Anda di halaman 1dari 2

Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw.

dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah


sekitar 15 abad lalu menandai awal penanggalan tahun tersebut. Selama kurun 13 tahun dakwah
beliau di Kota Makkah tidak mendapatkan sambutan yang menggembirakan. Yang justru beliau
hadapi adalah cercaan, hinaan, dan intimidasi dari kaum musyrikin dan kuffar Quraisy.
Akibatnya, perkembangan Islam di Makkah sangat lambat.
Oleh karena itu, Nabi diperintahkan oleh Allah meninggalkan kota kelahirannya Makkah
dan hijrah ke Madinah yang kemudian dikenal dengan Madinah al-Munawwarah (kota yang
disinari cahaya keislaman). Di kota inilah Nabi dan para sahabat Muhajirin mendapat sambutan
yang hangat dari penduduk asli Madinah (sahabat Anshar). Di kota ini pula Nabi berhasil
membangun masyarakat madani (civil society), yaitu sebuah potret masyarakat ideal (khaira
ummah).
Kemudian, dari Kota Madinah ini juga, Nabi bersama para sahabatnya (Muhajirin dan
Anshar) bangkit melakukan dakwah menyebarkan Islam. Akhirnya, dalam waktu yang relatif
singkat, agama Islam berkembang secara meluas ke seluruh Jazirah Arab, serta mampu menembus
berbagai pelosok dunia. Dengan demikian, maka peristiwa hijrah merupakan salah satu tonggak
penting bagi perkembangan Islam. Oleh karena itu, tidak mengherankan manakala Khalifah Umar
menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal perhitungan tahun baru Islam, yang kemudian dikenal
dengan tahun baru Hijriyyah.
Esensi Hijrah adalah adanya keinginan kuat Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya
untuk berubah; berubah dari masyarakat yang selalu ditindas, dizalimi, dan dianiaya, menjadi
masyarakat yang bebas dan merdeka menjalankan ajaran agama yang mereka yakini tanpa
penindasan, intimidasi, teror, dan beragam ancaman lainnya dari musyrikin Quraisy saat itu.
Peristiwa tersebut mengajarkan kita untuk tidak diam dan berhenti dalam kondisi yang
sama sekali tidak memberikan peluang kepada kita untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih
baik. Nabi Muhammad saw. yakin betul kalau penolakan yang dilakukan oleh "borjuis" Quraisy
pada waktu itu tidak akan menguntungkan masa depan dakwahnya. Maka Nabi pun mengambil
inisiatif (tentu saja dibimbing oleh wahyu) untuk mengalihkan medan perjuangan dari Makkah ke
Madinah.
Muhamad Iqbal, penyair dan filsuf Pakistan, dalam magnum opus-nya yang terkenal,
Reconstruction of Religious Thought in Islam, pernah berkata bahwa hidup ini seluruhnya berisi
perubahan. Tesis Iqbal ini senada dengan apa yang diungkapkan kiai mbeling, Emha Ainun
Nadjib, dengan redaksi bahasa yang agak berbeda. Ia mengatakan bahwa esensi kehidupan adalah
hijrah (perpindahan). Dengan demikian, hijrah merupakan gerakan dan loncatan besar manusia
yang meniupkan semangat perubahan dalam pandangan masyarakat. Pada gilirannya hijrah
menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku (jumud) menuju tangga
kemajuan dan kesempurnaan.
Kalau kita sepakat dengan tesis kedua tokoh tersebut bahwa seluruh isi dunia adalah perubahan,
maka yang kini kecil bisa menjadi besar. Yang sekarang kuat bisa menjadi lemah. Yang sekarang
berkuasa akan menjadi yang dikuasai. Yang sekarang miskin bisa menjadi kaya. Yang sekarang
pahlawan bisa menjadi "bajingan". Yang sekarang cantik bisa menjadi jelek. Dan masih banyak
fenomena perubahan yang terjadi pada pelbagai aspek kehidupan yang tidak mungkin terekam di
kertas yang kecil ini.
Karena dunia ini berisi perubahan, maka kehidupan dunia adalah kehidupan yang selalu bergerak
dalam proses; "proses menjadi". Oleh karena itu, apa yang sudah ada di masa lalu sama sekali
tidak berarti, dan bisa musnah oleh sesuatu yang kita lakukan saat ini. Dan apa yang kita lakukan
saat ini juga tidak berarti apa-apa, jika esok kita melakuakan sesuatu yang bisa menghapuskan apa
yang kita amalkan hari ini. Itu sebabnya, al-Quran tidak menyuruh kita untuk melihat ke belakang,
tetapi menganjurkan agar pandangan kita senantiasa diarahkan ke masa depan. Adapun apa yang
telah terjadi di masa lalu harus dijadikan pijakan untuk malngkah di masa yang akan datang. Allah
berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang akan dilakukan untuk hari esok(akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah. Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Al Hasyar[59]:18).
Jadi, kalau memang seseorang terus menerus bergerak dalam proses, maka apa yang
dimiliki dan amalkan hari ini tidak bisa dijadikan ukuran bagi baik atau tidaknya kehidupan
seseorang. Penentuannya adalah akhir kehidupan (maut) yang dengan itu tidak ada lagi yang
disebut hari esok.

Anda mungkin juga menyukai