1. Definisi Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus.(Wahyuningsi, 2014) Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubah - ubah, baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. (Muttaqin, 2015) Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Asma merupakan penyempitan jalan napas yang disebabkan karena hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkhial terhadap stimuli tertentu. (Elizabeth, 2011 dalam Istian, 2015) 2. Etiologi Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah: a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang. b. Faktor intrinsik(non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan c. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002) Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan Asma Bronkhial yaitu : 1) Faktor predisposisi Genetik Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan 2) Faktor presipitasi a) Alergen Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : - Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi - Ingestan : yang masuk melalui mulut Contoh : makanan dan obat-obatan - Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan b) Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan Asma. Kadangkadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau. c) Stres Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma, selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada. Disamping gejala Asma yang timbul harus segera diobati penderita Asma yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala belum bisa diobati. d) Lingkungan kerja Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industry , tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. e) Olah raga atau aktifitas jasmani Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. (Tanjung, 2013) 3. Klasifikasi Asma Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu : a. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat- obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. b. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. c. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik. 4. Patofisiologi Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membrane yang melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot- otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergic dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β- adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Istian, 2015). 5. Manifestasi Klinis Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea, dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini mengancam hidup (Smeltzer & Bare, 2002 dalam Istian, 2015) 6. Komplikasi Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah : a. Pneumothoraks Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas b. Pneumomediastinum Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam rongga dada c. Atelektasis Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. d. Aspergilosis Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp. e. Gagal napas Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel tubuh. f. Bronkhitis Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir. g. Fraktur iga 7. Penatalaksanaan a. Farmakologi Menurut Long(1996) pengobatan Asma diarahkan terhadap gejala- gejala yang timbul saat serangan, mengendalikan penyebab spesifik dan perawatan pemeliharaan keehatan optimal yang umum. Tujuan utama dari berbagai macam pengobatan adalah pasien segera mengalami relaksasi bronkus. Terapi awal, yaitu: a. Memberikan oksigen pernasal b. Antagonis beta 2 adrenergik (salbutamol mg atau fenetoral 2,5 mg atau terbutalin 10 mg). Inhalasi nebulisasi dan pemberian yang dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian antagonis beta 2 adrenergik dapat secara subcutan atau intravena dengan dosis salbutamol 0,25 mg dalam larutan dekstrose 5% c. Aminophilin intravena 5-6 mg per kg, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup diberikan setengah dosis. d. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg intravena jika tidak ada respon segera atau dalam serangan sangat berat e. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk didalamnya golongan beta adrenergik dan anti kolinergik f. Pengobatan secara sederhana atau non farmakologis Menurut doenges (2000) penatalaksanaan nonfarmakologis asma yaitu: 1) Fisioterapi dada dan batuk efektif membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik 2) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik 3) Berikan posisi tidur yang nyaman (semi fowler) 4) Anjurkan untuk minum air hangat 1500-2000 ml per hari 5) Usaha agar pasien mandi air hangat setiap hari 6) Hindarkan pasien dari faktor pencetus 8. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan spirometri Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak >20% menunjukkan diagnosis Asma b. Pemeriksaan tes kulit Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik dalam tubuh. c. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru atau komplikasi Asma, seperti pneumothorak, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. d. Pemeriksaan analisa gas darah Pemeriksaan analisa gas darah hanya dilakukan pada penderita dengan serangan Asma berat e. Pemeriksaan sputum Untuk melihat adanya eosinofil, kristal Charcot Leyden, spiral Churschmann, pemeriksaan sputum penting untuk menilai adanya miselium Aspergilus fumigatus. f. Pemeriksaan eosinofil Pada penderita Asma, jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil total dalam darah membantu untuk membedakan Asma dari Bronchitis kronik (Sundaru, 2006) 9. Pencegahan a. Hindari faktor pencetus terjadinya asma b. Mengatur penyebab asma dalam tubuh c. Menjaga kesehatan d. Beristirahatlah, karena stres dan pikiran emosional akan memancing asma dan membuat asma semakin parah e. Obati serangan dan gejala asma sejak dini. Batuk dan bersin hanya akan memperburuk kondisi saluran pernafasan Anda jika Anda tidak mengontrolnya
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, nomor register. 2. Riwayat kesehatan yang lalu: a. Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya. b. Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan. c. Kaji riwayat pekerjaan pasien. 3. Pemeriksaan Fisik a. Pola pemeliharaan kesehatan Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal sehingga pasien dengan Asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan Asma b. Pola nutrisi dan metabolic Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya. Serta pada pasien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan, laju metabolism serta ansietas yang dialami pasien. c. Pola eliminasi Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk, konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi. d. aktifitas dan latihan Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga, bekerja, dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya Asma. e. Pola istirahat dan tidur Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat pasien. f. Pola persepsi sensori dan kognitif Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri pasien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stressor yang dialami pasien sehingga kemungkinan terjadi serangan Asma yang berulang pun akan semakin tinggi. g. Pola hubungan dengan orang lain Gejala Asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan kehidupannya secara normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya berhubungan dengan orang lain. h. Pola reproduksi dan seksual Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan pasien. Masalah ini akan menjadi stresor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan Asma. i. Pola persepsi diri dan konsep diri Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya.Persepsi yang salah dapat menghambat respon kooperatif pada diri pasien. Cara memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan pasien. j. Pola mekanisme dan koping Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan Asma maka prlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi dan pengaruh terhadap kehidupan pasien serta cara penanggulangan terhadap stresor. k. Pola nilai kepercayaan dan spiritual Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat meningkatkan kekuatan jiwa pasien.Keyakinan pasien terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode penanggulangan stres yang konstruktif (Perry, 2005 & Asmadi 2008). 4. Diagnosa Keperawatan a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d batuk tidak efektif, mengi,whezhing atau ronkhi kering b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi d.d bunyi napas tambahan, PCO2 menurun c. Gangguan ventilasi spontan b.d kelelahan otot pernapasan d.d penggunaan otot bantu napas meningkat d. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas (mis, nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan) e. Gangguan pola tidur b.d restraint fisik d.d ketidakpuasan tidur, sering terjaga 5. Intervensi Keperawatan a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d batuk tidak efektif, mengi,whezhing atau ronkhi kering NOC Status Pernafasan : Kepatenan Jalan Nafas Skala 1. Berat 2. Cukup 3. Sedang 4. Ringan 5. Tidak ada Indikator - Irama pernafasan - Kemampuan untuk mengeluarkan secret Intervensi : Latihan Batuk Efektif 1. Atur posisi semi- Fowler atau fowler 2. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif 3. Anjurkan teknik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir dibulatkan selama 8 detik 4. Anjurkan teknik napas dalam selama 3 kali 5. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam dalam yang ke 3 Manajemen Jalan Napas 6. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolatik, jika perlu b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi d.d bunyi napas tambahan, PCO2 menurun NOC Respon Ventilasi Mekanik : Dewasa Skala 1. Berat 2. Cukup 3. Sedang 4. Ringan 5. Tidak ada Indikator : - Tingkat pernafasan Intervensi : Terapi Oksigen 1. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen 2. Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasikan 3. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat mobilitas pasien 4. Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah Pemantauan Respirasi 5. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan c. Gangguan ventilasi spontan b.d kelelahan otot pernapasan d.d penggunaan otot bantu napas meningkat NOC Status Pernafasan Skala 1. Berat 2. Cukup 3. Sedang 4. Ringan 5. Tidak ada Indikator : - Suara auskultasi nafas - Penggunaan otot bantu nafas Intervensi : 1. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas 2. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (mis. Nasal kanul, masker wajah, masker rebreathing atau non rebreathing) 3. Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam 4. Kolaborasi pemberian bronkodilator, jika perlu d. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas (mis, nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan) NOC Respon Penyapihan Ventilasi Mekanik : Dewasa Skala 1. Berat 2. Cukup 3. Sedang 4. Ringan 5. Tidak ada Indikator : - Sekresi pernafasan - Gangguan pernafasan Intervensi : 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas) 2. Posisikan semi-fowler atau fowler 3. Ajarkan teknik batuk efektif 4. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu e. Gangguan pola tidur b.d restraint fisik d.d ketidakpuasan tidur, sering terjaga NOC Tidur 1. Sangat terganggu 2. Banyak terganggu 3. Cukup terganggu 4. Sedikit terganggu 5. Tidak terganggu Indikator : - Pola tidur - Kualitas tidur Intervensi : 1. Identifikasi pola aktivitas dan tidur 2. Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis. Pijat, pengaturan posisi, terapi akupresur) 3. Tetapkan jadwal tidur tetap 4. Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur 5. Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara nonfarmakologi lainnya