Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak
zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih
mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari
sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di
di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di
saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli
karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di
negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju
lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter), perbedaan
ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi ratarata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan
gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan
keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
Penyakit Urolithiasis di masyarakat luas pada umumnya dikenal dengan batu
ginjal. Penyakit ini akan menjadi kronik bila tidak mendapat pengobatan secara dini
yaitu terjadinya kerusakan ginjal yang akut ditandai dengan tidak berfungsinya ginjal.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk di bidang kesehatan
berdampak positif dan negatif terhadap pola hidup masyarakat termasuk perubahan
pola dan gaya hidup masyarakat sehinga kita dapat melihat dampak negatif yang
bisa kita lihat yaitu banyaknya penyakit yang muncul misalnya hipertensi, jantung
dan juga ginjal.
Selain itu penyakit yang muncul karena gaya hidup yang kurang sehat adalah
batu pada saluran kencing, yang bila tidak diatasi dapat menimbulkan berbagai
komplikasi. Karena hal tersebut di atas sebagai perawat kita ikut berperan dalam
mengatasi masalah ini antara lain dengan rasa memberikan penyuluhan pada
pasien dan keluarga untuk meningkatkan pengetahuan tentang urolithiasis dan
vesikolithiasis/ batu buli-buli khususnya serta cara pencegahannya.
Gejala awal terbentuknya batu jarang dirasakan oleh penderita, mungkin hanya
perubahan dalam pola perkemihan, namun bila tidak ditindaklanjuti maka dapat

menimbulkan keadaan yang parah, seperti nyeri yang hebat, terjadi penyumbatan
saluran kemih bahkan terjadi kerusakan ginjal. (Sjamsuhidajat, 1997)
Peran perawat dalam hal ini adalah memberikan penyuluhan tentang
pencegahan terjadinya batu, seperti mengkonsumsi cairan dalam jumlah banyak (3
4 liter/hari), diit yang seimbang/sesuai dengan jenis batu yang ditemukan, aktivitas
yang cukup serta segera memeriksakan diri bila timbul keluhan pada saluran kemih
agar dapat segera ditangani. Bagi penderita yang mengalami batu pada saluran
kemih agar selalu menjaga kesehatannya agar tidak terjadinya pembentukan batu
yang baru. Hal yang harus diperhatikan oleh penderita adalah diet makanan dan
pemeliharaan kesehatan seperti berobat ke dokter, minum obat secara teratur dan
menghindari penyakit infeksi yang menjadi salah satu penyebab timbulnya
urolithiasis.

B.

Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan
urolithiasis
2. Tujuan Khusus
2.1. Mengetahui pengertian urolithiasis
2.2. Mengetahui etiologi, manifestasi klinik, patofisiologi
2.3. Mengetahui penatalaksanaan dan pengobatan medis
2.4. Mengetahui pemeriksaan penunjang
2.5. Mengetahui komplikasi dan prognosis
2.6. Mengetahui konsep keperawatan
3. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini guna memenuhi tugas KMB dan untuk digunakan sebagai
bacaan dan acuan untuk membuat laporan asuhan keperawatan.

4. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Bab II Konsep Dasar Teori
Bab III Tinjauan Kasus
Bab IV Pembahasan Kasus
Bab V Penutup
Daftar Pustaka

BAB II
KONSEP DASAR TEORI

A.

Tinjauan Teoritis Medis


1. Definisi
Urolithiasis adalah terbentuknya batu (kalkulus) dimana saja pada sistem
penyalur urine, tetapi umumnya terbentuk di ginjal. Batu mungkin terbentuk
tanpa menimbulkan gejala atau kerusakan ginjal yang bermakna, hal ini
terutama terjadi pada batu besar yang tersangkut di pelvis ginjal. Makna klinis
batu terletak pada kapasitasnya menghambat aliran urine atau obstruksi atau
menimbulkan trauma yang menyebabkan ulserasi dan perdarahan, pada kedua
kasus ini terjadi peningkatan predisposisi infeksi bakteri. (Wijaya, 2013)
Urolithiasis adalah benda zat padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai
zat terlarut dalam urine pada saluran kemih. Batu dapat berasal dari kalsium
oksalat (60%), fosfat sebagai campuran kalsium, amonium, dan magnesium
fosfat (batu tripel fosfat akibat infeksi) (30%), asam urat (5%), dan sistin (1%).
(Borley, 2006)
2. Etiologi
Sampai saat sekarang penyebab terbentuknya batu belum diketahui secara
pasti.
3. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi terjadinya batu :
3.1. Ginjal

: Tubular rusak pada nefron, mayoritas terbentuknya

batu.
3.2. Immobilisasi

: Kurang gerakan tulang dan muskuloskeletal

menyebabkan penimbunan kalsium. Peningkatan kalsium di plasma akan


meningkatkan pembentukan batu.
3.3. Infeksi

: infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis

jaringan ginjal dan menjadi inti pembentukan batu.


3.4. Kurang minum

: sangat potensial terjadi timbulnya pembentukan batu.

3.5. Pekerjaan

: dengan banyak duduk lebih memungkinkan terjadinya

pembentukan batu dibandingkan pekerjaan seorang buruh atau petani.


3.6. Iklim

: tempat yang bersuhu dingin (ruang AC) menyebabkan

kulit kering dan pemasukan cairan kurang. Tempat yang bersuhu panas

misalnya di daerah tropis, di ruang mesin menyebabkan banyak keluar


keringat, akan mengurangi produksi urin.
3.7. Diuretik

: potensial mengurangi volume cairan dengan

meningkatkan kondisi terbentuknya batu saluran kemih.


3.8. Makanan

: kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalsium

seperti susu, keju, kacang polong, kacang tanah dan coklat. Tinggi purin
seperti : ikan, ayam, daging, jeroan. Tinggi oksalat seperti : bayam, seledri,
kopi, teh, dan vitamin D. (Smeltzer, 2013)

4. Klasifikasi
4.1. Teori pembentukan batu renal
4.1.1.

Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi
organik Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan
mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi
pembentukan batu.

4.1.2.

Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin,
santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya
batu.

4.1.3.

Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam
urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan
garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat.

4.1.4.

Teori Berkurangnya Faktor Penghambat


Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat,
polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan
mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing.

4.2. Jenis batu- batu renal:


4.2.1.

Batu kalsium
Terutama dibentuk oleh pria pada usia rata-rata timbulnya batu adalah
dekade ketiga. Kebanyakan orang yang membentuk batu lagi dan
interval antara batu-batu yang berturutan memendek atau tetap konstan.
Kandungan dari batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat
atau campuran dari kedua jenis batu tersebut.
Faktor yang menyebabkan terjadinya batu kalsium adalah :

4.2.1.1. Hiperkalsiuria

Dapat disebabkan oleh pembuangan kalsium ginjal primer atau


sekunder terhadap absorbsi traktus gastrointestinal yang berlebihan.
Hiperkalsiuria absorptif dapat juga disebabkan oleh hipofosfatemia yang
merangsang produksi vitamin D3.
Tipe yang kurang sering adalah penurunan primer pada
reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal, yang mengakibatkan hiperkalsiuria
di ginjal.
4.2.1.2. Hipositraturia
Sitrat dalam urin menaikkan kelarutan kalsium dan memperlambat
perkembangan batu kalsium oxalat. Hipositraturia dapat terjadi akibat
asidosis tubulus distal ginjal, diare kronik atau diuretik tiazid.
4.2.1.3. Hiperoksalouria
Terdapat pada 15% pasien dengan penyakit batu berulang (> 60
mg/hari). Hiperoksaluria primer jarang terjadi, kelainana metabolisme
kongenital yang merupakan autosan resesif yang secara bermakna
meningkatkan ekskresi oksalat dalam urin, pembentukan batu yang
berulang dan gagal ginjal pada anak.
4.2.1.4. Hiperurikorsuria
Kadar asam urat urin melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat urin dapat
bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu
kalsium oksalat asam urat dalam urin dapat bersumber dari konsumsi
makanan yang kaya purin/ berasal dari metabolisme endogen.
4.2.1.5. Hipomagnesiuria
Seperti halnya dengan sitrat magnesium bertindak sebagai
penghambat timbulnya batu kalsium karena di dalam urine magnesium
akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga
mencegah ikatan dengan kalsium dengan oksalat.
4.2.2.

Batu asam urat


Batu asam urat merupakan penyebab yang paling banyak dari batu-batu
radiolusen di ginjal. Batu-batu tersebut dapat terbentuk jika terdapat
hiperurikosuria dan urin asam yang menetap. Batu asam urat batu ini
dijumpai pada pasien gout, Ph Urin yang rendah Adalah factor Kritis
dalam membantu pembentukan batu asam urat. Batu ini jarang terbentuk
dalam urin basa. Batu terbentuk pada PH dibawah 5,5.

4.2.3.

Batu struvit
Sering ditemukan dan potensial berbahaya. Batu ini terutama pada
wanita, diakibatkan oleh infeksi saluran kemih oleh bakteri-bakteri yang

memiliki urease, biasanya dari psesies proteus. Batu ini dapat tumbuh
menjadi besar dan mengisi pelvis ginjal dan kalises untuk menimbulkan
suatu penampilan seperti tanduk rusa jantan. Dalam urin, kristal struvit
berbentuk prisma bersegi empat yang menyerupai tutup peti mati.obat
antibiotik. (Smeltzer, 2013)

5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya
obstruksi, infeksi dan edema.
5.1. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal.
5.1.1.

Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam dan


disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu
menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan merusak unit
fungsional (nefron) ginjal.

5.1.2.

Nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan.

5.2. Batu di piala ginjal


5.2.1.

Nyeri dalam dan terus-menerus di area kastovertebral.

5.2.2.

Hematuri dan piuria dapat dijumpai.

5.2.3.

Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita
nyeri ke bawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria
mendekati testis.

5.2.4.

Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di area


kostoveterbal, dan muncul Mual dan muntah.

5.2.5.

Diare dan ketidaknyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala


gastrointestinal ini akibat dari reflex renoinstistinal dan proksimitas
anatomic ginjal ke lambung pancreas dan usus besar.

5.3. Batu yang terjebak di ureter


5.3.1.

Menyebabkan gelombang Nyeri yang luar biasa, akut, dan kolik yang
menyebar ke paha dan genitalia.

5.3.2.

Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urine yang keluar.

5.3.3.

Hematuri akibat aksi abrasi batu.

5.3.4.

Biasanya batu bisa keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5-1
cm.

5.4. Batu yang terjebak di kandung kemih


5.4.1.

Biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi


traktus urinarius dan hematuri.

5.4.2.

Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi
retensi urine. (Smeltzer, 2013)

6.

Anatomi dan Fisiologi

Sistem perkemihan terdiri atas

1. Ginjal
2. Ureter
3. Kandung kemih
4. uretra
Ginjal mengeluarkan sekret urine; ureter mengeluarkan urine dari ginjal ke
kandung kemih; kandung kemih berkerja sebagai penampung urine dan uretra
mengeluarkan urine dan kandung kemih.
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal, di
sebelah kanan dan kiri tulang belakang, dibungkus lapisan lemak yang tebal,
dibelakang peritoneum, atau di luar peritoneum. Ketinggian ginjal dapat diperkirakan
dari belakang, mulai dari ketinggian vertebra torakalis sampai vertebra lumbalis
ketiga. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari kiri karena letak hati yang menduduki
ruang lebih banyak di sebelah kanan. Panjang ginjal pada orang dewasa sekitar 67,5 cm, tebal 1,5-2,5 cm, dan berat sekitar 140 gram. Pada bagian atas terdapat
kelenjar suprenalis atau kelenjar adrenal.
Struktur struktur setiap ginjal diselubungi oleh kapsul tipis dan jaringan fibrus dan
membentuk pembungkus yang halus. Didalamnya terdapat struktur ginjal berwarna
ungu tua yang terdiri atas korteks disebelah luar dan medula di sebelah dalam.
Bagian medula tersusun atas 15-16 massa piramid yang disebut piramid ginjal.

Puncaknya mengarah ke hilum dan berakhir di kalises (kaliks). Kalises


menghubungkannya dengan pelvis ginjal.
Nefron adalah struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan
satuan fungsional ginjal. Jumlahnya sekitar 1.000.000 pada setiap ginjal. Setiap
nefron dimulai sebagai berkas kapiler (badan malphigi atau glomerulus) yang
tertanam pada ujung atas yang lebar pada urinefrus atau nefron. Dari sini tubulus
berjalan berkelok-kelok dan sebagian lurus. Bagian pertama berkelok-kelok dan
sesudah itu terdapat sebuah simpa yang disebut simpai henle. Kemudian, tubulus
itu berkelok-kelok lagi, disebut kelokan kedua atau tubulus distal, yang tersambung
dengan tubulus penampung yang berjalan melintasi korteks medula, lalu berakhir di
salah satu piramidalis.
Pembuluh arteri yaitu arteri renalis membawa darah murni dari aorta abdominalis
ke ginjal. Cabang arteri memiliki banyak ranting di dalam ginjal dan menjadi arteriola
aferen serta masing-masing membentuk simpul dari kapiler-kapiler di dalam salah
satu badan malphigi, yaitu glomerulus. Arteriola aferen membawa darah dari
glomerulus, kemudian dibagi ke dalam jaringan peritubular kapiler. Kepiler ini
menyuplai tubulus dan menerima materi yang direabsopsi oleh struktur tubular.
Pembuluh eferen menjadi arteriola eferen yang becabang-cabang membentuk
jaringan kapiler di sekeliling tubulus uriniferus. Kapiler ini bergabung membentuk
vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior. Kapiler arteriola
eferen lainya membentuk vasa vecta yang berperan dalam mekanisme kosentrasi
ginjal.
Fungsi Ginjal

1. Sebagai tempat mengatur air.


2. Sebagai tempat mengatur kosentrasi garam dalam darah.
3. Sebagai tempat mengatur keseimbangan asam basa darah.
4. Sebagai tempat ekskresi dan kelebihan garam.
Sekresi urine dan mekanisme kerja ginjal, glomerulus berfungsi sebagai
saringan. Setiap menit, kira-kira satu liter darah yang mengandung 500 cc plasma
mengalir melalui semua glomerulus, dan sekitar 100 cc (10%), disaring keluar.
Plasma yang berisi semua garam, glukosa, dan benda halus lainya disaring. Namun,
sel dan protein plasma terlalu besar untuk dapat menembus pori saringan dan tetap
tinggi dalam darah. Cairan yang disaring, yaitu filtrat glomerulus, kemudian mengalir
melalui tubulus renalis dan sel-selnya menyerap semua bahan yang diperlukan
tubuh serta membuang yang tidak diperlukan. Dalam keadaan normal, semua
glukosa dan sebagian besar air diabsorpsi kembali, sedangkan produk buangan

dikeluarkan. Faktor yang mempengaruhi sekresi adalah filtrasi glomerulus,


reabsorpsinya tubulus, dan sekresi tubulus.
Berat jenis urine tergantung dari jumlah zat yang larut atau terbawa dalam
urine. Berat jenis plasma (tanpa protein) adalah 1.010. bila ginjal mengencerkan
urine ( misalnya sesudah minum air), maka berat jenisnya kurang dari 1.010. Bila
ginjal memekatkan urine, maka berat jenis (BJ) urine lebih dari 1.010. Daya
pemekatan ginjal diukur menurut berat jenis tertinggi.
Ureter merupakan saluran retroperitonium yang menghubungkan ginjal dengan
kandung kemih. Pada awalnya, ureter berjalan melalui fasia gerota dan kemudian
menyilang muskulus psoas dan pembuluh darah iliaka komunis. Ureter berjalan
sepanjang sisi posterior pelvis, di bawah vas deferen, dan memasuki basis vesika
pada trigonum. Pasoka darah ureter berasal dari pembuluh darah renalis, gonad,
aorta, iliaka komunis,dan iliaka interna. Susunan saraf otonom pada dinding ureter
memberikan aktvitas peristaltik, dimana kontraksi berirama berasal dari pemacu
proksimal yang mengendalikan transpor halus dan efisien bagi urine dari pelvis
renalis ke kandung kemih.
Kandung kemih (vesika Urinaria-VU) berfungsi sebagai penampung urine. Organ
ini berbentuk seperti buah pir atau kendi. Kandung kemih terletak di dalam punggul
besar, di depan isi lainnya, dan di belakang simpisis pubis. Pada bayi letaknya lebih
tinggi. Bagian terbawah adalah berbasis sedangkan bagian atas adalah fundus.
Puncaknya mengarah ke depan bawah dan ada di belakang simpisis. Dinding
kandung kemih terdiri atas lapisan serus sebelah luar, lapisan berotot, lapisan
submukosa, dan lapisan mukosa dari epitelium transisional. Tiga saluran
bersambung dengan kandung kemih. Dua ureter bermuara secara oblik di sebelah
basis, letak oblik menghindarkan urine mengalir kembali ke dalam ureter. Uretra
keluar dari kandung kemih sebelah depan. Daerah segitiga antara dua lubang
ureter dan uretra disebut segitiga kandung kemih (trigonum vesica urinarius). Pada
wanita, kandung kemih terletak di antara simpisis pubis, utrus, dan vagina. Dari
uretrus, kandung kemih dipisahkan oleh lipatan peritoneu ruang uterovesikal atau
ruang dounglas.
Uretra adalah sebuah saluran yang berjalan dari leher andung kemih ke lubang
luar, dilapisi oleh membran mukosa yang bersambung dengan membran yang
melapisi kandung kemih. Meatus urinarius terdiri atas serabut otot melingkar,
membentuk sfingter uretra. Panjang uretra pada wanita sekitar 2,5-3,5 cm,
sedangkan pria 17-22,5 cm.
Proses perkemihan, mikturisi adalah peristiwa pembuangan urine. Keinginan
berkemih disebabkan oleh penambahan tekanan dalam kandung kemih dan isi urine

didalamnya. Jumlah urine yang ditampung kandung kemih dan menyebabkan miksi
yaitu 170-230 ml. Mikturisi merupakan gerakan yang dapat dikendalikan dan ditahan
oleh pusat-pusat persyarafan. Kandung kemih dikendalikan oleh syaraf pelvis dan
serabut saraf simpatik dari pleksus hipogastrik. (Pearce, 2006)

7.

Patofisiologi

Faktor resiko
Kerusakan tubular pada nefron
Immobilisasi
Infeksi
Kurang minum

Pekerjaan
Iklim
Diuretik
Makanan

Kejenuhan substansi

Supersaturasi

Pembentukan batu

Ginjal

Obstruksi

Tekanan

Piala Ginjal

- Nyeri area
kostovertebra
- Hematuria
- Pyuria

Hidrostatik

Ureter

Kolik menyebar
ke paha &
genetalia
Rasa ingin
berkemih
Hematuria
Kencing batu

Kandung Kemih

Iritasi
Infeksi
Retensi urine

Distensi piala ginjal &


Ureter prokximal

- Infeksi
- Nyeri luar biasa

Tindakan Bedah:

Tindakan Bedah:

Tindakan Bedah:

Tindakan Bedah:

- Nefrolithotomi
- Nefrek tomi

- Pielolithotomi

- Ureterolithotomi
-

- Sistolitholapaksi

10

MK:
-

Porth, 2011
8.

Gangguan nyaman nyeri


Perubahan eliminasi
perkemihan
Resiko kekurangan volume
cairan
Resiko infeksi

Penatalaksanaan dan Pengobatan Medis


8.1. Pengurangan nyeri, mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan,
morfin diberikan untuk mencegah sinkop akibat nyeri luar biasa. Mandi air
hangat di area panggul dapat bermanfaat. Cairan yang diberikan, kecuali
pasien mengalami muntah atau menderita gagal jantung kongestif atau kondisi
lain yang memerlukan pembatasan cairan. Ini meningkatkan tekanan hidrostatik
pada ruang belakang batu sehingga mendorong passase batu tersebut ke
bawah. Masukan cairan sepanjang hari mengurangi kosentrasi kristaloid urine,
mengencerkan urine dan menjamin haluaran urine yang besar.
8.2. Pengangkatan batu, pemeriksaan sistoskopik dan passase kateter ureteral kecil
untuk menghilangkan batu yang menyebabkan obstruksi ( jika mungkin), akan
segera mengurangi tekanan belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri.
8.3. Terapi nutrisi dan Medikasi. Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah
batu ginjal. Masukan cairan yang adekuat dan menghindari makanan tertentu
dalam diet yang merupakan bahan utama pembentuk batu(mis.kalsium), efektif
untuk mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan ukuran batu
yang telah ada. Minum paling sedikit 8 gelas sehari untuk mengencerkan urine,
kecuali dikontraindikasikan.
8.3.1.

Batu kalsium, pengurangan kandungan kalsium dan fosfor dalam diet


dapat membantu mencegah pembentukan batu lebih lanjut.

8.3.2.

Batu fosfat, diet rendah fosfor dapat diresepkan untuk pasien yang
memiliki batu fosfat, untuk mengatasi kelebihan fosfor, jeli aluminium
hidroksida dapat diresepkan karena agens ini bercampur dengan
fosfor, dan mengeksikannyamelalui saluran intensial bukan ke system
urinarius.

8.3.3.

Batu urat, untuk mengatasi batu urat, pasien diharuskan diet rendah
purin, untuk mengurangi ekskresi asam urat dalam urine.

8.3.4.

Batu oksalat, urine encer dipertahankan dengan pembatasan


pemasukan oksalat. Makanan yang harus dihindari mencakup
sayuran hijau berdaun banyak, kacang,seledri, coklat,the, kopi.

8.4. Jika batu tidak dapat keluar secara spontan atau jika terjadi komplikasi
modaritas penanganan mencakup terapi gelombang kejut ekstrakorporeal,
pengankatan batu perkutan, atau uteroroskopi.

11

8.4.1.

Lithotrupsi Gelombang Kejut Ekstrakorporeal, adalah prosedur


noninvasive yang digunakan untuk menghancurkan batu kaliks ginjal.
Setelah batu itu pecah menjadi bagian yang kecil seperti pasir, sisa
batu-batu tersebut dikeluarkan secara spontan

8.4.2.

Metode Endourologi Pengangkatan batu, bidang endourologi


menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk
mengankat batu renal tanpa pembedahan mayor.

8.4.3.

Uteroskopi, mencakup visualisasi dan askes ureter dengan


memasukan suatu alat ureteroskop melalui sistoskop. Batu
dihancurkan dengan menggunakan laser, lithotripsy elektrohidraulik,
atau ultrasound kemudian diangkat.

8.4.4.

Pelarutan batu, infuse cairan kemolitik, untuk melarutkan batu dapat


dilakukan sebagai alternative penanganan untuk pasien kurang
beresiko terhadap terapi lain, dan menolak metode lain, atau mereka
yang memiliki batu yang mudah larut (struvit).

8.5. Pengangkatan Bedah,sebelum adanya lithotripsy, pengankatan batu ginjal


secara bedah merupakan terapi utama. Jika batu terletak di dalam ginjal,
pembedahan dilakukan dengan nefrolitotomi (Insisi pada ginjal untuk
mengangkat batu atau nefrektomi, jika ginjal tidak berfungsi akibat infeksi atau
hidronefrosis. Batu di piala ginjal diangkat dengan pielolitotomi, sedangkan batu
yang diangkat dengan ureterolitotomi, dan sistostomi jika batu berada di
kandung kemih, batu kemudian dihancur dengan penjepit alat ini. Prosedur ini
disebut sistolitolapaksi. (Smeltzer, 2013)

9. Pemeriksaan Penunjang
9.1. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan
adanya sel darah merah, sel darah putih dan kristal (sistin,asam urat, kalsium
oksalat), serta serpihan, mineral, bakteri, pus, pH urine asam (meningkatkan
sistin dan batu asam urat) atau alkalin meningkatkan magnesium, fosfat
amonium, atau batu kalsium fosfat.
9.2. Urine (24 jam) : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
meningkat.
9.3. Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus aureus,
proteus, klebsiela, pseudomonas).
9.4. Survei biokimia : peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein dan elektrolit.

12

9.5. BUN/kreatinin serum dan urine : Abnormal ( tinggi pada serum/rendah pada
urine) sekunder terhadap tingginya batu okkstuktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/ nekrosis.
9.6. Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan penurunan
kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
9.7. Hitung Darah lengkap : sel darah putih mungkin meningkat menunjukan infeksi/
septicemia. Sel darah merah : biasanya normal. Hb, Ht : abnormal bila pasien
dehidrasi berat atau polisitemia terjadi (mendorong presipitas pemadatan) atau
anemia (pendarahan, disfungsi ginjal).
9.8. Hormon paratiroid : mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH merangsang
reabsorbsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium
urine).
9.9. Foto rontgen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada
area ginjal dan sepanjang ureter.
9.10.

IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri

abdominal atau panggul. Menunjukan abdomen pada struktur anatomik (


distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli.
9.11.

Sistoureterokopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat

menunjukan batu dan efek obstruksi.


9.12.

Scan CT : mengidentifikasi/ menggambarkan kalkuli dan massa lain,

ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih.


9.13.

USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

10. Komplikasi
10.1.

Sumbatan : akibat pecahan batu

10.2.

Infeksi : akibat desiminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi

10.3.

Kerusakan fungsi ginjal : akibat sumbatan yang lama sebelum


pengobatan dan pengangkatan batu. (Wijaya, 2013)

11. Prognosis
Prognosis batu saluran kemih tergantung dari faktor- faktor antara lain: besar batu,
letak batu, adanya infeksi, dan adanya obstruksi. Makin besar batu makin jelek
prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah
terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor

13

obstruksi akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sehingga prognosis menjadi


jelek. (Wijaya, 2013)

B.

Tinjauan Teoritis Keperawatan


1. Identitas pasien dan penanggung jawab
2. Riwayat kesehatan
2.1. Riwayat penyakit sekarang
2.1.1.

Penurunan haluaran urine/ BAK sedikit

2.1.2.

Kandung kemih penuh, rasa terbakar

2.1.3.

Dorongan berkemih, mual/ muntah

2.1.4.

Nyeri abdomen

2.1.5.

Nyeri punggung

2.1.6.

Nyeri panggul

2.2. Riwayat penyakit yang lalu


2.2.1.

Pernah menderita infeksi saluran kemih.

2.2.2.

Sering mengkonsumsi susu berkalsium tinggi.

2.2.3.

Bekerja di lingkungan panas.

2.2.4.

Penderita osteoporosis dengan pemakaian pengobatan kalsium.

2.2.5.

Olahragawan.

2.3. Riwayat penyakit keluarga


2.3.1.

Riwayat adanya ISK kronis

2.3.2.

Penyakit atau kelainan ginjal lainnya

3. Pengkajian
4. 3.1. Aktifitas/istirahat
Gejala

: Perkejaan monoton, perkerjaan dimana pasien terpajan pada

lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas/ imobilisasi sehubungan


dengan kondisi sebelumnya (contoh: penyakit tak sembuh, cedera medulla
spinalis).
3.2. Sirkulasi
Tanda

: peningkatan TD/ nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal).

Kulit hangat dan kemerahan; pucat.


5.
3.3. Eliminasi
Gejala

: Riwayat adanya/ ISK Kronis;obstruksi sebelumnya(kalkulus).

Penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh. Rasa terbakar, dorongan


kemih.
Tanda

: oliguria, hematuria, piuria. Perubahan pola berkemih.

14

6. 3.4. Makanan/cairan
Gejala

: muntah/mual ,nyeri tekan abdomen. Diet rendah purin, kalsium

oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan pemasukan cairan; tidak minum air


dengan cukup.
Tanda

: distensi abdominal; penurunan/tak adanya bising usus, muntah.

3.5. Nyeri/ ketidaknyamanan


Gejala

: episode akut nyeri berat/ kronik. Lokasi tergantung pada

lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebral ; dapat


menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke lipat
paha/genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada di pelvis
atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak
hilang dengan posisi atau tindakan lain.
Tanda

: melindungi; prilaku distraksi. Demam dan menggigil.

3.6. Penyuluhan/ pembelajaran


Gejala

: riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi,

gout, ISK Kronis. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen


sebelumnya, hiperparatiroidisme. Penggunaan antibiotic, antihipertensi,
natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan
kalsium dan vitamin. (Doenges, 2006)

15

C. Asuhan Keperawatan (Doenges, 2006)

No.
1.

Diagnosa Keperawatan

Tujuan & Kriteria Hasil

Resiko kekurangan volume cairan

Tujuan: Kekurangan volume

berhubungan dengan haemoragik

cairan tidak terjadi setelah

/ hipovolemik

dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil:
- tanda tanda vital stabil

Intervensi
1. Kaji balutan selang kateter terhadap

- insisi mulai sembuh, tidak ada

1. mengetahui adanya perdarahan.

perdarahan setiap jam dan lapor dokter.


2. Anjurkan pasien untuk mengubah posisi
selang atau kateter saat mengubah

2. mencegah perdarahan pada luka


insisi

posisi.
3. Pantau dan catat intake output tiap 4
jam, dan laporan ketidak seimbangan.

3. mengetahui kesimbangan dalam


tubuh.

- kulit kering dan elastic


- intake output seimbang

Rasional

4. Kaji tanda vital dan turgor kulit, suhu tiap


4-8 jam.

4. dapat menunjukan adanya


dehidrasi / kurangnya volume cairan

perdarahan melalui selang

2.

Nyeri berhubungan dengan insisi

Tujuan: Nyeri berkurang sampai

bedah

dengan hilang setelah dilakukan


tindakan keperawatan
Kriteria Hasil:
- pasien melaporkan
meningkatnya kenyamanan
yang ditandai dengan mudah
untuk bergertak,
- menunjukkan ekspresi wajah

1. Kaji intensitas,sifat, lokasi pencetus daan

1. menentukan tindakan selanjutnya

penghalang factor nyeri.


2. Berikan tindakan kenyamanan non

2. dengan otot relkas posisi dan

farmakologis, anjarkan tehnik relaksasi,

kenyamanan dapat mengurangi

bantu pasien memilih posisi

nyeri.

yang nyaman.
3. Kaji nyeri tekan, bengkak dan

3. peradangan dapat menimbulkan


nyeri.

kemerahan.
4. Anjurkan pasien untuk menahan daerah
insisi dengan kedua tangan bila sedang

4. untuk mengurangi rasa nyeri. R/


obat

16

dan tubuh yang relaks.

batuk.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk

5. analgetik dapat mengurangi nyeri.

pemberian analgetik.

3.

Perubahan eliminasi perkemihan

Tidak terjadi perubahan

berhubungan

eliminasi perkemihan setelah

dengan pemasangan alat medik


(kateter).

dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil:

1. Kaji pola berkemih normal pasien.

perubahan pola berkemih.


2. Kaji keluhan distensi kandung kemih tiap
4 jam

kateter.
3.Ukur intake output cairan.

3. untuk mengetahui keseimbangan


cairan

- warna urine kuning jernih dan

4. Kaji warna dan bau urine dan nyeri.

4. untuk mengetahui fungsi ginjal.

dapat berkemih spontan bila

5. Anjurkan klien untuk minum air putih 2 Lt/

5. untuk melancarkan urine.

kateter dilepas setelah 7 hari.


Resiko infeksi berhubungan

Tidak terjadi infeksi setelah

dengan insisi bedah dan

dilakukan tindakan

pemasangan kateter.

2. kandung kemih yang tegang


disebabkan karena sumbatan

- pasien berkemih dengan baik,

4.

1. untuk membandingkan apakah ada

keperawatan
Kriteria hasil:

sehari, bila tidak ada kontra indikasi.


1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala
infeksi

luka

(demam,

kemerahan,

1. mengintervensi tindakan
selanjutnya.

bengkak, nyeri tekan dan pus)


2. Kaji suhu tiap 4 jam .

2. peningkatan suhu menandakan


adanya infeksi.

- Insisi kering dan


penyembuhan mulai terjadi.
- Drainase dan selang kateter

3. Anjurkan klien untuk menghindari atau

3. menghindarkan infeksi.

menyentuk insisi.

bersih.
4. Pertahankan tehnik steril untuk

4. menghindari infeksi silang

mengganti balutan dan perawatan luka.

17

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
I. Biodata
A. Identitas Klien
1. Nama

: Tn. H. T

2. Jenis Kelamin

: Laki- laki

3. Umur/Tanggal lahir

: 64 tahun/ 13 Desember 1949

4. Status Perkawinan

: Kawin

5. Agama

: Kristen

6. Suku/Kewarganegaraan

: Indonesia

7. Pendidikan Terakhir

: SMA

8. Pekerjaan

: Wiraswasta

9. Alamat

: Kab. Banten

B. Identitas Penanggung Jawab


1. Nama Lengkap

: Tn. H. T

2. Jenis Kelamin

: Laki- laki

3. Pekerjaan

: Wiraswasta

4. Hubungan dengan Klien

: Diri sendiri

5. Alamat

: Kab. Banten

II. Riwayat Kesehatan


1.

Keluhan Utama

2.

Riwayat Keluhan Utama

: nyeri luka operasi skala 5/5

a. Mulai timbulnya keluhan

: sejak selesai operasi

b. Sifat keluhan

: menetap

c.

: uretra (genetalia)

Lokasi

d. Keluhan lain yang menyertai: nyeri pinggang


e. Faktor pencetus yang menyertai serangan: pembedahan
f.

Apakah keluhan bertambah/ berkurang pada saat-saat tertentu (saat-saat


mana): ya, bertambah saat posisi miring

18

g. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan: berobat ke


klinik, Rumah Sakit.
3.

Alergi: tidak ada

4.

Kebiasaan/Riwayat Penyakit:

Riwayat merokok

: tidak merokok

Minum alkohol

: tidak minum alkohol.

Minum kopi

: pasien minum kopi 3x sehari.

Minum obat-obatan : pasien minum antalgin saat nyeri timbul

Riwayat penyakit

: Juni 2013 pasien mengalami pembesaran prostat dan

mulai nyeri saat BAK, BAK keruh, 1 minggu keluhan hilang dan timbul
kembali. 1 minggu sebelum masuk RS nyeri setelah BAK hilang timbul, nyeri
dari kemaluan menjalar sampai pinggang kiri, terasa panas, BAK terasa
tidak tuntas.
III.

Riwayat Keluarga
Ayah pasien mempunyai riwayat sakit prostat, ibu pasien mempunyai riwayat sakit
DM, adik bungsu pasien mempunyai riwayat sakit DM dan jantung. Istri pasien
mempunyai riwayat sakit kanker payudara (sudah meninggal).
Genogram

Tn.
HT

Ket:
-

: Laki- laki

: Wanita

: hubungan pernikahan

: hubungan darah

: meninggal

: pasien

IV. Pemeriksaan fisik


a. Tanda-tanda vital

19

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 88x/menit

Pernafasan

: 20x/menit

Suhu Badan

: 36,4 C

SpO2

: 98%

Skala nyeri

: 5/5

b. Kepala dan leher

Kepala: Tidak teraba benjolan, rambut tipis, bersih dan tidak berminyak,
wajah tampak simetris.

Penglihatan: Konjungtiva tampak ananemis, sklera anikterik, penglihatan


kabur, memakai kaca mata baca

Pendengaran: Daun telinga tampak simetris, tidak ada serumen dan


pendengaran baik

Hidung: Simetris kanan kiri, konka normal, tidak ada pengeluaran, tidak
ada deviasi septum, tidak ada obstruksi.

Tenggorokan dan mulut:


Keadaan mulut

: Lidah bersih, mukosa lembab dan kemerahan

Keadaan gigi

: gigi utuh

Tonsil

: tidak membesar

Gangguan bicara

: suara jelas

Gangguan menelan

: tidak ada kelainan

Leher : tidak ada peningkatan tekanan vena jugularis, tidak ada


pembesaran kelenjar leher.

c.

Pernafasan

Anamnesis: pasien mengatakan ada sesak nafas.

Inspeksi: bentuk dada simetris, dinding dada mengembang simetris,


tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, warna kulit tidak pucat
atau kebiruan.

Palpasi : tidak teraba adanya massa, tidak ada pembengkakan atau


nyeri, pergerakan dada simetris, tidak ada krepitasi,

Perkusi : sonor dan meredup diatas paru kiri

Auskultasi :
vesikuler +/+
Ronchi -/Wheezing -/-

20

Krepitasi -/

Clubbing Finger: tidak ditemukan clubbing finger

d. Pencernaan

Anamnesis: nafsu makan baik, habis 1 porsi

Inspeksi:

Turgor kulit: elastis


Keadaan bibir: bibir tampak lembab

Keadaan rongga mulut: warna mukosa tampak lembab, tidak ditemukan


tanda-tanda peradangan, tidak ditemukan gusi berdarah atau oedema

Keadaan abdomen
Warna kulit tidak pucat, tidak ditemukan spider navy dan ascites.

Keadaan rektal: tidak ada luka dan hemorrhoid

Auskultasi: bising usus/peristaltik di empat kuadran:6x/menit


Bunyi vaskular: tidak ada bruit

Perkusi: Timpani

Palpasi: tidak teraba adanya pembesaran hati dan spleen. Teraba soepel,
nyeri tekan abdomen tidak ada.

e. Kardiovaskular
Ananmnesis: tidak ada keluhan jantung
Inspeksi:

Bentuk dada: normal

Bibir: lembab

Kuku: tidak ada kelainan

Capillary refill time: 2 detik

Tangan, kaki dan sendi: tidak ada kelainan pada kaki dan sendi, tidak
ada oedema, tidak teraba ictus cordis.

Palpasi: pulse teraba kuat, tidak terdapat peningkatan tekanan vena jugularis,
akral teraba hangat.
Perkusi: terdapat pembesaran jantung
Auskultasi: BJ I: reguler BJ II: S1S2 reguler, tidak terdengar gallop atau
murmur.

f.

Persarafan

Tingkat kesadaran : composmentis, GCS E4M6V5

21

Kejang

: tidak ada

Kelumpuhan

: tidak ada

Koordinasi gerak

: tidak ada kelainan

Cranial Nerves

I.

Olfactory

: sensori penciuman normal

II.

Optic

: penglihatan rabun jauh

III.

Oculomotor

: membuka dan menutup mata normal, konstriksi

pupil normal

IV.

Throclear

: pergerakan mata keatas dan kebawah normal

V.

Trigeminal

: tidak ada kesulitan mengunyah

VI.

Abducens

: tidak ada kelainan dalam pergerakan mata

VII.

Facial

: mampu membuka dan menutup mulut.

VIII.

Vestibulocochlear

: pendengaran dan keseimbangan normal

IX.

Glossopharingeal

: kemampuan menelan normal

X.

Vagus

: berbicara normal

XI.

Accessory

: otot trapesius dan sternomastoid normal

XII.

Hipoglossal

: pergerakan lidah normal

Reflexes

: tidak ada kelainan

g. Muskuloskletal

Tidak ada keluhan nyeri otot

Kekuatan otot: tidak ada kelemahan

Atrofi/hipertropi: tidak ada kelainan

Range of motion (ROM): tidak ada kelainan

h. Kulit/Integumen

i.

Tidak ada rash, pruritus, lesi, petechie dan hematom

Turgor kulit elastis

Kulit teraba lembab

Reproduksi

Ada pembesaran prostat sejak 1 tahun yang lalu.

V. Pola Kegiatan sehari-hari (ADL)


A.

Nutrisi:

22

Kebiasaan: Pasien mengatakan makan teratur 3x sehari, sering membeli


makanan dari rumah makan padang
Perubahan selama di rumah sakit: Saat ini pasien nafsu makan baik. Diet
biasa 1700kkal. Berat badan: 70 kg Tinggi berat: 171 cm IMT: 23,9 kg/m

(berat badan normal)


B.

Eliminasi:
1. Buang air kecil (BAK)
Kebiasaan: Pasien mengatakan BAK tidak tuntas, frekuensi sering,
nyeri setelah BAK skala 5/0 saat dirumah. Pekerjaan sehari- hari
pasien cenderung duduk sampai berjam- jam.
Perubahan selama sakit: Terpasang dower catheter dan irigasi 40tpm
setelah operasi selama sakit hari pertama setelah operasi urine warna
kemerahan/ darah.
2. Buang air besar (BAB)
Kebiasaan: Pasien buang air 1x/hari saat dirumah
Perubahan selama sakit: pasien belum BAB selama dirawat di RS

C.

Olahraga dan Istirahat


Pasien tidak pernah olahraga

D.

Istirahat dan tidur


Kebiasaan di rumah tidur pukul 21.00wib, bangun pukul 05.00wib, sering
terbangun untuk BAK
Pasien mengatakan bisa tidur malam saat di rumah sakit.

VI.

Pola Interaksi sosial


1. Orang terdekat: adik ke empat
2. Organisasi sosial yang diikuti: tidak ada
3. Interaksi dalam keluarga: baik.

VII.

Kegiatan Sosial
1. Keadaan rumah dan lingkungan: tenang
2. Status rumah: Tinggal sendiri sejak isteri meninggal dan anak menikah
3. Banjir: tidak rawan banjir

VIII.

Kegiatan Keagamaan
1. Kegiatan menjalankan ibadah: seminggu sekali ke gereja
2. Keterlibatan dalam organisasi keagamaan: anggota koor di gereja

23

IX.

Keadaan psikologis selama sakit


1. Persepsi pasien terhadap penyakit yang diderita: emosi stabil.
2. Persepsi pasien terhadap keadaan kesehatannya: pasien ingin cepat
sembuh dan kembali bekerja
3. Pola interaksi dengan tenaga kesehatan dan lingkungannya:baik.

X.

Data Laboratorium dan Diagnostik


1. Laboratorium
Pemeriksaan

01/10/2014

Nilai normal

Haemoglobin

14,0

11,7 - 15,5 g/dl

Hematokrit

43,4

35.00 - 47.00 %

laboratorium

Erythrocyte

4,9
9
235
16
21

WBC
Platelet
SGOT
SGPT

141
4,6

Natrium
Kalium

104

3,6 - 11.00 10^3L


150.000 - 450.000 10^3L
5 34 L
0 -55 L
137 145 mmol/L
3,6 5,0 mmol/L
98 107 mmol/L

Chloride
46
1,16

Ureum

<50.00 mg/dl
0,7 1,3 mg/dl

Creatinin

2.

4,40 5,90 10 ^6L

Diagnostik
-

Hasil USG April 2014: BPH, ada 2 batu di ginjal kanan, 3 batu di ginjal kiri dan
2 batu di vesika urinarius.

XI.

Foto thorax tgl 12/10/14: Cardiomegali, pulmo tak ada kelainan

EKG tgl 12/10/14: Normal sinus rhythm.

Penatalaksanaan / Pengobatan
1. Therapi
No

Nama Obat

Rute

Frekuensi

1.

Ceftriaxone

IV

1x2gr

2.

Ketorolac

IV

3x30mg

24

3.

Ranitidine

IV

1x50mg

4.

Panadol

PO

1x1gr

5.

Harnal

PO

1x1tab

6.

Infus RL

Infus

500ml/8jam

2. Tindakan
-

Cytoscopy vesicolithiasis dan Lithotripsi, terpasang dower catheter


triway dengan irigasi 40tpm.

B. ANALISA DATA
Tgl

Data Subjektif

Data Objektif

Masalah
keperawatan

12

Mual dan haus, puasa 12jam

Pasien post operasi

Resiko

Okt

cytoscopy+ Litotripsi H-0,

kekurangan

2014

terpasang dower catheter

volume cairan

paralel dengan irigasi


NaCl 0,9%, urine warna
merah/ darah, masih
puasa, kedua kaki baal,
bising usus belum ada,
infus RL/ 8jam,
TD:130/80mmHg,
N:88x/menit,
RR:20x/menit,
0

suhu:36,4 C, SpO2: 98%


12

Nyeri diarea luka operasi

Pasien tampak meringis

Gangguan rasa

Okt

terpasang kateter, nyeri mulai

menahan nyeri, gelisah,

nyaman nyeri

2014

setelah operasi selesai,

sangat menjaga area luka

bertambah bila posisi miring,

operasi (genetalia),

berkurang bila mengurangi

TD:130/80mmHg,

gerakan, nyeri terasa perih,

N:88x/menit,

Menyebar ke perut bagian

RR:20x/menit,

bawah, skala nyeri

suhu:36,4 C, SpO2: 98%

aktivitas/istirahat 5/5, menetap,

25

sangat menggangu, skala nyeri


yang dapat ditoleransi 3/0
12

Terpasang kateter sejak selesai

Terpasang dower kateter

Perubahan

Okt

operasi

no.16 paralel dengan

eliminasi

irigasi NaCl 0,9% 40tpm

perkemihan

2014

C. PERUMUSAN DIAGNOSA
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan haemoragik/
hipovolemik

2. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah


3. Perubahan eliminasi perkemihan berhubungan dengan pemasangan alat
medik (kateter).

4. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi bedah dan


pemasangan kateter.

26

XII.
No.
1.

INTERVENSI KEPERAWATAN (Doenges, 2006)


Diagnosa Keperawatan

Tujuan & Kriteria Hasil

Resiko kekurangan volume cairan

Tujuan: Kekurangan volume

berhubungan dengan haemoragik

cairan tidak terjadi setelah

/ hipovolemik

dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil:
- tanda tanda vital stabil

Intervensi
1. Kaji balutan selang kateter terhadap

- insisi mulai sembuh, tidak ada

1. mengetahui adanya perdarahan.

perdarahan setiap jam dan lapor dokter.


2. Anjurkan pasien untuk mengubah posisi
selang atau kateter saat mengubah

2. mencegah perdarahan pada luka


insisi

posisi.
3. Pantau dan catat intake output tiap 4
jam, dan laporan ketidak seimbangan.

3. mengetahui kesimbangan dalam


tubuh.

- kulit kering dan elastic


- intake output seimbang

Rasional

4. Kaji tanda vital dan turgor kulit, suhu tiap


4-8 jam.

4. dapat menunjukan adanya


dehidrasi / kurangnya volume cairan

perdarahan melalui selang

2.

Nyeri berhubungan dengan insisi

Tujuan: Nyeri berkurang sampai

bedah

dengan hilang setelah dilakukan


tindakan keperawatan
Kriteria Hasil:
- pasien melaporkan
meningkatnya kenyamanan
yang ditandai dengan mudah
untuk bergertak,
- menunjukkan ekspresi wajah

1. Kaji intensitas,sifat, lokasi pencetus daan

1. menentukan tindakan selanjutnya

penghalang factor nyeri.


2. Berikan tindakan kenyamanan non

2. dengan otot relkas posisi dan

farmakologis, anjarkan tehnik relaksasi,

kenyamanan dapat mengurangi

bantu pasien memilih posisi

nyeri.

yang nyaman.
3. Kaji nyeri tekan, bengkak dan

3. peradangan dapat menimbulkan


nyeri.

kemerahan.
4. Anjurkan pasien untuk menahan daerah
insisi dengan kedua tangan bila sedang

4. untuk mengurangi rasa nyeri. R/


obat

dan tubuh yang relaks.

27

batuk.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk

5. analgetik dapat mengurangi nyeri.

pemberian analgetik.

3.

Perubahan eliminasi perkemihan

Tidak terjadi perubahan

berhubungan

eliminasi perkemihan setelah

dengan pemasangan alat medik


(kateter).

dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria Hasil:

1. Kaji pola berkemih normal pasien.

perubahan pola berkemih.


2. Kaji keluhan distensi kandung kemih tiap
4 jam

kateter.
3.Ukur intake output cairan.

3. untuk mengetahui keseimbangan


cairan

- warna urine kuning jernih dan

4. Kaji warna dan bau urine dan nyeri.

4. untuk mengetahui fungsi ginjal.

dapat berkemih spontan bila

5. Anjurkan klien untuk minum air putih 2 Lt/

5. untuk melancarkan urine.

kateter dilepas setelah 7 hari.


Resiko infeksi berhubungan

Tidak terjadi infeksi setelah

dengan insisi bedah dan

dilakukan tindakan

pemasangan kateter.

2. kandung kemih yang tegang


disebabkan karena sumbatan

- pasien berkemih dengan baik,

4.

1. untuk membandingkan apakah ada

keperawatan
Kriteria hasil:

sehari, bila tidak ada kontra indikasi.


1. Kaji dan laporkan tanda dan gejala
infeksi

luka

(demam,

kemerahan,

1. mengintervensi tindakan
selanjutnya.

bengkak, nyeri tekan dan pus)


2. Kaji suhu tiap 4 jam .

2. peningkatan suhu menandakan


adanya infeksi.

- Insisi kering dan


penyembuhan mulai terjadi.
- Drainase dan selang kateter

3. Anjurkan klien untuk menghindari atau

3. menghindarkan infeksi.

menyentuk insisi.

bersih.
4. Pertahankan tehnik steril untuk

4. menghindari infeksi silang

mengganti balutan dan perawatan luka.

28

D. IMPLEMENTASI & EVALUASI


TGL

No. DK

Catatan Perkembangan

Nama dan
Tanda
Tangan

12/10/14
08.00

DK 1

S: Mual dan haus, puasa 12jam


O: Pasien post operasi cytoscopy+ Litotripsi H-0,
terpasang dower catheter paralel dengan irigasi
NaCl 0,9%, urine warna merah/ darah, masih puasa,
kedua kaki baal, bising usus belum ada, infus RL/
8jam, TD:130/80mmHg, N:88x/menit, RR:20x/menit,
0

suhu:36,4 C, SpO2: 98%


A: Masalah keperawatan resiko kekurangan volume
cairan
P: - Kaji balutan selang kateter terhadap perdarahan
setiap jam dan lapor dokter.
- Anjurkan pasien untuk mengubah posisi selang
atau kateter saat mengubah posisi.
- Pantau dan catat intake output tiap 4 jam, dan
laporan ketidak seimbangan.
- Kaji tanda vital dan turgor kulit, suhu tiap 4-8 jam.
I: - Mengkaji perdarahan pada balutan selang
kateter setiap jam dan melaporkannya ke RMO
- Memindahkan selang kateter ke sisi kiri saat
pasien miring kiri
- Memantau minum, infus yang masuk, dan BAK
(setelah dikurangi dengan cairan irigasi),
melaporkan ketidakseimbangan intake output
- Mengukur TD, N, suhu, RR
E: S: sudah boleh makan dan minum setelah 1jam
tiba ke kamar perawatan, haus dan mual berkurang
O: tidak ada rembesan darah di balutan selang
kateter, pasien minum 600ml, infus 250ml, urin:
500ml, balance: positif 350ml per 4 jam.
TD:130/80mmHg, N:80x/menit, RR:20x/menit,

29

suhu:36 C.
12/10/14
08.30

DK 2

S: Nyeri diarea luka operasi terpasang kateter, nyeri


mulai setelah operasi selesai, bertambah bila posisi
miring, berkurang bila mengurangi gerakan, nyeri
terasa perih, menyebar ke perut bagian bawah,
skala nyeri aktivitas/istirahat 5/5, menetap, sangat
menggangu, skala nyeri yang dapat ditoleransi 3/0
O: Pasien tampak meringis menahan nyeri, gelisah,
sangat menjaga area luka operasi (genetalia),
TD:130/80mmHg, N:88x/menit, RR:20x/menit,
0

suhu:36,4 C, SpO2: 98%


A: Masalah keperawatan gangguan nyaman nyeri
P: - Kaji intensitas, sifat, lokasi pencetus dan
penghalang faktor nyeri.
- Berikan tindakan kenyamanan non farmakologis,
bantu pasien memilih posisi yang nyaman.
- Kaji nyeri tekan, bengkak dan kemerahan.
- Anjurkan pasien untuk menahan daerah insisi
dengan kedua tangan bila sedang batuk.
- Ajarkan tehnik relaksasi,
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
analgetik.
I: - Mengkaji intensitas, sifat, lokasi, pencetus, dan
pengurang nyeri
- Memberikan posisi terlentang dengan tinggi
kepala 30

- Mengkaji nyeri tekan, bengkak, dan kemerahan


- Menganjurkan menahan daerah perut saat batuk
- Mengajarkan tehnik relaksasi tarik nafas dalam
- Memberikan obat Ketorolac iv 3x30mg
E: S: Nyeri berkurang skala 5/0, nyeri saat terasa
ingin BAK, dan saat miring
O: Pasien tampak rileks, dapat melakukan tehnik
relaksasi tarik nafas dalam dengan benar, nyeri
hilang timbul, bertambah saat ingin BAK, terasa
perih, berkurang saat mendapatkan obat anti
Ketorolac iv 30mg, lebih nyaman dengan posisi

30

terlentang kepala 30 , TD:130/80mmHg,


0

N:80x/menit, RR:20x/menit, suhu:36 C.


12/10/14

DK 3

09.00

S: Terpasang kateter sejak selesai operasi


O: Terpasang dower kateter no.16 paralel dengan
irigasi NaCl 0,9% 40tpm
A: Masalah keperawatan perubahan eliminasi
perkemihan
P: - Kaji pola berkemih normal pasien.
- Kaji keluhan distensi kandung kemih tiap 4 jam
- Ukur intake output cairan.
- Kaji warna dan bau urine dan nyeri.
- Anjurkan klien untuk minum air putih 2 Lt/ sehari,
bila tidak ada kontra indikasi.
I: - mengkaji pola berkemih normal pasien
- Mengkaji keluhan terasa BAK tetapi seperti
terhambat/ tahanan perut tiap 4 jam
- Mengukur minum, infus, dan BAK
- Mengkaji warna, bau dan nyeri
- Menganjurkan minum air putih 2Lt/hari
E: S: tidak ada rasa hambatan/ tahanan saat BAK
keluar melalui kateter
O: BAK normal sebelum terpasang kateter, perut
tidak ada tahanan/ distensi, minum 600ml, infus
250ml urine 500ml per 4jam, warna masih
kemerahan, terget minum 2Lt/hari.

13/10/14
08.00

DK 1

S: tidak ada keluhan, kemarin minum lebih dari


2Lt/hari
O: Pasien post operasi cytoscopy+ Litotripsi H-1,
terpasang dower catheter paralel dengan irigasi
NaCl 0,9%, urine warna merah muda, infus RL/
8jam, TD:130/80mmHg, N:78x/menit, RR:18x/menit,
0

suhu:36,2 C, SpO2: 98%, balance cairan/ 24 jam


positif 300ml (setelah dikurangi IWL)
A: Masalah keperawatan resiko kekurangan volume
cairan teratasi
P: Hentikan intervensi DP1
I: - Mengkaji perdarahan pada balutan selang

31

kateter setiap jam dan melaporkannya ke RMO


- Memantau minum, infus yang masuk, dan BAK
(setelah dikurangi dengan cairan irigasi),
melaporkan ketidakseimbangan intake output
- Mengukur TD, N, suhu, RR
E: S: tidak ada keluhan
O: tidak ada rembesan darah di balutan selang
kateter, pasien minum 600ml, infus 250ml, urin:
600ml, balance: positif 250ml per 4 jam.
TD:130/80mmHg, N:80x/menit, RR:18x/menit,
0

S:36 C
13/10/14
09.00

DK 2

S: Nyeri diarea luka operasi terpasang kateter, nyeri


mulai setelah operasi selesai, bertambah bila posisi
miring, berkurang bila mengurangi gerakan, nyeri
terasa perih, menyebar ke perut bagian bawah,
skala nyeri aktivitas/istirahat 5/0, hilang timbul,
menggangu, skala nyeri yang dapat ditoleransi 3/0
O: Pasien tampak meringis menahan nyeri, gelisah,
sangat menjaga area luka operasi (genetalia),
TD:130/80mmHg, N:80x/menit, RR:18x/menit,
0

suhu:36 C, SpO2: 98%


A: Masalah keperawatan gangguan nyaman nyeri
P: Lanjutkan intervensi DP2
I: - Mengkaji intensitas, sifat, lokasi, pencetus, dan
pengurang nyeri
- Memberikan posisi terlentang dengan tinggi
kepala 30

- Mengkaji nyeri tekan, bengkak, dan kemerahan


- Memberikan obat Ketorolac iv 3x30mg
E: S: Nyeri berkurang skala 3/0, nyeri saat terasa
ingin BAK
O: Pasien tampak rileks, dapat melakukan tehnik
relaksasi tarik nafas dalam dengan benar, nyeri
hilang timbul, bertambah saat ingin BAK, terasa
perih, lebih nyaman dengan posisi duduk,
TD:130/70mmHg, N:84x/menit, RR:18x/menit,
0

suhu:36,2 C.

32

13/10/14

DK 3

12.00

S: Terpasang kateter sejak selesai operasi, kemarin


minum lebih dari 2Lt/hari
O: Terpasang dower kateter no.16 paralel dengan
irigasi NaCl 0,9% 30tpm
A: Masalah keperawatan perubahan eliminasi
perkemihan teratasi
P: Hentikan intervensi DP3
I:- Mengkaji keluhan terasa BAK tetapi seperti
terhambat/ tahanan perut
- Mengukur minum, infus, dan BAK
- Mengkaji warna, bau dan nyeri
- Menganjurkan minum air putih 2Lt/hari
E: S: tidak ada keluhan, BAK terasa saat keluar

O: BAK lancar, perut tidak ada tahanan/ distensi,


minum 600ml, infus 250ml urine 600ml per 4jam,
warna merah muda, terget minum 2Lt/hari tercapai,
besok aff kateter.
14/10/14
08.30

DK 2

S: Nyeri berkurang skala 3/0, bertambah saat BAK


keluar
O: Pasien tampak rileks, urine warna kuning, dower
catheter dilepas, BAK spontan, TD:130/80mmHg,
0

N:80x/menit, RR:18x/menit, suhu:36 C, SpO2: 98%


A: Masalah keperawatan gangguan nyaman nyeri
teratasi
P: Hentikan intervensi DP2
I: - Mengkaji nyeri tekan, bengkak, dan kemerahan
E: S: Nyeri berkurang skala 1/0, terasa tidak
nyaman saat BAK spontan, warna masih ada sedikit
darah
O: Pasien tampak rileks, dapat melakukan tehnik
relaksasi tarik nafas dalam dengan benar, lebih
nyaman dengan posisi duduk, TD:130/70mmHg,
0

N:84x/menit, RR:18x/menit, suhu:36,2 C.

33

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Urolithiasis adalah terbentuknya batu (kalkulus) dimana saja pada sistem


penyalur urine, tetapi umumnya terbentuk di ginjal. Batu mungkin terbentuk
tanpa menimbulkan gejala atau kerusakan ginjal yang bermakna, hal ini
terutama terjadi pada batu besar yang tersangkut di pelvis ginjal. Makna klinis
batu terletak pada kapasitasnya menghambat aliran urine atau obstruksi atau
menimbulkan trauma yang menyebabkan ulserasi dan perdarahan, pada kedua
kasus ini terjadi peningkatan predisposisi infeksi bakteri. (Wijaya, 2013)
Urolithiasis adalah benda zat padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai
zat terlarut dalam urine pada saluran kemih. Batu dapat berasal dari kalsium
oksalat (60%), fosfat sebagai campuran kalsium, amonium, dan magnesium
fosfat (batu tripel fosfat akibat infeksi) (30%), asam urat (5%), dan sistin (1%).
(Borley, 2006)

Pada kasus ini, penyebab terbentuknya batu belum diketahui secara pasti,
faktor predisposisi yang dialami pasien adalah faktor pekerjaan, cenderung
duduk dalam jangka waktu yang lama setiap hari. Tanda dan gejala yang
muncul sesuai dengan teori yang ada. Letak batu saluran kemih ada dua
tempat, diginjal (kanan dan kiri) dan kandung kemih. Setelah dilakukan tindakan
Cytoscopy dan lithotripsi, masalah keperawatan yang muncul antara lain: resiko
kekurangan volume cairan, gangguan rasa nyaman nyeri, perubahan eliminasi
perkemihan dan resiko infeksi. Resiko kekurangan volume cairan menjadi
prioritas pertama karena bila tidak ditangani dapat menjadi masalah aktual dan
mengakibatkan syok hipovolemik.
Prognosis batu saluran kemih tergantung dari faktor- faktor antara lain: besar
batu, letak batu, adanya infeksi, dan adanya obstruksi. Makin besar batu makin
jelek prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena faktor obstruksi akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal,
sehingga prognosis menjadi jelek. (Wijaya, 2013)

34

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Batu saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai sebab
diantaranya intake cairan yang kurang, aktivitas yang kurang, iklim yang
dingin atau panas serta makanan yang dapat mencetuskan
terbentuknya batu ginjal. tanda dan gejala yang khas pada penyakit ini
tergantung dari letak batu, besarnya batu. Gejala yang tersering adalah
nyeri dan gangguan pola berkemih.
Disamping pengobatan yang diberikan untuk mengurangi nyeri
harus pula diimbangi dengan minum banyak 2-3 liter perhari, banyak
melakukan aktivitas, olahraga secara teratur dan mengurangi makanan
yang tinggi kalsium, purin dan oksalat.
Pada dasarnya penyakit batu saluran kemih dapat disembuhkan
secara total jika cepat mendapat pertolongan dan penanganan dan juga
bisa kambuh apabila tidak merubah kebiasaan yang salah seperti :
kurang minum, kurang bergerak/banyak duduk, mengkonsumsi
makanan tinggi kalsium, purin dan oksalat.

B. Saran
Sebagai perawat profesional sangat penting memberikan
penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang proses terjadinya batu
dan pencegahannya, sehingga pasien dan keluarga dapat mengerti dan
bekerja sama untuk mendapatkan kesembuhan yang maksimal.

35

DAFTAR PUSTAKA

Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga.


Doenges, M. E. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian PerawatanPasien. Jakarta: EGC.
Pearce, E. C. (2006). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia.
Porth, C. M. (2011). Essentials of Pathophysiology Concept of Altered Health States 3rd
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat, R. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah I. Yogyakarta: Medikal Book.

36

Anda mungkin juga menyukai