Anda di halaman 1dari 11

KEPERAWATAN KRITIS

“EVIDANCE BASED PRACTICE SYSTEM MUSCULOSCELETAL”

Pengampu :
Adiratna Sekar Siwi., S.Kep.,Ners.,M.Kep

Kelompok 8 :
1. Anggraeni Nurdiana (16142014245011)
2. Rafi Dwi Kusuma (16142014307073)
3. Soliyah (16142014329095)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PRODI SARJANA KEPERAWATAN 7B
UNIVERTSITAS HARAPAN BANGSA
2019
A. Jurnal 1
1. Judul
PENGARUH RANGE OF MOTION (ROM) TERHADAP INTENSITAS NYERI PADA
PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH
2. Pembahasan
Pasien post operasi sering kali dihadapkan pada permasalahan adanya proses
peradangan akut dan nyeri yang mengakibatkan keterbatasan gerak. Sedangkan kecacatan
fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui latihan rentang gerak yaitu dengan latihan
Range of Motion (ROM) yang dievaluasi secara aktif, yang merupakan kegiatan penting
pada periode post operasi guna mengembalikan kekuatan otot pasien.
Range Of Motion (ROM) adalah Latihan gerakan sendi yang memungkinkan
terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif (Perry & Potter,
2006). Meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri pasien harus melakukan pergerakan,
hal tersebut juga bertujuan untuk menghilangkan kekakuan pada otot dan tulang, terutama
pada pasien post operasi. Pergerakan badan sedini mungkin dan nyeri yang dirasakan pada
saat latihan gerakan sendi harus dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi
gangguan (Kusmawan, 2008).
3. Metode dan Intervensi
Range Of Motion (ROM) adalah Latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya
kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-masing persendiannya
sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif (Perry & Potter, 2006).
Meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri pasien harus melakukan pergerakan, hal
tersebut juga bertujuan untuk menghilangkan kekakuan pada otot dan tulang, terutama
pada pasien post operasi. Pergerakan badan sedini mungkin dan nyeri yang dirasakan pada
saat latihan gerakan sendi harus dapat ditahan dan keseimbangan tubuh tidak lagi menjadi
gangguan (Kusmawan, 2008).
Pengumpulan data dilakukan di ruang rawat inap dahlia RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Peneliti melakukan pemilihan sampel berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
Kelompok eksperimen selanjutnya akan diberikan tindakan ROM selama 20 menit, dan

2
kelompok kontrol tidak. Setelah melakukan intervensi kedua kelompok diukur kembali
intensitas nyerinya dengan menggunakan skala intensitas nyeri numerik.
Analisa data pada penelitian ini adalah univariat dan bivariat. Analisa univariat dilakukan
untuk melihat karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, dan status pendidikan.
Analisa bivariat menggunakan dependent t test dan independent t test. Dependent t test
digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai intensitas nyeri pre-test dan post-test.
Independent t test digunakan untuk membandingkan nilai intensitas nyeri post-test pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
4. Hasil
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti tentang pemberian ROM yaitu pada
kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan gerakan ROM selama 4 hari mengalami
penurunan yang sangat signifikan yaitu didapatkan mean pretest adalah 4,71 menjadi 3,27.
Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan bahwa juga terjadi penurunan sedikit yaitu
didapatkan mean pretest pada kelompok kontrol 4,91 menjadi 4,71. Hasil yang didapatkan
dari penelitian ini yaitu pada kelompok eksperimen terdapat penurunan yang signifikan
antara pretest dan posttest, dan pada kelompok kontrol juga didapatkan adanya penurunan
yang terjadi pada pretest dan posttest. Hal ini disebakan karena pada kedua kelompok
diberikan analgetik ketorolak dan pada kelompok eksperimen diberikan latihan gerakan-
gerakan ROM. Hasil ini membuktikan terdapat bahwa pengaruh ROM efektif menurunkan
intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah.

B. Jurnal 2
1. Judul
Pengaruh Kombinasi Teknik Relaksasi Genggam Jari Dan Kompres Dingin Terhadap
Perubahan Persepsi Nyeri Pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Di Rsud Jombang
2. Pembahasan
Teknik relaksasi genggam jari (finger hold) merupakan teknik relaksasi yang sangat
sederhana dan mudah dilakukan oleh siapapun yang berhubungan dengan jari tangan serta
aliran energi didalam tubuh. Menggenggam jari sambil menarik nafas dalam-dalam
(relaksasi) dapat mengurangi dan menyembuhkan ketegangan fisik dan emosi. Teknik
tersebut nantinya dapat menghangatkan titik-titik keluar dan masuknya energi pada

3
meredian (jalur atau jalan energi dalam tubuh) yang terletak pada jari tangan kita, sehingga
mampu memberikan rangsangan secara reflek (spontan) pada saat genggaman.
Rangsangan yang didapat nantinya akan mengalirkan gelombang menuju ke otak,
kemudian dilanjutkan ke saraf pada organ tubuh yang mengalami gangguan, sumbatan di
jalur energi menjadi lancar.
Kompres dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf dan menghambat impuls saraf, menyebabkan mati rasa, meningkatkan
ambang nyeri dan dapat menimbulkan efek analgetik.
3. Metode dan Intervensi
Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan rancangan pre and post test
control group design. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 42 orang yang terbagi dalam
21 orang kelompok intervensi dan 21 orang kelompok kontrol dengan menggunakan teknik
non probability sampling dengan pendekatan consecutive sampling. Waktu penelitian
untuk pengumpulan data dilakukan selama 2 bulan. Penelitian dilakukan pada bulan
September sampai Nopember 2016. Variabel independen dalam penelitian ini adalah
teknik relaksasi genggam jari dan kompres dingin, sedangkan variabel dependen adalah
persepsi nyeri yang diukur dengan menggunakan Visual Analogue Scale. Data yang
didapatkan berupa krakteristik responden dan skor nyeri.
4. Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
terdapat perbedaan perubahan persepsi nyeri dengan hasil p value < 0.05, nilai p value
0.030.

C. Jurnal 3
1. Judul
Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Fraktur
2. Pembahasan
Menurut Helmi (2012), manifestasi klinik dari fraktur ini berupa nyeri. Nyeri pada
penderita fraktur bersifat tajam dan menusuk (Brunner & Suddarth, 2011). Seseorang dapat
belajar menghadapi nyeri melalui aktivitas kognitif dan perilaku, seperti distraksi, guided
imagery dan banyak tidur. Individu dapat berespons terhadap nyeri dan mencari intervensi

4
fisik untuk mengatasi nyeri, seperti analgesik, masase, dan olahraga (Kozier, et al., 2009).
Gerakan tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya nyeri, seperti gigi
mengatup, menutup mata dengan rapat, wajah meringis, merengek, menjerit dan
imobilisasi tubuh (Kozier, et al., 2009). Penanganan nyeri dengan melakukan teknik
relaksasi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengurangi nyeri.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam sangat efektif dalam
menurunkan nyeri pasca operasi (Sehono, 2010).
Teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang
menunjang nyeri. Teknik relaksasi terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman
(Smeltzer et al., 2010).
3. Metode dan intervensi
Penelitian ini menggunakan desain Praeksperimental dengan cara melibatkan satu
kelompok subjek, dengan rancangan One Group pretest-posttest. Penelitian ini dilakukan
pada tanggal 15 Juni-14 Juli 2017 di RSI Siti Khadijah Palembang.Populasi pada penelitian
ini semua pasien fraktur yang mendapat perawatan di RSI Siti Khadijah Palembang.
Sampel dalam penelitian ini didapat menggunakan rumus sampel rerata menurut Nursalam
(2016) dengan perkiraan besar populasi 30 (Nursalam dalam Agung, 2013) dan proporsi
kasus sebesar 50 persen sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 30 responden
diambil menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria inklusi usia 16-55 tahun,
grade fraktur 1-3, pengukuran skala nyeri menggunakan
Numeric Rating Scale dengan skala 0 (tidak nyeri), 1-3 (nyeri ringan) dan 4-6 (nyeri
sedang), responden diberikan analgetik yang sama dan telah lebih dari 8 jam. Data dianalisa
secara 2 tahapan yaitu: analisa univariat untuk melihat distribusi frekuensi dan analisa
bivariat dengan statistik nonparametrik menggunakan uji wilcoxon untuk mengetahui skala
nyeri sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi napas dalam.
4. Hasil
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di RSI Siti Khadijah Palembang pada
tanggal 15 Juni-14 Juli berdasarkan hasil uji Wilcoxon menunjukkan (p-value=0,001,
α=0,05), maka didapatkan perbedaan yang signifikan antara pengukuran intensitas nyeri
sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Sehingga dapat disimpulkan

5
bahwa tindakan teknik relaksasi nafas dalam yang dilakukan sesuai dengan aturan dapat
menurunkan intensitas nyeri pada pasien fraktur.

D. Jurnal 4
1. Judul
New options in the management of tendinopathy by Nicola Maffulli, Umile Giuseppe
Longo, Mattia Loppini, Filippo Spiezia, Vincenzo Denaro
2. Pembahasan
Cedera tendon dapat akut atau kronis, dan disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik,
baik sendiri atau dalam kombinasi. Tendinopathies adalah penyebab umum dari kecacatan
di kedokteran kerja dan account untuk proporsi yang besar dari cedera berlebihan dalam
olahraga. Tendinopathy pada dasarnya adalah respon penyembuhan gagal, dengan
serampangan proliferasi tenocytes, kelainan pada tenocytes, dengan gangguan serat
kolagen dan peningkatan berikutnya dalam matriks noncollagenous. Tujuan dari kajian ini
adalah untuk melaporkan pilihan baru untuk pengelolaan tendinopathy
3. Intervensi
a. Latihan eksentrik
b. Terapi gelombang kejut extracorporeal
Shock Wave Therapy (terapi gelombang kejut) extracorporeal adalah prosedur non-
invasif yang menggunakan tunggal berdenyut gelombang akustik atau sonik dihasilkan
di luar tubuh dan terfokus di situs tertentu dalam tubuh
c. Suntikan kortikosteroid
d. Aprotinin
e. Polidocanol
Polidocanol (aetoxisclerol, kreussler, jerman) adalah zat sclerosing, yang
menunjukkan potensi untuk mengurangi rasa sakit tendon selama kegiatan pada pasien
dengan tendinopathy kronis.
f. Plasma kaya trombosit
Kombinasi unik dan konsentrasi molekul bioaktif yang ada dalam prp memiliki efek
mendalam pada inflamasi, proliferasi, dan renovasi fase penyembuhan luka.
g. Darah autologous

6
Injeksi darah autologous digunakan untuk pengelolaan tendinopathy 127 untuk
memberikan mediator seluler dan humoral dan untuk menginduksi penyembuhan di
bidang respon penyembuhan gagal
h. Suntikan-volume tinggi
Injeksi volume tinggi akan menghasilkan efek mekanik lokal, menyebabkan
neovessels untuk peregangan, istirahat, atau menutup jalan.
i. Operasi
Tujuan operasi untuk cukai perlengketan fibrosis, daerah menghapus penyembuhan
gagal dan membuat beberapa sayatan memanjang pada tendon untuk mendeteksi lesi
intratendinous dan untuk mengembalikan vaskularisasi, dan mungkin merangsang sel-
sel yang layak tersisa untuk memulai respon matriks sel dan penyembuhan
j. Radiofrequency microtenotomy
Radiofrequency microtenotomy merupakan prosedur yang aman dan efektif untuk
mengelola pasien dengan tendinopathy kronis
k. Kehancuran neovessel
l. Minimal stripping invasif
4. Hasil
Dokter muskuloskeletal mencoba untuk memberikan pasien mereka manajemen terbaik
yang tersedia yang mereka miliki. Baru-baru ini, konsep “kedokteran berbasis bukti” telah
datang ke permukaan, mencoba untuk mengenali dan menentukan yang terbaik
pengamatan ilmiah yang dapat mempengaruhi praktek klinis. Selanjutnya acak terkontrol
diperlukan untuk memperjelas pilihan yang lebih baik terapi yang terbaik untuk
pengelolaan tendinopathy.
Sebuah komponen ic genet telah impl icated di tendinopathies, tetapi penyelidikan ke
dalam faktor genetik yang terlibat dalam etiologi mereka masih dalam tahap awal. Dalam
model kuda, hasil yang baik telah dicapai, tetapi ini adalah hasil awal, dan teknik jaringan,
meskipun merangsang, masih jauh dari aplikasi klinis. Pemahaman yang disempurnakan
faktor ini memegang janji pendekatan baru untuk pencegahan dan pengelolaan kondisi
umum.
Secara umum, tren secara keseluruhan menunjukkan efek positif dari latihan eksentrik,
tanpa efek samping. Dengan menggabungkan pelatihan eksentrik dan terapi gelombang

7
kejut (SWT) menghasilkan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pembebanan atau SWT saja.

E. Jurnal 5
1. Judul
Intervensi Pengobatan kelemahan otot pada gangguan neuromuskuler
2. Hasil
a. Terapi fisik
Terapi fisik mungkin mendukung seperti di LEMS. latihan olahraga dapat
meningkatkan kelemahan otot juga pada pasien dengan polymyositis Distrofi otot,
Atau miopati kongenital. Pulse-watch dipantau, latihan intensitas sedang pada
ergometer siklus selama 3 d (latihan olahraga aerobik) di enam pasien dengan tungkai
korset distrofi otot (LGMD) 2 L mengakibatkan peningkatan VO2max dan uji
5repetitionssit-to-berdiri.
b. Diet
Tinggi karbohidrat diet rendah lemak (triheptanoin) dengan peningkatan asupan
karbohidrat bermanfaat bagi manifestasi otot defisiensi karnitin-palmitoyltransferase-
II. Diet ini mengurangi akumulasi dari kedua rantai panjang acylcoenzyme A (CoA)
dan intermediet acylcarnitine defisiensi karnitin-palmitoyltransferase-II.
diet bebas gluten mengobati penyakit celiac tetapi juga efektif untuk neuropati dengan
kelemahan dan sensorik gangguan pada penyakit celiac
diet anaplerotic (triheptanoin) dapat membantu untuk menstabilkan kelemahan pada
pasien dengan penyakit polyglucosan tubuh orang dewasa-onset (glikogen Brancher
enzim defisiensi)
Polyunsaturated diet asam lemak telah terbukti bermanfaat dalam miopati gizi,
sindrom kelelahan kronis.
c. Elektro-stimulasi
Dalam sebuah studi dari 50 pasien dengan berkepanjangan unit perawatan intensif
tinggal dan kritis penyakit polineuropati / miopati, neuromuscular stimulasi listrik
(NMES) kontraksi perbaikan dari paha depan otot. NMES memiliki juga efek

8
menguntungkan pada kelemahan otot pada pasien septik di bawah ventilasi mekanis
dengan> 1 kegagalan organ selain disfungsi pernafasan pada unit perawatan intensif
d. Narkoba
Obat biasanya digunakan untuk mengobati kelemahan otot dan dapat bermanfaat
dalam neuropati imun (sindrom Guillain- Barre [GBS] dan subtipe, kronis inflamasi
demielinasi polineuropati [CIDP], multifokal bermotor neuropati [MMN], neuropati
dengan IgM monoklonal gammopathy dan myelin -associated glikoprotein [MAG]
antibodi [anti-MAG neuropati], polineuropati, organomegali, endocrinopathy, M-
gradien, dan lesi kulit [POEMS] sindrom, dan amiotrofi bahu
1) Glukokortikoid. Glukokortikoid secara luas diterapkan untuk kelemahan otot dari
berbagai penyebab.
2) Agen yang mempengaruhi CEI transmisi neuromuskuler. CEI paling sering
diterapkan di MG, LEMS, dan beberapa jenis CMS. Pada MG karena antibodi
reseptor asetilkolin, CEI (250-500 mg / hari pyridostigmine) adalah andalan dalam
mengobati keletihan atau kelemahan yang abnormal.
3) Substitusi
a) Koenzim-Q. Fungsi utama koenzim-Q adalah transfer elektron dari kompleks
I ke kompleks II dan III dari rantai pernapasan.
b) l-karnitin. Jika penyakit kritis polineuropati / miopati dikaitkan dengan
defisiensi L-karnitin, penggantian L-karnitin dapat berkontribusi untuk
pemulihan
c) Creatine. Menurut ulasan Cochrane baru-baru ini termasuk 14 percobaan
yang mempelajari efek creatine pada NMD, kekuatan otot meningkat secara
signifikan dalam meta-analisis dari 6 percobaan termasuk 192 pasien dengan
distrofi otot
d) Riboflavin, idebenone. Fungsi utama riboflavin adalah donor dan akseptor
elektron
Kalium. Pasien dengan hipokalemia herediter atau didapat mungkin
mengalami gangguan sensorik atau kelemahan otot
e) Hormon. Substitusi hormon dapat bermanfaat untuk kelemahan otot pada
berbagai miopati endokrin tetapi khususnya pada miopati tiroid

9
4) Terapi antiretroviral yang sangat aktif.
Pada pasien dengan human immunodeficiency virus-1 (HIV1)-CIDP yang terkait,
terapi antiretroviral yang sangat aktif menghasilkan tidak hanya dengan tidak
adanya HIV1-RNA dan pemulihan jumlah limfosit CD4, tetapi juga dalam
pemulihan lengkap kelemahan distal dan gangguan sensorik kecuali untuk
disestesia residual di ujung jari kaki
5) Diuretik.
Aplikasi acetazolamide dapat membantu mencegah kelemahan otot permanen
pada pasien dengan kelumpuhan periodik
6) Perawatan diabetes.
Kelemahan karena neuropati diabetik dapat menguntungkan dari kepatuhan yang
ketat terhadap pengobatan antidiabetes.
7) Terapi penggantian enzim.
Sejak 2006, semua jenis glikogenosis tipe II (penyakit Pompe) dapat diobati
dengan substitusi enzim yang kurang dengan infus manusia rekombinan α1,4-
glukosidase setiap 2 minggu.
e. Penghindaran / Penarikan obat
Obat-obatan yang kadang-kadang dapat menyebabkan miopati dan kelemahan
termasuk kortikosteroid, statin, analog nukleosida, bifosfonat, atau penghambat
neuromuskuler plus steroid
f. Detoksifikasi
Kelemahan otot yang diinduksi toksin juga dapat segera merespons penarikan toksin
atau detoksifikasi
g. Terapi sel induk
Terapi sel induk (sel induk hematopoetik autologous) telah berulang kali dicoba pada
pasien dengan CIDP
h. Pertukaran plasma
Dalam hal IVIG tidak efektif dalam GBS, pertukaran plasma dianjurkan
i. Terapi pernapasan
Jika otot pernapasan primer atau sekunder terkena NMD, terapi pernapasan untuk
kelemahan otot pernapasan mungkin diperlukan

10
j. Operasi
Langkah-langkah pembedahan untuk tidak meningkatkan atau menyelesaikan
kelemahan otot tetapi membantu mengurangi konsekuensi jangka panjang dari
kelemahan otot.
Kelemahan yang paling mudah diobati di NMDS diperoleh dan miopati keturunan dan
neuropati pilihan pengobatan yang bermanfaat juga tersedia. Penelitian perlu didorong
dan ditingkatkan untuk lebih memperluas spektrum pilihan pengobatan untuk
kelemahan.

Referensi
http://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JK/article/view/905/750
https://media.neliti.com/media/publications/185205-ID-none.pdf
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27376189
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3781852/
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10822/2.%20HALAMAN%20JUDUL.p
df?sequence=2&isAllowed=y

11

Anda mungkin juga menyukai