Anda di halaman 1dari 20

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN

GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 1
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Meskipun istilah makroprudensial telah diperkenalkan sejak tahun 1979 oleh The

Cooke Commite yang saat ini dikenal dengan Basel Commite on Banking Supervision

(BCBS), namun istilah makroprudensial mengemuka dan menjadi sangat populer

disektor keuangan setelah terjadinya krisis keuangan global (Global Financial Crisis,

GFC) pada tahun 2008 (Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia,

2016; Clement, 2010).

Berdasarkan Laporan Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia (2007) serta

Warjiyo dan Juhro (2016), istilah makroprudensial di Indonesia secara implisit telah

digunakan sejak awal tahun 2000 sebagai respon atas krisis keuangan pada tahun 1997

hingga 1998, yang ditandai dengan penyusunan kerangka stabilitas sistem keuangan

dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) pada Bank Indonesia.

Berdasarkan kerangka tersebut, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas

sistem keuangan Indonesia melalui dua pendekatan, yaitu mikroprudensial dan

makroprudensial (Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia, 2007; Nasir, 2014). Hal

ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memperhatikan

aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank

Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam Undang- Undang (UU) Republik

Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 2
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank

(mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (Laporan Tahuhan Otoritas Jasa

Keuangan, 2015; Swaningrum dan Hariwan; 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Galati dan Richhild (2011) dan

International Monetary Fund (2011), kebijakan makroprudensial didefinisikan sebagai

kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik. Selain

itu, kebijakan makroprudensial juga merupakan kebijakan yang ditujukan untuk

menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat

ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga

memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan

ekonomi (European Systemic Risk Board, 2013; Bank of England, 2009).

Merujuk pada beberapa definisi di atas, Departemen Kebijakan Makroprudensial

Bank Indonesia (2016) merumuskan setidaknya terdapat tiga kalimat kunci untuk

menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan menjaga

stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan

secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan diterapkan melalui upaya

membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan

makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan

guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi

(Bustamante et al., 2012).

Dalam pelaksanaanya, kebijakan makroprudensial memiliki beberapa instrumen

yang digunakan untuk memitigasi tiga kategori dalam risiko sistemik, yakni risiko-
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 3
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

risiko yang ditimbulkan oleh pertumbuhan kredit yang terlalu kuat, risiko likuiditas,

dan risiko akibat arus modal masuk yang deras (Angelini et al., 2012 dan Tovar et al.,

2012). Beberapa instrumen kebijakan makroprudensial yang telah dilakukan oleh Bank

Indonesia hingga akhir tahun 2015, dimana Bank Indonesia telah merilis lima

instrumen kebijakan makroprudensial (Ascarya et al., 2016(a); Kajian Stabilitas

Keuangan Bank Indonesia, 2016; Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank

Indonesia, 2016), yakni :

1. Loan to Value Ratio (LTV) untuk kepemilikan pinjaman rumah dan uang

muka untuk kepemilikan kredit kendaraan;

2. Giro Wajib Minimum berdasarkan Loan to Deposit Ratio (GWM-LDR) untuk

memperkuat intermediasi perbankan;

3. Net Open Position (NOP) untuk meredam risiko sistemik terkait dengan

mismatch mata uang di bank karena meningkatnya volatilty nilai tukar dan

arus masuk – arus keluar modal asing di Indonesia;

4. Credit Base Rate Transparency (CBRT) yang bertujuan untuk memitigasi

risiko kredit terpapar dalam perbankan dengan mempromosikan suara dan

lingkungan yang kompetitif di tengah pertumbuhan kredit yang tinggi dan

meningkatkan good governance di industri perbankan; dan

5. Contercyclical Capital Buffer (CCB) dan Capital Surcharges (CS) yang

bertujuan sebagai tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga

(buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 4
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi

menggangu stabilitas sistem keuangan.

Menurut Antipa et al., (2011) dan Tovar et al., (2012), beberapa negara

berkembang menggunakan instrumen makroprudensial lebih luas dibandingkan

dengan negara-negara maju. Dalam penelitiannya, Unsal (2011) serta Zulkhbri dan

Naiya (2016), penggunaan instrumen kebijakan makroprudensial yang diambil pun

bervariasi, bergantung pada tingkat perkembangan ekonomi dan keuangan, rezim nilai

tukar, serta daya tahan negara terhadap guncangan keuangan.

Melalui variasi instrumen kebijakan makroprudensial serta pelaksanaan

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang

Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, bahwa Bank Indonesia memiliki

mandat dalam memberikan arahan bahwa stabilitas sistem keuangan dengan target

sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan

terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau

pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian

nasional (Ascarya et al., 2016(a); Warjiyo dan Juhro, 2016; Departemen Kebijakan

Makroprudensial Bank Indonesia, 2016). Sementara, sistem keuangan didefinisikan

sebagai suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur

keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi

dalam pendanaan dan/ atau penyediaan pembiayaan perekonomian (Kajian Stabilitas

Keuangan Bank Indonesia, 2016).


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 5
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bila kebijakan mikroprudensial difokuskan pada tingkat kesehatan individu

institusi keuangan (bank dan nonbank) dalam upaya menjaga stabilitas sistem

keuangan, maka kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara

keseluruhan. Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup

institusi keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya, seperti pasar

keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan (Kremer dan

Shcoenmaker, 2010; Herring dan Carmassi; 2008).

Berdasarkan hal ini, Indonesia sebagai negara berkembang akan selalu

meningkatkan institusi keuangannya seperti institusi perbankan (Aviliani et al., 2015).

Hal ini dijelaskan oleh Mishkin (2001) dan Silalahi et al. (2015), bahwa bank

merupakan sumber institusi penting dan utama bagi pembiayaan eksternal dalam suatu

bisnis hampir di semua negara. Fungsi bank sebagai intermediary institution memiliki

peran strategis bagi pengembangan perekonomian suatu negara. Kinerja bank yang

baik secara individual maupun dalam suatu sistem diharapkan dapat meningkatkan

kontribusinya dalam perekonomian, sehingga penting untuk dipastikan bahwa sistem

keuangan dan perekonomian di suatu negara juga berjalan dengan lancar dan efisien

sesuai dengan peran perbankan yang begitu besar terhadap kondisi suatu negara (Alper

dan Albar, 2011; Aviliani et al., 2015).

Dalam menjalankan perannya sebagai perantara keuangan yakni menyalurkan

dana dari pihak surplus kepada pihak yang membutuhkan dana, bank juga

melaksanakan usahanya sebagai lembaga keuangan yang menjual kepercayaan dan jasa

(Clair, 2004; Matthews dan Thompson, 2005; Festic dan Beko, 2008). Bank berusaha
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 6
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sebanyak mungkin meningkatkan jumlah nasabah baru, memperbesar modal yang

dimiliki serta memperluas pemberian kredit dan jasa-jasanya (Simorangkir, 2004;

Matthews dan Thompson, 2005).

Berdasarakan Laporan Tahunan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (2014) dan

Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia (2015) sebagian besar bank di Indonesia

masih mengandalkan kredit sebagai pemasukan utama dalam membiayai

operasionalnya. Kondisi ini diterangkan oleh Siamat (2005) dan Chorafas (2002),

yakni salah satu alasan terkonsentrasinya usaha bank dalam penyaluran kredit adalah

sifat usaha bank sebagai lembaga intermediasi antara unit surplus dengan unit defisit,

dan sumber utama dana bank berasal dari masyarakat sehingga secara moral mereka

harus menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit yang merupakan

fasilitas penyediaan dana untuk membantu meningkatkan kemampuan ekonomi pihak

yang membutuhkan dana dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Melalui fasilitas kredit, siklus bisnis menjadi terdorong sehingga mampu

menggerakkan perekonomian (Judisseno, 2002; Swiston, 2008; Banu, 2013). Hal ini

menjadikan kredit memiliki peranan dalam pembiayaan dunia usaha serta sebagai

sarana bagi masyarakat untuk kegiatan produktif maupun konsumtif yang diharapkan

dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Pemberian kredit merupakan aktivitas bank yang paling utama dalam

menghasilkan keuntungan, tetapi risiko yang terbesar dalam bank juga bersumber dari

pemberian kredit. Sehingga, pemberian kredit harus diatur dengan suatu manajemen

risiko yang ketat (Jeong, 2009; Pratama, 2010). Hal ini tercemin dari perilaku
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 7
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

masyarakat pada negara berkembang seperti Indonesia yang menjadikan kredit sebagai

sebuah cara bagi mereka dalam rangka mendukung pada kepemilikan suatu barang

(Cucinelli, 2015; Turner, 2016).

Gambar 1.1 Kondisi Total Kredit, Kredit Modal Kerja, Kredit Konsumsi, dan Kredit
Investasi di Indonesia 2010.1 – 2016.3

Sumber: SEKI Bank Indonesia 2016

Selama periode Maret 2010 hingga September 2016, kredit di Indonesia

mengalami kenaikan secara berkala yang cukup besar yakni mencapai 3.697.508 Miliar

Rupiah pada periode September 2016 dari 1.283.328 Miliar Rupiah diperiode Maret

2010. Hal ini menyimpulkan selama periode Maret 2010 hingga September 2016 total

kredit di Indonesia selalu mengalami peningkatan pada setiap tahun per kuartalnya.

Seluruh aspek total kredit yang ada di Indonesia meliputi total kredit dari seluruh aspek

sistem perbankan, baik kovensional maupun Islam (Statistik Perbankan Indonesia

Otoritas Jasa Keuangan, 2016).


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 8
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Dalam sistem perbankan yang dimiliki Indonesia, terdapat dua konsep kredit

yakni konsep kredit berdasarkan perbankan konvensional dan konsep kredit

berdasarkan perbankan Islam (Statistik Perbankan Indonesia Otoritas Jasa Keuangan,

2016) . Konsep kredit yang ada pada perbankan konvensional memiliki dasar pada

interest rate based, sedangkan konsep kredit yang ada pada perbankan Islam memiliki

dasar pada profit lost sharing based (bagi hasil) (Ascarya dan Yumanita, 2009; Erol et

al., 2013).

Pada sistem perbankan konvensional istilah kredit masih tetap sama dan acuan

yang digunakan terkait tingkat risiko kredit dapat dilihat dari rasio non performing loan

(NPL) yang dimiliki oleh bank konvesional tersebut (Kumalasari, 2012; Cucinelli,

2015). Hal ini berbeda dengan sistem perbankan Islam, dimana istilah kredit dikenal

dengan pembiayaan. Meskipun begitu dua istilah tersebut mempunyai prinsip yang

berbeda. Dalam sistem perbankan Islam, pembiayaan lebih mengutamakan unsur

kesepakatan dan transparansi sehingga nilai-nilai Islam tetap terjaga (Firmansyah,

2014; Hasanah et al., 2008).

Berdasarkan Laporan Statistik Perbankan Islam Otoritas Jasa Keuangan (2015),

tidak semua pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat dari total pembiayaan

tergolong sehat, karena diantaranya merupakan pembiayaan yang mempunyai kualitas

buruk atau bermasalah. Pembiayaan bermasalah ini dalam dunia perbankan Islam

disebut Non Performing Finance (NPF). Fenomena ini sering terjadi dalam dunia

perbankan Islam, karena salah satu kegiatan utama perbankan Islam berasal dari
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 9
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

penyaluran pembiayaan, dimana sama halnya dengan perbankan kovensional yang

berasal dari kredit (Firmansyah, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gourinchas dan Obstfeld (2012),

suatu negara dengan kondisi ekspansi kredit domestik yang tinggi akan berpotensi

menimbulkan krisis keuangan. Kondisi ini dapat terjadi, apabila suatu negara memiliki

pola kondisi ekonomi yang konsisten saat terjadinya krisis keuangan serta diawali

dengan adanya krisis perbankan yang bermula dari kondisi ekonomi yang bergairah

karena didorong oleh kondisi ekspansi kredit. Namun disisi lain, hasil penelitian ini

bertolak berlakang dengan teori yang disampaikan oleh Mankiw (2011) serta Warjiyo

dan Zulverdi (1998), ketika adanya penurunan tingkat suku bunga, maka akan

berdampak pada meningkatnya permintaan kredit pada dunia usaha untuk menambah

modal usaha dan membuat tingkat produktifitas barang mereka meningkat. Hal ini

merupakan bagian dari meningkatkan perekonomian melalui kegiatan produksi dan

investasi disuatu negara.

Tingkat bunga yang relatif rendah dibandingkan dengan tingkat bunga luar

negeri, akan mengurangi hasrat masyarakat untung menabung dan mendorong

pengaliran dana keluar negeri, sehingga bank – bank akan mengalami kesulitan dalam

menghimpun dana (Pohan, 2008; Handa, 2009). Pemahaman ini menjadi pembenaran

atas penelitian sebelumnya yang disampaikan oleh Borio and Lowe (2002), bahwa

kredit dan nilai tukar dapat dijadikan sebagai indikator untuk memprediksi krisis di

negara berkembang.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 10
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Bank Indonesia sebagai pembuat kebijakan, ekspansi kredit merupakan suatu

kejadian berharga yang dapat digunakan untuk melakukan refleksi, mengambil

pelajaran atas kejadian, serta melakukan penyesuaian – penyesuaian atas apa yang

dilakukan selama ini agar tidak terjadi krisis keuangan seperti di Amerika Serikat pada

bulan September 2008 (Ascarya et al., 2016(a); Nasir, 2014). Amerika Serikat

mengalami kondisi ketidakstabilan disektor keuangan yang kemudian berdampak pada

sektor riil yang bermula dari adanya penggelembungan kredit. Kondisi ini

menyebabkan adanya peningkatan permintaan kredit atas properti di masyarakat yang

berdampak pada kenaikan harga-harga properti yang tidak wajar dan tidak

mencerminkan keadaan riil. Berdasarkan Laporan Tahunan Bank Indonesia (2011),

apabila pergerakan kenaikan harga terus dibiarkan, maka akan terjadi pecahnya kondisi

Bubble Property yang menjadikan harga-harga properti menjadi jatuh dan diikuti

dengan ambruknya ekonomi secara menyeluruh sehingga akan menimbulkan masalah

nasional berupa resesi ekonomi. Dalam penelitiannya, Firmansyah (2014) juga

menambahkan hal serupa juga dialami oleh perbankan Islam yakni jika pembiayaan

bermasalah melampaui batas, maka akan menjadi masalah serius yang akan

mengganggu profitabilitas bank Islam yang berujung pada berhentinya operasional

pada bank Islam.

Dalam upaya proteksi atas terjadinya ekpansi kredit yang berdampak pada krisis

ekonomi, Bank Indonesia membentuk kebijakan makroprudensial yang didasari

tekanan Financial Stability Board (FSB) pasca krisis 2008 yang mewajibkan bank

sentral untuk membentuk kebijakan makroprudensial serta pelaksanaan rekomendasi


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 11
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

IMF terkait kewajiban Bank Indonesia untuk membentuk Satuan Stabilitas Keuangan

untuk melakukan tingkat mikro dan makro analisis yang diperlukan untuk mendeteksi

kerentanan sistemik (Global Financial Stability Report, 2002).

Kegiatan proteksi ini berlaku untuk seluruh sistem keuangan yang ada di

Indonesia. Sejak diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 tentang pemberlakukan

sistem perbankan Islam atas perubahan UU No. 7 tahun 1992, maka sejak tahun 1998,

Indonesia menganut sistem perbankan ganda yakni sitem perbankan konvensional

berjalan berdampingan dengan sistem perbankan Islam. Hal ini didukung pula dengan

dikeluarkannya UU No.23 tahun 1999 yang selanjutnya diamandemen dengan UU No.

3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank

Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip Islam.

Pemberlakuan undang – undang tersebut membuat perkembangan sistem menjadi lebih

berkembang dengan munculnya sistem perbankan Islam. Kondisi ini membuat

kebijakan makroprudensial diharapkan mampu meng-cover seluruh sistem keuangan

yang ada di Indonesia, baik sistem konvensional maupun sistem Islam.

Dalam beberapa tahun terakhir, para pembuat kebijakan mempercayai dan

mengandalkan kebijakan makroprudensial untuk mengantisipasi akan kekhawatiran

dari ketidakstabilan sistem keuangan (Akinci et al, 2015). Namun, pemahaman ini akan

berbeda pada negara-negara yang menganut sistem perbankan ganda (konvensional

dan Islam). Dua sistem ini merupakan dua sistem dengan prinsip serta standar yang

berbeda dan memerlukan treatment yang berbeda pula (Muhammad, 2011). Oleh

karena itu, munculnya sistem perbankan ganda ini juga memberikan suatu gambaran
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 12
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

bahwa sistem perbankan yang digunakan secara otomatis akan berbeda, maka dalam

pelaksanan kebijakan makropudensial perlu adanya pemberlakuan yang berbeda untuk

keduanya.

Pada konsepnya, kebijakan makroprudensial memiliki target yang baik dalam

meredam ketidakstabilan sistem keuangan, mampu mengontrol ekspansi kredit dan

mencegah risiko sistemik. Namun, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh

Silalahi (2015) serta Warjiyo dan Juhro (2016), tujuan kebijakan makroprudensial

terkait menstabilkan kondisi makroekonomi tidak sejalan dengan tujuan dari bank

komersial yang bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan. Hal serupa juga

disampaikan oleh Chapra (1985) terkait tujuan dari ekonomi Islam yang juga meliputi

perbankan Islam yakni menciptakan kesejahteraan ekonomi dengan kesempatan kerja

penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum guna mencapai kebahagiaan

di dunia dan akhirat (falah). Arregui et al. (2013) juga menjelaskan, meski kebijakan

makroprudensial baik untuk meredam kemungkinan krisis dan menetralkan

perekonomian, tetapi akan terdapat biaya dari penerapan kebijakan ini yaitu dalam hal

menurunnya jumlah kredit bank dan hal ini tentu saja akan berdampak pada kinerja

bank dan akan berdampak pada ouput perekonomian pada jangka panjang. Hal ini juga

tidak sejalan dengan tujuan dari pelaksanaan sistem keuangan Islam yang menerapkan

sistem operational efficiency dalam sistem perbankannya (Ascarya et al., 2016(b)).

Oleh karena itu, kebijakan ini akan berdampak kepada kinerja sektor perbankan

terutama pada negara yang menerapkan sistem perbankan ganda seperti Indonesia.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 13
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Berdasarkan argumen sebelumnya dapat disimpulkan, penerapan kebijakan

makroprudensial akan berdampak pada penurunan permintaan kredit di masyarakat,

dimana penurunan ini secara procyclical akan membuat penerimaan di sektor

perbankan turun. Dapat dikatakan, praktek dari penerapan kebijakan makroprudensial

ini sedikit banyak akan ikut menurunkan penerimaan sektor perbankan, dimana

penurunan penerimaan akan berdampak pada penurunan kinerja sektor perbankan yang

dapat dijelaskan dari besarnya Return On Equity (ROE) (Aviliani et al., 2015; Silalahi

et al., 2015)

Adanya dampak penurunan penerimaan atas penerapan kebijakan

makroprudensial, disisi lain kebijakan ini dapat mengantisipasi terjadinya kredit

bermasalah yang disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang berlebihan. Peningkatan

kredit pada bank, akan berdampak pada turunnya standar kualitas kredit yang dimiliki

oleh bank (Bonilla, 2011). Hal ini selaras dengan penerapan yang ada pada sistem

perbankan ganda, yakni apabila pembiayaan bermasalah meningkat maka risiko

terjadinya penurunan profitabilitas semakin besar. Apabila profitabilitas menurun,

maka kemampuan bank dalam melakukan ekspansi pembiayaan berkurang dan laju

pembiayaan menjadi turun. Risiko pembiayaan yang diterima bank merupakan salah

satu risiko usaha bank, yang diakibatkan dari tidak dilunasinya kembali pinjaman yang

diberikan atau investasi yang sedang dilakukan oleh pihak bank (Muhammad, 2011).

Dalam pelaksanaan kebijakan makroprudensial yang telah dilakukan oleh Bank

Indonesia yang bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan, terdapat dua kebijakan

makroprudensial yang telah cukup lama dilakukan yaitu kebijakan LTV dan kebijakan
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 14
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

GWM-LDR (Kajian Stabilitas Keuangan Bank Indonesia, 2014). Dua kebijakan ini

bertujuan untuk menjaga stabilitas keuangan dan mencegah terjadinya risiko sistemik,

yaitu fenomena bangkrutnya sejumlah lembaga keuangan an kegagalan simultan dari

sejumlah institusi atau perusahaan yang diakibatkan adanya shock pada makroekonomi

(Bustaman, 2013; Rodriguez-Moreno dan Pena., 2013; Acharya, 2009).

Gambar 1.2 Kondisi Tingkat Kinerja Sistem Perbankan Ganda di Indonesia periode
2010.1 – 2016.3

Sumber : SEKI Bank Indonesia, 2016

Berdasarkan gambar 1.2, penyaluran total kredit pada bank konvensional dan

bank Islam mengalami kenaikan hingga periode kuartal tiga tahun 2016. Kenaikan

kredit yang terjadi, bahkan setelah ditetapnya kebijakan LTV pada kuartal dua tahun

2012 dan kebijakan GWM-LDR pada kuartal empat tahun 2013. Hal ini menunjukkan

perlu adanya analisis lebih lebih dalam, terutama pada pelaksanaan kebijakan
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 15
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

makroprudensial pada sistem perbankan Islam yang memiliki dasar konsep profit lost

sharing yang berbeda dengan perbankan konvensional dengan konsep suku bunga.

Kondisi yang ada pada perbankan Islam, terutama setelah diterapkan kebijakan

makroprudensial mengalami penurunan dan juga kenaikan pada risiko kredit (NPF)

atas pembiayaan yang dilakukan kepada masyarakat. Hal ini bertolak belakang dengan

pendapat Ibrahim dan Ismail (2015), bahwa ketika suatu bank menerapkan sistem

profit lost sharing akan memiliki tingkat risiko kredit yang rendah daripada yang

menggunakan sistem bunga.

Ekspansi kredit yang terjadi di Indonesia dapat menjadi suatu hal yang baik,

apabila adanya suatu peningkatan penerimaan pada sektor ekonomi (Pohan, 2008).

Namun, kondisi ini dapat menjadi buruk, apabila terjadi kredit macet dimasa yang akan

datang akibat dari adanya penurunan standar kualitas kredit terutama pada sistem

perbankan ganda (Ascarya dan Yumanita, 2009; Firmansyah, 2014). Hal ini membuat

bank harus bisa bersikap hati – hati dalam menyalur kredit maupun pembiayaannya.

Kinerja sistem perbankan ganda memiliki perkembangan yang cenderung

fluktuatif, terutama pada penerapan kebijakan LTV di tahun 2010. Pada saat itu

perbankan kovensional mengalami penurunan kinerja sebesar 1,16 persen pada periode

kuartal satu tahun 2013, dimana hal ini berbeda dengan perbankan Islam yang berada

dalam posisi stabil. Namun, penurunan terjadi pada perbankan Islam setelah penerapan

kebijakan GWM-LDR pada periode kuartal empat tahun 2013 yang berbeda kondisi

dengan perbankan konvensional yang dalam kondisi stabil pada periode tersebut.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 16
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Pada posisi risiko kredit yang dimiliki masing – masing sistem perbankan, baik

NPL maupun NPF mengalami kenaikan setelah penerapan kebijakan LTV dan GWM-

LDR. Berdasarkan pengamatan pada gambar 1.2, posisi kenaikan NPF jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan kenaikan pada NPL. Hal ini merupakan kondisi yang tidak baik

karena semakin tingginya kredit macet atau NPL/NPF maka kinerja bank akan bernilai

tidak baik atau buruk (Firmansyah, 2014). Jarak antara kinerja bank dan risiko kredit

terlihat menjadi lebih besar paska diterapkannya kebijakan GWM-LDR, dibandingkan

dengan penerapan kebijakan LTV pada kuartal dua tahun 2012.

Deskripsi di atas memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya

kondisi kinerja sistem perbankan atas implementasi kebijakan makroprudensial yakni

kebijakan LTV dan GWM-LDR. Hal ini didasarkan atas literatur empiris sebelumnya,

bahwa tidak ada konsep “one size fits all” atas penerapan suatu kebijakan, karena model

yang berbeda mungkin efektif tergantung pada spesifikasi negara (Zulkhibri dan Naiya,

2016). Apabila dikaitkan dengan penerapan kebijakan makroprudensial, maka

keberhasilan penggunaan instrumen makroprudensial akan sangat bergantung pada

spesifikasi negara, seperti tingkat kemajuan dan struktur dari sistem finansial, kerangka

kebijakan moneter, sistem nilai tukar dan tingkat keterbukaan pada arus modal yang

masuk (Unsal, 2011). Pembelajaran kasus penerapan kebijakan makroprudensial pada

negara Brazil, Kolombia dan Peru yang dilakukan oleh Tovar et al. (2012), bahwa

kebijakan makroprudensial (instrumen GWM-LDR) efektif diterapkan di Brazil dan

Peru, sedangkan di Kolumbia tidak efektif. Kemudian Bustamente et al. (2012)

meneliti efektifitas penggunaan instrumen makroprudensial di Kolombia dengan


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 17
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

menggunakan instrumen berupa LTV. Penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan

LTV kurang efektif diterapkan karena naiknya harga rumah yang digunakan sebagai

agunan pinjaman sehingga secara rata-rata dapat menurunkan rasio LTV dan akan

menurunkan suku bunga pinjaman. Hadian (2016) pada penelitiannya menemukan

bahwa negara yang memiliki sistem keuangan Islam wajib membentuk kebijakan

makroprudensial guna menjaga sistem keuangan Islam dari risiko sistemik, meski

sudah diketahui sistem keuangan menggunakan sistem PLS yang secara kestabilannya

lebih baik daripada suku bunga. Namun hal ini diperlukan untuk dalam menghilangkan

risiko sistemik pada jangka panjang maupun jangka pendek, sehingga pembentukan

kebijakan makroprudensial dibutuhkan dalam sistem perbankan di Iran dengan syarat

instrumen kebijakan makroprudensial terkait keuangan Islam sesuai dengan standar

Islam.

Lim et al. (2011), mengevaluasi efektifitas penggunaan instrumen

makroprudensial dalam mengurangi risiko sistemik pada 49 negara. Dalam

penelitiaanya ditemukan sebagian besar instrumen (LTV dan GWM-LDR) efektif

dalam mengurangi prosiklikalitas, tetapi efektifitasnya sangat bergantung pada

goncangan di sektor finansial. Kondisi ini menarik perhatian peneliti untuk melakukan

penelitian lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan makroprudensial yang

diterapkan di Indonesia terutama dampaknya terhadap perfoma sistem perbankan

ganda yang dianut oleh Indonesia serta konsep strategi yang tepat bagi negara yang

menjalankan sistem perbankan ganda dalam menerapan kebijakan makroprudensial

seperti Indonesia.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 18
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.2 Batasan Masalah

Penelitian ini hanya meneliti terkait implementasi kebijakan makroprudensial

pada sistem perbankan ganda yang ada di Indonesia. Jenis perbankan yang diuji hanya

meliputi bank yang memiliki dua sistem perbankan (bukan sistem double window)

yang sudah memiliki laporan keuangan pada periode 2010.Q4 hingga 2016.Q3 yang

tercatat oleh OJK dan Bank Indonesia dan menggunakan dua kebijakan

makroprudensial yang telah lama digunakan oleh Indonesia yakni kebijakan LTV dan

GWM-LDR guna melihat pengaruh implementasi penerapan kebijakan.

1.3 Rumusan Masalah

Penerapan kebijakan makroprudensial sangatlah penting karena dapat mencegah

terjadinya risiko sistemik dan menjaga stabilitas sistem keuangan suatu negara. Namun

dampak dari penerapan instrumen kebijakan makroprudensial adalah berbeda-beda

pada setiap negara, dan keefektifannya masih kontroversial secara empiris, terutama

pada negara yang menerapkan sistem perbankan ganda seperti Indonesia, terkait

dampak kebijakan makroprudensial berupa penerapan kebijakan LTV dan GWM-LDR

terhadap kinerja sistem perbankan ganda di Indonesia

1.4 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitiannya adalah

sebagai berikut:

1) Bagaimana pengaruh kebijakan LTV terhadap kinerja perbankan ganda di

Indonesia pada 2010.Q4 – 2016.Q3?


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 19
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2) Bagaimana pengaruh kebijakan GWM-LDR terhadap kinerja perbankan

ganda di Indonesia periode 2010.Q4 – 2016.Q3?

3) Bagaimana strategi untuk mengoptimalkan kinerja perbankan sistem

perbankan ganda yang dianut Indonesia melalui kebijakan makroprudensial?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1) Menganalisis kebijakan LTV terhadap kinerja perbankan ganda di Indonesia

pada 2010: Q4 – 2016: Q3.

2) Menganalisis kebijakan GWM-LDR terhadap kinerja perbankan ganda di

Indonesia periode 2010: Q4 – 2016: Q3.

3) Merekomendasi strategi penerapan kebijakan makroprudensial untuk

mengoptimalkan kinerja sistem perbankan ganda di Indonesia melalui

metode analisis SWOT.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

 Bagi peneliti, penelitian ini memberikan bukti empiris terkait implementasi

kebijakan makroprudensial terhadap kinerja perbankan ganda di Indonesia

sehingga dapat dijadikan referensi penulisan karya ilmiah berikutnya.

 Bagi pemerintah dan pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat

menjadi masukan mengenai strategi penerapan kebijakan makroprudensial


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL TERHADAP KINERJA SISTEM PERBANKAN
GANDA DI INDONESIA
Jannatul Liutammima 20
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

sehingga dapat mengevaluasi kebijakan yang telah ada, serta dapat menjadi

bahan pertimbangan untuk pengembangan kebijakan makroprudensial atas

kinerja sistem perbankan ganda di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai