Anda di halaman 1dari 2

Review Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto

Film Guru Bangsa: Tjokroaminoto merupakan film drama Indonesia garapan sutradara Garin Nugroho
dan diproduseri oleh Christine Hakim yang rilis pada tahun 2015. Film ini secara garis besar bercerita tentang
biografi Oemar Said Tjokroaminoto --yang merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia melawan kolonialisme--dari masa kecil, perjuangannya selama hidup hingga meninggal.

Tjokroaminoto lahir di Madiun, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882 dari kalangan keluarga bangsawan.
Walaupun lahir dan besar dari kalangan bangsawan yang memiliki privilege lebih, Tjokro kecil ketika melihat
penderitaan pribumi yang menerima perlakuan kejam dari Belanda mulai berfikir untuk membebaskan
pribumi dari kekejaman tersebut dan bahwa semua masyarakat memiliki kedudukan yang sama.

Tjokro yang lahir dan besar dari keluarga bangsawan memiliki kesempatan untuk menempuh
pendidikan Administrasi Pemerintahan di Magelang, Jawa Tengah. Selanjutnya memasuki usia dewasa,
Tjokro menikah dengan putri dari Bupati Ponorogo yang bernama Soeharsikin pada tahun 1904. Tjokro
bekerja menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda dengan jabatan sebagai juru tulis Patih Ngawi.
Perlakuan yang tidak adil kembali mengusik hati kecil Tjokro. Sikapnya menimbulkan berbagai masalah
termasuk dengan mertuanya sendiri yaitu Mangoensomo yang merupakan Bupati serta merupakan orang
terpandang. Tjokro pun akhirnya “hijrah” ke Semarang dan meninggalkan Soeharsikin yang sedang dalam
keadaan hamil. Hijrah ini menjadi kata kunci perjuangan Tjokro dan nafas dari film ini serta keinginannya
untuk dapat merdeka dari Belanda.

Sepindahnya Tjokro ke Semarang, disana Tjokro mulai bersentuhan dengan wacana-wacana


pergerakan politik untuk memperjuangkan nasib bumiputera. Di Semarang pula Tjokro bertemu dengan
Ibrahim Jamali yang juga concern terhadap perjuangan bagaimana agar rakyat dapat terbebas dari penjajahan
Belanda. Ibrahim Jamali juga menyarankan Tjokro untuk pergi ke Surabaya bayak tokoh masyarakat yang
dapat membantu dan bekerja sama dengan Tjokro untuk mencapai tujuannya tersebut. Dalam hijrahnya kali
ini, Soeharsikin ikut mendampingi pula. Rumahnya di Surabaya (Peneleh) ini juga menjadi tempat tinggal dan
diskusi anak-anak kenalan Tjokro yang kelak kita kenal sebagai Agus Salim, Soekarno, Musso dan Semaoen.

Singkat cerita, ketika di Surabaya dalam film ini digambarkan bagaimana perjuangan Tjokro untuk
menyuarakan pemikiran-pemikirannya melalui surat kabar, orasi dan tentunya melalui Sarekat Islam. Dalam
film ini pula terdapat cukup visualisasi terkait pecahnya Sarekat Islam menjadi dua blok, yaitu SI Merah yang
dipimpin Musso dan Semaoen serta SI Putih yang dipimpin Tjokro dan Agus Salim. SI Merah lebih “kiri” dan
menginginkan adanya gerakan yang lebih revolusioner untuk melawan pemerintah Hindia Belanda, sedangkan
SI Putih lebih mengutamakan peningkatan kualitas pendidikan bangsa untuk mencetak pemimpin-pemimpin
untuk perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Singkatnya dalam film ini visualisasi terkait bagaimana dinamika
Tjokro dalam berjuang hingga sempat dipenjara walaupun akhirnya juga dibebaskan serta kehidupan
pribadinya.Kisah dalam film ini diakhiri dengan Tjokro yang akhirnya dibebaskan dari penjara karena terbukti
tidak bersalah, Koesno (Soekarno) yang menikah dengan Oetari setelah beberapa bulan ibunya wafat hingga
akhirnya Tjokro juga wafat pada tahun 1934 di Yogyakarta. Soekarno pula akhirnya mendirikan PNI,
Semaoen yang dibuang ke luar negeri dan pasca kemerdekaan menjadi penasehat pribadi Soekarno serta Agus
Salim yang menajadi Menteri Luar Negeri pertama setelah Indonesia merdeka.

Film ini sarat akan bagaimana pemikiran Tjokroaminoto yang menginginkan persamaan dan
kesetaraan serta perjuangannya dalam melawan kolonialisme Belanda. Walaupun tidak sepenuhnya dalam
film hanya membahas Tjokroaminoto, namun bagaimana dinamika dalam perjuangan tersebut serta
perjuangan tokoh-tokoh lain terkait kemerdekaan tervisualisasi cukup jelas dalam film ini. Tidak dapat
dipungkiri pula bahwa pemikiran Tjokroaminoto juga mempengaruhi tokoh-tokoh yang tinggal di rumahnya
yang kelak kita kenal pula menjadi tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia
(walaupun ada yang memiliki ideology yang berbeda dengan Tjokro).

Menurut penulis, bagaimana film ini memvisualisasikan tokoh penting dalam sejarah Indonesia cukup
baik. Didukung dengan pemain yang mampu memerankan perannya dengan baik serta ditunjang visualisasi
latar tempat sejarah dan backsong yang cukup mendukung. Dalam film ini pula cukup menggambarkan
bagaimana pemikiran Tjokro terkait persamaan, kesetaraan, pandangannya tentang kemerdekaan Indonesia
dan jiwa penengah dan kepemimpinannya. Selebihnya, menurut penulis cukup ada kejanggalan atau
penjelasan yang kurang memadai dari beberapa scene di film ini. Alur yang kurang jelas dan perpindahan
dari scene satu ke scene yang lain kurang smooth juga membuat penonton harus berpikir lebih keras. Tokoh-
tokoh lain yang muncul juga tidak ada pengenalan lebih jadi penonton harus menebak-nebak. Walaupun
mungkin akan cukup membosankan karena durasi yang panjang, namun banyak hal positif yang dapat diambil
dari film ini dan tentunya tetap layak untuk ditonton.

Anda mungkin juga menyukai