Anda di halaman 1dari 5

Week 13

“Politik Luar Negeri di Masa Pemerintahan Jokowi : Ada atau Tiada ?”

Nama : Intan Permatasari Putri Ningtyas


NIM : 071811333063
Kelas :B
Prodi : S1 Ilmu Politik

Polemik masalah kondisi politik luar negeri di Indonesia mengalami


beberapa peristiwa dari pemerintahan era Presiden Soekarno hingga saat ini,
pemerintahan Presiden Jokowi. Hubungan diplomasi antara Indonesia dengan
negara-negara lain terkadang mengalami pasang surut, namun hingga kini
hubungan internasional masih terjaga dengan cukup baik. Ditelaah dari masa
pemerintahan sebelum Presiden Jokowi, yakni pada era Presiden SBY politik luar
negeri Indonesia dikenal dengan sistem high profile karena pada masa itu,
Indonesia telah menorehkan sejumlah prestasi tingkat internasional. Sebagai
contoh keterlibatan Indonesia pada G-20 sebagai hasil dari perjuangan dan
keinginan pemerintah, khusunya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang tidak
hanya sebagai syarat untuk diakui dunia, tetapi keterlibatan ini menjadi suatu
indikator dari berjalannya ekonomi politik luar negeri Indonesia. Prestasi lainnya
dapat dilihat dari kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN dan kemampuan
Indonesia dalam menggiring dan menjalin kerjasama dalam kegiatan-kegiatan
ASEAN seperti APEC, APT, dan kegiatan kemitraan ASEAN lainnya. Bali
Democracy Forum (BDF) dan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dalam operasi perdamaian PBB yang kemudian disusul dengan pembangunan
pusat Pendidikan / pelatihan peace keeping force (PKF) di Sentul, serta shuttle
diplomacy untuk menjembatani perseteruan antara wilayah Thailand-Kamboja
atas Candi Preah Vihear juga menampilkan peace outlook dan democracy outlook
Indonesia secara internasional (Lihat Bantato Bandoro, 2014). Tanpa
mengabaikan capaian keberhasilan domestic, nampaknya SBY dan Kemenlu
memiliki visi untuk membangun “panggung internasional” bagi Indonesia agar
eksistensi dan kredibilitas Indonesia dapat semakin diakui oleh dunia
Internasional.
Lalu, bagaimana dengan kondisi politik luar negeri Indonesia di tangan
pemerintahan Jokowi ?
Terpilihnya Presiden Joko Widodo dengan Jusuf Kalla (JK) pada periode pertama
di tahun 2014 rupanya akan membuat bumbu yang berbeda mengenai politik luar
negeri Indonesia. Kebijakan politik luar negeri yang dijalankan Jokowi-JK ini
cenderung “low profile” dimana pemerintah lebih focus pada pembangunan
nasional karena menurut Jokowi-JK, perbaikan internal lebih utama daripada
meningkatkan eksistensi di luar negeri untuk saat ini. Maka, kebijakan Jokowi-JK
lebih berorientasi ke dalam negeri (inward-looking). Bukti bahwa kebijakan
inward-looking dapat dibuktikan melalui beberapa argumen. Pertama, rumusan
vis dan misi hubungan luar negeri oleh Jokowi-JK berisi “terwujudnya Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Visi
ini mempertegas makna kebebasan pada sistem politik Indonesia bebas aktif dan
juga termaktub pada landasan kerja sama positif yakni gotong royong. Ubaedillah
dan Abdul Rozak berpendapat bahwa pada saat ini yang berkembang di Indonesia
pada saat ini “nasionalisme cosmopolitan”. Dikatakan, “dengan bergabungnya
Indonesia dalam sistem internasional, nasionalisme Indonesia yang dibangun
adalah nasionalisme cosmopolitan yang menandakan Indonesia sebagai bangsa
yang tidak bisa menghindar dari bangsa lain, namun tetap memiliki nasionalisme
kultural keindonesiaan” (Ibid, halaman 60). Politik Luar Negeri bertujuan untuk
mewujudkan isi dari alinea keempat pembukaan UUD 1945. Dimana tujuan dari
politik luar negeri ini dimaksudkan untuk menyokong pencapaian cit-cita yang
ada pada internal suatu negara. Sebagaimana disadari bahwa hanya dengan
peningkatan kemakmuran di tingkat nasional maka serta peran dalam
pemeliharaan perdamaian dunia dapat dilaksanakan. Dari sini maka tujuan
kemerdekaan menjadi bermakna dan kedaulatan bangsa Indonesia tercapai.
Apabila dikatakan Jokowi apatis terhadap hubungan internasional politik
luar negeri Indonesia, sebenarnya kehadiran politik luar negeri Indonesia tetap
ada. Presiden Jokowi menetapkan tujuan kebijakan (arah gerak) dari politik luar
negeri Indonesia:
1. Mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan
diplomasi dan kerjasama internasional
2. Meningkatkan peran global dalam diplomasi middle power yang
menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dan kekuatan global
secara selektif dengan membuat prioritas terhadap permasalahan yang
dampaknya langsung kepada integrasi nasional.
3. Memperluas mandala keterlibatan regional Indo-Pasifik.
4. Merumuskan dan melibatkan politik luar negeri yang melibatkan peran,
aspirasi, dan keterlibatan masyarakat.
Kehadiran politik luar negeri Indonesia ke panggung internasional hanya berperan
pada perisiwa-peristiwa tertentu. Maka pemerintah menekankan kepada
komunitas-komunitas yang focus pada isu global seperti global warming and
climate change, penegakkan HAM, concern terhadap TKI di negara lain, dan
perluasan demokrasi. Peran global civil society organizations and movements
sangat penting. Di tingkat ASEAN, nampaknya Presiden Jokowi pun memberikan
perhatian khusus. Komunitas ASEAN dengan tiga pilarnya, ASEAN Political and
Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), an ASEAN
Social and Cultural Community (ASCC) diwujudkan meski terdapat ketegangan
antara negara-negara dalam lingkup ASEAN sendiri akiba ketidaksiapan dan
tuntutan pengecualian (exceptions) atau pembebasan (exemptions). Presiden
Jokowi melihat ASEAN sebagai “kesempatan yang harus mendatangkan
keuntungan” atau bisa jadi sebagai “sesuatu yang tak terelakkan”
Prinsip politik luar negeri Indonesia bebas-aktif dan tujuan konstitusional
selain membuka pada ruang interpretasi dan perumusan prioritas sebagaimana
sebelumnya, juga membuka ruang terhadap berbagai model pengambilan
keputusan (Allison, 1969). Setiap kebijakan politik luar negeri yang akan
ditetapkan pemerintah harus melewati sistem analysis yang mendalam mengenai
informasi dan fakta, model ini disebut dengan Rational Actor Model (RAM).
Namun, dalam pelaksanaannya model seperti itu kerap kali sulit diterapkan karena
sistemnya yang begitu rumit. Maka, dibuatlah model yang lebih sederhana
bernama bureaucratic behavioral model sebagai duplikasi RAM yang lebih
sederhana. Lalu, sebagai penegasan terhadap berbagai macam model perilaku
terdapat prosedur-prosedur organisasional baku (POB) sebagai landasan perilaku
terhadap kebijakan politik luar negeri. Dan model ketiga adalah governmental
political model. Model satu ini tidak berkutat pada urusan birokrasi, namun lebih
terfokuskan kepada permainan politik diantara kepentingan-kepentingan tertentu
beserta strateginya. Ketiga model ini yang lahir pada pemerintahan Joko Widodo
sebagai bentuk perhatian Jokowi terhadap politik luar negeri Indonesia khususnya
perkembangan sayapnya di hubungan regional ASEAN.
Daftar Pustaka :

1. Sukma, Rizal, 2012, “Figur Demokrasi Menjadi Elemen Utama Bagi

Kebijakan Luar Negeri Indonesia” dalam Tabloid Diplomasi No.53 Tahun

V.

2. Andriasanti, Lelly, “Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Jokowi”

dalam

http://www.megawatiinstitute.org/megawati-institut/artikel/260-politik-luar-

negeri-indonesia-di-bawah-jokowi.html.

3. Situmorang, Mangadar, “Orientasi Kebijakan Politik Luar Negeri

Indonesia dibawah Pemerintahan Jokowi-JK”, Bandung : Jurnal

Universitas Katolik Parahyangan.

Anda mungkin juga menyukai