologi
12
Di Indonesia kejadian fraktur tulang wajah meningkat dengan
meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Pada cedera yang berat hampir 50% terjadi
fraktur tulang wajah, terutama terjadi pada kecelakaan motor di negara
berkembang. Kejadian fraktur tulang wajah banyak terjadi pada laki-laki dengan
perbandingan 3 : 1. Fraktur tulang wajah juga sering terjadi pada anak-anak akibat
child abuse. Kejadian fraktur tulang wajah meningkat seiring dengan
meningkatkan usia yaitu di atas 64 tahun.
Pada anak-anak biasanya pada sekitar umur 12,5 tahun pada anak laki-laki
sering didapatkan fraktur os facial. Sedangkan untuk dewasa biasanya pada laki-
laki sekitar umur 32 tahun.
Patofisiologi
Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas
nervus alveolaris inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura
zigomatikotemporal, dinding lateral zigomatikomaksila, dan sutura
zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral orbita, sedangkan dinding
medial orbita tetap utuh (Yamamoto K et al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).
13
Gambar 2.-A. Impingement of temporalprocess of zygoma on coronoid process
of mandible as result of depressed zygomatic complex fracture. B and C.
Downward displacement of frontal process of zygoma and its attached lateral
palpebral ligament with separation of zygomaticofrontal suture. Lateral canthus of
eyelid and eyeball are depressed. On upward gaze. involved eyeball remains fixed
due to incarceration of inferior rectus and inferior oblique muscles between bony
fracture fragments of orbital floor. D, Fractures of infraorbital process, floor of
orbit, and lateral maxillary sinus involving infraorbital canal, infraorbital foramen,
and nerve (Yamamoto K et al. 2013, Thangavelu K et al. 2013).
Diagnosis
Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi
kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda
klinis. Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya
penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat
mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif
terhadap adanya fraktur zigoma (Miscusi et al. 2013).
Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral
sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma
komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering
mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior (Miscusi et al.
2013).
Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan
dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita
dan aspek lateral orbita, adanya ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva,
abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala
yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya (Pau
CY et al. 2010).
14
Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan
prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang
normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus.
Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada
tepi orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk
dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang
oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat
melakukan pemeriksaan ini (Pau CY et al. 2010).
Gejala klinis yang paling sering ditemui adalah:
Keliling mata kehitaman, yakni ekhimosis dan pembengkakan pada
kelopak mata
Perdarahan subkonjungtiva
Proptosis (eksophtalmus)
Mungkin terjadi diplopia (penglihatan ganda), karena fraktur lantai dasar
orbita dengan penggeseran bola mata dan luka atau terjepitnya otot
ekstraokuler inferior
Mati rasa pada kulit yang diinervasi oleh n.infraorbitalis (Loxha MP et al.
2013, Yamamoto K et al. 2013).
Gambar 3. Pergeseran bola mata ke arah postero inferior (tanda panah) yang
terjadi setelah fraktur ZMC yang melibatkan rima orbitalis dan dasar orbita
(enophtalmos)
Pemeriksaan radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus
maksilaris yang terkena. Pengamatan yang lebih cermat pada dinding lateral
15
antrum pada regio pendukung (buttres) (basis os zygomaticum) sering
menunjukkan diskontinuitas atau step. Pergeseran yang umumnya terjadi adalah
inferomedial yang mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke dalam sinus
maksilaris dan mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar (Bali R. et al,
2013, Loxha MP et al. 2013, Regan et al. 2014).
Gambar 4.(kiri) pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur ZMC adalah ke arah
inferomedial. (kanan) sesudah dilakukan reduksi, elemen fraktur distabilisasi
dengan kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis (Joe T, KimJ. 2014, Ungari
et al. 2012 ).
16
Fraktur Maksila
Fraktur maksila adalah terlepasnya maksila dari dasar tengkorak sehingga
maksila menjadi mobile dan dapat mengakibatkan maloklusi maupun diplopia.
17
telekantus, perdarahan subkonjungtiva, pergerakan maksila pada sutura
nasofrontal, epitaksis dan rinore cairan serebrospinal.
Fraktur Frontal
Fraktur os frontal biasanya diakibatkan oleh trauma dengan energi yang
besar pada dahi. Tanda dan gejala fraktur frontal adalah adanya laserasi, kontusio,
nyeri fasial atau hematoma di dahi. Selain itu dapat ditemukan krepitasi
supraorbita rims, emfisema subkutan atau paresthesia supraorbital dan saraf
supratroklear. Dapat pula disertai rinore cairan serebrospinal yang menunjukkan
adanya kerusakan sinus frontalis.
18
adanya kerusakan nervus optikus. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan
gerak bola mata dan reflex pupil langsung dan tidak langsung.
Fraktur Zigoma
Os zigoma terdiri dari zigomatikofrontal, zigomatikotemporal,
zigomatikomaksila dan zigomatikoorbita. Fraktur yang melibatkan
zigomatikoorbita dan zigomatikomaksila dapat menyebabkan maloklusi dan
diplopia. Gangguan estetik disebabkan oleh fraktur zigoma adalah depresi malar
eminence atau tulang pipi yang rata yang dapat menyebabkan wajah asimetri.
Tanda dan gejala pada fraktur arkus zigoma adalah nyeri sedangkan pada fraktur
zigomatikoorbita dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva dan defek pada
palpasi di sepanjang orbita lateral atau infroorbita rim. Selain itu dapat muncul
diplopia, trismus, ekimosis intraoral dan luka pada gusi. Jika terkena nervus
infraorbital dapat menyebabkan parestesia. Pemeriksaan yang di perlukan adalah
CT Scan.(7)
Fraktur Nasal
19
Fraktur os nasal merupakan fraktur yang sering terjadi. Os nasal dapat
bergeser ke lateral atau posterior dan dapat melibatkan kartilago septum dan os
nasal. Biasanya pasien datang dengan riwayat trauma pada hidung. Tanda dan
gejalanya adalah edema, epitaksis, nyeri, deviasi, krepitasi, dan terdapat fraktur.
Pada inspeksi biasanya terlihat hematoma septum.(7)
Fraktur Mandibula
Paling sering ditemukan pada korpus, angulus dan kondilus atau ramus
dan simfisis mandibular. Tanda dan gejalanya adalah nyeri saat menggerakan
rahang bawah, maloklusi gigi dan kesulitan membuka mulut atau menggigit ke
arah bawah. Maloklusi adalah keadaan dimana tidak bertemunya molar 1 atas dan
bawah, kiri dan kanan pada posisi yang baik. Pada palpasi dirasakan adanya
krepitasi dan mobilitas sepanjang simfisis, sudut atau korpus. Selain itu terdapat
edema intraoral, ekimosis dan perdarahan gusi. Jika nervus alveolaris tertekan
maka dapat mengakibatkan paresthesia, anesthesia dari setengah bibir bawah,
dagu, gigi dan gusi.
20
Gambar 8. Fraktur Os Mandibula
21
Fraktur ZMC biasanya memerlukan pengungkitan dan pergeseran lateral
pada waktu reduksi. Fraktur dengan pergeseran minimal dan sedang yang tidak
mengakibatkan gangguan penglihatan bisa direduksi secara pengangkatan, disertai
insersi pengait tulang atau trakeal melalui kulit (Akadiri OA, 2012, Ramanathan
M dan Cherian MP. 2010).
Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur lain bisa dipilih
misalnya metode Gilles (jalan masuk melalui kulit dengan melakukan diseksi
mengikuti fascia temporalis profundus ke aspek medial corpus zygomaticus dan
arcus zygomaticus), melalui insisi pada regio sutura zygomaticofrontalis dan
peroral, baik di sebelah lateral tuberositas atau melalui antrum (Akadiri OA,
2012).
Reduksi yang memuaskan bisa disapatkan dengan cara apa saja, dan faktor
kritis adalah pengangkatan corpus zygomaticus yang mengalami pergeseran, harus
memadai dan dipertahankan. Mengisi antrum dengan menggunakan kasa yang
mengandung obat melalui jendela nasoantral, merupakan teknik yang umum
digunakan (Gandi et al. 2012, Subramanian et al. 2010).
Reduksi yang lebih akurat dengan stabilisasi segmen yang diangkat
dengan pengawatan sutural langsung atau penempatan pelat adaptasi
(zygomaticofrontal) kadang lebih disukai. Walaupun pelat memberikan fiksasi
yang bersifat kaku, jaringan lunak tipis yang menutupinya memungkinkan pelat
menjadi menonjol dan teraba sehingga nantinya harus dikeluarkan (Gandi et al.
2012).
22
Fraktur ZMC tertentu direduksi dengan insersi pengait (hook) tulang di
bawah corpus zygomaticus secara perkutan (Lee et al. 2014).
23
perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan
yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu
sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah (Andrades P et
al. 2010).
Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang,
segi estetika dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak
ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan
parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu
diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau
mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari
fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan,
perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami
pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi (Beogo R et al. 2014,
Yamamoto K. et al. 2014).
Pemeriksaan Radiologi
Diagnosa fraktur zygomatikum biasanya dibuat dengan pemeriksaan
riwayat dan fisik. Pemindaian CT pada tulang wajah, pada bidang aksial dan
koronal, adalah standar untuk seluruh pasien dengan dugaan (suspect) fraktur
zygomatik. Radiografi membantu untuk konfirmasi dan untuk dokumentasi
medikolegal dan untuk menentukan perluasan cedera tulang.
1. Tomografi Komputasi
CT adalah standar emas untuk evaluasi radiografi fraktur
zygomatik.Gambaran aksial dan koronal didapat untuk menentukan pola fraktur,
derajat pergeseran, dan serpihan dan untuk mengevaluasi jaringan lunak orbital.
Secara spesifik, pemindaian CT memberikan visualisasi dan dasar-dasar dari
tengkorak wajah tengah: dasar-dasar nasomaksilaris, zygomaticomaksilaris,
infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan zygomaticotemporal.
Pandangan koronal khususnya membantu dalam evaluasi fraktur dasar orbita.
Jendela jaringan lunak, pada dataran koronal, berguna untuk mengevaluasi otot-
24
otot ekstraokuler dan untuk mengevaluasi herniasi jaringan orbita kedalam sinus
maksilaris.
2. Foto polos kepala
Pemindaian CT (CT scan) telah banyak dilakukan untuk pemeriksaan
penunjang utama pada fraktur zygomaticomaxillaris complex. Meskipun
demikian, sebuah pengetahuan kerja fundamental pada teknik ini diperlukan. Pada
banyak ruang emergensi dan rumah sakit, masih dilakukan foto polos pada semua
pasien trauma. Kemampuan untuk membaca dan interpretasi film-film untuk
menegakkan diagnosa dan merawat pasien-pasien ini menjadi penting.
a. Water’s View
Foto SPN yang digunakan untuk evaluasi fraktur kompleks zygomatik
adalah Water’s view. Ia adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan kepala
yang terposisi pada sudut 27° terhadap vertikal dan dagu berada pada kaset
(cassette). Hal ini memproyeksikan piramida petrosa jauh dari sinus maksilaris,
memberikan visualisasi sinus-sinus, orbita lateral, dan lingkaran infraorbita.
Ketika hal ini dikombinasikan dengan sebuah Water’s view yang terangkat,
sebuah pandangan stereografi dari fraktur dapat terlihat. Pada pasien yang tidak
mampu mengira-ngira posisi wajah kebawah, proyeksi Water’s view terbalik
memberikan informasi yang sama (Andrew P et al. 2009).
b. Caldwell’s View
Caldwell’s view adalah sebuah proyeksi posteroanterior dengan wajah
pada sudut 15o terhadap cassette. Penelitian ini membantu dalam evaluasi rotasi
(disekitar aksis horisontal) (Andrew P et al. 2009).
c. Submentovertex View
Submentovertex (jug-handle) view diarahkan dari daerah submandibula ke
vertex tengkorak. Dengan submentovertex view dapat membantu dalam evaluasi
arcus zygomatik dan proyeksi malar (Andrew P et al. 2009).
Rencana Penatalaksanaan
25
Apabila pasien tidak sadar perlu penanganan segera pada airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure. Airway dipertahankan dengan
chin lift dan jaw trust, sebelum hal tersebut dilakukan pasang cervical collar
terlebih dahulu. Pastikan jalan nafas terbebas dari hambatan. Tinjau kembali
saluran nafas, jika intubasi dengan rute oral sulit dilakukan maka lakukan
cricotiroidektomi. Bila saluran nafas telah bebas lakukan penilaian untuk
breathing dilanjutkan dengan circulation jika breathing pasien spontan.
Pada circulation lakukan pemeriksaan nadi. Bila nadi tidak teraba perlu
dilakukan RJPO dengan sistem CAB. Setelah RJPO berasil dan nadi kembali
berdenyut, periksa kembali nafasnya. Bila pasien belum bernafas berikan bantuan
nafas atau bagging sesuai pola nafas pasien. Setelah survey primer selesai dan
pasien terbebas dari kegawatdaruratan maka dilakukan survey sekunder.
Secondary survey dilakukan dengan pemeriksaan head to toe. Pemeriksa
mencari kelainan pada pemeriksaan fisik mulai dari mata sampai kaki dan
memberikan penjabaran pada status lokalis trauma. Evaluasi semua fraktur yang
terdapat di maksilofasial, pada epistaksis dapat dilakukan tampon anterior. Rujuk
pasien ke bedah THT jika terdapat fraktur di daerah THT, dan bedah saraf jika
dicurigai terdapat perdarahan intracranial, subdural, maupun epidural.
Penanganan fraktur maxilla dan nassal bergantung pada tingkat pergeseran
dan resultan estetik dan defisit fungsional.Perawatan oleh karena itu merentang
dari observasi sederhana untuk penyembuhan bengkak, disfungsi otot
ekstraokuler, dan paresthesi untuk reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur
multipel.
26
Selain itu edukasi selama dirawat di RS yang dapat diberikan antara lain:
1. Pasien melakukan diet makanan secara bertahap, mulai dari diet
cair, bubur, sampai kembali mengonsumsi nasi. Pada fraktur
zygomaticomaxillaris complex, pasien akan merasakan nyeri pada
bagian rahang dan tidak dapat membuka mulut maksimal.
2. Pasien diminta untuk tetap menjaga oral hygiene dengan menyikat
gigi (apabila memungkinkan) atau setidaknya berkumur dengan
larutan pembersih mulut.
3. Penjelasan mengenai rencana operasi ataupun prosedur yang akan
dilakukan kepada pasien baik yang bersifat invasif maupun
konservatif juga perlu dilakukan. Selain itu selama perawatan
pasien juga perlu diedukasi untuk tetap menjaga kebersihan oral/
oral higiene dan untuk sementara mengonsumsi diet lunak.
4. Penatalaksanaan lanjutan seperi ORIF elekif akan dilakukan oleh
ahli bedah plastik.
27
DAFTAR PUSTAKA
Kaukola, L., Snäll, J., Roine, R., Sintonen, H., & Thorén, H. (2017). Health-
related quality of life of patients with zygomatic fracture, 22(5), 636–642.
doi:10.4317/medoral.21914
Kim et al. 2014. Evaluation of soft tissue asymmetry using cone-beam computed
tomography after open reduction and internal fixation of
zygomaticomaxillary complex fracture. J Korean Assoc Oral Maxillofac
Surg 40:103-110.
Budacu, C., Nemtoi, A., Constantin, M., Martu, M. C., & Haba, D. (n.d.).
Biomaterials used in Reduction and Fixation of Unstable Fractures of the
Zygomaticomaxillary Complex, 2–5.
Cinpolat, A., Ozkan, O., Bektas, G., & Ozkan, O. (2016). Closed reduction of
zygomatic tripod fractures using a towel clip. Journal of Plastic Surgery and
Hand Surgery, 0(0), -000. doi:10.1080/2000656X.2016.1251934
28
Maheedhar, A. V., Ravindran, C., & Azariah, E. D. S. (2017). Use of C-Arm to
Assess Reduction of Zygomatic Complex Fractures : A Comparative Study, i,
35–43.
Noor, M., Ishaq, Y., & Anwar, M. A. (2017). Frequency of infra-orbital nerve
injury after a Zygomaticomaxillary complex fracture and its functional
recovery after open reduction and internal fixation, 4(2), 685–689.
Beogo R et al. 2014. Wire internal fixation: an obsolete, yet valuable method for
surgical management of facial fractures. Pan African Medical Journal.
Ramanathan M dan Cherian MP. 2010. Isolated Bilateral Zygomatic Complex and
Arch Fracture: A Rare Case Report. Craniomaxillofacial Trauma &
Reconstruction 3(4):185-187.
Regan et al. 2014. Screw-wire osteo-traction: an adjunctive or alternative method
of anatomical reduction of multisegmentmidfacial fractures? A description
of technique and prospective study of 40 patients. Craniomaxillofac
Trauma Reconstruction 6:215-220.
Satish M. 2014. Use of Cortical Bone Screws in Maxillofacial Surgery - A
Prospective Study. Journal of International Oral Health 6(2):62-67
Si, J., Ren, R., Wang, M., Li, H., Shen, S. G. F., & Shi, J. (2017). Case Report
Three-point fixation of displaced tripod zygomaticomaxillary complex
fracture : a modified surgical technique, 10(4), 7199–7203.
29
Thangavelu K et al. 2013. Evaluation of the lateral orbital approach in
management of zygomatic bone fractures. Journal of Natural Science,
Biology and Medicine 4(1):117-121.
Ungari et al. 2012. Etiology and incidence of zygomatic fracture: a retrospective
study related to a series of 642 patients. European Review for Medical
and Pharmacological Sciences 1559-1562.
Yamamoto K. et al. 2014. Clinical Analysis of Midfacial Fractures. Mater
Sociomed 26(1): 21-25.
30