Ny.E usia 42 tahun dibawah ke RSJ X oleh keluarga. Klien adalah Guru SD yang
ditinggal menikah oleh suaminya dan mempunyai 4 anak perempuan. Menurut adik klien, alas an
suaminya menikah lagi adakah ingin mendapatkan anak laki-laki. Adiknya juga mengatakan
bahwa klien suka keluyuran, dan baru ditemukan kembali ke rumah setelah 3 hari. Klien mudah
marah dan tersinggung, terkadang serin gt dilampiaskan kepada anaknya serta anak didiknya
dengan suara keras dan membentak serta melemparkan barang. Saat dikaji oleh perawat tampak
wajah tegang pasien, mata melotot, bicara kasar. Ketika ditanya, klien hanya menjawab “saya
benci dengan Ahmad”. Tidak hanya itu, menurut adiknya klien juga sering menyakiti diri sendiri
dengan memukul-mukulkan tangannya ke tembok, menggigit kuku sampai berdarah. Begitupun
saat dirawat di RS klien menolak tindakan pengobatan dan perawatan, serta suka memaki-maki
perawat atau orang dating menjenguknya.
DS :
DO :
- Wajah tegang
- Mata melotot
- Bicara kasar
- Menolak pengobatan dan perawatan
- Suka memaki-maki perawat atau orang yang dating menjenguknya
Membuat pertanyaan :
Menjawab pertanyaan :
Pohon Masalah :
Perilaku Kekerasan
Learning Outcome :
Jawaban LO :
1. Gian Anggraini
Menurut Yosep (2010) perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala dari
prilaku kekerasan.
Subjektif
Objektif
Wajah merah
Suara keras
Merusak lingkungan
Amuk/agresif
Feni Wulandari
Sumber : (Keliat dan Akemat 2009) Tanda dan gejala yang ditemui pada pasien melalui
observasi atau wawancara atau perolaku kekerasan menurut (Keliat dan Akemat 2009)
a. Muka merah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Menagupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi atau keras
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda atau orang lain
j. Tidak mampu memiliki kemampuan mencegah
Tambahan :
Es jumiati
Sumber : GAMBARAN KLIEN PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA
PUSAT BOGOR DAN RUMAH SAKIT JIWA PUSAT JAKARTA: SUATU SURVEI
Perilaku kekerasan merupakan cara individu menyelesaikan masalahnya, yang dapat
dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis
(emosional, marah, mudah tersinggung, menentang), sosial (mencederai lingkungan dan
orang lain, menghujat, bermusuhan), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak
bermoral) (Stuart & Laraia, 1998).
Sumber : jurnal hubungan dukungan keluarga dan beban keluarga dalam merawat
anggota keluarga dengan riwayat PK di rs. Jiwa islam klender
Secara fisik muka merah, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat,
mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir. Sedangkan secara verbal klien berbicara
kasar, suara tinggi, berteriak dan mengancam secara fisik.
Tambahan :
Geryl Genoneva Frans
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan (Presipitasi) perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan
dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya
sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa
frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
Tambahan :
Gian Anggraini
(sumber : GAMBARAN TANDA DAN GEJALA SERTA PENANGANAN
KELUARGA DENGAN PRILAKU KEKERASAN DI DESA TAMBAKBOYO
KECAMATAN MENTINGAN KABUPATEN NGAWI tahun 2015)
Faktor presipitasi meliputi: sifat stresor , asal stresor , lamanya stresor yang dialami dan
banyak nya stresor yang dihadapi oleh seseorang. Faktor presipitasi terjadi masalah
prilaku kekerasan yaitu stresor biologis , stresor pisikologis dan stresor sosial budaya .
sifat dari stresor yang tergolong komponen biologis , misalnya penyakit infeksi , penyakit
kronis atau kelainan struktur otak. Komponen pisikologis, misalnya : stresor terkait
dengan pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya abuse dalam keluarga atau
adanya kegagalan dalam hidup. Selanjutnya komponen sosial budaya misalnya aturan
yang bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat , tuntutan masyarakat yang
tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun adanya stigma dari masyarakat
terhadap seeorang yang mengalami gangguan jiwa (Stuart dan Laraia , 2005). Faktor
presipitasi lainnya secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa
dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara pisikis atau lebih dikenal
dengan ancaman konsep diri seseorang. Ancaman dapat berupa internal maupun
ekternal , contoh stresor eksternal serangan secara psikis , kehilangan hubungan yang
dianggap bermakna dan adanya kritikan orang lain. Sedangkan contoh dari stresor
internal adalah merasa gagal dalam bekerja , merasa kehilangan orang yang dicintai dan
ketakutan terhadap pnyakit yang dideritanya. (yosep ,2009).
4. Mekanisme Koping
Enjel Fanecha Difa
(sumber : PENGARUH PSIKOEDUKASI KELUARGA TERHADAP KLIEN DAN
KEMAMPUAN KLIEN PERILAKU KEKERASAN DAN KEMAMPUAN
KELUARGA DALAM MERAWAT DI RUMAH Tahun 2016)
Pada fase aktif psikosis, klien menggunakan mekanisme petahanan diri secara tidak sadar
untuk melindungi dirinya sendiri dari pengalaman yang menakutkan yang disebabkan
oleh penyakitnya. Menkanisme koping yang digunakan antara lain: Regresi yang
berhubungan dengan masalah dalam proses informasi, Proyeksi adalah usaha untuk
menjelaskan persepsi yang membingungkan dengan mengalihkan tanggungjawab pada
orang lain atau sesuatu yang lain, Menarik diri dan penolakan (Stuart, 2013). Mekanisme
koping pada klien perilaku kekerasan yaitu dengan melakukan proyeksi atau mengalihkan
pada orang lain dalam bentuk perilaku kekerasan.
Tambahan :
Es Jumiati : Mekanisme koping (Stuart 2009)
1. Personal Ability
Sumber koping terdiri dari kemampuan personal, dukungan sosial, ketersediaan
materi, dan kepercayaan/keyakinan. Kemampuan yang diharapkan pada klien
berperilaku kekerasan adalah kemampuan mengenal dan mengontrol perilaku
kekerasan dengan pengetahuan yang digunakan yaitu dengan latihan fisik(tarik
nafas dalam, pukul kasur/bantal), mengungkapkan kemarahan secara verbal,
melatih emosi secara spiritual dan patuh minum obat.
2. Sosial Support
Caregiver klien, kemampuan caregiver keluarga dalam merawat, kelompok/peer
group dengan penyakit yang sama, kader kesehatan jiwa dilingkungan tempat
tinggal. Kemampuan keluarga yang harus dimiliki yaitu mampu mengontrol
perilaku kekerasan klien dengan latihan fisik, verbal, melatih emosi secara spiritual
dan patuh minum obat.
3. Material Asset
Pekerjaan klien sebelum dirawat, penghasilan sebelum dirawat, siapa yang
menanggung biaya berobat klien, jaminan kesehatan yang digunakan dan apakah
memiliki tabungan. Sumber koping juga didukung oleh aset materi antara lain
jaminan sumber, ketersediaan finansial, pelayanan kesehatan. Ketersediaan seluruh
aset material mendukung klien dalam berespon adaptif dalam kondisi sakit.
Ketersediaan aset materi dapat membuat keleluasan klien dalam berobat dan
mendapatkan akses pengobatan.
Tambahan :
Gian Anggraini
(sumber : MEKANISME KOPING PADA PASIEN PERILAKU KEKERASAN
DENGAN RISIKO MENCIDERAI ORANG LAIN DAN LINGKUNGAN tahun 2017).
mekanisme koping yang umum digunakan pada pasien tersebut adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, depresi, denial, dan reaksi formasi.
Menurut Maramis beberapa mekanisme koping yang dipakai klien marah untuk
melindungi diri antara lain: sublimasi yaitu menerima suatu sasaran pengganti artinya
saat mengami suatu dorongan, penyalurannya ke arah lain. Proyeksi yaitu menyalahkan
orang lain mengenai kesukarannya atau keinginan yang tidak baik. Represi adalah
mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Reaksi
formasi yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekpresikan dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan menggunakannya sebagai rintangan.
Displacement yaitu melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada obyek yang
tidak begitu berbahaya yang membangkitkan emosi itu (Purwanto P 2015).
6. SP untuk keluarga
7. Penyebab PK sesuai jurnal yang tepat