Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Retinopati prematuritas pertama kali ditemukan oleh Terry pada tahun


1942 sebagai fibroplasia retrolental, diperkirakan menyebabkan 550 kasus
kebutaan baru pada bayi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Membaiknya
perawatan bayi baru lahir dapat menurunkan persentase bayi yang terkena
gangguan ini, tetapi juga telah meningkatkan jumlah total yang beresiko.1
Berdasar hasil studi epidemiologi di Sweden, pada neonatus dengan usia
gestasi kurang dari 27 minggu, insidens retinopati prematuritas pada berbagai
stadium dilaporkan sebesar 73% (368/506) dan retinopati prematuritas berat
dilaporkan sebesar 35% (176/506). Studi di Norway menunjukkan pada usia
gestasi <28 minggu, insidens retinopati prematuritas pada berbagai stadium
sebesar 33% (95/290). Dan hasil studi dari Australia dan New Zealand pada
neonatus dengan usia gestasi <29 minggu dilaporkan mengalami retinopati
prematuritas berat sebesar 10% (203/2105).2
Proses vaskularisasi retina berlangsung secara sentrifugal dari nervus
opticus, yang dimulai pada usia gestasi 4 bulan. Pembuluh-pembuluh retina
normalnya mencapai ora serrata nasalis pada usia gestasi 8 bulan dan ora serrata
temporalis pada usia 9 bulan. Retinopati prematuritas terjadi bila proses ini
terganggu. Faktor risiko utama timbulnya retinopati prematuritas adalah
penurunan usia gestasi dan penurunan berat lahir. Walaupun diketahuinya peran
kausatif pemberian oksigen tambahan (suplemental) dan pembatasannya tampak
menurunkan insidens retinopati prematuritas, faktor-faktor lain berperan dalam
onset dan keparahan penyakit. Faktor risiko terkait meliputi asidosis, apneu, paten
duktus arteriosus, septikemia, transfusi darah, dan perdarahan intraventrikel.1
Semua bayi dengan berat lahir 1500 g atau kurang dan bayi yang
mendapat terapi oksigen tambahan jangka panjang dianjurkan menjalani
pemeriksaan skrining berulang untuk mencari adanya retinopati prematuritas.
Sebanyak 60% bayi-bayi tersebut akan mengalami penyakit ini walaupun hanya

1
pada stadium awal. Pemeriksaan skrining harus dimulai 2-4 minggu setelah lahir
dan berlanjut sampai vaskularisasi mencapai retina, sampai tanda-tanda retinopati
prematuritas telah mengalami resolusi spontan atau sampai diberikan terapi yang
tepat.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. RETINA
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan
semitransparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola
mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh korpus siliaris dan berakhir
pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. Pada orang dewasa, ora serrata
berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm
pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel
berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid dan
sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah
hingga terbentuk ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Namun
pada diskus optikus dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat
kuat sehingga perluasan cairan subretina pada ablasio retina dapat dibatasi. Hal ini
berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sklera,
yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian, ablasio koroid akan meluas
melampaui ora serrata, di bawah pars plana dan pars plicata. Lapisan-lapisan
epitel pada permukaan dalam korpus siliaris dan permukaan posterior iris
merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan
dalam retina berhadapan dengan vitreus.
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut: (1)
membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson
sel ganglion yang berjalan menuju nervus opticus; (3) lapisan sel ganglion; (4)
lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel
amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin
dan horizontal; (6) lapisan pleksiform luar, yang mengandung sambungan sel
bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor;
(8) membran limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar

3
batang dan kerucut; dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan dalam membran Bruch
sebenarnya merupakan membran basalis epitel pigmen retina.
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5 – 6
mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-
cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi
sebagai daerah sentralis, yang secara histologis merupaka bagian retina yang
ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara
anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung
pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea yang berdiameter 1,5 mm ini merupakan
zona avaskular retina pada angiografi flouresens. Secara histologis, fovea ditandai
sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai lapisan
parenkim lain. Hal ini terjadi karena akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring
(lapisan serabut Henle) dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan
permukaan-dalam retina lepas secara sentrifugal. Di tengah makula, 4 mm lateral
dari diskus optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm yang secara klinis
tampak jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan
khusus. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut. Gambaran histologis fovea dan foveola ini
memungkinkan diskriminasi visual yang tajam; foveola memberikan ketajaman
visual yang optimal. Ruang ekstraseluler retina yang normalnya kosong
cenderung paling besar di makula.
Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat
di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen retina;
serta cabang-cabang dari arteri centralis retina, yang mendarahi dua pertiga dalam
retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh koriokapilaris dan rentan terhadap
kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah
retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar
darah-retina. Sawar darah-retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel
pigmen retina.3

4
Gambar 2.1 Retina dan lapisan-lapisannya.4
2.2. Retinopati prematuritas (ROP)
a. Definisi
Retinopati prematuritas (ROP) adalah suatu retinopati vasoproliferatif
yang mengenai bayi prematur dan bayi berat lahir rendah sebagai akibat
terganggunya pembuluh darah retina yang belum terbentuk sempurna.5
Retinopati prematuritas pertama kali diidentifikasi oleh Terry tahun 1942,
dari pengamatannya pada epidemi kebutaan diantara bayi-bayi prematur. Flynn
mengutip dari Silvermann, memperkirakan bahwa selama 10 tahun periode 1943
– 1953 ROP telah menimbulkan kebutaan pada 7000 anak di Amerika dan 10.000
anak di seluruh belahan dunia. Palmer dkk melaporkan 65,8% bayi dengan BBL
1250 gram dan 81,6% bayi dengan BBL 1000 gram mengalami ROP pada
berbagai tingkat dari penelitian pada 4099 bayi BBLR. Phelps melaporkan angka
kebutaan akibat ROP di Amerika Serikat selama tahun 1979 berjumlah 546 kasus
dan memperkirakan 2.100 bayi akan terkena ROP pada tingkat sikatrik setiap
tahun di Amerika Serikat.1

5
b. Etiologi
Belum diketahui jelas apa penyebab dari ROP, namun ROP sangat sering
terjadi pada bayi dengan berat badan lahir <1250 gram dan usia kehamilan < 31
minggu (sangat prematur).
Pembuluh darah tumbuh dari sentral retina pada usia kehamilan 16 minggu
dan cabangnya akan mencapai tepi retina ketika usia kehamilan sudah mencapai
lebih dari 36 minggu. Ketika bayi lahir matur, pembuluh darah retina sudah
komplit, namun bila bayi lahir secara prematur sebelum pembuluh darah ini
mencapai tepi retina, maka pertumbuhan pembuluh darah normal akan terhenti
dan bagian tepi retina tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal ini
menyebabkan bagian tepi retina akan mengirimkan sinyal ke daerah retina lain
untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisinya. Sebagai akibatnya pembuluh
darah abnormal mulai tumbuh, dimana pembuluh darah ini sangat lemah dan
mudah berdarah dan menyebabkan jaringan parut pada retina yang dapat
menyebabkan penarikan retina hingga terlepas.6
c. Faktor risiko
Pada waktu pertama kali diidentifikasi oleh Terry tahun 1942 dianggap
paparan oksigen dengan konsentrasi tinggi pada bayi prematur adalah satu-
satunya faktor yang berperan dalam mekanisme terjadinya ROP.
Seiring perkembangan zaman, banyak penelitian yang telah dilakukan, dan
menemukan bahwa faktor usia kehamilan, apne yang memerlukan resusitasi
dengan sungkup/masker oksigen, sepsis, beratnya penyakit, transfusi darah,
perdarahan intraventrikular dan ventilasi mekanik sebagai faktor yang juga
perperan meningkatkan risiko kejadian ROP.
1. Penggunaan O2
Peran oksigen sebagai faktor risiko ROP telah mulai diteliti semenjak era
1950-an diawali oleh penelitian kolaboratif 18 rumah sakit yang dikoordinasi
dokter V.E Kinsey yang kemudian hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian
eksperimental lain. Efek primer oksigen terhadap pembuluh darah retina yang
belum matang pada binatang percobaan adalah terjadinya vasokonstriksi retina.
Apabila konstriksi ini bertahan akan diikuti oleh penutupan pembuluh darah pada

6
berbagai tingkat, kemudian akan menimbulkan kerusakan endotel dan akan
menyebabkan penutupan sempurna pembuluh darah yang belum matang tersebut.
Pembuluh darah baru akan terbentuk pada daerah yang mengalami kerusakan
kapiler retina tersebut. Pembuluh darah baru ini akan menyebar di permukaan
retina dan berkembang sampai ke korpus vitreus.
Penelitian dengan binatang percobaan yang diberi oksigen konsentrasi
tinggi menunjukkan hanya pembuluh darah yang belum matanglah yang sensitif
terhadap oksigen, semakin tidak matang pembuluh darahnya makin besar
risikonya terhadap pemberian oksigen, sehingga bayi dengan pembuluh darah
retina yang sudah matang/ pembuluh darah yang sudah penuh di retina tidak
memberi risiko terhadap ROP. Atas dasar itulah predileksi ROP di bagian
temporal retina dapat diterangkan. Vasokonstriksi awal pada pembuluh darah
retina yang imatur terjadi dalam beberapa menit pertama setelah paparan terhadap
oksigen, ukuran pembuluh darah berkurang sampai 50%, namun kemudian
kembali ke ukuran normal. Oksigen yang terus menerus 4 – 6 jam selama akan
menimbulkan vasospasme bertahap sampai pembuluh darah tersebut mengecil
sampai 80%. Sampai pada tahap ini vasokonstriksi pembuluh darah retina masih
bersifat reversibel, namun apabila keadaan ini bertahan (misalnya pemberian
oksigen sampai 10 – 15 jam) beberapa pembuluh darah perifer retina yang belum
matur tersebut akan mengalami penutupan permanen.1
2. Anemia dan Transfusi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa anemia adalah faktor risiko
untuk terjadinya ROP sedangkan laporan lain mengatakan hematokrit yang tinggi
dan transfusi berulang pada kejadian anemia yang merupakan faktor independen
terjadinya kasus ROP. Sacks dkk pada penelitian 90 bayi dengan BBL 1250 gram
(Pennsylvania, 1980) menemukan hubungan yang bermakna antara kejadian ROP
dengan transfusi tukar. Clark dkk. menemukan hubungan yang bermakna antara
insiden ROP dengan transfusi darah pada penelitian 58 bayi dengan BBL 1000
gram dan 70 bayi dengan berat lahir rendah yang mendapatkan terapi oksigen
dengan berbagai variasi berat badan.

7
Anemia pada BBLR yang kemudian ditangani dengan pemberian transfusi
darah berulang akan menyebabkan bayi menerima sejumlah darah dari orang
dewasa (donor dewasa). Masuknya darah dari orang dewasa ini meningkatkan
risiko ROP yang dihubungkan dengan peningkatan penumpukan zat besi pada
bayi-bayi prematur ini. Hal ini akan meningkatkan aktivitas anti oksidan yang
terkait dengan penumpukan zat besi. Brooks dkk, pada penelitian 50 bayi dengan
BBL 1250 gram tidak menemukan perbedaan insiden ROP antara kelompok bayi
yang diberikan transfusi untuk mengatasi anemia (24 bayi) dengan kelompok bayi
yang diberikan transfusi untuk mempertahankan kadar hematokrit >40 % (26
bayi).1
3. Defisiensi Vitamin E
Pemberian 50 mg vitamin E secara oral tiga kali sehari bersamaan dengan
dimulainya pemberian makanan peroral diketahui dapat menekan insiden RPP.
Penelitian ini dilakukan pada bayi-bayi dengan BBL 1360 gram. Payne mengutip
dari Kretzer dan Hittner, memperlihatkan adanya perubahan dasar pada struktur
sel spindel retina bayi-bayi prematur berisiko tinggi. Sel spindel retina bayi
prematur yang mendapat oksigen secara terus menerus akibat distres pernafasan
memperlihatkan peningkatan gap junction, diyakini bahwa peningkatan gap
junction ini mengganggu proses pembentukan pembuluh darah yang normal. Pada
bayi prematur yang mendapat vitamin E peningkatan gap junction dapat ditekan.
Vitamin E secara invitro merupakan anti oksidan lipofilik yang poten,
sedangkan kadar vitamin ini pada bayi prematur lebih rendah sehingga keterkaitan
ini menjadi dasar asumsi faktor risiko RPP. Namun sulit untuk dibuktikan bahwa
peningkatan kadar vitamin E di dalam serum bayi akan dapat mencegah kejadian
RPP. Pemberian vitamin E pada bayi prematur diketahui memiliki beberapa
kemungkinan efek samping seperti enterokolitis nekrotikans, sepsis, perdarahan
intra ventrikular, perdarahan retina, perubahan respons imun dan penekanan
aktifitas bakteriostatik sel leukosit.1
4. Paparan Cahaya
Cahaya terang yang mengenai mata bayi prematur diduga menimbulkan
pengaruh untuk terjadinya ROP, namun masih terdapat perbedaan pendapat

8
terhadap mekanisme terjadinya ROP dalam hubungan dengan paparan cahaya
terang pada tempat perawatan bayi intensif. Glass melaporkan bahwa bayi
prematur yang dirawat di ruangan dengan cahaya terang benderang 32% lebih
besar peluangnya terkena ROP dibanding mata bayi yang mendapat perlindungan
dari paparan cahaya, meskipun hasil ini tidak secara kuat menunjuk kepada
pengaruh cahaya pada retinopati pada prematurias, tapi Glass menyatakan bahwa
tidak ada satupun penelitian yang menyatakan cahaya fluoresen aman bagi mata
bayi.1
5. Karbondioksida
Retensi CO2 dapat meningkatkan efek kerusakan pembuluh darah retina
bayi prematur oleh terapi suplementasi oksigen. Patz mengutip dari Baner dan
Widmayer melaporkan bahwa retensi CO2 adalah faktor tunggal terpenting yang
membedakan insiden ROP pada penelitiannya pada bayi dengan berat badan lahir
< 1000 gram, namun Biglan dan Brown tidak melihat pengaruh retensi CO2
terhadap insiden ROP dan malah menemukan bayi dengan ROP tingkat lanjut
memiliki PCO2 serum yang lebih rendah dari kelompok kontrol.1
6. Septikemia
Beberapa penulis melaporkan septikemia sebagai salah satu faktor risiko
untuk terjadinya ROP. Gunn dkk pada penelitian 150 bayi prematur dengan BBL
1500 gr dan mendapatkan suplementasi oksigen, melaporkan sepsis sebagai faktor
yang sangat kuat hubungannya dengan kejadian ROP. Mittal dkk melaporkan
bahwa sepsis oleh kandida adalah faktor risiko yang berdiri sendiri dalam
memperberat kejadian ROP dan menyebabkan bayi prematur tersebut
membutuhkan terapi bedah laser.1
7. Faktor risiko lain
Kecenderungan pemikiran terhadap ROP adalah bahwa ROP merupakan
penyakit yang disebabkan oleh terpaparnya bayi prematur terhadap berbagai
faktor risiko setelah lahir, pada kenyataannya ada bayi yang sudah mengalami
threshold ROP pada hari pertama atau kedua kehidupan yang memberi kesan
bahwa retinopati sudah terjadi intrauterin sebelum bayi terpapar dengan berbagai

9
faktor risiko setelah lahir. Ogden memperkirakan sepertiga kasus RPP lebih
dipengaruhi oleh faktor-faktor prenatal dibanding faktor-faktor setelah lahir.1
d. Patogenesis
Vaskularisasi retina mulai berkembang pada usia gestasi kurang lebih 16
minggu. Pembuluh retina tumbuh keluar dari diskus optikus sebagai perpanjangan
dari sel spindel mesenkimal. Sementara sel-sel spindel mesenkimal ini mensuplai
sebagian besar aliran darah, terjadilah proliferasi endotelial dan pembentukan
kapiler-kapiler. Kapiler-kapiler baru ini akan membentuk pembuluh retina yang
matur. Pembuluh darah koroid (yang terbentuk pada usia gestasi 6 minggu)
mensuplai retina avaskular yang tersisa. Bagian nasal dari retina akan
tervaskularisasi secara menyeluruh sampai ke ora serrata pada usia gestasi 32
minggu. Sedangkan bagian temporal yang lebih besar biasanya telah
tervaskularisasi seluruhnya pada usia gestasi 40-42 minggu (aterm).
Kelahiran bayi prematur mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari
pembuluh retina normal. Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP.
Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami
gap junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang
normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskularisasi. Terdapat dua fase pada
proses terjadinya ROP. Fase pertama merupakan fase hiperoksik, menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi pembuluh retina dan destruksi sel-sel endotel kapiler
yang irreversibel. Keadaan hyperoxia-vasocessation ini dikenal sebagai stadium 1
dari ROP.
Seiring area tersebut mengalami iskemik, faktor angiogenik seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF), dibentuk oleh sel-sel spindel
mesenkimal dan retina yang iskemik untuk membuat vaskularisasi yang baru.
Vaskularisasi baru ini bersifat immatur dan tidak berespon terhadap regulasi yang
normal. Segera setelahnya, nutrisi dan oksigen dapat dikirim ke retina melalui
difusi dari kapiler-kapiler yang berada pada lapisan koroid. Retina terus tumbuh
semakin tebal dan akhirnya melebihi area yang dapat disuplai oleh pembuluhnya.
Seiring waktu, terjadilah hipoksia retinal yang akhirnya mengakibatkan terjadinya

10
pertumbuhan pembuluh darah yang berlebihan, keadaan hypoxia-
vasoproliferation ini dikenal sebagai ROP stadium 2.5

Gambar 2.2 Patogenesis pada ROP.5


e. Klasifikasi
Pada tahun 1984, 23 oftalmologis dari 11 negara membentuk International
Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP). Sistem klasifikasi ini
membagi lokasi penyakit berdasarkan zona-zona retina (I-III), penyebaran
penyakit berdasar arah jarum jam (1-12) dan tingkat keparahan penyakit dalam
stadium (0-5).7
Pembagian zona7
 Zona I, merupakan zona yang paling labil. Zona I berada pada retina
posterior dalam area 60∞ lingkaran dengan titik pusat N. optikus. Area ini
memanjang dua kali jarak dari saraf optik ke makula dalam bentuk
lingkaran. ROP yang terletak pada zona I (walaupun stadium I, imatur)
dianggap kondisi yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat. Area ini

11
sangat kecil dan perubahan pada area dapat terjadi sangat cepat,
kadangkala dalam hitungan hari. Tanda utama dari perburukan penyakit
ini adalah adanya pembuluh darah yang mengalami peningkatan dilatasi.
Vaskularisasi retina tampak meningkat mungkin akibat meningkatnya
shunting artetiovena.
 Zona II, merupakan area melingkar yang mengelilingi zona I dengan nasal
ora serrata sebagai batas nasal. ROP pada zona ini dapat berkembang cepat
namun biasanya didahului dengan tanda bahaya (warning sign) yang
memperkirakan perburukan dalam 1-2 minggu. Tanda bahaya tersebut
antara lain :
o Tampak vaskularisasi yang meningkat pada ridge (percabangan
vaskular meningkat), biasanya merupakan tanda penyakit ini mulai
agresif.
o Dilatasi vaskular yang meningkat.
o Tampak tanda “hot dog” pada ridge yang merupakan penebalan
pada ridge, hal ini biasanya terlihat di zona II posterior (batas zona
I) dan merupakan indikator prognosis yang buruk.
 Zona III, merupakan sisa daerah retina temporal. Pada zona ini jarang
terjadi penyakit yang agresif. Biasanya vaskularisasi berlangsung lambat
dan membutuhkan evaluasi dalam setiap beberapa minggu. Banyak bayi
yang memiliki ROP pada zona III dengan garis demarkasi dan retina yang
nonvaskular.

Gambar 2.3 Pembagian zona retina dan arah jarum jam pada pemeriksaan
retinal dengan menggunakan oftalmoskop binokuler indirek.8

12
Pembagian stadium7
 Stadium 0. Bentuk yang paling ringan dari ROP. Merupakan vaskularisasi
retina yang imatur. Tidak tampak adanya demarkasi retina yang jelas
antara retina yang tervaskularisasi dengan nonvaskularisasi. Hanya dapat
ditentukan perkiraan perbatasan pada pemeriksaan.
o Pada zona I, mungkin ditemukan vitreous yang berkabut, dengan
saraf optikus sebagai satu-satunya landmark. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulang setiap minggu
o Pada zona II, sebaiknya pemeriksaan setiap 2 minggu
o Pada zona III, pemeriksaan setiap 3-4 minggu cukup memadai
 Stadium 1. Ditemukan garis demarkasi tipis diantara area vaskular dan
avaskular pada retina.
o Pada zona I, tampak garis tipis dan mendatar (biasanya pertama
kali pada bagian nasal). Tidak ada elevasi pada retina vaskular.
Pembuluh retina tampak halus, tipis dan supel. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan setiap minggu
o Pada zona II, sebaiknya pemeriksaan setiap 2 minggu
o Pada zona III, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu
 Stadium 2. Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular
dan avaskular retina.
o Pada zona I, apabila sedikit saja tampak kemerahan pada ridge,
merupakan tanda bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran
pembuluh, penyakit ini dapat diperkirakan telah memburuk dan
harus ditatalaksana dalam 72 jam
o Pada zona II, apabila terdapat perubahan vaskular dan tidak terjadi
pembesaran ridge, pemeriksaan dilakukan setiap 2 minggu
o Pada zona III, pemeriksaan setiap 3-4 minggu kecuali ditemukan
adanya pembentukan arkade vaskular
 Stadium 3. Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal
(neovaskularisasi) pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau
anterior dari rongga vitreous.

13
o Pada zona I, apabila ditemukan neovaskularisasi, merupakan
kondisi yang serius dan membutuhkan terapi
o Pada zona II, prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan
penyakit plus
o Pada zona III, pemeriksaan setiap 2-3 minggu kecuali ditemukan
adanya pembentukan arkade vaskular
 Stadium 4. Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada
ridge. Retina tertarik ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge
fibrovaskular.
o Stadium 4A: tidak mengenai fovea
o Stadium 4B : mengenai fovea
 Stadium 5. Merupakan ablasio retina total terbentuk seperti corong
(funnel).
o Stadium 5A : corong terbuka
o Stadium 5B : corong tertutup
 Penyakit plus. Didefinisikan sebagai arteriolar yang berkelok-kelok dan
pembesaran vena pada kutub posterior, pembesaran vaskularisasi iris,
rigiditas pupil dan vitreous yang berkabut, yangmana merupakan bagian
dari subklasifikasi dari stadium-stadium diatas. Penyakit plus ini
merupakan suatu tanda bahaya. Apabila terdapat tanda-tanda penyakit plus
ini, ditandai dengan tanda “plus” pada stadium penyakit.
 Threshold disease. Didefinsikan sebagai area penyakit dalam jangkauan 5
arah jarum jam berturut-turut atau 8 arah jarum jam yang tidak berurutan.
Adanya kelainan ini merupakan indikasi dilakukannya terapi.

14
Gambar 2.4 Klasifikasi ROP berdasar stadium.2

Gambar 2.5 Pencitraan berbagai stadium ROP pada zona II. Gambar A
memperlihatkan garis demarkasi antara area yang
tervaskularisasi dan nonvaskularisasi (stadium 1). Gambar
B menunjukkan adanya ridge antara bagian yang
tervaskularisasi dan nonvaskulariasi pada retina (stadium 2).
Gambar C menunjukkan penebalan ridge dengan adanya
angiogenesis intravitreal (stadium 3). Gambar D tampak
adanya ablasio retina subtotal (stadium 4).5

15
f. Diagnosa
Standar baku untuk diagnosa ROP adalah pemeriksaan retinal dengan
menggunakan oftalmoskopi binokular indirek.1
American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan pemeriksaan
untuk mendeteksi kemungkinan adanya pada bayi dengan berat badan <1300
gram atau usia kehamilan < 35 minggu yang terpapar oksigen, atau BB < 1000
gram/ usia kehamilan < 30 minggu meskipun tanpa terpapar oksigen. Pemeriksaan
dilakukan pada usia bayi 5 – 7 minggu sesudah kelahiran.9
Dibutuhkan pemeriksaan dengan dilatasi fundus dan depresi skleral.
Instrumen yang digunakan ialah spekulum Saeur (untuk menjaga mata tetap
dalam keadaan terbuka), depresor skleral Flynn (untuk merotasi dan mendepresi
mata) dan lensa 28D (untuk mengidentifikasi zona dengan lebih akurat). Bagian
pertama pemeriksaan adalah pemeriksaan eksternal, identifikasi rubeosis retina
bila ada. Tahap selanjutnya pemeriksaan pada kutub posterior, untuk
mengidentifikasi adanya penyakit plus. Mata dirotasikan untuk mengidentifikasi
ada atau tidaknya penyakit pada zona I. Apabila pembuluh nasal tidak terletak
pada nasal ora serrata, temuan ini dinyatakan masih berada pada zona II. Apabila
pembuluh nasal telah mencapai ora serrata, maka berada pada zona III.8

16
Gambar 2.6 Contoh lembar pengisian hasil pemeriksaan retinal menggunakan
oftalmoskop binokuler indirek untuk ROP.10
g. Tatalaksana
 Terapi medis
Terapi medis untuk ROP terdiri dari screening oftalmologis terhadap bayi-
bayi yang memiliki faktor risiko. Saat ini, belum ada standar terapi medis untuk
ROP. Penelitian terus dilakukan untuk memeriksa potensi penggunaan obat
antineovaskularisasi intravitreal seperti bevacizumab (Avastin). Obat-obat ini
sudah pernah berhasil digunakan pada retinopati diabetik.
Meskipun terapi oksigen telah dinyatakan sebagai penyebab utama ROP,
banyak ahli percaya bahwa memaksimalkan saturasi oksigen pada penderita ROP
dapat merangsang regresi dari penyakit. Namun, sebuah studi multisenter yang

17
dikenal sebagai STOP-ROP (Supplemental Therapeutic Oxygen for Prethreshold
Retinopathy of Prematurity) menemukan bahwa tidak ada perubahan yang
signifikan yang terjadi dengan mempertahankan saturasi oksigen >95%. Namun,
saturasi oksigen yang lebih tinggi juga tidak memperparah penyakit itu sendiri.10
 Terapi Bedah2,5,7
Terdapat beberapa macam pilihan dalam penanganan ROP, yakni sebagai berikut :
1) Terapi laser. Merupakan salah satu prosedur pilihan, terapi laser ini
bersifat kurang invasif, sedikit saja menimbulkan trauma di mata dan
sedikit saja menimbulkan rasa tidak nyaman pada bayi. Laser dengan
Argon hijau dan Dioda bergelombang merah dapat diberikan melalui
oftalmoskop indirek. Terapi laser akan mencegah pertumbuhan pembuluh
darah abnormal. Komplikasi terapi laser ini seperti luka bakar di kornea
dan iris, katarak, perdarahan retina dan vitreous.
2) Krioterapi, Sejak era 1970an merupakan terapi utama ROP. Prosedur ini
dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun topikal. Komplikasi
paling umum terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom konjungtiva,
laserasi konjungtiva dan bradikardia.
3) Pembedahan vitreoretinal. Scleral buckling disarankan pada ROP stadium
4A dan stadium 5. Lens sparing vitreous surgery dapat pula dilakukan.
4) Aspirasi lensa. Tindakan ini dapat dilakukan pada ROP sikatrikal dengan
bilik mata depan yang dangkal atau datar . Hal ini bermanfaat untuk
mencegah glaukoma sekunder akibat perubahan bagian anterior dari
diafragma iris-lensa.

18
Gambar 2.7 Algoritma tatalaksana untuk ROP. Terlihat bahwa pemilihan terapi
bedah berdasarkan stadium dari penyakit.7

19
Gambar 2.8 Algoritma skrining dan tatalaksana pada ROP.7

h. Pencegahan
Satu-satunya pencegahan yang benar-benar bermakna adalah dengan
mencegah kelahiran bayi prematur. Hal ini dapat dicapai dengan perawatan
antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir, semakin kecil pula
kemungkinan bayi tersebut terkena ROP.2

20
i. Komplikasi7
 Miopia terjadi pada 80% kasus
 Strabismus dan ambliopia sering pula ditemukan. Prevalensi
strabismus berkisar antara 23% - 47% kasus
 Glaukoma akut sudut tertutup dapat ditemukan pada ROP sikatrik
j. Prognosis
Prognosis tergantung pada zona penyakit dan stadiumnya. Pada pasien
yang tidak mengalami perburukan stadium 1 atau 2, prognosis lebih baik
dibandingkan pasien dengan penyakit pada zona I posterior atau stadium 3, 4 dan
5.7

21
BAB III
PENUTUP

Retinopati prematuritas merupakan suatu retinopati vasoproliferatif yang


mengenai bayi prematur dan bayi berat lahir rendah sebagai akibat terganggunya
pembuluh darah retina yang belum terbentuk sempurna. Semakin kecil berat
badan dan usia gestasi, maka insidens ROP semakin meningkat. Sekarang ini, tak
hanya terapi oksigen saja yang menjadi kausatif dari ROP. Faktor risiko lain yang
juga diduga berperan dalam onset dan keparahan penyakit meliputi anemia dan
transfusi, defisiensi vitamin E, paparan cahaya, karbondioksida, dan septikemia.
Namun belum diketahui secara pasti bagaimana faktor-faktor tersebut dapat
mengakibatkan ROP.

ICROP merupakan sistem klasifikasi yang digunakan pada ROP. Sistem


ini mengklasifikasikan ROP menurut zona-zona retina (I-III), penyebaran
penyakit berdasar arah jarum jam (1-12) dan tingkat keparahn penyakit berdasar
stadium (0-5). Standar baku untuk diagnosa ROP adalah dengan pemeriksaan
retinal menggunakan oftalmoskop binokuler indirek. Tatalaksana ROP pada
prinsipnya adalah terapi pembedahan dengan berbagai macam pilihan bergantung
pada stadium penyakit, seperti terapi laser, krioterapi, pembedahan vitreoretinal
dan aspirasi lensa. Sedang prognosis pada ROP bergantung pada zona dan
stadium penyakit, dimana pada pasien yang mengalami perburukan pada stadium
0-2 memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan penyakit zona I posterior
atau stadium 3-5.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution A. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya retinopati pada prematuritas.


Sari Pediatri;2001. Vol. 3, No. 3. h. 152-6.
2. Hellstrom A, Smith LEH, Dammann O. Retinopathy of prematurity.
Lancet;2013. Vol, 383. h. 1445-57.
3. Eva PR, Whitcher JP. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta: EGC;2009. h. 12-4.
4. Anonymous. Vision at low light-an experimental case study. Visited at Jan 14,
2015. Available at
http://www.bio.miami.edu/tom/courses/bil265/bil265goods/11_vision.htm
5. Harnett ME, Penn JS. Mechanism and management of retinopathy of
prematurity. N Engl J Med;2012. 367(26). h. 2515-26.
6. Loebis R. Retinopati pada prematuritas. Surabaya Eye Clinic;13 Juli 2011.
7. Academy of Med Malay. Clinical practice guidelines, Retinopathy of
prematurity. Ministry of Health Malay;2005.
8. American Academy of Opthalmology. Screening examination of premature
infants for retinopathy of prematurity. Pediatrics;2013. Vol. 131.
9. Amerizan Academy of Pediatrics Committee on Practice and Ambulatory
Medicine. Vision screening and eye examination in children. Pediatrics;1986.
h. 918-9.
10. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Medscape;2008. Cited Jan 12, 2015.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis

23

Anda mungkin juga menyukai

  • Trauma Pada Mata
    Trauma Pada Mata
    Dokumen43 halaman
    Trauma Pada Mata
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • BAB I Lapsus Makrosomia
    BAB I Lapsus Makrosomia
    Dokumen1 halaman
    BAB I Lapsus Makrosomia
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • COVER Fix
    COVER Fix
    Dokumen7 halaman
    COVER Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus Hennie Alvionita Jannet
    Cover Lapsus Hennie Alvionita Jannet
    Dokumen6 halaman
    Cover Lapsus Hennie Alvionita Jannet
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Papilitis Fix
    Papilitis Fix
    Dokumen23 halaman
    Papilitis Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Sampul Kelainan Lakrimal
    Sampul Kelainan Lakrimal
    Dokumen6 halaman
    Sampul Kelainan Lakrimal
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Print KARSINOMA NASOFARING
    Print KARSINOMA NASOFARING
    Dokumen30 halaman
    Print KARSINOMA NASOFARING
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • RETINOBLASTOMA
    RETINOBLASTOMA
    Dokumen1 halaman
    RETINOBLASTOMA
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Referat Thalassemia
    Presentasi Referat Thalassemia
    Dokumen16 halaman
    Presentasi Referat Thalassemia
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Referat New
    Referat New
    Dokumen23 halaman
    Referat New
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Cover ROP
    Cover ROP
    Dokumen5 halaman
    Cover ROP
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Fix
    Lapsus Fix
    Dokumen42 halaman
    Lapsus Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Distensi Abdomen Pada Neonatus
    Distensi Abdomen Pada Neonatus
    Dokumen12 halaman
    Distensi Abdomen Pada Neonatus
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Pernyataan Keaslian
    Pernyataan Keaslian
    Dokumen1 halaman
    Pernyataan Keaslian
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Stase Kulit Dan Kelamin
    Stase Kulit Dan Kelamin
    Dokumen2 halaman
    Stase Kulit Dan Kelamin
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik Bayi Berat Lahir Rendah
    Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik Bayi Berat Lahir Rendah
    Dokumen14 halaman
    Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik Bayi Berat Lahir Rendah
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Kejang Presentasi Anak
    Kejang Presentasi Anak
    Dokumen31 halaman
    Kejang Presentasi Anak
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Laporan Kasus Thalassemia
    Presentasi Laporan Kasus Thalassemia
    Dokumen18 halaman
    Presentasi Laporan Kasus Thalassemia
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Hiasan Dinding Rumah
    Hiasan Dinding Rumah
    Dokumen3 halaman
    Hiasan Dinding Rumah
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Ileus Paralitik
    Ileus Paralitik
    Dokumen22 halaman
    Ileus Paralitik
    randy miken
    Belum ada peringkat
  • DIARE
    DIARE
    Dokumen19 halaman
    DIARE
    Apry AdiVa SHafa
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapsus Kulit
    Cover Lapsus Kulit
    Dokumen6 halaman
    Cover Lapsus Kulit
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Isi Lapsus Kulit
    Isi Lapsus Kulit
    Dokumen33 halaman
    Isi Lapsus Kulit
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Kulit
    Lapsus Kulit
    Dokumen60 halaman
    Lapsus Kulit
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Laring Nita
    Anatomi Laring Nita
    Dokumen32 halaman
    Anatomi Laring Nita
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat
  • COVER Fix
    COVER Fix
    Dokumen5 halaman
    COVER Fix
    Theresia Alfionita Sinulingga
    Belum ada peringkat