Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) adalah M.
tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau
tanpa OAT lainnya. Berdasarkan Guidelines for the programmatic management of
drug resistant tuberculosis: emergency update oleh WHO (2008) resisten terhadap
OAT dinyatakan bila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
pertumbuhan M. Tuberculosis in vitro saat terdapat satu atau lebih OAT.1
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: 2
Mono resisten Resisten terhadap satu obat lini pertama
Poli resisten Resisten terhadap lebih dari satu OAT lini
pertama selain kombinasi isoniazid dan
rifampisin.
Multi drug resistant (MDR) Resisten terhadap sekurang-kurangnya
isoniazid dan rifampisin
Extensively drug resistant TB-MDR ditambah kekebalan terhadap
(XDR) salah satu obat golongan flourokuinolon dan
sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan
amikasin).
TB Resisten Rifampisin (TB Resisten terhadap rifampisin (monoresisttan,
RR) poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan fenotip atau genotip
dengan atau tanpa resistan OAT lainnya
2.2 Epidemiologi
”WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008” menyatakan bahwa
resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia.
Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang
resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan
INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya.3 Pada tahun 2010 WHO
menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun.

1
Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah Estonia,
Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan.4
Indonesia menduduki rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang
mempunyai bebantinggi dan prioritas kegiatan untuk MDR. Beban TB-MDR di
27 negara ini menyumbang 85% dari beban TB-MDR global. Di negara-negara
yang termasuk dalam daftar ini minimal diperkirakan terdapat 4000 kasus TB-
MDR atau sekurangkurangnya10% dari seluruh kasus baru TB-MDR. Laporan
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2008 kasus TB-MDR di Indonesia
sebesar 6.427. Angka tersebut merujuk pada perkiraan angka TB-MDR sebesar
2% dari kasus TB baru dan 20% dari kasus TB pengobatan ulang.5
2.3 Mekanisme terjadinya resistensi
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetic, dan hal ini
membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan
berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur
M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan
sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih dari satu OAT jarang
disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak
adekuat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan
mudah diobati, tetapi terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan
meningkatkan populasi galur resisten obat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya
dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Penularan galur
resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. 6
2.4 Diagnosis
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua Pasien
yang dicurigai TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat
M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH maka dapat
ditegakkan diagnosis TB-MDR. Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR
adalah : 7
1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan
dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu

2
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang
mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah
sisipan dengan kategori 1
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1
dan atau kategori 2
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR
konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR
9. TB-HIV
Diagnosis TB-MDR tergantung pada pengumpulan dan proses kultur
spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien
tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak
bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua
harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai.8
2.4.1 Alur Diagnosis
Diagnosis TB resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji
kepekaan M. Tuberculosis dengan metode standar yang tersedia di Indonesia
yaitu metode tes cepat (rapid test) dan metode konvensional. Ssat ini ada 2
metode tes cepat yag dapat digunakan yaitu pemeriksaan Gen eXpert (uji
kepekaan untuk rifampisisn) dan LPA (uji kepekaan untuk rifampisisn dan
isoniazid). Sedangkan metode konvensional yang digunakan adalah
Lowenstein Jensen/LJ dan MGIT.

3
Gambar 2.1 Alur diagnosis TB Resisten Obat
2.5 Tatalaksana
Idealnya regimen pengobatan kasus TB dengan resistensi obat disusun
berdasarkan hasil in vitro drug susceptibility (DST) yang dilakukan pada masing-
masing pasien. Namun yang menjadi kendala adalah hasil pemeriksaan ini baru
dapat diperoleh dalam 1-2 bulan. Oleh karena itu pada beberapa kondisi berikut
ini antara lain pasien dengan riwayat gagal pengobatan sebelumnya, pasien yang
sebelumnya pernah mendapat terapi OAT, pasien yang ada kontak dengan kasus
TB resisten OAT dan pasien yang lahir dan tinggal pada daerah endemis TB,
resistensi obat harus di antisipasi dan terapi harus dimulai tanpa menunggu hasil
DST. 3

4
2.5.1 Beberapa strategi pengobatan TB-MDR
1. Pengobatan standar. Data drugs resistancy survet (DRS) dari populasi
pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan
karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan
mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-
MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan
2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan
riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan
populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah
ada hasil uji kepekaan individual.
3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini  Isoniazid (H)  Pyrazinamide (Z)
Pertama  Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini  Capreomycin
kedua (Cm)
Golongan-3 /  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin
Golongan  Levofloxacin (Mfx)
Floroquinolone (Lfx)
Golongan-4 / Obat  Ethionamide (Eto)  Para amino
bakteriostatik lini  Prothionamide salisilat (PAS)
kedua (Pto)  Terizidone (Trd)
 Cycloserine (Cs)
Golongan-5 / Obat  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone
yang belum terbukti  Linezolid (Lzd) (Thz)
efikasinya dan tidak  Amoxilin-  Clarithromycin
direkomendasikan Clavulanate (Clr)
oleh WHO (Amx-Clv)  Imipenem (Ipm)

5
2.5.2 Prinsip pengobatan TB-MDR
Secara umum, prinsip pengobatan TB resistan obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut: 11,9
1. Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.
2. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang (cross-resistance)
3. Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
4. Gunakan obat dari golongan/kelompok 1 - 5 secara hirarkis sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan
kondisi program.
5. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
6. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
7. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.
8. Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahaplanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment,dengan
PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kaderkesehatan
2.5.3 Paduan obat TB MDR
Paduan obat TB MDR yang diberikan kepada semua pasien TB MDR
(standardized treatment) adalah :
6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto:
Etionamid, Cs: Sikloserin
Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.
Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB MDR,
Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan
dibawah ini: 9
1. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah
satu obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan

6
2. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya
sehingga dicurigai ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah
mendapat kuinolon untuk pengobatan TB sebelumnya, maka dipakai
levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap
levofloksasin regimen pengobatan ditambah PAS, atas pertimbangan dan
persetujuan dari tim ahli klinis atau tim terapeutik
3. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat
diidentifikasi sebagi penyebabnya
4. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi
biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk,
produksi dahak, demam, penurunan berat badan
Ting- Obat Dosis Aktivitas Rasio
katan Harian Anti bakteri kadar
Puncak
Serum
terhadap
MIC
1 Aminoglikosid 15 mg/kg Bakterisid
a.Streptomisin menghambat 20-30
b. Kanamisin organisme 5-7,5
atau yang
amikasin multiplikasi 10-15
c. Kapreomisin aktif
2 Thionamides 10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
(etionamid
Protinamid)
3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid 7,5-10
pada pH asam

4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid 2,5-5


mingguan
5 Ethambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3

7
6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteriostatik 2-4
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100
2.5.4 Fase-fase Pengobatan TB-MDR
1. Fase Pengobatan intensif
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi
(kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama
6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk:
 Menilai keadaan pasien secara cermat
 Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping
 Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan:
 Tidak ditemukan efek samping
 Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai
dengan pedoman pengobatan TB MDR
b. Fase rawat jalan
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan
oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada
fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur
2. Fase pengobatan lanjutan
a. Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
b. Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan
c. Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR
mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap
1 bulan.9
2.6 Pemantauan dan hasil pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB
– batuk, berdahak, demam dan BB menurun – umumnya membaik dalam
beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah
konversi dahak dan biakan. Konversi dahak adalah pemeriksaan dahak dan

8
biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil
negatif. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan.
Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan
setiap 2 bulan pada fase lanjutan.

Gambar 2.2 Pemantauan pengobatan TB MDR


2.6.1 Hasil pengobatan TB MDR (atau kategori IV)
 Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai
protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif
berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12
bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama
waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya
keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif
tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut
yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari.8
 Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan
pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh
karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis.8

9
 Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa
pengobatan TB MDR.8
 Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat
dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu
dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal
apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara
dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping.8
 Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama
berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan
medik.8
 Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan
lain dan hasil pengobatan tidak diketahui.8
2.7 Penanganan efek samping
 Pemantauan efek samping selama pengobatan
1. OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat
dan lebih sering dari pada OAT lini pertama
2. Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan
ditangani makin baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari
3. Efek samping sering terkait dosis
4. Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga
pasien tidak menjadi takut saat mengalaminya dan drop-out
5. Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus
tercatat dalam pencatatan dan pelaporan.10
 Efek samping berat atau serius:
Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan didampingi ke
RS rujukan TB MDR Contoh
1. kulit dan mata pasien nampak kuning
2. Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung
3. mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung
4. Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus
segera ditangani oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok
sebelum segera dirujuk ke RS rujukan TB-MDR.

10
5. Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa
(selaput lendir) seperti mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh
berupa pengelupasan kulit (Steven Johnsons Syndrome).8
2.8 Prognosis
Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis
pada penderita TB-MDR. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa
adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutris, infeksi HIV, riwayat
mengunakan OAT dengan jumlah cukup banyak sebelumnya, terapi yang tidak
adekuat (<2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada
penderita tersebut.13 Dengan mengetahui beberapa petanda diatas dapat membantu
klinisi untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang
menjadi penyebab seperti malnutrisi.10

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant


tuberculosis: emergency update 2008. Geneva, World Health
Organization, 2008 (WHO/HTM/TB/2008.402).
2. Dalimunthe NN, Keliat EN, dan Abidin A. Penatalaksanaan Tuberkulosis
dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi
Imunologi FK Universitas Sumatra Utara. Available from
http://www.ikaapda.com/resources/PAI/Reading/PENATALAKSANAA
N-TUBERCULOSIS-DENGAN-RESISTENSI-OBAT-ANTI-
TUBERCULOSIS.pdf.
3. World Health Organization. Guideline for the programmatic management
of drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008.
4. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi
RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis; 2000.
5. Departemen Kesehatan RI. Penanggulangan TB kini lebih baik.
Available from http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-
release/1348penangulangan-tb-kini-lebih-baik.html.
6. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam
Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah
Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.
7. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
8. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance detection in
Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient
care, 1st ed.
9. PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia cabang Jakarta; 1998.
10. Syahrini H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Adam Malik Medan FK USU. Available from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /3375/1/08E00731.pdf.

12

Anda mungkin juga menyukai