Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Irawan, et al (2010) trauma kepala adalah salah satu masalah
kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang
kompleks. Salah satu penyebab terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan
lalu lintas, dimana yang banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita
(Aghakhani et al.,2013). Trauma kepala merupakan penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2011). World Health Organiztion
(WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia (Mass AIR
dkk, 2008). Kejadian trauma kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari trauma kepala ringan
sebanyak 296.678 orang (59,3%), trauma kepala sedang sebanyak 100.890
orang (20,17%) dan trauma kepala berat sebanyak102.432 orang (20,4%).
Berdasarkan data yang diperoleh dari kepolisisan Republik Indonesia
tahun 2016 angka kecelakaan lalu lintas mencapai 105.374 kasus dan pada
tahun 2017 angka kecelakaan lalu lintas sebanyak 98.419 kasus. Dari angka
kecelakaan tersebut korban meninggal pada tahun 2016 sebanyak 25.859 jiwa,
pada tahun 2017 korban meninggal sebanyak 24.213 jiwa. Menurut Kapolri
Jenderal Pol Tito Karnavian terjadi penurunan angka kecelakaan lalulintas
sekitar 6 persen tahun 2016 dibanding tahun 2017 dan itu juga berbanding
lurus dengan angka kematian, luka berat dan luka ringan. (Kumparan News,
2017).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Polda Sulawesi Tenggara pada
konferensi pers, Jumat 29 desember 2017, angka kecelakaan lalulintas
sepanjang 2017 ini terjadi 1.145 kasus kecelakaan lalulintas dengan korban
meninggal dunia sebanyak 256 jiwa. Jumlah ini terbilang menurun dibanding
tahun 2016 yang mencapai 1.287 kasus kecelakaan lalulintas dengan korban
meninggal mencapai 286 jiwa. (Inilahsultra.com, 2017).
Berdasarkan data pasien yang masuk di IGD RSUD Bahteramas
Provinsi Sulawesi Tenggara, jumlah pasien kecelakaan lalu lintas yang masuk
pada tahun 2016 sebanyak 862 kasus dimana 396 kasus merupakan rujukan
dan 466 kasus adalah kunjungan langsung. Pada tahun 2017 terjadi
peningkatan kasus kecelakaan lalulintas yang masuk di IGD RSUD
Bahteramas Prov.Sultra yakni sebesar 901 kasus yang terdiri dari 416 kasus
merupakan rujukan dan 485 kasus adalah kunjungan langsung. (SIMRS RSUD
Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara, 2018).
Menurut Setiawan (2010) trauma kepala dapat menyebabkan
kerusakan jaringan lunak pada kepala dan wajah baik terjadi trauma secara
langsung maupun tidak langsung. Trauma kepala merupakan masalah
kesehatan, sosial dan ekonomi yang penting dan penyebab utama kematian dan
disabilitas permanen pada usia dewasa (Roozenbeek et al, 2013 dalam
Kusumasewi, 2014).
Tanda dan gejala yang paling sering muncul pada cedera kepala
diantaranya; merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan
tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, mual, muntah dan kehilangan
kesadaran. Sedang komplikasi trauma kepala dapat meliputi: perdarahan intra
kranial, kejang, parese saraf kranial, meningitis, infeksi, edema serebri,
kebocoran cairan serebrospinal. Diagnosa keperawatan yang lazim muncul
pada pasien trauma kepala adalah :1.Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan
cerebral berhubungan dengan edema serebral, peningkatan tekanan intra
kranial, 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan/kerusakan
pusat pernafasan di medula oblongata/cedera jaringan otak.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulis mampu melakukan penyelesaian masalah yang ada pada kasus
pasien dengan trauma kepala dengan menggunakan pendekatan proses
asuhan keperawatan yang disusun secara sistematis dan komprehensif.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melaksanakan pengkajian pada pasien dengan trauma
kepala
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan trauma kepala
c. Penulis mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien
dengan trauma kepala
d. Penulis mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien
dengan trauma kepala
e. Penulis mampu melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada
pasien dengan trauma kepala

C. Manfaat Penulisan
1. Pelayanan Kesehatan
Sebagai sumber informasi atau bahan masukan bagi instansi terkait
diwilayah sulawesi tenggara dan menentukan kebijakan terhadap
pencegahan dan penanganan terhadap kejadian trauma kepala
2. Mahasiswa
Sebagai bahan kajian pustaka bagi peneliti selajutnya yang relevan dengan
penelitian ini
3. Masyarakat
Sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai tatacara penanganan
awal atau pertolongan pertama pada saat mendapatkan kasus cedera kepala
4. Peneliti
Sebagai bahan acuan untuk menambah pengetahuan, memperluas
wawasan dan pemahaman penulis tentang trauma kepala.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Trauma Kepala


1. Definisi
Menurut Brain Injury Association Of America (2009), trauma
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital atau
degenerative, tetapi disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang dapat
mengakibatkan kerusakan kemampuan kognitif maupun fisik.
Trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena
trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis
terjadi karena robekanya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa
karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca,
2008).
2. Etiologi

Gambar 2.1 Penyebab Trauma Kepala


Trauma kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa,
diantaranya:
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Benturan pada kepala.
c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.
d. Menyelam di tempat yang dalam.
e. Olahraga yang keras.
f. Anak dengan ketergantungan.
Cedera pada trauma capitis dapat terjadi akibat tenaga dari luar
(Arif Musttaqin, 2008) berupa:
a. Benturan/jatuh karena kecelakaan
b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan
ledakan panas. Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak,
cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.

4. Patofisiologi
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala
ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan
regulasi peredaran darah serta metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini
menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis
anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah
diikuti dengan pembentukan edema. Akibat berlangsungnya metabolisme
anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energy yang turut
menyebabkan kegagalan pompa ion di membrane sel yang bersifat
energy-dependent (Werner dan Engelhard, 2007). Fase kedua dapat
dijumpai depolarisasi membrane terminal yang diikuti dengan pelepasan
neurotransmitter eksitatori (glutamate dan asparat) yang berlebihan
(Werner dan Engelhard, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat. Pada
cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya
akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada
epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan
durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi,
ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan
berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2007)
Pathway

5. Manifestasi Klinik
Tanda gejala pada trauma kepala adalah:
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.

6. Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera /trauma kepala, meliputi:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak,
contohnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.
b. Deselerasi
Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam, contohnya
pada kepala yang menabrak dinding .
c. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat
trauma, contoh adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi,
ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.

7. Klasifikasi Cedera Kepala


Klasifikasi Cedera Kepala ( Arif Muttaqin, 2008 )
a. Cedera Kepala Primer
Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal, cedera
otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis
dan fatofisiologis yang unik.
b. Kerusakan Otak Sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi,
dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering pada
kerusakan otak sekunder
c. Edema Serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema
vasogenik dan edema iskemik
d. Pergeseran Otak (Brain Shift)
Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma, abses
atau pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas Intra Kranial,
biasanya akan menyebabkan pergerakan dan distorsi otak.

8. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm,
luka tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis,
gangguan kesadaran.
b. CT-Scan
Indikasi CT-Scan adalah:
1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak
menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia.
2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang
general.
3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena
syok, febris, dll).
4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai
5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS (Sthavira, 2012).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas
status mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti
lebih sensitive daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi
lesi difus non hemoragig cedera aksonal.
d. X-Ray
X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad,
2011).
e. BGA ( Blood Gas Analyze)
Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
tekanan intra kranial (TIK).
f. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan
tekanan intra kranial (Musliha, 2010).

9. Komplikasi
Komplikasi trauma kepala berat dapat meliputi :
a. Perdarahan intra cranial
b. Kejang
c. Parese saraf cranial
d. Meningitis atau abses otak
e. Infeksi
f. Edema cerebri
g. Kebocoran cairan serobospinal
10. Penatalaksanaan
a. Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB) Pasien
dengan trauma kepala sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu urutan
tindakan yang benar adalah:
1) Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia
akibat perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan
adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.
2) Jalan nafas (airway)
Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway
(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
3) Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan
perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi
medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan
pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor
penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
b. Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat
didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6
B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:
1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan
penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi.
Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan
tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema
cerebri.
2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan
denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian
tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok
hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan
transfusi.
3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,
motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan
implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih
mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)
mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu
rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial
cenderung lebih meningkat.
5) Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila
produksi urine tertampung di vesika urinaria maka dapat
meningkatkan tekanan intra cranial (TIK).
6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder
infeksi

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Trauma


1. Kasus Triger
Seorang laki-laki berusia 16 tahun, siswa SMP, masuk RS dengan
keluhan utama pasien datang dengan penurunan kesadaran yang
dialami karena pasien mengalami kecelakaan lalu lintas pada
tanggal 15-9-2019 pukul 10.30WIB. Pasien dibawa ke IGD RSUD
KRMT Wongsonegoro pada hari dan jam yang sama.
Keadaan umum lemah, kesadaran semi koma, GCS 5, CT
Scan hasil: Intracerebral dan intraventrikular hematoma, terdapat
luka terbuka di os temporal sinistra sepanjang 10 cm, bathel sign di
bagian sinistra, raccoon eyes dimata sinistra, pupil anisokor 2/4 RC
++/--, terdapat cairan darah di telinga sinistra, terpasang infuse RL
20 tpm di lengan kanan, terdapat fraktur di os femur sinistra,
terpasang kateter urine, terpasang nasal gastric tube, terpasang endo
tracheal tube dan ventilator. TD : 100/70 mmHg HR : 91 x/ menit
RR : 17x/ menit S : 37,5 OC SpO2 : 90 % Urine output 200 cc-300
cc /7 jam pernafasan cuping hidung positif, , terdapat suara
tambahan stridor, terpasang endo tracheal tube.

2. Pengkajian
Pengkajian Kegawatdaruratan :
a. Primary Survey
1) Airway
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan
memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh
dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari
tubuh. Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru,
dinding dada dan diafragma.
3) Circulation
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang
dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai
keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
5) Exposure
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa
jejas.
b. Secondary Survey
1) Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar
dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
2) Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
3) Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score (GCS)

4) Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan
jantung, pemantauan EKG
5) Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma
tumpul abdomen
6) Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma,
memar dan cedera yang lain
7) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.
8) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.
9) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung,
depresi dan impulsif.
10) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
11) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau
mengalami gangguan fungsi.
12) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan
dan penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah
laku dan memoris.
13) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada
rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat,
merintih.
14) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi
oleh hiperventilasi nafas berbunyi)
15) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh.
16) Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti,
bicara berulang-ulang, disartria.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperwatan yang lazim muncul pada pasien dengan
trauma kepala
adalah:
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan
dengan edema serebral, peningkatan tekanan intra cranial (TIK)
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot
pernafasan
4. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Resiko NOC : 1. Monitor TIK
ketidakefektifan Circulation status - Berikan info pada
Tissue Prefusion :
perfusi jaringan orang terdekat
cerebral
cerebral pasien
Kriteria Hasil :
berhubungan - Monitor status
1. Perfusi
dengan edema neurologi
jaringan
cerebral - Monitor intake
cerebral
dan output
- TIK normal
2. Manajemen
-Tidak ada nyeri
edema cerebral
kepala
- Monitor adanya
-Tidak ada
kebingungan,
kegelisahan
keluhan pusing
-Tidak ada
- Monitor status
penurunan
pernafasan,
Tingkat
frekuensi
kesadaran
dan kedalaman
-Tidak ada
pernafasan
gangguan
- Kurangi stimulus
refleks saraf
dalam
2. Status
lingkungan
neurologi
pasien
- Kesadaran
- Berikan sedasi
normal
sesuai
- TIK normal
kebutuhan
- Pola bernafas
normal
3. Monitor
- Ukuran dan neurologi
reaksi pupil - Monitor tingkat
normal kesadaran (GCS)
-Laju - Monitor refleks
pernafasan batuk dan
normal menelan
- Tekanan darah - Pantau ukuran
normal pupil,bentuk,
kesimetrisan
4. Monitor TTV
5. Posisikan head up
(30- 40 derajat)
6. Beri terapi O2
sesuai anjuran
medis
7. Kolaborasi
pemberian terapi
medis
Pola nafas tidak NOC : 1. Airway
efektif  Respiratory Management
berhubungan status : - Monitor adanya
dengan Ventilation keluhan pusing,
kegagalan  Respiratory sakit kepala,
otot pernafasan status : Airway mual, muntah,
patency gelisah
 Vital sign - Beri posisi head
Status up 30-40 derajat
Kriteria Hasil : untuk
1. Irama memaksimalkan
pernafasan ventilasi.
normal - Keluarkan sekret
2. Frekuensi dengan suction.
pernafasan -Monitor alat
normal ventilator pada
3. TTV dalam pasien .
batas normal 2. Oxygen Therapy
4. Tidak ada tanda - Pertahankan jalan
sesak nafas yang paten
- Monitor aliran
Oksigen
- Monitor adanya
Tandatanda
Hypoventilasi
3. Vital Sign
Monitoring
- Monitor
TD,suhu,RR
- Identifikasi
penyebab
dari perubahan Vital
Sign
4. Kolaborasi
pemberian
Therapy medis

5. Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang sesuai dengan
yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
Tindakan keperawatan mandiri merupakan tindakan berdasarkan
analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk tenaga
kesehatan lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan
keperawatan berdasarkan hasil keputusan bersama dengan dokter atau
tenaga kesehatan lainnya (Mitayani,2010). Implementasi keperawatan
pada kasus ini disesuaikan dengan intervensi keperawatan yang telah
disusun berdasarkan diagnosa keperawatan prioritas.
6. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah hasil perkembangan berdasarkan
tujuan keperawatan yang hendak dicapai sebelumnya (Mitayani, 2010).
Evaluasi yang digunakan mencakup dua bagian yaitu evalusi formatif
yang disebut juga evaluasi proses dan evaluasi jangka pendek adalah
evaluasi yang dilaksanakan terus menerus terhadap tindakan
keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi keperawatan pada kasus ini
disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah disusun
berdasarkan diagnosa keperawatan prioritas.
Adapun rujukan nilai normal dari kriteria hasil dari Nursing
Output Clasification yang telah ditentukan adalah:
a. Tekanan intra cranial (TIK) normal : < 15 mmHg (8-18 cmH20)
untuk orang dewasa
b. Tidak ada nyeri kepala
c. Tidak ada kegelisahan
d. Tidak ada penurunan tingkat kesadaran ( compos mentis)
e. Tidak ada gangguan reflex saraf (Brainstem Positif)
f. Pola bernafas normal /tidak sesak
g. Ukuran dan reaksi pupil normal, seimbang dan reaktif kiri dan
kanan
h. Laju pernafasan normal
i. Tekanan darah normal
DAFTAR PUSTAKA

Aghakhani, N., Azami, M., Jasemi, M. et al.(2013). Epidemiology of


Traumatic Brain Injur in Urmia, Iran. Iranian Red Crescent Medical Journal,
vol.15(no.2), pp.173-4.

Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Brain Injury Association of America. (2009). Types of Brain Injury.


http://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. [Accessed 20 Juni
2018].

Irawan H, Setiawan F, Dewi, DewantoG . (2010). Perbandingan Glasgow


Coma Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas
Pasien Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia.http://indonesia.digitaljournals.org/diakses 20 Juni 2018

Muttaqin, A. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

NANDA. 2015. Nursing Diagnosis: Definition and Classification.


Philadelphia: NANDA International.

Roozenbeek, B., Maas, A.I.R. & Menon, D.K., 2013. Nature Reviews
Neurology .http://www.nature.com/nrneurol/journal/v9/n4/full/nrneurol.201
3.22.html diakses 10 Juni 2018.

Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: SagungSeto.

Werner, C., dan K. Engelhard, 2007. Pathophysiology of Traumatic Brain


Injury. British Journal of Anaesthesy 99.

SIM RS RSUD Bahteramas,2017. Data kasus kecelakaan Instalasi Gawat


Darurat dan data kematianpasien Trauma Capitis Intensif Care Unit.

Anda mungkin juga menyukai