Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang “Isolasi Minyak

Atsiri Daun Jinten (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) dengan Metode

Hidrodestilasi dan Uji Aktivitas Antibakteri dan Antijamur” diperoleh hasil

sebagai berikut :

1. Hasil identifikasi sampel tanaman yang dilakukan di Laboratorium Botani,

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau menyatakan bahwa sampel yang

digunakan pada penelitian ini adalah benar daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) (Lampiran 5).

2. Hasil isolasi dari 2,1 Kg sampel segar daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) dengan metode hidrodestilasi diperoleh

minyak atsiri dengan rendemen sebesar 0,086 % (v/b) (Lampiran 6).

3. Hasil pemeriksaan organoleptis minyak atsiri daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) yaitu minyak berwarna kuning kehijauan,

berbau khas aromatis, dan mempunyai rasa getir.

4. Hasil Analisis komponen minyak atsiri daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) dengan GC-MS menunjukkan adanya 6

puncak (6 komponen) yang terdeteksi pada kromatogram (Lampiran 7).

Puncak kromatogram yang paling dominan yaitu puncak ke 3 dengan

kelimpahan 63,94 % yang memiliki kemiripan dengan senyawa carvacrol

46
dengan berat molekul 150 dan rumus molekul C10H14O. Kromatogram

GC-MS dapat dilihat pada (Lampiran 8).

5. Uji aktivitas antibakteri dari minyak atsiri daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) terhadap dua bakteri Gram positif yaitu

Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus, dan dua bakteri Gram negatif

yaitu Escerichia coli dan Salmonella thypi dengan konsentrasi minyak

atsiri 2,5 %, 5 % dan 7,5 % menunjukkan aktivitas lemah sampai sedang.

6. Uji aktivitas antijamur dari minyak atsiri daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) terhadap jamur Aspergillus niger dan Candida

albicans dengan konsentrasi minyak atsiri 5 % dan 7,5 % menunjukkan

aktivitas lemah sampai sedang.

4.2 Pembahasan

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah daun jinten

(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) segar yang diambil di Kelurahan

Sedinginan, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.

Penggunaan sampel segar bertujuan untuk menghindari hilangnya kandungan

minyak atsiri dalam jumlah besar jika sampel dikeringkan dalam keadaan udara

terbuka (Sastrohamidjojo, 2004).

Setelah pengambilan sampel, sampel dibawa ke Laboratorium Botani,

jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau untuk diidentifikasi. Identifikasi sampel

dilakukan untuk memastikan bahwa sampel yang diambil adalah benar daun jinten

(bukan tumbuhan lain), dan hasil identifikasi sampel menunjukkan bahwa sampel

47
adalah benar daun jinten (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) yang termasuk

ke dalam famili Lamiaceae dengan genus Coleus (Lampiran 5).

Sampel daun jinten (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng segar yang

telah diambil disortasi basah untuk memisahkan kotoran-kotoran dan benda asing

lainnya yang menempel, kemudian ditimbang sebanyak 2,1 kg dan dicuci dengan

air bersih yang mengalir. Setelah dilakukan pencucian, proses selanjutnya adalah

perajangan atau pemotongan menjadi kecil-kecil (kominusi) untuk mengurangi

ketebalan sampel dan meningkatkan luas permukaan sampel serta dapat membuka

kelenjar minyak sebanyak mungkin sehingga difusi dapat terjadi, karena proses

lepasnya minyak atsiri hanya dapat terjadi dengan hidrodifusi atau penembusan

air pada jaringan-jaringan tumbuhan. Biasanya proses difusi ini berlangsung

lambat. Oleh karena itu, kominusi harus dilakukan untuk mempercepat difusi

yang akhirnya akan mempercepat penguapan dan penyulingan minyak atsiri.

Pada dasarnya perajangan merupakan upaya menjadikan sampel lebih

kecil sehingga mempermudah lepasnya minyak atsiri setelah sampel tersebut

ditembus oleh uap. Perlu diperhatikan, bila sampel telah dirajang atau diperkecil

ukurannya, maka harus segera didestilasi. Bila tidak segera diproses maka minyak

atsiri yang mempunyai sifat mudah menguap sebagian akan teruapkan. Hal ini

dapat menyebabkan kerugian, yaitu hasil total minyak atsiri yang diperoleh

berkurang karena ada yang menguap atau komposisi minyak atsiri akan berubah

(Sastrohamidjojo, 2004).

Setelah dilakukan perajangan, tahap selanjutnya adalah isolasi minyak

atsiri dengan metode hidrodestilasi menggunakan alat Clevenger. Sampel

48
dimasukkan ke dalam labu destilasi kemudian ditambahkan aquadest hingga

sampel terendam seluruhnya, kemudian sampel didestilasi selama 7-8 jam. Pada

metode ini bahan-bahan yang akan didestilasi langsung berhubungan dengan air

mendidih (Hidrodestilasi). Metode ini memiliki keuntungan yaitu alatnya

sederhana, mudah diperoleh, pengerjaannya mudah dilakukan, kualitas minyaknya

baik, asal diperhitungkan suhunya. Proses destilasi ini sangat sederhana dan

murah. Selain itu destilasi ini dapat digunakan untuk bahan yang bila

menggunakan uap akan merekat atau menumpuk dan membentuk gumpalan besar

yang kompak sehingga uap tidak dapat menembus sel-sel tumbuhan, contohnya

bunga mawar dan bunga-bunga jeruk (Guenther, 1987).

Setelah didestilasi selama 7-8 jam diperoleh destilat berupa campuran

minyak dan air. Kedua cairan akan membentuk dua lapisan yang terpisah,

biasanya minyak atsiri lebih ringan, mengambang di atas permukaan air. Namun,

bila minyak atsiri memiliki bobot jenis lebih besar dari 1,0 maka minyak atsiri

akan tenggelam di dasar alat penampung (Sastrohamidjojo, 2004). Destilat yang

diperoleh diambil dan dipindahkan ke dalam vial menggunakan pipet tetes

panjang, kemudian ditambahkan Natrium Sulfat Anhidrat untuk mengikat

molekul airnya, dan vial ditutup menggunakan plastik wrap. Selanjutnya bagian

minyak dipisahkan dengan bagian air menggunakan spuit agar bisa menembus

penutup vial tanpa perlu membukanya, hal ini dilakukan untuk meminimalkan

terjadinya penguapan bila dibandingankan dengan menggunakan pipet tetes yang

mengharuskan untuk membuka penutup vial terlebih dahulu. Setelah itu minyak

atsiri dimasukkan ke dalam vial baru, dan vial ditutup rapat dengan tutup vial dan

49
ditambah dengan Aluminium foil agar tidak terjadi penguapan minyak atsiri

dalam jumlah besar dan kemudian disimpan dalam lemari es hingga proses

selanjutnya.

Minyak atsiri daun jinten (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) yang

diperoleh dengan metode hidrodestilasi dilakukan pemeriksaan organoleptis dan

dihitung persen rendemennya serta dikirim sebagian ke Laboratorium Kimia

Organik, FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta untuk dianalisis

komponen kimianya menggunakan GC-MS.

Hasil pemeriksaan organoleptis berupa minyak berwarna kuning

kehijauan, berbau khas aromatis, dan mempunyai rasa getir, dengan persen

rendemen sebesar 0,086 % (v/b) (Lampiran 6). Hasil ini sedikit berbeda dengan

hasil penelitian sebelumnya dimana kadar minyak atsiri daun jinten yang berasal

dari Erode, India sebesar 0,077 % (v/b) (Revathi, 2011). Kandungan minyak atsiri

dalam suatu bahan tergantung dari umur tanaman dan kandungan mineral tempat

hidupnya. Menurut Sembiring (2003), kadar dan mutu minyak atsiri dipengaruhi

oleh kesuburan tanah, umur panen (daun muda atau daun tua), bibit tanaman

apakah bagus atau tidak, penanganan bahan sebelum didestilasi, cara destilasi dan

cara pemisahan bagian minyak dan airnya, serta cara penyimpanan minyak.

Ukuran rajangan juga berpengaruh terhadap rendemen minyak atsiri. Semakin

kecil ukuran rajangan maka rendemennya cenderung semakin meningkat

(Novalny, 2006). Menurut Ketaren (1987), lingkungan juga bisa mempengaruhi

kadar dan kualitas minyak atsiri yang dihasilkan. Penyimpanan pada tempat yang

50
terbuka menyebabkan sejumlah minyak akan menguap disertai pula oleh proses

oksidasi sehingga menyebabkan penurunan mutu minyak tersebut.

Hasil analisis minyak atsiri dengan Gas Chromatography (GC) diperoleh

data kromatogram untuk mengetahui jumlah senyawa secara kualitatif dan Massa

Spectrometry (MS) untuk mengetahui struktur molekul senyawa analit.

Penggabungan keduanya akan menghasilkan data yang lebih akurat dalam

pengidentifikasian senyawa yang dilengkapi dengan struktur molekulnya (Pavia et

al, 2006).

Hasil GC minyak atsiri daun jinten menunjukkan adanya 6 puncak dengan

waktu retensi, kelimpahan, dan luas area yang berbeda (Lampiran 7). Analisis

komponen senyawa minyak atsiri menggunakan GC-MS dilakukan pada

temperatur kolom 60°C dan temperatur injeksi 250°C. Gas pembawa yang

digunakan adalah Helium (He) dengan kecepatan alir 0,50 mL/menit dengan

tekanan 13,0 kPa. Range scan MS adalah m/e 28-600.

Hasil Massa Spectrometry diperoleh spektrum massa dari masing-masing

puncak yang terdeteksi pada kromatogram GC. Analisis spektrum massa

didasarkan pada nilai indeks kesamaan atau similarity index (SI), puncak dasar

(base peak), dan pecahan spektrum massa yang dibandingkan dengan spektrum

pada data base yaitu WILEY229.LIB.

Berikut adalah analisis spektrum massa senyawa yang terdeteksi dengan

GC-MS pada minyak atsiri daun jinten yang memiliki SI > 90 % yang

dibandingkan dengan spektrum massa senyawa dasar pada data base :

51
1. Senyawa Puncak 3.

Senyawa puncak 3 dengan waktu retensi 33,654 menit, kelimpahan 63,94

% memiliki fragmen mirip dengan senyawa carvacrol berdasarkan similarity

index sebesar 94 %. Spektrum massa puncak kromatogram dengan waktu retensi

33,654 menit ditunjukkan dalam gambar 11.

(A)

(B)

Gambar 11. Spektrum Massa Puncak 3 (A) dan Data Base (B)

Dari data spektrum di atas dapat diketahui bahwa senyawa puncak 3

mempunyai ion molekuler (M+) 150 yang merupakan berat molekul dari C10H14O.

Pelepasan CH3 menghasilkan fragmen [C9H11O]+ m/e 135 yang merupakan

puncak dasar fragmen. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H7O]+ dengan

m/e 107. Pelepasan H2O menghasilkan fragmen ion fenil (C6H5)+ dengan m/e 77.

Pelepasan C4H4O menghasilkan fragmen [C3H3]+ dengan m/e 39.

52
Gambar 12. Struktur Kimia carvacrol

2. Senyawa Puncak 5.

Senyawa puncak 5 dengan waktu retensi 36,264 menit, kelimpahan 14,31

% memiliki fragmen mirip dengan senyawa β-caryophyllene berdasarkan

similarity index sebesar 96 %. Spektrum massa puncak kromatogram dengan

waktu retensi 36,264 menit ditunjukkan dalam gambar 13.

(A)

(B)

Gambar 13. Spektrum Massa Puncak 3 (A) dan Data Base (B)

Dari data spektrum di atas dapat diketahui bahwa senyawa puncak 5

mempunyai ion molekuler (M+) 204 yang merupakan berat molekul dari C15H24.

Pelepasan CH3 menghasilkan fragmen [C14H21]+ m/e 189. Pelepasan C2H4

menghasilkan fragmen [C12H17]+ dengan m/e 161. Pelepasan C2H4 menghasilkan

53
fragmen [C10H13]+ dengan m/e 133. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen

[C8H9]+ dengan m/e 105. Pelepasan C2H2 menghasilkan fragmen [C6H7]+ dengan

m/e 79. Pelepasan C3H2 menghasilkan fragmen [C3H5]+ dengan m/e 41 yang

merupakan puncak dasar fragmen.

Gambar 14. Struktur Kimia β-caryophyllene

3. Senyawa Puncak 1.

Senyawa puncak 1 dengan waktu retensi 22,167 menit, kelimpahan 9,76 %

memiliki fragmen mirip dengan senyawa α-phellandrene berdasarkan similarity

index sebesar 96 %. Spektrum massa puncak kromatogram dengan waktu retensi

22,167 menit ditunjukkan dalam gambar 15.

(A)

(B)

Gambar 15. Spektrum Massa Puncak 1 (A) dan Data Base (B).

54
Dari data spektrum di atas dapat diketahui bahwa senyawa puncak 1

mempunyai ion molekuler (M+) 134 yang merupakan berat molekul dari C10H14.

Pelepasan CH3 menghasilkan fragmen [C9H11]+ m/e 119 yang merupakan puncak

dasar fragmen. Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C7H7]+ dengan m/e 91.

Pelepasan CH3 menghasilkan fragmen ion fenil (C6H5)+ dengan m/e 77. Pelepasan

C2H2 menghasilkan fragmen [C5H5]+ dengan m/e 65. Pelepasan C2H2

menghasilkan fragmen [C3H3]+ dengan m/e 39.

Gambar 16. Struktur Kimia α-phellandrene

4. Senyawa Puncak 2.

Senyawa puncak 2 dengan waktu retensi 23,061 menit, kelimpahan 6,47 %

memiliki fragmen mirip dengan senyawa γ-terpinene berdasarkan similarity index

sebesar 95 %. Spektrum massa puncak kromatogram dengan waktu retensi 23,061

menit ditunjukkan dalam gambar 17.

(A)

55
(B)

Gambar 17. Spektrum Massa Puncak 2 (A) dan Data Base (B)

Dari data spektrum di atas dapat diketahui bahwa senyawa puncak 2

mempunyai ion molekuler (M+) 136 yang merupakan berat molekul dari C10H16.

Pelepasan CH3 menghasilkan fragmen [C9H13]+ m/e 121. Pelepasan C2H4

menghasilkan fragmen [C7H9]+ dengan m/e 93 yang merupakan puncak dasar

fragmen. Pelepasan CH3 menghasilkan fragmen ion fenil (C6H5)+ dengan m/e 77.

Pelepasan C2H4 menghasilkan fragmen [C5H5]+ dengan m/e 65. Pelepasan C2

menghasilkan fragmen [C3H5]+ dengan m/e 41.

Gambar 18. Struktur Kimia γ-terpinene

Perbedaan komponen kimia utama minyak atsiri daun jinten yang

diperoleh pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya oleh Manjamalai et al,

2012, dan Sabrina, 2014 dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan

geografi tempat/daerah pengambilan sampel, iklim lokal, musim dan kondisi

eksperimen. Perbedaan genetik juga bertanggungjawab dalam perubahan

komponen kimia (Kan et al, 2006; Senthilkumar & Venkatesalu, 2009). Selain itu,

56
umur tumbuhan, perlakuan panen dan pasca panen misalnya pengeringan dan

penyimpanan, serta kondisi operasional alat yang digunakan dalam analisis

komponen senyawa tersebut, khususnya kolom yang digunakan juga berpengaruh

(Olonisakin et al, 2006).

Tahap selanjutnya adalah uji aktivitas antibakteri dan antijamur minyak

atsiri daun jinten (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) terhadap dua bakteri

Gram positif yaitu Bacillus cereus dan Staphylococcus aureus, dua bakteri Gram

negatif yaitu Escerichia coli dan Salmonella thypi, dan dan 2 jamur yaitu

Aspergillus niger dan Candida albicans. Pemilihan empat bakteri dan dua jamur

ini karena bakteri dan jamur tersebut merupakan bakteri dan jamur penyebab

infeksi dan dapat menimbulkan penyakit. Sebelum melakukan uji aktivitas

antibakteri dan antijamur alat-alat dan bahan-bahan yang akan digunakan harus

disterilkan terlebih dahulu, tujuannya agar semua peralatan dan bahan yang

digunakan bebas dari kontaminan yang tidak diinginkan.

Dalam melakukan uji aktivitas antibakteri dan antijamur, hal pertama yang

harus dilkukan adalah meremajakan bakteri dan jamur uji terlebih dahulu agar

bakteri dan jamur berada pada fase log (Exponential Phase). Pada fase tersebut,

bakteri dan jamur mengalami pertumbuhan optimal karena memiliki nutrisi yang

cukup untuk proses pertumbuhan dan perkembangbiakan. Selain itu, bakteri dan

jamur yang sedang tumbuh dan dalam keadaan aktif lebih sensitif terhadap kerja

suatu obat dibandingkan bakteri dan jamur yang berada pada fase keseimbangan

(Brooks et al, 2007).

57
Tahap selanjutnya adalah pembuatan suspensi bakteri dan jamur uji yang

dilakukan dengan cara mengencerkan stok kultur biakan dalam NaCl fisologis di

dalam tabung reaksi dan dihomogenkan menggunakan vorteks. Larutan NaCl

fisiologis merupakan lingkungan yang isotonik bagi pertumbuhan bakteri dan

jamur uji. Dalam lingkungan yang isotonik, konsentrasi cairan di lingkungan

setara dengan konsentrasi cairan di dalam sel bakteri dan jamur, sehingga cairan

sel tidak mengalir keluar demikian juga dengan cairan lingkungan tidak masuk ke

dalam (Lay & Hastowo,1992). Tingkat kekeruhan bakteri dan jamur uji dalam

suspensi diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis sehingga diperoleh

suspensi dengan transmitan 25 % pada panjang gelombang 580 nm untuk bakteri,

transmitan 90 % pada panjang gelombang 530 nm untuk jamur. Kekeruhan

suspensi bakteri dan jamur harus terukur karena untuk memberikan keseragaman

populasi bakteri dan jamur uji, sehingga pengujian yang dilakukan memberikan

hasil yang akurat.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode difusi Agar

yang menggunakan kertas cakram (Disc Diffusion). Kertas cakram yang

digunakan adalah kertas Whatman yang memiliki diameter 6 mm. Dasar

pemilihan metode ini karena caranya sederhana, mudah dilakukan, dan hasil yang

didapat cukup akurat. Selain itu, metode ini merupakan metode yang umum

dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan merupakan cara yang paling

sederhana yang dipakai untuk menentukan kepekaan kuman terhadap obat-obatan.

Minyak atsiri daun jinten (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) dibuat

dalam tiga variasi konsentarsi yaitu 7,5 %, 5 %, dan 2,5 % (v/v). Pemilihan

58
beberapa konsentrasi tersebut bertujuan untuk mengetahui besarnya daya hambat

minyak atsiri daun jinten terhadap bakteri dan jamur uji sesuai dengan

konsentrasinya masing-masing bila dilihat secara visual. Selanjutnya, kertas

cakram steril ditetesi dengan masing-masing larutan uji sebanyak 10 μl sedikit

demi sedikit hingga sampel uji terserap seluruhnya. Kontrol positif, kontrol

negatif dan kertas cakram yang telah ditetesi larutan uji tersebut diletakkan pada

permukaan media yang berisi inokulum menggunakan pinset steril, tanpa

menunggu hingga kertas cakram kering. Hal ini dimaksudkan agar sampel uji

yang telah diteteskan pada kertas cakram tidak mengalami penguapan. Kemudian

cawan Petri diinkubasi dalam keadaan terbalik di dalam inkubator dengan suhu

37°C selama 24 jam untuk bakteri, suhu 25°C selama 72 jam untuk jamur.

Pemilihan suhu berdasarkan pada pertumbuhan masing-masing mikroba, dimana

suhu 37°C adalah suhu tubuh pejamu yang merupakan suhu optimal untuk

pertumbuhan bakteri, sedangkan suhu 25°C adalah suhu pertumbuhan jamur

karena jamur memerlukan kondisi lingkungan yang hangat dan lembab untuk

mempercepat pertumbuhannya. Mikroba tumbuh dalam kisaran suhu yang luas,

dengan suhu optimal berkisar antara 22-30°C (saprofit), dan 30-37°C (patogen)

(Brooks et al, 2007; Pratiwi, 2008; Harti, 2012).

Sebagai Kontrol negatif digunakan dimetilsulfoksida (DMSO), yang

bertujuan untuk membuktikan bahwa pelarut yang digunakan tidak berpengaruh

terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri dan jamur uji. Sebagai Kontrol

positif digunakan cakram kloramfenikol untuk bakteri dan cakram nistatin untuk

jamur. Pemilihan kloramfenikol karena kloramfenikol merupakan antibiotik

59
spekrum luas yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif maupun

Gram negatif. Sedangkan pemilihan nistatin karena nistatin merupan antibiotik

yang sangat sensitif terhadap jamur dan ragi, terutama terhadap Candida sp.,

tetapi tidak sensitif terhadap bakteri, protozoa dan virus.

Adanya aktivitas antibakteri dan antijamur dari minyak atsiri daun jinten

(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) dapat ditunjukkan dengan terbentuknya

zona hambat pertumbuhan bakteri dan jamur uji yaitu berupa zona bening di

sekitar kertas cakram yang diteteskan dengan minyak atsiri daun jinten. Diameter

zona bening yang dihasilkan oleh minyak atsiri daun jinten dapat dilihat pada

Lampiran 8. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran, menunjukkan

bahwa minyak atsiri daun jinten mempunyai aktivitas yang berbeda-beda dalam

menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur uji.

Menurut Nazri et al (2011), diameter hambat yang mempunyai aktivitas

lemah adalah 0-9 mm, diameter hambat yang mempunyai aktivitas sedang adalah

10-14 mm, dan diameter hambat yang mempunyai aktivitas kuat adalah > 15 mm.

Hasil uji aktivitas antibakteri minyak atsiri daun jinten (Plectranthus amboinicus

(Lour.) Spreng) terhadap bakteri Bacillus cereus menunjukkan aktivitas

antibakteri kategori lemah pada konsentrasi 2,5 % yang ditandai dengan daerah

zona hambat sebesar 9,3 mm, sedangkan konsentrasi 5 % dan 7,5 % menunjukkan

aktivitas antibakteri kategori sedang yang ditandai dengan daerah zona hambat

sebesar 10,18 mm dan 12,45 mm, terhadap bakteri Staphylococcus aureus

menunjukkan aktivitas antibakteri kategori lemah pada konsentrasi 2,5 % yang

ditandai dengan daerah zona hambat sebesar 9,38 mm, sedangkan konsentrasi 5 %

60
dan 7,5 % menunjukkan aktivitas antibakteri kategori sedang yang ditandai

dengan daerah zona hambat sebesar 10,2 mm dan 12,49 mm, terhadap bakteri

Escherichia coli menunjukkan aktivitas antibakteri kategori lemah pada

konsentrasi 2,5 % yang ditandai dengan daerah zona hambat sebesar 9,39 mm,

sedangkan konsentrasi 5 % dan 7,5 % menunjukkan aktivitas antibakteri kategori

sedang yang ditandai dengan daerah zona hambat sebesar 10,54 mm dan 12,62

mm, terhadap bakteri Salmonella thypi menunjukkan aktivitas antibakteri kategori

lemah pada konsentrasi 2,5 % yang ditandai dengan daerah zona hambat sebesar

9,42 mm, sedangkan konsentrasi 5 % dan 7,5 % menunjukkan aktivitas antibakteri

kategori sedang yang ditandai dengan daerah zona hambat sebesar 10,22 mm dan

14,06 mm.

Hasil uji aktivitas antijamur minyak atsiri daun jinten (Plectranthus

amboinicus (Lour.) Spreng) terhadap jamur Aspergillus niger menunjukkan

aktivitas antijamur kategori lemah pada konsentrasi 5 % dan 7,5 % yang ditandai

dengan daerah zona hambat sebesar 7,73 mm dan 8,48 mm, sedangkan

konsentrasi 2,5 % tidak menunjukkan adanya aktivitas antijamur, terhadap jamur

Candida albicans menunjukkan aktivitas antijamur kategori sedang pada

konsentrasi 5 % dan 7,5 % yang ditandai dengan daerah zona hambat sebesar

10,23 mm dan 13,5 mm, sedangkan konsentrasi 2,5 % tidak menunjukkan adanya

aktivitas antijamur.

Aktivitas antibakteri dan antijamur minyak atsiri dalam menghambat

pertumbuhan atau membunuh bakteri dan jamur adalah dengan cara mengganggu

proses terbentuknya membran atau dinding sel bakteri dan jamur sehingga

61
membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk secara tidak sempurna

(Ajizah, 2004). Zat uji harus masuk terlebih dahulu ke dalam sel melalui dinding

sel supaya dapat memberikan aktivitas.

Pada hasil pengujian dapat dilihat bahwa kemampuan penghambatan

minyak atsiri daun jinten pada bakteri Gram positif relatif lebih kecil daripada

bakteri Gram negatif. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam komposisi

dan struktur dinding sel antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.

Struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih tebal (15-80 nm), berlapis tunggal

dengan kandungan lipid yang rendah (1-4 %), sedangkan struktur dinding sel

bakteri Gram negatif lebih tipis (10-15 nm), berlapis tiga dengan kandungan lipid

tinggi (11-12 %). Perbedaan utamanya adalah adanya lapisan membran luar pada

bakteri Gram negatif. Membran luar ini tidak hanya terdiri dari fosfolipid saja

tetapi juga mengandung lipid lainnya, polisakarida, dan protein. Sehingga zat uji

lebih mudah menyerang bakteri Gram negatif karena dapat melarutkan lapisan

lipid yang berada pada membran luar dinding sel bakteri. Perbedaan permeabilitas

dinding sel bakteri juga dapat menyebabkan perbedaan daya hambat antara bakteri

Gram positif dengan bakteri Gram negatif. Permeabilitas dinding sel bakteri

dipengaruhi oleh tebal tipisnya lapisan peptidoglikan dalam dinding sel. Dinding

sel bakteri Gram negatif mengandung peptidoglikan jauh lebih sedikit, dan

peptidoglikan ini mempunyai ikatan silang yang jauh kurang ekstensif

dibandingkan dengan yang dijumpai pada dinding bakteri Gram positif. Sehingga

permeabilitas bakteri Gram positif lebih rendah dibandingkan permeabilitas

bakteri Gram negatif. Dengan permeabilitas yang rendah maka zat aktif dari

62
minyak atsiri akan mengalami kesulitan untuk menembus membran sel bakteri

Gram positif sehingga efek antibakterinya kurang optimal (Pelczar & Chan,

1988).

Pengaruh variasi konsentrasi pada masing–masing bakteri dan jamur uji

menunjukkan bahwa variasi konsentrasi menyebabkan perbedaan terhadap

diameter hambat pada masing-masing bakteri dan jamur uji. Aktivitas antibakteri

dan antijamur minyak atsiri daun jinten pada konsentrasi 7,5 % > 5 % > 2,5 %.

Hal ini sesuai dengan Ajizah (2004) dimana semakin kecil konsentrasi maka

semakin sedikit jumlah zat aktif yang terkandung di dalamnya yang menyebabkan

semakin rendah kemampuannya dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan

jamur, sehingga aktivitas antibakteri dan antijamur minyak atsiri daun jinten

tergantung dari konsentrasi yang digunakan.

Menurut Olonisakin et al. (2006) komposisi dari minyak atsiri tanaman,

konfigurasi struktur penyusun, gugus fungsional dan komposisi persentase relatif

dalam minyak atsiri tanaman mempunyai efek dalam aktivitas antibakteri dan

antijamur pada mikroorganisme. Aktivitas antibakteri dan antijamur dari minyak

atsiri tergantung pada komposisi dan konsentrasi minyak atsiri juga tipe dan

konsentrasi dari mikroorganisme uji (Kan et al, 2006).

Hasil identifikasi komponen utama minyak atsiri jinten tersusun atas

senyawa terpenoid yaitu monoterpen dan seskuiterpen. Aktivitas antibakteri dan

antijamur pada minyak atsiri ini sulit dihubungkan dengan komponen atau

senyawa yang khusus, hal ini dikarenakan kompleksitas dan variabilitas senyawa-

senyawa yang terkandung di dalamnya. Secara umum aktivitas antibakteri dan

63
antijamur berhubungan dengan struktur terpen C10 dan C15 serta gugus hidroksil

yang memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen dengan sisi aktif

enzim target meskipun senyawa aktif lain seperti alkohol, aldehid dan ester juga

dapat berkontribusi sebagai antibakteri dan antijmaur (Belletti et al, 2004).

Komponen kimia minyak atsiri yang diduga berperan aktif sebagai

antibakteri dan antijamur adalah sabinen, β-mirsen, α-pinen, β-pinen, α-tuyan,

trans-kariofilen. (Erindyah & Maryati, 2002; Natalia, 2003; Senthilkumar &

Venkatesalu, 2009). Senyawa trans-kariofilen merupakan senyawa golongan

seskuiterpen yang punya efek antiinflamasi, antibakteri, dan pencegah kuman

selain itu juga dikenal mempunyai aktivitas anastesik lokal (Erindyah & Maryati,

2002; Parthasarathy et al., 2008). Selain itu senyawa carvacrol juga diketahui

memiliki berbagai macam bioaktivitas, salah satunya adalah sebagai bakterisida.

Senyawa carvacrol merupakan senyawa terpenoid yang termasuk ke dalam

golongan monoterpen, yaitu terpenoid yang mengandung 10 karbon (C), tersusun

dari dua unit isopren (Sarker & Nahar, 2007). Adanya kandungan senyawa yang

bersifat antibakteri dan antijamur tersebut memungkinkan minyak atsiri daun

jinten ini mempunyai efek penghambatan terhadap bakteri Bacillus cereus,

Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella thypi dan jamur

Aspergillus niger dan Candida albicans.

64

Anda mungkin juga menyukai