Anda di halaman 1dari 3

Pers Mahasiswa Tetap Berupaya "Bersuara"

Pers Mahasiswa

Cetak | 28 April 2015

Gelora pers kampus era kini tak segegap gempita di era Orde Baru sampai awal reformasi pasca
Soeharto turun dari jabatan Presiden RI. Kemajuan teknologi yang memaksa generasi Y melek
teknologi dan akrab dengan sosial media, serta adanya tuntutan segera lulus kuliah membuat
langkah mahasiswa aktif di kegiatan ekstrakurikuler, seperti jurnalistik, agak menurun.

Kompas/Heru Sri Kumoro Beberapa hasil


penerbitan pers mahasiswa di kampus.

Rektor Universitas Muhammadiyah Malang,


Jawa Timur, Muhajir Efendi merasakan
penurunan minat mahasiswa ke bidang pers
mahasiswa. Muhajir yang pada tahun 1986
mendirikan Bestari, koran di kampusnya,
mencatat, era serba digital memengaruhi
perilaku mahasiswa.

"Saya melihat peminatan mahasiswa bergeser


dari lembaga pers mahasiswa ke sosial media.
Belakangan ini tren menjadi wartawan televisi
dan terjun ke bidang film saya rasa juga lebih
tinggi," kata Muhajir yang pernah menjabat
Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah
Malang Bidang Kemahasiswaan.

Masa Orde Baru hingga awal reformasi bisa disebut merupakan masa keemasan pers mahasiswa.
Persma, begitu pers mahasiswa biasa disebut, mendapat kesempatan tampil maksimal. Para
jurnalisnya lebih berani menulis situasi politik bangsa dan negara terkini secara terang-terangan
daripada pers umum, seperti koran atau majalah. Pers umum lebih banyak memilih tampil lebih
halus karena malas berurusan dengan penguasa. Di akhir Orde Baru, antara lain berkat peran
persma, ribuan mahasiswa se-Indonesia turun ke jalan ikut berjuang bersama masyarakat untuk
memaksa turun Soeharto pada 1989.

Namun, setiap zaman memang punya tantangan sendiri. Pada masa itu, pers kampus dan pers
umum masih menjadi dua cara untuk berjuang lewat tulisan. Praktis keduanya berjaya karena
belum ada saingan seperti sosial media yang muncul setelah tahun 2005. Lalu bagaimana nasib
persma di era masa kini?

Berupaya eksis
Diam-diam, walau tak sesemarak dan seheboh penyebaran informasi lewat sosmed, para
mahasiswa yang punya minat di bidang jurnalistik masih tetap mencoba eksis di lembaga pers
mahasiswa di kampusnya. Jurnalis-jurnalis muda itu tekun melatih diri dalam mengeluarkan
pemikiran kritis di benaknya. Mereka mengabarkan peristiwa di kampus dan menyoroti
kebijakan yang merugikan mahasiswa sekaligus mendidik penggantinya dengan mengadakan
pendidikan jurnalistik dan diskusi untuk mempertajam pemikiran.

Pemimpin Umum Lembaga Penerbitan Mahasiswa Missi Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Farida Rachmawati menyatakan, meski harus
kerja keras, ia dan kawan-kawan terus berupaya menerbitkan majalah Missi enam bulan sekali.

Menurut mahasiswi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, itu, sebenarnya minat pendaftar reporter di Missi
tahun ini naik sekitar 20 persen. Masalahnya, saat harus menulis, mereka umumnya tak bisa
bekerja sesuai tenggat. Alasannya bermacam-macam, ada yang sibuk kuliah supaya cepat lulus.
"Akhirnya, kami yang sudah senior harus turun tangan," tutur Farida yang tetap turun gunung
menjadi reporter lagi.

Cek dan ricek

Yang mengherankan, walau zaman sudah berganti, masih ada pengajar dan pimpinan kampus
alergi kepada reporter kampus berkaitan dengan usaha mereka mengangkat isu kurang sedap di
kampus. Biasanya, bentuk ancaman itu lebih banyak dengan tak bersedia menjadi dosen
pembimbing. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah perguruan tinggi di Semarang, tetapi
mahasiswa bersangkutan kemudian mencari dosen lain yang bersedia menjadi pembimbing
skripsinya.

"Sepanjang menulis di kampus, saya belum pernah dapat peringatan apalagi ancaman dari dosen
atau pimpinan kampus. Mungkin karena kami selalu minta tanggapan atas isu yang kami tulis,"
kata Dina Ahsanti Puri, aktivis di LPM Vokal Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas
PGRI Semarang, Jawa Tengah.

Masalah yang kerap ditulis oleh majalah Vokal berkisar pada kebutuhan akan informasi lebih
jelas dari pimpinan perguruan tinggi. Umpamanya tentang status akreditasi kampus dan
peralihan status dari institut menjadi universitas.

Sementara Sunandar, mahasiswa Agroteknologi Fakultas Pertanian-Peternakan Universitas


Muhammadiyah Malang, berpendapat, independensi majalah Bestari di kampusnya cukup
terjaga. Ia melihat fungsi persma sebagai alat kontrol kekuasaan (di kampus) dan membuat
mahasiswa tetap idealis lewat karya tulis masih tetap terjaga.

"Yang penting bebas dan bertanggung jawablah. Kalau menulis, ya tulis sesuai fakta," ujar
Sunandar tentang Bestari. Majalah beroplah hampir 30.000 eksemplar itu memberi ruang bagi
mahasiswa untuk menyuarakan isi hati mereka atas kebijakan kampus.
Rektor Universitas Muhammadiyah Malang menyatakan, sejak awal pihaknya tak pernah
membatasi gerak jurnalis di kampusnya.

"Kami berikan ruang selebar-lebarnya. Sudah biasa kalau mereka mengkritik layanan kami
kepada mahasiswa atau kebijakan yang tak sesuai. Salah satu fungsi pers mahasiswa memang
itu," kata Muhajir.

Tentang pemberian dana untuk penerbitan majalah, tabloid, koran kampus, baik di tingkat
universitas maupun fakultas, menurut dia, wajar saja karena mahasiswa akan kesulitan mencari
dana penerbitan jika tak dibantu.

Tarik ulur dalam diri kegiatan pers kampus antara jurnalis kampus dan penguasa atau antara
jurnalis dan pengelola yang sesama mahasiswa akan selalu ada karena beda kepentingan. Toh,
pers mahasiswa tetap eksis menjadi lahan menyemai bibit anak muda yang kritis dan peduli
kepada masa depan bangsanya. (SOELASTRI SOEKIRNO)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2015, di halaman 34 dengan judul
"Pers Mahasiswa Tetap Berupaya "Bersuara"".

Anda mungkin juga menyukai