Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmat dan kekuatan gaib, biasanya diucapkan
oleh pawang. Kesalahan dalam mengucapkan mantra dianggap dapat medatangkan bahaya. (Nur,
2014). Setiap kebudayaan memiliki konsep keyakinan tentang roh (animisme), kekuatan gaib
(dinamisme), dan dewa-dewa yang berbeda dari berbagai wilayah. Konsepsi sistem religi
masyarakat Jawa Tengah memiliki ciri khasnya tersendiri. Masyarakat Jawa Tengah yang
mayoritas beragama islam memiliki sistem yang berbeda dengan agama islam di Arab. Sistem
agama islam di masyarakat Jawa Tengah bercampur dengan kebudayaan leluhur asli Jawa yang
memiliki konsepsi keyakinan tentang roh (animisme) dan kekuatan gaib (dinamisme) dari kerajaan
Hindu-Budha di Jawa.

Masyarakat Jawa Tengah memandang mantra sebagai suatu hal yang sakral karena mantra
akan menghubungkan dimensi manusia dengan dimensi roh melalui ritual maupun upacara-
upacara adat. Mantra dapat digolongkan menjadi lima golongan besar yaitu (a) mantra penyucian
roh, (b) mantra aji kejayaan, yang meliputi mantra aji kedikdayaan dan mantra pengasihan, (c)
mantra pertanian, yang meliputi mantra penanaman, mantra petik, dan mantra penyimpanan, (d)
mantra pengobatan, (e) mantra komunikasi magis yang mencakup mantra suguh sesaji, mantra
pemanggil roh, dan mantra pengusir roh (Sukatman, 2009). Seiring berjalannya waktu, di Jawa
Tengah mantra tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat yang masih memegang teguh
budaya leluhurnya. Bertahan tidaknya mantra dalam masyarakat tergantung pada tingkat pengguna
mantra sesuai kebutuhannya. Secara umum, mantra memiliki fungsi sebagai usaha mencapai
sesuatu tujuan dengan melalui kegiatan yang bersifat magis dan berkaitan dengan alam
supranatural untuk tujuan baik dan jahat. (Hamidin, 2016). Eksistensi mantra dalam kehidupan
masyarakat Jawa Tengah digunakan oleh dukun, tokoh masyarakat dan pawang suatu tempat.
Seorang dukun menggunakan mantra untuk santet, pelet dan susuk. Tokoh Masyarakat
menggunakan mantra sebagai donga untuk upacara-upacara adat di Jawa Tengah. Pawang
biasanya menggunakan mantra untuk melakukan ritual meminta keselamatan dari ancaman
bencana atau wabah penyakit dari suatu tempat tertentu.

Mantra dalam eksistensinya di dunia pendidikan merupakan sastra lisan yang berisi
kumpulan kata yang memiliki kekuatan gaib. Pembacaan mantra mempermainkan bunyi yang
terdapat pada kata-kata dalam kalimat mantra. Dilihat dari bentuknya, mantra merupakan puisi
yang digolongkan ke dalam bentuk puisi rakyat. Hal tersebut karena sebagai genre folklor lisan
sajak dan puisi rakyat memiliki karakteristik tersendiri, yaitu bentuk kalimatnya tidak berbentuk
bebas melainkan terikat (Nurjamilah, 2015). Mantra merupakan kesusastraan warisan leluhur yang
memiliki bentuk tertentu, biasanya terdiri atas beberapa deret kata-kata yang memiliki akhiran
vokal yang sama. Mantra juga memperhatikan panjang-pendeknya suku kata untuk mengukur
kuat-lemahnya bunyi pada penekanan kata tertentu, contoh mantra jawa yang masih eksis hingga
sekarang untuk menyembuhkan berbagai penyakit:
Bismillahirrahmanirrahim Bismillahirrahmanirrahim
Tombo teko Obat datang
Loro lungo Penyakit pergi

Mantra di atas dilihat dari bentuknya memiliki kesamaan akhiran vokal yang sama di akhir kata
yaitu “O”. Mantra di atas juga memiliki komposisi suku kata yang sama yaitu 4 suku kata.
Mantra memiliki struktur yang terdiri dari satu kalimat atau beberapa kalimat yang
membentuk bait. Struktur kalimat dalam mantra memiliki satu ide pokok setiap kalimatnya.
Struktur teks dalam mantra memiliki empat unsur formula yakni 1) formula sintaksis, 2) formula
bunyi, 3) gaya, dan 4) tema. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan dan membentuk harmonisasi
(Nurjamilah, 2015). Contoh mantra yang digunakan untuk ilmu kekebalan sebelum berkelahi atau
ingin menundukkan musuh:
Bismillahirramanirrahim Bismillahirramanirrahim
Hung-hung naga bingung Hung-hung naga bingung
Hung-hung naga sekti Hung-hung naga sakti
Mbentang payung agung Terbentang payung agung
Ngunci kuwali wesi Terkunci kuali besi
Hup, kata Allah Hup, kata Allah
Berkat kalimah Berkat kalimat
La ilaha illallah La ilaha illallah

Mantra di atas memiliki formula sintaksis yang harmoni dan konsonan akhir dengan gaya ab-ab
Hung-hung naga bingung
Pelengkap S P
Hung-hung naga sekti
Pelengkap S P
Mbentang payung agung
P S Ket.
Ngunci kuwali wesi
P S Ket.
Hup, kata Allah
Berkat kalimah
La ilaha illallah
Struktur dan bentuk kalimat mantralah yang membuat mantra memiliki daya sugestif sehingga
terdapat nilai magis dalam mantra. Nilai magis mantra akan tetap terjaga apabila melakukan ritual
khusus yang harus ditaati guna memperoleh hasil sesuai dengan yang diinginkan. Ritual khusus
ini bersifat turun-temurun melalui proses pewarisan. Proses pewarisan mantra dilakukan secara
khusus dari guru ke murid. Pembacaan mantra jika tidak melalui proses pewarisan dari guru, maka
mantra akan kehilangan kekuatan nilai magisnya. Murid tidak selalu berasal dari kerabat, bisa juga
orang yang ingin belajar mantra dengan serius dan siap mentaati aturan dan pantangan dari guru.
Proses pewarisan mantra kepada kerabat lebih sering dilakukan karena dianggap lebih terpercaya
untuk mengurangi kemungkinan penyalahgunaan mantra untuk tujuan yang negatif. Hal-hal
tersebut membuktikan eksistensi mantra dikalangan masyarakat Indonesia terutama di Jawa
Tengah masih digunakan sebagai tradisi, ritual dan upacara adat.
Daftar Pustaka:

Hamidin, M. (2016) ‘Bentuk, Fungsi, dan Makna Mantra Ritual Upacara Kasambu Masyarakat
Muna di Kecamatan Katobu Kabupaten Muna’, Jurnal Bastra, 1.

Nur, A. H. (2014) Mantra Tolaki. Sulawesi Tenggara: Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara.

Nurjamilah, A. S. (2015) ‘Mantra Pengasihan: Telaah Struktur, Kontekspenuturan, Fungsi, Dan


Proses Pewarisannya’, Riksa Bahasa, 1.

Sukatman (2009) Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressido.

Anda mungkin juga menyukai