PENDAHULUAN
1
Referat ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman
mengenai geja, diagnosis dan penatalaksanaan uveitis
.
1.4. Metodologi Penulisan Referat
Penulisan referat ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka yang merujuk
pada berbagai literature.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
A. Anatomi dan Fisiologi Traktus Uvealis
Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera.
Struktur ini ikut mendarahi retina. Uvea dibagi menjadi 3 bagian yaitu iris
dibagian anterior, badan ciliare di tengah dan koroid diposterior (Emmett,2007).
Gambar Uvea
Pendarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2
buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan
nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang
terdapat 2 pada setiap otot rektus superior, medial, inferior dan satu pada otot
rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu
membentuk arteri sirkulus major pada badan siliar. Uvea posterior mendapat
perdarahan dari 15- 20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera
disekitar tempat masuk saraf optic (Eva , Whitcher, 2007).
3
Gambar Perdarahan Uvea
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata
dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang menerima 3 akar
saraf dibagian posterior yaitu (Eva , Whitcher, 2007):
1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliaris mengandung serabut saraf
sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar.
2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis
yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk
dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor akan memberika saraf parasimpatis untuk mengecilkan
pupil.
Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps.
A.1. Iris
Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan
pipih yang dengan apertura yang bulat yang terletak ditengah, pupil. Iris terletak
bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan
dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueos humor. Didalam
stromairis terdapat sfingter dan otot – otot dilatator. Kedua lapisan berpigmen
4
pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan
epitel pigmen retina ke arah anterior (Eva , Whitcher, 2007).
Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler- kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikan secara intravena.
Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares (Eva,
Whitcher, 2007).
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata. Ukuran
pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi aktivitas
parasimpatis yang dihantarkan melaui nervus kranialis III dan dilatasi yang
ditimbulkan oleh aktivitas simpatis (Eva , Whitcher, 2007).
5
mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai
focus baik untuk objek berharak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan
pandang (Eva , Whitcher, 2007).
Serat-serat longitudinal musculus ciliaris menyisip kedalam anyaman
trabekula untuk mempengaruhi besar porinya. Bila musculus ciliaris berkontraksi
akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan mata
melalui sudut bilik mata. Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus
ciliare berasal dari circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui
saraf-saraf ciliaris (Eva , Whitcher, 2007).
.
A.3. Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sclera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar , sedang, dan kecil. Semakin
dalam pembuluh terletak didalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam
pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh
koroid dilairkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior.
Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membrane Bruch dan disebelah luar oleh
sklera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat
ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Disebelah anterior, koroid bergabung
dengan korpus ciliare (Eva , Whitcher, 2007).
B. Uveitis
B.1. Definisi Uveitis
Istilah " uveitis " menunjukkan peradangan pada iris (iritis, iridocyclitis),
corpus ciliar (uveitis intermediate, cyclitis, uveitis perifer, atau planitis pars), atau
koroid (choroiditis). Uveitis dapat juga digunakan pada inflamasi retina (retinitis),
pembuluh darah retina (vaskulitis retina), dan saraf optik intraokular (papillitis).
Uveitis juga dapat terjadi sekunder pada peradangan kornea (keratitis), sclera
(scleritis), atau keduanya (Eva , Whitcher, 2007).
B.2. Epidemiologi
6
Uveitis biasanya terjadi pada umur 20-50 tahun dan menyumbang 10-20%
kasus kebutaan. Uveitis umumnya terjadi di negara berkembang daripada di
negara-negara maju, hal ini terjadi karena sebagian besar prevalensi yang lebih
besar dari infeksi yang dapat mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan
TBC (Eva, Whitcher, 2007).
Sebagian besar pasien uveitis menunjukkan variasi dalam hal prevalensi relatif
berbagai bentuk uveitis. Uveitis anterior sebanyak 28-66 % kasus, uveitis
intermediate 5-15 %, uveitis posterior 19-51 %, dan panuveitis 7-18 %. (Yanoff,
2009).
B.3. Etiologi
Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes
simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi, adenovirus,
parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan lain-lain (Ilyas S,
2007). Uveitis trauma sering terjadi pada cedera yang disengaja atau operasi pada
jaringan uveal. Mekanisme yang berbeda yang dapat menghasilkan uveitis trauma
berikut meliputi (Khurana, 2007) :
a. Efek mekanis langsung pada trauma.
b. Efek iritasi dari produk darah setelah perdarahan intraokular
c. Invasi mikroba
d. Efek kimia benda asing intraokular
e. Oftalmia simpatis pada mata lainnya.
7
Penyebab Uveitis posterior (Eva , Whitcher, 2007)
8
B.4. Klasifikasi
Uveitis akut menggambarkan jalannya suatu sindrom uveitis tertentu ditandai
dengan onset mendadak dan durasi yang singkat. Uveitis kronis menggambarkan
peradangan persisten yang ditandai dengan kekambuhan (dalam waktu kurang
dari 3 bulan) setelah penghentian terapi. Uveitis berulang ditandai dengan episode
berulang dari uveitis dipisahkan oleh masa non-aktif tanpa pengobatan yang
berlangsung setidaknya 3 bulan. (Kanski, 2011)
Klasifikasi uveitis berdasarkan :
9
1. Lokasi utama dari bercak peradangan :
a. uveitis anterior
b. uveitis intermediate
c. uveitis posterior
d. pan uveitis.
2. Berat dan perjalanan penyakit :
a. akut
b. subakut
c. kronik
d. rekurens
3. Patologinya :
a. non granulomatosa
b. granulomatosa
4. Demografi, lateralisasi dan faktor penyerta :
a. distribusi menurut umur
b. distribusi menurut kelamin
c. distribusi menurut suku bangsa dan ras
d. unilateral dan bilateral
e. penyakit yang menyertai atau mendasari
5. Penyebab yang diketahui :
a. bakteri : tuberkulosis , sifilis
b. virus : herpes simplek, herpes zoster, citomegalovirus
c. jamur : candida
d. parasit : toksoplasma, toksokara
e. imunologik : sindrom behcet, sindrom vogt-koyanagi-harada,
oftalmia simpatika, poliarteritis nodosa, granulomatosis wegener
f. penyakit sistemik : penyakit kolagen, artritis reumatoid, multipel
skerosis, sarkoidosis, penyakit vaskular.
g. Neoplasmik : leukemia, melanoma maligna, reticullum cell
sarcoma
h. lain – lain : AIDS.
10
6. Berdasarkan anatomisnya :
a. Inflamasi iris bersamaan dengan peningkatan permeabilitas vaskular
dinamakan iritis / uveitis anterior. Sel darah putih yang bersirkulasi dalam
humor aqueous pada anterior chamber dapat dilihat dengan slitlamp.
Protein yang juga bocor dari pembuluh darah terlihat dengan sifat
penyebaran cahaya pada sinar slitlamp sebagai flare.
b. Inflamasi pars plana (badan siliaris posterior) dinamakan siklitis atau
uveitis intermediate, inflamasi segmen posterior (uveitis posterior)
menghasilkan sel – sel inflamasi dicairan vitreus. Selain itu, terdapat
inflamasi koroid atau retina terkait (koroiditis dan retinitis). Panuveitis
terjadi ketika uveitis anterior dan posterior terjadi bersamaan.
B.5. Manifestasi
Manifestasi klinis uveitis bervariasi tergantung pada beberapa faktor utama
dari keterlibatan dalam mata, jalannya proses inflamasi (misalnya, akut atau
kronis), dan adanya komplikasi sekunder yang timbul dari uveitis sendiri (Yanoff,
2009).
Gejala-gejala uveitis anterior akut (misalnya, antigen leukosit entitas HLA-
B27 terkait manusia, seperti ankylosing spondylitis) umumnya meliputi nyeri,
kemerahan, fotofobia, dan penglihatan kabur, yang biasanya berkembang selama
jam atau hari. Di sisi lain, pasien yang memiliki uveitis anterior kronis, seperti
yang terlihat dengan JIA atau Fuchs' iridocyclitis heterochromic, dapat terjadi
penurunan visus atau kemerahan ringan, dengan sedikit rasa sakit atau fotofobia.
Pasien yang memiliki uveitis intermediate atau uveitis posterior biasanya dengan
floaters atau gangguan penglihatan sekunder untuk edema makula cystoid atau
keterlibatan chorioretinal. (Yanoff , 2009).
11
Slit lamp digunakan untuk memeriksa permukaan iris di bawah sinar terfokus
cahaya. Pembuluh darah Iris hanya dapat terlihat ketika terjadi atrofi iris,
peradangan, atau sebagai neovaskularisasi di rubeosis iridis. Pembuluh darah iris
dapat divisualisasikan oleh iris angiografi setelah injeksi intravena fluorescein
natrium pewarna. Cacat pada lapisan berpigmen iris tampak merah di bawah
retroillumination dengan slit lamp. Slit lamp biomicroscopy visualisasi individual
cells seperti melanin sel pada 40 - daya pembesaran. Anterior chamber
transparan. Peradangan dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh iris dan
kompromi penghalang antara darah dan aqueous humor. Epitel pigmen retina
mengevaluasi koroid oleh oftalmoskopi dan angiografi fluorescein angiography
atau indocyaninegreen. Perubahan koroid seperti tumor atau hemangioma scan
divisualisasikan dengan pemeriksaan USG. (Lang , 2006).
12
jaringan uveal, anterior chamber, posterior chamber dan ruang vitreous.
Peradangan biasanya difus sebagai hasil dari reaksi patologis iris, edema, kriptus
kabur dan terdapat alur. Sebagai konsekuensi mobilitas berkurang, pupil mengecil
karena iritasi sfingter dan kendurnya pembuluh radial dari iris. Eksudat dan
limfosit mengalir ke anterior chamber di aqueous flare dan deposisi KPs belakang
kornea. Eksudat di posterior chamber, permukaan posterior dari iris melekat pada
kapsul anterior lensa mengarah ke posterior menyebabkan sinekia. Peradangan
yang berat, karena terdapat eksudat dari proses silia, di belakang lensa, membran
eksudatif disebut cyclitic membrane dapat dibentuk (Khurana, 2007).
Reaksi granulomatosa ditandai dengan infiltrasi limfosit, sel plasma, dengan
mobilisasi dan proliferasi sel mononuklear besar yang akhirnya menjadi
epithelioid dan sel-sel raksasa dan agregat menjadi nodul. Iris nodul biasanya
terbentuk di dekat perbatasan pupil (nodul Koeppe). Nodular sel disimpan di
bagian belakang kornea dalam bentuk mutton fat keratic precipitates dan aqueous
flare minimal. Nekrosis struktur yang berdekatan mengarah pada proses perbaikan
mengakibatkan fibrosis dan gliosis (Khurana, 2007).
13
Ciliary Injection
Miosis terjadi karena sfingter yang spasme dapat mempengaruhi pembentukan
sinekia posterior, kecuali pupil yang farmakologi melebar. Endothelial dusting
menimbulkan penampakan kotor. Keratic Precipitates (KP) biasanya muncul
hanya setelah beberapa hari dan biasanya non- granulomatosa (Kanski, 2011).
Hypopion
14
Sinekia Posterior dapat berkembang dengan cepat dan harus dipecah sebelum
menjadi permanen. Tekanan intraokular rendah (TIO) dapat terjadi sebagai akibat
dari penurunan sekresi aqueous oleh epitel silia (Kanski, 2011).
15
Aqueous Flare and Cells
Keratic precipitate adalah kelompok deposito seluler pada endotel kornea terdiri
dari sel epiteloid , limfosit dan polimorf (Kanski, 2011).
Keratic precipitate
Durasi yang prolong dan kasus peradangan dapat berlangsung selama berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun. Remisi dan eksaserbasi inflamasi yang umum
dan sulit untuk menentukan kapan proses alamiah penyakit. Prognosis
dipengaruhi dengan munculnya komplikasi katarak, glaucoma, dan hypotony
(Kanski, 2011).
16
(snowbank), agregat selular floating di vitreous inferior (snowballs). Pasien yang
lebih muda dapat terjadi pendarahan vitreous (Eva , Whitcher, 2007).
17
sedangkan pasien dengan lesi yang melibatkan makula terutama akan mengeluh
gangguan penglihatan sentral (Kanski, 2011).
Penglihatan kabur, floaters, nyeri, kemerahan, dan fotofobia biasanya tidak
ditemukan kecuali peradangan anterior chamber (Elsher, 2008). Berbagai gejala
visual yang dialami oleh pasien choroiditis (Khurana, 2007) :
a. Penglihatan. Hal ini biasanya ringan karena kabut vitreous, tetapi bisa berat
pada choroiditis central.
b. Photopsia. Ini adalah sensasi subjektif dari kilatan cahaya yang dihasilkan
akibat iritasi batang dan kerucut.
c. Black spots floating. Keluhan yang sangat umum, terjadi karena gumpalan
eksudatif dalam vitreous.
d. Metamorphopsia. Pasien melihat gambar terdistorsi dari objek, akibat
perubahan dalam kontur retina yang disebabkan oleh patch dari choroiditis.
e. Micropsia yang dihasilkan akibat pemisahan sel visual adalah keluhan umum.
f. Makropsia yaitu, persepsi objek yang lebih besar dari mereka.
g. Scotoma positif, yaitu, persepsi tempat besar tetap dalam bidang penglihatan.
Lesi segmen posterior mata bisa fokus, multifokal, geografis, atau difus,
menyebabkan kekeruhan dari vitreous. Lesi inflamasi segmen posterior umumnya
perlahan, tetapi beberapa bisa disertai dengan hilangnya penglihatan tiba-tiba
(Eva, Whitcher, 2007).
Retinitis
Kekeruhan vitreous karena choroiditis di bagian tengah atau posterior, dapat
terlihat kasar, berserabut, rongga snowball (Khurana, 2007). Patch choroiditis
dalam tahap aktif tampak sebagai pale-yellow atau dirty white dengan tepi yang
tidak jelas. Hasil ini karena eksudasi dan infiltrasi seluler dari koroid yang
tersembunyi dalam pembuluh darah choroidal. Lesi biasanya lebih dalam
18
pembuluh retina. Retina terlihat berawan dan edema. Pada tahap atrofi atau tahap
penyembuhan, peradangan aktif mereda, daerah yang terkena menjadi lebih tajam
dibandingkan sisa daerah yang normal, daerah yang terlibat menunjukkan sclera
putih di bawah berpigmen atrofi koroid dan hitam di pinggiran lesi (Khurana,
2007).
B.12. Pengobatan
Prinsip utama penatalaksanaan uveitis adalah untuk menjaga fungsi
penglihatan, mencegah komplikasi, meringankan keluhan pasien dan, jika
memungkinkan, untuk mengobati penyakit yang mendasarinya (Babu, Rathinam,
2010)
1. Mydriatic dan cycloplegic Agen
Obat-obat topikal digunakan untuk mengobati ciliary spasm yang sering
terjadi dengan uveitis anterior akut dan mengobati sinekia posterior dan/ atau
mencegah perkembangan sinekia baru. Homatropin, skopolamin, atau atropin,
yang digunakan untuk meringankan ciliary spasm. Tropikamid atau
cyclopentolate mungkin memainkan peran dalam mencegah pembentukan
sinekia posterior baru pada pasien yang memiliki iridocyclitis kronis
(misalnya, sekunder untuk JIA) dan minimal fotofobia dan pupil (Yanoff,
2009).
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat pilihan di sebagian besar jenis uveitis. Cara kerja
dengan menghambat proses inflamasi dengan menekan metabolisme asam
arakidonat dan aktivasi komplemen (Babu, Rathinam, 2010). Ketika diberikan
secara sistemik memiliki peran dalam pengobatan iridocyclitis non -
granulomatosa, di mana peradangan, sebagian besar terjadi akibat reaksi
antigen antibodi. Bahkan dalam jenis uveitis, steroid sistemik membantu
karena efek kuat anti - inflamasi dan antifibrotic non - spesifik. Kortikosteroid
sistemik biasanya ditunjukkan dalam uveitis anterior resisten terhadap terapi
topikal (Khurana, 2007).
19
Pada panuveitis, kortikosteroid topikal dan sistemik baik diperlukan.
Tergantung pada beratnya penyakit, prednisolon oral dimulai pada dosis 1 mg/
kg / hari. Peradangan mereda kortikosteroid di tapering of 5-10 mg per
minggu dimulai dalam waktu dua sampai empat minggu memulai terapi.
Setelah mata benar-benar diam, pasien diikuti dengan dosis pemeliharaan
mulai 2,5-10 mg sehari prednisolon. Menggunakan kortikosteroid long acting
dengan dosis rendah diperlukan sebagai terapi pemeliharaan VKH (Vogt
Koyanagi - Harada) sindrom dan SO (Babu, Rathinam, 2010).
Respon terhadap terapi kortikosteroid dapat terganggu oleh kekambuhan
uveitis. Kasus unilateral dapat diberikan percobaan dengan injeksi periokular
dari depot kortikosteroid ke dalam ruang posterior subtenon. Efek samping
dan komplikasi kortikosteroid topikal atau sistemik harus mencari di setiap
tindak lanjut kunjungan pasien. Ini termasuk glaukoma sekunder, posterior
subkapsular katarak, peningkatan kerentanan terhadap infeksi (mata atau
sistemik), hipertensi, tukak lambung, diabetes, obesitas, gangguan
pertumbuhan, osteoporosis dan psikosis (Babu, Rathinam, 2010).
Kortikosteroid dapat menyebabkan glaukoma melalui peningkatan tekanan
intra okuler melalui mekanisme sudut terbuka. Mekanisme tersebut dikaitkan
dengan efek ganda pada anyaman trabekula meshwork, Mekanisme lainnya
mengarah pada perubahan sitoskeletal yang dapat menghambat pinositosis
dari humour aqueous. Kortikosteroid juga menyebabkan penurunan sintesis
prostaglandin yang mengatur fasilitas/pengeluaran humour aqueous sehingga
terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) menyebabkan tekanan pada
saraf optic (Babu, Rathinam, 2010).
3. Antimetabolit
Antimetabolit di indikasikan pada kasus uveitis bilateral, non infeksi,
reversible, tidak berespon dengan steroid. Steroid sparing terapy pada pasien
dengan intoleran terhadap efek sistemik steroid atau penyakit kambuh kronis
yang membutuhkan dosis harian prednisolon lebih dari 10 mg. Setelah pasien
telah dimulai pada obat imunosupresif dan dosis yang tepat dipastikan,
pengobatan harus dilanjutkan selama 6-24 bulan, setelah itu secara bertahap
20
dan penghentian obat harus dicoba selama 3-12 bulan ke depan. Namun,
beberapa pasien mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk
mengontrol aktivitas penyakit (Kanski, 2011).
4. Vitrectomy di panuveitis
Vitrectomy pada uveitis dimulai pada akhir 1970-an untuk tujuan diagnostik
dan untuk mengobati infeksi. Vitrectomy diagnostik dikombinasikan dengan
PCR dapat secara signifikan meningkatkan hasil diagnostik dalam uveitis.
Vitrectomy dapat dianggap sebagai pilihan terapi saat uveitis lanjut dengan
terapi maksimal dengan kortikosteroid dan / atau imunosupresan lainnya. Hal
ini juga dapat ditunjukkan ketika kehilangan penglihatan terjadi akibat
komplikasi dari radang lama, seperti jaringan vitreous, parut padat opacifier
menarik pada cillary body menyebabkan hypotony, edema makula cystoid,
membran epiretinal, lensa posterior kapsul kekeruhan padat dan ablasi retina.
Vitrectomy dilakukan untuk menghilang limfosit di vitreous, inflamasi,
kompleks imun dan autoantigens. Hal ini juga meningkatkan penetrasi uveal
sel anti - inflamasi. Selain menyediakan akses yang lebih baik untuk
penghapusan dari bahan lensa cataractous bersama dengan kapsul posterior,
gabungan pars plana vitrectomy lensectomy dan memungkinkan manuver
intraokular dan mencegah pembentukan membran cyclitic (Babu, Rathinam,
2010).
B.13. Komplikasi
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akut
yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau
penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi
nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi
corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema
diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment.
B.14. Prognosis
Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat keparahan,
lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang berat perlu
21
waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan kerusakan
intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan dengan peradangan ringan
atau sedang. Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon
pengobatan dibandingkan dengan uveitis intermediet, posterior atau difus.
Umumnya kasus uveitis anterior prognosisnya baik bila di diagnosis lebih awal
dan diberi pengobatan yang tepat. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih
dengan baik tanpa adanya katarak, glaukoma dan uveitis posterior. Keterlibatan
retina, koroid atau nervus optikus cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.
BAB III
KESIMPULAN
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi
uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
faktor eksogen, endogen, infeksi maupun noninfeksi. Tujuan utama dari
pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi
penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi
dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah
memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.
22
DAFTAR PUSTAKA
Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology
17th Edition. USA: McGrawHill
Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Yanoff, M. and Duker, JS., 2009. Yanoff and Duker’s Ophthalmology. 3 rd Edition.
UK: Mosby Elsevier.
23
24