keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga, yang
saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan
perekonomian. Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem
keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap
guncangan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat
berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
Kerentanan (vulnerability) sistem keuangan mengacu pada suatu kondisi
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan (financial imbalances) yang terjadi karena
perilaku pengambilan risiko (risk taking behaviour) dari agen perekonomian dalam
memaksimalkan keuntungan atau konsumsinya. Ketidakseimbangan ini antara lain dapat
terlihat dari peningkatan kredit yang tidak sesuai dengan kapasitas perekonomian, perilaku
prosiklikalitas perbankan, peningkatan konsentrasi risiko kredit pada sektor tertentu serta
peningkatan utang luar negeri.
Jika terjadi guncangan, maka agen perekonomian dalam sistem keuangan yang sejak
awal sudah dalam kondisi rentan akan mengalami peningkatan risiko yang dapat berujung
pada risiko sistemik kepada sebagian atau seluruh sistem keuangan. Risiko sistemik adalah
potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada
sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size),
kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan
(interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi
keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
Lebih lanjut, risiko sistemik memiliki dua dimensi, yaitu dimensi time series dan
dimensi cross section. Dimensi time series adalah dimensi runtun waktu yang menekankan
pada bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi
yang mengikuti siklus perekonomian. Sedangkan dimensi cross section adalah dimensi antar
subjek yang mencerminkan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu
periode tertentu yang disebabkan oleh secara individual atau sektoral terdapat risiko
konsentrasi (concentration risk) dan kesamaan eksposur (common risk factor) dan/atau risiko
tertularnya gangguan antar individu/sektor karena keterkaitan dalam sistem keuangan
(contagion risk).
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan sebuah kebijakan yang
memitigasi risiko sistemik dan bertujuan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan yang
disebut sebagai kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial memiliki fokus pada
risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan, tidak hanya berfokus pada risiko masing-
masing individu pelaku keuangan.
Salah satu indikator yang dijadikan acuan untuk merumuskan kebijakan
makroprudensial adalah siklus keuangan yang menggambarkan boom dan bust keuangan.
Idealnya, saat kondisi boom, kebijakan makroprudensial akan diatur sedemikian rupa untuk
mengurangi amplitudo boom tersebut. Hal ini dilakukan karena pada umumnya, periode
boom yang tidak terkontrol akan berujung pada bust atau bahkan krisis keuangan.
Sebaliknya, ketika kondisi bust, akan dilakukan pelonggaran (loosening) kebijakan
makroprudensial, untuk membantu perekonomian bangkit kembali.
Untuk mendukung kebijakan makroprudensial tersebut, diperlukan beberapa alat (tools)
untuk mengukur risiko sistemik seperti Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK), top down
stress test, network analysis dan/atau alat ukur lainnya. ISSK merupakan indeks yang
digunakan untuk mengukur kestabilan dan ketahanan Sistem Keuangan Indonesia terhadap
tekanan risiko. ISSK dibangun atas 2 (dua) indeks yaitu Indeks Stabilitas Pasar Keuangan
(ISPK) dan Indeks Stabilias Institusi Keuangan (ISIK). Selanjutnya, Top down stress
test adalah industry-wide stress test yang dilakukan oleh bank sentral melalui perapan
parameter variabel makro yang sama untuk semua bank.
Adapun beberapa instrumen kebijakan makroprudensial yang telah diterbitkan BI
adalah sebagai berikut:
a. Countercylical Capital Buffer (CCB) yaitu tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit
perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan.
Ketika kondisi ekonomi sedang ekspansi, besaran CCB dapat ditingkatkan sebagai
cadangan modal yang dapat digunakan perbankan ketika kondisi ekonomi kontraksi.
b. Loan to Value Ratio (LTV Ratio) yaitu rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan
oleh bank terhadap nilai agunannya. LTV merupakan instrumen kebijakan
makroprudensial credit related dan dikembangkan untuk memitigasi risiko yang muncul
dari perilaku excessive lending dan bubble harga properti pada periode 2010 -2011.
c. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang merupakan penyempurnaan dari
ketentuan Giro Wajib Minimum terhadap Loan-to-Funding Ratio (GWM-LFR). RIM
adalah instrumen kebijakan makroprudensial yang dikembangkan untuk memperkuat
fungsi intermediasi tanpa melupakan pengendalian risiko likuiditas. Indikator utama
yang diperhatikan dalam instrumen ini adalah rasio pembiayaan terhadap pendanaan.
Pada dasarnya, RIM memperluas cakupan pembiayaan sehingga tidak hanya
memperhitungkan kredit yang disalurkan tetapi juga memperhitungkan Surat-Surat
Berharga (SSB) korporasi non-keuangan yang dimiliki oleh bank.
d. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) adalah instrumen kebijakan
makroprudensial yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan prosiklikalitas
likuiditas perbankan. PLM bersifat countercyclical dan time-varying dan diterapkan
pada seluruh bank, untuk melengkapi instrumen mikroprudensial likuiditas LCR dan
NSFR yang saat ini masih hanya diterapkan oleh OJK pada bank BUKU 3 dan 4 serta
bank dengan kepemilikan asing (termasuk KCBA).
Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua
pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007). Hal ini menunjukkan
bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial
tertuang dalam UndangUndang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22
November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi
pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sejak tahun 2003, Bank Indonesia telah aktif mengomunikasikan hasil pemantauan
(surveillance) atas stabilitas sistem keuangan secara semesteran. Hasil tersebut dituangkan
dalam laporan yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). Dalam
perjalanannya, kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan telah
diakui secara internasional seperti terlihat dari keberhasilan Bank Indonesia dalam
memperoleh penghargaan sebagai “The Best Systemic and Prudential Regulator” pada acara
The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang diselenggarakan pada 25
April 2012, di Bangkok. Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas kemampuan
Bank Indonesia dalam mengarahkan industri perbankan Indonesia untuk menerapkan aturan
berstandar internasional, serta kemampuan merespons gejolak perekonomian global pada saat
krisis hingga mampu menghindari terjadinya risiko sistemik.
DEFINISI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan tujuan yang dilakukan bersama antara
beberapa otoritas. Dalam hal ini, terdapat lebih dari 1 (satu) otoritas yang memiliki
kepentingan dalam mencapai stabilitas sistem keuangan. Yang membedakan adalah
kewenangan masingmasing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti bank
sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran;
pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan
melalui kewenangan mikroprudensial. Dengan demikian, implementasi kebijakan
makroprudensial sangat mungkin dilakukan melalui interaksi dengan kebijakan lain,
terutama dengan kebijakan yang memiliki dampak pada sistem keuangan. Biasanya
interaksi ini bersifat saling melengkapi sehingga menjadikan elemen sistem keuangan
menjadi lebih berhati-hati (prudent). Melalui interaksi antar kebijakan ini, diharapkan agar
permasalahan yang terjadi pada sistem keuangan tidak berdampak negatif pada kondisi
makroekonomi dan sektor riil, serta sebaliknya.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan
dan Pengawasan Makroprudensial memberikan arahan bahwa:
A. Stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem
keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap
kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan
dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
B. Sistem keuangan didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas lembaga
keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan
rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/ atau penyediaan
pembiayaan perekonomian.
PERBEDAAN MIKROPRUDENSIAL DAN MAKROPRUDENSIAL
RISIKO SISTEMIK
1. Sumber risiko sistemik tidak harus berasal dari institusi keuangan, namun dapat berasal
dari elemen sistem keuangan lainnya, seperti kegagalan korporasi atau permasalahan di
sistem pembayaran, atau bahkan berasal dari gangguan (shock) di luar sistem keuangan.
2. Keterkaitan (interconnectedness) di antara elemen sistem keuangan memunculkan
potensi menularnya atau merambatnya risiko dari suatu elemen sistem keuangan
kepada seluruh elemen sistem keuangan (contagion effect).
3. Potensi dampak yang ditimbulkan oleh risiko sistemik sangat luas, tidak hanya terbatas
pada sektor keuangan, namun dapat mengganggu perekonomian.
Kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat “cukup”
dan “perlu” bagi makroprudensial dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan
(Borio, 2009) dan untuk mengukur risiko sistemik. Secara lebih luas, kebijakan
makroprudensial mengukur risiko sistemik dari limpahan (spillover) dampak dan biaya yang
ditimbulkan, termasuk interaksinya dengan makroekonomi. Lebih lanjut dalam penelitian di
BIS dinyatakan bahwa dalam perspektif makroprudensial, meskipun semua institusi
keuangan memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik, namun kondisi tersebut belum
cukup untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Potensi risiko sistemik tetap dapat
muncul apabila institusi keuangan menghadapi faktor risiko yang sama (common risk factor),
antara lain akibat pemusatan risiko pada portofolio yang sama (concentration risk).
Sementara itu, kinerja dan tingkat kesehatan setiap institusi keuangan tidak lagi menjadi
syarat perlu apabila kegagalan atau risiko pada satu atau beberapa institusi keuangan tidak
menimbulkan dampak yang signifikan (sistemik) terhadap sistem keuangan.
(*Dinamika perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan
dipengaruhi oleh adat, sikap, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan genetika.)
2. too-big-to-fail
Potensi penyebaran risiko (spillover) dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih
tinggi apabila permasalahan terjadi pada institusi keuangan yang besar atau dominan.
Kegagalan bank besar dengan pangsa yang cukup tinggi dalam sistem keuangan akan
memberikan dampak yang lebih signifkan dibandingkan dengan kegagalan bank dengan skala
yang lebih kecil. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-to-fail. Selain karena skala usahanya,
bank besar cenderung memiliki interkonektivitas dengan bank lain yang lebih banyak dengan
kompleksitas usaha yang tinggi, sehingga permasalahan pada bank tersebut dapat
mengakibatkan gangguan yang lebih luas dalam sistem keuangan, bahkan hingga bersifat
sistemik.
Kebijakan moneter difokuskan pada stabilitas harga dan perekonomian secara makro.
Sumber-sumber risiko makroekonomi dapat berasal dari instabilitas sistem keuangan. Oleh
karena itu, adanya pengawasan agregat pada sistem keuangan dari kebijakan makroprudensial
dapat melengkapi fokus kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dapat digunakan
untuk melihat adanya potensi peningkatan risiko dari sistem keuangan yang dapat
mengganggu stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, kedua kebijakan ini
saling terkait satu sama lain. Kondisi makroekonomi yang merupakan hasil dari implementasi
kebijakan moneter, akan secara langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan.
Perlambatan ekonomi atau volatilitas nilai tukar, misalnya, dapat secara langsung berdampak
pada kinerja penyaluran dan kualitas kredit perbankan.
Kebijakan fskal yang tepat dan efektif akan mengurangi potensi terjadinya shock
makroekonomi, yang merupakan salah satu sumber pembentukan (build up) risiko sistemik
(IMF, 2013b). Sebagai contoh, kenaikan (boom) pada konsumsi swasta dan rumah tangga
dapat menjadi tinggi yang disebabkan oleh masuknya modal asing (capital inflow) yang
tinggi secara persisten. Aliran modal asing yang masuk, antara lain melalui pasar saham dan
obligasi, dapat meningkatkan kemampuan ekspansi usaha swasta sekaligus pendapatan
masyarakat, yang pada akhirnya mendorong konsumsi masyarakat. Apabila kenaikan
konsumsi tersebut terjadi pada barang-barang dengan import content yang tinggi, dapat
memicu terjadinya defsit transaksi berjalan (current account defcit) yang persisten (terus-
menerus). Di sisi lain, pelaku pasar akan cenderung semakin ambil risiko (risk-taking)
memanfaatkan kondisi ekonomi yang sedang mengalami boom. Pada kondisi ini, kebijakan
makroprudensial sendiri tidak dapat meredam boom yang ada. Diperlukan koordinasi
kebijakan bersama Pemerintah untuk memperbaiki kondisi defisit transaksi berjalan dengan
melakukan pemberian insentif pajak untuk mendorong produksi barangbarang yang memiliki
nilai tambah (value added) sehingga barangbarang yang bersumber dari luar negeri dapat
digantikan dengan barang-barang produksi dalam negeri. Sementara itu, kebijakan
makroprudensial dapat ditargetkan untuk meredam perilaku ambil risiko yang berlebihan dari
pelaku pasar.