Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lokasi dan kesampaian daerah


Secara administratif lokasi konsesi kegiatan eksplorasi berada di daerah Pangadan,
Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. secara
Geografis terletak pada posisi 118º58’19” Bujur Timur dan 115º56’26” Bujur Timur serta
diantara 1º52’39” Lintang Utara dan 0º02’10” Lintang Selatan.

Tabel 2.1 Batas Wilayah Lokasi eksplorasi

Batasan Wilayah Administrasi Kecamatan


No Batas Administrasi Bebatasan dengan
1 Sebelah Utara Kabupaten Bulungan
Kabupaten Kutai Kartanegara
2 Sebelah Selatan Kota Bondang
3 Sebelah Timur Selat Makasar
4 Sebelah Barat Kabupaten Kutai Kartanegara

Sumber:Bappeda Kutai Timur


Kabupaten ini memiliki luas wilayah 35.747,50 km². Posisi geografis wilayahnya terletak di
bagian berbatasan dengan Kabupaten Bulungan di sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten kutai kertanegara, sebelah Selatan, dengan selat Makasar sebelah timur dan
Kabupaten kutai kartanegara sebelah barat, Sehingga cukup strategis sebagai pintu gerbang
perdagangan dari berbagai daerah. Kutai Timur dengan luas wilayah 35.747,50 km² atau 17
% dari total luas Propinsi Kalimantan Timur.
Gambar 2.1: Peta wilayah kab kutai timur

Gambar 2.2

Peta lokasi desa pengadan,kec karangan,kab kutai timur

Banyak cara untuk menuju Desa Pangadan Kecamatan Parang, Kabupaten Kutai Timur ini.
Salah satunya dapat ditempuh dengan pesawat dari Kota Surabaya menuju Kota
Balikpapan, dimana membutuhkan waktu sekitar ± 1 jam 30 menit untuk sampai di Kota
Balikpapan. Lalu, dari Kota Balikpapan menuju Kota Samarinda dapat ditempuh
menggunakan jalur darat dengan kendaraan roda 4 atau 2 dengan lama perjalanan ± 3 jam.
Kutai Barat yang berjarak ± 312 km dari Samarinda dapat ditempuh melalui jalur darat
maupun jalur udara.
Menggunakan jalur darat : Samarinda – Tenggarong (Kukar) – SP3 Kotabangun (Kukar) –
Muara Muntai - Resak (Kubar) – Bekokong – Jempang – Muara Tae – Sendawar – Barong
Tongkok – Tering – Desa Dunship. Dimana lama perjalanan ini sekitar ± 8 jam.
Menggunakan jalur udara : Dari bandara Temindung dibutuhkan waktu sekitar ± 50 menit
menuju bandara Uyang Lahay. Lalu perjalanan dilanjutkan menggunakan jalur darat
menuju desa Pangadan , Kecamatan Parang dengan memakan waktu sekitar ± 1 jam.
2.2 Kondisi Sosial Dan Ekonomi
2.2.1 Kondisi Sosial
Berdasarkan data Proyeksi Pendududuk hasil SP2010 BPS Kabupaten Kutai Timur, jumlah
penduduk Kabupaten Kutai Timur Tahun 2009 mencapai 245.817 jiwa. Di mana
Kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Bengalon yaitu
sebesar 24.942 jiwa atau sekitar 10,15 persen dari total populasi penduduk Kutai Timur.
Sedangkan Kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Busang
yaitu sebesar 4.343 jiwa (1,77 %).

Bila dilihat perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayahnya maka dapat
diperoleh Kepadatan penduduk untuk Kabupaten Kutai Timur adalah sebesar 8.80 jiwa/Km2.
Dari Kepadatan tersebut di atas, Kecamatan Bengalon merupakan daerah yang terpadat
penduduknya yakni 24.942 jiwa/Km2 kemudian diikuti oleh Kecamatan Sangatta Selatan yaitu
sebesar 18.978 jiwa/Km2 dan Kecamatan Muara Wahau sebesar 17.853 jiwa/Km2. Sedangkan
untuk kecamatan dengan kepadatan penduduk terkecil adalah Kecamatan Busang yaitu sebesar
4,343 jiwa/Km2.

Penduduk Kabupaten Kutai Timur hingga akhir tahun 2009 tercatat sebesar 245.817 jiwa,
dimana sebesar 133.131 jiwa (52.85 %) merupakan penduduk laki - laki dan 112.686 jiwa
merupakan penduduk perempuan (47.15%).Dari jumlah penduduk tersebut di atas, terlihat
bahwa penduduk laki - laki lebih dominan jika dibandingkan dengan penduduk perempuan
dengan rasio sebesar 118.41. Dengan pengertian bahwa untuk setiap 100 penduduk
perempuan terdapat 112 laki - laki. Kemudian rasio jenis kelamin tertinggi terdapat di
Kecamatan Bengalon yaitu sebesar 128.70 % sedangkan yang terendah adalah Kecamatan
Muara Bengkal yaitu sebesar 98.84 %.

Komposisi masyarakat Kabupaten Kutai Timur berdasarkan suku terdiri dari suku asli dan
suku pendatang.Terdapat beberapa suku asli dari Kabupaten Kutai Timur yaitu Dayak
Tunjung, Dayak Benuaq, Dayak Bahau, Dayak Kenyah, Dayak Bentian, Dayak Bakumpai,
Dayak Penihing/Aoheng, Dayak Kayan, Dayak Seputan, Dayak Bukat, Dayak Luangan,
Kutai dan Banjar. Sedangkan suku pendatang secara garis besar merupakan suku-suku yang
terdapat di Indonesia seperti Jawa, Bugis, Batak dan lainnya. Bahasa mayoritas yang
digunakan masyarakat Kabupaten Kutai Timur adalah Bahasa Melayu. Agama yang dianut
oleh masyarakat Kabupaten Kutai Timur terdiri dari Islam, Katholik, Protestan, Hindu,
Budha, Kong Hucu dan aliran kepercayaan lainya.

Tabel 2.4 Penyebaran Penduduk Perkecamatan


2009

Penyebaran Penduduk Population


Kecamatan Distribution
District
Jumlah %
(1) (2) (3)
1. Muara Ancalong 12.663 5,15

2. Busang 4.343 1,77

3. Long Mesangat 4.553 1,85

4. Muara Wahau 17.853 7,26

5. Telen 6.636 2,70

6. Kombeng 15.560 6,33

7. Muara Bengkal 12.479 5,08

8. Batu Ampar 5.420 2,20

9. Sangatta Utara 57.224 23,28

10. Bengalon 24.942 10,15

11. Teluk Pandan 12.507 5,09

12. Sangatta Selatan 18.978 7,72

13. Rantau Pulung 7.249 2,95

14. Sangkulirang 15.731 6,40

15. Kaliorang 8.377 3,41

16. Sandaran 7.084 2,88

17. Kaubun 7.365 3,00

18. Karangan 6.853 2,79

Jumlah
245.817 100,00
Total

Sumber: Badan Pusat Statistik Kutai Timur 2009


Tabel 2.5 Tabel Tempat Ibadah Perkecamatan tahun 2009

Gereja Gereja
Kecamatan Masjid Langgar Katholik Protestan Pura Vihara
District Mosques Chatholic Protestant Temples Vihara
Churches Churches
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Muara Ancalong 9 7 5 6 - -
2. Busang 7 3 4 7 - -

3. Long Mesangat 15 1 - 10 1 -

4. Muara Wahau 17 36 8 13 1 -

5. Kombeng 21 38 3 15 1 -

6. Telen 6 - 2 7 - -

7. Muara Bengkal 19 4 3 - - -

8. Batu Ampar 10 2 1 3 - -

9. Sangatta Utara 39 19 2 25 1 -

10. Bengalon 24 5 4 15 - -

11. Teluk Pandan 23 5 - 2 - -

12. Sangatta Selatan 22 7 2 4 - -

13. Rantau Pulung 23 24 5 6 1 -

14. Sangkulirang 35 13 1 4 - -

15. Kaliorang 17 10 3 4 2 -

16. Sandaran 25 6 1 2 - -

17. Karangan 12 14 2 2 - -

18. Kaubun 24 5 2 3 2 -

Jumlah 348 198 48 128 9 -


Total

Terdapat 6 suku yang menghuni daerah Kabupaten Kutai Timur, sepeti tabel berikut ini.
Tabel 2.6
Suku yang berada di Kutai Timur
SUKU
Dayak Kenyah Umaq Tau
Dayak Kenyah Umaq Jalan
Dayak Umaq Alim
Dayak Dayak Umaq Baga
Dayak Umaq Basan
Dayak Lapo Kulit
Dauak Lapo Bakung
Dayak Lapo Timai
Dayak Lapo Ke
Dayak Lapo Ngibun
Kutai Sangatta
Kutai Bengalon
Kutai
Kutai Muara Ancalong
Kutai Muara
Banjar Kelua
Banjar Amuntai
Banjar Banjar Peringin
Banjar Kandangan
Banjar Berabai
Bugis Pinrang
Bugis Makassar
Bugis Bone
Bugis Bugis Wajo
Toraja
Manado
Mandar
suku jawa
Suku Sunda
Suku Batak
Suku
Suku Bali
pendatang
Suku Madura
Suku Butun
Suku Irian
Suku Cina
Suku Korea
Suku Amerika
Suku asing
Suku Perancis
Suku Jepang
Suku Arab

Bahasa Dayak dipergunakan untuk komunikasi lokal di daerah pedalaman Kutai Timur
menurut etnis masing-masing suku dan untuk berkomunikasi secara nasional menggunakan
bahasa Indonesia Bahasa Kutai dipergunakan untuk komunikasi lokal yang berda di daerah
menurut etrnis masingmasing.
Pembangunan kebudayaan di Kabupaten Kutai Timur ditujukan untuk melestarikan dan
mengembangkan kebudayaan daerah serta mempertahankan jati diri dan nilai-nilai budaya
daerah di tengah-tengah semakin derasnya arus informasi dan pengaruh negatif budaya
global. Pembangunann seni dan budaya di Kabupaten Kutai Timur sudah mengalami
kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap nilai budaya. Namun
demikian upaya peningkatan jati diri masyarakat Kabupaten Kutai Timur seperti halnya
solidaritas sosial, kekeluargaan, budaya dan perilaku positif seperti kerja keras, gotong
royong, penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa masih perlu terus ditingkatkan.

2.2.2 Kondisi Ekonomi


Pada umumnya mata pencaharian penduduk setempat mencakup berbagai bidang yaitu
pertanian, peternakan, perkebunan, kelautan dan perikanan, dan pertambangan. Besarnya
peranan suatu sektor terhadap sektor lainnya di Kabupaten Kutai Timur dapat dilihat dari
distribusi persentase suatu sektor terhadap total seluruh sektor dalam membentuk PDRB
Kutai Timur. Sektor yang kontribusinya cukup besar setelah sektor Pertambangan dan
Penggalian adalah sektor Pertanian. Seiring dengan masih dominannya peran sektor
Pertambangan dan Penggalian dalam beberapa tahun terakhir, peranan sektor ini relatif
stabil antara 3,77% - 3,49%, sedangkan sumbangan sektor-sektor lainnya masih dibawah
4%.
Pertania
6,04
5,70% n
% Pertambangan dan
Penggalian
27,11 Industri Pengolahan
12,52 %
%
Listrik, Gas dan Air

Bersih
26,96 4,69 Perdagangan, Hotel dan
% 14,45 %
% Restoran
1,88 Pengangkutan dan
%
Komunikasi
Keuangan, Persewaan Dan
Jasa Perusahaan

Jasa jasa

Sumber: PDRB Kabupaten Kutai Timur Tahun 2013, Data diolah

2.3 Topografi dan Geologi


2.3.1 Topografi daerah Penelitian
Topografi Kabupaten Kutai Timur bervariasi berupa dataran landai, bergelombang hingga
berbukit-bukit dan pegunungan serta pantai dengan ketinggian tanah bervariasi antara 0 - 7
m hingga lebih dari 1000 meter dari permukaan laut. Sebagian besar wilayah Kabupaten
Kutai Timur mempunyai kelerengan diatas 15%, dengan total luas wilayah 2.516.233 Ha
(76.37% dari total luas lahan). Wilayah dengan kelerengan di atas 40% mempunyai areal
yang cukup luas, tersebar diseluruh wilayah, khususnya terkonsentrasi di bagian barat laut
dengan ketinggian lebih 500 meter di atas permukaan laut. Wilayah dengan karakteristik
topografi seperti ini termasuk dalam kategori lahan kritis yang sangat potensial mengalami
degradasi lingkungan berupa erosi tanah.
Wilayah dengan kelerengan dibawah 15% (< 2 – 15) merupakan Kawasan yang relatif
datar dan landai, dengan luas 778.686 Ha (23,63%). Kawasan ini hanya terdapat di
Kecamatan Sangatta, Muara Bengkal, Muara Ancalong dan sebagian Muara Wahau dan
Sangkulirang. Daerah yang berbatasaan dengan Kabupaten Berau pada Kecamatan
Sangkulirang, Muara Wahau dan Muara Ancalong merupakan daerah pegunungan kapur.
Wilayah dengan daerah pegunungan dan perbukitan mempunyai areal paling luas yaitu
1.608.915 Ha dan 1.429.9222,5 Ha. Di antara variasi yang dimaksud adalah:

1. Kawasan yang relatif datar dan landai terdapat di Kecamatan Sangatta, Muara
Bengkal, Muara Ancalong dan sebagian Muara Wahau dan Sangkulirang yang
sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal permukiman dan pertanian,
industri berat, pengembangan tanaman keras dan kawasan prioritas untuk
pengembangan lapangan terbang.
2. Kawasan pegunungan kapur terdapat di daerah Kecamatan Sangkulirang, Muara
Wahau dan Muara Ancalong yang cocok untuk pengembangan pertanian tertentu
seperti jati dan karet.
3. Jaringan sungai terdapat di seluruh kecamatan terutama Sungai Sangatta, Sungai
Marah dan Sungai Wahau. Sungai-sungai di daerah ini airnya dimanfaatkan
penduduk sekitar sebagai sumber air minum dan jalur transportasi air antara
daerah pantai dan daerah pedalaman. Sedangkan danau terdapat di Kecamatan
Muara Bengkal yaitu Danau Ngayau dan Danau Karang.

4. Wilayah pantai yang berada di sebelah timur kabupaten mempunyai ketinggian


antara 0-7 m diatas permukaan laut. Wilayah ini mempunyai sifat kelerengan
datar, mudah tergenang rawa dan merupakan daerah endapan.

Morfologi di daerah ini dapat dibagi menjadi morfologi perbukitan, dataran rendah
dan endapan aluvial. Perkembangan morfologi lokal pada daerah ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain : litologi, deformasi tektonik (struktur geologi) dan
proses-proses eksogenik.

2.3.2 Geologi Daerah Penelitian


Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas
±60.000 km2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan mencapai 14
km (Rose dan Hartono, 1971 op.cit. Mora dkk.,2001). Cekungan ini merupakan cekungan
terbesar dan terdalam di Indonesia Bagian Timur. Cekungan Kutai terletak di tepi
bagian timur dari Paparan Sunda, yang dihasilkan sebagai akibat dari gaya ekstensi di
bagian selatan Lempeng Eurasia (Howes, 1977 op.cit. Allen & Chambers, 1998).
Cekungan (Gambar 3.1) dibatasi di bagian utara oleh suatu daerah tinggian batuan dasar
yang terjadi pada Oligosen (Chambers dan Moss, 2000), yaitu Tinggian Mangkalihat
dan Sesar Sangkulirang yang memisahkannya dengan Cekungan Tarakan. Di bagian timur
daerah cekungan ini, terdapat Delta Mahakam yang terbuka ke Selat Makasar. Di bagian
barat, cekungan dibatasi oleh daerah Tinggian Kuching (Central Kalimantan Ranges) yang
berumur Kapur (Chambers dan Moss, 2000). Di bagian tenggara cekungan ini, terdapat
Paparan Paternoster yang dipisahkan oleh gugusan Pegunungan Meratus. Di bagian
selatan cekungan ini, dijumpai Cekungan Barito yang dipisahkan oleh Sesar Adang
Struktur tektonik yang berkembang pada Cekungan Kutai berarah timur laut-barat daya
(NE-SW) yang dibentuk oleh Antiklinorium Samarinda, yang berada di bagian timur –
tenggara cekungan (Supriatna dkk., 1995). Antiklinorium Samarinda tersebut memiliki
karakteristik terlipat kuat, antiklin asimetris dan dibatasi oleh sinklin-sinklin yang terisi
oleh sedimen silisiklastik Miosen (Satyana dkk., 1999)
Teori mengenai asal terbentuknya struktur-struktur pada Cekungan Kutai masih dalam
perdebatan. Beberapa peneliti mengajukan teori seperti Vertical diapirism, gravitational
gliding oleh Rose dan Hartono, 1978 op.cit. Ott 1987; Inversion trough regional
wrenching oleh Biantoro dkk., 1992; Micro-continental collision, detachment folding
above overpressured sediments oleh Chambers dan Daley, 1992; differential loading on
deltai sedimen and inverted delta growth fault system oleh Ferguson dan McClay, 1997.

Secara umum, digambarkan bahwa sesar-sesar dan struktur yang mempengaruhi


pembentukan Cekungan Kutai dapat dilihat dalam gambar 3.2

Gambar 2.3. Struktur Geologi Cekungan Kutai (Allen dan Chambers, 1998)
Pulau Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan mikrokontinen, busur
kepulauan, penjebakan lempeng oceanic dan intrusi granit, membentuk batuan menjadi
dasar Cekungan Kutai selama Kapur Tengah sampai Eosen Awal (Moss, 1998 op.cit
Chambers & Moss, 2000). Pada Eosen Tengah, Cekungan Kutai terbentuk oleh proses
pemekaran yang melibatkan pemekaran selat Makasar bagian utara dan Laut Sulawesi
(Chambers & Moss, 2000). Pada Eosen Akhir, sejumlah half graben terbentuk sebagai
respon dari terjadinya fasa ekstensi regional. Fasa ini terlihat juga di tempat lain, yaitu
berupa pembentukan laut dan Selat Makasar. Half graben ini terisi dengan cepat oleh
endapan syn-rift pada Eosen Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa fasies
litologi.

Tektonik inversi terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan pengangkatan pada pusat
cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen, sehingga cekungan mengalami
pendangkalan (Allen dan Chambers, 1998).

Inversi berlanjut dan mempengaruhi cekungan selama Miosen Tengah dan Pliosen. Inversi
tersebut mempengaruhi daerah yang terletak di bagian timur Cekungan Kutai, sehingga
mempercepat proses progradasi delta (Allen dan Chambers, 1998).

2.4 Stratigrafi Daerah Penelitian


2.4.1 Fisiografi Cekungan Kutai

Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan di Indonesia yang menutupi daerah seluas
±60.000 km2 dan mengandung endapan berumur Tersier dengan ketebalan mencapai 14
km (Rose dan Hartono, 1971 op.cit. Mora dkk.,2001). Cekungan ini merupakan cekungan
terbesar dan terdalam di Indonesia Bagian Timur. Cekungan Kutai terletak di tepi
bagian timur dari Paparan Sunda, yang dihasilkan sebagai akibat dari gaya ekstensi di
bagian selatan Lempeng Eurasia (Howes, 1977 op.cit. Allen & Chambers, 1998).

Cekungan (Gambar 3.1) dibatasi di bagian utara oleh suatu daerah tinggian batuan dasar
yang terjadi pada Oligosen (Chambers dan Moss, 2000), yaitu Tinggian Mangkalihat
dan Sesar Sangkulirang yang memisahkannya dengan Cekungan Tarakan. Di bagian timur
daerah cekungan ini, terdapat Delta Mahakam yang terbuka ke Selat Makasar. Di bagian
barat, cekungan dibatasi oleh daerah Tinggian Kuching (Central Kalimantan Ranges) yang
berumur Kapur (Chambers dan Moss, 2000). Di bagian tenggara cekungan ini, terdapat
Paparan Paternoster yang dipisahkan oleh gugusan Pegunungan Meratus. Di bagian
selatan cekungan ini, dijumpai Cekungan Barito yang dipisahkan oleh Sesar Adang.
2.4.2 Tektonik Cekungan Kutai

Struktur tektonik yang berkembang pada Cekungan Kutai berarah timur laut-barat daya
(NE-SW) yang dibentuk oleh Antiklinorium Samarinda, yang berada di bagian timur –
tenggara cekungan (Supriatna dkk., 1995). Antiklinorium Samarinda tersebut memiliki
karakteristik terlipat kuat, antiklin asimetris dan dibatasi oleh sinklin-sinklin yang terisi
oleh sedimen silisiklastik Miosen (Satyana dkk., 1999)

Teori mengenai asal terbentuknya struktur-struktur pada Cekungan Kutai masih dalam
perdebatan. Beberapa peneliti mengajukan teori seperti Vertical diapirism, gravitational
gliding oleh Rose dan Hartono, 1978 op.cit. Ott 1987; Inversion trough regional
wrenching oleh Biantoro dkk., 1992; Micro-continental collision, detachment folding
above overpressured sediments oleh Chambers dan Daley, 1992; differential loading on
deltai sedimen and inverted delta growth fault system oleh Ferguson dan McClay, 1997

Secara umum, digambarkan bahwa sesar-sesar dan struktur yang mempengaruhi


pembentukan Cekungan Kutai dapat dilihat dalam gambar 3.2

Gambar 2.4. Struktur Geologi Cekungan Kutai (Allen dan Chambers, 1998)

Pulau Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan mikrokontinen, busur


kepulauan, penjebakan lempeng oceanic dan intrusi granit, membentuk batuan menjadi
dasar Cekungan Kutai selama Kapur Tengah sampai Eosen Awal (Moss, 1998 op.cit
Chambers & Moss, 2000). Pada Eosen Tengah, Cekungan Kutai terbentuk oleh proses
pemekaran yang melibatkan pemekaran selat Makasar bagian utara dan Laut Sulawesi
(Chambers & Moss, 2000).

Pada Eosen Akhir, sejumlah half graben terbentuk sebagai respon dari terjadinya fasa
ekstensi regional. Fasa ini terlihat juga di tempat lain, yaitu berupa pembentukan laut dan
Selat Makasar. Half graben ini terisi dengan cepat oleh endapan syn-rift pada Eosen
Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa fasies litologi.

Tektonik inversi terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan pengangkatan pada pusat
cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen, sehingga cekungan mengalami
pendangkalan (Allen dan Chambers, 1998).

Inversi berlanjut dan mempengaruhi cekungan selama Miosen Tengah dan Pliosen. Inversi
tersebut mempengaruhi daerah yang terletak di bagian timur Cekungan Kutai, sehingga
mempercepat proses progradasi delta (Allen dan Chambers, 1998).

2.4.3 Stratigrafi Cekungan Kutai

Menurut Allen dan Chambers (1998), Cekungan Kutai tersusun atas endapan-endapan
sedimen berumur Tersier yang memperlihatkan endapan fase transgresi dan regresi laut,
yaitu:

1. Fase Transgresi Paleogen


Fasa sedimentasi Paleogen dimulai ketika terjadi fasa tektonik ekstensional dan pengisian
rift pada kala Eosen. Pada masa ini, Cekungan Barito, Kutai, dan Tarakan merupakan zona
subsidence yang saling terhubungkan (Chambers & Moss, 2000), kemudian sedimentasi
Paleogen mencapai puncak pada fasa pengisian pada saat cekungan tidak mengalami
pergerakan yang signifikan, sehingga mengendapkan serpih laut dalam secara regional dan
batuan karbonat pada Oligosen Akhir.

2. Fase Regresi Neogen


Fase ini dimulai pada Miosen Awal hingga sekarang, yang menghasilkan progradasi delta
(deltaic progradation) yang masih berlanjut hingga sekarang. Sedimen regresi ini terdiri
dari lapisan- lapisan sedimen klastik delta hingga laut dangkal dengan progradasi dari
barat kearah timur dan banyak dijumpai lapisan batubara (lignite)

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Samarinda (Supriatna dkk., 1995, stratigrafi Cekungan
Kutai dibagi menjadi (dari tua ke muda): Formasi Pamaluan, Formasi Bebuluh, Formasi
Pulau Balang, Formasi Balikpapan, Formasi Kampung Baru
1) Formasi Pamaluan
Batupasir kuarsa dengan Sisipan Batulempung, Serpih, Batugamping dan Batulanau,
berlapis sangat baik. Batupasir Kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitaman –
kecoklatan, berbutir halus – sedang, terpilah baik, butiran membulat – membulat
tanggung, padat, karbonan dan gampingan. Setempat dijumpai struktur sedimen silang
siur dan perlapisan sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 m. Batulempung dengan
ketebalan rata-rata 45 cm. Serpih, kelabu kehitaman - kelabu tua, padat, dengan
ketebalan sisipan antara 10 – 20 cm. Batugamping berwarna kelabu, pejal, berbutir
sedang-kasar, setempat berlapis dan mengandung foraminifera besar. Batulanau
berwarna kelabu tua-kehitaman. Tebal Formasi lebih kurang 2000 m

2) Formasi Bebuluh
Batugamping Terumbu dengan Sisipan Batugamping Pasiran dan Serpih.
Batugamping berwarna kelabu, padat, mengandung foraminifera besar, berbutir sedang.
Setempat batugamping menghablur, terkekar tak beraturan. Serpih, kelabu kecoklatan
berselingan dengan batupasir halus kelabu tua kehitaman. Tebal formasi sekitar 300 m
diendapkan selaras dibawah Formasi Pulau Balang.

3) Formasi Pulau Balang


Perselingan Batupasir Greywacke dan Batupasir Kuarsa Sisipan Batugamping,
Batulempung, Batubara dan Tuf Dasit. Batupasir Greywacke berwarna kelabu
kehijauan , padat, tebal lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir Kuarsa berwarna
kelabu kemerahan, setempat tufan dan gampingan, tebal lapisan antara 15 -60
cm. Batugamping berwarna coklat muda kekuningan, mengandung foraminifera besar.
Batugamping ini terdapat sebagai sisipan atau lensa dalam Batupasir Kuarsa, ketebalan
lapisan 10 - 40 cm. Batulempung, kelabu kehitaman, tebal lapisan 1 – 2 cm. Setempat
berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapain4 m Tufa dasit, putih merupakan
sisipan dalam batupasir kuarsa.

4) Formasi Balikpapan
Perselingan Batupasir dan Batulempung Sisipan Batulanau, Serpih, Batugamping dan
Batubara. Batupasir Kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan
batubara, tebal 5 – 10 cm. Batupasir Gampingan, coklat, berstruktur sedimen
lapisan sejajar dan silang siur, tebal lapisan 20 – 40 cm, mengandung
foraminifera kecil disisipi lapisan tipis karbon. Batulempung, kelabu kehitaman,
setempat mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan,
setempat mengandung lensa batupasir gampingan. Batulanau Gampingan, berlapis
tipis, serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping Pasiran, mengandung
foraminifera besar, moluska, menunjukkan umur Miosen Akhir bagian bawah - Miosen
Tengah bagian atas, tebal formasi 1000 – 1500 m.

5) Formasi Kampung Baru.


Batupasir Kuarsa dengan Sisipan Batulempung, Serpih, Batulanau dan Lignit, pada
umumnya lunak, mudah hancur. Batupasir kuarsa, putih setempat kemerahan atau
kekuningan, tidak berlapis, mudah hancur, setempat mengandung lapisan tipis uksida
besi atau kongkresi, tufan atau lanauan, dan sisipan batupasir konglomeratan atau
konglomerat dengan komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter
0,5 – 1 cm, mudah lepas. Batulempung, kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan,
kepingan batubara, koral. Batulanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi. Lignit, tebal 1 – 2
m. Diduga berumur Miosen Akhir - Plioplistosen, lingkungan pengendapan delta -
laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan setempat tidak
selaras terhadap Formasi Balikpapan.

6) Aluvium
Kerikil, pasir dan lumpur diendapkan pada lingkungan sungai, rawa, delta, dan pantai.
Gambar 2.5. Stratigrafi Cekungan Kutai
2.5 Genesa batubara
Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.
Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batu bara juga adalah
batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang kompleks yang dapat
ditemui dalam berbagai bentuk. Analisa unsur memberikan rumus formula empiris
seperti C137H97O9NS untuk bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit.
Pembentukan batu bara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada
era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang
lalu (jtl), adalah masa pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir
seluruh deposit batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara
terbentuk. Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batu
bara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung
terus hingga ke Zaman Tersier (70 – 13 jtl) di berbagai belahan bumi lain. Hampir
seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk
batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981).
Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (Periode Pembentukan
Karbon atau Batu Bara) – dikenal sebagai zaman batu bara pertama – yang berlangsung
antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batu bara
ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai
‘maturitas organik’. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignite (batu bara muda)
atau ‘brown coal (batu bara coklat)’ – Ini adalah batu bara dengan jenis maturitas
organik rendah. Dibandingkan dengan batu bara jenis lainnya, batu bara muda agak
lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.

Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batu
bara muda mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya
dan mengubah batu bara muda menjadi batu bara ‘sub-bitumen’. Perubahan kimiawi
dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebh
hitam dan membentuk ‘bitumen’ atau ‘antrasit’. Dalam kondisi yang tepat, penigkatan
maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan


pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit
endapan batubara dari perioda ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit
endapan batubara dari perioda ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara
berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji,
berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah.
Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung
kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris
adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah
yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding
gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.
Tingkat perubahan yang dialami batu bara, dari gambut sampai menjadi antrasit –
disebut sebagai pengarangan – memiliki hubungan yang penting dan hubungan tersebut
disebut sebagai ‘tingkat mutu’ batu bara. Berdasarkan tingkat proses pembentukannya
yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima
kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster)
metalik, mengandung antara 86% – 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari
8%.
Bituminus mengandung 68 – 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari
beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-
75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling
rendah.
Sumber 2 : (http://achmadinblog.wordpress.com/2010/05/31/genesa-batubara/)

Proses pembentukan batu bara sendiri sangatlah kompleks dan membutuhkan waktu
hingga berjuta-juta tahun lamanya. Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba
yang kemudian mengendap selama berjuta-juta tahun dan mengalami proses
pembatubaraan (coalification) dibawah pengaruh fisika, kimia, maupun geologi. Oleh
karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Secara ringkas ada 2
tahap proses pembatubaraan yang terjadi, yakni:

Tahap Diagenetik atau Biokimia (Penggambutan), dimulai pada saat dimana tumbuhan
yang telah mati mengalami pembusukan (terdeposisi) dan menjadi humus. Humus ini
kemudian diubah menjadi gambut oleh bakteri anaerobic dan fungi hingga lignit
(gambut) terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah
kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses
pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus
dan akhirnya antrasit.

Secara lebih rinci, proses pembentukan batu bara dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pembusukan, bagian-bagian tumbuhan yang lunak akan diuraikan oleh bakteri anaerob.
Pengendapan, tumbuhan yang telah mengalami proses pembusukan selanjutnya akan
mengalami pengendapan, biasanya di lingkungan yang berair. Akumulasi dari endapan
ini dengan endapan-endapan sebelumnya akhirnya akan membentuk lapisan gambut.
Dekomposisi, lapisan gambut akan mengalami perubahan melalui proses biokimia dan
mengakibatkan keluarnya air dan sebagian hilangnya sebagian unsur karbon dalam
bentuk karbondioksida, karbonmonoksida, dan metana. Secara relatif, unsur karbon
akan bertambah dengan adanya pelepasan unsur atau senyawa tersebut.
Geotektonik, lapisan gambut akan mengalami kompaksi akibat adanya gaya tektonik
dan kemudian akan mengalami perlipatan dan patahan. Batubara low grade dapat
berubah menjadi batubara high grade apabila gaya tektonik yang terjadi adalah gaya
tektonik aktif, karena gaya tektonik aktif dapat menyebabkan terjadinya intrusi atau
keluarnya magma. Selain itu, lingkungan pembentukan batubara yang berair juga dapat
berubah menjadi area darat dengan adanya gaya tektonik setting tertentu.
Erosi, merupakan proses pengikisan pada permukaan batubara yang telah mengalami
proses geotektonik. Permukaan yang telah terkelupas akibat erosi inilah yang hingga
saat ini dieksploitasi manusia.
Faktor-Faktor Dalam Pembentukan Batubara

Faktor-Faktor dalam pembentukan batubara sangat berpengaruh terhadap bentuk


maupun kualitas dari lapisan batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam
pembentukan batubara adalah :
Material dasar, yakni flora atau tumbuhan yang tumbuh beberapa juta tahun yang lalu,
yang kemudian terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim
clan topografi tertentu. Jenis dari flora sendiri amat sangat berpengaruh terhadap tipe
dari batubara yang terbentuk.
Proses dekomposisi, yakni proses transformasi biokimia dari material dasar pembentuk
batubara menjadi batubara. Dalam proses ini, sisa tumbuhan yang terendapkan akan
mengalami perubahan baik secara fisika maupun kimia.
Umur geologi, yakni skala waktu (dalam jutaan tahun) yang menyatakan berapa lama
material dasar yang diendapkan mengalami transformasi. Untuk material yang
diendapkan dalam skala waktu geologi yang panjang, maka proses dekomposisi yang
terjadi adalah fase lanjut clan menghasilkan batubara dengan kandungan karbon yang
tinggi.
Posisi geotektonik, yang dapat mempengaruhi proses pembentukan suatu lapisan
batubara dari :
Tekanan yang dihasilkan oleh proses geotektonik dan menekan lapisan batubara yang
terbentuk.
Struktur dari lapisan batubara tersebut, yakni bentuk cekungan stabil, lipatan, atau
patahan.
Intrusi magma, yang akan mempengaruhi dan/atau merubah grade dari lapisan batubara
yang dihasilkan.
Lingkungan pengendapan, yakni lingkungan pada saat proses sedimentasi dari material
dasar menjadi material sedimen. Lingkungan pengendapan ini sendiri dapat ditinjau dari
beberapa aspek sebagai berikut:
Struktur cekungan batubara, yakni posisi di mana material dasar diendapkan.
Strukturnya cekungan batubara ini sangat berpengaruh pada kondisi dan posisi
geotektonik.
Topografi dan morfologi, yakni bentuk dan kenampakan dari tempat cekungan
pengendapan material dasar. Topografi dan morfologi cekungan pada saat pengendapan
sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa di mana batubara terbentuk.
Topografi dan morfologi dapat dipengaruhi oleh proses geotektonik.
Iklim, yang merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan batubara
karena dapat mengontrol pertumbuhan flora atau tumbuhan sebelum proses
pengendapan. Iklim biasanya dipengaruhi oleh kondisi topografi setempa
2.5.1 Proses pembentukan batubara

Proses pembentukan batubara dari tumbuhan melalui dua tahap, yaitu :


1. Tahap pembentukan gambut (peatification) dari tumbuhan
Gambut adalah batuan sediment organic yang dapat terbakar yang berasal dari
tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan
tertutup udara ( dibawah air ), tidak padat, kandungan air lebih dari 75 %, dan
kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering.

2. Tahap pembentukan batubara dari gambut yang disebut proses (coalification)


Lapisan gambut yang terbentuk kemudian ditutupi oleh suatu lapisan sediment, maka
lapisan gambut tersebut mengalami tekanan dari lapisan sediment di atasnya. Tekanan
yang meningkatakan mengakibatkan peningkatan temperature. Disamping itu
temperature juga akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman, disebut gradient
geotermik. Kenaikan temperature dan tekanan dapat juga disebabkan oleh aktivitas
magma, proses pembentukan gunung api serta aktivitas tektonik lainnya.
Peningkatan tekanan dan temperature pada lapisan gambut akan mengkonversi gambut
menjadi batubara dimana terjadi proses pengurangan kandungan air, pelepasan gas gas (
CO2, H2O, CO, CH4 ), penigkatan kepadatan dan kekerasanb serta penigkatan nilai
kalor.

Anda mungkin juga menyukai