Sejarah Desa Di Kecamatan Tukdana Kabupaten Indramayu
Sejarah Desa Di Kecamatan Tukdana Kabupaten Indramayu
Masjid: 20
Musholah: 179
Pemeluk Agama
Islam: 47.268
Protestan: 6
Katolik: 2
E. Kesehatan
Sarana Kesehatan
Jumlah Puskesmas: 3
Jumlah Puskesmas Pembantu: 2
Jumlah Polindes: 8
Jumlah Posyandu: 75
Petugas Medis
Dokter: 6
Perawat: 2
Bidan: 25
Non Perawat: 18
F. Desa dan Kelurahan
Kecamatan Tukdana memiliki 13 Desa, berikut adalah daftar nama desa, luas wilayah
dan nama kepala desa masing-masing.
N0. NAMA DESA LUAS NAMA
WILAYAH KEPALA
( km² ) DESA
1 Bodas - Narwan
2 Gadel - Saba
3 Rancajawat - Tarka
4 Cangko - Tokid
5 Kerticala - Acim
6 Sukamulya - Sobari
7 Sukadana - Sutono
8 Sukaperna - Zaenal
Abidin
9 Mekarsari - Karsita
10 Pagedangan - Roitno
11 Karangkerta - cabik
12 Lajer - Sujono
13 Tukdana - Zaelani
Konon kabarnya di suatu blok kampung terdapat sebuah hamparan hutan yang cukup
lebat dan jarang dijamah oleh manusia, sekalipun disana-sini sudahh berdiri kampung
disekitarnya, sehingga kampung tersebut terkesan seperti hutan lindung layaknya yang berada
ditengah-tengah perkampungan dan menurut kabar dari beberapa sumber menerangkan
bahwa hutan dimaksud masih angker. Sehingga tahapan perkembangan kampung dimaksud
sangat lamban karena tidak asal manusia bisa memasuki tanpa berbekal ilmu yang tinggi
pada saat itu, sesuai dengan petumbuhan pneduduk pada kampung disekitarnya maka lahan
pertanian mulai diperebutkan oleh warga yang menguninya kemudian melihat kondisi
kampung yang sudah digarap oleh penghuninya sehingga tidak jarang sering terjadi
kesalahpahaman akibat kekurangan lahan pertanian. Oleh karena itu para sesepuh dari
kampung yang berada disekitar hutan dimaksud mulai membuka kawasan hutan lindung
sangat angker yang berada di antara pemukiman dan dinamakan blok DERMAGA
MALANG.
Sumber lain menerangkan, bahwa di Desa Sukadana berasal dari “SUKA” artinya
senang “DANA” artinya materi. Desa Sukadana berarti senang materi sesuai dengan ciri khas
kehidupan masyarakat yang ada rajin menggali potensi yang mendapatkan sumber rejeki
sesuai dengan bidang dan keahliannya masing-masing. Sebelum menjadi desa tempat yang
kita huni sekarang merupakan hamparan yang ditumbuhi oleh pepohonan yang cukup lebat
dan hanya terdapat satu jalur jalan setapak yang membujur kearah Timur dan Barat., sehingga
penduduk yang menghuni temapt dimaksud menamakan blok Dermaga Malang yang dihuni
hanya beberapa orang saja dengan mata pencaharian memanfaatkan lahan dengan menanam
beberapa jenis tanaman disela-sela pepohonan besar layaknya seperti hutan lindung yang
berada ditengah desa dan cocok untuk lahan mengembala ternak.
Pada suatu hari para para penghuni yang ada pada saat itu sedang giat-giatnya
membuka lahan untuk bercocok tanam dengan peralatan sederhana, tiba-tiba para petani
dihebohkan oleh hilangnya binatang peliahraan. “SULTAN NURAWAN” yang lepas dari
tempat peliharaannya. Saking sayangnya kepada binatang peliharaannnya, yaitu seekor
menjangan tanpa tanduk atau disebut menjangan Dugul, konon Sultan Nurawan terus
mencarinya dari tempat tinggalnya sendiri yaitu diwilayah Sumber Cirebon hingga sampai ke
pedukuhan yang masih kelihatan hutan dan hanya terdapat satu jalur jalan setapak yang
disebut blik Dermaga Malang. Ketika Sultan Nurawan sedang mencari tahu tentang
kepergian binatang peliharaannya yang hilang itu kemudian memberitahukan kepada
penghuni kampng tersebut tentang tujuan kedatangan Sultan dan sempat beristirahat cukup
lama sambil melacak dan mengintai keberadaan menjangan Dugul peliharaannya. Selama
Sultan Nurawan berada di pedukuhan “Dermaga Malang” dalam rangka mencari binatang
peliharaan kesayangannya, Sultan telah banyak bergaul dengan para penghuni pedukuhan
dimaksud dan Sultan merasa betah, karena ada kesamaan dengan tempat kediaman Sultan,
sebelum sultan meninggalkan tempat, beliau berpesan kepada para penghuni yang pernah
ditemuinya, bahwa tempat ini katanya ada kesamaan dengan tempat kediaman sultan pada
saati itu adalah kondisi para petaninya ulet bercocok tanam disamping tanaman padi juga
palawija sebagai selingan dan waktu tanamnya diatur sedemikian rupa sehigga bisa
menghasilkan uang setiap hari-harinya. Selanjutnya Sultan Nurawan meninggalkan
pedukuhan Dermaga Malang melanjutkan perjalanannya mencari menjangan dugul
(menjangan tanpa tanduk) pada saat Sultan sedang menginti dan melacak arah perjalanan
menjangan peliharaannya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh tetapi tidak dapat melihat
seorangpun dan ternyata binatang kesayangannya itu telah terbunuh dan telah dicincang-
cincang tanpa mengetahui pelakunya. Akhrinya Sultan Nurawan terpaksa menyerah apa yang
telah dilihatnya. Ternyata binatang peliharaannya itu tidak setangguh seperti yang
dibayangkan. Selanjutnya Sultan Nurawan berpesan kepada penghuni yang pernah
ditemuinya, bahwa tempat dimana menjangan dugul itu terbunuh, pada suatu saat nanti areal
itu akan dinamakan “Karanggetas” karena menjangan peliharaannya itu diperkirakan masih
mampu dan kebal terhadap tajamnya pisau, namun kenyataannya tidak demikian.
Selanjutnya dimana tempat bekas pencincangan menjangan dugul itu tidak terlihat
seorangpun hanya terdengar suara gemuruh seperti terdengar suara orang-orang sedang ada
pesta. Sehingga Sulta Nurawan mempunyai pendapat bahwa temapt tersebut kelak akan
dinamakan “GEMURUH” setelah melihat tragedi yang mengherankan itu, selanjutnya Sultan
Nurawan pamitan untuk kembali ke kediamannya di wilayah Sumber Cirebon dan situasi
negara pada saat itu masih dalam negara jajahan Belanda. Sehingga para penghuni
pedukuhan dimaksud memilih hidupnya ditengah hutan agar tidak bentrok dengan
pemahaman kolonial Belanda. Dan pada tahun 1887 penghuni pedukuhan sepakat untuk
memilih pemimpin dalam hal ini disebut Kuwu, pada saat itu yang terpilih adalah Bapak. H.
Tawiyah Idris, mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya untuk melindungi warganya
berkeinginan untuk mensejahterakan berdasarkan kesepakatan para sesepuh yang ada pada
saat itu bahwa blok Dermaga Malang namanya diubah menjadi Desa Sukadana, dengan
alasan ingin mengubah derajat warga, maka berdasarkan urun rembug dengan para seseuh
warga dimaksud yang dipimpin oleh bapak kuwu, bahwa dusun tersebut dinamakan Desa
Sukadana, hal ini diputuskan mengambil sejarah dari seekor menjangan Dugul yang awalnya
dipelihara oleh Sultan dari Desa Sukadan, Sumber Cirebon atau sekitar “Talun Cirebon
Girang” dan berakhir ajalnya didaerah dusun dermaga Malang tepatnya diblok Gemuruh,
menjadi tumbal untuk kejayaan Desa Sukadana dimasa mendatang.
Dahulu kala pemukiman desa belum mempunyai nama, masih berupa hutan belantara,
nama Bodas berasal dari panggilan Buyut Bodas yang bernama Nyai Mas Madu Sari, konon
Nyai Mas Madu Sari adalah putri dalem kerabat keraton kesultanan Mataram yang turut
berjuang mengusir penjajahan Belanda di Batavia, karena kegagalan mengusir kaum penjajah
maka beliau besrta kerabatnya yaitu Raden Mas Adiwiranata juga disebut Raden Mas
Adiningrat dan Raden Dalem Lueseeng beserta para prajurinya tidak mau kembali ke keraton
Mataram. Bahkan berusaha membangun kekuatan tentaranya di sebuah hutan perbatasan
antara Kabupaten Indramayu dan Majalengaka, sambil menunggu komando dari pihak
kesultanan Mataram, beliau mendirikan sebuah pedukuhan yang bernama Bodas, berasal dari
bahasa Sunda yang artinya “Putih” kejadian ini berasal ketika Nyi Mas Mayangsari sebabis
membakar hutan belantara, beliau mandi di kali Cimanuk, yang apda saat itu sungai dijadikan
alat transportasi utama dari hulu ke hilir, ketika beliau sedang mandi ada pedagang dari
daerah sunda dengan menggunakan rakit melihat kecantikan Nyi Mas Madusari, beliau begitu
cantik dan putih kulitnya, dengan spontan orang sunda tersebut berucap “Aya Jelma Bodas”
maksudnya ada orang putih (cantik mulus). Akhrinya jadi bahan perbincangan tentang
kecantikan Nyi Mas Madusari tersebut, yang selanjutnya disebut buyut Bodas dan
pemukimannya disebut Bodas.
Pada sekitar abad 16, seorang pangeran dari kerajaan Mataram yang bernama Sunan
Kuning mempunyai dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan, anak pertama
beranama Raden Dalem Leuseeng, anak keuda perempuan bernama Nyi Mas Madu Sari,
anak ketiga laki-laki bernama Raden Mas Adiningrat atau Adi Wiradinata. Pada abad itu
Sunan Kuning dari Mataram membawa pasukan perangnya diperintahkan oleh ayahnya
(Sunan Agung Mataram) untuk menyerang Belanda di Batavia, dengan membawa bala
tentaranya dan ketiga anaknya untuk membantu menyerang Batavia, dan anaknya bernama
Raden Mas Adiningrat yang menjadi senoati perangnya, dengan membawa peralatan perang
seadanya berangkatlah pangeran kunging ke Batavia.
Berhari-hari melawati hutan dan pedesaan sampailah ketempat tujuan, Sunan Kuning
bersama bala tentaranya menyerang Batavia sehingga terjadilah banjir darah, karena
perlengakpan perang yang kalah canggih sehingga pasukan Sunan Kuning dan pasukannya
terpukul mundudr dan kembali ke Mataram. Ditengah perjalanan pulang ketiga anaknya dan
sebagian pasukannya tersesat dihutan, ketiga orang tersebut terpencar. Raden Mas Dalem
Luseheng tersesat dan tinggal di wilayah Majalengka (Desa Luwiseheng Kecamatan
Kadipaten Kabupaten Majalengka), yang dua lagi tersesat di wilayah Indramayu yaitu Nyi
Mas Madusari dan Raden Mas Adiningrat, dan tidak berniat kembali lagi ke Mataram,
bahkan berusaha menyusun kekuatan kembali bila sewaktu-waktu bertempur kembali dengan
Belanda.
Sekitar tahn 1691, Nyi Mas Madusari dan Raden Mas Adiningrat, dengan anak
buahnya membuka lahan untuk pemukiman dan lahan pertanian untuk penghidupannya, yang
pada saat itu masih berupa hutan belantara. Sehubungan Nyi Mas Madusari seorang wanita
sehingga menebang hutan itu menggunakan api dibantu oleh adiknya yang bernama Raden
Mas Adiningrat. Karena membuka lahan menggunakan api atau membakar hutan maka
hasilnya selalu dibatasi oleh suangai, dan kelak dijadikan batas desa yang selalu berbatasan
dengan sungai, yaitu sungai Cimanuk dan sungai Cibuya.
Pada saat itu sarana transportasi dari daerah sunda ke Indramayu masih menggunakan
sungai, yaitu Sungai Cimanuk. Bahwa sungai Cimanuk waktu itu merupakan sarana
transportasi utama yang digunakan para pedagang dan urusan lainnya dengan menggunakan
rakit bambu. Ketika Nyi Mas Madusari sedang mandi di sungai, ada orang sunda lewat
menggunakan rakit bambu melihat Nyi Mas Madusari, sehubungan Nyi Mas Madusari
badannya berkulit putih maka orarng itu menunjuk beliau sambi berkata “Aya jelema bodas”
maksudnya kalau dengan bahasa Indonesianya ada orang berkulit putih. Mengingat Nyi Mas
Madusari sangat cantik dan kulitnya putih bersih, maka setelah kejadian itu menjadi buah
bibir para pengguna sarana transportasi sunga yang kebanyakan dari daerah pasundan, bahwa
daerah itu ada orang Bodas (aya jelma Bodas)
Sejak ada sebutan kepada Nyi Mas Madusari yang berkulit putih (Bodas), maka hutan
yang telah dibakar dan dijadikan pemukiman diberi nama Pedukuhan Bodas yaitu sekitar
tahun 1694. Pada akhirnya Nyi Mas Madusari yang disebut juga Mas Mayangsari menetap di
pedukuhan tersebut, Nyi Mas Madusari dalam penghidupannya ditemani satoh (hewan) kebo
Dugul bule hasil pemberian dari keluarganya di Mataram, yang jinak dan selalu meneamni
dimanapun berada.
Demikian pula sang adik menetap di pedukuhan tersebut sampai berketurunan salah
satu anaknya bernama Raden Nuralim atau Raden Nur Ngalim, yang dalam kelanjutannya
pernah bertempur melawan Belanda, dengan gagah berani.
Sekarang kuburan Nyi Mas Madusari masih ada disamping masjid Jami Babusalam
desa Bodas dengan sebutan Buyut Putih dan Kuburan Raden Mas Adiningrat masih ada di
pekuburan umum dengan sebutan buyut mas. Sejak sekitar Tahun 1694 wilayah itu ditempati
Nyi Mas Madusari dan adikya Raden Mas Adiningrat, penduduknya semakin berkembang
atau semakin banyak, kemudian dalam kurun waktu beberapa waktu, sehingga ditunjukanlah
seseorang yang dianggap cakap untuk memimpin Wilayah Bodas yang bernama Ki
Wirandanu sekitar tahun1731. Karena sudah ada pemimpinnya, maka wilayah Bodas itu
dijadikan sebuah Desa dengan nama Desa Bodas.
Dalam perkembangannya, penduduk Desa Bodas banyak yang pindah untuk mencari
nafkah hidupnya diberbagai daerah, berdasarkan data dan informasi sejak sekitar tahun 1967
jumlah penduduk sekitar 600 kepala keluarga dan kira-kira sekitar 1.700-.1800 jiwa, dan
sampai saat ini jumlah kepala keluarga tidak jauh dari jumlah penduduk saat itu, bahkan
Warga trans. Asala desa Bodas dibeberapa daerah justrujumlahnya lebih banyak dari desa
induknya, Desa Bodas, tercatat dibeberapa daerah seperti desa Bugis-Mangun Jaya,
Kecamatan Anjatan ada Dusun Bodas, didaerah Banten seperti kecamatan Panimbang,
khususnya di Desa KlapaCagak, Bojen dan sekitarnya banyak dihuni warga asalah Bodas,
demikian pula di kabupaten Cianjur didaerah Ciranjang, Cidau banyak warga asal Desa
Bodas, dan sampai saat inipun banyak warga Bodas yang berpencar disegala penjuru
Indonesia dari mulai tentara, PNS, pengusaha, dan petani yang hidup di beberapa daerah.
Konon kabarnya bahwa asal desa Mekarsari berasal dari pemekaran desa Tukdana.
Pemekaran ini dilakukan pada masa jabatan Bapak kuwu Sahid Tukdana menjadi tiga bagian,
yaitu: Tukdana sebagaian desa induk dan Mekarsari sebagai desa pemekaran yang baru.
Kebetulan pemekaran ini berlangsung pada akhir jabatan Kuwu Sudono di desa Tukdana.
Kemudian Kuwu Mekarsari dijabat oleh PJS SAHID.
Seiring dengan berkembangnya perekonomian, maka penambahan pendudukpun
mulai berdatangan dari desa-desa sekitar, perantau-perantau juga mulai berdatangan dari
berbagai wilayah seperti Cirebon, dari desa Gala Gamba Wulung, Kedokan, dan Pipisan.
Nama Mekarsari berasal dari salah satu blok, yaitu blok Tanjakan kemudian
disempurnakan menjadi Mekarsari. setelah pemisahan diri dari desa Tukdana dan Kuwu
pertama Bapa Sahid, berikut ini nama-nama kuwu Mekarsari dan peristiwa penting yang
terjadi diantaranya sebagai berikut:
1. Kuwu Sahid, dalam masa jabatannya kuwu Sahid dapat membangun masjid dan
balai desa
2. Kuwu Warya, dalam masa jabatannya dapat membuat irigasi rancananggung 2.
3. Kuwu Warma, dalam masa jabatannya kuwu Warma membangun irigasi sepanjang
jalan tanjakan dan pengaspalan di jalan-jalan lingkungan desa.
4. Kuwu Karsita, dalam masa jabatannya membangun jembatan penarikan,
pengaspalan-pengaspalan jalan desa Mekarsari.
Konon kabarnya bahwa asal-usul desa Karangkerta berasal dari pemekaran desa
Kerticala, pemekaran ini dilakukan pada masa jabatan Bapak Kuwu Tasika. Kerticala dibagi
menjadi dua, yaitu: Kerticala sebagian desa induk dan karangkerta sebagai desa pemekaran
yang baru. Kebetulan pemekaran ini berlangsung pada akhir jabatan Kuwu Tasika di desa
Kerticala. Kemudian kuwu Tasika mencalonkan diri di desa Karangkerta dan terpilih.
Seiring dengan berkembangnya perekonomian, maka penambahan pendudukpun
mulai berdatangan dari desa sekitar, perantau-perantau mulai berdatangan dari Cirebon, dari
desa gala gamba wulung, kedokan, dan pipisan. Nama Karangkerta berasal dari salah satu
blok karang anyar, kemudian disempurnakan menjadi Karangkerta. Setelah pemisahan diri
dari desa Kerticala, dan kuwu pertama Bapak Tasika, berikut nama-nama kuwu Karangkerta
dan peristiswa penting yang terjadi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kuwu Tasika, dalam masa jabatannya kuwu Tasika dapat membangun masjid.
2. Kuwu Kandeg, dalam masa jabatannya dapat pesanggarahan.
3. Kuwu Cabik, dalam masa jabatan kuwu Cabik, gedung serba guna dibangun menjadi balai
desa, yang akhirnya balai desa yang berada di blok Rancalintah di pindah ke blok
karanganyar atau lebih terkenal dengan sebutan blok Dongol.
4. Kuwu Yono, dalam masa jabatan yang terakhir terjadi peristiwa yang tidak diinginkan,
yaitu terjadi kerusuhan dalam Pilkades.