Anda di halaman 1dari 155

Epilepsi

Artikel ini memberikan informasi dasar tentang


topik kesehatan. InformasiPelajari
dalam artikel ini
selengkapnya

Epilepsi (berasal dari kata kerja Yunani


Kuno ἐπιλαμβάνειν yang berarti
"menguasai, memiliki, atau menimpa")[1]
adalah sekelompok gangguan neurologis
jangka panjang yang cirinya ditandai
dengan serangan-serangan epileptik.[2]
Serangan epileptik ini episodenya bisa
bermacam-macam mulai dari serangan
singkat dan hampir tak terdeteksi hingga
guncangan kuat untuk periode yang
lama.[3] Dalam epilepsi, serangan
cenderung berulang, dan tidak ada
penyebab yang mendasari secara
langsung [2] sementara serangan yang
disebabkan oleh penyebab khusus tidak
dianggap mewakili epilepsi.[4] Dalam
bahasa Indonesia digunakan istilah
"penyakit ayan" untuk berbagai kasus
epilepsi.
Epilepsi

Penyamarataan lonjakan dan gelombang 3 Hz


pada elektroencefalogram

Klasifikasi dan rujukan luar

Spesialisasi Neurologi,
epileptology 

ICD-10 G40. -G41.

ICD-9-CM 345
DiseasesDB 4366
MedlinePlus 000694

eMedicine neuro/415

MeSH D004827

[sunting di Wikidata]

Dalam kebanyakan kasus, penyebabnya


tidak diketahui, walaupun beberapa
orang menderita epilepsi sebagai akibat
dari cedera otak, stroke, kanker otak, dan
penyalahgunaan obat dan alkohol, di
antaranya. Kejang epileptik adalah akibat
dari aktivitas sel saraf kortikal yang
berlebihan dan tidak normal di dalam
otak.[4] Diagnosisnya biasanya termasuk
menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang
mungkin menyebabkan gejala-gejala
serupa (seperti sinkop) serta mencari
tahu apakah ada penyebab-penyebab
langsung. Epilepsi sering bisa
dikonfirmasikan dengan
elektroensefalografi (EEG).

Epilepsi tidak bisa disembuhkan, tetapi


serangan-serangan bisa dikontrol dengan
pengobatan pada sekitar 70% kasus.[5]
Bagi mereka yang serangannya tidak
berespon terhadap pengobatan, bedah,
stimulasi saraf atau perubahan asupan
makanan bisa dipertimbangkan. Tidak
semua gejala epilepsi berlangsung
seumur hidup, dan sejumlah besar orang
mengalami perbaikan bahkan hingga
pengobatan tidak diperlukan lagi.
Epilepsi seperti halnya tuberkulosis
pengobatannya harus tuntas, walaupun
tampaknya sudah sehat. Pada epilepsi
pengobatan dihentikan satu tahun
setelah serangan terakhir.

Sekitar 1% penduduk dunia (65 juta)


menderita epilepsi,[6] dan hampir 80%
kasus muncul di negara-negara
berkembang.[3] Epilepsi menjadi lebih
sering ditemui seiring dengan
berjalannya usia.[7][8] Di negara-negara
maju, gejala awal dari kasus-kasus baru
muncul paling sering di kalangan anak-
anak dan manula;[9] di negara-negara
berkembang paling sering muncul di
kalangan anak-anak yang lebih tua dan
orang dewasa muda,[10] karena
perbedaan dalam kekerapan penyebab-
penyebab yang mendasarinya. Sekitar 5–
10% dari semua orang akan mengalami
kejang tanpa sebab sebelum mencapai
usia 80,[11] dan kemungkinan mengalami
serangan kedua berkisar antara 40 dan
50%.[12] Di banyak wilayah dunia, mereka
yang menderita epilepsi dibatasi dalam
mengemudi atau tidak diperbolehkan
sama sekali,[13] tetapi kebanyakan bisa
kembali mengemudi setelah periode
tertentu bebas serangan.

Tanda-tanda dan gejala-


gejala
Putar media
Video mengenai serangan kejang

Seseorang yang menggigit ujung lidahnya saat


mengalami serangan epilespi
Epilepsi ditandai dengan risiko jangka
panjang untuk terjadinya serangan
berulang.[14] Serangan ini bisa terjadi
dalam beberapa cara tergantung pada
bagian otak mana yang terlibat dan usia
penderita.[14][15]

Serangan

Jenis serangan epilepsi yang paling


umum (60%) adalah konvulsi/kejang.[15]
Dari serangan-serangan ini, dua per tiga
mulai dengan serangan kejang fokal
(yang kemudian bisa menjadi umum)
sementara sepertiganya mulai dengan
serangan kejang umum.[15] Sisa 40%
jenis serangan lainnya adalah non
konvulsi. Contoh dari jenis ini adalah
serangan absans, yang menunjukkan
adanya penurunan level kesadaran dan
biasanya berlangsung sekitar 10
detik.[16][17]

Serangan epilepsi fokal sering diawali


dengan pengalaman tertentu, yang
dikenal sebagai aura.[18] Ini bisa
termasuk: fenomena indra (penglihat,
pendengar atau pembau), psikis,
otonomik, atau motorik.[16] Kekejangan
bisa mulai dengan sekelompok otot
tertentu dan menyebar ke kelompok otot
sekitarnya yang dikenal sebagai
serangan epilepsi Jacksonian.[19]
Otomatisme bisa terjadi; ini adalah
gerakan yang tidak disadari dan
kebanyakan gerakan berulang sederhana
seperti memainkan bibir atau gerakan
yang lebih kompleks seperti mencoba
mengambil sesuatu.[19]

Ada enam jenis utama serangan epilepsi


umum: tonik-klonik, tonik, klonik,
myoklonik, absans, dan serangan
atonik.[20] Semuanya melibatkan
hilangnya kesadaran dan biasanya terjadi
tanpa peringatan. Serangan tonik-klonik
terjadi dengan kontraksi anggota tubuh
diikuti dengan ekstensi disertai dengan
punggung melengkung ke belakang yang
berlangsung selama 10–30 detik (fase
tonik). Jeritan mungkin terdengar karena
kontraksi otot-otot dada. Ini kemudian
diikuti dengan gerakan anggota tubuh
secara serempak (fase klonik). Serangan
tonik menyebabkan kontraksi otot terus-
menerus. Penderita sering menjadi biru
karena pernafasan terhenti.Dalam
serangan klonik anggota tubuh bergerak
serempak. Setelah gerakan terhenti,
penderita mungkin perlu waktu 10–
30 menit untuk kembali normal; periode
ini disebut "fase postiktal".

Hilangnya kontrol buang air besar atau


air kecil bisa muncul selama serangan
epilesi.[3] Ujung atau sisi lidah bisa
tergigit selama serangan epilespi.[21]
Dalam kejang tonik-klonik, gigitan pada
sisi lidah lebih sering terjadi.[21] Gigitan
lidah juga cukup biasa terjadi dalam
serangan psikogenik non-epileptik.[21]

Serangan miotonik melibatkan kejang


otot di beberapa atau di seluruh area.[22]
Serangan absans [kehilangan kesadaran
mendadak] bisa tersamar dengan hanya
kepala menoleh sedikit atau mata
berkedip-kedip.[16] Orangnya tidak
terjatuh dan kembali normal setelah
serangan terhenti.[16] Serangan atonik
melibatkan hilangnya aktivitas otot
selama lebih dari satu detik.[19] Ini
biasanya terjadi di kedua sisi tubuh.[19]
Sekitar 6% dari penderita epilepsi
mengalami serangan yang sering dipicu
oleh kejadian-kejadian khusus dan
dikenal sebagai serangan refleks.[23]
Penderita epilepsi refleks mengalami
serangan yang hanya dipicu oleh
rangsangan tertentu.[24] Pemicu umum
termasuk kilatan cahaya dan suara-suara
tiba-tiba.[23] Pada epilepsi jenis tertentu,
serangan lebih sering terjadi pada saat
tidur,[25] dan pada jenis lain serangan-
serangan terjadi hampir hanya waktu
tidur.[26]
Postiktal

Setelah serangan aktif biasanya ada


periode kebingungan yang disebut
periode postiktal sebelum tingkat
kesadaran normal kembali.[18] Ini
biasanya berlangsung selama 3 hingga
15 menit[27] tetapi bisa berlangsung
selama berjam-jam.[28] Gejala umum
lainnya termasuk: merasa lelah, sakit
kepala, susah bicara, dan tingkah laku
abnormal.[28] Psikosis setelah sebuah
serangan cukup sering, terjadi pada 6-
10% penderita.[29] Penderita sering tidak
ingat apa yang terjadi selama waktu
ini.[28] Kelemahan lokal, dikenal sebagai
kelumpuhan Todd, bisa juga terjadi
setelah serangan epilepsi fokal. Bila
terjadi, ini biasanya berlangsung selama
beberapa detik hingga menit tetapi
jarang berlansung selama satu atau dua
hari.[30]

Psikososial

Epilepsi bisa memiliki efek merugikan


pada kesejahteraan sosial dan psikologis
seseorang.[15] Efek-efek ini bisa termasuk
isolasi sosial, stigmatisasi, atau
ketidakmampuan.[15] Efek-efek itu bisa
menyebabkan pencapaian prestasi
belajar yang rendah dan kesempatan
kerja yang lebih buruk.[15] Kesulitan
belajar umum ditemukan pada penderita
epilepsi, dan terutama dalam anak-anak
penderita epilepsi.[15] Stigma epilepsi
bisa juga mempengaruhi keluarga
penderita.[3]

Gangguan-gangguan tertentu muncul


lebih sering di kalangan penderita
epilepsi, sebagian tergantung pada
gejala epilepsi yang ada. Ini bisa
termasuk: depresi, gangguan cemas, dan
migrain.[31] Attention-deficit hyperactivity
disorder (ADHD) atau Gangguan
Pemusatan Pikiran/Hiperaktivitas
(GPPH) mempengaruhi anak-anak
penderita epilepsi tiga hingga lima kali
lebih sering dibandingkan anak-anak
dalam populasi umum.[32] GPPH dan
epilepsi memiliki konsekuensi penting
pada tingkah laku, kemampuan belajar
dan perkembangan sosial anak.[33]
Epilepsi juga lebih sering terjadi pada
mereka yang menderita autisme.[34]
Penyebab
Epilepsi bukanlah penyakit tunggal,
melainkan suatu gejala yang dapat
dihasilkan oleh sejumlah gangguan
berbeda.[15] Menurut definisinya,
serangan epilepsi terjadi secara spontan
dan tanpa ada sebab langsung seperti
pada penyakit akut.[6] Penyebab yang
mendasari epilepsi dapat
diidentifikasikan sebagai masalah
genetik, struktural, atau metabolisme,
namun 60%[3][15] kasus epilepsi tidak
diketahui sebabnya.[35] Genetik, cacat
bawaan lahir, dan gangguan
perkembangan lebih umum dialami
mereka yang lebih muda, sedangkan
tumor otak dan stroke lebih mungkin
pada orang yang lebih tua.[15] Serangan
juga dapat terjadi sebagai akibat
masalah kesehatan lain;[20] jika serangan
terjadi tepat setelah adanya sebab
tertentu, seperti stroke, cedera kepala,
konsumsi bahan toksik, atau masalah
metabolisme, serangan ini disebut
kejang simtomatik akut, dan termasuk
kejang-kejang dalam klasifikasi yang
lebih luas gangguan terkait-kejang bukan
epilepsi.[6][36] Banyak di antara sebab-
sebab kejang simtomatik akut yang juga
dapat mengarah pada kejang yang
disebutkan belakangan, yaitu epilepsi
sekunder.[3]

Genetik

Genetik diyakini ikut terlibat dalam


sebagian besar kasus, baik secara
langsung maupun tidak langsung.[37]
Beberapa penyakit epilepsi disebabkan
oleh kerusakan gen tunggal (1-2%);
sebagian besar adalah akibat interaksi
beberapa gen dan faktor lingkungan.[37]
Masing-masing kerusakan gen tunggal
jarang terjadi, dengan lebih dari 200 telah
diuraikan.[38] Beberapa gen yang terlibat
memengaruhi saluran ion, enzim, GABA,
dan reseptor terkait protein G.[22]

Pada kembar identik, jika salah satu


menderita epilepsi, ada kemungkinan 50-
60% kembar lainnya juga ikut menderita
epilepsi.[37] Pada kembar non-identik,
risikonya 15%.[37] Risiko ini lebih besar
pada penderita dengan kejang umum
daripada kejang fokal.[37] Jika kedua
kembar tersebut menderita epilepsi,
kebanyakan (70-90%) memiliki sindrom
epilepsi yang sama.[37] Kerabat dekat
lainnya dari penderita epilepsi memiliki
risiko lima kali lebih besar dibandingkan
mereka yang tidak.[39] Antara 1 dan 10%
penderita sindrom Down dan 90%
penderita sindrom Angelman menderita
epilepsi.[39]

Sekunder

Epilepsi dapat terjadi sebagai akibat


sejumlah kondisi lain yang meliputi:
tumor, stroke, cedera kepala, infeksi
sistem saraf pusat terdahulu,
abnormalitas genetik, dan sebagai akibat
kerusakan otak saat persalinan.[3][20]
Bagi mereka yang memiliki tumor otak,
hampir 30% penderitanya menderita
epilepsi, yang terhitung dalam 4%
penyebab kasus epilepsi.[39] Risiko paling
besar adalah pada tumor yang berada di
lobus temporal dan tumor yang tumbuh
secara perlahan.[39] Lesi lain yang berupa
massa seperti malformasi kavernosus
serebral dan malformasi arteriovena
memiliki risiko sebesar 40 – 60%.[39]
Mereka yang pernah mengalami stroke,
sebanyak 2-4% mengalami epilepsi di
kemudian hari.[39] Di Inggris, stroke
bertanggung jawab atas 15% kasus
epilepsi[15] dan hal ini diyakini
bertanggung jawab atas 30% kasus
epilepsi pada lanjut usia.[39] Antara 6
hingga 20% kasus epilepsi diyakini
disebabkan oleh cedera kepala.[39]
Cedera otak ringan meningkatkan risiko
sekitar dua kali lipat, sedangkan cedera
otak berat meningkatkan risiko hingga
tujuh kali lipat.[39] Pada mereka yang
pernah mengalami luka tembak
berkekuatan tinggi pada kepala, risikonya
mencapai hampir 50%.[39]

Risiko epilepsi setelah mengalami


meningitis atau radang selaput otak
adalah kurang dari 10%; penyakit
tersebut umumnya menyebabkan kejang
selama terjadinya infeksi itu sendiri.[39]
Pada ensefalitis herpes simpleks risiko
timbulnya kejang berkisar 50%[39] disertai
dengan risiko tinggi timbulnya epilepsi
setelahnya (mencapai 25%).[40][41] Infeksi
akibat cacing pita babi, yang dapat
menyebabkan neurosistiserkosis, adalah
penyebab lebih dari separuh kasus
epilepsi di daerah dimana parasit ini
banyak ditemukan.[39] Epilepsi juga dapat
terjadi setelah infeksi otak lain seperti
malaria serebral, toksoplasmosis, dan
toksokariasis.[39] Penggunaan alkohol
menahun meningkatkan risiko epilepsi:
mereka yang minum enam unit alkohol
per hari memiliki dua setengah kali lipat
risiko.[39] Risiko lainnya termasuk
penyakit Alzheimer, multipel sklerosis,
sklerosis tuberosa, dan ensefalitis
autoimun.[39] Vaksinasi meningkatkan
risiko epilepsi.[39] Malagizi adalah faktor
risiko yang banyak dijumpai di negara-
negara berkembang, meskipun tidak
jelas apakah faktor ini menjadi penyebab
langsung atau sekadar ada hubungan.[10]

Sindrom

Ada sejumlah sindrom epilepsi yang


biasanya dikelompokkan menurut usia
pada saat awal mulanya serangan yaitu:
periode neonatus, kanak-kanak, dewasa,
dan serangan tanpa hubungan usia yang
erat.[20] Selain itu, ada kelompok-
kelompok dengan kumpulan gejala
spesifik, kelompok yang disebabkan oleh
sebab-sebab metabolik atau struktural
tertentu, dan kelompok yang tidak
diketahui penyebabnya.[20]
Pengklasifikasian sebab epilepsi ke
dalam suatu sindrom tertentu lebih
sering terjadi pada anak-anak.[36]
Beberapa tipe tersebut antara lain:
epilepsi Roland benigna (2,8 per
100.000), epilepsi absans anak-anak (0,8
per 100.000) dan epilepsi mioklonik
juvenil (0,7 per 100.000).[36] Kejang
demam dan kejang neonatal benigna
bukanlah jenis dari epilepsi.[20]
Mekanisme
Normalnya, aktivitas listrik otak bersifat
tak-sinkron.[16] Pada kejang epilepsi,
karena masalah struktural atau fungsi di
dalam otak,[3] sekelompok neuron/sel
saraf mulai melepaskan muatan listrik
secara abnormal, berlebihan,[15] dan
tersinkron.[16] Hal ini menghasilkan
gelombang depolarisasi yang disebut
dengan pergeseran depolarisasi
paroksismal.[42]

Normalnya, setelah sel saraf eksitatori


melepas muatan listrik, sel saraf menjadi
lebih resistan untuk kembali melepas
muatan listrik selama jangka waktu
tertentu.[16] Hal ini disebabkan oleh efek
sel saraf inhibitorik, perubahan listrik di
dalam sel saraf eksitatori, dan efek
negatif dari adenosin.[16] Pada epilepsi,
resistansi sel saraf eksitatori untuk
kembali melepas muatan listrik selama
periode ini berkurang.[16] Hal ini dapat
terjadi karena adanya perubahan pada
saluran ion atau sel saraf penghambat
tidak berfungsi dengan baik.[16]
Kemudian, hal ini berakibat pada
timbulnya area tertentu yang
daripadanya dapat timbul kejang, yang
dikenal sebagai "fokus kejang".[16]
Mekanisme lain epilepsi kemungkinan
adalah terjadinya peningkatan sirkuit
eksitatori atau pengurangan jumlah
sirkuit inhibitori setelah terjadinya cedera
otak.[16][43] Epilepsi sekunder seperti ini
terjadi melalui proses yang disebut
dengan epileptogenesis.[16][43] Kegagalan
sawar darah otak juga dapat menjadi
mekanisme penyebab karena kegagalan
ini memungkinkan zat-zat dalam darah
memasuki otak.[44]
Kejang fokal dimulai di dalam satu
hemisfer otak sedangkan kejang umum
dimulai di kedua hemisfer.[20] Beberapa
jenis kejang dapat mengubah struktur
otak, sedangkan jenis lain tampaknya
hanya memiliki sedikit efek.[45] Gliosis,
hilangnya sel saraf, dan atrofi area
tertentu pada otak dikaitkan dengan
epilepsi, namun hal ini belum jelas
apakah epilepsi menyebabkan
perubahan-perubahan tersebut atau
apakah perubahan ini mengakibatkan
epilepsi.[45]
Diagnosis

EEG dapat membantu menemukan fokus kejang


pada penderita epilepsi.

Diagnosis epilepsi biasanya dilakukan


berdasarkan deskripsi kejang dan
peristiwa seputar kejang.[15]
Elektroensefalogram dan neuroimaging
atau pencitraan sel saraf biasanya juga
menjadi bagian dari pemeriksaan
medis.[15] Meskipun usaha untuk
menemukan sindrom epilepsi tertentu
sering dilakukan, hal ini tidak selalu
memungkinkan.[15] Pemantauan video
dan EEG jangka panjang dapat berguna
pada kasus-kasus yang sulit.[46]

Definisi

Dalam praktik, epilepsi didefinisikan


sebagai dua atau lebih serangan epilepsi,
yang terpisah lebih dari 24 jam, tanpa
sebab yang jelas; sementara, serangan
epilepsi didefinisikan sebagai tanda dan
gejala sementara yang dihasilkan oleh
aktivitas listrik abnormal di dalam otak.[6]
Epilepsi juga dapat dilihat sebagai
gangguan dimana seseorang sudah
mengalami paling tidak satu kejang
epilepsi dengan risiko berkelanjutan
untuk serangan selanjutnya.[6]

Forum Internasional Melawan Epilepsi


dan Biro Internasional untuk Epilepsi—
sebagai mitra kolaborasi Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO)[47]—
mendefinisikan epilepsi dalam
pernyataan bersama tahun 2005 sebagai
“gangguan otak yang ditandai oleh
predisposisi terus-menerus yang
menghasilkan serangan epilepsi dan oleh
adanya konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial atas
kondisi ini. Definisi epilepsi
mensyaratkan terjadinya paling tidak
satu serangan epilepsi.”[48][49]

Klasifikasi

Serangan-serangan pada penderita


epilepsi sebaiknya diklasifikasikan
menurut jenis serangan, sebab yang
mendasari, sindrom epilepsi, dan
peristiwa selama dan seputar terjadinya
serangan tersebut.[46] Jenis serangan
disusun menurut apakah sumber
serangan terlokalisasi (kejang fokal) atau
tersebar (kejang umum) di dalam
otak.[20] Kejang umum dibagi
berdasarkan dampaknya pada tubuh,
antara lain: kejang tonik-klonik (grand
mal), serangan absans (petit mal),
mioklonik, klonik, tonik, dan atonik.[20][50]
Beberapa kejang seperti spasme
epileptik adalah jenis epilepsi yang tak
diketahui.[20] Kejang fokal(sebelumnya
dikenal sebagai kejang parsial[15]) dahulu
dibagi menjadi kejang parsial sederhana
atau parsial kompleks.[20] Pembagian ini
tidak lagi direkomendasikan, dan sebagai
gantinya lebih dipilih untuk
mendeskripsikan gejala yang terjadi pada
kejadian kejang.[20]

Pemeriksaan laboratorium

Untuk orang dewasa, pemeriksaan


elektrolit, gula darah dan kadar kalsium
sangat penting untuk menyingkirkan
masalah ini sebagai penyebab.[46]
Pemeriksaan elektrokardiogram dapat
menyingkirkan masalah yang
berhubungan dengan ritme jantung.[46]
Pungsi lumbal dapat dimanfaatkan untuk
mendiagnosis infeksi sistem saraf pusat
tetapi tidak selalu diperlukan.[11] Pada
anak-anak pemeriksaan tambahan
mungkin diperlukan, misalnya biokimia
urin dan tes darah untuk melihat adanya
kelainan metabolik.[46][51]

Tingkat prolaktin darah yang tinggi pada


20 menit pertama setelah kejang
merupakan tanda yang penting untuk
mengkonfirmasi kejang epilepsi dan
bukannya kejang psikogenik non-
epileptik.[52][53] Kadar prolaktin serum
kurang bermanfaat dalam hal
mendeteksi kejang parsial.[54] Bila
kadarnya normal maka kejang epileptik
masih berupa kemungkinan[53] dan
prolaktin serum tidak membedakan
antara kejang epileptik dengan sinkop
(pingsan).[55] Pemeriksaan ini tidak
direkomendasikan sebagai pemeriksaan
rutin untuk mendiagnosis epilepsi.[46]

EEG
Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG)
dapat membantu memberikan gambaran
aktivitas otak yang menunjukkan
peningkatan risiko terjadinya seranga.
Pemeriksaan ini direkomendasikan
hanya pada mereka yang menunjukkan
kejang epileptik sebagai gejala. Pada
diagnosis epilepsi, elektroensefalografi
dapat membantu membedakan jenis
kejang atau sindrom yang ada saat itu.
Pada anak-anak biasanya hanya
diperlukan setelah adanya kejadian
kejang kedua. Pemeriksaan ini tidak
dapat digunakan untuk menyingkirkan
diagnosis, dan dapat menyebabkan
tanda positif palsu pada mereka yang
tidak mengidap penyakit ini. Pada situasi
tertentu akan membantu apabila
pemeriksaan dilakukan ketika pasien
tertidur atau dalam keadaan kurang
tidur.[46]

Pencitraan

Pencitraan diagnostik menggunakan CT


scan dan MRI direkomendasikan setelah
kejang non-febril pertama untuk
mendeteksi adanya masalah struktural di
dalam dan sekitar otak.[46] MRI pada
umumnya merupakan tes pencitraan
yang lebih baik kecuali bila dicurigai
terjadi pendarahan, dimana CT lebih
sensitif dan lebih mudah dilakukan.[11]
Bila seseorang masuk ke ruang gawat
darurat dengan kejang tetapi pulih
dengan cepat, pemeriksaan pencitraan
dapat dilakukan kemudian.[11] Bila
sebelumnya, seseorang telah didiagnosis
epilepsi dengan pemeriksaan pencitraan,
pemeriksaan pencitraan ulang tidak
diperlukan walaupun terjadi kejang
kembali.[46]
Diagnosis banding

Menegakkan diagnosis untuk epilepsi


dapat menyulitkan, dan dapat sering
terjadi salah diagnosis (terjadi pada 5
hingga 30% dari kasus).[15] Sejumlah
kondisi mungkin menunjukkan ciri-ciri
dan gejala yang mirip dengan epilepsi, di
antaranya: sinkop, hiperventilasi, migren,
narkolepsi, serangan panik dan kejang
psikogenik non-epileptik (PNES).[56][57]
Sekitar satu di antara lima orang yang
berada di klinik epilepsi menderita
PNES[11] dan dari mereka yang
mengalami PNES sekitar 10% juga
menderita epilepsi.[58] Memisahkan
keduanya berdasarkan episode kejang
saja tanpa pemeriksaan lebih jauh pada
umumnya sulit dilakukan.[58]

Anak-anak dapat memiliki sikap yang


mudah disalahartikan sebagai kejang
epileptic, padahal sebenarnya bukan. Hal
ini meliputi: breath-holding spell (kondisi
menahan napas yang tidak dapat
dikendalikan oleh anak), mengompol,
teror tidur, tik dan shudder attacks
(gerakan bayi atau anak secara tiba-
tiba).[57] Refluks gastroesofageal dapat
menyebabkan punggung yang
melengkung dan kaku dan terpelintirnya
leher ke arah samping pada bayi, yang
kemudian dapat salah dianggap sebagai
kejang tonik klonik.[57]

Pencegahan
Walaupun banyak kasus yang tidak dapat
dicegah, usaha untuk mengurangi cedera
kepala, yaitu dengan penanganan yang
baik untuk wilayah sekitar kepala saat
kelahiran, dan menekan parasit dari
lingkungan seperti misalnya cacing pita
dapat memberikan hasil yang efektif.[3]
Langkah yang dilakukan di salah satu
wilayah Amerika Tengah utuk
menurunkan tingkat infeksi cacing pita
telah berhasil menurunkan kasus baru
epilepsi hingga 50%.[10]

Penatalaksanaan
Epilepsi biasanya ditangani dengan
pemberian obat setiap hari bila telah
timbul kejang yang kedua,[15][46] tetapi
untuk pasien dengan risiko tinggi,
pengobatan dapat dimulai segera setelah
kejang yang pertama kali.[46] Pada
sejumlah kasus mungkin perlu dilakukan
diet khusus, implantasi neurostimulator,
atau pembedahan saraf.

Pertolongan pertama

Memposisikan penderita dengan kejang


tonik klonik aktif pada posisi bertumpu
pada sisi badan dan pada posisi pulih
akan membantu mencegah cairan masuk
ke paru-paru.[59] Meletakkan jari, kotak
gigitan atau penekan lidah di mulut tidak
disarankan karena dapat menyebabkan
penderita muntah atau menyebabkan
penolong tergigit.[18][59] Usaha-usaha
yang ada harus dilakukan agar penderita
tidak mencederai diri sendiri.[18]
Tindakan pencegahan cedera tulang
belakang biasanya tidak diperlukan.[59]

Bila kejang berlangsung lebih dari


5 menit atau terjadi dua atau lebih kejang
dalam satu jam tanpa proses pemulihan
ke keadaan normal di antaranya maka
keadaan ini dianggap sebagai darurat
medis yang dikenal sebagai status
epileptikus.[46][60] Kondisi ini memerlukan
pertolongan medis agar jalan napas
tetap terbuka dan terlindung;[46] jalan
napas nasofaringeal akan sangat
membantu pada keadaan ini.[59] Untuk di
rumah, pengobatan awal yang diberikan
pada kejang dengan durasi yang lama
adalah midazolam yang diletakkan di
mulut.[61] Diazepam dapat juga diberikan
dalam bentuk sediaan secara rektal.[61]
Di rumah sakit, pemberian lorazepam
secara intravena lebih disukai.[46] Bila
dua dosis benzodiazepine tidak efektif,
penggunaan obat lain yang dianjurkan
adalah fenitoin.[46] Status epileptiku
konvulsif yang tidak memberikan respon
terhadap penanganan awal biasanya
memerlukan perawatan di unit gawat
darurat dan perawatan dengan senyawa
yang lebih kuat seperti tiopenton atau
propofol.[46]

Pengobatan

Antikonvulsan
Penanganan andalan untuk epilepsi
adalah dengan pemberian obat
antikonvulsan, dengan kemungkinan
pemberian seumur hidup.[15] Pemilihan
penggunaan antikonvulsan tergantung
pada tipe kejang, sindrom epilepsi,
pengobatan lain yang digunakan,
masalah kesehatan lainnya, dan usia
serta gaya hidup penderita.[61] Pada
awalnya direkomendasikan pengobatan
tunggal;[62] bila tidak efektif,
direkomendasikan beralih ke pengobatan
tunggal lainnnya.[46] Dua jenis
pengobatan sekaligus hanya
direkomendasikan bila pengobatan
tunggal tidak bekerja dengan baik.[46]
Pada kurang lebih setengahnya, agen
pertama efektif; agen tunggal kedua
membantu sekitar 13% dan yang ketiga
atau dua agen pada waktu bersamaan
mungkin memberi tambahan bantuan
sebanyak 4%.[63] Sekitar 30% dari
penderita tetap mengalami kejang
walaupun sudah mendapatkan
penanganan dengan antikonvulsan.[5]
Terdapat berbagai pengobatan yang
tersedia. Fenitoin, carbamazepin dan
valproat tampaknya memberikan
pengaruh yang sama pada kejang fokal
dan yang umum.[64][65] Pelepasan
terkontrol dari carbamazepin juga
tampaknya bekerja dengan baik
sebagaimana pelepasan langsung
carbamazepin, dan mungkin hanya
memberikan sedikit efek samping.[66] Di
Inggris, carbamazepin atau lamotrigin
direkomendasikan sebagai pengobatan
lini pertama untuk kejang fokal, dengan
levetirasetam dan valproat sebagai lini
kedua atas pertimbangan masalah biaya
dan efek sampingnya.[46] Valproat
direkomendasikan sebagai pengobatan
lini pertama untuk kejang secara umum
dengan lamotrigin sebagai pengobatan
lini kedua.[46] Pada penderita yang tidak
disertai kejang, direkomendasikan
penggunaan etosuksimid atau valproat;
valproat pada umumnya efektif untuk
kejang mioklonik dan kejang tonik atau
atonik.[46] Bila kejang telah terkontrol
dengan baik dengan penaganan tertentu,
biasanya tidak selalu diperlukan
pemeriksaan rutin kadar obat dalam
darah.[46]

Jenis antikonvulsan yang lebih ekonomis


adalah fenobarbital dengan harga sekitar
Rp60.000  satu tahun.[10] The World
Health Organization (Organisasi
Kesehata Dunia) menjadikannya
rekomendasi lini pertama di negara
berkembang dan sangat umum dipakai
di sana.[67][68] Akses untuk
mendapatkannya mungkin sulit karena
sejumlah negara menggolongkannya
sebagai obat dengan pengontrolan.[10]
Efek simpang dari obat ini ini dilaporkan
pada 10 hingga 90% penderita,
tergantung pada cara dan sumber data
yang dikumpulkan.[69] Kebanyakan efek
yang merugikan berhubungan dengan
tingkat dosis yang diberikan dan sifatnya
ringan.[69] Beberapa contoh di antaranya
termasuk perubahan suasana hati, rasa
mengantuk, atau cara berjalan yang tidak
stabil.[69] Sejumlah obat memberikan
efek samping yang tidak berhubungan
dengan dosis seperti misalnya ruam,
keracunan hati, atau penekanan sumsum
tulang.[69] Hingga seperempat penderita
menghentikan pengobatan karena efek
merugikan ini.[69] Sejumlah pengobatan
dihubungkan dengan terjadinya cacat
lahir bila digunakan pada saat hamil.[46]
Valproat juga dikhawatirkan seperti ini,
terutama selama trimester pertama.[70]
Walaupun demikian, pengobatan
dilanjutkan ketika sudah memberikan
respon efektif, karena risiko epilepsi yang
tidak ditangani dengan baik akan lebih
berbahaya dibandingkan dengan risiko
yang ditimbulkan dari pengobatan itu
sendiri.[70]
Menghentikan pengobatan secara
perlahan dapat dilakukan pada penderita
yang tidak mengalami kejang selama dua
hingga empat tahun, namun demikian,
sepertiga dari penderita mengalami
kejang kembali, pada umumnya selama
enam bulan pertama.[46][71] Penghentian
pengobatan dimungkinkan pada kurang
lebih 70% anak-anak dan 60% dewasa.[3]

Bedah

Bedah epilepsi bisa menjadi pilihan bagi


mereka yang menderita kejang fokal
yang tak kunjung membaik setelah
ditempuhnya penanganan-penanganan
lain.[72] Penanganan lain tersebut
mencakup paling tidak uji satu atau dua
jenis pengobatan.[73] Sasaran bedah
adalah kendali tuntas atas kejang yang
dialami oleh pasien[74] dan ini bisa
berhasil terlaksana dalam 60-70%
kasus.[73] Prosedur-prosedur yang lazim
ditempuh meliputi: pemotongan
hipokampus lewat reseksi lobus
temporal anterior, pengangkatan tumor,
dan pengangkatan sebagian
neokorteks.[73] Beberapa prosedur
seperti kalosotomi korpus dilakukan
dalam upaya mengurangi jumlah kejang
alih-alih menyembuhkan kondisi si
pasien.[73] Setelah bedah, pengobatan
sering kali bisa dikurangi secara
perlahan.[73]

Stimulasi saraf bisa menjadi pilihan


alternatif bagi pasien yang tidak bisa
menjalani pembedahan.[46] Ada tiga jenis
yang telah terbukti efektif pada pasien
yang tidak menunjukkan respons
terhadap pengobatan:stimulasi saraf
vagus, stimulasi talamik anterior, dan
stimulasi responsif gelung tertutup.[75]

Lainnya

Suatu diet ketogenik (tinggi lemak,


rendah karbohidrat, cukup protein)
tampaknya bisa mengurangi jumlah
kejang hingga setengahnya pada kira-kira
30-40% pasien anak.[76] Sekitar 10%
berhasil menjalani diet tersebut selama
beberapa tahun, 30% mengalami
konstipasi, dan efek simpang lainnya
merupakan efek yang umum terjadi.[76]
Diet yang tidak sekeras itu lebih mudah
ditoleransi dan bisa jadi juga efektif.[76]
Belum jelas mengapa diet tersebut
manjur.[77] Kegiatan olahraga telah
diajukan sebagai sesuatu yang mungkin
bisa bermanfaat dalam mencegah
terjadinya kejang [78] dan pernyataan
tersebut didukung oleh sejumlah data.[79]

Terapi penghindaran merupakan usaha


untuk meminimalkan atau
menghilangkan pemicu-pemicu.
Contohnya, pada penderita yang peka
terhadap cahaya ada baiknya untuk
menggunakan televisi berlayar kecil,
menghindari permainan video, atau
memakai kacamata gelap.[80] Ada yang
berpendapat bahwa anjing penanggap
kejang, sejenis anjing pelayan, dapat
memprediksi kejang. Akan tetapi, bukti
yang mendukung hal ini belum
memadai.[81] Umpan balik ragawi
berbasis operan berdasarkan
gelombang-gelombang EEG
menunjukkan sejumlah kemanjuran pada
penderita yang tidak merespons
terhadap pengobatan.[82] Akan tetapi,
metode psikologis tidak boleh dijadikan
pengganti pengobatan.[46]

Pengobatan alternatif

Pengobatan alternatif, termasuk


akupunktur,[83] intervensi psikologis,[84]
vitamin,[85] dan yoga,[86] tidak memiliki
bukti yang andal untuk bisa mendukung
penerapannya dalam epilepsi.
Pemakaian kanabis tidak ditopang oleh
bukti tersebut.[87] Melatonin tidak
didukung oleh bukti yang cukup.[88]
Prognosis

Tahun hidup tuna upaya untuk epilepsi per


100.000 penduduk pada 2004.
   no data
   <50
   50-72.5
   72.5-95
   95-117.5
   117.5-140
   140-162.5
   162.5-185
   185-207.5
   207.5-230
   230-252.5
   252.5-275
   >275

Epilepsi tidak dapat disembuhkan, tetapi


pengobatan semata bisa secara efektif
mengendalikan kejang pada sekitar 70%
kasus.[5] Pada penderita kejang umum
lebih dari 80% bisa dikendalikan secara
baik dengan pengobatan, tetapi pada
penderita kejang fokal persentase
tersebut hanya mencapai 50%.[75] Salah
satu prediktor hasil jangka panjang ialah
jumlah kejang yang terjadi dalam enam
bulan pertama.[15] Faktor lain yang
meningkatkan risiko hasil yang buruk
ialah: respons yang rendah terhadap
penanganan awal, kejang umum, riwayat
epilepsi dalam keluarga, masalah
psikiatrik, dan gelombang-gelombang
pada EEG yang mewakili aktivitas
epileptiformik umum.[89] Di dunia
berkembang, 75% penderita tidak
ditangani atau mendapatkan
penanganan yang kurang sesuai.[3] Di
Afrika, 90% tidak mendapat
penanganan.[3] Hal ini sebagian
dikarenakan pengobatan yang sesuai
tidak tersedia atau berbiaya terlalu
tinggi.[3]

Mortalitas

Penderita epilepsi memiliki risiko


kematian lebih tinggi.[90] Peningkatan
risiko ini berkisar 1,6 sampai 4,1 kali
lebih tinggi daripada penduduk biasa[91]
dan sering kali berkaitan dengan:
penyebab dasar kejang, status
epileptikus, bunuh diri, trauma, dan
kematian tak-diharapkan dalam epilepsi
(SUDEP).[90] Kematian akibat status
epileptikus terutama disebabkan oleh
suatu masalah yang mendasari alih-alih
terlewatinya dosis pengobatan.[90] Risiko
bunuh diri meningkat dua sampai enam
kali pada penderita epilepsi.[92][93]
Penyebab hal ini belum diketahui secara
pasti.[92] SUDEP tampaknya sebagian
berkaitan dengan frekuensi kejang tonik-
klonik umum[94] dan menjadi penyebab
dari kurang lebih 15% kematian terkait
epilepsi.[89] Cara menurunkan risiko ini
belum diketahui secara pasti.[94]
Peningkatan mortalitas tertinggi akibat
epilepsi terjadi di kalangan lansia.[91]
Mereka yang menderita epilepsi karena
sebab yang tidak diketahui hanya
mengalami kenaikan risiko yang kecil.[91]
Di Inggris diperkirakan 40-60% kematian
kemungkinan bisa dicegah.[15] Di dunia
berkembang, banyak kasus kematian
diakibatkan oleh epilepsi yang tidak
ditangani yang lantas berujung dengan
jatuhnya penderita atau status
epileptikus.[10]

Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu gangguan
saraf serius yang paling umum terjadi[95]
yang mempengaruhi sekitar 65 juta
orang di seluruh dunia.[6] Ia
mempengaruhi 1% penduduk pada usia
20 tahun dan 3% penduduk pada usia 75
tahun.[8] Ia lebih jamak terjadi pada laki-
laki daripada perempuan, tetapi secara
menyeluruh selisihnya cukup kecil.[10][36]
Sebagian besar penderita (80%) tinggal
di dunia berkembang.[3]

Angka penderita epilepsi aktif saat ini


berkisar pada 5–10 per 1.000; epilepsi
aktif diartikan sebagai penderita epilepsi
yang pernah mengalami kejang paling
tidak satu kali dalam lima tahun
terakhir.[36][96] Epilepsi berawal setiap
tahun dalam 40–70 per 100.000 di
negara maju dan 80–140 per 100.000 di
negara berkembang.[3] Kemiskinan
merupakan sebuah risiko dan mencakup
baik bertempat asal dari sebuah negara
yang miskin maupun berstatus sebagai
orang miskin relatif terhadap orang lain
di dalam negara yang sama.[10] Di negara
maju, epilepsi paling umum bermula
pada orang muda atau orang lansia.[10] Di
negara berkembang, awal epilepsi lebih
umum terjadi pada anak-anak yang
berusia lebih tua dan pada orang dewasa
muda karena lebih tingginya angka
trauma dan penyakit menular.[10] Di
negara maju, jumlah kasus per tahun
telah mengalami penurunan pada anak-
anak dan peningkatan pada orang lansia
antara tahun 1970-an dan 2003.[96] Hal
ini sebagian disumbang oleh kesintasan
pasca-stroke yang lebih baik pada orang
lansia.[36]

Sejarah
Rekam medis tertua menunjukkan bahwa
epilepsi telah mempengaruhi manusia
semenjak awal mula sejarah tertulis.[97]
Sepanjang sejarah kuno, gangguan
tersebut diduga sebagai kondisi
kerohanian.[97] Deskripsi mengenai
kejang epilepsi yang tertua di dunia
tercantum pada naskah dalam Akkadia
(suatu bahasa yang dipakai di
Mesopotamia kuno) yang ditulis sekitar
2000 SM.[1] Orang yang dideskripsikan
dalam naskah tersebut didiagnosis
berada dalam pengaruh dewa Bulan, dan
oleh karena itu diselenggarakanlah
upacara eksorsis(pengusiran roh
jahat).[1] Dalam Hukum Hammurabi
(sekitar 1790 SM), kejang epilepsi
disebut sebagai alasan sah seorang
budak belian boleh dikembalikan dengan
ganti rugi,[1] lalu Papirus Edwin Smith
(sekitar 1700 SM) mendeskripsikan
kasus-kasus penderita konvulsi
epilepsi.[1]

Catatan terperinci tertua yang diketahui


mengenai gangguan itu sendiri
tercantum dalam Sakikku, suatu naskah
medis kuneiformis Babylonia yang
berasal dari zaman 1067 – 1046 SM.[97]
Naskah tersebut menyebut tanda-tanda
dan gejala-gejala, penanganan rinci dan
kemungkinan hasil yang diperoleh,[1] dan
mendeskripsikan banyak ciri dari
berbagai jenis kejang.[97] Karena orang
Babylonia tidak mempunyai pemahaman
biomedis mengenai sifat penyakit ini,
mereka pun mempersalahkan roh-roh
jahat sebagai penyebab terjadinya kejang
dan berupaya menangani kondisi
tersebut dengan cara-cara kerohanian.[97]
Sekitar 900 SM, Punarvasu Atreya
mendeskripsikan epilepsi sebagai
kondisi hilang kesadaran;[98] definisi
tersebut dipakai dalam naskah Ayurveda
Charaka Samhita (sekitar 400 SM).[99]

Hippocrates, ukiran abad ke-17 oleh Peter Paul


Rubens suatu patung dada antik.

Bangsa Yunani kuno mempunyai


pandangan kontradiktif tentang penyakit
ini. Mereka menganggap epilepsi
sebagai suatu bentuk kerasukan spiritual,
tetapi juga mengaitkan kondisi ini
dengan kejeniusan dan keilahian. Salah
satu julukan yang diberikan pada
penyakit ini adalah penyakit keramat.
Epilepsi muncul dalam mitologi Yunani:
dikaitkan dengan dewi Bulan Selene dan
Artemis, yang menyerang orang yang
mengganggu mereka. Bangsa Yunani
menduga tokoh-tokoh penting seperti
Julius Caesar dan Hercules menderita
penyakit ini.[1] Perkecualian yang patut
dicatat terhadap pandangan spiritual dan
ilahi ini adalah dari kelompok
Hippocrates. Dalam abad kelima SM,
Hippocrates menolak pemikiran bahwa
penyakit ini disebabkan oleh roh. Dalam
karya monumentalnya On the Sacred
Disease, dia mengusulkan bahwa epilepsi
bukan berasal dari ilahi melainkan
masalah otak yang dapat dirawat secara
medis.[1][97] Dia menuduh orang-orang
yang menghubungkan penyebab keramat
terhadap penyakit ini menyebarkan
kebodohan dengan mempercayai
tahyul.[1] Hippocrates mengajukan bahwa
keturunan merupakan sebab penting,
menjelaskan hasil yang lebih buruk jika
penyakit ini muncul pada usia muda, dan
membuat catatan tentang karakteristik
fisik serta rasa malu secara sosial yang
terkait dengan penyakit ini.[1] Daripada
menyebutnya sebagai penyakit keramat,
dia menggunakan istilah penyakit hebat,
mengawali bangkitnya istilah
moderngrand mal, yang digunakan untuk
epilepsi tergeneralisasi.[1] Walaupun
karyanya merinci asal-usul fisik penyakit
ini, pandangannya tidak diterima pada
masa itu.[97] Roh jahat tetap disalahkan
hingga setidaknya pada abad ke-17.[97]
Pada banyak kebudayaan, penderita
epilepsi telah distigmatisasi, dijauhkan,
bahkan dipenjarakan; dalam Salpêtrière,
tanah kelahiran neurologi (ilmu saraf)
modern, Jean-Martin Charcot
menemukan penderita epilepsi
ditempatkan bersama penderita sakit
jiwa, yang menderita sifilis kronis, dan
gila secara kriminal.[100] Pada masa
Roma kuno, epilepsi dikenal sebagai
Morbus Comitialis ('penyakit aula
pertemuan') dan dianggap sebagai
kutukan para dewa. Di Italia bagian Utara,
epilepsi secara tradisional pernah dikenal
sebagai penyakit Santo Valentine.[101]

Pada pertengahan 1800-an obat anti-


kejang efektif yang pertama, bromida,
diperkenalkan.[69] Perawatan modern
pertama, fenobarbital, dikembangkan
pada 1912, dengan fenitoin mulai
digunakan pada 1938.[102]

Masyarakat dan budaya


Stigma
Stigma umum dialami oleh penderita
epilepsi di seluruh dunia.[103] Hal ini
dapat mempengaruhi orang secara
ekonomi, sosial, dan budaya.[103] Di India
dan Cina, epilepsi dapat digunakan
sebagai penentu untuk menolak
pernikahan.[3] Orang-orang di daerah
tertentu masih percaya bahwa penderita
epilepsi itu terkutuk.[10] Di Tanzania,
seperti di bagian lain Afrika, epilepsi
dihubungkan dengan kerasukan roh
jahat, tenung, atau keracunan serta oleh
banyak orang dipercayai dapat
menular,[100] yang tidak ada buktinya.[10]
Sebelum 1970 di Britania Raya ada
hukum yang melarang penderita epilepsi
untuk menikah.[3] Stigma yang ada dapat
membuat penderita epilepsi menyangkal
jika mereka pernah mengalami kejang.[36]

Ekonomi

Kejang menyebabkan biaya ekonomi


secara langsung sebesar sekitar satu
miliar dolar di Amerika Serikat.[11]
Epilepsi menimbulkan biaya ekonomi di
Eropa sekitar 15,5 miliar Euro pada tahun
2004.[15] Di India biaya karena epilepsi
diperkirakan mencapai sekitar USD
1,7 milyar atau 0,5% dari GDP.[3] Itu
disebabkan oleh sekitar 1% kunjungan
bagian darurat (2% untuk bagian darurat
anak) di Amerika Serikat.[104]

Kendaraan

Penderita epilepsi memiliki risiko dua kali


lebih besar untuk terlibat dalam tabrakan
kendaraan bermotor sehingga di
berbagai belahan dunia mereka dilarang
mengemudi atau hanya diizinkan untuk
mengemudi jika beberapa syarat
terpenuhi.[13] Di beberapa tempat, dokter
diwajibkan oleh hukum untuk
melaporkan ke badan penerbit izin jika
seseorang menderita kejang sedangkan
di tempat lain dokter diminta untuk
menganjurkan yang bersangkutan untuk
melaporkan sendiri kondisinya.[13]
Negara yang mewajibkan dokter untuk
melaporkan termasuk: Swedia, Austria,
Denmark, dan Spanyol.[13] Negara yang
mewajibkan penderitanya untuk
melaporkan termasuk: Britania Raya, dan
Selandia Baru dan dokter dapat
melaporkan jika menganggap yang
bersangkutan belum melaporkannya.[13]
Di Kanada, Amerika Serikat, dan Australia
persyaratan untuk melaporkan berbeda-
beda tergantung provinsi atau negara
bagiannya.[13] Jika kejangnya terkontrol
dengan baik pada umumnya orang
merasa cukup beralasan untuk diizinkan
mengemudi.[105] Jumlah waktu bebas
kejang untuk orang tertentu yang
dipersyaratkan sebelum mereka
diizinkan mengemudi berbeda
tergantung negaranya.[105] Banyak
negara yang mempersyaratkan satu atau
tiga tahun tanpa kejang.[105] Di Amerika
Serikat waktu tanpa kejang yang
dibutuhkan bergantung pada negara
bagiannya dan berkisar antara tiga bulan
hingga satu tahun.[105]

Para penderita epilepsi atau kejang


biasanya ditolak untuk mendapatkan izin
pilot.[106] Di Kanada jika seseorang
pernah mengalami tidak lebih dari satu
kali kejang, mereka dapat
dipertimbangkan setelah lima tahun
untuk mendapatkan izin terbatas jika
semua tes lainnya normal.[107] Para
penderita konvulsi dan kejang yang
berhubungan dengan obat dapat pula
dipertimbangkan.[107] Di Amerika Serikat,
Federal Aviation Administration tidak
mengizinkan penderita epilepsi
mendapatkan izin pilot komersial.[108]
Jarang dijumpai, pengecualian dapat
diberikan kepada orang yang pernah
kejang terisolasi atau konvulsi dan tetap
bebas kejang hingga memasuki usia
dewasa tanpa pengobatan.[109] Di
Britania Raya, izin pilot pribadi nasional
penuh membutuhkan standar yang sama
seperti izin pengemudi profesional.[110]
Ini mempersyaratkan sepuluh tahun
bebas kejang tanpa pengobatan.[111] Bagi
yang tidak memenuhi persyaratan ini
bisa mendapatkan izin terbatas jika
sudah bebas dari kejang selama lima
tahun.[110]

Organisasi pendukung

Terdapat sejumlah organisasi nirlaba


yang menyediakan dukungan bagi orang
dan keluarga yang terdampak oleh
epilepsi. Di Britania Raya ini termasuk
Dewan Epilepsi Gabungan dari Britania
Raya dan Irlandia.[46] Purple day dibentuk
pada tahun 2008 untuk meningkatkan
kesadaran mengenai epilepsi dan
muncul pada 28 Maret.[112] Usaha lain
untuk meningkatkan pengetahuan
termasuk kampanye "Out of the
Shadows", usaha gabungan yang
diadakan oleh World Health Organization,
International League Against Epilepsy,
dan International Bureau for Epilepsy.[3]

Penelitian
Prediksi kejang merujuk pada usaha
untuk memperkirakan kejang epileptik
berdasarkan EEG sebelum hal itu
terjadi.[113] Pada 2011, belum ada
pengembangan mekanisme efektif untuk
meramalkan kejang.[113] Kindling, yaitu
paparan berulang terhadap kejadian yang
dapat menyebabkan kejang pada
akhirnya membuat kejang timbul lebih
mudah, telah digunakan untuk
menciptakan model binatang dari
epilepsi.[114]

Terapi gen telah dipelajari pada jenis


epilepsi tertentu.[115] Pengobatan yang
mengubah fungsi kekebalan tubuh,
seperti immunoglobulin intravena, kurang
didukung dengan bukti.[116] Bedah radio
stereotaktik non-invasif, pada 2012, saat
ini tengah diperbandingkan dengan
pembedahan standar untuk jenis epilepsi
tertentu.[117]

Binatang lain
Epilepsi terjadi pada sejumlah binatang
lain termasuk anjing dan kucing serta
merupakan kelainan otak yang paling
umum dijumpai pada anjing.[118] Kelainan
ini biasanya dirawat dengan
antikonvulsan seperti fenobarbital atau
bromida pada anjing dan fenobarbital
pada kucing.[119] Sementara diagnosis
kejang tergeneralisasi pada kuda cukup
mudah ditegakkan, akan lebih sulit untuk
menegakkan diagnosis kejang yang tidak
tergeneralisasi dan EEG mungkin dapat
membantu.[120]

Referensi
1. ^ a b c d e f g h i j k Magiorkinis E,
Kalliopi S, Diamantis A (January
2010). "Hallmarks in the history of
epilepsy: epilepsy in antiquity".
Epilepsy & behavior : E&B. 17 (1):
103–108.
doi:10.1016/j.yebeh.2009.10.023 .
PMID 19963440 .
2. ^ a b Chang BS, Lowenstein DH
(2003). "Epilepsi". N. Engl. J. Med.
349 (13): 1257–66.
doi:10.1056/NEJMra022308 .
PMID 14507951 .
3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s
"Epilepsi" . Fact Sheets. World Health
Organization. October 2012. Diakses
tanggal January 24, 2013.
4. ^ a b Fisher R, van Emde Boas W,
Blume W, Elger C, Genton P, Lee P,
Engel J (2005). "Epileptic seizures
and epilepsi: definitions proposed by
the International League Against
Epilepsi (ILAE) and the International
Bureau for Epilepsi (IBE)" . Epilepsia.
46 (4): 470–2. doi:10.1111/j.0013-
9580.2005.66104.x .
PMID 15816939 .
5. ^ a b c Eadie, MJ (December 2012).
"Shortcomings in the current
treatment of epilepsi". Expert review
of neurotherapeutics. 12 (12): 1419–
27. doi:10.1586/ern.12.129 .
PMID 23237349 .
6. ^ a b c d e f Thurman, DJ (September
2011). "Standards for epidemiologic
studies and surveillance of epilepsy".
Epilepsia. 52 Suppl 7: 2–26.
doi:10.1111/j.1528-
1167.2011.03121.x .
PMID 21899536 .
7. ^ Brodie, MJ (November 2009).
"Epilepsi in later life". Lancet
neurology. 8 (11): 1019–30.
doi:10.1016/S1474-4422(09)70240-
6 . PMID 19800848 .
8. ^ a b Holmes, Thomas R. Browne,
Gregory L. (2008). Handbook of
epilepsi (edisi ke-4th). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. hlm. 7.
ISBN 978-0-7817-7397-3.
9. ^ Wyllie's treatment of epilepsi :
principles and practice (edisi ke-
5th). Philadelphia: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins.
2010. ISBN 978-1-58255-937-7.
10. ^ a b c d e f g h i j k l Newton, CR (29
September 2012). "Epilepsy in poor
regions of the world". Lancet. 380
(9848): 1193–201.
doi:10.1016/S0140-6736(12)61381-
6 . PMID 23021288 .
11. ^ a b c d e f Wilden, JA (15 August
2012). "Evaluation of first nonfebrile
seizures". American family physician.
86 (4): 334–40. PMID 22963022 .
12. ^ Berg, AT (2008). "Risk of recurrence
after a first unprovoked seizure".
Epilepsia. 49 Suppl 1: 13–8.
doi:10.1111/j.1528-
1167.2008.01444.x .
PMID 18184149 .
13. ^ a b c d e f L Devlin, A (December
2012). "Epilepsy and driving: current
status of research". Epilepsy
research. 102 (3): 135–52.
doi:10.1016/j.eplepsyres.2012.08.0
03 . PMID 22981339 .
14. ^ a b Duncan, JS (1 April 2006). "Adult
epilepsi" (PDF). Lancet. 367 (9516):
1087–100. doi:10.1016/S0140-
6736(06)68477-8 . PMID 16581409 .
15. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v
National Institute for Health and
Clinical Excellence (January 2012).
"Chapter 1: Introduction". The
Epilepsies: The diagnosis and
management of the epilepsies in
adults and children in primary and
secondary care (PDF). National
Clinical Guideline Centre. hlm. 21–
28.
16. ^ a b c d e f g h i j k l m Hammer, edited
by Stephen J. McPhee, Gary D.
(2010). "7". Pathophysiology of
disease : an introduction to clinical
medicine (edisi ke-6th ed.). New
York: McGraw-Hill Medical. ISBN 978-
0-07-162167-0.
17. ^ Hughes, JR (August 2009).
"Absence seizures: a review of recent
reports with new concepts". Epilepsi
& behavior : E&B. 15 (4): 404–12.
doi:10.1016/j.yebeh.2009.06.007 .
PMID 19632158 .
18. ^ a b c d Shearer, Peter. "Seizures and
Status Epilepticus: Diagnosis and
Management in the Emergency
Department" . Emergency Medicine
Practice.
19. ^ a b c d Bradley, Walter G. (2012).
"67". Bradley's neurology in clinical
practice (edisi ke-6th ed.).
Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.
ISBN 978-1-4377-0434-1.
20. ^ a b c d e f g h i j k l National Institute
for Health and Clinical Excellence
(January 2012). "Chapter 9:
Classification of seizures and
epilepsy syndromes". The Epilepsies:
The diagnosis and management of
the epilepsies in adults and children
in primary and secondary care (PDF).
National Clinical Guideline Centre.
hlm. 119–129.
21. ^ a b c Engel, Jerome (2008).
Epilepsi : a comprehensive textbook
(edisi ke-2nd ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer Health/Lippincott
Williams & Wilkins. hlm. 2797.
ISBN 978-0-7817-5777-5.
22. ^ a b Simon, David A. Greenberg,
Michael J. Aminoff, Roger P. (2012).
"12". Clinical neurology (edisi ke-8th
ed.). New York: McGraw-Hill Medical.
ISBN 978-0-07-175905-2.
23. ^ a b Steven C. Schachter, ed. (2008).
Behavioral aspects of epilepsi :
principles and practice (edisi ke-
[Online-Ausg.].). New York: Demos.
hlm. 125. ISBN 978-1-933864-04-4.
24. ^ Xue, LY (March 2006). "Reflex
seizures and reflex epilepsi".
American journal of
electroneurodiagnostic technology.
46 (1): 39–48. PMID 16605171 .
25. ^ Malow, BA (November 2005).
"Sleep and epilepsi". Neurologic
Clinics. 23 (4): 1127–47.
doi:10.1016/j.ncl.2005.07.002 .
PMID 16243619 .
26. ^ Tinuper, P (August 2007).
"Movement disorders in sleep:
guidelines for differentiating epileptic
from non-epileptic motor phenomena
arising from sleep". Sleep medicine
reviews. 11 (4): 255–67.
doi:10.1016/j.smrv.2007.01.001 .
PMID 17379548 .
27. ^ Holmes, Thomas R. (2008).
Handbook of epilepsi (edisi ke-4th
ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. hlm. 34.
ISBN 978-0-7817-7397-3.
28. ^ a b c Panayiotopoulos, CP (2010). A
clinical guide to epileptic syndromes
and their treatment based on the
ILAE classifications and practice
parameter guidelines (edisi ke-Rev.
2nd ed.). [London]: Springer.
hlm. 445. ISBN 978-1-84628-644-5.
29. ^ James W. Wheless, ed. (2009).
Advanced therapy in epilepsi .
Shelton, Conn.: People's Medical
Pub. House. hlm. 443. ISBN 978-1-
60795-004-2.
30. ^ Larner, Andrew J. (2010). A
dictionary of neurological signs
(edisi ke-3rd ed.). New York: Springer.
hlm. 348. ISBN 978-1-4419-7095-4.
31. ^ Stefan, Hermann (2012). Epilepsi
Part I: Basic Principles and Diagnosis
E-Book: Handbook of Clinical
Neurology (edisi ke-Volume 107 of
Handbook of Clinical Neurology).
Newnes. hlm. 471. ISBN 978-0-444-
53505-4.
32. ^ Plioplys S, Dunn DW, Caplan R
(2007). "10-year research update
review: psychiatric problems in
children with epilepsi". J Am Acad
Child Adolesc Psychiatry. 46 (11):
1389–402.
doi:10.1097/chi.0b013e31815597fc .
PMID 18049289 .
33. ^ Reilly CJ (May–June 2011).
"Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) in Childhood
Epilepsi". Research in Developmental
Disabilities: A Multidisciplinary
Journal. 32 (3): 883–93.
doi:10.1016/j.ridd.2011.01.019 .
PMID 21310586 .
34. ^ Levisohn PM (2007). "The autism-
epilepsi connection". Epilepsia. 48
(Suppl 9): 33–5. doi:10.1111/j.1528-
1167.2007.01399.x .
PMID 18047599 .
35. ^ Berg, AT (April 2010). "Revised
terminology and concepts for
organization of seizures and
epilepsies: report of the ILAE
Commission on Classification and
Terminology, 2005–2009". Epilepsia.
51 (4): 676–85. doi:10.1111/j.1528-
1167.2010.02522.x .
PMID 20196795 .
36. ^ a b c d e f g Neligan, A (2012). "The
epidemiology of the epilepsies".
Handbook of clinical neurology. 107:
113–33. doi:10.1016/B978-0-444-
52898-8.00006-9 . PMID 22938966 .
37. ^ a b c d e f Pandolfo, M. (Nov 2011).
"Genetics of epilepsy". Semin Neurol.
31 (5): 506–18. doi:10.1055/s-0031-
1299789 . PMID 22266888 .
38. ^ Dhavendra Kumar, ed. (2008).
Genomics and clinical medicine .
Oxford: Oxford University Press.
hlm. 279. ISBN 978-0-19-972005-7.
39. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Bhalla, D.;
Godet, B.; Druet-Cabanac, M.; Preux,
PM. (Jun 2011). "Etiologies of
epilepsy: a comprehensive review".
Expert Rev Neurother. 11 (6): 861–
76. doi:10.1586/ern.11.51 .
PMID 21651333 .
40. ^ Simon D. Shorvon (2011). The
Causes of Epilepsy: Common and
Uncommon Causes in Adults and
Children . Cambridge University
Press. hlm. 467. ISBN 978-1-139-
49578-3.
41. ^ Sellner, J (2012 Oct). "Seizures and
epilepsy in herpes simplex virus
encephalitis: current concepts and
future directions of pathogenesis
and management". Journal of
neurology. 259 (10): 2019–30.
doi:10.1007/s00415-012-6494-6 .
PMID 22527234 .
42. ^ Somjen, George G. (2004). Ions in
the Brain Normal Function, Seizures,
and Stroke . New York: Oxford
University Press. hlm. 167. ISBN 978-
0-19-803459-9.
43. ^ a b Goldberg, EM (May 2013).
"Mechanisms of epileptogenesis: a
convergence on neural circuit
dysfunction". Nature reviews.
Neuroscience. 14 (5): 337–49.
doi:10.1038/nrn3482 .
PMID 23595016 .
44. ^ Oby, E (November 2006). "The
blood-brain barrier and epilepsy".
Epilepsia. 47 (11): 1761–74.
doi:10.1111/j.1528-
1167.2006.00817.x .
PMID 17116015 .
45. ^ a b Jerome Engel, Jr., Timothy A.
Pedley, ed. (2008). Epilepsy : a
comprehensive textbook (edisi ke-
2nd ed.). Philadelphia: Wolters
Kluwer Health/Lippincott Williams &
Wilkins. hlm. 483. ISBN 978-0-7817-
5777-5.
46. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y
z aa National Institute for Health and
Clinical Excellence (January 2012).
"Chapter 4: Guidance". The
Epilepsies: The diagnosis and
management of the epilepsies in
adults and children in primary and
secondary care (PDF). National
Clinical Guideline Centre. hlm. 57–
83.
47. ^ "Global Campaign against Epilepsy:
Out of the Shadows" . WHO. Diakses
tanggal 6 January 2014.
48. ^ Robert S. Fisher, Walter van Emde
Boas, Warren Blume, Christian Elger,
Pierre Genton, Phillip Lee & Jerome
Jr Engel (April 2005). "Epileptic
seizures and epilepsy: definitions
proposed by the International League
Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy
(IBE)". Epilepsia. 46 (4): 470–472.
doi:10.1111/j.0013-
9580.2005.66104.x .
PMID 15816939 .
49. ^ Panayiotopoulos, CP (December
2011). "The new ILAE report on
terminology and concepts for
organization of epileptic seizures: a
clinician's critical view and
contribution". Epilepsia. 52 (12):
2155–60. doi:10.1111/j.1528-
1167.2011.03288.x .
PMID 22004554 .
50. ^ Simon D. Shorvon (2004). The
treatment of epilepsy (edisi ke-2nd).
Malden, Mass.: Blackwell Pub.
ISBN 978-0-632-06046-7.
51. ^ Wallace, ed. by Sheila J. (2004).
Epilepsy in children (edisi ke-2nd
ed). London: Arnold. hlm. 354.
ISBN 978-0-340-80814-6.
52. ^ Luef, G (October 2010). "Hormonal
alterations following seizures".
Epilepsy & behavior : E&B. 19 (2):
131–3.
doi:10.1016/j.yebeh.2010.06.026 .
PMID 20696621 .
53. ^ a b Ahmad S, Beckett MW (2004).
"Value of serum prolactin in the
management of syncope" .
Emergency medicine journal : EMJ.
21 (2): e3.
doi:10.1136/emj.2003.008870 .
PMC 1726305  . PMID 14988379 .
54. ^ Shukla G, Bhatia M, Vivekanandhan
S; et al. (2004). "Serum prolactin
levels for differentiation of
nonepileptic versus true seizures:
limited utility". Epilepsy & behavior :
E&B. 5 (4): 517–21.
doi:10.1016/j.yebeh.2004.03.004 .
PMID 15256189 .
55. ^ Chen DK, So YT, Fisher RS (2005).
"Use of serum prolactin in diagnosing
epileptic seizures: report of the
Therapeutics and Technology
Assessment Subcommittee of the
American Academy of Neurology".
Neurology. 65 (5): 668–75.
doi:10.1212/01.wnl.0000178391.969
57.d0 . PMID 16157897 .
56. ^ Brodtkorb, E (2013). "Common
imitators of epilepsy". Acta
neurologica Scandinavica.
Supplementum (196): 5–10.
doi:10.1111/ane.12043 .
PMID 23190285 .
57. ^ a b c John A. Marx, ed. (2010).
Rosen's emergency medicine :
concepts and clinical practice (edisi
ke-7th ed.). Philadelphia:
Mosby/Elsevier. hlm. 2228.
ISBN 978-0-323-05472-0.
58. ^ a b Jerome, Engel (2013). Seizures
and epilepsy (edisi ke-2nd ed.). New
York: Oxford University Press.
hlm. 462. ISBN 9780195328547.
59. ^ a b c d Michael, GE.; O'Connor, RE.
(Feb 2011). "The diagnosis and
management of seizures and status
epilepticus in the prehospital
setting". Emerg Med Clin North Am.
29 (1): 29–39.
doi:10.1016/j.emc.2010.08.003 .
PMID 21109100 .
60. ^ James W. Wheless, James
Willmore, Roger A. Brumback (2009).
Advanced therapy in epilepsy .
Shelton, Conn.: People's Medical
Pub. House. hlm. 144.
ISBN 9781607950042.
61. ^ a b c National Institute for Health
and Clinical Excellence (January
2012). "Chapter 3: Key priorities for
implementation". The Epilepsies: The
diagnosis and management of the
epilepsies in adults and children in
primary and secondary care (PDF).
National Clinical Guideline Centre.
hlm. 55–56.
62. ^ Elaine Wyllie (2012). Wyllie's
Treatment of Epilepsy: Principles and
Practice . Lippincott Williams &
Wilkins. hlm. 187. ISBN 978-1-4511-
5348-4.
63. ^ Steven R. Flanagan, Herb Zaretsky,
Alex Moroz,, ed. (2010). Medical
aspects of disability; a handbook for
the rehabilitation professional (edisi
ke-4th ed.). New York: Springer.
hlm. 182. ISBN 978-0-8261-2784-6.
64. ^ Nolan, SJ (23 August 2013).
"Phenytoin versus valproate
monotherapy for partial onset
seizures and generalised onset tonic-
clonic seizures". The Cochrane
database of systematic reviews. 8:
CD001769.
doi:10.1002/14651858.CD001769.p
ub2 . PMID 23970302 .
65. ^ Tudur Smith, C (2002).
"Carbamazepine versus phenytoin
monotherapy for epilepsy". The
Cochrane database of systematic
reviews (2): CD001911.
doi:10.1002/14651858.CD001911 .
PMID 12076427 .
66. ^ Powell, G (20 January 2010).
"Immediate-release versus
controlled-release carbamazepine in
the treatment of epilepsy". The
Cochrane database of systematic
reviews (1): CD007124.
doi:10.1002/14651858.CD007124.p
ub2 . PMID 20091617 .
67. ^ Ilangaratne, NB (2012 Dec 1).
"Phenobarbital: missing in action".
Bulletin of the World Health
Organization. 90 (12): 871–871A.
doi:10.2471/BLT.12.113183 .
PMID 23284189 .
68. ^ Moshé, edited by Simon Shorvon,
Emilio Perucca, Jerome Engel Jr. ;
foreword by Solomon (2009). The
treatment of epilepsy (edisi ke-3rd
ed.). Chichester, UK: Wiley-Blackwell.
hlm. 587. ISBN 9781444316674.
69. ^ a b c d e f Perucca, P (September
2012). "Adverse effects of
antiepileptic drugs". Lancet
neurology. 11 (9): 792–802.
doi:10.1016/S1474-4422(12)70153-
9 . PMID 22832500 .
70. ^ a b Kamyar, M.; Varner, M. (Jun
2013). "Epilepsy in pregnancy". Clin
Obstet Gynecol. 56 (2): 330–41.
doi:10.1097/GRF.0b013e31828f243
6 . PMID 23563876 .
71. ^ Lawrence S. Neinstein, ed. (2008).
Adolescent health care : a practical
guide (edisi ke-5th ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. hlm. 335. ISBN 978-0-7817-
9256-1.
72. ^ Duncan, JS (1 April 2006). "Adult
epilepsy". Lancet. 367 (9516): 1087–
100. doi:10.1016/S0140-
6736(06)68477-8 . PMID 16581409 .
73. ^ a b c d e Duncan, JS (April 2007).
"Epilepsy surgery". Clinical medicine
(London, England). 7 (2): 137–42.
PMID 17491501 .
74. ^ Birbeck GL, Hays RD, Cui X, Vickrey
BG. (2002). "Seizure reduction and
quality of life improvements in
people with epilepsy". Epilepsia. 43
(5): 535–538. doi:10.1046/j.1528-
1157.2002.32201.x .
PMID 12027916 .
75. ^ a b Bergey, GK (June 2013).
"Neurostimulation in the treatment of
epilepsy". Experimental neurology.
244: 87–95.
doi:10.1016/j.expneurol.2013.04.00
4 . PMID 23583414 .
76. ^ a b c Levy, RG (14 March 2012).
"Ketogenic diet and other dietary
treatments for epilepsy" . The
Cochrane database of systematic
reviews. 3: CD001903.
doi:10.1002/14651858.CD001903.p
ub2 . PMID 22419282 .
77. ^ [editor], Bernard L. Maria (2009).
Current management in child
neurology (edisi ke-4th ed.).
Hamilton, Ont.: BC Decker. hlm. 180.
ISBN 978-1-60795-000-4.
78. ^ Arida, RM (March 2009). "Is
physical activity beneficial for
recovery in temporal lobe epilepsy?
Evidences from animal studies".
Neuroscience and biobehavioral
reviews. 33 (3): 422–31.
doi:10.1016/j.neubiorev.2008.11.00
2 . PMID 19059282 .
79. ^ Arida, RM (2008). "Physical activity
and epilepsy: proven and predicted
benefits". Sports medicine (Auckland,
N.Z.). 38 (7): 607–15.
PMID 18557661 .
80. ^ Verrotti, A (November 2005).
"Human photosensitivity: from
pathophysiology to treatment".
European journal of neurology : the
official journal of the European
Federation of Neurological Societies.
12 (11): 828–41. doi:10.1111/j.1468-
1331.2005.01085.x .
PMID 16241971 .
81. ^ Doherty, MJ (23 January 2007).
"Wag the dog: skepticism on seizure
alert canines". Neurology. 68 (4):
309.
doi:10.1212/01.wnl.0000252369.829
56.a3 . PMID 17242343 .
82. ^ Tan, G (July 2009). "Meta-analysis
of EEG biofeedback in treating
epilepsy". Clinical EEG and
neuroscience : official journal of the
EEG and Clinical Neuroscience
Society (ENCS). 40 (3): 173–9.
PMID 19715180 .
83. ^ Cheuk, DK (8 October 2008).
"Acupuncture for epilepsy". The
Cochrane database of systematic
reviews (4): CD005062.
doi:10.1002/14651858.CD005062.p
ub3 . PMID 18843676 .
84. ^ Ramaratnam, S (16 July 2008).
"Psychological treatments for
epilepsy". The Cochrane database of
systematic reviews (3): CD002029.
doi:10.1002/14651858.CD002029.p
ub3 . PMID 18646083 .
85. ^ Ranganathan, LN (18 April 2005).
"Vitamins for epilepsy". The
Cochrane database of systematic
reviews (2): CD004304.
doi:10.1002/14651858.CD004304.p
ub2 . PMID 15846704 .
86. ^ Ramaratnam, S (2000). "Yoga for
epilepsy". The Cochrane database of
systematic reviews (3): CD001524.
doi:10.1002/14651858.CD001524 .
PMID 10908505 .
87. ^ Gloss, D (13 June 2012).
"Cannabinoids for epilepsy". The
Cochrane database of systematic
reviews. 6: CD009270.
doi:10.1002/14651858.CD009270.p
ub2 . PMID 22696383 .
88. ^ Brigo, F (13 June 2012). "Melatonin
as add-on treatment for epilepsy".
The Cochrane database of
systematic reviews. 6: CD006967.
doi:10.1002/14651858.CD006967.p
ub2 . PMID 22696363 .
89. ^ a b Kwan, Patrick (2012). Fast
facts : epilepsy (edisi ke-5th ed.).
Abingdon, Oxford, UK: Health Press.
hlm. 10. ISBN 1-908541-12-1.
90. ^ a b c Hitiris N, Mohanraj R, Norrie J,
Brodie MJ (2007). "Mortality in
epilepsy". Epilepsy Behavior. 10 (3):
363–376.
doi:10.1016/j.yebeh.2007.01.005 .
PMID 17337248 .
91. ^ a b c Moshé, edited by Simon
Shorvon, Emilio Perucca, Jerome
Engel Jr. ; foreword by Solomon
(2009). The treatment of epilepsy
(edisi ke-3rd ed.). Chichester, UK:
Wiley-Blackwell. hlm. 28. ISBN 978-1-
4443-1667-4.
92. ^ a b Bagary, M (April 2011). "Epilepsy,
antiepileptic drugs and suicidality".
Current opinion in neurology. 24 (2):
177–82.
doi:10.1097/WCO.0b013e32834453
3e . PMID 21293270 .
93. ^ Mula, M (August 2013). "Suicide
risk in people with epilepsy taking
antiepileptic drugs". Bipolar
disorders. 15 (5): 622–7.
doi:10.1111/bdi.12091 .
PMID 23755740 .
94. ^ a b Ryvlin, P (May 2013).
"Prevention of sudden unexpected
death in epilepsy: a realistic goal?".
Epilepsia. 54 Suppl 2: 23–8.
doi:10.1111/epi.12180 .
PMID 23646967 .
95. ^ Hirtz D, Thurman DJ, Gwinn-Hardy
K, Mohamed M, Chaudhuri AR,
Zalutsky R (2007-01-30). "How
common are the 'common'
neurologic disorders?". Neurology.
68 (5): 326–37.
doi:10.1212/01.wnl.0000252807.381
24.a3 . PMID 17261678 .
96. ^ a b Sander JW (2003). "The
epidemiology of epilepsy revisited".
Current Opinion in Neurology. 16 (2):
165–70. doi:10.1097/00019052-
200304000-00008 .
PMID 12644744 .
97. ^ a b c d e f g h Saraceno, B; Avanzini,
G; Lee, P, ed. (2005). Atlas: Epilepsy
Care in the World (PDF). World
Health Organization. ISBN 92-4-
156303-6. Diakses tanggal 20
December 2013.
98. ^ Mervyn J. Eadie; Peter F. Bladin
(2001). A Disease Once Sacred: A
History of the Medical Understanding
of Epilepsy . John Libbey Eurotext.
ISBN 978-0-86196-607-3.
99. ^ "Epilepsy: An historical overview" .
World Health Organization. Feb 2001.
Diakses tanggal 27 December 2013.
100. ^ a b Jilek-Aall, L (1999). "Morbus
sacer in Africa: some religious
aspects of epilepsy in traditional
cultures". Epilepsia. 40 (3): 382–6.
doi:10.1111/j.1528-
1157.1999.tb00723.x .
PMID 10080524 .
101. ^ Illes, Judika (2011-10-11).
Encyclopedia of Mystics, Saints &
Sages . HarperCollins. hlm. 1238.
ISBN 978-0-06-209854-2. Diakses
tanggal 26 February 2013. “Saint
Valentine is invoked for healing as
well as love. He protects against
fainting and is requested to heal
epilepsy and other seizure disorders.
In northern Italy, epilepsy was once
traditionally known as Saint
Valentine's Malady.”
102. ^ E. Martin Caravati (2004). Medical
toxicology (edisi ke-3. ed.).
Philadelphia [u.a.]: Lippincott
Williams & Wilkins. hlm. 789.
ISBN 978-0-7817-2845-4.
103. ^ a b de Boer, HM (Dec 2010).
"Epilepsy stigma: moving from a
global problem to global solutions".
Seizure : the journal of the British
Epilepsy Association. 19 (10): 630–6.
doi:10.1016/j.seizure.2010.10.017 .
PMID 21075013 .
104. ^ Martindale, JL (February 2011).
"Emergency department seizure
epidemiology". Emergency medicine
clinics of North America. 29 (1): 15–
27. doi:10.1016/j.emc.2010.08.002 .
PMID 21109099 .
105. ^ a b c d Jerome Engel, Jr., Timothy A.
Pedley, ed. (2008). Epilepsy : a
comprehensive textbook (edisi ke-
2nd ed.). Philadelphia: Wolters
Kluwer Health/Lippincott Williams &
Wilkins. hlm. 2279. ISBN 978-0-7817-
5777-5.
106. ^ Bor, Robert (2012). Aviation Mental
Health: Psychological Implications
for Air Transportation . Ashgate
Publishing. hlm. 148. ISBN 978-1-
4094-8491-2.
107. ^ a b "Seizure Disorders" . Transport
Canada. Government of Canada.
Diakses tanggal 29 December 2013.
108. ^ Wilner, Andrew N. (2008). Epilepsy
199 answers : a doctor responds to
his patients' questions (edisi ke-3rd
ed.). New York: Demos Health.
hlm. 52. ISBN 978-1-934559-96-3.
109. ^ "Guide for Aviation Medical
Examiners" . Federal Aviation
Administration. Diakses tanggal 29
December 2013.
110. ^ a b "National PPL (NPPL) Medical
Requirements" . Civil Aviation
Authority. Diakses tanggal 29
December 2013.
111. ^ Drivers Medical Group (2013). "For
Medical Practitioners: At a glance
Guide to the current Medical
Standards of Fitness to Drive" (PDF).
hlm. 8. Diakses tanggal 29 December
2013.
112. ^ Canada. Parliament. Senate (2010).
Debates of the Senate: Official
Report (Hansard)., Issues 1-23.
Queen's Printer. hlm. 165.
113. ^ a b Carney, PR.; Myers, S.; Geyer, JD.
(Dec 2011). "Seizure prediction:
methods". Epilepsy Behav. 22 Suppl
1: S94–101.
doi:10.1016/j.yebeh.2011.09.001 .
PMID 22078526 .
114. ^ Jerome Engel, ed. (2008). Epilepsy :
a comprehensive textbook (edisi ke-
2nd ed.). Philadelphia: Wolters
Kluwer Health/Lippincott Williams &
Wilkins. hlm. 426.
ISBN 9780781757775.
115. ^ Walker, MC.; Schorge, S.; Kullmann,
DM.; Wykes, RC.; Heeroma, JH.;
Mantoan, L. (Sep 2013). "Gene
therapy in status epilepticus".
Epilepsia. 54 Suppl 6: 43–5.
doi:10.1111/epi.12275 .
PMID 24001071 .
116. ^ Walker, L (27 June 2013).
"Immunomodulatory interventions for
focal epilepsy syndromes". The
Cochrane database of systematic
reviews. 6: CD009945.
doi:10.1002/14651858.CD009945.p
ub2 . PMID 23803963 .
117. ^ Quigg, M (Jan 2012). "Radiosurgery
for epilepsy: clinical experience and
potential antiepileptic mechanisms".
Epilepsia. 53 (1): 7–15.
doi:10.1111/j.1528-
1167.2011.03339.x .
PMID 22191545 .
118. ^ Thomas, WB (January 2010).
"Idiopathic epilepsy in dogs and
cats". Veterinary Clinics of North
America, Small Animal Practice. 40
(1): 161–79.
doi:10.1016/j.cvsm.2009.09.004 .
PMID 19942062 .
119. ^ Thomas, WB (2010 Jan).
"Idiopathic epilepsy in dogs and
cats". The Veterinary clinics of North
America. Small animal practice. 40
(1): 161–79.
doi:10.1016/j.cvsm.2009.09.004 .
PMID 19942062 .
120. ^ van der Ree, M (2012). "A review on
epilepsy in the horse and the
potential of Ambulatory EEG as a
diagnostic tool". The Veterinary
quarterly. 32 (3-4): 159–67.
doi:10.1080/01652176.2012.74449
6 . PMID 23163553 .

Bacaan lanjutan
National Institute for Health and
Clinical Excellence (January 2012). The
Epilepsies: The diagnosis and
management of the epilepsies in adults
and children in primary and secondary
care (PDF). National Clinical Guideline
Centre.
World health organization, Department
of mental health and substance abuse,
Programme for neurological diseases
and neuroscience ; Global campaign
against epilepsy ; International league
against epilepsy (2005). Atlas, epilepsy
care in the world, 2005 (pdf). Geneva:
Programme for Neurological Diseases
and Neuroscience, Department of
Mental Health and Substance Abuse,
World Health Organization. ISBN 92-4-
156303-6.

Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media
mengenai Epilepsy.

Epilepsi di Curlie (dari DMOZ)

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Epilepsi&oldid=16084383"
Terakhir disunting 1 bulan yang lalu oleh Tulsi Bhagat

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai