Anda di halaman 1dari 4

C.

Egocentric Speech

Tahap egocentric speech terjadi ketika seorang anak mencapai usia tiga tahun. Pada tahap ini anak
biasanya akan selalu melakukan percakapan tanpa mempedulikan orang lain. Anak sama sekali tidak
peduli apakah orang lain mendengarkannya atau tidak.

D. Inner Speech

Tahap ini memberikan fungsi yang sangat penting dalam mengarahkan perilaku seorang anak. Sebagai
contoh, pikiran seorang gadis cilik berusia lima tahun yang hendak mengambil buku yang terletak di atas
lemari. Ketika menyadari bahwa tangannya yang pendek tidak mampu meraih buku tersebut, dia
berpikir dan mengatakan kepada dirinya: "Aku butuh sebuah kursi kayu yang akan membantuku
mengambil buku di atas lemari". Gadis cilik itu kemudian mengambil kursi, memijakkan kaki di atasnya
dan mencoba meraih buku yang ingin diambilnya. Ketika tangannya belum bisa meraih buku tersebut,
dia kembali berpikir dan berkata kepada dirinya: "Aku sebaiknya berjinjit supaya bisa mengambil buku
tersebut". Setelah berjinjit, gadis cilik itu akhirnya berhasil menggapai yang diinginkannya. Contoh
tersebut memperlihatkan bagaimana gadis cilik berbicara kepada dirinya sendiri untuk memberi arah
kepada perilakunya. Orang dewasa sering juga menggunakan inner speech untuk mengarahkan perilaku
dan menyelesaikan tugas-tugas sulit yang harus diselesaikan.

Selain menekankan pentingnya interaksi sosial bagi perkembangan belajar seseorang, Vygotsky juga
sangat menekankan pentingnya peranan scaffolding. Dengan scaffolding dimaksudkan dukungan dan
bantuan yang diberikan kepada seorang anak yang sedang dalam proses awal belajar. Dukungan dan
bantuan ini perlahan-lahan akan semakin dikurangi, dan akan dihentikan secara total ketika anak sudah
mampu memecahkan masalah ataupun menyelesaikan tugas yang diembankan kepadanya. Hal ini
terutama dimaksudkan agar anak dapat belajar mandiri. Sebagai contoh, seorang guru matematika
memberikan beberapa soal matematika kepada para anak didiknya untuk dikerjakan di rumah. Ketika
para anak didik mengalami kesulitan, guru kemudian membantu mengerjakan soal-soal matematika
tersebut. Ketika anak didik sudah mampu menyelesaikan soal- soal matematika yang diberikan, guru
tersebut membiarkan anak didiknya mengerjakan sendiri tugas-tugas itu.

2.3 Belajar Menurut Konstruktivisme Sosial

Menurut konstruktivisme sosial, pengetahuan merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus juga
merupakan faktor dalam perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara
sosial (Berger & Luckmann, 1967). Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyataan hidup sehari-
hari yang selalu dialami secara bersama-sama dengan orang lain. Dunia ini sungguh nyata bagi 'saya' dan
bagi 'orang lain' dan 'saya' tidak pernah berhenti berkomunikasi dengan 'orang lain'.

Pengetahuan sosial dibentuk dan dipusakakan dari generasi yang satu ke generasi yang lain. Validitas
pengetahuan hidup sehari-hari diterima begitu saja oleh 'saya' dan 'yang lain', sampai-sampai terjadi
konflik. Organisme manusia berkembang secara biologis dalam relasi dan komunikasinya dengan orang
lain dan lingkungannya. Artinya, manusia ada dan hidup hanya dalam relasi dan komunikasinya dengan
manusia lain dan lingkungannya.

Dalam pandangan konstruktivisme sosial, pengetahuan ilmiah bukanlah konstruksi individual.


Pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial yang terbentuk karena relasi dan kontak-komunikasi
dengan orang lain. Kelompok konstruktivisme sosial menekankan pentingnya lingkungan alamiah,
masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan (Matthews, 1994). Mereka bahkan
cenderung mengambil dan mengadopsi begitu saja fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan
pengetahuan manusia dan mengesampingkan mekanisme psikologis individu.

3. Karakteristik Pembelajaran Konstruktif

Karakteristik pembelajaran konstruktif dalam kaitannya dengan anak didik dan lingkungan belajar adalah
sebagai berikut:

a. Anak didik tidak dipandang sebagai pribadi yang pasif, tetapi aktif dalam usaha mencapai tujuan;

b. Kegiatan belajar selalu mempertimbangkan keterlibatan aktif para anak didik;

c. Pengetahuan tidak dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari luar, melainkan sesuatu yang
dikonstruksi secara personal;

d. Pembelajaran bukanlah proses transmisi pengetahuan, melainkan suatu proses yang melibatkan
pengelolaan kelas;

e. Kurikulum tidak sekedar diperuntukkan untuk dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi
dan sumber.

Terkait dengan karakteristik pembelajaran konstruktif tersebut, Brooks dan Brooks (1999) berhasil
merumuskan delapan visi pembelajaran konstruktif sebagai berikut:

a. Pembelajaran disaji secara utuh dengan memberikan penekanan khusus pada konsep-konsep yang
besar;

b. Menggali pertanyaan anak didik dan dihargai;

c. Aktivitas pembelajaran dititikberatkan pada sumber data utama dan manipulasi bahan-bahan ajar
atau alat peraga;

c. Anak didik dipandang sebagai pemikir/subjek yang mampu memunculkan permasalahan;

d. Guru pada umumnya bertindak secara interaktif dan menjadi mediator lingkungan bagi para anak
didik;
e. Guru aktif dalam menggali dan memahami konsep para anak didik untuk diaplikasikan dalam kegiatan
pembelajaran berikutnya;

f. Penilaian hasil belajar anak didik terkait dengan keseluruhan proses dan materi pembelajaran.
Penilaian itu terjadi melalui pengamatan guru terhadap pekerjaan dan penampilan para anak didik
dalam kegiatan pembelajaran.

Tasker (1992:30) menggarisbawahi tiga fokus utama dalam teori belajar konstruktif, yaitu: (a) peran aktif
anak didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna; (b) pentingnya membuat koneksi atau
kaitan antargagasan untuk mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna; dan (c) mengaitkan gagasan
yang telah dikonstruksi dengan informasi baru yang diterima.

4. Penerapan Teori Konstruktivisme dalam Kegiatan Pembelajaran

Esensi teori belajar konstruktivisme adalah gagasan bahwa anak didik, secara individu, akan menemukan
dan mentransfer informasi- informasi kompleks jika mereka mampu menjadikan informasi-informasi
tersebut menjadi miliknya sendiri (Brooks & Brooks, 1999). Teori belajar konstruktivistik memandang
anak didik sebagai pribadi yang secara terus- menerus memeriksa informasi baru yang berlawanan
dengarn aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan tersebut jika sudah tidak sesuai lagi. Dalam
pendekatan belajar konstruktivisme, guru lebih bertindak sebagai pembantu dan pendorong agar proses
pengonstruksian pengetahuan oleh anak didik dapat berjalan dengan lancar. Dalam kerangka berpikir
konstruktivisme, guru bukanlah satu-satunya pemegang kunci kebenaran ilmiah dan, karena itu, guru
dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang anak didik di dalam belajar. Guru tidak
mentransfer pengetahuan yang dimilikinya kepada anak didik, melainkan membantu anak didik untuk
membentuk pengetahuannya sendiri. Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah
pengendalian, yang mencakup antara lain (Hatimah, dkk.,2007): Menumbuhkan kemandirian anak didik
dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak; Menumbuhkan
kemampuan mengambil keputusan dan bertindak melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan
anak didik; Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar anak didik
memiliki peluang yang optimal untuk berlatih. Pendekatan belajar konstruktivisme memiliki beberapa
strategi dalam proses belajar (Slavin, dalam Burhanuddin & Wahyuni, 2009), yaitu:

a. Top-down Processing

Dalam pembelajaran konstruktivisme, kegiatan belajar anak didi bermula dari masalah yang sangat
kompleks untuk dipecahkan Proses belajar ini akhirnya mampu menghasilkan berbagai keterampilan
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi. Sebagai contoh, anak didik
diminta untuk membuat beberapa kalimat dan menuliskannya di atas secarik kertas plano Selanjutnya
anak didik diminta untuk membaca kalimat-kalimat tersebut satu persatu, belajar tentang tata bahasa
dari kalimat kalimat tersebut menempatkan titik dan koma pada kalimat-kalimat yang telah mereka dan
akhirnya belajar tentang bagaimana buat sendiri.
b. Cooperative Learning

Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif dirancang dan disusun dalam sebuah usaha untuk:
(a) meningkatkan partisipasi para anak didik, (b) memfasilitasi anak didik dengan pengalaman sikap
kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, dan (c) memberikan kesempatan kepada
para anak didik untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama dengan sesama temannya latar belakang
(suku, agama, budaya) dan berbeda yang karakteristik. Dalam strategi pembelajaran kooperatif para
anak didik belajar secara berkelompok atau berpasang-pasangan dalam kelompok-kelompok kecil yang
anggotanya sangat heterogen. Para anak didik dilatih dan diarahkan untuk bekerja sama sebagai sebuah
tim dalam menyelesaikan masalah, tugas, ataupun mengerjakan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan
bersama. Pembelajaran kooperatif memberikan penekanan khusus kepada lingkungan sosial belajar dan
menjadikan kelompok tempat untuk mendapatkan pengetahuan, mengeksplorasi pengetahuan, dan
menantang pengetahuan yang dimiliki individu.

c. Generative Learning

Strategi belajar ini menekankan adanya integrasi aktif antara materi atau pengetahuan yang baru
diperoleh dengan skemata. Dengan penggunaan generative learning, para anak didik diharapkan akan
lebih mampu melakukan proses adaptasi ketika harus berhadapan dengan stimulus yang baru.
mengajarkan sebuah metode untuk melakukan kegiatan mental pada saat belajar, seperti membuat
pertanyaan, kesimpulan, ataupun analogi-analogi terhadap apa yang sedang dipelajari. Horsley (1990:59)
merunut tahapan implementasi teori belajar konstruktif dalam proses pembelajaran sebagai berikut
Tahap Apersepsi Tahap Eksplorasi Selain itu, generative learning Tahap penjelasan konsep dan diskusi,
Tahap pengembangan dan aplikasi konsep. Sementara Tytler (1996:20) merinci pelaksanaan teori
konstruktif ke dalam beberapa langkah kegiatan berikut: Memberikan kesempatan kepada para siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan kata-katanya sendiri; Mendorong dan memberikan
kesempatan kepada para siswa untuk menjadi lebih kreatif dan imajinatif; Memberikan kesempatan
kepada para siswa untuk mencoba gagasan-gagasan baru; Mendorong para siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. psikologi sosial Vygotsky
yang telah digunakan dalam menunjang metode pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis
proyek, dan pembelajaran inovatif (Nur, dalam Hatimah, dkk., 2007). Ada empat prinsip kunci yang
diturunkan dari teori belajar konstruktivisme, yaitu: (a) penekanan pada hakikat sosial dari
pembelajaran, di mana anak didik belajar melalui interaksinya dengan orang dewasa dan teman sebaya
yang lebih mampu; (b) ide bahwa belajar paling baik apabila konsep yang dipelajari berada Ide-ide
konstruktivisme modern banyak berlandaskan pada teori pada zona perkembangan dari para pemelajar;
(c) adanya penekanan pada hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat dari para
pemelajar yang disebut pemagangan kognitif"; dan (d) adanya penekanan pada kemandirian [scaffolding)
atau belajar menggunakan media [mediated learning Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan
bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai suatu
konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya.
Pengetahuan adalah suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat
mengalami proses belajar karena adanya pemahaman-pemahaman baru (Budiningsih, 2005).

Anda mungkin juga menyukai