Anda di halaman 1dari 4

Nu'man bin Basyir bercerita bahwa dia pernah mendengar Rasulullan Salallahu alaihi

wa sallam bersabda,

‫ت‬ ‫ت انستهبنهرا ه لتتدينتنهه هوتعنرتضهه هوهمنن هوهقهع تفى ال شبشببهها ت‬ ‫ت هلا ي هنعل هبمهها ك هتثي نرر تمنن ال ش هناتس هفهمنن اتشهققى ال نبمهشبش ههها ت‬ ‫حهرابم به تي شرن هوبهي نن هبههما بمهشبش ههها ر‬ ‫حهلابل به تيشرن هوال ن ه‬‫ال ن ه‬
‫جهستد بمنضهغةة اتهذا‬ ‫حاتربمبه ا ههلا هوات ش هن تفى ال هن‬ ‫م‬
‫ه ه‬ ‫ه‬‫ه‬ ‫ت‬
‫ض‬ ‫ر‬‫ه‬
‫ن ن‬‫ا‬ ‫ي‬ ‫ف‬‫ت‬ ‫ه‬‫ت‬ ‫ق‬ ‫ش‬ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫مى‬ ‫ق‬ ‫ت‬
‫ح‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫لا‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫مى‬‫ة‬ ‫ت‬
‫ح‬ ‫ك‬
‫ك‬ ‫ت‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ل‬
‫ت ه‬ ‫ش‬ ‫ب‬ ‫ك‬‫ت‬ ‫ل‬ ‫ن‬
‫ه‬ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫و‬
‫ه‬ ‫لا‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ع‬ ‫ق‬‫ت‬
‫به ه ب‬ ‫وا‬‫ي‬ ‫ن‬
‫ن‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ك‬
‫ب‬ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫يو‬‫ب‬ ‫مى‬ ‫ق‬ ‫ت‬
‫ح‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ح‬
‫ه ن‬ ‫عى‬ ‫ك ههرا ك ه ن ق‬
‫ر‬ ‫ي‬ ‫ع‬
‫ب‬ ‫جهسبد ك بل شبهه ا ههلا هوتههي ال نهقل بن‬
‫ت هفهسهد ال هن‬ ‫جهسبد ك بل شبهه هواتهذا هفهسهد ن‬ ‫ت هصل ههح ال هن‬ ‫ه ه ن‬ ‫ح‬‫ه‬ ‫ل‬‫ص‬

Artinya :

Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada
perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang. Maka barangsiapa
yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti telah memelihara agamanya dan
kehormatannya. Dan barangsiapa yang sampai jatuh (mengerjakan) pada perkara-perkara
syubhat, sungguh dia seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di
pinggir jurang yang dikhawatirkan akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap
raja memiliki batasan, dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya
adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal
darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah
tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati.

<b>Keterangan hadits</b>
<i>Al Halaalu Bayyanun Wal Haraamu Bayyanun</i> (Yang halal jelas dan yang haram
jelas), yaitu dalam dzat dan sifatnya sesuai dalil yang zhahir.

<i>Wa Baina Humaa Syubhaatun</i> (Dan diantara keduanya ada hal yang meragukan),
artinya hal-hal yang tersamarkan yang tidak diketahui hukumnya secara pasti. Dalam
riwayat Al Ushaili kata yang disebutkan adalah <i>"Musytabihaatun"</i> yang juga
merupakan riwayat Ibnu Majah dengan lafaz Ibnu 'Aun. Maknanya, keduanya sepakat
untuk memperoleh hal yang serupa dari dua sisi yang saling bertolak belakang.
Kemudian diriwayatkan oleh Ad Darimi dari Nu'aim, Syaikh Imam Bukhari dengan lafaz,
<i>Wa Baina Humaa Musytabihaatun</i> (Dan diantara keduanya terdapat perkara yang
diragukan)

<i>Laa Ya'lamuhaa Katsiiran Minan Naas</i> (Tidak banyak orang yang mengetahuinya).
Yang dimaksud adalah tidak mengetahui hukumnya. Hal tersebut dijelaskan dalam
riwayat At Tirmidzi dengan lafazh, "Banyak orang yang tidak mengetahui apakah
perkara tersebut halal atau haram." Yang dapat dipahami dari kata "Katsiiran"
adalah yang mengetahui hukum perkara tersebut hanya sebagian kecil manusia, yaitu
para Mujtahid, sehingga orang yang ragu-ragu adalah selain mereka. Namun terkadang
syubhat itu timbul dalam diri para mujtahid jika mereka tidak dapat men-tajrih
(menguatkan) salah satu diantara dua dalil.

<i>Faman Taqaal Musyabbahaat</i> (Barang siapa yang menghindarkan diri dari hal-hal
syubhat) artinya berhati-hati dengan perkara yang syubhat. Perbedaan antara para
perawi dalam lafazh hadits, adalah seperti sebelumnya. Tapi menurut Muslim dan
Ismaili adalah <i>Musyabbahaat</i> bentuk jamak dari kata <i>Syubhat<i>.

<Istabra-a Li Diinihi</i> Maksudnya adalah, agamanya selamat dari kekurangan dan


perilakunya selamat dari celaan, karena orang yang tidak menghindari hal-hal
syubhat, maka ia tidak akan selamat dari perkataan orang yang mencelanya. Hadits
ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dari syubhat dalam
pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah menyerahkan dirinya untuk dicemooh dan
dicela. Hal ini mengandung petunjuk untuk selalu menjaga hal-hal yang berkaitan
dengan agama dan kemanusiaan.

<i>Wa Man Waqa'a Fii Syubuhaat</i> (Dan barangsiapa yang terjatuh dalam syubhat).
Perbedaan para perawi dalam kalimat ini seperti yang telah kami kemukakan.
Disamping itu, para ulama juga berselisih tentang hukum syubhat. Ada yang
mengatakan haram dan ada yang mengatakan makruh. Kasus ini sama dengan perbedaan
pendapat tentang hukum sebelum turunnya syari'at. Ringkasnya, ada empat penafsiran
tentang syubhat.

<b>Pertama,</b> terjadinya pertentangan dalil-dalil yang ada, seperti disebutkan


diatas.

<b>Kedua,</b> perbedaan ulama yang bermula dari adanya dalil-dali yang saling
bertentangan.

<b>Ketiga,</b> yang dimaksud dengan syubhat adalah yang disebut makruh, karena kata
tersebut mengandung unsur "melakukan" dan "meninggalkan".

<b>Keempat,</b> yang dimaksud dengan syubhat adalah <i>mubah</i> (yang


diperbolehkan).

Telah dinukil dari Ibnu Munir danal Manaqib Syaikh Al Qabari, beliau berkata,
"Makruh merupakan pembatas antara hamba dan hal-hal yang haram. Barangsiapa banyak
melaksanakan perbuatan yang makruh, maka ia berjalan menuju yang haram. Sedangkan
mubah adalah pembantas antara hamba dengan yang makruh. Barangsiapa yang banyak
melakukan hal yang mubah, maka dia telah menuju kepada hal yang dimakruhkan."

Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Hibban dengan jalur yang disebutkan oleh
Imam Muslim tanpa menyebutkan lafazhnya, dan dalam hadits tersebut terdapat
tambahan, "Buatlah pemisah antara yang halal dengan yang haram. Yang melakukan hal
tersebut, maka perilaku dan agamanya akan selamat. Orang yang menikmati hal
tersebut seolah-olah menikmati yang dilarang, ditakutkan akan jatuh ke dalam yang
dilarang." Artinya bahwa hal mubah yang dikhawatirkan akan menjadi makruh atau
haram, maka harus dijauhi. Misalnya berlebihan dalam hal-hal yang baik, karena hal
itu akan menuntut seseorang banyak bekerja yang terkadang dapat menyebabkannya
mengambil sesuatu yang bukan haknya atau melalaikan ibadahnya.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang banyak melakukan sesuatu yang makruh, akan
berani melakukan sesuatu yang haram atau kebiasaannya melakukan sesuatu yang tidak
diharamkan tersebut menyebabkannya melakukan sesuatu yang diharamkan. Atau
dikarenakan ada syubhat di dalamnya sehingga orang yang mengerjakan sesuatu yang
dilarang, hatinya akan gelap karena kehilangan sifat <i>wara'</i> (kehati-hatian)
dalam dirinya, dimana hal itu akan menyebabkannya jatuh ke dalam hal yang haram.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Buyu' (Jual Beli) dari Abu Farwah
dari Sya'bi yang berkaitan dengan hadits ini, "Orang yang meninggalkan dosa yang
diragukan, maka sesuatu yang jelas (dosanya) baginya adalah harus lebih
ditinggalkan. Sedangkan orang yang mengerjakan suatu dosa yang diragukannya, maka
dikhawatirkan akan jatuh kepada sesuaty yang jelas (dilarang)." Hadits ini merujuk
kepada pendapat pertama (tentang syubhat) sebagaimana yang saya (Ibnu Hajar)
isyaratkan.

<b>Catatan :</b>
Ibnu Munir menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membolehkan tetapnya hukum
<i>"mujmal"</i> setelah Rasulullah. Adapun dalam menjadikannya sebagai dalil, masih
harus diteliti kembali. Kecuali jika yang dimaksud adalah bahwa hal tersebut
<i>mujmal</i> dalam hak sebagian tanpa sebagian yang lain, atau dimaksudkan untuk
membantah kelompok yang mengingkari <i>qiyas</i>

<i>Karaa'in Yar'a</i> (Seperti penggembala yang menggembalakan). Demikianlah yang


ditemukan dalam setiap teks Imam Bukhari dengan dihapusnya <i>jawab syarth</i>
apabila kata <i>"man"</i> dianggap berfungsi sebagai <i>syarth</i>. Penghapusan
tersebut juga dikuatkan dalam riwayat Ad Darimi dari Nu'aim Syaikh Imam Bukhari.
Dalam riwayat tersebut adalah, "Wa Man Waqa'a Fii Syubuhaati Waqa'a Fil Haraami
Karaa'in Yar'a" (Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang syubhat maka dia terjatuh
ke dalam yang haram seperti penggembala yang menggembalakan)

Akan tetapi kata <i>"man"</i> dalam lafaz Bukhari dapat pula dianggap sebagai
<i>man maushulah</i> (sambung). Dengan demikian tidak ada penghapusan di dalamnya,
sehingga artinya menjadi barangsiapa yang melakukan sesuatu yang syubhat, maka
orang tersebut seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya.

Pendapat pertama lebih utama untuk diterima, karena penghapusan tersebut diperkuat
dengan riwayat Muslim dan yang lainnya dari jalur Zakaria yang juga merupakan
riwayat Imam Bukhari. Berdasarkan hal ini, maka perkataannya adalah "Karaa'in
Yar'a" berfungsi sebagai kata awal untuk menarik perhatian terhadap sesuatu yang
belum terjadi dengan sesuatu yang ada.

Ada anekdot dalam perumpamaan tersebut, yaitu raja-raja Arab melindungi para
penggembala mereka di suatu tempat khusus dengan ancaman hukuman berat bagi orang
yang menggembalakan ternaknya di tempat itu tanpa izinnya. Oleh karena itu,
Rasulullah mengumpamakannya dengan sesuatu yang masyhur atau dikenal oleh mereka.

Orang yang takut akan hukuman dan mengharapkan ridha sang raja, maka ia akan
menjauhi tempat tersebut karena khawatir ternaknya akan masuk ke dalam daerah
tersebut. Oleh sebab itu, betapa pun ketatnya pengawasan seseorang terhadap
binatang gembalaannya, menjauh dari tempat itu adalah lebih selamat baginya.
Sedangkan orang yang tidak takut, akan menggembalakan ternaknya di dekat tempat
tersebut tanpa ada jaminan bahwa tidak ada satu pun ternaknya yang memisahkan diri
dan masuk ke dalam daerah tersebut. Atau tempat yang ditempatinya sudah gersang dan
tidak ada tumbuhan, sedangkan daerah larangan masih subur sehingga dia tidak dapat
menguasai dirinya dan masuk ke dalam daerah tersebut.

<b>Catatan :</b>
Sebagian ulama mengklain bahwa perumpmaaan adalah perkataan Sya'bi dan ia termasuk
<i>mudarrij</i> dalam hadits.
(<i>Mudarrij</i> = Secara terminologi, adalah hadits yang berubah sanadnya atau
dalam <i>matan</i> haditsnya dimasukkan sesuatu yang dari luar tanpa ada tanda
penjelasan.) Pendapat tersebut diceritakan oleh Abu Amru Ad Dani, dan saya (Ibnu
Hajar) tidak memperhatikan dalil-dalil mereka kecuali yang dimiliki oleh Ibnu Jarud
dan Ismaili dari riwayat Ibnu 'Aun dari Sya'bi. Ibnu 'Aun berkata dalam akhir
hadits, "Saya tidak tahu apakah perumpamaan itu berasal dari perkataan Nabi atau
perkataan Sya'bi."

Menurut saya (Ibnu Hajar), keragu-raguan Ibnu 'Aun menetapkannya sebagai hadits
marfu' tidak menjadikannya sebagai hadits bersatatus <i>mudarraj</i>, karena
beberapa perawi yakin bahwa hadits tersebut bersatatus marfu'. Oleh karena itu,
keragu-raguan sebagian mereka tidak mempengaruhi hal tersebut. Begitu pula dengan
tidak dituliskannya perumpamaan tersebut dalam riwayat beberapa perawi -seperti Abu
Farwah dari Sya'bi- juga tidak berpengaruh terhadap perawi yang mencantumkannya,
karena mereka adalah <i>huffazh</i> (para penghafal hadits). Agaknya inilah rahasia
penghapusan kata "Waqa'a Fil Haraam" (jatuh kedalam yang haram) dalam riwayat Imam
Bukhari, agar yang disebutkan sebelum perumpamaan berkaitan erat dengannya. Dengan
demikian maka hadits tersebut selamat dari tuduhan <i>mudarraj</i>. Riwayat yang
menguatkan tidak adanya <i>idraj</i> dalam hadits ini adalah riwayat Ibnu Hibban,
dan dicantumkannya perumpamaan tersebut dengan status marfu' dalam riwayat Ibnu
Abbas dan juga Ammar bin Yasir.

<i>Alaa Inna Himallaahi Fii Ardhihii Mahaarimuhuu</i> (Sesungguhnya larangan Allah


di bumi-Nya adalah hal-hal yang diharamkan-Nya). Dalam riwayat Mustamil tidak
menggunakan kalimat "Fii Ardhihii" sedangkan dalam riwayat selain Abu Dzarr, huruf
"waw" dicantunkan dalam kalimat "Alaa Inna Himallaahi" (Dan sesungguhnya larangan
Allah). Yang dimaksud dengan "Muhaarimu" adalah perbuatan yang diharamkan atau
menginggalkan perkerjaan yang wajib, maka dalam riwayat Abi Farwah
diinterpretasikan dengan "Ma'aashi" (kemaksiatan) sebagai ganti dari kata
"Muhaarimu" (yang diharamkan). Sedangkan "Alaa" berfungsi memperingatkan bahwa
setelahnya adalah kebenaran.

<i>Mudhghatan</i> (Segumpal darah) dinamakan hati (qalbu) karena sifatnya yang


selalu berubah atau karena dia adalah bagian badan yang paling bersih, atau juga
karena dia diletakkan terbalik dalam badan.

<i>Idzaa Shalahat</i> dan <i>Idzaa Fasadat</i> Penggunaan kata "idzaa" menunjukkan


hal tersebut biasa terjadi dan bisa juga berarti "jika" seperti yang ada di dalam
riwayat ini. Dikhususkannya hati dalam hal ini, karena hati adalah pemimpin badan.
Jika pemimpinnya baik, maka rakyatnya pun akan baik, demikian pula sebaliknya.

Hadits ini mengandung peringatan akan pentingnya hati, dorongan untuk


memperbaikinya dan isyarat bahwa nafkah yang baik memilili efek terhadap hati,
yaitu pemahaman yang diberikan oleh Allah. Pendapat tersebut dapat dijadikan dalil
bahwa akal berada di hati berdasarkan firman Allah, "Mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami." dan firman Allah, "Sesungguhnya dalam semua itu
terdapat peringatan bagi orang yang memiliki hati." Para ahli tafsir mengartikan
hati dengan "akal". Adapun disebutkannya hati adalah karena hati adalah tempat
bersemayamnya aka.

<b>Pelajaran yang dapat diambil</b>


Kalimat "Alla Inna Fil Jasadi Mudhghah" hanya ditemukan dalam riwayat As Sya'bi
bahkan kebanyakan riwayat yang berasal dari Sya'bi tidak ada kalimat tersebut.
Penambahan tersebut hanya ditemukan dalam riwayat Zakaria dari Asy Sya'bi. Kemudian
diikuti oleh Mujahid pada riwayat Ahmad, Mughirah dan lainnya pada riwayat
Thabrani. Kemudian dalam beberapa riwayat digunakan kata "sehat" dan "sakit"
sebagai ganti dari kata "baik" dan "rusak". Adapun korelasi dengan kalimat
sebelumnya adalah bahwa asal dari ketakwaan dan kehancuran adalah hati, karena ia
adalah pemimpin tubuh. Oleh karena itu, para ulama mengagungkan hadits ini dan
menganggapnya sebagai faktor keempat dari empat faktor yang mendasari hukum
sebagaimana yang dinukilkan dari Abu Daud. Ada dua bait yang masyhur tentang hal
tersebut:

"Pondasi agama menurut kami adalah kalimat-kalimat yang disandarkan kepada sabda
khairul bariyyah (manusia yang paling baik)

Tinggalkan yang syubhat dan berzuhudlah kemudian biarkan yang tidak ada di depan
matamu lalu berbuatlah dengan niat"

Abu Daud menganggap kalimat "Apa yang aku larang maka jauhilah..." sebagai ganti
dari kalimat, "Berzuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia."

Ibnu Arabi mengisyaratkan bahwa hadits tersebut mencakup seluruh hukum syar'i.

Al Qurthubi berkata, "Hal tersebut dikarenakan hadits tersebut mencakup perincian


tentang halal dan haram serta lainnya, serta ada hubungan yang erat antara
perbuatan dengan hati, maka seluruh hukum yang ada dapat merujuk kepadanya."

Dibagikan menggunakan
http://play.google.com/store/apps/details?id=com.pro.hafiz.alquran

Anda mungkin juga menyukai