Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

Proses Manajemen Resiko K3

Diajukkan kepada:

PJMK K3

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah K3

Yang dibimbing oleh:

Dr. Retno Indarwati., S.Kep.,Ns.,M.Kep.

Di susun Oleh:

Sofiyanti Normalinda B 131711123014

Siska Nurul Fauziyal 131711123020

Novhy Loudoe 131711123034

Pahlevi Betsytifani 131711123051

Frida Rachmadianti 131711123054

Hasanudin 131711123072

Miftakhul Jannah 131711123075

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2017
BAB I
PENDAHULUAN
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan suatu permasalahan yang banyak
menyita perhatian berbagai organisasi saat ini karena mencakup permasalahan segi
perikemanusiaan, biaya dan manfaat ekonomi, aspek hukum, pertanggungjawaban serta
citra organisasi itu sendiri. Semua hal tersebut mempunyai tingkat kepentingan yang
samabesarnya walaupun di sana sini memang terjadi perubahan perilaku, baik di dalam
lingkungan sendiri maupun faktor lain yang masuk dariunsur eksternal industri Ervianto
(2005).
Proses pembangunan proyek kontruksi gedung pada umumnya merupakan kegiatan
yang banyak mengandung unsur bahaya. Situasi dalam lokasi proyek mencerminkan
karakter yang keras dan kegiatannya terlihat sangat kompleks dan sulit dilaksanakan
sehingga dibutuhkan stamina yang prima dari pekerja yang melaksanakannya. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan konstruksi ini merupakan penyumbang angka
kecelakaan yang cukup tinggi. Banyaknya kasus kecelakaan kerja serta penyakit akibat
kerja sangat merugikan banyak pihak terutama tenaga kerja bersangkutan Ervianto (2005).
Kecelakaan kerja sering terjadi akibat kurang dipenuhinya persyaratan dalam
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam hal ini pemerintah sebagai
penyelenggara Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja. Hal ini direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan
seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, Undang-undang No. 3 Tahun
1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), dan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No: Per.05/Men/1996 mengenai sistem manajemen K3. Namun pada kenyataannya,
pelaksana proyek sering mengabaikan persyaratan dan peraturan-peraturan dalam K3. Hal
tersebut disebabkan karena kurang menyadari betapa besar resiko yang harus ditanggung
oleh tenaga kerja dan perusahaannya. Sebagaimana lazimnya pada pelaksanaan suatu
proyek pasti akanberusaha menghindari economic cost. Disamping itu adanya peraturan
mengenai K3 tidak diimbangi oleh upaya hukum yang tegas dan sanksi yang berat,
sehingga banyak pelaksana proyek yang melalaikan keselamatan dan kesehatan tenaga
kerjanya.
BAB II

TINJAUN TEORI

A. Proses Manajemen Risiko

Proses yang dilalui dalam manajemen risiko adalah:

1. Perencanaan Manajemen Risiko, perencanaan meliputi langkah memutuskan


bagaimana mendekati dan merencanakan aktivitas manajemen risiko untuk
proyek.
2. Identifikasi Risiko, tahapan selanjutnya dari proses identifikasi risiko adalah
mengenali jenis-jenis risiko yang mungkin (dan umumnya) dihadapi oleh setiap
pelaku bisnis.
3. Analisis Risiko Kualitatif, analisis kualitatif dalam manajemen risiko adalah
proses menilai (assessment) impak dan kemungkinan dari risiko yang sudah
diidentifikasi. Proses ini dilakukan dengan menyusun risiko berdasarkan efeknya
terhadap tujuan proyek. Skala pengukuran yang digunakan dalam analisa
kualitatif adalah Australian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS) 4360:2004

Sebagai bagian dari proses manajemen, penerapan manajemen risiko


bertujuan untuk membantu pihak manajemen untuk mencegah terjadinya kerugian
pada perusahaan melalui pengelolaan risiko yang akurat. Dalam manajemen
risiko, penilaian risiko sangat berpengaruh dalam menentukan akibat atau
pemaparan potensi bahaya, sebab melalui penilaian risiko, maka kecelakaan
akibat kerja dapat dicegah ataupun dihilangkan (A. M. Sugeng Budiono,
2005:210).

Menurut Rudi Suardi (2007:69), manajemen risiko merupakan inti dari


Sistem Manajemen K3 , karena itu secara khusus OHSAS dan Permenaker
No.05/Men/1996 mempersyaratkan adanya pengelolaan risiko. Sebuah organisasi
dapat menerapkan metode pengendalian risiko apapun sejauh metode tersebut
mampu mengidentifikasi, mengevaluasi dan memilih prioritas risiko dan
mengendalikan risiko dengan melakukan pendekatan jangka pendek dan jangka
panjang
B. Hirarki Pengendalian Resiko

Menghilangkan Bahaya

Penggantian

Engineering/Rekayasa

Administrasi

Alat Pelindung Diri (APD)

Hirarki pengendalian risiko terdiri dari 5 bagian yaitu:

a. Menghilangkan Bahaya

Menghilangkan bahaya adalah langkah ideal yang dapat dilakukan dan menjadi
pilihan pertama dalam melakukan pengendalian risiko. Ini berarti menghentikan
peralatan atau prasarana yang dapat menimbulkan bahaya atau dengan kata lain
peralatan tersebut tidak digunakan lagi (Rudi Suardi, 2007:85).

b. Substitusi atau Mengganti

Prinsipnya adalah menggantikan sumber risiko dengan sarana/peralatan lain yang


tingkat risikonya lebih rendah atau tidak ada. Ciri khas tahap ini adalah melibatkan
pemikiran yang lebih mendalam bagaimana membuat lokasi kerja yang lebih aman
dengan melakukan pengaturan ulang lokasi kerja, memodifikasi Menghilangkan
Bahaya Penggantian Engineering/Rekayasa Administrasi Alat Pelindung Diri (APD)
22 peralatan, melakukan kombinasi kegiatan, perubahan prosedur, mengurangi
frekuensi dalam melakukan kegiatan berbahaya (Rudi Suardi, 2007:86).

c. Isolasi
Pada tahap ini dilakukan isolasi terhadap area berbahaya dari pekerja atau dari
orang yang ingin memasuki area tersebut (Rudi Suardi, 2007:87).

d. Pengendalian secara Administrasi

Tahap ini menggunakan prosedur, Standard Operational n Procedure(SOP) atau


panduan sebagai langkah untuk mengurangi risiko. Beberapa bentuk pengendalian
secara administratif (Rudi Suardi, 2007:88) adalah sebagai berikut:

1. Melakukan rotasi kerja untuk mengurangi efek risiko


2. Membatasi waktu atau frekuensi untuk memasuki area.
3. Melakukan supervisi pekerjaan.
4. Membuat prosedur, instruksi kerja atau pelatihan pengamanan.
5. Melakukan pemeliharaan pencegahan dan membuat prosedur house keeping.
6. Membuat tanda bahaya.

e. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)


Sarana pengaman diri adalah pilihan terakhir yang dapat kita lakukan untuk
mencegah bahaya (Rudi Suardi, 2007:89).Alat pelindung diri mencakup semua
pakaian dan aksesoris yang digunakan pekerja yang didesain untuk menjadi
pembatas sumber bahaya.

B. ManajemenRisiko
Manajemen risiko merupakan bagian dari sebuah sistem manajemen,
merupakan tahap awal dari proses peningkatan secara berkelanjutan yang diterapkan
pada sebuah perusahaan atau organisasi. Manajemen risiko dapat didefinisikan
sebagai proses untuk menghilangkan atau meminimalkan efek merugikan terhadap
risiko yang dimiliki oleh sebuah sistem kerja (Djunaedi, 2005).
Manajemen risiko adalah metode yang tersusun secara logis dan sistematis,
banyak terdapat teknik yang digunakan dalam melakukan manajemen risiko
tergantung terhadap tipe risiko, namun sebagian besar memiliki rangkaian kegiatan
yang sama yaitu identifikasi bahaya, evaluasi nilai risiko dan pengendalian. Proses
ini dapat diterapkan pada semua tingkatan kegiatan, jabatan, proyek, produk maupun
aset. Manajemen risiko dapat memberikan manfaat optimal jika diterapkan sejak
awal kegiatan.Walaupun demikian manajemen risiko dapat dilakukan pada tahap
pelaksanaan maupun operasional kegiatan. (Djunaedi,2005)
Berdasarkan AS/NZS 4360:2004 terdapat beberapa keuntungan yang akan
diperoleh oleh perusahaan jika menerapkan manajemen risiko, antara lain:
a. Fewer Surprise. Pengendalian kejadian yang tidak diinginkan adalah dengan cara
identifikasi dan melakukan usaha untuk menurunkan probabilitas dan mengurangi
efek buruk. Meskipun kejadian tidak dapat dihindari, namun perusahaan telah
mampu menghadapi dengan perencanaan danpersiapan.
b. Exploitation of opportunity. Sikap pencarian kemungkinan akan meningkat jika
seseorang memiliki kepercayaan diri akan pengetahuan mereka tentang risiko dan
memiliki kemampuan untukmengendalikannya.
c. Improved planning, performance and effectiveness. Akses terhadap informasi
strategis tentang organisasi, proses serta lingkungan membuka kesempatan untuk
muncul ide baru dan perencanaan yang lebih efektif. Hal ini dapat meningkatkan
kemampuan perusahaan dalam memperbesar opportunity, mengurangi hasil negatif
dan mencapai performa yang lebih baik.
d. Economy and Efficiency. Keuntungan dalam hal ekonomi dan efisiensi akan tercapai
dengan lebih fokus pada sumber daya, perlindungan aset, dan menghindari biaya
kesalahan.
e. Improved Stakeholder Realtionship. Manajemen risiko mendorong komunikasi
antara organisasi dengan stakeholder mengenai alasan pengambilan suatu keputusan
sehingga tercipta komunikasi dua arah.
f. Improved information for decision making. Manajemen risiko menyediakan
informasi dan analisis akurat sebagai penunjang pengambilan keputusan dalam hal
investasi danmerger.
g. Enhanced reputation. Investor, pemberi dana, suppliers, dan pelanggan akan lebih
tertarik terhadap perusahaan yang telah dikenal melakukan manajemen risiko
denganbaik.
h. Director protection. Dengan manajemen risiko yang baik maka pekerja akan lebih
hati-hati dan waspada terhadap risiko, maka akan menghindarkan dari masalah.
i. Accountability, assurance and governance. Keuntungan dan kelangsungan akan
diperoleh dengan melaksanakan dan mendokumentasikan pendekatan yang
dilaksanakanperusahaan.
j. Personal wellbeing. Manajemen risiko terhadap risiko pribadi secara umum akan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraanpribadi.

Komponen utama yang terdapat dalam manajemen risiko yang


dikeluarkan oleh AS/NZS 4360:2004 antara lain:
1. Komunikasi danKonsultasi
Melakukan komunikasi dan konsultasi dengan pengambil keputusan internal
maupun eksternal terkait dengan proses manajemen risiko secara keseluruhan. Selain
itu komunikasi dan konsultasi juga dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil
manajemen risiko yang telah dilakukan untuk langkah pengembangan.
2. PenetapanTujuan
Merupakan langkah awal dari aktivitas manajemen risiko, tujuannya untuk
menentukan parameter proses termasuk kriteria risiko yang akan dilakukan penilaian.
Hal-hal yang dilakukan meliputi menetapkan strategi, kebijakan organisasi dan ruang
lingkup manajemen risiko yang akan dilaksanakan.
3. IdentifikasiRisiko
Mengidentifikasi dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya risiko untuk analisa lebih lanjut.
4. AnalisisRisiko
Mengidentifikasi dan mengevaluasi pengendalian yang sudah ada.
Menentukan tingkatan probabilitas dan konsekuensi yang akan terjadi, kemudian
menentukan tingkatan risiko yang ada.
5. EvaluasiRisiko
Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar.Hal ini
memungkinkan untuk melakukan penentuan prioritas dalam pengambilan keputusan
pengendalian.
6. PengendalianRisiko
Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada dengan
berbagai alternatif metode pengendalian.
7. Monitor danReview
Monitor dan review terhadap hasil sistem manajemen risiko yang dilakukan
serta mengidentifikasi perubahan yang perlu dilakukan.
RuangLingkup

IdentifikasiRisiko

AnalisaRisiko
Komunikasi dan Konsultasi

Monitordan review
EvaluasiRisiko

PengendalianRisiko

Gambar 2.1. Gambaran Proses Manajemen Risiko AS/NZS 4360:2004


C. IdentifikasiRisiko

Tujuan dari dilakukannya identifikasi risiko adalah untuk


mengembangkan daftar komprehensif tentang sumber risiko dan kejadian yang
mengikutinya yang dapat menghambat pencapaian tujuan. Dalam proses
identifikasi risiko terdapat beberapa hal yang memiliki keterkaitan dengan sebuah
risiko, antara lain: sumber risiko, insiden, konsekuensi, penyebab kejadian,
pengendalian, waktu dan tempat. (HB 436:2004)
Informasi yang baik dan berkualitas penting dalam identifikasi risiko.Titik
awal ientifikasi dapat diperoleh dari informasi masa lalu tentang organisasi
serupa, kemudian dilakukan diskusi dengan stakeholder mengenai isu yang terkait
saat ini. Sumber informasi yang dapat digunakan sebagai dasar identifikasi risiko
yaitu: pengalaman, saran para ahli, wawancara, diskusi, laporan klaim asuransi,
survei, kuisioner, checklist, dan incient database. (HB436:2004)
Metode identifikasi merupakan teknik yang dikembangkan untuk
mengenal dan mengevaluasi berbagai bahaya yang terdapat dalam proses kerja.
Beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi potensi bahaya
dalam kegiatan industri adalah sebagai berikut: (Kolluru,1996)
1. What if/checklist

Dalam metode ini setiap proses dipelajari melalui pendekatan


brainstorming untuk memformulasikan setiap pertanyaan meliputi kejadian yang
akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Masing-masing
pertanyaan dibagi kedalam tahapan operasi, teknik, pemeliharaan dan inspeksi.
Setiap pertanyaan tersebut mempertimbangkan skenario terjadinya insiden,
identifikasi konsekuensi, menggunakan penilaian kualitatif untuk menentukan
tingkat keparahan konsekuensi, kemungkinan dari semua risiko yang ada dan
membuat rekomendasi untuk mengurangi bahaya. Metose what-if/checklist dapat
digunakan untuk mengidentifikasi bahaya potensial dari setiap tahapan proses.
Metode ini akan efektif bila dilakukan oleh tim yang berpengalaman untuk
evaluasi suatu proses.
2. HAZOPS

Hazard and Operability Study (HAZOPS) digunakan untuk


mengidentifikasi permasalahan dari operasional proses yang dapat mempengaruhi
efisiensi produksi dan keselamatan. HAZOPS merupakan metode identifikasi
risiko yang berfokus pada analisis terstruktur mengenai operasi yang berlangsung.
Dalam HAZOPS ini dipelajari setiap tahapan proses untuk mengidentifikasi
semua penyimpangan dari kondisi operasi yang normal, mendeskripsikan
bagaimana bisa terjadi dan menentukan perbaikan dari penyimpangan yang ada.
3. FMEA

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan metode identifikasi


risiko dengan menganalisis berbagai pertimbangan kesalahan dari peralatan yang
digunakan dan mengevaluasi dampak dari kesalahan tersebut.Kelemahan metode
ini adalah tidak mempertimbangkan kesalahan manusia. Dalam hal ini FMEA
mengidentifikasi kemungkinan abnormal atau penyimpangan yang dapat terjadi
pada komponen atau peralatan yang terlibat dalam proses produksi serta
konsekuensi yang ditimbulkan.
4. FTA

Fault Tree Analysis (FTA) merupakan suatu teknik yang dapat digunakan
untuk memprediksi atau sebagai alat investigasi setelah terjadinya kecelakaan
dengan melakukan analisis proses kejadian. FTA nantinya akan menghasilkan
quantitative assesment dari probabilitas kejadian yang tidak diinginkan.
FTA merupakan metode yang paling efektif dalam menemukan inti
permasalahan karena dapat menentukan bahwa kerugian yang ditimbulkan tidak
berasal dari satu kegagalan.FTA merupakan kerangka berpikir terbalik, dimana
evaluasi berawal dari insiden kemudian dikaji penyebab dan akar penyebabnya.
5. ETA

Event Tree Analysis (ETA) adalah metode yang menunjukan dampak yang
mungkin terjadi diawali dengan mengidentifikasi pemicu kejadian dan proses
dalam setiap tahapan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan. Sehingga dalam
ETA perlu diketahui pemicu dari kejadian dan fungsi sistem keselamatan atau
prosedur kegawatdaruratan yang tersedia untuk menentukan langkah perbaikan
dampak yang ditimbulkan oleh pemicu kejadian.
6. JHA

Job Hazard Analysis (JHA) adalah teknik yang berfokus pada tahapan
pekerjaan sebagai cara untuk mengidentifikasi bahaya sebelum suatu kejadian
yang tidak diinginkan muncul. Metode ini lebih fokus pada interaksi antara
pekerja, tugas/pekerjaan, alat dan lingkungan. Setelah diketahui bahaya yang tidak
bisa dikendalikan, maka dilakukan usaha untuk menghilangkan atau mengurangi
risiko bahaya ke tingkat level yang bisa diterima. (OSHA 3071)
JHA dapat diterapkan dalam berbagai macam jenis pekerjaan, namun
terdapat beberapa prioritas pekerjaan yang perlu dilakukan JHA, antara lain:
 Pekerjaan dengan tingkat kecelakaan/sakit yang tinggi

 Pekerjaan yang berpotensi menyebabkan luka, cacat atau sakit meskipun tidak
terdapat insiden yang terjadi sebelumnya
 Pekerjaan yang bila terjadi sedikit kesalahan kecil dapat memicu terjadinya
kecelakaan parah atauluka
 Pekerjaan yang baru atau mengalami perubahan dalam proses dan prosedur
pekerjaan cukup kompleks untuk ditulis instruksi pelaksanaannya

D. AnalisisRisiko

Analisis risiko adalah sistematika pengunaan dari informasi yang tersedia


untuk mengidentifikasi hazard dan untuk memperkirakan suatu risiko terhadap
individu, populasi, bangunan atau lingkungan (Kolluru, 1996)
Inti dari analisis risiko adalah mengenai pengembangan pemahaman
tentang risiko. Dalam analisis risiko terdapat data pendukung yang digunakan
sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang cara pengendalian yang
paling tepat dan paling cost-effective. (AS/NZS 4360:2004)
Metode analisis yang digunakan bisa bersifat kualitatif, semi-kuantitatif,
atau kuantitatif bahkan kombinasi dari ketiganya tergantung dari situasi dan
kondisi. Urutan kompleksitas serta besarnya biaya analisis, dari kecil hingga besar
adalah : kualitatif, semi-kuantitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan
untuk memberikan gambaran umum tentang level risiko.Setelah itu dapat
dilakukan analisis semi-kuantitatif ataupun kuantitatif untuk lebih merinci risiko
yang ada. (AS/NZS 4360:2004)
2.5.1. Tipe-tipe Analisis Risiko

a. AnalisaKualitatif

Analisis kualitatif menggunakan bentuk kata atau skala deskriptif untuk


menjelaskan seberapa besar potensi risiko yang akan diukur. Hasilnya dapat
dikategorikan dalam risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi.Analisis
kualitatif digunakan untuk kegiatan skrining awal pada risiko yang membutuhkan
analisis lebih rinci dan lebih mendalam. Analisis kualitatif digunakan saat:
 Penilaian secara kuantitatif tidakdiperlukan

 Pelaksanaan skrining awal sebagai dasar untuk melaksanakan analisis


yang lebihdetail
 Level risiko tidak terdapat batasan waktu dan data numerical untuk
analisis
 Tidak terdapat data numerical atau data tidak mencukupi untuk melakukan
analisiskuantitatif.
b. AnalisisSemi-kuantitatif

Metode semikuatitatif merupakan metode yang mengkombinasikan antara


angka yang bersifat subyektif pada kecenderungan dan dampak dengan rumus
(formula) matetatika, yang menghasilkan tingkat risiko yang dapat dibandingkan
dengan kriteria yang ditetapkan. Metode semikuatitatif ini berguna untuk
mengidentifikasi dan memberikan peringkat (rangking) dari suatu kejadian yang
berpotensi untuk menimbulkan konsekuensi yang parah, seperti kerusakan
peralatan, gangguan terhadap bisnis, cidera pada manusia dan lain-lain (Kolluru,
1996)

Pada analisis semi-kuantitatif, skala kualitatif yang telah disebutkan di atas


diberi nilai.Setiap nilai yang diberikan haruslah menggambarkan derajat
konsekuensi maupun probabilitas dari risiko yang ada. Diperlukan kehati-hatian
dalam menggunakan analisis semi-kuantitatif, karena nilai yang dibuat belum
tentu mencerminkan kondisi objektif dari sebuah risiko. Ketepatan perhitungan
tergantung dari pengetahuan para ahli dari berbagai disiplin ilmu terhadap proses
terjadinya sebuah risiko. (AS/NZS 4360:2004)
Salah satu metode analisis semikuantitatif adalah kalkulasi risiko
berdasarkan formula matematika Fine (Dickson, 2001).Menurut Fine probabilitas
mempunyai 2 komponen yaitu tingkat kemungkinan (Likelihood) dari bahaya
untuk muncul dan derajat/frekuensi kemunculan (Eksposure). Dengan begitu ada
tiga komponen yang dijadikan kriteria yang dianalisis yaitu:
1. Tingkat kemungkinan (Likelihood) bahaya untukterjadi

2. Frekuensi terpajan (Eksposure)bahaya

3. Konsekuensi (Consequences) dari bahayatersebut


Tabel 2.1 : Rating Penilaian Analisis Semi-kuantitatif

Faktor Tingkatan Deskripsi Rating

Kerusakan fatal/parah beragam


Consequence fasilitas lebih dari $1 juta,
(Konsekuensi) Catastrophe aktivitas dihentikan, terjadi 100
kerusakan lingkungan yang
akibat yang Kematian, kerusakan permanen

mungkin yang bersifat lokal terhadap


Disaster 50
ditimbulkan dari lingkungan, kerugian $ 500.000 -

suatu
Terjadi cacat permanen/penyakit
parah, kerusakan lingkungan yang
Very Serious 25
tidak permanen, dengan kerugian
Terjadi dampak yang serius tapi
bukan cidera dan penyakit parah
Serious yang permanen, sedikit berakibat 15
buruk pada lingkungan, dengan
Membutuhkan penanganan
medis, terjadi emisi buangan
Important diluar lokasi, tetapi tidak 5

mengakibatkan kerusakan,
Terjadi cidera atau penyakit
ringan, memar bagian tubuh,
kerusakan kecil kurang dari $500,
Noticeable kerusakan ringan atau terhentinya 1
proses kerja sementara waktu,

Continuously tetapi tidakdalam


Sering terjadi mengakibatkan
satu hari 10
Exposure
Terjadi kira-kira satu kali dalam
(Paparan) Frequently 6
sehari
Terjadi satu kali seminggu sampai
Occasionally 3
frekuensi satu kali sebulan
pemaparan Satu kali dalam sebulan sampai
Infrequent 2
terhadap sekali dalam setahun
Rare Diketahui kapan terjadinya 1
bahaya/sumber
risiko Very rare Tidak diketahui kapan terjadinya 0,5

Almost Kejadian yang paling sering


10
Likelihood Certain terjadi
(Kemungkinan) Kemungkinan terjadi kecelakaan
Likely 6
50%:50%
Unusual but Tidak biasa namun memiliki
probabilitas 3
possible kemungkinan terjadi
terjadinya bahaya Remotely Suatu kejadian yang sangat kecil
1
yang menyertai possible kemungkinan terjadinya
suatu
Tidak pernah terjadi kecelakaan
Conceivable dalam tahun-tahun pemaparan 0,5
Practically tetapi mungkin terjadi
Sangat tidak mungkin terjadi 0,1
Impossible
Risk = Consequence x Exposure x Likelihood

Tabel 2.2 : Level/Prioritas risiko Fine

Tingkat
Comment Action
Risiko
Penghentian aktivitas hingga risiko
> 350 Very high
dikurangi mencapai batas yang diterima

180 – 350 Priority 1 Perlu dilakukan penanganan secepatnya

Mengharuskan ada perbaikan secara


70 – 180 Substantial
teknis
Perlu diawasi dan diperhatikan secara
20 – 70 Priority 3
berkesinambungan
Intensitas kegiatan yang menimbulkan
<20 Acceptable
risiko dikurangi seminimal mungkin
(Sumber: Study Notes Prof. Jean Cross, 1998)
c. AnalisisKuantitatif
Analisis kuantitatif menggunakan nilai numerik untuk nilai konsekuensi dan
likelihood dengan menggunakan data dari berbagai sumber.Kualitas dari
analisis tergantung pada akurasi dan kelengkapan data yang ada, serta
validitas model yang digunakan.Konsekuensi dapat dihitung dengan
menggunakan metode modeling hasil dari kejadian atau kumpulan kejadian
atau dengan memperkirakan kemungkinan dari studi eksperimen atau data
sekunder/data terdahulu.Konsekuensi digambarkan dalam lingkup keuangan,
teknikal atau efek pada manusia. (AS/NZS 4360:2004)
E. Manajemen Resiko K3 Didalam Gedung
Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004 No. 1204
penerapan manajemen risiko layanan klinis di Puskesmas dilaksanakan di unit
pelayanan yang menyelenggarakan layanan klinis yaitu:
1. Loket Pendaftaran dan Rekam Medis
2. Poli Umum
3. Klinik MTBS dan Imunisasi
4. Poli KIA- KB
5. Poli Gigi
6. Poli Kesehatan Jiwa
7. UGD
8. Rawat Inap
9. Kamar Bersalin
10. Laboratorium
11. Apotek
Ruang lingkup penerapan manajemen risiko pelayanan klinis juga dilaksanakan di
jaringan pelayanan Puskesmas yang melaksanakan layanan klinis seperti pemeriksaan,
pengobatan dan tindakan termasuk imunisasi. Jaringan pelayanan Puskesmas yang
dimaksud meliputi: Puskesmas Pembantu (Pustu), Polindes/Poskesdes dan Posyandu.
Proses penerapan manajemen risiko layanan klinis meliputi kegiatan:
1. Identifikasi risiko
Masing-masing unit pelayanan dan jaringan Puskesmas menyusun daftar
risiko yang berpotensi membahayakan pasien dan petugas yang bisa didapatkan
dari:
- Hasil temuan pada audit internal
- Keluhan pasien / pelanggan Puskesmas
- Adanya insiden atau kejadian berbahaya yang pernah terjadi di unit pelayanan
tersebut
Contoh daftar risiko pada layanan klinis di Puskesmas:
Unit Layanan Risiko
Loket Pendaftaran dan - Kesalahan pemberian identitas rekam medis
- Kesalahan pengambilan rekam medis
Rekam Medis
Poli Umum, Poli - Kesalahan diagnosis
- Kesalahan identifikasi pasien / salah orang
MTBS dan UGD
- Kesalahan pemberian terapi
- Kesalahan pemberian resep
- Kesalahan tindakan yang menimbulkan
perlukaan
- Monitoring pengobatan atau tindakan yang
kurang baik
- Insiden tertusuk jarum bekas pakai
- Limbah medis berceceran
- Paparan dengan luka terbuka atau cairan
tubuh pasien
- Tidak menggunakan Alat Pelindung Diri
- Menggunakan peralatan tidak steril
Laboratorium - Kegagalan pengambilan sampel sehingga menimbulkan
perlukaan
- Kesalahan pengambilan sampel
- Kesalahan pemberian label sampel laboratorium
- Kesalahan penulisan hasil pemeriksaan laboratorium
- Hasil pemeriksaan hilang
- Sampel rusak atau hilang
Apotek - Kesalahan membaca resep
- Kesalahan pemberian obat
- Kesalahan dosis/formula obat
- Kesalahan edukasi cara minum/pemakaian obat
- Kesalahan identifikasi pasien
- Pemberian obat kadaluwarsa
- Kesalahan penulisan label
- Pemberian obat rusak
- Kesalahan pengambilan obat

Daftar risiko yang telah teridentifikasi, dicatat dalam formulir identifikasi


manajemen risiko Puskesmas dan dilaporkan kepada Tim PMKP Puskesmas.
2. Analisis risiko (Risk Assessment)
Daftar risiko yang telah diidentifikasi kemudian dilakukan analisis oleh Tim
PMKP. Analisis risiko dilakukan dengan cara menilai tingkat kegawatan dari risiko
(severity assessment) dengan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis)
3. Evaluasi risiko
Evaluasi risiko dilakukan pada kasus yang terpilih berdasarkan kegawatan
risiko.Evaluasi dilakukan dengan mencari penyebab masalah menggunakan Analisis
Akar Masalah (RCA/Root Cause Analysis) kemudian ditentukan apakah memerlukan
tindakan perbaikan (treatment) ataukah tidak.
4. Tindakan atau perbaikan
Jika diperlukan tindakan perbaikan maka Tim PMKP merekomendasikan
rencana tindakan perbaikan dan monitoring terhadap tindakan perbaikan. Setiap
tindakan perbaikan dikonsultasikan kepada Kepala Puskesmas dan dikomunikasikan
kepada petugas Puskesmas lainnya.
5. Dokumentasi
Seluruh kegiatan manajemen risiko layanan klinis didokumentasikan dan
dilaporkan kepada Kepala Puskesmas.

F. Manajemen Resiko K3 Diluar Gedung


Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004 No. 1204
manajemen risiko lingkungan di Puskesmas diterapkan pada seluruh kegiatan yang
menimbulkan dampak risiko terhadap lingkungan yaitu:
1. Kegiatan pelayanan klinis di Puskesmas
2. Kegiatan pelayanan kesehatan di Pustu, Poskesdes dan Posyandu
3. Kegiatan pasien/pengujung Puskesmas
4. Kegiatan karyawan/ staf Puskesmas

Kegiatan penerapan manajemen risiko lingkungan:


a. Penilaian persyaratan bangunan, sarana dan prasarana Puskesmas
1) Bangunan Puskesmas terdiri dari bangunan dengan konstruksi kuat, atap tidak
bocor, lantai tidak licin, permukaan dinding kuat dan rata serta menggunakan bahan
bangunan yang tidak membahayakan.
2) Lingkungan Puskesmas tidak panas, ventilasi cukup, pencahayaan cukup, seluruh
ruangan tidak lembab dan tidak berdebu.
3) Terdapat fasilitas pemadam kebakaran dan petunjuk jalur evakuasi dan pintu darurat
jika terjadi kecelakaan.
4) Rasio kecukupan toilet karyawan mengikuti indeks perbandingan jumlah karyawan
dengan toilet yaitu 1:20 artinya setiap penambahan 20 karyawan harus ditambah 1
toilet dan 1 kamar mandi.
5) Tata ruang
 Zona ruang dengan
 Risiko rendah : meliputi ruang administrasi TU, Ruang Kepala Puskesmas,
Ruang pertemuan, ruang penyimpanan rekam medis bersatu dengan loket
(unit pendaftaran), ruang penyimpanan obat, ruang Akreditasi dan Musholla
 Risiko sedang: meliputi poli rawat jalan (selain poli P2)
 Risiko tinggi: meliputi Poli P2, Laboratorium, UGD dan tempat
penampungan limbah/sampah medis
 Penataan ruangan memperhatikan zona risiko penularan
b. Identifikasi risiko kondisi lingkungan
Setiap unit kerja melakukan identifikasi risiko kondisi lingkungan antara lain:
1) Sarana
- Kerusakan bangunan atau sarana prasarana
- Fasilitas sanitasi seperti wastafel buntu, air tidak lancar, sampah medis tidak
tersedia, toilet rusak, dll
2) Kondisi pencahayaan, penghawaan, kelembaban, kebisingan peralatan, dsb
3) Kebersihan ruangan dan fasilitas.
4) Limbah, misalnya sarana pembuangan limbah yang penuh, paparan limbah pada
lingkungan dll.
c. Tatalaksana penerapan manajemen risiko lingkungan
1) Toilet dan Kamar Mandi,
 Tersedia dalam keadaan bersih
 Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
 Terpisah antara toilet laki laki dan perempuan
 Tidak terdapat perindukan nyamuk
2) Pembuangan sampah,
 Tersedia fasilitas tempat sampah organik dan non organik di setiap ruangan
 Tempat sampah tertutup
 Sampah/ limbah non medis padat ditampung dalam kantong warna hitam.
Sampah medis ditampung dalam kantong warna kuning.
 Sampah setiap hari dibuang di tempat penampungan sampah sementara
3) Penyediaan air minum dan air bersih,
 Tersedia air bersih
 Tersedia air minum untuk karyawan sesuai kebutuhan
4) Hygiene dan sanitasi makanan
 Kebersihan peralatan makan di Puskesmas
5) Pengolahan limbah
 Limbah cair ditampung dalam SPAL Puskesmas
6) Pengolahan limbah medis
 Limbah medis tajam ditampung dalam safety box
 Limbah medis padat ditampung dalam tempat sampah medis dengan
kantong warna kuning
 Limbah medis padat selanjutnya dita Limbah medis padat selanjutnya
ditampung pada penampungan sementara untuk dikirim ke tempat
pemusnahan
7) Pengelolaan linen
 Dilakukan pemisahan linen yang infeksius dan non infeksius
 Linen / kain yang terkontaminasi dilakukan proses desinfeksi
 Linen / kain secara berkala dikumpulkan dan dikirim ke tempat pencucian
8) Pengendalian serangga dan binatang pengganggu
 Dilakukan pengamatan terhadap serangga nyamuk, kecoa dan tikus
 Kebersihan ruangan dijaga untuk mencegah binatang pengganggu
 Dilakukan pemberantasan jika terdapat binatang pengganggu
9) Dekontaminasi dan sterilisasi
 Seluruh peralatan yang terkontaminasi dilakukan proses dekontaminasi dan
sterilisasi
 Proses dekontaminasi dilaksanakan segera setelah proses pelayanan,
sterilisasi dilakukan di ruang sterilisasi
10) Promosi hygiene dan sanitasi
 Tersedia promosi untuk menjaga kebersihan ruangan, membuang sampah,
kebersihan kamar mandi dan cara mencuci tangan, etika batuk.
d. Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan
Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan dilaksanakan oleh
petugas sanitasi
e. Pendokumentasian
Seluruh kegiatan manajemen risiko lingkungan didokumentasikan dan
dilaporkan kepada Kepala Puskesmas.

G. Resiko dan Hazard dalam Proses Asuhan Keperawatan


Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifkasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien baik fisik, mental, social dan lingkungan (Effendi, 1995).
Tahap pengkajian :
1. Lingkungan pabrik : kebersihan, sanitasi
2. Pemeriksaan kes (awal,berkala,khusus)
3. Jaminan kesehatan
4. Pemakaian APD
5. Proses kerja
6. Keluhan pekerja
7. Kecelakaan yg sering terjadi
8. P3K
9. Jam kerja
Perencanaan adalah bagian dari fase perorganisasian dalam proses
keperawatan yang meliputi tujuan keperawatan, penetapan, pemecahan
masalah,dan menentukan tujuan perencanaan untuk mengatasi masalah pasien.
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
Risiko danHazard dalamProses Asuhan Keperawatan
1. Kesalahan identifikasi pasien
2. Kesalahan pemberian terapi
3. Kesalahan tindakan yang menimbulkan perlukaan
4. Monitoring pengobatan atau tindakan yang kurang baik
5. Insiden tertusuk jarum bekas pakai
6. Paparan dengan luka terbuka atau cairan tubuh pasien
7. Tidak menggunakanAlat Pelindung Diri (APD)
8. Menggunakan peralatan tidak steril
9. Paparan radiasi proses tindakan
10. Pelecehan verbal saat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga
11. Kekerasan fisik pada perawat ketika melakukan pengkajian
12. Pasien dan keluarga acuh tak acuh dengan pertanyaan yang diajukan perawat
13. Resiko tertular penyakit dengan kontak fisik maupun udara saat pemeriksaan
Upaya yang dilakukan untuk pencegahan
1. Penerapan manajemen resiko dan pengendaliannya dengan pengawasan yang
baik
2. Selalu mengikuti prosedur kerja standar yang sudah ditetapkan dalam setiap
tindakan
3. Selalu menjaga kebersihan perorangan maupun kebersihan tempat kerja
4. Menggunakan alat pelindung diri secara baik
5. Tidak merokok atau makan di tempat kerja

H. Pengaruh Faktor Lingkungan dan Manusia pada Patient Safety


1. Pentingnya Faktor Lingkungan pada Keselamatan Pasien
Faktor lingkungan pada keselamatan pasien antara lain :
a. Pencahayaan dan permukaan: berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
b. Temperature: pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan
seperti ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah
tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari
semen
c. Kebisingan: lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat
sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari
perubahan kondisi pasien
d. Ergonomic dan fungsional: ergonomic berpengaruh terhadap penampilan
seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan
pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah
sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis,
penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien (Qomariyatus dan
Djohan, 2013)
I. Resiko Yang Dialami Perawat Dalam Pekerjaannya.
Sebagai seorang perawat yang professional, perawat harus memberikan
perawatan terbaik kepada pasien dengan cepat dan tepat.Tindakan yang tidak tepat
dapat menyebabkan resiko yang fatal. Dengan mengetahui resiko-resiko bekerja
sebagai perawat, perawat dapat mengantisipasi agar resiko-resiko tersebut tidak
terjadi dan perawat dapat bekerja dengan ikhlas sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya. Berikut beberapa resiko yang mungkin dapat terjadi pada seorang
perawat:
1. Resiko tertular penyakit. Perawat bekerja di lingkungan yang sangat rentan
tertular penyakit dan berhubungan langsung dengan pasien yang dapat
menularkan penyakit, maka perawat harus berhati-hati dalam mengambil suatu
tindakan. Misalnya saat melakukan injeksi tidak boleh spuit sampai mengenai
bagian tubuh perawat. Kebersihan lingkungan kerja juga harus dijaga agar
penyakit tidak mudah menular.
2. Resiko bekerja dengan sistem shift, baik sedang susah maupun senang. Tidak
bisa dipungkiri jika beban dan resiko kerja perawat sangat tinggi, mendampingi
pasien dan perawat harus siap sedia setiap saat jika dibutuhkan.
3. Resiko kelebihan tugas dan pekerjaan. Karena perawat melaksanakan semua
kegiatan, baik administrasi, pengobatan, fisioterapi, makan, dan lain-lain.
4. Resiko tidak bisa hidup normal, karena siklus tidur, siklus pekerjaan tidak
teratur. Bekerja dengan jam yang tidak pasti kadang kala membuat siklus hidup
perawat menjadi terganggu.
5. Resiko stress karena tekanan dari pekerjaan, pasien, mitra kerja, dan lain-lain.
6. Resiko mendapat jasa medis yang kecil. Menjadi perawat yang profesional
adalah perawat yang bekerja dengan ikhlas tanpa pamrih dan dengan sepenuh
hati. Mendapat jasa medis yang kecil seharusnya adalah hal biasa bagi seorang
perawat yang profesional.
J. Peran Perawat Dalam Manajemen Resiko
Peran perawat dalam manajemen resiko pada pasien mengacu pada sasaran
keselamatan pasien.Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk
diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah
Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint
Commission International (JCI).
Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien.Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis
bukti dan keahlian atas permasalahan ini.Diakui bahwa desain sistem yang baik
secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan
bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-
solusi yang menyeluruh.Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-
hal sebagai berikut:

Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien


Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis
dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang
dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar
tempat tidur/kamar/lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat
situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan:
pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima
pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau
pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratoriumoratif dikembangkan
untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk
mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah/produk darah; pengambilan
darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; memberikan pengobatan atau
tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk
mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis,
tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.

Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi.
Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang
berbeda pada lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat
jalan, unit gawat darurat, atau kamar operasi, termasuk identifikasi pada pasien
koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratoriumoratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua
kemungkinan situasi dapat diidentifikasi.

Sasaran II: Peningkatan Komunikasi yang Efektif


Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami
oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan
keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telpon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telpon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan
dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat/
(memasukkan ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh
penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read
back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang
sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur
pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan
pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar
operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU.

Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-


Alert)
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen
harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.Obat-obatan
yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering
menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah
pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida
2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari
0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi
bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien,
atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk
mengurangi atau mengeliminasi kejadian tsb adalah dengan meningkatkan proses
pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit
konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.

Rumah sakit secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan


dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai
berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga
mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti
di IGD atau kamar operasi serta pemberian laboratoriumel secara benar pada
elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi
akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.

Sasaran IV: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi


Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah
akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim
bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking),
dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula
asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim
bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca
(illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor
kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang
mengkhawatirkan ini.Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga
di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong
Procedure, Wrong Person Surgery.

Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada
tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah
sakit dan harus dibuat oleh operator /orang yang akan melakukan tindakan,
dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat
sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai dilakukan pada
semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki,
lesi), atau multipel level (tulang belakang).

Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:


 Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
 Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi laboratoriumel dengan baik, dan dipampang;
 Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-
implant yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan
dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi.
Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas,
misalnya menggunakan ceklist.

Sasaran V: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai
dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand
hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa di baca di kepustakaan WHO,
dan berbagai organisasi nasional dan intemasional.

Rumah sakit mempunyai proses kolaboratoriumoratif untuk mengembangkan


kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang sudah diterima secara umum untuk implementasi petunjuk itu di
rumah sakit.

Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh


Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap.
Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan,
dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan
mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi
bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya
jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.
Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pekerja merupakan salah satu kelompok dalam masyarakat yang beresiko
mengalami berbagai masalah kesehatan dalam melakukan pekerjaannya.Kebijakan
Healty People tahun 2000, dengan salah satu prioritas meningkatkan derajat
kesehatan pekerja memberikan dampak terhadap praktik keperawatan yang diberikan
oleh perawat.Perawat kesehatan kerja dituntut untuk mememberikan pelayanan
keperawatan kesehatan komunitas di tempat kerja, dengan mengaplikasikan beberapa
model dan teori keperawatan kesehatan kerja yang sesuai.Upaya tersebut diharapkan
mampu meningkatkan dan memelihara kesehatan pekerja, meningkatkan produktifitas
kerja serta memberikan keuntungan institusi keja.
B. Saran
Demi menjaga keselamatan kerja, seorang perawat harus melakukan identifikasi
dengan baik agar mengetahui berbagai resiko yang akan terjadi pada pekerja, selain
itu perawat harus bisa memenejemen resiko tersebut agar tidak menimbulkan dampak
bagi kesehatan dan keselamatan pekerja, selian itu bagi para pekerja ketika
melakukan tindakan harus seuai dengan Standar Operasional Prosedur agar
keselamatan tercapai dengan baik.
Daftar Pustaka
Ratnasari S.T, 2009. Analisis Resiko. FKMUI Universotas Indonesia, Jurnal
Permatasari H. 2015 . Tinjauan Teori Keperawatan Kesehatan Kerja. Keperawatan
Komunitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Jurnal
Gabby E. M. Soputan, Bonny F. Sompie, Robert J. M. Mandagi. 2014.
Manajemen RisikoKesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3)(Study Kasus Pada
Pembangunan Gedung Sma Eben Haezar).Teknik Sipil Universitas Sam
Ratulang

Anda mungkin juga menyukai