Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemberian antibiotik merupakan tindakan utama dalam penatalaksanaan

penyakit infeksi bakterial. Sesuai dengan UU. No 149 tahun 1949, antibiotik

termasuk dalam daftar G atau Gevaarlijik berarti obat keras, yang hanya dapat

diperoleh dengan resep dokter atau tanggung jawab dan kewenangan dari pihak

medis. Penggunaan antibiotik di masyarakat yang semakin meningkat

berhubungan dengan kemungkinan peningkatan resistensi (1).

Penyalahan antibiotik termasuk kegagalan terapi, over dosis, atau

penggunaan kembali antibiotik yang tersisa, berpotensi membuat masyarakat

untuk menambahkan dosis. Sehingga dapat meningkatkan resistensi di lingkungan

sekitar (2). Penyalahgunaan antibiotik dapat terjadi karena mudah didapatkan

masyarakat tanpa menggunakan resep dokter. Hal ini dapat membahayakan

masyarakat yang menggunakan antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan menjadi

tidak efektif dalam mengobati suatu penyakit infeksi (3). Banyak faktor yang

mungkin saja mempengaruhi salah satunya adalah tingkat pengetahuan dan

pemahaman yang dimiliki masyarakat, Untuk menghindari hal ini perlu dilakukan

edukasi berbagai aspek yang berkaitan dengan pengetahuan tentang antibiotika

agar tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat dapat dikendalikan.

sehingga tidak terjadi penyalahgunaan di kalangan masyarakat, dan juga

meningkatkan perilaku pengetahuan serta sikap terhadap keuntungan dan kerugian

dalam pemakaian antibiotika.

1
Pengobatan antibiotik tanpa resep dokter sering terjadi di negara-negara

berkembang, bahkan di negara maju seperti Eropa (4). Penelitian Volpato (2005)

di Brazil menunjukkan bahwa 74% dari 107 apotek yang telah dikunjungi,

termasuk 88% apotek, yang didaftar oleh Municipal Health Secretary, menjual

antibiotik tanpa resep dokter (5). Penelitian di Riyadh, Saudi Arabia juga

menunjukkan tingginya penggunaan antibiotik tanpa resep dokter yaitu 77,6% (6).

Penggunaan antibiotik yang relative tinggi menimbulkan beragam masalah dan

merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama dalam hal resistensi

antibiotik (7).

Menurut Antimicrobial Resistantin Indonesia (AMRIN-study) dari 2494

individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis

antibiotik antara lain : ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol

(25%). Di Indonesia memberlakukan undang-undang tentang penjualan antibiotik

yang diatur dalam undang-undang obat keras St. No.419 tgl. 22 Desember 1949,

pada pasal 3 ayat 1. Selain itu, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang penggunaan antibiotik (7).

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas bahwa masih

banyaknya pasien yang melakukan pengobatan sendiri dengan antibiotik tanpa

melakukan pemeriksaan terlebih dahulu ke dokter (tanpa resep dokter), termasuk

di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi, hal ini kemungkinan karena kurangnya

pengetahuan mereka mengenai penggunaan antibiotik yang benar dan sesuai,

sehingga berdampak pada sikap masyarakat dalam penggunaan antibiotik secara

bebas. Dari fenomena ini peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan

2
faktor individu pasien ditinjau dari segi sikap masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Kayutangi dengan penggunaan antibiotik tanpa resep.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yaitu

apakah terdapat hubungan antara faktor individu pasien ditinjau dari segi sikap

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi dengan penggunaan antibiotik

tanpa resep?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

faktor individu pasien ditinjau dari segi sikap masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Kayutangi dengan penggunaan antibiotik tanpa resep.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi penggunaan antibiotik tanpa resep di wilayah kerja

Puskesmas Kayutangi.
2. Mengidentifikasi sikap pasien tentang penggunaan antibiotik tanpa resep

di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi.


3. Menganalisis hubungan sikap pasien dengan penggunaan antibiotik tanpa

resep di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis penelitian ini antara lain mengetahui kebiasaan

penggunaan antibiotik tanpa resep oleh pasien di wilayah kerja Puskesmas

3
Kayutangi, memberikan gambaran mengenai hubungan faktor individu

pasien ditinjau dari segi sikap masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Kayutangi dengan penggunaan antibiotik tanpa resep dan menjadi acuan

untuk penelitian lanjutan mengenai penggunaan antibiotik di masyarakat.


2. Manfaat praktis
Manfaat praktis penelitian ini antara lain menjadi pembelajaran dan

pengalaman bagi peneliti, menjadi masukan bagi Puskesmas Kayutangi

untuk melakukan intervensi program promosi kesehatan mengenai

penggunaan antibiotik yang rasional dengan kondisi di masyarakat, serta

menimbulkan kesadaran dan motivasi bagi masyarakat untuk memperbaiki

sikap tentang penggunaan antibiotik yang tepat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

4
Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme,

mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menghambat pertumbuhan

atau membunuh mikroorganisme. Antibiotik yang relatif non-toksik bagi

pejamunya digunakan sebagai agen kemoterapetik dalam pengobatan penyakit

infeksi pada manusia, hewan, tanaman. Istilah ini sebelumnya digunakan terbatas

pada zat yang dihasikan oleh mikroorganisme, tetapi penggunaan istilah ini

meluas meliputi senyawa sintetik dan semisintetik dengan aktivitas kimia yang

mirip (8).

Antibiotik memiliki sifat toksisitas selektif, artinya bersifat sangat toksik

terhadap mikroba tetapi relatif tidak toksik terhadap hospes. Berdasarkan sifat

toksisitas selektif, antibiotik memiliki dua aktivitas yaitu bakteriostatik dan

bakterisid. Bakteriostatik bersifat menghambat pertumbuhan mikroba sedangkan

bakterisid bersifat membunuh mikroba (8).

2.1.1 Jenis Antibiotik

Berdasarkan spektrum kerja, antibiotik dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

berspektrum sempit (misalnya streptomisin) dan berspektrum luas (misalnya

tetrasiklin dan kloramfenikol). Batas kedua spektrum ini terkadang tidak jelas.

Walaupun suatu antibiotik berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu

seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan

obat terpilih untuk infeksi yang diderita terlepas dari efeknya terhadap

mikroorganisme lain. Di samping itu, antibiotik berspektrum luas cenderung

menimbulkan superinfeksi oleh kuman atau jamur yang resisten (8,9)

5
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik terbagi menjadi lima kelompok

yaitu penghambatan metabolisme sel mikroba, penghambatan sintesis dinding sel

mikroba, penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat dan

mengganggu permeabilitas. (8, 9)

2.1.1.1 Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroba

Antibiotik jenis ini bekerja dengan cara penghambatan pada transpeptidasi

(contoh antibiotik beta laktam: penisilin dan sefalosporin) dan penghambatan

sintesis prekursor peptidoglikan (contoh antibiotik: basitrasin, vankomisin dan

ristosetin).

1) Penisilin

Merupakan antibiotik yang dihasilkan dari kelompok fungi Penicilllinum

chrysognum. Bersifat aktif terutama pada bakteri gram positif dan beberapa gram

negatif. Mekanisme resistensi terhadap agen beta laktam terjadi secara klinik

karena pembentukan beta laktamase oleh bakteri. Dalam penggunaan penisilin

diperlukan penambahan senyawa lain (kombinasi antibiotika) untuk memblokir

dan menginaktivasi beta laktamase. Sebagai contoh yaitu kombinasi amoxicillin

dengan asam klavulanat, amoxicillin dengan sulbactam dan piperacilin dengan

tazobactam. Efek samping dari penisilin antara lain adalah reaksi alergi berupa

syok anafilaksis yang bisa menyebabkan kematian, gangguan lambung dan usus

sedangkan pada dosis yang tinggi dapat menimbulkan reaksi nefrotoksik dan

neurotoksik. Penisilin aman digunakan untuk wanita hamil dan ibu menyusui.

2) Sefalosporin

6
Merupakan antibiotik yang dihasikan oleh jamur Cephalosporium

acremonium. Spektrum kerjanya luas. Berdasarkan aktivitas dan resistensinya

terhadap beta laktamase, sefalosporin dapat dibedakan menjadi :

a) Generasi I : aktif pada bakteri gram positif. Pada umumnya tidak tahan

terhadap beta laktamase. Misalnya: cefalotin, cefazolin, cefradin, cefalexin,

cefadroxil. Golongan ini digunakan secara oral pada infeksi saluran kemih ringan

dan pada infeksi saluran pernafasan yang tidak serius.

b) Generasi II : lebih aktif terhadap kuman gram negatif dan lebih kuat terhadap

beta laktamase. Misal : cefaclor, cefamandole, cefmetazol dan cefuroxime.

c) Generasi III : lebih aktif terhadap bakteri gram negatif, meliputi P.aeruginosa

dan bacteriodes. Misal : cefoperazone, cefotaxim, ceftizoxime, ceftriaxon,

cefixim. Digunakan secara parenteral.

d) Generasi IV : bersifat sangat resisten terhadap beta laktamase. Misal :

cefpirome dan cefepime.

3) Vancomycin

Merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces orientalis.

Bersifat bakterisid terhadap kuman gram positif aerob dan anaerob. Merupakan

antibiotik terakhir jika obat-obat lain tidak mampu mengatasi infeksi bakteri.

2.1.1.2 Antibiotik yang bekerja melalui penghambatan fungsi membran sel

Antibiotik yang termasuk golongan ini antara lain : amfoterisin B, azoles,

polien dan polimiksin. Kemoterapetik selektif terjadi karena antibiotik ini hanya

menghancurkan membran sitoplasma bakteri dan jamur tertentu yang lebih mudah

dirusak daripada membran sel binatang.

7
2.1.1.3 Antibiotik yang bekerja melalui penghambatan sintesis protein

Antibiotik yang termasuk golongan ini antara lain : aminoglikosida,

tetrasiklin, makrolida, kloramfenikol dan linkomisin.

1) Aminoglikosida

Aminoglikosida dihasilkan oleh kelompok fungi Streptomyces dan

Microspora. Golongan ini bersifat bakterisid, berpengaruh pada subunit 30S dari

ribosom 70S mikroba. Resistensi kromosomal mikroba terhadap aminoglikosida

terutama bergantung pada tidak adanya reseptor protein spesifik pada subunit 30S

ribosom.Contoh dari golongan ini antara lain streptomycin, kanamycin,

gentamicin, amikacin, neomycin dan lain-lain. Streptomycin dan kanamycin

digunakan secara injeksi pada TBC dan endokarditis. Gentamicin dan amikacin

bersama dengan penisilin digunakan pada infeksi Pseudomonas. Gentamicin,

tobramycin, neomycin juga sering diberikan secara topikal sebagai salep atau tetes

mata atau telinga. Efek samping penggunaan aminoglikosida antara lain

kerusakan organ pendengaran dan keseimbangan serta bersifat nefrotoksik.

2) Tetrasiklin

Tetrasiklin dihasilkan Streptomyces aureofaciens dan Streptomyces

rimosus. Antibiotik ini bekerja terikat pada subunit 30S ribosom mikroba

menghambat sintesis protein dengan menghambat pelekatan aminoasiltRNA yang

bermuatan. Resistensi terhadap tetrasiklin diakibatkan perubahan permeabilitas

selubung sel mikroba. Pada sel yang resisten, obat ini tidak ditransfer aktif ke

dalam sel atau meninggalkan sel secara cepat sehingga konsentrasi penghambatan

tidak dapat dipertahankan. Obat ini bersifat bakteriostatik dan spektrum kerjanya

8
luas, kecuali terhadap Pseudomonas dan Proteus. Penggunaannya dibatasi karena

sifat resistensinya dan efek samping jika digunakan pada ibu hamil dan anak kecil.

3) Kloramfenikol

Bekerja dengan melekat pada subunit 50S ribosom, bersifat bakteriostatik

terhadap Enterobacter dan S.aureus sedangkan pada S.pneumoniae,

N.meningitidis dan H.influenza bersifat bakterisid. Penggunaan antibiotika ini

secara oral. Mikroorganisme yang resisten terhadap kloramfenikol membentuk

enzim kloramfenikol asetiltransferase yang merusak aktivitas obat.

4) Makrolida (eritromisin)

Terikat pada subunit 50S ribosom. Beberapa bakteri yang resisten terhadap

makrolida tidak mempunyai reseptor yang tepat pada ribosom.

5) Linkomisin (klindamisin)

Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis. Antibiotik ini terikat pada

subunit 50S rribosom mikroba. Mikroorganisme yang resisten terhadap linkomisin

disebabkan karena tidak adanya tempat pengikatan pada subunit 50S. Bersifat

bakteriostatik terhadap Propionibacter acnes sehingga digunakan secara topikal

pada jerawat.

2.1.1.4 Antibiotik yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat

Antara lain : kuinolon, pirimetamin, rifampin, sulfonamid dan

trimetoprim.

1) Rifampisin

9
Antibiotik ini menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengikat secara

kuat pada RNA polimerase yang bergantung pada DNA bakteri. Resistensi

rifampisin berkembang sebagai mutasi kromosom sangat cepat yang

menyebabkan perubahan dalam RNA polimerase.

2) Kuinolon dan flourokuinolon

Semua kuinolon dan flourokuinolon adalah penghambat kuat sintesis asam

nukleat. Obat ini menghambat kerja DNA girase, enzim yang bertanggung jawab

pada terbuka dan tertutupnya lilitan DNA. Bersifat bakterisid. Digolongkan

menjadi :

a) Generasi I : digunakan pada infeksi saluran kemih tanpa komplikasi, yang

termasuk kelompok ini adalah asam nalidiksat dan pipemidat.

b) Generasi II : antibiotik yang tergolong dalam kelompok ini adalah senyawa

flurokuinolon seperti ciprofloxacin, norfloxacin, pefloxacin, ofloxacin. Spektrum

kerja golongan ini bersifat lebih luas meliputi gram positif dan dapat digunakan

untuk infeksi sistemik lain.

3) Sulfonamid

Merupakan antibiotik berspektrum luas terhadap bakteri gram negatif dan

positif. Preparat sulfonamid dapat ditemukan dalam bentuk kombinasi seperti

trisulfa (sulfadiazine, sulfamerazine dan sulfamezatine dengan perbandingan

sama), cotrimoxazole (sulfometoxazole + trimethoprim dengan perbandingan 5:1)

dan sulfadoxin + pirimetamin.

Penggunaan antibiotika golongan sulfonamid antara lain sebagai berikut :

pada infeksi saluran kemih digunakan cotrimoxazole, pada infeksimata digunakan

10
sulfacetamid, pada radang usus digunakan sulfasalazin, pada malaria tropikana

digunakan fansidar, pencegahan luka bakar dengan silver sulfadiazin, pada tifus

digunakan cotrimoxazole dan radang paruparu pada pasien AIDS digunakan

cotrimoxazole. Sulfonamid ini sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan

terutama trimester akhir karena akan menyebabkan terjadinya ikterus dan

hiperbilirubinemia.

2.2. Indikasi Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibiotik berdasarkan indikasinya dapat digolongkan menjadi

antibiotik untuk terapi definitif, terapi empiris, dan terapi profilaksis. Terapi

secara definitif hanya digunakan untuk mengobati infeksi karena bakteri. Untuk

mengetahui bahwa infeksi tersebut disebabkan karena bakteri, dokter dapat

memastikannya dengan kultur bakteri, uji sensitivitas, tes serologi dan tes lainnya.

Berdasarkan laporan, antibiotik dengan spektrum sempit, toksisitas rendah, harga

terjangkau, dan efektivitas tertinggi harus diresepkan pada terapi definitif (9).

Adapun penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan

antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya (9).

Pengobatan dipilih berdasarkan jenis patogen yang sering dijumpai sebagai

penyebab dan sifat resistensinya. Dalam menentukan penyebab infeksi pada anak,

faktor umur sangat mempengaruhi manifestasi klinis. Bakteri patogen yang

bertanggung jawab tehadap penyakit cenderung berubah sejalan dengan

bertambahnya umur. Sedangkan antibiotik profilaksis sering diberikan pada bayi

dan anak untuk mencegah infeksi. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis adalah

11
mencegah infeksi terhadap patogen tertentu dan mencegah infeksi pada organ

tubuh tertentu dan ketiga, untuk pasien yang rentan terhadap infeksi (7).

Penggunaan terapeutik antibiotik di klinik bertujuan membasmi mikroba

penyebab infeksi. Penyakit infeksi dengan gejala klinik ringan, tidak perlu segera

mendapatkan antibiotik. Menunda pemberian antibiotik malahan memberikan

kesempatan terangsangnya mekanisme kekebalan tubuh. Gejala demam yang

merupakan salah satu gejala sistemik penyakit infeksi paling umum, tidak

merupakan indikator yang kuat untuk pemberian antibiotik (9).

Pemberian antibiotik untuk demam tidak bijaksana karena:

a. Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan

pasien (berupa efek samping), dan masyarakat sekitarnya (berupa

masalah resistensi).
b. Demam dapat disebabkan oleh penyakit infeksi virus, yang cukup

tinggiangka kejadiannya dan tidak dapat dipercepat

penyembuhannya denganpemberian antibiotik yang lazim.


c. Demam dapat juga terjadi pada penyakit noninfeksi, yang dengan

sendirinya bukan indikasi pemberian antibiotik.

Penggunaan antibiotik pada dewasa maupun anak tidak bisa secara

sembarangan melainkan harus berdasarkan resep dokter. Dokter menulis resep

antibiotik sesuai ketentuan yang berlaku, dan tugas farmasis/apoteker adalah

mengkaji kelengkapan resep serta dosis rejimennya. Dokter juga harus menulis di

rekam medik secara jelas, lengkap dan benar tentang regimen dosis pemberian

antibiotik, dan instruksi tesebut juga ditulis di rekam pemberian antibiotik (RPA).

Perawat yang memberikan antibiotik kepada pasien (sediaan

12
parenteral/nonparenteral/oral) harus mencatat jam pemberian dan memberi paraf

pada RPA, sesuai jam pemberian antibiotik yang sudah disepakati (10).

2.3. Efek Samping Pemberian Antibiotik

Efek samping antibiotik dapat dikelompokkan menurut reaksi alergi, reaksi

idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes

(12).

a) Reaksi alergi

Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan

melibatkan sistem imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung pada

besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat

bervariasi misalnya eksantema kulit, anafilaksis, dermatitis eksfoliativa,

angioedema, dan lain-lain. Alergi yang sering terjadi atau reaksi yang tidak

diharapkan terhadap terapi antibiotik pada anak misalnya diare,

mual/muntah, ruam kulit/urtikaria) (12).

b) Reaksi Idiosinkrasi
Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara

genetik terhadap pemberian antimikroba tertentu. Sebagai contoh, 10%

pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat jika mendapat

primakuin. Ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD (12).

c). Reaksi Toksik

Antibiotik pada umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini

relatif. Efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik.

13
Yang mungkin dapat dianggap relatif tidak toksik sampai kini ialah

golongan penisilin. Misalnya adalah golongan aminoglikosida yang pada

umumnya bersifat toksik terutama terhadap N. VIII, golongan tetrasiklin

mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi akibat deposisi

kompleks tetrasiklin kalsium- ortofosfat. Dalam dosis besar obat ini

bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita

hamil (12).

Antibiotik berbahaya apabila masuk ke dalam tubuh dalam dosis

yang besar. Efek toksik antibiotik dapat mempengaruhi bagian- bagian

tubuh tertentu. Kloramfenikol menimbulkan efek toksik pada sumsum

tulang belakang sehingga pembentukan sel-sel darah merah terganggu,

sedangkan streptomisin dapat merusak organ keseimbangan dan

pendengaran sehingga menyebabkan pusing, bising telinga, dan kemudian

menjadi tuli. Pemberian penisilin sebagai obat kepada seseorang yang

tidak tahan/ peka dapat menimbulkan gatal-gatal, bintik-bintik merah pada

kulit, bahkan menyebabkan pingsan (12).

d) Perubahan Biologik dan Metabolik


Pada tubuh hospes baik yang sehat maupun yang menderita infeksi,

terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik,

populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen.

Penggunaan antimikroba, terutama yang berspektrum luas, dapat

mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba

yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan

keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh dapat terjadi di saluran


14
cerna, napas dan kelamin, dan pada kulit. Pengobatan menggunakan

antibiotik oral berspektrum luas kemungkinan dapat menimbulkan

suprainfeksi (12).
Karena luasnya kerja antibiotik ini, flora bakteri usus dapat mati

dan kesetimbangan normal bakteri terganggu. Tetrasiklin digunakan untuk

membunuh bakteri usus yang rentan terhadapnya, tetapi jika cara

penggunaanya tidak benar, kemungkinan akan meyebabkan bakteri lain

atau jamur tumbuh lebih bebas dan terjadi infeksi yang lebih berat (12).
Faktor yang memudahkan timbulnya superinfeksi ialah:
1) Adanya faktor atau penyakit yang mengurangi daya tahan pasien
2) Penggunaan antibiotik terlalu lama
3) Luasnya spektrum aktivitas antimikroba obat, baik tunggal maupun

kombinasi (9).
2.4. Resistensi Antibiotik
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan

daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (9):

a. Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

b. Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

c. Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.

d. Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel

bakteri.

e. Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel

melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.

2.5. Sikap

Sikap adalah kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga

sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.

Fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan
15
tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau merupakan reaksi tertutup

(10).

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003), sikap terdiri dari tiga

komponen pokok, yaitu (10):

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya,

bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, bagaimana penilaian

orang tersebut terhadap suatu objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah

merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap

adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).

Menurut Kamal (2001), sikap dibedakan atas (11) :

a. Sikap positif : sikap yang menunjukkan atau yang memperlihatkan, menerima,

mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana

individu itu berada.

b.Sikap negatif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau

tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu berada.

Faktor-faktor mempengaruhi pembentukan sikap antara lain: (12,13)

a. Pengalaman Pribadi

Apa yang dialami seseorang akan mempengaruhi penghayatan dalam

stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar dalam pembentukan

sikap, untuk dapat memiliki tanggapan dan penghayatan seseorang harus memiliki

tanggapan dan penghayatan seseorang harus memiliki pengamatan yang berkaitan

16
dengan obyek psikologis. Menurut Breckler dan Wiggins bahwa sikap yang

diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap

perilaku berikutnya. Pengaruh langsung tersebut dapat berupa predisposisi

perilaku yang akan direalisasikan hanya apabila kondisi dan situasi

memungkinkan.

b. Orang lain

Seseorang cenderung akan memiliki sikap yang disesuaikan atau sejalan

dengan sikap yang dimiliki orang yang dianggap berpengaruh antara lain adalah

orang tua, teman dekat, teman sebaya, rekan kerja, guru, suami atau istri.

c. Kebudayaan

Kebudayaan di mana kita hidup akan mempengaruhi pembentukan sikap

seseorang.

d. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio,

surat kabar, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pembentukan opini

dan kepercayaan seseorang. Dalam membawa pesan-pesan yang berisi sugesti

yang dapat mengarah pada opini yang kemudian dapat mengakibatkan adanya

landasan kognisi sehingga mampu membentuk sikap.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama suatu sistem mempunyai

pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar dan

pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan

17
buruk antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari

pendidikan dan pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

f. Faktor Emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan

pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran

frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat

merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu.

BAB III

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Landasan Teori

Pemberian antibiotik merupakan tindakan utama dalam penatalaksanaan

penyakit infeksi bakterial. Sesuai dengan UU. No. 149 tahun 1949, antibiotik

termasuk dalam daftar obat keras, yang hanya dapat diperoleh dengan resep

dokter atau tanggung jawab dan kewenangan dari pihak medis. Penggunaan

18
antibiotik di masyarakat yang tidak rasional dapat menyebabkan resistensi. Hal ini

dapat berdampak pada morbiditas dan mortilitas di masyarakat (1,3).

Negara Indonesia memberlakukan undang-undang tentang penjualan

antibiotik yang diatur dalam undang-undang obat keras St. No.419 tgl. 22

Desember 1949, pada pasal 3 ayat 1. Selain itu, diberlakukan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang penggunaan antibiotik

(3).

Penyalahgunaan antibiotik dapat terjadi karena mudah didapatkan

masyarakat tanpa menggunakan resep dokter. Hal ini dapat membahayakan

masyarakat yang menggunakan antibiotik yang tidak sesuai indikasi dan menjadi

tidak efektif dalam mengobati suatu penyakit infeksi. Banyak faktor yang

mungkin saja mempengaruhi salah satunya adalah tingkat pengetahuan dan

pemahaman yang dimiliki masyarakat yang berdampak terhadap sikap pasien

Infeksiuntuk menghindari hal ini perlu


dalam penggunaan antibiotik tanpa resep,

dilakukan edukasi berbagai aspek yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika

tanpa resep.
Antibiotik
Berdasarkan beberapa sumber dalam tinjauan pustaka yang menyatakan

faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika tanpa resep di

masyarakat, maka dibuatlah kerangka teori.


Dengan Resep Tanpa Resep

Sikap

19
Faktor Individu
Perilaku

Pengetahuan
Baik
Cukup
Buruk

B. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara faktor individu

pasien ditinjau dari segi sikap masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi

dengan penggunaan antibiotik tanpa resep.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode cross sectional tipe deskriptif

analitik untuk menggambarkan hubungan faktor individu masyarakat dengan

penggunaan antibiotik tanpa resep ditinjau dari segi sikap di wilayah kerja

Puskesmas Kayutangi.

B. Populasi dan Sampel


20
Populasi pada penelitian ini adalah semua warga yang berada di wilayah

kerja Puskesmas Kayutangi yaitu warga Kelurahan Sungai Miai dan Kelurahan

Antasan Kecil Timur. Sampel yang digunakan menurut Gay and Diehl minimal

100 orang. Teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan totally

random sampling, yaitu hanya anggota populasi yang berkunjung ke Puskesmas

Kayutangi yang akan dijadikan sampel penelitian.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri dari

informed consent dan kuesioner untuk mengetahui sikap masyarakat dengan

penggunaan antibiotik tanpa resep pada responden.

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu variabel bebas dan variabel

terikat. Variabel bebas yaitu sikap masyarakat yang diberikan kuesioner.

Variabel terikat yaitu penggunaan antibiotik tanpa resep.

E. Definisi Operasional
1. Sikap diukur melalui 10 pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman

responden yang menjawab sangat setuju dikalikan dengan 4, setuju

dikalikan 3, tidak setuju dikalikan 2, sangat tidak setuju dikaikan 1,

Sehingga total skor tertinggi yang dapat dicapai responden adalah 40. Sikap

dibagi menjadi 3 tingkat, yaitu:


i. Baik, apabila responden memperoleh skor >75%
ii. Cukup Baik, apabila responden memperoleh skor 50-75%
iii. Kurang, apabila responden memperoleh skor < 50%

21
2. Penggunaan antibiotik tanpa resep adalah penggunaan obat antibiotik

yang tidak menggunakan resep dokter. Dikategorikan menjadi ya dan

tidak.

F. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan: meliputi pengumpulan pustaka, pengurusan perizinan

dan penyusunan proposal.


2. Tahap penelitian: penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner.
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan informed consent

kepada responden yang setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini. Setelah itu

dilakukan wawancara terstruktur dengan panduan kuesioner untuk menilai

sikap masyarakat dengan penggunaan antibiotik tanpa resep kepada

responden. Data yang didapatkan kemudian dinilai dan ditabulasikan

berdasarkan analisis distribusi frekuensi dan disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik.

H. Cara Analisis data


Data yang diperoleh dianalisis hubungan dengan menggunakan uji

statistik chi square dengan tingkat kepercayaan 95%.

I. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi bulan

April-Mei 2017.

22
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Permasalahan resistensi bakteri pada penggunaan antibiotik merupakan

salah satu masalah yang berkembang di seluruh dunia. WHO dan beberapa

organisasi telah mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-

faktor yang terkait dengan masalah tersebut, termasuk strategi utuk

mengendalikan masalah ini. Oleh karena itu penggunaan antibiotik secara benar

merupakan hal yang penting untuk mencegah berkembangnya kuman-kuman

resisten di masyarakat.

Pada penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 60 orang yang

diambil secara acak dari pengunjung Puskesmas Kayutangi. Penelitian dilakukan

pada April 2017 sampai Mei 2017.

23
A. PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA TIDAK TEPAT (Tanpa Resep)
dan TEPAT (Dengan Resep)

Tingkat penggunaan antibiotik diketahui dengan melakukan wawancara

dengan responden. Penggunaan antibiotik dikatakan tidak tepat jika responden

pernah menggunakan antibiotik tanpa melalui resep dokter. Penggunaan antibiotik

dikatakan tepat apabila responden menggunakan antibiotik dengan resep dokter.

Gambar 1. Penggunaan Antibiotik Secara Tidak Tepat (Tanpa Resep) dan


Tepat (Dengan Resep) di Wilayah Kerja Puskesmas Kayutangi

Dalam penggunaanya AB tidak bisa sembarangan. Harus hati-hati dan

harus ada indikasi yang tepat, serta dibeli dengan resep dokter. Di Indonesia

antibiotik dapat dibeli disetiap apotek dan toko obat secara bebas tanpa

menggunakan resep dokter. Hal ini membuat masyarakat dapat dengan mudah

membeli dan menggunakannnya secara sembarangan. Acap kali pasien hanya

datang sekali ke dokter untuk suatu penyakit, dan bila penyakitnya kambuh maka

tanpa ragu pasien datang ke apotik dan langsung membeli obat keras yang

diresepkan dahulu. Adanya peluang yang diberikan oleh apotik yang menjual obat

24
keras secara bebas dan lemahnya peraturan serta sanksi yang ada menyebabkan

terjadinya peningkatan dalam penggunaan obat keras tanpa resep dokter. Menurut

mantan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92 persen

masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat (14).

B. SIKAP RESPONDEN TERHADAP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Sikap Pasien Terhadap Penggunaan Antibiotik


No Pertanyaan
Menurut ibu penggunaan antibiotik tidak boleh secara sembarangan tanpa
resep dokter
 Sangat Setuju
1
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu antibiotik tidak diperlukan untuk semua penyakit
 Sangat Setuju
2  Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu pemakaian obat antibiotik harus dihentikan apabila terjadi
reaksi alergi
 Sangat Setuju
3
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu wanita yang sedang hamil, menyusui, atau alergi terhadap
antibiotik tertentu harus laporkan kepada dokter yang memeriksa
 Sangat Setuju
4
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju

25
Menurut ibu dosis dan lama penggunaan antibiotik yang ditetapkan oleh
dokter harus dipatuhi walaupun telah merasa sehat
 Sangat Setuju
5
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu apabila penggunaan antibiotik menimbulkan gejala alergi atau
infeksi yang diobati tidak berkurang, maka perlu berkonsultasi kedokter
lagi
6  Sangat Setuju

 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu antibiotik harus dihabiskan sesuai jumlah dalam resep
dokter (umumnya minimal 3-4 hari)
 Sangat Setuju
7
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu penggunaan antibiotik harus sesuai dengan mengikuti
petunjuk takarannya, jangan mengurangi atau menambahnya
 Sangat Setuju
8
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan
efek samping
 Sangat Setuju
9
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju
Menurut ibu antibiotik tidak boleh di simpan untuk penggunaan penyakit
lain pada masa yang akan dating
 Sangat Setuju
10
 Setuju
 Tidak Setuju
 Sangat Tidak Setuju

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Sikap Ibu terhadap Penggunaan


Antibiotik
Tingkat Sikap Jumlah (orang) %
26
Baik 51 85
Cukup Baik 9 15
Kurang 0 0
Gambar 2. Grafik Persentase (%) Sikap Responden Terhadap

Penggunaan Antibiotik

Dari data pada tabel 5.1 dijumlahkan jawabannya per item pertanyaan. Jumlah

jawaban responden akan menentukan sikap responden terhadap penggunaan

antibiotik tabel 5.2 yang dikelompokkan dalam 3 kategori penilaian. Puskesmas

Kayutangi memiliki sikap cukup baik dan baik terkait penggunaan antibiotik.

Pasien yang memiliki sikap baik sebesar 51 orang dan sikap cukup baik 9 orang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap pasien di wilayah kerja Puskesmas

Kayutangi sudah cukup baik dalam penggunaan antibiotik

Pada penelitian ini, lebih banyak sikap responden terhadap penggunaan

antibiotik adalah baik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap pasien

terhadap penggunaan antibiotik. Salah satunya adalah usia, pendidikan, dan

pekerjaan. Sesuai yang dikemukakan oleh Azwar (2006), semakin tua seseorang

semakin banyak pengalaman dalam hidupnya. Sehingga dapat menyikapi

permasalahan dengan lebih baik. Jika meninggalkan kesan yang baik cenderung

27
akan membentuk sikap yang positif, begitu juga sebaliknya. Pendidikan juga

merupakan faktor penting dalam seseorang menerima atau mendapatkan

informasi. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin banyak pula informasi

yang dimilikinya. Menurut Wahit (2007), tidak dapat dipungkiri semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang (15).

Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), terdapat 35,2% rumah tangga (RT)

di Indonesia yang menyimpan obat untuk swamedikasi yang terdiri dari obat

keras, obat bebas, antibiotik, obat tradisional dan obat-obat yang tidak

teridentifikasi. Proporsi RT yang menyimpan antibiotik sebesar 27,8% di mana

30,1% terjadi di pedesaan dan 86,1% menyimpan antibiotik tanpa resep (16).

Pada penelitian ini, tentang ada tidaknya persediaan antibiotik untuk

digunakan sewaktu-waktu, pada kuisioner “Menurut ibu/bapak antibiotik tidak

boleh di simpan untuk penggunaan penyakit lain pada masa yang akan datang”

mayoritas pasien menjawab setuju atau sangat setuju. Namun hasil ini sangat

berbeda ketika diberikan pertanyaan secara langsung mayoritas pasien menjawab

memiliki persediaan antibiotik dirumah, bahkan sering membeli sendiri, seperti

antibiotik ampisilin atau amoksisilin.

Pada pasien, terutama pasien anak, anak memiliki sifat yang berbeda

dengan orang dewasa. Anak berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus,

metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh

(Darmansjah, 2008). Perhitungan dosis antibiotik bagi anak didasarkan per

kilogram berat badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam

formularium profesi (17).

28
Selain itu, penggunaan antibiotik harus dipastikan kebutuhannya dan

seharusnya diminum sampai habis dalam satu kali siklus pengobatan agar tidak

terjadi resistensi. Pada penelitian ini, dosis dan lama penggunaan antibiotik yang

ditetapkan oleh dokter sangat disetujui oleh responden berbeda saat diberikan

pertanyaan secara langsung, bahwa tidak dipatuhi oleh sebagian besar responden

akan menghentikan penggunaan antibiotik apabila sudah merasa sehat. Resistensi

bakteri juga dapat terjadi jika pengobatan dengan antibiotik tidak mencukupi,

misalnya karena terlalu singkat atau terlalu lama dengan dosis yang terlalu

rendah. Bakteri akan memberikan perlawanan terhadap kerja antibiotik sehingga

khasiat antibiotik akan menjadi berkurang atau tidak berkhasiat sama sekali (18).

C. PENGGOLONGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA SETIAP


KELOMPOK BERDASARKAN TINGKAT SIKAP RESPONDEN

Gambar 3. Penggolongan Penggunaan Antibiotik Pada Setiap Kelompok


Tingkat Sikap Pasien

Dari gambar 3. tampak bahwa kelompok responden yang menggunakan

antibiotik tanpa resep sebanyak 28 orang memiliki sikap baik dan 3 orang

29
memiliki sikap cukup baik. Sedangkan pada kelompok responden yang

menggunakan antibiotik dengan resep secara tepat sebanyak 23 orang memiliki

sikap baik dan 6 orang memiliki sikap cukup baik. Secara teori bahwa semakin

baik pengetahuan seseorang maka semakin tepat pula penggunaan antibiotik

pasien. Sebaliknya semakin kurang tingkat pengetahuan pasien maka semakin

banyak juga yang meggunakan antibiotik tanpa resep.

D. HUBUNGAN FAKTOR INDIVIDU PASIEN DITINJAU DARI SEGI


SIKAP MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
KAYUTANGI DENGAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TANPA RESEP

Tabel 5.3 Hubungan Tingkat Sikap Pasien Mengenai Antibiotik dengan


Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep

Penggunaan Antibiotik
No. Sikap Tanpa Dengan Total p Value
Resep Resep
1. Baik 28 23 51
2. Cukup Baik 3 6 9 p=0,292
Total 31 29 60

Data dari tabel 5.3 kemudian dilakukan uji analisis data dengan aplikasi

SPSS 20,0 menggunakan uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95%. Dari

hasil uji statistik tampak 2 kolom expctd count kurang dari 5, sehingga data ini

tidak memenuhi syarat untuk dilakukan uji chi square. Berdasarkan hasil uji fisher

ditemukan bahwa nilai p>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara tingkat sikap pasien dengan penggunaan

antibiotik tanpa resep di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi.

30
Hasil ini menunjukkan bahwa sikap seseorang tidak mempengaruhi perilaku

seseorang yang dalam hal ini berkaitan dengan penggunaaan antibiotik.

Rendahnya tingkat sikap seseorang mengenai antibiotik membuat kecenderungan

untuk menggunakan antibiotik secara sembaragan tanpa melalui resep dokter.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Al

Jihani (2014) mengenai Hubungan Pengetahuan dan Sikap Pasien dengan

Tindakan Membeli Obat Sendiri pada Apotik Swasta di Wilayah Kerja Mataram.

Dari hasil penelitian tersebut, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara

pengetahuan pasien dengan sikap swamedikasi antibiotika. Menurut penelitian

Yarza (2014) mengenai Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap dengan

Penggunan Antibiotik Tanpa Resep Dokter, didapatkan hasil menunjukkan

terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan

penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Pandji, dkk (2015) melakukam

penelitian mengenai Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat

tentang penggunaan Antibiotik di Daerah Kerja Puskesmas Landasan Ulin,

didapatkan hasil dengan gambaran tingkat sikap yang kurang terhadap

penggunaan antibiotik tanpa resep. Irma (2015) melakukan penelitian mengenai

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Masyarakat tentang penggunaan

Antibiotik pada Mahasiswa Kesehatan dan Mahasiswa non Kesehatan, maka

didapatkan gambaran bahwa mahasiswa kesehatan memiliki sikap yang baik

terhadap penggunaan antibiotik (19,20,21).

WHO menjelaskan bahwa pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman

sesorang, faktor-faktor diluar orang tersebut (lingkungan), baik fisik maupun non

31
fisik dan sosial budaya yang kemudian pengalaman tersebut diketahui,

dipersepsikan, diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan

akhirnya menjadi perilaku, hal ini lah yang mungkin menyebabkan perbedaan

penelitian antara penelitian sebelumnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

sikap pasien terhadap penggunaan antibiotik. Salah satunya adalah usia,

pendidikan, dan pekerjaan (22).

Dari hasil penelitian bahwa perlu suatu sosialisasi atau penyuluhan untuk

meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai penggunaan antibiotik sehingga

dapat mempengaruhi suatu sikap atau tindakan masyarakat dalam penggunaan

antibiotik secara tepat. Walaupun hasil dari penelitian ini tidak memiliki hubungan

mungkin dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi, namun masyarakat di

wilayah kerja Puskesmas Kayutangi saat dilakukan wawancara langsung banyak

yang mengungkapkan selalu menggunakan antibiotik saat sakit apapun.

Penyuluhan diharapkan agar masyarakat dapat memperbaiki kebiasaan mereka

dalam menggunakan antibiotik tanpa resep. Selain itu perlu sikap tegas dari

pemerintah agar penjualan antibiotik secara bebas sehingga masyarakat tidak

dapat memperoleh antibiotik dengan bebas dan mudah, dan paramedis yang

melakukan pengobatan secara sembarangan atau tidak rasional tanpa diketahui

dokter sehingga dapat ditekan agar mengurangi dampak resistensi obat antibiotik.

32
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penelitian dilakukan terhadap 60 orang responden, terdiri atas 31 pasien

yang menggunakan antibiotik tanpa resep dan 29 pasien yang menggunakan

antibiotik dengan resep di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi Banjarmasin

periode April-Mei 2017. Hasil penelitian ini adalah:


1. Sikap pasien mengenai antibiotik pada kelompok penggunaan

antibotik tanpa resep 46,7% memiliki sikap baik dan 5% memiliki

sikap cukup baik. Pada kelompok penggunaan antibiotik dengan resep

38,3% memiliki sikap yang baik dan 10% memiliki sikap yang cukup

baik terkait penggunaan antibiotik.


2. Tidak terdapat hubungan antara sikap pasien dengan penggunaan

antibiotik tanpa resep di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi periode

April-Mei 2017.

B. Saran

Sikap masyarakat yang masih belum baik diharapkan bisa ditingkatkan

melalui program penyuluhan tentang penggunaan antibiotik secara bijak.

Penyuluhan ini ditujukan kepada tenaga medis, paramedis, serta pasien. Selain itu,

hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk meneliti tingkat resistensi kuman

tertentu terhadap suatu antibiotik dan diharapkan dapat menjadi landasan dalam

membuat peta kuman terutama di wilayah kerja Puskesmas Kayutangi.

33

Anda mungkin juga menyukai