Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Aqidah adalah pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh
Allah, dan kita sebagai manusia wajib meyakininya sehingga kita
layak disebut sebagai orang yang beriman (mu’min).
Namun bukan berarti bahwa keimanan itu ditanamkan dalam diri
seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan harus disertai
dalil-dalil aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka tidak
semua hal yang harus diimani dapat diindra dan dijangkau oleh akal
manusia
Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang haq dapat
menghasilkan keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan
dalil-dalil naqli yang dapat memberikan keimanan yang diharapkan
hanyalah dalil-dalil yang qath’i.

2. Rumusan Masalah
1. Pengertian aqidah ?
2. Ruang lingkup dan istilah dalam aqidah ?
3. Kedudukan aqidah dalam islam ?
4. Hubungan aqidah, ibadah dan akhlak ?

3. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian aqidah
2. Menjelaskan ruang lingkup dan istilah dalam aqidah
3. Menerangkan kedudukan akidah dalam islam
4. Memaparkan hubungan aqidah, ibadah dan akhlak
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Aqidah
1.2. Pengertian Aqidah Secara Bahasa (Etimologi) :
Kata "‘Aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu"
yaitu ar-rabth (ikatan), al-Ibraamal-ihkam (pengesahan),
(penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu
biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan)
dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai
arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan)."Al-‘Aqdu"
(ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan kata
tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu" "Ya'qiduhu"
(mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan " ‘Uqdatun Nikah"
(ikatan menikah). Allah Ta'ala berfirman, "Allah tidak menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah),tetap dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja ..." (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang
mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama
maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan.
Seperti aqidah dengan adanya Allah dan diutusnya pada Rasul.
Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus bahasa:
Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu'jamul Wasiith:
(bab: ‘Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang
secara pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
1.3. Pengertian Aqidah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi
tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh
dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu
keraguan apapun pada orang yang menyakininya. Dan harus sesuai
dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau
prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan
yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah,
karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
2. Ruang Lingkup Akidah Pembahasan akidah mencakup:

1. Ilahiyyat (ketuhanan).
Yaitu yang memuat pembahasan yang berhubungan dengan
Ilah (Tuhan, Allah) dari segi sifat-sifatNya, nama-nama-Nya,
dan af’a Allah. Juga dipertalikan dengan itu semua yang
wajib dipercayai oleh hamba terhadap Tuhan.
2. Nubuwwat (kenabian).
Yaitu yang membahas tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul mengenai sifat-sifat
mereka, ke-ma’shum-an mereka, tugas mereka, dan
kebutuhan akan keputusan mereka. Dihubungkan dengan itu
sesuatu yang bertalian dengan pari wali, mukjizat, karamah,
dan kitab-kitab samawi.
3. Ruhaniyyat (kerohanian).
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan alam bukan materi (metafisika) seperti jin, malaikat,
setan, iblis, dan ruh. 17 16 Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah
Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1998), hlm. 80. Jin adalah
makhluk yang berakal, berkehendak, mukallaf, sebagaimana
bentuk materi yang dimiliki manusia, yakni luput dari
jangkauan indera, atau tidak dapat terlihat sebagaimana
keadaannya yang sebenarnya atau bentuknya yang
sesungguhnya, dan mereka mempunyai kemampuan untuk
tampil dalam berbagai bentuk.
4. Sam’iyyat (masalah-masalah yang hanya didengar dari
syara‟).
Yaitu pembahasan yang berhubungan dengan kehidupan di
alam barzakh, kehidupan di alam akhirat, keadaan alam kubur,
tanda-tanda hari kiamat, ba’ts (kebangkitan dari kubur),
mahsyar (tempat berkumpul), hisab (perhitungan), dan jaza’
(pembalasan)
Ruang lingkup ‘aqidah dapat diperinci sebagaimana yang dikenal
sebagai rukun iman, yaitu iman kepada Allah, malaikat
(termasuk didalamnya: jin, setan, dan iblis), kitab-kitab Allah
yang diturunkan kepada para utusan-Nya, Nabi dan Rasul, hari
akhir, dan takdir Allah.
1. Beriman Kepada Allah Beriman kepada Allah mengandung
pengertian percaya dan meyakini akan sifat-sifat-Nya yang
sempurna dan terpuji. Dasar-dasar kepercayaan ini digariskan-Nya
melalui rasul-Nya, baik langsung dengan wahyu atau dengan sabda
rasul. Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud
(ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan,
yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Maha benar,
Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara
dengan Dia), pencipta segala makhluk, yang melakukan segala yang
dikehendaki-Nya, dan mengerjakan dalam kerajaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya.
2.Beriman Kepada Malaikat Allah Secara etimologis Malaikah
(dalam bahasa Indonesia disebut Malaikat) adalah bentuk jamak dari
malak, berasal dari mas}dar al-alukah artinya ar-risalah: misi, pesan.
Sedangkan secara terminologis malaikat adalah makhluk ghaib yang
diciptakan Allah swt dari cahaya dengan wujud dan sifat-sifat
tertentu dan senantiasa beribadah kepada Allah Swt. Beriman kepada
malaikat berarti percaya bahwa Allah mempunyai makhluk yang
dinamai “Malaikat” yang tidak pernah durhaka kepada-Nya dan
senantiasa taat menjalankan tugas yang dibebankan dengan
sebaikbaiknya. Diciptakan dari cahaya dan diberikan kekuatan untuk
mentaati dan melaksanakan perintah dengan sempurna. Rasulullah
saw. pernah bersabda: Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda: ”Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api
yang menyala-nyala, dan Adam diciptakan dari apa yang telah
disifatkan kepada kalian. (HR. Muslim). Beriman kepada malaikat
mengandung empat unsur:
a. Mengimani wujud mereka, bahwa mereka benarbenar ada bukan
hanya khayalan, halusinasi, imajinasi, tokoh fiksi, atau dongeng
belaka. Dan mereka jumlahnya sangat banyak, dan tidak ada yang
bisa menghitungnya kecuali Allah. Seperti dalam kisah mi‟raj-nya
Nabi Muhammad saw. bahwa ketika itu Nabi diangkat ke Baitul
Ma’mur di langit, tempat para malaikat shalat setiap hari, jumlah
mereka tidak kurang dari 70.000 malaikat. Setiap selesai shalat
mereka keluar dan tidak kembali lagi.
b. Mengimani nama-nama malaikat yang kita kenali, misalnya Jibril,
Mikail, Israfil, Maut. Adapun yang tidak diketahui namanya, kita
mengimani keberadaan mereka secara global. Dan penamaan ini
harus sesuai dengan dalil dari al-Quran dan Hadist Rasulullah yang
shahih.
c. Mengimani sifat-sifat malaikat yang kita kenali, misalnya,
memiliki sayap, ada yang dua, tiga atau empat. Dan juga khususnya
Malaikat Jibril, sebagaimana yang pernah dilihat oleh Nabi saw.
yang mempunyai 600 sayap yang menutupi seluruh ufuk semesta
alam. Malaikat bisa menjelma menjadi seorang laki-laki, seperti saat
diutus oleh Allah kepada Maryam, Nabi Ibrahim, Nabi Luth. Juga
saat diutusnya Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. ketika
beliau berkumpul dengan para sahabat dalam satu mejelis untuk
mengajarkan agama kepada para sahabat Nabi. d. Mengimani
tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah
kita ketahui, seperti membaca tasbih dan beribadah kepada Allah swt.
siang dan malam tanpa merasa lelah dan bosan. Dan di antara
mereka ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu, misalnya:
a) Malaikat Jibril bertugas untuk menyampaikan wahyu Allah
kepada para Nabi dan Rasul.
b) Malaikat Mikail yang diserahi mengatur pembagian rezeki kepada
semua makhluk Allah.
c) Malaikat Isrofil yang diserahi tugas meniup sangkakala tatkala
terjadi peristiwa hari kiamat dan manusia dibangkitkan dari alam
kubur.
d) Malaikat Izrail yang diserahi tugas untuk mencabut nyawa
seseorang.
e) Malaikat Ridwan dan Malik yang diserahi tugas menjaga Surga
dan Neraka.
f) Malaikat Rokib dan ‟Atid yang diserahi menjaga dan menulis
semua perbuatan manusia. Setiap orang yang dijaga oleh dua
malaikat, yang satu pada sisi kanan dan yang satunya lagi pada sisi
kiri. Allah swt.
g) Malaikat Munkar dan Nakir yang diserahi tugas menanyai mayit,
yaitu apabila mayit telah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan
datanglah dua malaikat yang bertanya kepadanya tentang Rabb-nya,
agamanya dan Nabinya.
3. Beriman Kepada Kitab-kitab Allah Beriman kepada kitab Allah
berarti meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab-Nya
kepada beberapa Rasul untuk menjadi pegangan dan pedoman
hidupnya guna mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah
berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan
kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya, dan hari Kemudian, maka
Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Q.S. an-Nisa’/4:
136) Di antara kitab-kitab itu ada yang merupakan pembicaraan
Allah dengan rasul tanpa perantara (rasul malaikat), di antaranya ada
yang disampaikan melalui seorang rasul malaikat kepada seorang
rasul manusia, dan ada juga yang ditulis oleh Allah Swt.
sebagaimana firman-Nya:
Kitab-kitab suci yang diturunkan Allah sesuai dengan jumlah
rasul-Nya. Hanya di dalam al-Qur‟an dan Hadits tidak disebutkan
secara jelas semua nama kitab Allah dan jumlahnya yang diturunkan
kepada rasul. Yang disebut namanya secara jelas dalam al-Qur‟an
ada empat buah yaitu:
a. Taurat, yang diturunkan kepada Nabi Musa
b. Zabur, yang diturunkan kepada Nabi Daud a.s.
c. Injil, yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s.
d. Al-Qur‟an, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

4. Beriman Kepada Rasul-rasul Allah

Iman kepada rasul berarti meyakini bahwa Allah telah memilih di


antara manusia, beberapa orang yang bertindak sebagai utusan Allah
(rasul) yang di tugaskan untuk menyampaikan segala wahyu yang
diterima dari Allah melalui malaikat Jibril, dan menunjukkan mereka
ke jalan yang lurus, serta membimbing umatnya ke jalan yang benar
agar selamat di dunia dan akhirat. Pengertian rasul dan nabi berbeda.
Rasul adalah manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Allah untuk
dirinya sendiri dan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan
kepada umatnya. Sedangkan Nabi adalah manusia pilihan yang
diberi wahyu oleh Allah untuk dirinya sendiri tetapi tidak wajib
menyampaikan pada umatnya. Dengan demikian seorang rasul pasti
nabi tetapi nabi belum tentu rasul. Meskipun demikian kita wajib
meyakini keduanya. Firman Allah: Dan sungguhnya Kami telah
mengutus Rasul pada tiaptiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". Maka di antara
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (Q.S.
an-Nahl/16: 36) Iman kita terhadap para Nabi dan Rasul itu cukup
secara global atau umum saja. Artinya kita hanya wajib percaya
bahwa Allah telah mengutus beberapa Nabi dan Rasul sebelum Nabi
Muhammad, tetapi kita tidak wajib mengetahui berapa jumlah
seluruhnya, siapa namanamanya, dan di mana masing-masing dari
mereka bertugas.
4.Beriman kepada hari akhir
adalah percaya bahwa sesudah kehidupan ini berakhir masih ada
kehidupan yang kekal yaitu hari akhir, termasuk semua proses dan
peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari kehancuran alam
semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh kehidupan
(qiyamah), kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur
(ba’as), dikumpulkannya seluruh umat manusia di padang Mahsyar
(hasyr), perhitungan seluruh amal perbuatan manusia di dunia
(hisab), penimbangan amal perbuatan tersebut untuk mengetahui
perbandingan amal baik dan amal buruk (wazn), sampai kepada
pembalasan dengan surga atau neraka (jaza).

4. Beriman Kepada Qadha dan Qadar

Secara etimologis, qadha’ bentuk mashdar dari qadha yang berarti


kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini qadha’ adalah
kehendak atau ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu.
Sedangkan qadar bentuk mashdar dari qadara yang berarti ukuran
atau ketentuan. Yaitu aturan atau ketentuan Allah terhadap segala
sesuatu. Beriman kepada qadha’ dan qadar yaitu percaya bahwa
segala ketentuan, undang-undang, peraturan, dan hukum ditetapkan
pasti oleh Allah untuk segala yang ada, yang mengikat antara sebab
dan akibat atas segala sesuatu yang terjadi. Firman Allah:
Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,
maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya. Dan apa saja
yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup
melepaskannya sesudah (Q.S. Fatir/35: 2)56.

3. Kedudukan aqidah dalam islam


Dalam ajaran islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting
ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran
Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang
dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah
suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau
badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap
saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak
agama (din) dan diterimanya suatu amal. Dalam ajaran Islam, aqidah
memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu Allah
subahanahu wata`ala berfirman
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak
menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)

Allah subahanahu wa ta`ala juga berfirman,


. َ‫ع َملُ َك َولَت َ ُكون ََّن ِ ِّمنَ ْالخَا ِس ِرين‬ َ ‫ى ِإلَي َْك َو ِإلَى الَّذِينَ ِمن قَ ْب ِل َك لَئِ ْن أ َ ْش َر ْك‬
َ َ‫ت لَيَحْ ب‬
َ ‫ط َّن‬ ِ ُ ‫َولَقَ ْد أ‬
َ ‫وح‬
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada
nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan
kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu
benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S.
az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi
dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek
aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi
wasalam berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota
Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan,
dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih
tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin
yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan
yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan
keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan
yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya.
Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat
dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat,
yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran
bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau
keimanan dalam ajaran Islam.

4. Hubungan Aqidah dengan Akhlak

Aqidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan


kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma
dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akhlak mendapatkan perhatian
istimewa dalam aqidah Islam. Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:
“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR.
Ahmad dan al-Baihaqi).
Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut
teori ini, agama
menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia dan
menjadikannya sebagai kewajiban
(taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau
siksa baginya.
Agama tidak mengutarakan akhlak semata tanpa dibebani rasa
tanggung jawab. Bahkan agama menganggap akhlak sebagai
penyempurna ajaran-ajarannya karena agama tersusun dari
keyakinan (aqidah) dan perilaku.
Oleh karena itu akhlak dalam pandangan Islam harus berpijak pada
keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati, namun
harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak
yang baik.Dengan kata lain bahwa untuk mempergunakan dan
menjalankan bagian aqidah dan ibadah, perlu pula berpegang kuat
dan teguh dalam mewujudkan bagian lain yang disebut dengan
bagian akhlak. Sejarah risalah ketuhanan dalam seluruh prosesnya
telah membuktikan bahwa kebahagiaan di segenap lapangan
kehidupan hanya diperoleh dengan menempuh budi pekerti
(berakhlak mulia). Hasbi Ash Shiddieqy di dalam bukunya Al Islam
mengatakan bahwa kepercayaan dan budi pekerti dalam pandangan
Al-Quran hampir dihukum satu, dihukum setaraf, sederajat. Lantaran
demikianlah Tuhan mencurahkan kehormatan kepada akhlak dan
membesarkan kedudukannya. Bahkan Allah memerintahkan seorang
muslim memelihara akhlaknya dengan kata-kata perintah yang pasti,
terang, dan jelas. Para muslim tidak dibenarkan sedikit juga
menyia-nyiakan akhlaknya, bahkan tak boleh
memudah-mudahkannya (Shiddieqy, tth). Aqidah tanpa akhlak
adalah seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat
berlindung di saat kepanasan dan tidak pula ada buahnya yang dapat
dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa aqidah hanya merupakan
layang-layang bagi benda yang tidak tetap, yang selalu bergerak.
Oleh karena itu Islam memberikan perhatian yang serius terhadap
pendidikan akhlak. Rasulullah SAW menegaskan bahwa
kesempurnaan iman seseorang terletak pada kesempurnaan dan
kebaikan akhlaknya. Sabda beliau: “Orang mukmin yang paling
sempurna imannya ialah mereka
yang paling bagus akhlaknya”. (HR. Muslim)
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat
diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah
laku tersebut merupakan perwujudan dari imannyayang ada di dalam
hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat;
dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai iman
yang lemah. Dengan kata lain bahwa iman yang kuat mewujudkan
akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan
akhlak yang jahat dan buruk. Nabi Muhammad SAW telah
menjelaskan bahwa iman yang kuat itu akan melahirkan perangai
yang mulia dan rusaknya akhlak berpangkal dari lemahnya iman.
Orang yang berperangai tidak baik dikatakan oleh Nabi sebagi orang
yang kehilangan iman. Beliau bersabda: ”Malu dan iman itu
keduanya bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilang pula
yang lain”. (HR. Hakim)
Kalau diperhatikan hadits di atas, nyatalah bahwa rasa malu sangat
berpautan dengan iman hingga boleh dikatakan bahwa tiap orang
yang beriman pastilah ia mempunyai rasa malu; dan jika ia tidak
mempunyai rasa malu, berarti tidak beriman atau lemah imannya.
Aqidah erat hubungannya dengan akhlak. Aqidah merupakan
landasan dan dasar pijakan untuk semua perbuatan. Akhlak adalah
segenap perbuatan baik dari seorang mukalaf, baik hubungannya
dengan Allah, sesama manusia, maupun lingkungan hidupnya.
Berbagai amal perbuatan tersebut akan memiliki nilai ibadah dan
terkontrol dari berbagai penyimpangan jika diimbangi dengan
keyakinan aqidah yang kuat. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat
dipisahkan, seperti halnya antara jiwa dan raga. Hal ini dipertegas
oleh Allah SWT dalam Al-Quran, yang mengemukakan bahwa
orang-orang yang beriman yang melakukan berbagai amal shaleh
akan memperoleh imbalan pahala disisi-Nya. Dia akan dimasukkan
ke dalam surga Firdaus. Penegasan ini dikemukakan dalam firman
Allah SWT. sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak
ingin berpindah dari padanya” (QS. Al-Kahfi: 107-108). Ayat di atas
memperlihatkan betapa pentingnya aqidah dan akhlak, dengan
keterpaduan keduanya seseorang akan memperoleh pahala yang
besar disisi Allah dengan jaminan surga Firdaus. Hubungan antara
aqidah dan akhlak ini tercermin dalam pernyataan Nabi Muhammad
SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang artinya: “Dari Abu
Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda, “orang mukmin yang
sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya”.
Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang
benar, karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya.
Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan benar, niscaya
akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya,
jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah. Dengan akhlak
yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa
menjalankan ibadah dengan baik dan benar, dengan itu ia akan
mampu mengimplementasikan tauhid ke dalam akhlak yang mulia
(akhlaqul karimah). Hubungan manusia dengan Allah SWT dan
kelakuannya terhadap Allah SWT ditentukan
dengan mengikut nilai-nilai aqidah yang ditetapkan. Karena
barangsiapa mengetahui Sang penciptanya dengan benar, niscaya ia
akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah.
Sehingga ia tidak mungkin menjauh atau bahkan meninggalkan
perilaku-perilaku yang telah ditetapkan-Nya.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dalam keseluruhan bangunan islam, aqidah dapat diibaratkan
sebagai fondasi. Dimana seluruh komponen ajaran islam tegak
diatasnya. Aqidah merupakan prinsip keyakinan. Dengan keyakinan
itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban
agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi aqidah
sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh allah swt
melalui wahyu kepada nabi Muhammad Saw.
2. Daftar Pustaka
Zaky Mubarok Latif, dkk., Akidah Islam, (Yogyakarta: UII Press,
1998), hlm. 80
Hasan al-Banna, Aqidah Islam, terj. M. Hasan Baidaei, (Bandung:
Al-Ma‟arif, 1980), hlm. 14.
19 Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, hlm. 5-6.
20 Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hlm. 65.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, Hlm. 145.
22 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang
Tiga Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, (Jakarta:
Yayasan al-Shofwa, 2000), hlm. 139
Al-Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj Ibnu Muslim
alQusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ as-Sahih}, (Lebanon: Darul Fikri),
vol-VIII, hlm. 52.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 762.
25 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga
Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, hlm. 140-141.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 285.
30 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 333.
31 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga
Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, hlm. 149.n dan
Terjemahannya, hlm. 456.
27 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga
Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, hlm. 141-142.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga
Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, hlm. 143-146.
Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS)
ISSN 2622-3740 (Online)
Vol. 1, No. 2, Desember 2018:122-126
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 285.
30 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 333.
31 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga
Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, hlm. 149.
33 Suyatno Prodjodikoro, Aqidah Islamiyyah dan Perkembangannya,
hlm. 862
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 233.
33 Suyatno Prodjodikoro, Aqidah
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, hlm. 83. 35
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Akidah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988),
hlm. 25. 36 Al-Imam Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj Ibnu
Muslim alQusyairi an-Naisaburi, al-Jami’ ash-Shahih, vol-VIII, hlm.
226.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Ulasan Tuntas Tentang Tiga
Prinsip Pokok, terj. Zainal Abidin Syamsuddin, hlm. 153.
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Akidah, hlm. 29-34
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Akidah, hlm. 43. 42 Departemen
Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm.
132.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 704 44 Departemen Agama Republik
Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 506.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 390
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Akidah, hlm. 43. 50 Masjfuk Zuhdi,
Studi Islam: Akidah, hlm. 63.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan
Terjemahannya, hlm. 138. 54 Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam,
hlm. 158

Anda mungkin juga menyukai