Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batu saluran kemih adalah terbentuknya batu di dalam saluran kemih, yaitu bisa

terdapat pada ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra (Purnomo, 2014). Batu saluran

kemih merupakan penyakit kedua terbanyak di Indonesia setelah infeksi saluran

kencing dan penyakit terbanyak diantara penyakit-penyakit yang memerlukan tindakan

di bidang urologi (Zamzami, 2018). Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada

hubungannya dengan gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran

kemih, dehidrasi, dan idiopatik (Purnomo, 2014).

Metabolik sindrom merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang

berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler atherosklerotik. WHO

menyampaikan definisi metabolik sindrom dengan komponen-komponennya, yaitu

gangguan pengaturan glukosa atau diabetes, resistensi insulin, hipertensi, disiplidemia,

obesitas dan mikroalbuminuria.

Pada beberapa penelitian menunjukkan obesitas merupakan faktor yang

berkontribusi signifikan terhadap batu saluran kemih, dengan estimasi WHO bahwa

1.7 miliar orang overweight dan obesitas. Meningkatnya insiden dan prevalensi batu

saluran kemih sejalan dengan meningkatnya insiden sindrom metabolik. Selain itu, ada

hubungan positif antara obesitas dan risiko pembentukan batu (Wong, Cook & Somani,

2015).

1
Hasil dari penelitian di Indonesia yang dilakukan pada penderita diabetes

didapatkan kejadian ISK sebesar 47%, pasien dengan batu ginjal 41%, pasien dengan

obstruksi saluran kemih sebesar 20%. Dari sini menunjukan bahwa terdapat cukup

banyak pasien batu saluran kemih dengan riwayat diabetes melitus (Ariwijaya, 2007).

Dalam penelitian lain didapatkan bahwa diabetes tipe 2 yang berhubungan dengan pH

urin rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya nefrolithiasis asam urat (Maalouf,

2010).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi batu saluran kemih pada metabolik sindrom?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan memahami patofisiologi batu saluran kemih pada metabolik

sindrom

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Batu Saluran Kemih

Batu saluran kemih merupakan obstruktif benda padat pada saluran kencing

yang terbentuk karena faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Grace &

Borley, 2006). Penyakit ini merupakan penyakit dimana terbentuknya kristal dalam

urin hingga berkembang menjadi batu di dalam saluran kemih termasuk dari ureter dan

mampu menyumbat saluran kemih sehingga menimbulkan gejala klinis yang

bervariasi, yaitu disuria, nyeri pinggang, hematuria, dan sumbatan saluran kemih

(Alan, 2012).

Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada

beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak batu

antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):

1. Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal

2. Ureterolithiasis disebut batu pada ureter

3. Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli

4. Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter

3
2.2 Etiologi Batu Saluran Kemih

Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan

aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-

keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik) (Purnomo, 2014). Secara garis

besar pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor

intrinsik yaitu umur, jenis kelamin, dan keturunan, sedangkan faktor ekstrinsik yaitu

kondisi geografis, iklim, kebiasaan makan, zat yang terkandung dalam urin, pekerjaan,

dan sebagainya (Krisna, 2011).

2.2.1 Etiologi Batu Saluran Kemih pada Sindrom Metabolik

 Kelebihan Berat Badan dan Obesitas

Obesitas perut diketahui sebagai manifestasi paling umum dari sindrom

metabolik. Hal ini dikaitkan dengan perubahan neuroendokrin kompleks dalam tubuh,

di mana ia menyebabkan resistensi insulin dengan kombinasi hiperkortisolemia dan

defisiensi hormon pertumbuhan, akibatnya gejala sindrom metabolik yang meningkat.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa obesitas dan penambahan berat badan

berkorelasi dengan peningkatan risiko penyakit batu ginjal, di mana peningkatan risiko

cenderung lebih besar untuk wanita daripada pria. Peningkatan kejadian urolitiasis

hingga 75% telah terlihat pada pasien. yang kelebihan berat badan atau obesitas.

Faktor-faktor lain yang dapat dimodifikasi termasuk asupan cairan yang rendah dan

kalsium diet dengan kelebihan natrium dan protein hewani. Selain obesitas, sifat-sifat

metabolisme lainnya seperti diabetes mellitus, dislipidemia, dan hipertensi

4
meningkatkan keparahan penyakit batu ginjal. Kohjimoto et al. menemukan bahwa

pasien dengan 4 sifat metabolik memiliki peluang 1,8 kali lebih besar untuk

pembentukan batu berulang serta pembentukan beberapa batu dibandingkan dengan

pasien yang normal (Wong, Cook & Somani, 2015).

 Genetik

Beberapa orang secara genetik cenderung mengembangkan resistensi insulin,

yang dapat menyebabkan sindrom metabolik. Namun tidak ada bukti dasar genetik

umum untuk pengelompokan sifat sindrom metabolik. Karena kompleksitas sindrom

metabolik fenotip, masih belum ada penjelasan tentang mekanisme patogenik kelainan

metabolik. Sebuah temuan baru-baru ini menyatakan bahwa kurang tidur, kerja shift,

dan paparan cahaya terang di malam hari adalah penyebab dengan kecenderungan

mengembangkan fenotip yang menyerupai sindrom metabolik serta peningkatan

adipositas. Terdapat bukti bahwa nutrisi memainkan peran penting dalam

pengembangan dan perkembangan sindrom metabolik (Wong, Cook & Somani, 2015).

 Usia dan Jenis Kelamin

Prevalensi sindrom metabolik meningkat pesat seiring bertambahnya usia.

Studi lain menunjukkan bahwa tingkat sindrom metabolik adalah dua hingga tiga kali

lebih tinggi dalam 50 tahun dan lebih tua dari pada kelompok usia yang lebih muda.

Hal ini mungkin terkait dengan obat yang digunakan oleh kelompok usia yang lebih

tua yang merupakan faktor risiko untuk sindrom metabolik.

5
 Gaya Hidup

Sindrom metabolik juga dapat dikaitkan dengan gaya hidup, khususnya diet

seseorang dan aktivitas fisik. Konsumsi makanan tinggi lemak tentu saja sangat

berkorelasi dengan obesitas, yang juga memperburuk resistensi insulin dan

metabolisme lainnya. Dehidrasi (disebabkan oleh iklim yang hangat atau lainnya)

berkontribusi terhadap urolitiasis. Karena volume urin yang rendah dan osmolalitas

urin yang tinggi, terdapat peningkatan kalsium dan oksalat urin. Bekerja dalam kondisi

panas dan lembab mendorong pembentukan batu ginjal (Wong, Cook & Somani,

2015).

2.3 Komposisi Batu

Batu saluran kemih umumnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut: kalsium

oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn,

dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya (Purnomo, 2014).

1. Batu kalsium merupakan batu yang paling sering terjadi pada kasus batu ginjal.

Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran

dari kedua unsur tersebut. Faktor-faktor terbentuknya batu kalsium adalah:

a. Hiperkalsiuri

Terbagi menjadi hiperkalsiuri absorbtif, hiperkalsiuri renal, dan

hiperkasiuri resorptif. Hiperkalsiuri absorbtif terjadi karena adanya

peningkatan absorbsi kalsium melalui usus, hiperkalsiuri renal terjadi

6
akibat adanya gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium melalu tubulus

ginjal dan hiperkalsiuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan

resorpsi kalsium tulang.

b. Hiperoksaluri

Merupakan eksresi oksalat urin yang melebihi 45 gram perhari.

c. Hiperurikosuria

Kadar asam urat di dalam urin yang melebihi 850mg/24 jam.

d. Hipositraturia

Sitrat yang berfungsi untuk menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat

atau fosfat sedikit.

e. Hipomagnesuria

Magnesium yang bertindak sebagai penghambat timbulnya batu

kalsium kadarnya sedikit dalam tubuh. Penyebab tersering

hipomagnesuria adalah penyakit inflamasi usus yang diikuti dengan

gangguan malabsorbsi.

2. Batu Struvit, yaitu batu yang terbentuk akibat adanya infeksi saluran kemih.

3. Batu asam urat, biasanya diderita pada pasien-pasien penyakit gout, penyakit

mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan terapi anti kanker, dan yang banyak

menggunakan obat urikosurik seperti sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat.

4. Batu jenis lain, yaitu batu sistin, batu xanthine, batu triamteran, dan batu silikat

sangat jarang dijumpai.

7
2.4 Patofisiologi Batu Saluran Kemih

Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk

diseluruh salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami

hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem kalises ginjal atau buli-buli.

Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi

intravesiko kronik, seperti Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli

neurogenik merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan

batu (Purnomo, 2014). Menurut Grace & Barley (2006) Teori dalam pembentukan batu

saluran kemih adalah sebagai berikut:

1) Teori Nukleasi Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari inti

batu yang membentuk kristal atau benda asing. Inti batu yang terdiri dari

senyawa jenuh yang lama kelamaan akan mengalami proses kristalisasi

sehingga pada urin dengan kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya

batu karena mudah sekali untuk terjadi kristalisasi.

2) Teori Matriks Batu Matriks akan merangsang pembentukan batu karena

memacu penempelan partikel pada matriks tersebut. Pada pembentukan urin

seringkali terbentuk matriks yang merupakan sekresi dari tubulus ginjal dan

berupa protein (albumin, globulin dan mukoprotein) dengan 14 sedikit hexose

dan hexosamine yang merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-

kristal batu.

3) Teori Inhibisi yang Berkurang Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya

atau berkurangnya faktor inhibitor (penghambat) yang secara alamiah terdapat

8
dalam sistem urinaria dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan serta salah

satunya adalah mencegah terbentuknya endapan batu. Inhibitor yang dapat

menjaga dan menghambat kristalisasi mineral yaitu magnesium, sitrat,

pirofosfat dan peptida. Penurunan senyawa penghambat tersebut

mengakibatkan proses kristalisasi akan semakin cepat dan mempercepat

terbentuknya batu (reduce of crystalize inhibitor).

2.5 Manifestasi Klinis Batu Saluran Kemih

Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu, tingkat

infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Beberapa gambaran klinis yang dapat

muncul pada pasien urolithiasis (Purnomo, 2014):

1) Nyeri

Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik

dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran

kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar. Nyeri

kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun

ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih.

Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat

sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan sensasi

nyeri.

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi

hidronefrosis atau infeksi pada ginjal sehingga menyebabkan nyeri hebat

9
dengan peningkatan produksi prostglandin E2 ginjal. Rasa nyeri akan

bertambah berat apabila batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada

ureter bagian distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada

pria dan labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari

urolithiasis, khsusnya nephrolithiasis.

2) Gangguan miksi

Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow)

mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan. Pada

pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin

yang masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien

uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan

untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran menyebabkan urin

stagnansi. Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar secara spontan

setelah melalui hambatan pada perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang

vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli.

3) Hematuria

Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami

desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan

menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang

dikeluarkan bercampur dengan darah (hematuria). Hematuria tidak selalu

terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran kemih

utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria yang masive, hal ini

10
dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki sensitivitas yang

tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada sisinya.

4) Mual dan muntah

Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan

pada pasien karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress

yang tinggi dan memacu sekresi HCl pada lambung. Selain itu, hal ini juga

dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun gejala

gastrointestinal biasanya tidak ada.

5) Demam

Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain.

Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh

darah di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan

kedaruratan dibidang urologi, dalam hal ini 18 harus secepatnya ditentukan

letak kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya

urosepsis dan segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotic.

6) Distensi vesika urinaria

Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan

menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba

bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika.

11
2.6 Penegakan Diagnosa Batu Saluran Kemih

2.6.1 Anamnesa

Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari tanpa

keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria, retensi urine,

dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti demam dan tanda

gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu yang

berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas, hiperparatiroid

primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau pankreas. Riwayat pola makan

juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada pasien, antara lain asupan kalsium,

cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah dan sayur kurang, serta makanan tinggi

purin yang berlebihan, jenis minuman yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang

dikonsumsi. Riwayat pengobatan dan suplemen seperti probenesid, inhibitor protease,

inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor karbonik

anhidrase. Apabila pasien mengalami demam atau ginjal tunggal dan diagnosisnya

diragukan, maka perlu segera dilakukan pencitraan (Noegroho et al., 2018).

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan batu saluran kemih sangat bervariasi mulai

tanpa kelainan fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu

dan penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan

antara lain (Noegroho et al., 2018):

 Sudut kostovertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal

12
 Supra simfisis : Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh

 Genitalia eksterna : Teraba batu di uretra

 Colok dubur : Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

 Foto polos abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya

batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium

fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,

sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen) (Purnomo, 2014).

Urutan radiopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel:

Tabel. 1 Urutan Radio-opasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih

 Intra Vena Pielografi (IVP)


IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada

saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan

informasi tentang baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya

(anatomi dan derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis

& Sundaram, 2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak

ataupun non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum

dapat menjelaskan keadaan saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi

13
ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd

(Purnomo, 2014).

 Ultrasonografi (USG)
USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan

manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis

pemeriksaan yang siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal

calculi atau batu pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis

& Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak memungkinkan

menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan seperti alergi

terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, pada pada wanita yang

sedang hamil (Purnomo, 2014). Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu

di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis, pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis

& Sundaram, 2001).

2.7 Tatalaksana Batu Saluran Kemih

Keputusan untuk memberikan tata laksana batu pada saluran kemih bagian atas

dapat berdasarkan komposisi batu, ukuran batu, dan gejala pasien. Terapi umum untuk

mengatasi gejala batu saluran kemih adalah pemberian analgesic harus diberikan

segera pada pasien dengan nyeri kolik akut. Non Steroid Anti Inflammation Drugs

(NSAID) dan parasetamol dengan memperhatikan dosis dan efek samping obat

merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengan nyeri kolik akut dan memiliki

efikasi lebih baik dibandingkan opioid. Obat golongan NSAID yang dapat diberikan

14
antara lain diklofenak, indometasin, atau ibuprofen.2 Pada pasien yang belum diketahui

fungsi ginjalnya, pemberian analgetika sebaiknya bukan NSAID, utamanya bila ada

riwayat tindakan untuk batu yang berulang dan komorbiditas diabetes mellitus.

Diklofenak dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif kelas II-

IV berdasarkan klasifikasi New York Heart Association (NYHA), penyakit jantung

koroner, dan penyakit serebrovaskuler, serta penyakit arteri perifer. Namun, pasien

dengan faktor risiko kardiovaskular dapat diberikan diklofenak dengan pengawasan

dokter dan diberikan dosis rendah dengan durasi yang singkat. Pada pasien dengan batu

ureter yang diharapkan dapat keluar secara spontan, maka pemberian NSAID baik

tablet maupun supositoria (seperti natrium diklofenak 100-150 mg/hari selama 3-10

hari) dapat membantu mengurangi inflamasi dan risiko nyeri berulang (Noegroho et

al., 2018).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus

dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk

melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah

menimbulkan obstruksi dan infeksi. Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit

urolithiasis adalah dengan melakukan observasi konservatif (batu ureter yang kecil

dapat melewati saluran kemih tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk

memecahkan batu), mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal:

ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/

cystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi, pyelolithotomi,

15
uretrolithotomi, sistolithotomi (Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2014; Rahardjo &

Hamid, 2004).

Tabel. 2 Penanganan Medis untuk Renal atau Ureteral Calculi

2.8 Definisi Metabolik Sindrom

Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang

berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik.

Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia aterogenik, peningkatan

16
tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan

proinflamasi (Rini, 2015).

2.9 Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik

Hingga saat ini ada 3 definisi sindrome metabolik yang telah di ajukan, yaitu

definisi World Health Organization (WHO), NCEP ATP–III dan International

Diabetes Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang

sama dengan penentuan kriteria yang berbeda (Rini, 2015).

Tabel 3. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik Menurut WHO, NCEP-ATP III dan IDF

17
2.10 Etiologi Sindrome Metabolik

Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis

menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin.

Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah:

 Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi


insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler (komplikasi jantung).

 Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga


menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler

(nephropathy diabetica).

Sedangkan, faktor risiko untuk sindrom metabolik adalah hal–hal dalam kehidupan

yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam

faktor risiko sindrom metabolik, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi

alkohol, rokok, dan aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stress (Rini, 2015).

2.11 Patofisiologi Sindrom Metabolik

Obesitas merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang

jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya

metabolisme lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS)

meningkat baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel

adipose dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu,

sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan

18
stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa

dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis.

Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit antara

lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2, biasanya

terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress oksidatif

dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel–angiopati diabetic,

dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang menginduksi stress

oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol, peningkatan auto–oksidasi

glukosa dan peningkatan protein glikosilat.

Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di sel

otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel–β pankreas. Stres oksidatif

secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan penting pada

patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Dari beberapa penelitian

diketahui bahwa akumulasi lemak pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress

oksidatif yang disertai dengan peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine

Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim

antioksidan

Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang menentukan

terjadinya disfungsi endotel. Resistensi Insulin menyebabkan menurunnya produksi

Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan oleh sel–sel endotel, sedangkan hipertensi

menyebabkan disfungsi endotel melalui beberapa cara seperti; secara kerusakan

mekanis, peningkatan sel–sel endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan

19
bioavailabilitas NO atau melalui efek proinflamasi pada sel–sel otot polos vaskuler.

Disfungsi endotel ini berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit

kardiovaskuler (Rini, 2015).

2.12 Pencegahan Batu Saluran Kemih Pada Sindrom Metabolik

2.12.1 Pencegahan Primer

Pendekatan untuk pencegahan urolitiasis terletak pada pengurangan faktor

risiko litogenik. Seorang pasien yang bekerja dengan serum dan tes urin 24 jam

mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab potensial dengan

strategi yang diperlukan untuk memperbaikinya. Pendidikan pasien dan promosi gaya

hidup sehat sangat penting untuk mencegah sindrom metabolik. Informasi yang

diberikan harus mencakup faktor risiko untuk sindrom metabolik, komplikasi sindrom

metabolik, manfaat perubahan gaya hidup untuk pencegahan (atau pengobatan untuk)

sindrom metabolik, dan program pengendalian berat badan yang tersedia. Pedoman

praktik klinis yang ditetapkan oleh Masyarakat Endokrin telah merekomendasikan

skrining dan identifikasi pasien secara teratur yang berisiko mengalami sindrom

metabolik dengan pengukuran BMI atau lingkar pinggang, tekanan darah, dan profil

glukosa dan lipid.

Rekomendasi diet saat ini dari asupan buah dan sayuran bertindak sebagai

tindakan pencegahan terhadap sindrom metabolik; sebuah studi telah menunjukkan

hubungan asupan buah dan sayuran yang lebih tinggi dengan penurunan risiko sindrom

20
metabolik. Selain itu, peningkatan asupan cairan ditemukan secara signifikan

mengurangi kekambuhan batu. Dalam uji coba secara acak, selain asupan cairan,

protein hewani rendah dan diet rendah natrium yang dikombinasikan dengan diet tinggi

kalsium secara signifikan lebih baik dalam pencegahan batu berulang, dengan

kekambuhan hampir setengah dari kelompok kontrol (Wong, Cook & Somani, 2015).

2.12.2 Pencegahan Sekunder

Perubahan gaya hidup juga merupakan salah satu intervensi terapi yang paling

efektif untuk sindrom metabolik, selain menjadi pencegahan utama. Sebuah

investigasi, di mana individu gemuk terdaftar program penurunan berat badan

diinstruksikan selama satu tahun, menyimpulkan bahwa penurunan berat badan sangat

meningkatkan semua aspek sindrom metabolik. Ada bukti kuat bahwa olahraga dan

pengurangan berat badan meningkatkan resistensi insulin pada individu yang obesitas

dengan meningkatkan sensitivitas insulin dan fungsi endotel. Sementara tidak ada diet

yang direkomendasikan untuk individu dengan sindrom metabolik, diet Mediterania

tampaknya bermanfaat karena umumnya kadar gula rafinasi yang lebih rendah dan

kandungan serat, buah, dan sayuran yang tinggi. Menurut Oslo Diet and Exercise

Study, kombinasi intervensi diet dan olahraga secara signifikan lebih efektif daripada

hanya diet atau olahraga dalam pengobatan sindrom metabolik.

Dehidrasi kronis menurunkan pH urin dan meningkatkan saturasi urin faktor

litogenik yang keduanya mengarah pada pembentukan kristal. Hidrasi yang adekuat

melarutkan urin dan supersaturasinya sehingga menunda kristalisasi. Suplementasi

sitrat meningkatkan sitrat dan pH urin sehingga mengurangi pembentukan batu.

21
Pendekatan ABCDE praktis (lihat Tabel 2) memberikan kerangka kerja untuk

mengenali dan menerapkan rencana manajemen untuk sindrom metabolik dalam

perawatan primer. Namun harus disebutkan bahwa sementara sindrom metabolik dapat

berhubungan dengan urolitiasis, belum dibuktikan bahwa metode pencegahan untuk

sindrom metabolik efektif untuk mencegah penyakit batu; prosedur pencegahan untuk

batu ginjal harus difokuskan pada pengobatan faktor risiko untuk penyakit batu pada

pasien perorangan (Wong, Cook & Somani, 2015).

Tabel 4. Pendekatan ABCDE untuk mengelola sindrom metabolik

22
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Antara Batu Saluran Kemih dan Metabolik Sindrom

Menurut Ramaswamy dan Shah, terdapat bukti epidemiologis yang

menunjukkan bahwa sifat individu metabolik sindrom (hipertensi, diabetes mellitus,

obesitas, disiplidemia) dapat meningkatkan keparahan pembentukan batu pada pasien

yang menderita metabolik sindrom. Penelitian kohort yang menggunakan pasien dalam

jumlah besar telah menunjukkan korelasi antara metabolik sindrom dan pengembangan

batu ginjal. West et al. (2008) telah menganalisis United States National Health and

Nutrition Examination Survey (NHANES III) dan menemukan bahwa pasien dengan

metabolik sindrom memiliki risiko dua kali lipat terkena batu ginjal (Ramaswamy dan

Shah, 2014).

Kohjimoto menemukan temuan serupa dalam kelompok besar di Jepang.

Mereka mempelajari 11.555 pasien di Jepang dengan beberapa atau semua sifat

metabolik sindrom. Proporsi pasien dengan batu berulang dan / atau multipel adalah

57,7%, 61,7%, 65,2%, 69,3%, dan 73,3% dengan nol, satu, dua, tiga, dan empat sifat

metabolik sindrom. Ada peningkatan yang signifikan dan bertahap dalam peluang batu

berulang dan / atau beberapa batu bahkan setelah penyesuaian untuk usia dan jenis

kelamin. Kehadiran setiap sifat metabolik sindrom dikaitkan dengan memiliki

hypercalciuria, hyperuricosuria, hyperoxaluria, dan hypocitraturia setelah penyesuaian

usia dan jenis kelamin (Kohjimoto et al., 2013).

23
3.2 Patofisiologi Batu Saluran Kemih Pada Metabolik Sindrom

Mekanisme pembentukan batu saluran kemih sangat kompleks. Selama dekade

terakhir, banyak penelitian telah dilakukan pada topik patofisiologi untuk urolitiasis

dengan sindrom metabolik dan beberapa hipotesis telah diajukan termasuk

hipokitraturia, hiperurikuria, hiperoksuria, dan hiperkalsiuria.

3.2.1 Resistensi Insulin

Resistensi insulin telah terbukti memiliki hubungan sebab akibat antara

sindrom metabolik dan litogenesis. Resistensi insulin menurunkan produksi dan

transportasi amonia, menghasilkan perubahan keasaman urin dan menurunkan pH urin.

Perubahan dalam pengasaman urin mungkin karena sekresi membran H + dan NH + 4

apikal yang rusak sedangkan pH urin yang menurun mungkin disebabkan baik melalui

sintesis amonia yang rusak oleh sel tubulus proksimal dan melalui transportasi

amonium ke lumen tubular ginjal.

Free fatty acid (FFA) dilepaskan dari jaringan adiposa karena obesitas visceral.

FFA meningkatkan produksi glukosa, trigliserida, very low density lipoprotein

(VLDL), dan low density lipoprotein (LDL) dan menurunkan produksi high density

lipoprotein (HDL) di hati, yang menyebabkan diabetes tipe II dan dislipidemia.

Selanjutnya mereka mengurangi sensitivitas insulin dengan menghambat penyerapan

glukosa yang dimediasi insulin. Peningkatan yang dihasilkan dari sirkulasi glukosa

24
menghasilkan peradangan, perubahan reaktivitas vaskular, dan gangguan fibrinolisis

dalam jaringan (lihat Gambar 1) (Wong, Cook & Somani, 2015).

Gambar 1. Patofisiologi Resistensi Insulin pada Metabolik Sindrom

3.2.2 Hipotesis Randall’s Plaque

Sebuah penelitian telah menunjukkan bahwa plak Randall sering ditemukan dalam

pembentuk batu kalsium oksalat, sehingga menggambarkan pentingnya hipotesis

dalam patogenesis urolitiasis kalsium oksalat. Plakat Randall terutama ditemukan pada

membran ruang bawah yang tipis pada awal loop Henle yang diyakini sebagai situs

utama perlekatan batu. Evan mengilustrasikan, dalam penelitian endoskopi dan

histologis, bahwa sebagian besar batu kalsium oksalat (75%) terbentuk melekat pada

situs-situs plakat Randall dalam pembentuk batu kalsium oksalat idiopatik. Selain itu,

teori terpadu tentang patogenesis plak Randall diusulkan di mana kelainan urin seperti

hypercalciuria, hyperoxaluria, hypocitraturia, stres ginjal, atau trauma menyebabkan

cedera epitel ginjal. Nukleasi kristal kalsium fosfat kemudian ditingkatkan dengan

25
peningkatan produksi protein spesifik tulang dan pengurangan inhibisi kristalisasi,

yang mengarah ke kalsifikasi produk degradasi seluler membran dan serat lainnya

sampai plak mencapai epitel papiler (lihat Gambar 2). Paparan epitel ginjal pada kristal

kalsium fosfat menghasilkan reactive oxygen species (ROS), menyebabkan cedera dan

perkembangan stres oksidasi. Plak Randall baru-baru ini menjadi faktor prognostik

baru untuk urolitiasis kalsium idiopatik dan indikator untuk kekambuhan batu oleh

endoskopi dan penilaian kalsifikasi papiler (Wong, Cook & Somani, 2015).

Gambar 2. Randall’s Plaque

3.2.3 Patofisiologi Batu Asam Urat

Sakhaee dan Maalouf mengungkapkan dua kelainan utama yang ditemukan

menghasilkan urin asam yang abnormal, yaitu: peningkatan ekskresi asam dan

penurunan ekskresi amonium. Di antara faktor-faktor risiko untuk pembentukan batu

26
asam urat adalah urin asam, hyperuricosuria, dan volume urin yang rendah yang mana

hal ini mungkin berasal dari penyebab genetik, sekunder, atau idiopatik.

Selain itu, hubungan erat dapat diamati antara pembentukan batu asam urat dan

diabetes. Diabetes tipe II tampaknya umum pada pembentuk batu asam urat dan

sebaliknya tingkat batu asam urat pada penderita diabetes adalah sekitar 30-40%

dibandingkan dengan tingkat 5-10% pada populasi umum. Selain resistensi insulin,

parameter lain dari sindrom metabolik termasuk kelebihan berat badan, hipertensi

arteri, dan diabetes mellitus adalah faktor risiko untuk pembentukan batu asam urat

(Wong, Cook & Somani, 2015).

Gambar 2. Patofisiologi Pembentukan Batu Asam Urat pada Metabolik Sindrom

3.2.4 Patofisiologi Batu Kalsium

Mekanisme patofisiologis batu kalsium lebih kompleks daripada batu asam

urat, mekanismenya termasuk volume urin yang rendah, hiperkalsiuria,

hiperurikururia, hipokitraturia, hiperoksaluria, dan kelainan pada pH urin. Selain itu,

hiperkalsiuria telah ditemukan sebagai faktor patofisiologis yang paling signifikan

27
dalam kalsium litogenesis. Ini bisa berasal dari ginjal karena kebocoran ginjal, atau dari

resorpsi tulang atau dari penyerapan dari saluran pencernaan (GI). Peningkatan

penyerapan GI kalsium lebih umum, biasanya berhubungan dengan osteoporosis

idiopatik dari resorpsi tulang.

Asupan natrium yang meningkat juga dapat menyebabkan kristalisasi garam

kalsium yang menyebabkan hiperkalsiuria dan mengurangi kadar sitrat yang berfungsi

sebagai inhibitor urolitiasis. Hiperkalsiuria juga dapat disebabkan oleh asidosis

sistemik dan kelebihan protein. Lebih jauh lagi, ketidakseimbangan sistemik antara

essential fatty acid (EFA) omega-3 dan jalur omega-6 menyebabkan tingkat AA

fosfolipid yang lebih tinggi yang bertanggung jawab untuk hiperkalsururia dan

hiperoksaluria. Hyperoxaluria secara tidak langsung meningkatkan saturasi kalsium

oksalat dalam urin dan dapat menyebabkan risiko yang lebih tinggi dari batu yang

mengandung kalsium. Kondisi ini dapat timbul dari makanan kaya oksalat atau kondisi

yang meningkatkan penyerapan usus dan ekskresi oksalat oksalat, seperti inflamasi.

penyakit usus atau reseksi usus.

Sebuah studi tentang topik ini juga mengamati hubungan antara resistensi

insulin dan pembentukan batu kalsium. Cupisti dan rekannya memperkirakan resistensi

insulin oleh homeostatic model assessment-insulin resistance (HOMAIR) menemukan

hubungan antara nilai HOMA-IR dan menurunkan ekskresi sitrat dalam pembentuk

batu kalsium. Sitrat dalam urin berinteraksi dengan partikel kalsium untuk membentuk

senyawa yang larut dan dengan demikian mencegah pertumbuhan kristal kalsium

dalam urin. Oleh karena itu, hypocitraturia hadir pada hampir 20-60% pasien dengan

28
batu kalsium. Matlaga et al. menunjukkan peran plak Randall dalam patogenesis batu

kalsium. Plak-plak ini adalah endapan yang mengandung kalsium yang ditemukan di

hampir seperempat papila ginjal dalam studi otopsi.

Pembentukan batu kalsium fosfat berbeda dari pembentukan batu kalsium oksalat,

dengan yang pertama menghasilkan kristal apatit yang mengendap di saluran

pengumpul medula bagian dalam dengan carring pengantara yang terkait. Reabsorpsi

bikarbonat yang abnormal pada thick ascending limb (TAL) dari loop Henle

menghasilkan pH urin lebih tinggi dalam kaitannya dengan pembentukan batu kalsium

fosfat (Wong, Cook & Somani, 2015).

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Batu saluran kemih adalah terbentuknya batu di dalam saluran kemih, yaitu bisa

terdapat pada ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra (Purnomo, 2014). Metabolik

sindrom merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan langsung

terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler atherosklerotik. Semakin banyak bukti

bahwa terdapat hubungan antara urolitiasis dan sindrom metabolik. Obesitas perut,

tekanan darah tinggi, dan peningkatan glukosa puasa semuanya terkait secara

independen dengan nefrolitiasis.

3.2 Saran

Dengan meningkatnya insiden urolitiasis dan metabolik sindrom, maka

modifikasi gaya hidup dengan diet dan meningkatkan tingkat pencegahan merupakan

cara untuk meminimalisir kejadian batu saluran kemih pada metabolik sindrom.

30
DAFTAR PUSTAKA

Alan, JW. 2012. Campbe-Wals Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders.

Ariwijaya, M. 2007. Prevalensi, Karakterisitik dan Faktor-Faktor yang Terkait dengan

ISK pada Penderita DM. Diakses dari ejournal.unud.co.id pada tanggal 22

November 2019.

Gamal, M., Assimos, D.G., & Sayed, M.A. 2010. Prospective randomized trial of

extracorporeal shock wave lithotripsy for nephrolithiasis-initial result. The

Journal of Urology. 166(6):2072-80.

Grace, Pierce A & Borley Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Surabaya: Erlangga

Kohjimoto Y, Sasaki Y, Iguchi M, et al. 2013. Association of metabolic syndrome traits

and severity of kidney stones: results from a nationwide survey on urolithiasis

in Japan. Am J Kidney Dis 61:923-9.

Krisna DNP. 2011. Faktor risiko kejadian penyakit batu ginjal di wilayah kerja

Puskesmas Margasari kabupaten Tegal tahun 2010. Semarang: Universitas

Negeri Semarang.

Maalouf, N. M. 2010. Metabolic Basis for Low Urine pH in Type 2 Diabetes. Clin

J.Am Soc Neprol. 5(7): 1277-81.

Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. 2010. Clinically Oriented

Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

31
Noegroho B.S., 2018. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu Saluran Kemih. Edisi 1.

Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI).

Purnomo, B. 2014. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto

Portis A.J., & Sundaram, C.P. 2001. Diagnosis and Initial Management of Kidney

Stone. American Family Physician. Vol. 63

Rahardjo, O., & Hamid, R. 2004. Perkembangan penatalaksanaan batu ginjal di

RSCM tahun 1997-2002. J. I. Bedah Indonesia. 32(2):58-63

Rini, S. 2015. Sindrom Metabolik. Vol. 4. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Ramaswamy, K., Shah, O. 2014. Metabolic Syndrome and Nephrolithiasis. New York:

New York University.

Sidartawan S, Reno G. 2006. Sindrom metabolik. Dalam: Ilmu penyakit dalam jilid

III. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sjamsuhidajat. De Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC

Wong, YV. Cook, P. Somani BK. 2015. The Association o Metabolic Syndrome and

Urolithiasis. International Journal of Endocrinology.

Zamzami, Z. 2018. Penatalaksanaan Terkini Batu Saluran Kencing di RSUD Arifin

Achmad Pekanbaru, Indonesia. KJF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Riau.

32

Anda mungkin juga menyukai