LAPORAN PENDAHULUAN Triage Dan Primary Survey
LAPORAN PENDAHULUAN Triage Dan Primary Survey
Di susun oleh :
Irfani Rizqi Dwi Arifiani
1610711099
TUJUAN TRIAGE
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage
selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang memerlukan pertolongan
kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah kondisi klien yang
meliputi :
a) Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang memerlukan
penanganan dengan cepat dan tepat.
b) Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan penanganan
cepat dan tepat seperti kegawatan.
c) Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan
ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation / Sirkulasi), jika tidak
ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat (Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :
PROSES TRIAGE
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus mulai
memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan pengkajian,
misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm mengarahkan ke ruang
perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak lebih dari 5
menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama. Perawat triage bertanggung
jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat, misalnya bagian trauma dengan
peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa
memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus
dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat darurat,
pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian ulang harus
didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan
lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya
berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau
mengalami sesak nafas, sinkope, atau diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia mengalami
gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu.
Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak
keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data
subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer)
B. PRIMARY SURVEY
PENGERTIAN
Primary Survey atau bisa disebut Survei primer adalah suatu proses melakukan penilaian keadaan
korban gawat darurat dengan menggunakan prioritas ABCDE untuk menentukan kondisi
patofisiologis korban dan pertolongan yang dibutuhkan dalam waktu emasnya. Penilaian keadaan
korban gawat darurat dan prioritas terapi dilakukan berdasarkaan jenis perlukaan, stabilitas tanda
- tanda vital.
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal,
kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan
muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan
di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan
pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini
dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara
intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang
sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita
dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera
spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah
dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan
dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas
melewati molar pada maxila (Arifin, 2012)
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini
dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga)
sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah
ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong
pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil
mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari
pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester
pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin,
2012).
e. Nasopharingeal Airway
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien lurus dengan
tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran
pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring
diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan
pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam
rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah
bebas.
f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan
airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway
definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara-cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan Pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat.
Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001).. Pada
keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke
seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat
bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway merupakan
langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan
oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask
(Arifin, 2012):
a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab
lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi pada toraks
3. Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008).
Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari
pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis
(kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
a. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol
b. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
c. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol
d. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg
sistol
4. Disability, status neurologis
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-
tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spina. Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder. Adapun AVPU adalah :
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran pasien.
a. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
4. Membuka mata spontan
3. Membuka mata jika dipanggil,diperintah atau dibangunkan
2. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari
tangan)
1. Tidak memberikan respon
b. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
5. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
4. Disorientasi atau bingung
3. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
2. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
1. Tidak memberikan respon
c. Menilai “best motorik respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
6. Melakukan gerakan sesuai perintah
5. Gerakan normal
4. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
3. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
2. Fleksi abnormal (decorticated)
1. Ektensi abnormal (decerebrate)Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran).
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab (Pre-
Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
a. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
b. Trauma pada sentral nervus sistem
c. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
d. Gangguan atau kelainan metabolik
5. Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut
kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
DAFTAR PUSTAKA