Anda di halaman 1dari 13

Sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar

keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga, yang
saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan
perekonomian. Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi yang memungkinkan sistem
keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap
guncangan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat
berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
Kerentanan (vulnerability) sistem keuangan mengacu pada suatu kondisi
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan (financial imbalances) yang terjadi karena
perilaku pengambilan risiko (risk taking behaviour) dari agen perekonomian dalam
memaksimalkan keuntungan atau konsumsinya. Ketidakseimbangan ini antara lain dapat
terlihat dari peningkatan kredit yang tidak sesuai dengan kapasitas perekonomian, perilaku
prosiklikalitas perbankan, peningkatan konsentrasi risiko kredit pada sektor tertentu serta
peningkatan utang luar negeri.
Jika terjadi guncangan, maka agen perekonomian dalam sistem keuangan yang sejak
awal sudah dalam kondisi rentan akan mengalami peningkatan risiko yang dapat berujung
pada risiko sistemik kepada sebagian atau seluruh sistem keuangan. Risiko sistemik adalah
potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada
sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size),
kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan
(interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi
keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
Lebih lanjut, risiko sistemik memiliki dua dimensi, yaitu dimensi time series dan
dimensi cross section. Dimensi time series adalah dimensi runtun waktu yang menekankan
pada bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi
yang mengikuti siklus perekonomian. Sedangkan dimensi cross section adalah dimensi antar
subjek yang mencerminkan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu
periode tertentu yang disebabkan oleh secara individual atau sektoral terdapat risiko
konsentrasi (concentration risk) dan kesamaan eksposur (common risk factor) dan/atau risiko
tertularnya gangguan antar individu/sektor karena keterkaitan dalam sistem keuangan
(contagion risk).
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan sebuah kebijakan yang
memitigasi risiko sistemik dan bertujuan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan yang
disebut sebagai kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial memiliki fokus pada
risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan, tidak hanya berfokus pada risiko masing-
masing individu pelaku keuangan.
Salah satu indikator yang dijadikan acuan untuk merumuskan kebijakan
makroprudensial adalah siklus keuangan yang menggambarkan boom dan bust keuangan.
Idealnya, saat kondisi boom, kebijakan makroprudensial akan diatur sedemikian rupa untuk
mengurangi amplitudo boom tersebut. Hal ini dilakukan karena pada umumnya, periode
boom yang tidak terkontrol akan berujung pada bust atau bahkan krisis keuangan.
Sebaliknya, ketika kondisi bust, akan dilakukan pelonggaran (loosening) kebijakan
makroprudensial, untuk membantu perekonomian bangkit kembali.
Untuk mendukung kebijakan makroprudensial tersebut, diperlukan beberapa alat (tools)
untuk mengukur risiko sistemik seperti Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK), top down
stress test, network analysis dan/atau alat ukur lainnya. ISSK merupakan indeks yang
digunakan untuk mengukur kestabilan dan ketahanan Sistem Keuangan Indonesia terhadap
tekanan risiko. ISSK dibangun atas 2 (dua) indeks yaitu Indeks Stabilitas Pasar Keuangan
(ISPK) dan Indeks Stabilias Institusi Keuangan (ISIK). Selanjutnya, Top down stress
test adalah industry-wide stress test yang dilakukan oleh bank sentral melalui perapan
parameter variabel makro yang sama untuk semua bank.
Adapun beberapa instrumen kebijakan makroprudensial yang telah diterbitkan BI
adalah sebagai berikut:
a. Countercylical Capital Buffer (CCB) yaitu tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit
perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan.
Ketika kondisi ekonomi sedang ekspansi, besaran CCB dapat ditingkatkan sebagai
cadangan modal yang dapat digunakan perbankan ketika kondisi ekonomi kontraksi.
b. Loan to Value Ratio (LTV Ratio) yaitu rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan
oleh bank terhadap nilai agunannya. LTV merupakan instrumen kebijakan
makroprudensial credit related dan dikembangkan untuk memitigasi risiko yang muncul
dari perilaku excessive lending dan bubble harga properti pada periode 2010 -2011.
c. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang merupakan penyempurnaan dari
ketentuan Giro Wajib Minimum terhadap Loan-to-Funding Ratio (GWM-LFR). RIM
adalah instrumen kebijakan makroprudensial yang dikembangkan untuk memperkuat
fungsi intermediasi tanpa melupakan pengendalian risiko likuiditas. Indikator utama
yang diperhatikan dalam instrumen ini adalah rasio pembiayaan terhadap pendanaan.
Pada dasarnya, RIM memperluas cakupan pembiayaan sehingga tidak hanya
memperhitungkan kredit yang disalurkan tetapi juga memperhitungkan Surat-Surat
Berharga (SSB) korporasi non-keuangan yang dimiliki oleh bank.
d. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) adalah instrumen kebijakan
makroprudensial yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan prosiklikalitas
likuiditas perbankan. PLM bersifat countercyclical dan time-varying dan diterapkan
pada seluruh bank, untuk melengkapi instrumen mikroprudensial likuiditas LCR dan
NSFR yang saat ini masih hanya diterapkan oleh OJK pada bank BUKU 3 dan 4 serta
bank dengan kepemilikan asing (termasuk KCBA).

Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua
pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007). Hal ini menunjukkan
bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial
tertuang dalam UndangUndang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22
November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi
pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sejak tahun 2003, Bank Indonesia telah aktif mengomunikasikan hasil pemantauan
(surveillance) atas stabilitas sistem keuangan secara semesteran. Hasil tersebut dituangkan
dalam laporan yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). Dalam
perjalanannya, kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan telah
diakui secara internasional seperti terlihat dari keberhasilan Bank Indonesia dalam
memperoleh penghargaan sebagai “The Best Systemic and Prudential Regulator” pada acara
The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang diselenggarakan pada 25
April 2012, di Bangkok. Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas kemampuan
Bank Indonesia dalam mengarahkan industri perbankan Indonesia untuk menerapkan aturan
berstandar internasional, serta kemampuan merespons gejolak perekonomian global pada saat
krisis hingga mampu menghindari terjadinya risiko sistemik.
DEFINISI KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

A. Dalam penelitian yang dilakukan di BIS, Swiss, kebijakan makroprudensial


didefinisikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya
dari krisis sistemik (Galati G., and Richhild M., 2011).
B. Kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat
ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik,
sehingga memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap
pertumbuhan ekonomi (European Systemic Risk Board, 2013).
C. Makroprudensial sebagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara
stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik
(IMF, 2011).
D. Merujuk pada beberapa definisi di atas, setidaknya terdapat 3 (tiga) kalimat kunci
untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan
tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada
sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan diterapkan
melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik. Secara
sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-
hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan
makroekonomi dan mikroekonomi.
E. Kebijakan makroprudensial yang bertujuan membatasi risiko sistemik untuk menjaga
stabilitas keuangan

Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan tujuan yang dilakukan bersama antara
beberapa otoritas. Dalam hal ini, terdapat lebih dari 1 (satu) otoritas yang memiliki
kepentingan dalam mencapai stabilitas sistem keuangan. Yang membedakan adalah
kewenangan masingmasing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti bank
sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran;
pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan
melalui kewenangan mikroprudensial. Dengan demikian, implementasi kebijakan
makroprudensial sangat mungkin dilakukan melalui interaksi dengan kebijakan lain,
terutama dengan kebijakan yang memiliki dampak pada sistem keuangan. Biasanya
interaksi ini bersifat saling melengkapi sehingga menjadikan elemen sistem keuangan
menjadi lebih berhati-hati (prudent). Melalui interaksi antar kebijakan ini, diharapkan agar
permasalahan yang terjadi pada sistem keuangan tidak berdampak negatif pada kondisi
makroekonomi dan sektor riil, serta sebaliknya.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan
dan Pengawasan Makroprudensial memberikan arahan bahwa:
A. Stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem
keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap
kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan
dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
B. Sistem keuangan didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas lembaga
keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan
rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/ atau penyediaan
pembiayaan perekonomian.
PERBEDAAN MIKROPRUDENSIAL DAN MAKROPRUDENSIAL

Kebijakan makroprudensial maupun kebijakan mikroprudensial sama-sama bertujuan


mencegah instabilitas sistem keuangan, namun dengan pendekatan yang berbeda.

A. Kebijakan mikroprudensial difokuskan pada tingkat kesehatan individu institusi


keuangan (bank dan nonbank) dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan
B. Kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara keseluruhan.
Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi
keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya, seperti pasar
keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan. Mengapa
demikian? Karena kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan dengan tujuan
akhir meminimalkan terjadinya risiko sistemik.
C. Sementara itu, kebijakan makroprudensial yang fokus pada interaksi antara lembaga
keuangan, pasar, infrastruktur dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran
potensi risiko ke depan; akan berupaya mencegah instabilitas untuk menghindari biaya
perekonomian yang timbul dari kegagalan sektor keuangan (biaya penanggulangan
krisis). Dengan kata lain, kebijakan makroprudensial bertujuan untuk membatasi
kemungkinan kegagalan fnansial yang berdampak signifkan terhadap sistem keuangan
atau mencegah terjadinya risiko sistemik.

UU OJK mendefnisikan lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial sebagai


pengaturan dan pengawasan selain aspek kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan
pemeriksaan bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial
yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Sementara itu, UU No. 9 Tahun 2016 tanggal 15
April 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK),
khususnya penjelasan pasal 3 ayat 2c, menyebutkan makroprudensial mencakup pengaturan
dan pengawasan lembaga jasa keuangan yang bersifat makro dan berfokus pada risiko
sistemik dalam rangka mendorong stabilitas sistem keuangan.

RISIKO SISTEMIK

A. Risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya


kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan
sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya
perekonomian. Risiko sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau
terjadi secara perlahanlahan tanpa disadari atau dideteksi oleh berbagai pihak sehingga
kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan. Efek negatif risiko sistemik pada
perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada sistem
pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset (Group of Ten, 2001).
B. Risiko sistemik dirumuskan sebagai kombinasi dari keadaan-keadaan yang
mengancam stabilitas atau kepercayaan publik terhadap sistem keuangan; serta
sebagai risiko instabilitas keuangan yang menyebar sehingga dapat melumpuhkan
fungsi sistem keuangan pada titik yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan
menurunkan kesejahteraan masyarakat (Billio et all, 2010 dan ECB, 2010).
C. PBI Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, risiko sistemik didefinisikan
sebagai potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada
sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size),
kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/ atau pasar keuangan
(interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau
institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).

KESIMPULAN RISIKO SISTEMIK

1. Sumber risiko sistemik tidak harus berasal dari institusi keuangan, namun dapat berasal
dari elemen sistem keuangan lainnya, seperti kegagalan korporasi atau permasalahan di
sistem pembayaran, atau bahkan berasal dari gangguan (shock) di luar sistem keuangan.
2. Keterkaitan (interconnectedness) di antara elemen sistem keuangan memunculkan
potensi menularnya atau merambatnya risiko dari suatu elemen sistem keuangan
kepada seluruh elemen sistem keuangan (contagion effect).
3. Potensi dampak yang ditimbulkan oleh risiko sistemik sangat luas, tidak hanya terbatas
pada sektor keuangan, namun dapat mengganggu perekonomian.

Dengan demikian, tujuan makroprudensial untuk meminimalkan risiko sistemik


sesungguhnya merupakan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup seluruh
elemen sistem keuangan dengan tetap memerhatikan kondisi makroekonomi.

SYARAT DALAM MENCIPTAKAN STABILITAS KEUANGAN DAN MENGUKUR


RISIKO SISTEMIK

Kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat “cukup”
dan “perlu” bagi makroprudensial dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan
(Borio, 2009) dan untuk mengukur risiko sistemik. Secara lebih luas, kebijakan
makroprudensial mengukur risiko sistemik dari limpahan (spillover) dampak dan biaya yang
ditimbulkan, termasuk interaksinya dengan makroekonomi. Lebih lanjut dalam penelitian di
BIS dinyatakan bahwa dalam perspektif makroprudensial, meskipun semua institusi
keuangan memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik, namun kondisi tersebut belum
cukup untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Potensi risiko sistemik tetap dapat
muncul apabila institusi keuangan menghadapi faktor risiko yang sama (common risk factor),
antara lain akibat pemusatan risiko pada portofolio yang sama (concentration risk).
Sementara itu, kinerja dan tingkat kesehatan setiap institusi keuangan tidak lagi menjadi
syarat perlu apabila kegagalan atau risiko pada satu atau beberapa institusi keuangan tidak
menimbulkan dampak yang signifikan (sistemik) terhadap sistem keuangan.

MEMINIMALKAN RISIKO SISTEMIK

Guna meminimalkan risiko sistemik:


1. Dalam cakupan makroprudensial, terdapat 2 (dua) dimensi yang menjadi acuan dalam
proses identifikasi risiko dan perumusan kebijakan, yakni dimensi antarsubjek (cross
section) yang berfokus pada perbedaan perilaku antarelemen dan agen keuangan,
serta dimensi runtun waktu (time series) yang berfokus pada dinamika perilaku
elemen/agen keuangan dari waktu ke waktu.
2. Kebijakan mikroprudensial cenderung hanya fokus pada dimensi antarsubjek
(cross section)
3. Kebijakan moneter cenderung hanya fokus pada dimensi runtun waktu (time
series).
a. Dimensi antarsubjek (cross section) menekankan bagaimana risiko terdistribusi
dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu, yang disebabkan oleh terpusatnya
portofolio pada eksposur tertentu (concentration risk) atau adanya kesamaan eksposur
(common risk factor), sehingga potensi menyebarnya risiko antarindividu/sektor
(contagion risk) menjadi tinggi. Akibatnya, permasalahan yang terjadi di satu institusi
dapat berakibat negatif pada institusi lainnya baik melalui saluran langsung maupun
tidak langsung.
b. Dimensi runtun waktu (time series) menekankan pada bagaimana risiko dalam sistem
keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan mengikuti siklus
ekonomi (procyclicality). Adanya fokus pada dimensi runtun waktu ini yang
mengakibatkan kebijakan makroprudensial umumnya bersifat time-varying (bervariasi
menurut waktu), artinya kalibrasi kebijakan bersifat dinamis sesuai dengan evolusi
terhadap siklus ekonomi. Permasalahan atau risiko yang mencakup dimensi runtun
waktu selanjutnya akan direspon dengan kebijakan yang bersifat berlawanan dengan
siklus ekonomi (countercyclical).

(*Dinamika perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan
dipengaruhi oleh adat, sikap, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan genetika.)

Meskipun semakin banyak otoritas keuangan yang mengimplementasikan kebijakan


makroprudensial, namun belum ada teori ekonomi yang menjadi pedoman dalam
pelaksanaan kebijakan makroprudensial.
A. Target kebijakan moneter: tingkat inflasi dengan variasi instrumen kebijakan yang
jelas, seperti suku bunga, nilai tukar, dan uang beredar.
B. Target kebijakan makroprudensial untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dengan
meminimalkan risiko sistemik tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan satu
indikator. Hingga saat ini belum ada metode kuantitatif (model) yang secara
komprehensif dapat mengukur risiko sistemik pada sistem keuangan, selain model dan
metodologi yang menilai satu atau beberapa aspek risiko sistemik secara terpisah
(BCBS, 2012a). Belum berkembangnya teori yang menjadi pedoman pelaksanaan
kebijakan makroprudensial ini melatarbelakangi bank sentral dan otoritas keuangan
negara-negara untuk mulai mengembangkan kerangka kebijakan makroprudensial
sebagai pedoman untuk memastikan kebijakan makroprudensial, yang setidak-tidaknya
dirumuskan dengan prosedur yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dan
dieksekusi dengan tepat waktu pada target yang sesuai. Upaya pengembangan
kerangka kebijakan tersebut terus dilakukan sejalan dengan upaya mitigasi risiko
sistemik melalui pengembangan metode identifikasi, monitoring, dan analisis
risiko yang komprehensif.
CAKUPAN SISTEM KEUANGAN DALAM KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Gambar 1. menunjukkan cakupan dari kebijakan makroprudensial, yaitu sistem


keuangan. Setiap elemen menjadi penting untuk dimonitor karena risiko dapat diidentifkasi
dan dinilai dari hasil pemantauan tersebut. Risiko di setiap elemen sistem keuangan yang
tidak segera dimitigasi memiliki potensi untuk menjadi risiko sistemik yang akan
menyebabkan instabilitas pada sistem keuangan.
Dalam kebijakan makroprudensial, kondisi korporasi dan rumah tangga, baik sebagai
surplus maupun defIsit unit dalam sistem keuangan, ikut menentukan keberlangsungan
institusi keuangan sehingga perlu dipantau. Sebagai depositor dalam perbankan serta investor
di pasar keuangan, korporasi dan rumah tangga merupakan sumber pendanaan dalam sistem
keuangan. Sedangkan sebagai debitur perbankan dan institusi keuangan nonbank, kondisi
keuangan korporasi dan rumah tangga juga ikut menentukan kinerja dan tingkat kesehatan
institusi keuangan. Di samping itu, kondisi pasar keuangan sebagai sebagai tempat para
investor bertemu dan melakukan perdagangan aset keuangan juga menjadi penting untuk
dipantau, karena informasi di pasar keuangan mencerminkan perilaku dan kinerja sektor
keuangan. Elemen lainnya dari sistem keuangan, yakni infrastruktur sistem keuangan atau
lebih dikenal sebagai sistem pembayaran, juga perlu dijaga stabilitasnya untuk menjaga agar
seluruh transaksi keuangan dapat berjalan dengan baik dan lancar.

Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen Kebijakan Lain

Dalam implementasinya, kebijakan makroprudensial secara efektif bisa menjadi komplemen


atau pelengkap dari kebijakankebijakan lain yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik
kebijakan makroprudensial yang berorientasi kepada sistem, mencakup dimensi runtun waktu
(time series) dan antarsubjek (cross section), serta diimplementasikan dengan perangkat
prudensial, diharapkan dapat menutup kekurangan (gap) kebijakan mikroprudensial, moneter,
maupun fiskal dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan.
Karakteristik Sistem Keuangan
1. Interconnectedness
Upaya menjaga stabilitas sistem keuangan tidaklah cukup bila hanya difokuskan pada
tingkat kesehatan dan kinerja individu bank atau institusi keuangan lainnya. Hal ini karena
dalam sistem keuangan, antara institusi yang satu dengan lainnya saling terkait dalam
berbagai transaksi keuangan yang ada. Aset pada satu bank merupakan kewajiban (liability)
pada bank lain. Sebagai contoh, pada transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), di mana
antara bank satu dengan bank lainnya dapat melakukan kegiatan pinjam meminjam dana.
Adanya gagal bayar di satu bank dapat berdampak pada bank lain atau bahkan beberapa bank
sekaligus yang memiliki transaksi keuangan dengan bank tersebut. Sifat keterkaitan dan
interdependensi antarindividu dalam sistem keuangan ini dikenal dengan istilah
interconnectedness. Dengan adanya karakteristik interconnectedness dalam sistem keuangan,
permasalahan pada satu institusi dapat dengan cepat menyebar pada institusi lainnya,
sehingga menjadi permasalahan agregat sistem keuangan yang berpotensi menimbulkan
dampak hingga ke sektor riil.

2. too-big-to-fail
Potensi penyebaran risiko (spillover) dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih
tinggi apabila permasalahan terjadi pada institusi keuangan yang besar atau dominan.
Kegagalan bank besar dengan pangsa yang cukup tinggi dalam sistem keuangan akan
memberikan dampak yang lebih signifkan dibandingkan dengan kegagalan bank dengan skala
yang lebih kecil. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-to-fail. Selain karena skala usahanya,
bank besar cenderung memiliki interkonektivitas dengan bank lain yang lebih banyak dengan
kompleksitas usaha yang tinggi, sehingga permasalahan pada bank tersebut dapat
mengakibatkan gangguan yang lebih luas dalam sistem keuangan, bahkan hingga bersifat
sistemik.

3. common risk factor


Potensi termaterialisasinya suatu risiko dapat muncul apabila beberapa institusi
keuangan yang sehat secara bersamasama memiliki eksposur risiko yang sama (common risk
factor). Hal ini dapat terjadi meskipun setiap institusi keuangan telah mengelola profl risiko
masing-masing dengan baik. Sebagai contoh, ketika sektor properti sedang tumbuh pesat,
mayoritas perbankan akan memfokuskan penyaluran kreditnya pada sektor tersebut.
Akibatnya, tingkat konsentrasi perbankan pada sektor properti menjadi tinggi. Apabila terjadi
perlambatan atau shock pada sektor properti, akan banyak bank yang terkena risiko yang
sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan instabilitas dalam sistem keuangan.
Dengan karakteristik sistem keuangan sebagaimana diuraikan di atas (adanya
interconnectedness, institusi yang bersifat too-big-to-fail, dan common risk factor), dapat
disimpulkan bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, diperlukan suatu
pendekatan pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat agregat, berorientasi pada sistem,
dan memandang semua elemen dalam sistem keuangan sebagai satu kesatuan yang saling
terkait satu dengan yang lain, serta mengerti dan waspada akan adanya potensi risiko
sistemik. Pendekatan ini dapat diakomodasi oleh kebijakan makroprudensial. Kebijakan
makroprudensial diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang bersumber dari
karakteristik sistem keuangan tersebut. Kebijakan makroprudensial yang terfokus pada
keseluruhan sistem keuangan diharapkan mampu menangkap sumber-sumber risiko secara
agregat. Dengan demikian, kestabilan sistem keuangan akan dapat dicapai, karena fokus
pengawasan tidak hanya terbatas pada kesehatan individu institusi keuangan.
Kebijakan Makroprudensial dan Moneter

Kebijakan moneter difokuskan pada stabilitas harga dan perekonomian secara makro.
Sumber-sumber risiko makroekonomi dapat berasal dari instabilitas sistem keuangan. Oleh
karena itu, adanya pengawasan agregat pada sistem keuangan dari kebijakan makroprudensial
dapat melengkapi fokus kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dapat digunakan
untuk melihat adanya potensi peningkatan risiko dari sistem keuangan yang dapat
mengganggu stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, kedua kebijakan ini
saling terkait satu sama lain. Kondisi makroekonomi yang merupakan hasil dari implementasi
kebijakan moneter, akan secara langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan.
Perlambatan ekonomi atau volatilitas nilai tukar, misalnya, dapat secara langsung berdampak
pada kinerja penyaluran dan kualitas kredit perbankan.

Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal

Kebijakan fskal yang tepat dan efektif akan mengurangi potensi terjadinya shock
makroekonomi, yang merupakan salah satu sumber pembentukan (build up) risiko sistemik
(IMF, 2013b). Sebagai contoh, kenaikan (boom) pada konsumsi swasta dan rumah tangga
dapat menjadi tinggi yang disebabkan oleh masuknya modal asing (capital inflow) yang
tinggi secara persisten. Aliran modal asing yang masuk, antara lain melalui pasar saham dan
obligasi, dapat meningkatkan kemampuan ekspansi usaha swasta sekaligus pendapatan
masyarakat, yang pada akhirnya mendorong konsumsi masyarakat. Apabila kenaikan
konsumsi tersebut terjadi pada barang-barang dengan import content yang tinggi, dapat
memicu terjadinya defsit transaksi berjalan (current account defcit) yang persisten (terus-
menerus). Di sisi lain, pelaku pasar akan cenderung semakin ambil risiko (risk-taking)
memanfaatkan kondisi ekonomi yang sedang mengalami boom. Pada kondisi ini, kebijakan
makroprudensial sendiri tidak dapat meredam boom yang ada. Diperlukan koordinasi
kebijakan bersama Pemerintah untuk memperbaiki kondisi defisit transaksi berjalan dengan
melakukan pemberian insentif pajak untuk mendorong produksi barangbarang yang memiliki
nilai tambah (value added) sehingga barangbarang yang bersumber dari luar negeri dapat
digantikan dengan barang-barang produksi dalam negeri. Sementara itu, kebijakan
makroprudensial dapat ditargetkan untuk meredam perilaku ambil risiko yang berlebihan dari
pelaku pasar.

Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial

Dalam melaksanakan kewenangan di bidang makroprudensial, Bank Indonesia perlu


memiliki kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kerangka tersebut mencakup serangkaian pedoman bagi Bank Indonesia dalam menjalankan
kewenangan guna merumuskan dan menghasilkan arah kebijakan yang tepat dan jelas. Di
samping itu, kerangka dilengkapi pula dengan tujuan jangka panjang dari perumusan
kebijakan.
Kerangka kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia disusun dengan difokuskan
pada upaya untuk mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan yang diwujudkan
melalui 4 (empat) hal, yaitu: (i) risiko sistemik yang teridentifkasi sejak dini dan termitigasi;
(ii) fnancial imbalances4 yang minimal sehingga mendukung fungsi intermediasi yang
seimbang dan berkualitas; (iii) sistem keuangan yang efsien; dan (iv) akses keuangan dan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang meningkat. Financial imbalances atau
ketidakseimbangan dalam sistem keuangan merupakan suatu kondisi dengan indikasi
peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku
sistem keuangan.

Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia (dari website BI)

Adapun beberapa instrumen kebijakan makroprudensial yang telah diterbitkan BI


adalah sebagai berikut:
a. Countercylical Capital Buffer (CCB) yaitu tambahan modal yang berfungsi sebagai
penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit
perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan.
Ketika kondisi ekonomi sedang ekspansi, besaran CCB dapat ditingkatkan sebagai
cadangan modal yang dapat digunakan perbankan ketika kondisi ekonomi kontraksi.
b. Loan to Value Ratio (LTV Ratio) yaitu rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan
oleh bank terhadap nilai agunannya. LTV merupakan instrumen kebijakan
makroprudensial credit related dan dikembangkan untuk memitigasi risiko yang muncul
dari perilaku excessive lending dan bubble harga properti pada periode 2010 -2011.
Loan to Value Ratio (LTV) digunakan untuk kepemilikan pinjaman rumah dan uang
muka untuk kepemilikan kredit kendaraan.
c. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) yang merupakan penyempurnaan dari
ketentuan Giro Wajib Minimum terhadap Loan-to-Funding Ratio (GWM-LFR). RIM
adalah instrumen kebijakan makroprudensial yang dikembangkan untuk memperkuat
fungsi intermediasi tanpa melupakan pengendalian risiko likuiditas. Indikator utama
yang diperhatikan dalam instrumen ini adalah rasio pembiayaan terhadap pendanaan.
Pada dasarnya, RIM memperluas cakupan pembiayaan sehingga tidak hanya
memperhitungkan kredit yang disalurkan tetapi juga memperhitungkan Surat-Surat
Berharga (SSB) korporasi non-keuangan yang dimiliki oleh bank.
d. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) adalah instrumen kebijakan
makroprudensial yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan prosiklikalitas
likuiditas perbankan. PLM bersifat countercyclical dan time-varying dan diterapkan
pada seluruh bank, untuk melengkapi instrumen mikroprudensial likuiditas LCR dan
NSFR yang saat ini masih hanya diterapkan oleh OJK pada bank BUKU 3 dan 4 serta
bank dengan kepemilikan asing (termasuk KCBA).

Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia

Berikut ini beberapa contoh instrumen kebijakan makroprudensial yang telah


diimplementasikan di Indonesia yang pengaturannya dilakukan oleh Bank Indonesia:

A. Loan-to-Value Ratio (LTV) atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan


Penentuan Down Payment (DP) atas Kredit Kendaraan Bermotor (KKB)
Perumusan kebijakan LTV atas KPR dan DP atas KKB dilatarbelakangi oleh
pertumbuhan kredit sektor properti dan kendaraan bermotor yang cukup tinggi saat itu,
sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pembentukan risiko sistemik akibat perilaku
ambil risiko yang berlebihan (excessive risk taking behaviour). Kebijakan batasan minimum
atas LTV untuk KPR dan DP untuk KKB pertama kali diimplementasikan pada tahun 2012.
Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah disesuaikan 2 (dua) kali pada tahun 2013 dan 2015,
yakni dengan melakukan perubahan atas besaran nilai minimum LTV dan DP yang
disesuaikan dengan siklus perekonomian dan pertumbuhan kredit. Perubahan terakhir yang
dilakukan bersifat pelonggaran (ekspansi) dengan tujuan untuk menjaga momentum
pertumbuhan perekonomian melalui peningkatan fungsi intermediasi, agar bank dapat
mengucurkan lebih banyak kredit. Adapun besaran nilai minimum LTV dan DP yang saat ini
berlaku diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015
tentang Rasio Loan-to-Value atau Rasio Financiang to-Value untuk Kredit atau Pembiayaan
Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

B. Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan-to-Funding Ratio


(LFR)
GWM LFR adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh bank
dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia, sebesar persentase tertentu dari dana
pihak ketiga (DPK) yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki oleh bank
dengan LFR target. Kebijakan tersebut dikembangkan dengan tujuan untuk mengurangi
build-up risiko sistemik melalui pengendalian fungsi intermediasi perbankan sesuai dengan
kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian, serta menjaga likuiditas perbankan. Dengan
demikian, kebijakan ini diharapkan mampu mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang
seimbang dan berkualitas, dengan tetap menjaga kondisi likuiditas bank. Kebijakan mengenai
GWM LFR dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni
2015 tentang Perubahan atas PBI No. 15/15/PBI/2015 tentang Giro Wajib Minimum Bank
Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
Rasio LFR merupakan rasio yang mencerminkan besarnya jumlah pembiayaan (kredit)
yang telah diberikan oleh bank terhadap jumlah pendanaan yang diperoleh bank. Dalam hal
ini, pendanaan terdiri dari dana pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh bank ditambah dengan
sumber pendanaan yang berasal dari surat berharga yang diterbitkan oleh bank.
Besarnya LFR target saat ini adalah 78% - 92%. Terdapat insentif pelonggaran batas
atas menjadi 94% apabila bank telah menyalurkan kredit UMKM sebagaimana yang
disyaratkan dalam PBI No. 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas PBI No. 14/22/PBI/2012
tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam
Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dengan kualitas kredit yang
tetap terjaga.

C. Countercyclical Capital Buffer (CCB)


CCB merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan
yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana
disampaikan sebelumnya, kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang dirumuskan
dalam mandat internasional, dengan melihat fenomena adanya kecenderungan pertumbuhan
kredit yang bersifat prosiklikal, yaitu pertumbuhan pesat pada saat ekonomi sedang
bertumbuh dengan cepat (boom) dan pertumbuhan menurun bahkan negatif pada saat
ekonomi menurun (bust), sehingga berpotensi menyebabkan peningkatan risiko sistemik
dalam kondisi ekonomi boom. Implementasi kebijakan CCB di Indonesia diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia No. 17/22/PBI/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Kewajiban
Pembentukan Countercyclical Buffer.
Di Indonesia, ketika risiko instabilitas sistem keuangan berasal dari tekanan inflasi dan
volatilitas nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang diambil oleh BI akan
selalu mengarah kepada usaha untuk menuntaskan kedua masalah tersebut. Sebut saja,
misalnya, pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan.
Ketika suku bunga acuan naik, maka secara otomatis akan mengerek bunga kredit
perbankan. Akibatnya bisa ditebak, yakni permintaan kredit akan melambat. BI sengaja
mengambil kebijakan ini untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi,
terutama kredit konsumsi yang ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan. BI tak mau
ada pertumbuhan yang terlampau cepat karena dapat mengancam stabilitas jika mendadak
terjadi krisis keuangan.

Indeks Stabilitas Sistem Keuangan

Untuk mendukung kebijakan makroprudensial, diperlukan beberapa alat (tools) untuk


mengukur risiko sistemik seperti Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK), top down stress
test, network analysis dan/atau alat ukur lainnya. ISSK merupakan indeks yang digunakan
untuk mengukur kestabilan dan ketahanan Sistem Keuangan Indonesia terhadap tekanan
risiko. ISSK dibangun atas 2 (dua) indeks yaitu Indeks Stabilitas Pasar Keuangan (ISPK) dan
Indeks Stabilias Institusi Keuangan (ISIK). Selanjutnya, Top down stress test adalah industry-
wide stress test yang dilakukan oleh bank sentral melalui perapan parameter variabel makro
yang sama untuk semua bank.
Dalam Indeks Stabilias Institusi Keuangan (ISIK) terdapat tiga sub-indeks
pembangunan diantaranya, tekanan, intermediasi dan efisiensi. Sedangkan untuk Indeks
Stabilitas Pasar Keuangan (ISPK) terdapat empat sub-indeks, yaitu pasar uang, pasar saham,
pasar obligasi, dan pasar valas. Pressure dapat diartikan sebagai suatu tekanan yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kestabilan perbankan, sehingga apabila nilai pressure
mengalami peningkatan maka kondisi perbankan menjadi tidak baik. Variabel indikator yang
mengambarkan tingkat tekanan yaitu, CAR, ROA, dan likuiditas. Indikator CAR adalah
sebuah rasio permodalan yang digunakan untuk mengukur kesehatan suatu bank. Jadi apabila
CAR mengalami peningkatan maka akan semakin baik pula kesehatan bank tersebut yang
berkaitan dengan rasio permodalan. Indikator ROA merupakan alat untuk mengukur
keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki, sehingga peningkatan ROA akan
berdampak baik pada kesehatan perbankan. Sementara itu, variabel likuiditas adalah rasio
yang menunjukkan tingkat likuiditas perbankan, sehingga semakin tinggi likuiditas akan
semakin baik kondisi perbankan.
Intermediasi adalah kemampuan bank dalam menjalankan fungsinya sebagai
intermediasi dari pihak yang memiliki dana yang lebih (surplus) dengan pihak yang
membutuhkan dana (defisit). Jadi apabila semakin tinggi suatu intermediasi dalam bank maka
semakin baik pula kondisi bank tersebut. Variabel indikator yang mengambarkan
intermediasi yaitu, NPL, LDR, dan pertumbuhan kredit. NPL merupakan rasio untuk
mengukur kemampuan suatu bank dalam menangani kegagalan resiko kredit. Jika
permasalahan kredit tinggi maka akan fungsi bank sebagai perantara keuangan tidak akan
berjalan dengan baik. LDR adalah rasio untuk mengukur kemampuan suatu bank dalam
menyalurkan dana kepada masyarakat, jadi apabila LDR tinggi maka fungsi intermediasi
suatu bank semakin baik. Sedangkan variabel pertumbuhan kredit menunjukkan rasio tingkat
pertumbuhan kredit perbankan, semakin tinggi tingkat pertumbuhan kredit maka semakin
baik tingkat intermediasi perbankan.
Efisiensi adalah kemampuan bank dalam melakukan penyesuaian antara pendapatan
dan biaya yang dikeluarkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal dengan pengeluaran
yang minim. Apabila efisiensi tinggi maka kondisi bank semakin baik. Variabel BOPO
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur biaya operasional perbankan, jadi apabila nilai
BOPO tinggi maka semakin tidak efisien sistem suatu perbankan. Sedangkan variabel NIM
adalah patokan yang digunakan untuk mengukur kemampuan perbankan dalam memanfatkan
likuiditasnya untuk memdapatkan bunga bersih yang besar, sehingga semakin tinggi nilai
NIM maka semakin baik tingkat efisiensi perbankan. Variabel CIR merupakan rasio untuk
membandingkan antara besar biaya yang telah dikeluarkan dengan pendapatan yang
diperoleh perbankan, jadi semakin tinggi rasio CIR maka tingkat efisiensi perbankan akan
semakin buruk.
Untuk mengukur ISPK terdapat empat indikator diantaranya, pasar uang yang dapat
dilihat dari suku bunga PUAB, pasar saham yang digambarkan dengan IHSG, pasar obligasi
yang digambarkan obligasi pemerintah, dan yang terakhir pasar valas yang digambarkan
melalui nilai tukar terhadap dolar Amerika. Indikator PUAB merupakan kegiatan pinjam
meminjam dalam bentuk rupiah dan atau valuta antar bank konvensional dengan jangka
waktu sampai satu tahun. Apabila spread antar PUAB semakin lebar, hal tersebut
menandakan likuiditas yang masuk ke pasar uang semakin banyak, sehingga berdampak
positif pada sistem keuangan. Pada indikator pasar saham, menurut Mishkin dalam Gunadi
(2013), pasar saham memiliki pengaruh terhadap investasi, laporan neraca perusahaan,
kekayaan rumah tangga, likuiditas rumah tangga. Dan apabila nilai IHSG semakin tinggi hal
tersebut merupakan bukti dari kepercayaan investor atas kondisi ekonomi Indonesia yang
semakin kondusif. Indikator berikutnya adalah nilai tukar, nilai tukar merupakan satu unit
harga mata uang asing dalam suatu mata uang domestik atau dapat dikatakan sebagai mata
uang domestik terhadap mata uang asing. Melemahnya nilai tukar akan mengakibatkan
semakin besarnya kewajiban hutang luar negeri perusahaan-perusahaan sehingga neraca
perusahaan dan bank-bank akan memburuk, sehingga tidak baik untuk ketahanan sistem
keuangan. Indikator terakhir adalah obligasi, obligasi merupakan surat hutang yang
diterbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta kepada investor. Pada umumnya
suatu negara memerlukan pasar obligasi yang berkembang dengan baik untuk meningkatkan
ketersediaan modal, sehingga mengurangi ketergantungan pada arus modal asing dan akan
memperkuat sistem keuangan suatu negara.

Anda mungkin juga menyukai