INDONESIA
“ Politik Luar Negeri Indonesia Era Demokrasi
Terpimpin ”
Aos Yuli Firdaus S.I.P, M.Si
Oleh :
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan rahmat-Nya, kami dapat menyusun makalah yang berjudul “ Politik
Luar Negeri Indonesia Era Demokrasi Terpimpin ” dengan lancar.
Adapun maksud penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas Politik
Luar Negeri Republik Indonesia. Rasa terima kasih saya tidak terkirakan kepada
yang terhormat Bapak Aos Yuli Firdaus S.I.P, M.Si selaku pembimbing materi
dalam pembuatan makalah ini, serta semua pihak yang telah mendukung dalam
penyusunan makalah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Harapan saya bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang politik luar negeri Indonesia
di Era kepemimpinan Presiden Soekarno, serta dapat menjadi acuan bagi bangsa
Indonesia agar lebih baik, bermanfaat, dan menguntungkan kedepannya dalam
melaksanakan hubungan kerjasama dengan negara lain di dunia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dengan
keterbatasan yang saya miliki. Tegur sapa dari pembaca akan saya terima dengan
tangan terbuka demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan 18
DAFTAR PUSTAKA 20
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Jack C Plano, 1969: 127
4
karena itu, kepentingan nasional Indonesia secara eksplisit termuat dalam
pasal-pasal UUD 1945.
Pancasila sebagai landasan konstitusional politik luar negeri
Indonesia menjadi salah satu variabel yang membentuk politik luar negeri
Indonesia. Kelima sila Pancasila adalah pedoman dasar pelaksanaan
kehidupan bernegara dan bangsa yang ideal. Sehingga politik luar negeri
sekurang-kurangnya merupakan cermin dari Pancasila. Kedua landasan
ini, bersifat permanen tidak dapat digantikan. Adapun pengalaman sejarah
menyebabkan UUD 1945 tergantikan oleh UUDS 1950 adalah lebih
merupakan suatu pergesaran ideologi dan cita-cita Indonesia yang saat itu
berada di tengah-tengah blok Timur-Barat. Pada saat itu, Indonesia sulit
mempertahan sikap yang selamanya netral melalui nonalignment
movements (Gerakan Non-blok).
Landasan operasional Indonesia bervariasi sesuai dengan
kepentingan nasional periode pemerintahan saat itu. Misalnya,
kepentingan nasional Indonesia pada Orde Lama dapat amati dari konteks
pidato-pidato Presiden Sukarno, yang tertuang dalam Maklumat Politik.
Yang antara lain berbunyi, menjunjung kehidupan bernegara yang damai,
tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, bertetangga dan
bekerja sama di segala bidang, serta politik ala piagam PBB. Namun,
politik luar negeri yang demikian tidaklah benar-benar solid disebabkan
perkembangan hubungan internasional, terutama kawasan, yang
kontroversional dengan idealisme Indonesia. Pada masa konflik
kembalinya kolonialisme ke Indonesia, Presiden Sukarno menegaskan
arah politik luar negerinya ke dalam Pedoman Pelaksanaan Manifesto
Politik Repulik Indonesia, yakni mengabdi untuk kemerdekaan nasional,
perjuangan kemerdekaaan, dan pembelaan perdamaian. Selanjutnya, pada
masa Orde Baru, politik Indonesia bersifat bebas aktif, yang tidak lain
merupakan pelurusan prinsip tujuan negara yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945. Pada masa kepresidenan BJ Habibie, meskipun
5
arah politik Indonesia masih memegang prinsip bebas aktif, namun
utamanya menekankan pada prinsip peningkatan kemandirian bangsa.
Sebagaimana telah diungkapkan di awal tulisan ini, politik luar
negeri Indonesia adalah transformasi kepentingan nasional. Sedangkan
kepentingan nasional bersifat fluktuatif dan dinamis sebagai respon
terhadap peristiwa penting dunia. Salah satu peristiwa yang paling
momentum adalah kehadiran perang dingin. Namun demikian, saat itu
arah politik Indonesia adalah netral dan tidak berusaha membentuk blok
ketiga yang ideologinya berlawanan dengan dua blok raksasa Amerika-
Uni Soviet. Hal ini sesuai dengan penjelasan Moh. Hatta di depan sidang
KNIP. Beliau menyatakan politik Indonesia tidak dapat diarahkan oleh
blok manapun yang membawa kepentingan nasional masing-masing.
Sebaliknya, arah politik luar negeri Indonesia merupakan sinergisitas
kepentingan nasional, tujuan nasional dan konfigurasi geopolitik, dan
sejarah nasionalnya yang rentan oleh faktor internal dan eksternal.
Rosenau dan Roeslan Abdulgani, sepakat bahwa politik yang demikian itu
adalah merupakan turunan dari politik dalam negeri. Sehingga politik luar
negeri merupakan perpanjangan kepentingan nasional domestik dan
kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, manakala kepentingan dalam
negeri mengalami pergeseran, tidak menutup kemungkinan arah politik
luar negeri akan selamanya bersifat statis. Hanya saja beberapa nilai
mengalami adaptasi.
Faktor internal dan eksternal mempengaruhi karakteristik politik
luar negeri pada setiap periode pemerintahan. Presiden Soeharto, mewarisi
pengalaman domestik akibat kebobrokan ekonomi, disintegrasi, dan
kudeta politik sehingga politik luar negeri Indonesia ketika itu lebih
terkonsentrasi pada pemulihan ekonomi dan kepemimpinan politik.
Berbeda sekali dengan masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Politik luar negeri pada masa pemerintahan beliau, lebih terfokus pada
pemulihan nama baik Indonesia serta peningkatan peran diplomasi
Indonesia di organisasi Internasional mengenai berbagai isu-isu
6
internasional sekaligus perbaikan mutu birokrasi. Sehingga peran
presiden dalam diplomasi politik menjadi salah satu karakter politik luar
negeri Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang diatas, maka Rumusan Masalah yang dapat
kita ambil yaitu :
1. Bagaimana Bentuk Politik Luar Negeri Pasca Kemerdekaan ?
2. Bagaimana Bentuk Kebijakan Politik Luar Negeri
Era Soekarno ?
1.3. Tujuan Penulisan
Bagi Penulis yaitu untuk menambah wawasa serta menyelesaikan
tugas Mata Kuliah Politik Luar Negeri. Sedangkan bagi pembaca,
diharapkan tulisan ini dapat dijadikan sebuah wawasan tambahan dan
dapat digunakan untuk kemajuan bangsa dikemudian hari.
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
berarti yakni menyerukan negara- negara di dunia terutama Asia Afrika
untuk tidak berpihak pada salah satu blok yang sedang berseteru pada
Perang Dingin saat itu yakni Blok Barat dan Blok Timur serta mendukung
adanya kemerdekaan bagi negara-negara di Asia Afrika melalui
Konferensi Asia Afrika maupun Gerakan Non Blok yang diinisiasi dari
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun 1955.
Banyaknya inisiatif yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada
masa itu menunjukkan bahwa Soekarno secara serius mengagendakan
pengakuan eksistensi Indonesia di mata internasional dan pembentukan
aliansi anti kolonialisme serta imperialisme Barat dalam setiap kebijakan
luar negeri Indonesia.
2
Bunnell, 1966:37
3
Bunnell, 1966:38
9
Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat
revolusioner. Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk
mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi
nasionalnya yakni nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana
elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan
nekolim .4 Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri
indonesia yakni condong ke komunis, baik secara domestik maupun
internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara
Indonesia dengan China dan bagaimana Soekarno mengijinkan
berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan
Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar para komunis
mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap
sebagai kelompok luar.5 Selain itu, tujuan Soekarno dengan kemurahan
hatinya terhadap PKI adalah untuk mengurangi kekuatan tentara / TNI
yang dianggapnya menjadi batu sandungan terhadap implementasi
nasakom.
4
Bunnell, 1966:39
5
Bunnell, 1966:41
1
dikemudi oleh dua figur yang sama sekali berbeda dan bersaing. Presiden
Soekarno menekankan penyelesaian konflik dengan mengumpulkan sebanyak-
banyaknya dukungan internasional di samping juga mengandalkan kekuatan
militer-angkatan bersenjata untuk menyelesaikan konflik. Yang kedua, supaya
konflik diselesaikan melalui diplomasi. Meskipun esensi kedua cara tersebut
pada prakteknya berbeda, tetapi kedua taktik tersebut dinilai saling
mendukung dan sinergis.
Berkaitan dengan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia, Moh.
Hatta menggunakan istilah politik luar negeri indonesia semestinya bebas aktif
dan poros barat-timur bukan lagi menjadi titik temu yang esensial. Pendapat
Moh Hatta ini kemudian dianggap berseberangan dengan cita-cita Soekarno
pada waktu itu. Hanya saja, dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia
pemahaman terhadap politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa
didefinisikan kembali sesuai dengan keinginan yang berkepentingan saat itu.
walaupun terdapat perbedaan penafisran terhadapa arti politik luar neger yang
bebas dan aktif, tetapi selalu terdapat asumsi kalau dunia luar yang bersikap
memusuhi, atau paling tidak membawa kemungkinan bahaya.
Hakekat politik luar negeri pada era Soekarno, awal tahun 1950-an,
Indonesia memperlihatkan diri seperti apa yang menjadi pidato Moh. Hatta,
secara fisik sebagai suatu negara yang tidak memihak kepada salah satu blok
yang terlibat dalam perang dingin. Artinya Indonesia sedini mungkin bersikap
netral, tetapi bukan berarti Indonesia bekerja secara aktif untuk perdamaian
dunia dan peredaan ketegangan internasional. Meskipun Indonesia sering
dianggap ekslusif condong ke Barat, tetapi Indonesia menolak menyokong
Amerika dalam Perang Korea.
2.2 Konfrontasi Irian Barat (1962)
Irian Barat, sebagai salah satu wilayah Indonesia yang seharusnya telah
merdeka dari penjajahan Belanda tidak dapat merasakan kemerdekaan dari
penjajahan tersebut. hal ini disebabkan oleh Belanda yang masih belum mau
mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki wilayah Irian Barat
sebagai bentuk penolakan kemerdekaan Indonesia tersebut. Demi kembalinya
1
Irian Barat ke pangkuan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai cara
untuk melemahkan kekuatan Belanda di Indonesia. Soekarno sebagai
Presiden Indonesia saat itu menerapkan berbagai kebijakan demi lepasnya
Irian Barat dari Belanda. Perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut,
dilakukan diantaranya melalui jalan perundingan. Puncak dari berbagai
perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda adalah Konferensi
Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar tersebut diadakan di Den Haag,
Belanda pada tahun 1949. Hingga akhirnya Belanda melanggar hasil
Konferensi Meja Bundar tersebut, yakni ketika Belanda enggan menyerahkan
Irian Barat pada Indonesia bahkan setelah satu tahun disepakatinya hasil
perundingan tersebut. Sedangkan dalam perundingan tersebut dituliskan
bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat Kepada Indonesia setahun
setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Sehingga akhirnya Soekarno
menempuh jalan keras. Dalam rapat raksasa di Yogyakarta yang terjadi pada
tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal
sebagai Tri Komando Rakyat atau Trikora. Trikora tersebut berisi :
Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi
massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian
Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah
Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat itu terlibat
Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam
menarik perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh
penolakan Amerika Serikat terhadap pemberian bantuan bersenjata ke
Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat mendesak Belanda
yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia
dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap
1
Belanda sangat menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga
khawatir akan terjadinya konflik bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15
Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia. Dimana
ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang
bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York
tersebut adalah :
1
Disamping permasalahan pembebasan Irian Barat, Indonesia juga
mengalami konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi tersebut terjadi pada
tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar belakangi oleh pernyataan
Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang mengemukakan
gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura,
Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas
pembentukan negara federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang
Malaysia”. Konsep tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia menolak dan
melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia. Soekarno
beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka
jalan kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep
Negara Federasi Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri
bebas aktif yang dianut Indonesia. Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa
Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris, bukan gagasan rakyat
Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain itu, jika Negara Federasi
Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah
utara oleh Inggris yang berujung pada proyek neokolonialisme yang
membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Filipina juga
menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh
keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara.
Filipina beranggapan bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik
Sultan Sulu.
Pada bulan April 1963 dilakukan beberapa pertemuan para menteri
luar negeri Indonesia – Malaysia – Filipina sebagai upaya meredakan
ketegangan antara ketiga tersebut sehingga tercapai kesepakatan
bersamadengan dihadiri tiga kepala negara maupun kepala pemerintahan yakni
PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan
Presiden Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya,
Philipina, dan Indonesia) di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963.
Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama
merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi Indonesia dan Filipina
1
menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat
Kalimantan Utara mendukungnya. Sehingga PBB membentuk suatu tim
penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan
Lawrence Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun,
sebelum tugas penyelidikan PBB tersebut selesai, Malaysia telah
memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia pada 16 September
1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia
dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai
martabat PBB dan menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk
penolakan, dicetuskanlah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964
di Jakarta yang berisi :
Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak,
dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia.
1
besar bagi pemerintahan Indonesia, dikarenakan karena saat itu Indonesia
memiliki politik luar negri yang bebas aktif nya yang tidak memihak oleh
siapapun.
1
mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan
negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah
satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang
mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah,
yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi
Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik
Politik luar negeri pasa era Orde Lama juga ditandai dengan usaha
keras Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional
melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti
Indonesia.6 Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan
atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian
Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestige menjadi faktor-
faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas
politik luar negeri ini. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini
adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi.
Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal
berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau
beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam
segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik.7 Soekarno dengan
gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan
kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit
akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot
sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti
GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference
of The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada
akhirnya menjadi salah satu penyebab kebobrokan dan krisis Indonesia pada
masa Orde Lama.
6
Bunnell, 1966:42
7
Bunnell, 1966:43
1
BAB III
KESIMPULAN
1
imperialis dan kapitalis. Itu merupakan salah satu bentuk konfrontasi negara-
negara berkembang kepada negara-negara Barat.
Tidak hanya itu, Indonesia beberapa kali mengecam tindakan PBB
yang terlalu menjunjung tinggi kepentingan negara-negara Barat, seperti dalam
konflik China-Taiwan dan Israel-Arab. Puncak dari kekecewaan terhadap PBB,
Indonesia keluar dari keanggotaan pada 7 Januari 1965. Setelah itu, Indonesia
berusaha membuat kekuatan tandingan bagi PBB dengan menyelenggarakan
GANEFO sebagai pengganti olimpiade dunia yang sebagian besar diikuti oleh
negara-negara komunis, serta CONEFO sebagai wadahnya. Indonesia juga
melaksanakan politik mercusuar guna mendukung terselenggaranya GANEFO
melalui pembangunan beberapa proyek raksasa. Setelah resmi keluar dari
keanggotan PBB, Indonesia mulai menjalin hubungan secara terang-terangan
dengan negara-negara Komunis. Hal itu dapat dilihat dari pembentukan poros
Poros Peking (Beijing)-Hanoi-Pyongyang-Jakarta untuk menandingi kekuatan
Blok Barat dan Timur. Mulai saat itu, Indonesia menjadi sangat dekat dengan
China. Hubungan yang terjalin tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga
politik, sosial, budaya.
Hampir semua politik luar negeri Indonesia pada saat itu menyimpang
dari kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Hal itu membuktikan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang pragmatis. Indonesia akan
menjalin kerjasama dengan negara-negara yang akan mendukung kepentingan
nasionalnya. Pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat, Indonesia dengan
sengaja berusaha mendekati Amerika Serikat yang memiliki hak veto dalam
PBB untuk dapat melancarkan proses penyatuan ke dalam wilayah NKRI. Di
sisi lain, pada saat yang sama Indonesia juga menjalin hubungan dengan Uni
Soviet guna memperoleh senjata dan peralatan militer untuk melawan Belanda.
Dalam keadaan seperti itu, Indonesia harus waspada agar pengaruh kedua
negara tersebut tidak sampai berimbas negatif bagi urusan dalam negerinya.
Dengan demikian, diharapkan dinamika politik luar negeri Indonesia
menjadi lebih terarah dan teratur, sehingga akan mempermudah tercapainya
kepentingan yang diperjuangkan.
1
DAFTAR PUSTAKA
Badri, Jusuf. 2008. Bekal Akhir Calon Diplomat. Jakarta: Restu Agung
Kawilarang, Renne R.A.. 2008. G30S dan Masa Suram Hubungan RI-
RRC. Diakses dari www.vivanews.com pada 20 Maret 2017 pukul 1 8.15 WIB
2
Priangga, Maksum. 2009. Sejarah Demokrasi Terpimpin di Indonesia.
Diakses dari www.cafebelajar.com pada 20 Maret 2017 pukul 1 8.15 WIB
Weinstein, Franklin B., 1971. ”The Indonesian Elite’s View of the World
and the Foreign Policy Development”, dalam Indonesia, 21: 97-131.