Anda di halaman 1dari 36

SASTRA DAERAH MUNA

Legenda, Mitos, Mantra, Pantun

OLEH

RUSLAN HAMID NGUNA


A1D1 14 049

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI


FAKULTAS KEGURURAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2016
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bagian I : Teori Sastra Daerah
A. Sastra Daerah
B. Legenda
C. Mitos
D. Mantra
E. Pantun
Bagian II : Legenda
A. Legenda dalam Bahasa Muna
B. Unsur Intrinsik dan ekstrinsik Legenda
C. Unsur Pendidikan
Bagian III : Mitos
A. Mitos dalam Bahasa Muna
B. Unsur pendidikan
Bagian IV: Mantra
A. Mantra dalam Bahasa Muna
B. Cara Menggunakan Mantra
C. Kegunaan
Bagian V : Pantun
A. Pantun dalam Bahasa Muna
B. Pesan yang Disampaikan
C. Sasaran Pantun
Bagian I
Teori Sastra Daerah
A. Sastra Daerah
Salah satu ragam sastra yang tersebar luas dan
dimiliki oleh hampir setiap daerah di dunia, khususnya
di Indonesia, adalah ragam sastra daerah. Setiap daerah
di Indonesia yang mempunyai khasanah kebudayaan
daerah sendiri dengan ciri keragaman bahasanya,
mempunyai ragam sastra daerah sendiri pula.
Menurut Zaidan (2000:181), sastra daerah adalah
genre sastra yang ditulis dalam bahasa daerah bertema
universal.
Dalam beberapa tulisan, pembicaraan sastra daerah
diidentikkan dengan sastra lisan. Bahkan, beberapa buku
teori yang membahas sastra daerah, langsung membahas
satra lisan.
Sastra daerah atau biasa di kenal juga dengan sastra
lisan atau tradisis lisan, merupakan salah satu jenis
warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses
pewarisannya dilakukan secara lisan. Menurut Jan
Vansina, tradisi lisan adalah kesaksian yang di wariskan
secara lisan dari generasi ke generasi (oral testimony
transmitted verbally, from one generation to the next one
or more).
B. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap
oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang
sungguh-sungguh pernah terjadi. Menurut Danandaja
(2002) legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya
pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di
dunia seperti yang kita kenal sekarang. Jan Harold
Brunvand dalam Danandjaja (2002) menggolongkan
legenda menjadi empat kelompok yakni:
1. Legenda Keagamaan
Di dalam legenda keagamaan banyak kita jumpai
kisah-kisah para wali penyebar Islam, misalnya,
Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar di Jawa,
sedangkan di Bali dapat kita temui legenda tentang
kisah Ratu Calon Arang.
2. Legenda Kegaiban
Legenda ini berkisah tentang kepercayaan rakyat
pada alam gaib, misalnya kerajaan gaib orang
Bunian di rimba raya Sumatera, kerajaan gaib
Pajajaran di Jawa Barat, kerajaan gaib Laut Kidul di
Jawa Tengah dan Yogyakarta.
3. Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan menceritakan tokoh tertentu
yang dianggap pernah ada dan terjadi, misalnya
Sabai nan Aluih dan Si Pahit Lidah dari Sumatera,
Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung
Kasarung dari Jawa Barat, dan lain-lain.
4. Legenda Lokal
Legenda local adalah legenda yang berhubungan
dengan nama tempat terjadinya gunung, bukit,
danau, dan sebagainya. Misalnya legenda terjadinya
Danau Toba di Sumatera, legenda Gunung
Tangkuban Perahu di Jawa Barat.
C. Mitos
Ada beberapa pengertian mitos yang diungkapkan
para sejarawan. Dari beberapa pengertian itu dapat
disimpulkan bahwa, mitos adalah cerita prosa rakyat
yang ditokohi para dewa atau mahkluk setengah dewa
yang terjadi di dunia lain (kayangan) dan dianggap
benar-benar terjadi oleh empunya cerita atau
penganutnya.
Mitos pada umumnya menceritakan tentang
terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang,
bentuk tipograpi, petualangan para dewa, kisah
percintaan mereka dan sebagainya. Mitos sendiri ada
yang berasal dari Indonesia dan ada yang berasal dari
luar negeri.
Mitos yang berasal dari luar negeri pada umumnya
telah mengalami perubahan dan pengolahan lebih lanjut,
sehingga tidak terasa asing lagi yang disebabkan oleh
proses adaptasi karena perubahan jaman. Menurut
Moens-Zoeb, orang Jawa bukan saja telah mengambil
mitos-mitos dari India, melainkan juga telah mengadopsi
dewa-dewa Hindu sebagai dewa Jawa. Di Jawa Timur
misalnya, Gunung Semeru dianggap oleh orang Hindu
Jawa dan Bali sebagai gunung suci Mahameru atau
sedikitnya sebagai puncak Mahameru yang dipindahkan
dari India ke pulau Jawa. Mitos di Indonesia biasanya
menceritakan tentang terjadinya alam semesta, terjadinya
susunan para dewa, terjadinya manusia pertama, dunia
dewata, dan terjadinya makanan pokok.
D. Mantra
JS Badudu (dalam Dian, 2009: 9) “Mantra adalah
kata-kata yang mengandung kalimat dan kekuatan gaib
atau magis dan hanya diucapkan oleh orang-orang
tertentu saja seperti dukun atau pawang”. Hasan (dalam
Saprianto, 2011:7) menyatakan “Mantra adalah hasil
kesusastraan lama berupa puisi yang tidak tentu jumlah
barisnya dan digunakan untuk berbagai macam
keperluan seperti untuk menyembuhkan penyakit atau
membut orang sakit, untuk menaklukkan binatang buas
dan lain-lain”.
Ciri-ciri Mantra :
 Mantra terdiri atas beberapa rangkaian kata yang
memiliki irama
 Isi dari mantra berhubungan dengan kekuatan gaib
 Berbentuk puisi yang isi dan konsepnya
menggambarkan kepercayaan suatu masyarakat pada
saat itu
 Mantra dibuat dan diamalkan untuk tujuan tertentu
 Mantra didapat dari cara gaib, seperti keturunan atau
mimpi. Atau bisa dijuga diwarisi dari perguruan yang
diikuti
 Mantra mengandung rayuan dan perintah
 Mantra memakai kesatuan pengucapan
 Mantra adalah sesuatu yang utuh dan tidak bisa
dipahami melalui setiap bagiannya
 Di dalam sebuah mantra terdapat kecenderungan
esoteric atau khusus pada setiap kata-katanya
 Mantra mementingkan keindahan permainan bunyi
Jenis-jenis Mantra :
1. Mantra Kedigdayaan
Mantra kedigdayaan adalah jenis mantra yang
dipakai jika sedang berhadapan dengan musuh,
sehingga yang membaca mantra ini tidak dapat
dikalahkan.
2. Mantra Pagar Diri
Mantra pagar diri adalah jenis mantra yang
digunakan sebagai perisai diri supaya orang tidak
dapat membinasakan dirinya atau orang-orang tidak
akan berkehendak untuk mengalahkan dirinya.
3. Mantra Pakasih
Mantra pakasih adalah jenis mantra cinta kasih.
Mantra ini biasanya digunakan untuk memikat
seseorang agar jatuh hati kepada yang membaca
mantra tersebut.
4. Mantra Pengobatan
Mantra pengobatan adalah jenis mantra yang biasa
digunakan untuk mengobati suatu penyakit.
5. Mantra Tundik
Mantra tundik adalah jenis mantra yang biasanya
dilepas melalui kekuatan jarak jauh, tujuannya
adalah orang yang dimaksud supaya jatuh kedalam
pengaruh si pembaca mantra.
E. Pantun
Kaswan dan Rita (2008 : 77), mengatakan bahwa
Pantun adalah jenis puisi melayu lama yang satu baitnya
terdiri atas empat larik dan bersajak a-b-a-b. Larik
pertama dan kedua berupa sampiran, sedangkan larik
ketiga dan keempatr berupa isi.Sampiran tidak berisi
maksud, hanya diambil rima persajaknya.Jadi jika
hendak membuat pantun, sebaiknya membuat dulu
isinya, kemudian menyusul sampirannya.
Ciri-ciri Pantun
a. Jumlah suku kata dalam tiap baris antara delapan
hingga dua belas
b. Setiap bait terdiri atas dua bagian, yang sampiran
dan isi
c. Satu bait pantun terdiri dari 4 baris
d. Baris ke-1 dan ke-2 adalah sampiran dan baris ke-3
dan ke-4 adalah isi pantun
e. Pantun bersajak a-b-a-b
Macam-macam Pantun
Nursisto dalam buku Ikhtisar Kesusastraan Indonesia
(2000:11-14), mengklasifikasikan pantun :
a. Berdasarkan isinya
1. Pantun kanak-kanak : pantun bersukacita dan pantun
berdukacita.
2. Pantun muda : Pantun nasib/dagang dan pantun
perhubungan. Pantun perhubungan terbagi lagi
menjadi pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan,
pantun perceraian, dan pantun beriba hati.
3. Pantun tua : pantun adat, pantun agama, dan pantun
nasihat.
b. Berdasarkan banyaknya baris tiap bait
1. Pantun dua seuntai atau pantun kilat.
2. Pantun empat seuntai atau pantun empat serangkum.
3. Pantun enam seuntai atau delapan seuntai, atau
pantun enam serangkum, delapan serangkum
(talibun).
Menurut Maman S. Mahayana (2009) dalam buku
Pantun memiliki fungsi sebagai alat pemelihara bahasa,
pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan
kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih
seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar,
dan melatih orang berpikir bahwa suatu kata bisa
memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial
pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat. Pantun
menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan
bermain-main dengan kata.
Bagian II
Legenda
A. Legenda dalam bahasa Muna dan terjemahannya
Kabupaten Muna adalah salah satu Daerah Tingkat II
di provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia, dengan Ibu kota
di Raha. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.941,08
km² dan berpenduduk sebanyak 238.233 jiwa (2014).
Suku yang paling banyak mendiami kabupaten Muna
yaitu suku Muna. Suku Muna atau Wuna adalah suku
yang mendiami Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Dari
bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam),
dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli
lebih dekat ke suku-suku Polynesia dan Melanesia di
Pasifik dan Australia ketimbang ke Melayu. Hal ini
diperkuat dengan kedekatannya dengan tipikal
manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara
Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya. Motif
sarung tenunan di NTT dan motif sarung muna sangat
mirip yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna
dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat
kepala juga memiliki kemiripan satu sama lain. Orang
Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku
Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang
nelayan-nelayan Muna sering mencari ikan atau teripang
hingga ke perairan Darwin. Telah beberapa kali Nelayan
Muna ditangkap di perairan ini oleh pemerintah Australia.
Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan
tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia:
Aborigin. (https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Muna)
Pada suatu daerah, biasanya masyarakatnya
mempunyai cerita yang dianggap oleh yang mempunyai
cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi yang
disebut legenda. Di tengah-tengah masyarakat Muna, juga
ditemukan legenda yang secara turun temurun diceritakan
yaitu legenda kapal Sawerigading. Berikut cerita legenda
tentang kapal Sawerigading yang diceritakan salah satu
masyarakat Muna bernama Wa Karuna yang biasa disapa
Wa Ambe. Wa Ambe tinggal di desa Lakologou, Kec.
Tongkuno, Kab. Muna. Wa Ambe berumur 36 tahun dan
mempunyai empat orang anak yaitu Amrin Sakar
(berumur 12 tahun), Imran Sakar (berumur 10 tahun),
Sarlan Sakar (berumur 6 tahun) dan Rifki Sakar (berumur
3 tahun). Berikut cerita tentang kapal Sawerigading oleh
Wa Karuna:
Nando dhamani wawono, nando tula-tula kapala
sawerigadi maighono we Sulawesi Selata nokandasi te
witeno Wuna. Kapala amaitu nokandasi lahaemo
nedhumburi kontuno tehi (batu karang). Kapala amaitu
nompona-nompona nofonisie lumu bhe nembali dua kontu
mahingga nembali kabhawo. Kabhawo amaitu dofokonea
kabhawo Bahutara. Kabwawo amaitu nopohariki bhe
kamba-kamba mahingga dofokoneae Kontu Kowuna.
Kontu Kowuna maitu maanano kontu kowunano. Kontu
kowona tabiasano doala mie lahaemo doparasae nembali
adhima.
Terjemahan:
Pada zaman dahulu, ada cerita tentang kapal
Sawerigading dari Sulawesi Selatan yang kandas di tanah
Muna. Kapal tersebut kandas karena menabrak batu
karang. Kapal itu lama-kelamaan penuh dengan lumut
dan menjadi batu sehingga menjadi sebuah bukit. Bukit
tersebut dinamakan bukit Bahutara. Bukit Bahutara mirip
dengan bunga sehingga dinamakan batu berbuka. Batu
berbuga maknanya yaitu bukit yang memiliki bunga. Batu
berbunga biasanya suka dicari oleh masyarakat karena
dipercayai bisa dijadikan sebagai jimat.
Itulah salah satu legenda yang ada di tengah-tengah
masyarakat Muna. Sebenarnya masih banyak legenda
yang lain. Namun, legenda yang paling banyak diketahui
oleh masyarakat Muna yaitu legenda tentang kapal
Sawerigading (sawerigadi). Legenda kapal Sawerigading
diceritakan secara turun temurun sehingga hampir semua
masyarakat mengetahuinya. Legenda kapal Sawerigading
merupakan bagian dari sastra daerah Muna yaitu Sastra
Lisan yang seharusnya tetap dilestarikan karena
masyarakat Muna mempercayai itulah asal usul Muna.
Kapal Sawerigading terletak di kota Kuno sekitar 35 km
dari ibukota kabupaten Muna, Raha. Setiap tahun (saat
idul fitri), kapal sawerigading selalu dikunjungi oleh
banyak masyarakat. Tempat tersebut bisa dikatakan
sebagai tempat wisata setiap selesai menunaikan ibadah
shalat Idul fitri.
B. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur intrinsik :
1. Tema
Tema cerita Legenda Sawerigadi adalah Munculnya
Bukit Bahutara.
2. Alur
Alur dalam cerita legenda Sawerigading
menggunakan alur maju.
3. Latar
Waktu dalam cerita legenda tersebut berlatar pada
zaman dahulu. Sedang, latar tempat dalam cerita
tersebut adalah di Pulau Muna, di kapal, dan di Bukit
Bahutara.
4. Amanat
Pesan yang disampaikan dalam cerita legenda tersebut
adalah kita harus selalu berhati-hati dalam melakukan
aktivitas kita, apalagi ketika kita akan bepergian, ada
baiknya untuk memeriksa segala sesuatunya sebelum
bepergian.
5. Sudut pandang
Legenda Sawerigading menggunakan sudut pandang
orang ketiga.
Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mendukung
cerita dari luar, seperti biografi pengarang. Namun dalam
hal karya sastra daerah, salah satu cirinya adalah tidak
diketahui siapa pengarangnya. Oleh karenanya, unsur
ekstrinsik dalam legenda Sawerigadingdapat dilihat dari
adat istiadat dan kebudayaan suku Muna.
C. Unsur Pendidikan
Cerita Legenda Sawerigadi mengajarkan kita bahwa akan
ada hal baik dari musibah yang terjadi. Kita dapat
mengambil contoh dari kapal Sawerigadi yang mengalami
musibah, kandas karena menabrak batu karang. Namun
setelah kandas, kapal itu lama kelamaan menjadi Bukit
Bahutara. Dan bukit tersebut sering dikunjungi dan jadi
objek wisata di Pulau Muna. Kapal Sawerigadi yang
kandas, namun akhirnya menjadi bukit dan menjadi salah
satu objek keindahan di Pulau Muna. Dari cerita tersebut,
juga mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati apalagi bila
kita akan bepergian jauh.
Sumber data:
NAMA: WA KARUNA
UMUR: 36 TAHUN
ALAMAT: DESA LAKOLOGOU, KEC. TONGKUNO, KAB.
MUNA.
Bagian III
Mitos
A. Mitos dalam Bahasa Muna dan Terjemahannya
LA ODE MUNA (LADHE WUNA)
We liwuno wuna, nodadi sangia kopangkatino, Omputo
sangia. Neano sakotughuhano La Ode Husaeni. Omputo
sangia nokomieno lambu nealano fitu taghumo.
Sesegholeo,Omputo sangia neurusu kaawu
kopopamarintvaha. Mahinggamo nefonando anahi ano
miinamo napogulea.
Padamo korondaha, omputo sangia notongo
wekalodohano. Anoa nosadaramo ani kakawino fitu
taghuno, minaho dua bhe anano. Mahingga norabu
omputo sangia nobhari fekirino.
Padamo dua omputo sangia neghawa bhirita ani
liwuno Wuna nomahikie mie bhalano maighono we Arabu
bhe neati neowa agama Islamu. Mie bhalano maitu
dotolae Saidhi Raba. Medhaganino sangia maitu nobisara
tora ani Saidhi Raba maitu nokokapande bhe nomai we
Wuna noangka nekawea. Nefetingke bhirita amaitu,
Omuto sangia noparintaghi anabuano nobhasi Saidi
Raba sonomaigho nopoghawa Sangia. Mahinggamo,
nokalamo anabua sangia we kalateha Saidhi Raba.
Nompona kaawu neintagi, nosilimo tora anabua
Omputo sangia taaka nomai miina bhe Saidhi Raba.
Nowura kaawu hulano Omputo sangia nomamara,
anabuano Omputo sangia maitu netutulaghomo noafa
Saidhi Raba Miina nomai. Pata kamaihanogho Saidhi
Raba we Galampa rampahano Omputo sangia nepiara o
wewi. Lahaemo welo agamano Saidhi Raba Owewi maitu
noharamu.
Sokamaihano Saidhi Raba wegalampa, Omputo Sangia
nolera nofosipuli kosabharihae wewi kapiarano. Lahaemo
wewino Omputo Sangia pada nofosipulie, nomaimo Saidhi
Raba we galampa.
Omputo Sangia notudumo Saidhi Raba nobasa ihino
lalono. Ani nopooli nobasa ihino lalono, maka Omputo
Sangia nohunda nopesua welo agamano Saidhi Raba. Bhe
kapandeno, Saidhi Raba nobasamo ihino lalono Omputo
Sangia, ani Omputo sangia nohunda sepaliha nakoana.
Omputo Sangia nesalomo tora we Saidhi Raba
sokonoanagho. Nesalomo Saidhi Raba nekakawasa, taaka
tanotibahliumo dua gholeo, ibuno Omputo Sangia miina
dua bhemelateno welo randano. Nomunculumo welo
fekirino Omputo ani Saidhi Raba miina nokokapande peda
kaitutulano mie bhari. Saidhi Raba nebhasa kansuru dhoa
sokakawas, mahinggamo dhoa dofetingkee dua o
Kakawasa, taaka imabno nahi welo randano dofosurue
dofopesuae lahaemo ibuno nokoumurumo.
Noratomo dua wakutuno ibuno Omputo Sangia
nolentegho anano. Taaka wambano Saidhi Raba
nokotughu. Anano Omputo Sangiaa Anano Omputo
Sangia sewunta mie Sewunta o ghule. lahaemo nombaanu
nokoanagho Sewunta mie sewunta gule, maka omputo
sangiaa novebuni anano welo lia tampahimo nobhala.

Terjemahannya :
Alkisah, di pulau muna hiduplah seorang raja yang
bergelar Omputusangia, nama asli dari Omputusangia
adalah La Ode Husaeni (di perkirakan beliau memerintah
pada tahun 1716-1757). Omputusangia memiliki seorang
istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun.
Dalam kesehariannya , Omputusangia hanya disibukkan
dengan berbagai macam urusan pemerintahan. Akibatnya
beliau tidak pernah berpikir untuk memperoleh keturunan
sebagai pelanjutnya.
Pada suatu malam,ketika Omputusangia duduk
merenung di tempat peristirahatannya, ia pun mulai
menyadari bahwa setelah tujuh puluh tahun
pernikahannya, ia dan istrinya belum juga dikaruniai
seorang anak. Keadaan ini pada akhirnya membuat
omputo sangia menjadi resah dan frustasi.
suatu hari, Omputusangia mendapat kabar dari
pengawal kerajaan bahwa pulau Muna dikunjungi oleh
seorang saudagar dari Arab dengan niat untuk
menyebarkan agama Islam, saudagar tersebut bernama
Saidhi Raba. Pengawal kerajaan itu menambahkan pula
bahwa Saidhi Raba memiliki kesaktian yang luar biasa
dan Karena kesaktianya itu Saidhi Raba datang di pulau
Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia
memerintahkan pengawalnya untuk memanggil Saidhi
Raba agar datang menemuinya di istana. Olehnya itu,
berangkatlah pengawal kerajaan tersebut ke tempat Saidhi
Raba.
Setelah raja menunggu seharian di istana, akhirnya
pengawal yang disuruhnya tadi kembali, namun tidak
bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan
marah, pengawal tersebut menjelaskan alasannya mengapa
ia tidak datang bersama Saidhi Raba. Pengawal itu
mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak ingin datang ke
Istana karena raja memelihara babi, dan menurut ajaran
agama Saidhi Raba yakni Islam, babi adalah binatang
yang haram.
Demi untuk menghadirkan Saidhi Raba keistana,
omputo sangia rela melepas seluruh babi peliharaanya, dan
Setelah itu diperintahkanlah pengawal untuk kembali
menjemput Saidhi Raba.dan Tidak lama
kemudian,datanglah Saidhi ke Istana dan b menanyakan
perihal pemanggilan dirinya.
Omputusangia pun berkata bahwa perihal
pemanggilan saidhi raba kesitana karena ia ingin menguji
kesaktian yang dimiliki Saidhi Raba. Pertama-tama,
omputosangia menminta Saidhi Raba untuk membaca isi
hatinya, apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang ia
inginkan saat itu, maka omputo sangia akan masuk
Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba
pun mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki
seorang anak karena istrinya mandul. Dan untuk
mewujudkan keinginan omputo sangia , maka Berdoalah
Saidhi Raba kepada Tuhan agar agar istri omputo sangia
yang sudah tua itu bisa mengandung seorang anak,namun
beberapa hari berlalu doa yang di panjatkan saidhi raba
tidak kujung terkabul.olehnya itu, Muncul kecurigaan
dalam benak omputosangia bahwa Saidhi Raba tidaklah
sehebat seperti apa yang dibicarakan. Dengan belum
terkabulnya doa saidhi Raba tidak lantas membuatnya
putus asa. Ia pun kembali berdoa dan terus berdoa dan
pada akhirnya ,doa Saidhi Raba diterima oleh Allah. Istri
Raja pun mengandung dan pada akhirnya omputo sangia
masuk agama Islam. Sebelum ia kembali, Saidhi Raba
mengingatkan pada omputo sangia bahwa roh yang ada
dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa
diberikan Tuhan karena umur permaisuri sudah sangat tua.
Tibalah waktunya permaisuri untuk melahirkan.
Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang
dilahirkan oleh istri Raja Muna tersebut adalah berupa
makhluk berbadan setengah manusia dan setengah ular,
anak itu di beri nama la ode wuna. Raja pun sangat sedih
melihat kondisi anaknya. Namun juga, raja sangat malu
dengan keadaan anaknya sehingga anaknya
disembunyikannya dalam gua sampai tumbuh dewasa.
B. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema cerita Mitos La Ode Wuna adalah kenyataan
pahit yang tidak sesuai dengan harapan.
2. Tokoh
 Tokoh utama dalam cerita mitos La Ode Wuna
adalah Raja Omputusangia atau La Ode husni,
dan La Ode Wuna.
 Tokoh pendukung dalam cerita mitos tersebut
adalah saudagar Arab bernama Saidhi Raba, istri
Raja Omputusangia, pengawal kerajaan dan
gadis-gadis di kerajaan.
3. Alur
Alur cerita La Ode Wuna adalah alur maju. Terlihat
jelas dari cerita yang mulai dari awal hingga akhir.
4. Latar
Cerita La Ode Wuna berlatar pada zaman dahulu,
adapun latar waktu dalam cerita tersebut adalah sekitar
tahun 1716-1757, pada suatu malam, suatu hari, lima
belas tahun kemudian, dan pada hari keempat puluh.
Sedangkan latar tempat dalam cerita tersebut adalah di
Pulau Muna tepatnya di istana kerajaan Omputusangia,
di tempat peristirahatan Omputusangia, dalam sebuah
guci, di Unggumora, dan di langit.
5. Sudut pandang
Sudut pandang dalam penceritaan La Ode Wuna
menggunakan sudut pandang orang ke-tiga.
6. Amanat
 Kita tidak boleh memaksakan kehendak yang
tidak mungkin untuk dilakukan.
 Menerima segala kekurangan orang yang
berada paling dekat dengan kita utamanya
keluarga.
 Saat orang di dekat kita memiliki kekurangan,
kita harus selalu memberikannya dukungan dan
motivasi secara terus menerus untuk bangkit.
 Kita hanya bisa berusaha dan untuk
sepenuhnya kita serahkan kepada sang
Pencipta.
Unsur ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang mendukung cerita
dari luar, seperti biografi pengarang. Namun dalam hal
karya sastra daerah, salah satu cirinya adalah tidak
diketahui siapa pengarangnya. Oleh karenanya, unsur
ekstrinsik dalam Mitos La Ode Wuna dapat dilihat dari
adat istiadat dan kebudayaan suku Muna. Suku Muna pada
zaman dahulu juga mengenal adanya kerajaan dan raja-
raja di pulau Muna.
C. Unsur Pendidikan
Cerita La Ode Wuna mengajarkan kita beberapa kebikan
melalui beberapa tokoh. Contohnya saudagar Arab
bernama Saidhi Raba yang mengunjungi pulau Muna
untuk mengajarkan agama Islam. Hal yang patut kita
contoh dari karakter tersebut adalah niat baik dari Saidhi
Raba yang ingin menyebarkan kebaikan melalui agama
Islam. Ini dibuktikan dengan kesediaanya membantu raja,
dia berdoa kepada Allah, agar raja diberi keturunan. Selain
itu, karakter La Ode Wuna yang tidak pernah mengeluh
dengan kekurangannya, bahkan dia menjadi anak yang
ceria, ini dapat dilihat dalam cerita bagaimana dia sering
menggoda gadis-gadis kerajaan, bahkan meminta izin
kepada ayanhnya untuk menikah. La Ode Wuna juga tidak
membantah ayahnya ketika dia tidak diizinkan untuk
menikah, dan juga ketika dia diasingkan oleh ayahnya.
Sumber data:
NAMA: WA KARUNA
UMUR: 36 TAHUN
ALAMAT: DESA LAKOLOGOU, KEC. TONGKUNO, KAB.
MUNA.
Bagian IV
Mantra
A. Mantra dalam Bahasa Muna
Kantisele Katelebuta
Palihara-palihara
Fodholi kadhampuno
Fosuli harasiamu
Suli fumaa ompumu
Kasumpuno kalibuta
Kasumpuno kantisele
Korko-koko
B. Cara Menggunakan Mantra
 Mantra kantisele katelebuta hanya bisa digunakan
oleh seorang dukun untuk mengobati.
 Pengobatan dilakukan dengan meniup wajah bayi
dengan mantra tersebut.
 Waktu penggunaanya adalah ada bayi yang butuh
pengobatan.
 Tidak ada pakaian khusus dalam menggunakan
mantra, cukup pakaian yang digunakan oleh dukun
yang akan mengobati
C. Kegunaan Mantra
Mantra kantisele katelebuta digunakan untuk
mengembalikan roh bayi yang terperanjat. Misalnya,
terperanjat mendengar suara guntur.
Sumber data:
NAMA: WA SONI
UMUR: 80 TAHUN
ALAMAT: DESA LAKOLOGOU, KEC. TONGKUNO, KAB.
MUNA. (JL. POROS RAHA WAMENGKOLI.
Bagian V
Pantun
A. Pantun dalam Bahasa Muna
1. Mieno dhapa nepiara sapi
Nofofumaane bhakeno labu
Ana lahae mebhantino aniini
Insoba ulangi tanasepaku
Terjemahan :
Orang jepang memelihara sapi
Dia memberi makanan buah labu
Anaknya siapa yang berpantun tadi
Coba ulangi satu kali lagi
2. Aeutamo bhakeno labu
Arunsae welo bhasi
Ane paise dasumambahea
Kanaraka nemponamisi
Terjemahan :
Saya memetik buah labu
Saya simpan dalam rantang
Kalau kita tidak sholat
Menjadi susah selama hidup
3. Akalamo te masalili
Apansuru we katibu
Pake songkono peda hatibi
Lembi songkono peda kasibu
Terjemahan :
Saya pergi ke Masalili
Saya lanjut di Katibu
Pakai songko seperti imam
Buka songko seperti pencuri
B. Pesan yang Disampaikan dalam Pantun
1. Pantun pertama adalah pantun anak-anak. Pantun
tersebut merupakan pantun sukacita yang berisi
tentang kesenangan orang mendengarkan anak yang
sedang berpantun.
2. Pantun kedua adalah pantun agama. Pantun tersebut
berisi tentang nasehat agama yang menjelaskan
untuk menjaga sholat.
3. Pantun ketiga adalah pantun jenaka. Pantun tersebut
berisi tentang kelucuan, hal-hal yang lucu, digunakan
untuk bercanda.
C. Sasaran
1. Pantun pertama adalah pantun anak-anak yang
ditujukan untuk anak-anak.
2. Pantun kedua adalah pantun agama yang ditujukan
untuk semua orang.
3. Pantun ketiga adalah pantun jenaka yang ditujukan
untuk menghibur semua orang.

Sumber data:
NAMA: WA KARUNA
UMUR: 36 TAHUN
ALAMAT: DESA LAKOLOGOU, KEC. TONGKUNO, KAB.
MUNA.
Bagian VI
Penutup
A. Kesimpulan
Sastra daerah atau biasa di kenal juga dengan
sastra lisan atau tradisis lisan, merupakan salah satu jenis
warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses
pewarisannya dilakukan secara lisan. Beberapa contoh
sastra daerah Muna adalah legenda Sawerigadi, mitos La
Ode Muna, mantra Kantisele Katelebuta, dan pantun
B. Saran
Pembaca perlu mencari referensi lain untuk
menambah wawasan serta pemahaman tentang sastra
daerah, khususnya sastra daerah Tolaki.
Daftar Pustaka

Ajip, Rosidi. 1997.Kumpulan Pantun. Jakarta: Pustaka


Jaya.
Hotomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan:
Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Jawa
Timur.
Indrastuti, Kussuji, Novi Siti. 2007. Semiotika :Michael
Riffaterre dan Roland Barthes. Jakarta : Dunia Pustaka
Jaya.
Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Teeyw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Anda mungkin juga menyukai