Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif antar manusia. Dalam berbagai macam situasi bahasa
dapat dimanfaatkan. Kemampuan berbahasa merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak
dapat membayangkan bagaimana keadaan manusia bila tidak ada bahasa yang berperan sebagai alat
komunikasi. Kebudayaan dan peradaban tentunya tidak akan dapat berkembang dengan baik bila tidak
ada bahasa.

Bahasa memegang peranan yang sangat vital dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dapat
dibayangkan bagaimana nasib manusia jika tidak memiliki bahasa sebagai media komunikasi dalam
segala aspek kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang berpikir dan berbudaya karena
memiliki bahasa. Dengan bahasalah manusia dapat berpikir dan menyatakan sesuatu kepada orang lain.
Selanjutnya karena manusia berpikir dan berbudaya, maka manusia berbeda dengan binatang. Binatang
tidak dapat berpikir dan berbudaya sebagaimana manusia karena tidak mempunyai bahasa.

Salah satu aspek kehidupan manusia yang juga sangat penting selain bahasa adalah agama. Bahasa dan
agama adalah dua hal dalam kehidupan manusia yang saling berkaitan erat. Bahasa bukan saja menjadi
alat ekspresi dan diseminasi doktrin keagamaan, melainkan juga menjadi salah satu simbol identitas
keagamaan. Dakwah merupakan suatu proses penyampaian pesan atau informasi keagamaan kepada
orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai sarana penyampaiannya. Banyak pesan dakwah yang
tidak sampai kepada khalayak karena kegagalan penggunaan bahasa di dalam menyampaikannya.
Bahasa yang digunakan tidak komunikatif sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak dapat dipahami
dengan baik oleh khalayaknya. Karena kegagalan penggunaan bahasa, dakwah yang disajikan terasa
kering, gersang, dan hambar. Begitu pentingnya bahasa dalam pengembangan agama dalam hal ini
dakwah, maka bahasa yang digunakan sebagai sarana pengantarnya perlu diperhatikan dengan baik.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu

1. Apa yang dimaksud dengan bahasa ?

2. Apa yang dimaksud dengan agama ?

3. Bagaimana hubungan antara bahasa dan agama ?

4. Bagaimana peranan bahasa dalam pengembangan dakwah ?

C. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu

1. Untuk mengetahui tentang bahasa


2. Untuk mengetahui tentang agama

3. Untuk mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan agama

4. Untuk mendeskripsikan peranan bahasa dalam pengembangan dakwah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bahasa

Bahasa meupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan sesamanya.
Dengan menguasai bahasa, maka manusia dapat mengetahui dunia dan memperoleh pengetahuan yang
belum pernah terpikir dan terbayangkan sebelumnya. Bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilakukan
secara lisan dan tulis.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yan
dipergunakan oleh sekelompok masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan
diri. Menurut sumber dari Wilkipedia, bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan
manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan atau kemauan kepada
lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adapt
istiadat, tingkah laku, tata karma masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala
bentuk masyarakat.

Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem
simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud
dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan
oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud.

Dari defenisi di atsa maka dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat untuk berkomunikasi melalui
lisan (bahsa primer) dan tulisan (bahasa sekunder). Berkomunikasi melalui lisan (dihasilkan oleh alat
ucap manusia), yaitu dalam bentuk symbol bunyi, dimana setiap simbol bunyi memiliki cirri khas
tersendiri. Suatu simbol bisa terdengar sama di telinga kita tapi memiliki makna yang sangat jauh
berbeda. Misalnya kata ’sarang’ dalam bahasa Korea artinya cinta, sedangkan dalam bahasa Indonesia
artinya kandang atau tempat. Tulisan adalah susunan dari simbol (huruf) yang dirangkai menjadi kata
bermakna dan dituliskan. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat
bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh
karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta
menghormati lawan bicara / target komunikasi.

B. Agama
Menurut Wikipedia, agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan
pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Banyak
agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup
dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos
dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai.
Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.

Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang
merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat
mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival,
pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat
layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin mengandung mitologi.

Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-
kadang mengatur tugas. Namun, dalam kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan
pribadi dalam bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga mengatakan bahwa
agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Sebuah jajak pendapat global 2012 melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan
36% tidak beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen pada keyakinan agama dari
tahun 2005.[5] Rata-rata, wanita lebih religius daripada laki-laki [6]. Beberapa orang mengikuti beberapa
agama atau beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah atau tidak
prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme

C. Hubungan antara Bahasa dan Agama

Ada banyak indikasi betapa bahasa dan agama memiliki kesalinghubungan yang unik dan menarik.
Bahasa bukan saja menjadi alat ekspresi dan diseminasi doktrin keagamaan, melainkan juga menjadi
salah satu simbol identitas keagamaan/paham teologis. Hal ini tampak dalam kasus Urdu yang menjelma
menjadi identitas Islam di Pakistan dan beberapa negara sekawasan serta Melayu yang menjadi simbol
identitas Islam di Asia Tenggara. Demikian pula halnya dengan Urdu dan Arab yang memisahkan pengikut
Ahli Sunnah dengan Deobandi di Mauritania. Dalam lingkup yang lebih luas, pada tataran global, bahasa
Arab telah lama dikenal sebagai salah satu identitas Islam. Sebaliknya, agama selain mewadahi ekspresi
kebahasaan, ia juga turut memengaruhi dinamika kebahasaan baik dari segi bentuk (fonologi, leksikon,
dan sintaksis), konten, maupun fungsi bahasa sehingga kita mengenal istilah bahasa laras keagamaan.
Dalam bahasa Indonesia, bunyi vokal rangkap /sy/ dan /kh/ merupakan bentuk nyata sumbangan fonetis
Islam dengan atribut bahasa Arabnya. Selain itu, ada ratusan kosakata dan istilah Islam yang diserap ke
dalam bahasa Indonesia. Hal yang sama berlaku pada bahasa-bahasa daerah termasuk Aceh. Dalam
konteks ini pulalah kita mengenal bentuk dan gaya khas bahasa khutbah serta ceramah keagamaan.
Fenomena ini tentu ditemukan pula pada agama lain dalam hubungannya dengan bahasa-bahasa
tertentu.

Di sisi lain, kesamaan bahasa telah menjadi unsur perekat antar-pemeluk agama yang bebeda-beda. Di
India, meskipun kerapkali berkonflik, bahasa Hindi telah menjadi salah satu jembatan penghubung para
pemeluk Islam dan Hindu. Lebih dekat lagi, di daerah Tapanuli, meskipun berbeda keyakinan, umat
muslim di Selatan dan umat kristiani di Utara tetap hidup rukun dan damai. Selain faktor etnisitas dan
budaya, kesamaan bahasa (Batak) memainkan peran penting dalam melanggengkan ikatan sosial
emosional kedua subetnis berbeda keyakinan. Tidak salah apabila muncul pandangan yang menyatakan
bahwa bahasa merupakan salah satu intrumen kohesi sosial serta katalisator harmoni dan damai saat
isu-isu agama yang dikenal begitu sensitif rentan menimbulkan berbagai konflik dan gejolak sosial.
Sebaliknya, keragaman bahasa dan etnis dapat pula dipersatukan oleh kesamaan agama. Baik Islam dan
Kristen, maupun agama-agama besar lain memiliki pemeluk yang berasal dari berbagai latar belakang
bahasa dan bangsa.

Yang lebih menarik adalah ketika agama menyematkan status tertentu pada sebuah bahasa dengan
melabelinya sebagai bahasa resmi, istimewa, bahkan sakral dan transenden. Fenomena ini tampak pada
Sankskerta bagi Hindu, Hebrew bagi Judaisme, Latin bagi Kristen, dan Arab bagi Islam. Mengingat-
sebagaimana di singgung di atas, isu-isu keagamaan bersifat sensitif, maka wacana religiusitas atau status
bahasa dalam perspektif keagamaan biasanya tidak saja melibatkan logika dan rasionalitas, melainkan
juga menggugah tensi emosi, spiritualitas, kepentingan, dan berbagai isu lain sehingga melahirkan
beragam isu, perspektif, sikap, dan perilaku berbahasa. Dalam konteks inilah kita bisa mencoba
memahami mengapa dalam masyarakat muslim tradisional bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa kafir
(Aceh: basa kafe) dan Arab sebagai bahasa Islam meskipun kemudian orang-orang muslim yang belajar
bahasa Ingggris justrus lebih banyak daripada yang belajar bahasa Arab.

Dalam realitas sosial, wacana religiusitas bahasa telah membangun pandangan sosial yang
menempatkan variabel sikap/perilaku berbahasa sebagai salah satu indikator keberagamaan. Pada
tingkat yang lebih ekstrem, bahasa bahkan dianggap identik dengan agama. Itulah sebabnya mengapa
dalam masyarakat kita banyak orang memiliki kecenderungan menggunakan istilah-istilah bergenre Arab
atau bergaya arabi dalam berkomunikasi baik formal maupun informal. Singkat kata, satu hal yang mesti
diingat: Orang boleh saja multilingual (berbahasa lebih dari satu), tetapi tak seorang pun boleh
mengklaim dirinya sebagai orang yang multireligius (beragama lebih dari satu).

D. Peranan Bahasa dalam Pengembangan Dakwah

Sebelum menguraikan tentang peranan bahasa dalam pengembangan dakwah, terlebih dahulu akan
dikemukakan tentang pengertian dakwah. Pada bagian pendahuluan dikatakan bahwa dakwah
merupakan suatu proses penyampaian pesan atau informasi kepada orang lain dengan menggunakan
bahasa sebagai sarana penyampaiannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dakwah diartikan
sebagai penyiaran atau propaganda; penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat;
seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (1997: 205). Selanjutnya,
menurut definisi Alquranul Karim, dakwah adalah undangan menuju kepada semua yang baik dan harus
dilaksanakan dengan rendah hati, bijaksana, dan penuh santun (Abidin Ass, 1996: 8).

Dalam makalah ini, dakwah dimaksudkan sebagai kegiatan penyampaian pesan-pesan atau seruan
agama kepada pemeluknya, baik secara lisan maupun secara tertulis, agar pemeluk agama bersangkutan
dapat mengambil hikmah dan menaati aturan agamanya.

Upaya penyebarluasan seruan agama kepada pemeluknya tidak dapat lepas dari bahasa sebagai medium
utamanya. Beberapa peristiwa sejarah penyebaran agama telah membuktikan besarnya peranan bahasa
dalam kegiatan dakwah.

Penyebaran agama Kristen misalnya. Pada tahun 1622 Paus Gregorius XV membentuk sebuah komisi
yang disebut Komisi Kardinal yang bertujuan menumbuhkan keimanan Kristiani di beberapa negara.
Secara khusus misionaris itu ditugasi untuk menyebarkan doktrin Kristiani tersebut supaya bisa menarik
beberapa ribu pemeluk baru (Nimmo, 1993: 124). Kegiatan ini tentu saja memanfaatkan bahasa untuk
menjamin keberhasilan misinya. Para misionaris dalam kegiatan ini memaksimalkan peranan bahasa
dalam fungsinya sebagai alat propaganda. Bahasa sebagai alat propaganda dapat digunakan untuk
mempengaruhi seseorang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.

Begitu pula dalam penyebaran agama lain, seperti agama Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw. Pada
mulanya agama Islam hanya disebarkan di kalangan keluarga dan kerabat Nabi Muhammad, kemudian
secara berangsur-angsur menyebar ke seluruh pelosok tanah Arab, dan bahkan ke luar wilayah Arab.
Penyebaran itu berkat adanya bahasa yang berfungsi sebagai sarana penyampai pesan atau informasi.

Peranan bahasa sebagai sarana pengembangan dakwah juga dapat diamati dalam sejarah penyebaran
agama di Indonesia, terutama dalam penyebaran agama Islam. Agama Islam masuk di Indonesia
diperkenalkan oleh pedagang-pedagang Parsi dan Gujarat. Mereka memperkenalkan agama Islam di
daerah-daerah pantai yang menjadi pusat-pusat perdagangan pada waktu itu. Dalam perkembangannya,
agama Islam telah menyebar hampir ke seluruh pelosok nusantara. Di mana-mana berdiri kerajaan-
kerajaan Islam. Akibatnya dapat dilihat sekarang, Indonesia berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran
Islam yang begitu cepat dan menjangkau wilayah yang sangat luas itu, tentu saja karena peranan bahasa.

Di Indonesia khususnya, peranan bahasa dalam pengembangan dakwah terlihat semakin meningkat. Hal
itu dibuktikan oleh semakin banyaknya tayangan acara televisi tentang penyiaran agama, misalnya
mimbar agama Islam, mimbar agama Kristen, mimbar agama Hindu, dan Mimbar agama Budha. Bukti
lain yaitu, semakin banyaknya penerbitan buku keagamaan yang diterbitkan setiap tahunnya. Kedua hal
ini semakin menunjukkan betapa besarnya peranan bahasa dalam kegiatan dakwah. Dengan bahasalah
dakwah disampaikan secara lisan dan secara tertulis, seperti disebutkan di atas. Memang, tanpa bahasa
tak ada yang terpikirkan dan tak ada yang terkatakan.

Selanjutnya, penggunaan bahasa pulalah yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan
dakwah. Sebagai gambaran, dapat dilihat dan diamati bagaimana para da’i kondang, seperti Zainuddin
MZ, Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, dan Jefri Albukhari dalam meyampaikan pesan-pesan kebenaran
dalam agama Islam. Bagaimana para pendeta Kristiani, Hindu, dan Budha dalam berupaya memberikan
pemahaman tentang agamanya kepada khalayak. Mereka semua tentu saja berupaya mengemasnya
dengan bahasa yang menarik dan dengan gaya masing-masing.

Para remaja lebih tertarik kepada gaya penyampaian dakwah Ustad Jefri, kalangan orang tua lebih
senang kepada gaya penyampaian dakwah Arifin Ilham, semua tingkatan usia menyenangi gaya
penyampaian dakwah Aa Gym (Abullah Gymnastiar), dan lain-lain. Perbedaan itu lebih dikarenakan oleh
teknik pemanfaatan bahasa yang bermacam-macam. Keberhasilan mereka dalam menarik perhatian
khalayak tentu saja tidak dapat dipungkiri. Semua itu karena kelihaian mereka dalam “memainkan”
bahasa.

Sebagai kegiatan yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya, dakwah dapat dijadikan sebagai
sarana pembinaan dan pengembangan bahasa. Hal itu dimungkinkan karena dalam kegiatan dakwah
terjadi interaksi antara seseorang dengan orang lain. Untuk membina dan mengembangkan suatu
bahasa, maka peggunaan bahasa dengan baik dan benar dalam interaksi tersebut secara tidak langsung
akan menjadi model atau pajanan berbahasa bagi orang lain yang mendengarkan penggunaan bahasa
tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan media yang tidak dapat dilepaskan dari agama. Bahasa
mempunyai peranan yang sangat besar dalam sejarah perkembangan agama dan untuk
menyebarluaskan agama melalui dakwah.

Sebagai kegiatan yang menggunakan bahasa sebagai media utamanya, dakwah dapat dijadikan sarana
pembinaan dan pengembangan bahasa.

B. Saran

Gunakan bahasa yang baik sebagai media untuk membawa pesan agama dalam kehidupan
bermasyarakat. Penggunaan bahasa dengan baik dan benar oleh orang yang menyampaikan dakwah
akan menjadi model berbahasa bagi pendengarnya/khalayak.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Ass, Djamalul. Komunikasi dan Bahasa Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

Halim, Amran (Ed). Politik Bahasa Nasional (Jilid 1 dan 2). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.

Keraf, Gorys. Komposisi. Ende: Nusa Indah, 1980.

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Basar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1997.

Anda mungkin juga menyukai