Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Syok kardiogenik adalah sindrom klinik akibat gagal perfusi yang
disebabkan oleh gangguan fungsi jantung; ditandai dengan nadi lemah,
penurunan tekanan rerata arteri (MAP) <65 mmHg, peningkatan LVEDP (>18
mmHg), dan penurunan curah jantung (CI<3,2 L/menit). Syok kardiogenik dapat
disebabkan oleh sindrom koroner akut dan komplikasi mekanik yang
ditimbulkannya (seperti ruptur chordae, ruptur septum intraventrikular (IVS),
dan ruptur dinding ventrikel), kelainan katup jantung, dan gagal jantung yang
berat pada gangguan miokard yang lainnya.1
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin
bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark
miokard. Studi Farmingham memberikan gambaran yang cukup jelas tentang
gagal jantung. Pada studi ini disebutkan bahwa, kejadian gagal jantung per tahun
pada orang berusia > 45 tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7
kasus setiap 1000 orang perempuan. Di Amerika hampir 5 juta orang menderita
gagal jantung2.
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala
atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal, dapat berupa serangan
pertama gagal jantung, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya.
Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. 3 Disfungsi
jantung bisa berupa disfungsi sistolik, disfungsi diastolik atau bahkan keduanya.3
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan
dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan
gagal jantung seringkali timbul bersamaan. Oleh sebab itu, diperlukan
pemahaman lebih lanjut mengenai diagnosis serta penatalaksanaan pada kasus –
kasus dengan syok kardiogenik yang diikuti oleh kelainan jantung lainnya seperti
gagal jantung dan aritmia.
1.2 Batasan Masalah
Case report ini membahas definisi, klasifikasi, diagnosis serta penatalaksanaan
dari syok kardiogenik, gagal jantung serta aritmia
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini adalah mengembangkan wawasan dan
pemahaman penulis mengenai syok kardiogenik, gagal jantung dan aritmia.
1.4 Manfaat Penulisan
Case report ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber keilmuan
sehingga dapat menambah wawasan bagi penulis dalam menangani kasus syok
kardiogenik, gagal jantung dan aritmia.

1
1.5 Metode Penulisan
Penulisan case report ini menggunakan pustaka yang merujuk kepada
beberapa buku, guideline, maupun jurnal.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah sindrom klinik akibat gagal perfusi yang
disebabkan oleh gangguan fungsi jantung; ditandai dengan nadi lemah,
penurunan tekanan rerata arteri (MAP) <65 mmHg, peningkatan LVEDP (>18
mmHg), dan penurunan curah jantung (CO<3,2 L/menit).1
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berkurangnya kemampuan
pompa ventrikel kiri atau ventrikel kanan atau keduanya. Disfungsi ventrikel kiri
dapat disebabkan oleh kerusakan kumulatif dari miokardium atau kombinasi dari
disfungsi miokardium dan kerusakan komponen fungsional lainnya (katup,
septum ventrikel, free wall) akibat iskemia atau nekrosis. Syok kardiogenik
karena disfungsi ventrikel kanan pada umumnya disebabkan oleh infark akut
ventrikel kanan dengan akibat terjadi disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel
kanan.4

3
2.1.1 Diagnosis Syok Kardiogenik
1. Anamnesis:
- Gangguan kesadaran mulai dari kondisi ringan hingga berat
- Penurunan diuresis
- Dapat disertai keringat dingin
- Nadi lemah
2. Pemeriksaan fisik:
- Terdapat tanda-tanda hipoperfusi seperti perabaan kulit ekstremitas
dingin, takikardi, nadi lemah, hipotensi, bising usus berkurang,
oligouria
- Terdapat tanda-tanda peningkatan preload seperti JVP meningkat atau
terdapat ronki basah di basal
- Profil hemodinamik basah dingin (wetand cold)
3. Pemeriksaan penunjang
- EKG
- Hemodinamik monitoring invasif atau non invasif
- Pemeriksaan analisa gas darah atau laktat
4. Kriteria diagnosis
- Memenuhi kriteria anamnesis
- CO<3.2 L/menit atau CI<2.2 L/menit
- SVR meningkat pada fase awal, normal atau menurun pada kondisi lanjut
- Preload cukup atau meningkat
- TAPSE <1.5 berdasarkan pemeriksaan echocardiografi.
- Diuresis <0.5 cc/KgBB/jam1
2.1.2 Tatalaksana Syok Kardiogenik
- Bedrest total
- Lakukan resusitasi jantung jika terjadi cardiac arrest
- Sedasi dengan midazolam, propofol, atau morfin
- Oksigen support (NRM atau CPAP, intubasi jika terjadi gagal napas)
- Pemasangan IVFD
- Jika terjadi gangguan irama seperti taki/bradiaritmia atasi segera dengan
pemberian preparat antiaritmia atau pemasangan pacu jantung, over
drive atau kardioversi
- Monitoring invasif atau non invasif untuk mengetahui status preload,
SVR, dan curah jantung (CO)
- Jika preload rendah maka diberikan fluid challenge 1-4 cc/kgBB/10
menit hingga dipastika preload cukup
- Jika CO rendah dengan SVR tinggi namun MAP masih <70 mmHg
maka diberikan preparat inotropiknon vasodilator (dobutamin) atau
inodilator (milrinon). Pemasangan IABP harus direkomendasikan pada
pasien syok dengan sindrom coroner akut
- Jika CO tinggi dengan SVR rendah maka diberikan preparat

4
vasopressor seperti noradrenalin atau adrenalin atau dopamine
- Dopamine dosis rendah dapat diberikan pada kondisi oliguria
- Pada syok kardiogenik yang refrakter pertimbangkan pemasangan
IABP, ECMO, atau LVAD sebagai bridging terapi definitive
- Terapi definitif seperti PCI, operasi penggantian katup, BMV (pada
MS), urgent CABG harus harus segera dilakukan, atau transplantasi
jantung bila memungkinkan.
- Semua pasien syok kardiogenik harus dirawat di ruang CVCU.1

Gambar 2.1 Tatalaksana Syok Kardiogenik


2.2 Aritmia
Aritmia adalah irama yang bukan berasal dari nodus SA atau irama yang
tidak teratur sekalipun berasal dari nodus SA atau frekuensi kurang dari 60
kali/menit (sinus bradikardi) atau lebih dari 100 kali/menit (sinus takikardi), serta
terdapat hambatan impuls supra/intraventrikular.5
2.2.1 Klasifikasi Takikaritmia
2.2.1.1 Takikardi Kompleks QRS sempit (QRS < 0,12 detik)1
A. Atrial Fibrilasi
Atrial fibrilasi (AF) adalah aritmia jantung menetap yang paling umum
didapatkan. Ditandai dengan ketidakteraturan irama dan peningkatan
frekuensi atrium sebesar 350-650 x/menit sehingga atrium menghantarkan
implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh
periode refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga
menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler. Atrial fibrilasi dapat
terjadi secara episodic maupun permanen. Jika terjadi secara permanen,
kasus tersebut sulit untuk dikontrol.6

5
Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada
beberapa sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya
bervariasi, umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.
Klasifikasi Atrial Fibriasi 6
Beberapa keperpustakaan tertulis ada beberapa sistem klasifikasi atrial
fibrilasi yang telah dikemukanakan, seperti :
1. Berdasarkan laju respon ventrikel, atrial fibrilasi dibagi menjadi :
 AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih
dari 100 kali permenit
 AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih
kurang dari 60 kali permenit
 Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel
antara 60-100 kali permenit.
2. Berdasarkan keadaan Hemodinamik saat AF muncul, maka dapat
diklasifikasikan menjadi :
 AF dengan hemodinamik tidak stabil (gagal jantung, angina
atau infark miokard akut)
 AF dengan hemodinamik stabil
3. Klasifikasi menurut American Heart Assoiation (AHA), atrial
fibriasi (AF) dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
 AF deteksi pertama yaitu tahap dimana belum pernah
terdeteksi AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
 AF paroksimal bila atrial fibrilasi berlangsung kurang dari 7
hari. Lebih kurang 50% atrial fibrilasi paroksimal akan
kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam.
Atrium fibrilasi yang episode pertamanya kurang dari 48 jam
juga disebut AF Paroksimal.
 AF persisten bila atrial fibrilasi menetap lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 7 hari. Pada AF persisten diperlukan
kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.
 AF kronik atau permanen bila atrial fibrilasi berlangsung lebih
dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus (resisten).

6
Gambar 2.2 EKG Jantung Normal dan Atrium Fibrilasi 6
B. Atrial Flutter
Atrial Flutter merupakan salah satu bentuk dari Supraventricular
Takikardi yang diakibatkan makro reentrant sirkuit yang paling sering
terjadi pada atrium kanan. Dasar terjadinya atrial flutter adalah reentrant
pada atrium yang dapat disebabkan oleh jaringan fibrosis pada operasi
jantung, terapi ablasi, fibrosis idiopatik, dan kelainan antaomis lainnya
yang menyebabkan kelainan struktur sistem konduksi atrium.7
Karakteristik EKG Atrial Flutter :
1. Khas dari Atrial Flutter adalah aktivitas aliran listrik atrium yang
konstan dan beraturan dengan rate berkisar 250-350 kali permenit
dan membentuk gambaran seperti mata gergaji atau dikenal
dengan "Saw Tooth Appereance"
2. Respon Ventrikel dapat reguler maupun ireguler tergantung dari
konduksi AV node
3. Gelombang Flutter biasanya paling baik terlihat di lead inferior
( II,III,aVF )
4. Garis Baseline EKG hampir tidak ada pada lead inferior

Gambar 2.3 Atrial Flutter7


C. Atrioventricular nodal reentry tachycardia (AVNRT)
Pada jenis AVNRT, reentry terjadi di dalam nodus AV, dan jenis ini
merupakan mekanisme yang paling sering menimbulkan TSV pada bayi
dan anak. Sirkuit tertutup pada jenis ini merupakan sirkuit fungsional.Jika
konduksi antegrad terjadi pada sisi lambat (slow limb) dan konduksi
retrograd terjadi pada sisi cepat (fast limb), jenis ini disebut juga jenis
typical (slow-fast) atau orthodromic. Kelainan pada EKG yang tampak

7
adalah takikardi dengan kompleks QRS sempit dengan gelombang p yang
timbul segera setelah kompleks QRS tersebut dan terbalik atau kadang-
kadang tidak tampak karena gelombang p tersebut terbenam di dalam
kompleks QRS. Jika konduksi antegrad terjadi pada sisi cepat dan
konduksi retrograd terjadi pada sisi lambat, jenis ini disebut jenis atypical
(fast-slow) atau antidromic. Kelainan yang tampak pada EKG adalah
takikardi dengan kompleks QRS sempit dan gelombang p terbalik dan
timbul pada jarak yang cukup jauh setelah komplek QRS.8

Gambar 2.4 AV Nodal Reentrant Tachycardia8


D. Multifocal Atrium Takikardi (MAT)
Multifokal takikardia atrium (MAT) adalah aritmia jantung yang
disebabkan oleh beberapa situs bersaing aktivitas atrium. Hal ini ditandai
dengan tingkat atrium yang tidak teratur lebih dari 100 denyut per menit
(bpm). Kegiatan atrium terorganisasi dengan baik, dengan setidaknya 3
gelombang berbeda secara morfologis P, interval P-P tidak teratur, dan
dasar isoelektrik antara gelombang P.9
Diagnosis MAT multifocal dikonfirmasi dengan EKG yang
menampilkan fitur berikut (lihat gambar di bawah):
 Tingkat ventrikel tidak teratur lebih besar dari 100 bpm
 Terorganisir dan gelombang P diskrit dengan setidaknya 3 morfologi
yang berbeda dalam memimpin elektrokardiografi yang sama.
  Interval PP, PR, dan RR tidak teratur dengan dasar isoelektrik antara
gelombang P

8
Gambar 2.5 Multifokal Atrium Takikardi9
E. Junctional Takikardi
Junctional takikardia adalah bentuk takikardia supraventricular ditandai
dengan keterlibatan nodus AV. Hal ini dapat kontras dengan takikardia
atrium. Ini adalah takikardia terkait dengan generasi impuls dalam fokus di
wilayah node atrioventrikular karena adanya pemisahan A-V. Secara
umum, tingkat intrinsik AV junction adalah 40-60 bpm sehingga
takikardia junctional menyiratkan tingkat> 60 bpm.10
Junctional takikardi dapat dikaitkan dengan toksisitas digitalis. Ini
mungkin juga karena terjadinya sindrom koroner akut, gagal jantung,
penyakit sistem konduksi dengan automaticity ditingkatkan, atau
administrasi teofilin.10
Pada EKG, Junctional Takikardia menunjukkan kriteria klasik berikut:
 P-Waves: gelombang-P dapat terbalik di lead II, III dan aVf atau
tidak terlihat
 kompleks sempit QRS (yang konsisten dengan irama non-
ventrikel)
Keadaan ini dapat berdampingan dengan takikardia superventricular lain
karena pemisahan antara node SA dan AV node. Junctional Tachycardia
dapat muncul mirip dengan atrioventrikular reentrant tachycardia nodal.
Salah satu bentuknya adalah junctional takikardia ektopik.10

Gambar 2.6 EKG Takikardia Junctional


2.2.1.2 Takikardi Kompleks QRS Lebar (QRS > 0,12 detik)
A. Ventrikel Takikardi
Ventrikel takikardia adalah irama jantung yang cepat yang dimulai di
bagian bawah jantung (ventrikel). Jika tidak diobati, beberapa bentuk
ventricular tachycardia dapat memburuk dan menyebabkan fibrilasi

9
ventrikel, yang dapat mengancam jiwa.11,12
Klasifikasi Ventricular Tachycardia11
Ventrikel takikardia dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Morfologi
 Monomorfik
 polimorfik VT
 Torsades De Pointes (Polymorphic dengan perpanjangan QT)
A. Monomorfik VT
 Irama Teratur
 Berasal dari satu focus dalam ventrikel
 Menghasilkan komplek QRS seragam dalam setiap memimpin
masing-masing QRS identik
 Klasik monomorfik VT dengan kompleks QRS seragam.
 Axis tak tentu.
 QRS Sangat luas (~ 200 ms).

Gambar 2.7 VT Monomorfik12


B. Ventrikel Fibrilasi
Fibrilasi ventrikel ialah irama ventrikel yang chaos dan sama sekali
tidak teratur. Hal ini menyebabkan ventrikel tak dapat berkontraksi dengan
cukup sehingga curah jantung sangat menurun, bahkan sama sekali tidak
ada, sehingga tekanan darah dan nadi tidak bisa diukur, pasien tidak sadar
dan bila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian. Fibrilasi
ventikel (VF) merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang
ditandai oleh kompleks QRS,gelombang P dan segmen ST yang tidak
beraturan dan sulit dikenali(disorganized).
Fibrilasi ventrikel mempunyai karakter sebagai berikut :
Irama : Tidak teratur
Frekuensi : Lebih dari 350x/menit sehingga tidak dapat dihitung

10
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada

Gambar 2.8 EKG Ventrikel Fibrilasi13


C. Takikardi Pre-eksitasi (Sindrom Wolff Parkinson White)
Sindrom WPW adalah kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh impuls
dari atrium dikonduksi ke vetrikel lebih cepat dari biasanya yang melalui
jalur tambahan. Pada WPW jalur pintasnya diberi nama berkas Kent.
Berkas ini merupakan jalur konduksi aberans yang berciri sendiri dan
menghubungkan atrium dengan ventrikel. Berkas dapat berada di sisi kiri 
(menghubungkan atrium kiri dan venrikel kiri) atau di sisi kanan
(menghubungkan atrium kanan dan venrikel kanan).
Gambaran EKG yang khas untuk sindrom WPW adalah adanya
gelombang delta sebagai akibat take-off dari kompleks QRS yang terjadi
lebih awal dari biasanya, karena ventrikel diaktivasi oleh impuls melalui
jalur tambahan. Dengan demikian interval PR menjadi lebih pendek dari
normal, dan kompleks QRS menjadi lebih lebar.14,15
Takikardi dimulai dengan denyut atrium prematur yang dihantarkan
melalui saluran pintas dalam nodus AV. Respons Ventrikel menginduksi
denyut gema ( eko) yang kembali ke atrium melalui saluran retrograd
dalam nodus AV. Denyut gema ini selanjutnya menjalar kembali ke
ventrikel, dan seterusnya. Iramanya  mutlak teratur, dengan frekuensi
biasanya antara 150-280 denyut/menit.14
Mulainya mendadak dan biasanya diawali dengan denyut
supraventrikular prematur dan berhentinya juga sama mendadaknya.
Takikardi ini dipacu oleh lengkungan sirkuit re-entran dalam nodus AV.
Kadang-kadang dapat ditemukan gelombang P retrograd ( yang paling
baik adalah melihat pada sadapan II dan  III ), tetapi lebih sering
gelombang P terbenam pada kompleks QRS dan tidak dapat diidentifikasi 
sama sekali.15

11
Gambar 2.9 EKG Wolff Parkinson White Syndrome 14
D. Ventrikel Ekstra Sistol
Ekstrasistol ventrikel adalah gangguan irama jantung
d i m a n a t i m b u l d e n y u t j a n t u n g  prematur yang berasal dari fokus
yang terletak di ventrikel" Ekstrasistol ventrikel dapat berasal dari satu
ventrikel atau lebih". Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan
irama jantung yang paling sering ditemukan dan dapat timbul pada
jantung yang normal" biasanya frekuensinya bertambah dengan
bertambahnya usia, terlebih bila banyak minum kopi merokok atau emosi.
Ekstrasistol ventrikel dapat disebabkan oleh iskemia miokard, infark
miokard akut, gagal jantung, sindrom QT memanjang, prolaps katup
mitral, cerebrovaskular accident, keracunan digitalis, hipokalemia,
miokarditis, kardiomiopati. Pengobatan ditujukan pada penyakit dasarnya
atau pengobatan perlu diberikan pada ventrikel ekstrasistol yang
dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel yang dapat berbahaya,
seperti takikardi ventrikel.16
Pada pasien yang infark jantung akut tera pi perlu diberikan
bila ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat berkembang
menjadi aritmia ventrikel yang berbahaya se perti takikardi atau
fibrilasi. ventrikel Ekstrasistol yang maligna yaitu yang
jumlahnya lebih dari lima kali  permenit, ekstrasistol ventrikel yang
timbul berturut -turut (consequtive), ekstrasistol ventrikel yang multifokal,
ekstrasistol ventrikel yang muncul pada gelombang T (R on T).16
Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapat dibagi menjadi :
- PVC jarang (infrequent) kurang dari lima kali permenit

12
- PVC sering (frequent) lebih dari lima kali permenit
- PVC repetitif: bila muncul pada tiap denyutan (beat)
kedua dari irama dasar disebut PVC bigemini, bila timbul
pada denyutan ketiga dari irama dasar disebut PVC trigemini.
- PVC berkelompok- bila dua PVC muncul berkelom pok
disebut PVC salvo. Bila tiga atau lebih PVC disebut VT.
- PVC multifokal: bila bentuk PVC dalam satu
s a d a p a n b e n t u k n y a b e r l a i n a n . I n i menunjukkan
fokus ektopik berasal lebih dari satu tempat.
- Fenomena R on T. PVC muncul pada periode repolarisasi
ventrikel yang rentan untuk terjadi VT. yaitu pada downslop
gelompang T.

Gambar 2.10 VES Bigemini16

Gambar 2.11 VES Trigemini16


Ciri-ciri VES pada gambaran EKG :
P sinus biasanya terbenam di dalam kom pleks QRS, segmen
ST atau gelombang T, kom plek QRS muncul lebih awal dari
seharusnya, QRS melebar (0,12 detik), gambaran QRS wide
and bizzare, segmen ST dan gelombang T berlawanan arah dengan
kompleks QRS.16

13
2.2.2 Algoritma Takikardi

Gambar 2.12 Algoritma Takiaritmia17


2.2.3 Tatalaksana
2.2.3.1 Non Medikamentosa
A. Defibrilasi
Defibrilasi merupakan suatu proses pemberian sejumlah arus listrik
untuk kejut jantung melalui alat defibrillator yang diharapkan dapat
mengembalikan irama jantung menjadi normal. Dengan kata lain proses
defibrilasi mencakup penghantaran listrik melalui dinding dada menuju
jantung untuk memadamkan aliran-aliran listrik “liar” sel-sel miokard.
Defibrilasi dilalukan pada kondisi henti jantung yang disebabkan VT
(Ventrikular Takikardi), VF (Ventrikel Fibrilasi), atau VT Polimorfik
(Torsades de Pointes). Keberhasilan akan menurun jika defibrilasi
dilakukan semakin lama dan VF akan cenderung berubah menjadi asistol
dalam beberapa menit. Angka kematian akan meningkat 7-10%.17
Pada defibrillator bifasik, besarnya energi awal yang digunakan adalah
150-200 J dengan gelombang bifasik ekponensial yang diperpendek atau
120 J pada gelombang bifasik rektiliner. Untuk kejut berikutnya digunakan
energi yang sama atau lebih besar. Bila provider menggunakan defibrilator

14
bifasik yang tidak mengetahui rentangdosis efektif untuk mengatasi VF,
maka penolong dapat menggunakan pilihan 200 J sebagai dosis awal dan
seterusnya. Bila menggunakan defibrilator monofasik, pilih dosis 360 J
untuk semua kejutan. Dosis terkecil defibrilasi yang efektif pada bayi dan
anak dan batas atas untuk defibrilasi yang aman juga belum diketahui.
Dosis 4-9 J/Kg efektif memberi defibrilasi pada anak-anak, tanpa efek
buruk yang bermakna. Pada anak usia 1-8 tahun defibrilasi manual yang
merekomendasikan (monofasik atau bifasik) adalah 2J/Kg untuk
percobaan pertama dan 4 J/Kg untuk percobaan selanjutnya.17

Gambar 2.13 Defibrilasi


B. Kardioversi Tersinkronisasi
Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan
dengan komplek QRS (sinkron). Sinkronisasi ini bertujuan untuk
menghindari hantaran kejut selama masa refrakter relatif siklus jantung.
Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk kejut sinkronisasi lebih rendah
daripada yang digunakan untuk kejut yang tidak tersinkronisasi
(defibrilasi). Kejut dengan energi ini seharusnya selalu dihantarkan
sebagai kejut yang sinkron karena jika dihantarkan sebagai kejut tidak
tersinkronisasi maka dapat memicu terjadinya VF.
Jika kardioversi dibutuhkan dan tidak mungkin dilakukan kejut sikron
(misalnya irama jantung pasien ireguler), gunakan kejut asinkron energi
tinggi. Hantaran kejut tersinkronisasi (kardioversi) diindikasikan untuk
mengobati takiaritmia yang tidak stabil yang berhubungan dengan
pembentukan komplek QRS dan adanya nadi seperti pada SVT,
atrialfibrilasi, atrial flutter. Kardioversi tersinkronisasi dapat juga
dilakukan pada VT monomorfik dengan nadi dengan hemodinamik yang
tidak stabil.17
Dosis energi awal yang direkomendasikan untuk kardioversi atrial
fibrilasi adalah 120-200 J. sedangkan untk atrial flutter dan
supraventikuler tachicardia membutuhkan energi yang lebih rendah; yakni

15
50-100 J. Jika dengan dosis 50 J awal gagal, penolong sebaiknya
meningkatkan dosis secara bertahap. Pada anak-anak dapat diberikan
energi awal 0.5-1 j/Kg untuk SVT, dengan dosis maksimal 2J/Kg. VT
monomorfik yang tidak stabil dengan atau tanpa nadi diobati sebagai VF
dengan menggunakan energi kejut tinggi yang tidak tersinkronisasi (dosis
defibrilasi). Dosis untuk aak-anak direkomendasikan energi awal 0,5-1
J/Kg, dengan dosis maksimal 2J/Kh, dengan dosis maksimal 2J/Kg sama
seperti pada SVT.17

Gambar 2.14 Kardioversi


C. Manuver Vagal
Pada takikardi komplek QRS sempit teratur dapat dicoba manuver
vagal. Manuver vagal dan adenosin merupakan piihan terapi awal untk
terminasi PSVT stabil. Manuver vagal saja (manuver valsava atau pijat
sinus karotis) dapat menghentikan hingga 25% PSVT. Untuk SVT lainnya,
manuner vagal dan adenosin dapat memperlambat denyut ventrikel secara
transien sehingga berpotensi membantu diagnosis irama tetapi biasanya
tidak akan menghintikan takiaritmia yang ada. Manuver vagal yang cukup
efektif dan sering dilakukan adalah pijat sinus karotis.17
Cara melakukan pijat sinus karotis:
- Pasien terpasang monitor EKG. Posisi telentang dengan kepala
ekstensi dan sedikit berpaling ke arah kontralateral dari sisi yang
akan dipijat.
- Cari titi disalah satu arteri karotis kiri atau kanan di leher setinggi
mungkin.
- Pijat arteri karotis dengan gerakan sirkular selama 5-10 detik
sambil terus memperhatikan monitor.
- Bila tindakan tidak berhasil bisa dicoba ulang di sisi sebelahnya.
Kontraindikasi pijat sinus karotis :
- Riwayat infark miokard
- Riwayat TIA atau stroke dalam 3 bulan terakhir
- Riwayat ventrikuler fibrilation atau ventrikuler tachicardia
- Adanya bruit pada arteri karotis.

16
Gambar 2.15 Manuver Vagal
2.2.3.2 Medikamentosa
A. Amiodaron (Obat penghambat saluran natrium)
Amiodaron mempunyai spectrum luas terhadap jantung. Sangat efektif
sebagai penghambat saluran natrium, tetapi tidak seperti kuinidin,
afinitasnya rendah pada saluran aktif, dan hampir selalu terikat denga
saluran dalam keadaan tidak aktif. Jadi, kerja penghambat natrium
amiodaron lebih menonjol pada jaringan yang mempunyai kerja potensial
panjang. Kerja potensial yang sering timbul atau potensial diastolic yang
kurang negative. 18
Amiodaron memperlambat kecepatan sinus dan hantaran
atrioventrikular, memperpanjang interval QT dengan nyata, dan
memperpanjang masa QRS. Meningkatkan nodus atrium dan
atrioventrikular, dan periode refrakter ventrikel.
Amiodaron mempunyai waktu paruh yang sangat panjang (13-103
hari). Konsentrasi plasma efektif kira-kira 120μg/mL. sementara
konsentasi dalam jaringan jantung kira-kira 30 kali lebih tinggi. Dosis
awal 0,8-1,2 g sehari selama kira-kira 2 minggu. Setelah itu diberikan
dosis pemeliharaan 0,2-1 g sehari. Karena waktu paruh obat panjang, dosis
sekali sehari sudah adekuat. Bila terjadi efek toksik, setelah pemeberian
jangka panjang pemberian obat dihentikan.18
Amiodaron sangat efektif terhadap aritmia supraventrikular maupun
ventricular. Umumunya dosis relatif rendah (200-400 mg/hari) dapat
digunakan pada fibrilasi atrium paroksimal.18
B. Sotalol (obat yang memperpanjang periode refrakter efektif
dengan memperpanjang aksi potensial)
Sotalol adalah penghambat beta nonselektif yang juga memperpanjang
masa kerja potensial dan merupakan obat antiaritmia yang efektif. sotalol
dapat digunakan baik pada aritmia supraventrikular. Dosis efektif biasanya
4-6 mg/kg/hari dibagi dalam dua atau tiga kali pemberian.18

17
C. Adenosin
Adenosin adalah nukleosid yang berada diseluruh tubuh secara
alamiah waktu paruhnya dalam darah diperkirakan kurang dari 10 detik.
Cara kerjanya meliputi peningkatan saluran kalium dan menghambat
cAMP-penyebab influx kalsium. Hasil keja ini ditandai hiperpolarisasi dan
penekana kerja potensial yang tergantung pada kalsium. Apabila diberikan
dosis bolus, adenosis langsung menghambat konduksi nodus
atrioventrikuler dan meningkatkan periode refrakter nodus atrioventrikular
tetapi hanya mempunyai efek sedang pada fungsi nodus sinoatrial.
Adenosin merupakan obat pilihan untuk penanggulangan segera terhadap
takikardi paroksismal supraventrikular karena kemampuannya tingi dan
kerjanya berlangsung sangat pendek. Sering diberikan dengan dosis bolus
6 mg yang diikuti, bila perlu, dengan dosis 12 mg. obat tersebut juga
efektif pada pasien dengan takikardi ventricular.18
D. Prokainamid (Penghambat Saluran Natrium)
Prokainamid lebih efektif pada penghambatan saluran natrium pada sel
yang mengalami depolarisasi.17 Prokainamid aman diberikan intravena dan
intramuslular serta diabsorbsi baik melalui oral dengan 75% keberadaan
biologik sistemik. Metabolik utama adalah N.- asetilprokainamid
(‘NAPA”, acecainide). Merupakan penghambat saluran natrium yang
lambat dan mempunyai aktifitas tingkat III. Penimbunan yang berlebihan
NAPA telah dilibatkan pada “torsade de pointes” selama pengobatan
prokainamid. Beberapa individu mengasetilasi prokainamid dengan cepat
dan menghasilkan kadar N-asetilprokainamid yang tinggi.18
Waktu paruh prokainamid hanya 3-4 jam, sehingga perlu sering
diberikan. Prokainamid dan N-asetilprokainamid keduanya dikeluarkan
terutama melalui ginjal. Jadi dosis sebaiknya dikurangi pada penderita
gagal ginjal. Apabila dibutuhkan efek cepat, intravena dengan dosis besar
sampai 12 mg/kg/menit atau kurang. Dosis ini diikuti dengan dosis
pemeliharaan 2-5 mg/menit, dengan monitor kadar dalam plasma secara
cermat. Resiko timbul keracunan saluran cerna atau jantung pada
konsentrasi plasma lebih besar dari 8µg/mL atau konsentrasi NAPA lebih
besar dari 20µg/mg.
Prokainamid peroral penggunaanya sering kurang tepat. Bila
dibutuhkan aktivitas antiaritmia sepanjang hari, obat lepas lambat harus
diberikan setiap 6 jam pada kebanyakan kasus. Untuk mengontrol aritmia
ventrikel biasanya dibutuhkan dosis total 2-5 g/hari. Kadang-kadang
penderita yang mengakumulasi N-asetilprokainamid dengan kadar tinggi
dan dimana sewanya tersebut bersifat aktif, kemungkinan pengurangan
dosis lebih mungkin dilakukan. Hal ini juga mungkin pada penyakit
gunjal, dimana pengeluaran prokainamid diperlambat.18
Prokainamid efektif terhadap kebanyakan aritmia atrium dan

18
ventrikel.prokainamid merupakan obat pilihan kedua (setelah lidokain)
pada kebanyakan unit perawatan jantung untuk pengobatan aritmia
ventrikular yang terus- menerus berkaitan dengan infark miokardium
akut.18
E. Lidokain (Penghambat saluran natrium)
Lidokain adalah obat aritmia yang paling lazim dipakai dengan
pemberian secara intravena. Insiden toksisitas rendah dan mempunyai
efektivitas tinggi pada aritmia otot jantung akut.18
Lidokain merupakan penghambat kuat terhadap aktivitas jantung yang
tidak normal, dan tampaknya selalu bekerja pada saluran natrium.
Lodikain menghambat segera saluran natrium baik dalam keadaan aktif
maupun tidak aktif. Sebagai akibatnya, sebagian besar (>50%) saluran
natrium yang tidak dihambat menjadi terhambat selama setiap kerja
potensial dalam serat purkinje dan sel ventrikel, yang mempunyai plateau
yang panjang (dan sesuai dengan masa inaktif yang panjang). Lidokain
sangat efektif untuk menekan aritmia yang berhubungan dengan
depolarisasi (misalnya, iskemia, kerasunan digitalis), tetapi relatif tidak
aktif terhadap aritmia yang terjadi pada jaringan dengan polarosasi secara
normal (misalnya, kepa dan fibrilasi atrium).18
Lidokain memiliki paruh waktu kira-kira 2 jam. Pada orang dewasa,
dosis awal 150-200mg diberikan lebih dari 15 menit sebaiknya diikuti
infus dosis pemeliharaan 2-4 mg/menit untuk mencapai kadar terapi
plasma 2-6µg/mL.18
Lidokain adalah obat pilihan untuk menekan takikardia ventrikel dan
fibrilasi setelah kardioversi. Beberapa kejadian juga beranggapan bahwa
lidokain sesungguhnya mengurangi insiden fibrilasi ventrikel
padabeberapa hari pertama setelah infark otot jantung akut. Tetapi masih
kontroversi, apakah lidokain harus diberikan secara rutin pada semua
pasien setelah infark otot jantung. Lidokain jarang efektif pada aritmia
supraventrikular, kecuali yang berhubungan dengan sindrom Wolf-
parkinson-white atau keracunan digitalis.18
2.3 Gagal Jantung
Dalam Buku Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung yang diterbitkan oleh
PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia) disebutkan
beberapa faktor pencetus dan penyebab gagal jantung akut yang dapat terjadi
secara sangat cepat maupun tidak terlalu cepat19 :
Keadaan yang menyebabkan gagal jantung secara cepat :
- Gangguan takiaritmia atau bradikakardia yang berat
- Sindroma koroner akut
- Komplikasi mekanis pada sindroma koroner akut (rupture septum
intravetrikuler, akut regurgitasi mitral, gagal jantung kanan)
- Emboli paru akut

19
- Krisis hipertensi
- Diseksi aorta
- Tamponade jantung
- Masalah perioperative dan bedah
- Kardiomiopati peripartum
Keadaan yang menyebabkan gagal jantung yang tidak terlalu cepat
- Infeksi ( termasuk infektif endocarditis )
- Eksaserbasi akut PPOK / asma
- Anemia
- Disfungsi ginjal
- Ketidakpatuhan berobat
- Penyebab iatrogenik ( obat kortikosteroid, NSAID )
- Aritmia, bradikardia, dan gangguan konduksi yang tidak
- menyebabkan perubahan mendadak laju nadi
- Hipertensi tidak terkontrol
- Hiper dan hipotiroidisme
- Penggunaan obat terlarang dan alkohol
2.3.1 Patofisiologi
Kegagalan pada jantung dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari beberapa
mekanisme utama di bawah ini20:
1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah, tidak adekuat, atau
karena relaksasi otot jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian
ventrikel.
2. Obstruksi aliran
Obstruksi dapat disebabkan adanya lesi yang mencegah terbukanya katup
atau keadaan lain yang dapat menyebabkan peningkatan ventrikel jantung,
seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
3. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik dan beban kerja ventrikel,
seperti yang terjadi pada keadaan regurgitasi aorta serta pada regurgitasi
mitral.
4. Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak
maksimal dan tidak efisien.
Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume dan tekanan
serta disfungsi regional pada jantung sehingga akan meningkatkan beban kerja
jantung dan menyebabkan remodeling structural jantung. Jika beban kerja jantung
semakin progresif, maka akan semakin memperberat remodeling sehingga akan
menimbulkan gagal jantung20.
2.3.2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terdapat pada gagal jantung akut antara lain21:

20
 Gagal jantung dekompensai (de novo atau gagal jantung kronik yang
mengalami dekompensasi) dengan gejala atau tanda gagal jantung akut
dengan gejala ringan, dan belum memenuhi syarat untuk syok kardiogenik,
edema paru akut, atau krisis hipertensi.
 Gagal jantung akut hipertensif. Gejala dan tanda gagal jantung disertai
tekanan darah tinggi, gangguan fungsi jantung relative, dan pada foto
toraks terlihat adanya tanda edema paru akut.
 Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks dan respiratorydistress
berat dengan ronki yang terdengar di lapangan paru dan ortopnea O 2
saturasi yang biasanya <90% sebelum diterapi.
 Syok kardiogenik, yang ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik
<90mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30
mmHg) dan atau penurunan pengeluaran urin (<0,5 ml/kg/jam) dengan
laju nadi >60x/menit dengan atau tanpa kongesti organ.
 High output failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya
dengan laju denyut jantung yang tinggi, jaringan perifer hangat, kongesti
paru, dan kadang disertai tekanan darah yang rendah seperti pada syok
septik.
 Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian
tekanan vena jugularis, pembesaran hepar, dan hipotensi.
Gejala dan tanda juga dapat dikelompokkan berdasarkan kondisi hemodinamik
pasien. Pasien dikelompokkan dalam Profil A (warm and dry), Profil B (warm
and dry), Profil L (cold and dry), dan Profil C (cold and wet) (gambar 2.1).Wet
menggambarkan adanya kongesti, dan cold menggambarkan adanya perfusi yang
rendah, bukti atau tanda adanya kongesti dan perfusi yang rendah ditampilkan
pada Tabel 2.1.22

Gambar 2.16 Profil hemodinamik pada gagal jantung akut


 Profil A mengindikasikan kondisi hemodinamik yang normal. Gejala
kardiopulmonal pada pasien ini dapat disebabkan oleh faktor selain gagal
jantung, seperti penyakit parenkim paru atau transient myocardial
ischemia.

21
 Profil B dan C khas pada pasien dengan edema paru akut 12. Pasien dengan
profil B menggambarkan kondisi paru yang mengalami kongesti
(mengindikasikan terjadinya volume overload: ronki paru, distensi vena
jugularis, dan edema ekstremitas bawah)namun perfusi jaringan masih
dapat dipertahankan (“warm”)22.
 Profil C merupakan keadaan yang lebih serius, dengan adanya temuan
kongesti, gangguan lebih lanjut pada cardiac output sehingga terjadi
vasokonstriksi sistemik, dan ekstremitas yang dingin (“cold”, menandakan
penurunan perfusi jaringan). Pasien dengan profil C memiliki prognosis
lebih buruk daripada pasien dengan profil B22.
 Profil L tidak menggambarkan kelanjutan dari keadaan di atas, namun
menggambarkan penurunan perfusi jaringan (“cold”) akibat cardiac output
yang rendah namun tanpa ada tanda-tanda kongesti vaskular (“dry”).
Profil L dapat muncul pada pasien dengan dilatasi ventrikel kiri dan
regurgitasi mitral, dimana pasien tersebut mengalami sesak nafas saat
aktivitas karena tidak mampu menghasilkan cardiac output yang adekuat22.
Tabel 2.1 Bukti adanya kongesti
dan perfusi rendah pada profil hemodinamik21
Bukti Adanya Kongesti Bukti Adanya Perfusi Rendah
Orthopnea Tekanan nadi sempit
Tekanan vena jugularis tinggi Ekstremitas dingin
Edema Mengantuk atau lemas
Asites Suspek hipotensi akibat ACE
Inhibitor
Penyebaran ke P2 kiri Suspek penurunan kadar Na serum
Ronki halus (jarang) Salah satu penyebab buruknya fungsi
Refleks abdomino jugularis ginjal
2.3.3 Diagnosis

Diagnosis gagal jantung juga dapat ditegakkan dengan kriteria Framingham.


Jika terdapat minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, maka diagnosis gagal
jantung dapat ditegakkan21.
Tabel 2.2 Kriteria Framingham
Kriteria Mayor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

22
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea on Effort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi

2.3.4 Tatalaksana Farmakologik


Sudah diakui bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin
digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti menurunkan angka
mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi sistem
neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, morbiditas dan mortalitas pasien
gagal jantung membaik23
A. Angiotensin converting enzyme (ACEI)
Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien, menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung
dan meningkatkan angka keselamatan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
B. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF < 40%
yang masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta
antagonis aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesehatan pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB direkomendasikan
sebagai pilihan lain pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B). ARB menurunkan risiko kematian dengan
penyebab kardiovaskular (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
- LVEF < 40%
- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
- Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
C. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda
klinis/ gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Memulai pemberian diuretik :
- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum

23
- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena
efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis
- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian
dan tanda klinis lainnya dari retensi cairan.
D. Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada
terapi yang sudah ada, termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada kontraindikasi,
aldosteron antagonis ditambahkan pada keadaan LVEF <35% dengan gejala gagal
jantung yang berat (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
- LVEF < 35%
- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
E. Beta bloker
Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik
dan LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk
perburukan gagal jantung dan meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker
seharusnya sudah dimulai di RS sebelum pasien dipulangkan (Kelas rekomendasi
I, tingkat bukti A)
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
- Mengurangi detak jantung : memperlambat pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard.
- Meningkatkan LVEF
- Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure
Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :
- LVEF <40%
- Gejala ringan sampai berat
- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal
- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari
dosis diuretik).
F. Glikosida jantung
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium
bebas dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar
natrium intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam
ekspulsi kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium
intrasel.
Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan
untuk mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Pada penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan

24
digoksin (sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi
angka masuk RS karena perburukan gagal jantung namun tidak berpengaruh
terhadap survival (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). Digoksin
memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan
fungsi ventrikel kiri.
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga
menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan
vagal tone.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit,
dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <
40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,
beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap
simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.
G. Senyawa amin simpatomimetik
Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat
digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis
beta1 selektif yang dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan
pengisian ventrikel.
- efek inotropik positif
- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload
Efek dopamin sangat tergantung dosis:
- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan diuresis
- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas
jantung dan detak jantung
- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan
meningkatkan tekanan darah.
Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi24.
H. Terapi vasodilator
1. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki efek
inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin
merupakan satu-satunya antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas
pada gagal jantung.
2. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan
kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload
menimbulkan peningkatan curah jantung25.

25
Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi
hipotensi. Karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan
infark miokard akut. Pada saat memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan
monitoring tekanan darah intra arteri.
3. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko
kematian (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), angka masuk rumah sakit
untuk perburukan gagal jantung (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan
memperbaiki fungsi ventrikel dan kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa,
Tingkat Bukti A).
Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN
- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau
antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun
sudah mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron.
4. Nitrogliserin intravena
Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan nitrogliserin
merupakan terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya
dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga
dapat mengurangi afterload. Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan
terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan gagal jantung dekompensasi berat.
I. Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa
peptida ini bekerja menyebabkan :
- Natriuresis.
- Diuresis.
- Dilatasi vena dan arteri.
- Penghambatan sistem saraf simpatis.
- Antagonis protein pada rantai RAAS.
- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular.
Tabel 2.3 Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
Obat Dosis awal Dosis target
ACEI
Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg
Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg
Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg

26
Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg
Metoprolol succinat 1 x 12,5 – 25 mg 200 mg
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg

27
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. TS
Usia/Tgl lahir : 33 tahun / 10 Januari 1987
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Lambur I
Tanggal Masuk : 11 Januari 2020
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama
Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
 Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit, sesak nafas sudah dirasakan 1 minggu ini, meningkat
saat beraktifitas. Sesak nafas sudah dirasakan sejak pasien masih
berusia remaja, tidak kuat bila berolahraga lama dan sering pingsan.
 Pasien tidur menggunakan 2 bantal dan terkadang terbangun di malam
hari karena sesak nafas disertai batuk
 Nyeri dada dan berdebar disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien rutin mengkonsumsi obat spironolakton, furosemid, aspilet dan
digoksin. 1 minggu terakhir pasien tidak lagi mengonsumsi digoksin
karena habis.
 Riwayat infeksi tenggorokan disangkal
 Riwayat DM dan hipertensi tidak diketahui
 Riwayat biru saat bayi tidak diketahui
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 80/60 mmHg
 Nadi : 125x/menit, cepat dan halus
 Nafas : 36x/menit
 Suhu : 36,80C
Status Interna
 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
 Leher : JVP 5 + 3 cmH2O
 Paru
 Inpeksi : simetris kiri dan kanan
 Palpasi : fremitus kiri dan kanan sama
 Perkusi : sonor

28
 Auskultasi : SN bronkovesikuler, Ronki basah halus +/+, Wh
-/-
 Jantung
 Inspeksi : iktus kordis terlihat
 Palpasi : iktus kordis kuat angkat, thrill (+)
 Auskultasi : S1 S2 normal, murmur pansistolik di ICS 4
parasternal sinistra, gallop (-)
 Abdomen
Supel, timpani, hepatomegali (+), BU (+) normal
 Ekstremitas
Akral dingin, CRT > 2 detik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 Hemoglobin : 14,8 mg/dl
 Leukosit : 7.800 /mm3
 Trombosit : 234.000 /mm3
 Hematokrit : 48.6%
 GDS : 110 mg/dL
 Natrium : 128 mEq/L
 Kalium : 11,2 mEq/L
 Clorida : 100 mEq/L
Rontgen Thoraks

Kesan : Kardiomegali dengan apex terangkat + kranialisasi

29
Elektrokardiogram

Kesan : SVT dengan abberans + RBBB


3.5 Diagnosis Kerja
 Syok kardiogenik ec. ADHF wet and cold + SVT + Hiperkalemia +
Susp. PJB
3.6 Tatalaksana
 O2 2 – 4 L/menit via nasal canule
 IVFD RL 200 cc dalam 10 menit (challenge test)
 Drip dopamin 1 ampul dalam 250 cc NaCl 0,9% 15 tpm makro, titrasi
naik / 30 menit bila TD <100 sebesar 5 tpm, maksimal 25 tpm
 Drip amiodaron 1 ampul dalam 100 cc NaCl 0,9% dilanjutkan dengan
drip amiodaron 1 ampul dalam 250 cc NaCl 0,9% habis dalam 4 jam
(20 tpm)
 Drip 10 Unit insulin dalam 25 cc D40
 Drip Ca Glukonas 1 ampul dalam 25 cc D40
 Bisoprolol 1 x 10 mg SL (extra)
 Inj. Furosemid 2 x 1 ampul
 Digoxin 3 x 1 tab
 Clopidogrel 3 x 75 mg
 Inj. Omeprazole 2 x 1
 Inj. Ceftriaxone 2 x 1
 Inj. Dexamethasone 3 x 1 ampul
 Vitamin B komplek 3 x 1 tab
 Pasang kateter
 Pantau TTV/ 30 menit
 EKG serial

30
Follow Up
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 100/70 mmHg

Kateter : 60 cc

Elektrokardiogram (1 setengah jam setelah terapi amiodaron I)

Kesan : Atrial Flutter + RBBB + Old MCI inferior

Laboratorium
Natrium : 138 mEq/L
Kalium : 3.5 mEq/L
Clorida : 95 mEq/L
Ureum : 39,2 mg/dL
Kreatinin : 1,14 mg/dL

31
Follow Up (13/1/20)

Pemeriksaan Fisik Umum


 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 112/73 mmHg
 Nadi : 42x/menit

Elektrokardiogram

Tatalaksana
 Terapi lanjut
 Simarc 1 x 2 mg

Follow Up 15.10
S/ Sesak nafas (+)
O/ Tekanan Darah : 99/60 (72) , Nadi : 41x/menit , RR : 21x/menit , SpO2 : 97%
Tatalaksana : Drip amiodaron (aff)

32
Follow Up (14/1/20)
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 101/58 mmHg
 Nadi : 51x/menit
 Nafas : 20x/menit
 Suhu : 36,90C

Tatalaksana :
 Drip dopamin 1 ampul dalam 250 cc NaCl 0,9% dengan 10 tpm titrasi
naik/ 30 menit bila TD <100
 Inj. Furosemid 3 x 1 ampul
 Digoxin 3 x 1 tab
 Clopidogrel 3 x 75 mg
 Inj. Omeprazole 2 x 1 vial
 Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
 Inj. Dexamethasone 3 x 1 ampul
 Vitamin B Komplek 3 x 1 tab
 Thyarit 2 x 150 mg

Follow Up 19.37

S/ Sesak nafas (+)


O/ Tekanan Darah : 115/70, Nadi : 53, RR : 24

Elektrokardiogram

33
Tatalaksana :
 Thyarit 2 x 150 mg (aff)
 Inj. Sulfas atropin 2 ampul, EKG ulang 30 menit kemudian

Elektrokardiogram (post injeksi SA)

34
Follow Up (15/1/20)
 Keadaan umum : Sakit sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 112/66 mmHg
 Nadi : 69x/menit
 Nafas : 16x/menit
 Suhu : 35,60C

Tatalaksana :
 Drip dopamin 1 ampul dalam 250 cc NaCl 0,9% dengan 5 tpm titrasi naik/
30 menit bila TD <100
 IVFD Aminofluid (line 2)10 tpm
 Inj. Furosemid 3 x 1 ampul
 Digoxin 2 x 1 tab
 Clopidogrel 3 x 75 mg
 Inj. Omeprazole 2 x 1 vial
 Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gr
 Inj. Dexamethasone 3 x 1 ampul
 Vitamin B Komplek 3 x 1 tab
 Thyarit 2 x 150 mg

Follow Up (16/1/20)
Pasien dirujuk ke RS Raden Mattaher

Echocardiography
 Fungsi sistolik LV : normal
 Fungsi sistolik RV : menurun
 ASD sekundum besar
 Trikuspid regurgitasi severe
 Hipertensi pulmonal severe

35
BAB 4
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan berumur 33 tahun di RS Nurdin
Hamzah sejak tanggal 11 Januari 2020 dengan diagnosa syok kardiogenik ec.
ADHF wet and cold + SVT + Hiperkalemia + Susp. PJB. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan sesak nafas yang
meningkat sejak 3 hari smrs, sesak sudah dirasakan sejak 1 minggu ini,
meningkat saat beraktifitas. Dari tanda vital didapatkan tanda syok seperti
tekanan darah 80/60 mmHg dengan nadi yang halus dan cepat. Selain itu
didapatkan pula akral dingin dengan CRT > 2 detik. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan tanda – tanda gagal jantung seperti peningkatan JVP dan terdengar
ronki basah halus pada kedua paru. Pada pemeriksaan jantung juga didapatkan
adanya thrill (+) pada apex dan murmur pansistolik di ICS 4 linea parasternal
sinistra.
Pada pasien diberi tatalaksana awal syok, yaitu pemasangan infus dengan
challenge test yaitu 200 cc/ 10 menit untuk mengevaluasi apakah ini syok
hipovolemi atau kardiogenik. Setelah resusitasi cairan, tidak didapatkan kenaikan
tekanan darah sehingga disimpulkan pasien mengalami syok kardiogenik. Pada
kasus ini, diberikan drip dopamin dengan dosis ideal 5 – 15 mcg/kg/menit. Efek
dopamin yang diharapkan berupa peningkatan tekanan darah, pengaktifan
βreseptor, peningkatan kontraktilitas dan peningkatan cardiac output.
Pada pemeriksaan EKG ditemukan SVT dengan aberans dan RBBB.
Penatalaksanaan takiaritmia dengan profil hemodinamik yang tidak stabil
disarankan menggunakan kardioversi elektrik sebesar 100 Joule. Akan tetapi,
pada kasus ini dipilih menggunakan kardioversi farmakologi. Obat antiaritmia
yang dipilih yaitu amiodaron, anti aritmia golongan III. Obat ini bekerja dengan
cara memperlambat repolarisasi dan memperpanjang potensial aksi serta periode
refrakter pada semua jaringan jantung. Amiodaron terutama bekerja di saluran K+
sehingga memperpanjang durasi potensial aksi dan interval QT. Obat ini
direkomendasikan untuk beberapa keadaan salah satunya pada takikardia dengan
QRS kompleks yang lebar yang tidak diketahui sebabnya. Dosis awal untuk
kardioversi (pada atrium fibrilasi) 5 mg/kg IV diberikan dalam 1 jam atau 600 mg
(po) setiap hari selama 4 minggu. Selanjutnya dapat dilanjutkan dosis 50 mg/jam
IV dengan dosis maintenance 200 mg/hari. Efek samping akut yang dapat muncul
berupa flebitis, hipotensi serta bradikardia. Bila didapatkan pemanjangan interval
QT (>500 ms) maka pemberian amiodaron dapat dikurangi ataupun dihentikan.
Untuk penatalaksanaan gagal jantung pada pasien diberikan furosemid
untuk mengurangi retensi cairan. Gagal jantung jarang ditemukan pada pasien usia
muda tanpa adanya riwayat penyakit jantung bawaan. Pada pasien ditemukan
murmur pansistolik di ICS 4 linea parasternal sinistra yang menimbulkan
kecurigaan adanya kelainan katup berupa regurgitasi/stenosis trikuspid. Riwayat

36
pasien saat remaja yang tidak dapat berolahraga dan sering pingsan
menggambarkan adanya kelainan penyakit jantung bawaan. Berdasarkan
echocardiography, ditemukan bahwa pasien menderita Atrial Septal Defect (ASD)
tipe sekundum. Perjalanan alamiah ASD diawali dengan adanya pirau dari
ventrikel kiri ke kanan sehingga menimbulkan kurangnya supply oksigen ke
seluruh tubuh. Dengan adanya pirau kiri ke kanan maka akan menambah beban
kerja ventrikel kanan dengan adanya penambahan preload. Peningkatan preload
yang lama akan menyebabkan overload volume pada ventrikel kanan sehingga
terjadi dilatasi dan mengakibatkan peningkatan tekanan pulmonal. Hal tersbeut
menyebabkan ventrikel kanan menjadi tidak lagi komplians. Pasien remaja dan
dewasa banyak mengeluhkan sesak napas saat beraktivitas karena adanya reduksi
konsumsi oksigen maksimum akibat insufisiensi preload berkelanjutan di
ventrikel kiri (perpindahan beban ke ventrikel kanan menyebabkan peningkatan
tekanan pulmonal sekaligus menguragi preload ventrikel kiri). Kondisi tersebut
akan semakin parah jika sudah adanya hipertensi pulmonal berat sehingga terjadi
pirau berkebalikan (sindrom Eisenmenger). Hal tersebut akhirnya mengakibatkan
gagal jantung kanan pada pasien yang ditandai dengan adanya peningkatan JVP
serta gambaran rontgen thorax berupa kardiomegali dengan apex terangkat.
Pada pasien juga ditemukan adanya hiperkalemia yang langsung dikoreksi
dengan pemberian insulin dan ca glukonas. Penggunaan insulin secara cepat dapat
merangsang sel untuk menguptake kalim oleh sel – sel ekstrarenal seperti
hepatosit dan miosit. Glukosa biasanya diberikan bersamaan untuk mencegah
hipoglikemia. Pemberian insulin reguler 10 – 20 unit dan 25 – 50 gram glukosa
jika efektif akan menurunkan kalim plasma sebesar 0,5 – 1,5 mmol/L dalam 15 –
30 menit dan efek paling lama dalam beberapa jam. Insulin memicu pompa ion
Na K ATP ase yang memasukkan kalim ke dalam sel sedangkan glukosa memicu
pengeluaran insulin endogen. Pemberian kalsium intravena, dapat menghambat
efek hiperkalemia terhadap sistem konduksi dan repolarisasi otot jantung.
Kalsium yang diberikan dapat berupa kalsium glukonat dan harus diberikan
melalui intravena. Efek pemberian kalsium akan dapat dilihat pada EKG dalam
waktu 1 – 3 menit setelah pemberian, paling lambat dalamwakt 30 – 60 menit.
Pada hiperkalemia berat, dapat diberikan kalsium glukonat 10% IV 10 ml dalam 2
– 3 menit.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan


Praktikum Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah. Jakarta. 2016.
2. Teo WS, Kam R, Hsu LF. Treatment of heart failure-role of biventricular
pacing for heart failure not responding well to drug therapy. Singapore MedJ.
2003;44(3):114-122.
3. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure.
Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-
91.
4. American Heart Association. Conmtemporary Management of Cardiogenic
Shock; A Scientific Statement From the American Heart Association. 2017
5. Rachman AM. Mekanisme dan klasifikasi Aritmia. In : sudoyo, AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.Interna Publisshing; 2010. p. 1602-1603
6 Yuniadi yoga. 2014. Pedoman Tatalaksana Fibrilasi Atrium. Perhimpunan
dokter spesialis Kardiovaskular Indonesia.
7 Guyton AC, Hall JE. Aritmia Jantung dan Penafsiran Elektrokardiogram
Atrium Flutter. In : Rachman LY, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N,
Editors. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook Of Medical Physiology)
Edisi 11. ECG. 2007. P. 161-162
8 Mike Cadogan. AVNRT for two. Updated : 19 Desember 2016.
9 Neeraj Tandon. Multifocal Atrial Tachycardia Overview of Multifocal Atrial
Tachycardia. Updated: Dec 03, 2015.
10 Marjorei azoff. Accelerated junctional tachicardi rhythm. Updated :19
desember 2016.
11 Atrial Tachycardia. Adam S Budzikowski, MD, PhD, FHRS; Chief Editor:
Jeffrey N Rottman, MD  Updated: Dec 30, 2015
12 Fadli rais. Atrial Takikardi. Updated : Nov 10, 2010
13 Guyton AC, Hall JE. Aritmia Jantung dan Penafsiran Elektrokardiogram
Ventrikel Fibrilasi. In : Rachman LY, Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N,
Editors. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook Of Medical Physiology)
Edisi 11. ECG. 2007. P. 158-160
14 Yuniadi Y. Jurnal Kardiologi Indonesia Takikardia Ireguler Dengan
Kompleks QRS Lebar Mekanisme dan Tatalaksana. Vol.32 : Forum
PERKI,Indonesia 2014.
15 Christopher R Ellis, MD, FACC, FHRS; Chief Editor: Jeffrey N Rottman.
Wolff-Parkinson-White Syndrome. Updated: Dec 04, 2015
16 Arif rahman. Ventrikel Ekstra Systole. Updated : 19 Desember 2016
17 Kosasih Adrianus (Eds). 2016. Advace Cardiac Live Support Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
18 Hodeghem Luc M, Roden M. Obat-obat yang digunakan pada Aritmia
Jantung. In Agoes A, editor. Farmakologi dasar dan klinik Edisi VI.
ECG;2002. p. 231-239
19 Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE,
dkk. 2015. Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung. PERKI.

38
20 Dewi WK. 2009. Hubungan antara Riwayat Gagal Ginjal Kronik dengan
Mortalitas di Rumah Sakit pada Pasien dengan Diagnosis Gagal Ginjal Akut
di Lima Rumah Sakit di Indonesia pada Desember 2005 – Desember 2006.
Skripsi. Jakarta. Program Studi Pendidikan Dokter Umum Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
21 Manurung D. 2010. Tata Laksana Gagal Jantung Akut. Dalam (Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed 5. Jakarta: InternaPublishing, 1515-9.
22 Chatterjee NA, Fifer MA. 2011. Heart Failure. In(Lilly LS ed).
Pathophysiology of Heart Disease. Ed 5. Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins, 216-43.
23 Bell DSH. Heart failure-the frequent, forgotten, and often fatal complication
on diabetes. Diabetes care. 2003;26:2433-2441.
24 Zevits ME. Heart failure. Webmed website. Available at
http://www.emedicine.com/med/topic3552.htm
25 Levin TN. Acute congestive heart failure. Postgraduate
medicine.1997;101(1). Available at
http://www.postgradmed.com/issues/1997

39

Anda mungkin juga menyukai