dan karunia yang telah diberikan kepada kami sehingga bisa menyelesaikan tugas
Dalam penyusunan laporan ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
Dalam Penulisan laporan ini kami merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan ini dan bila
Penulis
1
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................7
A. Definisi HIV/AIDS...................................................................................... 8
B. Etiologi ........................................................................................................ 8
C. Manefestasi Klinis ....................................................................................... 9
D. Patofisiologi................................................................................................. 9
E. Komplikasi .................................................................................................. 10
F. Tatalaksana Gejala HIV/AIDS .................................................................... 14
G. Terapi ARV ................................................................................................. 16
H. Pengelolaan Gejala Nyeri dan Non Nyeri ................................................... 18
I. Harapan hidup pasien dengan HIV/AIDS ................................................... 18
J. Pengobatan pada akhir hidup ...................................................................... 19
K. Pemberhentian ARV dan profilaksis infeksi ............................................... 24
L. Perawatan akhir hidup ................................................................................. 24
M. Peluang Integrasi ......................................................................................... 25
2
BAB III PENUTUP...........................................................................................26
A. Kesimpulan .................................................................................................. 27
B. Saran ............................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................29
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
menemukan pasien usia 20 tahun yang mulai mengkonsumsi ART dapat hidup
lebih dari 43 tahun, sedangkan pasien usia 35 tahun dengan ART dapat hidup lebih
dari 32 tahun. Namun, peningkatan angka harapan hidup tersebut juga dapat
meningkatkan morbiditas dengan penyakit kronis dan komplikasi (Cherny, N., et
al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi HIV/AIDS?
2. Bagaimana Etiologi HIV/AIDS?
3. Bagaimana Manefestasi Klinik pada HIV/AIDS?
4. Bagaimana Patofisiologi?
5. Bagaimana Komplikasi?
6. Tatalaksana Gejala HIV/AIDS?
7. Apa Terapi Antiretroviral?
5
8. Bagaimana Pengelolaan Gejala Nyeri dan Non-Nyeri pada Pasien HIV?
9. Harapan Hidup Pasien HIV/AIDS?
10.Pengobatan pada akhir hidup HIV?
11.Pemberhentian ARV dan profilaksis infeksi?
12.Perawatan akhir hidup pada penderita?
13.Peluang Integrasi pada perawatan paliatif pada klien HIV/AIDS?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Definisi HIV/AIDS.
2. Mengetahui Etiologi HIV/AIDS.
3. Mengetahui Manefestasi Klinik pada HIV/AIDS.
4. Mengetahui Patofisiologi.
5. Mengetahui Komplikasi.
6. Mengetahui Tatalaksana Gejala HIV/AIDS.
7. Mengetahui Apa Terapi Antiretroviral.
8. Mengetahui Bagaimana Pengelolaan Gejala Nyeri dan Non-Nyeri pada Pasien
HIV.
9. Mengetahui Harapan Hidup Pasien HIV/AIDS.
10. Mengetahui Pengobatan pada akhir hidup HIV.
11. Mengetahui Pemberhentian ARV dan profilaksis infeksi.
12. Mengetahui Perawatan akhir hidup pada penderita.
13. Mengetahui Peluang Integrasi pada perawatan paliatif pada klien HIV/AIDS.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi HIV/AIDS
7
dunia pada tahun 2012 mencapai 2,3 juta kasus, dimana sebanyak 1,6 juta penderita
meninggal karena AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan 210.000 penderita
berusia di bawah 15 tahun (WHO, 2012).
HIV/AIDS merupakan penyakit infeksi yang sangat berbahaya karena tidak saja
membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia namun juga pada 4 negara secara
keseluruhan. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS (SRAN)
2010-2014 yang dikukuhkan dalam Permenkokesra Nomor 8 Tahun 2010, menyebutkan
makin memperkuat upaya penanggulangan AIDS di Indonesia yang lebih terarah dan
terkoordinasi. Berbagai kebijakan untuk mendukung SRAN juga terus dikembangkan,
misalnya pada kelompok remaja, program LSL (Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki),
dan juga bidang pendidikan dan pelatihan (KPAN, 2010).
B. Etiologi HIV/AIDS
AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama, yaitu HTL II, LAV, RAV,
yang nama ilmiahnya disebut dengan Human Immunodeficency Virus (HIV), yang berupa
agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas
yang kuat 10 terhadap limfosit T (Depkes, 2009).
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen antiviral yang disebut HIV dari
kelompok Retrovirus Ribonucleic Acid (RNA). Retrovirus mempunyai afinitas yang kuat
terhadap limfosit T (Hudak & Gallo, 2010).
Disebut retrovirus RNA karena virus tersebut menggunkan RNA sebagai molekul
pembawaan informasi genetik dan memiliki Enzim Reverse Transciptase. Enzim ini
memungkinkan virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam
bentuk Deoxy Nucleic Acid (DNA) yang kemudian diintegrasikan pada informasi genetik
sel limfosit yang diserang. Dengan demikian HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel
limfosit untuk menduplikasi dirinya menjadi virus baru yang memiliki ciri HIV (Widoyono,
2011).
Keduanya merupakan virus yang menginfeksi sel CD4+ T yang memiliki reseptor
dengan afinitas tinggi untuk HIV. Setelah infeksi oleh HIV, terjadi penurunan sel CD4
secara bertahap yang menyebabkan peningkatan gangguan imunitas yang diperantarai
8
sel dengan akibat 11 kerentanan terhadap berbagai infeksi opertunistik (Bratawijaya &
Rengganis, 2010).
C. Manefestasi Klinik HIV/AIDS
Menurut komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala
yaoitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) :
1. Gejala mayor
e. Demam/HIV ensefalopati
2. Gejala minor
b. Dermatitis generalisata
d. Kandidas orofaringeal
f. Limfadenopati generalisata
Menurut WHO dan CDC (2002, dalam Widoyono, 2011), manifestasi klinis HIV/AIDS pada
penderita dewasa berdasarkan stadium klinis yang disertai skala fungsional dan kalisifikasi
klinis, yaitu:
9
Stadium klinis I: pada skala I memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana klien tetap
melakukan aktivitas secara normal maupun disertai adanya limfadenopati presistent
generalisata.
Stadium klinis II: pada skala II memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana klien tetap
melakukan aktivitas normal tetapi disertai adanya penurunan berat badan <10% dari berat
badan sebelumnya, manifestasi mukokotaneius minor, herpes zoster dalam 5 tahun
terakhir, dan ISPA berulang.
Stadium III: pada skala III memperlihatkan adanya kelemahan, berbaring di tempat tidur
10%, diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bulan, demam dengan penyebab yang
tidak jelas (intermitent atau tetap) >1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB
pulmoner dalam satu tahun terakhir, dan infeksi bacterial berat (misal: pneumonia,
piomiostitis).
Stadium klinis IV: pada skala IV memperlihatkan kondisi yang sangat lemah, selalu berada
ditempat tidur > 50% setiap hari dalam bulanbulan terakhir disertai HIV wasting syndrome
(sesuai yang ditetapkan CDC), peneumocystis carinii pneumonia (PCP), encephalitis
toksoplasmosis, diare karena cryptosporidiosis >1 bulan, cryptococcosis ekstrapulmoner,
infeksi virus sitomegalo, infeksi herpes simpleks >1 bulan, berbagai infeksi jamur berat
(histoplasma, coccoidioidomycosis), kandidiasis esophagus, trachea atau bronkus,
mikobakteriosis atypical, salmonelosis non tifoid disertai eptikemia, TB ekstrapulmoner,
limfoma maligna, sarcoma Kaposi’s ensefalopati HIV.
D. Patofisiologi HIV/AIDS
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara 10
minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orang yang terinfeksi HIV akan
menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh
tahun akan mendapat AIDS. Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam
waktu singkat, virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut
limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel,
10
virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel
virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan
menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang
berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel-sel yang
memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T
penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan
(misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi
kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap
selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4
sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV,
jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa
menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan
infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang
stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit
kepada orang lain terus berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit
CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko
tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya
menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi
rentan terhadap infeksi. Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi
yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai
infeksi oportunistik pada AIDS.
Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan
11
sasaran baru yang harus diserang. Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan
waktu selama 3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut
“periode jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadap HIV
tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun kemudian baru timbul
gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan
penyakit infeksi HIV sampai menjadiAIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan,
bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012)
Komplikasi HIV/AIDS
MenurutKomisi PenanggulanganAIDSNasional (KPAD,2003), komplikasi yang
terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
1. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru
2. Kandidiasis esophagus
3. Kriptokokosis ekstra paru
4. Kriptosporidiosis intestinal kronis (>1 bulan)
5. Renitis CMV (gangguan penglihatan)
6. Herpes simplek, ulkus kronik (> 1 bulan)
7. Mycobacterium tuberculasis di paru atau ekstra paru
8. Ensefalitis toxoplasma.
12
kolesterol total. Infeksi HIV terbukti meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular aterosklerosis; kombinasi dari jumlah virus HIV, faktor
imunologis, dan inflamasi mungkin terlibat (Cherny, N., et al., 2015;
13
abdomen, perubahan status mental, dan risiko perdarahan dapat terbantu
dengan pemberian intervensi paliatif (Cherny, N., et al., 2015; Jones, S.G.,
2017).
14
tulang paha, patogenesisnya mungkin berkaitan dengan terganggunya aliran
darah yang dapat menyebabkan instabilitas, dan yang paling serius, kolaps.
Faktor risiko pada pasien HIV meliputi penggunaan kortikosteroid sistemik
seumur hidup, hiperlipidemia, penggunaan obat penurun kadar lemak,
suplementasi testosteron, angkat berat atau pembentukan otot tubuh, antibodi
antikardiolipin, penyakit yang mendeskripsikan AIDS sebelumnya, sel SD4+
yang rendah, durasi paparan ART lama, pankreatitis, dan alkoholisme.
Osteonekrosis dapat melibatkan semuatulang, kepala tulang paha paling
umum dan penyakitnya mungkin unilateral atau bilateral.Pasien biasanya
datang dengan keluhan nyeri sekitar selangkangan, namun nyeri juga bisa
dirasakan di bokong atau paha.Keluhan nyeri yang dirasakan bisa menjadi
beban penderitaan pasien (Engels, J., 2009; Souza, P.N., 2016).
4. Malignansi
15
24 bulan jika dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi HV dengan
malignansi yang sama (Cherny, N., et al., 2015).
16
kegagalanvirologikal yang lebih cepat. Akses ke pelayanan kesehatan mental
merupakan bagian penting dari terapi HIV dan penelitian telah menunjukan
bahwa pasien depresi yang diberikan terapi antidepresan memiliki tingkat
kepatuhan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak diterapi. Semua hal ini
menunjukan pentingnya masalah psikososial dan pelayanan kesehatan
mental dalam pengobatan pasien HIV/AIDS dan intervensi tim pelayanan
paliatif yang multidisiplin dalam pelayanan rutin populasi ini (Cherny, N., et
al., 2015; Green, K., Horne, C., 2012; Souza, P.N., 2016).
17
dan ketidakmampuan mendapat istirahat yang cukup, dimana semua gejala
mempengaruhi kualitas hidup. Penyebab potensial HIV-related fatigue meliputi
anemia, kurang istirahat dan gangguan tidur, diet inadekuat, stres psikologis
(depresi, kecemasan), penggunaan zat sifatnya rekreasi), abnormalitas kelenjar
tiroid, hipogonadism, infeksi, efek samping obat, dan demam.Penyebab fisiologik
lainnya adalah rendahnya jumlah sel hitung CD4, gangguan fungsi hati, dan
abnormalitas kortisol.Depresi dikatakan penyebab psikologis potensial terjadinya
fatigue. Tatalaksana keluhan ini antara lain program pelatihan aerobik (treadmill),
strategi perawatan diri (suplemen nutrisi, vitamin, dan perubahan diet, istirahat
cukup, terapi alternatif dan komplementer) (Engels, J., 2009).
Sejak awal epidemik HIV, nyeri neuropati telah dilaporkan pada pasien
HIV.Polineuropati sensori distal (DSP) HIV, yang merupakan penyebab paling
umum nyeri neuropati pada pasien HIV, terjadi karena degenerasi serabut saraf
perifer yang besar dan kecil.Etiologinya meliputi paparan terhadap ART regimen
lama (seperti stavudine (d4T), didanosine (ddI), dan zalcitabine (DDC), atau
regimen yang lebih kontemporer seperti PI dan infeksi HIV sederhana. Meskipun
prevalensi diperkirakan lebih rendah dibandingkan era sebelum HAART, DSP
masih mempengaruhi banyak pasien terinfeksi HIV yang hidup lama, berkisar
18
antara 4,3-21,8%, dan insiden mungkin meningkat seiring berjalannya waktu.
Pasien HIV yang mengalami DSP umumnya mengeluhkan gejala sensori dengan
distribusi seperti stocking-glove. Pemeriksaan awal meliputi tes untuk mengetahui
penyebab neuropati lain yang umum (seperti diabetes, defisiensi vitamin B12,
penggunaan alkohol). Terapi yang diberikan adalah terapi simtomatis.Obat yang
terbukti efektif pada pasien HIV adalah gabapentin dan capsaicin topikal dosis
tinggi. Meskipun tidak spesifik terbukti efektif, obat lain sering dicoba
berdasarkan efikasinya pada neuropati perifer tipe lain; yaitu berbagai
antidepresan, khususnya antidepresan trisiklik dan duloxetine
(serotoninnorepinephrine (noradrenaline) reuptake inhibitor); opioid terbukti
efektif (Gwyther, L., et al., 2006).
F. Terapi Antiretroviral
19
paliatif pada pasien HIV/AIDS menjadi kunci penting dalam memfasilitasi
keberhasilan terapi ART (Cherny, N., et al., 2015).
Dua alat ukur utama yang digunakan untuk memantau pasien HIV adalah
jumlah CD4+ limfosit T, sebuah pengukuran fungsi imun dan jumlah virus HIV
dalam darah pasien. Tujuan pemberian ART adalah untuk menekan replikasi HIV
sehingga jumlah virus menurun sampai kadar yang tidak terdeteksi (umumnya <
50 atau 25 kopi RNA virus/mL, tergantung alat uji). Hal ini menyebabkan
imunitas disusun kembali, ditunjukan dengan peningkatan jumlah CD4+ dan
menurunnya morbiditas serta mortalitas terkait HIV. Di negara maju, pedoman
yang ada saat ini menyarankan pemberian ART pada semua pasien yang terinfeksi
HIV, khususnya mereka yang jumlah CD4 nya kurang dari 500 sel/mm3 , dan
pada semua pasien dengan kondisi tertentu (misalnya hamil, hepatitis C, HIV
nefropati). Ini merupakan pedoman, namun klinisi biasanya mempertimbangkan
faktor-faktor lain untuk membuat keputusan mengenai pemberian ART, termasuk
faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terapi seperti keinginan pasien untuk
memulai terapi dan adanya kelainan psikiatri, seperti penyalahgunaaan zat atau
masalah psikososial (Cherny, N., et al., 2015).
20
Penting untuk mengenali reaksi diri terhadap situasi yang terjadi dan tidak
membiarkan mempengaruhi pelayanan pada pasien.
21
terhubung dengan pelayanan kesehatan dan hanya 59% yang bertahan menjalani
pengobatan. Pedoman dari Asosiasi Dokter Internasional dalam hal Fokus
Pemberian Pelayanan AIDS pada intervensi multidisiplin meliputi alat ukur
kepatuhan, edukasi, konseling, sistem kesehatan, pemberian pelayanan intervensi,
dan pedoman khusus untuk populasi rentan (wanita hamil, tuna wisma, anak-anak
dan remaja, pasien masalah penyalahgunaan zat dan gangguan kesehatan mental).
Tujuannya meningkatkan keikutsertaan dan bertahan dalam pengobatan serta
kepatuhan mengkonsumsi ART (Cherny, N., et al., 2015; Souza, P.N., 2016).
Penting untuk diingat bahwa banyak orang terinfeksi HIV yang meninggal
di negara maju pada saat ini mungkin tidak meninggal akibat AIDS, namun akibat
salah satu komorbiditas yang dialami. Sebuah penelitian dengan 230 pasien HIV
dalam program pelayanan paliatif di Amerika Serikat menemukan, dari 120
kematian, 36% diantaranya meninggal akibat AIDS stadium akhir, 19% akibat
kanker non-AIDS, 18% akibat pneumonia bakterial dan sepsis, 13% akibat gagal
hati dan/atau sirosis, 8% akibat penyakit jantung dan paru-paru, 3% akibat
penyakit ginjal stadium akhir, 2% akibat amyotropik lateral sklerosis (ALS), dan
2% tidak diketahui penyebabnya. Namun, meskipun adanya perkembangan dalam
terapi HIV, orang-orang tetap meninggal akibat penyebab yang berkaitan dengan
AIDS di Amerika Serikat dan di luar negeri lainnya. Meskipun ART sudah
tersedia luas di Amerika Serikat, hanya 25% pasien HIV yang memiliki kadar
virus tidak terdeteksi. Alasan untuk ini adalah multifaktorial dan meliputi masalah
pada kepatuhan, retensi, dan akses pada pelayanan bagi populasi yang rentan
(Cherny, N., et al., 2015; Engels, J., 2009).
Di era ini, pasien yang benar-benar meninggal akibat AIDS meliputi salah
satu dari 3 kategori: (1) terlambat terdiagnosis dan tidak pernah menerima ART
atau menggunakan ART hanya dalam jangka waktu pendek namun terus
mengalami perburukan akibat keparahan penyakit saat datang berobat;
22
(2)terdiagnosis saat penyakit masih stadium awal, namun akibat berbagai faktor
medis dan psikososial tidak pernah menggunakan ART secara konsisten dan telah
berkembang menjadi ireversibel dan menjadi stadium akhir; dan (3) seseorang
dengan HIV bertahun-tahun dengan berbagai kegagalan regimen terapi, yang
sekarang memiliki virus resisten terhadap semua regimen obat yang ada saat ini.
Seorang pasien HIV datang dengan manifestasi AIDS stadium akhir akan dirujuk
ke rumah perawatan tanpa dicoba pemberian ART. Hal ini dapat terjadi apabila
pasien baru terdiagnosis HIV dan langsung ditemukan dengan AIDS stadium
akhir.Hal ini juga mungkin dapat terjadi pada pasien yang telah memiliki kesulitan
persisten dengan retensi pada pelayanan HIV primer, ketidakpatuhan terhadap
terapi ART, dan/atau dengan penyakit psikiatri atau penyalahgunaan zat.Rujukan
ke rumah perawatan mungkin sesuai berdasarkan keparahan penyakit pasien,
penting untuk pasien pasien-pasien tersebut dievaluasi oleh seorang dokter
spesialis HIV. Beberapa klinisi pada fasilitas perawatan paliatif telah menyaksikan
apa yang disebut ‘sindrom Lazarus’, dimana pasien AIDS yang hampir meninggal
diberikan ART adekuat untuk pertama kalinya, dapat segera kembali ke kondisi
fungsionalnya secara dramatis (Cherny, N., et al., 2015).
23
Pembuatan prognosis juga sangat signifikan dipengaruhi oleh ART di era
saat ini.Sejak dimulainya pemberian HAART, prognosis bagi mereka yang hidup
dengan HIV tidak hanya sekedar mengenai jumlah virus, jumlah sel CD4+, dan
riwayat infeksi oportunistik spesifik. Sebuah penelitian mortalitas pada pasien di
sebuah program paliatif HIV di pusat kesehatan Amerika Serikat menemukan
pasien AIDS stadium akhir, usia dan penanda status fungsional lebih memberikan
prediksi dibandingkan dengan jumlah CD4+ dan jumlah virus. Penelitian ini juga
menemukan setengah dari jumlah kematian disebabkan oleh penyebab spesifik
non-AIDS seperti kanker dan gagal organ. Terdapat kebutuhan segera untuk
melakukan penelitian berhubungan dengan prognosis, untuk menginformasikan
lebih lanjut kepada dokter mengenai kapan waktu yang tepat merujuk ke rumah
perawatan dan bagaimana memprediksi serta mengantisipasi kapan akhir hidup
pasien AIDS (Green., K., Horne, C., 2012; Cherny, N., et al., 2015).
Oportunistik Pedoman yang ada saat ini banyak yang memaparkan kapan
harus memulai ART pada pasien HIV, namun tidak ada pedoman yang
memberikan informasi bagi klinisi dan pasien mengenai kapan harus
menghentikan ART atau profilaksis rutin untuk infeksi oportunistik pada pasien
HIV di akhir masa hidupnya.Penting untuk mengingat bahwa sebagian besar
pasien HIV yang meninggal tidak secara langsung karena AIDS, melainkan karena
kondisi komorbid serius.Hal inimenyebabkan penentuan keputusan penghentian
ART dan profilaksis infeksi oportunistik menjadi lebih rumit (Cherny, N., et al.,
2015).
24
peningkatan beban gejala.Pada salah satu studi cohort, lebih dari sepertiga pasien
yang berhenti menggunakan ART mengalami gejala yang berkaitan dengan
penghentian pengobatan.Pada penyakit stadium lanjut, regimen yang tersedia
mungkin hanya aktif sebagian, namun ada pendapat bahwa pengobatan tersebut
mungkin dapat menargetkan pada virus yang lebih lemah meskipun terdapat
peningkatan viral loads. Mempertahankan jumlah CD4+ pada kadar yang lebih
tinggi diperkenankan, karena hal tersebut memberikan perlindungan dari infeksi
oportunistik. Diketahui juga bahwa viral load perifer tidak selalu berhubungan
dengan viral load SSP, dan kemungkinan melanjutkan HAART dapat membantu
melindungi fungsi kognitif dan menghindari ensefalopati yang berhubungan
dengan HIV atau demensia. Menjaga status mental dapat memiliki efek mendalam
dengan cara mempersilahkan pasien dengan penyakit stadium akhir untuk tetap
memahami kondisinya dan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan klinis
(Engels, J., 2009; Cherny, N., et al., 2015; Gwyther, L., et al., 2006).
25
spesifik baik terhadap penyakit dan gejala, saat digunakan bersamaan, dapat
membantu mengendalikan gejala serta secara signifikan berkontribusi terhadap
kenyamanan pasien.Sebagai contoh, melanjutkan terapi untuk pneumonia dapat
mengatasi dyspneu, disamping terapi gejala spesifik lainnya seperti oksigen,
opioid, dan benzodiazepin. Pada beberapa kasus, intervensi yang disesuaikan
dengan penyakit mungkin tidak memiliki manfaat memperpanjang kehidupan
secara langsung namun dapat membantu memberikan kualitas hidup pada pasien
yang akan meninggal (seperti valganciclovir dapat mempertahankan pengelihatan
pada pasien dengan retinitis CMV); pada individu lain, hal tersebut mungkin juga
dapat meringankan penderitaan dengan segera, serta memperpanjang kehidupan
(seperti fluconazole atau amphotericin B, dengan analgesik kuat, untuk
mengobatan odynophagia kadidiasis esofagus, atau nyeri kepala yang
berhubungan dengan meningitis cryptococcal) (Cherny, N., et al., 2015).
L. Peluang Integrasi
26
Perawatan pasien dengan HIV tergolong rumit seperti pengobatan gejala
saat virus terkontrol atau membantu dengan perencanaan perawatan lebih lanjut
pada masa akhir kehidupan, tim perawatan paliatif berperan penting dalam
mendukung pasien dan dokter melalui proses ini. Hal ini menjadi alasan perawatan
paliatif dianjurkan sebagai terapi pendamping bagi pasien HIV.Menyadari efek
potensial dari integrasi perawatan paliatif ke dalam perawatan rutin, World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa “perawatan paliatif sebaiknya tergabung
dalam setiap stadium penyakit HIV”. Hal serupa tertera dalam pedoman UNAIDS
yang menyatakan bahwa seluruh individu yang hidup dengan HIV sebaiknya
diberi perawatan paliatif yang efektif selama pengobatannya. Program yang ada
yang menggabungkan perawatan paliatif ke dalam perawatan HIV beragam,
menawarkan berbagai layanan, termasuk perawatan paliatif berbasis rumah sakit
dan rawat inap (Souza, P.N., 2016).
27
Bukti-bukti penelitian mengindikasikan integrasi perawatan paliatif pada
pasien HIV/AIDS menghasilkan:
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
29
Diharapkan seluruh tenaga kesehatan dapat berkolaborasi dalam
memberikanperawatan paliatif pada pasien HIV yang sedang menjalani perawatan
dalam usaha memperbaiki kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Cherny, N., Fallon, M., Kaasa, S., Potenoy,R., David C.C. 2015. Issues in
populations with non-cancer illnesses (HIV/AIDS) dalam Oxford Textbook of
Palliative Medicine.Fifth edition, 15(1), 955-968. Oxford: Oxford University
Press.
Coleein, I., 2010. Makna Spiritualitas pada Pasien HIV/AIDS dalam Konteks
Asuhan Keperawatan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, tesis. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Engels, J. 2009. Palliative Care Strategy for HIV and Other Disease. Cambodia:
Family Health International.
Green, K., Horne, C. 2012. Integrating palliative care into HIV service.A
Practical toolkit for implementers. London: FHI 360 and The Diana Memorial
Fund.
Gwyther, L., et al. 2006. A Clinical Guide to Supportive and Palliative Care for
HIV/AIDS. Cape Town: Hospice Palliative Care Association of South Africa.
Souza, P.N., et al. (2016). Palliative Care for Patients with HIV/AIDS Admitted
to Intensive Care Units. Rev Bras Intensiva, 28(3): 301-309.
30