Anda di halaman 1dari 4

Naskah Drama Teater Islami ala Santri Milenial

Naskah drama teater islmi ala santri milenial ini mengangkat tema tentang kehidupan keluarga abangan yang kurang
memperhatikan ilmu agama. Di sebuah keluarga ada soeranga anak yang tidak diperbolehkan ngaji oleh keluarganya.

Narator: Pada suatu pagi, Fathimah dan Khatijah sedang ikut pengajian rutin di rumah Neng yang lumayan jauh dari
rumah mereka.

Neng: ….(menjelaskan materi pengajian). Baik. Sampai disini, ada yang mau bertanya? Atau mau mendiskusikan
sesuatu? (jeda) Tidak ada? Neng rasa sudah cukup jelas, ya. Mari kita tutup pertemuan kali ini dengaan pembacaan
hamdalah. “Alhamdulillahirobbil alamin”. Kemudian mereka berdoa kafatul majlis.

(Fathimah dan Khatijah pamit pulang)

Narator: Saat di jalan pulang, Fathimah terlihat sedikit agak pucat. Fathimah juga merasa sedikit ngilu pada
kepalanya.

Khatijah: Fathimah, kamu kenapa? Kok kamu pucat? Kamu sakit? Kamu belum makan? Kamu masuk angin? Atau
jangan-jangan kamu…?

Fathimah: J! Aku tambah pusing nih.

Khatijah: Oh, kamu pusing. Mau kuantar ke dokter?

Fathimah: Nggak usah, J. Aku langsung pulang ke rumah aja. Lagian ini cuma pusing biasa, kok.

Khatijah: ya, udah. Aku duluan, ya. Kamu hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, telpon aku aja.

Narator: Akhirnya, Fathimah dan Khatijah pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah Fathimah…

Fathimah: Assalamu’alaikum.

Ibu: Fathimah! Dari mana aja kamu? Kenapa muka kamu pucat kayak gitu?! (membentak)

Fathimah: Ng… Fat… Dari rumah teman, Bu… (takut-takut)

Ibu: Teman? Teman yang mana? Temanmu yang gendut itu?

Fathimah: (menggeleng sambil menunduk, takut-takut)

Ibu: sudah Ibu bilang, kamu! Jangan main sama anak itu! Dia itu sesat! Apalagi gurumu yang sering ngajakin kamu
pengajian itu! Mereka itu sesat!

Fathimah; Tapi, Bu…

Ibu: Sudah! Sudah! Tidak usah banyak alasan! Sana bantu bapakmu siapkan kopi! Sudah banyak tamu yang antri.
(pergi meninggalkan Fathimah)

Narator: Mendengar amarah ibunya, Fathimah merasa sakit hati dan hanya bisa berdo’a agar ibunya mendapatkan
hidayah dari Allah. Dengan perasaan campur aduk, Fathimah pergi ke dapur membuat kopi untuk tamu bapaknya.
Bapak Yumna adalah seorang tokoh desa. Fathimah masih kebingungan untuk menjelaskan kepada keluarganya,
bahwa mereka sudah seharusnya tidak dilarang ngaji.

Narator: Hari ini, Fathimah tidak sekolah karena pusing di kepalanya kambuh kembali. Dan kali ini, pusing ya

Fathimah: Assalamu’alaikum, Khatijah… (lemas)


Khatijah: Walaikumussalam, Fat… Ada apa? Kok kamu lemas banget?

Fathimah: Kepalaku tambah pusing, J… Aku khawatir kalau ini bukan sakit kepala biasa. Hari ini aku enggak masuk
sekolah dulu ya… Tolong bilangin ke Neng Maimunah ya…

Khatijah: MasyaAllah, Fat… Dari dulu kamu pusing melulu! Dan sekarang, kamu malah baru khawatir. Ya sudah, nanti
aku sampaikan ke Neng Maimunah. Syafakillah, ya…

Fathimah: Jazakillah, J… Wassalamu’alaikum.

Khatijah: Waiyaki. Walaikumussalam.

Narator: Setelah perbincangan singkat antara Fathimah dan Khatijah di telfon tadi, Fathimah memilih untuk
beristirahat sejenak, agar pusingnya sedikit mereda. Tiba-tiba…

Ibu: Heh! Kenapa kamu enggak sekolah? Mau bolos supaya bisa ikut-ikutan acara sesat ya?!

Fathimah: (lemas) Fathimah sedang tidak enak badan, Bu… Fathimah enggak bakal pergi ke mana-mana kok hari ini…

Ibu: Ya udah istirahat yang bener. Sebentar, Ibu buatkan Teh Hangat dulu.

Fathimah: (mengangguk, sambil kembali beristirahat.)

Narator: Ibu, tetaplah seorang ibu. Yang mempunyai hati dan kasih sayang yang begitu besar kepada anaknya, meski
anaknya kerap kali tidak memenuhi kemauannya. Dalam setiap hembusan nafas, Fathimah tidak pernah absen untuk
terus-menerus mendoakan agar ibu dan ayahnya, mendapatkan keberkahan hidup.

Narator: Di suatu pagi yang cerah. Fathimah sudah sembuh dari pusingnya. Fathimah mengendap-endap pergi ke
luar rumah, agar tidak ketahuan oleh orang tuanya. Pagi ini, Fathimah hendak pergi nagaji rutin di rumah Nengnya.

Fathimah: (mengendap-endap) Ya Allah, semoga Ibu enggak ada di ruang tengah. Fathimah pengen berangkat ngaji,
ya Allah…

Narator: tanpa sengaja, Fathimah menyenggol sebuah gelas kaca dan membuat Ibunya mengetahui keberadaan
Fathimah.

Ibu: Siapa itu?! (berteriak)

Fathimah: …

Ibu: Macan atau tutul?

Fathimah: Enggak dua-duanya, Bu…

Ibu: Fathimah! Bukannya kamu lagi sakit? (menghampiri Fathimah di ruang tengah)

Fathimah: Su… sudah sem…

Ibu: (memegang kening Fathimah) Kamu mau kemana?

Fathimah: ngg… mau belajar bareng, Bu…

Ibu: Belajar bareng atau mau ke pengajian itu?

Fathimah: Itu bukan pengajian, Bu…


Ibu: Berani kamu membantah Ibu?! Sini, biar ibu liat isi tas mu! (merogoh-rogoh isi tas Fathimah) Apa ini? Kitab apa
ini? Apa lagi ini? Enggak usah kemana-mana! Dasar anak enggak tahu diuntung! Dulu saya sama bapakmu gak
pernah ngaji tapi ya bisa hidup sampai sekarang dan bahkan bisa memberimu makan setiap hari

Fathimah: (terduduk di ruang tengah) Eh! Ibu udah pergi! Alhamdulillah! Semoga ini peluang supaya bisa ikutan
nagji! (bangkit).

Narator: akhirnya, Fathimah bisa berangkat ngaji dengan selamat. Sesampainya di tempat ngaji, Fathimah kembali
merasa pusing.

Neng: MasyaAllah Fathimah! Kamu kenapa?

Fathimah: (menggeleng-geleng lemah)

Khatijah: Pekan kemarin, Fathimah cerita ke Khatijah kalau belakangan ini dia sering pusing, Neng…

Neng: MasyaAllah… Kenapa enggak periksa?

Fathimah: Enggak apa-apa Neng hanya pusing biasa kok. Lagian saya tidak ada uang untuk periksa ke dokter.

Neng: Ayo sekarang pergi periksa ke dokter ya, urusan uang biar saya yang nanggung. Kamu harus sembuh. Ok.

Narator: Suasana pagi itu menjadi kalut. Hanya Allah satu-satunya zat yang menjadi tempat bergantung. Neng
Maimunah dan Khatijah sangat khawatir dengan kondisi Fathimah itu.

Dokter: Permisi, Ibu orang tua dari Fathimah?

Neng: Saya gurunya, Dok…

Dokter: Bisa kita bicara sebentar?

Neng: InsyaAllah… (mengikuti dokter)

Di ruang dokter…

Dokter: Jadi begini, Bu… Fathimah mengalami penyempitan pembuluh darah pada otaknya. Penyempitan itu
dikarenakan terjepitnya pembuluh darah di otak. Pasien akan merasa pusing kalau terlalu banyak berpikir yang
berat-berat, atau banyak tekanan. Kita harus segera mengambil tindakan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan.

Neng: Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. InsyaAllah segera akan saya sampaikan pada pihak keluarga Fathimah. Semoga
Allah memberi kemudahan. Amin… terima kasih, Dok atas informasinya.

Di ruang pasien…

Fathimah: J… Aku di mana?

Khatijah: Kamu lagi di rumah sakit, Fat… udah, kamu istirahat saja dulu…

Neng: (masuk) Assalamu’alaikum…

Fathimah & Khatijah: Walaikumussalam…

Fathimah: Neng, Fathimah pulang saja. Takut ibu khawatir…

Neng: Enggak, Fathimah. Kamu harus banyak istirahat. Sudah, tidak usah pikirkan tentang Ibumu… Biar Neng saja
yang jelaskan pada beliau…
Fathimah: Enggak, Neng… Fathimah belum izin pergi. Fathimah takut kalau Ibu enggak ridho dengan perginya
Fathimah. Lagi pula, Fathimah bisa istirahat di rumah. InsyaAllah, Allah memudahkan.

Narator: Karena Fathimah keukeuh dengan pendapatnya. Akhirnya, Neng Maimunah menuruti kemauan Fathimah.
Fathimah pulang diantarkan oleh Khatijah dan Neng Maimunah. Setibanya di rumah…

Neng: (mengetuk pintu) Assalamu’alaikum…

Ibu: (panic melihat Fathimah) Ya Tuhan , Fathimah!!! Ada apa ini?! (lalu menarik Fathimah dalam pelukannya) kalian
apa kan anakku?

Neng: Tenang, Bu… Kami baru saja mengantarny periksa ke rumah sakit. Dokter bilang…

Ibu: Sudah! Kalian tidak usah ikut campur! Sana pergi! Merasa malaikat kesiangan ya kalian?! Dasar! (membanting
pintu)

Fathimah: bukan salah mereka, Bu…

Ibu: (menyeret Fathimah ke dalam wc) Jadi salah siapa? Salah kamu?! Berarti kamu memang pantas untuk dihukum!
Disuruh di rumah saja, malah kelayapan sama orang gila itu! Sudah bosan di rumah kamu?! (merendam kepala
Fathimah ke dalam ember berkali-kali) dasar anak enggak tahu diuntung!

Narator: Fathimah merasa lemah dan tidak mampu lagi melawan siksaan ibunya. Fathimah hanya pasrah kepada
Allah agar menguatkan hatinya.

Dari kisah ini, kita bisa mengambil hikmah. Bahwa masih banyak orang tua yang kurang mendukung buah hatinya
untuk belajar ilmu agama karena dianggap kurang penting. Lantas? Apakah kita masih membuang waktu kita lebih
banyak lagi, untuk berfoya-foya dalam ketidak pastian sementara orang tua kita tidak pernah melarang untuk belajar
ilmu agama. (*)

Anda mungkin juga menyukai