Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit kusta atau yang dikenal dengan penyakit morbus hansen


merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketahanan nasional.1
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India
“kustha”, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi.2 Penyakit kusta pada
umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang
memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi
pada masyarakat.1
Penyakit kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada dewasa. Frekuensi tertinggi usia penderita kusta terdapat pada kelompok
umur antara 25-35 tahun. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti
masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan
masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap
kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Dengan kemajuan teknologi di bidang
promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit
kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat.1,2
Adapun pada laporan kasus ini, penulis akan melaporkan seorang pasien
perempuan usia 34 tahun dengan diagnosis Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
pada Kusta.

1.2. Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
penyusun dan pembaca mengenai kusta tipe pausibasilar (PB) dan sebagai salah

1
satu syarat agar bisa mengikuti ujian akhir di KSM Kulit dan Kelamin RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada hari Selasa, 12 November 2019, pukul 10.00
WIB dengan pasien sendiri (auto-anamnesis).

2.1.1 Identitas Pasien


a. Nama penderita : Ny. S
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Tanggal lahir : 18 Juni 1985 (34 tahun)
d. No. Rekam Medik : 30.05.19
e. Pendidikan terakhir : SD
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Alamat : Basarang km 1,5
h. Kedatangan : Poli Penyakit Kulit dan Kelamin,
tanggal 12 November 2019 (Selasa)

2.1.2 Keluhan Utama


Benjolan merah di hampir seluruh tubuh.

2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang


Benjolan merah di hampir seluruh tubuh kurang lebih 1 bulan yang lalu
sejak datang ke Poli Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD dr.Doris Sylvanus. Pasien
mengatakan awalnya benjolan merah muncul di tangan dan menyebar ke bagian
muka dan perut. Pasien mengatakan bercak tersebut terasa nyeri dan panas.
Terutama pada bagian kaki pasien terasa nyeri. Pada tangan sebelah kanan, serta
pada kedua kaki dari ujung jari sampai di atas lutut terasa mati rasa.
Pasien mengatakan ada demam sampai menggigil pada malam hari dan
demam akan turun setelah diberi obat penurun panas. Pasien merasa lemas. Pasien

3
sudah berobat ke puskesmas, namun tidak ada perubahan. Pasien tidak
mengeluhkan adanya gangguan penglihatan atau nyeri pada bagian mata.

2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Keluhan yang sama sebelumnya (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat
stroke (-), Riwayat alergi makanan (-), Riwayat penyakit asma (-).
Pasien sedang menjalani pengobatan kusta tipe PB bulan ke 2 (pasien tidak
meminum obat secara rutin).

2.1.5 Riwayat Sosial-Ekonomi


Pasien mengatakan bahwa keluarga yang tinggal di sebelah rumah ada yang
mengalami penyakit kusta dan sudah selesai menjalani terapi pengobatan, tetapi
tidak memiliki bercak merah menonjol seperti yang dialami pasien sekarang.

2.2 Pemeriksaan Fisik


a. Tanda-tanda vital
 Keadaan umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan darah : 130/90 mmHg
 Laju nadi : 88x/menit, kuat angkat, dan regular
 Laju napas (RR) : 20x/menit, pernapasan thorako-abdominal
 Suhu : 36,4oC di axilla

b. Pemeriksaan Generalisata
1. Kepala : eritema nodul, berbatas tegas (+), alopesia (-)
2. Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor
(±3 mm), refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya
tidak langsung +/+, edema periorbital -/-
3. Hidung : Sekret (-)
4. Mulut : Labium oris pucat (-), sianosis (-), atrofi papil lidah (-),
faring hiperemis (-), tonsil T1-T1.

4
5. Leher : ■ Tekanan vena jugularis (JVP) normal.
■ Pembesaran kelenjar getah bening (-)
■ Pembesaran tiroid (-)
■ Eritema nodul, berbatas tegas (+)
6. Thorax
Pulmo
Inspeksi Simetris, ketertinggalan gerak (-), eritema nodul, berbatas
tegas (+)
Palpasi Fremitus vokal kanan = kiri, ekspansi dada kiri = kanan
Perkusi  Sonor di semua lapang paru
 Batas paru-hepar di ICS V linea midclavicularis dextra
 Batas paru-lambung di ICS VI linea midclavicularis
sinistra
Auskultasi Suara dasar paru +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Cor
Inspeksi Thrill (-), eritema nodul, berbatas tegas (+)
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V di LMCS
Perkusi Batas kiri di ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas dextra di linea sternalis dextra
Pinggang jantung di ICS II linea sternalis sinistra
Batas bawah di ICS VI linea sternalis sinistra
Auskultasi  S1-S2 tunggal dan regular, murmur (-), gallop (-)
 Heart rate = 88x/menit, regular, tunggal
7. Abdomen
Inspeksi Tampak datar, distensi (-), eritema nodul, berbatas
tegas (+)
Auskultasi Bising usus 7x/menit (normal)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi  Pekak hepar terdengar
 Timpani
8. Ekstremitas
Extremitas superior dextra Extremitas superior sinistra
 Akral hangat, CRT <2 detik  Akral hangat, CRT <2 detik
 Eritema nodul, berbatas  Eritema nodul, berbatas tegas
tegas (+). (+)
 Pucat palmar (-)  Pucat palmar (-)
 Eritema nodul, berbatas  Eritema nodul, berbatas tegas
tegas (+) (+)
 Motorik : 3  Motorik : 5
Sensorik kurang Sensorik dalam batas normal

5
Extremitas inferior dextra Extremitas inferior sinistra
 Akral hangat, CRT<2 detik  Akral hangat, CRT<2 detik
 Motorik : 3  Motorik : 3
 Sensorik kurang Sensorik kurang
 Edema, dan kekakuan sendi  Edema, dan kekakuan sendi
tidak ditemukan tidak ditemukan
 Eritema nodul, berbatas  Eritema nodul, berbatas tegas
tegas (+) (+)

Tabel 2.1 Pemeriksaan Pembesaran Saraf


Pembesaran/
No. Pemeriksaan Nervus Penebalan Nyeri Keterangan
(kanan/kiri)

N. auricularis magnus
1. Menebal/Tidak ada Nyeri Menebal
(dextra/sinistra)

N. ulnaris
2. (dextra/sinistra) Tidak ada/Tidak ada Nyeri Tidak Menebal

N. proneus comunis/
Poplitea lateralis
3. Tidak ada/Tidak ada Nyeri Tidak menebal
(dextra/sinistra)

N. tibialis posterior
4. Tidak ada/ Tidak ada Nyeri Tidak menebal
(dextra/sinistra)

6
Tabel 2.2 Pemeriksaan Fungsi Saraf
Fungsi
Saraf
Motorik Sensorik Otonom
Fasialis Lagoftalmus (-),
mulut mencong (-)
Ulnaris Tidak ada Hipoestesi pada
kelumpuhan digiti digiti 4 dan 5 pada
4 dan 5 tangan kanan
Medianus Tidak ada Hipoestesi pada
Tidak ada kulit
kelumpuhan digiti digiti 1, 2 dan 3
kering maupun
1,2, dan 3 pada tangan kanan
kulit retak
Radialis Drop wrist (-) Hipoestesi pada
tangan kanan
Peroneus Drop foot (-) Hipoestesi pada
kedua kaki
Tibialis posterior Claw toes (-) Hipoestesi pada
kedua kaki

Status Dermatologis
- Ad regio : ad cranialis, ad trunkus, ad ekstremitas superior, ad
ekstremitas inferior
- Efloresensi : tampak nodul eritema, berbatas tegas, tepi regular, ukuran
plakat, jumlah multiple, dan distribusi universalis.

2.3 Diagnosis Banding


1. Eritema Nodosum Leprosum
2. Eritema induratum
3. Sarkoidosis

2.4 Diagnosa Kerja


Diagnosis kerja pada kasus pasien Ny.S adalah: Eritema Nodosum
Leprosum (ENL) pada Morbus Hansen.

7
2.5 Daftar Abnormalitas
a. Anamnesis
 Benjol merah pada seluruh tubuh.
 Terasa nyeri dan panas.
 Demam dan malaise.
 Pada beberapa bagian (tangan kanan dan kedua kaki) terasa mati rasa
sampai batas tertentu.
 Pasien sedang menjalani pengobatan kusta bulan ke 2.
 Riwayat keluarga yang mengalami penyakit serupa (kusta).
b. Pemeriksaan Fisik
 Eritema nodul, berbatas tegas region universalis.
 Ekstremitas superior dextra, motorik : 3, sensorik kurang.
 Ekstremitas inferior dextra, motorik : 3, sensorik kurang.
 Ekstremitas inferior sinistra, motorik : 3, sensorik kurang.
 Nervus auricularis magnus dextra menebal dan nyeri.

2.6 Analisis Masalah (Problem)


Eritema Nodosum Leprosum (ENL) pada kusta.

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Medikamentosa
- Metil prednisolon 8 mg tab 3x1
- Natrium diklofenak 50 mg tab 2x1
- Mecobalamin 500 mg tab 1x1
- Ranitidin 150 mg tab 2x1
- Paracetamol 500 mg tab 3x1

2.7.2 Non-medikamentosa
1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit pasien,
terutama cara penularan dan pengobatannya.

8
2. Menjelaskan kepada keluarga pasien untuk membantu mengawasi pasien
minum obat sehingga pengobatan yang diberikan tuntas sesuai waktu
pengobatan.
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluaga mengenai pentingnya asupan
nutrisi dan istirahat yang cukup.
4. Menjelaskan kepada pasien upaya pencegahan kecacatan

2.8 Prognosis
- Quo ad vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : Dubia ad malam

2.9 Foto Lesi pada Pasien

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

10
3.1 Morbus Hansen
3.1.1 Definisi
Morbus Hansen atau penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa
kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat
intraselular. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, kemudian selanjutnya dapat
menyerang kulit, lalu menyebar ke organ lain (mukosa mulut, traktus respiratorius
bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis), kecuali
susunan saraf pusat.3,4

3.1.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum
diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik, yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.2
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Belum ditemukan medium artifisial,
mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M.leprae. Sampai saat ini hanya
manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman
kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang
tidak mempunyai kelenjar thymus (othymic nude mouse).1,2
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan pasien
kusta, hal ini disebabkan adanya kekebalan tubuh. M.leprae termasuk kuman
obligat intraseluler sehingga sistem kekebalan yang berperan adalah sistem
kekebalan seluler. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya
sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar
70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit.1

3.1.3 Etiologi

11
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen pada tahun 1873.1 .Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob,
tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil gram positif dengan ukuran
3-8μm x 0,5μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini memunyai afinitas
terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann
menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi
kronik.3

3.1.4 Pembagian Reaksi ,2,3,5


Ada dua tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, yaitu1:
 Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas selular
 Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
Fenomena Lucio atau reaksi lepra tipe 3, sebenarnya merupakan reaksi tipe 2
yang lebih berat.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan yang prinsip antara reaksi tipe 1 dan
reaksi tipe 2, yaitu reaksi tipe 1 yang memegang peranan ialah imunitas selular
(SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 imunitas humoral.
Menurut Ridley dan Jopling, spektrum lepra terdiri dari 5 tipe, yaitu5:
1) Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)
Lesi berupa bercak makula anestetik dan hipopigmentasi yang
terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak,
kulit kepala (scalp), perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda
dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang
menonjol. Lesi dapat mengalami penyembuhan spontan atau dengan
pengobatan selama tiga tahun.
2) Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil,
tidak disertai adanya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi
pembengkakan.

3) Tipe Mid Borderline (BB)

12
Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes
lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur,
terdapat satelit yang mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian
tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah
sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional.
4) Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi pada tipe ini berupa makula dan nodul papula yang cenderung
asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat
gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai
madarosis, keratitis, ulserasi maupun muka berbenjol-benjol (facies
leonine).
5) Tipe Lepromatosa (LL)
Lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada
perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan
sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti
singa, muka berbenjol-benjol facies leonine.

Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil,
sedangkan lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Di
samping tipe-tipe diatas terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk
subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT maupun LL, sehingga secara klinis
sukar atau tidak bisa dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti TT
dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).1

Gambar di bawah ini menunjukan spektrum lepra dalam hubungannya dengan


jumlah basil dan tingginya imunitas.1

SIS Basil

13

TT TTs BT BB BL LLs LL
Gambar 3.1 Spektrum Lepra1

Ternyata makin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki oleh seorang pasien lepra,
semakin tinggi jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas
yang tinggi sukar sekali menemukan basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir
atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil dapat ditemukan.1

1) Reaksi Tipe 1

Menurut Jopling reaksi lepra tipe 1 merupakan delayed hipersensitivity


reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan
Gell. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy
bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T di sertai perubahan SIS yang cepat.
Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antar
imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat
terjadi upgrading/reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid (terjadi
peningkatan (SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk lepromatosa
(terjadi penurunan SIS).1

Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan dengan reaksi reversal oleh
karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapat
pengobatan, sedangkan downgrading reaction lebih jarang dijumpai oleh
karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang
tidak mendapat pengobatan.1
Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk
lepra yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada
bentuk yang lain. Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan berubah

14
menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk TTs, sedangkan bila terjadi down
grading akan berubah menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs.1
Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat digolongkan
sebagai berikut:1
Tabel 3.1 Manifestasi Reaksi Kusta Tipe 11

Organ yang diserang Reaksi Ringan Reaksi Berat


Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada
menjadi lebih menjadi eritematosa.
eritematosa Timbul lesi baru yang
kadang-kadang disertai
panas dan malaise.
Saraf Membesar, tidak nyeri, Membesar, nyeri, fungsi
fungsi tidak terganggu. terganggu.
Berlangsung kurang dari Berlangsung lebih dari 6
6 minggu. minggu.
Kulit dan saraf Lesi yang telah ada Lesi kulit yang
bersama-sama menjadi lebih eritematosa disertai
eritematosa, nyeri pada ulserasi atau edema pada
saraf. tangan/kaki.
Berlangsung kurang dari Saraf membesar, nyeri
6 minggu. dan fungsinya terganggu.
Berlangsung lebih dari 6
minggu

15
Gambar 3.2 Manifestasi Reaksi Kusta Tipe 13

Gambar 3.3 Manifestasi Reaksi Kusta Tipe 1 pada Kulit2

16
Gambar 3.4 Manifestasi Reaksi Kusta Tipe 1 pada Tangan dan Wajah2
2) Reaksi Tipe 2
Reaksi lepra tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodosum leprosum (ENL).
ENL merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coombs dan Gell.
Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi
membentuk kompleks Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi
komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang
merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada bentuk LL
dan LLs dan kadang-kadang bentuk BL. Biasanya disertai gejala-gejala sistemik.
Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan pemberian pengobatan
antilepra, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama
pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi
granular.1
Tidak terlihat gambaran perubahan lesi lepra seperti pada reaksi tipe 1 (SIS
tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spektrum pun tetap).
Dibawah ini adalah tabel manifestasi reaksi lepra tipe 2.1
Tabel 3.2 Manifestasi Reaksi Tipe 21

No Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)


.
1 Kondisi umum Baik atau demam ringanBuruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodul
kulit menjadi lebih meradang kemerahan, lunak, dan
(merah), dapat timbul nyeri tekan. Biasanya
bercak baru pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat

17
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan
yang lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan organ Hampr tidak ada Terjadi pada mata,
lain KGB, sendi, ginjal,
testis, dll
7 Faktor pencetus  Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan
meningkatkan stress fisik
kekebalan tubuh lainnya
 kehamilan

18
Gambar 3.5 Manifestasi Reaksi Tipe 23

Gambar 3.6 Manifestasi Reaksi Tipe 2 pada Mata2

19
Tabel berikut menunjukkan perbedaan kedua jenis reaksi2:
Tabel 3.3 Perbedaan Manifestasi antara Reaksi Tipe 1 dan Reaksi Tipe 2

Gambar 3.7 Perbedaan Manifestasi Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 22

3) Fenomena Lucio
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Gambaran klinis dapat berupa plak atau
infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematosa, disertai purpura dan bula, kemudian dengan cepat

20
terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.1

Tabel 3.4 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 1
No Gejala Tipe I Tipe II
/tanda
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, tebal, merah, tebal, merah,panas, panas, nyeri yang
panas, nyeri panas, nyeri nyeri bertambah parah
yang sampai pecah
bertambah
parah sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan
perbaan (-) perabaan (+) perabaan (-) (+)
3 Keadaan Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)
umum
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
 mata : iridocyclitis
 testis :
epididimoorchitis
 ginjal : nefritis
 kelenjar limpa :
limfadenitis
 gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
* bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai
reaksi berat

3.1.5 Penanganan

21
Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk1:
1) Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi
paralisis atau kontraktur.
2) Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mengenai
mata.
3) Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.
4) Mengatasi rasa nyeri.

3.1.6 Pengobatan
Adapun prinsip pengobatan reaksi kusta adalah sebagai berikut1:
1) Pemberian obat antireaksi
2) Istirahat atau imobilisasi
3) Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
4) Obat antikusta diteruskan

Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontraindikasi, semua obat antikusta
dosis penuh harus tetap diberikan1:
1) Untuk membunuh kuman agar penyakitnya tidak meluas.
2) Untuk mencegah timbulnya resistensi
3) Dengan menghentikan obat-obat antikusta saat pengobatan reaksi, kadang-
kadang justru akan menimbulkan reaksi pada waktu obat antikusta
tersebut diberikan kembali.

Adapun pengobatan reaksi kusta dibagi menjadi dua, yaitu1:


1) Reaksi Ringan
a) Non medikamentosa
Istirahat, imobilisasi, berobat jalan.

b) Medikamentosa

22
 Aspirin
Masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengatasi nyeri dan
sebagai antiradang. Dosis yang dianjurkan antara 600-1200 mg
diberikan tiap 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari.
 Klorokuin
Kombinasi aspirin dan klorokuin dikatakan lebih baik khasiatnya
dibandingkan dengan pemberian tunggal.
Dosis: 3 kali 150 mg/hari.
Efek toksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa: ruam
pada kulit, fotosensitisasi serta gangguan gastrointestinal,
penglihatan dan pendengaran.
 Antimon
Stibophen berisi 8,5 mg antimon per ml.
Dosis: 2-3 ml diberikan secara selang-seling, dosis total tidak
melebihi 30 ml. Digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk
mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang.
Efek samping: ruam pada kulit, bradikardi, hipotensi.
Kini jarang dipakai karena kurang efektif dan lebih toksik daripada
kortikosteroid, talidomid, dan klofasimin.
 Talidomid
Obat tersebut digunakan untuk mengatasi reaksi tipe 2 agar dapat
melepaskan ketergantungan pada kortikosteroid.
Dosis: mula-mula diberikan 400 mg/hari sampai reaksinya teratasi,
kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
dianjurkan diberikan pada wanita hamil dan usia subur.

2) Reaksi Berat
Segera rujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan. Untuk reaksi tipe1 harus
segera diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat
diberikan klofazimin, talidomid, dan kortikosteroid sendiri-sendiri atau

23
kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama pengobatan reaksi kusta
sangat bervariasi, sehingga belum ada dosis baku.
Cara pemberian kortikosteroid dapat dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang, dapat digunakan prednison atau prednisolon, gunakan sebagai
dosis tunggal pada pagi hari, dan dosis steroid dapat dimulai antara 30-80
mg prednison/hari dan diturunkan 5-10 mg/2 minggu, sebagai berikut1:
 2 minggu I : 30 mg/hr
 2 minggu II : 20 mg/hr
 2 minggu III : 15 mg/hr
 2 minggu IV : 10 mh/hr
 2 minggu V : 5 mg/hr

Pada fenomena lucio, pengobatan dapat diberikan rifampisin, yang


merupakan obat utama bagi pasien fenomena lucio yang belum pernah
mendapat pengobatan antilepra. Pemberian kortikosteroid seperti pada
pengobatan ENL.talidomid dan klofazimin tidak efektif.1

3.1.7 Diagnosis Banding1,4


Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
 Ada Makula hipopigmentasi.

 Ada daerah anestesi.

 Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam.

 Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

1) Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,


atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.

2) Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,


psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea

24
3) Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.

4) Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau


erupsi obat.

3.1.8 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana
dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur
dan ulkus kronik, prognosis kurang baik.2,4

25
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny.S, perempuan berusia 34 tahun datang ke Poli Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan benjolan merah di hampir
seluruh tubuh sejak ±1 bulan yang lalu sebelum datang ke Poli. Keluhan tidak
disertai rasa gatal, namun terasa tebal di bagian yang terdapat bercak merah serta
terasa sakit. Benjolan muncul pertama kali di region lengan dan terasa nyeri.
Beberapa hari kemudian region bermunculan di region fascialis dan abdomen
dengan ukuran yang bervariasi. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pada region
universal ada gambaran eritema bernodul, batas tegas, bersisik (-). Pasien
merasakan kemerahan benjol tersebut terasa nyeri. Kemungkinan penyebab lesi
pada pasien dikarenakan penyakit morbus hansen atau kusta, yaitu reaksi kusta
tipe 2. Yang mana seseorang dinyatakan mengalami reaksi tipe 2 dengan adanya
timbulnya benjolan berwarna merah dengan nyeri tekan yang tidak berhubungan
dengan lesi lepra.
Dari anamnesis didapatkan pula bahwa pasien sedang menjalani pengobatan
kusta bulan ke 2. Namun pasien tidak rutin dalam mengkonsumsi obat. Hal
tersebut memperkuat diagnosis mengingat reaksi tipe 2 ini ada hubungannya
dengan pemberian pengobatan antilepra. Reaksi lepra adalah gambaran dari
episode akut hipersensitivitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan
dalam keseimbangan sistem imunologi. Penderita penyakit kusta dapat
mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan yang abnormal
(respon imun seluler atau respon imun humoral), dengan akibat yang merugikan
penderita. Reaksi lepra dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah pengobatan
dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu reaksi kusta tipe I
dan reaksi kusta tipe II. (8)

26
Reaksi tipe 2 (ENL) dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lepra jenis
multibasiler (LL dan BL). Mungkin terjadi sebelum, selama atau setelah
perawatan. Sampai 50% LL dan 15% pasien BL dapat mengalami reaksi ENL.
Serangan pada awalnya sering akut, namun mungkin akan berlangsung lama atau
berulang selama beberapa tahun dan akhirnya tenang namun berbahaya, terutama
di mata. ENL bermanifestasi paling umum sebagai nodul merah yang
menyakitkan pada wajah dan permukaan ekstensor anggota badan. Lesi mungkin
dangkal atau dalam, dengan supurasi, ulserasi atau indurasi ganas saat kronis.
ENL adalah gangguan sistemik yang menghasilkan demam dan malaise dan dapat
disertai dengan uveitis, dactylitis, artritis, neuritis, limfadenitis, myositis dan
orchitis. Neuritis syaraf perifer dan uveitis dengan komplikasi synechiae, katarak
dan glaukoma adalah komplikasi ENL yang paling serius. (9)
Pada kasus ini, sesuai dengan teori bahwa pasien muncul bengkak merah di
kedua tangan dan kaki disertai nyeri dan juga rasa gatal yang dialami sejak sekitar
1 bulan yang lalu yang muncul secara tiba-tiba, saat pasien merasa cepat lelah dan
banyak pikiran, dan berkurang ketika minum obat. Pasien juga mengeluhkan nyeri
pada sendi tangan dan kaki, demam yang hilang timbul dan cepat lelah..
Sebelumnya didiagnosis dengan morbus hansen. Selama 2 bulan ini pasien sudah
mengkonsumsi MDT Dewasa. ENL adalah respons spesifik lepra, yang memiliki
beberapa ciri klinis dan histologis yang sama dengan eritema nodosum. Mungkin
terjadi sebelum, selama, atau setelah pengobatan. (5)
Waktu rata-rata onset ENL mendekati 1 tahun setelah onset pengobatan.
Tetapi pada pasien yang baru menjalani 2 bulan pengobatan tidak menutup
kemungkinan terjadinya reaksi ini. Secara klinis, reaksi ini ditandai oleh nodul
nyeri dan lunak, pink cerah, dermal dan subkutan pada kulit normal, disertai
dengan demam, anoreksia, dan malaise. Arthralgias dan artritis lebih sering terjadi
pada ENL daripada neuritis, adenitis, orchitis / epididimitis, atau iritis, namun
masing-masing jarang menjadi presentasi awal. Keterlibatan ekstremitas atas dan
bawah adalah tanda khas dan lesi di wajah dapat terjadi pada separuh pasien. Lesi
mungkin bersifat targetoid, vesikular, pustular, ulseratif, atau nekrotik. (9)

27
Tatalaksana pada ENL terdiri dari beberapa pilihan. Salah satunya,
pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan dengan prednisolon merupakan
terapi pilihan untuk ENL. Pemberian prednisolon biasanya dimulai dengan dosis
30 mg hingga 60 mg per hari, dan ENL biasanya terkendali dalam waktu 24
hingga 72 jam. Dosis diturunkan 10 mg setiap minggunya hingga mencapai dosis
20 mg, lalu diturunkan 5 mg setiap minggu setelahnya. Sebelum memberhentikan
pemberian kortiko-steroid secara total, dosis rumatan 0,5-1 mg per kgBB/hari
harus dipertahankan dalam beberapa hari hingga minggu untuk menghindari
rekurensi ENL. Resiko efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang
juga tidak boleh lupakan. (10,11)
Tabel 3.5 Tatalaksana Reaksi Lepra
Tipe Durasi
Jenis Obat
Reaksi terapi
Prednison/
Thalomid Obat lain
Prednisolon

0,5-1,0 mg/kg.
Rifampisin
Biasanya
dapat
dibutuhkan
meningkatkan
selama 6
katabolisme.
bulan-2
Taper
Tipe I - NSAID tahun.
perlahan.
Mungkin
Pengobatan
lebih lama
alternatif
atau
mungkin bisa
singkat
ditolerir
dengan baik.

Obat palingmanjur
jika tersedia dan tidak Median
dikontraindikasikan. durasi
Awalnya 1 dosis Jika thalidomide pengobatan
100-200 mg tidak tersedia, sekitar 5
Tipe II
perhari. Dosis 0,5-1,0 mg/kg/ tahun. Bisa
maintenance hari. bertahan
kisaran 50 mg selama 10
setiap hari sampai tahun
500 mg setiap hari
Penomena - Mungkin Plasmap -

28
Lucio bermanfaat resis

Pemberian Multi Drug Treatment (MDT) pada pasien dengan ENL


harus tetap berlanjut. Pemberian MDT pada kusta multibasiler terdiri dari
rifampicin 600 mg/bulan, klofazimine 300 mg/bulan, keduanya diminum
hari pertama pengobatan. Dilanjutkan dengan pengobatan dengan dapsone
100 mg/hari dan klofazimine 50 mg/hari. Pengobatan ini tetap dilanjutkan
pada pasien hingga 1 tahun. Dengan terapi yang adekuat, diharapkan
reaksi ENL dapat dikendalikan dalam waktu singkat. Biasanya reaksi ENL
akan berkurang dan menghilang dalam waktu 2 sampai 4 minggu. (10,1112)

Tabel 3.6 Diagnosis Banding(5)


Alasan Deskripsi
No Diagnosis Definisi Gambar
Diagnosis Lesi

29
1. Eritema Tampak lesi ENL dapat Tampak
Nodosum bengkak terjadi pada nodul
Leprosum merah, nyeri pasien eritematu
disertai nyeri dengan s,
sendi dan
penyakit berbatas
demam,
lepra jenis tidak
adanya
penebalan multibasiler tegas,
saraf lebih sebelum, tepi
dari satu. selama atau reguler,
setelah ukuran
pengobatan gutata,
.ENL jumlah
bermanifest multiple,
asi paling dan
umum distribusi
sebagai regional
nodul bilateral.
merah yang
menyakitka
n pada
wajah dan
permukaan
ekstensor
anggota
badan.

2. Erythema Tampak lesi Merupakan Tampak


Induratum eritema inflamasi nodul atau
dengan panniculitis plak
penebalan yang eritematus
yang sering berkaitan dan sering
terjadi pada dengan ditemukan
kaki bagian Mycobacteri ulkus
belakang dan um distribusi
jarang tuberculosis regional.
ditemukan
pada bagian
tangan

30
3. Erythema Gejala kulit Sarkoidosis Tampak
Nodosum bervariasi, adalah nodul
ec. dan berkisar penyakit eritemato
Sarkoidosi dari ruam yang ous
s multipel
dan nodula melibatkan
dengan
(benjolan kumpulan
distribusi
kecil) untuk sel regional
eritema inflamasi
nodosum. abnormal
yang
membentuk
benjolan
yang
dikenal
sebagai
granuloma.
Penyakit ini
biasanya
dimulai di
paru-paru,
kulit, atau
kelenjar
getah
bening.

31
BAB V
PENUTUP

Pasien Ny.S, perempuan berusia 34 tahun, berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didiagnosa dengan eritema
nodusum leprosum (ENL) pada kusta. Pengobatan untuk morbus hansen tipe
pausibasilar (PB) pada pasien adalah regimen pengobatan MDT yang terdiri dari
rifampisin dan dapson, yang mana dikonsumsi selama 6-9 bulan. Edukasi penting
diberikan kepada pasien mengenai efek samping dari obat yang dikonsumsinya
serta upaya pencegahan cacat di rumah.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan


Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta: Bakti Husada, 2012.
2. Kosasih A, et al. Kusta. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2011.
3. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2015.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Praktik
Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta:
PERDOSKI, 2017.
5. Price SA. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta : EGC.
2005.
6. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC.
2004.
7. Sehgal VN, Srivastava G, et.al. Histoid leprosy: the impact of the entity on
the postglobal leprosy elimination era. International Joural of Dermatology,
2009.
8. WHO Expert Committee on leprosy, eighth report. Technical Report Series.
2012;369:1-61.
9. Villahermosa LG,. Fajardo TT Jr, Abalos RM, Cellona RV, Balagon V, Cruz
ECD,Tan EV,.Walsh GP,.Walsh DS Parallel assessment of 24 monthly doses
of Rifampicin, Ofloxacin, and Minocycline versus two years of World
Organization Multi-drugTherapy for Multibacllary Leprosy Am. J. Trop.
Med. Hyg. 2004;70(2):2004.h197–200.
10. Kroger A, Pannikar V,Htoon MT, Jamesh A, Katoch K, Krishnamurthy P,
Ramalingam K, Jianping S, Jadhav V, Gupte MD, Manickam P. International
open trial of uniform multidrug therapy regimen for 6 months for all types of
leprosy patients rationale, design and preliminary results. Tropical Medicine
and International Health 2008;13(5):594-602.
11. Information Education Communication (IEC) and Counseling. Training
manual for medical officers. Chapter 11. Pp 119-124. National Leprosy
Eradication Programme Directorate General of Health Services Ministry of
Health & Family Welfare Nirman Bhawan. New Delhi; 2009.

33

Anda mungkin juga menyukai

  • Trauma Pada Mata
    Trauma Pada Mata
    Dokumen43 halaman
    Trauma Pada Mata
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • BAB I Lapsus Makrosomia
    BAB I Lapsus Makrosomia
    Dokumen1 halaman
    BAB I Lapsus Makrosomia
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • COVER Fix
    COVER Fix
    Dokumen7 halaman
    COVER Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus Hennie Alvionita Jannet
    Cover Lapsus Hennie Alvionita Jannet
    Dokumen6 halaman
    Cover Lapsus Hennie Alvionita Jannet
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Papilitis Fix
    Papilitis Fix
    Dokumen23 halaman
    Papilitis Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Sampul Kelainan Lakrimal
    Sampul Kelainan Lakrimal
    Dokumen6 halaman
    Sampul Kelainan Lakrimal
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Fix
    Lapsus Fix
    Dokumen42 halaman
    Lapsus Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Cover ROP
    Cover ROP
    Dokumen5 halaman
    Cover ROP
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • RETINOBLASTOMA
    RETINOBLASTOMA
    Dokumen1 halaman
    RETINOBLASTOMA
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Ileus Paralitik
    Ileus Paralitik
    Dokumen22 halaman
    Ileus Paralitik
    randy miken
    Belum ada peringkat
  • ROP
    ROP
    Dokumen23 halaman
    ROP
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Referat Thalassemia
    Presentasi Referat Thalassemia
    Dokumen16 halaman
    Presentasi Referat Thalassemia
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • DIARE
    DIARE
    Dokumen19 halaman
    DIARE
    Apry AdiVa SHafa
    Belum ada peringkat
  • Stase Kulit Dan Kelamin
    Stase Kulit Dan Kelamin
    Dokumen2 halaman
    Stase Kulit Dan Kelamin
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Print KARSINOMA NASOFARING
    Print KARSINOMA NASOFARING
    Dokumen30 halaman
    Print KARSINOMA NASOFARING
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Kejang Presentasi Anak
    Kejang Presentasi Anak
    Dokumen31 halaman
    Kejang Presentasi Anak
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Laporan Kasus Thalassemia
    Presentasi Laporan Kasus Thalassemia
    Dokumen18 halaman
    Presentasi Laporan Kasus Thalassemia
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Distensi Abdomen Pada Neonatus
    Distensi Abdomen Pada Neonatus
    Dokumen12 halaman
    Distensi Abdomen Pada Neonatus
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Hiasan Dinding Rumah
    Hiasan Dinding Rumah
    Dokumen3 halaman
    Hiasan Dinding Rumah
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik Bayi Berat Lahir Rendah
    Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik Bayi Berat Lahir Rendah
    Dokumen14 halaman
    Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik Bayi Berat Lahir Rendah
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Pernyataan Keaslian
    Pernyataan Keaslian
    Dokumen1 halaman
    Pernyataan Keaslian
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Referat New
    Referat New
    Dokumen23 halaman
    Referat New
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus Kulit
    Cover Lapsus Kulit
    Dokumen6 halaman
    Cover Lapsus Kulit
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Kulit
    Lapsus Kulit
    Dokumen60 halaman
    Lapsus Kulit
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Laring Nita
    Anatomi Laring Nita
    Dokumen32 halaman
    Anatomi Laring Nita
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • COVER Fix
    COVER Fix
    Dokumen5 halaman
    COVER Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat