0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
40 tayangan5 halaman
Pada era pemerintahan Joko Widodo, Kementerian Luar Negeri dipegang oleh Menteri Retno Marsudi. Namun, masyarakat melihat bahwa Jokowi hanya fokus kepada pembangunan nasional. Apakah politik luar negeri Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi semu ?
Judul Asli
Review Jurnal mengenai Politik Luar Negeri Indonesia di Pemerintahan Jokowi
Pada era pemerintahan Joko Widodo, Kementerian Luar Negeri dipegang oleh Menteri Retno Marsudi. Namun, masyarakat melihat bahwa Jokowi hanya fokus kepada pembangunan nasional. Apakah politik luar negeri Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi semu ?
Pada era pemerintahan Joko Widodo, Kementerian Luar Negeri dipegang oleh Menteri Retno Marsudi. Namun, masyarakat melihat bahwa Jokowi hanya fokus kepada pembangunan nasional. Apakah politik luar negeri Indonesia di masa Pemerintahan Jokowi semu ?
“Politik Luar Negeri di Masa Pemerintahan Jokowi : Ada atau Tiada ?”
Nama : Intan Permatasari Putri Ningtyas
NIM : 071811333063 Kelas :B Prodi : S1 Ilmu Politik
Polemik masalah kondisi politik luar negeri di Indonesia mengalami
beberapa peristiwa dari pemerintahan era Presiden Soekarno hingga saat ini, pemerintahan Presiden Jokowi. Hubungan diplomasi antara Indonesia dengan negara-negara lain terkadang mengalami pasang surut, namun hingga kini hubungan internasional masih terjaga dengan cukup baik. Ditelaah dari masa pemerintahan sebelum Presiden Jokowi, yakni pada era Presiden SBY politik luar negeri Indonesia dikenal dengan sistem high profile karena pada masa itu, Indonesia telah menorehkan sejumlah prestasi tingkat internasional. Sebagai contoh keterlibatan Indonesia pada G-20 sebagai hasil dari perjuangan dan keinginan pemerintah, khusunya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang tidak hanya sebagai syarat untuk diakui dunia, tetapi keterlibatan ini menjadi suatu indikator dari berjalannya ekonomi politik luar negeri Indonesia. Prestasi lainnya dapat dilihat dari kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN dan kemampuan Indonesia dalam menggiring dan menjalin kerjasama dalam kegiatan-kegiatan ASEAN seperti APEC, APT, dan kegiatan kemitraan ASEAN lainnya. Bali Democracy Forum (BDF) dan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam operasi perdamaian PBB yang kemudian disusul dengan pembangunan pusat Pendidikan / pelatihan peace keeping force (PKF) di Sentul, serta shuttle diplomacy untuk menjembatani perseteruan antara wilayah Thailand-Kamboja atas Candi Preah Vihear juga menampilkan peace outlook dan democracy outlook Indonesia secara internasional (Lihat Bantato Bandoro, 2014). Tanpa mengabaikan capaian keberhasilan domestic, nampaknya SBY dan Kemenlu memiliki visi untuk membangun “panggung internasional” bagi Indonesia agar eksistensi dan kredibilitas Indonesia dapat semakin diakui oleh dunia Internasional. Lalu, bagaimana dengan kondisi politik luar negeri Indonesia di tangan pemerintahan Jokowi ? Terpilihnya Presiden Joko Widodo dengan Jusuf Kalla (JK) pada periode pertama di tahun 2014 rupanya akan membuat bumbu yang berbeda mengenai politik luar negeri Indonesia. Kebijakan politik luar negeri yang dijalankan Jokowi-JK ini cenderung “low profile” dimana pemerintah lebih focus pada pembangunan nasional karena menurut Jokowi-JK, perbaikan internal lebih utama daripada meningkatkan eksistensi di luar negeri untuk saat ini. Maka, kebijakan Jokowi-JK lebih berorientasi ke dalam negeri (inward-looking). Bukti bahwa kebijakan inward-looking dapat dibuktikan melalui beberapa argumen. Pertama, rumusan vis dan misi hubungan luar negeri oleh Jokowi-JK berisi “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Visi ini mempertegas makna kebebasan pada sistem politik Indonesia bebas aktif dan juga termaktub pada landasan kerja sama positif yakni gotong royong. Ubaedillah dan Abdul Rozak berpendapat bahwa pada saat ini yang berkembang di Indonesia pada saat ini “nasionalisme cosmopolitan”. Dikatakan, “dengan bergabungnya Indonesia dalam sistem internasional, nasionalisme Indonesia yang dibangun adalah nasionalisme cosmopolitan yang menandakan Indonesia sebagai bangsa yang tidak bisa menghindar dari bangsa lain, namun tetap memiliki nasionalisme kultural keindonesiaan” (Ibid, halaman 60). Politik Luar Negeri bertujuan untuk mewujudkan isi dari alinea keempat pembukaan UUD 1945. Dimana tujuan dari politik luar negeri ini dimaksudkan untuk menyokong pencapaian cit-cita yang ada pada internal suatu negara. Sebagaimana disadari bahwa hanya dengan peningkatan kemakmuran di tingkat nasional maka serta peran dalam pemeliharaan perdamaian dunia dapat dilaksanakan. Dari sini maka tujuan kemerdekaan menjadi bermakna dan kedaulatan bangsa Indonesia tercapai. Apabila dikatakan Jokowi apatis terhadap hubungan internasional politik luar negeri Indonesia, sebenarnya kehadiran politik luar negeri Indonesia tetap ada. Presiden Jokowi menetapkan tujuan kebijakan (arah gerak) dari politik luar negeri Indonesia: 1. Mengedepankan identitas sebagai negara kepulauan dalam pelaksanaan diplomasi dan kerjasama internasional 2. Meningkatkan peran global dalam diplomasi middle power yang menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional dan kekuatan global secara selektif dengan membuat prioritas terhadap permasalahan yang dampaknya langsung kepada integrasi nasional. 3. Memperluas mandala keterlibatan regional Indo-Pasifik. 4. Merumuskan dan melibatkan politik luar negeri yang melibatkan peran, aspirasi, dan keterlibatan masyarakat. Kehadiran politik luar negeri Indonesia ke panggung internasional hanya berperan pada perisiwa-peristiwa tertentu. Maka pemerintah menekankan kepada komunitas-komunitas yang focus pada isu global seperti global warming and climate change, penegakkan HAM, concern terhadap TKI di negara lain, dan perluasan demokrasi. Peran global civil society organizations and movements sangat penting. Di tingkat ASEAN, nampaknya Presiden Jokowi pun memberikan perhatian khusus. Komunitas ASEAN dengan tiga pilarnya, ASEAN Political and Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), an ASEAN Social and Cultural Community (ASCC) diwujudkan meski terdapat ketegangan antara negara-negara dalam lingkup ASEAN sendiri akiba ketidaksiapan dan tuntutan pengecualian (exceptions) atau pembebasan (exemptions). Presiden Jokowi melihat ASEAN sebagai “kesempatan yang harus mendatangkan keuntungan” atau bisa jadi sebagai “sesuatu yang tak terelakkan” Prinsip politik luar negeri Indonesia bebas-aktif dan tujuan konstitusional selain membuka pada ruang interpretasi dan perumusan prioritas sebagaimana sebelumnya, juga membuka ruang terhadap berbagai model pengambilan keputusan (Allison, 1969). Setiap kebijakan politik luar negeri yang akan ditetapkan pemerintah harus melewati sistem analysis yang mendalam mengenai informasi dan fakta, model ini disebut dengan Rational Actor Model (RAM). Namun, dalam pelaksanaannya model seperti itu kerap kali sulit diterapkan karena sistemnya yang begitu rumit. Maka, dibuatlah model yang lebih sederhana bernama bureaucratic behavioral model sebagai duplikasi RAM yang lebih sederhana. Lalu, sebagai penegasan terhadap berbagai macam model perilaku terdapat prosedur-prosedur organisasional baku (POB) sebagai landasan perilaku terhadap kebijakan politik luar negeri. Dan model ketiga adalah governmental political model. Model satu ini tidak berkutat pada urusan birokrasi, namun lebih terfokuskan kepada permainan politik diantara kepentingan-kepentingan tertentu beserta strateginya. Ketiga model ini yang lahir pada pemerintahan Joko Widodo sebagai bentuk perhatian Jokowi terhadap politik luar negeri Indonesia khususnya perkembangan sayapnya di hubungan regional ASEAN. Daftar Pustaka :
1. Sukma, Rizal, 2012, “Figur Demokrasi Menjadi Elemen Utama Bagi
Kebijakan Luar Negeri Indonesia” dalam Tabloid Diplomasi No.53 Tahun
V.
2. Andriasanti, Lelly, “Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Jokowi”