Anda di halaman 1dari 160

DISKURSUS

FILSAFAT
PANCASILA
DEWASA INI
DISKURSUS
FILSAFAT
PANCASILA
DEWASA INI

Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum

PENERBIT PT KANISIUS
Diskursus FIlsafat Pancasila Dewasa ini
1017000000
© 2017 - PT Kanisius

PENERBIT PT KANISIUS
Anggota SEKSAMA Penerbit Katolik Indonesia
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Caturtunggal, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax. (0274) 563349
Website : www.kanisiusmedia.com
E-mail : office@kanisiusmedia.com

Cetakan ke: 5 4 3 2 1
Tahun: 21 20 19 18 17

Editor : Marcell
Desain isi dan sampul : Galih

ISBN 978-979-21-0000-0

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apa pun tanpa
izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh PT Kanisius Yogyakarta


SKEMA (GARIS BESAR)

BAB I
PENDAHULUAN
Objek material- formalnya — Filsafat politik (filsafat kenegaraan) —
Metode historis-hermeneutis-kontekstual — Menyimak segala pemikiran
para filosof politik yang berkaitan dengan perkara revitalisasi Pancasila dan
menganalisisnya dalam terang kehidupan dari tata hidup bersama saat ini
— Apakah filsafat? Apakah ideologi?

BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN FILOSOFIS
TERHADAP BENTUK NEGARA INDONESIA
Pembagian tradisional — Macam bentuk negara — Konstitusi — Skema
negara Plato — Skema negara Aristoteles — Demokrasi — Toleransi

BAB III
ASAL-USUL NEGARA INDONESIA YANG BERPANCASILA
Apakah natural dan apakah konvensional? — Menurut para filosof klasik
(Sokrates, Plato, Aristoteles, Machiavelli, Hobbes, dan seterusnya) —
“Negara.” apakah itu? Maksudnya, dari mana gagasan tentang negara
hendak diasalkan? Dari pengertian tentang manusia! Ide tentang negara
sesungguhnya pertama-tama adalah ide: tentang manusia. — Negara
Plato, Aristoteles - Machiavelli - Hobbes — Setelah menyimak satu dua
filosof utama dalam menggagas asal-usul negara, apakah natural atau
konvensional, bagaimanakah pandangan para pendiri negara Indonesia? —
Sukarno mengajukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia — Kodrat/
natura negara Indonesia adalah kodrat/natura dari manusia-manusia
Indonesia.

v
BAB IV
PANCASILA MENURUT SOEKARNO
Bab ini berisi uraian mengenai negara Pancasila yang dicetuskan oleh
Soekarno untuk memberi sedikit panorama sejarah, akan sedikit diuraikan
mengenai sekilas riwayat hidup Soekarno — Gagasan Pancasila yang
diutarakan oleh Soekarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 - posisi filosofis
pidato Soekarno — Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische
Grondslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka — Teks
yang dijadikan rujukan benar-benar merupakan naskah pidato Soekarno
yang dikemukakan pada 1 Juni 1945 — Konteks perdebatan antara kaum
Islam dan Nasionalis juga menjadi bingkai dari pidato Soekarno — Pidato
Soekarno penuh dengan retorika dan makna kiasan — Resume

BAB V
GOTONG-ROYONG SEBAGAI SARIPATI PANCASILA
Realitas gotong-royong dewasa ini — Gotong-royong menurut Hatta
— Gotong-royong menurut Notonagoro — Gotong-royong menurut
Driyarkara — Perkembangan gotong-royong dari zaman ke zaman

BAB VI
TUJUAN DAN LEGITIMASI NEGARA
Alasan-alasan yang secara mendalam memungkinkan pemerintahan
negara itu dibangun, didirikan, dan diadakan. — Legitimasi ialah “itu yang
menjadikan pendirian suatu pemerintahan bersifat legitim, sah, benar —
Legitimasi politis — Legitimasi sosiologis - moral - kultural - religius
Pendirian negara pasti dengan suatu tujuan — Tujuan dan legitimasi Negara
Pancasila

vi
BAB VII
MASYARAKAT PANCASILA DALAM PERPEKTIF PARADIGMA
KONFLIK DAN STRUKTURAL-FUNGSIONAL
Masyarakat itu keteraturan ataukah konflik? — Masyarakat menurut
Marx — Masyarakat ditinjau dari Paradigma Konflik — Relevansinya bagi
Masyarakat Pancasila dan Multikultural

BAB VIII
ANALISIS ATAS INDONESIA:
(NEGARA KEKUASAAN, PENGURUS, KESATUAN, KEKELUARGAAN,
FEDERAL, ATAU NEGARA AGAMA?)
Salah satu tema yang sempat muncul dalam diskusi sangat penting
mengenai rancangan UUD 1945, yakni “negara kekuasaan” dan “negara
pengurus”. Kedua istilah ini berasal dari Mohammad Hatta. — Negara
kekuasaan berkaitan dengan gagasan filsafat Machiavelli — “Negara
pengurus”, sebaliknya, langsung mengedepankan pengertian bahwa
sang pemegang kekuasaan adalah pengurus, pengelola, pengemban —
Perihal apakah Indonesia merdeka akan menjadi negara integralistik atau
federalistik — Negara agama

vii
DAFTAR ISI

SKEMA (GARIS BESAR)............................................................................ v


Daftar Isi....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
1 Pengertian Filsafat Politik (Kenegaraan)............................ 1
2 Apakah “Filsafat” itu?........................................................... 3
3 Pancsila Sebagai Filsafat....................................................... 10
BAB II PERTANGGUNJAWABAN FILOSOFIS TERHADAP
BENTUK NEGARA INDONESIA.......................................... 16
1 Pembagian Tradisional
(Bentuk dan Konstitusi Negara)....................................... 16
2 Secara Khusus Mengenai Demokrasi............................... 20
3 Demokrasi Pancasila.......................................................... 27
BAB III ASAL-USUL NEGARA INDONESIA
YANG BERPANCASILA.......................................................... 33
1 Asal-Usul Negara: Natural Atau Konveksional............... 33
2 Natura Negara Ditarik Dari Natura Manusia.................. 37
3 Apa Natura Negara Indonesia?......................................... 42
BAB IV PANCASILA MENURUT SOEKARNO................................. 48
1 Riwayat Singkat Soekarno................................................. 48
2 Posisi Dilosofis Pidato Soekarno Tanggal 1 Juni 1945... 52
3 Gagasan Mengenai Pancasila............................................ 53
4. Soekarnolah Pengagas Awali Pancasila ........................... 60
5. Konteks Sidang Waktu itu:
Perdebatan Antara Kaum Islam dan Nasionalis ............ 64
6. Menikmati Retorika dan Simbolisme Pidato Soekarno
Tentang Pancasila .............................................................. 69
7. Resume ............................................................................... 78

viii
BAB V GOTONG ROYONG SEBAGAI SARI PATI PANCASILA.. 80
1 Realitas Gotong-Royong Dewasa ini............................... 81
2 Gotong-Royong Menurut Muhammad Hatta................. 86
3 Gotong-Royong Menurut Notonagoro............................ 89
4 Gotong-Royong Menurut Driyarkara.............................. 92
5. Perkembangan Nilai Gotong-Royong dari Zaman
BAB VI Legitimasi dan Tujuan Negara Indonesia............................... 98
1 Legistimasi Negara............................................................. 98
2 Tujuan Negara: “The Good Life”........................................ 103
3 Tujuan dan Legitimasi Negara Pancasila ........................ 105
BAB VII MASYARAKAT PANCASILA DALAM PERSPEKTIF
PARADIGMA KONFLIK DAN STRUKTURAL
FUNGSIONAL ......................................................................... 113
1 Masyarakat: Suatu Keteraturan atau Konflik?................. 113
2 Masyarakat Menurut Karl Marx....................................... 114
3 Paradigma (Teori) Konflik Marx...................................... 116
4 Masyarakat Ditinjau dari Teori Konflik........................... 118
5. Hal Penting Dalam Teori Konflik..................................... 119
6 Teori Struktural-Fungsional Sebagai Pembanding
Teori Konflik....................................................................... 120
7 Relevansinya Bagi Masyarakat Indonesia yang
Pancasilai dan Multikultural............................................. 122
BAB VIII ANALISIS ATAS INDONESIA: .(NEGARA KEKUASAAN,
PENGURUS, KESATUAN, .KEKELUARGAAN, FEDERAL,
ATAU NEGARA AGAMA)..................................................... 130
1 Negara Kekuasaan dan Negara Pengurus........................ 130
2 Integralistik-Federalistik................................................... 134
3 Negara dan Agama............................................................. 135
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 143

ix
BAB I

PENDAHULUAN

Buku ini berjudul Diskursus Filsafat Pancasila. Objek material dari


buku ini adalah Pancasila yang dikenal sebagai fondasi negara Indonesia,
dan objek formalnya adalah filsafat. Pancasila hendak diteropong secara
filosofis sehingga mau tidak mau amat bersentuhan dengan filsafat politik
(filsafat kenegaraan). Penjelajahan diskursus ini memakai metode historis-
hermeneutis-kontekstual, artinya, metode membaca langsung sumber
pergumulan para filosof pendiri negara ini dan filosof klasik menjadi alat
untuk mengontekstualkan Pancasila dalam hidup bersama dewasa ini.
Tulisan ini berusaha sejauh mungkin untuk menghimpun dan menyimak
segala pemikiran para filosof politik yang berkaitan dengan perkara
revitalisasi Pancasila dan menganalisisnya dalam terang kehidupan dari
tata hidup bersama saat ini. Pancasila baru akan digali pada Bab IV, setelah
pendasaran mengenai apa itu negara, asal-usul negara, dan garis besar filsafat
mendapat pendasarannya pada bab-bab awal. Bagian akhir akan mengulas
beberapa sumbangsih pikiran bagi relevansi Pancasila di dalam konteks ke-
Indonesiaan dewasa ini.

1
1. PENGERTIAN FILSAFAT POLITIK (KENEGARAAN)
Filsafat politik (political philosophy) berbeda dengan ilmu politik
(political science). Perbedaannya terletak pada philosophy dan science. Secara
tradisional tidak ada bedanya. Secara tradisional artinya menurut ajaran para
filosof klasik (Sokrates, Plato, Aristoteles, juga para filosof politik modern:
Machiavelli, Hobbes, dan seterusnya). Revolusi ilmu pengetahuan yang sudah
diawali sejak abad ke-16/17 membawa pemisahan perlahan-lahan antara ilmu
pengetahuan dan filsafat. Ilmu pengetahuan biasanya dimaksudkan sebagai
ilmu empiris, sedangkan filsafat dimaksudkan sebagai ilmu spekulatif. Pada
abad-abad selanjutnya, independensi ilmu pengetahuan dari filsafat makin
nyata.
Dalam bahasa Inggris, filsafat politik diterjemahkan political philosophy.
Maksudnya, “filsafat”-nya menunjuk kepada cara atau model pembahasannya
(objek formal). Sedangkan “politik”-nya merupakan objek material yang
dibahas. Jadi, filsafat politik membicarakan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan politik. Berbeda dengan “ilmu politik” yang langsung
berbicara tentang masalah-masalah politik dari segi keilmuan atau
keilmiahan atau strategi pencapaian sasaran politis. Jadi, yang membedakan
antara filsafat politik dan ilmu politik ialah objek formalnya, atau dimensi
filosofis pembahasannya. Filsafat politik juga tidak sama dengan pemikiran
politik pada umumnya. Pemikiran politik berkaitan langsung dengan
kehidupan politik yang lantas terarah pada penegasan-penegasan strategi
untuk mengejar tujuan politis tertentu. Namun demikian filsafat politik
bagaimanapun juga lahir dari kehidupan politik yang konkret.
Umumnya apa yang disebut dengan pemikiran politik ialah segala
cara atau metode yang secara tegas dan aplikabel dimaksudkan untuk
mengejar tujuan-tujuan politis tertentu. Pembicaraan mengenai persoalan
ini tidak mesti tunduk pada karakteristik keilmiahan. Pemikiran politik
lebih mengedepankan strategi pencapaian sasaran politik. Filsafat politik –
sebagaimana digagas oleh para filosof klasik seperti Sokrates dan Aristoteles
– tidak meminati analisis tema semacam itu. Filsafat politik lebih memandang
aneka persoalan politik dalam skema dan konteks yang menyeluruh. Dengan

2
kata. lain, filsafat politik tidak berminat menyimak seputar prediksi, misalnya,
siapa yang akan menjadi presiden Indonesia setelah SBY, melainkan menaruh
perhatian sangat besar pada soal-soal apakah paradigma hukum di Indonesia
sudah menyentuh keadilan, atau apakah ide-ide politik yang dihidupi oleh
masyarakat Indonesia mengunggulkan prinsip-prinsip kemanusiaan, atau
yang semacamnya. Dewasa ini, filsafat politik dirancukan dengan ideologi:
atau ideologi komunis / marxis atau ideologi liberalis / kapitalis atau juga
ideologi Pancasila dalam konteks kita. Apakah filsafat? Apakah ideologi?
Ideologi adalah paham, filsafat jelas menunjuk pada ilmu. Ideologi
mengajukan paket jadi suatu sistem pemikiran. Filsafat sebagai ilmu
mengedepankan cara atau metode pemikirannya. Ideologi memiliki target-
target yang mau dikejar secara politis dalam tata hidup bersama. Filsafat
lebih berminat menampilkan model-model pemikiran kritis. Tentu saja
harus pula dikatakan bahwa karena ideologi adalah produk dari suatu cara
berpikir, ia sudah dari sendirinya termasuk dalam filsafat. Filsafat politik
tidak mengajukan dan mengagungkan sistem jadi mengenai suatu pemikiran
filosofis.

2. APAKAH “FILSAFAT” ITU?


Filsafat berasal dari kata “philein” (mencintai) dan “sofia” (kebijaksanaan).
Orang yang belajar filsafat adalah dia yang belajar segala sesuatu mengenai
kebijaksanaan. Terminologi “kebijaksaan” memaksudkan pula pengertian,
pengetahuan, dan penguasaan persoalan sampai ke akar-akarnya.
Orang bijak mengandaikan pemilikan knowledge of the why
(pengetahuan tentang “mengapa”). Aneka pengalaman yang lahir dari indera
tidak berkaitan dengan wisdom, karena hanya menyentuh hal-hal khusus
belaka. Pengalaman semacam itu tidak mampu mengatakan “why” dari apa
yang dialami. Misalnya: pengalaman akan api yang dirasakan oleh indera
kulit jelas hanya menegaskan kesimpulan bahwa api itu panas, tetapi tidak
bisa menjelaskan “mengapa” api itu panas. Filsafat menaruh perhatian secara
mendalam pada hal itu! Untuk itulah filsafat (secara khusus dalam metafisika)
akan dicari sebab-sebab dan prinsip pertama dari segala sesuatu yang ada.

3
Sekali lagi, wisdom berarti pengetahuan tentang prinsip-prinsip mendasar.
Itulah sebabnya pertanyaan “why” dan “what” adalah pertanyaan filosofis.
Tradisi berfilsafat pertama kali dijumpai dalam tradisi Yunani. Pada
awal kehadirannya, filsafat Yunani ditandai dengan campur-baur mentalitas
berpikir. Pada perjalanan berikutnya, mitos tidak sepenuhnya ditinggalkan,
tetapi gerakan intelektual yang berusaha menarik garis tegas antara
penjelasan mitologis dan ilmiah juga makin menghebat. Apa yang disebut
sebagai “ilmiah” dalam periode Yunani jelas berbeda dengan periode dewasa
ini. Ilmiah dalam periode Yunani awali berkaitan dengan argumentasi dan
refleksi, sedangkan pada periode modern keilmiahan menunjuk kepada
metodologi.
Elaborasi relasi manusia dengan dunia dalam sejarah perkembangan
filsafat akan dijumpai dalam suatu alur yang mengalir. Mula-mula pada
zaman Yunani kuno, manusia memahami dunianya dengan segala
peristiwanya dalam mitos. Hujan misalnya, merupakan tangisan para
dewa/dewi. Penjelasan semacam itu tentu aneh di dunia modern, karena
menurut pemikiran modern, hujan tidak lain merupakan jatuhnya uap air
dari udara setelah mencapai titik suhu kenisbian tertentu. Di titik ini harus
segera ditambahkan bahwa mitos bukan hendak mengatakan salah atau
benar, bahkan mitos sebenarnya bukanlah dimaksudkan untuk menjelaskan
halnya (hujan misalnya) atau prosesnya (turunnya air dari langit), melainkan
hendak menggambarkan relasi manusia dengan alam (dunianya) sejauh bisa
ditangkap oleh akal budi para pemikir waktu itu. Banjir misalnya, dahulu
dimengerti sebagai ungkapan kemarahan dewa-dewi atas hidup manusia
yang tidak memenuhi ketentuan yang digariskan oleh sang penyelenggara
kehidupan. Jadi mitos bukanlah penjelasan hal atau peristiwanya, melainkan
elaborasi relasi manusia dengan dunianya.
Dari filosof awali, aneka prinsip pertama (arche) selalu dikaitkan dengan
alam materi. Substansi dipikirkan dalam aneka pengertian yang menunjuk
kepada materi (seperti air, udara, api, tanah, dst.). Thales mengatakan
bahwa prinsip dasar dari segala yang ada adalah air, Anaximenes dan
Diogenes menunjuk udara, sementara Hipassus dan Heraklitos mengatakan

4
api. Anaxagoras menyebut bilangan tak terbatas sebagai prinsip segala
sesuatu. Elaborasi filsafat Yunani awali berkisar pada pencarian arche. Arche
merupakan terminologi filosofis untuk menyebut prinsip awal atau asal-usul
dari segala sesuatu. Dengan menemukan arche, orang bisa menjelaskan segala
apa yang ada dalam suatu cara yang mengesankan. Bagi Thales: airlah sang
arche. Kemudian ada filosof lain menyebut api, udara, tanah, dst. Pandangan
yang mendasarkan diri pada alam sebagai arche semacam ini, membuat
segala penjelasan bermuara pada aneka argumentasi berhenti pada alam,
oleh karena itu para filosof awali ini biasa disebut sebagai filosof alam.
Parmenides adalah filosof pertama yang menggagas bahwa prinsip dari
segala apa yang ada bukanlah materi, melainkan SATU. Bukan “satu” dalam
artian bilangan kuantitatif/kualitatif. Satu di sini memaksudkan ketunggalan,
keutuhan, dan ketidakterbagian, Apa maksudnya? Parmenides-lah yang
pertama menyimak segala sesuatu tidak dari sudut penglihatan indera,
melainkan dari prinsip akal budi. Maksudnya, dalam bahasa metafisis bisa
dikatakan bahwa segala apa yang ada adalah ADA, dan apa yang tidak ada
adalah TIADA.
Jauh sesudah itu, perhatian bergeser pada pembahasan tentang manusia
dan hidup bersamanya. Sokrates dan para Sofis berada dalam periode ini,
di mana yang amat menonjol adalah pencarian terdalam akan kodrat hidup
manusia. Perkembangan filsafat Yunani mencapai puncak sistematisnya pada
pemikiran Aristoteles dan Plato. Bagi Aristoteles, relasi antara manusia dengan
dunia identik dengan relasi antara rasio dan realitas. Artinya, pengetahuan
manusia tentang dunia adalah pengetahuan rasional tentang realitas. Bagi
Aristoteles, apa yang disebut pengetahuan adalah soal relasi kesesuaian
antara apa yang ada dalam akal budi dengan objek real yang diketahui di
luar akal budi. Pengetahuan memiliki makna jika pengetahuan itu benar,
sahih, dan valid. Bagaimana dengan Plato? Kesejatian pengetahuan Platonis
menunjuk pada Forma atau Idea. Kesejatian baginya adalah keuniversalan.
Berbeda dengan Aristoteles yang realis, Plato adalah seorang idealis.
Dari aneka penjelasan di atas, apakah kesimpulan kecil yang bisa
diambil? Jika hendak dibahasakan secara mudah, filsafat adalah elaborasi

5
relasi manusia dan dunia. Filsafat berada pada rincian aneka kepentingan
refleksi pemahaman manusia tentang dunianya. Dunia di sini bukan semata
soal dunia fisik, alam, gunung, sungai, sawah, dst., melainkan dunia dalam
arti luas, mendalam, dan melimpah. Dunia mencakup segala perkara yang
berurusan dengan hidup manusia. Filsafat menyoal hidup manusia. Filsafat
juga merefleksikan siapakah aku, karena wacana tentang aku sebagai manusia
yang menyejarah menunjuk langsung kepada dunia hidup manusia. Dengan
demikian filsafat juga menggagas tentang Tuhan, karena refleksi mengenai
Sang Ada Absolut mengisi ruang hidup manusia. Singkatnya, filsafat adalah
elaborasi hubungan saya dengan dunia yang saya hidupi. Orang yang belajar
filsafat adalah dia yang belajar segala sesuatu mengenai kebijaksanaan.
Terminologi “kebijaksaan” dengan demikian memaksudkan pula pengertian,
pengetahuan, dan penguasaan persoalan sampai ke akar-akarnya. Jadi filsafat
bermakna cinta akan kebijaksanaan (love to the wisdom).
Filsafat mulai dari keheranan. Dalam sejarah filsafat Yunani, kebenaran
ini ditampilkan sejak filosof pertama di planet bumi ini, yaitu Thales. Karena
keheranan, Thales memikirkan asal-usul dari segala sesuatu yang ada. Bagi
Thales, segala yang ada (maksudnya realitas dunia dengan segala isinya)
memiliki unsur dasar yang menjadi asal-usulnya, yaitu air. Aktivitas Thales
ini disebut aktivitas berfilsafat karena berupa suatu “pencarian” rasional oleh
akal budi sampai ke akar-akarnya.
Awal dari berfilsafat adalah penegasan kebenaran kodrati bahwa
manusia ingin tahu. Aristoteles berkata: “All men by nature have desire to
know” (Metaphisics 980a20). Dalam kaitan dengan ini peran akal budi
amat diminta. Mengapa? Karena setiap manusia dari kodratnya mempunyai
desakan untuk mengenal, mencari tahu, dan mengejar pengetahuan (sama
persis dengan keheranan Thales). Manusia pada kodratnya adalah makhluk
berpikir. Kegiatan untuk mengetahui, mengenal, dan berefleksi merupakan
bagian kodrati dari keberadaan dan kehadirannya sebagai manusia. Apa yang
direfleksikan? Ia merefleksikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya dan
segala apa yang dihidupinya.

6
Sokrates kemudian menggeser perhatian dari pencarian rasional
terhadap alam semesta ke seluk beluk hidup manusia. Sokrates menggagas
pengertian hakiki hidup manusia, hidup bersamanya, dan tujuan hidup
manusia. Wilayah-wilayah politik, etika, retorika, sastra, tata negara,
bahkan Tuhan dengan demikian menjadi bidang pergelutan filsafat sejauh
bisa didekati oleh akal budi. Semua ini dimulai dari keheranan. Artinya,
keheranan adalah awal dari segala kebijaksanaan.
Dalam apa yang disebut dengan kodrat natural (natural desire) untuk
mengenal, dari sendirinya harus dipahami sebagai suatu pengenalan akan
kedalaman, bukan asal mengenal. Maka, manusia harus dikatakan sebagai
makhluk pencari kedalaman. Dalam kaitan dengan ini, seorang filosof
terkenal mendefinisikan manusia sebagai makhluk pencari kebenaran.
Dari kesadaran sebagai pengembara pada wilayah kebenaran tanpa batas,
dapat disimpulkan bahwa manusia sebenarnya terarah kepada kebenaran.
Dia bukan makhluk manipulatif, koruptif, perusak, dan yang semacamnya.
Artinya, manusia selalu berusaha agar cara berpikir dan tindakannya benar,
tidak sembarangan, dan serampangan. Benar berarti rasional. Jadi, bukan
benar sebagaimana menunjuk kepada instruksi legal tertentu, dogma tertentu,
ajaran ini/itu, dan yang semacamnya. Benar di sini berurusan dengan prinsip
ratio (prinsip akal budi).
Konteks kehidupan Yunani awali melahirkan filsafat. Konteks hidup
yang berkaitan dengan alam yang indah, kisah mitologis yang inspiratif,
tradisi masyarakatnya yang memuja seni, sastra, retorika, teater, dan studi.
Mitos merupakan titik berangkat filsafat. Mitos bukan hanya sekadar
dongeng, melainkan cetusan budaya, mentalitas, dan pengembaraan cita-cita
hidup manusia. Metode berfilsafat dalam tradisi Yunani adalah spekulatif.
Maksudnya, refleksi dan argumentasi dijalankan dengan instrumen logika
akal budi secara ketat. Metode ini belum bersentuhan dengan metode empiris.
Filsafat dengan demikian adalah studi tentang seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam
konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-
eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah

7
secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan
yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan
ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafati, mutlak diperlukan
logika berpikir dan logika bahasa. Filsafat memiliki peran yang sangat vital
bagi perkembangan ilmu-ilmu. Filsafatlah yang telah melahirkan semua
ilmu, sehingga filsafat dikatakan sebagai ‘induk ilmu’ (mother of sciences).
Manusia adalah mahluk yang senantiasa berpikir. Dengan kemampuan
berpikir inilah, pada awalnya manusia merasa heran dengan segala sesuatu
yang ada dan terjadi di alam. Hingga akhirnya dengan kemampuan berpikir
inilah yang mengantar manusia untuk memperoleh suatu jawaban yang
bersifat logis. Proses berfilsafat adalah proses berpikir, tetapi tidak semua
proses berpikir adalah proses berfilsafat.
Berpikir yang bagaimana dapat dikatakan berfilsafat? Berfilsafat adalah
berpikir yang radikal, logis, universal, konseptual, koheren, konsisten,
sistematik, komprehensif, kritis, bebas, bertanggung jawab, dan bijaksana.
Filsafat ditujukan untuk mendapatkan kebenaran mutlak (absolut) yaitu
benar dilihat dari berbagai sudut pandang dan benar pula untuk sepanjang
masa. Artinya, filsafat memandang segala sesuatu secara komprehensif.
Filsafat membantu manusia untuk mencari kebenaran dari segala
fenomena yang ada, memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan
hidup dan pandangan dunia, memberikan ajaran tentang moral dan
etika yang berguna dalam kehidupan memahami diri sendiri dan dunia,
mengembangkan kemampuan dalam menalar, dan memberikan bekal untuk
memperhatikan pandangan diri sendiri dan orang lain dengan kritis. Lebih
jauh dari itu filsafat memberikan pandangan yang luas sehingga manusia
dapat membendung egoisme dan egosentrisme, membebaskan manusia dari
belenggu cara berpikir yang sempit, memberikan landasan historis-filosofis
bagi setiap kajian disiplin ilmu yang ditekuni, memberikan nilai dan orientasi
yang jelas bagi setiap disiplin ilmu.
Saat ini saya lapar, maka saya berpikir untuk makan. Hal demikian
sudah terjadi dengan sendirinya, dan tidak termasuk ke dalam kegiatan
berfilsafat. Berfilsafat memerlukan kedalaman, pencarian tak kunjung henti

8
dalam terang rasionalitas, yang dilakukan dengan kaidah-kaidah yang bisa
dipertanggungjawabkan. Jika dilakukan suatu kontemplasi lebih lanjut, maka
manfaat filsafat secara radikal adalah menjadikan seseorang bijaksana dalam
hal menyikapi masalah hidup dan kehidupan karena telah ‘berteman’ dengan
kebijaksanaan, serta mengetahui dengan benar apa tujuan mereka berbuat
sehingga filsafat di berbagai tempat berperan sebagai pandangan hidup,
pegangan hidup bahkan sebagai pedoman hidup
Filsafat Timur adalah tradisi filosofis yang terutama berkembang di
Asia, khususnya di India, Cina, Jepang, Indonesia, dan daerah-daerah lain
yang pernah dipengaruhi olehnya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah
dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih
juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di dunia barat, rasio masih lebih menonjol daripada Filsafat Timur.
Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Sidharta Budha Gautama/
Budha, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan lain sebagainya.
Filsafat timur biasanya lebih menekankan kepada aspek spiritual,
pemberdayaan sikap introspektif, menerima otoritas tertentu (terutama
agama), menekankan harmoni dan keluarga (terdapat dalam filsafat Cina),
dan kesusilaan (terdapat dalam Konfusianisme). Mari sejenak melompat
mengenai Pancasila. Bukankah kalau direnungkan, Pancasila amat berciri
ketimuran? Pancasila memuat nilai-nilai spiritualitas dalam sila pertama dan
berbagai nilai dalam sila-sila berikutnya (kemanusiaan, persatuan, mufakat,
dan keadilan).
Beralih ke Filsafat Barat, dewasa ini secara umum kata “filsafat” biasanya
diidentikkan dengan Filsafat Barat. Filsafat barat identik dengan tradisi
berpikir itu sendiri yang dimulai sejak Yunani kuno. Dalam tradisi Barat
dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.
Secara umum pembagiannya mencakup tiga hal, yakni metafisika (ontologi),
epistemologi, dan aksiologi. Pembagian tersebut adalah:
1. Metafisika mengkaji hakikat segala yang ada. Dalam bidang ini, hakikat
yang ada dan keberadaan (eksistensi) secara umum dikaji secara khusus
dalam Ontologi. Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas

9
dalam Kosmologi. Di dalamnya terdapat Logika yang mengkaji bagaimana
menalar secara benar.
2. Epistemologi mengkaji tentang hakikat dan wilayah pengetahuan (episteme
secara harfiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai
hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu
pengetahuan.
3. Aksiologi membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada
kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang
membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika. Etika, atau
filsafat moral, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak
dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat
diketahui. Beberapa topik yang dibahas di sini adalah soal kebaikan,
kebenaran, tanggung jawab, suara hati, dan sebagainya. Estetika membahas
mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika
lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari
berbagai macam hasil budaya

3. PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT


Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi kolektif (cita-
cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Pancasila dikatakan sebagai filsafat
karena merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan
oleh para pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu sistem
yang tepat. Notonagoro berpendapat bahwa Filsafat Pancasila ini memberikan
pengetahuan dan pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat Pancasila.
Jika ditilik dari soal tempat, Filsafat Pancasila merupakan bagian dari
Filsafat Timur (karena Indonesia kerap digolongkan sebagai Negara yang
ada di belahan dunia bagian timur). Sebenarnya, ada banyak nilai ketimuran
yang termuat dalam Pancasila, misalnya soal pengakuan akan adanya Tuhan,
kerakyatan, keadilan yang diidentikkan dengan paham mengenai ‘ratu
adil’ dan seterusnya. Pancasila juga memuat paham-paham Barat, seperti:
kemanusiaan, demokrasi, dan seterusnya. Sebagai sistem filsafat, Pancasila
ternyata juga harus tunduk pada formulasi Barat yang sudah mapan sejak

10
dulu. Jika Pancasila mau dipertanggungjawabkan secara sahih, logis, koheren,
dan sistematis, maka di dalamnya harus memuat kaidah-kaidah filosofis.
Pancasila harus memuat juga dimensi metafisis (ontologis), epistemologis,
dan aksiologis.
Pertama, secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan
sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut
Notonagoro, hakikat dasar antologi Pancasila adalah manusia, karena
manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila Pancasila.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan
lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai
sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis
yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta
kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus
juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, Pancasila dijadikan dasar
negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi
oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan kodrat manusia yang monodualis
tersebut.
Kedua, kajian epistemologi Filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai
upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Hal ini dimungkinkan adanya karena epistemologi merupakan bidang filsafat
yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian
epistemologi Pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar ontologisnya.
Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan dengan
konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai suatu paham epistemologi,
Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas
kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan
suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu,
Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam
membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.
Ketiga, kajian aksiologis Filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas
tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan mengenai Pancasila.

11
Hal ini disebabkan karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat
memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar yang terkandung
di dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Aksiologi Pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang
filsafat nilai Pancasila. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan
pendukung nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia
itulah yang mengakui, menghargai, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang
bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku
dan perbuatan bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia
mengandung makna bahwa setiap aspek kehidupan kebangsaan, kenegaraan
dan kemasyarakatan harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan yang terakhir keadilan. Pemikiran
filsafat kenegaraan ini bertolak dari pandangan bahwa negara merupakan
suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan, di mana
merupakan masyarakat hukum.
Apa yang dimuat dalam Pancasila sebagai rumusan filsafat adalah bersifat
umum, karena memuat juga apa yang termuat dalam Pancasila sebagai dasar
negara. Driyarkara mengatakan bahwa seluruh Pancasila sebagai filsafat
hidup/weltanschauung dan Pancasila sebagai dasar negara sedikit berlainan
maknanya:
“Dalam Pancasila sebagai filsafat hidup (Weltanschauung):
Perikemanusiaan diambil dalam arti yang seluas-luasnya,
sedang sebagai dasar negara Perikemanusiaan terutama berarti
internasionalisme. Dalam Pancasila sebagai filsafat hidup
(Weltanschauung): Keadilan Sosial diambil dalam arti yang seluas-
luasnya, harus dilakukan dalam semua kerja sama manusia, sedang
sebagai dasar negara mempunyai arti yang khusus, yaitu Keadilan
Sosial seperti yang harus dijelmakan oleh negara. Demikian juga
Demokrasi dalam filsafat hidup (Weltanschauung) berarti bahwa
tiap-tiap kesatuan-karya harus melaksanakan Demokrasi, sedangkan

12
sebagai dasar negara Demokrasi mempunyai arti yang tertentu pula,
yaitu cara menegara. Juga Kebangsaan, dalam rumusan filsafat dan
dalam undang-undang negara artinya tidak tepat sama. Dalam
filsafat hidup Kebangsaan dinyatakan bahwa manusia itu dilahirkan
dan dicap oleh tanah airnya (bangsanya), dan bahwa cap itu harus
dijadikan dasar dalam tingkah laku kita, terutama dalam membentuk
kesatuan-karya. Dalam undang-undang negara, Kebangsaan
mempunyai arti yang khusus, yaitu kesatuan yang sudah ada, yang
kita sebut bangsa, itu harus menjadi landasan menegara. Demikian
juga halnya dengan sila Ketuhanan” (Driyarkara 2006:859-860).
Pancasila dengan demikian dapat dipandang dalam dua sisi, yakni sebagai
dalil-dalil filsafat dan juga sebagai dasar negara. Pancasila merumuskan
realitas manusia dalam semesta realitas jika dilihat sebagai filsafat. Manusia
hendak mencari pemahaman mengenai realitas yang sedalam-dalamnya
ketika berfilsafat. Peneropongan filosofis dengan demikian hendak mengejar
pengertian, pemahaman, dan kebenaran. Pancasila sebagai filsafat dengan
demikian berisi hakikat dan pemahaman mendalam tentang Indonesia.
Argumentasi Soekarno mengenai dasar negara dibuka dengan suatu
pertanyaan, “Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia merdeka?” Soekarno dalam pidato tersebut juga menyinggung
mengenai philosofische Grondslag (dasar filosofis) dari Indonesia merdeka.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah: apa perbedaan antara Weltanschauung
dan dasar filsafat (philosofische Grondslag)? Driyarkara menjawab pertanyaan
tersebut dalam uraian berikut:
“Dalam kalangan suku-suku primitif terdapat pula Weltanschauung,
tetapi tanpa rumusan filsafat. Jadi tidak samalah Weltanschauung
dan filsafat. Filsafat ada dalam lingkungan ilmu pengetahuan, dan
Weltanschauung ada dalam lingkungan kehidupan. Banyak pula
bagian-bagian dari filsafat (misalnya sejarah filsafat, teori-teori
tentang pengertian, alam, dan sebagainya) yang tidak langsung
berdekatan dengan sikap hidup. Dengan belajar filsafat orang tidak
dengan sendirinya mempelajari Weltanschauung” (Driyarkara

13
2006:855).
Penjelasan di atas memberi kejelasan mengenai bagaimana seharusnya
pidato Soekarno ditelaah dari sudut filosofis. Sebagai suatu pidato politik,
Soekarno memang berkepentingan untuk memperkenalkan penggaliannya
mengenai dasar negara. Soekarno tentu tidak gegabah dalam menguraikan
dasar negara, karena dasar semacam itu haruslah selaras dengan
Weltanschauung (atau bisa dikatakan sebagai: pandangan hidup) yang sudah
mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Soekarno meyakinkan bahwa
pandangan hidup seperti: kemanusiaan, kebangsaan, musyawarah/mufakat,
keadilan, dan ketuhananlah yang mengakar di bumi Indonesia sejak lama.
Pandangan hidup (Weltanschauung) seperti inilah yang relevan jika kemudian
hendak dijadikan sebagai dasar negara.
Kelima nilai hidup tersebut kemudian diringkas lagi ke dalam satu nilai,
yakni gotong-royong. Driyarkara mengatakan bahwa gotong-royong juga
merupakan Pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa Indonesia:
“Seluruh pidato (lahirnya Pancasila) adalah penggalian untuk
mencari dan menetapkan asas-asas Negara kita. Sebagai dasar
ditunjuklah Pancasila. Sebagai dasar, artinya ialah bahwa Pancasila
itu merumuskan akar kehidupan manusia. Maka dari itu, jika
dikatakan bahwa gotong-royong merupakan perasan dari Pancasila,
maka hal itu juga berarti bahwa gotong-royong berupa dasar, berupa
sesuatu yang asasi” (Driyarkara 2006:655)
Gotong-royong menggambarkan secara filosofis manusia dan bangsa
Indonesia. Gotong-royong mengandaikan pengakuan akan yang lain (manusia
dan Tuhan), kebersamaan, kerja sama demi keadilan, dan musyawarah.
Driyarkara kemudian menguraikan manusia dan bangsa Indonesia yang
bergotong-royong ini menjadi lengkap secara ontologis, epistemologis, dan
aksiologis:
“Sebagai dalil filsafat, Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan ada-
bersama-dengan-cinta-kasih, yang disebut perikemanusiaan.

14
2. Perikemanusiaan itu harus kujalani dalam bersama-sama
menciptakan, dan menggunakan barang dunia demi keadilan sosial.
3. Perikemanusiaan harus kulaksanakan juga dalam memasyarakat.
Aku manusia niscaya memasyarakat ..., dan berdemokrasi.
4. Perikemanusiaan harus juga kulaksanakan dalam hubunganku
dengan kesatuan .... Kesatuan yang besar itu, tempat aku pertama
harus melaksanakan perikemanusiaan, disebut dengan Kebangsaan.
5. Aku mengakui bahwa adaku itu ada bersama, serba terhubung,
serba tersokong, serba tergantung. Jadi adaku tidak sempurna, tidak
atas kekuatan sendiri. Jadi adaku bukanlah sumber dari adaku ...
melainkan kepada Yang Mutlak, Sang Maha-ada .... Itulah Tuhan
Yang Maha Esa” (Driyarkara 2006:856-857).
Analisis filosofis menunjukkan bahwa gotong-royong adalah filosofi
hidup yang mengakar lama dalam budaya Indonesia, dan kemudian diusulkan
menjadi dasar negara. Bangsa kita dahulu memang belum berfilsafat secara
sistematis, akan tetapi nilai-nilai filosofis yang berkembang sejak dulu
kala kemudian disistematisasi oleh Soekarno, dan kemudian diringkasnya
menjadi gotong-royong.
Formulasi formal dari Pancasila (atau bisa disebut sebagai Pancasila
formal) itu mempunyai akar yang dalam pada kegotong-royongan
masyarakat Indonesia. Akar inilah yang kemudian disebut sebagai Pancasila
material oleh Notonagoro. Pancasila formal tak lain adalah cetusan rasional
(lewat penggalian bertahun-tahun) dari Pancasila material yang hidup
dan berkembang dalam sejarah, peradaban, agama, hidup ketatanegaraan,
lembaga sosial dan lain sebagainya yang bercirikan semangat gotong-royong.

15
BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN FILOSOFIS
TERHADAP BENTUK NEGARA INDONESIA

1. PEMBAGIAN TRADISIONAL (BENTUK DAN KONSTITUSI NEGARA)


Sistem politik mengenal beberapa bentuk yang perlu disimak dengan
teliti. Ada beberapa bentuk negara. Menyelidiki dan menyimak bentuk-
bentuk negara bukan hanya berarti melihat dan menyebut aneka macam
nama model-model negara, melainkan memahami bagaimana suatu sistem
hidup bersama ditata dan diatur karena sistem politik adalah sistem hidup
bersama. Maksudnya, seperti ditegaskan dalam buku Politics Aristoteles,
orang yang hidup sendirian jelas tidak membutuhkan sistem politik. Namun
demikian politik itu bukan optional atau accidental melainkan neccesary.
Artinya, apabila manusia ingin menggapai kesempurnaannya, ia necessarily
(secara perlu) mesti masuk dalam tatanan hidup bersama. Kalau punya
kecenderungan hidup “sendirian” (dengan menolak yang lain sebagai rekan)
- Aristoteles menyebut - atau dia dewa atau binatang (yang keduanya jelas
tidak membutuhkan tata hidup bersama).
Pembagian bentuk-bentuk negara memaksudkan secara langsung
pembagian bentuk-bentuk konstitusi. Dalam “bentuk” negara, dibahas soal
siapakah yang memerintah dan siapa yang diperintah; soal sistem penataan
pemerintahan (artinya soal bagaimana pemerintahan dijalankan, karena
demikian banyak orang yang terlibat dalam pemerintahan); soal hubungan

16
antara yang memerintah dan yang diperintah (pemimpin dan warga
negaranya), misalnya sistem perwakilan; soal bagaimana roda ekonomi
negara diatur; dalam teori negara modern, soal ideologi/paham dasar tata
hidup bersama juga dituliskan. Soal-soal tersebut dapat diringkas dalam satu
kata, “KONSTITUSI.” Jadi, konstitusi itu bukan pertama-tama soal dokumen,
melainkan suatu cetusan yang amat jelas mengenai way of life dari suatu
negara. Singkatnya, apa yang secara konstitutif (mendasar, tidak bisa tidak)
harus ada dalam pembentukan negara, itulah konstitusi. Plato, Aristoteles,
dan para filosof politik klasik yang lain secara mencolok menegaskan ini.
Konstitusi disebut juga dengan hukum dasar (sekurang-kurangnya
Supomo mengatakan demikian dalam pidatonya dalam sidang BPUPKI).
Artinya, konstitusi adalah dasar dari segala hukum yang mungkin digagas
dalam negara bersangkutan. Konstitusi bukanlah hukum dalam artian
mengandalkan suatu peradilan sipil. Konstitusi bukan hanya berupa
peraturan/larangan/perintah, melainkan dasar-dasar pemahaman yang
nantinya secara tegas akan langsung dijabarkan dalam larangan/perintah yang
berlaku di negara tersebut. Konstitusi mengindikasikan sistem pemerintahan
yang berlaku. Bagi Aristoteles, jelas sekali konstitusi adalah sistem polis.
Mengapa? Karena polis adalah tata hidup bersama. Tidak mungkin suatu tata
hidup bersama banyak manusia mengandaikan tanpa sistem.
Jadi soal konstitusi adalah soal bentuk tata hidup bersama, atau tata
polis, atau negara yang merupakan necessity manusia. Skema Plato mengenai
apakah itu negara mengalir dari skema mengenai apakah itu manusia.
Dengan manusia dimaksudkan “jiwa” (soul) manusia. Manusia terdiri dari
tiga bagian: bagian tertinggi, akal budi (rational/intellective part), bagian roh/
semangat (spirited part), dan bagian yang disebut appetitive. Sebagaimana
manusia, demikian juga negara. Negara terdiri dari pemimpin, tentara, dan
para produsen. Tata negara mencakup klasifikasi para anggotanya semacam
itu.
Bentuk-bentuk negara bagi filsafat Platon identik dengan macam-
macam karakter manusia. Ada aneka macam karakter manusia, dan secara
konkret karakter manusia-manusia pemimpin negaranya. Bagi Plato,

17
konstitusi (maksudnya bentuk negara.) menunjuk langsung pada siapa yang
memerintah! Artinya, jika yang memerintah memiliki karakter wisdom-
loving (atau cinta akan kebijaksanaan), negara yang dibentuk adalah
KINGSHIP/MONARCHY. Siapakah yang cinta akan kebijaksanaan? Bagi
Plato tidak ada lain kecuali filosof. Filosoflah pemimpin ideal. Ideal, karena
dengan kebijaksanaannya ia mampu menyetir suatu polis. Tidak hanya itu,
seorang filosoflah yang dapat menggagas keadilan/harmoni. Dan filosoflah
yang mampu mengantar para warga negaranya kepada virtuous people (rakyat
yang utama). Maka, pemerintahan semacam inilah yang ideal.
Jika yang memerintah memiliki karakter victory-loving negara yang
terbentuk adalah TIMOCRACY. Victory-loving (haus akan kemenangan)
adalah ciri khas tentara. Bagi Plato, manusia yang penuh dengan nafsu
akan kemenangan adalah manusia yang haus untuk menguasai yang lain.
Suatu negara yang memiliki natura demikian dari sendirinya tak pernah
membawa ketenteraman bagi para warga negaranya. Dalam Plato, bentuk
negara semacam ini dipandang sebagai salah satu yang tidak ideal. Sukar
dibayangkan suatu roda ekonomi dapat berjalan dengan baik dan keadilan/
harmoni dapat terjadi dalam pemerintahan semacam ini.
Jika yang memerintah memiliki karakter luxury-loving, negara yang
terbentuk adalah OLIGARCHY. Luxury loving adalah cinta kemewahan.
Oligarchy adalah sistem pemerintahan yang mengedepankan pencarian
kekayaan dan kemewahan. Polis semacam ini penuh dengan pesta pora.
Hidup warga negaranya dihinggapi nafsu sekadar untuk kenikmatan.
Dari sendirinya, hidup baik (dalam artian bahwa para penduduknya akan
mengusahakan virtue) tidak bisa dibayangkan. Oligarchy merupakan bentuk
pemerintahan yang tidak ideal.
Jika yang memerintah memiliki karakter freedom-loving, maka negara
yang terbentuk adalah DEMOCRACY. Demokrasi dalam sistem filsafat
kenegaraan Plato tidak sama persis dengan demokrasi dalam artian seperti
sekarang ini. Demokrasi yang dikatakan Plato termasuk dalam bilangan
bentuk negara yang tidak ideal, karena sistem ini memuja kebebasan. Plato
menegaskan bahwa apabila warga negara memuja-muja kebebasan, tidak

18
ada pendidikan untuk virtue, tidak ada harmoni, tidak ada kesejahteraan.
Kebebasan yang dimaksudkan Plato ialah tanpa hukum. Dalam demokrasi,
hanya rakyat biasa yang tidak memiliki pengetahuan tentang kebijaksanaan
apa pun yang memerintah.
Jika yang memerintah memiliki karakter lawlessness dan self-interest-
loving, negara yang terbentuk adalah TYRANNY. Bentuk negara ini adalah
yang paling tidak ideal, sebab tidak ada hukum dan yang memerintah, sangat
mencintai dirinya sendiri, mementingkan keperluan dan kepentingan dirinya
sendiri. Segala kemungkinan buruk dalam pemerintahan semacam ini tidak
sulit untuk dibayangkan.
Tinggalkan Plato, sekarang akan dijabarkan aneka macam konstitusi
menurut Aristoteles.: Aristoteles berangkat dari titik tolak yang hampir
sama dengan Plato, yaitu dari paham tentang manusia. Tetapi, mengenai
bentuk negara, Aristoteles tidak mendasarkan, pandangannya pada karakter
manusianya, melainkan pada karakter tujuan negara digariskan. Di sini dalam
terminologi “negara” dimaksudkan secara ketat sistem hidup bersama dalam
polis. Jadi, konsep Aristotelian tentang negara berbeda dengan pengertian
modern tentang negara. Pengertian negara dapat diringkas dalam pengertian
tentang KONSTITUSI.
Aristoteles membedakan model-model konstitusi dalam dua bagian,
yakni bagian ideal dan bagian tidak ideal. Pembedaannya tergantung
dari tujuan negara/polis yang digariskan (ingat, sementara dalam Plato
berdasarkan pada karakter yang memerintah).
Konstitusi Ideal (tujuan Negara: the good life):
- jika yang memerintah satu orang, disebut KINGSHIP
- jika yang memerintah beberapa orang, disebut ARISTOKRASI
- jika yang memerintah hukum (supremasi hukum), disebut POLITY
Konstitusi tidak ideal (tujuan negara: untuk kepentingan sang penguasa atau
yang lain yang tidak merupakan the good life):
- jika yang memerintah satu orang, disebut TIRANI
- jika yang memerintah beberapa orang, disebut OLIGARKI
- jika yang memerintah rakyat, disebut DEMOKRASI

19
Jika diperhatikan dengan baik, paham pemerintahan demokrasi
dalam filsafat Aristoteles masuk dalam bilangan bentuk negara tidak ideal.:
Memang, demokrasi dalam filsafat Yunani kuno sangat berurusan dengan
pemerintahan oleh rakyat dalam arti yang tegas (bukan sistem lewat
perwakilan). Pemerintahan demokrasi mengindikasikan bukan semata-
mata rakyat dipandang inferior dari filosof, misalnya, melainkan juga
terutama mengatakan inferioritas rnentalitas. Dalam demokrasi tidak bisa
dibayangkan idealisasi tujuan negara the good life. Apalagi, syarat pemimpin
yang baik ialah memiliki practical wisdom.
Rakyat sebagai warga negara biasa tentu kesulitan untuk itu. Aristoteles
mengidealkan suatu pemerintahan dengan supremasi hukum. Apabila
jalannya pemerintahan dijamin oleh hukum, keadilan akan lebih dapat diraih.
Keadilan adalah soal yang sangat berurusan dengan hukum. Karena itu
politic-lah sistem paling ideal dalam filsafat kenegaraan Aristoteles. Namun
demikian, juga demokrasi, menurut Aristoteles memungkinkan supremasi
hukum. Pemeriksaan paham demokrasi dalam Aristoteles berbeda dengan
pemeriksaan Plato.

2. SECARA KHUSUS MENGENAI DEMOKRASI


Demokrasi merupakan salah satu sistem politik. Politik adalah sistem
atau tatanan hidup bersama. Dalam filsafat politik klasik, demokrasi bukan
sistem tata hidup bersama yang ideal. Alasannya para filosof klasik: menurut
Sokrates, negara akan berjalan tanpa orientasi pada hukum yang benar
(simak Apology, di mana Sokrates - walaupun bertindak benar - divonis mati
oleh pengadilan yang demokratis!). Tatanan hidup bareng yang demokratis
memang memiliki, sebagai salah satu konsekuensinya, “anarkhisme rakyat”
sebagai sesuatu yang diberlakukan seakan-akan sebagai hukum.
Alasan yang lain: demokrasi menyembah altar “`kebebasan,” (lawless)
dan bukan kebenaran/kebijaksanaan/pengetahuan. Plato adalah penggagas
sistem politik yang menakhtakan filosof sebagai raja dengan tujuan mulia
agar tata hidup bersama mengantar manusia-manusia kepada virtous people
(keadilan adalah harmony antara seluruh bagian elemen-elemen konstitutif

20
negara). Aristoteles, meskipun kurang lebih setuju dengan Plato mengenai
tujuan tata hidup bersama, yaitu the good life, memandang demokrasi
sebagai salah satu sistem yang tidak jelek. Demokrasi yang menggariskan
pemerintahan oleh rakyat dapat menjadi baik apabila mendasarkan
kewibawaan sistem pemerintahannya pada law (hukum).
Menurut Aristoteles, supremasi hukum adalah keunggulan
pemerintahan demokratis. Sementara itu; Machiavelli dengan orientasi
politik yang berbeda (orientasinya ialah penyatuan integritas wilayah
kekuasaan, pentingnya membela langgengnya kekuasaan; dari sebab itu
tidak mengedepankan pertimbangan ethical virtue of politics), tidak melihat
sistem demokrasi sebagai yang menjanjikan kemuliaan dan tata hidup bareng
yang aman. Hobbes termasuk salah satu filosof terdepan yang memberikan
dasar-dasar sistem demokrasi modern. Antara lain, gagasannya perihal
bahwa semua manusia itu dari kodratnya sama/equal. Kesederajatan ini
menjadi dasar penentuan siapa yang memerintah haruslah karena consent
dari manusia-manusia yang diperintah lewat sistem social contract. Kontrak
sosial inilah yang mengikat setiap warga negara untuk tunduk dan taat secara
tertib setiap hukum dan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Tidak
bisa setiap orang atau kelompok masyarakat bertindak sendiri, seenaknya,
dan sekenanya dalam menggarap mengatasi suatu persoalan publik.
Pendek kata, demokrasi memang di satu pihak menghimpun pandangan-
pandangan yang mengunggulkan partisipasi rakyat dan dengan demikian
menjadi cerminan kemandirian society, tetapi di lain pihak memicu rupa-
rupa konsekuensi yang atas nama kebebasan masyarakat dapat terjerumus ke
dalam lubang-lubang kehidupan (seperti anarkisme, pengadilan rakyat, solusi
represif oleh instansi sipil, kesimpangsiuran informasi, provokasi rentan
kekerasan atas nama pembelaan kebenaran tradisi religius, agama; budaya,
keadilan tanah dan seterusnya). Demokrasi sebagai sistem hidup bareng
bagaimanapun juga meminta dan memiliki aturan-aturan main tanpa masuk
ke dalam fatalisme seperti demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila (yang
dalam masa Orde Baru lebih merupakan slogan ketimbang suatu tatanan etis
moral yang Pancasilais), demokrasi atau kebebasan yang bertanggung jawab
(bahasa lain dari yang sebelumnya, kerap diseru-serukan oleh rejim Orde

21
Baru untuk melanggengkan status quo roda pemerintahan yang represif!).
Demokrasi meminta kecerdasan-kecerdasan, pengkayaan wacana yang
emansipatoris, konsientisasi yang_tunduk pada prinsip-prinsip kemanusiaan
dan perdamaian. Demokrasi, pendek kata, adalah wacana kehidupan sendiri
yang kaya, plural, bermakna.
Apakah masyarakat kita sudah terbuka, transparan? Disebut transparan,
biasanya untuk mengatakan keterbukaan. Apakah masyarakat Indonesia
sudah menampilkan keterbukaan? Internasionalisme belum sepenuhnya
menjadi bagian mentalitas bangsa. Dengan internasionalisme, bukan
dimaksudkan sekadar pergaulan di dunia internasional, melainkan —
meminjam gagasan Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945; dan Soekarno
meminjam prinsip internasionalisme yang digagas oleh Gandhi (bahwa
internasionalismenya ialah humanisme) — pemegangan secara kokoh
prinsip-prinsip kemanusiaan universal dalam tatanan hidup bersama.
Dalam artian itu, Indonesia masih perlu secara mendalam lebih meyakinkan
komitmennya terhadap internasionalisme:
Demokrasi sesungguhnya memiliki beberapa kelemahan yang
sangat berbahaya apabila tidak diwaspadai. Pernyataan ini tidak hendak
berkata bahwa demokrasi merupakan bentuk suatu pemerintahan yang
inferior. Justru sebaliknya setiap upaya untuk melangkah ke demokrasi
diperlukan pemahaman yang akurat mengenai beberapa kemungkinan
penyalahgunaannya atas nama demokrasi.
Kelemahan demokrasi tidak terletak pada konsep teoritisnya melainkan
penjabaran kelanjutannya dari teori yang bersangkutan. Penyalahgunaan
praktik demokrasi sukar dihindarkan justru karena dipikirkan berasal dari
suatu teori yang indah. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh
mayoritas. Pemerintahan mayoritas mengindikasikan di sini konsep-konsep
teoritis bagus seperti kekuasaan ada di tangan rakyat, dihindarkannya
pemerintahan diktator, dikedepankannya hak-hak asasi dan kebebasan
rakyat kebanyakan, dicegahnya bentuk pemerintahan monarkial tirani
(pemerintahan oleh seorang raja yang tiran), dan seterusnya.

22
Jadi, pemerintahan oleh mayoritas merupakan suatu bentuk ideal
pemerintahan negara. Bahaya penyalahgunaan demokrasi justru berasal
dari paham ini. Istilah mayoritas harus diakui menunjuk pada kadar
kuantitasnya. Menurut jalan pikiran demokrasi apa yang dipilih dan
dikehendaki oleh mayoritas memiliki nilai “baik” bukan dalam konteks
pengertian baik secara moral melainkan baik sebagai yang pantas dipilih
dan karenanya berhak memerintah, memegang kendali. Soalnya ialah bahwa
tidak semua yang dikehendaki oleh mayoritas merupakan baik secara moral.
Pembinasaan terhadap kelompok-kelompok minoritas oleh kaum golongan
mayoritas jelas merupakan contoh penyalahgunaan paham demokrasi
yang paling keji. Tindakan pembinasaan dan teror terhadap kelompok
minoritas tidak bisa dibenarkan secara moral, menurut akal budi sehat
kita, dan menurut pertimbangan dari sudut pandang agama apapun. Tetapi,
mengingat keputusan dan tindakan itu dilakukan oleh kelompok masyarakat
yang menyebut diri mayoritas, aparat yang bertanggung jawab terhadap
keamanan dan kestabilan pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Tindakan
penyalahgunaan demokrasi itu dilegalisir dengan pemikiran, bahwa ini tidak
menyalahi paham demokrasi, yaitu pemerintahan oleh mayoritas.
Penyalahgunaan paham demokrasi yang paling umum terjadi kerap
berasal dari paham bahwa demokrasi menjunjung tinggi kebebasan dan
hak asasi manusia. Pornografi dengan segala akibat negatifnya (yang
dalam kenyataan sangat sukar diukur dalam statistik), dalam suatu negara
demokrasi, sukar ditolak mengingat pornografi keluar dari kebebasan setiap
orang yang tidak bisa dibuntu. Di Italia seorang politikus kawakan dan senior,
Panella namanya, mempropagandakan abortus dan legalisasi pengedaran
obat-obat bius dan narkotika secara sangat persuasif. Tindakan Panella tidak
bisa dicegah, karena dalam demokrasi setiap orang boleh mengemukakan
pendapat apa saja, termasuk aneka pendapat yang mempropagandakan
kesembronoan. Madonna yang membayar seorang laki-laki sekadar untuk
menjadi donor sperma dan lantas mengumumkan pengandungannya (dan
sangat mungkin akan dicontoh oleh kebanyakan wanita lain) tidak bisa
diajukan ke pengadilan karena ia memiliki hak untuk melakukan itu.

23
Dalam demokrasi sejauh tindakan dan pendapatnya tidak membahayakan
hidup orang (secara fisik), tidak ada pertimbangan apa pun yang dapat
menyetopnya. Di Belgia, video-video porno yang mempertunjukkan aneka
tindakan seronok dengan anak-anak dibakar dan diperkarakan baru-baru
ini, karena terbukti secara fisik semua itu membahayakan hidup orang lain.
Banyak anak-anak menjadi korban kaum pedofili (mereka yang memiliki
penyakit melakukan hubungan seks dengan anak-anak).
Penyalahgunaan demokrasi juga dapat berasal dari para pemegang
kekuasaan yang memiliki mentalitas kecenderungan statis dan represif.
Sejarah mengisahkan bahwa Hitler, menjadi pemimpin yang menjebloskan
Jerman ke dalam kehancuran dan kekejian penganiayaan orang-orang
Yahudi, terpilih secara demokratis. Juga Benito Musolini pemimpin besar
fasis Italia, Marcos di Filipina, dan satu dua pemimpin Korsel yang kemudian
diadili karena ada banyak penyalahgunaan kekuasaan. Dalam demokrasi
tampaknya rakyat memilih para pemimpinnya lewat jalur jalur perwakilan.
Tetapi, masalah yang sangat gamblang ialah bahwa bagaimana jika calon-
calon yang akan duduk sebagai wakil-wakil rakyat tidak memperjuangkan
kepentingan rakyat?
Kecurigaan mereka tidak akan memperjuangkan kepentingan rakyat
dilihat dari kenyataan bahwa mereka sendiri memiliki interese-interese
yang sangat besar. Kestabilan kekuasaan harus diperjuangkan bukan agar
kepentingan kesejahteraan rakyat dijamin melainkan justru agar berkembang
subur interese sendiri. Marcos tidak pernah berkata bahwa kekuasaannya
untuk interesenya sendiri, tetapi kenyataan bahwa aneka kebijakan yang
mengayomi kepentingannya dan mendepak usaha-usaha pihak-pihak lain
(baik lewat jalur keputusan-keputusan maupun tindakan-tindakan kekerasan
seperti penangkapan, pembunuhan dan pembakaran) tidak bisa disangkal
merupakan penyimpangan demokrasi.
Bahaya lain dari demokrasi ialah, pertimbangan mayoritas. Suatu
pemerintahan tidak bisa didasarkan melulu pada kehendak atau suara
kebanyakan melainkan harus bertumpu pada kebenaran dan keadilan. Sebab
kebenaran dan keadilan dikehendaki oleh semua, bukan hanya kebanyakan.

24
Pertimbangan mayoritas dewasa ini umumnya dimengerti sebagai apa yang
dikehendaki oleh sejumlah besar anggota. Memang kebenaran dan keadilan
kerap dapat diraih dan dijaga lebih ketat dengan adanya pertimbangan dari
lebih banyak suara, tetapi tidak mesti demikian mengingat apa yang disebut
kebanyakan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor kepentingan dan interese.
Misalnya, di Amerika apa yang disebut kehendak kebanyakan sudah sangat
tumpang tindih dengan faktor-faktor yang dipengaruhi oleh penampilan
orang-orang pemenang perhatian masa. Madonna, misalnya, sungguh pun
hanya seorang tetapi dengan aneka macam tindakan dan keputusannya yang
provokatif menggoyang masa dan menjadi faktor determinatif pada kehendak
kebanyakan. Madonna adalah adalah salah satu contoh dari apa yang disebut
dengan “majority abuses.”
Maka, diperlukan suatu format demokrasi lain. Di sini mengajukan
apa yang disebut dengan demokrasi tanggung jawab. Demokrasi tanggung
jawab didasarkan pada elemen dasar-dasar demokrasi dengan penekanan
pada karakter personal tanggung jawab. Karakter tanggung jawab untuk
menjelaskan bahwa kebebasan yang dipuja-puja dalam demokrasi haruslah
bertumpu pada moral tanggung jawab. Dalam demokrasi tanggung jawab
tidak ditekan dan disensor kebebasan, melainkan dijabarkan dengan dan
dalam sikap moral bertanggung jawab.
Dalam demokrasi terpimpin, soalnya ialah siapa yang memimpin.
Dalam demokrasi tanggung jawab, tidak ditekankan siapa-nya yang
memimpin melainkan keterlibatan-nya dalam mewujudkan dan menjaga
demokrasi secara bertanggung jawab. Tantangan dalam setiap bentuk negara
demokrasi ialah pendidikan. Pendidikan merupakan faktor determinatif
dalam demokrasi. Demokrasi sangat meminta keterlibatan, bukan “ikut-
ikutan”, yang ditumpukan pada moral tanggung jawab.
Demokrasi Indonesia juga sangat berhubungan dengan nada dasar
rasa religiositas. Ada Islam yang dianut sebagian besar. Ada pula Hindu
dan Budha yang betapa pun minoritas tetapi merupakan sentuhan pertama
leluhur masyarakat Indonesia yang meletakkan dasar-dasar mentalitas
budaya kebanyakan orang Indonesia. Berikutnya Kristen dan Katolik yang

25
bersinggungan dengan sebagian lain dari masyarakat Indonesia. Sukar
dibayangkan bahwa Indonesia akan melepaskan faktor religiositasnya
dalam membentuk demokrasi. Demokrasi memang tidak perlu dilawankan
dengan rasa religiositas. Dalam demokrasi yang terpenetrasikan dengan cita
rasa religiositas tidak memuja pertama-tama kebebasan, melainkan rasa
penghargaan, toleransi dan solidaritas.
Barangkali perlu dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan
toleransi dan solidaritas. Mengenai toleransi kerap dikatakan berhubungan
dengan masalah komunikasi keagamaan. Kata “toleransi” berasal dari bahasa
Latin “tolerare” (dari kata benda “toluseris”: beban). Arti pertama “tolerare”
ialah memikul beban atau sesuatu yang dirasakan membebani (dapat
merupakan beban fisik, psikis, mental, atau gangguan lingkungan). Maka,
bersikap toleran berarti bersedia memikul beban gangguan yang timbul dari
cara hidup yang berbeda dengan gaya hidup atau sikapku. Makna positif
toleran menunjuk pada sikap-sikap memelihara, dan menanggung. Hidup
dan lingkungan orang lain dipandang sebagai bernilai dan karenanya harus
dilindungi. Jadi toleransi tidak hanya berarti membiarkan dengan netral
atau sabar, melainkan dengan aktif ikut serta menghargai hidup orang
lain. Atau, toleransi menunjuk pada sikap mengakui keunikan orang lain
yang justru mengandaikan kemantapan pendirian dan pandangan sendiri.
Karena arti pertama yang mencetuskan “ikut memikul beban”, kata toleransi
selalu mengungkapkan sikap-sikap terhadap manusianya dan tidak pernah
mengenai ajaran agama.
Dengan kata lain, toleransi itu ada dalam kerangka perikemanusiaan,
bukan kebenaran ajaran atau dogma agama. Maka toleransi tidak memecahkan
masalah benar salahnya suatu ajaran agama, melainkan berusaha menghargai
hak orang lain dai membantunya juga. Toleransi menjadi jalan keluar dari
apa yang kerap disebut sebagai benturan perbedaan budaya atau agama.
Aneka macam perbedaan tidak harus dipahami atau pemecah, melainkan
perwujudan kekayaan. Sikap menerima dan mengagumi kekayaan tersebut
diperlukan toleransi.

26
3. DEMOKRASI PANCASILA
Bangsa Indonesia masih harus bekerja berat untuk membela dan
menghidupi demokrasi. Dewasa ini setiap hari kita mendengar pendapat dan
berita yang berkisar pada tema demokrasi. Para intelektual sibuk merumuskan
bagaimana demokrasi mesti ditata. Suatu hari dalam berita jam lima pagi dari
BBC (kantor berita Radio di London) dikabarkan bahwa Amerika mengkritik
sistem politik Indonesia yang tak menjanjikan transformasi kehendak rakyat.
Pihak yang berkepentingan beberapa eksponen politik Indonesia, sementara
itu, menjawab bahwa Amerika tidak mengerti sistem politik demokrasi
Pancasila yang dikembangkan di Indonesia. Tak bisa disangkal sekarang ini
muncul model-model pemikiran demokrasi. Sukar orang mengerti demokrasi
secara gamblang. Dalam benak para oposan, demokrasi kerap dipikirkan
sebagai segala sesuatu yang melawan pemerintah (militeristik). Para
penguasa memahami demokrasi sebagai yang terwujud dalam pembentukan
para wakil rakyat. Terbentuknya para wakil rakyat melalui Pemilu jelas sudah
menampilkan apa yang disebut sebagai demokrasi.
Demokrasi Pancasila jelas bukan demokrasi yang elitis. Ada dua cara
pandang yang bisa digunakan untuk meneropong realitas elitisme ini. Di
satu pihak, kelompok elit ini mempunyai komitmen bagi kemerdekaan
dan kemajuan Indonesia (sebagaimana terbukti dalam sepak terjang
kaum cendekiawan dan kaum pergerakan). Mereka telah berjasa dalam
memikirkan identitas Indonesia. Di pihak lain, kelompok ini tidak melihat
perlunya mengadakan suatu revolusi sosial yang akan mengubah secara total
sistem yang ada (dengan segala corak kapitalis-kolonialismenya). Kaum elit
pergerakan ini lebih memandang perlu untuk melengserkan pemerintahan
kolonial asing dan menggantinya dengan elit lokal. Dengan kata lain, mereka
menghendaki adanya revolusi nasional, dan bukannya revolusi sosial.
Bagaimana prinsip anti-elitisme ini diterapkan dalam bidang ekonomi
dewasa ini? Ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih mengikuti
kaidah-kaidah persaingan sehat, produktivitas yang senantiasa meningkat,
dan mengurangi berbagai diskriminasi. Demokrasi di ekonomi juga

27
menghendaki good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas,
transparansi, dan akuntabilitas.
Lalu, bagaimana dengan sistem penguasaan? Penguasaan ditafsirkan
sebagai kepemilikan. Ini lebih cocok dengan paham sosialisme asli. Sekarang
partai sosialis dan partai buruh di negara-negara industri, seperti di
Inggris dan Eropa, sudah melonggarkan visinya terhadap penguasaan lewat
kepemilikan ini. “Penguasaan” bisa juga diikhtiarkan lewat “pengaturan”
(regulation) sehingga pemerintah lebih berperan sebagai “regulator”.
Kedudukan koperasi di pasal 33 UUD 1945 selalu menjadi objek
kontroversi. Apakah bentuk usaha koperasi “dimahkotakan” atau harus
dipandang sebagai salah suatu bentuk usaha dan pelaku di perekonomian
nasional? Pengalaman selama lima puluh tahun tahun menyatakan bahwa
koperasi tidak mungkin dijadikan bentuk usaha yang dominan. Bentuk usaha
koperasi lebih dipandang sebagai suatu bentuk usaha “non-profit” ketimbang
sebagai bentuk usaha yang berdasarkan penumpukan modal dan yang bekerja
untuk meraih keuntungan. Secara nominal, keputusan di koperasi diambil
berdasarkan “one-man-one-vote” yang memang lebih demokratis. Sistem
ini berbeda dengan apa yang terjadi dalam perusahaan yang kapitalistik di
mana keputusan diambil berdasarkan sistem “one-share-one-vote.” Tampak
bahwa dalam koperasilah sistem gotong-royong dapat diakomodasi, di mana
manusia di dalamnya tidak dihitung berdasarkan besar/kecilnya modal yang
ia tanam. Ekonomi Indonesia adalah ekonomi Pancasila yang dicirikhasi
oleh semangat gotong-royong. Soekarno menggagas ekonomi Indonesia yang
disemangati oleh kegotong-royongan yang secara konkret diejawantahkan
dalam bentuk koperasi.
Lalu bagaimana asas kegotong-royongan bisa diterapkan untuk mengikis
kecenderungan elitisme negatif politik dewasa ini? Situasi Indonesia dewasa
ini memang diperparah oleh pertarungan para elit politik. Melihat semua ini
sebagian besar rakyat sedikit demi sedikit mulai merasa muak. Mereka muak
karena ternyata semua pertikaian itu bukannya untuk membela kepentingan
rakyat banyak, bahkan nada pesimis dari rakyat sebagai berikut kerap
terlontar setiap kali kegiatan politik berlangsung:

28
“Apa kalau bapak-bapak itu sidang lalu semuanya akan jadi baik,
pupuk jadi murah dan gampang didapat, tebu saya harganya baik,
dan anak saya bisa melanjutkan sekolahnya. Nyatanya, rakyat makin
susah.” (Mendambakan Masa Lalu yang Kejam, Kompas: Selasa, 8
Agustus 2000)
Harus diakui bahwa reformasi total yang dicita-citakan bersama
tidaklah berjalan dengan mulus. Ada banyak tantangan yang menghadang di
sana-sini. Situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang memahami kelemahan-
kelemahan yang ada demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dr.
Rochman Achwan menyoroti hal ini dengan cukup lugas:
“Kemunculan kepemimpinan politik dengan legitimasi kuat di tanah
air sesungguhnya merupakan momentum historis terselenggaranya
tata ekonomi, politik, dan masyarakat yang baik. Persoalannya adalah
mungkinkah para pemimpin politik di tanah air dapat menjalankan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam paradigma ini, mengingat
kekacauan ekonomi dan politik pada tingkat institusi negara, pasar,
dan masyarakat hingga kini tidak kunjung usai.” (Rochman Achwan,
Kompas: Rabu, 28 Juni 2000)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dahulu hanya terkenal sebagai
tukang stempel, sekarang kelihatannya telah berubah menjadi pengawas
yang sangat ketat dalam melakukan kontrol terhadap Presiden. DPR seakan-
akan bisa berkehendak semaunya dengan mengatakan bahwa merekalah
wakil rakyat. Sungguh suatu situasi politik yang suram. Mengenai hal ini,
Umar Kayam mengatakan bahwa para pendiri bangsa sebenarnya lebih
menekankan semangat egaliter daripada menjunjung gengsi elitis:
“Pada waktu kita berhasil menyusun suatu negara kesatuan yang
antara lain berasas kerakyatan ... pemerintah secara prinsip
setuju untuk mengembangkan hak rakyat dengan seluas-luasnya,
mendapat semua kesempatan untuk maju. Prinsip egalitarian yang
tidak pernah ditonjolkan pada zaman penjajahan ....”
Konflik politik yang terjadi di sana-sini ternyata disertai oleh tindakan
yang tidak semestinya. Kasak-kusuk banyak dilakukan oleh para politikus

29
dengan bersembunyi di balik terminus “lobi politik.” Aneka skandal pun
dicuatkan demi menghancurkan karier lawan politiknya. Skandal ini bisa
berupa kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Akan tetapi ia juga bisa berupa
pemberitaan di media massa tentang perselingkuhan yang diperbuat oleh
seorang aktor politik dengan seorang wanita yang bukan istrinya. Semua ini
tentu bertujuan untuk menjatuhkan lawan politik yang dikehendaki.
Harus diakui bahwa memang situasi politik di negara ini sedang berada
di titik yang terendah. Sama sekali tidak ada kesantunan dalam berpolitik.
Kehidupan politik yang demikian tentu berdampak pada kehidupan di bidang
yang lain. Bagaimana mungkin akan tercipta stabilitas dan keamanan yang
baik jika pertentangan antarelit politik terus terjadi? Bagaimana mungkin
rakyat akan hidup dengan tenang jika setiap hari telinga mereka mendengar
berbagai argumen yang saling menjatuhkan? Bagaimana mungkin kehidupan
ekonomi akan membaik jika para pejabat terus saja bertengkar?
Investor asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia tentu
akan mengurungkan niat investasinya jika situasi politik terus saja bergolak.
Hal ini bisa dimengerti karena para investor itu tentu ingin mengembangkan
usahanya dalam suasana yang tenang. Mereka tentu tak akan menanamkan
modalnya jika seminggu kemudian kerusuhan melanda. Mereka merugi
besar jika perusahaan yang dibangunnya luluh lantak diserang massa. Kalau
begini, sebenarnya bangsa kita sendiri yang merugi. Pengangguran tentu akan
terjadi di mana-mana karena tak ada satu pun investor yang mau membuka
usaha di Indonesia. Jelas bahwa kehidupan politik itu ternyata berimbas
kepada bidang kehidupan yang lain.
Semua hal di atas tentu tidak akan terjadi bila para elit menyadari
betapa pentingnya membangun semangat kegotong-royongan dalam
berpolitik seperti yang digagas Soekarno. Seperti kata Soekarno, Indonesia
bukan didirikan buat Nitisemitro, bukan buat Van Eck, dst. Indonesia
didirikan buat semua. Artinya, semua pelaku dan elit politik sudah
waktunya menimba semangat kegotong-royongan demi membangun bangsa
daripada mengedepankan kepentingan sesaat. Perbedaan pendapat dan
keanekaragaman pandangan politik tetap dihargai dan menjadi hal yang

30
lumrah, akan tetapi semua itu tidak dapat ditoleransi lagi jika terus-menerus
terjadi hingga kesejahteraan rakyat dan kelangsungan negara.
Sejak awal pembentukan negara ini, banyak terjadi kontroversi tentang
bentuk negara mengenai apakah negara ini didirikan atas dasar agama
atau berbentuk negara sekuler. Setidaknya ada dua golongan besar yang
saling berhadapan, yaitu antara kekuatan agamis dan kekuatan nasionalis.
Konflik dan masalah-masalah yang “njlimet” (rumit) terjadi sampai akhirnya
Soekarno berpidato tentang Pancasila sebagai weltanschauung bangsa. “Semua
buat semua” serta “tiada egoisme agamis,” demikian Soekarno berbicara. Eka
Darmaputera menyimpulkan bahwa Indonesia merdeka ‘bukanlah Negara
Islam dan bukan Negara sekuler,’ tetapi negara Pancasila. (Eka Darmaputera,
1989:291).
Dasar untuk Demokrasi Pancasila ala Soekarno adalah “semua buat
semua.” Demokrasi seperti ini mengimplisitkan prinsip musyawarah dan
bukannya suara terbanyak. Bagi Soekarno, suara terbanyak justru akan
melahirkan kesewenang-wenangan dan penindasan atas minoritas. Soekarno
tidak lagi menyetujui penggunaan terminologi minoritas-mayoritas dalam
membangun tata demokrasi Indonesia. Mengapa? Karena terminologi itu
lahir dari kultur liberal. Lebih dari itu, sebenarnya satu suara, bahkan yang
berasal dari kelompok minoritas sekalipun, mempunyai arti yang sama bagi
kehidupan bernegara. Sistem gotong-royong yang dikenal oleh masyarakat
Indonesia jelas tidak meninggalkan kaum minoritas, bahkan sebaliknya,
merangkul semua ke dalam suasana kebersamaan.
Menurut Soekarno, ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yakni
nasionalisme dan internasionalisme (perikemanusiaan). Itulah gotong-
royong. Mengapa demikian? Karena ada nasionalisme yang tumbuh di luar
prinsip kemanusiaan. Nasionalisme yang demikian adalah nasionalisme
chauvinistis yang terjadi di Jerman yang meyakini bahwa “Deutschland über
Alles”. Nasionalisme Indonesia harus tumbuh di atas kekeluargaan yang
mampu mempersatukan aneka suku, agama, budaya, bahkan batas negara
sekalipun.

31
Paham gotong-royong sebenarnya bukan hanya dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari oleh bangsa Indonesia saja, melainkan juga sangat
ampuh dipakai oleh anggota masyarakat internasional (misalnya dalam
kegiatan membantu korban bencana gempa bumi dan tsunami di Nanggroe
Aceh Darussalam). Pancasila menurut Soekarno diambil berdasarkan budaya
bangsa secara “turun-temurun,” dan “sebagai perasaan-perasaan rakyat yang
selama ini terpendam diam-diam dalam hati rakyat.” Mpu Prapanca dalam
Negara Kertagama-nya sudah memunculkan istilah Pancasila. Kemudian
Mpu Tantular dalam Sutasomanya memunculkan istilah Bhinneka Tunggal
Ika.” Tampak bahwa Pancasila adalah gambaran pribadi rakyat sedari dulu
kala.

32
BAB III

ASAL-USUL NEGARA INDONESIA


YANG BERPANCASILA

1. ASAL-USUL NEGARA : NATURAL ATAU KONVENSIONAL


Apakah natural dan apakah konvensional? “Natura” dalam bahasa
sehari-hari berarti “alam.” Arti ini tidak menyimpang, meskipun belum
sepenuhnya tepat dalam konteks filsafat politik. Tetapi, sudah barang tentu
diperlukan pengertian yang lebih mendalam mengenai alam. Alam di sini
tidak menunjuk pada realitas seperti gunung, sungai, tebing, laut, sawah,
hutan, dan yang semacamnya sebagaimana kita pikirkan dalam hidup sehari-
hari. Apa yang natural menunjuk kepada apa yang alamiah. Apa yang alamiah
memaksudkan apa yang orisinal, universal, otentik, dsb.
Dalam hidup sehari-hari, apa yang natural jelas memiliki karakter dan
intensitas yang asli, otentik, dan sejati. Sebaliknya, apa yang konvensional ialah
apa yang merupakan produk dari konvensi, kesepakatan, dan persetujuan.
Sesuatu yang konvensional berarti yang merupakan buatan, rekayasa, dan
artifisial.
Terminologi “natural” dalam filsafat politik sangat penting, karena
berurusan langsung dengan kesejatian, dari realitas yang dipersoalkan.
Dalam konteks perdebatan tentang natura manusia. Makna natural
menunjuk pada realitas kodrati yang dibawa sejak lahir, sejak adanya, sejak

33
kehadirannya, bukan baru saja, sementara, buatan, artifisial, temporal, dan
hasil kesepakatan. Dengan demikian, apa yang natural mempunyai nilai
tetap, konstan yang secara universal dan radikal menyentuh keseluruhan.
Tata kehidupan manusia ditentukan oleh apa yang natural, maksudnya
oleh apa yang secara universal berlaku bagi keseluruhan, tetap, sepanjang
zaman, dan kodrati. Apa yang natural jelas bukan produk dari kesepakatan,
karena kesepakatan sangat tergantung pada kondisi-kondisi dari pelaku yang
membuat kesepakatan tersebut selain tentu saja juga tergantung pada situasi
zaman saat kesepakatan itu dilakukan. Setiap kesepakatan selalu berkarakter
temporal, sementara, berada dalam ruang-waktu tertentu, terbatas, dan
partikular.
Selain merujuk pada asal-usul; natura dalam filsafat Yunani juga
menunjuk pada tujuan kodrati. Segala aktivitas kehidupan bersifat natural,
artinya kehidupan, itu memiliki telos, tujuan yang selaras dengan kodratnya;
atau tujuan yang universal. Maksudnya, bahwa apa yang artifisial itu juga
memiliki tujuan, itu sudah merupakan hal yang lumrah, tetapi, apa yang
artifisial jelas memiliki tujuan yang tak mungkin merupakan tujuan universal,
tertentu, dan temporal. Jadi apa yang natural seakan-akan merupakan
penegasan alamiah, bukan produk dari konvensi atau yang semacamnya yang
sangat memiliki karakter kesementaraan.
Natura berkaitan dengan akal budi Ilahi. Maksudnya, keteraturan kodrat
kehidupan ini sudah sedemikian sempurnanya, sehingga manusia diundang
untuk menata hidupnya selaras dengan natura. Tradisi filsafat politik
menampilkan tema natura, karena mereka mengunggulkan pengertian natura
sebagai “semacam” akal budi ilahi yang mengatur sekaligus membimbing
kehidupan ini dalam sistemnya. Filsafat Stoa; misalnya, menegaskan bahwa
natura adalah perwujudan akal budi para dewa. The good life, menurut sekolah
filsafat ini, menunjuk pada hidup yang ditata rapi selaras dengan hukum-
hukum alam. Jika akal budi manusia sangat terbatas dalam memahami
realitas, natura yang adalah cetusan akal budi ilahi tampil di hadapan kita
sebagai sesuatu yang secara universal, otentik, sejati menjadi referensi
kehidupan ini. Manusia sendiri memiliki segala kemuliaan dan keunggulan
karena kodrat/naturanya yang demikian memesona, yang membedakannya

34
dengan makhluk-makhluk lainnya. Dari sebab itu, manusia harus bertindak
dan membangun sistem kehidupan secara natural.
Menurut para filosof klasik (Sokrates, Plato, Aristoteles, Machiavelli,
Hobbes, dan seterusnya), soal-soal fundamental dalam politik itu bersentuhan
dengan soal-soal natural atau conventional. Inilah yang dikejar oleh Sokrates,
diteruskan oleh Plato dan Aristoteles, yang lantas menjadi semacam
paradigma cara berpikir filosofis dari para filosof politik sampai pada zaman
modern: Machiavelli, Hobbes, Locke, Rousseau, bahkan juga Marx (dengan
menggariskan sebagai tesis dasar dari pemikiran filsafat politiknya dari
paham-paham materialis-historis dan dialektika materialis).
Dewasa ini – terutama di negara kita – tema natural-konvensional
kurang mendapat perhatian. Realitas kehidupan politik dengan segala
persoalannya dalam arti. luas, seperti soal pemerintahan, urusan hukum
dan semuanya dipikirkan menurut skema “pokoknya bagaimana baiknya.”
Ada fragmentarisasi pemikiran politik karena pereduksian persoalan tata
hidup bersama pada agama atau aneka kesepakatan atau kompromi para
pemuka agama, karakter tradisional masyarakat setempat (yang muncul dari
antagonisme ideologis tertentu), budaya-budaya yang sangat beragam, dan
aneka pertimbangan utilitarian/pragmatis yang lain. Pemerintahan baik sudah
tidak lagi dipikirkan dalam hubungannya dengan jiwa apakah natural atau
konvensional, melainkan pada apa yang terapan, pas, efektif, dan memenuhi
kebutuhan atau sasaran yang hendak diraih oleh negara secara gampang.
Mengendurnya pembicaraan seputar tema natural-konvensional juga dipicu
oleh invasi perkembangan teknologi, sistem informasi, komputerisasi dan
yang semacamnya, yang semuanya menampilkan realitas rekayasa dan
artifisial. Dalam tema natural-konvensional yang dikedepankan adalah nilai-
nilai otentisitasnya, sedangkan masa sekarang apa yang ditonjolkan adalah
efektivitas dan efisiensinya.
Sesungguhnya, tema natural- konvensional masih tetap sangat relevan
untuk masa sekarang. Bukan untuk menawarkan kepastian-kepastian kuno,
melainkan untuk membela nilai-nilai universal meskipun sekaligus tidak
boleh mengesampingkan apa yang merupakan karakter khas / partikular /

35
lokal dari tata hidup bersama. Tambahan lagi, penonjolan soal kebenaran
yang didasarkan melulu pada soal agama atau tradisi religius atau tradisi
budaya setempat atau yang semacamnya dapat membawa kepada sikap-sikap
sektarian dan sempit. Maka, tugas kita ialah kembali me-revive isu tema
natural-konvensional dalam menggali sekaligus menyumbang analisis dan
pemahaman peradaban baru dalam masyarakat kita.
Dua tema ini (natural dan konvensional) sangat penting dan aktual.
Ini merupakan tema yang secara ekstrem menduduki posisi utama dalam
penjelajahan filsafat politik. Hak Asasi Manusia (HAM), misalnya, adalah soal
yang langsung bersentuhan dengan natura (natura manusia). HAM adalah
natural rights (hak-hak kodrati manusia), juga soal pemerintahan politik yang
benar sering dihubungkan dengan masalah naturalitas dari pemerintahan
yang bersangkutan. Dalam kehidupan politik, nature dan convention sangat
penting untuk mencari dan menegaskan pengertian-pengertian yang masuk
akal dan dapat diterima tanpa sangsi akan kebenarannya. Pendasaran etis/
moral negara dalam lapangan perdebatan filsafat politik mengandaikan
pemaknaan natura dan konvensi.
Mulai dari Sokrates, penggagas pertama filsafat politik, Plato,
Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, Machiavelli, Hobbes, Locke,
Rousseau, Montesquieu, dan seterusnya, juga Sukarno dan Supomo dalam
terminologinya masing-masing menegaskan tema ini: natura dan konvensi:
Segala macam diskursus, dialog, sistematisasi, atau apa pun namanya yang
berkaitan dengan filsafat politik – dalam sejarah perkembangan refleksi
filosofis – merujuk pada pemaknaan natura dan konvensi.
Di manakah kepentingan atau relevansi tema ini? Pergumulan setiap
gagasan yang berkenaan dengan tata hidup bersama harus memiliki
kebenaran dan kesahihan yang seuniversal mungkin atau sesejati mungkin.
Aneka macam ide atau konsep mengenai negara, misalnya, mesti memiliki
validitas yang paling bisa dibela dan dipertanggungjawabkan. Dengan
kebenaran universal atau sejati, tidak dimaksudkan semata-mata berkaitan
dengan domain atau ruang lingkupnya yang menjangkau sebanyak mungkin
manusia/peradaban hidup manusia.

36
Kebenaran universal atau sejati yang dimaksudkan itu ialah kebenaran
yang menjadi pemenuhan kesempurnaan kodrat manusia. Maksudnya,
universalitasnya atau kesejatian refleksi filosofis politis dipikirkan sedemikian
rupa sehingga menyentuh pada kesejatian manusia. Jadi, soal nature dan
convention dalam konteks filsafat politik langsung berhubungan dengan
konsep tentang kesejatian manusia. Menyoal ide atau gagasan tentang negara,
apakah konvensional atau natural, langsung menyoal apakah ide atau gagasan
tersebut selaras dengan kodrat kemanusiaan kita.

2. NATURA NEGARA DITARIK DARI NATURA MANUSIA


Dari mana gagasan tentang negara hendak diasalkan? Tentu dari
pengertian tentang manusia! Ide tentang negara sesungguhnya pertama-tama
adalah ide tentang manusia. Menyoal pemahaman tentang negara berarti
menyoal pengertian tentang manusianya. Pertanyaan tentang “Siapakah
manusia?” kemudian meminta jawaban mengenai apakah KODRAT/
NATURA manusia. Persoalan tentang natura manusia inilah yang menjadi
dasar gagasan distingtif dari para filosof politik tentang negara, terutama para
filosof politik klasik yang menduduki posisi terdepan dalam menggariskan
konsep-konsep mengenai negara.
(1) Ide tentang negara pertama-tama, adalah ide tentang, manusia. Ini
pandangan Plato, sang murid Sokrates. Bagi Plato, menjawab pertanyaan
apakah negara sama artinya dengan menjawab pertanyaan apakah manusia.
Dengan kata lain, pertanyaan apakah negara meminta suatu pengertian
mengenai apakah kodrat (natura) manusia. Dari pengertian kodrat/natura
manusialah diturunkan segenap ide dan gagasan filosofis tentang negara.
Bagi Plato, natura manusia adalah jiwanya. Dari sebab itu, struktur negara
identik dengan struktur jiwa manusia. Plato berpendapat bahwa jiwa manusia
terdiri atas tiga bagian, yaitu intelektualitasnya (intellect-part), semangatnya
(spirited part), dan hasrat/nafsunya (appetitive-part). Susunan suatu negara
Platonis dengan demikian juga ditarik dari tiga bagian tersebut (persis
seperti tiga bagian dari jiwa manusia). Dalam suatu negara ada bagian yang
memerintah (identik dengan intellect-part dari jiwa manusia), ada bagian

37
yang menjaga keamanan negara (identik dengan spirited-part jiwa manusia),
dan ada bagian yang memproduksi untuk kelangsungan ekonomi negara
(identik dengan appetitive part jiwa manusia).
Karena manusia akan tampil meyakinkan secara mantap apabila
masing-masing bagiannya harmonis, maka juga konsep tentang keadilan
bagi Plato adalah konsep tentang. harmonisnya masing-masing bagian dari
negara. Keadilan adalah harmoni antara tiga bagian (yang memerintah, yang
menjamin keamanan, dan yang memproduksi). Karena manusia diperintah/
dibimbing/disetir oleh bagian inteleknya, maka juga negara diperintah
oleh dia yang secara intelektual memiliki kapasitas untuk membangun
keharmonisan dari masing-masing bagian dari suatu negara. Maka, siapa
yang memerintah negara? Harus dikatakan bahwa manusia yang memiliki
kebijaksanaan saja yang berhak untuk memerintah. Dia adalah filosof!
(2) Berbeda dengan Plato, Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah
makhluk politik. Manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan
kodrati tinggal bersama yang lain. Dia adalah makhluk yang dapat menggagas
hidupnya sedemikian rupa dalam kebersamaan dengan yang lain. Dia adalah
sang pencari kesempurnaan dalam polis (dalam sistem hidup bersama).
Jadi, makhluk politik sama sekali bukan memaksudkan kecenderungan
untuk berpolitik dalam artian sekarang ini, melainkan penggagas bahwa
kesempurnaannya diraih dan dikejar dalam tata hidup bersama dalam polis.
Negara berasal dari kodrat manusia. Mula-mula manusia tidak bisa hidup
sendirian. Manusia-manusia senantiasa membangun kesatuan. Kesatuan
pertama ialah kesatuan antara laki-laki dan perempuan (union of male and
female) dan kesatuan antara tuan dan hamba, atau antara yang memerintah
dan diperintah (union of the ruling and the ruled atau union of the ruler mid the
subjected). Kesatuan ini membentuk komunitas kecil, yaitu keluarga. Apabila
ada banyak keluarga tinggal dalam satu tempat, muncullah perkampungan.
Polis atau suatu sistem hidup bersama ada secara natural; karena keluarga-
keluarga membangunnya. Polis dengan demikian adalah himpunan keluarga-
keluarga yang membentuk sistem sedemikian rupa sehingga masing-masing
individu tercukupi kebutuhannya.

38
Dalam filsafat Aristoteles, keluarga lantas menjadi elemen yang sangat
penting dan fundamental bagi polis. Gagasan ini berbeda dengan Plato yang
dalam Republic meniadakan keluarga. Anak-anak, dalam Plato, adalah milik
negara, sehingga harus dipelihara negara dan dididik oleh negara. Sementara
itu; dalam Aristoteles anak adalah hak milik keluarga masing-masing. Jadi,
polis dibangun pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan masing-masing
anggotanya, kebutuhan keluarga-keluarga. Tujuan yang digariskan polis
Aristotelian ialah untuk mengejar the good life, dan tak sekadar pemenuhan
kebutuhan fisik anggotanya. Dari sebab itu, siapakah yang memerintah
dalam filsafat Aristoteles? Jawabannya ialah dia yang mengerti dan memiliki
kebijaksanaan praktis (practical wisdom). Kebijaksanaan praktislah yang
merupakan senjata paling penting dan paling mungkin untuk mewujudkan
the good life (kesejahteraan umum–bonum commune). Bonum commune
inilah cetusan kesempurnaan hidup manusia.
(3) Pada zaman yang lebih modern Machiavelli menggagas negara secara
berbeda dengan filosof sebelumnya. Ia tidak berminat mengajukan pemikiran
ideal. Apakah terjadinya suatu negara itu bersifat natural atau konvensional
bagi Machiavelli, bukan pertanyaan fundamental untuk didalami. Persoalan
dasar filsafat Machiavellian ialah bagaimanakah seorang raja/pangeran dapat
membela kekuasaannya, menjaga stabilitas negaranya, dan dengan demikian
juga kesejahteraan rakyatnya. Dalam bingkai konteks penjelajahan filosofis
semacam ini, jalan pikiran dari pemikirannya menjadi seperti himpunan
taktik atau strategi. Machiavelli adalah seorang realis. Ia tampil berhadapan
dengan realitas konkret dunia politik, dunia kekuasaan, dunia penataan
negara. Bagaimana menghindari keterpecahan, mencegah invasi pihak-
pihak luar, mengalahkan musuh yang mengancam kekuasaan dan wibawa
pemerintahan, mempertahankan keutuhan negara dan yang sejenisnya
adalah persoalan konkret yang dihadapi oleh Machiavelli. Ia setuju dengan
Aristoteles, Plato, Sokrates bahwa manusia yang baik itu adalah manusia
yang utama (virtuous). Keutamaan adalah sesuatu yang terpuji, luhur, mulia.
Tetapi, persoalan dunia politik bukan lapangan keutamaan manusiawi.
Natura/kodrat kehidupan keutamaan berbeda dengan natura/kodrat
kehidupan politik. Keduanya tidak sepadan/kompatibel. Mengapa? Menurut

39
Machiavelli, seorang politikus yang memikirkan pembelaan atas negaranya
sekaligus memikirkan bagaimana menjadi manusia yang utama sering kali
justru tampil sebagai orang yang tidak realistis. Orang yang bersangkutan
justru masuk ke kehancuran dirinya sendiri, keluarga, pemerintahannya, dan
negaranya.
Dunia politik memiliki keutamaannya sendiri: Keutamaan manusiawi
berbeda dengan keutamaan politis (yang perlu dimiliki oleh setiap penguasa
yang tidak ingin kehilangan takhtanya). Keutamaan dalam lapangan politik
adalah aneka kecerdikan yang dimaksudkan untuk menaklukkan musuh,
memperdaya para pengkhianat, menjaga kesatuan dan keutuhan rakyatnya,
membela dan memperkokoh takhta kekuasaannya, Apabila dalam melakukan
semua itu seorang raja perlu melakukan tindakan-tindakan kekerasan
atau kebrutalan yang bertentangan dengan keutamaan manusiawi ia tidak
perlu merasa bersalah! Dalam semangat Machiavelli, ada semacam prinsip
tujuan menghalalkan setiap cara. Artinya, demi membela keutuhan negara
atau keselamatan takhta, seorang pemimpin dapat melakukannya dengan
segala cara: Inilah kodrat/natura dari politik, yaitu kesatuan, keamanan, dan
kestabilan pemerintahan.
Dari sebab itu pertanyaan siapakah yang memerintah dalam konsep
negara menurut Machiavelli? Jawaban yang paling mungkin ialah dia yang
cerdik dalam mengatur strategi merebut kekuasaan dan membelanya. Jika
dalam filsafat Plato sang raja adalah filosof dan dalam Aristoteles sang
pemimpin adalah dia yang memiliki kebijaksanaan praktis; dalam filsafat
Machiavellian, seorang raja seorang politikus sejati (dalam artian tahu
merengkuh dan mempertahankan kekuasaannya).
(4) Realisme Machiavelli dilanjutkan oleh Thomas Hobbes. Maksudnya,
seperti Machiavelli yang memandang realitas kehidupan politik tidak klop
dengan kehidupan keutamaan (sebagaimana digagas oleh Plato, Aristoteles;
Sokrates), demikian juga Hobbes. Dalam the state of nature (saat belum
ada hukum), manusia-manusia adalah sama dalam kehadirannya. Mereka
pertama-tama sama-sama mengalami keterancaman kematian (karena
tiadanya keamanan). Bukan kematian wajar (sebagaimana dialami oleh

40
setiap orang yang hidup), melainkan kematian karena akan dibunuh oleh
sesamanya yang lain. Atau, lebih tepat, mereka menderita hal yang sama, yaitu
ketakutan akan violent death (kematian keji). Karena sama-sama mengalami
keterancaman akan kematian keji, harus diandaikan bahwa setiap orang baik
kecil, besar, kuat, lemah, tinggi, pendek, pandai, tidak-pandai, dan seterusnya
memiliki kesamaan kans untuk saling mengancam.
Dalam pengandaian Hobbes, tidak bisa dikatakan bahwa hanya yang
lemah dan kecil yang terancam sementara yang besar dan kuat merasa aman
karena dapat melindungi diri. Perbedaan lemah-kuat / besar-kecil tidak
signifikan, karena yang paling lemah pun dapat mengancam yang paling kuat
dengan senjata atau dengan konspirasi (persekongkolan dengan orang-orang
lain). Jadi, realitas kodrat manusia-manusia pertama-tama ialah sama atau
sederajat. Realisme Hobbes ini bertolak belakang dengan filsafat Platonian
dan Aristotelian yang menggarisbawahi bahwa manusia filosof atau manusia
dengan practical wisdom yang boleh memerintah manusia-manusia yang
lain. Aristoteles malahan menegaskan bahwa manusia secara kodrati tidak
sama, karena ada yang budak dan ada yang warga negara, ada pula yang
tidak masuk kedua-duanya. Machiavelli tidak mengatakan kesamaan dan
kesederajatan kodrat manusia. Dunia politik bagi. Machiavelli adalah dunia
para penguasa, bukan dunia manusia (pada umumnya). Karena, bagi Hobbes
semua manusia itu sama dalam kodratnya, maka setiap manusia berkuasa
penuh dan bertanggung jawab sepenuhnya atas hidupnya sendiri. Setiap
manusia adalah sang penguasa atas dirinya sendiri. Ia berhak bertindak apa
saja untuk membela dan mempertahankan kehidupannya sendiri. Maka,
dari mana hendak diasalkan legitimasi seorang pemimpin, jika setiap orang
adalah penguasa bagi dirinya sendiri?
Inilah gagasan yang membedakan filsafat Hobbes dengan filsafat
Aristotelian/Platonian, juga Machiavellian. Menurut Hobbes sang pemimpin
hanya menjadi mungkin apabila dengan persetujuan/kesepakatan dari
manusia yang bersangkutan. Instansi yang memerintah hanya terjadi apabila
masing-masing individu sepakat bahwa instansi itu memerintah. Di sini
Hobbes menggagas dua hal sekaligus yang. sangat penting dalam filsafat
politik: pertama Hobbes menunjukkan martabat dan keluhuran manusia

41
dengan segala hak naturalnya; kedua, suatu pemerintahan politik lahir ada
apabila disepakati. Kesepakatan inilah yang nantinya disebut dengan kontrak
sosial Nah, karena pemerintahan politik dengan segala sistem aturannya
menjadi mungkin karena kesepakatan, maka negara dalam filsafat Hobbes
jelas berkarakter konvensional, tidak natural!

3. APA NATURA NEGARA INDONESIA?


Setelah menyimak satu dua filosof utama dalam menggagas asal-usul
negara (apakah natural atau konvensional), bagaimanakah pandangan
para pendiri negara Indonesia? Bagaimana terjadinya suatu bangsa/negara
Indonesia mereka gagas? Secara sepintas simak lampiran pidato para pendiri
negara ini (Sukarno, Supomo, dan Yamin). Skema dari para founding fathers
kurang lebih sama. Mereka (seperti para filosof di atas) berangkat dari
pemahaman fundamental mengenai siapakah manusia Indonesia. Persoalan
tentang Indonesia sebagai negara baru yang akan dibentuk adalah persoalan
tentang siapakah manusia Indonesia itu. Baik Sukarno maupun Supomo
menggagas bahwa karakter manusia Indonesia adalah manusia gotong-
royong, kekeluargaan, kekerabatan, religius, dan yang semacamnya. Prinsip-
prinsip pendirian negara Indonesia harus mencakup sekaligus elemen-
elemen karakter tersebut.
Sukarno mengajukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, Supomo
mencetuskan ide tentang negara integralistik yang menggarisbawahi karakter
kekeluargaan dan kekerabatan dari masyarakat Indonesia. Kodrat/natura
negara Indonesia adalah kodrat/natura dari manusia-manusia Indonesia.
Sebagai suatu negara baru yang lahir dari pergumulan perjuangan dan
kesepakatan seluruh bangsa lewat wakil-wakilnya, Indonesia lahir tidak dari
sendirinya, melainkan lewat perjuangan konvensi.
Gotong-royong menjadi ciri khas dari manusia Indonesia dan lembaga
sosial yang ada di Indonesia, dan hal ini ditangkap oleh Soepomo sebagaimana
dikutip oleh Yamin:

42
“Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau
dunia luar, golongan-golongan manusia, malah segala golongan
makhluk, segala sesuatu bercampur baur dan bersangkut-paut,
segala sesuatu berpengaruh-pengaruhi dan kehidupan mereka
bersangkut-paut. Inilah idee totaliter, idee integralistik dari bangsa
Indonesia, yang berwujud juga dalam ketatanegaraannya yang asli.
Dalam suasana persatuan dengan rakyat dan pemimpinnya, antara
golongan-golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi
oleh semangat gotong-royong, semangat kekeluargaan. (Muhammad
Yamin, 1959:113)
Berdasarkan lembaga sosial asli Indonesia yang berciri gotong-royong
inilah, Soepomo akhirnya mempromosikan negara integralistik di mana
negara bersatu dengan seluruh rakyatnya dan mengatasi seluruh golongan
dalam lapangan apapun. Dari sini sebenarnya tampak bahwa beberapa
founding fathers Indonesia hendak mencari semangat asli bangsa yang
bisa dijadikan sebagai dasar Indonesia merdeka, walaupun ada berbagai
perdebatan. Ada satu hal yang menjadi semacam kesepakatan di antara
mereka, yakni: Indonesia haruslah dibangun atas dasar semangat gotong-
royong sebagai ciri khas bangsa.
Kembali kepada Soekarno, dengan mengatakan bahwa prinsip negara
ini adalah gotong-royong, ia mau mengatakan bahwa tidak boleh ada
lagi klaim-klaim golongan, pribadi, dan kelompok apapun yang hendak
memperjuangkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan bersama.
Artinya, sebenarnya tidak boleh ada klaim mayoritas atas minoritas! Tidak
boleh ada klaim warga pribumi atas peranakan! Tidak boleh ada klaim kaum
kaya atas kaum miskin! Mengapa? Karena, kalau ada klaim-klaim tersebut,
untuk apa ada Indonesia merdeka? Bukanlah semua itu bentuk dominasi
dan penjajahan baru? Lebih dari itu, dengan mengatakan gotong-royong
adalah prinsip dasar negara Indonesia Soekarno hendak mengatakan bahwa
Indonesia didirikan untuk menjamin kepentingan semua warga Indonesia,
apapun agamanya, golongannya, sukunya, dan keadaan ekonominya. Dalam
retorika, ia mengecam “individualisme” yang lahir dari liberalisme Barat.

43
Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh
pertarungan antarpartai.
Gotong-royong bukanlah sikap kekurangberanian, kurang percaya diri,
atau sikap tidak mandiri. Gotong-royong tidak selalu berarti orang-orang
sekampung menyumbang ketika kita terkena musibah. Gotong-royong
berarti bahu-membahu dan saling bergandengan tangan. Ia adalah sebuah
“kesadaran” bahwa semua warga adalah putra-putri ibu pertiwi, memiliki
hak dan kewajiban yang sama, walaupun aplikasinya, pelaksanaannya,
penerjemahannya dalam hidup sehari-hari bisa berbeda. Gotong-royong
adalah prinsip yang dinamis, bahkan lebih dinamis dari kekeluargaan.
Gotong-royong menggambarkan satu usaha bersama dan saling bantu demi
kepentingan bersama.
Ekasila (prinsip gotong-royong) adalah usulan Soekarno. Ia adalah
perasan dari Trisila, dan Pancasila. Ternyata yang diterima oleh Sidang
BPUPKI saat itu adalah Pancasila. Dalam kaitan dengan hal ini, Herbert
Feith (dalam pengantarnya untuk pidato Soekarno di depan BPUPKI ini)
mengatakan bahwa pidato ini adalah usaha keras Soekarno untuk menentang
gagasan didirikannya negara Islam.
Menurut Sunoto (2000:93), prinsip gotong-royong yang dikemukakan
oleh Soekarno adalah usulan belaka. Sunoto berpendapat bahwa memang
gotong-royong adalah prinsip yang berasal dari bumi Indonesia dan amat
luhur maknanya, akan tetapi amatlah tidak logis untuk memeras Pancasila
menjadi gotong-royong. Mengapa? Karena jika Pancasila diperas menjadi
gotong-royong, maka satu persatu sila harus dapat diperas pula menjadi
gotong-royong. Faktanya tidak semua sila dapat diperas menjadi gotong-
royong, misalnya bagaimana memeras sila ketuhanan menjadi gotong-
royong? Oleh karena itu Sunoto berpendapat bahwa Pancasila tidak dapat
diperas ke dalam Ekasila.
Dari sini bisa muncul pertanyaan, mengapa gotong-royong (menurut
Sunoto) tidak dapat dijadikan sebagai perasan Pancasila? Apakah gotong-
royong itu kurang baik? Dalam hal ini Sunoto berargumentasi bahwa alasannya
bukan soal baik atau tidak baik, melainkan soal kelogisannya. Jika bukan

44
karena maksud logika, Soekarno tentu memaksudkan bahwa prinsip gotong-
royong adalah prinsip asli Indonesia dan luhur nilainya bagi dasar Indonesia
merdeka jika Pancasila dan Trisila ditolak oleh sidang BPUPKI. Mengenai hal
ini Bernard Dahm berspekulasi bahwa Soekarno amat mendalami kearifan
dalam filsafat Jawa yang mengatakan bahwa “semua hal sejatinya adalah
satu.” Berdasarkan asumsi inilah Soekarno memeras memeras Pancasila ke
dalam Ekasila, yaitu karena masyarakat Jawa menginginkan satu landasan
bersama bagi semua. Pendalaman mengenai apakah benar Ekasila adalah
perasan, sekadar simbolisasi Soekarno, atau apakah mengandung makna lain
akan secara mendalam diuraikan dalam bab selanjutnya.
Di tempat lain, Hatta mengatakan bahwa gotong-royong adalah salah
satu dari kelima anasir demokrasi yang digagasnya. Kelima anasir demokrasi
asli Indonesia itu adalah: rapat, mufakat, tolong-menolong, gotong-royong,
dan hak mengadakan protes. Di dalam gotong-royong inilah ada usaha untuk
menyelesaikan segala sesuatu secara bersama.
Jiwa gotong-royong dan semangat kekeluargaan adalah nilai potensial
yang ada di bumi Indonesia. Semangat kegotong-royongan ada karena
terdorong oleh panggilan dan kodrat manusia Indonesia karena balutan
pengalaman sejarah yang sama. Gotong-royong merupakan keseimbangan
antara kebutuhan/kepentingan individu dalam hubungannya dengan
kebutuhan masyarakat yang terjadi secara timbal balik. Mengapa demikian?
Karena hidup manusiawi (terutama manusia Indonesia) mengalami
kepenuhannya dalam relasi dengan masyarakatnya. Hal demikian tercermin
secara mengagumkan lewat mekanisme musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam mengatasi setiap masalah supaya tidak terjadi benturan
antarindividu.
Kesepakatan atas asas Gotong-Royong ini sendiri pun sebenarnya sudah
tampak ketika BPUPKI bersidang untuk membahas Undang-Undang Dasar.
Kesepakatan ini dimunculkan sendiri oleh Ketua Sidang, yakni Dr. Radjiman
Wedyodiningrat demi mengikis paham individualisme:
...Itu saya ajukan di sini lagi, karena kita harus insyaf sedalam-
dalamnya bahwa menurut Ketua Panitia tadi (Soekarno), Undang-

45
Undang Dasar berasas gotong-royong atau berasas falsafah hidup
bersama-sama di dunia ini, manusia yang satu dengan manusia yang
lain..... Itu saya kira tidak usah ditanyakan lagi.” (Sekretariat Negara
Republik Indonesia:261)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Hatta ketika memberi tanggapan
atas pidato Soekarno dan tanggapan Radjiman:
“Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri
boleh katakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang
individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-
royong dan hasil usaha bersama...... Dasar yang kita kemukakan
adalah dasar gotong-royong dan usaha bersama. Pendek kata dasar
collectivisme.” (Ibid: 262-263)
Tampak bahwa Undang-Undang Dasar yang merupakan produk
turunan dari pernyataan kemerdekaan dan dasar negara itu sendiri pun
sepakat untuk difondasikan pada semangat gotong-royong demi mengikis
habis paham individualisme.
Harus dikatakan bahwa terminus Ekasila (yang berisi prinsip gotong-
royong) adalah perasan dari Pancasila yang dikemukakan Soekarno ketika
mengusulkan dasar negara. Meskipun di kemudian hari muncul perdebatan
yang menyatakan apakah benar Ekasila ini benar-benar perasan, kompromi,
atau hanya simbolisasi Soekarno, namun fakta yang tidak bisa ditolak
adalah kesepakatan bahwa prinsip gotong-royong ini merupakan ciri khas
masyarakat Indonesia (bahkan Soepomo, Hatta, dan Yamin mengatakan hal
yang sama).
Di atas dasar kekhasan Indonesia inilah negara Indonesia hendak
didirikan. Artinya, ketika mengetengahkan Ekasila, Soekarno tidak
mengimpor paham asing dan ia menghendaki agar Indonesia didirikan buat
semua warga serta dimiliki oleh semua warga Indonesia. Di dalam semangat
gotong-royong inilah tercakup kerja sama, musyawarah untuk mufakat, dan
rasa saling menghargai. Negara gotong-royong dengan demikian adalah
negara yang difondasikan atas semangat kerja sama dan saling bantu khas
Indonesia.

46
Penjelasan Soekarno, Yamin, Supomo, dan Hatta mengenai negara
gotong-royong diasalkan pada “kodrat” manusia/masyarakat Indonesia yang
selalu hidup dalam suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan. Penjelasan
semacam ini juga digunakan beberapa filosof dalam menjelaskan mengenai
apa itu negara. Plato, misalnya, mengidentikkan struktur negara dengan
struktur manusia. Dari pengertian kodrat/natura manusia diturunkanlah
segenap ide dan gagasan filosofis mengenai negara. Plato mengatakan
bahwa susunan suatu negara menemukan padanannya dengan tiga bagian
jiwa manusia, yakni rational-part (bagian yang berpikir), spirited-part (roh/
semangat), dan appetitive-part. Demikianlah dengan suatu negara. Dalam
suatu negara, menurut Plato, ada bagian yang memerintah (sepadan dengan
rational-part), ada tentara yang menjaga keamanan negara (sepadan dengan
spirited-part), dan ada produsen yang menjaga kelangsungan ekonomi
negara (sepadan dengan appetitive-part). Manusia akan tampil utuh bila
ketiga bagian jiwa ini bekerja sama secara harmonis. Hal yang sama juga
berlaku bagi negara. Suatu negara akan kokoh bila ketiga bagian di atas bisa
menjalankan tugasnya dengan baik secara harmonis. Di titik inilah keadilan
akan tercipta.
Harmonisasi ini juga tampak dalam konsep negara gotong-royong.
“Natura” negara gotong-royong ternyata juga diasalkan pada “natura”
manusia Indonesia yang mengedepankan semangat kerja sama dan bahu
membahu. Dari sini sebenarnya juga tampak bahwa setidaknya dalam
penggalian Soekarno tidak ada sifat merusak dan koruptif dalam natura
manusia Indonesia. Negara yang kuat (atau keadilan dalam konsep Plato)
dengan demikian akan tercipta bila semua warga Indonesia menghayati
kegotong-royongan dan mengimplementasikannya dalam hidup sehari-hari.

47
BAB IV

PANCASILA MENURUT SOEKARNO

Bab ini berisi uraian mengenai negara Pancasila yang dicetuskan oleh
Soekarno. Pada bagian awal, untuk memberi sedikit panorama sejarah, akan
sedikit diuraikan mengenai sekilas riwayat hidup Soekarno. Setelah itu uraian
akan difokuskan pada gagasan Pancasila yang diutarakan oleh Soekarno pada
sidang BPUPKI 1 Juni 1945.

1. RIWAYAT SINGKAT SOEKARNO


Soekarno adalah proklamator kemerdekaan dan presiden pertama
Republik Indonesia. Jabatan presiden dipegangnya sejak tahun 1945 sampai
dengan 1967. Kemahirannya berpidato diakui oleh hampir semua tokoh
di seluruh penjuru dunia. Keahlian itu didukung oleh kemampuannya
menguasai enam bahasa asing. Selain itu Soekarno menyandang dua puluh
enam gelar doktor kehormatan dari beberapa universitas di berbagai belahan
dunia.
Soekarno lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya bernama Raden
Sukemi Sosrodiharjo, dan ibunya bernama Ida Nyoman Rai. Sebenarnya
nama asli dari Soekarno adalah Kusno. Nama itu dianggap membawa sial.
Mengapa? Karena masa kecil Soekarno sering diwarnai oleh sakit. Karena
alasan itulah pada usia lima tahun namanya diganti dengan Soekarno. Nama

48
Soekarno diilhami dari nama tokoh pewayangan, yakni Karna. Teladan
Karna inilah yang menginspirasi Soekarno untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran.
Soekarno pada awalnya menuntut ilmu di Inlandsche School, di
Tulungagung. Di sekolah ini Soekarno hanya mencapai kelas lima, dan atas
keinginan ayahnya ia melanjutkan di ELS (Europeesche Lagere School) di
Mojokerto. Setamat ELS, Soekarno diterima di HBS (Hoogere Burgerschool)
di Surabaya atas bantuan HOS Tjokroaminoto (Ketua Sarekat Islam dan
tokoh pergerakan nasional Indonesia). Soekarno menumpang (mondok) di
rumah Tjokroaminoto bersama Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo,
Agus Salim, Muso, Alimin, dll.
Setelah menamatkan sekolahnya di HBS, Soekarno melanjutkan
studinya di THS (Technische Hoogeschool) Bandung. Di sini ia juga sempat
mendirikan Studieclub Bandung. Pada masa tersebut Soekarno terlibat
aktif dalam kelompok studi dan pergerakan nasional. Pada masa inilah ia
mendapat julukan “singa podium” karena kemahirannya berpidato.
Pada 4 Juli 1927 Soekarno membentuk PNI (Partai Nasional Indonesia).
Dalam perjuangannya, organisasi ini mengambil sikap nonkooperasi.
Kepiawaian Soekarno dalam berorganisasi membuat PNI berkembang
pesat dan menarik hati banyak simpatisan. Kemajuan ini membuat Belanda
geram. Pada Desember 1929, pemerintah Belanda menangkap Soekarno
dan sejumlah tokoh PNI. Mereka kemudian diadili pada 18 Agustus 1930 di
Bandung, hingga akhirnya Soekarno dijatuhi empat tahun hukuman kurungan
dan mendekam di penjara Sukamiskin. Sebelum vonis dijatuhkan, Soekarno
sempat membela dirinya dengan pidato yang cukup hebat dan terkenal.
Pleidoi ini kemudian dibukukan dengan judul “Indonesia Menggugat.”
Ketika masa tahanannya usai, PNI ternyata telah membubarkan diri
untuk sementara dan anggotanya mulai terpecah-belah. Konflik di tubuh PNI
membuat Soekarno lebih memilih untuk berkonsentrasi mengembangkan
Partindo. Di tengah kesibukannya, Soekarno masih sempat menulis buku
yang berjudul “Mencapai Indonesia Merdeka” (1933). Buku ini pun akhirnya

49
dilarang oleh pemerintah Belanda, dan Soekarno pun dibuang ke Ende
(Flores) tanpa melalui proses persidangan.
Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul “Di Bawah Bendera
Revolusi” dalam dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik
dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Dari
buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan pertama yang bermula
dari tahun 1926 dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”
merupakan titik tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa
mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.
Ketika Jepang mendarat di Palembang, Soekarno dibawa ke Jakarta.
Pendudukan Jepang membuat Soekarno mendapat tempat. Jepang
“memanfaatkan” Soekarno untuk mempropagandakan kepentingan Jepang
dan menyebarkan paham bahwa mereka adalah saudara tua dari bangsa
Indonesia. Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibentuk sebagai boneka Jepang
dengan Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara sebagai anggotanya. Jepang
bahkan meminta Putera untuk mengerahkan romusha untuk dipekerjakan di
wilayah kekuasaan Jepang.
Dalam perkembangannya, Jepang hendak menarik hati rakyat dengan
menjanjikan kemerdekaan. Jepang kemudian membentuk BPUPKI untuk
merumuskan bangunan Indonesia merdeka. Kesempatan ini tidak disia-
siakan Soekarno untuk mempertajam visinya demi kemerdekaan Indonesia,
bahkan pada 1 Juni 1945 Soekarno mengemukakan lima prinsip sebagai dasar
bagi Indonesia nantinya. Pidato ini dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Setelah melalui perjuangan yang panjang akhirnya Indonesia mencapai
kemerdekaan. Titik kemerdekaan ini dinyatakan oleh Soekarno-Hatta atas
nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur
56 Jakarta. Perjalanan selanjutnya adalah perjuangan mengisi kemerdekaan
yang ternyata sungguh tidak mudah. Aneka rongrongan baik dari dalam
maupun luar silih berganti menerpa kepemimpinan Soekarno.
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan
pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Dalam pidato itu dengan gigih ia
menyerang kolonialisme:

50
“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi
pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah
berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi,
perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa
dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih
berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati
kemerdekaan?” (New York Times, 17 Mei 1956, hlm. 1)
Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan
imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat
sambutan luar biasa di Amerika Serikat. Pidato itu menunjukkan konsistensi
pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya
antikolonialisme
Pemerintahan Soekarno diakhiri oleh detik-detik tragis Supersemar
(Surat Perintah Sebelas Maret). Semua ini diawali oleh keragu-raguannya
mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh sebagian pihak, PKI
dianggap sebagai biang munculnya gerakan 30 September, akan tetapi
Soekarno terkesan melindungi PKI. Setelah melalui berbagai pertimbangan
akhirnya pada 11 Maret 1966 ia memberikan mandat kepada Mayor Jenderal
Soeharto untuk mengambil alih situasi. Ujung dari peristiwa itu adalah:
MPRS tidak menerima Nawaksara (pidato pertanggungjawaban presiden),
dan mencabut kekuasaan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Pasca
peristiwa itu, kondisi kesehatan Soekarno kian memburuk. Pada 16 Juni
1970 ia mengalami masa kritis dan akhirnya meninggal pada 21 Juli 1970.
Keesokan harinya jenazah Soekarno dimakamkan di sebelah makam ibunya
dengan upacara kenegaraan di Blitar, Jawa Timur.
Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi
dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya. Walaupun belum
sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera,
perjuangannya memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa.

51
2. POSISI FILOSOFIS PIDATO SOEKARNO TANGGAL 1 JUNI 1945
Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tentu ada dalam suatu posisi
filosofis tertentu. Artinya, pidato ini ada dalam konteks pidato-pidato para
tokoh yang lain (yang tentunya mempunyai posisi filosofis dan ideologis yang
berbeda).
Pada sidang yang pertama (31 Mei 1945), Soepomo menguraikan tiga
teori tentang berdirinya suatu negara. Aneka teori tersebut adalah: teori
individualistis (dengan Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, Herbert
Spencer, dan Laski sebagai pijakan filosofisnya), teori golongan/kelas (dengan
Marx, Engels, dan Lenin sebagai filosof rujukannya), dan teori integralistik
(dengan Spinoza, Adam Muller., dan Hegel sebagai pijakan filosofisnya).
Menurut Soepomo, Indonesia haruslah merupakan negara integralistik.
Mengapa? Karena dalam negara integralistik inilah ada persatuan antara
pemimpin dan rakyatnya. Negara seperti ini cocok dengan aliran pikiran
ketimuran dan masyarakat Indonesia yang ada dalam adat. Dengan kata lain,
Soepomo hendak mengatakan bahwa negara integralistik khas Indonesia
mempunyai pijakan filosofis yang jelas.
Ideologi yang hendak ditolak bagi bangunan Indonesia merdeka,
menurut Soepomo, dengan demikian adalah federalisme (yang mencuatkan
keterpecahan) dan individualisme-liberalisme (yang menekankan kebebasan
mutlak bagi individu), dan juga monarki.
Pada pidato berikutnya. M. Yamin juga mengatakan bahwa Indonesia
baru nanti menolak paham federalisme, feodalisme, monarki, liberalisme,
autokrasi, birokrasi, dan demokrasi khas barat. Dari sini saja tampak bahwa
ada “perang ideologi” dalam konteks kemerdekaan Indonesia.
Dunia saat itu memang dilanda perang ideologi antara Barat yang
menjunjung tinggi liberalisme dan Timur yang mempromosikan sosialisme.
Para founding fathers tentu amat mengerti hal itu dan mencari pijakan filosofis
dan sekaligus ideologis yang memadai bagi berdirinya Indonesia merdeka.
Dari sini bisa dimengerti mengapa Soepomo mengajukan Hegel, Spinoza, dan
Adam Muller bagi integralisme Indonesia (meskipun patut diperdebatkan

52
apakah ketiga filosof tersebut berbicara mengenai negara integralistik). Pada
bingkai itulah Soekarno menyampaikan pidatonya mengenai Pancasila.

3. GAGASAN MENGENAI PANCASILA


Pancasila ditawarkan Soekarno sebagai philosofische Grondslag (dasar,
filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka. Setelah selama tiga hari beberapa
anggota BPUPKI berpidato dan menawarkan aneka gagasan mengenai dasar
apa yang dipakai bagi Indonesia merdeka nanti, tibalah saatnya bagi Soekarno
untuk menyampaikan hal yang sama.
Sebelum mengutarakan gagasan mengenai dasar negara, Soekarno
merasa perlu untuk meyakinkan para peserta sidang bahwa mereka tidak
perlu terlalu memusingkan perkara yang kecil-kecil daripada kemauan untuk
merdeka.
“Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka maka harus lebih
dahulu ini selesai, itu selesai, sampai jelimet!, maka saya bertanya
kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka padahal
delapan puluh persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui yang
sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.” (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 64)
Kemauan dan hasrat untuk merdeka, menurut Soekarno, harus
mendahului perdebatan mengenai dasar negara. Mengapa? Karena buat
apa membicarakan dasar negara jika kemerdekaan tidak ada? Dari sini bisa
dimengerti logika berpikir Soekarno yang terlebih dahulu menggelorakan
semangat untuk merdeka, bahkan ketika rakyat masih miskin, belum bisa
baca tulis, belum bisa mengendarai mobil, dan seterusnya.
Soekarno bahkan menganalogikan kemauan merdeka dengan kemauan
untuk menikah. Apakah menikah harus menunggu semuanya mapan?
Demikian pula dengan kemerdekaan. Berkaitan dengan hal ini, Soekarno
merasa perlu untuk merujuk pengalaman negara-negara lain sebagai retorika
untuk memperkuat argumentasinya (Arab Saudi mendirikan negara hanya

53
dalam satu malam dan Soviet mendirikan negara ketika sebagian besar
rakyatnya tidak bisa membaca).
Sang orator, yang tak lain adalah Soekarno, mengemukakan gagasannya
dalam sebuah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
pada 1 Juni 1945. Dalam sidang yang dihadiri oleh 62 orang dari berbagai
golongan, Soekarno mengatakan:
“Kita ingin mendirikan Indonesia di Weltanschauung (atas dasar)
apa? Marxisme-kah? Sam Min Chu I (ideologi yang digagas tokoh
komunis Cina, Sun Yat Sen)-kah? Atau dasar apakah?” tanya
Soekarno. “(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 64.)
Pada uraian berikutnya, Soekarno mengemukakan dasar dari
Indonesia merdeka. Argumentasinya, seperti pada ajakannya untuk meraih
kemerdekaan, juga didahului dengan mereferensi sejarah kemerdekaan
negara lain. Soekarno mengutip perjuangan negara-negara lain:
“Hitler mendirikan Jermania di atas national-sozialistische
Weltanschauung..... Lenin mendirikan negara Soviet dia atas satu
Weltanschauung, yaitu Marxistische – Historisch Materialistische
Weltanschauung,.... Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas
Tennoo Koodoo Seishin,....... Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan
negara Arabia di atas satu weltanschauung, bahkan di atas satu dasar
agama, yaitu Islam.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm.
69)
Argumentasi Soekarno mengenai dasar negara dibuka dengan suatu
pertanyaan, “Apakah Weltanschauung (dasar dan filsafat hidup) kita, jikalau
kita hendak mendirikan Indonesia merdeka?” Soekarno tidak menjawab
pertanyaan ini dengan satu jawaban singkat. Terlebih dahulu ia hendak
mengutarakan pandangannya bahwa dasar negara Indonesia ini haruslah
ditemukan dalam lubuk hati dan jiwa bangsa Indonesia jauh sebelum bangsa
ini merdeka. Benar bahwa Arab Saudi didirikan dalam satu malam dan Soviet
dibuat dalam sepuluh hari, akan tetapi dasar negara Arab dan Soviet sudah
dipikirkan sejak jauh-jauh hari.

54
Dengan ini Soekarno mau mengatakan bahwa niat dan keinginan
merdeka itu haruslah bulat, akan tetapi dasar yang akan dipakai bagi
Indonesia merdeka haruslah sesuatu yang sudah mendarah daging dan ada
dalam semua sanubari rakyat Indonesia. Dalam kerangka inilah Soekarno
menyebut bahwa dasar negara Indonesia yang ia pikirkan sudah ada alam
renungannya sejak 1918.
“Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan
saja dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918....” (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 71)
Selanjutnya Soekarno menguraikan dasar-dasar apa saja yang perlu
dimiliki bagi bangunan Indonesia merdeka. Dasar-dasar yang ia sebutkan
adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme (kemanusiaan), mufakat/
permusyawaratan, kesejahteraan (keadilan sosial), dan akhirnya Ketuhanan.
Kelima prinsip itulah yang dia namakan Pancasila, dan diusulkannya sebagai
Weltanschauung negara Indonesia merdeka.
Pertama, Kebangsaan yang dimaksud Soekarno adalah Nationale Staat
dan nasionalisme Indonesia. Setiap warga negara Indonesia harus merasa
diri mempunyai satu bangsa dan tumpah darah yang sama, yakni Indonesia.
Kedua, kebangsaan yang dimaksud oleh Soekarno ini bukanlah chauvinisme
khas Hitler, maka prinsip kedua untuk menjaganya adalah perikemanusiaan
(internasionalisme). Hal ini penting agar bangsa Indonesia merasa diri
menjadi bagian dari seluruh umat manusia di dunia. Ketiga, permusyawaratan
yang dimaksud Soekarno adalah perjuangan ide dari seluruh rakyat
Indonesia lewat wakil-wakilnya demi mewujudkan kesejahteraan umum.
Keempat, kesejahteraan sosial yang dimaksud Soekarno adalah kemakmuran
yang harus bisa dinikmati oleh segenap warga Indonesia, karena untuk
kepentingan inilah suatu bangsa terbentuk. Kelima, Ketuhanan yang
dimaksud Soekarno adalah Ketuhanan yang berkebudayaan. Artinya bangsa
Indonesia menghargai pengakuan setiap manusia Indonesia akan peran
Tuhan dalam pencapaian kemerdekaan ini. Bangsa Indonesia mengakui
keberadaan agama-agama, dan hendaknya ada rasa saling menghargai di

55
antara mereka, karena dengan demikianlah bangsa Indonesia bisa disebut
bangsa yang berbudaya. Kemudian dengan sangat percaya diri, Soekarno
mengatakan:
“Saudara-saudara! Dasar negara telah saya usulkan. Lima
bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma
tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita
membicarakan dasar. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya
namakan ini, dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa,
namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas, dasar. Dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal abadi.
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 71)”
Selanjutnya lima asas tersebut kini dikenal dengan istilah Pancasila,
namun dengan urutan dan nama yang sedikit berbeda. Tulisan M. Yamin
juga mengamini bahwa lahirnya Pancasila berasal dari Soekarno.
“Sila yang lima ini dinamai Bung Karno dalam uraian pidatonya
pada tanggal 1 Juni 1945 di kota Jakarta ‘Pancasila’ yang berarti
paduan lima buah sila.... Tanggal 1 Juni 1945 dianggap oleh Republik
Indonesia sebagai tanggal lahirnya ajaran Pancasila, dan Bung Karno
diterima sebagai penggalinya..” Muhammad Yamin, 1960: 289)
M. Yamin juga mengatakan bahwa Soekarno melakukan penggalian
sosiologis atas masyarakat Indonesia dari sejak zaman pra-Hindu sampai
sekarang. Penggalian ini mempunyai maksud agar perjuangan bangsa
Indonesia mencapai kemerdekaannya nanti memiliki alat pemersatu.
Sampai akhir rapat pertama, masih belum ditemukan kesepakatan untuk
perumusan dasar negara, sehingga akhirnya dibentuklah panitia kecil untuk
“menggodok” berbagai masukan. Panitia kecil beranggotakan 9 orang dan
dikenal pula sebagai Panitia Sembilan dengan susunan sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
4. Mr. Muhammad Yamin (anggota)
5. KH. Wachid Hasyim (anggota)

56
6. Abdul Kahar Muzakir (anggota)
7. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
8. H. Agus Salim (anggota)
9. Mr. A.A. Maramis (anggota).
Setelah melakukan kompromi antara empat orang dari kaum kebangsaan
(nasionalis) dan empat orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia
Sembilan kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara yang
dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan:
a. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya;
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
c. Persatuan Indonesia;
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan;
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perjalanan sejarah mencatat bahwa Piagam Jakarta ini mengalami
koreksi. Akhirnya tujuh kata dalam sila pertama dicoret menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa” demi mengakomodasi semua pihak yang nantinya hidup
bersama dalam alam Indonesia merdeka.
Zaman menunjukkan bahwa ada perbedaan perumusan sila-sila dalam
Pancasila. Di bawah ini akan diuraikan beberapa perbedaan versi urutan
Pancasila:

57
58
Versi Versi Versi Versi Versi
Soekarno Piagam Jakarta UUD 1945 Konstitusi RIS UUDS

1. Kebangsaan 1. Ketuhanan dengan 1. Ketuhanan Yang 1. Ketuhanan Yang 1. Ketuhanan Yang


kewajiban men- Maha Esa Maha Esa Maha Esa
jalankan syariat
Islam bagi peme-
luk-pemeluknya
2. Internasionalisme 2. Kemanusiaan yang 2. Kemanusiaan yang 2. Peri Kemanusiaan 2. Peri Kemanusiaan
(Peri Kemanusiaan) adil dan beradab adil dan beradab
3. Mufakat (Demokra- 3. Persatuan Indonesia 3. Persatuan Indonesia 3. Kebangsaan 3. Kebangsaan
si)
4. Kesejahteraan Sosial 4. Kerakyatan yang 4. Kerakyatan yang 4. Kerakyatan 4. Kerakyatan
dipimpin oleh hik- dipimpin oleh hik-
mat kebijaksanaan mat kebijaksanaan
dalam pemusya­ dalam permusya­
waratan waratan
5. Ketuhanan 5. Keadilan sosial 5. Keadilan sosial 5. Keadilan Sosial 5. Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat bagi seluruh rakyat
Indonesia Indonesia
Dari perbandingan di atas terlihat adanya perbedaan dalam hal urutan
maupun rumusannya. Pancasila versi Piagam Jakarta (terutama sila pertama)
amat berbeda dengan keempat versi lainnya. Soerjanto hanya memaparkan
perbedaan ini tanpa menyebut mengapa ada perbedaan versi Pancasila.
Sebenarnya, pada Berita Republik Indonesia tahun 1946, rumusan resmi
Pancasila sudah dimuat, yakni:
“.... Ketoehanan Jang Maha Esa, Kemanoesiaan jang adil dan
beradab, persatoean Indonesia, dan kerakjatan jang dipimpin oleh
hikmat kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan/ perwakilan,
serta dengan mewoejoedkan soeatoe keadilan sosial bagi seloeroeh
rakjat Indonesia...” (Berita Repoeblik Indonesia Tahoen II No. 7, 15
Febroeari 1946)
Untuk menghindari rumusan dan sistematika yang berlainan ini,
Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden RI No. 12 tahun 1968 (tanggal
13 April 1968) yang mengatakan bahwa rumusan dan tata urutan Pancasila
yang resmi adalah seperti yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945.
Demikianlah, versi yang dipakai secara resmi dan berlaku sampai sekarang
adalah versi yang tercantum dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945:
“Atas nama berkat Allah yang Mahakuasa, dan dengan didorong
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;

59
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
UUD 1945 adalah “Konstitusi Proklamasi.” Jika Mukadimah Konstitusi
Proklamasi mencantumkan dasar negara, maka rumusan inilah yang dipakai
secara resmi sebagai fondasi Indonesia merdeka. Jika fondasi ini diganti,
maka runtuhlah bangunan Indonesia. Mengenai hal ini, Boelars mengatakan
bahwa meskipun UUD 1945 sudah menetapkan Pancasila sebagai dasar
negara, masih juga ada pihak yang hendak mengganti Pancasila dengan dasar
lain.

4. SOEKARNOLAH PENGGAGAS AWALI PANCASILA


Bagian ini akan menguraikan hasil penelusuran atas teks historis dari
pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang dihimpun dalam suatu risalah oleh
Sekretariat Negara. Penelitian teks ini akan menguraikan dimensi kesejarahan
dan keotentikan teks pidato Soekarno
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari transkrip
asli risalah sidang BPUPKI yang dihimpun oleh Arsip Nasional Republik
Indonesia, yang ternyata berasal dari dua sumber, yaitu dari Koleksi
Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin. Koleksi Pringgodigdo pada
awalnya berada di Yogyakarta. Setelah kota itu diduduki oleh Belanda pada
19 Desember 1958, koleksi ini dibawa ke negeri Belanda, dan diarsipkan pada
“Algemene Secretarie Nederlandsch Indie No. 5645-5647.” Setelah Indonesia
merdeka arsip ini kemudian diserahkan kembali kepada pemerintah
Indonesia.
Koleksi Muhamad Yamin ditemukan oleh petugas Arsip Nasional di
perpustakaan Puri Mangkunegaran. Hipotesa untuk menjelaskan mengapa
arsip ini ditemukan di sana adalah: karena adanya hubungan kekerabatan
di antara mereka. Putra Muhammad Yamin ternyata adalah menantu
Mangkunegara VIII. Atas hubungan inilah bisa jadi arsip penting ini

60
tersimpan di perpustakaan keraton. Koleksi Yamin sebenarnya adalah
laporan stenografis sidang BPUPKI yang dipinjam oleh Muhammad Yamin
dari Mr. A.G. Pringgodigdo.
Sampai tahun 1993, arsip Pringgodigdo dan Koleksi M Yamin yang
disimpan di Arsip Nasional belum dibuka untuk umum. Dari Arsip
Pringgodigdo inilah diketahui bahwa sebenarnya Muhammad Yamin
bukanlah penggali Pancasila seperti yang dikatakan oleh Prof. Nugroho
Notosusanto.
Risalah lengkap sidang BPUPKI (dan di dalamnya termuat pidato
Soekarno tanggal 1 Juni 1945) seharusnya memakai dua sumber di atas.
Kesimpulan untuk mengatakan bahwa penggali Pancasila bukanlah Soekarno
akan muncul jika kedua sumber tersebut tidak diakui (seperti yang dilakukan
oleh Prof. Nugroho Notosusanto yang hanya memakai Koleksi Yamin,
padahal sebenarnya sumber dari koleksi Yamin adalah arsip Pringgodigdo).
Pada satu kesempatan Sidang Panitia Lima (tanggal 10 Januari 1975),
Muhammad Hatta yang menjadi ketuanya menyatakan bahwa M. Yamin
telah memalsukan tanggal pidatonya. Hal ini dikemukakannya dalam satu
dialog dengan Prof. Sunario:
“Prof. Mr. Sunario: ‘Ada beberapa kurang pengertian di dalam
masyarakat tentang lahirnya Pancasila. Ditanyakan tentang hari
lahirnya Pancasila apakah benar 1 Juni 1945. Pertanyaan ini adalah
dalam hubungan, karena dalam buku Prof. Yamin: Naskah Persiapan
Penyusunan UUD 1945, Yamin mengucapkan pidato tanggal 29 Mei
1945 yang isinya mirip dengan Pancasila ... ’
Bung Hatta: ‘Tidak benar. Bung Yamin agak licik. Sebenarnya
pidato itu adalah yang diucapkan dalam pidato Panitia kecil. Bung
Karno-lah satu-satunya yang tegas-tegas mengucapkan philosofische
Grondslag untuk negara yang akan dibentuk, yaitu lima sila yang
disebut Pancasila, hanya urutan sila Ketuhanan ada di bawah...”
(Muhammad Hatta dkk., 1977:74-75)

61
Pernyataan Bung Hatta tersebut diperluas dalam memoarnya yang terbit
pada 1979. Dalam buku itu dia menguraikan bahwa sebelum selesai sidang
hari itu (1 Juni 1945), Radjiman sebagai ketua sidang mengangkat suatu
panitia kecil yang di dalamnya duduk semua aliran (Islam, Kristen, dan para
ahli konstitusi) untuk merumuskan kembali pokok-pokok pidato Soekarno
yang kemudian diberi nama Pancasila. Pancasila yang sudah dirumuskan
kembali itu menurut keputusan BPUPKI akan dimuat dalam pembukaan
UUD Republik Indonesia. Dalam Panitia Sembilan itu Soekarno minta M.
Yamin membuat suatu preambule yang di dalamnya termuat teks Pancasila.
Akan tetapi oleh M. Yamin, preambule itu dianggap terlalu panjang sehingga
ditolak oleh Panitia Sembilan. Kemudian M. Yamin dan Panitia Sembilan
bersama membuat teks yang lebih pendek. M. Yamin kemudian mengambil
teks yang panjang (yang sudah ditolak itu) sebagai pengganti pidato yang
diucapkan dalam sidang BPUPKI, yang kemudian dimasukkan lagi ke dalam
buku pertama yang berisi tiga jilid dan diterbitkan dengan judul “Undang-
Undang Dasar 1945.”
Otentisitas pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 sebenarnya tidak
mengandung keraguan apapun. Dalam “Catatan Pembahasan atas
Makalah Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan,” A.B. Kusuma menginventarisasi beberapa bukti dan saksi
kuat yang menyatakan keabsahan dan keaslian pidato Soekarno. Dalam
catatannya, saksi-saksi yang memberi dukungan atas otentisitas pidato
Soekarno ini adalah:
a. Ki Hajar Dewantara (dalam buku kecil “Pancasila”, terbitan tahun. 1950)
b. Muh. Yamin (Naskah Yamin Jilid II dan III)
c. Dr. Radjiman Wedyodiningrat (mantan ketua BPUPKI dalam Kata
Pengantar untuk penerbitan pertama pidato Bung Karno yang oleh
Kementrian Penerangan diberi judul “Lahirnya Pancasila”, tahun 1947)
d. Bung Hatta (dalam uraian “Pancasila” bersama Panitia Lima, yaitu Prof.
Soebarjo, SH, AA. Maramis, SH, Prof. Soenarjo, SH, Prof. AG. Pringgodigdo,
SH, terbitan tahun 1977, dan memoarnya yang diterbitkan tahun 1979).
e. Wasiat Bung Hatta buat Guntur, tertanggal 16 Juni 1978
f. R.P. Suroso (mantan wakil sekretaris BPUPKI dalam “19 Tahun Lahirnya

62
Pancasila”, tahun 1946)
g. Rooseno, dalam surat kabar “Simponi”, 4 Oktober 1981.
Bagaimana dengan logika pidato yang disampaikan oleh Soekarno?
Pada bagian awal, Soekarno lebih berupaya untuk meyakinkan para peserta
sidang untuk membulatkan tekad untuk merdeka. Dasar negara itu penting
untuk dibicarakan, akan tetapi apa gunanya dasar negara tanpa membangun
keyakinan akan terwujudnya sebuah kemerdekaan. Beberapa negara
merdeka harus disitir Soekarno untuk menunjukkan kepada peserta sidang
bahwa mereka tidak boleh kalah dengan perhitungan yang terlalu “ruwet”.
Selanjutnya Soekarno mengatakan bahwa kemerdekaan bagaikan jembatan
emas untuk mewujudkan masyarakat yang diimpikan bersama.
Saat ini masyarakat Indonesia boleh miskin, tetapi dengan jembatan
kemerdekaan inilah kemakmuran harus diusahakan bersama. Tampak
bahwa bagian awal pidato ini lebih berupa suatu logika argumentatif akan
kesempatan merdeka yang harus diambil sekarang! Tidak perlu menunggu
makmur, sejahtera, semua warganya terdidik, atau apapun itu untuk mencapai
kemerdekaan. Sebaliknya, justru dalam kemerdekaan itulah kemakmuran
bersama akan dan harus diusahakan.
Selanjutnya Soekarno mencoba untuk lebih dalam mempromosikan
semangat kemerdekaan. Ia mengatakan bahwa Indonesia harus merdeka
sekarang. Akan tetapi sekarang tidak berarti asal-asalan. Suatu negara
yang merdeka haruslah memiliki dasar negara, dan dasar negara Indonesia
haruslah sudah dipikirkan selama bertahun-tahun dan mendarah daging,
bukannya sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Tampak bahwa pada bagian
pertengahan ini Soekarno mau mengetengahkan logika kedalaman dari
kemerdekaan.
Setelah cukup meyakinkan akan penting dan makna kemerdekaan,
barulah Soekarno masuk pada gagasan dasar negara yang diusungnya, yakni
kebangsaan, internasionalisme, musyawarah, kesejahteraan, dan ketuhanan.
Soekarno akhirnya memeras semua prinsip tersebut ke dalam prinsip gotong-
royong.

63
Kesimpulan yang bisa diambil dari sini adalah: pertama: teks yang
dijadikan rujukan dalam karya tulis ini benar-benar merupakan naskah
pidato Soekarno yang dikemukakan pada 1 Juni 1945. Teks pidato Soekarno
yang dihimpun dalam risalah tersebut adalah bukti sejarah yang otentik,
dan dengan demikian lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945 adalah suatu
fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Kedua: logika yang dipakai
Soekarno begitu runtut. Pada awal pidato dia berusaha meyakinkan bahwa
kemerdekaan harus diraih sekarang. Baru setelah itu ia menunjukkan bahwa
segi kesekarangan dari kemerdekaan itu tidak sama dengan ketergesa-gesaan,
melainkan harus berakar dan dipikirkan secara matang. Dan pada bagian
akhir ia menguraikan dasar negara yang sudah digeluti dan direnungkannya
sejak lama.

5. KONTEKS SIDANG WAKTU ITU:


PERDEBATAN ANTARA KAUM ISLAM DAN NASIONALIS
Pembahasan berikut ini berisi hal-hal yang menjadi konteks pidato
Soekarno. Bagian ini antara lain mencakup: konteks sejarah waktu itu
(pendudukan Jepang) dan suasana sidang BPUPKI.
Pada September 1944 Perdana Menteri Kyoso mengumumkan secara
resmi bahwa Jepang berniat untuk memberikan kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia. Oleh karena itulah Pemerintah Jepang segera mengadakan
langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia. Menindaklanjuti hal itu, Jepang kemudian membentuk Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) pada 29 April 1945, dan dilantik pada 28 Mei 1945. BPUPKI ini
diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Badan ini kemudian
mengadakan dua kali sidang, yaitu pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1
Juni 1945, serta pada 10 sampai 17 Juli 1945. Dalam sidang yang pertama
inilah mulai dikemukakan usul dan pendapat mengenai dasar negara yang
akan dipakai sebagai fondasi dari Indonesia merdeka.
Seluruh anggota BPUPKI dibagi habis dalam beberapa “bunkakai”
(kelompok kerja) dan satu Panitia Hukum Dasar. Dalam melaksanakan

64
tugasnya, BPUPKI mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang
tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan
Jepang atas sekutu. Sidang-sidang resmi diadakan untuk membahas dasar
negara, wilayah negara, kewarganegaraan dan Undang-Undang Dasar, dan
kesemuanya dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Pada 29 Mei 1945
M Yamin mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara, menyusul
Soepomo pada 31 Mei 1945. Pada hari yang sama Muhammad Yamin
melanjutkan lagi uraiannya mengenai dasar negara dan daerah kebangsaan
Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 1945 tiba saatnya bagi Soekarno untuk
menyampaikan gagasannya. Soekarno berpidato dan sekaligus menutup
sidang yang pertama. Tempat yang dipakai untuk bersidang saat itu adalah
gedung Tyuuoo Sangi-In, yang sekarang menjadi Kantor Departemen Luar
Negeri. Soekarno dengan demikian berpidato dalam konteks pembicaraan
mengenai dasar negara. Konsep yang ditawarkan Soekarno adalah Pancasila
yang kemudian diperasnya dalam Ekasila, yakni gotong-royong.
“Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka
sekarang saya mendapat kehormatan dari paduka Tuan Ketua untuk
mengemukakan pendapat saya.....” (Sekretariat Negara Republik
Indonesia, hlm. 63)
Pidato Soekarno setidaknya menjadi pidato yang paling memikat dan
menggugah semangat para peserta sidang. Hal ini nampak dari banyaknya
tepuk tangan riuh dan tanggapan dari para peserta sidang saat Soekarno
mengemukakan gagasannya. Menurut catatan M. Yamin, suasana pidato 1
Juni 1945 adalah sebagai berikut:
“Sebelum bom atom jatuh di Hiroshima. Maka 68 orang Indonesia
bersidanglah di Pejambon, di ruangan kementrian Luar Negeri yang sekarang
ini. Rapat itu adalah pertemuan daripada aliran ilegal dan aliran terbuka.
Dan kedua-duanya, aliran terbuka dan tertutup itu bermuara di dalam
tangan Bung Karno. Maka diucapkanlah pidato yang pertama daripada
ajaran falsafah Pancasila, yang nanti segera sesudah Proklamasi ditetapkan

65
dengan resmi menjadi dasar negara Republik Indonesia, seperti dinyatakan
dalam Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar yang pertama.” (Muhammad
Yamin, 1959/1960:72)
Dari sini dapat dikatakan, Soekarno mengemukakan buah pemikirannya
(yang merupakan hasil penggaliannya selama bertahun-tahun) dalam suatu
sidang yang hendak merumuskan fondasi yang kokoh bagi Indonesia merdeka.
Menurut Soekarno, para tokoh yang telah terlebih dahulu mengemukakan
gagasannya dalam sidang BPUPKI ini telah menyimpang dari permintaan
Ketua, yakni mengenai dasar negara:
“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam
pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya
Indonesia merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh
Paduka Tuan Ketua adalah dalam Bahasa Belanda ‘philosofische
grondslag’ daripada Indonesia merdeka.” Sekretariat Negara Republik
Indonesia, hal. 63)
“Philosofische Grondslag” adalah fundamen filsafat (dasar filsafati)
dari suatu negara. Soekarno dengan demikian berada dalam suatu konteks
“perdebatan” atau “pertarungan” gagasan dengan para tokoh lainnya. Bukan
suatu kompetisi menang-kalah, tetapi lebih merupakan suatu dialektika
positif yang berupa pertempuran gagasan demi mencari dasar negara yang
terbaik buat Indonesia merdeka. Saat itu ada banyak juga anggota yang
mengkhawatirkan hal-hal yang kecil, dan lupa pada hal yang mendasar, yakni
keinginan untuk merdeka, dan hal itu amat dikhawatirkan oleh Soekarno:
“...Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka
saya, di dalam hati banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota-
yang saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini-
’zwaarwiching’ akan hal-perkara yang kecil-kecil.... ‘jelimet’. Jikalau
sudah membicarakan hal-hal yang kecil-kecil sampai jelimet,
barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan. Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 63-64)

66
Untuk itulah di awal pidatonya Soekarno merasa perlu untuk
menekankan bahwa yang terpenting adalah menegaskan kemauan untuk
merdeka.
Saat itu juga terjadi “persaingan” antara golongan Islam dan nasionalis.
Hal ini setidaknya nampak dari seringnya Soekarno menyebut kedua
golongan ini dalam pidatonya. Beberapa kutipan berikut akan memperjelas
konteks perdebatan Islam-Nasionalis ini:
“Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini,
maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya
telah mufakat..... kita hendak mendirikan suatu negara semua buat
semua...” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 71)
“Saya minta, saudara Bagoes Hadikoesomo dan saudara-saudara
Islam lain:maafkan saya memakai perkataan “kebangsaan” ini...”
Saya pun orang Islam....” (Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 71)
“Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak
mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan
kebangsaaan. Ke sinilah kita harus menuju semuanya. (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 74)
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang baik untuk memelihara
agama....” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 75)
“Oleh karena itu saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik
yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip
yang ketika ini, yakni permusyawaratan perwakilan.. (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 78)
“Marilah kita amalkan ... baik Islam maupun Kristen dengan cara
yang berkeadaban ... maka prinsip yang kelima adalah Ketuhanan
yang berkebudayaan ....” (Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 80-81)

67
Persoalan mengenai agama dan negara yang akan dibentuk sebenarnya
juga ditangkap oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang) yang
saat itu memberikan nasihatnya sebelum Sidang BPUPKI dimulai:
“Berhubung dengan syarat-syarat dasar untuk negara merdeka yang
baru, maka Tuan-tuan sekalian harus memajukan diri dalam usaha
penyelidikan dan pemeriksaan tentang soal-soal tadi dan demikian
juga dengan soal-soal agama.” (Sekretariat Negara Republik
Indonesia, hlm. 386)
Dari berbagai kutipan di atas tampak bahwa sebenarnya dalam
konteks saat itu ada ketegangan dari kaum Islam dan Nasionalis. Kaum
Islam berpendapat bahwa seharusnyalah agama Islam menjadi dasar negara
mengingat besarnya jumlah penduduk yang beragama Islam di Indonesia.
Sebaliknya, kaum nasionalis menghendaki agar negara tidak mendasarkan
diri pada agama tertentu. Soekarno mengerti betul konteks ini, dan Pancasila
yang ditawarkannya bukanlah sekadar kompromi:
“Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.” (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 71)
Konteks yang mengemuka (yang ditangkap Soekarno) dalam sidang itu,
dan nampak dalam logika pidato Soekarno, setidaknya bisa dirinci ke dalam
poin-poin berikut:
a. Masalah waktu kemerdekaan: sekarang atau nanti?
b. Masalah philosofische Grondslag: kaum Islam menawarkan syariat Islam,
golongan nasionalis mengusulkan nasionalisme tanpa didasarkan atas
agama tertentu.
c. Masalah bentuk pemerintahan negara: demokrasi, republik, dan menurut
catatan M. Yamin ada yang mengusulkan berbentuk kerajaan.
Kesimpulan yang bisa diambil dari analisa konteks ini adalah: Soekarno
berpidato di depan Sidang BPUPKI yang bertugas untuk menyelidiki apa-
apa yang perlu bagi kemerdekaan Indonesia. Sidang ini sendiri pun diwarnai
oleh “perang” pemikiran demi mencari dasar yang kokoh bagi berdirinya

68
negara Indonesia. Soekarno merasa bahwa banyak di antara para tokoh saat
itu dihinggapi oleh perasaan bahwa untuk merdeka haruslah mempersiapkan
segala sesuatu sampai pada hal-hal yang kecil, padahal menurutnya keinginan
untuk merdeka itu pun sudah cukup.
Konteks perdebatan antara kaum Islam dan Nasionalis juga menjadi
bingkai dari pidato Soekarno. Perdebatan ini kemudian mengemuka kembali
ketika Piagam Jakarta disahkan dan kemudian diubah lagi.

6. MENIKMATI RETORIKA DAN SIMBOLISME PIDATO SOEKARNO


TENTANG PANCASILA
Pidato Soekarno penuh dengan retorika dan makna kiasan, sehingga
analisis sintaksis dan semantik saja tentu tidak mencukupi. Di sinilah analisis
simbolis memainkan peran untuk menggali retorika yang digunakan oleh
Soekarno. Presiden pertama Indonesia itu pun dikenal sebagai orator ulung
yang dapat mempengaruhi orang lain.
Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang
mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa
dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini
tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah
yang memuat sepak terjangnya. Simbolisasi Soekarno pada bagian awal
pidato (saat meyakinkan perlunya kebulatan tekad bersama untuk merdeka)
tampak saat ia memaparkan beberapa perumpamaan berikut:
“... Tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat
Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu
minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan
gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Tokh Saudi
Arabia merdeka.”(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hal. 64)
“....bahwa kemerdekaan, politike onafhankelijkheid, political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya
katakan bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan
kita punya masyarakat. (Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 65)

69
“...Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang
ini diberikan kesempatan oleh Dai Nipon untuk merdeka, maka
dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama
Condro Asmoro, atau Soombubutyoo diganti dengan orang yang
bernama Abdul Halim. Jikalau Butyoo-butyoo diganti dengan orang-
orang Indonesia pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat
political independence... Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon
sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara,
apakah saudara-saudara akan menolak serta berkata: “mangke
rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu,” baru kita berani
menerima urusan Negara Indonesia merdeka? (Dijawab seruan:
Tidak! Tidak!) “(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 66)
“..... Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan.
Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin.
Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji
Rp. 500,00. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah
ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat
tidur yang mentul-mentul, sudah mempunyai meja-kursi yang
selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu
kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai
kinder-uitzet, barulah saya berani kawin..... Ada orang lain yang
berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja
satu, kursi empat.... Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu
saudara-saudara Marhaen. Kalau dia sudah mempunyai gubuk saja
dengan satu tikar dan periuk, dia kawin! .... Belum tentu mana yang
lebih gelukkig, belum tentu mana yang lebih berbahagia. .... Tekad
hatinya yang perlu...”(hadirin tertawa) (Sekretariat Negara Republik
Indonesia, hlm. 67)
“...Jangan kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih
dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau
merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak? (Jawab hadirin: Mau!)
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 69)

70
Beberapa kutipan di atas menunjukkan betapa retorika Soekarno
sungguh hidup. Konteks persidangan yang dilingkupi oleh kekhawatiran
dan perdebatan di segala lini membuat Soekarno harus menggugah lagi
kesadaran untuk merdeka sekarang, dan bukannya repot dengan berbagai hal
yang justru akan melemahkan kemauan bersama untuk merdeka. Simbolisasi
situasi masyarakat Badui dan negara lain perlu dikemukakan Soekarno demi
mengatakan bahwa hasrat untuk merdeka saat itu sudah lebih dari cukup.
Kemerdekaan disimbolkan Soekarno sebagai jembatan. Kemerdekaan
adalah jembatan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk
“menyeberang” ke dalam situasi yang lebih baik. Rakyat bodoh akan
dicerdaskan, kesehatan akan ditingkatkan, taraf hidup akan dimajukan,
dan kesejahteraan akan diwujudkan setelah bangsa ini melewati jembatan
ini. Untuk kemerdekaan yang semacam inilah tidak perlu bangsa Indonesia
berkata: “mangke rumiyin (tunggu dulu).”
Kemerdekaan juga disimbolkan sebagai perkawinan. Lewat simbolisasi
perkawinan orang kaya dan miskin di atas Soekarno mau mengatakan bahwa
kemerdekaan adalah soal niat atau tekad hati. Jika orang sudah berniat untuk
menikah, walaupun tidak punya apa-apa, maka jadilah. Apakah orang miskin
ini bahagia menikah secara demikian? Orang kaya yang menikah (yang sudah
memiliki segala-galanya) belum tentu bahagia juga! Itulah kemerdekaan
yang hanya memerlukan niat dan tekad. Di atas kemerdekaan itulah nanti
akan dibangun kebahagiaan bersama.
Simbolisasi pada bagian awal ini akhirnya ditutup dengan retorika
Soekarno berupa pertanyaan: “Mau merdeka apa tidak?” Dan setelah
mendengarkan aneka simbolisme Soekarno yang meyakinkan, semua
sepakat menjawab: “Mau!” Pada bagian selanjutnya Soekarno memaparkan
simbolisasi tahun dalam menggagas perlunya dasar bagi kemerdekaan
Indonesia.
“Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang
dikatakan oleh beliau sendiri “generale repetitie” pada revolusi tahun
1917. Sudah lama sebelum 1917 Weltanschauung itu disediakan.”
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 70)

71
“Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya
Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di
dalam tahun 1921, dan 1922 beliau telah bekerja kemudian
mengikhtiarkannya pula....” (Sekretariat Negara Republik Indonesia,
hlm. 70)
“Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok
merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah ada dalam tahun 1885,
kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan....” (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 70)
“Maka, yang selalu mendengung dalam saya punya jiwa, bukan
saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, dua puluh lima tahun
lebih... :(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 71)
Apa yang mau dikatakan Soekarno dengan simbolisasi tahun ini?
Soekarno pertama-tama mengutip beberapa contoh negara yang mengasalkan
dasar negaranya kepada penggalian yang dalam dan lama. Lenin, Hitler, dan
Sun Yat Sen disebutkannya sebagai pemikir dan penggali dasar negaranya
masing-masing. Siapakah sang penggali dasar negara Indonesia? Secara
implisit dia mau mengatakan bahwa dialah sang penggali itu, sejajar dengan
para tokoh besar di atas.
Penggalian ini juga bukan sesuatu yang singkat. Dasar negara haruslah
ditemukan dalam perenungan yang lama dan dalam dari akar negara masing-
masing. Sama dengan para tokoh di atas, Soekarno juga telah memikirkan
sejak tahun 1918. Ia mengatakan “yang selalu mendengung dalam saya
punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang..” Frase ini
mau mengatakan bahwa meskipun ide di awal pidato ini adalah bagaimana
membangun keyakinan dan tekad untuk merdeka sekarang, tetapi dasar
negara haruslah merupakan buah perenungan dan kristalisasi dari nilai-nilai
yang sudah lama dihidupi oleh bangsa Indonesia. Dasar negara bagi Soekarno
adalah sesuatu yang fundamental dan tidak boleh asal-asalan ditemukan
dalam sidang, atau bahkan sekadar mengekor dasar negara lain.

72
Saat menguraikan dasar yang pertama:, yakni kebangsaan, Soekarno
mengetengahkan simbolisme Sriwijaya dan Majapahit.
“Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman
Sriwijaya dan Majapahit. .... Nationale staat hanya Indonesia
seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit
dan yang kini pula harus kita dirikan bersama.” (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 74-75)
Simbolisme Sriwijaya dan Majapahit adalah simbolisme keutuhan
Indonesia. Indonesia bukan hanya Jawa, Sumatra, Borneo, Islam, Kristen,
Pacitan, dst., melainkan semuanya itu adalah Indonesia. Majapahit dan
Sriwijaya adalah simbol kebangsaan Indonesia yang dijadikan Soekarno
sebagai salah satu prinsip dari dasar negara. Di zaman kedua kerajaan inilah
seluruh bangsa Indonesia disatukan. Bukan hanya berdasarkan kesatuan
wilayah, melainkan kesatuan yang mengatasi suku, budaya, dan tempat.
Pada saat menguraikan prinsip yang kedua, perikemanusiaan, simbol
Jerman dipakai di sini:
“Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri,
bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang
mengatakan “Deutschland über Alles” tidak ada setinggi Jermania
yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata
biru...” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 76)
Simbolisasi bangsa Jerman diutarakan Soekarno untuk menunjukkan
bahwa prinsip kebangsaan yang dianut bangsa Indonesia (pada prinsip
pertama) bukanlah berkiblat pada pendapat Hitler. Memang bangsa
Indonesia harus bangga berkebangsaan Indonesia, tetapi hal itu tidak lantas
menjadikan manusia Indonesia merasa di atas bangsa yang lain. Berangkat
dari simbol inilah Soekarno memperkenalkan prinsip yang kedua, yakni
internasionalisme atau perikemanusiaan. Soekarno berpendapat bahwa rasa
kebangsaan hanya dapat tumbuh jika ada dalam rasa persaudaraan dengan
bangsa-bangsa lain.

73
Selanjutnya Soekarno mengutarakan simbolisme perjuangan suara
terbanyak dalam menyampaikan prinsip yang ketiga, yakni mufakat.
“.... Jika memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-
hebatnya agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi
Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-
utusan Islam.... Ibaratnya Badan Perwakilan 100 orang anggotanya,
marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya agar supaya 60,
70, 80, 90, utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang
Islam.. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari Badan
Perwakilan Rakyat ini hukum Islam pula.... Kalau misalnya orang
Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan negara
Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian agar
supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk Badan
Perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! Tidak
ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada
perjuangan di dalamnya .... Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi
pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari
kita selalu bergosok, supaya keluar daripadanya beras, dan beras
itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah
saudara-saudara, prinsip nomor tiga, yaitu permusyawaratan.”
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm. 77-78)
Pertanyaan yang mengemuka dari sini adalah: benarkah Soekarno
menghendaki kemenangan mayoritas atas mayoritas? Apakah dengan
simbolisme tersebut Soekarno menghendaki supaya masing-masing golongan
bertempur satu sama lain demi memperjuangkan ideologinya? Bukankah hal
itu akan menyangkal paham gotong-royong itu sendiri? Deretan pertanyaan
di atas memang tidak mudah untuk dijawab (bahkan bisa saja digunakan
oleh kaum fundamentalis dewasa ini untuk memasukkan sebanyak mungkin
wakilnya dan kemudian menetapkan aneka aturan yang mengekang kaum
yang kalah).
Harus dipahami bahwa simbolisme tersebut diletakkan Soekarno untuk
mengutarakan idenya yang ketiga yakni permusyawaratan (mufakat). Untuk

74
mencapai mufakat tentu diandaikan ada berbagai pertentangan pendapat
di dalamnya. Mufakat tentu tidak dicapai dengan sendirinya, dan bahkan
dicapai melalui perdebatan yang panjang (dalam bahasa Soekarno dikatakan
sebagai “perjuangan” atau “bergosok”). Di sinilah diperlukan musyawarah
untuk mencapai mufakat. Justru di sinilah letak prinsip demokrasi, yakni
ada perjuangan paham dan penghargaan atas keberbedaan. Dari sini tampak
bahwa sebenarnya kata-kata Soekarno: “... Jika memang kita rakyat Islam,
marilah kita bekerja sehebat-hebatnya agar supaya sebagian yang terbesar
daripada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan diduduki oleh
utusan-utusan Islam, dst.,” adalah retorika Soekarno untuk memperkenalkan
prinsip permusyawaratan-perwakilan.
Selanjutnya, dalam mengetengahkan prinsip yang keempat
(kesejahteraan sosial), Soekarno menggunakan simbolisme Ratu Adil:
“Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan
faham Ratu Adil ialah sociale rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera.
Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah
pimpinan Ratu Adil.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, hlm.
79)
Dalam alam pikiran orang Jawa dan Indonesia, Ratu Adil adalah simbol
tentang adanya kemakmuran yang dibawa oleh seorang terpilih. Ratu Adil
seakan menjadi janji mesianis yang khas dimiliki oleh manusia Indonesia.
Di bawah kepemimpinan Sang Ratu Adil inilah akan datang kesejahteraan,
kemakmuran, dan kelimpahan bersama di segala bidang. Kesejahteraan
bersama inilah yang hendak digagas Soekarno dengan mengetengahkan
simbolisme Ratu Adil. Prinsip kesejahteraan sosial yang diidamkan
bersama haruslah diciptakan oleh prinsip demokrasi yang telah diutarakan
sebelumnya. Dalam alam kemerdekaan dicita-citakan bersama inilah Ratu
Adil akan datang.
Pada bagian selanjutnya, Soekarno menggunakan simbolisme Nabi
Muhammad dan Nabi Isa dalam mengajukan prinsip Ketuhanan:

75
“Nabi Muhammad SAW telah memberi bakti yang cukup tentang
verdraagzaamheid tentang menghormati agama-agama lain. Nabi
Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu.” (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 80-81)
Arti dari “verdraagzaamheid” adalah tenggang rasa atau toleransi. Kedua
tokoh tersebut bagi Soekarno merupakan simbol toleransi bagi agama lain
meski keduanya adalah “pendiri” kedua agama besar ini. Soekarno hendak
mengatakan bahwa jika tokoh dari kedua agama ini saja mampu untuk
bertoleransi, maka para penganutnya di Indonesia pun seharusnya memiliki
sikap yang sama terhadap agama lain. Soekarno menyadari betul potensi
konflik yang bisa muncul dari perbedaan agama, maka Soekarno merasa perlu
untuk memunculkan simbol Muhammad dan Isa ketika mengetengahkan
prinsip Ketuhanan.
Pada alinea 92 termuat simbolisasi angka. Dari lima sila diperas menjadi
tiga, dan kemudian diperas lagi menjadi satu. Apakah ini suatu simbolisasi?
Dalam alinea sebelumnya Soekarno berkata:
“Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Tri-Sila ini,
dan minta satu dasar saja, baiklah saya jadikan satu....” (Sekretariat
Negara Republik Indonesia, hlm. 82)
Sebelumnya Soekarno sendiri sudah mengatakan bahwa permainan
angka ini adalah suatu simbolisasi:
“Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam
lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca
indera.... Pandawa pun lima bilangannya...” (Sekretariat Negara
Republik Indonesia, hlm. 81)
Tampak bahwa sebenarnya angka satu, tiga, dan lima ini pun adalah
simbolisasi Soekarno dalam menggagas dasar negara. Awalnya adalah lima,
dan kemudian diperas menjadi tiga, sampai akhirnya diperas menjadi satu
demi menyesuaikan dengan suka atau tidak suka atas simbolisasi angka

76
yang dianut oleh adat timur. Terminologi “gotong-royong” muncul sebagai
perasan dari kesemuanya.
Karena gotong-royong adalah perasannya, maka tidak dimungkinkan
lagi pengedepanan kepentingan pribadi dalam negara yang akan dibangun
nanti. Untuk itulah Soekarno merasa perlu untuk memunculkan simbolisme
Islam, Kristen, Van Eck, Hadikoesoemo, dan Nitisdemito (dalam alinea ke-
92). Pengedepanan pribadi dan golongan adalah suatu negasi dari semangat
gotong-royong yang diusung Soekarno.
Berikutnya, alinea ke-93 adalah berisi retorika Soekarno atas Ekasila
yang digagasnya: “Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!” Retorika
ini hendak mengajak para pendengarnya untuk sepakat pada Ekasila yang
digagasnya, dan ternyata retorika ini pun disambut tepuk tangan riuh oleh
para hadirin. Betapa hebatnya negara gotong-royong, dan sama hebatnya
dengan dasar negara-negara lain yang sudah merdeka.
Alinea ke-94 berisi sederetan simbol yang menekankan pada apa itu
semangat gotong-royong. Gotong-royong lebih dinamis dari kekeluargaan,
melainkan karyo dan gawe. Kata karyo dan gawe adalah simbolisasi
masyarakat Jawa. Mengapa Jawa? Karena Soekarno hendak konsisten
dengan gagasannya bahwa dasar negara haruslah digali dari bumi Indonesia
sendiri. Padanan gotong-royong ditemukan dalam falsafah Jawa tersebut.
Terminologi “holopis-kuntul-baris” dengan demikian adalah kelanjutan dari
simbol ke-Jawa-an ini untuk menekankan ke-Indonesia-an dari apa yang
telah digalinya.
Kesimpulan yang bisa diambil dari analisa ini adalah: Soekarno memakai
beberapa simbolisasi untuk menyampaikan gagasannya mengenai Pancasila
dan perasannya: “gotong-royong.” Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa
retorika yang berisi simbol perlu didengungkan dalam suatu pidato untuk
menarik minat dan persetujuan dari para pendengar.
Runutan yang diuraikan Soekarno pun amat tegas. Nasionalisme
(kebangsaan) sebagai prinsip pertama diimbangi oleh prinsip yang kedua
(kemanusiaan) agar Indonesia tidak terjerumus ke dalam chauvinisme sempit.
Mufakat (prinsip yang ketiga) bukan demi kemenangan paham itu sendiri,

77
melainkan demi mewujudkan keadilan sosial (prinsip yang keempat), dan
terakhir Ketuhanan dipakai sebagai prinsip yang terakhir sebagai pemersatu
atas semua prinsip tersebut.
Dalam alur pikir ini tidak mengherankan jika kemudian Soekarno
memeras prinsip yang pertama dan kedua menjadi socio-nationalisme,
prinsip ketiga dan keempat menjadi socio-democratie, dan Ketuhanan. Ini
kemudian yang dinamakannya sebagai Tri-Sila. Tri Sila ini pun kemudian
diperasnya ke dalam prinsip gotong-royong (Eka Sila). Mengapa? Karena,
pertama: socio-nationalisme menampakkan dirinya dalam kebersamaan
bangsa-bangsa tanpa menghilangkan identitas bangsa (ini adalah satu ciri dari
semangat gotong-royong). Kedua, socio-democratie menampakkan dirinya
dalam mufakat bersama demi mencapai keadilan/kesejahteraan bersama (ini
juga ciri gotong-royong). Ketiga, Ketuhanan yang digagas Soekarno adalah
Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Apa artinya? Ketuhanan yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia dilandasi dengan semangat toleransi yang bisa menerima
keberadaan para pemeluk agama lain. Budaya toleransi inilah ciri khas
semangat gotong-royong dari bangsa Indonesia sejak dulu kala.

7. RESUME
Dari analisis ini tampak bahwa teks yang dijadikan rujukan selama ini
benar-benar merupakan naskah pidato Soekarno yang dikemukakan pada
1 Juni 1945. Logika yang dipakai Soekarno begitu runtut. Pada awal pidato
dia berusaha meyakinkan bahwa kemerdekaan harus diraih sekarang. Baru
setelah itu ia menunjukkan bahwa segi kesekarangan dari kemerdekaan
itu tidak sama dengan ketergesa-gesaan, melainkan harus berakar dan
dipikirkan secara matang. Pada bagian akhir ia menguraikan dasar negara
yang sudah digeluti dan direnungkannya sejak lama. Dari sini juga tampak
bahwa Soekarno mengasalkan “natura” negara gotong-royong pada “natura”
manusia Indonesia yang lekat dengan semangat kegotong-royongan. Gaya
berpikir ala filosof yang hendak memberi pendasaran pada “natura” amat
tampak, meski tidak secara eksplisit ditampakkan dalam orasinya. Dari
sini juga dapat dikedepankan bahwa sebenarnya gaya berpikir filosofis

78
amat tampak dalam pidato Soekarno. Hal ini pula yang seharusnya menjadi
kritik bagi para politikus dewasa ini yang kerap hanya serampangan dalam
berargumentasi atau menyerang lawan politik tanpa memiliki pendasaran
filosofis. Pidato Soekarno pada hari lahir Pancasila ini jelas amat filosofis
sekaligus membumi.
Dari analisis konteks tampak bahwa Soekarno berpidato di depan
Sidang BPUPKI yang bertugas untuk menyelidiki apa-apa yang perlu bagi
kemerdekaan Indonesia. Sidang ini sendiri pun diwarnai oleh “perang”
pemikiran demi mencari dasar yang kokoh bagi berdirinya negara Indonesia.
Konteks perdebatan antara kaum Islam dan Nasionalis juga menjadi bingkai
dari pidato Soekarno. Konteks perdebatan antara Soekarno dan beberapa
tokoh lain pada sidang waktu itu mengemuka lagi pada zaman reformasi ini.
Dari analisis ini tampak bahwa Soekarno adalah seorang negosiator ulung
dalam mengerti konteks waktu itu sambil mencari kebaikan bersama bagi
bangsa. Semangat untuk menciptakan “societas negosiatif ” (meminjam istilah
Prof. Armada Riyanto dalam KOMPAS) semacam ini menjadi hal yang amat
mendesak untuk memecahkan berbagai masalah berbangsa yang kian hari
kian berat. Tampak bahwa konteks gotong-royong sudah menampakkan diri
secara lugas dalam konteks sidang ini sendiri.
Dari analisis simbolis tampak bahwa: Soekarno memakai beberapa
simbolisasi untuk menyampaikan gagasannya mengenai Pancasila Ekasila.
Angka lima, tiga, dan satu harus diakui merupakan simbolisme Soekarno
untuk mengakomodasi aspirasi yang berkembang saat itu dan mengingat
masyarakat kita amat menyukai simbol bilangan, meskipun sebenarnya
dari analisis simbolis muncul sifat kelogisan juga dari perasan ini. Inilah
kecerdasan Soekarno.
Jadi, Ekasila yang digagas oleh Soekarno di satu sisi merupakan
simbolisasi, tetapi sebenarnya merupakan cetusan filosofis juga. Ia muncul
dari kekhasan masyarakat Indonesia yang mengedepankan kebersamaan. Di
dalam alam kebersamaan inilah keberagaman diakui dan kesatuan sebagai
bangsa dijunjung tinggi.

79
BAB V

GOTONG-ROYONG
SEBAGAI SARI PATI PANCASILA

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai para pendiri


yang buah pikirannya sangat brilian. Para pendiri negara tersebut saling
melontarkan gagasannya demi mencari dasar yang kuat bagi berdirinya
bangsa ini pada saat mempersiapkan kemerdekaan. Salah satu tokoh yang
gagasannya dipakai sebagai fondasi negara yaitu Soekarno. Soekarno pernah
mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara (Notosusanto, 1977:17).
Soekarno bahkan merangkum Pancasila dalam satu nilai: “gotong-royong”
atau yang disebutnya sebagai Ekasila.
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus
mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia,
bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia,
bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!
Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan ‘gotong-royong.’ Negara yang kita dirikan haruslah negara
gotong-royong!” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82.)
Pancasila dan nilai gotong-royong yang diusulkan Soekarno seharusnya
menjadi jiwa dan nilai dasar dari masyarakat Indonesia, karena Pancasila dan

80
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan menentukan orientasi, tujuan,
dan menjadi nafas hidup bersama dan berbangsa (Kartodirjo 1990: 32-33).
Soekarno mengatakan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila berasal dari
bumi Indonesia sendiri. Fakta bahwa masyarakat Indonesia di berbagai
tempat menjunjung tinggi nilai kebersamaan membuat Soekarno merangkum
Pancasila menjadi nilai gotong-royong itu sendiri. Jika merujuk kembali
kepada alur pikir Kartodirjo di atas, seharusnya nilai gotong-royong ini juga
menjadi pijakan, orientasi nilai, dan nafas hidup berbangsa dan bernegara.

1. REALITAS GOTONG-ROYONG DEWASA INI


Pertanyaan yang kemudian relevan untuk diajukan sekarang yaitu:
bagaimana realitas penghayatan nilai gotong-royong dewasa ini? Jika dahulu
di berbagai tempat (terutama di daerah pedesaan) nilai gotong-royong amat
dijunjung tinggi, apakah hal tersebut masih terjadi dewasa ini? Apakah
globalisasi dan individualisme yang menghebat dewasa ini turut mengikis
nilai gotong-royong dan sebagai imbasnya ikut juga merongrong nasionalisme
Indonesia sebagai sebuah bangsa?
Abdurrahman (2007:1) mengatakan bahwa dewasa ini nilai untuk
mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara dalam semangat gotong-
royong serta kebersamaan diletakkan di tempat yang jauh lebih rendah
daripada kepentingan individual dan golongan. Rochmadi (2011:5) dalam
penelitiannya juga menemukan bahwa dewasa ini nilai gotong-royong yang
pernah didengungkan Soekarno mulai memudar di perkotaan, tetapi secara
kasuistik masih ada di wilayah pedesaan:
“Pada saat sekarang ini, perilaku gotong-royong mengalami banyak
perubahan di Indonesia. Di daerah perkotaan perilaku gotong-
royong sudah semakin jarang dilakukan .... Sebaliknya di daerah
pedesaan, pinggiran kota, masih banyak ditemukan perilaku gotong-
royong yang ditampilkan oleh warganya, baik itu untuk kepentingan
umum maupun kepentingan pribadi. Di daerah pedesaan masih
mudah ditemukan orang gotong-royong pada acara “hajatan”

81
pengantin atau sunatan, selain gotong-royong untuk kepentingan
umum masyarakat yang lain, apalagi bila terjadi musibah atau
bencana, sedangkan di daerah perkotaan, tidak lagi bisa ditemukan
orang gotong-royong pada acara sunatan atau pernikahan, semuanya
dikerjakan oleh panitia dan ada biayanya” (Rochmadi, 2011:5).
Keprihatinan akan penghayatan nilai gotong-royong dewasa ini dalam
lingkup bernegara juga diungkapkan oleh Sudjito dalam kutipan berikut:
“Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas. Nilai-nilai
bangsa yang semestinya menjadi pijakan etis kian luntur sementara
arus tantangan begitu kuat menerjang segala aspek budaya, politik,
dan ekonomi .... Karena itu, kita harus kembali ke nilai-nilai luhur
bangsa kita. Gotong-royong adalah salah satu nilai luhur utama
bangsa yang seharusnya dijadikan roh dalam segala aspek bertindak,
namun dilupakan. Gotong-royong merupakan tindakan bersama,
kekeluargaan, adanya trust, dan bahu-membahu untuk kemajuan
bangsa. Nilai itu harus dijalankan agar menjadi landasan pijak
dan tindak dalam membangun bangsa yang lebih baik. Lubang
pembenahan bangsa adalah alpanya menjadikan spirit gotong-
royong sebagai sumber nilai .... ” (Sudjito, 2014:4)
Abdillah (2011:8) dalam penelitiannya menemukan bahwa memudarnya
nilai gotong-royong disebabkan antara lain oleh globalisasi. Nilai kebersamaan
mulai luntur dan berganti dengan penghormatan secara berlebihan kepada
individu:
“Dalam perjalanan bangsa terjadi perubahan dalam sikap budaya
bangsa Indonesia. Sikap budaya gotong-royong yang semula
menjadi sikap hidup bangsa telah mengalami banyak gempuran
yang terutama bersumber pada budaya global yang mementingkan
kebebasan individu .... Masyarakat menjadi cenderung individualis,
konsumeris, dan kapitalis sehingga rasa kebersamaan, kekeluargaan,
dan senasib sepenanggungan antar sesama manusia mulai hilang”
(Abdillah, 2011:8-9)

82
Selamat (2009:2) pun mencatat bahwa krisis kegotong-royongan
menemukan bentuknya yang lebih besar dalam aneka konflik. Kerusuhan
Ambon, Poso, Sambas, konflik Aceh, Papua, dan pelbagai aksi anarkis menjadi
tantangan bersama bagi terwujudnya nilai gotong-royong (Selamat, 2009:2).
Hal ini menjadi ancaman bagi penghayatan nilai kegotong-royongan dan
sekaligus membahayakan konsep nasionalisme Indonesia. Situasi semacam
ini diperparah pula oleh munculnya kasus intoleransi agama oleh berbagai
kelompok dan ormas di berbagai tempat. Haryatmoko (2010:82-83) bahkan
mengatakan bahwa agama justru kerap kali memberikan landasan ideologis
dan pembenaran simbolis bagi aneka konflik yang membahayakan semangat
persatuan dan nilai gotong-royong itu sendiri. Nilai gotong-royong Soekarno
yang menjadi rangkuman dari filosofi Bangsa Indonesia seakan-akan
menemui ujian dan tantangan ketika diterapkan dalam kehidupan bersama
dewasa ini (Dewantara, 2010:77).
Indonesia diwarnai oleh kemajemukan di segala bidang. Tilaar
(2004:114) mengatakan bahwa secara etnologis terdapat enam ratus suku
bangsa yang hidup dan mendiami wilayah Indonesia. Letak Indonesia yang
strategis membuat banyak agama dan kepercayaan masuk sejak berabad-abad
yang lampau. Kemajemukan bangsa seharusnya menjadi modal dan potensi
yang luar biasa bagi kemajuan bersama, akan tetapi dewasa ini mengemuka
justru aneka fenomena yang menjadi penghambat bagi pemekaran nilai
kegotong-royongan di tengah kemajemukan itu (Wahyono, 2006:17-18). Hal
tersebut menurut Imaningrum (2009:61) menjauhkan bangsa Indonesia dari
filosofi aslinya (Pancasila), UUD 1945, Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal
Ika, dan nilai gotong-royong itu sendiri. Sutarto (2004:163) merangkum
semua permasalahan di atas dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia
saat ini mengalami dua macam ancaman, yakni: ancaman dari luar berupa
globalisasi, dan ancaman dari dalam berupa krisis pemaknaan terhadap
nilai-nilai khas Indonesia itu sendiri, termasuk nilai gotong-royong.
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, tetapi apa yang
sebenarnya mempersatukan rakyat Indonesia menjadi sebuah bangsa? Renan
(1996: 52) mengatakan bahwa suatu bangsa ada karena diikat oleh jiwa yang
sama, yakni: masa lalu yang sama (yaitu persamaan nasib yang sama ketika

83
mengalami masa penjajahan) dan hasrat untuk bersatu. Pendapat Renan
inilah yang kemudian digunakan Soekarno untuk menggelorakan semangat
nasionalisme untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Nasionalisme
Indonesia dibahasakan Soekarno dengan berkata bahwa “Kita mendirikan
negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya, semua buat semua!”
(Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82). Soekarno selanjutnya
berkata bahwa “negara semua buat semua” ini merupakan negara gotong-
royong. Nasionalisme Indonesia ternyata tidak bisa dilepaskan dari nilai
gotong-royong.
Wacana mengenai nasionalisme Indonesia selalu berkembang
dengan dinamis, apalagi jika dikaitkan dengan aneka permasalahan yang
dewasa ini mengemuka. Sudiar (2010:17-19) mengatakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan isu nasionalisme menjadi sensitif,
yakni: ketidakmampuan masing-masing kelompok yang tergabung dalam
sebuah naungan nasionalisme untuk menjaga keutuhan hidup bersama dan
berdampingan, pembangunan yang tidak merata sehingga menghasilkan
struktur masyarakat yang timpang, kinerja pemerintah yang tidak baik,
dan globalisasi yang menjadi faktor pemerkeruh keadaan. Suatu bangsa
seperti Indonesia tersusun dari aneka kelompok yang kemudian melebur
ke dalam suatu kewargaan, oleh karena itu Indonesia membutuhkan nilai-
nilai yang dapat mengatasi aneka perspektif yang melemahkan sendi hidup
bersama (Sutarto, 2004:198). Sutarto (2004:199) kemudian menambahkan
bahwa Pancasila dengan nilai kegotong-royongannya dapat memberikan
sumbangan yang dapat dijadikan sebagai nilai dan pilar utama bagi mekarnya
nasionalisme di Indonesia.
Pendalaman akan nilai gotong-royong, sebagaimana dikatakan Sudjito
berikut ini, amat diperlukan bagi pemekaran semangat nasionalisme di
tengah pluralitas Indonesia:
“Gotong-royong mengandaikan leburnya benteng ego personal ke
dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kemajuan bangsa
.... Para founding fathers meletakkannya sebagai prinsip nilai bangsa
yang tidak lagi bisa ditawar .... Karena itu sudah saatnya kita kembali

84
menyemai nilai gotong-royong untuk menjawab ancaman yang
dapat meruntuhkan fondasi berbangsa kita. (Sudjito, 2014:4)
Suatu bangsa memiliki nilai-nilai tertentu sebagai ciri khasnya.
Gotong-royong secara historis merupakan budaya asli Indonesia yang telah
dipraktikkan oleh leluhur bangsa mulai zaman kerajaan, penjajahan, merebut
kemerdekaan, dan zaman awal kemerdekaan. Budaya ini terbukti memberi
kontribusi yang besar bagi terwujudnya cita-cita bersama. Nilai gotong-
royong terefleksikan dalam filosofi bangsa, yakni Pancasila. Nilai ketuhanan
yang terkandung menjadi semangat yang diejawantahkan dalam pola pikir,
sikap, dan perilaku anggota warga masyarakat dengan saling menjaga nilai-
nilai kemanusiaan, berperilaku adil, mementingkan kepentingan bersama
ketimbang kepentingan pribadi atau golongan, dan mengembangkan budaya
persatuan.
Gotong-royong, sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya,
merupakan sistem nilai yang terdapat dalam budaya. Sistem nilai mempunyai
sifat abstrak. Gotong-royong pun dengan demikian bersifat abstrak, sehingga
tidak dapat disimpan dalam foto, diraba, dan disentuh. Gotong-royong baru
dapat diamati manakala telah berwujud aktivitas tertentu. Perilaku gotong-
royong yang ada di tengah-tengah masyarakat sudah menjadi kepribadian
bangsa dan mengakar pada nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia juga meyakini bahwa nilai dan perilaku gotong-
royong memiliki potensi sosial yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam
pemecahan berbagai masalah kehidupan berkelompok dalam masyarakat.
Pranadji (2009: 62) mengatakan bahwa implementasi nilai gotong-royong
pada masyarakat Indonesia bisa menjadi bagian esensial dari revitalisasi nilai
sosio-budaya dan adat istiadat pada masyarakat Indonesia supaya terbebas
dari dominasi sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan, serta
ideologi lain yang tidak menyejahterakan.
Gotong-royong sebagai sebuah nilai, tentu layak untuk dikaji secara
aksiologis. Perkembangan nilai kegotong-royongan dewasa ini membuat
aksiologi mendapatkan ruang pula untuk mengkajinya. Aksiologi, yang
merupakan cabang dari filsafat yang secara khusus berbicara mengenai nilai,

85
diperlukan untuk mengelaborasi gotong-royong sebagai nilai asli bangsa
Indonesia dan menyumbang pemahaman lain bagi pendalaman Pancasila.
Sudah jamak diketahui bahwa ciri khas bangsa Indonesia adalah
kegotong-royongannya. Inilah pula yang menyebabkan Soekarno meringkas
Pancasila menjadi Ekasila (yang berisi nilai gotong-royong). Soekarno
kemudian dengan bangga menyebut bahwa Indonesia adalah Negara Gotong-
Royong. Gotong-royong dengan demikian dimaknai sebagai nilai yang amat
tinggi oleh para pendiri negara ini, sehingga disebut pula sebagai rangkuman
dari Pancasila itu sendiri.
Gotong-royong sering dimaknai sebagai sarana untuk mempersatukan
berbagai macam perbedaan. Berbagai macam perbedaan yang ada pada
teritorial suatu bangsa sepatutnya dapat disatukan melalui penyatuan visi
dan misi yang berlandaskan kebenaran yang diterima bersama, dan hal
tersebut sudah menjadi sari pati dari Pancasila. Hal inilah yang menjadi
dasar pemikiran Soekarno perihal cita-citanya untuk mewujudkan sebuah
bangsa yang menjadikan gotong-royong sebagai jati dirinya:
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu
perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah Negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara
Gotong-Royong! (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82).”
Soekarno menemukan bahwa semua manusia dan budaya Indonesia
menjunjung tinggi kegotong-royongan.

2. GOTONG-ROYONG MENURUT MUHAMMAD HATTA


Muhammad Hatta di beberapa kesempatan mengungkapkan bahwa
gotong-royong adalah nilai yang dihidupi bangsa ini sejak dulu kala dan
diejawantahkan dalam berbagai bidang kehidupan, baik itu sosial, budaya,
dan ekonomi. Pidato Muhammad Hatta ketika menerima gelar doctor honoris
causa di Universitas Gadjah Mada pada 27 November 1956 menunjukkan

86
perhatiannya pada gotong-royong sebagai sendi kolektivisme bagi ekonomi
Indonesia:
“Disusun dari segi ekonominya, perekonomian Indonesia
merupakan berbagai macam campuran antara kolektivisme dan
individualisme. Di atas perekonomian rakyat, yang sebagian besar
masih berdasarkan gotong-royong, tumbuh perekonomian kapitalis
dengan segala tingkat perkembangannya” (Hatta, 1958:389).
Hatta berpendapat bahwa gotong-royong sebagai nilai asli Indonesia
dalam hal ekonomi, kini bercampur dengan sistem ekonomi lainnya. Hatta
dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi Kita”, mengatakan bahwa gotong-
royong sebenarnya merupakan landasan sosial yang hebat bagi kehidupan
ekonomi bangsa Indonesia:
“Dalam segi ekonomi, semangat gotong-royong yang merupakan
koperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk membangun
koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakyat. Keyakinan
tertanam bahwa hanya dengan koperasi dapat membangun
kemakmuran rakyat” (Hatta, 1959: 436-437).
Hatta bahkan mengatakan bahwa gotong-royong inilah natura ekonomi
bangsa Indonesia sejak dulu kala:
“Pada tingkat perekonomian natura dan separo-natura, yang sudah
tipis lapisnya, duduk semata-mata suku-suku bangsa Indonesia. Di
situ berlaku dasar gotong-royong dalam keadaannya yang masih
murni, terdapat sistem kerja sama dalam bentuk koperasi sosial”
(Hatta, 1958:389).
Hatta kemudian melanjutkan bahwa natura gotong-royong yang berciri
kolektivisme inilah yang membuat demokrasi Indonesia menjadi khas.
Gotong-royong bahkan disebut sebagai salah satu anasir demokrasi khas
Indonesia:
“Kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan
hidup sendiri yang bercorak kolektivisme. Demokrasi Indonesia
harus pula suatu perkembangan dari demokrasi Indonesia yang asli

87
.... Kelima anasir demokrasi asli itu adalah: rapat, mufakat, gotong-
royong, hak mengadakan protes, dan hak menyingkirkan diri dari
kekuasaan raja ....” (Hatta, 1958:389).

3. GOTONG-ROYONG MENURUT NOTONAGORO


Notonagoro berbicara mengenai gotong-royong secara khusus ketika
menjelaskan filosofi dari sila keempat dari Pancasila. Notonagoro bertolak
dari kesepakatan BPUPKI pada 15 Juni 1945 yang menyatakan bahwa
kekeluargaan atau gotong-royong menjadi dasar demokrasi. Demokrasi
Indonesia dengan demikian adalah demokrasi kekeluargaan atau demokrasi
gotong-royong:
“Semboyan kekeluargaan adalah satu buat satu dan buat semua,
semua buat satu dan buat semua. Hal ini juga dikehendaki buat
Negara kita, sehingga Negara kita adalah demokrasi kekeluargaan,
yaitu demokrasi asli Indonesia yang diamalkan sepanjang masa ...
dan bahwa semua anggota badan penyelidik kemerdekaan telah
mufakati dasar kekeluargaan atau ‘dasar gotong-royong’ atau dasar
keadilan sosial. Jadi lebih lanjut Negara dan demokrasi kita adalah
tepat juga untuk disebut Negara dan demokrasi gotong-royong”
(Notonagoro, 1975:128)
Notonagoro (1975:129) selanjutnya mengatakan bahwa gotong-royong
adalah amal dari semua untuk kepentingan semua, atau jerih payah dari
semua untuk kebahagiaan bersama. Gotong-royong disebut Notonagoro
sebagai amal karena di dalamnya ada kesadaran, sikap jiwa, dan keinsafan.
Gotong-royong dengan demikian menyangkut dimensi batiniah juga:
“Dalam asas gotong-royong sudah tersimpul kesadaran bekerja, baik
bekerja rohaniah maupun bekerja jasmaniah dalam usaha atau karya
bersama, yang mengandung di dalamnya keinsafan, kesadaran, dan
sikap jiwa untuk menempatkan serta menghormati kerja sebagai
kelengkapan dan perhiasan kehidupan manusia” (Notonagoro:
1975:129).

88
Notonagoro berpendapat bahwa nilai gotong-royong inilah yang
membentuk Indonesia memiliki dimensi monodualis. Monodualis
berarti Negara Indonesia mengakui kodrat perseorangan dan sekaligus
mengedepankan kebersamaan.
“Jadi, karena Negara dan demokrasi kita Negara monodualis dan
demokrasi monodualis ... yang mengakui kesatuan sifat kodrat
perseorangan dan sifat kodrati makhluk sosial, maka Negara dan
demokrasi kita adalah Negara dan demokrasi gotong-royong”
(Notonagoro: 1975:131).
Gotong-royong menjadi ciri yang amat nyata dari pandangan monodualis ini.
Pengakuan akan individu dan sosialitas disintesiskan secara mengagumkan.

4. GOTONG-ROYONG MENURUT DRIYARKARA


Driyarkara menjelaskan mengenai gotong-royong dalam bingkai
penjelasan mengenai hubungan antara persona dan masyarakat. Driyarkara
melawankan nilai gotong-royong yang khas Indonesia dengan pendapat Jean
Jacques Rousseau. Driyarkara mengatakan:
“Pokok-pokok pikiran Rousseau dijelaskan dalam kalimat yang
cukup terkenal itu: ‘Manusia dilahirkan merdeka, tetapi di mana-
mana ia dibelenggu.’ … Jadi menurut Rousseau manusia merupakan
suatu lingkaran tertutup yang tidak ada hubungannya dengan
alam sekitar dan sesama manusia. Jelaslah bahwa pandangan ini
tidak cocok dengan alam Indonesia yang berdasarkan gotong-
royong, bukan karena terpaksa tetapi karena dengan rela, terdorong
oleh panggilan kodratnya, turut serta membina masyarakat dan
negaranya” (Driyarkara, 2006:167-168).
Paham liberal dan individual yang dikemukakan oleh Rousseau
menggambarkan hubungan antara persona dan masyarakat yang berbeda
dengan apa yang dipahami oleh Driyarkara mengenai Indonesia. Gotong-
royong sebagai ciri khas Indonesia menempatkan masyarakat sebagai bagian
hidup dari persona itu sendiri. Masyarakat bukanlah sekadar sekumpulan

89
orang yang secara kebetulan berkumpul di suatu tempat, di mana tata
hubungan bersifat ekstern, lahiriah belaka, dan kerja sama di antara mereka
hanya didasarkan oleh kepentingan belaka (Driyarkara, 2006:167).
Masyarakat Indonesia amat menunjung tinggi gotong-royong, artinya
tata hubungannya bukan hanya bersifat lahiriah karena lahir dari kodrat
manusia Indonesia yang mengakui kebersamaan. Kerja sama masyarakat
Indonesia yang terpupuk dengan demikian juga bukan didasarkan oleh
kepentingan, melainkan karena sukarela. Persona manusia Indonesia bukan
ditempatkan terpisah dari masyarakat, tetapi terintegrasi utuh di dalamnya.
Persona dan penghargaan akan kemanusiaan justru dijunjung tinggi dalam
skema khas Indonesia ini:
“Inilah yang menjadi dasar saling menghormati, gotong-royong
dan gejala-gejala lain dalam hidup bersama. Pun dalam masyarakat
kecil, dalam lingkungan keluarga, sekolah, rukun tetangga, dan
sebagainya” (Driyarkara 2006:137)
Tata hidup masyarakat Indonesia yang seperti ini kemudian mengejawantah
dalam berbagai bentuk, juga dalam bidang ekonomi. Keselarasan antara
persona dan masyarakat desa, misalnya, membuat nilai gotong-royong
tumbuh dengan subur. Driyarkara (2006:302) mengatakan bahwa berekonomi
bersama dengan gotong-royong hanya merupakan suatu aspek dari kesatuan
desa itu sendiri. Driyarkara (2006:919) berpendapat bahwa “cara kita berada
adalah ada bersama, jadi hidup harus berupa koeksistensi, tidak dalam arti
berdampingan, melainkan saling membangun, saling menyempurnakan;
yaitu bergotong-royong.”
Driyarkara mengatakan bahwa manusia Indonesia amat mengedepankan
ide mengenai sosialitas. Individu bukan demi individu itu sendiri, melainkan
terintegrasi dalam kebersamaan. Manusia Indonesia menurut Driyarkara
ternyata harus memasyarakat, dan gotong-royong adalah salah satu
bentuknya:
“Tampaklah sekarang ide tentang manusia di mana sosialitas
menonjol ke muka. Manusia harus memasyarakat, dan dengan
demikian membahagiakan sesama manusia. Institusionalia (bentuk-

90
bentuk) untuk melaksanakan sosialitas itu ada bermacam-macam.
Bagi Indonesia, ada Grundform (bentuk dasar) yang sudah asli yaitu
gotong-royong” (Driyarkara, 2006:658).
Driyarkara pada kutipan di atas menggarisbawahi pendapat Soekarno yang
mengatakan bahwa gotong-royong menjadi nilai asli Indonesia. Driyarkara
pada bagian lain juga mengatakan bahwa gotong-royong merupakan hal
asasi milik bangsa Indonesia ketika merujuk pidato Soekarno:
“Seluruh pidato (lahirnya Pancasila) adalah penggalian untuk
mencari dan menetapkan asas-asas Negara kita. Sebagai dasar
ditunjuklah Pancasila. Sebagai dasar, artinya ialah bahwa Pancasila
itu merumuskan akar kehidupan manusia. Maka dari itu, jika
dikatakan bahwa gotong-royong merupakan perasan dari Pancasila,
maka hal itu juga berarti bahwa gotong-royong berupa dasar, berupa
sesuatu yang asasi” (Driyarkara 2006:655)
Driyarkara kemudian mengatakan bahwa gotong-royong menjadi dasar bagi
tipe manusia ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia Indonesia:
“Di situ ditunjukkan 16 landasan yang harus menjadi titik tolak dari
cipta, rasa, dan karya dari manusia-ideal itu. Di sini kami kemukakan
dua dasar saja, yaitu semangat gotong-royong, semangat lebih
mendahulukan kewajiban daripada hak” (Driyarkara, 2006:658).
Driyarkara mengatakan bahwa prinsip gotong-royong adalah prinsip
“menegara” itu sendiri:
“Sebab apa yang kita sebut sebagai Negara itu pada hakikatnya
adalah suatu karya. Oleh sebab itu, berkali-kali kita menggunakan
istilah “menegara.” Tentu saja apa yang kita sebut dengan satu istilah
karya sebagai realitas adalah sangat kompleks, menjelma dalam
ribuan karya yang dilakukan oleh ribuan orang. Akan tetapi, semua
itu adalah penegaraan, gotong-royong! Nah, karena Negara itu
gotong-royong, karena menegara itu suatu karya, maka prinsipnya
juga prinsip karya .... Apakah yang dapat dihasilkan dengan gotong-
royong? Kesejahteraan umum berupa barang-barang yang berguna

91
sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup di dunia ini”
(Driyarkara, 2006:860).
Driyarkara berpendapat Negara bukanlah suatu kata benda, melainkan kata
kerja. Negara adalah kerja bersama. Isi dari kerja bersama ini adalah gotong-
royong itu sendiri.

5. PERKEMBANGAN NILAI GOTONG-ROYONG DARI ZAMAN KE ZAMAN


Soekarno membanggakan Indonesia merdeka sebagai Negara gotong-
royong. Pertanyaan yang kemudian relevan untuk diajukan sekarang yaitu:
bagaimana realitas penghayatan nilai gotong-royong dari zaman ke zaman?
Apakah kemajuan zaman, globalisasi, dan individualisme turut mengikis nilai
gotong-royong dewasa ini? Realitas dewasa ini menunjukkan bahwa seakan-
akan gotong-royong bukan lagi dianggap sebagai suatu nilai yang berharga.
Apa makna gotong-royong jika yang mengemuka adalah semangat tawuran,
amuk masa, elitisme partai, egoisme pribadi, benturan antarkelompok (baik
itu agama, aliran, ormas, ras, suku, dst.)? Di mana nilai gotong-royongnya?
Sudah hilangkah?
Yayasan Pelita (1979:54) dalam buku Pendidikan Moral Pancasila
mendeskripsikan gotong-royong dalam uraian berikut: “gotong-royong
adalah kerja sama secara sukarela yang biasa dilakukan oleh penduduk
desa sejak nenek moyang kita.” Penjelasan tersebut mencatat bahwa gotong-
royong sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang. Penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa gotong-royong merupakan bagian dari kebudayaan
yang diwariskan, bahkan sejak Indonesia belum menjadi Negara.
Bintarto (1980:9) dalam karyanya kemudian menulis bahwa istilah
“gotong-royong” untuk pertama kali tampak dalam tulisan-tulisan mengenai
hukum adat dan juga dalam aneka karangan tentang aspek sosial pertanian.
Bintarto (1980:9) memperkuat pendapatnya dengan mengutip temuan
Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa gotong-royong merupakan sistem
pengerahan tenaga dalam rangka bercocok tanam yang terjadi sejak dulu
kala di masyarakat pedesaan Jawa.

92
Penelitian yang lebih modern menunjukkan bahwa gotong-royong telah
mengalami perkembangan. Slamet (1963:40) menemukan bahwa gotong-
royong berkembang menjadi dua jenis di era yang lebih modern, yakni:
gotong-royong berupa jaminan sosial, dan gotong-royong berupa pekerjaan
umum. Slamet (1963:40) mengatakan bahwa gotong-royong yang asli adalah
yang berupa jaminan sosial, di mana di dalamnya ada bentuk tolong-
menolong yang dilandasi oleh semangat sukarela, tidak ada campur tangan
dari pamong desa/aparat, dan biasa ditemukan dalam lingkup bertetangga
yang lebih kecil ketika menghadapi kematian, perkawinan, dan mendirikan
rumah.
Slamet (1963:41) kemudian menyebutkan bahwa gotong-royong yang
berupa pekerjaan umum awalnya ditujukan untuk kepentingan yang lebih
besar, misalnya: membangun jalan, saluran air, ataupun “gugur-gunung,” akan
tetapi praktik ini disalahgunakan oleh Jepang dan Belanda dengan sistem kerja
rodi dan romusha-nya. Bintarto (1980:10) mencatat bahwa penyalahgunaan
gotong-royong oleh Jepang dan Belanda ini membuat masyarakat desa
kadang-kadang kurang bersemangat untuk melakukan gotong-royong yang
bersifat umum tadi. Bintarto (1980:10-11) kemudian berpendapat bahwa hal
tersebut bisa diatasi ketika para pemimpin ikut memberi teladan kegotong-
royongan dengan bersama-sama warga bekerja bersama. Bintarto (1980:18)
mencatat bahwa praktik gotong-royong juga dilakukan bangsa ini pada saat
revolusi fisik:
“Kita masih ingat peranan gotong-royong yang terjadi pada masa-
masa revolusi fisik. Para gerilyawan kita bekerja sama sebaik-
baiknya dengan masyarakat di desa dan masyarakat di kota, sehingga
akhirnya kemenangan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia dapat
diperoleh.”
Soekarno mengatakan bahwa gotong-royong adalah nilai asli Indonesia.
Hal ini digarisbawahi oleh Soeharto dalam pidato kenegaraan mengenai
GBHN pada 16 Agustus 1978 dengan mengatakan bahwa “gotong-royong
merupakan ciri khas dan pola hidup bangsa Indonesia.” Hal ini kemudian
ditindaklanjuti dalam Seminar Pengembangan Kebudayaan dalam rangka

93
Pembangunan Nasional pada Juli 1978 dengan memasukkan gotong-royong
sebagai perwujudan semangat kekeluargaan dalam visi budaya Pancasila:
“Kekeluargaan: sebagai semangat, dalam artian anggota dalam
masyarakat pada hakikatnya tidak dilihat sebagai orang asing
ataupun musuh, tetapi sebagai saudara atau ‘seorang dari kita.’
Kekeluargaan mencerminkan sikap seseorang dalam tanggung
jawab atas kehidupan kebersamaan. Dalam konteks pengertian
inilah tampak sikap hidup dalam gotong-royong, pengayoman, dan
musyawarah”
Soeharto pada masa pemerintahannya memasukkan nilai gotong-
royong sebagai asas pembangunan nasional. Ada tujuh asas pembangunan
dalam era Soeharto, tetapi yang secara khusus berbicara mengenai gotong-
royong adalah azas kedua. Hal tersebut tercantum dalam TAP MPR No.
IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang mengatakan
bahwa “Asas usaha bersama dan kekeluargaan, ialah bahwa usaha mencapai
cita-cita dan aspirasi-aspirasi bangsa harus merupakan usaha bersama dari
bangsa dan seluruh rakyat yang dilakukan secara gotong-royong dan dijiwai
semangat kekeluargaan.”
Bintarto (1980:14-15) dalam penelitiannya mengatakan bahwa sudah
selayaknya bangsa ini kembali melestarikan dan membina nilai gotong-
royong. Modernisasi dan kemajuan zaman memberi pengaruh bagi
memudarnya nilai ini:
“Keadaan dunia kita sudah semakin maju... Modernisasi telah
banyak memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial, kebudayaan,
gaya hidup manusia Indonesia, dan sebagainya. Apakah modernisasi
akan melunturkan bahkan menghilangkan gotong-royong di
Indonesia? Pertanyaan ini memang banyak timbul, karena agaknya
bentuk-bentuk gotong-royong di beberapa daerah terutama di
perkotaan sudah tampak menjauh dari bentuk aslinya.”
Abdurrahman (2007:1) dalam penelitiannya mengatakan bahwa dewasa
ini nilai untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara dalam
semangat gotong-royong serta kebersamaan diletakkan di tempat yang jauh

94
lebih rendah daripada kepentingan individual dan golongan. Rochmadi
(2011:5) juga menemukan bahwa dewasa ini nilai gotong-royong yang
pernah didengungkan Soekarno mulai memudar di perkotaan, tetapi secara
kasuistik masih ada di wilayah pedesaan. Nilai kebersamaan mulai luntur
dan berganti dengan penghormatan secara berlebihan kepada individu:
“Dalam perjalanan bangsa terjadi perubahan dalam sikap budaya
bangsa Indonesia. Sikap budaya gotong-royong yang semula
menjadi sikap hidup bangsa telah mengalami banyak gempuran
yang terutama bersumber pada budaya global yang mementingkan
kebebasan individu .... Masyarakat menjadi cenderung individualis,
konsumeris, dan kapitalis sehingga rasa kebersamaan, kekeluargaan,
dan senasib sepenanggungan antar sesama manusia mulai hilang”
(Abdillah, 2011:8-9)
Bintarto (1980:15-16) secara khusus menyebut uang dan kekuatan modal
sebagai pengaruh negatif bagi penghayatan nilai gotong-royong dewasa ini:
“Dalam upacara-upacara keagamaan di Bali, misalnya, juga dikenal
gotong-royong ini, tetapi kemudian dengan masuknya ekonomi
uang ke daerah pedalaman atau ke desa-desa, sifat gotong-royong
yang baik ini dikhawatirkan akan menjadi semakin menipis ....
Dengan masuknya uang ke dalam kehidupan ekonomi pedesaan,
yang di beberapa daerah di Jawa sudah mulai dalam abad ke-19,
tetapi mungkin di beberapa daerah lain baru setengah abad yang
lalu, maka sistem pengerahan tenaga seperti itu dianggap menjadi
kurang praktis.”
Penafsiran baru mengenai gotong-royong juga dicatat oleh Bintarto.
Bintarto (1980:17) mencatat bahwa muncul pemberian makna baru terhadap
gotong-royong dengan mengartikannya sebagai “tepa-selira,” karena
yang disumbangkan bukan hanya tenaga, melainkan juga pikiran. Sudjito
mengungkapkan fenomena kemerosotan nilai gotong-royong dalam lingkup
yang lebih luas (hidup bernegara) lewat kutipan berikut:
“Gotong-royong adalah salah satu nilai luhur utama bangsa
yang seharusnya dijadikan roh dalam segala aspek bertindak,

95
namun dilupakan .... Lubang pembenahan bangsa adalah alpanya
menjadikan spirit gotong-royong sebagai sumber nilai .... ” (Sudjito,
2014:4)
Benang merah yang amat tampak dari uraian di atas adalah bahwa
semangat gotong-royong (yang sudah mengakar dalam masyarakat dan
kemudian ditemukan oleh Soekarno sebagai “ringkasan” dari Pancasila)
ternyata dewasa ini menemui tantangan dalam hidup berbangsa.
Kecenderungan yang merebak justru adalah semakin menipisnya
semangat kegotong-royongan di sana-sini. Kesan yang muncul dewasa
ini adalah: adagium gotong-royong dimunculkan oleh pidato, padahal
sebenarnya terminus gotong-royong dalam pidato Soekarno ini muncul
dari realita masyarakat Indonesia yang direnungkan Soekarno sejak dahulu.
Oleh karena itu, bangsa ini ada dalam suatu proyek besar dan panjang untuk
mengembalikan lagi realitas gotong-royong dalam kehidupan berbangsa.
Soekarno sebenarnya sedang mengedepankan paham kebangsaan
(nasionalisme) ketika mendengungkan nilai gotong-royong. Indonesia,
bagi Soekarno, didirikan buat semua. Ide kebangsaan di sini bukanlah
prinsip ideologis semata, melainkan lebih berupa penghayatan hidup dalam
kebersamaan. Kebangsaan menurut Ernest Renan, sebagaimana dikutip oleh
Soekarno, adalah suatu nyawa yang terdiri dari dua hal, yakni: pertama,
dahulu rakyatnya menjalani satu riwayat yang sama, dan kedua, sekarang
mereka harus mempunyai kehendak untuk bersatu.
Seluruh warga di Nusantara sudah mengalami sejarah yang sama sejak
zaman Sriwijaya dan Majapahit, bahkan sudah menderita bersama dalam
gelapnya masa penjajahan. Pengalaman yang sama inilah yang membentuk
kehendak untuk bersatu. Kebangsaan dengan demikian bukan cuma
sekadar persamaan tumpah darah dan tempat tinggal. Jauh melampaui itu,
kebangsaan adalah soal bagaimana tiap warganya diikat oleh perasaan dan
kehendak yang sama untuk maju di tengah keberagaman. Kebangsaan yang
semacam ini jelas bukan chauvinisme khas Hitler.
Bagaimana dengan Indonesia? Jangankan memiliki chauvinisme gaya
Hitler. Jangan-jangan bangga sebagai bangsa pun tidak! Indikasi mengenai

96
hal ini cukup jelas terlihat tatkala gerakan separatis di Aceh, Papua, dan
beberapa tempat lain mencuat. Bahkan mungkin pula kebangsaan mereka
hanyalah kebangsaan daerah, suku, ataupun klan, yang sebenarnya ditolak
dengan tegas oleh Soekarno dalam pidatonya. Kebangsaan manusia Aceh
dan Papua seharusnya kebangsaan Indonesia pula. Tentu masih bisa
diperdebatkan mengenai pemerataan pembangunan yang menjadi penyebab
adanya gerakan separatis, akan tetapi jika mereka mempunyai semangat
kebangsaan Indonesia, politik identitas semacam itu seharusnya ditundukkan
di bawah kesepakatan bersama para founding fathers. Selain itu, pemerintah
yang berkuasa tentu harus mengoreksi kinerjanya dalam menciptakan
pemerataan yang adil sehingga tidak ada lagi warga yang mempertanyakan
apa kebangsaannya.
Kebangsaan inilah yang hendak diusung Soekarno dengan
mengetengahkan prinsip gotong-royong. Realitas ini sebenarnya tampak
ketika bencana tsunami melanda Aceh. Saat itu semua warga bangsa (bahkan
dunia) tergerak untuk turun tangan dengan berbagai cara. Semua warga,
tanpa dikomando, seakan diikat oleh rasa yang sama bahwa yang sedang
menderita adalah sesama warga bangsa juga. Semua bergotong-royong
membantu dengan caranya masing-masing. Inilah potret kebangsaan
yang sesungguhnya dalam negara gotong-royong Soekarno. Driyarkara
menggarisbawahi perubahan pola gotong-royong ini juga di pedesaan, akan
tetapi argumentasinya masih memberi harapan bahwa sebenarnya nilai ini
masih amat mengakar:
“....Corak ini adalah sifat dan sikap gotong-royong. Dalam contoh-
contoh yang sederhana dari kehidupan desa, kita bisa melihat sifat
dan sikap ini. Desa sekarang sudah banyak berubah, tetapi dalam
bermacam tulisan, kita bisa menyaksikan kehidupan gotong-royong
itu. Orang membuat jembatan, menggali selokan, menebang pohon,
dan sebagainya dengan gotong-royong” (Driyarkara 2006:950)
Kesatuan bangsa untuk semua adalah prinsip yang dikedepankan. Tugas
negara, dengan demikian, adalah mengelolanya, karena negara ada demi
menyejahterakan warganya. Negara ada bukan demi kekuasaan. Soekarno
bahkan lebih lanjut menunjukkan bahwa negara harus dikelola dalam
semangat kegotong-royongan.
97
BAB VI

LEGITIMASI DAN TUJUAN


NEGARA INDONESIA

1. LEGITIMASI NEGARA
Yang dimaksud dengan raison d’etre (alasan mendasar) negara ialah
alasan-alasan yang secara mendalam memungkinkan pemerintahan negara
itu dibangun, didirikan, dan diadakan. Legitimasi ialah itu yang menjadikan
pendirian suatu pemerintahan bersifat legitim, sah, dan benar. Plato
mengemukakan alasan mendalam pembentukan polis (yang memiliki sistem
tata hidup bersama seperti negara) untuk pemenuhan kebutuhan, agar para
anggotanya berkecukupan.
Aristoteles mengajukan the good life sebagai pemenuhan kesempurnaan
kodrat manusia yang mesti direalisir dalam polis. Hobbes menunjuk pada
pentingnya keamanan yang secara mendasar diperlukan untuk hidup
sejahtera, yang karenanya suatu sistem pemerintahan politik harus didirikan
lewat suatu kontrak sosial. Marx menggagas negara di mana masyarakatnya
tidak terkotak-kotak, oleh kelas-kelas. Alasan pendirian negara Marxis ialah
untuk membangun masyarakat tanpa kelas. Sukarno; salah satu pendiri negara
Indonesia, menegaskan philosophische grondslag (dasar filosofis terdalam)
dari manusia-manusia Indonesia dalam pendirian Indonesia merdeka. Dasar
filosofis terdalam dari pendirian Indonesia merdeka ialah bahwa bangsa

98
Indonesia memiliki karakter natural: gotong-royong, kebangsaan,kerakyatan,
kebersamaan sebagai satu keluarga, religiositas, dan seterusnya.
Ada beberapa macam legitimasi pemerintahan suatu negara. Maksudnya,
ada beberapa pengertian tentang legitimasi yang kita bisa membedakannya
secara teoritis. Tetapi, harus segera ditambahkan bahwa tidak semua
legitimasi memiliki intensitas kewibawaan yang sama. Legitimasi apakah
yang menjadikan suatu pemerintahan politik dikatakan sah?
(1)  Harus dikatakan bahwa legitimasi politis adalah jawaban
pertamanya. Legitimasi inilah yang membuat suatu pemerintahan politik
menjadi sah. Bagaimana legitimasi politis terjadi? Bagi Plato, legitimasi yang
membuat suatu, pemerintahan negara sah ialah kehadiran seorang filosof
sebagai pimpinan polis. Hadirnya seorang filosof sudah dari sendirinya
memiliki alasan legitim untuk memerintah dalam model negara Plato. Di
sini, harus diandaikan bahwa segala persyaratan yang berhubungan dengan
pencapaian keadilan dalam suatu polis dimiliki oleh filosof. Filosof tidak
mungkin berbuat ketidakadilan dan tidak mungkin self-interest. Aristoteles
hampir sama dengan Plato, mengajukan syarat legitim suatu pemerintahan
pada kapasitas practical wisdom. Machiavelli menampik setiap pertimbangan
keutamaan etis sebagaimana dipikirkan oleh Plato dan Aristoteles. Bagi
Machiavelli, pemerintahan yang baik dari sendirinya ialah pemerintahan
yang dipimpin oleh penguasa yang tahu membela dan mempertahankan
kekuasaannya. Hobbes (sang perintis filsafat hak) memegang teguh kesamaan
kodrat manusia. Dari sebab itu, legitimasi pemerintahan politik hanya
mungkin bila ada kesepakatan/konvensi/kontrak dari individu-individu
dalam suatu kontrak sosial. Hobbes tidak melihat urgensi/kepentingan
syarat keutamaan yang menjadi mutlak dalam Plato dan Aristoteles. Bagi
Hobbes, manusia dari kodratnya sederajat, maka setiap manusia adalah tuan
atas hidupnya sendiri. Legitimasi politis pemerintahan tampil sebagai suatu
bentuk kontrak sosial.
Model legitimasi Hobbesian atas pemerintahan negara semacam ini
menjadi inspirasi bagi pemerintahan demokrasi modern untuk mendapatkan
legitimasi politis lewat apa yang disebut PEMILU. Pemilu adalah

99
pengungkapan secara konkret bagaimana legitimasi politis direalisasikan.
Pemilu merupakan bahasa modern atas apa yang disebut oleh Hobbes,
Locke, Rousseau sebagai suatu kontrak sosial dari individu-individu untuk
membangun pemerintahan politik yang sah.
Tetapi, itu saja tidak cukup. Artinya diperlukan legitimasi/dukungan
lain agar pemerintahan itu dapat berjalan secara efektif, seperti legitimasi
sosiologis, moral, kultural, atau bahkan religius. Secara moral, misalnya,
suatu pemerintahan negara sah adalah pemerintahan yang bersangkutan
tidak korup, tidak represif, tidak diktatorial, dan seterusnya.
(2) Legitimasi religius sesungguhnya tidak bisa disebut sebagai suatu
legitimasi yang sebenarnya. Legitimasi religius muncul dari masyarakat/
warga negara yang mengedepankan nilai-nilai agama atau religiositas sebagai
hal yang penting dari tata hidup bersamanya. Legitimasi semacam ini lebih
sekadar sebagai suatu dukungan, tetapi bukan faktor konstitutif sah/tidaknya
suatu pemerintahan demokrasi. Mengapa? Karena religiositas dan politik
adalah sua hal yang berbeda. Agama/religi merupakan soal yang berkaitan
dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, sedangkan politik adalah soal
tata kelola manusia dengan sesama manusianya yang lain. Dalam konteks
Indonesia, legitimasi religius sedikit banyak menempati posisi penting, tetapi
tidak mutlak. Kemutlakan legitimasi religius dapat berakibat pada hancurnya
sistem demokrasi secara keseluruhan.
(3)  Bilamana suatu pemerintahan yang secara politis sah, toh dapat
“diturunkan”? Contoh yang menarik untuk disimak di sini ialah kasusnya
Suharto. Suatu pemerintahan dapat berjalan dengan baik tidak cukup
apabila sekadar mendapatkan legitimasi politis sesuai dengan konstitusi.
Diperlukan dukungan konkret masyarakat yang mengandaikan legitimasi
moral. Legitimasi moral meminta kejujuran dan ketulusan dari pemerintah.
Walaupun sah secara konstitusional, suatu pemerintah yang represif
dan korup akan kehilangan legitimasi moralnya. Aneka protes akan
bermunculan. Di balik rangkaian protes, di sini, hendak ditampilkan secara
langsung perjuangan membela keluhuran martabat. Keluhuran manusia
tidak terletak sekadar pada urusan bisa makan cukup atau berteduh nyaman

100
di bawah atap rumah. Martabat manusia menemukan kepenuhannya pada
realitas bahwa dia mampu bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Bahwa
protes berlangsung tiada henti, itu menunjukkan secara jelas bahwa mereka
sudah merasa kehilangan kemungkinan untuk sanggup memenuhi dan
menentukan sendiri pilihan-pilihan hidupnya secara bertanggung jawab
hari ini dan di masa depan. Pembaharuan tata kehidupan yang menunjuk
pada pembelaan keluhuran manusia juga mencakup perlu segera dijaminnya
kepastian hukum, ditegaskannya perlindungan hak-hak dasar manusia
terutama yang lemah, didengarkannya jeritan dan teriakan mereka yang
lapar dan kehilangan pekerjaan, dihargainya keprihatinan dan kepedulian
rakyat banyak, dihormatinya keadilan dan partisipasi kehidupan politik,
dikedepankannya tekad dan kehendak tulus akan perubahan.
Dalam sejarah peradaban manusia, tidak setiap pemerintahan politik
cepat menangkap atau memahami atau mau memahami protes-protes warga
negaranya. Kelambanan dalam menangkap protes-protes keprihatinan kerap
dicetuskan dalam ungkapan-ungkapan pemakluman. Bahwa korban-korban
berjatuhan itu biasa, normal, lumrah, dalam suatu revolusi dan perubahan.
Bahwa kita mengalami kemerosotan ekonomi tidak sendirian, tetangga-
tetangga lain juga mengalami hal yang tidak berbeda. Bahwa negara-negara
barat membutuhkan ratusan tahun untuk menegakkan demokrasi yang sejati,
sedangkan kita barusan setengah abad merdeka. Bahwa pembaharuan butuh
proses yang rumit dan panjang, dan seterusnya.
Bentuk-bentuk pemerintahan politik yang tidak mau memahami
unjuk keprihatinan rakyatnya pada umumnya memiliki pandangan yang
seragam. Unjuk keprihatinan membahayakan kekuasaan. Sikap anti unjuk
keprihatinannya diungkapkan dengan berbagai tindakan penculikan,
intimidasi, penganiayaan, pembalasan dendam, penudingan kambing hitam,
pemberantasan dengan kekerasan, dan yang semacamnya. Pemerintahan
tipe monarkial teokratis, misalnya, menolak setiap upaya demonstrasi
karena memandang kekuasaan mereka berasal dari Tuhan. Kekuasaan politik
bersifat sakral, maka setiap ancaman terhadapnya dari siapa saja harus
disangkal. Pada zaman monarkial, bangsa Inggris memiliki salam bagus
untuk ratu mereka: God saves the queen. Salam ini bukan sekadar doa agar

101
Tuhan senantiasa melindungi sang ratu, melainkan juga kesadaran bahwa
kekuasaan ratu berasal dari Tuhan. Karenanya, tak boleh digoyahkan oleh
ancaman siapa pun, kecuali oleh Tuhan.
Pemerintahan politik diktator tipe Machiavellian yang mengedepankan
melulu kekuasaan sebagai pertimbangan nomor satu juga termasuk bilangan
yang tidak mau memahami unjuk keprihatinan. Alasannya, kekuasaan itu
bukan milik rakyat. Kekuasaan adalah kepunyaan sang penguasa. Negara
adalah aku, slogannya. Berikutnya adalah pemerintahan yang menganut
paham ideologi komunis. Pemerintahan komunis pada akhirnya adalah
pemerintahan diktator kaum proletar (rakyat biasa). Setiap pemerintahan
diktator pasti tidak pernah sedikit pun lengah terhadap setiap hal yang
dianggap mengancam kekuasaan. Juga, bentuk pemerintahan yang memegang
teguh konsep stabilitas melulu dalam arti: pokoknya tidak ada konflik atau
kritik termasuk kategori yang tidak mengindahkan unjuk keprihatinan
rakyatnya. Pemerintahan semacam ini bukan hanya kaku, melainkan
juga represif dalam membatasi partisipasi politik rakyatnya. Setiap kritik,
perbedaan aliran, dan diskusi politik hampir tak pernah luput dari konteks
bingkai kecurigaan membahayakan stabilitas dan keamanan. Akibatnya, tak
ayal lagi, tidak ada ruang bagi unjuk keprihatinan.
Ketegasan dan kesegeraan menanggapi tuntutan hak-hak (protes-protes)
rakyat pernah dikatakan oleh salah satu pendiri negara ini, Muhamad Yamin.
Dalam sidang rancangan UUD 1945 tanggal 15 Juli 1945, dia mengingatkan
seluruh anggota sidang untuk mempertegas kepastian dilindunginya (dan
tentu juga didengarkannya) hak-hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dari rakyat.
“Saya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini
hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar [UUD
1945], maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke foul,
kesalahan Undang-Undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat
rakyat yang menantikan hak daripada republik . . . juga penduduk
akan diperlindungi oleh republik ini.” (Setneg, Jakarta 1995:323)

102
Jika dalam kenyataan kepastian jaminan perlindungan keamanan dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat lenyap atau terancam lenyap (seperti
saat zaman Suharto) dari sendirinya orang toh dapat bertanya: Apakah
pengemban kekuasaan dengan segala stafnya telah berhasil memenuhi
Konstitusi? Pertimbangan hati nurani bangsa ialah jeritan rakyat yang sangat
terbebani beratnya hidup karena kesulitan cari makan dan yang sudah jauh
lebih sadar akan hak-hak dasarnya. Jeritan rakyat yang ketakutan akan anarki
dan yang kelaparan akan tatanan damai kehidupan bersama, itulah raison
d’être Konstitusi kita saat ini yang harus dijaga dan dipenuhi. Alasan ada dari
pemerintahan Indonesia ialah untuk penataan hidup bersama dalam damai.
Presiden Suharto telah mengundurkan diri. Dari sisi pandang filsafat
politik, peristiwa mundurnya Suharto membuktikan sekurang-kurangnya
dua makna prinsipiel mengenai suatu pemerintahan politik. Pertama,
bahwa seseorang menjadi presiden dan menjalankan tugasnya hanya apabila
mendapat legitimasi konstitusional/politis dan, kedua, hanya apabila dia juga
menikmati legitimasi moral dari rakyatnya.

2. TUJUAN NEGARA : “THE GOOD LIFE”


Pendirian negara pasti dengan suatu tujuan. Suatu tujuan dalam
pendirian negara pertama-tama lebih merupakan idealisme, bukan objek
sasaran langsung. Tujuan adalah itu yang dikejar dan diusahakan: Apakah
the”good life?” Dengan hidup baik, dimaksudkan happiness. Apakah elemen
pengertian happiness?
Pertama-tama, kebahagiaan menunjuk kepada self-sufficient; kebutuhan
tercukupi. Aristoteles menggagas polis sebagai sistem hidup bersama
memaksudkan pertama-tama agar kebutuhan para anggotanya tercukupi.
Sekurang-kurangnya kebutuhan fisik, ekonomi, keamanan, pendidikan,
dan segala sesuatu untuk dapat hidup cukup, meskipun happiness tidak
hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan material. Happines yang
dimaksudkan oleh Aristoteles juga menunjuk pada realisasi prinsip-prinsip
.keadilan dalam tata hidup bersama.

103
“Justice is the political good. It involves equality, or distribution of
equal amounts to those who are equal. But who are equals, and by
what criterion are they to be reckoned as equals? Many criteria can
be applied; but the only proper criterion, in apolitical society, is that
of contribution to the function of that society. Those who are equal in
that respect should receive superior or inferior amounts, in proportion
to the degree of their superiority or inferiority. If all are thus treated
proportionately to the contribution they make, all are really receiving
equal treatment; for the proportion between contribution and reward
is the same in every case.” (Aristotle, Politics, 1282b14-1283a22).
Kedua, Keadilan dalam Aristoteles sangat penting. Keadilan menunjuk
kepada “equality” yang memiliki karakteristik proporsional, bukan sekadar
asal sama. Proporsional artinya sesuai dengan porsinya masing-masing.
Apabila seseorang telah melakukan jasa lebih dari yang lain, dia memiliki
porsi pembagian lebih dan yang lain yang kurang berjasa. Itulah yang disebut
dengan keadilan.
Ketiga, Kebahagiaan juga menunjuk pada aktivitas yang menghasilkan
apa-apa yang mengatasi sekadar pemenuhan kebutuhan material. Aktivitas
semacam ini nyata dalam apa yang disebut leisure time (waktu luang).
Konsep the good life yang merupakan tujuan hidup bersama menyertakan
pula realitas bahwa para anggota memiliki waktu luang. Leisure bukan waktu
menganggur, juga bukan sekadar waktu istirahat (tidak berbuat apa-apa),
melainkan saat di mana orang dapat membangun kedalaman kemanusiaannya.
Waktu luang adalah saat belajar, berkomunikasi, berdiskusi, berkontemplasi,
mendulang kedalaman. Peradaban Yunani kuno pada waktu itu kaya dengan
aneka aktivitas humanis, seperti sastra, puisi, retorika, filsafat, seni, dan
seterusnya. Aneka aktivitas tersebut belum terealisasi dalam dunia seperti
yang sekarang ini kita miliki, dalam buku, dalam majalah, dalam surat kabar,
dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas itu dihadirkan dalam suatu pertemuan-
pertemuan di tempat-tempat terbuka, di taman-taman, di dekat kuil-kuil dan
sejenisnya. Leisure yang dimaksudkan Aristoteles menunjuk pada aktivitas-
aktivitas yang memang sangat membangun peradaban budaya, filsafat, dan
humanisme.

104
Keempat, Kebahagiaan atau eudaemonia harus pula tampak dalam
aktivitas yang merealisasi keutamaan (virtues). Aristoteles memandang
bahwa kesempurnaan manusia terpenuhi dalam sistem/tata hidup bersama.
Apa yang dimaksud dengan kesempurnaan manusia? Aristoteles tidak
sedang menjelaskan kesempurnaan hidup rohani atau hidup spiritual,
melainkan sosialitas hidup manusia. Natura manusia yang adalah makhluk
politik mau tidak mau meminta manusia untuk memperdalam dan
mengembangkan kapasitas-kapasitasnya. Yang dimaksud dengan kapasitas,
di sini, ialah segala kemampuan manusia untuk menampilkan keutamaan-
keutamaan manusiawinya. Kebahagiaan, dalam filsafat Aristoteles, bukan
sesuatu yang statis, seperti menikmati, melainkan dinamis, seperti aktivitas
mengusahakan dan menampilkan keutamaan-keutamaan kemanusiaan. Di
sinilah kesempurnaan manusia terealisasi, yaitu dalam aktivitas mendulang
sekaligus menjabarkan dalam hidup sehari-hari keutamaan-keutamaan
hidupnya.

3. TUJUAN DAN LEGITIMASI NEGARA PANCASILA


Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 menulis tujuan dan legitimasi
Negara Indonesia:
“Atas nama berkat Allah yang Mahakuasa, dan dengan didorong
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dan berdasar kepada:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;

105
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan;
5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Legitimasi politis/konstitusional, moral, dan bahkan religius termaktub
dalam Preambule UUD Indonesia. Legitimasi konstitusional dan moral
bukan dua hal yang terpisah, melainkan dua dimensi yang saling menyatu
(namun bisa dibedakan) dari apa yang disebut sebagai mandat kedaulatan
rakyat. Seseorang disebut presiden dan menjalankan tugasnya, pertama-tama
bukan karena dia jenderal, genial, handal atau yang semacamnya, melainkan
hanya apabila mendapat mandat kekuasaan yang memberinya legitimasi
politis untuk memerintah. Atribut-atribut lain merupakan pertimbangan
yang ditambahkan. Legitimasi konstitusional dianugerahkan kepada seorang
presiden yang dipilih dan diangkat dalam cara-cara sebagaimana digariskan
oleh konstitusi. Dalam konteks politik demokrasi kita, sistem pemilihan dan
pengangkatan presiden secara konstitusional dilakukan sepenuhnya oleh
lembaga tertinggi negara, yang anggota-anggotanya dipilih rakyat lewat
suatu pemilihan umum.
Legitimasi moral berbeda dengan legitimasi konstitusional, namun
tidak bertentangan. Legitimasi moral berupa aneka dukungan persetujuan,
ketaatan, dan kerja sama yang secara konkret ditampilkan oleh seluruh lapisan
atau kebanyakan rakyat. Legitimasi moral meneguhkan, menyempurnakan,
mengefektifkan legitimasi konstitusional seorang presiden. Dapat terjadi
bahwa pilihan dari para wakil yang duduk dalam lembaga tertinggi negara
tidak pas, tidak sempurna, tidak tepat. Nah, pilihan mereka hanya akan
dibuktikan apabila presiden juga lantas menikmati dukungan ketaatan dari
rakyatnya. Legitimasi semacam ini disebut moral, bukan karena berhubungan
dengan masalah-masalah moral. Ia disebut moral, karena legitimasi jenis ini
tidak digariskan secara konkret dalam suatu konstitusi. Namun demikian,
legitimasi ini berkaitan sangat erat dengan alasan moral adanya (atau
raison d’être-nya) suatu konstitusi. Artinya, suatu konstitusi dibuat dengan
alasan prinsipiel untuk: memastikan jaminan perlindungan keamanan dan

106
kesejahteraan rakyat oleh negara. Jika, karena suatu persoalan tertentu negara
tidak mampu menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya, dan rakyat
memprotes atas ketidakmampuannya, maka pemerintah yang bersangkutan
dari sendirinya kehilangan legitimasi moralnya.
Legitimasi politis/konstitusional adalah dimensi konstitutif
pemerintahan politik. Legitimasi moral merupakan dimensi efektifnya.
Suatu pemerintahan hanya dapat melakukan tugasnya apabila menikmati,
persyaratan efektivitas. Jika kekurangan legitimasi konstitusional seseorang
tidak bisa disebut presiden. Sedangkan, jika kehilangan legitimasi moral,
seorang presiden pasti tidak bisa menjalankan tugasnya. Keputusan
mengundurkan diri sangat sering merupakan jalan terbaik. Pidato
pengunduran diri Suharto menunjukkan kebenaran akan hal ini:
“Bismillahirrahmanirrahim, Saudara-saudara sebangsa dan setanah
air. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sejak beberapa
waktu terakhir saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi
nasional kita yang berkembang dan keinginan rakyat, terutama
untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam
terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa
reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan
konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa
serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan
rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan
Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga
hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat
terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap
rencana pembentukan komite tersebut. Dalam keinginan untuk
melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi,
saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite
Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII
menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan
di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat
menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan

107
baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan pasal 8
Undang-Undang Dasar 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh
memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan
untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden
Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada
hari ini Kamis, 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan
sebagai Presiden Republik Indonesia saya sampaikan di hadapan
saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat pagi ini pada kesempatan silaturahmi. Sesuai dengan pasal
8 Undang-Undang Dasar 1945, maka Wakil Presiden Republik
Indonesia Prof. Dr. Ir. B.J. Habibie yang akan melanjutkan sisa
waktu jabatan Presiden mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan
dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa
Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila
ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga bangsa Indonesia
tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945. Mulai hari ini pula
Kabinet Pembangunan VII demisioner dan pada para Menteri saya
ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan
untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan
Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara
Wakil Presiden sekarang juga akan melaksanakan pengucapan
sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik
Indonesia.”
Pemerintahan Soeharto menderita kekurangan persyaratan efektivitas,
karena “... tidak adanya tanggapan-tanggapan yang memadai.” Soeharto
memiliki legitimasi politis-konstitusional, tetapi ia tidak menikmati legitimasi
moral yang merupakan syarat efektivitas berlangsungnya pemerintahan.
Lenyapnya dukungan moral terhadap pemerintahannya karena dua alasan
utama: pertama berhubungan dengan aneka persoalan kemunduran
ekonomi, sosial dan politik secara umum; alasan kedua menyentuh langsung

108
protes rakyat atas pemerintahannya. Protes rakyat apakah inkonstitusional
(melawan konstitusi)? Baiklah kita merefleksi kenyataan protes mereka
dalam satu dua pertimbangan berikut:
Pertama, protes rakyat yang berkepanjangan memang tidak bisa dan
tidak perlu sampai menjatuhkan suatu pemerintahan politik yang secara
konstitusional sah, apabila lembaga tertinggi negara segera dapat menangkap
apa kehendak rakyat, dan lantas meminta pertanggungan jawab presiden atas
aneka peristiwa kemunduran yang terjadi. Secara konstitusional, di negara
mana pun dan dalam suatu pemerintahan politik apa saja, hanya lembaga
tertinggi yang bisa meminta seorang presiden berhenti, sedangkan rakyat
tidak bisa (atau tidak pernah boleh bisa).
Mengapa rakyat tidak bisa secara konstitusional memaksa presiden
berhenti? Alasan utamanya: pertama, rakyat sudah menghibahkan
kedaulatannya dalam pemilu kepada para wakil-wakilnya yang duduk di
lembaga tertinggi negara. Dan, kedua, andaikata rakyat secara konstitusional
juga dapat menjatuhkan presiden, kesulitannya, terletak pada bahwa
pemerintahan politik semacam itu akan selalu dibahayakan oleh protes
rakyat. Jika setiap ada protes rakyat suatu pemerintahan politik sudah cukup
menemukan alasannya untuk jatuh, sistem negara tersebut akan sangat
rapuh. Sukar dibayangkan pemerintahan yang bersangkutan dapat berjalan.
Kedua, tetapi, protes para mahasiswa yang meminta Suharto mundur
beberapa hari yang lalu tidak berarti melawan konstitusi. Mengapa?
Pengertian Konstitusi tidak boleh disempitkan sekadar pada dokumen
tertulis. Memang tidak ada tulisan (dalam Konstitusi kita) yang mengatakan
bahwa protes mahasiswa bisa atau boleh menjatuhkan pemerintahan.
Tetapi, seperti diperdebatkan oleh para pendiri bangsa ini, Konstitusi dibuat
untuk menegaskan bahwa negara Republik Indonesia memiliki tugas-tugas,
luhur “melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan segenap rakyat, melaksanakan ketertiban dunia ...” Para
mahasiswa membela, atau meminta dibelanya, pengertian Konstitusi yang
demikian ini.

109
Jatuhnya pemerintahan orde baru identik dengan pudarnya politik
kekuasaan. Sementara berkibarnya era reformasi identik dengan tumbuhnya
politik kerakyatan. Politik kerakyatan ialah politik yang mengedepankan
efektivitas pembelaan kesejahteraan rakyat. Politik kerakyatan menyisihkan
hegemoni ideologis dan aneka upaya pengedepanan kepentingan yang
bersifat agamis, ideologis atau apalagi warna kulit. Politik kerakyatan adalah
penghormatan terhadap pluralitas budaya khas bangsa yang berketuhanan,
berkemanusiaan, yang memuja nilai persatuan (bukan penyeragaman), yang
menjunjung tinggi permusyawaratan dan keadilan sosial. Politik kerakyatan
tidak melalaikan stabilitas tetapi tidak dengan cara-cara kekerasan yang
memandang sepele hak-hak manusiawi.
Reformasi harus bertolak pada komitmen pandangan bahwa apa yang
selama ini membuat runtuhnya bangunan kesejahteraan rakyat adalah budaya
politik Machiavellian, yaitu penomorsatuan kekuasaan di segala bidang
kehidupan. Politik semacam ini mengalirkan secara langsung mentalitas
pemujaan kekuasaan secara berlebihan. Mentalitas memuja kekuasaan artinya
segala kebijakan yang mengalir dari para pemegang kekuasaan di tingkat apa
pun (termasuk di dalamnya keluarga, kerabat, atau yang berkaitan dengan
mereka) pasti tak terbantahkan. Kendati dalam kenyataan, kebijakan tersebut
tidak efektif, tidak pas, tidak jantan. Aneka musuh bebuyutan keadilan,
seperti nepotisme, monopoli, korupsi, kolusi, ABS (asal bapak senang), MPB
(menurut petunjuk bapak), dan yang sejenisnya, adalah buah-buah dari
mentalitas ini.
Cara berpikir yang menandai mentalitas semacam ini ialah benar karena
diperintahkan, salah karena dilarang (oleh yang berkuasa). Cara berpikir
era reformasi sebaliknya: benar atau salah karena dimengerti dan diyakini
sendiri sebagai demikian. Mentalitas reformasi ialah pemujaan keadilan,
kemanusiaan, kebenaran, kemandirian dan kebebasan yang bertanggung
jawab. Juga pengupayaan kelincahan dalam manajemen untuk meningkatkan
kualitas kehidupan.
Pembukaan UUD’45 juga mencantumkan tujuan Negara Indonesia:
“melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

110
umum (bonum commune), mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta
menjaga ketertiban dunia.
Kesejahteraan umum wajib dan harus diusahakan oleh siapa pun. Oleh
siapa pun mengacu kepada ruang lingkupnya. Dalam lingkup keluarga,
kesejahteraan bersama seluruh anggota keluarga menjadi tanggung jawab
seluruh anggota keluarga. Dalam lingkup RT, seluruh warga RT berkewajiban
mengusahakan kepentingan bersama dengan dipimpin oleh pak RT.
Dalam lingkup kampus, seluruh warga kampus diminta untuk berperan
aktif dalam perwujudan kebaikan bersama dengan pimpinan sebagai
penanggungjawabnya. Dalam lingkup yang lebih luas, negara misalnya,
kesejahteraan umum juga menjadi tujuan yang harus dicapai oleh seluruh
warga bangsa.
Secara khusus tugas untuk mewujudkan bonum commune ini
diserahkan dan dilaksanakan oleh negara atau pemerintah yang sedang
berkuasa. Merekalah yang mendapat mandat, akan tetapi partisipasi
rakyat tetap dibutuhkan. Tampak bahwa negara seutuhnya terarah kepada
bonum commune. Peraihan bonum commune ini dijalankan lewat berbagai
program pembangunan. Commune artinya siapa saja, tidak pandang usia,
derajat, golongan, pangkat, partai, kekayaan, agama, suku, budaya, dst.
Sehingga salah besar jika mendapat perhatian dalam pembangunan negara
menganakemaskan golongan dan partai tertentu. Pemimpin negara (entah
itu presiden atau raja) tidak lagi menjadi milik partai, keluarga, agama, atau
golongan tertentu. Apalagi kalau hal itu terjadi pada negara demokrasi yang
pemimpinannya dipilih oleh rakyat. Tugas negara lalu adalah mengusahakan
bonum commune bagi seluruh rakyat.
Keadilan dilanggar bisa bonum commune tidak diusahakan. Maka
seorang presiden itu berlaku tidak adil kalau memperkaya golongan kaya
dan mengabaikan kesejahteraan rakyat miskin. Pak walikota itu melanggar
bonum commune kalau dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki
jalan demi kepentingan umum, dikorupsi demi bonum-nya sendiri.
Negara Pancasila kita yang bertujuan mencapai kesejahteraan umum
ini kemudian diejawantahkan dengan melindungi segenap tumpah darah,

111
mencerdaskan semua anak bangsa, dan turut serta aktif dalam pergaulan
dunia demi tercapainya kedamaian abadi.

112
BAB VII

MASYARAKAT PANCASILA DALAM


PERSPEKTIF PARADIGMA KONFLIK DAN
STRUKTURAL FUNGSIONAL

1. MASYARAKAT: SUATU KETERATURAN ATAU KONFLIK?


Masyarakat kerap dipandang sebagai suatu keteraturan. Ia dimengerti
sebagi satu sistem sosial yang terdiri dari individu-individu dan kelompok-
kelompok yang berinteraksi secara harmonis. Masyarakat yang baik dan
ideal dengan demikian adalah masyarakat yang dicirikhasi oleh equilibrium
(keseimbangan) dan jauh dari guncangan. Bagaimana dengan Indonesia?
Selama beberapa tahun terakhir segenap rakyat Indonesia dihadapkan
kepada situasi yang kian hari kian memburuk. Krisis moneter yang
berkepanjangan membuat sebagian besar rakyat Indonesia menderita.
Jumlah penduduk miskin terus bertambah dari hari ke hari, bahkan banyak
dari antara mereka tidak lagi bisa mengembangkan kemanusiaannya secara
optimal. Krisis yang sedang menghebat ini semula diharapkan dapat menjadi
momentum yang baik bagi segenap warga untuk menengok kembali sistem
hidup bersama yang sudah ada. Oleh karena itu tekad untuk melakukan
reformasi di segala bidang pun mulai digulirkan. Tetapi anehnya semua
ini tidak membawa bangsa Indonesia kepada situasi yang semakin baik.
Sebaliknya, yang terjadi adalah saling tuduh, saling hujat, saling jegal, dan

113
aneka konflik terus saja mengemuka. Beberapa contoh bisa saja dikemukakan
di sini, misalnya: kerusuhan antarsuporter sepak bola, aneka demonstrasi,
konflik bersenjata di Aceh dan tempat lain, kerusuhan antardesa, dll.
Pertanyaan yang kemudian mengusik adalah, “Apa yang sebenarnya terjadi
dengan masyarakat Indonesia?”
Kalau masyarakat dimengerti sebagai keteraturan, bagaimana dengan
masyarakat Indonesia? Pertanyaan ini cukup mendasar untuk dikemukakan
karena ternyata yang terjadi sekarang adalah aneka ketidakteraturan, konflik,
dan pergolakan. Akan tetapi adakah suatu masyarakat yang tanpa konflik?
Lalu, masyarakat yang baik adalah yang ditandai konflik atau tanpa konflik?
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah sistem sosial
yang terbesar dan paling inklusif. Masyarakat disebut sistem sosial karena
terdiri dari individu-individu dan kelompok-kelompok yang berinteraksi
dengan cara-cara yang kurang lebih tetap dan terpola (Sadbudianto, 2000).
Dengan demikian, satu perubahan dari sistem tersebut dapat mempengaruhi
bagian-bagian yang lain.

2. MASYARAKAT MENURUT KARL MARX


Karl Marx pernah amat populer baik itu di dunia maupun di Indonesia.
Ia dikenal sebagai bapak pencetus Marxisme yang kemudian berkembang
menjadi Komunisme. Selama abad ke-20 komunisme menjadi salah satu
ideologi dan kekuatan politik yang paling dahsyat di dunia. Sepertiga umat
manusia pernah hidup di bawah komunisme. Bangsa Indonesia juga pernah
mengalami hal yang sama ketika PKI (Partai Komunis Indonesia) begitu
mendominasi kehidupan politik beberapa tahun silam.
Bangsa Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru kemudian
mengharamkan Komunisme-Marxisme-Leninisme untuk masuk dalam
segala sendi kehidupan. Paham yang satu ini menjadi amat ditakuti, karena
barangsiapa bersentuhan dengannya pastilah dituding komunis, dan
karenanya harus ditangkap dan dikucilkan, bahkan harus dibuang sampai ke

114
Pulau Buru. Akan tetapi siapa Karl Marx dan bagaimanakah pemikirannya
hingga dunia begitu ketakutan karenanya?
Karl Marx lahir pada tahun 1818 di Trier, perbatasan barat Jerman.
Marx amat meminati filsafat, hingga akhirnya ia belajar filsafat di Berlin. Di
sanalah ia berkenalan dengan filsafat Hegel. Baginya filsafat Hegel merupakan
senjata intelektual yang ampuh untuk mengkritisi situasi masyarakat waktu
itu. Dialektika Hegelian yang ditandai oleh tiga poros penting (tesis, antitesis,
dan sintesis) diambilnya sebagai dasar menyusun dalil-dalil pemikirannya.
Dialektika Roh yang digagas Hegel dibumikan oleh Marx menjadi dialektika
materi yang akhirnya begitu mengguncang dunia. Hegel dikritiknya
terlalu idealis dan tidak memberi sumbangan apa-apa bagi kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itulah Marx mengambil model dialektika Hegel
untuk mengkritisi situasi dunia, karena filsafat bagi Marx harus menjadi
pendorong perubahan sosial (Magnis-Suseno, 2000).
Marx menyebut dirinya sendiri sebagai penemu “sosialisme ilmiah,” yaitu
sosialisme yang tidak berdasarkan harapan belaka, melainkan berdasarkan
analisis ilmiah (lewat peranti dialektika tesis, antitesis, dan sintesis) terhadap
perkembangan masyarakat. Marx berpendapat bahwa sejarah perkembangan
masyarakat adalah sejarah perkembangan materi, sehingga ekonomilah
hal yang menjadi dasar (infrastruktur), sedang agama/ideologi hanyalah
sebagai suprastruktur. Berbagai tulisan dan pendapatnya memang sangat
kontroversial. Marx bahkan harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain
karena pemerintah di mana ia berada terpaksa mengusirnya. Ia meninggal
pada tahun 1883 dengan kondisi yang amat menyedihkan.
Bagi Karl Marx, masyarakat adalah buatan manusia. Dari sini dapat
dimengerti bahwa manusia kemudian mempunyai kuasa untuk membentuk
ataupun mengubahnya. Marx bahkan secara tegas bersuara, “Para filosof
hanya menginterpretasikan dunia (masyarakat) secara berbeda, yang perlu
hanya mengubahnya!” (MEW 3, 535). Dengan demikian masyarakat tidak
berevolusi sendiri, karena ada pengaruh manusia di dalamnya.
Pandangan ini jelas berbeda dengan apa yang digagas oleh bapak
sosiologi, Auguste Comte. Comte berpendapat bahwa masyarakat adalah suatu

115
entitas tersendiri. Benar bahwa masyarakat itu terdiri dari individu-individu,
tetapi masyarakat tidak bisa diterangkan hanya dari kumpulan individu. Ia
adalah entitas sendiri yang tentunya mempunyai hukumnya sendiri pula.
Dalam tulisannya, German Ideology, Marx merumuskan suatu premis dasar
bahwa bidang ekonomi menentukan pemikiran manusia. Mengapa ekonomi?
Karena Marx hendak konsisten dengan dalilnya mengenai dialektika materi.
Baginya materi ini dapat diidentikkan sebagai ekonomi.
Kondisi ekonomi inilah yang kemudian membentuk kesadaran
seseorang. Dengan kata lain, pandangan seseorang mengenai dunia
ditentukan oleh posisi ekonominya (Marx: posisi kelasnya). Seseorang yang
berada dalam kelas yang terhormat tentu memiliki pandangan dan wawasan
yang berbeda dengan orang yang berada di kelas bawah. Perbedaan inilah
yang kemudian menimbulkan konflik.
Dunia dalam kacamata Marx diwarnai oleh pertentangan antarkelas:
kelas bawah (proletar) dan kelas atas (pemilik kapital). Menurut Marx, kaum
proletar jelas tidak mempunyai pandangan dan kesadaran yang utuh serta
objektif mengenai dunia. Kesadaran yang dimiliki oleh kaum buruh/miskin/
proletar/tertindas adalah kesadaran yang palsu. Mengapa? Karena mereka
diasingkan oleh kaum pemilik modal dengan aneka ideologi. Untuk itulah
perlu diadakan suatu revolusi. Revolusi yang ditandai dengan bersatunya
kaum buruh. Revolusi berarti konflik! Untuk itu, dalam kacamata Marx
konflik adalah hal yang tidak dapat dielakkan dan normal.

3. PARADIGMA (TEORI) KONFLIK MARX


Dalam ilmu-ilmu sosial, ada berbagai paradigma untuk menganalisa
suatu masyarakat dan aneka gejala sosial. Sosiologi sendiri paling tidak
memiliki empat paradigma besar dalam mengerti masyarakat, yaitu:
Paradigma struktural fungsional (Talcott Parsons, Auguste Comte), konflik
(Marx, Jessie Bernard, Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dll.), interaksi simbolis
(John Dewey, George Herbert Mead), dan pertukaran sosial (Blummer).

116
Sebelum membahas apa itu paradigma konflik, terlebih dahulu perlu
diketengahkan mengenai apa itu paradigma. Paradigma adalah sudut
pandang atau kerangka acuan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,1988). Dengan kata lain, paradigma adalah
cara pandang seseorang terhadap dunia, tentu tanpa mengadili salah ataupun
benar (Sad Budianto, 2000).
Sebagai suatu cara pandang, suatu paradigma (teori) tentu tidak bernilai
mutlak, karena pasti ada cara pandang lain yang memandang suatu hal
yang sama dengan cara yang lain pula. Paradigma konflik dengan demikian
hanyalah salah satu cara pandang dan tidak mutlak benar. Lewis A. Coser
menjelaskan konflik dalam uraian berikut ini:
“Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-
tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber
kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi, di mana pihak-
pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk
memperoleh barang yang diinginkan, melainkan juga memojokkan,
merugikan, atau menghancurkan lawan mereka.” (Conflict, Enc of
the Soc.Sc., 1972)
Dikatakan pula oleh Coser, bahwa perselisihan atau konflik dapat
berlangsung antara individu-individu, kumpulan-kumpulan (collectivities),
atau antara individu dengan kumpulan.
Teori konflik mengatakan bahwa perselisihan, baik yang bersifat
antarkelompok, antarindividu, ataupun antara keduanya, selalu ada di dalam
hidup bersama. Konflik merupakan unsur interaksi yang amat penting.
Bahkan menurut teori ini, konflik sama sekali tidak boleh dikatakan sebagai
sesuatu yang jelek, merusak, atau memecah belah. Justru konflik dapat
menyumbang banyak hal kepada kelestarian masyarakat dan mempererat
hubungan tiap anggotanya. Paradigma konflik ini dianut antara lain oleh
Coser dan Dahrendorf. Akan tetapi paradigma ini sebenarnya menemukan
asal-muasalnya pada pemikiran Karl Marx.

117
4. MASYARAKAT DITINJAU DARI TEORI KONFLIK
Analisis masyarakat dengan memakai teori konflik ini bertitik tolak
dari kenyataan bahwa ada paling tidak dua golongan besar di dalamnya,
yaitu golongan berkuasa dan golongan yang dikuasai. Inilah yang kemudian
memunculkan konflik. Mengapa? Karena dua golongan besar ini pasti
menimbulkan pula kepentingan yang berbeda. Jika kepentingannya berbeda
maka lahirlah pula benturan (konflik), karena masing-masing golongan pasti
ingin memperjuangkan kepentingannya.
Kepentingan dari pihak yang berkuasa pasti berbeda dengan
kepentingan dari pihak yang lemah. Kepentingan yang paling sering muncul
dari pihak yang berkuasa menurut Marx adalah bagaimana mereka bisa
melanggengkan kekuasaannya. Kepentingan golongan atas dengan demikian
adalah bagaimana mereka menggunakan kekuasaan dan mempertahankan
kedaulatan ekonominya. Dari sini pihak penguasa lalu memerlukan suatu
ideologi, pembenaran, atau apapun namanya untuk meninabobokan kaum
proletar agar tidak memberontak. Dengan kata lain, pihak proletar perlu,
bahkan harus diasingkan dari semua hal yang membuat mereka sadar
tentang siapa dirinya sendiri. Kalau perlu, kaum proletar harus diasingkan
dari dirinya sendiri.
Itulah masyarakat yang hendak dikritik Marx. Masyarakat yang harus
segera dirombak dan diganti (pasti melalui konflik) dengan masyarakat baru
yang dinamainya dengan masyarakat tanpa kelas. Dalam garis pemikiran ini,
Marx mengambil dialektika Hegel dengan mengatakan bahwa kelas bawah
adalah tesis, masyarakat atas adalah antitesis, dan masyarakat baru yang akan
terbentuk nanti (masyarakat tanpa kelas) adalah sintesis.
Itulah hukum masyarakat dan dunia: tesis, antitesis, dan sintesis. Selalu
saja ada perguliran dialektis (konflik) di dalam masyarakat. Jika tidak,
masyarakat tetap tinggal statis dan dikuasai oleh ketidakadilan yang semakin
menggurita.

118
5. HAL PENTING DALAM TEORI KONFLIK
a. Kekuasaan
Kekuasaan adalah setiap kemampuan untuk memenangkan kemauan
sendiri, juga kalau kemauan itu bertentangan dengan kemauan
orang lain (Veiger, 1990). Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep dan
terminus kekuasaan selalu muncul dalam suatu relasi. Berikut ini
adalah beberapa hal penting mengenai relasi dan kekuasaan:
1). Ada dua tipe relasi, yaitu tipe superordinasi, yaitu relasi antara
atasan dengan bawahan, dan tipe subordinasi, yaitu relasi bawahan
dengan atasan (Veiger, 215)
2). Relasi superordinasi dan subordinasi ini ada dalam suatu hubungan
di mana pihak atasan mengontrol tingkah laku bawahan melalui
larangan dan perintah.
3). Dengan demikian pihak yang bawah mempunyai kewajiban
untuk taat. Pengandaian dari relasi semacam ini adalah adanya
kekuasaan. Pihak yang atas mempunyai kekuasaan sehingga ia
merasa mempunyai wewenang untuk memerintah dan memaksa
pihak yang berada di bawah untuk menaatinya.
b. Kepentingan
Masyarakat terdiri dari kelas-kelas. Kelas yang satu tentu
mempunyai perbedaan kepentingan dengan kelas yang lain. Pihak
penguasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan apa yang
dimiliknya, sedang pihak bawah akan cenderung berkepentingan
untuk mengadakan suatu perubahan.
Dahrendorf membuat pembedaan yang cukup penting dalam
kaitannya dengan hal ini. Menurutnya ada dua macam kelompok
kepentingan: kelompok potensial, dan aktual.
Kalau sejumlah orang mempunyai kepentingan bersama (entah
kepentingan itu disadari atau pun tidak disadari), namun mereka
belum berorganisasi dan tidak bersatu, mereka disebut kelompok
potensial. Kelompok ini mempunyai potensi untuk mengaktualkan
kepentingan itu, akan tetapi untuk sementara hanya berupa potensi

119
atau recruiting field for groups (Ginsberg, 1953: 40).
Apabila orang-orang yang satu kepentingan dipertemukan dalam
satu kelompok, partai, atau organisasi, dan kepentingan mereka
menjelma menjadi suatu program yang konkret, maka mereka dapat
disebut sebagai kelompok konflik aktual. Di sinilah mereka mulai
mengaktualkan potensi yang telah dimiliki menjadi suatu gerakan
bersama yang konkret.

6. TEORI STRUKTURAL-FUNGSIONAL SEBAGAI PEMBANDING TEORI


KONFLIK
Untuk memahami bagaimana teori konflik bekerja, perlu ditampilkan
pula sedikit panorama mengenai apa dan bagaimana teori struktural
fungsional memahami masyarakat. Pandangan struktural fungsional (atau
kerap disebut fungsionalisme) diusung oleh Talcot Parsons, yang sebelumnya
terlebih dahulu diawali oleh Auguste Comte, sang bapak sosiologi. Sejak awal
permulaan kariernya sebagai sosiolog, Parsons dikesankan oleh keadaan
teratur yang disebut sebagai masyarakat.
Keteraturan masyarakat disebabkan oleh adanya nilai-nilai budaya yang
dibagi bersama. Nilai-nilai inilah yang kemudian dilembagakan menjadi
norma-norma sosial, dan kemudian dibatinkan oleh masing-masing individu
menjadi motivasi-motivasi (Parsons, The Structure of Social Action, 1938).
Pendapat ini diadopsi dari tesis Comte yang mengatakan bahwa
masyarakat adalah suatu entitas tersendiri. Oleh karena itu, masyarakat
adalah suatu kesatuan organis yang tidak menolerir konflik dan perbedaan
antarkelas ataupun antarindividu. Masing-masing bagian yang ada dalam
masyarakat justru berfungsi untuk mendukung kinerja keseluruhan dan
mengabdi kepada keseluruhan dengan sukarela. Dengan demikian jelas tidak
ada tempat bagi perbedaan kepentingan dan perebutan kekuasaan.
Dalam paradigma struktural fungsional, masyarakat dimengerti sebagai
kesatuan yang organis yang dibentuk melalui konsensus. Masyarakat yang
demikian tentu memiliki tujuan bersama yang dikejar. Untuk mencapainya

120
perlu ada kerja sama, saling bantu, dan bahu-membahu. Tidak ada konflik
kepentingan, karena ideologi yang adalah norma-norma yang bertujuan
untuk pencapaian kebaikan bersama. Masyarakat yang dicita-citakan oleh
para fungsionalis dengan demikian adalah masyarakat yang diwarnai oleh
keharmonisan dan keseimbangan. Dalam alur pikir ini equilibrium adalah
hal yang normal, dan konflik adalah ketidaknormalan.
Pandangan harmonis yang digagas oleh teori struktural fungsional tentu
amat berbeda dengan cara pandang Karl Marx. Tabel berikut memaparkan
beberapa perbedaan penting antara fungsionalisme dan teori konflik:

Paradigma Paradigma
Struktural Fungsional Konflik
1. Masyarakat dilihat sebagai ke- 1. Masyarakat dilihat sebagai kelas-
satuan yang organis (keseluruhan). kelas yang saling berbeda (bagian-
bagian).
2. Adanya konsensus atau kesadaran 2. Masyarakat diwarnai oleh kepent-
bersama (common conscience) ingan (self interest). Kepentingan
dalam masyarakat. Hal ini ada ini muncul karena adanya perbe-
karena masyarakat itu mengejar daan posisi kelas.
tujuan bersama.
3. Masyarakat yang seperti ini diwar- 3. Perbedaan self interest menimbul-
nai dengan kerja sama. kan konflik.
4. Ideologi yang diciptakan adalah 4. Ideologi yang berlaku adalah
norma-norma untuk mencapai ideologi buatan kelas atas, yaitu:
tujuan bersama. kekuasaan (power). Power ini bisa
menjelma menjadi kekuatan poli-
tik, budaya, ekonomi, dan sosial.
5. Equilibrium (keseimbangan) 5. Konflik adalah hal yang wajar,
adalah hal yang normal. justru harus dicurigai jika tidak
ada konflik yang terjadi dalam
masyarakat itu.

121
7. RELEVANSINYA BAGI MASYARAKAT INDONESIA YANG PANCASILAIS
DAN MULTIKULTURAL
Pandangan Karl Marx tentang masyarakat ternyata amat berbeda dengan
pola pemikiran para penganut fungsionalisme. Cara berpikir fungsionalisme
memang sangat jamak dan umum digunakan, akan tetapi ada baiknya
jika masyarakat disoroti secara lain sehingga dari sini diharapkan muncul
beberapa sumbangan pemikiran yang konstruktif.
Masyarakat Indonesia ternyata amat akrab dengan ideologi, dan
Marx justru kerap mencurigai hal ini karena pihak yang berkuasa kerap
mengideologikan kepentingannya menjadi nilai-nilai, dan menjadikan nilai-
nilai tersebut sebagai sesuatu yang sakti. Dengan berbuat demikian, mereka
berharap agar kedudukan dan kekuasaan mereka makin kokoh. Dalam
situasi yang seperti ini, oposisi jelas dianggap sebagai lawan. Segala sesuatu
yang bertentangan langsung dicurigai sebagai oposisi dan kepadanya akan
diberikan label “subversif!” Tak terbilang jumlah orang yang akan dihukum
mati atau disingkirkan dari hidup bersama karena label subversif ini. Hal
inilah yang harus secara jujur diakui ada dan terjadi dalam masyarakat
Indonesia.
Pihak yang berkuasa hampir selalu merangkul pihak-pihak yang
mempunyai pengaruh di dalam masyarakat. Pihak yang berpengaruh ini bisa
berupa lembaga keagamaan, adat, budaya, politik, dan lain sebagainya. Mereka
perlu dirangkul supaya kepentingan penguasa mempunyai pembenaran, baik
itu pembenaran dari sudut ideologis, adat, teologis, politis, dan seterusnya.
Tidak heran jika kemudian agama kerap menjadi rebutan. Hal ini pernah
dan berulang kali terjadi. Karl Marx adalah orang yang mengalami zaman
seperti ini, di mana agama kerap digunakan sebagai pembenaran teologis
dan ideologis bagi kepentingan kaum berduit dan berpunya.
Pada zaman Marx, ayat-ayat dari Kitab Suci pun kerap dikutip untuk
meninabobokan kaum lemah, misalnya: “Panggullah salibmu .... ” untuk
mengatakan bahwa kaum buruh harus menerima nasib mereka setiap hari
sebagai suatu salib yang harus dipikul agar Kerajaan Surga dapat mereka
peroleh, “Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamulah empunya

122
Kerajaan Surga....” untuk mengatakan bahwa kaum miskin harus menerima
takdir mereka dan tidak memberontak, serta aneka pembenaran agamis
lainnya. Dari kaca mata ini tidak heran jika Marx mengkritik agama
sebagai candu bagi masyarakat. Agama bukan lagi menjadi peranti untuk
memerdekakan seseorang, tetapi alat untuk membuat mereka melayang-
layang dan terlena dalam keadaan hidup yang menyedihkan.
Marx sebenarnya menyumbang suatu pisau analisis yang amat tajam
dalam mengkritisi situasi masyarakat. Sebagai suatu pisau, paham yang
digagas oleh Marx sungguh kritis dan sekaligus terkesan kasar. Mengapa?
Karena masyarakat seakan-akan disoroti secara negatif, meski sebenarnya
ada beberapa kebenaran yang terkandung di dalamnya yang tidak dilihat
oleh para pemikir yang lain. Inilah yang sebaiknya diambil untuk mengkritisi
masyarakat Indonesia yang jamak dan yang akhir-akhir ini akrab dengan
konflik.
Beberapa kesimpulan kecil yang dapat diambil dalam paparan ini antara
lain adalah: pertama, masyarakat Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”
kerap dilihat sebagai suatu fungsionalisme belaka. Ruang untuk mengelaborasi
bagian-bagian sebagai keindahan kurang diberi tempat. Sentralisme gaya
Orde Baru mematikan keindahan tiap bagian yang amat berbhinneka ini.
Kedua, perlu digali pula apakah slogan “Bhinneka Tunggal Ika” ini telah
diselewengkan oleh kaum-kaum tertentu (yang mempunyai kepentingan)
untuk melanggengkan kepentingannya?
Ketiga, penggalian kepentingan tersebut menjadi penting agar menjadi
nyata apa “self interest” yang sedang diusung dibalik semua kebijakan yang
sedang digulirkan.
Keempat, “power” macam apakah yang sekarang ini sedang digunakan?
Apakah agama dan para pemukanya sedang diperalat demi kepentingan
tertentu? Jika ini yang terjadi, agama tentu kehilangan fungsinya sebagai
penjawab kerinduan manusia akan kebebasan yang sejati. Agama yang
seharusnya menjadi tempat untuk mengilahikan hidup manusia justru
akan menjadi manusiawi semata (lengkap dengan segala kekotorannya,
hasut-menghasut, main uang, gila kuasa, dll.), karena ia hanya menjadi alat

123
pelanggeng ketidakadilan. Harus terus secara jujur dipertanyakan apakah
agama sudah dijadikan kendaraan politik tertentu ataukah tidak.
Kelima, jika sebenarnya yang terjadi adalah ketidakadilan, siapkah
manusia Indonesia untuk menerima konflik. Lagi-lagi harus dikatakan
bahwa konflik tidak identik dengan kerusuhan, tawuran, perang, dan lain
sebagainya. Konflik di sini lebih merupakan suatu dialektika, yaitu suatu
pergumulan tesis, antitesis, dan nantinya akan menghasilkan sintesis yang
lebih baik. Ada banyak macam dialektika, misalnya: pergumulan pemikiran,
perbedaan pendapat, unjuk rasa (dalam arti positif, yaitu mengunjukkan rasa
atau pendapat tertentu agar masyarakat mengetahui aspirasi mereka), dan
lain-lain. Konflik semacam inilah yang harus diapresiasi sebagi sesuatu yang
membangun. Masyarakat Indonesia (bisa dalam lingkup besar sebagai negara,
maupun dalam lingkup kecil: RT, RW, lingkungan, desa, dst.) lalu harus lebih
dilihat sebagai masyarakat yang dialektis demi menuju sesuatu yang lebih
baik. Dengan demikian perbedaan pendapat tidak harus mutlak dikatakan
sebagai subversif sehingga harus dibunuh atau diberi racun arsenik.
Ada satu/dua indikasi bahwa transparansi Indonesia belum meyakinkan.
Indikasi pertama ialah maraknya kejahatan publik di berbagai wilayah
dan daerah di Indonesia. Bukan terutama soal copet atau perampokan,
melainkan, soal bahwa publik menghukum secara membabi para penjahat
kelas teri, dan dengan demikian tindakan peradilan sendiri tercetus sebagai
suatu bentuk kejahatan baru, kejahatan publik. Kekerasan publik adalah
antitesis transparansi, keterbukaan, internasionalisme, humanisme universal
dari manusia Indonesia sebagai bagian dari bangsa manusia yang tinggal di
planet bumi ini. Dalam suasana semacam ini (amuk massa dan penawaran
nilai-nilai baru oleh keputusan emosional sesaat yang menendang prinsip-
prinsip hukum dan kemanusiaan semacam ini), demokrasi jelas menemukan
jalan buntu. Artinya, segala macam aktivitas yang dimaksudkan untuk
membangun kemandirian dan tanggung jawab civil society menjadi tidak ada
artinya sama sekali. Tidak heran, bila investasi mengalami kemacetan dan
kelambanan yang mengkhawatirkan.

124
Indikasi kedua, ialah bahwa masyarakat kita belum cukup meyakinkan
dalam menegaskan transparansinya ialah ‘karena hadirnya mentalitas -
apa yang disebut - “TIRANISME ELIT PQLITIK” Dengan “tiranisme”
dimaksudkan sikap (bukan paham), suasana (bukan aktivitas gerakan) dari
langkah, strategi, argumentasi, komentar, kebijakan, keputusan yang tidak
mengedepankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan tetapi pada
keperluan sendiri atau kelompok sendiri. Subjek sikap tiranis ialah kaum
elit politik, tetapi juga disembulkan dan dipicu intensitasnya oleh societas
sendiri, terutama oleh kelompok masyarakat yang tidak mengedepankan
wacana pembaharuan. Mari kita simak kutipan dari halaman pertama salah
satu surat kabar terkemuka di Jawa Timur, SURYA, pada halaman pertama,
mengenai keterangan pers Ruhut Sitompul (salah satu kuasa hukum Suharto).
Judul besarnya: “Suharto ditahan, negeri ini rusuh” (Surya 24 Mei 2000).
“Ini ancaman serius dari kubu mantan Presiden Suharto. Kalau
Jaksa Agung tetap akan ‘merumahkan’ jenderal besar tersebut, maka
akan terjadi pertumpahan darah dan chaos di negeri ini. `Emangnya
keluarga dan pendukung Suharto diem aja. Bisa-bisa terjadi
pertumpahan darah dan chaos. Jujur saja, pendukung Suharto masih
banyak, misalnya semua yang, menjadi jenderal ... Gua (saya, Ruhut
Sitompul) juga pendukungnya, karena gua jadi sarjana saat beliau
jadi presiden ...’ Bahkan tidak tanggung-tanggung pengacara ini juga
menyatakan siap menyerahkan nyawanya demi membela Suharto ...”
Fenomena apa ini? Lepas dari soal akurat tidaknya penulisan berita
atau bombastis tidaknya bahasa yang disodorkan, realitas ini adalah realitas
masyarakat Indonesia. Jalan pikiran mentalitas ini ‘kan seakan-akan negeri
ini tetap masih berada dalam kekuasaan Soeharto. Padahal, siapakah dia?
Kemandirian dan eksistensi dari negeri ini lantas difondasikan bukan kepada
kebenaran atau hukum atau kecerdasan civil society-nya, melainkan kepada elit
pribadi publik atau elit politik. Langkah dari perjalanan bangsa ini cenderung
terseok-seok lantaran mentalitas civil society-nya yang mengedepankan
tiranisme elit publik. Simak saja bagaimana Lapindo sekarang ini juga telah
di-SP3-kan. Lagi-lagi berkat konspirasi canggih dari kaum elit politik. Kasus
ini walaupun dalam skala yang berbeda dan materi persoalan yang tidak sama

125
mengingatkan kita akan banyak kasus yang serupa, seperti kasus Edi Tanzil
yang entah ke mana lantas jejaknya hilang dan dengan demikian persoalan
beres. Rupiah pun tetap saja tidak menampilkan nilai yang meyakinkan di
hadapan dolar, karena elit politik yang tiranikal membangkitkan ketegangan
dan ketidakseriusan reformasi. Lihat saja aneka kerusuhan dan ketegangan
yang tidak hanya sekadar menjadi masalah daerah melainkan juga trend
nasional, belum lagi ditambah masalah perbatasan yang kita lupakan untuk
sementara ini!
Tiranisme juga memaksudkan mentalitas sentralistis pada sang
penguasa enggan penguasa dimaksudkan bukan sekadar para birokrat yang
memegang jabatan organisasional dalam pemerintah melainkan juga para elit
politik atau, lebih tepat elit publik. Tiranisme menyiratkan betapa kedudukan
mereka bersifat tyrannical, artinya dalam dirinya sendiri kehadirannya (yang
berkaitan dengan kedudukannya sebagai penguasa) sudah sangat menentukan
segala gerak dan sistem tata hidup bareng. Dalam tiranisme, determinasi
kehidupan bareng praktis lantas terjadi hanya pada beberapa gelintir pribadi
manusia. Partisipasi politik sebagai cetusan kemandirian masyarakat/warga
negara praktis lenyap. Lenyap tidak secara konstitusional, melainkan secara
real, mental, dan kultural.
Tiranisme bukan melulu bentukan para tiran (penguasa), melainkan
juga tersembul dalam masyarakat penganut feodal. Jika feodalisme pada
zaman lalu berkaitan dengan sistem pemilikan yang terkonsentrasi pada
beberapa manusia tuan tanah, tiranisme pada masa sekarang ini tercetus
dalam pendewaan, pengultusan, pengagung-agungan para elit politik dan elit
publik. Tiranisme tidak saja mereduksi sistem tata hidup bersama dalam aneka
komentar/kebijakan/keputusan beberapa manusia yang menduduki elitisme
politik dan publik, melainkan juga langsung mengatakan ketidakmandirian
society. Masyarakat sosial – dalam elitisme – tergusur oleh arus raksasa dan
kokoh dari determinasi kehadiran kaum elit politik. Jadi, tiranisme adalah
timbunan yang excessive dari mentalitas masyarakat yang ignorant dalam arti
seluas-luasnya, tidak hanya dalam pengetahuan atau intelegensi melainkan
juga dalam pengedepanan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dianut dan
diberlakukan dalam societas itu.

126
Tiranisme dengan demikian langsung mengatakan antitesis dari civil
society. Dalam masyarakat sipil, pengertian ke-sipil-annya sesungguhnya
tidak hanya berurusan dengan cita-cita bahwa pemerintahan dijauhkan
dari segala macam bau dan gaya intervensi militer, melainkan juga sangat
mengandaikan kemandirian masyarakatnya. Tiranisme pada masa Orde
Baru berkaitan langsung dengan sistem represif pemerintahan yang
kemiliter-militeran, tiranisme pada masa Reformasi beralih kepada sistem
yang determinatif hanya pada segelintir kaum elit politik atau elit publik.
Tambahan lagi, tiranisme dewasa ini diperteguh oleh kehadiran model-
model atau cara-cara baru merepresi (menekan) aneka ketidakberesan yang
terjadi tidak lewat jalur hukum, melainkan pada kekuatan, fisik, kegagahan
seragam satgas-satgas, keberingasan untuk main hukum sendiri dengan
berbagai alasan yang hendak mendulang kepuasan karena telah menghantam
para penjahat kelas teri, dan seterusnya.
Tiranisme tidak meletakkan keadilan pada kebenaran, melainkan
mereduksi kebenaran pada asumsi dan kepercayaan emosional. Dengan
demikian keadilan bukan hanya sulit dijalankan, melainkan juga tidak
mungkin diandaikan karena segala elemen kebenaran direduksi pada
kehadiran dari elit publik/politik itu sendiri. Diskursus tentang tiranisme
sesungguhnya menyentuh langsung pada identitas masyarakat/bangsa
itu sendiri. Ketika Hatta memperingatkan para pendiri negara yang lain
agar negara Indonesia ini jangan sampai jatuh pada “negara kekuasaan,” ia
mengajukan formulasi yang dari sudut filsafat politik termasuk baru, yaitu
bahwa negara Indonesia adalah “negara pengurus.” Hatta, di sini, langsung
menegaskan bahwa para elit politik atau elit publik sesungguhnya hanyalah
“pengurus” dari suatu tanggung jawab besar dan mulia untuk menggalang
kesejahteraan yang menjadi milik rakyat. Disebut “pengurus” (dan bukan
“penguasa” atau “pemilik”), karena tatanan hidup bersama (yang oleh
Aristoteles dimaksudkan untuk menggapai the good life ini) adalah milik
masyarakat. Tiranisme yang langsung mengatakan betapa determinannya
aneka gerak, langkah, komentar, pikiran, kebijakan, keputusan dari segelintir
elit politik atau elit publik, jelas merampas pengertian sistem kepengurusan
semacam ini.

127
Tiranisme mereduksi partisipasi masyarakat pada kenyataan semu
bahwa seakan-akan masyarakatlah pemegang kekuasaan pemerintahan.
Tiranisme adalah gejala atau tantangan baru civil society Indonesia. Bila
demokrasi adalah ungkapan kemandirian dan tanggung jawab, kita semua
harus berani melepaskan diri dari mentalitas ini.
Bangsa dan negara Indonesia merupakan suatu bangsa yang besar.
Masyarakat dan bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keragaman
sosial, kelompok etnis, budaya, agama, aspirasi politik dan lain-lain,
sehingga bangsa ini secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat
multikultural. Raymundus Sudhiarsa mengutip pernyataan Will Kymlica
yang mendefinisikan multikulturalisme sebagai bentuk pluralisme budaya
yang berbeda dan masing-masing mempunyai integritas dan tantangannya
sendiri-sendiri.
Pemahaman serta kesadaran tentang multikulturalisme sebenarnya
sudah muncul sejak pendiri bangsa mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia. Tetapi dewasa ini pemahaman akan multikulturalisme mulai
keluar dari konsep dasar tersebut. Artinya, bagi bangsa Indonesia masa kini,
konsep multikulturalisme menjadi sebuah terminologi yang baru dan asing.
Mengapa demikian? Karena kesadaran tentang konsep multikulturalisme
yang dibentuk oleh pendiri bangsa ini telah terdistorsi pada masa Orde
Baru. Kesadaran akan multikulturalisme dipendam atas nama persatuan
dan stabilitas negara. Muncullah kemudian paham “mono-kulturalisme”
yang bercirikan penyeragaman atas berbagai aspek, sistem sosial, politik dan
budaya.
Berbagai contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya: amuk masa,
pembakaran tempat ibadah, aneka kerusuhan, main hakim sendiri, aneka
pembunuhan, konflik bernuansa SARA, tindak kekerasan terhadap aliran
agama tertentu (Ahmadiyah misalnya), dan aneka peristiwa tragis lainnya.
Dari sini dapat dikatakan bahwa berbagai kekisruhan etnis yang merebak di
banyak tempat merupakan akibat dari rendahnya kesadaran dan wawasan
multikulturalisme.

128
Konsep multikulturalisme tidak dapat begitu saja disamakan dengan
konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri
masyarakat majemuk. Multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme
akan menyentuh berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini,
yaitu politik, demokrasi, keadilan, penegakan hukum, kesempatan kerja
dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti, penghormatan atas golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika-moral, dan mutu produktivitas.”
Usaha untuk membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin
dapat terwujud apabila konsep multikultural menyebar luas dan dipahami
pentingnya bagi bangsa Indonesia. Kesamaan pemahaman di antara para
ahli mengenai konsep multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
mendukungnya amat diperlukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.

129
BAB VIII

ANALISIS ATAS INDONESIA:


(NEGARA KEKUASAAN, PENGURUS,
KESATUAN, KEKELUARGAAN, FEDERAL,
ATAU NEGARA AGAMA?)

1. NEGARA KEKUASAAN DAN NEGARA PENGURUS.


Dari para pendiri negara, kita mewarisi tidak hanya bangsa Indonesia
yang merdeka, bersatu, dan berdaulat, melainkan juga khasanah tema-tema
filsafat politik yang sangat berharga. Salah satu tema yang sempat muncul
dalam diskusi sangat penting mengenai rancangan UUD 1945, yakni “negara
kekuasaan” dan “negara pengurus”. Kedua istilah ini berasal dari Mohammad
Hatta. Ia menyebutkan kedua istilah tersebut dalam tanggapannya atas
pidato Soekarno, ketua Panitia Hukum Dasar, tanggal 15 Juli 1945. Hatta
menegaskan:
“[Kita sedang] mendirikan negara baru. Hendaklah kita
memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan
menjadi Negara Kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus, kita
membangunkan masyarakat baru yang berdasar kepada gotong-
royong, usaha bersama; tujuan kita ialah membaharui masyarakat ...
[Janganlah] kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada

130
negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu negara
kekuasaan.” (Setneg, 1995:262)
Karena konteks penyebutannya merupakan saat yang menentukan masa
depan bangsa; Hatta pastilah memaksudkan konsep yang mendalam mengenai
apa yang ia sebut sebagai “negara kekuasaan” dan “negara pengurus.”
Tanggapan Hatta atas pidato Soekarno dapat disingkat kurang lebih
demikian: Bahwa Undang-Undang Dasar yang sedang digarap tidak hanya
perlu untuk menyongsong kemerdekaan, melainkan juga dimaksudkan
sebagai fondasi masyarakat baru, negara baru yang sedang dibangun. Dalam
konteks mendefinisikan negara baru inilah, ia mengajak the founding fathers
yang lain mewaspadai agar tidak tergelincir ke dalam “negara kekuasaan”,
melainkan mengarah kepada apa yang disebut “negara pengurus.”
Teori Hatta mengenai pembedaan “dua” negara ini memiliki karakteristik
pengertian yang khusus. Prof. Dr. Supomo, dalam pidatonya mengenai
dasar negara tanggal 31 Mei 1945, mengajukan tiga bentuk negara yang ia
bedakan berdasar pada teori-teori yang mendasari pemikirannya: negara
yang didasarkan di atas teori perseorangan” (individualism), negara yang
dialaskan pada teori golongan (class theory), dan negara yang difondasikan
atas teori integralistik. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, Hatta tidak
mempersoalkan siapa yang memerintah dan atas dasar konstitusi apa
pemerintahan itu dijalankan. Pembedaan Hatta atas dua negara, kekuasaan
dan pengurus, juga tidak serupa dengan cara yang dilakukan Supomo. Hatta
tidak pernah memberikan definisi yang lengkap mengenai kedua istilah
tersebut.
Hatta berada dalam konteks pembahasan mengenai suatu konsep negara
yang difondasikan atas dasar kekeluargaan. Seperti yang dikatakan Supomo,
“....dasar kekeluargaan menghendaki sistem pemerintahan, yang
menganggap Pemerintahan pada umumnya dan Kepada Negara
pada khususnya sebagai Kepala Keluarga Besar, yaitu seluruh rakyat.
Sesuai dengan dasar itu Pemerintah harus diberi kepercayaan untuk
memegang kekuasaan yang tetap, yang tidak digantungkan kepada
kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat” (Setneg, 1995:262-263).

131
Pada bagian lain, ketika berbicara mengenai teori integralistik, Supomo
memaksudkan negara sebagai “suatu susunan masyarakat yang integral, segala
golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain
dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam
negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa
seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling
kuat, atau yang paling besar, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup
bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Dan masyarakat baru itu ialah ‘negara pengurus’ bukan ‘negara
kekuasaan.’ Di sini Hatta rupanya hendak mengatakan dua hal penting
mengenai makna “negara pengurus”. Pertama: bahwa negara semacam
itu bukan hanya bertentangan dengan arti “negara kekuasaan,” melainkan
juga, kedua: “negara pengurus” merupakan perwujudan dari masyarakat
baru, yakni bangsa Indonesia. Ini sekaligus juga berarti bahwa masyarakat
Indonesia (juga di dunia) sebelumnya dengan demikian bukanlah berada
dalam suatu model “negara pengurus.”
Elemen pengertian “negara pengurus”, menurut Hatta, pertama-tama
ialah “... supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara...”
Apa arti “negara kekuasaan,” dan juga “negara pengurus”? Dari mana kedua
istilah itu dipikirkan? Atau menunjuk pada pengertian-pengertian apa
kedua istilah itu diajukan? Jika dilacak secara lebih teliti, pengertian “negara
kekuasaan” secara langsung menunjuk pada atau, paling sedikit sangat mirip
dengan paham negara seperti yang digariskan Nicolo Machiavelli; sedangkan,
“negara pengurus” menyerupai dengan paham negara kontrak sosial.
“Negara pengurus” merupakan istilah yang tidak berbeda dengan apa yang
sekarang disebut sebagai “negara pengemban amanat rakyat”. Jadi istilah itu.
mau mengatakan seputar paham negara demokrasi. Baik dalam pengertian
“negara kekuasaan” maupun “negara pengurus”, di sini, dibicarakan dan
dibahas secara langsung terutama soal model kepemimpinan negara, bukan
soal dasar negara.
Pada waktu Hatta menyebut kedua istilah tersebut, khasanah filsafat
politik kita tidak atau belum memiliki pengertian yang lengkap. Bangsa

132
Indonesia belum punya penjelasan atau pengalaman konkret berhubungan
dengan istilah tersebut. Apa yang kita saksikan dalam pemerintahan raja-
raja, dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tidak bisa dikategorikan
sebagai suatu “negara” sebagaimana dimaksudkan oleh the founding fathers
manakala mereka sibuk mendiskusikan rancangan UUD 1945.
Negara kekuasaan berkaitan dengan gagasan filsafat Machiavelli.
Mengenai bagaimana seorang pangeran mengatur kebijakannya terhadap
rakyatnya dan sahabat-sahabatnya. Machiavelli tidak mengatakan
bagaimana sebaiknya seorang pangeran memerintah, melainkan bagaimana
seorang pangeran berkuasa. Dari sebab itu, jika seorang pangeran ingin
mempertahankan takhtanya [atau kekuasaannya] ia harus belajar bagaimana
tidak menjadi baik, dan belajar bagaimana menaati atau menabrak ketentuan
menurut keperluan. Hal ini karena, apa-apa yang tampak sebagai keutamaan
jika ia praktikkan, justru malah menghancurkan dirinya sendiri. Sementara
itu, apa-apa yang tampaknya merupakan kejahatan akan mengantarnya
kepada keamanan dan kesejahteraan” (Il Principe, Ch. XV)
Dengan istilah “negara kekuasaan”, di sini, hendak dikatakan bahwa
elemen fundamental negara tersebut berhubungan seputar masalah
kekuasaan. Apa yang disebut dengan masalah kekuasaan adalah soal-soal
mengenai proses penghibahan kekuasaannya, prosedur pengangkatan
sang penguasanya, ketentuan caranya berkuasa/menguasai, atau juga soal
penegasan perlunya membela dan mempertahankan apa yang dikuasainya.
Pendek kata, dalam negara kekuasaan titik sentral perhatiannya terarah pada
kekuasaan melulu.
“Negara pengurus”, sebaliknya, langsung mengedepankan pengertian
bahwa sang pemegang kekuasaan adalah pengurus, pengelola, pengemban.
Sang pemimpin bukanlah sang pemilik, melainkan dia yang bertanggung jawab
atas kekuasaan yang diembannya. Pengertian ini juga hendak menegaskan
bahwa warga negara adalah juga subjek-subjek dalam hal mengurus negara.
Mereka bukan pribadi-pribadi sebagai objek atau, yang dikuasai, melainkan
subjek atau, yang ikut aktif ambil bagian dalam mengelola negara. Kenyataan

133
bahwa warga negara adalah subjek pengelolaan negara diwujudkan dalam
tindakan pemilihan para pengurus negara.
Berbeda dengan paham “negara kekuasaan”, dalam “negara pengurus”
tidak disisihkan partisipasi aktif dalam saran, kritik, maupun bentuk-bentuk
protes yang konstruktif dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai jalannya
kepengurusan. Apa yang dimaksudkan dengan protes konstruktif dan dapat
dipertanggungjawabkan adalah ungkapan-ungkapan ketidaksetujuan sejauh
tidak melindas batas-batas hukum dan moral yang berlaku.
Hatta sekali lagi menggarisbawahi pentingnya hak-hak rakyat agar
jangan negara Indonesia tergelincir dalam negara kekuasaan.
“... Sebab itu ada baiknya dalam salah pasal disebutlah hak yang
sudah diberikan kepada tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia,
supaya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara ...
[Jaminan hak] ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak
menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas
kedaulatan rakyat. Tetapi kedaulatan rakyat bisa dipergunakan oleh
negara, apa lagi menurut susunan Undang-Undang Dasar sekarang
ini yang menghendaki kedaulatan rakyat yang kita temui di dalam
majelis permusyawaratan rakyat dan penyerahan kekuasaan kepada
Presiden, ialah Presiden jangan sanggup menimbulkan suatu negara
kekuasaan .... Usul saya ini tidak lain dan tidak bukan hanya menjaga
supaya negara yang kita dirikan itu ialah negara pengurus, supaya
negara pengurus ini nanti jangan menjadi negara kekuasaan, negara
penindas.” (Setneg: 262-263)

2. INTEGRALISTIK-FEDERALISTIK
Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menganalogikan
Indonesia merdeka sebagai suatu “gedung” atau “bangunan” yang harus segera
didirikan. Mengenai pendirian “gedung” Indonesia merdeka, ada tiga elemen
konstitutif yang secara skematis ditegaskan: dasar pendiriannya, bentuk

134
bangunannya, dan sistem hukum yang mengatur arah kehidupannya. Dasar
pendirian ialah paham filsafat asli atau ideologi bangsa di atas mana negara
Indonesia merdeka difondasikan, sedangkan bentuk bangunannya menunjuk
pada susunan atau administrasi pengelolaan negara. Sistem hukum langsung
berkaitan dengan sistem moral kehidupan bersama yang hendak dihidupi.
Perihal apakah Indonesia merdeka akan menjadi negara integralistik
atau federalistik, di sini secara langsung dibicarakan soal yang berkaitan
dengan administrasi atau bentuk susunan negara, bukan ideologi atau dasar
negaranya. Jadi, tema negara integralistik atau federalistik menunjuk pada
elemen kedua, yaitu bagaimana negara dikelola atau bagaimana administrasi
perwilayahannya diatur secara praktis. Konsekuensinya perubahan sistem
administrasi negara, dengan demikian, tidak boleh menggusur fondasi
bangunan Indonesia merdeka, yaitu Pancasila. Segala bentuk kekerasan,
kebrutalan, ancaman, pemaksaan, dan penindasan dari kelompok yang
satu kepada sesamanya. yang lain (yang biasanya menyertai setiap upaya
perubahan kehidupan bersama) haruslah dicegah dan dihindarkan!

3. NEGARA DAN AGAMA


Negara agama, apakah itu? Negara agama artinya, konstitusi yang dibuat
sebagai fondasi, negara mencantumkan agama sebagai salah satu fondasinya.
Maksudnya, ditulis secara tegas, bahwa agama dari negara ialah demikian.
Dari sudut pandang konstitusional seperti ini, Indonesia jelas bukan negara
agama. Tetapi, Indonesia juga tidak memiliki elemen-elemen untuk disebut
sebagai negara sekuler secara tegas. Negara sekuler artinya negara melepaskan
diri dari hegemoni agama. Indonesia masih menyisakan banyak perkara pada
soal-soal yang berkaitan dengan agama. Agama menjadi salah satu faktor
penting untuk menjalankan kehidupan bersama.
Indonesia pernah hampir menjadi negara agama. Hal ini menunjuk
pada sidang kompromis yang disebut dengan, “Jakarta Charter.” Bagaimana
menganalisis peristiwa sejarah ini? Dengan ringkas orang dapat berkata,
bahwa Indonesia tidak mungkin dicakup dalam pengedepanan salah satu
agama dan menyisakan yang lain di belakang. Indonesia teramat plural dan

135
multikultural untuk direduksi ke sana. Argumentasi lain, adalah kontradiksi
menyisipkan kata-kata rumusan Piagam Jakarta ke Pembukaan UUD 1945,
apalagi ke dalam rumusan Pancasila. Kontradiksinya terletak di sini. Yaitu,
bahwa aneka seruan dan kosakata dari Pembukaan UUD 1945 dan konstitusi
pada umumnya (apalagi kalau itu berkaitan dengan negara demokrasi) ialah
kebebasan, hak, keadaan, dan seterusnya.
Menyisipkan terminologi “kewajiban umat Islam menjalankan
syariatnya” pada Pembukaan atau yang lain sungguh akan membuat undang-
undang dasar rancu. Kerancuannya terletak pada apakah undang-undang
ini melindungi hak/kebebasan warga negara ataukah memaksakan dan
mewajibkan mereka melakukan apa-apa yang dikehendaki oleh negara?
Negara tidak memiliki kewenangan apa pun untuk mewajibkan warganya
menjalankan agama apa pun dalam hidupnya. Jika diakui kebebasan warga
negara untuk memilih agama, berarti harus pula diakui kebebasan untuk
tidak memilih agama apa pun; dengan demikian juga kebebasan untuk
menjalankan maupun tidak menjalankan keyakinannya. Kecuali dari itu, hal
ini amat kontradiktif dan naif.
Salah satu perkara paling rumit di Indonesia ialah memahami
hubungan. agama dan negara. Dalam sejarah peradaban Indonesia, soal ini
merupakan kunci untuk banyak masalah dan kepentingan. Ketika soal ini
terpecahkan, terselesaikan pula aneka perdebatan mengenai pemerintahan
dan tata hidup bersama yang lain. Salah satu pendiri negara yang membahas
secara mendalam tema ini ialah Soekarno. Mari kita menganalisis rangkaian
gagasan filosofisnya.
Pertama-tama hubungan agama dan etika politik dimengerti dalam
bingkai konteks paham kebangsaan sebagai salah satu fundamen negara.
Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengajukan apa yang paling
mendasar dalam pembentukan suatu negara seperti ditulis oleh M. Yamin:
“Kita hendak mendirikan Negara Indonesia merdeka di atas
Weltanschauung apa? ... Apakah kita hendak mendirikan Indonesia
merdeka untuk seseorang, untuk suatu golongan? ... Apakah
maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang

136
bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara
yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa
bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak
mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang,
bukan buat satu golongan .... Maka yang selalu mendengung di dalam
saya punya jiwa .... ialah dasar pertama, yang baik dijadikan dasar
buat negara, Indonesia, [yaitu] dasar kebangsaan M. Yamin:1959,
68-69)”
Dasar kebangsaan, menurut Soekarno, memberi motivasi dan cara
berpikir yang mengedepankan bangsa secara keseluruhan. Dasar ini tidak
menyempitkan kita pada kepentingan golongan sendiri. Di sini, yang dimaksud
golongan ialah kelompok bangsawan, kaum buruh, atau juga kelompok
beragama. Soekarno dan para pendiri yang lain sadar bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat agama. Kenyataan ini dapat membawa kepada
cara-cara pandang tertentu yang mengunggulkan kelompok agama sendiri di
atas keutuhan bangsa.
Tidak sedikit yang mengira bahwa agama merupakan fondasi tepat
dan satu-satunya untuk penataan etika hidup politik. Mengapa? Agama
menyentuh kehidupan manusia secara mendalam. Solidaritas, keterlibatan,
dan kebersamaan gampang dibangkitkan dalam dan karena agama. Agama
kerap menjadi motivasi yang sukar saingi keabsahannya karena melibatkan
otoritas ilahi. Semua aspek normatif ini dengan mudah mengantar kepada
politik agama.
Dalam realitas konkret kemudahan agama sebagai pendesak atau
pendorong solidaritas antarmanusia tidak selamanya tampil meyakinkan
dalam kehidupan politik. Sebab, mengenai aspek normatif agama, ada
banyak penafsiran yang sering juga saling bertentangan. Setiap penafsiran
terkesan pasti, meski tidak ada keseragaman. Kepastiannya kerap digunakan
untuk membenarkan suatu kebijakan sendiri (atau kelompok pelaku politik).
Politik Indonesia sukar atau tidak mungkin dipisahkan dari agama, tetapi tiap
kebijakan politik yang menyisihkan paham kebangsaan jelas bertentangan
dengan integritas bangsa ini.

137
Apakah kebangsaan itu? Soekarno mengutip definisi Ernest Renan
mengenai gagasan le désir d’être ensemble (atau kehendak untuk bersatu)
sebagai syarat untuk disebut sebagai bangsa:
“...bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekadar satu golongan
orang yang hidup dengan le désir d’être ensemble, di atas daerah yang
kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Sintang, tetapi bangsa
Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geo-politik
yang telah ditentukan oleh Allah S.W.T., tinggal dalam kesatuan
semua pulau-pulau Indonesia dari ujung utara Sumatra sampai ke
Irian! Seluruhnya ... menjadi satu, sekali lagi satu... Saya yakin tidak
ada satu golongan di antara tuan-tuan yang lak mufakat, baik Islam
maupun golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Ke situlah
kita harus menuju semuanya” (Setneg:71-72).
Di sini, ketika Soekarno menyebut negara Indonesia hendaknya
merupakan satu kesatuan, dia sedang berbicara mengenai dasar negara, bukan
administrasi negara. Jadi, ia belum menyentuh soal apakah negara Indonesia,
dalam penataan administratifnya, negara kesatuan atau negara federal/
serikat. Yang ingin dia tekankan hanya bahwa “Negara Indonesia bukan.
suatu negara untuk satu orang, bukan suatu negara untuk satu golongan ...
Tetapi kita mendirikan negara ‘semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua
buat satu’.
Negara yang difondasikan di atas paham demikian meminta sistem
bani, yakni sistem permusyawaratan perwakilan. Mengenai musyawarah
lewat perwakilan, Soekarno mengatakan kepada kelompok Islam demikian:
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara
agama. Kita, saya pun adalah orang Islam ... kalau saudara--saudara
membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-
tuan akan dapati tidak lain dan tidak bukan hati Islam. Dan hati
Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal
juga keselamatan agama .... Jikalau memang kita rakyat Islam,
marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang

138
terbesar daripada kursi-kursi badan Perwakilan Rakyat yang kita
adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam ....” (Setneg:74)
Membaca kalimat-kalimat ini orang dengan mudah dapat tergelincir
pada salah pengertian. Di sini Soekarno tidak sedang mendesak agar kelompok
Islam menguasai Badan Perwakilan. Pun tidak sedang memamerkan
perjuangannya sebagai orang Islam. Soekarno sedang menegaskan bahwa
segala sesuatunya haruslah dijalankan dalam permusyawaratan lewat
perwakilan. Segala perjuangan kepentingan hendaknya atau haruslah lewat
jalan musyawarah-mufakat. Bahwa Soekarno tidak sedang mendorong
kelompok Islam untuk menguasai Lembaga Perwakilan, itu jelas dari
pernyataan selanjutnya. Dengan nada dasar yang persis sama ia mengatakan
kepada kelompok Kristen apa yang baru dikatakannya kepada kelompok
Islam.
“Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di
dalam peraturan-peraturan Negara Indonesia harus menurut Injil,
bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada
utusan-utusan yang masuk Badan Perwakilan Indonesia ialah orang
Kristen. Itu adil. Fair play!” (Setneg:75)
Jika dilepaskan dari konteks, pernyataan semacam ini tentu menimbulkan
kecurigaan dan kegentaran kepada kelompok nonkristen. Tetapi, sekali lagi,
maksud pernyataan politik Soekarno pastilah bukan demikian. Ini hanyalah
retorika belaka. Tanpa menyebut kelompok-kelompok agama lain, seperti
Hindu, Budha, Konfusius atau aliran kepercayaan, dengan mudah kita
memahami bahwa apa yang dikatakan Soekarno memaksudkan pula hal yang
sama kepada mereka. Seandainya saja Soekarno memaksudkan agar umat
beragama saling menguasai satu sama lain dan saling berebut kekuasaan,
ia tentu. mengatakan apa yang kontradiktif dengan keyakinannya sendiri.
Dia melawan sendiri apa yang baru saja dikatakannya mengenai paham
kebangsaan, negara “semua buat semua”.
Hubungan agama dan etika politik selanjutnya juga disebut ketika
Soekarno menjabarkan dasar ketuhanan:

139
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa
Almasih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W.,
orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang
ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
egoisme agama.” (Setneg:77)
Negara-bangsa ini semenjak pertama kali berdiri sudah dihadapkan dan
disadarkan dengan fakta kemajemukan di sana-sini, sehingga itu pula yang
membuat para founding father melepaskan jubah-jubah perbedaan mereka.
Mereka menyatukan serta merumuskan visi untuk membangun negara ini.
Ancaman mendasar terhadap negara demokratis yang multikultural ini
adalah munculnya budaya sektarian. Salah satu perwujudan sektarian adalah
sikap antitoleran terhadap “yang lain”.
Munculnya peraturan daerah (Perda) yang mengacu pada Syariat Islam
di beberapa daerah seperti di Tangerang, Indramayu dan Jember, segera
menimbulkan persoalan bagi negara-bangsa multikultur dan demokratis
seperti Indonesia. Tidak hanya karena Perda itu telah melanggar hierarki
konstitusi, melainkan juga karena Perda itu sangat superfisial dan tidak
substansial, seperti aturan memakai baju koko setiap hari Jumat bagi pria,
perempuan wajib berjilbab, menunda pekerjaan saat azan tiba, larangan
perempuan keluar malam, dan sebagainya. Sesungguhnya kasus itu tak
perlu terjadi jika pemerintah daerah memiliki komitmen pada aturan main,
bahwa negara-bangsa ini adalah negara hukum (rechtstaat) dan kebangsaan
Indonesia adalah kebangsaan yang multikultural.
Negara harus berangkat dari kepentingan seluruh elemen warga-negara
yang multikultural ini, di mana dalam hal itu mereka diwakili parlemen dan
dieksekusi pemerintah. Adanya Perda itu menandakan telah munculnya
paham sektarian (golongan) dalam suatu komunitas pemerintahan daerah

140
yang kemudian mengintervensi pembuatan aturan kemasyarakatan yang
bersifat publik itu. Jika kekuatan sektarian itu dibiarkan berlarut-larut, maka
bukan hanya saja mengancam namun juga dapat membinasakan karakter
negara-bangsa Indonesia yang multikultural, secara lebih jauh mungkin
Indonesia akan mengalami suatu kolaps sosial-kebangsaan.
Gejala sektarian itu tak lain pangkalnya bermula dari klaim kebenaran
dari doktrin agama (dan juga ideologi) tertentu dan komunitas-umat dari
agama. Berangkat dari situ kemudian terbentuklah pola pandangan komunal
yang sempit, eksklusif, fundamentalistik, antipluralisme-multikulturalisme,
dan antitoleransi. Betul bahwa agama memiliki kebenaran yang serba ideal
karena berasal dari Tuhan sebagai pemilik kebenaran yang mutlak. Tetapi,
kebenaran agama bukanlah berada dalam ruang hampa yang bebas nilai.
Agama bukanlah sesuatu yang otonom, melainkan berada dalam suatu realitas
objektif yang secara signifikan mempengaruhi, baik interpretasi maupun
aktualisasi dari agama tersebut. Memang, idealnya, agama harus tampil
sebagai kritik kebudayaan, atau bahkan sebagai pemusnah segala bentuk
ideologi yang destruktif bagi kemanusiaan. Tetapi, pada faktanya, antara
agama dan budaya saling mempengaruhi satu sama lain, atau bahkan saling
memperalat satu sama lain. Nuansa yang seperti ini merupakan peluang bagi
terjadinya berbagai salah interpretasi agama yang menjurus pada terjadinya
pembenaran agama secara sepihak.
Sebagai kritik kebudayaan, agama secara ideal harus ditempatkan
sebagai fenomena dalam keragaman budaya (multikulturalisme). Artinya,
saat agama mencoba menerjemahkan sebuah realitas sosial, maka ia pun
harus mampu secara sinergis membangun kebersamaan dengan paham lain
yang ada dalam realitas sosial tersebut. Namun demikian, adanya nuansa
psikologis yang berbeda dalam pemeluk agama dan keragaman interpretasi
agama, juga memungkinkan ia menjadi potensi konflik yang membahayakan
integrasi sosial masyarakat.
Soekarno menggagas negara multikultur khas Indonesia dengan
mengetengahkan konsep gotong-royong. Konsep gotong-royonglah yang
memungkinkan semua unsur yang berbhinneka di tanah air Indonesia diakui

141
keberadaannya. Konsep gotong-royong pulalah yang membuat pluralisme
mekar dengan subur. Lebih lanjut, konsep gotong-royonglah yang membuat
semua elemen yang ada bisa merasa sederajat dan menyumbang sesuatu bagi
Indonesia. Jadi, tidak salah jika konsep gotong-royong menjadi dasar bagi
bangunan Indonesia yang multikultural. Mengapa? Karena terminus gotong-
royong itu sendiri pun merupakan sebuah cetusan pengedepanan semangat
multikultural yang menghargai setiap perbedaan demi kemajuan bersama.
Indonesia didirikan untuk semua warga Indonesia. Dengan kata lain,
jangan lagi mengedepankan agama jika sudah berbicara mengenai ke-
Indonesia-an. Semangat gotong-royong bangsa ini sudah terpatri dalam
sanubari manusia Indonesia sejak semula. Hebatnya hal tersebut dilalui
dengan musyawarah-mufakat dalam mencapai persetujuan bagi kebaikan
bangsa yang majemuk secara keseluruhan.

142
DAFTAR PUSTAKA

A. SUMBER UTAMA (PIDATO SOEKARNO):


Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995), Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Jakarta.

B. SUMBER-SUMBER PENDUKUNG:
Aristotle, (1995) (translated by Ernest Bakker) Politics, Oxford: Oxford
University Press.
-------, (1985) (translated by. Terence Irwin), Nicomechean Ethics, Cam-
bridge.
Bertens, (1999), Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius.
Dahm, Bernhard, (1965), Sukarno and The Struggle for Indonesia Inde-
pendence, Ithaca: Cornell University Press.
Dewantara, W Agustinus, (2006), Masyarakat Indonesia Ditinjau dari
Paradigma Konflik Karl Marx, dalam WIDYA WARTA No. 01 Th.
XXIX/Jan 2006.
Fauzi, Achmad, (1983), Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuri-
dis Konstitusional dan Segi Filosofis., Malang: Lembaga Penerbi-
tan Universitas Brawijaya.
Feith, Herbert (ed.), (1988), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Ja-
karta: Pustaka LP3ES.
Hatta, Mohammad (1966), Pantjasila: Djalan Lurus, Bandung: Ang-
kasa.
-------, (1977), Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara.
-------, (1979), Muhammad Hatta Memoir, Jakarta: Tinta Mas.
Kusuma, A.B., (1995), Menelusuri Dokumen Historis Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan, dalam “Sejarah Lahirnya Pan-
casila”, Jakarta: Yayasan Pembela Tanah Air.
-------, (1995), Catatan Pembahasan atas Makalah Menelusuri Doku-
men Historis Badan Penyelidik Usah Persiapan Kemerdekaan,
dalam “Sejarah Lahirnya Pancasila”, Jakarta: Yayasan Pembela
Tanah Air.
Notosusanto, Nugroho (ed), (1977), dalam Sartono Kartodirjo, Mawarti
Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto), Sejarah Nasional

143
Indonesia IV, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Panitia Lima, (1977), Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara.
Plato, (1989) The Collected Dialogues, ed Hamilton-H Cairs, Princeton
-------, (1992), Republic, trans. by G.M.A. Grube, Indianapolis.
Renan, Ernest., 1996, “What is a Nation?” in Eley, Geoff and Suny,
Ronald Grigor, ed. Becoming National: A Reader. New York and
Oxford: Oxford University Press.
Riyanto, Armada, (2000), Diktat Filsafat Pancasila, Malang: Widya Sa-
sana.
Soekarno, (1960), Dari Proklamasi sampai Gesuri, Jakarta: Yayasan
Prapanca.
Sunoto, (2000), Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan melalui
Metafisika, Logika, dan Etika, Yogyakarta: Hanindita.
Yamin, Muhammad, (1959), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945 Jilid I, Jakarta: Prapantja.
-------, (1959/1960), Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 Ji-
lid II, Cipanas: Rumah Siguntang.

144
145
146
147
148
Catatan

149
Catatan

150

Anda mungkin juga menyukai