Anda di halaman 1dari 20

LARINGOMALASIA

Elvien Dwi Saleh, Linda I Adenin

PENDAHULUAN

Laringomalasia yang biasa disebut juga dengan “floppy larynx” merupakan suatu
kelemahan atau kolapsnya jaringan supraglotis sehingga menyebabkan terjadinya
obstruksi parsial dari jalan napas saat inspirasi, Laringomalasia adalah suatu
keadaan dimana ditemukannya anomali laring berupa kolapsnya struktur supraglotik
ke dalam saluran napas selama proses inspirasi dengan karakteristik mengecilnya
struktur supraglotik yang akan menyebabkan obstruksi saluran napas atas selama
proses inspirasi (Mukerji & Pine, 2009; Landry & Thompson, 2012). Keadaan ini
terjadi akibat laring yang terlalu lunak dan kendur dibandingkan normalnya. Saat
menarik napas, maka laring yang lunak akan saling menempel dan timbul stridor
(Banovert, 1997). Istilah laringomalasia pertama kali diperkenalkan oleh Jackson
pada tahun 1942. (Novialdi, Rusdy D, 1994). Kelainan ini adalah penyebab
terbanyak terjadinya stridor pada bayi (Awan, et al., 2004; Avelino, et al., 2005;
Landry & Thompson, 2012). 45 - 75% dari kasus stridor laring kongenital pada bayi
disebabkan oleh kelainan ini (Landry & Thompson, 2012).
Penyebab timbulnya kelemahan dan instabilitas struktur supraglotis ini tidak
diketahui . Diagnosis laringomalasia dapat ditegakkan dengan bantuan laringoskopi,
direk laringoskopi dengan laringoskopi kaku yang dilakukan dibawah anestesia
umum atau direk laringoskopi dengan menggunakan flexible fiberoptic
laryngoscope tanpa anastesia umum. (Benjamin, 1998).
Laringomalasia biasanya bermanifestasi saat baru lahir atau dalam usia
beberapa minggu kehidupan berupa stridor inspirasi. Berdasarkan beberapa
laporan, sekitar 65- 75% kelainan laring pada bayi baru lahir disebabkan oleh
laringomalasia, dan masih mungkin dianggap sebagai fase normal perkembangan
laring, karena biasanya gejala akan menghilang setelah usia 2 tahun (Novialdi,
Rusdy D, 1994).

1
ANATOMI LARING

Laring merupakan bagian paling bawah dari saluran pernapasan atas. Bentuknya
seperti segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah
dan terletak di depan hipofaring mulai dari setinggi vertebra servikalis ketiga sampai
keenam. Bangunan kerangka laring tersusun oleh suatu tulang hyoid yang
berbentuk U dan beberapa tulang rawan (Gambar 1 dan 2). Laring melindungi
saluran napas bagian bawah, menyiapkan saluran napas agar terkendali,
merupakan organ fonasi yang dapat menghasilkan suara (Hermani & Kartosoediro,
2003; Beasly, 2008; Dhingra, 2009).

Gambar 1. Anatomi laring, penampakan anterior (Netter, 1995)

2
Gambar 2. Anatomi laring, potongan sagital (Netter, 1995)

Laring dibentuk oleh satu tulang, tiga kartilago berpasangan dan tiga kartilago
tidak berpasangan:
a. Tulang hyoid
Tulang hyoid yang berbentuk U merupakan tulang yang menyokong laring dan
mengokohkan hipofaring. Tulang hyoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh
membran tirohyoid (Woodson, 2006).
b. Epiglotis
Epiglotis berbentuk seperti daun terdiri dari kartilago elastik yang membentuk pintu
masuk dinding anterior laring. Epiglotis menempel pada badan tulang hyoid dengan
adanya ligamen hyoepiglotik yang membagi epiglotis menjadi suprahyoid dan
infrahyoid (Dhingra, 2009).
c. Kartilago tiroid
Kartilago tiroid merupakan kartilago yang paling besar, dimana pada bagian
tengahnya terdapat pita suara. Kartilago tiroid terdiri dari dua ala atau sayap yang
bertemu di anterior dan membentuk sudut lancip. Pada pria, bagian superior sudut
membentuk penonjolan subkutan disebut Adam’s apple atau jakun (Ballenger, 1994;
Dhingra, 2009).

3
d. Krikoid
Merupakan satu-satunya kartilago yang berbentuk cincin dimana bagian
posteriornya lebih lebar daripada bagian anterior. Krikoid merupakan penyokong
bagi subglotis (Woodson, 2006; Dhingra, 2009).
e. Kartilago aritenoid
Kartilago ini berpasangan dan masing-masing memiliki bentuk menyerupai piramid.
Dasarnya berhubungan dengan kartilago krikoid, prosesus muscular yang
menghubungkannya dengan muskulus laryngeal intrinsik, prosesus vokalis di bagian
anterior yang menghubungkannya dengan pita suara, sedangkan bagian apeks
menyokong kartilago kornikulata (Dhingra, 2009).
f. Kartilago kornikulata (Santorini)
Kartilago ini berpasangan dan masing-masing bersendian dengan bagian apeks dari
kartilago aritenoid (Dhingra, 2009).
g. Kartilago kurneiformis (Wrisberg)
Kartilago ini juga berpasangan dan berbentuk batang. Masing-masing berada pada
lipatan ariepiglotik di depan kartilago kornikulata (Dhingra, 2009).

Otot-otot laring dibagi atas dua tipe yaitu otot-otot ekstrinsik yang
menghubungkan laring dengan struktur sekitarnya dan otot-otot intrinsik
menghubungkan masing-masing kartilago laring (Dhingra, 2009).

1. Otot-otot ekstrinsik dibagi atas:


a. Otot-otot elevator
Otot-otot elevator primer melekat pada kartilago tiroid dan berkerja secara langsung,
yang termasuk diantaranya stylofaringeus, salpingofaringeus, palatofaringeus dan
tirohyoid. Sedangkan otot-otot elevator sekunder melekat pada tulang hyoiddan
berkerja secara tidak langsung, terdiri dari mylohyoid, digastrik, stylohyoid, dan
geniohyoid.
b. Otot-otot depressor
Terdiri dari sternohyoid, sternotyiroid dan omohyoid (Dhingra, 2009)

4
2. Otot-otot intrinsik dibagi atas (Gambar 3 dan 4) (Beasly, 2008):
a. Otot-otot yang membuka dan menutup glotis:
* Krikoaritenoid posterior, membuka glotis dengan cara abduksi dan mengangkat
prosesus vokalis sehingga pita suara menjadi lebih panjang dan lebih tipis.
* Krikoaritenoid lateral, berfungsi sebagai adductor sehingga pita suara lebih
panjang dan lebih tipis.
* Aritenoid transversal, untuk adduksi dan mengatur posisi pita suara.
b. Mengatur ketegangan pita suara
* Tiroaritenoid vokalis, membuat pita suara lebih rendah, lebih pendek dan lebih
tebal.
* Krikotiroid, memutar kartilago krikoid disekitar aksis horizontal.
c. Mengubah bentuk pintu masuk laring
* Ariepiglotikus, melemahkan sfingter pintu masuk laring.
* Tiroepiglotikus, melebarkan pintu masuk laring.

Gambar 3. Otot intrinsik laring, potongan lateral (Netter, 1995)

5
Gambar 4. Otot intrinsik laring, penampakan posterior (Netter, 1995)

Rongga laring

Rongga laring dibagi atas tiga bagian yaitu supraglotis, glotis dan subglotis yang
dipisahkan oleh pita suara asli dan pita suara palsu. Plika vokalis dan plika
ventrikulare terbentuk karena adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan
ligamentum ventrikulare. Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima
glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibule (Gambar 5).
Supraglotis terdiri dari epiglotis, aryepiglotis sampai ke arytenoid. Batas bawahnya
adalah pita suara palsu yang juga merupakan batas atas dari glotis. Yang termasuk
glotis adalah pita suara asli dan komisura anterior dan posterior. Subglotis mulai dari
batas bawah krikoid sampai ke trakea (Hermani & Kartosoediro, 2003; Beasly,
2008).

Perdarahan laring

Perdarahan laring berasal dari a. laringeus superior, a. laringeus inferior dan a.


krikotiroid. Arteri laringeus superior merupakan cabang a. tiroid superior dan

6
berjalan agak mendatar melawati bagian belakang membrane tirohiod bersama-
sama dengan cabang dari n. laringeus superior, kemudian bersama-sama saraf
tersebut menembus membran ini untuk berjalan di bawah mukosa dinding lateral
dan lantai sinus piriformis untuk selanjutnya mendarahi mukosa dan otot-otot laring.
Arteri laringeus inferior cabang a. tiroid inferior lewat bersama-sama n. laringeus
inferior ke belakang sendi krikoid dan memasuki laring melalui daerah pinggir bawah
m. konstriktor inferior. Di dalam laring, arteri ini bercabang-cabang dan mendarahi
mukosa dan otot, juga mengadakan anastomosis dengan a. laringeus superior
(Ballenger, 1994; Hermani & Kartosoediro, 2003). Vena laringeus superior dan
inferior letaknya sejajar dengan arterinya untuk selanjutnya bergabung ke v. tiroid
superior dan inferior dan selanjutnya akan bermuara di v. jugularis interna
(Ballenger, 1994).

Pembuluh limfe laring

Pembuluh limfe untuk laring banyak kecuali daerah plika vokalis. Plika vokalis
membagi pembuluh-pembuluh limfe menjadi golongan superior dan inferior.
Kelompok superior akan mengalirkan cairan limfe ke nodus limfatikus servikalis
profunda superior. Kelompok inferior akan mengalirkan aliran ke nodus limfatikus
servikalis profunda inferior. Beberapa diantaranya menjalar sampai sejauh kelenjar
supraklavikular (Ballenger, 1994; Hermani & Kartosoediro, 2003).

Persarafan laring

Laring dipersarafi oleh cabang n.vagus yaitu n. laringeus superior dan inferior, dan
merupakan campuran saraf motorik dan sensorik. Nervus laringeus superior
mempersarafi m. krikotiroid dan nervus laringeus inferior mempersarafi otot-otot
interinsik laring (Hermani & Kartosoediro, 2003).

7
Gambar 5. Persarafan laring (Netter, 1995)

LARING PEDIATRIK

1. Laring pada bayi berukuran kecil dan berbentuk kerucut. Diameter kartilago
krikoid lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran glotis, oleh karena itu subglotis
merupakan daerah yang paling sempit. Hal ini penting untuk menentukan pilihan
endotracheal tube.
2. Laring pada bayi posisinya setentang vertebra servikal 3 atau C4 (yaitu sejajar
dengan pita suara dewasa) pada posisi istirahat dan mencapai C1 atau C2 pada
saat menelan. Posisi seperti ini akan mempermudah epiglotis bertemu dengan
palatum mole sehingga membentuk suatu saluran nasofaring untuk bernapas
selama proses menghisap, sehingga bernapas dan proses menghisap terjadi secara
simultan.

8
3. Kartilago laring masih sangat lunak dan rapuh. Epiglotis berbentuk omega dan
arytenoid relatif besar sehingga menutupi sebahagian besar glotis posterior.
4. Kartilago tiroid pada bayi masih datar dan tumpang tindih dengan kartilago
krikoid dan tulang hyoid. Oleh karena itu ruangan antara krikotiroid dan tirohyoid
sangat sempit sehingga tidak mudah menentukan landmark pada saat dilakukan
trakeostomi.
5. Jaringan submukosa pada laring bayi bersifat relatif longgar dan dapat dengan
mudah mengalami perubahan edema dengan adanya trauma atau inflamasi
sehingga lebih mudah pula mengalami obstruksi (Dhingra, 2009).

DEFINISI

Laringomalasia adalah kelainan pada laring yang paling banyak ditemukan pada
bayi baru lahir yang diikuti dengan kolapsnya struktur supraglotis ke dalam saluran
napas sewaktu proses inspirasi berlangsung yang menyebabkan obstruksi saluran
napas atas (Mukerji & Pine, 2009; Landry & Thompson, 2012).

ETIOLOGI

Penyebab laringomalasia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa teori yang
dapat menjelaskannya (Awan, et al., 2004; Mukerji & Pine, 2009):
1. Kartilago laring yang immatur
Di akhir abab ke-19 Sutherland dan Lack menyatakan bahwa laringomalasia
berhubungan dengan terlambatnya maturasi daripada kartilago yang menyokong
jaringan epiglotis, walaupun dari hasil pemeriksaan histopatologi jaringan kartilago
adalah normal
2. Anatomi yang abnormal
Epiglotis yang terlalu panjang yang dapat terlipat sewaktu inspirasi (epiglotis yang
berbentuk omega). Lipatan ariepiglotis yang pendek dan aritenoid yang lebih besar
yang dapat jatuh ke depan sewaktu inspirasi.

9
3. Neuromuskular yang immature
Pada pasien laringomalasia, dijumpai prevalensi yang tinggi dari kelainan neurologis
seperti hipotoni laring walaupun hal ini masih dalam perdebatan.
4. Inflamasi
Refluks dapat memperburuk edema laring dan obstruksi. Refluks dapat merangsang
jaringan supraglotis sehingga edema dan timbul laringomalasia sekunder seperti
GERD dimana hal ini dijumpai pada 35-68% bayi dengan laringomalasia.

PATOLOGI

Laringomalasia dapat mengenai epiglotis, kartilago aritenoid ataupun mengenai


keduanya. Ketika epiglotis terlibat, akan mengakibatkan dinding epiglotis tersebut
terlipat. Bentuk epiglotis seperti omega yang sering disebut dengan omega-shape
epiglottis. Pada pemeriksaan laringoskopi terlihat gambaran kartilago aritenoid
membesar dan melemah sehingga terjadi kolaps ke laring sewaktu inspirasi.
Obstruksi yang terjadi saat inspirasi ini mengakibatkan bising, yang sering disebut
dengan stridor, suara yang kasar yang menyerupai hidung tersumbat (Bye, 2005).

Keadaan yang menyebabkan obstruksi saluran napas dari laringomalasia


(Benjamin, 1998; Awan, et al., 2004; Bailey, 2008):
1. Kolapsnya lipatan ariepiglotis (terutama tulang rawan kurneiformis)
2. Epiglotis yang panjang sehingga mudah terlipat dan terjadi obstruksi pada
waktu inspirasi.
3. Kolapsnya kartilago aritenoid kearah anterior dan medial, untuk menutup
saluran masuk laring selama inspirasi.
4. Berubahnya letak epiglotis yang lebih ke bawah dan belakang.
5. Lipatan ariepiglotis yang pendek.
6. Sudut dari epiglotis yang sangat kecil

10
KEKERAPAN

Laringomalasia adalah penyebab stridor terbanyak yaitu 45-70%, dan merupakan


anomali laring yang ditemukan terbanyak (Landry & Thompson, 2012).
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1. Biasanya hal ini baru diketahui
setelah penderita berusia 2 minggu pertama kelahiran (Houptman & Ryan, 2005).

KLASIFIKASI

Laringomalasia dapat diklasifikasi atas 3 tipe (Kay & Goldsmith, 2006):


1. Tipe 1, yaitu pendeknya lipatan ariepiglotis (Gambar 6)

Gambar 6. Tipe 1 laringomalasia

2. Tipe 2, yaitu prolapsnya mukosa supraglotis (Gambar 7)

Gambar 7. Tipe 2 laringomalasia

11
3. Tipe 3, yaitu kolapsnya epiglotis (Gambar 8)

Gambar 8. Tipe 3 laringomalasia

GEJALA DAN TANDA

Stridor inspiratoir atau bising inspirasi adalah suara keras bernada tinggi yang
dihasilkan dari aliran udara turbulen melalui saluran udara bagian atas yang
biasanya muncul pada 4-6 minggu setelah kelahiran dan paling lambat muncul
setelah 2-3 bulan setelah kelahiran. Suara stridor yang timbul saat inspirasi ini
terdengar seperti suara hidung tersumbat, sehingga pada awalnya sering
membingungkan. Bising ini bisa menetap ataupun hilang timbul dan tidak dijumpai
adanya sekret hidung (Benjamin, 1998; Bye, 2005; Houptman & Ryan, 2005).
Saat stridor cukup kuat, dengan hanya meletakkan tangan di dada penderita kita
dapat merasakan getaran. Pada beberapa penderita diduga adanya mukus di
saluran napas, tetapi ketika dilakukan penghisapan tidak ditemukan adanya mukus
tersebut (Benjamin, 1998).
Gejala dapat menetap, hilang timbul ataupun semakin berat ketika bayi tidur
telentang (supine), menangis, makan (selama dan setelah menyusui), batuk, dan
tersedak. Banyak penderita merasa lebih nyaman ataupun stridor lebih berkurang
saat penderita tidur telungkup (prone) (Benjamin, 1998; Bye, 2005; Houptman &
Ryan, 2005).

12
Pada permeriksaan biasanya tangisan bayi normal kecuali bersamaan dengan
radang tenggorokan, tachypnea ringan mungkin bisa ditemukan. Tanda- tanda vital
lainnya biasanya normal serta saturasi oksigen juga biasanya normal. Kesehatan
dan pertumbuhan secara umum biasanya normal (Benjamin, 1998; Bye, 2005).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Diagnosis laringomalasia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan-
temuan klinis yang dijumpai. Anamnesis diperoleh dari orang tua penderita. Orang
tua akan melaporkan adanya suara bising pada saat bayi bernapas terutama saat
bayi menarik napas. Suara bising napas ini terdengar seperti suara hidung
tersumbat tetapi tidak ditemukan adanya cairan di hidung. Hal ini biasanya muncul
4-6 minggu setelah kelahiran (Benjamin, 1998; Bye, 2005).

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang didapatkan, biasanya bayi tetap aktif dan riang.
Frekuensi napas dapat meningkat sedikit sementara tanda vital lainnya dalam batas
normal. Suara bising napas timbul hanya saat inspirasi dan biasanya akan
meningkat saat bayi tidur telentang, sewaktu menangis atau pada saat beraktifitas
dan beberapa kasus terjadi pada saat bayi menyusui. Tangisan bayi umumnya
normal, pertumbuhan dan perkembangan berat badan bayi biasanya normal (Bye,
2005).

3. Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Dari gambaran radiologis tidak selalu membantu, tapi pada posisi lateral dapat
membantu menyingkirkan adanya massa atau kista pada laringofaring, stenosis
subglotis atau trakea yang menyempit (Benjamin, 1998).

13
 Fluroskopi
Biasanya dilakukan oleh ahli radiologi anak. Pada posisi lateral dari jalan napas
akan tampak gambaran kartilago yang kolaps saat inspirasi (Benjamin, 1998; Bye,
2005; Houptman & Ryan, 2005).
 Endoskopi
Laringomalasia dapat ditegakkan secara pasti dengan menggunakan endoskopi,
dengan endoskopi fleksibel dapat melihat secara langsung faring, laring, trakea dan
bronkus yang lebih baik dilakukan di bawah anestesi umum (Benjamin, 1998;
Mukerji & Pine, 2009; Landry & Thompson, 2012).

Indikasi laringoskopi pada laringomalasia

Tidak semua bayi yang mengalami stridor inspirasi yang disangka menderita
laringomalasia dilakukan laringoskopi. Pemeriksaan laringoskopi hanya dilakukan
jika stridor yang dialami pasien cukup berat dan persisten, ditemukan beberapa
gejala gabungan atau memiliki gambaran kelainan radiologis yang signifikan dari
trakea dan paru-paru. Beberapa ahli pediatrik menganjurkan untuk dilakukannya
pemeriksaan laringoskopi pada semua pasien stridor, mereka berpendapat bahwa
penyebab stridor tidak dapat teridentifikasi tanpa pemeriksaan laringoskopi
(Benjamin, 1998).

Kelainan yang ditemukan pada laringoskopi

Pada laringoskopi ditemukan adanya perubahan jaringan supraglotis yaitu epiglotis,


lipatan ariepiglotis, kartilago kuneiformis dan kartilago aritenoid. Dasar lidah, dinding
faring, glotis, vocal folds, dan daerah subglotis menunjukkan tidak ada kelainan
kecuali bila terdapat anomali sekunder seperti stenosis subglotis (Benjamin, 1998).
Epiglotis biasanya panjang dan terlipat ke dalam. Pinggir lateralnya secara
bersamaan membentuk seperti tubuler dan bisa dilihat dengan menggunakan
teleskop 300. Lipatan ariepiglotis dan aritenoid tipis, pucat dan kaku, oleh karena itu

14
tampak seperti laxity. Jaringan yang berlebih terhisap ke dalam laring saat inspirasi
sehingga menghasilkan stridor inspiratoir. Selama ekspirasi, jaringan tersebut
terhembus keluar sehingga tidak terjadi hambatan dari jalannya udara. Lipatan
ariepiglotis, kuneiformis dan aritenoid bisa terbuka dan ditarik keluar dengan
meletakkan ujung laringoskop dibelakang epiglotis pada permukaan laring tetapi
masih diatas pita suara untuk mencegah kolapnya jalan napas (Benjamin, 1998;
Houptman & Ryan, 2005).

DIAGNOSIS BANDING

 Kista laring
Gejala yang umum adalah serak, sering dinyatakan sebagai perubahan suara oleh
pasien. Pada lesi yang lebih besar, pasien dapat mengalami suara mengguman (hot
potato voice) sama dengan anak yang menderita epiglotitis. Stridor inspiratoar
sering ditemukan, terutama pada anak. Massa kistik yang melekat pada waktu
menelan, dapat diraba pada leher (Ballenger, 1994).
 Selaput laring kongenital
Gejala bervariasi, tergantung pada lokasi dan derajat selaput. Selaput glotis
menyebabkan berbagai tingkat disfoni, ditandai dengan tangisan lemah dan suara
serak pada bayi. Sering merupakan satu-satunya gejala dan jika kecil tidak diketahui
sampai bayi mulai belajar bicara. Adanya selaput cenderung menghambat
kemampuan berbicara. Derajat gangguan napas tergantung pada beratnya
obstruksi. Stridor inspiratoir dan tanda-tanda obstruksi laring lain merupakan gejala
yang sering terjadi (Ballenger, 1994).
 Stenosis subglotis kongenital
Bayi dengan anomali ini mungkin tampak gejala pada waktu lahir, dan umumnya
gejala menjadi jelas pada minggu atau bulan pertama kelahiran. Stridor merupakan
gejala yang paling sering. Stridor ini biasanya inspirasi dan ekspirasi. Stridor ini
sering tidak jelas saat istirahat tetapi menjadi nyata pada waktu kerja keras, atau
ada infeksi dan edema pada saluran napas bagian atas. Suara atau tangis bayi
biasanya normal (Ballenger, 1994).

15
 Paralisis pita suara kongenital
Bayi ini memiliki suara tangisan yang lemah, atau suara serak, stridor inspiratoir dan
kesulitan untuk minum. Stridor kebanyakan terjadi pada saat bayi aktif atau
menangis dan sering menghilang pada saat bayi tidur bila paralisisnya unilateral.
Paralisis bilateral menyebabkan gejala obstruksi yang lebih berat (Ballenger, 1994).
 Hemangioma laring kongenital
Gejala merupakan gejala obstruksi laring yaitu stridor yang dapat bifasik, dispnu,
sianosis dan retraksi. Pada waktu bayi lahir dapat tanpa gejala dan akan muncul
pertama kali bersamaan dengan infeksi saluran napas bagian atas, kemudian
menetap setelah infeksi teratasi. Gejala ini lebih berat jika bayi dalam posisi
trendelenburg dan akan membaik pada posisi tegak (Ballenger, 1994).

PENATALAKSANAAN

Lebih dari 99% kasus satu-satunya pengobatan anak dengan laringomalasia yang
dibutuhkan adalah waktu, karena biasanya kelainan ini merupakan self-limiting
disease sehingga tidak memerlukan tindakan bedah apapun. Lesi biasanya sembuh
secara berkala dan stridor rata-rata hilang setelah anak berusia dua tahun. Jika
penderita mengalami stridor yang cukup berat dan perasaan yang tidak nyaman
saat tidur, maka kepada orang tua dianjurkan untuk bayinya tidur dengan posisi
telungkup (prone). Apabila secara klinis didapati bayi mengalami hipoksemia
(saturasi O2 < 90%) maka pemberian O2 sangat dianjurkan. Tidak ada diet khusus
serta pembatasan aktifitas terhadap penderita ini (Bye, 2005; Mukerji & Pine, 2009).
Indikasi dilakukannya tindakan bedah terhadap penderita laringomalasia bila
didapati stridor yang berat yang diikuti gangguan pertumbuhan (failure to thrive), cor
pulmonal, pulmonary hypertension, obstructive sleep apnea, dan deformitas toraks
(Benjamin, 1998; Awan, et al., 2004; Paparella, et al., 2003; Landry & Thompson,
2012).
Adapun beberapa jenis pembedahan dalam menangani kasus laringomalasia ini
(Awan, et al., 2004; Bye, 2005; Mukerji & Pine, 2009):

16
1. Pembedahan dengan laser pada ariepiglotis. Pada lipatan ariepiglotis yang
pendek dilakukan bedah laser dengan CO2 dengan tujuan memperluas dari inlet
laring.
2. Amputasi parsial dari epiglotis. Hal ini dapat dilakukan dengan bedah laser
dengan CO2 ataupun dengan menggunakan mikrosisor.
3. Epiglotopeksi dengan melekatkan glosso-epiglotis yaitu dilakukan penjahitan dari
bagian anterior epiglotis ke pangkal lidah.
4. Pengangkatan dari mukosa supra aritenoid yang berlebih. Lipatan ariepiglotis
direseksi dengan menggunakan gunting mikrolaring, kemudian jaringan yang
berlebih diangkat dari anterior sampai lateral dari epiglotis.
5. Pada kasus yang berat, trakeostomi dapat dilakukan

KOMPLIKASI

Komplikasi dari laringomalasia (Bye, 2005):


 Apnoe
 Hipertensi pulmonar

PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini adalah baik. Pada 85-90% kasus biasanya sembuh dengan
sendirinya tanpa tindakan bedah apapun (Mukerji & Pine, 2009).

17
KESIMPULAN

Laringomalasia adalah suatu kelainan kongenital pada laring dengan ditemukannya


jaringan supraglotis dari laring kolaps ke dalam jalan napas sewaktu proses inspirasi
berlangsung. Penyebab kelainan ini tidak diketahui. Gambaran laringomalasia
secara umum adalah stridor inspirasi yang hilang timbul dengan tangisan bayi yang
biasanya normal dan kesehatan serta pertumbuhan bayi secara umum biasanya
normal. Pada kebanyakan kasus, pengobatan aktif tidak diperlukan dan keluhan
biasanya menghilang dengan spontan pada usia 2 tahun dan tindakan bedah pada
kasus ini jarang diperlukan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Avelino, M.A.G., Liriano, R.Y.G., Fujita, R., Pignatari, S. and Weckx, L.L.M. 2005.
Management of laryngomalacia: experience with 22 cases. Rev Bras
Otorrinolaringol, 71(3), pp.330-4.

Awan, S., Saleheen, D. and Ahmad Z. 2004. Laryngomalacia: An atypical case and
review of the literature. Ear, Nose, and Throat Journal, 83(5), pp.334-8.

Ballenger, J.J. 1994. Anatomi Laring. Dalam: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher, Jilid 1, Edisi 13, Binarupa Aksara: Jakarta, hlm.424-34.

Ballenger, J.J. 1994. Malformasi Laring Kongenital. Dalam: Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher, Jilid 1, Edisi 13, Binarupa Aksara: Jakarta, hlm.465-
79.

Bailey, M. 2008. Congenital Disorders of the Larynx Trachea and Bronchi. In: Scott-
Brown’s Otolaryngology, Head and Surgery, 7th ed, Hodder Arnord: London,
pp.1135-6.

Banovert, J.D. 1997. Gangguan Laring Jinak. Dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT,
Edisi 6, EGC: Jakarta, hlm.379.

Beasly, N. 2008. Anatomy of The Larynx and Tracheobronchial Tree. In: Scott-
Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, 7th ed, Hodder Arnold:
London, pp.2130-40.

Benjamin, B. 1998. Laryngomalacia. In: Endolaryngeal Surgery, 1st ed, Martin


Dunitz Ltd: London, pp.325-30.

Bye, M.R. 2005. Laryngomalacia. Division of Pulmonary Medicine, Colombia


University College of Physicians and Surgeons.

Dhingra, P. 2009. Diseases of Ear, Nose and Throat. Elsevier: India, pp.259-63.

19
Hermani, B. dan Kartosoediro, S. 2003. Suara Parau. Dalam: Buku Ajar Ilmu Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5, FK UI: Jakarta, hlm.190-4.

Houptman, G. and Ryan, M. 2005. Treatment of Laringomalacia. The University of


Texas Medical Branch, Dept. of Otolaryngology.

Kay, D.J. and Goldsmith, A.J. 2006. Laryngomalacia: A Classification System and
Surgical Treatment Strategy. Ear Nose and Throat Journal, 85(5), pp.328-31.

Landry, A.M. and Thompson, D.M. 2012. Laryngomalacia: Disease Presentation,


Spectrum, and Management. Internasional Journal of Pediatrics, pp.1-6.

Mukerji, S. and Pine, H. 2009. Current Concepts in Diagnosis and Management of


Laryngomalacia. Grand Round Presentation. The University of Texas Medical
Branch, Dept. of Otolaryngology.

Netter, FH. 1995. Cartilage of Larynx Anterior View, Sagital View, Intrinsic Muscle of
Larynx. In: Interactive Atlas of Human Anatomy. Ciba-Geigy Corporation: Illinois,
pp.224-31.
Novialdy, Rusdy D, 1994,Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia dan
Trakeomalasia. In : http://repository.unand.ac.id. Pp. 1-8

Paparella, M.M., Shumrick, D.A., Gluckman, J.L. and Meyerhoff, W.L. 2003.
Congenital Abnormalities of the Larynx and Trachea and Management of Congenital
Malformations. In: Otolaryngology, Vol 3, 3rd ed, WB Saunders Company:
Philadelphia, pp.2217-9.

Woodson, G. 2006. Upper Airway Anatomy and Function. In: Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Bailley, J.B., Johnson, J.T. and Newlands, S.D. (eds).
Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia, pp.693-703.

20

Anda mungkin juga menyukai