Anda di halaman 1dari 13

Kasus Penyalahgunaan Izin

Impor, PT Garam Terima


Uang Rp 71 Miliar dari 53
Perusahaan
Minggu, 11 Juni 2017 12:52 WIB

Dennis Destryawan
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Agung Setya

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad


Boediono diduga merugikan negara miliaran rupiah dalam dugaan tindak pidana
penyalahgunaan izin importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000
ton.
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri
menangkap Achmad di Perumahan Prima Lingkar Asri, Jatibening, Pondok
Gede, Bekasi, Jawa Barat, kemarin.
Baca: Sebelum Dirutnya Ditangkap Bareskrim, Gudang PT Garam Sudah
Duluan Disegel
Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal
Agung Setya mengatakan, dengan penyimpangan importasi tersebut, PT Garam
dipastikan menghindari pajak biaya masuk sebesar 10 persen.
"Total kerugian untuk biaya masuk itu Rp 3,5 miliar," ujar Agung di Gedung Divisi
Humas Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (11/6/2017).
Untuk perbandingan harga kedua jenis garam jelas berbeda. Harga garam
konsumsi Rp 1.200 per kilogram. Sedangkan, garam industri hanya Rp 400 per
kilogram. Ada selisih Rp 800 untuk setiap kilogram garam. PT Garam
mengimport 75.000 ton atau sekitar 75 juta kilogram. Garam diimport dari dua
perusahaan garam asal Australia dan India.
"Dari Australia Daimler Salt, dari India HK Salt," kata Agung.
Dari garam industri yang diimpor 75.000 ton, 1.000 ton dikemas dalam kemasan
400 gram dengan merek garam cap ”Segitiga G” dan dijual untuk kepentingan
konsumsi. Sisanya, 74.000 ton, dialihkan pada 53 perusahaan. Dari 53
perusahaan, PT Garam telah menerima uang puluhan miliar.
"Kita lihat bahwa PT Garam sudah menerima uang hasil penjualan Rp 71 miliar.
Nanti kita dalami lagi," kata Agung. "Tapi untuk secara resminya, kerugian
negara masih dihitung oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," katanya.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang
Ketentuan Impor Garam, importir garam industri dilarang memperdagangkan
atau memindahtangankan garam industri kepada pihak lain.
Achmad diduga melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU
Perlindungan Konsumen, Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 dan
Pasal 5 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dengan ancaman hukuman
maksimal 20 tahun.
Korupsi Haji, Suryadharma Ali Didakwa Rugikan
Keuangan Negara Rp27 Miliar
Renatha Swasty • Senin, 31 Aug 2015 19:53 WIB
korupsi haji

Terdakwa kasus korupsi haji Suryadharma Ali. (MI/Rommy Pujianto)

Metrotvnews.com, Jakarta: Mantan Menteri Agama Surydharma Ali (SDA) didakwa melakukan
korupsi secara bersama-sama dengan kader PPP Mukhlisin, mantan Wakil Ketua Umum PPP
Hasrul Azwar, staf khusus SDA Ermalena dan pengawal istri SDA, Mulayanah terkait
penyelenggaran ibadah haji dan penggunaan dana operasional menteri. Dari korupsi itu ia didakwa
merugikan keuangan negara sebesar Rp27 miliar.

"Terdakwa bersama-sama secara melawan hukum yaitu menunjuk orang tertentu yang tidak
memenuhi persyaratan menjadi Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi,
mengangkat petugas pendamping Amirul Hajj tidak sesuai ketentuan, menggunakan Dana
Operasional Menteri tidak sesuai peruntukannya, menunjuk tim penyewaan perumahan jemaah haji
Indonesia tidak sesuai ketentuan dan memanfaatkan sisa kuota haji," kata Jaksa Supardi saat
membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (31/8/2015).

Jaksa Supardi membeberkan dalam penunjukkan petugas haji tahun 2010-2013 Suryadharma
memerintahkan Dirjen PHU, Slamet Riyanto dan Anggito Abimanyu mengakomodir permintaan
anggota Panja Komisi VIII memasukkan beberapa anggota DPR menjadi petugas PPIH Arab Saudi,
hal ini supaya mereka dapat menunaikam ibadah haji gratis.

"Meski orang-orang tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam pedoman
rekrutmen PPIH," beber Jaksa Supardi.

Selanjutnya dalam penggunaan DOM tahun anggaran 2011-2014 Jaksa Supardi membeberkan tiap
bulan Pejabat Pembuat Komitmen melakukan pencairan DOM sejumlah Rp100 juta. Tapi kemudian
atas perintah mantan Ketua Umum PPP itu, Kabag TU Pimpinan Saefuddin A Syafi'i, Kasubag TU
Amir Jafar dan pengelola Teknis Rosandi diminta membayar sejumlah hal.

"Terdakwa memerintahkan Rosandi atau Saefuddin atau Amir membayarkan sebagian DOM kepada
pihak-pihak tertentu di luar tujuan diberikannya DOM untuk menunjang kegiatan," ungkap Jaksa
Supardi.

Adapun jumlah pengeluaran DOM yang dipakai secara pribadi oleh Suryadharma sejumlah
Rp1.821.698.840.

Kemudian dalam penyewaan perumahan jemaah haji Indonesia di Arab Saudi tahun 2010 dan 2012,
Suryadharma mengakomodir permintaan rekannya sesama partai Mukhlisin dan Hasrul Azwar
supaya menerima sejumlah penyewa perumahan jemaah haji Indonesia di Arab Saudi.

Padahal, rumah sewa yang diajukan oleh rekannya oleh tim penyewa perumahan setelah dilakukan
verifikasi ditolak karena tidak memenuhi syarat. Pada penyewaan tahun 2012 bahkan dikatakan
Ermalena ikut memutuskan supaya sewa rumah yang dipilih adalah yang sama yang ditunjuk oleh
Hasrul Azwar.

Terakhir, pada pemanfaatan sisa kuota nasional tahun 2010-2012 terdapat sisa kuota sejumlah
1.681 dari 221.000 kuota haji. Sisa kuota itu dibuat oleh terdakwa dijadikan sebagai sisa kuota
nasional.

"Terdakwa memutuskan penggunaan sisa kuota haji nasional, tidak mengutamakan calon jemaah
haji yang masih dalam daftar antrian, namun mengutamakan calon jemaah haji yang diusulkan oleh
anggota DPR RI, khususnya anggota Komisi VIII," beber Jaksa Supardi.

Jaksa Supardi mengatakan SDA yang merupakan Menteri Agama periode 2009-2014 memiliki tugas
dan tanggung jawab untuk melaksanakan penyelenggaraan ibadah haji dan mengelola anggaran
kementerian negara secara tertib, efektif, transparan dan bertanggung jawab.

Tapi dalam pelaksanaannya, SDA justru memperkaya sejumlah pihak yakni Cholid Abdul Latief
Sodiq Saefudin, Mukhlisin, Hasrul Azwar, Hasanudin Asmat, Nurul Iman Mustofa, dan Fuad Ibrahim
Astani.

Selanjutnya, 180 petugas PPIH, tujuh orang pendamping Amirul Hajj, 1.771 orang jemaah haji yang
diberangkatkan tidak sesuai nomor antrian, serta memperkaya penyedia akomodasi di Arab Saudi.

"Yang dapat merugikan keuangan negara Rp27.283.090.068 dan SR17.967.405," beber Jaksa
Supardi.

SDA diancam dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Terkait dakwaannya, SDA mengaku mengerti secara bahasa namun tak mengerti secara
substansial. Ia bakal mengajukan keberatan atau eksepsi.

"Saya tidak mengerti karena tidak melakukan apa yang disebutkan Jaksa. Saya akan mengajukan
eksepsi," pungkas dia.
Hadi Poernomo saat masih jadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
(Rachman/JIBI/Bisnis)

Selasa, 19 Mei 2015 07:50 WIB Sholahudin Al Ayubi/JIBI/Bisnis HukumS h a r e :


KASUS PAJAK BCA
Kerugian Negara Kasus BCA Capai
Triliunan Rupiah
Kasus pajak BCA dengan tersangka Hadi Poernomo mengajukan gugatan praperadilan.
Solopos.com, JAKARTA — Tersangka bekas Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak pada periode 2002-
2014, Hadi Poernomo telah membacakan permohonan gugatan praperadilannya di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dengan hakim tunggal praperadilan Aswandi. Sementara anggota Biro
Hukum KPK Yudi Kristiana menyebut kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai triliunan
rupiah.
Dalam permohonannya, Hadi menilai permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA)
tidak masuk dalam objek penyidikan tindak pidana korupsi.
Mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut menjelaskan bahwa keberatan pajak
yang diputuskan sebagai keputusan administratif dan belum final (on going process) adalah
kebijakan Dirjen Pajak yang tidak dapat dipidanakan, karena menurut Hadi pemutusan keberatan
pajak PT BCA tersebut melekat pada kewenangan Dirjen Pajak.
Hadi mengatakan dalam perkara pajak, pemutus keberatan pajak hanya dapat dipidanakan jika
telah terjadi tindak pidana penyuapan terhadap Dirjen Pajak.
“Pemidanaan atau pemutus keberatan pajak akan mengakibatkan pemutus keberatan pajak tidak
akan berani mengambil keputusan, sehingga dalam praktik pemutus keberatan pajak hanya dapat
dipidanakan apabila terjadi suap penyuap,” tutur Hadi saat membacakan permohonan praperadilan
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/5/2015).
Selain itu, Hadi juga menjelaskan menurut hukum keberatan pajak bukan objek penyidikan pajak
karena keberatan pajak bukan merupakan perbuatan pidana, namun upaya hukum yang bersifat
administratif dan belum final apabila masih terjadi sengketa pajak.
“Terhadap keputusan pajak atas keberatan pajak, apabila di kemudian hari dipandang salah, wajib
diperbaiki dan dibatalkan atau diterbitkan keputusan baru oleh Dirjen Pajak,” kata Hadi.
Selain itu, Hadi juga menuturkan bahwa secara hukum, perkara dugaan tindak pidana korupsi
keberatan pajak yang dilakukan PT BCA pada tahun 1999 lalu, belum terbukti merugikan keuangan
negara. Bahkan menurut Hadi, perkara tersebut juga belum dapat dibuktikan telah merugikan
perekonomian negara.
Pasalnya, keberatan pajak tersebut menurut Hadi merupakan kegiatan on going process yang dari
waktu ke waktu dapat dilakukan perbaikan oleh Dirjen Pajak, dengan menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) sesuai dengan Pasal 15 undang-undang nomor 9 tahun
1994 tentang KUP.
“Sebagaimana dimaksud oleh Pasal 15 undang-undang nomor 9 tahun 1994 tentang KUP, dapat
diperbaiki atau dibetulkan sebagaimana dimaksud Pasal 16 undang-undang nomor 9 tahun 1994
tentang KUP dan dapat dibatalkan sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1) huruf b undang-
undang nomor 9 tahun 1994 tentang KUP,” kata Hadi.
Kasus Korupsi
Menanggapi hal tersebut, anggota Biro Hukum KPK Yudi Kristiana menilai bahwa dalam kasus
dugaan tindak pidana korupsi keberatan permohonan pajak tersebut telah terjadi penyalahgunaan
kewenangan yang dilakukan Dirjen Pajak Hadi Poernomo pada saat itu.
Menurut Yudi, jika ada penyalahgunaan kewenangan yang telah mengakibatkan kerugian keuangan
negara, maka harus tunduk pada tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK untuk
menanganinya.
“Kalau konstruksi yang disampaikan pemohon kita ikuti, maka di perpajakan bahkan di perbankan
disitu ada sanksi pidananya,” tutur Yudi.

Menurut Yudi, KPK telah melakukan terobosan baru dalam menangani tindak pidana korupsi yang
ada dibalik kebijakan pajak, seperti yang dilakukan Hadi Poernomo dalam perkara dugaan tindak
pidana korupsi keberatan pajak yang dilakukan PT BCA. Yudi meyakini saat ini, tidak sedikit
perbuatan tindak pidana korupsi yan?g bersembunyi dibalik setiap kebijakan pemerintah, seperti
dalam kasus pajak Hadi Poernomo dan kebijakan-kebijakannya.

“?KPK mau mengungkap? korupsi yang bersembunyi dibalik kebijakan pajak. Penyalahgunaan
kewenangan bersembunyi di balik kebijakan pajak. Poin utamanya disitu,” kata Yudi.
Yudi membantah tidak ada kerugian negara dalam perkara pajak yang diajukan PT BCA tersebut?,
Yudi menjelaskan bahwa kerugian negara dalam kasus pajak tersebut mencapai angka triliunan di
tahun 1999 lalu. Saat ini menurut Yudi, pihak KPK masih melakukan penghitungan kerugian negara
dalam perkara tersebut dan baru ditemukan kerugian negara sebesar Rp375 miliar.

“Perhitungan sedang proses. Ada sekitar Rp375 miliar kerugian negara tapi lebih besar lagi yaitu
mencapai triliunan,” tukasnya.
Seperti diketahui tersangka mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut diduga
terlibat dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi permohonan keberatan pajak yang telah
diajukan PT Bank Central Asia (BCA) dan diduga telah membobol keuangan negara sebesar Rp375
miliar.
Hadi Poernomo sebelumnya juga telah memenuhi sidang praperadilan atas penetapan dirinya
sebagai tersangka, pekan lalu. Namun, pihak KPK menunda sidang praperadilan tersebut, lantaran
masih belum menyiapkan barang bukti dan saksi ahli yang akan digunakan pada sidang
praperadilan nanti untuk menjawab semua permohonan praperadilan yang akan dibacakan Hadi
Poernomo dalam sidang praperadilan.
Hadi Poernomo merupakan tersangka KPK dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi
permohonan keberatan pajak yang telah diajukan PT Bank Central Asia (BCA) dan tengah menjerat
Dirjen Pajak periode 2002-2014 sebagai tersangka.

Dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah menjerat mantan Ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) tersebut mulai disidik KPK setelah Hadi Poernomo diketahui telah melakukan
penyalahgunaan kewenangan. Pada waktu itu, Hadi Poernomo memerintahkan Direktur Pajak
Penghasilan (PPh) mengubah hasil kesimpulan Direktorat PPh terhadap permohonan keberatan
wajib pajak yang diajukan PT Bank BCA. Dalam perkara pajak PT Bank BCA tersebut, KPK
menduga telah timbul kerugian negara sebesar Rp375 miliar.

Penyalahgunaan
Keuangan Negara
Cukup Tinggi
Kompas.com - 01/12/2013, 08:23 WIB
Anggota BPK Ali Masykur Musa(KOMPAS.com/Yatimul Ainun)

BANDUNG, KOMPAS.com — Etika kebangsaan di Indonesia telah


mengalami kemerosotan, antara lain ditandai dengan relatif tingginya indikasi
penyalahgunaan keuangan negara tahun 2012 sekitar Rp 25,7 triliun.

”Indikasi inefisiensi pada keuangan negara cenderung meningkat, seperti


halnya tahun 2012 jumlahnya mencapai Rp 25,7 triliun. Ini karena etika
kebangsaan pada bangsa kita telah mengalami penurunan drastis dari etika
sosialnya. Selain itu, juga tidak paralel antara otonomi daerah dan semangat
melayani daerah itu sendiri,” kata anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Ali Masykur Musa, di Bandung, Sabtu (30/11).

Menurut Ali, otonomi daerah yang seharusnya menjadi sarana cepat melayani
masyarakat ternyata hanya memindahkan kue atau aset ekonomi dari pusat
ke daerah dan yang menikmati hanya kelompok atau golongan tertentu. ”Hal
itu terbukti terdapat 309 kepala daerah di tingkat kabupaten, kota, dan
pemerintah provinsi yang berurusan dengan aparat penegak hukum,” ujar Ali.

Guru Besar Pendidikan Politik Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung,


Idrus Affandi menyatakan, fenomena tingginya penyalahgunaan keuangan
negara itu menunjukkan semangat penyelenggaraan negara kian luntur.
Pelayanan publik saat ini terkesan setengah-setengah. Hal itu karena
dominasi kepentingan partai politik.

Bupati Flores Timur

Sementara itu, Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin alias Yosni diduga
terlibat pungutan liar Rp 1 juta per desa bagi 189 desa di Kabupaten Flores
Timur, Nusa Tenggara Timur. Dana hasil pungutan dimanfaatkan untuk
menyusun proposal permohonan bantuan pembangunan infrastruktur desa di
Jakarta. Bupati mengeluarkan surat pengantar pengajuan proposal tersebut.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Flores Timur Ramly
Lamanepa telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Flores
Timur.

Koordinator Lapangan Gerakan Masyarakat Anti Korupsi Flores Timur


Kanisius Soge di Larantuka, Sabtu, mengatakan, sesuai laporan Kepala
Bagian Hukum Setda Flores Timur Saiman Peten Sili, Bupati Yosni mengakui
menandatangani surat pengantar proposal bantuan. Pengakuan Yosni itu
disampaikan di hadapan penyidik saat ia diperiksa sebagai saksi pada Jumat
(1/11/2013) untuk kasus pungutan liar dengan tersangka Ramly.

”Anehnya pemberian surat pengantar oleh bupati itu dinilai kejaksaan bukan
sebagai keterlibatan dalam kasus pungutan liar. Sepertinya ada yang tidak
beres antara penyidik Kejaksaan Negeri Flores Timur dan Bupati Flores
Timur,” kata Soge.

Kepala Kejaksaan Tinggi NTT Mangihut Sinaga menyatakan, pungli itu atas
kebijakan Kepala BPMD Flores Timur, bukan atas perintah bupati. Hasil
pemeriksaan Kejaksaan Negeri Flores Timur, hanya Ramly yang terlibat.
”Kecuali ada bukti baru yang menguatkan keterlibatan bupati. Jika
masyarakat punya bukti kuat, silakan lapor,” ujar Sinaga.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Nusa Cendana, Kupang, John Tuba
Helan, meyakini pungli itu takkan dilakukan tanpa sepengetahuan bupati.
”Semua ini tergantung niat baik jaksa. Apakah betul mau memberantas
korupsi atau mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok,” ujarnya.
(SEM/KOR
Machfud Suroso
Didakwa Merugikan
Keuangan Negara Rp
464,5 Miliar
AMBARANIE NADIA KEMALA MOVANITA
Kompas.com - 18/12/2014, 18:12 WIB

Direktur PT Dutasari Citralaras Machfud Suroso ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat
(8/8/2014). Machfud menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Hambalang,
Bogor.(KOMPAS.com/ICHA RASTIKA)

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, Machfud


Suroso, didakwa melakukan korupsi dalam proyek pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menganggap Machfud
melakukan tindakan melawan hukum bersama-sama Kepala Divisi Konstruksi
I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor dengan memengaruhi Kuasa
Pengguna Anggaran dan panitia pengadaan dalam proyek tersebut.

"Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi," ujar jaksa Fitroh Rohcahyanto di Pengadilan Tipikor,
Jakarta, Kamis (18/12/2014).

Jaksa mengatakan, perbuatan Machfud telah merugikan keuangan negara


sebesar Rp 464.514.294.145,91. Dalam surat dakwaan, Machfud
menginginkan agar perusahaannya dijadikan sub-kontraktor oleh PT Adhi
Karya yang ikut serta dalam lelang proyek P3SON Hambalang. Machfud
kemudian memberikan uang sebesar Rp 3 miliar kepada Sekretaris
Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam agar PT Adhi Karya
menang tender.

Teuku, menurut dakwaan, juga menyuap Wafid sebesar Rp 2 miliar untuk


memuluskan lelang tersebut. Ternyata, bos Grup Permai Muhammad
Nazaruddin juga mengincar proyek tersebut dan telah mengeluarkan uang
sebesar Rp 10 miliar untuk pengurusan proyek Hambalang. Dakwaan jaksa
menjelaskan, sebagian uang tersebut diberikan kepada mantan Menpora Andi
Alfian Mallarangeng melalui adik Andi, Choel Mallarangeng, sebesar 550 ribu
dollar Amerika dan diberikan juga kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp 2
miliar.

"Atas permasalahan tersebut, terdakwa (Machfud) meminta bantuan Anas


Urbaningrum agar Nazaruddin mundur dari proyek Hambalang," kata Jaksa.

Menurut surat dakwaan, Machfud dan Teuku terus melakukan pendekatan


yang gencar terhadap panitia pengadaan proyek sehingga Adhi-Wika
memenangkan proses lelang tanpa adanya pelaksanaan proses lelang
sebagaimana semestinya.

Adhi-Wika yang dipimpin oleh Teuku Bagus merupakan bentuk kerjasama


operasi antara PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya. Diketahui nilai kontrak
pembangunan proyek P3SON di Hambalang sebesar Rp 1,077 triliun.
"Setelah kontrak ditandatangani, perusahaan terdakwa PT DCL ditunjuk KSO
Adhi-Wika menjadi subkontrak pekerjaan mekanikal elektrikal dengan harga
yang digelembungkan," kata jaksa.
Dalam pelaksanaan pembangunan proyek P3SON Hambalang, KSO Adhi-
Wika telah menerima pembayaran dan Kemenpora sebesar Rp
453.274.231.090,45. Sebagian dana tersebut digunakan untuk membayar PR
DCL sebesar Rp 171.580.224.894. Machfud juga disebut menerima
pembayaran dari PT Adhi Karya Divisi Konstruksi I sebesar Rp 12,5 miliar.

"Sehingga total uang yang diterima terdakwa sebesar Rp 185.580.224.894,"


kata Jaksa.

Namun, dari sejumlah uang yang diterima Machfud untuk proyek Hambalang,
hanya sebesar Rp 89,150 miliar yang digunakan sebagaimana mestinya.
Sedangkan sisanya dibagi-bagi oleh Machfud untuk sejumlah pihak untuk
memuluskan keterlibatan PT DCL dalam proyek itu.

Atas perbuatannya, Machfud disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau


Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Anda mungkin juga menyukai