Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DENGAN GANGGUAN NYAMAN


NYERI DI RUANG DAHLIA 3
RSUD TUGUREJO SEMARANG

DISUSUN OLEH :

NAMA MAHASISWA : TRINURHILAWATI


NIM : P27220019311

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2019/2020

LAPORAN PENDAHULUAN
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DENGAN GANGGUAN NYAMAN NYERI
A. Konsep Kebutuhan
1. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat
subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau
tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi
rasa nyeri yang dialaminya (Asmadi, 2008).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Saryono, 2018). Sensori
yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual atau
potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan. Serangan
mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat diantisipasi
dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6 bulan (Asosiasi
Studi Nyeri Internasional); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan
hingga berat hingga akhir yang dapat diantisipasi atau di prediksi. (NANDA, 2018).
Nyeri kronis serangan yang tiba-tiba atau lambat dari intesitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung > 3 bulan
(NANDA, 2015).

2. Fisiologi Normal Sistem


a. Resepsi
Stimulus (mekanik, termal, kimia) pengeluaran histamin bradikinin, kalium
nosiseptor impuls syaraf serabut syaraf perifer kornu dorsalis medula spinalis
neurotransmiter (substansi P) pusat syaraf di otak respon reflekprotektif. Adanya
stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan
pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut
menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri,
maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer.
Serabut syaraf perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu
serabut A-delta dan serabut C. Impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut
syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan
menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P
ini menyebabkan transmisi sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus.
Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system
saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf
kemudian akan timbul respon reflek protektif.
Neuroregulator Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus
saraf, berperan penting pada pengalaman nyeri. Substansi ini titemukan pada
nocicepåtor yaitu pada akhir saraf dalam kornu dorsalis medula spinalis dan pada
tempat reseptor dalam saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam yaitu
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls
elektrik melewati celah synaptik antara dua serabut saraf. contoh: substansi P,
serotonin, prostaglandin. Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan
mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf
yang melalui synaps.
b. Persepsi
Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu
menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek. Persepsi
menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu
dapat bereaksi. Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut:

 Stimulus nyeri medula spinalis talamus otak (area limbik) reaksi emosi pusat
otak persepsi
 Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus,
selanjutnya serabut mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk
area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang yang bisa mengontrol emosi
(khususnya ansietas). Area limbik yang akan berperan dalam memproses
reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi syaraf berakhir di pusat otak,
maka individu akan mempersepsikan nyeri.

c. Reaksi
Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisioligis dan perilaku yang terjadi
setelah mempersepsikan nyeri. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan
nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi ”flight atau fight”, yang merupakan
sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada saraf otonom
menghasilkan respon fisiologis, apabila nyeri berlangsung terus menerus, maka
sistem parasimpatis akan bereaksi
Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:

 Impuls nyeri medula spinalis batang otak & talamus Sistem syaraf otonom
Respon fisiologis & perilaku
 Impuls nyeri ditransmisikan ke medula spinalis menutju ke batang otak dan
talamus. Sistem saraf otonom menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan
parasimpatis bereaksi, maka akan timbul respon fisiologis dan akan muncul
perilaku (Asmadi, 2008)
3. Patofisiologi Nyeri
Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat
kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut
merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan
dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan di korteks nyeri akan
dipersiapkan sehingga individu mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke
hypothalamus nyeri dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitif
pada termosensitif sehingga dapat juga menyebabkan atau mengalami nyeri
(Saryono, 2018).
Patofisiologi nyeri ini dapat digambarkan sebagai berikut,
Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujung-ujung saraf bebas
yang berespon terhadap berbagai rangsangan termasuk tekanan mekanis, deformasi,
suhu yang ekstrim, dan berbagai bahan kimia. Pada rangsangan yang intensif,
reseptor-reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner juga mengirim informasi
yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang memperparah nyeri antara lain
adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion
hydrogen. Masing-masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau
kematian sel. Nyeri cepat (fast pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta,
nyeri lambat (slow pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat C lambat.
Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P sewaktu
bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis, sebagian besar serat nyeri
bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari segmen. Namun, sebagian serat
berjalan ke atas atau ke bawah beberapa segmen di korda spinalis sebelum bersinaps.
Setelah mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, informasi mengenai rangsangan nyeri
diikirim oleh satu dari dua jaras ke otak- traktus neospinotalamikus atau traktus
paleospinotalamikus. Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat A
delta di salurkan ke otak melalui serat-serat traktus neospinotalamikus. Sebagian dari
serat tersebut berakhir di reticular activating system dan menyiagakan individu
terhadap adanya nyeri, tetapi sebagian besar berjalan ke thalamus. Dari thalamus,
sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatic tempat lokasi nyeri ditentukan
dengan pasti. Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan
sebagian oleh serat A delta, disalurkan ke otak melalui serat-serat traktus
paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular dibatang otak, dan ke
daerah di mesensefalon yang disebut daerah grisea periakuaduktus. Serat- serat
paleospinotalamikus yang berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk
mengaktifkan hipotalamus dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus
paleospinotalamik memiliki lokalisasi yang difus dan berperan menyebabkan distress
emosi yang berkaitan dengan nyeri (Asmadi, 2008).

4. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum di bagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan
kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan di tandai adanya peningkatan
tegangan otot. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan,
biasanya berlangsung cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan. Termasuk dalam
kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri
psikosomatis (NANDA,2012)

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Sistem


Menurut Smeltzer (2010) faktor yang mempengaruhi respon nyeri adalah :
a. Usia
Usia dalam hal ini merupakan variabel yang penting yang mempengaruhi
nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang
ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana
anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk
memahami nyeri dan beranggapan kalau apa yang dilakukan perawat dapat
menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak,
mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri
kepada orang tua atau perawat. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga
perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri,
2007).
b. Jenis Kelamin
Faktor jenis kelamin ini dalam hubungannya dengan faktor yang
mempengaruhi nyeri adalah bahwasannya laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih
diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam
ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis
dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang
dilakukan Burn, dkk. dikutip dari Potter & Perry, mempelajari kebutuhan narkotik
post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.
Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa
nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk
menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya
seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai
pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam
mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien.
d. Keluarga dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi.
Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri
semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting
untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 1993).
e. Ansietas ( Cemas )
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri,
mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga
tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan
nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan
nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat
menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan
nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Asmadi,
2008).
f. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah sakit
adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan
kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien
sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis.
Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber
koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat
digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan nyeri klien.
6. Manifestasi Klinis (Saryono, 2010)
a. Gangguam tidur
b. Raut wajah kesakitan (menangis,merintih)
c. Perubahan nafsu makan
d. Tekanan darah meningkat
e. Pernafasan meningkat

7. Patofisiologi
Menurut Ignatavicus & Workman (2010) Konduksi impuls noriseptif pada
prinsipnya ada dua tahap yaitu :
a. Melalui sistem noriseptif
Reseptor di perifer  lewat serabut aferen, masuk medulla spinalis  ke
batang otak oleh mesenfalon / midbrain.
b. Melalui tingkat pusat
Impuls noriseptif mesenfalon ke korteks serebri di korteks asosiasinya 
sensasi nyeri dapat dikenal karakteristiknya.
Impuls - impuls nyeri disalurkan ke sumsum tulang belakang oleh 2 jenis
serabut bermielin rapat A delta dan C dari syaraf aferen  ke spinal dan sel
raat dan dan sel horn  SG melepas P (penyalur utama impuls nyeri ) 
Impuls nyeri menyeberangi sumsum belakang pada interneuron – interneuron
bersambung dengan jalur spinalis asenden.
Paling sedikit ada 6 jalur ascenden untuk impuls-impuls nosireseptor yang
letak pada belahan vencral dari sumsum belakang yang paling utama : SST
(spinathamic tract) = jalur spinareticuler trace)  impuls-impuls ke batang
otak dan sebagian ke thalamus mengaktifkan respon automic dan limbic (pada
kulit otak )  afektif dimotivasi.

8. Tanda dan Gejala (NANDA, 2012)


a. Klien melaporkan nyeri baik secara verbal atau non verbal
b. Tingkah laku ekspresif (gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang, mengeluh)
c. Menunjukkan kerusakan pada bagian tubuhnya.
d. Posisi untuk mengurangi nyeri.
e. Ada gerakan untuk melindungi.
f. Tingkah laku berhati-hati.
g. Fokus pada diri sendiri dan penurunan interaksi dengan lingkungan.
h. Perubahan dalam nafsu makan dan minum.

9. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan mencakup pemeriksaan laboratorium
darah dan pemeriksaan radiologi (Asmadi, 2008)
10. Pathway

NYERI AKUT NYERI KRONIK

Sumber : www.serpihanilmuku.blogspot.com
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian (Data Fokus)


Menurut Prasetyo (2010), karakteristik nyeri dibagi dalam beberapa metode P, Q,
R, S, T, yaitu:
• Faktor Pencetus (P: provocate), perawat mengkaji tentang penyebab atau
stimulasi nyeri pada pasien. Perawat melakukan observasi dibagian tubuh yang
mengalami cidera. Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka
perawat dapat mengeksplorasikan perasaan pasien dengan menanyakan
perasaan apa yang dapat mencetus nyeri.
• Kualitas (Q: quality), kualitas nyeri adalah hal yang subjektif yang
diungkapkan pasien, pasien sering mendeskripsikan nyeri dengan kalimat:
berdenyut, tajam, tumpul, bepindah-pindah, perih, seperti tertindih, tertusuk.
Tiap-tiap pasien berbeda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan.
• Lokasi (R: region), mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta pada pasien
untuk menunjukkan semua bagian/daerah yang dirasakan nyeri oleh pasien.
Untuk melokalisi nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta pasien
untuk melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri, apabila nyeri bersifat
difus (menyebar) maka kemungkinan akan sulit untuk dilacak.
• Keparahan (S: severe), tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan
karakteristik yang paling subjektif. Pada pengkajian ini pasien disuruh
menggambarkan nyeri yang dirasakannya sebagai nyeri ringan, sedang, berat.
Kesulitannya adalah makna dari setiap istilah berbeda bagi perawat dan pasien,
tidak ada batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang, berat.
Ini juga disebabkan karena pengalaman nyeri setiap orang berbeda-beda.
• Durasi (T: time), perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan durasi,
awitan, dan rangkaian nyeri, misalnya menanyakan “kapan nyeri mulai
dirasakan?”, “sudah berapa lama nyeri dirasakan?”, “apakah nyeri yang
dirasakan terjadi pada waktu yang sama setiap hari?”, “seberapa sering
nyeri kambuh?”.
• Faktor yang memperberat/meringankan nyeri. Perawat perlu mengkaji
faktor yang memperberat keadaan pasien, misalnya peningkatan
aktifitas, perubahan suhu, stres dan lainnya.
a. Skala Pengukuran nyeri
Beberapa contoh alat pengukur nyeri :
1) Wong Baker Face Pain Rating Scale
Pengkajian terhadap nyeri dapat menggunakan Wong Baker
Face Pain Rating Scale adalah metode penghitungan skala nyeri
yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan
Connie Baker. Cara mendeteksi skala nyeri dengan metode ini
yaitu dengan melihat ekspresi wajah yang sudah dikelompokkan
ke dalam beberapa tingkatan nyeri. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi seperti anak-anak, orang tua, pasien
yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan
bahasa lokal setempat.

Gambar : Wong Baker Face Pain Rating Scale

2) Numeric Rating Scale (NRS)


Pengukuran skala nyeri dengan menggunakan Numeric Rating
Scale, klien cukup mmenggambarkan rasa nyeri dengan
menggunakan skala 0-10 (Taylor, 2011). Skala NRS yang efektif
digunakan saat mengkaji nyeri sebelum dan sesudah intervensi
terapeutik.

Gambar 2 : Numeric Rating Scale


3) Visual analog scale
Merupakan suatu garis lurus yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menurus dan memiliki alat
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
memberi kebebasan pada pasien untuk
mengidentifikasi tingkat keparahan nyeri yang ia
rasakan. Skala analog visual merupakan pengukur
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rankaian, dari pada
dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Prasetyo,
2010).

Gambar 3 : Skala analog visual

b. Perilaku Non Verbal


Beberapa perilaku nonverbal yang dapat kita amati antara lain : ekspresi
wajah, gemeretak gigi, menggigit bibir bawah dan lain-lain.
c. Faktor Presipitasi
Beberapa faktor presipitasi yang akan meningkatkan nyeri : lingkungan,
suhu ekstrim, kegiatan yang tiba-tiba, stressor fisik dan emosi.
- Pemeriksaan Penunjang
1) Foto rontgen
Untuk menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan
perubahan hubungan tulang.
2) MRI
Untuk melihat abnormalitas (tumor, penyempitan jalur jaringan lunak
melalui tulang).
3) Cek darah
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

Menurut Prasetyo (2010), nyeri diklasifikasikan berdasarkan jenis nyeri


yaitu:
1. Nyeri Akut
Nyeri akut terjadi setelah cidera akut, penyakit, atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang
bervariatif (ringan sampai berat) dan berlangsung dengan waktu
yang singkat. Fungsi nyeri akut adalah untuk memberi peringatan
akan cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut biasanya
menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah area yang rusak
pulih kembali. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan),
biasanya akibat dari trauma, bedah, atau inflamasi. Contonya seperti
sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot, nyeri
saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan (Prasetyo,
2010).
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari nyeri akut (lebih dari 6
bulan), dengan intensitas bervariasi yaitu ringan sampai berat,
penderita kanker maligna biasanya akan merasakan nyeri kronis
terus menerus dan berlangsung sampai kematian. Nyeri kronis
dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu nyeri kronis maligna
dan nyeri kronis non maligna.
Tabel perbedaan respon fisiologis akut dan kronis (Tamsuri, 2006).
Nyeri Akut Nyeri Kronis

 Intensitas ringan sampai berat  Intensitas ringan sampai berat


 Respon saraf simpatis:  Respon saraf parasimpatis:
• Peningkatan nadi • Tanda vital normal
• Peningkatan denyut jantung • Kulit kering dan hangat
• Peningkatan tekanan darah • Pupil normal atau berdilatasi
• Diaforesis
• Dilatasi pupil
 Nyeri berhubungan dengan  Nyeri timbul terus menerus hingga
kerusakan jaringan atau proses sembuh
penyembuhan  Pasien tampak depresi dan menarik
 Pasien tampak cemas dan lemas diri
 Menyatakan nyeri  Tidak menyatakan nyeri kecuali
 Muncul perilaku nyeri seperti: ditananya
menangis, memegangi daerah yang  Perilaku nyeri tidak ada
sakit, mengusap daerah yang sakit

3. Perencanaan

Diagnosa Perencanaan
keperawatan/Masalah Tujuan dan Kriteria
Intervensi
kolaborasi Hasil
Nyeri akut berhubungan dengan: NOC : NIC :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,  Pain Level, o Lakukan pengkajian
psikologis), kerusakan jaringan  pain control, nyeri secara
 comfort level komprehensif
DS: Setelah dilakukan tinfakan termasuk lokasi,
- Laporan secara verbal keperawatan selama …. karakteristik, durasi,
DO: Pasien tidak mengalami frekuensi, kualitas dan
- Posisi untuk menahan nyeri nyeri, dengan kriteria faktor presipitasi
- Tingkah laku berhati-hati hasil: o Observasi reaksi
- Gangguan tidur (mata sayu,  Mampu mengontrol nonverbal dari
tampak capek, sulit atau nyeri (tahu penyebab ketidaknyamanan
gerakan kacau, menyeringai) nyeri, mampu o Bantu pasien dan
- Terfokus pada diri sendiri menggunakan tehnik keluarga untuk
- Fokus menyempit nonfarmakologi untuk mencari dan
(penurunan persepsi waktu, mengurangi nyeri, menemukan dukungan
kerusakan proses berpikir, mencari bantuan) o Kontrol lingkungan
penurunan interaksi dengan  Melaporkan bahwa yang dapat
orang dan lingkungan) nyeri berkurang mempengaruhi nyeri
- Tingkah laku distraksi, dengan menggunakan seperti suhu ruangan,
contoh : jalan- jalan, manajemen nyeri pencahayaan dan
menemui orang lain  Mampu mengenali kebisingan
dan/atau aktivitas, aktivitas nyeri (skala, o Kurangi faktor
berulang-ulang) intensitas, frekuensi presipitasi nyeri
- Respon autonom (seperti dan tanda nyeri) o Kaji tipe dan sumber
diaphoresis, perubahan  Menyatakan rasa nyeri untuk
tekanan darah, perubahan nyaman setelah nyeri menentukan intervensi
nafas, nadi dan dilatasi berkurang o Ajarkan tentang
pupil)  Tanda vital dalam teknik non
- Perubahan autonomic rentang normal farmakologi: napas
dalam tonus otot (mungkin  Tidak mengalami dala, relaksasi,
dalam rentang dari lemah gangguan tidur distraksi, kompres
ke kaku) hangat/ dingin
- Tingkah laku ekspresif o Berikan analgetik
(contoh : gelisah, merintih, untuk mengurangi
menangis, waspada, nyeri: ……...
iritabel, nafas o Tingkatkan istirahat
panjang/berkeluh kesah) o Berikan informasi
- Perubahan dalam nafsu tentang nyeri seperti
makan dan minum penyebab nyeri,
berapa lama nyeri
akan berkurang dan
antisipasi
o ketidaknyamanan dari
prosedur Monitor
vital sign sebelum
dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Nyeri Kronis berhubungan NOC: NIC :
dengan ketidakmampuan Comfort level Pain Manajemen
fisik-psikososial kronis Pain control - Monitor kepuasan
(metastase kanker, injuri Pain level pasien terhadap
neurologis, artritis) Setelah dilakukan manajemen nyeri
tindakan keperawatan - Tingkatkan istirahat
DS: selama …. nyeri kronis dan tidur yang
- Kelelahan pasien berkurang dengan adekuat
- Takut untuk injuri ulang kriteria hasil: - Kelola anti analgetik
DO: o Tidak ada gangguan ...........
- Atropi otot tidur - Jelaskan pada pasien
- Gangguan aktifitas o Tidak ada gangguan penyebab nyeri
- Anoreksia konsentrasi - Lakukan tehnik
- Perubahan pola tidur o Tidak ada gangguan nonfarmakologis
- Respon simpatis (suhu hubungan (relaksasi, masase
dingin, perubahan posisi interpersonal punggung)
tubuh , hipersensitif, o Tidak ada ekspresi
perubahan berat badan) menahan
o nyeri dan ungkapan
secara verbal
o Tidak ada tegangan otot
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Tehnik Prosedural Keperawatan: Konsep Aplikasi


Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Herdman. (2009). Nanda International : Diagnosis Keperawatan 2009-2011.


Jakarta : EGC

Ignatavicius,D & Workman., M.L (2010). Medical surgical nursing : chritical


thinking for collaborative care. (6th ed vol.1). Missouri : Elsevier
saunders

Moorhead S, dkk. 2013. NOC (Nursing Outcomes Classsification). Jakarta :


Elsevier.

Moorhead S, dkk,.2013. NIC (Nursing Interventions Classsification). Jakarta


: Elsevier.

Nurarif, Amin H & Hardi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis Nanda Nic-Noc. Jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction.

Saryono, A. 2010. Kebutuhan Dasar Manusia (KDM). Yogyakarta : Nuha


Medika

Smelter,S.S. Bare.B.G (2010). Buku ajar keperawatan medical bedah volume 2


kuncara et all.Jakarta : EGC

Tamsuri, anas (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC

Taylor, et al (2011). Fudamentals Of Nursing :The Art And Science Of


Nursing Care Edition. China : Lippincont Company

Anda mungkin juga menyukai