Anda di halaman 1dari 422

ADITYA PERDANA, BENGET MANAHAN SILITONGA,

FERRY DAUD M. LIANDO, FERRY KURNIA RIZKIYANSYAH,


KRIS NUGROHO, MADA SUKMAJATI,
PRAMONO U. TANTHOWI, TITI ANGGRAINI

TATA KELOLA PEMILU


DI INDONESIA

EDITOR :
PRAMONO U. TANTHOWI, ADITYA PERDANA dan MADA SUKMAJATI
TATA KELOLA PEMILU
DI INDONESIA

ADITYA PERDANA, BENGET MANAHAN SILITONGA


FERRY DAUD M. LIANDO, FERRY KURNIA RIZKIYANSYAH,
KRIS NUGROHO, MADA SUKMAJATI,
PRAMONO U. TANTHOWI, TITI ANGGRAINI

EDITOR:
PRAMONO U. TANTHOWI
ADITYA PERDANA
MADA SUKMAJATI

KOMISI PEMILIHAN UMUM


REPUBLIK INDONESIA
TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA
Penulis :
Aditya Perdana
Benget Manahan Silitonga
Ferry Daud M. Liando
Ferry Kurnia Rizkiyansyah
Kris Nugroho
Mada Sukmajati
Pramono U. Tanthowi
Titi Anggraini
ISBN : 978-602-50455-5-4
Editor :
Pramono U. Tanthowi
Aditya Perdana
Mada Sukmajati
Penyunting :
Tim Grafis KPU RI
Desain Sampul dan Tata Letak :
Tim Grafis KPU RI
Penerbit :
KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA
Jalan Imam Bonjol No. 29 Menteng. Jakarta Pusat
Telp. 021 31937223, Fax. 021 3157759
Email : info@kpu.go.id
Cetakan Pertama, September 2019
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulisan ini
dalam bentuk dan dengan cara apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit.
SAMBUTAN KETUA KPU RI

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga buku ini dapat diselesaikan. Buku Tata Kelola Pemilu di Indonesia ini
adalah buku yang akan menyebarkan informasi tentang kepemiluan di
Indonesia dan sekaligus menjadi buku pegangan yang akan memandu para
Anggota KPU seluruh Indonesia dalam menjalankan tugasnya sebagai
penyelenggara Pemilu.

Terima kasih juga kami sampaikan kepada Tim Penulis dan semua pihak
yang telah berkontribusi dalam memberikan masukan terhadap modul ini,
serta yang telah ikut membantu dalam penyelesaian buku ini. Terkhusus
terima kasih kami kepada Prof. Ramlan Surbakti, MA.,Ph.D. dan Ibu Prof. Dr.
Valina Singka Subekti, M.Si. yang telah berkenan menjadi reviewer Buku ini.

Buku Tata Kelola Pemilu di Indonesia ini dirancang untuk memperkuat


kompetensi Anggota KPU dari sisi pengetahuan, keterampilan dan sikap
sehingga dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas. Buku ini
menjabarkan nilai, prinsip dan asas pemilu, kelembagaan penyelenggara
pemilu, sistem pemilu, tahapan pemilu, manajemen penyelenggaraan pemilu,
juga penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu, serta Pengalaman
Terbaik para Penyelenggara Pemilu di berbagai daerah di Indonesia. Tentunya
ini sangat penting mengingat kinerja lembaga Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia sebagai penyelenggara Pemilu dituntut berkualitas untuk
kepentingan publik.

Buku ini merupakan edisi revisi dari buku Fondasi Tata Kelola Pemilu
pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tentu
masih ada kekurangan dan sangat terbuka untuk terus dilakukan perbaikan
dasn penyempurnaan di masa mendatang. Untuk itu, kritik dan saran terhadap
penyempurnaan modul ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi

TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA iii


manfaat bagi para Anggota KPU khususnya dan bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Jakarta, September 2019


Ketua KPU RI

ARIEF BUDIMAN

iv TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Kata Pengantar

Tata kelola dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) merupakan hal


fundamental dalam rangka mewujudkan demokrasi elektoral yang berintegritas.
Tata kelola pemilu tersebut menyangkut kelembagaan pemilu sebagai aspek
utama, selain aspek yang lainnya, yakni sistem pemilu dan proses pemilu,
manajemen pemilu dan sistem penegakan hukum pemilu. Indonesia mempunyai
pengalaman panjang dalam mendesain tata kelola pemilu yang konstitusional
sampai sejauh ini.

Tata kelola pemilu sangat terkait dengan fungsi, tugas dan wewenang dari
penyelenggara pemilu, dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU),
sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kemandirian
penyelenggara pemilu merupakan prinsip utama agar pemilu memiliki legitimasi
dan kredibilitas. Mandat konstitusi menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan
oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Mandat ini harus diterjemahkan dalam tataran pengetahuan dan ketrampilan
yang lebih operasional sehingga KPU dapat lebih efektif dan responsif dalam
melayani hak konstitusional warga negara.

KPU dituntut untuk memiliki integritas, pemahaman dan profesionalitas yang


tinggi sehingga mampu berinteraksi dalam perhelatan pemilu yang kompleks dan
dinamis. Pengetahuan, kesadaran, keterampilan, terobosan dan inovasi
penyelenggara di bidang kepemiluan dan demokrasi perlu terus diperkuat dalam
rangka memperkuat tata kelola pemilu (electoral governance) yang semakin
mumpuni sehingga dapat melahirkan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik ke
depan. Dengan demikian, sebagai upaya agar mampu melayani hak konstitusional
warga negara yang berintegritas dan professional, penyelenggara pemilu perlu
dibekali pemahaman dan ketrampilan teknis kepemiluan yang komprehensif.
Buku ini hadir dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut.

Buku yang berjudul Tata Kelola Pemilu di Indonesia ini sebenarnya dikembangkan
dari buku yang berjudul Fondasi Tata Kelola Pemilu yang diterbitkan oleh KPU RI
pada tahun 2017. Penyusunannya berdasarkan konstruksi pemahaman normatif
serta teknis kepemiluan yang dikombinasikan dengan pengalaman empirik dan
praktek-prakter terbaik (best practises) penyelenggaraan pemilu di pusat maupun
di daerah. Buku ini memberikan gambaran besar tentang desain tata kelola
pemilu di Indonesia. Ada banyak catatan penting yang dielaborasi di dalam buku

TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA v


ini dalam upaya mengkonstruksi penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dan
profesional.

Selain untuk para penyelenggara pemilu, buku yang menarasikan pemahaman-


pemahaman penting pada aspek tata kelola penyelenggaraan pemilu di Indonesia
ini juga didedikasikan untuk kalangan akademisi dan pegiat pemilu yang memiliki
konsen dalam bidang kepemiluan dan demokrasi. Kami berharap buku ini juga
dapat menjadi rujukan bagi para pihak terkait untuk mendorong penyelenggaraan
pemilu secara profesional dan kolegial.

Dalam kesempatan baik ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Ketua
dan Anggota KPU RI beserta jajaran Sekretariat Jenderal KPU RI (Biro Sumber Daya
Manusia) atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada kami untuk
dapat berkontribusi di dalam penyusunan buku sederhana ini. Terimakasih juga
kami sampaikan kepada KPU Provinsi Bali dan KPU Kabupaten Sleman yang juga
telah memfasilitasi kami selama proses penyusunan buku ini. Juga kepada KPU
Provinsi Sumatera Utara, KPU Provinsi DKI Jakarta, KPU Provinsi Jawa Barat, KPU
Provinsi Jawa Timur, KPU Provinsi Bali, KPU Provinsi Sulawesi Utara, KPU Provinsi
Sulawesi Selatan, KPU Provinsi Gorontalo, KPU Kabupaten Karo, dan KPU
Kabupaten Batang atas partisipasinya dalam forum Diskusi Kelompok Terpumpun.
Apresiasi dan penghargaan tentu saja juga kami haturkan kepada para penulis
yang berasal dari berbagai latar belakang, yakni praktisi, pegiat pegiat, dan
akademisi yang memiliki topik studi kepemiluan. Tak lupa, kami menyampaikan
terimakasih kepada Prof. Ramlan Surbakti (Guru Besar Ilmu Politik Unair) dan Prof.
Valina Singka Subekti (Guru Besar Ilmu Politik UI) yang telah bersedia memberikan
masukan dan umpan balik untuk naskah awal dari buku ini.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Tentu saja buku ini tidak mampu untuk
mencakup semua topik terkait dengan tema tata kelola pemilu. Dengan demikian,
saran dan masukan selalu kami harapkan demi perbaikan kualitas dari buku.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi
penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas di masa depan. Selamat membaca
dan bercengkrama.
Jakarta, Agustus 2019

Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah


(Ketua Tim Penyusun Buku)
vi TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA
Daftar Isi

Sambutan Ketua KPU RI iii


Kata Pengantar v
Daftar isi vii
Daftar gambar xi
Daftar tabel xiii
BAB 1 TATA KELOLA PEMILU
(Mada Sukmajati dan Aditya Perdana) 2
A. Pemilu dan Demokrasi 2
B. Konsep Tata Kelola Pemilu 3
C. Tata Kelola Pemilu di Indonesia 10
D. Politik Kepemiluan 13
E. Tujuan Buku ini 18
F. Sistematika Buku 20
BAB 2 NILAI DAN ASAS PEMILU
(Kris Nugroho dan Ferry Daud M Liando) 23
A. Pengantar 23
B. Pemilu Berintegritas (Electoral Integrity) 23
C. Inklusifitas (Inclusiveness) 32
D. Pemilu Luber dan Jurdil di Indonesia 36
D.1. Makna Pemilu Luber dan Jurdil 39
D.2. Mengapa Pemilu Harus Luber dan Jurdil 42
D.3. Mewujudkan Pemilu Luber dan Jurdil 48
E. Penutup 56
BAB 3 SISTEM PEMILU
(Mada Sukmajati) 58
A. Pengantar 58
B. Sistem Pemilu 59
C. Unsur-Unsur dalam Sistem Pemilu 66
D. Sejarah Singkat Sistem Pemilu di Indonesia 75
E. Sistem Pemilu di Indonesia Berdasarkan UU Pemilu 86
F. Sistem Pemilu dan Konsekuensinya 103
G. Penutup 107

TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA vii


BAB 4 KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILU
(Benget Manahan Silitonga dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah) 109
A. Pengantar 109
B. Lembaga Penyelenggara Pemilu 110
C. Lembaga Penyelenggara Pemilu di Indonesia 114
D. Prinsip dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu 120
E. Komisi Pemilihan Umum (KPU) 129
E.1. Struktur Organisasi KPU 132
E.2. Pengambilan Keputusan 136
E.3. Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPU 138
E.4. Sekretariat Jenderal KPU 141
E.5. KPU Provinsi 145
E.6. KPU Kabupaten/Kota 152
E.7. Lembaga Penyelenggara Pemilu di Aceh 158
E.8. Hubungan KPU, KPU/KIP Provinsi dan
KPU/KIP Kabupaten/Kota 161
E.9. Pengawasan Internal KPU 162
E.10. Hubungan KPU dengan Presiden dan DPR 166
E.11. Hubungan KPU RI dengan LPP di Luar Negeri 167
E.12. Isu-Isu Strategis Kelembagaan KPU 168
F. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) 169
F.1. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Bawaslu 169
F.2. Bawaslu Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) 173
G. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 174
G.1. Tugas, Wewenang dan Kewajiban DKPP 176
H. Hubungan Antara LPP 177
H.1. Tips Membangun Relasi yang Sinergis
KPU–Bawaslu–DKPP 180
I. Penutup 181
BAB 5 TAHAPAN PEMILU
(Aditya Perdana dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah) 184
A. Pengantar 184
B. Kerangka Tahapan Pemilu 184
C. Tahapan Pemilu di Indonesia 186
D. Tahapan Persiapan Pemilu 191
D.1. Pembentukan Regulasi 191
D.2. Perencanaan dan Anggaran Pemilu 192

viii TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


D.3. Rekrutmen Badan Penyelenggara Pemilu 193
D.4. Sosialisasi 195
D.5. Logistik 196
D.6. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya 197
E. Tahapan Pelaksanaan Pemilu 200
E.1. Pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap 200
E.2. Pencalonan 203
E.3. Masa Kampanye 207
E.4. Pemungutan dan Penghitungan suara 212

E.5. Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Penetapan


Hasil Pemilu 217
E.6. Identifikasi tantangan/hambatan dan cara mengatasinya
dalam tahapan pelaksanaan 218
F. Tahapan Akhir Pemilu 222
F.1. Sengketa Hasil Pemilu 223
F.2. Evaluasi dan Rekomendasi Perbaikan Pemilu 224
F.3. Identifikasi tantangan/hambatan dan cara mengatasinya
dalam tahapan akhir pemilu 225
G. Penutup 226
BAB 6 MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU
(Ferry Kurnia Rizkiyansyah dan Benget Manahan Silitonga) 229
A. Pengantar 229
B. Perencanaan Strategis 230
C. Pendanaan Pemilu 242
D. Evaluasi Kinerja Lembaga Penyelenggara Pemilu 254
E. Manajemen Jaringan dengan Pemangku Kepentingan 256
F. Infrastruktur Penyelenggara Pemilu 259
1. Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) 262
2. Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH) 265
3. Sistem Informasi Perhitungan Suara (SITUNG) 269
4. Sistem Informasi Pencalonan (SILON) dan Portal Informasi
Pemilu 2019 273
5. Sistem Informasi Logistik (SILOG) 276
6. Website KPU dan Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum 278
G. Penutup 285

TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA ix


BAB 7 PENEGAKAN HUKUM PEMILU DAN PENYELESAIAN
MASALAH HUKUM PEMILU
(Titi Anggraini) 288
A. Pengantar 288
B. Kerangka Hukum Pemilu dan Standar Internasional
Penegakan Hukum Pemilu 289
C. Prinsip-Prinsip Penyelesaian Pelanggaran dan
Sengketa Pemilu 292
D. Jenis Pelanggaran dan Sengketa Pemilu 299
E. Penanganan Pelanggaran Pemilu 307
F. Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu 313
G. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu 330
H. Penutup 347
BAB 8 PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH
(Ferry Daud Liando) 350
A. Pengantar 350
B. Kondisi Darurat 351
C. Manajemen Krisis 353
D. Pengalaman Baik dari Berbagai Daerah 356
D.1. Soliditas Tim 356
D.2. Pendataan Pemilih di Daerah Padat Penduduk 359
D.3. Manajemen Situng 363
D.4. Manajemen Sidalih 367
D.5. Partisipasi Masyarakat 369
D.6. Potensi Konflik yang Tinggi 371
D.7. Mencegah PSU 373
D.8. Pelayanan Pemilih di Daerah Bencana Alam 374
D.9. Mengatasi Regulasi yang Tidak Sempurna 375
E. Belajar dari Pengalaman 378
F. Penutup 381
BAB 9 PENUTUP
(Pramono Ubaid Tanthowi) 383
Daftar Pustaka 388
Profil Tim Penulis Buku 399

x TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Daftar Gambar

Gambar 1.1. Siklus Pemilu 6


Gambar 1.2. Tata Kelola Pemilu di Indonesia 12
Gambar 2.1. Pemilu Berintegritas dan tiga pihak yang berkaitan 31
Gambar 2.2. Ruang Lingkup Pemilu yang inklusif 34
Gambar 2.3. Asas Pemilu di Indonesia 39
Gambar 2.4. Tujuan Pemilu Luber dan Jurdil 45
Gambar 2.5. Strategi Pemilu Luber dan Jurdil 50
Gambar 3.1. Keluarga Sistem Pemilu 60
Gambar 3.2. Varian dari Sistem Perwakilan Berimbang 64
Gambar 3.3. Perbandingan Sistem Pemilu di Indonesia 82
Gambar 3.4. Keterwakilan Perempuan 105
Gambar 4.1. Model Lembaga Penyelenggara Pemilu 111
Gambar 4.2. Hubungan Desain LPP, Kinerja LL dan Hasil Proses Pemilu 114
Gambar 4.3. Transformasi Lembaga Penyelenggara Pemilu 119
Gambar 4.4. Struktur Kelembagaan Pemilu 133
Gambar 4.5. Pembagian Divisi dan Uraian Tugas Divisi KPU 135
Gambar 4.6. Mekanisme Rapat Pleno 137
Gambar 4.7. Struktur Sekretariat Jenderal KPU 143
Gambar 4.8. Relasi KPU-Bawaslu-DKPP 180
Gambar 5.1. Siklus/Tahapan Pemilu 185
Gambar 5.2. Tahapan Pengadaan Logistik Pemilu 2019 198
Gambar 5.3. Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 202
Gambar 5.4. Pendaftaran dan Verifikasi Calon Anggota DPR dan DPRD
Pemilu 2019 206
Gambar 5.5. Metode dan Kampanye Pemilu 2019 209
Gambar 5.6. Jenis Dana Kampanye Pemilu 2019 211
Gambar 5.7. Laporan Dana Kampanye Pemilu 2019 212
Gambar 5.8. Lini Masa Tahapan Pemungutan Suara Hingga Pelantikan
Pemilu 2019 213
Gambar 5.9. Situng dan Rekapitulasi Hasil Dalam Pilkada 2018 216
Gambar 6.1. Alur Perencanaan Strategis 231
Gambar 6.2. Analisis SWOT 233
Gambar 6.3. Langkah Siklus Perencanaan Strategis 235
Gambar 6.4. Peta Strategis KPU 2015-2019 238
Gambar 6.5. Alokasi Besaran Anggaran dalam Pemilu 242
Gambar 6.6. Siklus APBN 246

TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA xi


Gambar 6.7. Skema Penyusunan Dana Hibah Pilkada 250
Gambar 6.8. Mekanisme Registrasi Hibah 251
Gambar 6.9. SIPOL 265
Gambar 6.10. SIDALIH 269
Gambar 6.11. SITUNG 273
Gambar 6.12. SILON 275
Gambar 6.13. Situs Informasi Kepemiluan 276
Gambar 6.14. SILOG 277
Gambar 6.15. Website KPU RI 278
Gambar 6.16. JDIH KPU 279
Gambar 7.1. Kerangka Hukum Penyelesaian Masalah Hukum Pemilu
di Indonesia 299
Gambar 7.2. Skema Pengaduan dalam Penanganan Pelanggaran Etika
Pemilu 309
Gambar 7.3. Alur Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum 2019 312
Gambar 7.4. Alur Penanganan Pelanggaran Pilkada 313
Gambar 7.5. Pemohon dan Termohon Dalam Sengketa Proses Pemilu 326
Gambar 7.6. Prinsip Umum 326
Gambar 7.7. Tahapan Adjudikasi 327
Gambar 7.8. Alur/proses beracara gugatan sengketa pemilu 329
Gambar 7.9. Penanganan Sengketa Pilpres 338
Gambar 7.10. Alur Pendaftaran Permohonan Langsung 339
Gambar 7.11. Pendaftaran Permohonan Online 340

xii TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Daftar Tabel

Tabel 1.1. Elemen Tata Kelola Pemilu 4


Tabel 2.1. Penerapan dan tantangan Asas Pemilu di Indonesia 48
Tabel 2.2. Dasar Hukum Penyelenggara Pemilu Jujur Dan Adil 53
Tabel 3.1. Sistem Pemilu Legislatif di Dunia Tahun 2000-an 61
Tabel 3.2. Alokasi Kursi Versi D’Hondt 72
Tabel 3.3. Alokasi Kursi Versi The Seinte-Legue 73
Tabel 3.4. Alokasi Kursi Versi Kuota Hare 73
Tabel 3.5. Alokasi Kursi Versi Metode Kuota Droop 74
Tabel 3.6. Perbandingan Kursi DPR dari Pemilu 1955-Pemilu 2019 78
Tabel 3.7. Perbandingan Sistem Pemilu 1955-Pemilu 2014 untuk
Pemilu DPR RI 80
Tabel 3.8. Para Kandidat dan Perolehan Suaranya di Pilpres 2004-2019 84
Tabel 3.9. Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 88
Tabel 3.10. Sistem Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota 94
Tabel 3.11. Sistem Pemilu DPD 97
Tabel 3.12. Sistem Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota 101
Tabel 4.1. Prinsip-prinsip Penyelenggara Pemilu di Indonesia 122
Tabel 4.2. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas KPU Provinsi
(dengan 7 anggota) 147
Tabel 4.3. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas KPU Provinsi
(dengan 5 anggota) 148
Tabel 4.4. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas Divisi KPU
Kabupaten/Kota 154
Tabel 4.5. Relasi kelembagaan KPU RI dengan KPU daerah 161
Tabel 4.6. Tugas Pelaporan KPU kepada Pemerintah 167
Tabel 5.1. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya di
Tahap Persiapan Pemilu 198
Tabel 5.2. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya
Di Tahap Pelaksanaan Pemilu 219
Tabel 5.3. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya
Di Tahap Pasca Pemilu 225
Tabel 6.1. Sasaran Strategis KPU Berdasarkan RPJMN 239
Tabel 6.2. Arah Kebijakan dan Strategi KPU 239
Tabel 6.3. Contoh Rencana Strategis Australia Election Commission 240

TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA xiii


Tabel 6.4. Perbandingan Presentase Anggaran Pilkada dan Kehadiran
Petahana 252
Tabel 6.5. Kebutuhan Bagi Penyelenggara Pemilu 258
Tabel 7.1. Kategorisasi Masalah Hukum Pemilu 306
Tabel 7.2. Alokasi Waktu Untuk Menyiapkan Jawaban 343
Tabel 7.3. Contoh Pemetaan Potensi Perselisihan Hasil Pemilu 345

xiv TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Komisioner KPU RI Periode 2017-2022
BAB 1
TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA

Mada Sukmajati dan Aditya Perdana

A. Pemilu dan Demokrasi

Indonesia telah memiliki pengalaman panjang dalam penyelenggaraan


pemilihan umum (pemilu), baik yang diselenggarakan dalam rejim
pemerintahan yang otoritarian ataupun demokratis. Pemilu pertama
diselenggarakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan
Konstituante. Banyak pihak menilai bahwa Pemilu 1955 diselenggarakan
secara demokratis (Feith 1999). Pemilu 1955 kemudian melahirkan tata
politik yang kemudian dikenal secara populer dengan sebutan “periode
demokrasi parlementer” atau “periode demokrasi liberal”.

Dalam kurun waktu 32 tahun (1966-1998), Indonesia berada dalam periode


pemerintahan Orde Baru dengan watak dan karakter rejim otoritarian yang
mendominasi sistem politik dan pemerintahan. Rejim Orde Baru telah
menyelenggarakan Pemilihan Umum pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997 (Liddle 1992). Namun demikian, penyelenggaraan pemilu-
pemilu tersebut masih jauh dari nilai-nilai demokrasi (Haris 1998).
Rekayasa, intimidasi, minimnya kontestasi, dan ketidaksetaraan di antara
peserta pemilu menjadi sebagian dari karakter penyelenggaraan pemilu-
pemilu selama periode Orde Baru.

Pemilu pertama yang diselenggarakan oleh pemerintahan Orde Baru


dilakukan pada tahun 1971 dan mengikutsertakan 10 Parpol. Namun,
setelahnya, pemerintah menerapkan kebijakan fusi Parpol di tahun 1973
dengan memaksa Parpol-Parpol berideologi Islam bergabung ke dalam PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) (Haris 1991). Sementara itu Parpol-Parpol
yang berideologi nasionalis dan Kristen untuk bergabung ke dalam PDI
(Partai Demokrasi Indonesia) (Lay 2010). Pemerintah sendiri kemudian
memperkuat Golkar (Golongan Karya) sebagai sebuah mesin politik bagi
penguasa dengan melibatkan aktor militer dan birokrasi (Suryadinata,

2 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


1992). Kebijakan fusi kemudian diikuti oleh kebijakan asas tunggal dan
kebijakan massa mengambang untuk seluruh Parpol di tahun 1985. Tidak
mengherankan jika kemudian Golkar selalu menjadi pemenang di setiap
pemilu pada era Orde Baru. Bagi pemerintah Orde Baru, pemilu hanya
merupakan instrumen politik untuk mendapat legitimasi kekuasaan.

Pasca Orde Baru, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan pemilu


dengan mengedepankan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali secara berkala. Pemilu pertama di periode
Reformasi ini diselenggarakan pada tahun 1999 dan disusul dengan secara
rutin setiap lima tahunan di tahun 2004, 2009, 2014 dan 2019. Sejak Pemilu
2004, Indonesia menyelenggarakan dua jenis pemilu yang baru, yakni
pemilu presiden/wakil presiden secara langsung dan pemilu DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) sebagai bagian dari pemilu legislatif. Sebelumnya,
hanya dikenal pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR RI, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Bahkan, sejak tahun 2005, Indonesia juga telah menyelenggarakan


pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah (Pilkada) secara langsung
untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur di tingkat Provinsi dan
Bupati/Wakil Bupati di tingkat kabupaten serta Walikota/Wakil Walikota di
tingkat kota. Atas dasar pertimbangan efektifitas dan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemilu, Indonesia juga telah melaksanakan Pilkada secara
serentak pada tahun 2015, 2017, dan 2018. Pada Pemilu 2019, Indonesia
juga telah menyelenggarakan pemilu secara serentak untuk lima jenis
pemilu, yakni pemilu Presiden/Wakil Presiden (pemilu eksekutif) dan
pemilu untuk memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota (pemilu legislatif).

B. Konsep Tata Kelola Pemilu

Tata kelola pemilu (electoral governance) merupakan kombinasi atas dua


konsep utama, yaitu tata kelola (governance) dan pemilihan umum
(election). Tata kelola pemilu, menurut Surbakti (2016), adalah salah satu
dari empat topik besar dalam studi kepemiluan selain sistem pemilu,
perilaku pemilih, dan pemasaran politik.

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 3


Setidaknya, ada beberapa literatur yang berusaha untuk menjelaskan
konsep tata kelola pemilu. Mozaffar dan Schedler (2002) mendefinisikan
tata kelola pemilu sebagai “sebuah kumpulan atas aktivitas-aktivitas yang
saling terkait satu sama lain yang melibatkan pembuatan aturan,
pelaksanaan aturan dan ajudikasi aturan.” Lebih jauh, keduanya
menjelaskan tiga tingkatan dalam tata kelola pemilu. Pertama adalah
pembuatan aturan, di mana tata kelola pemilu fokus pada pemilihan dan
pendefinisian aturan-aturan dasar dari permainan kepemiluan. Terdapat
dua varian di tingkatan pertama ini, yaitu aturan-aturan atas kompetisi
pemilu (formula, besaran daerah pemilihan, batasan-batasan daerah
pemilihan, ukuran lembaga perwakilan, waktu, dan jaminan hak politik) dan
aturan-aturan atas tata kelola kepemiluan (pendaftaran pemilih,
pendaftaran peserta pemilu, pendanaan dan regulasi kampanye,
pemantauan pemilu, desain surat suara, pemungutan, penghitungan dan
tabulasi suara, lembaga penyelenggara pemilu, dan regulasi tentang
perselisihan hasil pemilu). Kedua adalah pelaksanaan aturan, dimana tata
kelola pemilu fokus pada pengorganisasian permainan kepemiluan
(pendaftaran pemilih dan peserta pemilu, pendaftaran pemantau pemilu,
pendidikan pemilih, pengorganisasian pemilu, dan pemungutan suara,
penghitungan dan pelaporan). Ketiga adalah ajudikasi aturan, dimana tata
kelola pemilu sangat terkait dengan penetapan hasil pemilu dan
perselisihan hasil pemilu (pengajuan kasus, pemrosesan kasus, dan
penetapan hasil pemilu).

Tabel 1.1. Elemen Pemilu

Sumber: Mozaffar dan Schedler (2002; 8)

4 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Selain itu, Torres dan Dìaz (2015) mendefinisikan tata kelola pemilu sebagai
“sebuah siklus yang berakar di dalam desain kebijakan, melalui mekanisme
administrasi dan prinsip keadilan internal pemilu, dengan kemungkinan
bahwa siklus ini akan berakhir pada sistem regional atas revisi hak asasi
manusia.” Ada beberapa poin dari definisi yang ditawarkan oleh Torres dan
Diaz ini. Pertama, karena pemilu merupakan sebuah siklus, maka sebuah
tahapan dalam tata kelola pemilu akan bisa kembali ke tahapan sebelumnya
atau bahkan ke tahapan yang paling akhir. Kedua, adanya proses
review/kajian di masing-masing tahapan. Ketiga, jika seluruh tahapan
berakhir, maka mungkin akan ada revisi desain dan lembaga-lembaga
kepemiluan sebagai tahapan awal.

Lebih jauh, masih menurut Torres dan Dìaz, siklus tata kelola pemilu
melibatkan kuantitas dan watak dari aturan-aturan kepemiluan. Selain itu,
siklus tata kelola pemilu juga melibatkan instruksi-instruksi dari pemerintah
dan semua aktor pemangku kepentingan, yaitu lembaga penyelenggara
pemilu dan aktor politik yang merupakan pembuat kebijakan dan sekaligus
adalah peserta pemilu. Dengan kata lain, tata kelola pemilu melibatkan
siklus berkelanjutan atas perilaku para aktor pemangku kepentingan pada
tahapan-tahapan yang berbeda di dalam sebuah proses kepemiluan. Dalam
konteks ini, tata kelola pemilu tidak sekedar melulu bersifat administratif,
melainkan juga bersifat sangat politis.

Ide Mozaffar dan Schedler (2002) serta Torres dan Dìaz (2015) sebagaimana
dijelaskan di atas mirip dengan gagasan yang dikembangkan oleh Catt. et al.
(2014) yang menjelaskan tentang siklus kepemiluan yang terdiri dari
tahapan (lihat tabel 1.1.):
- penetapan kerangka legal: tahapan ini sebagai dasar awal dan bersifat
fundamental untuk menjadi aturan hukum. Untuk itu, dalam tahapan ini
revisi sistem pemilu dan batasan-batasan kepemiluan, bentuk dan
kewenangan lembaga penyelenggara pemilu, ataupun aturan perilaku
dalam pelaksanaan pemilu dapat diajukan sebagai bahan legislasi
kepemiluan;
- perencanaan dan implementasi: tahapan ini menyangkut penganggaran,
pendanaan dan pembiayaan, kalender kepemiluan, rekruitmen
penyelenggara dan pelelangan/tender serta logistik dan keamanan;

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 5


- training dan pendidikan: tahapan ini menyangkut bagaimana pendidikan
kewarganegaraan dan informasi kepemiluan disampaikan kepada para
pemilih;
- pendaftaran pemilih: tahapan ini menyangkut soal pendaftaran pemilih,
akreditasi para pemantau, pendaftaran peserta pemilu, dan akses
kepada media;
- kampanye pemilu: tahapan ini mengkoordinasikan kampanye dan
pembiayaan kampanye dari Parpol;
- pemungutan suara: tahapan ini menyangkut pemungutan suara,
pemungutan suara spesial dan eksternal, penghitungan suara, dan
tabulasi hasil suara;
- verifikasi hasil: tahapan ini menyangkut penetapan hasil resmi,
perselisihan hasil pemilu, dan audit serta evaluasi; dan
- pasca pemilu: tahapan ini terkait dengan update data pemilih, reformasi
regulasi, pengelolaan data dan riset.

Gambar 1.1. Siklus Pemilu

Sumber: Catt.et al. (2014; 16)

6 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Torres dan Dìaz (2015) menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam
studi tata kelola pemilu. Pertama, pendekatan yang fokus pada lembaga-
lembaga pemilu, lebih spesifik lagi pada administrasi kepemiluan. Kedua,
pendekatan yang fokus pada aturan-aturan dan standar-standar
kepemiluan. Ketiga, pendekatan yang lebih komprehensif yang melihat tata
kelola pemilu sebagai sebuah proses yang rumit yang melibatkan berbagai
aktor, norma, dan kewenangan dan meliputi sistem aturan di tingkat lokal
sampai nasional, tingkatan kepemerintahan, lembaga-lembaga pemilu, dan
aktor-aktor politik (rakyat, para calon dan parpol). Secara implisit, keduanya
kemudian merekomendasikan bahwa konsep tata kelola pemilu seyogianya
menggunakan pendekatan ketiga.

Sedangkan Mozaffar dan Schedler (2002) menyatakan bahwa terdapat


empat pendekatan di dalam tata kelola pemilu, yaitu:

1. Pendekatan komprehensif, yaitu mempelajari proses pemilu di


keseluruhan proses untuk mendeteksi berbagai iregularitas.
2. Pendekatan selektif, yaitu mempelajari proses pemilu di dalam topik
yang spesifik, misalnya dalam bidang manajemen pemilu.
3. Pendekatan subyektif, yaitu mempelajari pemilu dari sudut pandang
korban utama dari pelanggaran pemilu, yaitu partai-partai oposisi.
4. Pendekatan tidak langsung, yaitu mempelajari pemilu dari hasil-hasil
pemilu untuk melihat apakah pemilu diselenggarakan secara demokratis
atau tidak.

Dari empat pendekatan tersebut, para penyelenggara pemilu dapat


memperhatikan secara detail dan komprehensif apa saja yang harus
dilakukan dan batasan apa yang memang harus dijaga dalam pelaksanaan
pemilu. Untuk itu, pendekatan komprehensif dalam memandang
pelaksanaan tata kelola pemilu menjadi penting karena menyangkut
keseharian para penyelenggara.

Lebih jauh, Mozaffar dan Schedler (2002) menjelaskan enam dimensi dari
tata kelola pemilu, yaitu:
1. Sentralisasi: dimensi ini menjadi penting bagi negara demokrasi baru
untuk dapat mengontrol proses pemilu dengan baik ketimbang memberi
kepercayaan kepada kekuatan aktor politik lokal yang dapat membajak

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 7


proses demokratisasi yang berlangsung. Sentralisasi ini menjadi isu
penting karena sebagai salah satu cara untuk menghindari feodalisasi
tata kelola dalam pelaksanaan pemilu yang mungkin terjadi di daerah
secara berbeda.

2. Birokratisasi: dimensi ini ingin menekankan bahwa kelembagaan


penyelenggara pemilu akan diisi oleh elemen birokrasi yang permanen
atau bersifat ad hoc. Birokrasi yang bersifat permanen adalah dimana
para staf tetap tersebut bekerja berdasarkan tugas dan fungsinya
sebagai badan penyelenggara pemilu. Sementara, birokrasi ad hoc, para
penyelenggara dapat mengambil dukungan staf dari instansi atau badan
pemerintah lainnya untuk mendukung pelaksanaan pemilu yang bersifat
sementara. Hal ini adalah penting diperhatikan karena menyangkut dan
menjaga reputasi penyelenggara pemilu yang memang harus akuntabel,
transparan dan mandiri untuk dapat dipercaya oleh publik.

3. Kemandirian: dimensi ini muncul karena dalam banyak negara demokrasi


baru terdapat ketidakpercayaan terhadap birokrasi yang netral ataupun
para penyelenggara yang dianggap punya keberpihakan dalam proses
pemilu. Dalam pengalaman negara Eropa Barat, penyelenggara pemilu
sepenuhnya dapat dipercayakan kepada lembaga yang menjadi bagian
dari pemerintah pusat dan memiliki tradisi birokrasi yang netral dan tidak
berpihak, maka publik mudah memberi kepercayaan terhadap
kemandirian lembaga penyelenggara pemilu.

4. Spesialisasi: dimensi ini ingin menegaskan bahwa spesialisasi dalam


penyelesaikan sengketa ataupun hal yang terkait perbedaan dalam
pemilihan dapat dilakukan secara terpisah ataupun dapat digabung
dengan pengadilan umum. Konteks dimensi spesialisasi ini ingin
menyampaikan bahwa meskipun ada pengalaman penyelesaian
sengketa dilakukan melalui pengadilan umum secara baik, namun ada
kebutuhan juga untuk melakukan penyelesaian tersebut secara khusus
dan terpisah.

5. Delegasi: fokus dimensi ini menyangkut bagaimana para komisioner


penyelenggara pemilu dipilih ataupun ditunjuk dan bagaimana
keterlibatan Parpol ataupun parlemen dalam proses tersebut. Bagi
negara yang masih belum dapat memberikan kepercayaan kepada partai

8 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


dan parlemen dalam membantu penyelenggaraan pemilu, maka
diperlukannya orang-orang yang memiliki integritas dan kemandirin
sebagai penyelenggara pemilu. Namun sebaliknya, apabila kepercayaan
terhadap Parpol ataupun pemerintah memadai, maka penyelenggara
dapat mengikutsertakan mereka sebagai komisioner.

6. Regulasi: dimensi ini ingin melihat bagaimana kerangka hukum pemilu


yang berlaku internasional dapat diterapkan. Namun dimensi ini juga
memungkinkan kita memperhatikan bagaimana kerangka regulasi
pemilu-pemilu yang berlangsung dari karakter negara yang demokrasi
dan non-demokrasi dapat diterapkan.

Sedangkan Surbakti (2016) mengatakan bahwa tata kelola pemilu memiliki


empat fokus kajian, yaitu:

1. Proses pembuatan hukum pemilu, yaitu pasal-pasal yang mengatur


pemilu dalam konstitusi, perjanjian internasional yang terkait dengan
hukum pemilu yang sudah diratifikasi, dan semua undang-undang yang
mengatur pemilu;
2. Proses penyelenggaraan pemilu;
3. Badan penyelenggara pemilu; dan
4. Sistem penegakan hukum dan sengketa pemilu.

Berdasarkan pengalaman dan juga perkembangan teori yang terkait dengan


tata kelola pemilu, ada beberapa hal menarik yang dapat diperhatikan:
pertama, definisi tata kelola pemilu memiliki irisan yang jelas dengan siklus
dan tahapan pemilu yang diperbincangkan oleh para ilmuwan di atas. Tata
kelola pemilu tentu juga mempertimbangkan serangkaian aktivitas yang
merupakan bagian dari area siklus kepemiluan di sebuah negara. Kedua,
memahami tata kelola pemilu sebagai bagian dari siklus dan tahapan yang
terpisahkan satu sama lain juga perlu dilihat dengan pendekatan yang
komprehensif karena satu titik dengan titik lain memang tidak terpisahkan.
Ketiga, pilihan dimensi dan fokus dalam tata kelola pemilu menjadi penting
untuk mengelaborasi lebih lanjut dengan konteks yang berlaku di negara
yang dipilih. Dalam dimensi ataupun fokus tertentu, ada ketidaksamaan
bentuk ataupun fungsi yang dimiliki oleh negara tertentu, namun ada
kesamaan yang juga biasanya ada dan dimiliki oleh mereka.

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 9


C. Tata Kelola Pemilu di Indonesia

Buku ini mengikuti definisi atas konsep tata kelola pemilu sebagaimana
telah didiskusikan di atas. Di buku ini, tata kelola pemilu didefinisikan
sebagai “sebuah siklus atas pengelolaan tahapan-tahapan kepemiluan yang
melibatkan interaksi antar para pemangku kepentingan di dalam
kepemiluan.” Sebagai buku pegangan bagi kalangan para penyelenggara
pemilu, dengan demikian, buku ini lebih menekankan pada pendekatan sisi
administrasi kepemiluan dan aturan serta standar kepemiluan. Namun
demikian, dalam batasan-batasan tertentu, buku ini juga berusaha untuk
menyentuh dimensi yang lebih komprehensif (di luar dimensi administrasi
dan hukum-hukum kepemiluan).

Adapun dimensi yang dapat menjelaskan tata kelola pemilu di Indonesia


yakni (lihat gambar 1.2.):
1. Nilai, prinsip dan asas pemilu: hal ini terkait dengan berbagai nilai, prinsip
dan asas yang ada dalam tata kelola pemilu di Indonesia. Ketiga hal
tersebut merupakan kombinasi antara standar internasional yang
berlaku dan norma yang juga diterapkan dalam pemilu di Indonesia;

2. Sistem pemilu: hal ini terkait dengan sistem pemilu yang telah dan
sedang digunakan di Indonesia, baik di dalam konteks pemilu
presiden/wakil presiden, pemilihan legislatif, maupun pemilihan kepala
daerah/wakil kepala daerah. Namun demikian, sistem pemilu di
Indonesia juga memiliki dinamika sosial dan politik yang tinggi;

3. Kelembagaan penyelenggara pemilu: hal ini terkait dengan profil dari


lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, baik dari dimensi internal,
maupun dari dimensi eksternal (relasi antar kelembagaan).

4. Tahapan pemilu; hal ini terkait dengan siklus, tahapan, dan jadwal
pemilihan umum nasional dan lokal (pemilu presiden dan wakil presiden,
pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah).

5. Manajemen kepemiluan: hal ini terkait dengan administrasi kepemiluan,


perencanaan, anggaran, dan sistem informasi yang diaplikasikan oleh
penyelenggara pemilu; dan

10 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


6. Keadilan pemilu (electoral justice): hal ini terkait dengan mekanisme
untuk menjamin keadilan pemilu dan aspek perselisihan/sengketa, baik
bagi peserta pemilu, maupun bagi pemilih.

Agak berbeda dengan kajian-kajian yang sudah ada, buku ini memberikan
penekanan pada nilai, prinsip dan asas pemilu sebagai salah satu dimensi
penting dalam tata kelola pemilu karena ketiganya menjadi fondasi bagi
bangunan tata kelola pemilu yang ada secara utuh (di semua tahapan).
Dimensi ini perlu diangkat sebagai bagian tak terpisahkan dalam nilai inti
(core values) yang menjadi landasan berpikir dan berpijak dalam
pelaksanaan pemilu. Hal ini menjadi sangat penting jika kita mengingat
adanya berbagai problematika yang terkait dengan nilai, prinsip, dan asas
pemilu di dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu di Indonesia sampai
sejauh ini.

Sedangkan untuk dimensi kelembagaan pemilu, sama dengan literatur yang


sudah ada, buku ini juga menempatkan dimensi kelembagaan pemilu
sebagai sebuah dimensi yang berdiri sendiri. Sampai sejauh ini, Indonesia
telah memiliki desain kelembagaan penyelenggara pemilu, mulai dari
tingkat nasional, sampai kepada tingkat daerah. Berbagai dinamika telah
muncul, baik terkait dengan dinamika internal di masing-masing lembaga
penyelenggara pemilu, dinamika antar lembaga penyelenggara pemilu,
maupun dinamika antara lembaga penyelenggara pemilu dengan para
pemangku kepentingan yang lain.

Buku ini juga secara spesifik membahas dimensi sistem pemilu.


Pembahasan tentang sistem pemilu menjadi sangat penting. Pertama
adalah karena terdapat berbagai pemilu yang diselenggarakan di Indonesia
dengan sistem yang berbeda-beda. Kedua, terdapat berbagai dimensi
dalam sistem pemilu yang sekiranya perlu mendapat perhatian yang
khusus. Jika kita kaitkan dimensi sistem pemilu ini dengan gagasan Mozaffar
dan Schedler (2002), maka pembahasan tentang sistem pemilu ini lebih
dekat dengan kategori tingkatan pertama dari tata kelola pemilu, yaitu
pembuatan aturan main. Sedangkan jika dikaitkan dengan ide Catt. et al.
(2014), maka dimensi sistem pemilu ini lebih dekat ke tahapan penyiapan
kerangka kerja.

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 11


Sedangkan terkait dengan dimensi manajemen pemilu, buku ini juga
menempatkan dimensi manajemen pemilu sebagai satu dimensi yang
berdiri sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa bagaimanapun juga, tata kelola
pemilu sangat identik dengan topik manajemen pemilu. Jika kita kaitkan
dengan gagasan Mozaffar dan Schedler (2002), maka pembahasan tentang
manajemen pemilu ini lebih dekat dengan kategori tingkatan kedua dari
tata kelola pemilu, yaitu pelaksanaan aturan main. Sedangkan jika dikaitkan
dengan ide Catt. et al. (2014), maka dimensi manajemen pemilu ini
merentang dari tahapan perencanaan dan implementasi sampai kepada
tahapan pemungutan serta penghitungan suara.

Untuk dimensi keadilan pemilu, buku ini mengikuti apa yang telah dikaji di
dalam literatur tentang tata kelola pemilu sebelumnya. Namun demikian,
buku ini lebih memberikan penekakan pada topik keadilan pemilu, yaitu
sejauhmana prinsip keadilan ditegakkan di dalam pemilu. Dengan demikian,
konsep ini tidak sekedar tentang ajudikasi aturan-aturan pemilu
sebagaimana digagas oleh Mozaffar dan Schedler (2002) atau tahapan
verifikasi hasil pemilu sebagaimana disampaikan oleh Catt. et al. (2014).
Gambar 1.2. Tata Kelola Pemilu di Indonesia

12 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


D. Politik Kepemiluan

Membicarakan tata kelola pemilu, tentu saja tidak bisa kita pisahkan
dengan topik politik kepemiluan. Adapun yang dimaksud dengan politik
kepemiluan adalah hal ihwal yang terkait dengan pemilu yang memiliki
interaksi kuat dengan sistem politik yang ada, relasi kuasa para aktor politik
dan respon publik, pemilih, penyelenggara ataupun negara terhadap
aktivitas pemilu. Untuk itu, ada beberapa poin penting dalam kerangka legal
kepemiluan yang sangat menentukan karakter tata kelola pemilu di
Indonesia.

Pertama, UUD 1945 telah menempatkan desain pemilihan presiden dan


wakil presiden secara langsung dengan jelas ketimbang desain pemilihan
legislatif dan pemilihan kepala daerah. Dalam pasal 6A Ayat 3 UUD 1945 pun
tegas menjelaskan mekanisme untuk mengatur penentuan pemenang bagi
calon presiden dan wakil presiden terpilih. Sementara itu, pemilihan
legislatif (DPR, DPD dan DPRD) hanya disebutkan dalam pasal 22E dilakukan
secara langsung yang kemudian dibahas secara mendalam di UU Pemilu
tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Relatif sama dengan pemilu
legislatif, pilkada pun ditekankan dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 dilakukan
secara demokratis. Namun, hal yang berbeda adalah kerangka legal pilkada
merujuk dua regulasi yang berlaku untuk diimplementasikan, yakni UU
Pemilu dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.
1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU No.
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi
Undang-Undang (UU Pilkada). Untuk itu, para pembuat kebijakan masih
memiliki ruang yang cukup memadai dalam melakukan perubahan dan
revisi mengenai desain pemilu legislatif dan pilkada ketimbang pemilu
presiden dan wakil presiden.

Kedua adalah terkait dengan aktor pembuat kerangka legal kepemiluan.


Secara sederhana, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga
pembuat undang-undang tentang pemilihan umum. Anggota DPR adalah
merupakan terdiri dari Parpol dan Calon yang menjadi peserta pemilihan
umum. Sedangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah
lembaga pelaksana undang-undang pemilu. KPU menterjemahkan lebih
lanjut tugas, wewenang dan kewajibannya sebagaimana diatur di dalam

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 13


undang-undang pemilu melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Serupa dengan itu, Bawaslu juga menterjemahkan lebih lanjut tugas,
wewenang, dan kewajibannya melalui Peraturan Badan Pengawas Pemilu
(Perbawaslu). Untuk DKPP, lembaga ini menerjemahkan tugas dan
kewenangannya melalui Peraturan DKPP. Mekanisme ini menjadi unik
karena berbeda dengan jenis dan hirarki peraturan perundangan yang ada
di Indonesia, dimana undang-undang menyebutkan jenis dan hirarki
pertautan perundangan di Indonesia mulai dari UUD 1945, Ketetapan MPR,
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.1

Dalam konteks relasi kelembagaan, undang-undang pemilu pada awalnya


mewajibkan KPU untuk melakukan konsultasi dengan DPR melalui rapat
konsultasi atau rapat dengar pendapat sebelum KPU mengeluarkan
kebijakannya. Keputusan dari hasil rapat itu bahkan bersifat mengikat.
Namun, setelah dilakukan uji materi terhadap Pasal 9 huruf (a) UU Pilkada
pada tanggal 10 Juli 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian
memutuskan bahwa pada satu sisi, KPU tetap wajib melakukan konsultasi
dengan DPR sebelum mengeluarkan PKPU. Pada sisi yang lain, hasil dari
konsultasi tersebut tidak lagi mengikat. Salah satu alasan dari MK
mengeluarkan putusan ini adalah bahwa hal tersebut untuk menjaga
kemandirian KPU yang telah dijamin oleh UUD 1945. 2 Namun demikian,
kemandirian yang dimaksud pun sebenarnya menimbulkan banyak
persoalan dan ujian yang dihadapi oleh KPU karena DPR merupakan mitra
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan anggota-
anggotanya dapat mencalonkan sebagai peserta Pemilu. Di samping itu,
merujuk UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, terlihat ada keistimewaan perlakuan yang dilakukan oleh DPR
terkait dengan isu Pemilu dengan melakukan konsultasi yang dimaksud.

Ketiga adalah terkait dengan materi peraturan perundang-undangan.


Substansi utama dari undang-undang tentang pemilihan umum sebenarnya
adalah sama dengan undang-undang tentang Parpol dan undang-undang
tentang MPR, DPR, dan DPD, yaitu undang-undang tersebut mengatur

1 Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.


2 Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.”

14 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


secara langsung kepentingan politik dari para pembuat undang-undang itu
sendiri yang sudah disinggung di atas. Lebih spesifik, undang-undang
tentang Pemilu mengatur hal pokok dari para pembuat undang-undang
Pemilu terkait dengan sejauhmana undang-undang yang akan dihasilkan
akan dapat menjamin keterpilihan kembali dari para pembuat undang-
undang itu. Tidak mengherankan jika pengaturan undang-undang Pemilu
sedapat mungkin akan menguntungkan para pembuat undang-undang
tersebut, yaitu Parpol secara umum dan bakal calon akan mendapatkan
kursi kembali di Pemilu berikutnya. Hal ini tentu saja membuat tidak mudah
bagi para penyelenggara Pemilu dalam mengatur lebih detail regulasi
Pemilu, utamanya adalah KPU.

Salah satu masalah yang juga serius dihadapi oleh KPU adalah pengaturan
DPR yang sangat detail terkait dengan daerah pemilihan (dapil). Di dalam
UU No. 10 Tahun 2008 sebagai dasar regulasi untuk penyelenggaraan
Pemilu 2009, daerah pemilihan dan alokasi kursi untuk Pemilu DPR RI telah
dirumuskan secara langsung oleh DPR di dalam bagian lampiran dari
undang-undang tersebut. Di dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sebagai dasar regulasi
penyelenggaraan Pemilu 2014 dan di dalam UU Pemilu sebagai dasar
regulasi penyelenggaraan Pemilu 2019 bahkan DPR RI telah merumuskan
daerah pemilihan dan alokasi kursi tidak saja untuk Pemilu DPR RI, tapi juga
untuk Pemilu DPRD Provinsi. Padahal, seyogianya perumusan daerah
pemilihan dan alokasi seperti ini bersifat teknis dan menjadi wilayah dari
KPU sebagai implementor dari UU. Untuk itu, masalah seperti ini
menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan melakukan tekanan yang
sudah terlalu dalam mengenai pengaturan teknis kepemiluan sejak
penyelenggaraan Pemilu 2009.

Isu yang selalu muncul dan berulang setiap menjelang Pemilu adalah
pembahasan revisi UU tentang Pemilu yang memakan waktu sangat lama.
Pembahasan intensif UU Pemilu misalkan baru dilakukan setahun sebelum
pengesahannya. Dari sisi politik, terdapat lima isu krusial yang saat itu
sangat sulit untuk dicarikan kesepakatan, yaitu ambang batas pencalonan
presiden, ambang batas parlemen, metode penyuaraan, daerah pemilihan,
dan metode konversi suara ke kursi. Tentu saja kelima topik ini menjadi
sangat penting karena kelimanya akan menentukan siapa Parpol atau calon
yang akan mampu mendapatkan kursi di Pemilu 2019. Sedangkan dari sisi

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 15


teknis-administratif, tidak ada perdebatan yang berarti di kalangan para
pembuat kebijakan. Meskipun ada sekian problematika menyangkut sisi
teknis-administratif ini, misalnya tentang desain besar dari tiga lembaga
penyelenggara Pemilu, termasuk relasinya satu sama lain. Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa proses pembuatan UU Pemilu
berorientasi pada kepentingan kelompok, jangka pendek, dan tidak
menyentuh desain besar terkait misalnya dengan sistem Pemilu,
kelembagaan pemilu dan pengelolaan data pemilih yang sangat terkait
dengan data penduduk yang menjadi tugas dan wewenang dari
Kementerian Dalam Negeri. Lamanya pengesahan UU Pemilu kemudian
berimplikasi pada persiapan penyelenggaraan Pemilu 2019 yang tidak
optimal.

Keempat adalah semakin menguatnya fenomena yudisialisasi politik terkait


dengan peran MK di dalam pengaturan Pemilu. Ada beberapa contoh
putusan dari MK yang sebenarnya juga menghasilkan tantangan dan
hambatan tersendiri bagi pengaturan tata kelola Pemilu di Indonesia (Isra
dan Fahmi 2019). Sebagai contoh, MK mengeluarkan putusan yang
mempertegas metode konversi suara ke kursi dengan prinsip suara
terbanyak.3 Putusan ini dibuat hanya beberapa saat sebelum pelaksanaan
tahapan kampanye dan tahapan pemungutan suara dan sebelum
pelaksanaan tahapan pencalonan. Keputusan ini tidak saja berdampak
terhadap penyelenggara Pemilu, namun juga kepada peserta Pemilu.
Contoh yang lain adalah putusan MK untuk membedakan antara Pemilu
Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Legislatif pada satu sisi dan pemilihan
kepala daerah pada sisi yang lain. MK mengatakan bahwa pemilihan kepala
daerah adalah bukan bagian dari rejim Pemilu, melainkan bagian dari rejim
pemerintahan daerah. Dengan putusan tersebut, pemilihan kepala daerah
menjadi kewenangan sepenuhnya dari pemerintah daerah (bukan Lembaga
Penyelenggara Pemilu), maka MK tidak lagi menangani perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah, dan tidak adanya keharusan untuk melakukan
pemilihan kepala daerah melalui pemilihan secara langsung. 4 Namun
demikian, dalam praktiknya sejauh ini, ketiga lembaga penyelenggara
Pemilu tersebut masih memiliki tugas, kewajiban, dan wewenang dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sesuai dengan UU Pilkada.
Belum ada regulasi yang dihasilkan oleh DPR untuk menindaklanjuti

3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008.


4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.

16 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


Putusan MK tersebut. Contoh berikutnya adalah putusan MK tentang
penyelenggaraan Pemilu serentak. MK menyatakan bahwa
penyelenggaraan Pemilu serentak ditujukan untuk setidaknya beberapa hal,
diantaranya adalah penguatan sistem presidensial, penguatan koalisi
berbasis ideologi, penyederhanaan sistem kepartaian, mendorong perilaku
pemilih yang rasional sehingga mengurangi konflik, dan efisiensi anggaran.5
Hasil Pemilu serentak 2019 sebenarnya tidak dapat menjawab argumen MK
tersebut karena jumlah Parpol yang mendapatkan kursi di DPR tidak
berkurang signifikan, kompetisi para peserta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden terbilang sengit dan mengkhawatirkan dalam menciptakan konflik
sosial, ada kecenderungan koalisi yang akan terbentuk pun sangat
pragmatis dan tidak ideologis dan anggaran Pemilu yang tidak efisien.

Kelima, oleh karena KPU RI sebagai penyelenggara Pemilu membutuhkan


anggaran dengan dukungan dari pemerintah dan DPR, hal tersebut tentu
bukanlah hal yang mudah. Dalam pembahasan penetapan anggaran Pemilu
serentak 2019, misalkan, KPU menyatakan kebutuhan yang ada adalah
sebanyak 30 Trilyun. Namun demikian, atas kesepakatan Kementrian
Keuangan, DPR RI, dan para penyelenggara Pemilu, anggaran Pemilu
disahkan sebanyak 25,6 Trilyun untuk tiga tahun berjalan (2017,2018, dan
2019) (Rachman 2019). Sedangkan dalam konteks pilkada, menurut
Pratama, Agustiyati, dan Sadikin (2018), ada keterkaitan antara calon
petahana yang ikut berkompetisi dalam pilkada dengan jumlah nominal
angka anggaran yang disetujui dalam pilkada di daerah yang bersangkutan.
Dalam konteks nasional dan lokal, dua hal tersebut menegaskan bahwa para
penyelenggara Pemilu menghadapi situasi yang tidak mudah untuk
bernegosiasi tentang penetapan dan persetujuan jumlah anggaran yang
sesuai kebutuhan.

Namun demikian, terdapat beberapa capaian dalam regulasi kepemiluan di


Indonesia sejauh ini. Sebagai contoh, konsitusi telah menyebutkan secara
eksplisit keberadaan lembaga penyelenggara pemilu dengan sifatnya yang
nasional, tetap dan mandiri. Hal ini tentu saja merupakan capaian tersendiri
mengingat praktik-praktik penyelenggaran pemilu sebelumnya (Pemilu
Orde Baru) yang berada di bawah kendali pemerintah memiliki masalah
serius terkait dengan sifat kemandirian dari lembaga penyelenggara Pemilu.

5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 17


Contoh yang lain adalah disahkannya UU Pemilu yang merupakan hasil
kodifikasi dari UU tentang Pemilu Presiden/Wakil Presiden, UU tentang
Pemilu DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan UU
tentang Penyelenggara Pemilu. Kodifikasi ini adalah upaya untuk
mengintegrasikan semua regulasi terkait dengan Pemilu.

Hingga saat ini, Pemilu nasional di Indonesia setelah reformasi tahun 1998
telah dilangsungkan sebanyak lima kali. Sepanjang perjalanan Pemilu
demokratis ini, infrastruktur kepemiluan ini pun juga telah berjalan dengan
baik meski diiringi dengan berbagai perubahan yang terjadi. Dalam
perkembangan yang ada, tata kelola Pemilu di Indonesia pun telah
mendorong perubahan dalam perilaku pemilih dan para aktor politik untuk
menjadi lebih terbuka dan partisipatif dalam semua aktifitas politik mereka.
Meski demikian, harus diakui pelaksanaan Pemilu hingga hari ini pun masih
jauh dari sempurna. Kepentingan politik para peserta Pemilu dalam
mempengaruhi tahapan Pemilu masih dirasakan betul oleh para
penyelenggara Pemilu. Selain itu, berbagai pelanggaran ataupun manipulasi
yang melibatkan para peserta, pemilih dan penyelenggara Pemilu masih
kerapkali kita dengar. Namun paling tidak, pelaksanaan Pemilu di Indonesia
yang rumit dan kompleks ini masih jauh lebih baik karena hingga saat ini
belum ada menimbulkan konflik politik dan sosial yang serius. Untuk itu,
para penyelenggara Pemilu di Indonesia memiliki tantangan yang perlu
disadari sejak awal menjabat bahwa integritas dan kemandirian dari setiap
orang yang bekerja di lembaga ini adalah sangat penting.

E. Tujuan Buku Ini

Berdasarkan rentetan peristiwa Pemilu yang telah berlangsung di Indonesia


tersebut, dinamika sosial dan politik dalam proses penyelenggaraan semua
Pemilu tersebut terbilang sangat tinggi. Dalam penyelenggaraan Pemilu-
Pemilu tersebut, KPU telah berusaha untuk belajar dari pengalaman periode
sebelumnya. KPU juga terus berusaha agar Pemilu-Pemilu di Indonesia
dapat memenuhi standar internasional. Pergumulan teori pada satu sisi dan
praktik pada sisi yang lain kemudian menjadi sebuah metode bagi KPU
untuk semakin memapankan tata kelola pemilu. Selain itu, berbagai riset,
publikasi, dan advokasi tentang kepemiluan juga semakin berkembang
secara pesat, baik yang dilakukan oleh kalangan pegiat dan aktivis
kepemiluan, maupun yang dilakukan oleh kalangan akademisi. Semua itu

18 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


kemudian juga memberi kontribusi dengan cara yang berbeda-beda bagi
pengembangan tata kelola pemilu oleh KPU di Indonesia dari waktu ke
waktu.

Penyelenggaran Pemilu di Indonesia memiliki keunikan dan sekaligus


kompleksitas tersendiri. Beragam jenis Pemilu diselenggarakan di negeri ini.
Berbagai isu juga berkembang sebagai konsekuensi dari kompleksitas
Pemilu. Selain itu, jangkauan wilayah yang luas dengan jumlah pemilih yang
besar dan pelaksanaan Pemilu serentak menjadi konteks tersendiri yang
mempengaruhi dinamika pengelolaan Pemilu di Indonesia. Sampai sejauh
ini, KPU telah relatif mampu melakukan tata kelola pemilu dengan baik
sehingga Pemilu-Pemilu yang diselenggarakan di Periode Reformasi ini
dianggap telah baik oleh kalangan dunia internasional. Tidak
mengherankan, banyak negara kemudian ingin belajar dari pengalaman
Indonesia dalam menyelenggarakan Pemilu yang beragam dan sekaligus
rumit tersebut. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
buku ini merupakan hasil formulasi atas pergumulan teoritik dan pergulatan
secara praktis dari pengalaman Indonesia dalam menyelenggarakan Pemilu,
terutama sejak lebih dari dua dekade yang lalu.

Tujuan utama dari penulisan buku ini sebenarnya agar dapat menjadi
pegangan bagi para penyelenggara Pemilu dari tingkat pusat sampai tingkat
daerah yang paling bawah dalam menjalankan aktivitas kepemiluan
mereka. Dengan memahami substansi dari buku ini, maka diharapkan para
penyelenggara di semua tingkatan semakin memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang bersifat lebih teknis tentang kepemiluan di Indonesia,
mulai dari pemahaman atas nilai dan prinsip sampai dengan kemampuan
teknis-manajerial sebagai penyelenggara Pemilu. Hal ini menjadi sangat
penting dalam rangka mendorong penyelenggaraan Pemilu-Pemilu
berikutnya yang lebih Luber dan Jurdil. Selain itu, buku ini diharapkan juga
dapat menjadi bagian dari literatur tentang kepemiluan di Indonesia
sehingga dapat bermanfaat bagi publik secara luas. Dengan membaca buku
ini, publik seyogianya akan memiliki ketertarikan dalam pelaksanaan tata
kelola pemilu di Indonesia. Secara lebih ambisius, buku ini juga diharapkan
akan menjadi bagian dari upaya Indonesia dalam menularkan
pengalamannya ke dunia internasional terkait dengan dinamika
penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi baru.

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 19


Buku ini sebenarnya dikembangkan dari buku yang berjudul Fondasi Tata
Kelola Pemilu yang telah diterbitkan oleh KPU RI pada tahun 2017 yang lalu.
Para kontributor di dalam buku ini berasal dari beragam latar belakang,
yaitu akademisi, pegiat Pemilu, dan dari unsur penyelenggara. Para penulis
dengan demikian memiliki keragaman ilmu pengetahuan dan pengalaman
dari praktik panjang secara langsung di lapangan. Para penulis juga melihat
dan mendalami tata kelola Pemilu di Indonesia dari berbagai sudut pandang
yang tentu banyak berbeda. Namun demikian, buku ini sebenarnya bukan
bunga rampai yang terpisah materinya satu sama lain. Materi di dalam buku
ini adalah satu kesatuan yang utuh. KPU memfasilitasi sepenuhnya proses
perumusan publikasi ini, mulai pembuatan kerangka berpikir, proses
penulisan, sampai dengan proses penerbitan dan diseminasi. Beberapa kali
serial pertemuan diselenggarakan untuk para penulis memberikan dan
menerima masukan dan umpan balik. Semua dilakukan dalam rangka
memformulasi konsep tata kelola pemilu di Indonesia.

F. Sistematika Buku

Berangkat dari enam dimensi tata kelola pemilu di Indonesia, sistematika


buku ini adalah sebagai berikut: bab pertama akan mendeskripsikan secara
singkat tentang apa dan bagaimana tata kelola pemilu di Indonesia
dilakukan. Selain itu, bab pendahuluan ini mengantarkan kepada pembaca
tentang konsep tata kelola pemilu yang berlaku di dunia internasional dan
bagaimana Indonesia memberlakukan hal tersebut dalam aktivitas
kepemiluan kita.

Bab kedua membahas tentang nilai, prinsip dan asas Pemilu yang menjadi
landasan berpikir dan bertindak bagi para penyelenggara Pemilu dan
stakeholder yang terkait dalam menyukseskan pelaksanaan Pemilu di
Indonesia. Bab ini juga akan membahas bagaimana nilai, prinsip dan asas
Pemilu ini kemudian masih menjadi penting dan relevan untuk tetap
dibicarakan dalam konteks Indonesia. Bab ini juga menekankan nilai, prinsip
dan asas Pemilu adalah hal penting yang selalu diperhatikan dalam
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

Sementara itu, bab ketiga memberi gambaran kepada pembaca tentang


sistem Pemilu yang berlaku di dunia dan dilanjutkan dengan perkembangan
sistem Pemilu di Indonesia sejak tahun 1955 hingga kini. Bab ini juga

20 BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA


membicarakan bagaimana bentuk dan variasi sistem Pemilu yang
berkembang di Indonesia dan berbagai dinamika regulasi Pemilu yang
dihadapi oleh para penyelenggara Pemilu.

Bab keempat menjelaskan tentang apa, bagaimana, kewenangan, dan


bentuk kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia. Oleh karena
Indonesia memiliki kekhasan dalam kelembagaan penyelenggara Pemilu,
maka di dalam bab ini juga memaparkan relasi kelembagaan yang mereka
miliki di level permanen dan ad hoc di semua Provinsi dan Kabupaten/Kota
ataupun juga interaksi tiga lembaga penyelenggara Pemilu yakni KPU,
Bawaslu dan DKPP. Sedangkan, bab kelima mendeskripsikan secara detail
setiap tahapan Pemilu yang berlangsung di Indonesia dengan dinamika dan
kontestasi politik para pihak yang dapat mempengaruhi tahapan tersebut.
Bab ini juga dapat memberikan gambaran bagaimana cara dan solusi agar
para penyelenggara menghadapi situasi dalam setiap tahapan Pemilu.

Bab enam membicarakan bagaimana manajemen Pemilu di Indonesia dapat


dilakukan dengan baik. Meskipun para penyelenggara Pemilu permanen
dan ad hoc sudah dibekali berbagai aturan dan regulasi tentang kepemiluan,
namun bab ini ingin mengajak pembaca lebih jauh memahami kompleksitas
permasalahan yang dihadapi dan respon mereka terhadap masalah
tersebut. Sedangkan, bab tujuh menjelaskan tentang bagaimana keadilan
Pemilu dapat ditegakkan manakala perselisihan dan sengketa yang
melibatkan pemilih, penyelenggara ataupun peserta Pemilu dapat
dibuktikan. Bab ini juga dapat membantu para pembaca dalam memahami
dinamika perselisihan hasil Pemilu dan respon yang biasanya dilakukan oleh
para pihak yang terlibat. Bab delapan mendeskripsikan bagaimana para
pembaca dapat mempelajari kasus-kasus menarik dan unik yang dialami
oleh KPU RI, KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menjalankan aktivitas
kepemiluan mereka sehari-hari. Terakhir, bab sembilan menyimpulkan
berbagai hal utama yang ada di semua bab dan juga menekankan tantangan
dan hambatan yang dihadapi oleh para penyelenggara Pemilu ke depan. Di
samping itu, bab ini juga akan menyampaikan hal-hal yang dapat dilakukan
oleh KPU RI dalam memanfaatkan buku ini ke depan.

BAB 1 - TATA KELOLA PEMILU DI INDONESIA 21


Pembacaan Deklarasi Kampanye Damai oleh Calon Presiden
dan Wakil Presiden serta perwakilan peserta partai politik
dan calon anggota DPD RI Pemilu 2019
BAB 2
NILAI DAN ASAS PEMILU

Kris Nugroho dan Ferry Daud M Liando

A. Pengantar

Untuk mewujudkan tata kelola pemilu yang demokratis, setidaknya ada dua
hal mendasar dan penting diperhatikan, yakni Pemilu yang berintegritas
(electoral integrity) dan juga menyangkut aspek Pemilu yang jujur, adil,
langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilu berintegritas adalah
kesepakatan (covenant) dan standar internasional mengenai norma-norma
Pemilu demokratis yang berlaku di dunia, dimana salah satunya
menyangkut isu inklusifitas. Sedangkan isu kedua mengenai asas-asas
Pemilu yang menjadi payung normatif dalam penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia. Oleh karena itu, bab 2 ini akan mengelaborasi dua isu utama
tersebut dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Bab ini akan dimulai
dengan penjelasan Pemilu berintegritas yang memiliki standar dan norma
internasional yang berkaitan dan tentu berkelindan dengan aspek Pemilu
luber dan jurdil di Indonesia. Setelah itu, bab ini juga akan menjelaskan
bagaimana asas Pemilu yang berlaku di Indonesia telah diterapkan dan
diaplikasikan sejak lama. Oleh karena itu, tentu bab ini akan mampu
menjelaskan kenapa Pemilu di Indonesia merasa perlu menekankan nilai,
prinsip dan asas dalam aktivitas kepemiluannya dimana bila berkaca
pengalaman negara lain, maka tidak semua negara lain mengadopsi hal ini
secara khusus.

B. Pemilu Berintegritas (Electoral Integrity)

Menurut Norris (2013), bila kita ingin mengkategorikan suatu negara telah
menyelenggarakan Pemilu secara demokratis, maka konsep Pemilu
berintegritas adalah rujukan yang tepat. Pemilu berintegritas memiliki
pengertian dimana Pemilu yang berlangsung telah mengikuti standar atau
norma-norma internasional dalam konteks Pemilu yang bebas dan adil (free
and fair election). Konsep adil dan bebas ini adalah merefleksikan Pemilu

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 23


yang substantif dan Pemilu sesungguhnya (genuine election) yang
mencerminkan kehendak bebas pemilih.

Dalam studi Pemilu berintegritas, ada beragam penafsiran mengenai


konsep tersebut. Norris (2013) memetakan berbagai ide yang berbeda dari
sub-sub kajian dalam ranah studi ini. Beberapa ide tersebut adalah apakah
menyangkut pelanggaran hukum Pemilu, malpraktik administrasi Pemilu
ataukah pelanggaran terhadap nilai-nilai normatif dalam bingkai demokrasi
liberal.

Selanjutnya, Norris (2013) pun menyampaikan bahwa substansi Pemilu


berintegritas merujuk pada keterpenuhan penyelenggaraan Pemilu sesuai
standar dan norma Pemilu yang berlaku secara universal yang juga tertuang
pada artikel 25 International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR)
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adapun delapan norma Pemilu universal
tersebut adalah:

1. Pemilu periodik
2. Hak pilih universal
3. Prinsip satu orang satu suara
4. Hak untuk mencalonkan dan kompetisi dalam Pemilu
5. Hak pemilih sah untuk dapat menggunakan suaranya
6. Hak penyuaraan yang bersifat rahasia
7. Pemilu yang sesungguhnya (genuine)
8. Pemilu merupakan ekspresi kehendak rakyat

Delapan norma Pemilu universal tersebut sebenarnya mengarahkan kita


untuk dapat mengkategorikan proses penyelenggaraan Pemilu di suatu
negara apakah berlangsung menyimpang atau terjadi kecurangan,
malpraktik, atau hal-hal yang mendegradasi hak pilih rakyat dalam
menyuarakan hak politiknya. Norma-norma universal tersebut menjadi
standar untuk menentukan seberapa bebas Pemilu di suatu negara, yaitu
bebas dari kekerasan, paksaan, ancaman, kecurangan (fraud), diskriminasi,
manipulasi suara, bahkan praktik administratif yang dapat menghambat
kebebasan dan hak-hak pemilih. Situasi konflik politik lokal dan nasional,
konflik dan bentuk rejim politik adalah hal yang dapat mengancam
implementasi norma-norma universal Pemilu. Hal yang sama juga dapat
terjadi jika penyelenggara Pemilu tidak netral atau menjadi bagian dari

24 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


rejim yang tidak demokratis tersebut maka Pemilu tidak berlangsung sesuai
sesungguhnya (genuine).

Dari perspektif ACE Project (2013), tema genuine election merupakan


jantung dari Pemilu berintegritas yang mencakup empat aspek utama yaitu
accountability, transparency, accuracy dan ethical behaviour. Empat aspek
tersebut harus hidup dan berkembang dalam setiap siklus Pemilu yang
dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang kredibel. Semangat dari
Pemilu berintegritas dapat dikatakan terkait dengan tujuan untuk
menghasilkan Pemilu yang dapat diterima peserta Pemilu, pemilih atau
rakyat serta dunia internasional. Karena itu kunci untuk menghasilkan
Pemilu yang memiliki legitimasi harus dimulai dari penyelenggara Pemilu
yang kredibel, akuntabel, transparan, akurat dan taat etik dalam menjujung
norma-norma Pemilu universal.

Dalam kajian ACE Project, Pemilu berintegritas disebut sebagai


“incorruptibility or a firm adherence to a code of moral values”, suggesting
that in the context of elections it means an adherence to democratic
principles (ACE Project 2013). Dengan demikian menjadi jelas bahwa tugas
untuk menegakkan Pemilu berintegritas menjadi tanggungjawaab bersama
penyelenggara, pemerintah, peserta Pemilu dan pemilih yang secara
komprehensif sadar akan pentingnya moral dan etika.

Di samping bahasan yang berasal dari ACE Project, Kofi Annan, mantan
Sekjen PBB, menyatakan bahwa Pemilu berintegritas diartikan sebagai
Pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis tentang hak pilih
universal, kesetaraan, profesional, imparsial dan transparan pada seluruh
siklus Pemilu (Annan 2012). Pemilu berintegritas menekankan aspek
tanggung jawab penyelenggara dengan kewenangan yang dimilikinya sesuai
Undang-Undang dapat menghadirkan Pemilu yang dimaksud.
Penyelenggara Pemilu dapat membuat keputusan-keputusan (PKPU,
Peraturan atau Surat Edaran) yang dapat menentukan kualitas Pemilu.
Kualitas ini bisa pada tingkat kebijakan atau keputusan, administratif,
penentuan kebijakan anggaran Pemilu dan personal misalnya terkait
rekrutmen penyelenggara ad hoc (PPK, KPPS, PPS).

ACE Project melihat ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam
Pemilu yang berintegritas, yakni: (ACE Project, 2012).

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 25


 Perilaku Etik (Ethical Behaviour): menggambarkan seperangkat asas yang
menjadi pedoman perilaku atau tindakan yang harus ditunjukkan oleh
penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu serta pemantau Pemilu di
hadapan publik terkait dengan respon mereka terhadap norma-norma
yang menjadi landasan penyelenggaraan Pemilu. Perilaku tersebut dapat
diukur dari konsistensi berbagai pihak di atas untuk mengakui,
menyepakati dan melaksanakan asas-asas kepatutan yang ditunjukkan
melalui perilaku penyelenggara untuk menghasilkan Pemilu yang
demokratis. Sebagai contoh, mengacu pada Peraturan Bersama KPU,
Bawaslu dan DKPP Nomor 13 Tahun 2012, Penyelenggara Pemilu terikat
oleh asas-asas terutama terkait dengan kewajiban untuk bersikap netral
atau imparsial, jujur, adil, terbit, bertindak berdasarkan kepastian
hukum, keterbukaan, akuntabel, profesional, efisien, efektivitas dan
mendasarkan pada kepentingan umum.1 Asas-asas yang dimaksud juga
dapat dipelajari dari karya Wall (2016) terkait penyelenggara Pemilu.
Mencermati konteks etik perilaku baik yang dinyatakan dalam Peraturan
Bersama tersebut dan asas yang diajukan oleh International IDEA, pihak
yang menjadi objek etika perilaku tersebut adalah penyelenggara
Pemilu. Penyelenggara Pemilu bertanggung jawab secara hukum,
administratif, operasional dan teknis seluruh tahapan Pemilu. Adanya
etika perilaku tersebut menjadi rambu-rambu normatif agar
penyelenggara tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada
malpraktik Pemilu, apapun bentuknya (administrasi, pidana dan
pelanggaran kode etik).

 Jujur (Fairness): mengandung makna sikap perilaku yang konsisten


terhadap norma-norma Pemilu, terutama bagi penyelenggara Pemilu
untuk melaksanakan seluruh tahapan Pemilu sesuai dengan norma-
norma Pemilu demokratis yaitu transparan, kesetaraan/persamaan,
keadilan, akuntabel dan kepastian hukum. Dengan demikian fairness,
lebih merupakan ekspresi konsistensi penyelenggara Pemilu untuk
mengedepankan Pemilu yang adil dan memberi ruang bagi stake holder
Pemilu yaitu peserta Pemilu serta pemilih untuk mendapat tempat dan
perlakuan yang sama. Lingkup fairness meliputi dua aspek yaitu
implementasi norma-norma Pemilu (Undang-Undang, Peraturan-
Peraturan yang dibuat penyelenggara (KPU dan Bawaslu) secara adil bagi

1
Pasal 5 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU dan DKPP No 13 Tahun 2012.

26 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


siapa yang terlibat/berkepentingan dengan Pemilu dan hasil Pemilu; dan
tata cara penyelesaian sengketa Pemilu (electoral dispute) yang jelas dan
berkeadilan.

 Ketidakberpihakan (Impartiality): Pemilu yang berintegritas sangat


terkait dengan sikap dan tindakan penyelenggara Pemilu tidak memihak
dengan siapa pun yang menjadi bagian dari kompetisi Pemilu. Berpijak
pada pemikiran tersebut, lingkup impartiality mencakup 3 aspek:
1. Netral atau tidak menunjukkan sikap dan tindakan yang mengarah
pada keberpihakan terhadap peserta Pemilu di semua tahapan
Pemilu;
2. Netral atau tidak menunjukkan keberpihakan dalam menghadapi
sengketa proses Pemilu dan hasil Pemilu;
3. Netral atau tidak menunjukkan keberpihakan terkait dengan
pembuatan regulasi/kebijakan Pemilu dan implementasi
regulasi/kebijakan Pemilu sehingga menguntungan peserta Pemilu
atau pihak-pihak tertentu.

 Keterbukaan dan Tanggung Jawab (Transparency, Accountability):


Tahapan-tahapan Pemilu akan berlangsung berintegritas jika seluruh
tahapan Pemilu dilandasi prinsip keterbukaan dan tanggung jawab
secara internal dan eksternal terhadap pengelolan managemen
administrasi, anggaran dan aspek pembuatan keputusan yang dilakukan
penyelenggara Pemilu. Dalam hal ini, peserta Pemilu dan publik memiliki
akses atas informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui bahwa apa yang
dikerjakan penyelenggara Pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka. Adanya transparansi dan akuntabilitas akan memperkuat
keabsahan atau legitimasi penyelenggara Pemilu. Misalnya, dalam
proses perencanaan anggaran Pemilu dan logistik Pemilu, berlaku prinsip
keterbukaan dalam tender logistik maupun jumlah anggaran yang
dialokasikan untuk penggadaan logistik Pemilu sehingga masyarakat sipil
dapat mengetahui anggaran Pemilu. Dalam hal ini, aspek transparansi
dan akuntabilitas menjadi role model yang efektif bagi penyelenggara
Pemilu untuk mencegah potensi-potensi malpraktik anggaran Pemilu.

Ramlan Surbakti (2016) mengkategorikan empat parameter Pemilu


berintegritas yaitu: jujur (fairness), transparan (tranparency), akurat

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 27


(accuracy) dan akuntabel (accountable). Semua parameter ini harus ada
dan merupakan keniscayaan bagi penyelenggara untuk menerapkan
Undang-Undang dan regulasi Pemilu secara konsisten dalam konteks
menuju Pemilu yang berintegritas.

Substansi parameter electoral integrity tersebut memiliki kesamaan


dengan rumusan ACE Project, dengan tambahan perbedaan pada aspek
akurat (accuracy). Akurat memiliki makna ketepatan dalam penyajian data
terkait Pemilu, seperti data pemilih terdaftar. Ketepatan data pemilih
menjadi legitimasi penyelenggara di mata publik karena semakin tepat atau
akurat data pemilih, semakin besar pemilih yang dicakup sebagai pemilih
sah (eligible).

Dalam isu akurasi adalah pemutakhiran data pemilih sementara (DPS)


menjadi daftar pemilih tetap (DPT) yang dilakukan KPU. Mengingat model
pendaftaran pemilih di Indonesia bersifat pasif, maka dibutuhkan
pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang dilakukan oleh tenaga ad
hoc yang menjadi tumpuan kerja lapangan KPU. Adanya akurasi data
pemilih dapat mencegah potensi pemilih siluman (ghost voter) yang
memanfaatkan kelemahan administrasi dan kependudukan saat ini.
Demikian pula kegandaan identitas dan domisili pemilih dapat dikurangi.
Dalam konteks demikian, akurasi data pemilih adalah keniscayaan untuk
menghadirkan Pemilu berintegritas.

Dari beberapa rumusan terkait Pemilu berintegritas dan parameternya,


dapat ditarik suatu prinsip umum (general principles) bahwa electoral
integrity lebih menyangkut kebutuhan untuk menghadirkan penyelenggara
Pemilu yang memiliki komitmen dan konsistensi untuk menyelenggarakan
Pemilu yang berkualitas dan demokratis. Terlebih ketika Pemilu menjadi
arena konstitusional untuk pengisian jabatan-jabatan kekuasaan dalam
legislatif maupun pemeritahan, mutlak dibutuhkan penyelenggara Pemilu
yang antara kata dan tindakannya selaras dengan prinsip-prinsip Pemilu
berintegritas.

Dalam konteks Pemilu di Indonesia norma-norma Pemilu berintegritas


sebagaimana dibahas di atas sudah diimplementasikan dalam asas-asas
Pemilu Pasal 2 UU Pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil. Hal ini berarti upaya untuk mewujudkan Pemilu berintegritas yang

28 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


konsisten dengan substansi norma-norma Pemilu universal telah menjadi
bagian dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Oleh karena itu,
penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, pemilih dan pemangku kepentingan
terikat secara normatif dan etis terhadap implementasi Pemilu
berintegritas.

Namun hal ini tidak cukup karena dalam realita terjadi praktik-praktik yang
dapat mendistorsi tujuan menuju Pemilu demokratis. Asas-asas di atas
perlu diperkuat dengan asas-asas lain yang secara komprehensif
diharapkan menghasilkan Pemilu berintegritas. Dengan Pemilu
berintegitas, legitimasi penyelenggara dan hasil-hasil Pemilu akan kuat dan
dapat diterima oleh publik. Artinya, di balik Pemilu berintegritas, akan
muncul kepercayaan yang kuat bahwa Pemilu telah dilangsungkan sesuai
prosedur dan substansi kaidah-kaidah demokrasi.

Berdasarkan paparan di atas, maka terdapat dua bentuk Pemilu


berintegritas, yaitu Pemilu berintegritas dalam artian sempit dan Pemilu
berintegritas dalam artian luas. Pemilu berintegritas versi sempit mengacu
pada komitmen dan tanggung jawab penyelenggara untuk mendukung
Pemilu yang bebas dari pelanggaran Pemilu (malpraktik Pemilu).
Sedangkan Pemilu berintegritas dalam arti luas mengacu pada semua pihak,
baik pemilih, peserta dan penyelenggara Pemilu untuk bersama-sama
Pemilu yang berjalan sesuai prinsip-prinsip Pemilu demokratis di semua
tahapan/siklus Pemilu yang meliputi pra Pemilu, Pemilu dan pasca Pemilu
(Wall 2016).2

Dalam pengertian di atas, adanya Pemilu berintegritas akan menjamin


terlindunginya hak-hak konstitusionalitas tiga pihak yaitu pemilih, peserta
Pemilu dan penyelenggara Pemilu. Adapun argumen yang mendasarinya
dijelaskan sebagai berikut (lihat gambar 2.1.) :

▪ Pemilih. Posisi pemilih menjadi penting bahkan inti dari Pemilu itu
sendiri dalam menggunakan hak politiknya pada Pemilu legislatif dan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Untuk itu, pemilih memiliki hak untuk
diperlakukan secara sama atau egaliter dalam menggunakan hak
pilihnya. Contoh bentuk Pemilu berintegritas terkait dengan pemilih

2
Tentang siklus pemilu bisa dibaca selengkapnya pada Bab 5.

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 29


adalah aspek validitas data pemilih. Validitas data pemilih merujuk pada
pendataan pemilih secara akurat berdasarkan agregat data
kependudukan yang dimiliki penyelenggara Pemilu. Data pemilih yang
akurat mampu membedakan mana warga yang secara konstitusional
berhak memilih dan mana yang tidak berhak memilih. Dalam pendataan
dan pengakurasian data pemilih (pemutakhiran data pemilih) berlaku
prinsip integritas dimana petugas pendaftar harus melakukan pendataan
pemilih berdasar prinsip kesetaraan. Data yang digunakan
penyelenggara Pemilu untuk menentukan siapa warga negara yang
berhak memilih secara hukum dan mana warga negara yang tidak berhak
memilih.

Dalam kaitan dengan pendaftaran pemilih, diperlukan suatu penekanan


pentingnya penerapan prinsip-prinsip univeral terkait pendaftaran
pemilih. Prinsip-prinsip pendaftaran pemilih yang harus diwujudkan
penyelenggara Pemilu pada semua siklus Pemilu adalah mengutamakan
aspek kesetaraan, integritas, inklusif, menyeluruh (komprehensif),
akurat, dapat diakses semua pihak, transparan, akuntabilitas, kredibel,
memberi kemudahan informasi kepada masyarakat, dapat akses kepada
pemilih sebagai bagian dari umpan balik dan berkelanjutan. Model
pendaftaran pemilih di Indonesia yang bersifat pasif, membuat hak-hak
pemilih rentan untuk dilanggar atau mengalami praktik irregularity yang
pada hakekatnya adalah bentuk pelanggaran Pemilu. Misal,
ketidaktahuan pemilih terhadap hak-hak politiknya dapat menciptakan
sikap apatis dan menganggap hal biasa jika hak-haknya tidak dilayani
sebagai pemilih. Dalam hal ini, sudah menjadi tanggung jawab
penyelenggara Pemilu untuk konsisten menerapkan prinsip-prinsip
pendaftaran pemilih guna meminimalisir potensi malpraktik Pemilu.

▪ Peserta Pemilu. Dalam konteks Pemilu di Indonesia, peserta Pemilu


adalah Partai Politik (Parpol) untuk Pemilu legislatif dan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Parpol atau gabungan
Parpol. Sebagai perwujudan Pemilu berintegritas peserta Pemilu berhak
mendapatkan perlakuan yang sama di semua tahapan atau siklus Pemilu
mulai dari proses pencalonan, kampanye, saat pencoblosan,
penghitungan dan rekapitulasi suara hingga terkait aspek penegakan
hukum pada saat terjadi sengketa hasil Pemilu. Adanya Pemilu
berintegritas juga memberi perlindungan hak-hak konstitusionalitas
30 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU
peserta Pemilu dalam kasus sengketa proses atau sengketa hasil Pemilu.
Dalam hal ini, peserta Pemilu berhak mendapat perlakuan setara di mata
hukum ketika terjadi kasus-kasus terkait dengan perselisihan Pemilu
(electoral disputes).

▪ Penyelenggara pemilihan umum. Pemilu berinegritas merupakan


kesepahaman bersama penyelenggara Pemilu untuk berkomitmen
mendukung Pemilu berintegritas. Kesepahaman bersama juga berperan
sebagai alat kontrol penyelenggara Pemilu untuk tidak melakukan
tindakan pelanggaran Pemilu yang berkonsekuensi pada aspek hukum.

Gambar 2.1. Pemilu Berintegritas dan tiga pihak yang berkaitan

Dengan demikian, Pemilu berintegritas terkait dengan tugas dan


kewenangan penyelenggara Pemilu untuk menjamin agar Pemilu
berlangsung demokratis di semua tahapan atau siklus Pemilu. Acuan untuk
menghasilkan Pemilu demokratis sekaligus Pemilu berintegritas adalah
Undang-Undang Pemilu. Pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis
pada semua tahapan tersebut tidak saja akan menjamin aspek prosedural
bahwa Pemilu berjalan sesuai norma-norma demokrasi namun juga secara
substansi, Pemilu memberi kepastian hukum bagi pemilih, peserta Pemilu

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 31


dan penyelenggara Pemilu. Terlebih ketika dikaitkan dengan isu hak-hak
politik pemilih, hak-hak politik tersebut meliputi hak-hak dasar seperti hak
untuk didaftar sebagai pemilih dan peserta pemilihan umum, hak
mendapatkan akses informasi terkait proses pemilihan umum, hak
mendapatkan kesempatan yang sama di semua tahapan pemilihan umum,
hak mendapatkan kebebasan dan rasa aman dan hak untuk mendapatkan
perlakuan hukum yang sama di semua tahapan pemilihan umum.

C. Inklusifitas (Inclusiveness)

Isu inclusiveness dalam Pemilu menjadi bagian tak terpisahkan untuk


menghasilkan Pemilu berintegritas. Dalam pengertian umum, inklusivitas
adalah prinsip untuk menyertakan pihak lain dalam suatu proses atau
bagian, dalam hal ini keikutsertaan dalam Pemilu di semua tahapan. Jika
disandingkan dengan Pemilu, maka Pemilu inklusif dapat dimaknai sebagai
Pemilu yang memberi kesempatan bagi pemilih yang telah memenuhi
syarat sesuai hukum yang berlaku, dijamin menggunakan hak-hak pilihnya
tanpa hambatan atas dasar agama, ras/etnik, gender, usia, kondisi fisik dan
wilayah.

Untuk mewujudkan Pemilu inklusif, dibutuhkan kerangka hukum Pemilu


yang non diskriminasi. Pemilu inklusif menjamin penggunaan hak pilih
dalam Pemilu yang mengedepankan nilai-nilai kesetaraan atau persamaan,
terbuka dan berkepastian hukum bagi siapa saja yang ambil bagian dalam
Pemilu. Urgensi Pemilu inklusif adalah untuk menjamin dan memastikan
bahwa pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama secara
hukum dalam penyelenggaraan Pemilu. Untuk memastikan bahwa Pemilu
berlangsung secara inklusif, dibutuhkan kerangka hukum yang non
diskriminatif dan dijalankan oleh penyelenggara Pemilu yang berintegritas.

Pemilu inklusif juga harus menjamin adanya perlakuan yang adil terutama
dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Adanya pembelahan-
pembelahan masyarakat secara sosio kultural, secara politik hal ini
berpotensi dalam menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip Pemilu
inklusif. Begitu pula, adanya dinamika politik yang tinggi menjelang Pemilu
di beberapa tempat/wilayah, langsung atau tidak langsung, juga dapat
berpotensi mempengaruhi kemandirian penyelenggara Pemilu. Dinamika
politik yang berkembang, apapun bentuknya, tidak seharusnya

32 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


mempengaruhi integritas penyelenggara Pemilu di semua tingkatan. Dalam
kondisi ini, penyelenggara Pemilu harus mampu bersikap mandiri, netral,
profesional serta mengedepankan objektivitas.

Landasan nilai Pemilu inklusif dapat direduksi dari prinsip bahwa hak pilih
bersifat universal (universal suffrage). Siapa saja yang memenuhi syarat
sesuai Undang-Undang Pemilu yang berlaku, dijamin dapat menggunakan
hak suaranya tanpa hambatan apapun. Dengan demikian isu Pemilu inklusif
menjadi jantung dari Pemilu berintegritas yang diwujudkan dalam bentuk
perlindungan terhadap hak-hak pemilih. Berikut ini lingkup kegiatan Pemilu
yang dapat dijadikan best practices (cerita baik) untuk menghasilkan Pemilu
inklusif adalah :

▪ Pendaftaran Pemilih: substansi pendaftaran pemilih adalah mewadahi


partisipasi pemilih sah pada saat pemberian suara (pencoblosan). Dalam
hal pengunaan hak suara, pemilih sah (eligible) harus didata berdasarkan
prinsip inklusi. Artinya, tidak boleh ada potensi penghilangan hak pilih.
Begitu pula, penetapan pemilih tetap (DPT) harus dilakukan secara
profesional dan tidak mengandung diskriminasi dalam bentuk apapun
(agama & kepercayaan, gender & sex, etnik & ras, daerah & wilayah).
Prinsip pemilih diperlakukan sama menjadi penting sebagai bagian untuk
menghasilkan Pemilu yang inklusif.

▪ Pencalonan: penyelenggara Pemilu wajib memfasilitasi dan melayani


Parpol dalam mengajukan nama-nama calon. Dalam hal ini,
penyelenggara Pemilu memberikan akses administrasi dan memberikan
masukan-masukan sesuai ketentuan yang berlaku secara seimbang dan
adil. Bentuk kongkret Pemilu inklusif dalam pencalonan adalah
pemberian kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan dalam daftar
calon yang diajukan Parpol di daerah pemilihan. Prinsip keterwakilan
perempuan dalam pencalonan merupakan implementasi Pemilu inklusif
dipandang dari aspek pemenuhan hak-hak representasi politik
perempuan dalam politik.

▪ Pembuatan daerah pemilihan: mengarah pada pembuatan daerah


pemilihan yang mengedepankan aspek proporsionalitas perwakilan yang
bersifat non diskriminatif. Dalam hal ini tidak boleh ada wilayah

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 33


Desa/Kelurahan/Kecamatan/Kota/Kabupaten yang mendapat perlakuan
khusus sementara mengabaikan wilayah Desa/Kelurahan/
Kecamatan/Kota/Kabupaten atas dasar pertimbangan-pertimbangan
diskriminatif tertentu.

▪ Pemberian suara/pencoblosan surat suara: menekankan pada perlakuan


yang sama bagi setiap pemilih untuk dapat menggunakan hak suaranya
pada hari pencoblosan tanpa hambatan, terutama bagi pemilih difabel
atau yang memiliki keterbatasan fisik. Dalam hal ini, penyelenggara harus
memberikan kesempatan dan pelayanan yang memadai agar pemilih
yang memiliki keterbatasan dapat menggunakan hak suara mereka.

Gambar 2.2. Ruang lingkup Pemilu yang inklusif

Ilustrasi grafis di atas dapat diimplementasikan ke dalam Undang-Undang


Pemilu yang mengatur persyaratan pencalonan. Untuk itu, jaminan hak pilih
warga negara, dimana pemilih mendapat perlakuan yang sama dan hak
politik yang dilindungi dapat diimplementasikan oleh penyelenggara
Pemilu. Siapapun warga negara mendapat jaminan perlakuan hukum yang
adil dan sama semisal dalam kasus sengketa pencalonan, sengketa hasil
Pemilu atau dalam mempertahankan hak politiknya. Sebagai tatanan nilai,
Pemilu inklusif harus dituangkan ke dalam kerangka hukum Pemilu yang
34 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU
berkeadilan bagi semua warga negara untuk mendapat perlakuan yang adil
dan sama dalam semua proses penyelenggaraan Pemilu.

Dalam konteks Pemilu di Indonesia yang kian kompetitif dan transparan,


kebutuhan hadirnya Pemilu yang transparan dan berkeadilan menjadi isu
penting. Terkait inklusifitas Pemilu maka persoalan dasar yang mengemuka
adalah bagaimana inklusifitas melekat dan menjadi bagian yang satu
kesatuan dalam mekanisme hukum. Misalnya, hal yang teknis soal
kampanye Pemilu yang harus mengedepankan aspek persamaan bagi
semua peserta Pemilu. Dalam hal ini, penyelenggara Pemilu harus berpijak
pada regulasi Pemilu terkait kampanye yang harus memperlakukan secara
sama dan adil setiap peserta Pemilu yang akan melakukan kampanye.
Apalagi dalam transformasi kampanye Pemilu yang mengarah pada
penggunaan media sosial, maka penyelenggara Pemilu harus
memperhatikan aspek dinamika kampanye yang serba instan dimana
penggunaan media sosial telah menghasilkan kampanye online yang masif
(Medvic, 2011; Panagopoulos, 2009). Artinya, setiap regulasi Pemilu yang
menjadi pijakan penyelenggara Pemilu harus mampu dioperasionalkan
secara konsisten untuk mewadahi setiap kesempatan agar peserta Pemilu
optimal memanfaatkan media kampanye yang dijamin oleh UU Pemilu.3

Uraian diatas menegaskan bahwa konsep Pemilu berintegritas selalu


ditandai dengan pelaksanaan Pemilu bebas dan adil (free and fair). Global
Commision on Election, Democracy and Security (2012) mendefinisikan
Pemilu berintegritas sebagai Pemilu yang berdasarkan atas prinsip
demokrasi dari hak pilih universal dan kesetaraan politik seperti yang
dicerminkan pada standar internasional dan perjanjian, profesional, tidak
memihak, dan transparan dalam persiapan, dan tantangan utama Pemilu
berintegritas pengelolaannya melalui siklus Pemilu. Indikator Pemilu
berintegritas menurut komisi ini adalah Pemilu itu harus didasarkan pada
prinsip demokrasi dengan hak pilih yang berlaku umum dan kesetaraan
politik seperti digambarkan dalam Deklarasi Umum HAM dan Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Penyelenggaraanya harus
secara profesional, imparsial dan transparan. Serta etika harus jadi

3 Misal pasal 289 UU Nomor 7 Tahun 2017 dinyatakan bahwa peserta pemilu dalam menggunakan me-
dia kampanye media massa cetak, media daring (online).

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 35


penuntun dalam setiap siklus Pemilu secara keseluruhan. Atas dasar itulah
maka Pemilu di Indonesia menganut asas luber dan jurdil.

D. Pemilu Luber dan Jurdil di Indonesia

Pemilu merupakan ciri utama negara yang demokratis. Demokrasi adalah


tujuan negara yang dicita-citakan bersama, sementara Pemilu adalah salah
satu cara untuk mencapai tujuan itu. Pemilu sebagai sarana kedaulatan
rakyat untuk memilih wakil-wakil, mandataris rakyat untuk mengelola
negara, merumuskan kebijakan publik, melindungi dan melayani rakyatnya
untuk usaha mencapai cita-cita demokrasi yaitu masyarakat adil dan
makmur.

Selama ini cara pandang memahami demokrasi tidaklah selalu sama oleh
masing-masing negara. Ada negara yang tidak melaksanakan Pemilu namun
tetap mengklaim sebagai negara demokrasi. Sebaliknya ada negara yang
cenderung tidak demokratis namun tetap melaksanakan pemilihan umum.
Korea Utara yang dikenal dengan kekuasaan otoriter tetap melaksanakan
Pemilu secara periodik (Gaffar 2006). Pemilu di sana dilaksanakan sekedar
untuk melegitimasi kekuatan politik yang sedang berkuasa.

Pemilu bukanlah satu-satunya instrumen dalam negara demokrasi. Namun,


Pemilu tetaplah merupakan instrumen demokrasi yang paling utama.
Pemilu melekat dengan kedaulatan rakyat, sedangkan demokrasi
menjadikan rakyat sebagai bagian utama dan tak terpisahkan dalam proses
itu. Bisa saja Pemilu itu berjalan tidak demokratis, namun negara demokrasi
tanpa Pemilu adalah hal yang tidak lazim.

Pemilu adalah sebuah sistem, dimana suatu proses yang bekerjanya


subsistem dengan subsistem lainnya. Hasil (output) Pemilu sebagai salah
satu bagian dari sistem membutuhkan legitimasi atau pengakuan rakyat
sebagai sumber kekuasaan. Pemilu mengklaim dapat membentuk sistem
yang memaksa atau mendorong pembuat Undang-Undang agar
memperhatikan aspirasi rakyatnya. Konsensus kolektif menghendaki
Pemilu yang kompetitif, lebih dari sekedar fungsi lainnya, akan melahirkan
negara yang memiliki sistem politik demokratis (Powell 2000)

36 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


Pemilu tidak hanya sekedar dilaksanakan secara periodik namun Pemilu
mengandung makna penting bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat.
Rakyat menjadi instrumen terpenting dalam proses Pemilu itu, sebab yang
menerima dampak secara langsung dari Pemilu itu adalah rakyat itu sendiri.
Rakyat tidak sekedar memiliki hak untuk memilih siapa saja yang
dikehendakinya namun dituntut pula sebuah kewajiban politik agar memilih
calon yang nilai cakap, berkualitas, berpengalaman sebagai representasi
politiknya. Pemilihan umum merupakan sarana memobilisasi dan
menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintah dengan
jalan ikut serta dalam proses politik (Surbakti 2010)

Pemilu akan menentukan apakah sebuah negara berhasil mewujudkan cita-


cita demokrasi yakni kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau
sebaliknya. Hasil atau dampak Pemilu akan sangat tergantung pada apakah
tata kelola Pemilu itu berproses dengan baik atau tidak. Pengalaman di
sejumlah negara menunjukkan bahwa ternyata Pemilu itu tidak
memberikan perubahan apapun. Pemilu hanyalah sekedar melegitimasi
kekuasaan lama atau sekedar melahirkan perubahan struktur kekuasaan.
Pemilu yang demikian adalah Pemilu yang kehilangan roh demokrasi
(Gaffar, 2012). Akibat dari itu negaranya tetap terlilit kemiskinan,
kebodohan dan ketertinggalan karena calon terpilih dalam pemilu ternyata
tidak cakap menjalankan fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif. Ada negara
mengalami konflik berkepanjangan bahkan yang terparah ketika pasca
Pemilu negara itu bubar.

Dengan demikian tidak selamanya negara yang melaksanakan Pemilu dapat


disebut juga sebagai negara demokratis. Pemilu curang, penuh rekayasa,
intimidasi dan manipulasi tidak bisa disetarakan dengan nilai dan prinsip
demokrasi. Pemilu dan demokrasi dapat disetarakan apabila kebebasan
politik rakyat dipastikan terjamin serta kewajiban semua unsur untuk
melaksanakannya secara berintegritas. Itulah sebanya Pemilu di Indonesia
menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan
jurdil)

Penggunaan istilah luber dan jurdil sebagai asas Pemilu bukan hal yang baru
berlaku pada Pemilu saat ini. Dalam Pemilu tahun 1971, seperti yang
dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 37


Rakyat, asas ini sudah dijadikan hal fundamental. Namun jauh sebelumnya,
di saat pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat tahun 1955, UU Nomor 7 tahun 1953 menyebutkan enam asas
Pemilu yakni jujur, berkesamaan, langsung, umum, bebas dan rahasia.

Asas berkesamaan sesuai penjelasan dalam UU ini dimaksudkan agar hak


suara yang dimiliki oleh peserta Pemilu memiliki kesamaan dalam
jumlahnya yakni hanya satu suara saja. Untuk mendukung asas ini maka
setiap warga negara yang telah memilih diberi tanda khusus pada bagian
tubuhnya sehingga ia tidak bisa melakukan pemilihan secara berulang-
ulang. Tanda yang digunakan di Indonesia biasanya adalah jari tersebut
dimasukkan ke dalam tinta biru/hitam.

Pasca tumbangnya rejim pemerintahan Orde Baru, MPR sebagai lembaga


tertinggi negara pada saat itu mengeluarkan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XIV/MPR/1998
tentang Perubahan dan Tambahan Atas Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1998 tentang
Pemilihan Umum. Ketetapan ini kemudian menjadi salah satu dasar
dikeluarkannya UU nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Asas
Pemilu sebagaimana Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa Pemilu
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil dengan
mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum,
bebas dan rahasia.

Pemilu yang dilaksanakan tahun 2004 menggunakan UU Nomor 12 Tahun


2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 2 dalam
UU itu menyebutkan bahwa Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keenam asas ini berlaku
hingga Pemilu saat ini.

38 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


Gambar 2.3. Asas Pemilu di Indonesia

Terdapat tiga hal utama yang akan dielaborasi dalam Pemilu yang luber dan
jurdil di Indonesia, yakni (1) pemahaman tentang makna yang dimaksud; (2)
mengapa harus menerapkan asas tersebut; dan (3) bagaimana mewujudkan
asas tersebut dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

D.1. Makna Pemilu Luber dan Jurdil

 Asas Langsung
Asas Pemilu langsung dipahami dari dua makna yakni pertama, tindakan
secara teknis, dimaksudkan agar masyarakat sendiri yang menyatakan
suaranya secara langsung, tidak boleh diwakilkan. Hal ini untuk mencegah
agar jangan sampai terjadi kecurangan yang dilakukan pihak yang mewakili.
Kedua, asas Pemilu langsung memiliki arti yang sifatnya substantif.
Pemilihan secara langsung sebagai bentuk implementasi ketentuan
konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat memiliki
kedaulatannya sendiri termasuk dalam menentukan siapa pemimpinnya.
Itulah sebabnya dalam UU Pemilu yang di gunakan selama ini menyebut
bahwa Pemilu adalah sebagai sarana kedaulatan rakyat. Pemilu langsung
juga bermakna untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung.

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 39


Pemilu merupakan salah satu implementasi demokrasi yang sering
dimaknai sebagai dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.

 Asas Umum
Asas umum juga mengandung tiga makna berbeda. Pertama, Pemilu itu
harus diikuti oleh semua warga negara yang telah diberikan kesempatan
oleh UU sebagai pengguna hak pilih. Semua warga negara yang telah
memenuhi syarat harus didaftarkan dan semua masyarakat yang telah
didaftarkan harus diberikan kemudahan akses untuk memberikan suaranya
dan suara yang diberikan tidak boleh hilang atau berpindah pilihan. Kedua,
makna umum memiliki arti bahwa Pemilu dilaksanakan secara bersama-
sama di seluruh wilayah Indonesia. Pemilu dilaksanakan pada hari yang
sama, jam yang sama, dan di lokasi-lokasi pemungutan suara yang sama
yakni di tempat pemungutan suara (TPS). Ketiga, makna umum memiliki arti
juga bahwa Pemilu diselenggarankan oleh organisasi penyelenggara yang
sama, pemilih yang sama serta diikuti oleh peserta Pemilu yang sama.

 Asas Bebas
Asas Pemilu bebas mengandung makna bahwa pemilih dalam menentukan
sikap politik dilakukan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kebebasan
menyatakan sikap atau keyakinan politik adalah hak asasi manusia.
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan
mempunyai keyakinan politiknya. Pemilih tidak boleh diintervensi,
diintimidasi ataupun dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu. Asas
bebas dan adil ini memberikan kesempatan kepada setiap warga negara
untuk memilih calon pemimpin sesuai dengan keyakinannya. Bebas juga
memutuskan untuk tidak lagi memilih pemimpin yang tidak amanah
berkuasa kembali.

Menurut Gaffar (2006), salah satu syarat mutlak pelaksanaan demokrasi


secara empirik di suatu negara adalah Pemilu. Pemilu dilaksanakan secara
teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai
dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai
atau calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau
paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam

40 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


aktivitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye dan
menyaksikan penghitungan suara.

 Asas Rahasia
Asas Pemilu rahasia bermakna bahwa pilihan seseorang tidak boleh
diketahui oleh orang lain. Sehingga tidak boleh satupun pemilih
memberitahukan pilihannya kepada orang lain. Asas rahasia juga bermakna
bahwa kelompok atau seseorang tidak diperbolehkan memaksakan
pilihannya itu kepada kelompok atau orang lain. Asas rahasia menjadi salah
satu permasalahan dalam proses Pemilu saat ini. Makin menguatnya politik
aliran, politik uang serta mobilisasi aparat menyebabkan asas kerahasiaan
tidak lagi bermakna.

 Asas Jujur
Asas Pemilu jujur dimaksudkan agar tidak terjadi kecurangan oleh siapapun
dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan Pemilu. Mulai dari proses
rekrutmen calon, pernyataan janji-janji kampanye, mempengaruhi
masyarakat tidak dengan imbalan atau paksaan, tidak menambahkan atau
mengurangi suara dalam proses penghitungan suara. Pemilu adalah
kompetisi merebut kemenangan, namun kompetisi yang dimaksud adalah
tindakan mempengaruhi pemilih dengan cara-cara yang lebih beradab.
Tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang berhasil, jika mereka terpilih
melalui cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang
bertentangan dengan asas Luber dan Jurdil. (Santoso 2004)

Asas jujur tidak hanya menyasar peserta atau penyelenggara Pemilu. Asas
ini mencakup semua stakeholder Pemilu seperti kejujuran pemilih dengan
keyakinan politiknya, tidak karena imbalan atau tekanan. Kejujuran
pemerintah dalam memfasilitasi data awal pemilih, kejujuran media dalam
pemberitaan, kejujuran lembaga survei dalam mempublikasi hasil serta
kejujuran para ilmuwan kampus dalam mewartakan gagasannya.

 Asas Adil
Asas Pemilu adil dimaksudkan agar setiap pemilih, penyelenggara dan
peserta Pemilu diperlakukan secara adil. Keadilan Pemilu berkaitan
langsung dengan integritas Pemilu. Pasal 4 UU Pemilu menyebutkan bahwa
Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem
ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan
BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 41
berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu,
memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan
Pemilu serta mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.

Asas adil mengandung tiga aspek. Pertama, segala bentuk regulasi Pemilu
(mulai dari UU dan turunannya) harus memberikan rasa keadilan bagi setiap
warga negara. Kedua, setiap penyelenggara Pemilu harus memberikan
pelayanan yang adil tanpa membeda-bedakan perlakuan, baik terhadap
peserta Pemilu maupun pemilih. Ketiga, setiap putusan lembaga peradilan
Pemilu harus memutus perkara seadil-adilnya.

D.2. Mengapa Pemilu Harus Luber dan Jurdil

Pemilu yang tidak dilaksanakan secara luber dan jurdil ternyata menyisakan
banyak persoalan baik dalam proses Pemilu maupun dinamika
pemerintahan pasca Pemilu. Sejumlah negara menunjukkan sebuah contoh
ketika Pemilu tidak berlangsung secara luber dan jurdil. Gejolak akibat
Pemilu di Venezuela yang dilaksanakan pada tahun 2018, hingga kini belum
memiliki kepastian. Negara itu kini sedang dilanda konflik berkepanjangan.
Calon Presiden yang dikalahkan Nicolas Maduro yakni Henri Falcon dan
Javier Bertucci kompak bersepakat menolak hasil itu. Keduanya
menganggap proses Pemilu berlaku curang dalam hal jual beli suara dan
pelanggaran lainnya. Negara itu makin parah ketika Ketua Majelis Nasional
(DPR), Juan Guaido memanfaatkan konflik itu dengan mendeklarasikan diri
sebagai Presiden interim Venezuela. Juan membangun kekuatan dengan
sejumlah elit dan bergabung dengan kelompok-kelompok yang menentang
kepemimpinan Maduro.

Afganistan adalah negara yang memiliki kepemimpinan kembar di bawah


Ashraf Ghani dan Abdullah Abdullah. Kenyataan ini harus dihadapi akibat
Pemilu tahun 2014 di negara itu tidak berjalan dengan baik. Masing-masing
calon mengklaim kemenangan. Pada pemungutan suara putaran pertama,
Abdullah unggul, namun ketika dilakukan putaran kedua, Ghani justru
berbalik unggul. Pihak Abdullah tidak menerima hasil ini karena adanya
dugaan kecurangan setelah pengumuman hasil penghitungan suara diundur
dua bulan dari jadwal yang sudah disepakati. Setelah dilanda konflik
berkepanjangan selama delapan bulan, akhirnya kedua tokoh ini
berkompromi untuk berbagi kekuasaan eksekutif. Pihak yang satu berperan

42 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


sebagai presiden, kemudian yang satu berperan sebagai kepala eksekutif
pemerintahan. Kesepakatan inipun terjadi karena intervensi Amerika
Serikat. Kepemimpinan kembar seperti ini mengakibatkan sangat sulit
berjalannya pemerintahan secara efektif.

Peristiwa serupa terjadi juga di Zimbabwe. Nelson Chamisa, Calon oposisi


Gerakan Perubahan Demokratis (MDC) yang kalah Pemilu menolak
diadakannya pelantikanan Emmerson Mnangagwa pada Agustus 2018
karena pihaknya menemukan bukti pihak kepolisian tidak netral dan dan
ikut terlibat melakukan kecurangan. Pimpinan institusi yang harusnya netral
tapi terbukti mewajibkan semua polisi harus mencoblos surat suara di
bawah tekanan dan pengawasan satuan masing-masing. Kondisi menjadi
panas dan tidak menentu karena juga perolehan suara kedua Calon
selisihnya terpaut sangat tipis. Mnangagwa meraih 50,8 persen suara
sedangkan lawannya Chamisa meraih 44 persen suara. Pihak Chamisa
makin bersemangat dengan cara mendesak Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan kemenangan Mnangagwa karena dugaan kecurangan yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilu. Komisi Pemilihan Zimbabwe sempat
merevisi hasil pemilihan presiden sebanyak dua kali. Tapi Mahkamah
Konstitusi Zimbabwe pada Agustus 2018 mengeluarkan putusan
memperkuat kemenangan tipis Mnangagwa. Putusan itu menyebabkan
suasana di negara itu dalam keadaan kacau.

Kekacauan Pemilu tahun 1990 di Yugoslavia menjadi salah satu sebab


negara itu bubar. Konflik terjadi berawal ketika partai komunis kalah dan
partai-partai berhaluan nasionalis menguasai perolahan kursi. Sebelum
pecah menjadi negara-negara kecil seperti Republik Serbia, Republik
Montenegro, Republik Kroasia, Republik Slovenia, Republik Makedonia dan
Bosnia Herzegovina, negara pelopor Gerakan Non-Blok (GNB) ini dikenal
sebagai sebuah negara komunis yang maju dan makmur rakyatnya.

Negara-negara ini gagal melaksanakan Pemilu sehingga melahirkan


bencana. Menurut Asshiddiqie (2006) bahwa tujuan penyelenggaraan
Pemilu adalah untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai, untuk memungkinkan terjadinya
pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga
perwakilan, untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat dan untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 43


Pemilu Indonesia pada masa Orde Baru, meski proses penyelenggaraannya
berjalan lancar dan stabil, namun dampak dari hasil Pemilu itu belum
memberikan kontribusi bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara
adil dan merata. Produk Pemilu saat itu justru hanya melahirkan
pemerintahan yang korup dan otoriter. Saat itu Pemilu hanya dilaksanakan
secara formalitas untuk melegitimasi kekuasaan. Hasil yang diperoleh sudah
dirancang jauh sebelum tahapan Pemilu dimulai. Sehingga pemenang
Pemilu sudah diketahui sebelum kompetisi dimulai. Pemilu tidak dilakukan
secara transparan, terjadi mobilisasi pemilih termasuk pengarahan
birokrasi, serta pemberlakuan proses pidana bagi yang menentang rejim
yang sedang berkuasa. Benar yang dikatakan Santoso dan Supriyanto (2004)
bahwa tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang berhasil, jika mereka
terpilih melalui cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan
yang bertentangan dengan asas Luber dan Jurdil.

Dianggap bahwa rejim Orde Baru mulai menyimpang dari proses


berdemokrasi maka munculah kelompok perlawanan untuk menggulingkan
rejim itu. Puncaknya terjadi pada Mei tahun 1998 dengan tumbangnya rejim
orde baru dan pemerintahan Soeharto. Pergantian rejim menjadi pintu
masuk bagi proses tata ulang sistem bernegara dalam berbagai bidang
termasuk memperbaiki tata kelola penyelenggaran Pemilu.

Pada Tahun 1999 untuk pertama kali diadakan Pemilu pasca tumbangnya
pemerintahan Orde Baru. Sebagai dasar hukum pelaksanaan menggunakan
UU nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam bab I pasal 1 UU
itu menyebutkan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemilihan Umum
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan
mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum,
bebas, dan rahasia. Ketentuan itu berlaku hingga saat ini yakni ketika Pemilu
menggunakan UU Nomor 7 Tahun 2017 dengan asas Pemilu luber dan jurdil.

Komitmen untuk melaksanakan Pemilu luber dan jurdil paling tidak memiliki
empat alasan, seperti yang disebutkan di gambar 3. Pertama memastikan
Pemilu memiliki legitimasi. Pemilu harus memiliki kepastian hukum,
kontestasi peserta, penyelenggara yang mandiri serta pelibatan dan
partisipasi masyarakat. Dukungan masyarakat akan sangat tergantung pada

44 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


tingkat kepercayaannya baik terhadap Pemilu itu maupun penyelenggara
sebagai pelaksana Pemilu.

Gambar 2.4. Tujuan Pemilu Luber dan Jurdil

Pemilu yang dinilai tidak memberikan dampak pada kepentingan


masyarakat cenderung berpengaruh pada partisipasi masyarakat, baik
dalam persiapan, proses Pemilu, pemungutan hingga rekapitulasi suara.
Salah satu sebab terjadinya ketidakakuratan penyusunan daftar pemilih
karena dipicu juga oleh minimnya kesadaran masyarakat dalam melapor
peristiwa-peristiwa kependudukan, baik yang dialaminya maupun yang
dialami kerabat terdekatnya.

Demikian halnya dengan kegiatan kampanye yang dilakukan Parpol.


Sebagian besar masyarakat yang hadir dalam kampanye adalah masyarakat
yang dimobilisasi, bukan masyarakat yang datang karena kesadaran politik.
Penyebabnya bisa jadi karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap
Parpol atau nama-nama calon yang diajukan Parpol. Dalam hal pengawasan
partisipatif peran serta masyarakat tidaklah signifikan. Kebanyakan yang
melapor adalah masyarakat yang mengalami kerugian sendiri bukan
masyarakat yang memiliki kesadaran atau kepentingan menegakkan Pemilu
lebih berintegritas. Rendahnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 45


partisipatif ini sangat dipengaruhi oleh ketidakpercayaan terhadap
penyelenggara karena dinilainya tidak mampu mewujudkan penanganan
pelanggaran Pemilu secara terbuka dan adil.

Sikap ketidakpercayaan ini juga menjadi salah satu pemicu keengganan


masyarakat datang ke TPS untuk memilih. Ketidakpercayaan terhadap
penyelenggara dan peserta Pemilu sebagai salah satu pemicu partisipasi
masyarakat menjadi tidak optimal dan akhirnya berdampak pada legitimasi
Pemilu itu sendiri. Di beberapa negara, Pemilu yang tidak mendapat
legitimasi oleh sebagian besar rakyatnya menjadi pemicu demontrasi dan
kerusuhan masa. Kepemimpin pemerintahan selalu terganggu akibat
stabilitas negara yang tidak terkendali. Pengalaman yang sama juga terjadi
di sejumlah daerah pasca pilkada. Hasil pilkada sering melahirkan
instabilitas di masyarakat.

Kedua, asas Pemilu luber dan jurdil sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya konflik Pemilu. Konflik yang terjadi di sejumlah negara
sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu diakibatkan oleh
pelaksanana Pemilu yang dinilai tidak jujur dan adil. Akan halnya dengan
Pemilu dan pilkada di sejumlah daerah juga mengalami hal yang sama. Pihak
penyelenggara yang terbukti bekerja tidak profesional sehingga
menguntungkan pihak lain menjadi pemicu terjadinya konflik. Pihak yang
merasa dirugikan berekasi dengan cara memobilisasi massa pendukungnya
melakukan perlawanan. Suasana yang tak terkendali menyebabkan
keonaran dan kerusuhan massa berkepanjangan.

Ketiga, asas Pemilu luber dan jurdil dimaksudkan agar hasil dari proses
Pemilu melahirkan pemimpin atau politisi yang berkualitas. Pembiayaan
Pemilu yang sangat besar dan kompetisinya menguras banyak energi
diharapkan akan berdampak pada kepentingan masyarakatnya. Selama ini
hasil Pemilu dianggap belum memberikan kontribusi bagi pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Sebagian besar yang
terpilih dianggap tidak cakap dan tidak memiliki kemampuan melaksanakan
tugas yang diembankan baik dalam jabatan eksekutif ataupun legislatif.
Minimnya pengalaman organisasi dan kepemimpinan sebelum terpilih
menyebabkan yang bersangkutan tidak memiliki modal ketika menjabat.
Telah menjabat lima atau sepuluh tahun, tapi daerah yang dipimpinnya
tidak memiliki kemajuan apa-apa. Sebagian harus berurusan dengan KPK

46 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


atau penegak hukum lainnya akibat penyalahgunaan kewenangan. Sejak
Tahun 2004 hingga 2019, KPK telah menangani korupsi kepala daerah
sebanyak 115 kasus. Terakhir pada Juli 2019 Komisi Pemberantasan Korupsi
menahan Bupati Kudus M. Tamzil. Ia ditahan karena disangka menerima
suap Rp 250 juta. Sebelumnya KPK juga mengangkap Gubernur Kepulauan
Riau Nurdin Basirun pada pertengahan Juli 2019 lalu. Sedangkan perkara
korupsi yang paling banyak di tangani KPK adalah anggota DPR dan DPRD.
Pejabat-pejabat koruptor ini merupakan produk pemilihan.

Hasil Pemilu semacam ini dipengaruhi oleh pelaksanaan Pemilu yang tidak
dijalankan secara luber dan jurdil. Parpol tidak menyeleksi calonnya dengan
baik. Kualitas calon sering diabaikan dan yang dikedepankan adalah calon
yang memiliki modal dan atau juga karena kedekatan dengan penguasa-
penguasa politik lokal. Memang tidak ada satupun pasal dalam regulasi
melarang unsur masyarakat tertentu untuk menjadi calon, namun
persoalannya adalah apakah calon yang kemudian terpilih itu memiliki
kapasitas atau tidak.

Masyarakat yang cenderung pragmatis juga masih menjadi salah satu


masalah dalam pelaksanaan pemilihan. Tidak terjaringnya masyarakat yang
memiliki kapasitas dalam daftar calon oleh Parpol menjadi salah satu sebab
masyarakat terpaksa harus memilih berdasarkan imbalan. Semakin tinggi
imbalan, semakin pasti siapa yang akan dipilih. Segala bentuk tindakan
kecurangan ini terjadi karena asas Pemilu luber dan jurdil ini belum benar-
benar diimplementasikan dengan baik. Jika semua pemangku kepentingan
menghormati asas-asas ini dan mengaplikasikannya, maka Pemilu
berintegritas dan demokratis dapat diwujudkan sehingga dari Pemilu akan
melahirkan pemimpin-pemimpin yang lebih berkualitas.

Keempat, Pemilu yang dilaksanakan secara luber dan jurdil akan


mempengaruhi pengakuan dunia internasional terhadap Bangsa Indonesia.
Pemilu adalah salah satu lambang kewibawaan suatu bangsa. Jika Pemilu
dilakukan dengan cara-cara terhormat, maka hasilnya juga akan diakui
secara terhormat dimanapun dan oleh siapapun termasuk oleh dunia
internasional.

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 47


D.3. Mewujudkan Pemilu Jujur dan Adil

Pemilu berintegritas dan demokratis akan terwujud apabila asas-asas


Pemilu dapat diimplementasikan dengan baik. Asas ini harus tercermin
dalam setiap penyusunan UU ataupun peraturan lain tentang Pemilu, harus
menjadi pedoman masing-masing pemangku kepentingan Pemilu seperti
Parpol, calon, pemilih, penyelenggara, pemerintah, media atau oleh siapa
saja yang berkaitan dengan proses Pemilu.

Tabel 2.1. Penerapan dan Tantangan Asas Pemilu di Indonesia


ASAS STAKEHOLDER PENERAPAN HAMBATAN
Langsung Pemilih Memberikan suara secara Noken di Papua,
langsung tanpa perantara, pendampingan kaum
tidak diwakilkan disabilitas, penggunaan C6
milik orang lain
Umum Pemilih Memilih secara bersama-sama Daftar pemilih yang tidak
di waktu yang sama dan akurat, rendahnya partisipasi
diorganisir secara bersama- masyarakat
sama oleh penyelenggara
Penyelenggara Mendaftarkan semua warga Ketidakakuratan data awal
negara yang memiliki hak pilih dan rendahnya partisipasi
masyarakat
Bebas Pemilih Bebas memilih tanpa intimidasi Mobilisasi ASN, Penghasutan
kelompok aliran
Penyelenggara Bebas dan mandiri membuat Gakkumdu, Rapat Konsultasi
keputusan/putusan tanpa di DPR
tekanan
Rahasia Pemilih Tidak memberitahukan atau Politik uang, politisasi ASN,
memaksakan pilihannya politik aliran
kepada pihak lain
Jujur Penyelenggara Tidak melakukan kecurangan Terbatasnya bimtek bagi
Penyelenggara ad hoc
Peserta/calon Jujur mengajukan dokumen
sebagai syarat calon
Masyarakat Jujur ketika melaporkan
sesuatu atau jujur ketika
bersaksi di persidangan
Adil Pemerintah Memperlakukan sama Pengajuan data pemilih
terhadap semua peserta
Parpol Adil menyeleksi calon yang Tidak atas dasar mahar tapi
hendak diusung karena kompetensi calon
yang dipilih

48 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


ASAS STAKEHOLDER PENERAPAN HAMBATAN
Penyelenggara Putusan yang adil dan
Memberikan pelayanan, yang
sama bagi stakeholder Pemilu
Media Menyajikan pemberitaan yang Tuntutan income
seimbang bagi semua calon perusahaan
Pemilih Adil memilih calon tanpa
dipengaruhi oleh imbalan, atau
faktor kesamaan aliran.
Memilih yang dikenal
berkualitas

Pada tabel di atas menjelaskan bahwa terwujudnya Pemilu luber dan jurdil
merupakan tanggung jawab bersama. Pelaksanaan Pemilu memang
menjadi tanggung jawab penyelenggara, namun untuk mewujudkan Pemilu
berkualitas dibutuhkan tanggung jawab bersama.

Materi UU Pemilu yang mencakup tujuan Pemilu, hak dan kewajiban


komponen Pemilu (peserta, penyelenggara, pemilih, pemerintah dan
masyarakat) serta proses Pemilu wajib memenuhi aspek-aspek yang
terkadung dalam asas Pemilu. UU atau pengaturan Pemilu lainnya harus
memastikan apakah semua unsur masyarakat memiliki kemudahan akses
yang sama dan memungkinkan memilih secara langsung. Segala tindakan
yang berpotensi menghalangi masyarakat memilih secara langsung sedapat
mungkin diantisipasi oleh segala bentuk pengaturan Pemilu.

UU dan pengaturan Pemilu harus mengatur agar semua warga negara yang
memiliki hak pilih dapat dengan mudah terdata dalam daftar pemilih
kemudian pemilik hak pilih dapat dengan leluasa mencoblos di TPS. Tata
kelola pendataan pemilih perlu penguatan tanggung jawab antara
pemerintah, penyelenggara, peserta dan pemilih. Kelalaian dalam tanggung
jawab harus ditindaklanjuti dengan pemberlakuan sanksi. Untuk
mewujudkan asas Pemilu ini, harus juga dipastikan bahwa Pemilu dapat
dilakukan dalam waktu yang sama, serentak di seluruh tanah air.

Segala potensi yang bisa menghambat kebebasan dan kerahasiaan


masyarakat memilih harus dicegah melalui penyusunan UU ataupun
pengaturan Pemilu lainnya. Selama ini tindakan-tindakan yang
menyebabkan kebebasan dan kerahasiaan itu adalah pengaruh politik uang,

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 49


intimidasi aparat daerah atau karena tekanan kelompok aliran. Hal-hal ini
harusnya bisa dicegah lewat aturan Pemilu yang lebih ketat.

Meski kejujuran merupakan sifat hakiki manusia, namun aturan kepemiluan


bisa memaksa setiap orang untuk bisa dan harus melakukannya.
Mengangkat dan menyeleksi secara benar terhadap orang-orang dalam
suatu tugas tertentu bisa menjamin orang itu bekerja secara jujur. Sanksi
berat terhadap seseorang jika terbukti bertindak tidak jujur, maka akan
memaksa siapa saja untuk berusaha bekerja secara jujur. Bagian-bagian
tertentu yang bisa saja mendorong potensi orang bekerja tidak jujur harus
diantisipasi melalui pengaturan Pemilu. Sebab kejahatan bisa dipicu juga
karena ada peluang dan kesempatan.

Gambar 2.5. Strategi Pemilu Luber dan Jurdil

Gambar di atas menjelaskan bahwa untuk mewujudkan Pemilu luber dan


jurdil maka ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, UU dan
pengaturan Pemilu juga harus bisa memastikan bahwa proses Pemilu harus
berasaskan pada keadilan. Keadilan itu mencakup perlakuan yang sama
terhadap peserta, penyelenggara, pemilih atau komponen masyarakat
lainnya yang melibatkan diri dalam proses Pemilu. Asas adil juga mencakup
tindakan-tindakan para aktor Pemilu yang diberikan kewenangan mengadili
perkara-perkara Pemilu.

50 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


Untuk memastikan apakah UU atau pengaturan lainnya mengatur Pemilu
luber dan jurdil maka dalam tahapan perumusan kebijakannya harus
dilakukan secara profesional. Pembahasan UU yang hanya terfokus pada
pasal-pasal tertentu terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan
Parpol mengakibatkan lahirnya sejumlah masalah seperti tumpang tindih
baik antar pasal ataupun dengan aturan lainnya, kesulitan dalam
implementasi, menimbulkan multi persepsi, serta mendorong adanya
judicial review di MK.

Asas Pemilu luber dan jurdil akan bermakna jika materi UU Pemilu mengatur
dan memaksa. Sehingga dalam proses penyusunannya harus berdasarkan
pada kepentingan umum, bukan sebatas pada kepentingan Parpol atau elit
penguasa. Dalam perumusannya harus melibatkan masyarakat. Meski
kewenangan menyusun UU adalah lembaga legislatif, namun peran
masyarakat perlu difasilitasi dan dilembagakan dalam bentuk pengaturan
agar lebih mengikat dalam perumusannnya.

Kedua, Parpol menjadi salah satu bagian penting agar Pemilu bisa berjalan
luber dan jurdil. Sehingga kelembagaan Parpol perlu dibenahi. UU Nomor 2
Tahun 2008 tentang Parpol menjelasakan bahwa salah tugas Parpol adalah
mempersiapkan calon pemimpin melalui proses rekrutmen, kaderisasi dan
seleksi. Demikian juga dalam UU Pemilu menyebutkan bahwa calon
legislatif didaftarkan oleh Parpol sebagai peserta Pemilu. Tanggung jawab
Parpol untuk mewujudkan asas Pemilu sangat besar.

Peran Parpol dimulai pada saat pembentukan Parpol peserta Pemilu, seleksi
calon hingga pengawasan terhadap calon yang berkompetisi. Apakah para
pendiri memiliki cita-cita mendirikan Parpol untuk kepentingan masyarakat
atau sekedar sarana merebut jabatan bagi pendirinya semata. Apakah
dokumen yang dimasukkan sebagai syarat pendirian Parpol merupakan
data benar atau fiktif belaka. Apakah nama-nama yang seleksi sebagai calon
adalah sesuai kepentingan publik atau hanya untuk kepentingan elit Parpol.
Apakah proses seleksi itu didasarkan pada kualitas calon atau karena faktor
imbalan (candidate buying). Apakah Parpol membuat aturan sanksi internal
untuk mencegah permainan politik uang bagi setiap calon. Apakah calon
yang terpilih adalah benar-benar didasarkan karena dedikasi dan
prestasinya di masyarakat atau karena dengan membeli suara (vote buying).

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 51


Jika peran ini sungguh-sungguh dilakukan maka Parpol telah menjadi bagian
terpenting bagi Pemilu luber dan jurdil.

Ketiga, asas Pemilu luber dan jurdil kesemuanya mengandung unsur


keterlibatan masyarakat. Masyarakat akan memilih secara langsung jika ia
mengetahui bahwa hakekat Pemilu adalah sebagai sarana kedaulatan
rakyat. Sebagai pemilik suara, maka rakyatlah yang paling menentukan
siapa pilihannya dan tidak bisa diwakilkan pada siapapun. Kemudian dengan
hak itu maka dengan kesadaran ia akan mendaftarkan dirinya sebagai
pemilih. Hak politik seseorang harus disetarakan dengan kewajibannya
sebagai pemilih. Kewajibannya adalah merahasiakan kepada orang lain apa
yang menjadi pilihannya serta tidak memaksakan pilihannya itu untuk
pilihan orang lain. Siapapun bebas menentukan pilihannya. Sehingga tidak
boleh ada tindakan apapun yang menghalangi kebebasan untuk memilih
sesuai keyakinan politiknya. Faktor yang sering menyebabkan masyarakat
tidak adil dalam memilih karena lemahnya pengenalan pemilih terhadap
calon, faktor imbalan atau karena tekanan lainnya.

Untuk mendorong peran masyarakat bagi Pemilu luber dan jurdil, maka
proses pendidikan politik bagi masyarakat perlu dikembangkan. Kualitas
pemilihan sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi. Partisipasi masyarakat
dibentuk oleh sebuah kesadaran bersama dan kesadaran itu terbentuk oleh
karena pengetahuan masyarakat. Pengetahuan masyarakat yang terbatas
mengakibatkan pula Pemilu tidak berlangsung luber dan jurdil. Dengan
demikian diperlukan pendidikan politik masyarakat secara sistematis dan
terarah. Pendidikan politik perlu dilakukan secara terlembaga dan
terkoordinasi antara pemerintah, Parpol, LSM, Ormas, penyelenggara
Pemilu atupun pihak kampus.

Keempat¸ Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa “pemilihan


umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri”. Sifat kemandirian baik secara struktural
kelembagaan maupun individu dari masing-masing penyelenggara
dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugas atau dalam pengambilan
keputusan tertentu tidak bisa diintervensi juga tidak bisa tergantung pada
pihak lain dalam bertindak. Oleh karena itu penyelenggara Pemilu dipilih
dari unsur masyarakat yang bukan berasal dari perwakilan struktur

52 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


pemerintahan ataupun dari Parpol. Latar belakang penyelenggara seperti
ini tidak berlaku seperti di sejumlah negara lain.

Tabel 2.2. Dasar Hukum Penyelenggara Pemilu Jujur dan Adil

DASAR HUKUM URAIAN


Pasal 22 E ayat (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum
UUD 1945 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau
laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota,
Pasal 155 dan Pasal
anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu
159 UU Pemilu
Kabupaten/Kota.
DKPP berkewajiban menegakkan kaidah atau norma etika yang
berlaku bagi Penyelenggara Pemilu
Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah suatu kesatuan asas moral,
etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara
Pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan
yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Integritas Penyelenggara Pemilu berpedoman pada prinsip:
a) Jujur maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara
Pemilu didasari niat untuk semata-mata terselenggaranya Pemilu
Pasal 1 Peraturan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan
DKPP No. 2 Tahun pribadi, kelompok, atau golongan;
2017 tentang Kode b) Mandiri maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu,
Etik dan Pedoman Penyelenggara Pemilu bebas atau menolak campur tangan dan
Perilaku pengaruh siapapun yang mempunyai kepentingan atas
Penyelenggara perbuatan, tindakan, keputusan dan/atau putusan yang diambil;
Pemilu c) Adil maknanya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara
Pemilu menempatkan segala sesuatu sesuai hak dan
kewajibannya;
d) Akuntabel bermakna dalam penyelenggaraan Pemilu,
Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, wewenang dan
kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bab VII Peraturan Kode Perilaku, Sumpah/Janji, dan Pakta Integritas Anggota KPU, KPU
KPU No. 8 Tahun Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPLN, PPS, KPPS, dan KPPSLN
2019 Tentang Tata
Kerja KPU, KPU
Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota
Sumber : diolah Penulis

Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Tata Kerja Penyelenggara


melarang penyelenggara
BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 53
menjabat sebagai pengurus, Dewan Pengarah, Dewan Kehormatan, Dewan
Pembina pada struktur organisasi kemasyarakatan. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah adanya intervensi pihak lain terhadap kerja-
kerja penyelenggara. Mengingat banyak pengurus organisasi itu memiliki
jabatan struktural di pemerintahan maupun sebagai pengurus Parpol.

Pasal 155 dan Pasal 159 UU Pemilu sebagai dasar hukum pelaksanaan
Pemilu (lihat tabel 2.2.) memberi penguatan terhadap kerja-kerja
penyelenggara Pemilu agar lebih mandiri dan profesional. Selain KPU dan
Bawaslu sebagai penyelenggara, juga dibentuk DKPP dengan tugas
memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU
provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu
Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. 4 DKPP berkewajiban
menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara
Pemilu.

Pemilu bukan hanya sekedar tuntutan konstitusi, tak sekedar kerja-kerja


teknis tetapi Pemilu juga mengandung tindakan moral penyelenggaranya.
Untuk menjaga integritas, kehormatan, kemadirian dan kredibilitas
penyelenggara Pemilu, DKPP menyusun Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Kode Etik
Penyelenggara Pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi
yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa
kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak
patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.5

Penyelenggara Pemilu wajib menerapkan prinsip-prinsip penyelenggara


Pemilu dengan kejujuran, kemandirian, adil dan akuntabel. Kejujuran
memberikan makna bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu, penyelenggara
Pemilu didasari niat untuk semata-mata terselenggaranya Pemilu sesuai
dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan pribadi,
kelompok atau golongan. Kemandirian bermakna bahwa dalam
penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu bebas atau menolak

4 Pasal 155/ Pasal 159 UU Pemilu.


5 Pasal 1 angka 4 Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu.

54 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


campur tangan dan pengaruh siapapun yang mempunyai kepentingan atas
perbuatan, tindakan, keputusan dan/atau putusan yang diambil.

Prinsip adil bermakna bahwa dalam penyelenggaraan Pemilu,


Penyelenggara Pemilu menempatkan segala sesuatu sesuai hak dan
kewajibannya. Sedangkan akuntabel bermakna bahwa dalam
penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas,
wewenang dan kewajiban dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.6

Sejalan dengan itu KPU RI juga mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 8


Tahun 2019 Tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi, Dan KPU
Kabupaten/Kota. Peraturan itu bertujuan mewujudkan tertib kelembagaan
dalam penyelenggaraan pemilu, sebagai pedoman bagi penyelenggara
dalam setiap jenjang untuk mewujudkan penyelenggara Pemilu bertindak
sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan Pemilu.

Substansi utama dari peraturan itu memberikan penjabaran atas prinsip-


prinsip penyelenggara Pemilu yakni mandiri, jujur, adil, berkepastian
hukum, tertib, kepentingan umum, terbuka, proporsional, profesional,
akuntabel, efektif, efisien, dan aksesibilitas. Dua hal yang diatur adalah
menyangkut pola kerja dan penegakan kode etik KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK, PPLN, PPS, KPPS dan KPPSLN.

Peraturan ini menghendaki agar KPU dalam setiap jenjang memiliki


pengetahuan tentang tugas, fungsi dan kewenangannya, menempatkan diri
dalam pola organisasi baik relasi internal maupun eksternal serta moralitas
yang baik. Tentu sasaran yang diharapkan adalah kualitas kerja baik secara
organisasi maupun sumber daya manusia penyelenggara. Matutina
mengukur kualitas sumber daya manusia itu pada tiga aspek yakni
pengetahuan, keterampilan dan abilitas atau kemampuan (Matutina 2001).
Pengetahuan seseorang sangat penting untuk mendukung terciptanya
kualitas kerja oragnisasi yang berorientasi pada intelejensi dan daya fikir
serta penguasaan ilmu yang luas. Pengetahuan yang luas harus pula

6 Pasal 6 Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu

BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 55


diimbangi oleh keterampilan yang dimiliki seperti penguasaan teknis
operasional dan teknik berkomunikasi. Tentu hal yang tidak bisa diabaikan
bagi seorang penyelenggara adalah prinsip loyalitas, kedisiplinan,
kerjasama dan tanggung jawab. Pengetahun dan keterampilan yang baik
tentu tidak akan berhasil apabila tidak ditunjang oleh moralitas yang baik.

E. Penutup

Substansi Pemilu berintegritas sebagaimana menjadi norma-norma global


universal Pemilu dan asas-asas Pemilu luber jurdil bisa dikatakan saling
kelindan menjadi patokan kolektif yang mengikat penyelenggara, peserta
Pemilu, pemerintah dan publik/masyarakat untuk mewujudkan Pemilu yang
genuine. Pemilu genuine ditandai dengan Pemilu yang free and fair, dan
tidak ada toleransi bagi bentuk-bentuk pelanggaran Pemilu, seperti
ancaman, kekerasan, manipulasi, jual beli suara, diskriminasi dan
keberpihkan penyelenggara. Karena itu, Pemilu berintegritas akan
memperkuat legitimasi Pemilu di mata masyarakat politik nasional dan
internasional.

56 BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU


BAB 3
SISTEM PEMILU

Mada Sukmajati

A. Pengantar

Di dalam konsep tata kelola pemilihan umum (pemilu), sistem pemilu


merupakan salah satu dimensi yang sangat penting karena sistem pemilu
menjadi aturan-aturan (rules) bagaimana penyelenggaraan pemilu dan
bagaimana pemenang akan ditentukan. Seperti telah dijelaskan di Bab 1,
desain sistem pemilu telah diatur di dalam UUD 1945, UU Pemilu dan
Keputusan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), Peraturan Bawaslu
(Perbawaslu), dan Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(Peraturan DKPP). UUD 1945 telah mengatur sistem pemilihan
Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) secara cukup detail. Sedangkan sistem
pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
(Pileg) diatur secara garis besar di UU tentang Pemilu. Untuk pemilihan
Gubernur, Walikota, dan Bupati (Pilkada), konstitusi tidak mengatur secara
detail sistem pemilu yang digunakan di Pilkada. Selain itu, terdapat putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga menentukan pengaturan terkait
dengan unsur-unsur di sistem pemilu.

Bab ini menjelaskan sistem-sistem pemilu yang digunakan sebagai dasar


dalam penyelenggaraan Pilpres, Pileg, dan Pilkada di Indonesia saat ini.
Untuk keperluan tersebut, sistematika bab ini dibagi menjadi lima bagian.
Bagian pertama menjelaskan sistem pemilu secara teoritik. Bagian kedua
mendiskusikan unsur-unsur utama dalam sistem pemilu. Bagian ketiga
mendeskripsikan sejarah singkat pemilu yang telah digunakan pada pemilu-
pemilu di Indonesia sebelum Pemilu 2019. Bagian keempat secara detail
menegaskan sistem-sistem pemilu yang digunakan saat ini. Bagian terakhir
menjelaskan secara singkat berbagai konsekuensi dari sistem pemilu,
utamanya terhadap sistem kepartaian dan sistem pemerintahan.

58 BAB 3 – SISTEM PEMILU


B. Sistem Pemilu

Telah banyak ilmuwan menjelaskan pengertian dari sistem pemilu. Blais dan
Massicotte (2002) mendefinisikan sistem pemilu sebagai “bagaimana suara
diberikan dan kursi dialokasikan.” Senada dengan itu, Reynolds, Reilly, Ellis,
et. al. (2016) menjelaskan bahwa “sistem pemilu mengkonversi perolehan
suara dalam sebuah pemilu menjadi kursi-kursi yang dimenangkan oleh
para Parpol dan para calon.” Sedangkan Gallagher dan Mitchell (2005)
mendefinisikan sistem pemilu sebagai “sekumpulan aturan yang
menstruktur bagaimana suara diberikan pada pemilu untuk wakil rakyat
dan bagaimana suara ini kemudian dikonversi menjadi kursi ke dalam
lembaga perwakilan.”

Lebih lanjut, Blais dan Massicotte (2002) menjelaskan kriteria-kriteria dalam


memilih sebuah sistem pemilu, yaitu:
1. Menjamin representasi politik;
2. Membuat pemilu dapat diakses dengan mudah dan penuh makna;
3. Menyediakan insentif bagi terbentuknya koalisi;
4. Memfasilitasi pemerintahan yang stabil dan efisien;
5. Meningkatkan akuntabilitas;
6. Mendorong Parpol yang memiliki nilai politik dan idelologi yang luas
sekaligus memiliki program-program kebijakan yang spesifik;
7. Mempromosikan oposisi; dan
8. Mempertimbangkan biaya dan kapasitas administratif.

Sedangkan Carter dan Farrell (2010) menjelaskan konsekuensi dari sebuah


sistem pemilu, yaitu:
1. Pengaruh (dis)proporsionalitas:
Ketika sebuah sistem pemilu tertentu menterjemahkan atau
mengkonversi suara ke kursi dengan cara yang relatif lebih proporsional,
sistem pemilu yang lain cenderung melakukannya dengan cara yang
kurang proporsional. Konsekuensinya, ada Parpol yang memiliki kursi
yang lebih tinggi atau rendah daripada perolehan suaranya jika
dibandingkan dengan Parpol-Parpol yang lain.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 59


2. Pengaruh terhadap sistem kepartaian;
Kelebihan atau kekurangan representasi kemudian juga akan
menentukan relasi antara sistem pemilu dan sistem kepartaian yang
dihasilkan dari pemilu tersebut. Postulat Duverger (1959) mengatakan
bahwa sistem pluralitas dan sistem mayoritas cenderung menghasilkan
sistem kepartaian dua partai, sementara sistem perwakilan berimbang
cenderung menghasilkan sistem multi-partai.
3. Pengaruh terhadap keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas:
Secara umum, sistem perwakilan berimbang cenderung menghasilkan
keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem pemilu yang lain.

Menurut Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016), terdapat empat keluarga dari
sistem pemilu, yaitu sistem pluralitas/mayoritas, sistem campuran, sistem
perwakilan berimbang (proporsional representation), dan sistem lain-lain.

Lebih spesifik lagi, terdapat empat varian di dalam sistem


pluralitas/mayoritas, yaitu FPTP (First Past the Post), TRS (Two Round
System), AV (Alternative Vote), dan BV (Block Vote). Sedangkan di dalam
sistem campuran terdapat dua varian, yaitu sistem paralel dan sistem MMP
(Mixed-Member Proportional). Untuk sistem perwakilan berimbang,
terdapat setidaknya dua varian, yaitu List Proportional Representation
(Daftar Perwakilan Berimbang) dan STV (Single Transferable Vote). Dan
untuk sistem lain-lain, terdapat tiga varian, yaitu sistem SNTV (Single Non-
Transferable Votes), LV (Limited Vote), dan BC (Borda Count).

Gambar 3.1. Keluarga Sistem Pemilu

Sumber: Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016; 30)

60 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Sedangkan Carter dan Farrell (2010) mengkategorikan empat sistem
pemilu, yaitu sistem pluralitas, sistem mayoritas, sistem perwakilan
berimbang, dan sistem campuran. Varian dari sistem pluralitas adalah FPTP,
BV, dan SNTV. Sedangkan varian dari sistem mayoritas adalah TRS dan AV.
Untuk sistem perwakilan berimbang terdapat dua varian, yaitu sistem
daftar dan sistem STV. Sedangkan varian dari sistem campuran adalah MMP
dan MMM.

Tabel 3.1. Sistem Pemilu Legislatif di Dunia Tahun 2000-an


Jumlah Kasus % Contoh
Sistem Pluralitas
FPTP 36 20.2 AS, Inggris, India
Blok 11 6.2 Lebanon, Kuwait
SNTV 3 1.7 Afganistan, Yordania
Sistem Mayoritas
Runoff 20 11.2 Perancis, Gabon
AV 4 2.2 Australia
Sistem Proporsional
Daftar 67 37.6 Rusia, Spanyol, Afsel
STV 2 1.1 Irlandia, Malta
Sistem Campuran
MMP 9 5.1 Jerman, Selandia Baru
MMM 26 14.6 Korsel, Jepang
Total 178 99.9
Sumber: www.sagepub.co.uk.leduc3

Untuk keperluan buku ini, kita akan membahas secara umum beberapa
varian dari sistem pemilu pluralitas/mayoritas (TRS dan FPTP), sistem
pemilu perwakilan berimbang (List), dan sistem pemilu lainnya (SNTV).

1. Sistem Pluralitas/Mayoritas

Secara umum, sistem pemilu pluralitas dan sistem pemilu mayoritas adalah
dua sistem yang memiliki prinsip yang sama. Dalam sistem ini, satu daerah
pemilihan (dapil) memperebutkan satu kursi atau lebih dari satu kursi.
Prinsip dari sistem pemilu ini adalah sangat sederhana. Setelah suara
dihitung, mereka yang mendapat jumlah suara sah terbanyak yang akan
BAB 3 – SISTEM PEMILU 61
mendapatkan kursi di sebuah dapil tanpa memperhitungkan selisih suara
sah yang dimenangkan. (Reynolds, Reilly, Ellis et. al. 2016). Namun secara
khusus, sistem pemilu pluralitas dan sistem pemilu mayoritas dapat
dibedakan. Sistem pemilu pluralitas biasanya menyediakan satu kursi atau
lebih untuk setiap dapil dimana pemilih memilih calon atau menyediakan
lebih dari satu kursi untuk setiap dapil dimana pemilih memilih Parpol,
misalnya FPTP (First Past the Post atau Yang Pertama Melewati Yang
Berikutnya), BV (Block Vote atau Plihan Blok), dan PBV (Party Block Vote
atau Pilihan Blok Partai). Sedangkan sistem pemilu mayoritas adalah sistem
yang menjamin bahwa pemenang akan mendapat mayoritas absolut dan
sistem ini memberikan kesempatan bagi pemilih untuk menyodorkan
pilihan keduanya, misalnya TRS (Two Round Sistem atau Sistem Dua
Putaran) dan AV (Alternative Vote atau Pilihan Alternatif).1

Untuk kebutuhan buku ini, kita fokus pada TRS dan FPTP di dalam keluarga
sistem pemilu mayoritas/pluralitas. Pemilu dengan sistem TRS dicirikan
dengan adanya pemilu putaran kedua jika di dalam putaran pertama tidak
terdapat calon yang mencapai tingkat suara tertentu (biasanya adalah 50
persen plus 1). TRS dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem
mayoritas/pluralitas (lebih dari dua calon bertanding di dalam putaran
kedua dan calon yang meraih jumlah suara terbanyak dalam putaran kedua
dinyatakan terpilih) dan sistem mayoritas mutlak atau majority run-off (dua
calon teratas dalam kompetisi putaran pertama yang bisa masuk ke dalam
kompetisi putaran kedua). Meksipun tidak secara eksplisit ditulis dalam
konstitusi, pilpres di Indonesia sejak tahun 2004 menggunakan TRS.

Menurut Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016), TRS memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah:
1. Sistem ini memungkinkan pemilih mempunyai kesempatan kedua untuk
memberi suara bagi calon terpilih mereka, atau bahkan mengubah
keputusan mereka antara putaran pertama dan kedua;
2. Sistem ini juga memungkinkan Parpol-Parpol dan pemilih bereaksi
terhadap perubahan-perubahan dalam lanskap politik yang terjadi di
antara putaran pertama dan putaran kedua; dan

1 Di Indonesia, sistem pemilu mayoritas/pluralitas ini secara populer disebut dengan sistem distrik. Istilah
“distrik” sendiri sebenarnya merujuk pada istilah “daerah pemilihan”. Di dalam menggunakan istilah
ini, sistem distrik biasanya dimaksudkan untuk merujuk pada sebuah sistem pemilu di mana sebuah
daerah pemilihan menyediakan satu kursi.

62 BAB 3 – SISTEM PEMILU


3. Mengurangi persoalan-persoalan “pemecahan suara”, yaitu situasi yang
umum di banyak sistem pluralitas/mayoritas, di mana dua partai atau
calon yang serupa memecah gabungan suara mereka.

Sedangkan kekurangannya adalah:


1. Isu biaya dan waktu serta instabilitas dan ketidakpastian.
2. Tingkat partisipasi pemilih pada putaran kedua bisa jadi lebih rendah
dibandingkan pada putaran pertama;
3. Meningkatnya disproporsionalitas; dan
4. Mendorong pembelahan politik di kalangan masyarakat.

Sedangkan First Past The Post (FPTP) adalah bentuk paling sederhana dari
sistem pluralitas/mayoritas. Dalam sistem ini, setiap dapil memiliki satu
kursi. Para pemilih memilih satu nama dari para calon yang bersaing, yaitu
nama Calon dan/atau nama Parpol. Pemenang adalah mereka yang
mendapatkan suara sah terbanyak, meskipun tidak harus memperoleh
suara mayoritas absolut. Meksipun tidak secara eksplisit ditulis dalam
undang-undang, pilkada di Indonesia sejak tahun 2015 menggunakan FPTP.

Menurut Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), FPTP memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah:
1. Mendorong pilihan tegas di kalangan pemilih;
2. Mendorong terbentuknya oposisi;
3. Menguntungkan Parpol atau Calon dengan basis politik yang luas;
4. Memberi peluang bagi para calon perseorangan untuk terpilih; dan
5. Sederhana untuk dipahami dan diselenggarakan.

Sedangkan kekurangannya adalah:


1. Mengesampingkan kelompok marginal (termasuk keterwakilan
perempuan);
2. Tidak mendorong representasi yang adil;
3. Mendorong mobilisasi dukungan berbasis klan, etnisitas atau
kedaerahan; dan
4. Menghasilkan banyak suara terbuang.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 63


2. Sistem Perwakilan Berimbang

Sistem perwakilan berimbang (proportional representation system) adalah


sistem pemilu yang paling banyak digunakan secara global. Sistem pemilu
ini dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara perolehan suara
sah dan calon atau Parpol yang mendapatkan suara sah tersebut. Artinya,
bila seorang calon atau sebuah Parpol mendapatkan total suara sebanyak
50 persen, maka calon atau Parpol tersebut tersebut juga akan
mendapatkan 50 persen kursi dari jumlah total kursi yang ada di lembaga
legislatif. Sebaliknya, bagi seorang calon atau sebuah Parpol yang
mendapatkan perolehan suara sah sebanyak 5 persen, maka calon atau
Parpol tersebut juga akan mendapatkan 5 persen kursi dari jumlah total
kursi yang ada di lembaga legislatif.

Gambar 3.2. Varian dari Sistem Perwakilan Berimbang

Sumber: Blais dan Massicotte (2002; 47)

Sistem pemilu perwakilan berimbang memiliki dua varian, yaitu Sistem


Perwakilan Berimbang Daftar (List Proportional Representation) dan Sistem
Pilihan Tunggal Yang Dapat Ditransfer (STV atau Single Transferable Vote).
Untuk kebutuhan buku ini, kita akan fokus pada Sistem Perwakilan

64 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Berimbang Daftar. Sistem ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Sistem
Daftar Terbuka (pemilih memilih calon) dan Sistem Daftar Tertutup (pemilih
memilih Parpol). Dalam sistem ini, setiap Parpol mengajukan daftar calon
untuk setiap dapil yang menyediakan lebih dari satu kursi. Kemudian, para
pemilih memilih satu Parpol dan/atau calon. Dalam sistem daftar tertutup,
para pemenang ditentukan dari daftar sesuai urutan mereka dalam daftar
calon yang ada. Sedangkan dalam sistem daftar terbuka, para pemilih bisa
mempengaruhi urutan calon dengan memilih sesuai preferensi mereka.
Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia sebelum
Pemilu 2009 menggunakan sistem daftar tertutup dan sejak tahun 2009
menggunakan sistem daftar terbuka.2

Menurut Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016), Sistem Perwakilan Berimbang
Daftar memiliki beberapa kelebihan, yaitu:

1. Sistem ini benar-benar mengkonversi perolehan suara menjadi kursi di


lembaga legislatif;
2. Dalam sistem ini, suara yang terbuang sedikit;
3. Mempermudah Parpol-Parpol kecil untuk mendapatkan perwakilan di
lembaga legislatif;
4. Parpol dapat mengajukan daftar calon dari latar belakang yang beragam;
5. Mendorong terpilihnya wakil-wakil dari kelompok minoritas;
6. Lebih memberikan peluang bagi terpilihnya wanita sebagai anggota
legislatif;
7. Membatasi tumbuhnya “Kerajaan Daerah”;
8. Mengarah kepada pemerintahan yang lebih efisien; dan
9. Membuat pembagian kekuasaan lebih tampak jelas.

Namun demikian, sistem ini juga memiliki beberapa kelemahan yang


diantaranya adalah:
1. Cenderung membuka pemerintahan koalisi dengan kelemahan unsur-
unsur yang ada di dalamnya; dan
2. Tidak memberikan hubungan yang kuat antara anggota legislatif dan
pemilihnya.

2 Di Indonesia, sejak Pemilu 2009, regulasi menyatakan bahwa sistem pemilu DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota adalah sistem proporsional terbuka. Secara populer, sistem proporsional ter-
buka ini kemudian juga seringkali disebut dengan istilah sistem suara terbanyak.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 65


3. Sistem Lainnya

Terdapat beberapa varian di dalam sistem pemilu lainnya. Salah satunya


adalah Pilihan Tunggal Yang Tidak Dapat Ditransfer (SNTV atau Single Non-
Transferable Vote). Dalam sistem ini, para pemilih memberikan suara
mereka di sebuah dapil yang menyediakan lebih dari satu kursi. Para calon
dengan total suara terbanyak kemudian dinyatakan sebagai pemenang.
Ketika memberikan suaranya, para pemilih memilih calon dan bukan
memilih Parpol. Sejak tahun 2004, Pemilu DPD di Indonesia menggunakan
SNTV.

Menurut Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), SNTV memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari sistem ini diantaranya adalah:
1. Sistem ini cocok untuk melahirkan para calon perseorangan; dan
2. Mudah dipahami serta mudah diimplementasikan.

Sedangkan kekurangannya adalah:


1. Biasanya menimbulkan banyak suara yang terbuang; dan
2. Mendorong politik klientelistik.

C. Unsur-Unsur dalam Sistem Pemilu

Menurut Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), terdapat beberapa unsur dalam
sistem pemilu, yaitu pencalonan, rumusan matematis untuk mengkonversi
suara ke kursi, struktur pemungutan suara, dan besaran dapil (district
magnitude). Sedangkan Gallagher dan Mitchell (2005) mendefinisikan enam
unsur dalam sistem pemilu, yaitu besaran dapil, jumlah pilihan yang dimiliki
oleh para pemilih, struktur surat suara, pencalonan, tingkatan alokasi suara,
dan keterbatasan proporsionalitas. Untuk kepentingan buku ini, unsur
dalam sistem pemilu akan didiskusikan dari dimensi-dimensi berikut ini:

1. Besaran daerah pemilihan (districk magnitude);


2. Pencalonan;
3. Pemberian suara (ballot structure);
4. Formula penghitungan suara dan penentuan calon terpilih; dan
5. Ambang batas; dan
6. penjadwalan penyelenggaraan pemilu.

66 BAB 3 – SISTEM PEMILU


1. Besaran Daerah Pemilihan
Dapil adalah lokasi dimana para Parpol dan/atau calon berkompetisi untuk
memenangkan suara pemilih demi mendapatkan kursi yang disediakan di
wilayah itu. Pada prinsipnya, semakin besar sebuah dapil, maka dapil
tersebut semakin menjamin proporsionalitas antara suara dan kursi.
Demikian juga sebaliknya. Semakin kecil sebuah dapil, maka dapil tersebut
semakin menjamin disproporsionalitas antara suara dan kursi. Konsep ini
yang disebut dengan “jumlah kursi yang disediakan oleh sebuah dapil”
(district magnitude). Lebih jauh, dalam sistem pluralitas/mayoritas, sebuah
dapil biasanya hanya menyediakan satu kursi (single-member
constituency). Sedangkan dalam sistem proporsional, sebuah dapil selalu
menyediakan banyak kursi (multi-member constituency). Menurut
Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), besaran dapil dapat dikategorikan
menjadi tiga tingkatan, yaitu kecil (menyediakan 2-5 kursi), menengah (6-
10 kursi), dan besar (lebih dari 11 kursi).

Setidaknya, terdapat dua poin penting dalam menyusun sebuah dapil,


yaitu derajat keterwakilan dan derajat proporsionalitas. Jika sebuah dapil
menyediakan jumlah kursi yang banyak, maka derajat keterwakilan di dapil
tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, jika sebuah dapil menyediakan jumlah
kursi yang sedikit, maka derajat keterwakilan di dapil tersebut semakin
rendah. Sedangkan terkait dengan derajat proporsionalitas, jika sebuah
dapil menyediakan banyak kursi, maka derajat proporsionalitas di
kalangan Parpol-Parpol peserta pemilu juga akan semakin tinggi. Demikian
juga sebaliknya.

Dengan demikian, besaran dapil terkait dengan prinsip kesetaraan.


Setidaknya ada beberapa poin yang perlu dipahami dalam upaya untuk
mengedepankan prinsip kesetaraan suara. Menurut Surbakti, Supriyanto,
dan Asy’ari (2011), “(P)engertian kesetaraan politik lebih dari sekedar
setiap orang mempunyai hak sama untuk memberikan suara dalam
pemilu. Kesetaraan politik juga berarti suara setiap orang bernilai sama.”
Pertama adalah prinsip satu orang, satu suara, dan satu nilai (OPOVOV
atau one person, one vote, one value). Kedua adalah malapportionment,
yaitu sebuah keadaan ketika sebuah dapil memiliki harga kursi yang
berbeda dengan dapil yang lain. Misalnya, ada seorang wakil rakyat di
sebuah dapil yang dipilih dengan suara sekitar 100 ribu. Sedangkan di dapil
yang lain, seorang wakil rakyat harus mendapatkan 400 ribu suara agar dia
BAB 3 – SISTEM PEMILU 67
mampu untuk mendapatkan kursi. Ketiga adalah fenomena jumlah kursi
yang kurang dari seharusnya (under-represented) dan jumlah kursi yang
lebih dari seharusnya (over-represented). Yang pertama merujuk pada
kondisi dimana proporsi antara jumlah penduduk dan jumlah kursi di
lembaga legislatif yang rendah. Yang kedua merujuk pada kondisi dimana
proporsi antara jumlah penduduk dan jumlah kursi di lembaga legislatif
yang terlalu tinggi. Keempat adalah praktek persekongkolan
(gerrymandering). Praktek ini dimaksudkan untuk membuat keuntungan
politik kepada peserta pemilu tertentu dengan cara memanipulasi batas-
batas dari sebuah dapil. Praktek ini pertama kali digunakan oleh Elbridge
Gerry pada tahun 1812 yang menjabat sebagai Gubernur Massachusetts
agar kursi senat di kawasan Boston bisa dimenangkan oleh partainya, yaitu
the Democratic-Republican Party. Karena hasil manipulasi dari dapil
tersebut mirip hewan Salamander, maka kalangan Partai Federalist
menyebut praktek ini sebagai gerrymandering.

Sebagaimana dijelaskan oleh Surbakti, Supriyanto dan Asy’ari (2011),


beberapa ahli pemilu menawarkan rumus untuk menentukan jumlah kursi
di lembaga legislatif, yaitu S = P 1/3 untuk negara maju (S adalah jumlah
kursi dan P adalah jumlah populasi) dan Pa = PLW untuk negara sedang
berkembang (Pa adalah penduduk aktif, P adalah jumlah penduduk, L
adalah persentase penduduk melek huruf, dan W adalah persentase
penduduk usia kerja). Selain itu, secara lebih umum, terdapat dua metode
untuk menetapkan jumlah kursi di lembaga legislatif, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Pertama adalah metode kuota satu kursi
(jumlah kursi mengikuti jumlah penduduk sehingga jumlah kursi sesuai
dengan proporsi jumlah penduduk). Kedua adalah metode penetapan
jumlah kursi (fixed seats) (jumlah kursi telah ditentukan terlebih dahulu
sehingga jumlah pemilih di setiap dapil mengikuti persebaran jumlah
kursi).

Secara administrasi, besaran dapil berpengaruh terhadap administrasi


pemilu. Jika kursi yang disediakan di setiap dapil kecil, maka jumlah dapil
akan banyak sehingga jenis surat suara juga banyak. Namun demikian,
pemilih diuntungkan karena surat suaranya berukuran kecil. Sebaliknya,
jika jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil banyak, maka jumlah dapil
sedikit sehingga jenis surat suaranya juga sedikit. Namun demikian,
pemilih dihadapkan pada surat suara yang sangat lebar.

68 BAB 3 – SISTEM PEMILU


2. Pencalonan
Dalam sistem proporsional berimbang, metode pencalonan dibedakan
atas daftar tertutup dan daftar terbuka. Dalam daftar tertutup, Parpol
menetapkan urutan daftar calon. Pemilih akan memberikan suaranya
kepada Parpol. Kemudian, Parpol yang akan menentukan para calon
terpilih berdasarkan daftar urutan calon yang ada. Sementara itu, dalam
daftar terbuka, Parpol menyediakan nama dari para calon. Pemilih akan
memberikan suaranya kepada calon yang dikehendakinya. Jika Parpol
mendapat alokasi kursi, maka para calon yang memperoleh suara
terbanyak yang akan menduduki kursi tersebut.

Dalam daftar tertutup, Parpol memiliki kontrol atas para anggotanya di


lembaga legislatif dengan sangat tinggi. Dengan demikian, para anggota
lembaga legislatif benar-benar merupakan petugas partai di lembaga
legislatif. Namun demikian, daftar tertutup mengurangi akuntabilitas
para calon terpilih kepada konstituennya karena mereka harus lebih
mengedepankan kepentingan Parpolnya. Sebaliknya, dalam daftar
terbuka, Parpol relatif tidak memiliki kontrol sepenuhnya kepada para
anggotanya di lembaga legislatif. Dengan demikian, para anggota
lembaga legislatif memiliki keleluasaan dengan mengatasnamakan
kepentingan konstituen. Namun, daftar terbuka juga dapat melahiran
para anggota lembaga legislatif yang tidak dapat dikontrol, baik oleh
Parpolnya, maupun oleh para konstituennya.

Sebagai tambahan, Hazan dan Rahat (2010) menawarkan empat metode


seleksi calon yang diselenggarakan oleh Parpol, yaitu:

1. Metode sederhana, dimulai dari tahapan dimana pihak penyeleksi


berasal dari para pemilih (sangat inklusif), kemudian ke anggota-
anggota Parpol, wakil-wakil Parpol, para elit Parpol, sampai ke seorang
figur pemimpin Parpol (sangat eksklusif);
2. Metode campuran, dimana terdapat dua atau lebih kelompok
penyeleksi yang masing-masing kelompok melakukan proses seleksi dan
hasil pencalonan yang final akan disepakati di dalam sebuah forum yang
melibatkan semua kelompok penyeleksi tersebut;

BAB 3 – SISTEM PEMILU 69


3. Metode tahapan banyak, dimana terdapat tahapan-tahapan seleksi
dengan menggunakan sistem gugur di setiap tahapan serta para
penyeleksi di setiap tahapan berbeda-beda; dan
4. Metode pembobotan, dimana semua peserta seleksi mendapat
pembobotan terkait dengan kriteria-kriteria tertentu yang dilakukan
oleh beberapa kelompok penyeleksi.

Di samping itu, dalam pencalonan ada aspek afirmasi yang


memperhatikan keterwakilan perempuan. Salah satu perhatian dalam
afirmasi terhadap keterwakilan perempuan ini adalah usaha dan metode
untuk mendorong kesetaraan perempuan dalam lembaga politik formal.
Hingga saat ini, ada tiga bentuk kuota yang diterapkan oleh sebagian
besar negara, yakni (Dahlerup 2006):

1. reserved seats (kursi yang sudah dipesan) adalah sebuah mekanisme


yang memastikan calon perempuan dapat terpilih dalam lembaga
parlemen dengan jumlah kursi yang disepakati bersama;
2. legal candidates quota (kuota calon secara legal di parlemen) adalah
sebuah mekanisme yang menempatkan sejumlah calon perempuan
untuk dapat dipilih oleh pemilih di dapil. Ada angka kritis yang biasanya
didorong yakni minimal 30-40 persen jumlah perempuan di daftar
pemilih;
3. political party quota (kuota dalam Parpol) adalah mekanisme yang
mengatur jumlah perempuan untuk dapat ikut berpartisipasi dalam
kepengurusan dan aktivitas Parpol.

Untuk itu, dalam tahapan pencalonan yang dilakukan oleh Parpol yang
disampaikan oleh Hazan dan Rahat di atas, pertimbangan keterwakilan
perempuan pun menjadi isu penting di banyak negara saat ini. Bahkan
dalam bentuk kuota calon seperti yang disebutkan dalam nomor 2, ada
mekanisme yang ketat dalam pengaturan calon berdasarkan nomor urut
dan jenis kelamin (zipper system), seperti yang diadopsi oleh Indonesia
saat ini.

70 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Secara administratif, daftar tertutup memudahkan administrasi pemilu
karena kertas suara menjadi sederhana (hanya nama Parpol) dan proses
penghitungan suara relatif mudah. Sebaliknya, sistem terbuka
membutuhkan surat suara yang lebar karena identitas calon dari masing-
masing Parpol harus tampil secara jelas pada surat suara. Selain itu,
penghitungan suara lebih rumit karena setiap perolehan suara calon
harus dihitung untuk menentukan siapa yang berhak meraih kursi.

3. Pemberian Suara
Metode pemberian suara sangat terkait dengan metode pencalonan.
Dalam memberikan suaranya, para pemilih dapat mencoblos,
mencontreng atau meranking pada tanda gambar Parpol dan/atau pada
nama calon tertentu. Metode pemberian suara sangat ditentukan oleh
tingkat literasi pemilih. Selain itu, pemilih juga dapat memberikan
suaranya sekali dan/atau dua kali. Dalam konteks ini, kertas suara dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu surat suara umum (ordinal ballots),
dimana pemilih dapat memberikan pilihan kepada lebih dari satu Parpol
atau calon (biasanya dengan cara meranking) dan surat suara berkategori
(categorical ballots), dimana pemilih wajib untuk memberikan satu pilihan
saja.

Berdasarkan atas studi di 107 negara, Reynolds dan Steenbergen (2006)


menghasilkan tiga temuan yang sangat penting. Pertama, desain surat suara
yang rumit dan detail (kombinasi warna, simbol, dan foto) banyak
digunakan di negara-negara dengan angka literasi yang rendah dan di
negara-negara yang baru dalam tahap awal menyelenggarakan pemilu
multipartai. Kedua, studi mereka juga menunjukkan lemahnya relasi antara
desain surat suara yang rumit dan mahal dengan banyaknya surat suara
yang rusak. Mereka juga menolak asumsi bahwa desain surat suara yang
rumit dan mahal akan berguna bagi para pemilih yang rendah tingkat
literasinya. Ketiga, desain surat suara seringkali menjadi alat manipulasi
atas simbolisme politik bagi para peserta pemilu untuk mempengaruhi
pilihan para pemilih.

4. Penentuan Calon Terpilih atau Konversi Suara Ke Kursi


Dalam Sistem Perwakilan Berimbang, secara garis besar terdapat 2 metode
dalam penghitungan suara yang biasa digunakan untuk mengonversi suara

BAB 3 – SISTEM PEMILU 71


menjadi kursi, yakni sistem bilangan pembagi (divisor) atau yang biasa
disebut dengan highest average (rata-rata tertinggi) dan sistem quota atau
yang biasa disebut dengan largest remainders (sisa terbesar) (Lijphart, 1995).

Penghitungan suara dengan menggunakan sistem divisor secara umum


dicirikan dengan bilangan pembagi tetap yang tidak tergantung pada jumlah
penduduk atau perolehan suara. Sistem ini setidaknya memiliki dua varian.
Yang pertama adalah D’Hondt Formula yang menggunakan bilangan pembagi
yang berangka utuh, yaitu 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. Hasil pembagian
selanjutnya menghasilkan angka tertinggi. Kursi akan dialokasikan ke Parpol
yang mendapatkan angka tertinggi secara berurutan.

Tabel 3.2. Alokasi Kursi Versi D’Hondt


Alokasi Kursi dengan D’Hondt Divisor
Partai Suara Total Kursi
S/1 S/2 S/3
A 42.000 42.000(1) 21.000(3) 14.000(6) 3
B 31.000 31.000(2) 15.500(5) 10.333 2
C 15.000 15.000(4) 7.500 5.000 1
D 12.000 12.000 6.000 4.000 0
Total 100.000 6
Keterangan: Simulasi untuk sebuah dapil dengan 4 parpol yang memiliki total 100 ribu
suara dan yang menyediakan 6 kursi.
Sumber: Lijphart, 1995

Varian yang kedua adalah the Sainte-Laguë. Metode ini hampir sama
dengan metode yang pertama, dengan perbedaan utama pada bilangan
pembaginya yang menggunakan angka ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Sejak tahun 2019, Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di
Indonesia menggunakan metode ini.

Sedangkan penghitungan suara dengan menggunakan sistem kuota secara


umum dicirikan dengan adanya bilangan pembagi pemilih yang tidak tetap
karena bergantung pada jumlah pemilih yang ada. Walau sistem ini memiliki
setidaknya tiga varian, yakni Hare Quota, Droop Quota, dan Imperiali Quota
(Lijphart 1995), tetapi yang sangat terkenal dan sering digunakan hanyalah
varian pertama dan kedua.

72 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Tabel 3.3. Alokasi Kursi Versi The Sainte-Laguë
Alokasi Kursi dengan The Sainte-Laguë
Partai Suara Total Kursi
S/1 S/3 S/5
A 42.000 42.000(1) 14.000(4) 8.400 2
B 31.000 31.000(2) 10.333(6) 6.200 2
C 15.000 15.000(3) 5.000 3.000 1
D 12.000 12.000(5) 4.000 2.400 1
Total 100.000 6
Keterangan: Simulasi untuk sebuah dapil dengan 4 parpol yang memiliki total 100 ribu
suara dan yang menyediakan 6 kursi.
Sumber: Lijphart, 1995

Varian Hare Quota adalah termasuk metode penghitungan suara yang


paling tua dan sederhana. Rumus dari metode ini adalah bilangan pembagi
pemilih ditentukan dengan cara membagi total suara sah dengan jumlah
kursi yang disediakan di sebuah dapil. Dengan kata lain, perolehan kursi
ditentukan oleh hasil pembagian antara perolehan suara masing-masing
Parpol dengan bilangan pembagi pemilih.

Tabel 3.4. Pembagian Suara Versi Metode Kuota Hare


Kursi dari
Partai Suara Kuota Hare Sisa Kursi Total Kursi
Kuota Penuh
A 42.000 2,52 2 0 2
B 31.000 1,86 1 1 2
C 15.000 0,90 0 1 1
D 12.000 0,75 0 1 1
Total 100.000 6 3 3 6
Keterangan: Simulasi untuk sebuah dapil dengan 4 parpol yang memiliki total 100 ribu
suara dan yang menyediakan 6 kursi.
Sumber: Lijphart, 1995

Sedangkan pada varian Droop Quota, bilangan pembagi pemilih didapatkan


dengan cara membagi jumlah suara yang sah dengan jumlah kursi yang
diperebutkan di setiap dapil ditambah 1.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 73


Metode konversi suara ke kursi juga sangat terkait dengan isu keterwakilan
berlebih (over-representation) dan keterwakilan yang kurang (under-
representation). Yang pertama mengacu pada sebuah kondisi yang dialami
oleh peserta pemilu dimana proporsi kursi lebih banyak daripada proporsi
suara. Sedangkan yang kedua merujuk pada sebuah kondisi dimana proposi
kursi lebih sedikit daripada proporsi suara.

Tabel 3.5. Pembagian Suara Versi Metode Kuota Droop


Kursi dari Kuota
Partai Suara Kuota Hare Kursi Sisa Total Kursi
Penuh
A 42.000 2,94 2 1 3
B 31.000 2,17 2 0 2
C 15.000 1,50 1 0 1
D 12.000 0,84 0 0 0
TOTAL 100.000 7,00 5 1 6
Keterangan: Simulasi untuk sebuah dapil dengan 4 parpol yang memiliki total 100 ribu
suara dan yang menyediakan 6 kursi.
Sumber: Lijphart, 1995

5. Ambang Batas
Terdapat beberapa konsep ambang batas, diantaranya adalah ambang
batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pemilu (electoral
threshold), dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Ambang batas parlemen adalah persentase minimal yang dipersyaratkan
bagi para peserta pemilu agar suara mereka dapat dikonversi menjadi kursi
di parlemen. Ambang batas pemilu adalah persentase minimal di dalam
sebuah pemilu agar peserta pemilu dapat mengikuti pemilu berikutnya.
Sedangkan ambang batas pencalonan presiden adalah persentase minimal
(suara dan kursi) yang wajib dimiliki oleh Parpol-Parpol agar mereka dapat
mencalonkan presiden/wakil presiden di dalam pilpres secara langsung.

6. Waktu Penyelenggaraan Pemilu


Menurut Surbakti, Supriyanto, dan Asy’ari (2011), terdapat setidaknya tiga
alternatif penyelenggaraan pemilu, masing-masing dengan kelebihan dan
kekurangannya terkait proses pemilu dan hasil pemilu. Pertama adalah
pemilu serentak nasional, dimana pilpres, pemilu legislatif, dan pilkada

74 BAB 3 – SISTEM PEMILU


diselenggarakan dalam hari yang sama. Kedua adalah pemilu serentak
legislatif (di tingkat pusat dan daerah) yang diselenggarakan dalam hari
yang sama. Berikutnya adalah pemilu serentak eksekutif (pilpres dan
pilkada) yang diselenggarakan dalam hari yang sama. Ketiga adalah pemilu
nasional (memilih Presiden/Wakil Presiden dan anggota-anggota legislatif
pusat) diselenggarakan dalam hari yang sama, dan berikutnya adalah
pemilu daerah (memilih kepala daerah/wakil kepala daerah dan anggota-
anggota legislatif daerah).

D. Sejarah Singkat Sistem Pemilu di Indonesia

Di bagian ini akan diuraikan secara singkat profil sistem pemilu di dalam
pemilu-pemilu yang diselenggarakan di periode Orde Lama, Orde Baru dan
di periode Reformasi (dari Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014).

1. Pemilu 1955

Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada tanggal 29 September
1955 untuk memilih 260 anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955
untuk memilih 520 anggota Konstituante yang salah satu tugasnya adalah
merumuskan konstitusi negara.

Sistem pemilu menggunakan sistem perwakilan berimbang. Saat itu,


wilayah Indonesia dibagi menjadi 16 dapil (daerah ke-16 adalah di Papua
yang saat itu masih diduduki oleh Pemerintah Kolonial Belanda). Setiap
dapil menyediakan kursi yang jumlahnya menyesuaikan dengan jumlah
penduduk di dapil masing-masing. Namun demikian, terdapat pengaturan
bahwa setiap dapil mendapat minimal 3 kursi untuk pemilu DPR dan 6 kursi
untuk pemilu Konstituante. Selain itu, regulasi juga menentukan bahwa
harga satu kursi di setiap dapil adalah 300 ribu jiwa penduduk.

Para calon di pemilu ini berasal dari berbagai latar belakang, yaitu 36 Parpol,
34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 calon perseorangan. Sedangkankan
untuk Konstituante, pesertanya adalah 39 Parpol, 23 organisasi
kemasyarakatan, dan 29 calon perseorangan.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 75


Untuk model penyuaraan Pemilu DPR, surat suara di Pemilu 1955 berisikan
nomor, nama dan tanda gambar peserta pemilu, serta nomor dan nama-
nama calon. Sedangkan pemberian suara dilakukan dengan memilih tanda
gambar peserta pemilu atau memilih calon atau memilih tanda gambar
peserta pemilu dan calon sekaligus (Effendi 2016).

Terkait dengan penetapan pemenang untuk Pemilu DPR, masih menurut


Effendi (2016), jumlah kursi diberikan kepada para peserta pemilu sesuai
dengan perolehan jumlah suaranya dibagi dengan Bilangan Pembagi
Pemilih (BPP) di masing-masing dapil. Jika masih terdapat kursi sisa, maka
pembagian kursi tersisa didasarkan pada urutan sisa suara terbanyak
berikutnya.

2. Pemilu-Pemilu Orde Baru

Pemilu di Periode Orde Baru diselenggarakan pada tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Pemilu-pemilu yang penuh dengan rekayasa tersebut
diselenggarakan untuk memilih sebagian anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kotamadya, karena tidak semua anggota lembaga
legislatif saat itu dipilih melalui pemilu. Sistem yang digunakan adalah
Sistem Perwakilan Berimbang. Sebagai tambahan informasi, tidak ada
pilpres secara langsung saat itu.

Dapil di pemilu DPR adalah Provinsi, dapil di pemilu DPRD Provinsi adalah
Kabupaten/Kotamadya, dan dapil di pemilu DPRD Kabupaten/Kotamadya
adalah kecamatan. Jumlah kursi untuk DPR yang diisi dari hasil pemilu
adalah 360 kursi di Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, 365 kursi di Pemilu 1982,
400 kursi di Pemilu 1987 dan Pemilu 1992, dan 425 kursi di Pemilu 1997.
Sedangkan jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kotamadya
sesuai dengan proporsi jumlah penduduk.

Terkait dengan pencalonan di pemilu-pemilunya Orde Baru, beberapa


fenomena perlu untuk didiskusikan. Pertama, kebijakan fusi atau
penggabungan Parpol pasca Pemilu 1971 oleh pemerintah, dimana Partai
Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam (Perti) sebagai peserta Pemilu 1971
dipaksanakan oleh pemerintah untuk bergabung di dalam Partai Persatuan
76 BAB 3 – SISTEM PEMILU
Pembangunan (PPP). Sedangkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik
sebagai peserta Pemilu 1971 dipaksa bergabung ke dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Kedua, dalam proses pencalonan, intervensi pemerintah
sangat besar. Hal ini dilakukan melalui mekanisme Litsus (Penelitian
Khusus). Pada awalnya, hal ini digunakan sebagai instrumen pemerintah
saat itu untuk memastikan bahwa setiap pejabat publik terbebas dari
pengaruh PKI dan ideologi komunisme. Namun demikian, dalam
perkembangannya, instrumen ini juga diwarnai oleh unsur subyektivitas
yang sangat kuat (like and dislike). Hampir dapat dipastikan, dengan
demikian, bahwa calon di nomor urut kecil adalah mereka yang memiliki
sikap loyal dan sesuai dengan garis politik dari pemerintah. Ketiga, Parpol
melakukan proses pencalonan yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur
Parpol sebelum adanya kebijakan fusi. Tidak jarang, hal ini juga melahirkan
friksi di internal PPP dan PDI.

Terkait dengan model pemberian suara, surat suara pada pemilu-pemilu di


periode Orde Baru adalah berisikan nomor, nama dan tanda gambar parpol.
Kemudian, pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos Parpol
peserta pemilu, yaitu PPP, Golongan Karya (Golkar), dan PDI.

Sedangkan pemenang ditentukan melalui pembagian jumlah suara Parpol


atau gabungan Parpol dengan BPP di daerah pemilihan masing-masing.
Penggabungan suara dapat dilakukan sebelum diselenggarakannya
penghitungan suara. Kursi diberikan kepada para calon sesuai dengan
urutan dalam daftar calon dari nomor urut terkecil ke nomor urut terbesar
sampai kursi habis terbagi.

3. Dari Pemilu 1999 ke Pemilu 2014 serta Pemilihan Kepala Daerah


Langsung Sejak 2005-2013

Sama dengan periode-periode sebelumnya, pemilu-pemilu legislatif di masa


Reformasi menggunakan sistem perwakilan berimbang. Pada Pemilu 1999,
dapil DPR adalah Provinsi, dapil DPRD Provinsi adalah Kabupaten/Kota, dan
dapil DPRD Kabupaten/Kota adalah kecamatan. Sedangkan jumlah kursi
untuk DPR yang diisi adalah 462 kursi. Sedangkan di Pemilu 2004-2014, dapil
BAB 3 – SISTEM PEMILU 77
DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian dari Provinsi, dapil DPRD Provinsi
adalah Kabupaten/Kota dan gabungannya, dan dapil DPRD Kabupaten/Kota
adalah kecamatan dan gabungannya. Sedangkan jumlah kursi yang
disediakan adalah 550 kursi di Pemilu 2004, 560 kursi di Pemilu 2009 dan di
Pemilu 2014, dan 575 kursi di Pemilu 2014 (lebih jauh, lihat Santoso dan
Budhiati 2019).

Di Pemilu 1999, setiap Kabupaten/Kota minimal menyediakan 1 kursi.


Sedangkan Pemilu 2004 mengatur adanya 3-12 kursi di setiap dapil. Untuk
Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 memiliki pengaturan 3-10 kursi. Sedangkan
jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan
proporsi jumlah penduduk.

Tabel 3.6. Perbandingan Kursi DPR dari Pemilu 1955-Pemilu 2019


Pemilu Jumlah Anggota DPR Jumlah Anggota DPR Diangkat oleh Pemerintah
Dipilih Dari Pemilu
1955 260 -
1971 360 100 (75 dari ABRI dan 25 dari non-ABRI)
1977 360 100 (75 dari ABRI dan 25 dari non-ABRI)
1982 365 (75 dari ABRI dan 21 dari non-ABRI)
1987 400 (100 dari ABRI)
1992 400 (100 dari ABRI)
1997 425 (75 dari ABRI)
1999 462 -
2004 550 -
2009 560 -
2014 560 -
2019 575 -
Sumber: Sekretariat Jenderal KPU, 2010 dan dari berbagai sumber

Problematika dalam pembuatan dapil terlihat di Pemilu 2009 dan di Pemilu


2014. Misalnya yang terjadi di Dapil Jabar III di Pemilu 2009, dimana Kota
Bogor digabungkan dengan Kabupaten Cianjur. Padahal Kota Bogor
memiliki wilayah administrasi yang dikelilingi oleh Kabupaten Bogor.
Contoh lain adalah Dapil Kalsel II di Pemilu 2009, dimana Kota Banjarmasin
disatukan dengan Kota Banjarbaru. Padahal kedua daerah tersebut

78 BAB 3 – SISTEM PEMILU


dipisahkan oleh Kabupaten Banjar. Fenomena yang sama, yang kemudian
disebut dengan “dapil loncat” juga terjadi di beberapa wilayah yang lain.
Menurut Husein (2014), penyusunan dapil seperti kasus Bogor dan
Banjarmasin menyalahi prinsip mendasar dalam pembuatan dapil, yaitu
bahwa sebuah dapil merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous
district). Selain itu, menurut Rizkiyansyah (2017), komposisi dapil di Pemilu
2009 adalah kurang representatif, baik dari unsur suku, budaya, maupun
kedekatan secara geografis yang mengakibatkan distribusi logistik menjadi
tidak efektif dan tidak efisien. Masalah di dalam perumusan dapil juga
terjadi di Pemilu 2014, misalnya masyarakat tradisional Suku Gayo yang
terpisah ke dalam dua dapil, yaitu dapil NAD I dan dapil NAD II.3 Selain itu,
fenomena jumlah kursi yang kurang dari seharusnya (under-represented)
dan jumlah kursi yang lebih dari seharusnya (over-represented) juga masih
mewarnai pelaksanaan Pemilu 2014.4

Peserta pemilu-pemilu legislatif di Periode Reformasi adalah Parpol. Namun


demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa telah terjadi transformasi sistem
pemilu. Jika Pemilu 1999 menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar
tertutup, maka Pemilu 2004 menggunakan sistem daftar setengah terbuka.
Sedangkan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 menggunakan sistem daftar
terbuka murni. Konsekuensi dari transformasi sistem pemilu adalah bahwa
jika di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 kontestasi terjadi antar Parpol atau
antar calon antar Parpol, maka sejak Pemilu 2009 kontestasi bersifat antar
calon di dalam Parpol yang sama. Masih terkait dengan pencalonan, sejak
Pemilu 2004 semakin marak terjadi praktek politik uang transaksional di
dalam proses pencalonan yang populer dengan sebutan uang mahar, uang
formulir, uang perahu, dan sebutan-sebutan lain. Selain itu, juga
berkembang fenomena politik dinasti (proses pencalonan yang berdasarkan
atas relasi kekeluargaan atau kekerabatan) dan juga fenomena Parpol yang
mencalonkan para artis atau selebriti dalam rangka meraup kursi (Husein
2014).

Yang juga perlu mendapat penekanan adalah bahwa di Pemilu 2004, UU


Pemilu saat itu telah membawa terobosan baru berupa ketentuan untuk

3 Lebih detail, lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XI/2013.


4 Lebih detail, lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-X/2012.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 79


memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen di dalam
proses pencalonan. Hal ini kemudian diperkuat sejak Pemilu 2009, dimana
Parpol dalam menyusun daftar calon di dapil harus mempertimbangkan
nomor urut dan jenis kelamin dengan mekanisme zipper system yakni setiap
tiga calon minimal satu perempuan (Surbakti, Supriyanto dan Asy’ari 2011).

Terkait dengan model pemberian suara, surat suara di Pemilu 1999 berisi
nomor, nama dan tanda gambar Parpol. Untuk mekanisme pemberian
suara, pemilih memilih tanda gambar Parpol. Dengan kata lain, sistem di
Pemilu 1999 adalah sistem perwakilan berimbang daftar tertutup.
Sedangkan di Pemilu 2004-214, surat suara berisi nomor, nama dan tanda
gambar Parpol, serta nomor dan nama-nama calon. Di Pemilu 2004, pemilih
dapat mencoblos tanda gambar Parpol atau tanda gambar Parpol dan nama
calon. Pada pemilu ini, pemilih tidak diperbolehkan mencoblos hanya
nomor dan/atau nama calon. Dengan demikian, Pemilu 2004 menggunakan
sistem perwakilan berimbang daftar semi-terbuka. Sedangkan di Pemilu
2009, pemilih mencontreng (bukan mencoblos) tanda gambar Parpol
dan/atau nama calon sesuai pilihan Parpolnya. Untuk Pemilu 2014, pemilih
mencoblos tanda gambar Parpol dan/atau nomor dan/atau nama calon
sesuai pilihan Parpolnya. Dengan demikian, sejak Pemilu 2009 kita
menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka

Tabel 3.7. Perbandingan Sistem Pemilu 1955-Pemilu 2014 untuk


Pemilu DPR RI
Pemilu 1955 Pemilu- Pemilu 1999 Pemilu 2004 Pemilu 2009 Pemilu 2014
Pemilu Orba
Sistem Perwakilan Perwakilan Perwakilan Perwakilan Perwakilan Perwakilan
Pemilu Berimbang Berimbang Berimbang Berimbang Berimbang Berimbang
Daerah 16 dapil Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi Provinsi
Pemilihan dengan dengan atau bagian- atau bagian atau bagian
setiap dapil jumlah kursi bagian Provinsi (77 Provinsi (77
minimal 3 setiap dapil Provinsi (69 dapil) dapil)
kursi 3-12 dapil) dengan dengan
dengan jumlah kursi jumlah kursi
jumlah kursi 3-10 kursi di 3-10 kursi di
3-12 kursi di setiap dapil setiap dapil
setiap dapil
Pencalonan 57 kursi 360-425 462 kursi 550 kursi 560 kursi 560 kursi
kursi

80 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Metode Mencoblos Mencoblos Mencoblos Mencoblos Mencontren Mencoblos
Pemberian tanda tanda tanda tanda g tanda tanda
Suara gambar gambar gambar gambar gambar gambar
parpol atau parpol parpol parpol atau parpol atau parpol atau
memilih (daftar (daftar memilih calon atau calon atau
calon atau tertutup) tertutup) calon atau mencoblos mencoblos
memilih memilih tanda tanda
tanda tanda gambar gambar
gambar gambar parpol dan parpol dan
parpol dan parpol dan calon dari calon dari
calon calon Parpol parpol
sekaligus sekaligus, tersebut tersebut
(daftar tapi tidak sekaligus sekaligus
terbuka) boleh (daftar (daftar
memilih terbuka) terbuka)
calon saja
(daftar
semi-
terbuka)
Penentuan BPP dan Nomor urut Nomor urut BPP + Suara Suara
Calon suara nomor urut terbanyak terbanyak
Terpilih terbanyak
untuk sisa
kursi
Ambang - - Ambang Ambang Ambang Ambang
Batas batas batas batas batas
pemilu 2% pemilu 3% parlemen parlemen
2.5% 3.5%
Waktu - Pemilu Pemilu Pemilu - Pemilu - Pemilu - Pemilu
DPR 29 DPR/D pada DPR/D pada DPR/D dan DPR/D dan DPR/D dan
Septembe 5 Juli 1971 7 Juni 1999 DPD pada DPD pada DPD pada
r 1955 (tidak ada (tidak ada 5 April 9 April 9 April
- Pemilu Pilpres Pilpres 2004 2009 2014
Konstituan langsung langsung - Pilpres - Pilpres - Pilpres
te 19 dan pemilu dan pemilu putaran I pada 8 Juli pada 9 Juli
Desember DPD) DPD) pada 5 Juli 2009 2014
1955 2004
- Pilpres
putaran II
pada 20
September
2004

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

BAB 3 – SISTEM PEMILU 81


Gambar 3.3. Perbandingan Sistem Pemilu di Indonesia

82 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Gambar 10: Sistem Pemilu DPR RI

BAB 3 – SISTEM PEMILU 83


Penetapan pemenang untuk pemilu legislatif di Era Reformasi adalah
metode suara terbanyak. Di Pemilu 1999, pemenang ditentukan
berdasarkan suara terbanyak Parpol di masing-masing dapil. Sedangkan di
Pemilu 2004, pemenang ditentukan berdasarkan jumlah suara calon yang
mencapai BPP untuk pembagian kursi tahap pertama (jumlah suara sah
Parpol dibagi jumlah kursi di setiap dapil). Bagi mereka yang tidak mencapai
BPP, penetapan calon terpilih didasarkan pada nomor urut dalam daftar
calon. Untuk Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, pemenang ditentukan
berdasarkan pada perolehan suara terbanyak calon. 5 Dengan demikian,
dengan kata lain, metode konversi suara ke kursi yang digunakan di Pemilu
1999 sampai dengan di Pemilu 2014 adalah Metode Kuota Hare.

Selain Pileg, sejak Pemilu 2004 diselenggarakan Pilpres secara langsung dan
Pemilu DPD. Pilpres menggunakan sistem dua putaran. Sedangkan Pemilu
DPD menggunakan sistem distrik berwakil majemuk (SNTV). Untuk Pilpres
diselenggarakan pada tahun yang sama setelah penyelenggaraan Pemilu
legislatif. Sedangkan Pemilu DPD diselenggarakan secara serentak dengan
Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Tabel 3.8. Pasangan Calon dan Perolehan Suaranya di Pilpres 2004-2019

Paslon Putaran Perolehan Paslon Putaran Kedua Perolehan


Pemilu
Pertama Suara Suara

H. Wiranto, SH- 23.827.512


Ir.H.Salahuddin Wahid (22,19%)

2004 Hj. Megawati 28.186.780 Hj. Megawati 44.990.704


Soekarnoputri- (26.24%) Soekarnoputri-K.H. (39.38%)
K.H. Ahmad Hasyim Ahmad Hasyim
Muzadi Muzadi

5 Penentuan pemenang berdasarkan atas perolehan suara terbanyak untuk Pemilu DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008
dikarenakan oleh berbagai pertimbangan, misalnya karena hal tersebut sesuai dengan substansi
kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi, agar tidak memasung suara rakyat, dan meningkatkan
legitimasi calon terpilih.

84 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Prof.Dr.H. Amien Rais- 16.042.105
Dr.Ir.H Siswono Yudo (14.94%)
Husodo

H. Susilo Bambang 36.070.622 H. Susilo Bambang 69.266.350


Yudhoyono- (33.58%) Yudhoyono-Drs.H. (60.62%)
Drs.H. Muhammad Muhammad Jusuf
Jusuf Kalla Kalla

Dr.H. Hamzah Haz- 3.276.001


H. Agum Gumelar, M.Sc (3.05%)

Hj. Megawati 32.548.105


Soekarnoputri-Prabowo (26.79%)
Subianto

Dr. Susilo Bambang 73.874.562


2009 Yudhoyono- (60.80%)
Prof.Dr. Boediono

Drs.H. Muhammad 15.081.814


Jusuf Kalla- (12.41%)
H. Wiranto, SIP

H. Prabowo Subianto- 62.576.444


Ir.H.M. Hatta Rajasa (46.85%)
2014
Ir.H. Joko Widodo- 70.997.833
Drs.H.M. Jusuf Kalla (53.15%)

Ir.H. Joko Widodo- 85.607.362


Prof.Dr (HC).KH. Ma’ruf (55.50%)
Amin
2019
H. Prabowo Subianto-H. 68.650.239
Sandiaga Salahuddin (44.50%)
Uno
Sumber: Sekretariat Jenderal KPU, 2010 dan dari berbagai sumber

Terkait dengan pilkada, penyelenggaraan pertama pilkada secara langsung


di tahun 2005 dan berlanjut di tahun-tahun berikutnya sesuai dengan
jadwal di daerah masing-masing pada tahun 2006, 2007, 2008, 2010, 2011,
2012, dan 2013. Sistem pemilu yang digunakan saat itu adalah sistem dua

BAB 3 – SISTEM PEMILU 85


putaran, dimana jika tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara
minimal sebanyak 30 persen pada putaran pertama, maka pasangan calon
dengan suara terbanyak pertama dan kedua akan bertarung kembali di
putaran kedua.

E. Sistem Pemilu di Indonesia Berdasarkan UU Pemilu

Regulasi tentang sistem Pilpres dan sistem Pileg diatur di dalam UUD 1945
dan UU Pemilu. Di bagian ini kita membahas sistem-sistem pemilu yang ada
di Indonesia saat ini.

1. Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Dapil untuk pilpres adalah wilayah negara Republik Indonesia secara


menyeluruh. Hal ini diatur di dalam UU Pemilu yang menyebutkan bahwa
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan.6

Sedangkan terkait dengan pencalonan, syarat calon diatur di dalam UUD


1945 yang menyebutkan bahwa Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
harus seorang Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.7
Selanjutnya, persyaratan Calon Presiden/Wakil Presiden diatur lebih lanjut
di dalam UU Pemilu, termasuk soal pembatasan periode jabatan di jabatan
yang sama selama maksimal dua periode berturut-turut.8

Secara umum, proses pencalonan di dalam pilpres diatur di dalam UUD


1945, yaitu pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden diusulkan oleh Parpol
atau gabungan Parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. 9

6 Pasal 168 UU Pemilu.


7 Pasal 6 UUD 1945.
8 Pasal 169-Pasal 171 UU Pemilu.
9 Pasal 6 UUD 1945.

86 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Mekanisme pencalonan kemudian lebih lanjut diatur di dalam UU Pemilu.10
Beberapa diantaranya adalah, pertama, bahwa pasangan Calon
Presiden/Wakil Presiden diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol
peserta pemilu yang memiliki kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi
DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu
legislatif sebelumnya.11 Inilah yang kemudian disebut sebagai ambang batas
pencalonan di dalam pilpres. Kedua, penentuan Calon Presiden/Wakil
Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan
mekanisme internal Parpol yang bersangkutan. 12 Ketiga, Parpol dapat
melakukan kesepakatan dengan Parpol lain untuk melakukan
penggabungan dalam mengusulkan pasangan calon.13

Sedangkan untuk penentuan pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden


terpilih, UUD 1945 menyebutkan bahwa: Pasangan calon Presiden dan wakil
Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah
suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap
Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia,
dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.14 Selanjutnya, konstitusi juga
menyatakan bahwa: dalam hal tidak ada pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara
langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 15 Pengaturan lebih lanjut terkait
dengan penetapan perolehan suara diatur di dalam UU Pemilu. 16
Pengaturan ini yang secara implisit menyatakan bahwa sistem pilpres
menganut TRS dengan varian sistem mayoritas mutlak (majority run-off).

Terkait dengan metode pemberian suara, konstitusi menyatakan: Presiden


dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket pasangan secara langsung oleh
rakyat.17 Selanjutnya, konstitusi juga menyatakan bahwa: Pemberian suara

10 Pasal 221-Pasal 239 UU Pemilu.


11 Pasal 222 UU Pemilu.
12 Pasal 223 Ayat 1 UU Pemilu.
13 Pasal 223 Ayat 2 UU Pemilu.
14 Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945.
15 Pasal 6A Ayat 4 UUD 1945.
16 Pasal 416-417 UU Pemilu.
17 Pasal 6A Ayat 1 UUD 1945.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 87


untuk pemilu dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor,
nama, foto pasangan calon, atau tanda gambar Parpol pengusul dalam satu
kotak pada surat suara untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.18

Sedangkan terkait dengan pengaturan waktu, UU Pemilu mengatur tentang


penyelenggaraan pilpres, misalnya pemilu dilaksanakan lima tahun sekali,
pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari
yang diliburkan secara nasional, dan KPU mengatur lebih lanjut tentang
hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara. Dengan mendasarkan pada
regulasi ini, pilpres di tahun 2019 diselenggarakan pada hari yang sama
dengan penyelenggaraan pemilu legislatif.19

Tabel 3.9. Sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden


- Paslon Presiden/Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih
dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan
sedikitnya 20 persen suara di setiap Provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah Provinsi di Indonesia, dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden
Sistem Pemilu
- Dalam hal tidak ada Paslon Presiden/Wakil Presiden terpilih, dua
paslon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden
Daerah Pemilihan Wilayah Negara Republik Indonesia secara menyeluruh
Parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki kursi
paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25
persen dari suara sah secara nasional pada pemilu legislatif
sebelumnya
Parpol dapat melakukan kesepakatan dengan parpol lain untuk
Pencalonan melakukan penggabungan dalam mengusulkan paslon
Penentuan Calon Presiden/Wakil Presiden dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal parpol
yang bersangkutan
Surat suara berisi nomor, nama dan tanda gambar parpol atau
gabungan parpol pengusung
Mencoblos satu kali pada nomor, nama, foto pasangan calon, atau
Metode pemberian
tanda gambar parpol atau gabungan pengusul dalam satu kotak
suara
pada surat suara

18 Pasal 353 Ayat 1 Huruf a UUD 1945.


19 Pasal 167 UU Pemilu.

88 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50
persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen
suara di setiap Provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah
Provinsi di Indonesia
Dalam hal tidak ada paslon terpilih sebagaimana dimaksud di atas,
dua paslon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
Penentuan paslon dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pilpres
terpilih Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama
diperoleh oleh dua paslon, keduanya dipilih kembali oleh rakyat
secara langsung dalam pipres
Dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama
diperoleh oleh tiga paslon atau lebih, penentuan peringkat pertama
dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan
suara yang lebih luas secara berjenjang
Dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang
sama diperoleh oleh lebih dari satu paslon, penentuannya dilakukan
berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas
secara berjenjang
Parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki kursi
Ambang batas paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25
(pencalonan) persen dari suara sah secara nasional pada pemilu legislatif
sebelumnya
Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali
Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur
Waktu atau hari yang diliburkan secara nasional
KPU mengatur lebih lanjut tentang hari, tanggal, dan waktu
pemungutan suara

2. Sistem Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota

UUD 1945 menyebutkan bahwa: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih


melalui Pemilihan Umum.20 Selain itu, konstutisi juga menyatakan bahwa:
Pemerintah daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. 21 Selanjutnya, UU Pemilu secara eksplisit menyatakan
bahwa: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

20 Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945.


21 Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 89


Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. 22
Dengan kata lain, sistem pemilu legislatif adalah sistem perwakilan
berimbang daftar terbuka.

Dapil untuk Pileg DPR RI dan DPRD Provinsi sudah ditetapkan di dalam
lampiran UU Pemilu. Dengan demikian, perumusan dapil untuk DPR RI dan
DPRD Provinsi dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Namun demikian,
regulasi secara umum mengatur dapil untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota yang diantaranya adalah:
- Untuk DPR:
o dapilnya adalah Provinsi atau bagian dari Provinsi;
o jumlah kursinya adalah 575; dan
o jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil adalah 3-10 kursi.
- Untuk DPRD Provinsi:
o Dapilnya adalah Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota;
o jumlah kursi untuk DPRD Provinsi adalah 35-120 kursi;
o jumlah kursi DPRD di setiap Provinsi didasarkan pada jumlah
penduduk Provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan dari mulai
yang terkecil (yaitu Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan
1 juta orang memperoleh alokasi 35 kursi) sampai dengan yang
terbesar (yaitu Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta
orang memperoleh alokasi 120 kursi);
o jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil adalah 3-12 kursi.
- Untuk DPRD Kabupaten/Kota:
o dapilnya adalah kecamatan atau gabungan kecamatan;
o jumlah kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota adalah 20-55 kursi;
o jumlah kursi DPRD di setiap Kabupaten/Kota didasarkan pada jumlah
penduduk Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan ketentuan dari
mulai yang terkecil (yaitu Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 100 ribu orang memperoleh alokasi 20 kursi) sampai
dengan yang terbesar (yaitu Kabupaten/Kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 3 juta orang memperoleh alokasi 55 kursi); dan
o jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil adalah 3-12 kursi.

22 Pasal 168 Ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

90 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Di Pemilu 2019, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan
infomasi, KPU telah mempublikasikan informasi berbasis dapil (Sistem
Daerah Pemilihan atau SIDAPIL) yang dapat diakses melalui laman resmi
KPU, yaitu https://infopemilu.kpu.go.id. Melalui laman resmi ini, publik
dapat melihat informasi yang berbasis pada dapil, yaitu alokasi kursi, daftar
pemilih, data calon, dan profil badan penyelenggara.

Dalam hal pengaturan dapil, UU Pemilu menyatakan bahwa penyusunan


dapil untuk pileg memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini:23

a. kesetaraan nilai suara, yaitu upaya untuk meningkatkan nilai suara


(harga kursi) yang setara antara satu dapil dan dapil lainnya dengan
prinsip satu orang-satu suara-satu nilai;
b. ketaatan pada sistem pemilu proporsional, yaitu ketaatan dalam
pembentukan dapil dengan mengutamakan jumlah kursi yang besar agar
persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap Parpol setara mungkin
dengan persentase suara sah yang diperoleh;
c. proporsionalitas, yaitu kesetaraan alokasi dengan memperhatikan kursi
antar dapil agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap dapil;
d. integralitas wilayah, yaitu memperhatikan beberapa Provinsi, beberapa
Kabupaten/Kota, atau kecamatan yang disusun menjadi satu dapil untuk
daerah perbatasan, dengan tetap memperhatikan keutuhan dan
keterpaduan wilayah, serta mempertimbangkan kondisi geografis,
sarana perhubungan, dan aspek kemudahan transportasi;
e. berada dalam cakupan wilayah yang sama, yaitu penyusunan dapil
anggota DPRD Provinsi yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau
bagian Kabupaten/Kota yang seluruhnya harus tercakup dalam suatu
dapil anggota DPR;
f. kohesivitas, yaitu penyusunan dapil memperhatikan sejarah, kondisi
sosial budaya, adat istiadat, dan kelompok minoritas; dan
g. kesinambungan, yaitu penyusunan dapil dengan memperhatikan dapil
yang sudah ada pada pemilu tahun sebelumnya, kecuali apabila alokasi
kursi pada dapil tersebut melebihi batasan maksimal alokasi kursi setiap
dapil atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip di atas.

23 Pasal 185 UU Pemilu.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 91


Terkait dengan pencalonan, undang-undang juga mengatur mekanisme
pendaftaran Parpol sebagai peserta pemilu24 dan mekanisme pencalonan di
internal Parpol. 25 Beberapa diantaranya adalah, pertama, bahwa peserta
pemilu adalah Parpol. Hal ini juga disebutkan secara eksplisit di dalam
konstitusi. 26 Dalam rangka memperluas penyebaran infomasi terkait
dengan Parpol peserta pemilu, KPU memanfaatkan sistem aplikasi berbasis
teknologi informasi yang diberi nama Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL)
yang memuat informasi terkait dengan SK kepengurusan Parpol peserta
Pemilu 2019, Rekapitulasi Parpol, Parpol dengan dokumen lengkap dan
tidak lengkap, dan Parpol pasca putusan Bawaslu, sebaran pengurus, jumlah
kepengurusan dan kantor, serta jumlah keanggotaan. Sebagaimana telah
dibahas di Bab 3 sebelumnya, dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi, KPU telah menyediakan informasi tentang Parpol peserta
Pemilu 2019 melalui laman resmi: https://infopemilu.kpu.go.id.

Kedua, Parpol peserta pemilu adalah mereka yang lolos verifikasi oleh KPU.
Ketiga, berbagai aturan persyaratan bagi para bakal calon. Keempat,
pencalonan di internal Parpol peserta pemilu diselenggarakan dengan
mekanisme demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART, dan/atau
peraturan internal serta melarang praktek-praktek politik uang. Kelima,
daftar bakal calon memuat paling banyak 100 persen dari jumlah kursi pada
setiap dapil yang memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30
persen. Keenam, nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan
nomor urut, dimana di setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit
satu orang perempuan bakal calon. Ketujuh, terdapat mekanisme yang
bernuansa partisipatif dalam proses dari daftar calon sementara (DCS) ke
daftar calon tetap (DCT). Kedelapan, di Pemilu 2019, meneruskan apa yang
telah dilaksanakan oleh KPU di periode sebelumnya, KPU juga
menggunakan sistem aplikasi berbasis teknologi informasi untuk
menunjang kelancaran di dalam tahapan pencalonan yang diberi nama
Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang berisi informasi mulai dari tahap
pengajuan, penelitian, Daftar Calon Sementara (DCS), perubahan DCS, DCT,
dan Perubahan DCT.

24 Pasal 172-Pasal 180 UU Pemilu.


25 Pasal 240-Pasal 257 UU Pemilu.
26 Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945.

92 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Sedangkan untuk penentuan calon terpilih, undang-undang mengatur
penetapan perolehan kursi. 27 Beberapa diantaranya adalah, pertama,
penentuan perolehan jumlah kursi untuk anggota DPR didasarkan atas hasil
penghitungan seluruh suara sah dari setiap Parpol peserta pemilu di dapil
yang bersangkutan. Kedua, penetapan perolehan jumlah kursi tiap Parpol
peserta pemilu di suatu dapil dilakukan dengan membagi suara sah setiap
Parpol peserta pemilu dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara
berurutan oleh bilangan ganjil berikutnya. Ketiga, hasil pembagian tersebut
diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak, dimana nilai terbanyak
pertama mendapat kursi pertama dan seterusnya sampai jumlah kursi di
dapil tersebut habis terbagi. Keempat, penentuan calon terpilih didasarkan
pada perolehan kursi Parpol peserta pemilu di suatu dapil berdasarkan
suara terbanyak yang diperoleh oleh masing-masing calon di satu dapil yang
tercantum di surat suara. Dengan demikian, secara implisit, metode
konversi suara ke kursi yang digunakan di UU Pemilu adalah Metode Sainte-
Laguë.

Terkait dengan metode pemberian suara, undang-undang menyatakan


bahwa “pemberian suara untuk pemilu dilakukan dengan cara mencoblos
satu kali pada nomor atau tanda gambar Parpol, dan/atau nama calon
anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 28 Sebagai
tambahan informasi, di Pemilu 2019 terdapat 12 kabupaten di Papua
(Kabupaten Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Jayawijaya, Nduga, Paniai,
Deiyai, Lanny Jaya, Yakuhimo, Mamberamo Tengah, Intan jaya, dan Dogiyai)
yang menggunakan sistem noken dan 5 kabupaten di Papua (Kabupaten
Yahukimo, Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, dan Tolikara) yang
menggunakan kombinasi antara sistem noken dan mencoblos.

Sedangkan untuk pengaturan waktu, undang-undang mengatur tentang


penyelenggaraan Pemilu Legislatif.29 Pengaturan itu adalah bahwa pemilu
dilaksanakan lima tahun sekali, pemungutan suara dilaksanakan secara
serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional, dan KPU
mengatur lebih lanjut tentang hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara.
Dengan mendasarkan pada regulasi ini, pemilu legislatif di tahun 2019
diselenggarakan pada hari yang sama dengan penyelenggaraan pilpres.

27 Pasal 418-420 UU Pemilu.


28 Pasal 353 Ayat 1 Huruf b UU Pemilu.
29 Pasal 167 UU Pemilu.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 93


Tabel 3.10. Sistem Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
Sistem Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Pemilu Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka
Dapilnya adalah Provinsi atau bagian dari Provinsi
DPR Jumlah kursi adalah 575
Jumlah kursi di setiap dapil adalah 3-10
Dapilnya adalah Kabupaten/Kota atau gabungan
Kabupaten/Kota
Jumlah kursi antara 35-120 kursi
Jumlah kursi bervariasi didasarkan pada jumlah
penduduk Provinsi yang bersangkutan dengan
DPRD Provinsi ketentuan dari mulai yang terkecil (yaitu Provinsi
dengan jumlah penduduk sampai dengan 1 juta orang
memperoleh alokasi 35 kursi) sampai dengan yang
terbesar (yaitu Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dari 20 juta orang memperoleh alokasi 120 kursi)
Daerah
Pemilihan Jumlah kursi di setiap dapil adalah 3-12
Dapilnya adalah kecamatan atau gabungan kecamatan
Jumlah kursi adalah 20-55
Jumlah kursinya bervariasi didasarkan pada jumlah
penduduk Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan
ketentuan dari mulai yang terkecil (yaitu
DPRD Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai
Kabupaten/Kota dengan 100 ribu orang memperoleh alokasi 20 kursi)
sampai dengan yang terbesar (yaitu Kabupaten/Kota
dengan jumlah penduduk lebih dari 3 juta orang
memperoleh alokasi 55 kursi) sebagaimana diatur di
dalam Pasal 191 UU No. 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum
Jumlah kursi di setiap dapil adalah 3-12
Peserta pemilu adalah parpol
Parpol peserta pemilu adalah mereka yang lolos verifikasi oleh KPU
Pencalonan di internal parpol peserta pemilu diselenggarakan dengan
Pencalonan mekanisme demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART, dan/atau
peraturan internal serta melarang praktek-praktek politik uang
Daftar bakal calon memuat paling banyak 100 persen dari jumlah kursi
pada setiap dapil yang memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30
persen

94 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut,
dimana di setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang
perempuan bakal calon
Partisipasi masyarakat dalam proses dari Daftar Calon Sementara (DCS) ke
Daftar Calon Tetap (DCT)
Metode
Mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar Parpol, dan/atau
pemberian
nama calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
suara
Penentuan perolehan jumlah kursi untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara
sah dari setiap parpol peserta pemilu di dapil yang bersangkutan
Penetapan perolehan jumlah kursi tiap parpol peserta pemilu di suatu dapil
dilakukan dengan membagi suara sah setiap parpol peserta pemilu dengan
Penentuan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3,5,7,
paslon dan seterusnya
terpilih
Hasil pembagian tersebut diurutkan berdasarkan jumlah nilai terbanyak
Penentuan calon terpilih didasarkan pada nilai terbanyak pertama
mendapatkan kursi pertama, nilai terbanyak kedua mendapat kursi kedua,
nilai terbanyak ketiga mendapat kursi ketiga dan seterusnya sampai jumlah
kursi di dapil habis terbagi
Ambang DPR 4 persen
batas DPRD Provinsi 0 persen
parlemen DPRD Kabupaten/Kota 0 persen
Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali
Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari
Waktu yang diliburkan secara nasional
KPU mengatur lebih lanjut tentang hari, tanggal, dan waktu pemungutan
suara

3. Sistem Pemilu DPD

Untuk Pemilu DPD, konstitusi menyebutkan bahwa: Anggota Dewan


Perwakilan Daerah dipilih dari setiap Provinsi melalui pemilihan umum.30
Sedangkan UU menyebutkan secara eksplisit bahwa: Pemilu untuk memilih
Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.31

30 Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.


31 Pasal 168 Ayat 3 UU Pemilu.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 95


Selain itu, UU Pemilu juga menyebutkan bahwa: Daerah pemilihan untuk
Anggota DPD adalah Provinsi.32 Selain itu, undang-undang juga mengatur
bahwa jumlah kursi untuk setiap dapil (Provinsi) adalah empat.33

Untuk pencalonan, terdapat beberapa poin pengaturan penting. Pertama,


peserta pemilu untuk memilih Anggota DPD adalah perseroangan.34 Hal ini
juga disebutkan secara eksplisit di dalam konstitusi.35 Kedua, calon peserta
pemilu mendapatkan dukungan minimal dari pemilih di dapil yang
bersangkutan mulai dari Provinsi dengan jumlah penduduk paling sedikit (di
bawah 1 juta orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 1000
pemilih) sampai Provinsi dengan jumlah penduduk paling banyak (di atas 15
juta orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 5 ribu pemilih).
Ketiga, dukungan tersebut tersebar di paling sedikit 50 persen dari jumlah
Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan. Keempat, dukungan
tersebut dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan
atau cap jempol tangan dilengkapi dengan fotokopi KTP untuk setiap
pendukung. Kelima, seorang pendukung tidak diperbolehkan untuk
memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon Anggota DPD.

Sedangkan untuk penentuan calon terpilih, undang-undang mengatur


mekanisme penetapan calon terpilih. 36 Pertama, penetapan calon terpilih
didasarkan pada nama calon yang memperoleh suara terbanyak pertama,
kedua, ketiga, dan keempat di Provinsi yang bersangkutan. Kedua, dalam hal
perolehan suara terpilih keempat terdapat jumlah suara yang sama, calon
yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di
seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon.
Dengan demikian, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan di dalam
regulasi, sistem pemilu untuk memilih Anggota DPD adalah sistem SNTV.

Terkait dengan metode pemberian suara, undang-undang menyatakan


bahwa: pemberian suara untuk pemilu dilakukan dengan cara mencoblos
satu kali pada nomor, nama atau foto calon untuk Pemilu Anggota DPD.37
32 Pasal 197 UU Pemilu.
33 Pasal 196 UU Pemilu.
34 Pasal 181 UU Pemilu.
35 Pasal 22E Ayat 5 UUD 1945.
36 Pasal 423 UU Pemilu.
37 Pasal 353 Ayat 1 Huruf c UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

96 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Sedangkan dalam hal pengaturan waktu, undang-undang mengatur tentang
penyelenggaraan pemilu legislatif, antara lain adalah pemilu dilaksanakan
lima tahun sekali, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada
hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional, dan KPU mengatur lebih
lanjut tentang hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara. 38 Dengan
mendasarkan pada regulasi ini, pemilu untuk memilih anggota DPD di tahun
2019 diselenggarakan secara bersamaan dengan penyelenggaraan pilpres.

Tabel 3.11. Sistem Pemilu DPD

Sistem Pemilu Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem
distrik berwakil banyak
Daerah Pemilihan Setiap Provinsi menyediakan 4 kursi
Perseorangan
Mendapatkan dukungan minimal dari pemilih di dapil yang
bersangkutan mulai dari Provinsi dengan jumlah penduduk paling
sedikit (1 juta orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit
1000 pemilih) sampai Provinsi dengan jumlah penduduk paling
banyak (15 juta orang harus mendapatkan dukungan paling
sedikit 5 ribu pemilih)
Dukungan tersebut tersebar di paling sedikit 50 persen dari
jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan
Pencalonan
Dukungan tersebut dibuktikan dengan daftar dukungan yang
dibubuhi tanda tangan atau cap jempol tangan dilengkapi dengan
fotokopi KTP untuk setiap pendukung
Seorang pendukung tidak diperbolehkan untuk memberikan
dukungan kepada lebih dari satu calon anggota DPD
Metode Mencoblos satu kali pada nomor, nama atau foto calon untuk
pemberian suara Pemilu anggota DPD
Penetapan calon terpilih didasarkan pada nama calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan
keempat di Provinsi yang bersangkutan
Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat
Penentuan paslon jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan
terpilih pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh
Kabupaten/Kota di Provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon
Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali

38 Pasal 167 UU Pemilu.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 97


Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur
Waktu atau hari yang diliburkan secara nasional
KPU mengatur lebih lanjut tentang hari, tanggal, dan waktu
pemungutan suara

4. Sistem Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

Sistem pilkada diatur di dalam UUD 1945 dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi UU. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK), regulasi pilkada adalah bagian dari rejim pemerintahan daerah (bukan
rejim pemilu) sehingga regulasi tersebut tidak menjadi bagian yang diatur
di dalam UU Pemilu.

Konstitusi menyatakan bahwa: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-


masing kepala pemerintah daerah Provinsi, kabupaten dan kota dipilih
secara demokratis.39 Selain itu, undang-undang juga menyebutkan bahwa
pemilihan kepala daerah dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara
serentak di seluruh wilayah NKRI.40 Hal ini yang kemudian menjadi dasar
bagi penyelenggaraan pilkada secara langsung oleh rakyat.

Tidak ada pengaturan yang eksplisit di dalam regulasi terkait dengan dapil
untuk pilkada. Namun demikian, jika dikaitkan status gubernur sebagai
kepala daerah di tingkatan pemerintahan Provinsi, maka daerah pemilihan
gubernur adalah di tingkatan Provinsi yang bersangkutan. Demikian juga
dengan bupati dan walikota, dimana daerah pemilihan bupati adalah di
kabupaten yang bersangkutan dan daerah pemilihan walikota adalah di
kota yang bersangkutan.

Syarat pencalonan untuk pilkada diatur di dalam UU Pilkada. 41 Beberapa


diantaranya adalah bahwa setiap warga negara berhak memiliki
kesempatan yang sama sebagai calon (tidak harus putra daerah dan tidak
harus memiliki KTP di wilayah yang bersangkutan), pembatasan periode
jabatan di jabatan yang sama selama maksimal dua periode berturut-turut,

39 Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.


40 Pasal 3 UU Pilkada.
41 Pasal 7 UU Pilkada.

98 BAB 3 – SISTEM PEMILU


berhenti dari jabatannya bagi mereka yang mencalonkan diri di daerah lain
sejak ditetapkan sebagai calon, dan mengundurkan diri sebagai anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, PNS serta Kepala Desa
atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon.

Lebih jauh, undang-undang juga mengatur bahwa peserta pilkada adalah


pasangan calon gubernur dan wakilnya, bupati dan wakilnya, walikota dan
wakilnya, serta pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah
orang.42 Di bagian lain, undang-undang juga mengatur bahwa Parpol atau
gabungan Parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika memiliki 20
persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan
suara sah dalam Pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan.43

Untuk calon gubernur yang berasal dari perseorangan, regulasi


menyebutkan bahwa yang bersangkutan harus memenuhi syarat dukungan
jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar
pemilih tetap pada pemilu atau pilkada sebelumnya yang paling akhir di
daerah yang bersangkutan dengan ketentuan mulai dari Provinsi dengan
jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap terkecil (Provinsi
dengan penduduk sampai 2 juta jiwa harus didukung paling sedikit 10
persen) sampai pada Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada
daftar pemilih yang terbesar (Provinsi dengan penduduk lebih dari 12 juta
jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen) yang tersebar di lebih dari 50
persen jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan.44 Di bagian
lain, undang-undang juga menyebutkan bahwa Calon Bupati/Wakil Bupati
dan Walikota/Wakil Walikota dari perseorangan harus memenuhi syarat
dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam
daftar pemilih tetap pada pemilu atau pilkada sebelumnya yang paling akhir
di daerah yang bersangkutan dengan ketentuan mulai dari Kabupaten/Kota
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap terkecil
(Kabupaten/Kota dengan penduduk sampai 250 ribu jiwa harus didukung
paling sedikit 10 persen) sampai pada Kabupaten/Kota dengan jumlah
penduduk yang termuat pada daftar pemilih yang terbesar

42 Pasal 39 UU Pilkada.
43 Pasal 40 UU Pilkada.
44 Pasal 41 Ayat (1) UU Pilkada.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 99


(Kabupaten/Kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa harus didukung
paling sedikit 6,5 persen).45

Sebagai informasi, berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang


Pemerintahan Aceh, maka terdapat beberapa syarat tambahan bagi calon
Gubernur Aceh, yaitu yang bersangkutan adalah orang Aceh dan
menjalankan syariat agamanya (dibuktikan dengan kemampuan dapat
membaca Alquran). Sedangkan berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, salah satu syarat bagi calon gubernur
di Papua adalah bahwa yang bersangkutan adalah orang asli Papua.

Sedangkan untuk metode pemberian suara, regulasi menyebutkan bahwa


pemilih memberikan tanda satu kali pada nomor urut, foto, atau nama salah
satu pasangan calon dalam surat suara.46 Selanjutnya, undang-undang juga
mengatur bahwa: Dalam hal pemberian suara dilakukan dengan cara
elektronik, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual/elektronik.
Dengan demikian, regulasi memberikan ruang bagi mekanisme pemberian
suara dengan sistem elektronik. 47 Sebagai tambahan informasi,
berdasarkan Keputusan MK No. 47/81/PHPU.A/VII/2009, maka beberapa
wilayah di Provinsi Papua menggunakan sistem noken (Pasaribu, 2016).

Untuk penentuan pemenang, regulasi mengatur bahwa Pasangan Calon


Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak
ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. 48 Dalam hal terdapat jumlah
perolehan suara yang sama, maka pasangan calon yang memperoleh
dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh
Kabupaten/Kota untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dan di seluruh
kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan pemilihan
Walikota/Wakil Walikota ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. UU ini
juga mempertegas bahwa pasangan calon kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 50 persen dinyatakan sebagai pasangan calon kepala daerah
terpilih. Dengan demikian, sistem pilkada di Indonesia saat ini
menggunakan sistem FPTP atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan
sistem suara terbanyak.

45 Pasal 41 Ayat (2) UU Pilkada.


46
Pasal 94 UU Pilkada.
47 Pasal 98 Ayat (3) UU Pilkada.
48 Pasal 107 dan Pasal 109 UU Pilkada.

100 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Sebagai tambahan informasi, Pilkada DKI memiliki sistem pemilu yang
berbeda, dimana regulasi menyatakan bahwa: Pasangan Calon Gubernur
dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50 persen
ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubenur dan Dalam hal tidak ada
Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara
terbanyak, maka diadakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
putaran kedua yang diikuti oleh Pasangan Calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.49 Dengan demikian,
sama dengan sistem Pilpres, sistem Pilkada di DKI menggunakan sistem dua
putaran dengan varian sistem mayoritas mutlak (majority run-off).

Sedangkan untuk waktu penyelenggaraan, UU menyebutkan bahwa:


Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.50 Sampai sejauh ini,
telah dilaksanakan 3 kali penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
serentak di tahun 2015, 2017, dan 2018. Selanjutnya, PKPU menyebutkan
bahwa pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang
diliburkan.51

Tabel 3.12. Sistem Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

- Paslon kepala daerah/wakil kepala daerah yang memperoleh suara


terbanyak ditetapkan sebagai paslon terpilih
- Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama, maka paslon
yang memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata
penyebarannya di seluruh Kabupaten/Kota untuk pemilihan
Sistem Pemilu
gubernur/wakil gubernur dan di seluruh kecamatan untuk pemilihan
bupati/wakil bupati dan pemilihan walikota/wakil walikota ditetapkan
sebagai pasangan calon terpilih
- Dalam hal hanya terdapat satu paslon memperoleh suara lebih dari
50% dari suara sah, ditetapkan sebagai paslon terpilih
Provinsi untuk Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur
Daerah
Kabupaten untuk Pemilihan Bupati/Wakil Bupati
Pemilihan
Kota untuk Pemilihan Walikota/Wakil Walikota

49 Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pilkada.


50
Pasal 3 UU Pilkada.
51 Pasal 3 Ayat (2) PKPU No. 8 Tahun 2018 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gu-

bernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 101


Perseorangan
Parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan paslon jika memiliki
20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi
perolehan suara sah dalam Pemilu DPRD di daerah yang bersangkutan
Paslon Gubernur/Wakil Gubernur yang berasal dari perseorangan harus
memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk yang mempunyai hak
pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada pemilu atau pilkada
sebelumnya yang paling akhir di daerah yang bersangkutan dengan
ketentuan mulai dari Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat
pada daftar pemilih tetap terkecil (Provinsi dengan penduduk sampai 2
juta jiwa harus didukung paling sedikit 10 persen) sampai pada Provinsi
dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih yang
Pencalonan terbesar (Provinsi dengan penduduk lebih dari 12 juta jiwa harus
didukung paling sedikit 6,5 persen) yang tersebar di lebih dari 50 persen
jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan
Paslon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang berasal
dari perseorangan harus memenuhi syarat dukungan jumlah penduduk
yang mempunyai hak pilih dan termuat dalam daftar pemilih tetap pada
pemilu atau pilkada sebelumnya yang paling akhir di daerah yang
bersangkutan dengan ketentuan mulai dari Kabupaten/Kota dengan
jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap terkecil
(Kabupaten/Kota dengan penduduk sampai 250 ribu jiwa harus
didukung paling sedikit 10 persen) sampai pada Kabupaten/Kota dengan
jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih yang terbesar
(Kabupaten/Kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa harus didukung
paling sedikit 6,5 persen)
Metode
Pemberian tanda satu kali pada nomor urut, foto, atau nama salah satu
pemberian
pasangan calon dalam surat suara
suara
Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai
pasangan calon terpilih
Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, paslon yang memperoleh dukungan pemilih
yang lebih merata penyebarannya di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi
Penentuan
tersebut ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih
paslon terpilih
Dalam hal terdapat jumlah perolehan suara yang sama untuk pemilihan
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, paslon yang
memperoleh dukungan pemilih yang lebih merata penyebarannya di
seluruh kecamatan di Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai
pasangan calon terpilih

102 BAB 3 – SISTEM PEMILU


Pemilihan kepala daerah dilaksanakan lima tahun sekali secara serentak
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan
Waktu
secara nasional
KPU mengatur lebih lanjut tentang hari, tanggal, dan waktu pemungutan
suara

F. Sistem Pemilu dan Konsekuensinya

Sistem pemilu memberikan pengaruh terhadap berbagai sistem yang


lainnya, terutama sistem kepartaian dan sistem pemerintahan. Namun
demikian, sistem pemilu bukan menjadi satu-satunya faktor dalam
mempengaruhi sistem-sistem yang lain. Masih banyak faktor lain juga
berkontribusi, misalnya perilaku memilih dan kondisi ekonomi-sosial-
budaya. Benoit (2007) mengatakan bahwa pilihan terhadap desain sebuah
sistem pemilu sangat terkait dengan aktor dan konteks yang
melatarbelakanginya. Untuk aktor, terdapat banyak aktor yang sangat
mempengaruhi desain sistem pemilu, yaitu Parpol, aktor di luar Parpol,
aktor eksternal, ahli non-politik, dan masyarakat. Sedangkan untuk konteks,
terdapat beberapa konteks yang sangat mempengaruhi pilihan terhadap
sebuah sistem pemilu tertentu, yaitu faktor ekonomi dan faktor perubahan
(modernisasi). Selain dua faktor tersebut, terdapat dua faktor lain, yaitu
motivasi dari elit pembuat kebijakan (pemburu kekuasaan, kebijakan atau
suara) dan tujuan dari pilihan atas satu sistem tertentu (keterwakilan,
governability, atau perimbangan dari keduanya, memaksimalkan legitimasi
dan keadilan, serta motivasi yang lainnya). Selain itu, pemilihan sistem
pemilu di sebuah negara sebenarnya sangat terkait dengan tujuan yang
ingin dicapai oleh negara tersebut. Dengan kata lain, desain sistem pemilu
sebenarnya merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
konteks ini, maka kita mengenal istilah perekayasaan kepemiluan (electoral
engineering).

Salah satu teori yang populer adalah Hukum Duverger dan Hipothesis
Duverger (1959). Hukum Duverger berbunyi bahwa sistem pemilu
mayoritas/pluralitas cenderung menghasilkan sistem kepartaian sederhana
(sistem dua partai). Sedangkan Hipothesis Duverger mengatakan bahwa
sistem pemilu perwakilan berimbang dan sistem campuran cenderung

BAB 3 – SISTEM PEMILU 103


menghasilkan sistem multi partai yang merentang dari sistem multipartai
sederhana sampai dengan sistem multipartai yang rumit. Hukum dan
Hipthesis Duverger ini terbukti di dalam kasus Indonesia. Hasil Pemilu 2019
menunjukkan bahwa sembilan Parpol mampu mendapatkan kursi di DPR RI.
Jumlah ini tidak berbeda secara signifikan dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Teori lain yang juga sangat populer adalah teori yang diajukan Katz (1997),
dimana dia menjelaskan bahwa sistem proporsional daftar terbuka
cenderung tidak disukai oleh para calon. Hal ini dikarenakan para calon
tersebut tidak saja harus berkompetisi dengan calon lain yang berasal dari
Parpol yang berbeda, tapi mereka juga harus berkompetisi dengan calon
lain dari Parpol yang sama. Bahkan, tingkat kompetisi antar calon di Parpol
yang sama lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kompetisi antar calon
di Parpol yang berbeda. Colomer (2004) juga menyodorkan teori yang tidak
kalah menariknya. Menurutnya, meskipun sistem pemilu perwakilan
berimbang akan menghasilkan perwakilan yang proporsional, sistem ini
pada sisi yang lain juga cenderung menghasilkan faksionalisme dan
kandidasi partisan. Teori ini juga berlaku sejak pelaksanaan Pemilu 2009
dengan menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka.
Pertama, terjadi kompetisi yang sangat sengit di dalam proses pencalonan
di internal masing-masing Parpol. Kedua, dalam tahapan kampanye,
kompetisi antar calon di dalam Parpol yang sama berjalan jauh lebih sengit
dibandingkan dengan kompetisi antar calon dari antar Parpol. Yang
kemudian lebih mengedepan adalah peran calon dan bukannya peran
Parpol. Padahal, regulasi mengatur bahwa peserta pemilu adalah Parpol
dan bukan calon.

Selain itu, beberapa kajian juga sampai pada kesimpulan bahwa sistem
pemilu proporsional lebih menjamin keterwakilan perempuan
dibandingkan dengan sistem pemilu mayoritas/pluralitas. Namun demikian,
kesimpulan seperti ini telah mendapat kritikan. Salah satunya adalah studi
yang dilakukan oleh Roberts, Seawright, dan Cyr (2012) yang menjelaskan
bahwa pengaruh sistem pemilu sebenarnya tidak besar terhadap
keterwakilan perempuan. Perubahan sistem pemilu pada akhirnya tidak
akan menjamin meningkatnya keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Teori ini juga sepertinya dapat menjelaskan kondisi keterwakilan
perempuan di Indonesia saat ini, dimana jumlah calon perempuan terpilih

104 BAB 3 – SISTEM PEMILU


mengalami fluktuasi dan memiliki kenaikan yang tidak terlalu signifikan dari
waktu ke waktu.

Gambar 3.4. Keterwakilan Perempuan

Sumber: Perdana dan Wildianti (2019) & Margaret et. al. (2014)

Untuk konteks surat suara, sebagaimana diargumentasikan oleh Rae (1967),


desain surat suara juga berimplikasi terhadap sistem kepartaian. Surat suara
yang umum (ordinal ballots), dimana memungkinkan pemilih untuk
membagi pilihannya, cenderung menghasilkan sistem kepartaian yang tidak
terfragmentasi secara ideologis. Sebaliknya, surat suara yang berkategori
cenderung menghasilkan sistem kepartaian yang terfragmentasi secara
ideologis.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 105


Sedangkan terkait dengan waktu, Keech (1980) menjelaskan relasi antara
waktu pelaksanaan pemilu dan kebijakan ekonomi yang berlaku saat itu.
Keech sampai pada kesimpulan bahwa mereka yang memandang pemilu
sebagai instrumen yang positif untuk mengontrol perilaku politisi
cenderung memilih pelaksanaan pemilu yang berkala (teratur). Sebaliknya,
mereka yang memandang pemilu sebagai hantu yang dibutuhkan
cenderung memilih pelaksanaan pemilu yang tidak berkala (perlunya
pemilu antar waktu).

Masih terkait dengan dimensi waktu, beberapa studi menunjukkan bahwa


Hari-H pemungutan suara berpengaruh secara tidak langsung pada hasil
pemilu. Sebagai contoh, jika pemilu legislatif nasional diselenggarakan
bersamaan waktunya dengan pemilu legislatif daerah, maka perolehan
suara dan kursi pemilu di tingkat nasional DPR cenderung sama dengan
perolehan suara dan kursi pemilu di tingkat daerah. Contoh yang lain, jika
pemilu eksekutif dibarengkan dengan pemilu legislatif, maka keterpilihan
pejabat eksekutif cenderung akan mempengaruhi keterpilihan pejabat
legislatif. Dengan kata lain, jika calon presiden/wakil presiden atau kepala
daerah/wakil kepala daerah menang dalam pilpres atau pilkada, maka
Parpol-Parpol pendukung dari pasangan calon tersebut cenderung akan
mendapat banyak dukungan di pemilu legislatif. Inilah yang disebut dengan
efek ekor jas (coattail effect). Namun demikian, efek ekor jas ini tidak
sepenuhnya bekerja dalam konteks penyelenggaraan pemilu serentak
antara pilpres dan pileg di Pemilu 2019. Faktor perilaku pemilih ternyata
juga sangat mempengaruhi hasil dari pemilu.

Dalam konteks penyelenggaraan pemilu serentak, MK sebenarnya telah


melakukan perekayasaan kepemiluan. 52 Dari sisi waktu, putusan MK
mendesain penyelenggaraan pemilu serentak bahwa pelaksanaan pilpres
akan bersamaan waktunya dengan penyelenggaraan pemilu legislatif. Hal
ini dimaksudkan untuk setidaknya tiga tujuan, yaitu mendorong
terbentuknya pemerintahan presidensial yang efektif, koalisi yang bersifat
strategis atau ideologis, dan relasi lembaga eksekutif dan lembaga legislatif
yang solid. Salah satu hal strategis yang sebenarnya ingin disasar adalah
penyederhanaan sistem kepartaian sebagai prakondisi menuju ketiga
tujuan tersebut. Namun, hasil Pemilu 2019 ternyata tidak menunjukkan

52
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
106 BAB 3 – SISTEM PEMILU
terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian. Dengan demikian, kita
sepertinya masih memiliki tantangan dan hambatan yang sangat besar
dalam mewujudkan ketiga tujuan tersebut ke depan.

G. Penutup

Bab ini menjelaskan sistem pemilu di Pilpres, Pileg, dan Pilkada di Indonesia.
Secara umum, sistem Pilpres telah diatur di UUD 1945, misalnya sistem
pemilu, dapil, ambang batas pencalonan, dan penentuan calon terpilih.
Dalam porsi yang lebih terbatas, UUD 1945 juga mengatur sistem pileg
terkait dengan sistem Pileg, dan dapil untuk DPR RI dan DPRD Provinsi.
Sedangkan konstitusi tidak mengatur secara detail sistem pilkada. Dengan
demikian, selain oleh Putusan MK, regulasi lebih lanjut tentang sistem
pemilu diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Sebagai contoh adalah
pengaturan dapil untuk Pileg DPRD Kabupaten/Kota, metode konversi suara
ke kursi di Pileg, sistem Pilkada, dan penentuan pemenang di Pilkada. Tema-
tema ini yang kemudian diatur lebih lanjut ke dalam PKPU dan peraturan
lembaga penyelenggara pemilu yang lain.

Dengan demikian, KPU sebenarnya memiliki peran yang sangat strategis


untuk terlibat dalam proses penyusunan desain sistem pemilu di Indonesia.
Dalam konteks ini, para anggota KPU dituntut untuk memiliki pengetahuan
dan ketrampilan terkait dengan sistem pemilu beserta seluruh unsurnya.
Dalam menyusun desain sistem pemilu, ada baiknya kalau kita kemudian
mempertimbangkan saran Taagepera (1998), yaitu:

1. membuat regulasi pemilu yang sesederhana mungkin;


2. memanfaatkan pengalaman penyelenggaraan pemilu di negara-negara
lain;
3. ketika sudah dipilih, gunakan sistem pemilu selama setidaknya tiga kali
penyelenggaraan pemilu; dan
4. mempertimbangkan perubahan-perubahan yang bersifat inkremental.

BAB 3 – SISTEM PEMILU 107


Kantor Pusat KPU RI

Kantor Pusat Bawaslu & DKPP


BAB 4
KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILU

Benget Manahan Silitonga dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah

A. Pengantar

Pemilu demokratis memiliki banyak dimensi. Sebagai sarana kedaulatan


rakyat, Pemilu diselenggarakan dengan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil, atau free and fair election seperti telah disinggung di
bab 2. Sebagai mekanisme yang memfasilitasi kompetisi “perebutan
kekuasaan” yang keras antar Parpol, Pasangan Calon Presiden dan Calon
Anggota Legislatif, penyelenggaraan Pemilu harus mampu mengelola
kegiatan kepemiluan dengan baik dan terhindar dari konflik kekerasan dan
mal-administrasi. Sebagai kegiatan sosial politik kolosal yang menggunakan
anggaran besar, penyelenggaraan pemilu harus mampu menunjukkan
bahwa setiap aktivitas kepemiluannya secara akuntabel dan bebas dari
praktik manipulasi dan korupsi yang dapat menciderai kepercayaan publik.
Sebagai sebuah kegiatan politik yang terukur dan memiliki limitasi waktu
yang ketat, penyelenggaraan pemilu harus dikelola secara komprehensif
untuk menghindari resiko keterlambatan yang berdampak pada
kekosongan kekuasaan dan kekacauan politik.

Untuk memastikan pemilu demokratis dapat berlangsung sebagaimana


mestinya, hal yang penting adalah menyangkut ketersediaan Lembaga
Penyelenggara Pemilu, disingkat LPP atau dikenal dengan Electoral
Management Body (EMB). LPP ini dapat bekerja dengan baik, apabila ia
memiliki kemandirian yang ditopang oleh mandat konstitusional yang jelas
dan didukung oleh kepercayaan publik yang kuat.

Bab ini akan menjelaskan sejumlah hal tentang LPP di Indonesia yaitu:
pertama, konsepsi dan variasi desain dari LPP; kedua, prinsip-prinsip dan
kode etik penyelenggara pemilu; ketiga, keunikan dan dinamika
transformasi LPP di Indonesia; keempat, organisasi KPU berupa struktur,
pengambilan keputusan, tugas, wewenang, kewajiban, Sekretariat

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 109


Jenderal, hirarki dan relasi KPU RI dengan KPU di daerah, relasi KPU dengan
Pemerintah dan DPR dan posisi serta relasi KPU dengan Lembaga
Penyelenggara Pemilu di luar negeri; kelima, bab ini juga membahas
tentang Bawaslu; keenam, hal ihwal tentang DKPP; dan ketujuh tentang
bagaimana relasi antara KPU, Bawaslu dan DKPP.

B. Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP)

Konsepsi tentang LPP adalah sebuah badan yang bertugas dan berwenang
menyelenggarakan pemilu untuk memilih para penyelenggara negara
legislatif dan eksekutif baik pada tingkat nasional maupun lokal. Sebuah LPP
adalah organisasi atau lembaga yang memiliki tujuan dan bertanggung
jawab secara legal, untuk menyelenggarakan sebagian atau semua elemen
yang esensial untuk menyelenggarakan pemilu atau instrumen
pelaksanaan demokrasi langsung lainnya, seperti referendum dan
pemungutan suara ulang. Elemen-elemen yang termasuk esensial untuk
pelaksanaan pemilu diantaranya adalah menentukan siapa-siapa saja yang
memenuhi syarat untuk memilih, menerima dan menetapkan Parpol
peserta pemilu dan calon peserta pemilu, melaksanakan pemungutan
suara, melaksanakan penghitungan suara dan melaksanakan rekapitulasi
hasil penghitungan suara serta penetapan calon terpilih (Wall et. al. 2016).

Konsepsi tentang LPP diperjelas dalam Deklarasi 10 negara pada


pertemuan di Accra, Ghana di tahun 1993. Dalam pertemuan tersebut, para
peserta sepakat menetapkan lima kriteria mengenai LPP (Surbakti dan
Nugroho 2015), yakni:

1. Suatu agensi yang permanen, independen dan kredibel yang


berwenang mengorganisir dan melakukan secara periodik pemilu yang
bebas dan jujur;
2. Mandat untuk menyelenggarakan pemilu harus dinyatakan dalam
konstitusi, termasuk metode untuk melakukan pemilu, pendidikan bagi
pemilih, pendaftaran partai dan calon, pembuatan kebijakan pemilu,
prosedur pemilu dan cara menyelesaikan perselisihan pemilu;
3. Keanggotaan yang non partisan, ketentuan mengenai jumlah
keanggotaan, diangkat kepala negara dan mendapat persetujuan
parlemen;

110 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


4. Agensi pemilu memiliki pendanaan yang layak, memiliki anggaran
ssendiri untuk merancang kebutuhan dan pengadaan barang melalui
lelang yang fleksibel yang berbeda dengan birokrasi pemerintah;
5. Adanya landasan hukum yang memungkinan agensi pemilu
memobilisasi aparat (staf) dan sumber-sumber lain untuk mendukung
penyelenggaraan pemilu.

The Internasional Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA)


menyebut ada tiga model besar lembaga penyelenggara pemilu: mandiri,
pemerintahan dan campuran. Model Mandiri, pemilu diselenggarakan dan
dikelola oleh sebuah lembaga penyelenggara pemilu yang secara
kelembagaan bersifat mandiri dan otonom dari cabang pemerintahan
eksekutif. Model Pemerintahan, pemilu diselenggarakan dan dikelola oleh
pemerintah melalui sebuah kementerian atau pemerintah daerah. Sedangkan
model Campuran, pemilu diselenggarakan oleh sebuah badan yang
melibatkan unsur independen dan pemerintah atau Parpol (Wall et. al. 2016).

Gambar 4.1. Model Lembaga Penyelenggara Pemilu

Sumber: International IDEA 2016: 8

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu yang


mandiri dan profesional yang bebas dari pengendalian pemerintah
memberikan peluang untuk terciptanya pemilu yang berhasil (Hartlyn et. al.
2008). Kelembagaan penyelenggara pemilu yang otonom juga secara positif
BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 111
berkaitan dengan demokratisasi yang berhasil (Gazibo 2006). Lembaga
penyelenggara pemilu yang bersifat tetap dan mandiri tidak hanya memainkan
peranan penting dalam mengamankan pemilu yang bebas dan adil, namun
juga meningkatkan prospek konsolidasi demokrasi. Karena alasan inilah
International IDEA telah menyarankan bahwa model manajemen kepemiluan
yang mandiri adalah yang paling mungkin memastikan kemandirian lembaga
penyelenggara pemilu dalam putusan dan tindakan (International IDEA 2006).

Selain tiga model International IDEA di atas, Lopez-Pintor mengajukan lima


model penyelenggara pemilu dengan beberapa diantaranya memiliki
kesamaan dengan tiga model International IDEA sebelumnya. Pertama, model
Peradilan (Tribunal) yaitu suatu komisi pemilu yang diisi kalangan eksekutif
independen atau tribunal yang memiliki tanggung jawab penuh untuk
mengarahkan, mengawasi dan mengelola manajemen pemilu. Komisi pemilu
tribunal ini bertugas menyelenggarakan pemilu dan melekat di dalamnya
kewenangan peradilan (Judicial). Secara konstitusional komisi pemilu tribunal
ini dianggap sebagai ‘cabang ke empat’ kekuasan pemerintahan di samping
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Negara-negara yang menerapkan atau
pernah menggunakan model komisi pemilu tribunal adalah Cista Rika,
Nikaragua, Venezuela, Argentina, Uruguay (1974-1980) dan Chili (1973-1988).
Kedua, model Pemerintahan dengan Supervisi (Government under a
supervisory). Model ini memiliki kesamaan dengan model Campuran yang
disebut International IDEA. Model ini umumnya digunakan di negara-negara
Eropa Barat seperti di Austria, Jerman, Perancis, Italia, Norwegia, Belanda,
Spanyol, Jepang, Dominika, Israel, Maroko dan Turki. Ketiga, model
Pemerintahan (Government). Model ini sama dengan model Pemerintahan
yang disebut International IDEA. Model ini diterapkan di Libanon, Tunisia,
Belgia, Denmark, Finlandia, Luxemburg, Siprus dan Yordania. Pemilu Indonesia
era awal Orde Baru masuk dalam model ini dimana pemerintah dan jajaran
birokrasi memegang kendali utama sebagai penyelenggara pemilu yang
disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) dan Lembaga Pemilihan Umum (LPU)
dari tingkat pusat dan daerah. Keempat, model Mandiri (Independent) sama
seperti model independen yang disebut International IDEA, model ini banyak
dianut negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia, Kanada, Bolivia,
Brasil, Kosta Rika, Guatemala, Honduras, Ekuador, Nicaragua, Panama dan
Meksiko. Kelima, model Desentralisasi. Dalam model ini, penyelenggaraan
pemilu dilimpahkan kepada penyelenggara pemilu nasional yang menjalankan
pemilu secara nasional dan penyelenggara pemilu lokal atau negara bagian

112 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


seperti di Australia dengan kewenangan independen di tingkat lokal untuk
menyelenggarakan pemilu sekaligus menjalankan fungsi peradilan bagi kasus-
kasus pelanggaran pemilu. Model ini juga diterapkan di Inggris, Amerika
Serikat, Irlandia, Swedia dan Swiss (Lopez-Pintor 2000).

Faktanya LPP tidaklah berbentuk tunggal. Ada banyak variasi desain organisasi
LPP di seluruh dunia. Untuk memetakan perbedaan dari variasi LPP tersebut
biasanya dapat dilihat dari 7 dimensi. Pertama, Sentralisasi yakni apakah
manajemen pemilu dilaksanakan oleh satu penyelenggara pemilu tingkat
nasional yang bersifat tunggal atau apakah manajemen pemilu dilaksanakan
oleh banyak lembaga penyelenggara di wilayah administratif nasional
(misalnya LPP di tingkat federal dan negara bagian; atau LPP tingkat nasional
dan kota). Kedua, Independensi yakni apakah lembaga penyelenggara pemilu
benar-benar independen atau mandiri dari pemerintah dan hal itu diatur jelas
dan kuat dalam kerangka hukum pemilu yang berlaku. Dimensi Independensi
tersebut mencakup kelembagaan, fungsi dan personil.

Ketiga, Kapasitas yakni sejauh mana LPP stabil dan berkelanjutan, memiliki
sumber daya yang cukup dan memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan
pemilihan. Ini merujuk tidak hanya pada apakah LPP bersifat permanen atau
sementara, tetapi juga terkait ketersediaan sumber daya yang cukup untuk
LPP. Keempat, Lingkup Pembagian Tugas, yakni sejauhmana LPP mampu
memastikan ruang lingkup tugasnya dengan jelas sehingga dia tidak melakukan
semua hal melampaui batas kemampuannya. Misalnya LPP memiliki tugas dan
tanggung jawab dalam hal pengorganisasian pemungutan suara namun juga
diberi tugas untuk menyelesaikan adjudikasi pemilu. Bagaimanapun Pemilu
memiliki banyak aspek yang juga dikerjakan oleh pihak lain. LPP harus mampu
fokus menjalankan fungsi yang menjadi mandatnya dan membangun relasi dan
komunikasi dengan pihak lain yang fungsinya juga terkait dengan kepemiluan.

Kelima, Hubungan dengan Aktor Eksternal yakni bagaimana LPP membangun


hubungan dengan aktor yang tidak secara langsung bertanggung jawab untuk
manajemen pemilihan, tetapi yang memiliki kepentingan dalam proses
pemilihan. Mereka adalah peserta pemilu, stakeholder nasional dan
internasional yang berkomitmen untuk meningkatkan manajemen pemilu.
Kwalitas hubungan dengan aktor eksternal dapat mempengaruhi kinerja LPP
dalam beberapa cara. Interaksi dengan pemangku kepentingan domestik dan
organisasi internasional dapat memberikan umpan balik pada kinerja LPP,

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 113


peluang untuk belajar dan saran untuk perbaikan. Keenam, Teknologi yakni
bagaimana perangkat teknologi yang digunakan untuk mengatur dan
mengimplementasikan pemilihan umum. Pertanyaan kunci dalam dimensi ini
adalah: jenis teknologi apa yang digunakan untuk menjalankan tahapan
Pemilu? Siapa yang memiliki dan yang menyediakan dukungan teknologi
selama pemilu dan apakah ada proteksinya untuk mencegah kesalahan dan
gangguan eksternal?

Ketujuh, Personil. Dimensi ini merujuk tidak hanya pada jumlah personil yang
terlibat dalam mengelola pemilu tetapi juga tingkat keahlian, pelatihan,
rekrutmen mereka, metode, orientasi layanan publik dan sistem yang
digunakan untuk mengelolanya. Ini relevan untuk kinerja LPP karena personil
dengan pelatihan dan keahlian yang memadai dalam prosedur pemilu
kemungkinan akan meningkatkan persepsi dan efisiensi penyelenggara pemilu.
(James et. al. 2019):

Berdasarkan pengalaman di berbagai negara, desain dan dimensi-dimensi


yang membedakan LPP akan berdampak atau memengaruhi kinerja LPP
(dengan berbagai indikatornya) dan pada akhirnya juga akan memengaruhi
hasil akhir keseluruhan dari proses penyelenggaraan Pemilu (outcomes). Hal
itu ditunjukkan oleh gambar 4.2. berikut ini:

Gambar 4.2. Hubungan Desain LPP, Kinerja LPP dan Hasil Proses Pemilu

Sumber: James et.al (2019)

C. Lembaga Penyelenggara Pemilu di Indonesia

Mengacu kepada konsepsi LPP yang telah disinggung pada sub bagian LPP
sebelumnya, yang berhak menyandang LPP utama di Indonesia adalah KPU.
KPU yang menyelenggarakan keseluruhan elemen-elemen yang esensial untuk
menyelenggarakan pemilu di Indonesia yaitu, menentukan siapa-siapa saja
114 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU
yang memenuhi syarat untuk memilih, menerima dan menetapkan Parpol
peserta pemilu dan calon peserta pemilu, melaksanakan pemungutan suara,
melaksanakan penghitungan suara dan melaksanakan rekapitulasi hasil
penghitungan suara serta penetapan calon terpilih (Wall, et al. 2016). Namun
LPP di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Di banyak negara, fungsi
manajemen dalam penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari pengaturan,
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, hingga evaluasi,
biasanya diemban oleh satu komisi penyelenggara pemilu. Namun di
Indonesia, fungsi pengawasan dan penegakan hukum dipegang oleh lembaga
atau badan yang berbeda. Selain memiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Indonesia juga punya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).

Berdasarkan UU Pemilu, Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang


menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk
memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat. Keberadaan KPU,
Bawaslu dan DKPP juga mendasarkan pada salah satu pendapat mahkamah
dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUNDANG-
UNDANG-VIII/2010 tentang Pengujian Nomor 22 tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Pertimbangan tersebut berbunyi:

“Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan


jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD RI Tahun 1945 menentukan bahwa,
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan
umum” dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak merujuk kepada sebuah
nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan
demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum
tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi
termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 115


mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD RI tahun 1945 yang
mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat
mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi
prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa
pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip
luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana
diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 Undang-Undang
22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang
bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga
fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam
hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan unsur pengawas Pemilu, dalam
hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan
Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus
diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan
kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas”.

LPP di Indonesia mengalami transformasi dari pemilu ke pemilu. Pasca


kemerdekaan 17 Agustus 1945, awalnya Indonesia berencana melaksanakan
Pemilu tahun 1946 untuk memilih kekosongan keanggotaan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1946
dibentuklah lembaga penyelenggara pemilu dengan nama Badan
Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (BPSKNP) dan di tingkat daerah
disingkat dengan Cabang BPSKNP. Keanggotaan BPSKNP terdiri dari wakil-wakil
Parpol dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Namun karena alasan
situasi politik, rencana Pemilu 1946 batal dilaksanakan. Seiring gagalnya
rencana Pemilu 1946 struktur organisasi BPSKNP tidak berumur lama.
Selanjutnya pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948
tentang pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tersebut dipersiapkanlah suatu badan
penyelenggara pemilu yang disebut Kantor Pemilihan Pusat (KPP) dengan
jumlah anggota sekurang-kurangnya 5 orang untuk masa kerja 5 tahun. Pada
tingkat Provinsi dibentuk Kantor Pemilihan (KP) tingkat Provinsi dan pada
tingkat Kabupaten dibentuk Cabang KP. Pada tingkat Kecamatan dibentuk
Kantor Pemungutan Suara (KPS). Namun seiring perubahan politik nasional
rencana pemilu untuk memilih Anggota DPR juga mengalami perubahan.

116 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Perubahan politik nasional juga berdampak pada disahkannya Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota
DPR. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tersebut,
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilihan Anggota DPR
menjadi tidak berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953
Pemilu 1955 dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diangkat
dan diberhentikan Presiden (Surbakti dan Nugroho, 2015).

Pemilu di masa Orde Baru (1971-1997) yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 15 Tahun 1969 dilaksanakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU)
yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Bentuk kelembagaannya tentu
berada dalam struktur pemerintahan yakni di bawah Kementerian Dalam
Negeri. Di bawah LPU ada struktur dan organ PPI (Panitia Pemilihan Indonesia)
yang bersifat ad hoc di tingkat pusat dan PPD (Panitia Pemilihan Daerah) di
tingkat daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah. Anggota panitia
pemilihan, baik di pusat ataupun daerah, ditunjuk dan dapat diberhentikan
oleh kepala pemerintahan (Presiden, Gubernur, ataupun Bupati/Walikota).
Pada pemilu 1982, Panitia Pengawas Pelaksananaan (Panwaslak) Pemilu
pertama kalinya lahir dan melekat pada LPU.

Pada Pemilu pertama pasca reformasi yakni Pemilu 1999, LPP di Indonesia
bertransformasi menjadi model Campuran. Undang-Undang Nomor 3 tahun
1999 tentang Pemilu mengamanatkan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur Parpol-
Parpol peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab
kepada Presiden. Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
yang terdiri atas Unsur-Unsur Parpol Peserta Pemilu dan Pemerintah. Masing-
masing Parpol mengutus seorang wakil dan pemerintah mengirimkan
sebanyak 5 (lima) orang. Oleh karena Parpol saat itu berjumlah 48 (empat
puluh delapan) dan ditambah dengan perwakilan dari Pemerintah, maka
jumlah Anggota KPU secara keseluruhan adalah 53 (lima puluh tiga) orang. KPU
kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut
PPI sebagai Pelaksana KPU dalam pemilihan umum. PPI kemudian membentuk
PPD I (Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I). PPD I membentuk PPD II. PPD juga
terdiri dari unsur Pemerintah dan Parpol peserta pemilu sesuai dengan

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 117


tingkatan. PPD II kemudian membentuk PPK, PPS dan KPPS di TPS. 1 Selain
mengamanatkan pembentukan KPU, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
juga mengamanatkan pembentukan Panitia Pengawas dari tingkat Pusat
hingga Kecamatan.

Pemilu 2004, yang menjadi Pemilu pertama pasca amandemen Undang-


Undang Dasar 1945, menjadi babak baru LPP di Indonesia. Merujuk Undang-
Undang nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, KPU di
Indonesia bertransformasi menjadi model Mandiri. Calon Anggota KPU,
setelah melalui proses seleksi terbuka, diusulkan oleh Presiden dengan
persetujuan DPR. Demikian pula Calon Anggota KPU Provinsi, setelah melalui
penjaringan yang dilakukan Tim seleksi yang dibentuk bersama KPU dan
Gubernur, diusulkan oleh Gubernur untuk mendapat persetujuan dari KPU.
Sementara Calon Anggota KPU Kabupaten/Kota, setelah melewati penjaringan
yang dilakukan Tim Seleksi yang dibentuk bersama KPU Provinsi dan
Bupati/Walikota, diusulkan oleh Bupati/Walikota untuk mendapat persetujuan
KPU Provinsi. Selain itu, terdapat pula Panitia Pengawas Pemilu dari tingkat
pusat hingga kecamatan dan Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc
untuk memeriksa pengaduan pelanggaran kode etik, yang unsur
keanggotaannya berasal dari internal KPU.

Dalam pemilu 2009, LPP semakin mandiri. Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, rekrutmen KPU di tiap
tingkatan dilakukan secara terbuka. Demikian juga dengan lembaga
pengawasan, Panitia Pengawas Pemilu yang sebelumnya bersifat ad hoc
bertransformasi menjadi permanen di tingkat pusat dengan nama Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu). Unsur Dewan Kehormatan KPU bukan hanya
berasal dari internal, tapi juga dari eksternal KPU.

Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, LPP yang terdiri dari KPU, Bawaslu dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) semakin ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Secara ringkas, transformasi lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia dapat


dilihat dalam gambar 4.3. berikut:

1 Pasal 8 s.d pasal 23 UNDANG-UNDANG Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum

118 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Gambar 4.3. Transformasi Lembaga Penyelenggara Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Sumber: kompilasi penulis

119
D. Prinsip dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu

Prinsip Penyelenggara Pemilu merujuk pada seperangkat sistem nilai yang


dikehendaki undang-undang dan mengikat penyelenggara pemilu untuk
menghasilkan penyelenggara pemilu yang berintegritas. Mengingat tugas
utama penyelenggara pemilu adalah memastikan konversi suara menjadi
kursi dilakukan secara kredibel, maka penyelenggara pemilu harus bekerja
berpedoman pada sistem nilai atau yang disebut dengan prinsip
penyelenggara pemilu. International IDEA merumuskan ada 7 prinsip
penyelenggara pemilu yang berlaku universal (Wall, et al. 2016) yaitu:
1. Independen: secara terminologi dimaknai sebagai suatu posisi atau
keadaan tidak terkait dengan pihak manapun. Dalam konteks pemilu istilah
independensi merujuk pada dua konsep yakni ‘independensi struktural’ dari
pemerintah (sebagaimana dimiliki oleh model penyelenggaraan
Independen) dan ‘independensi sikap’ yang diharapkan dimiliki oleh semua
LPP. Terlepas dari model penyelenggaraan apapun yang dipakai, di mana
LPP tidak bertekuk lutut terhadap tekanan pemerintah, politisi, serta
pengaruh-pengaruh partisan lainnya dalam mengambil keputusan menjadi
keharusan bagi penyelenggara untuk bersikap dan bertindak independen
dalam menyelenggarakan pemilu. Independen ditunjukan dari kemampuan
penyelenggara untuk bebas dari kepentingan dan tekanan politik manapun.
2. Imparsialitas: Terlepas dari model penyelenggaraan macam apa yang
dipakai dan sumber akuntabilitas apa yang dimiliki, lembaga penyelenggara
pemilu harus memperlakukan semua peserta pemilu secara merata, adil
dan setara, tanpa sedikitpun memberikan keuntungan kelompok-kelompok
tertentu. Kehadiran sikap imparsialitas dapat disebabkan oleh dua faktor:
kerangka hukum yang tersedia dan struktur kelembagaan penyelenggara
pemilu.
3. Integritas: Secara terminologi integritas dimaknai sebagai sifat, atau
keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi
dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran.
Penyelenggara pemilu dituntut untuk memiliki kepribadian dan komitmen
yang kuat untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya guna
mengendalikan semua proses pemilu sesuai aturan dan norma-norma
hukum yang berlaku

120 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


4. Transparansi: transparansi merupakan prinsip dan standar paling dasar
yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu. Dengan transparansi yang
dilakukan oleh penyelenggara pemilu di setiap aktivitas, operasional kerja,
keuangan dan keputusan yang diambil dapat meningkatkan kepercayaan
publik terhadap penyelenggara sekaligus membangun legitimasi pemilu,
serta dapat membantu memerangi persepsi korupsi dan tidak netral
terhadap penyelenggara;
5. Efisiensi: salah satu capaian keberhasilan pemilu ialah terselenggaranya
pemilu yang efisien dari segi beban kerja dan keuangan, namun
menghasilkan kerja-kerja yang efektif. Di tengah semakin cepatnya
perkembangan teknologi dan tuntutan terhadap aktivitas-aktivitas berbiaya
tinggi seperti pendidikan pemilih dan diseminasi informasi, LPP harus ekstra
berhati-hati dalam menyusun program kerja sehingga dapat bersifat
berkelanjutan, efisien, berintegritas dan modern.
6. Profesionalisme: terdapat dua elemen penting untuk mencapai
profesionalisme lembaga penyelenggara pemilu yakni teliti dan akurat.
Setiap anggota penyelenggara pemilu termasuk para pekerjanya perlu
memastikan setiap aktivitas dan operasional kerja dilakukan secara teliti
dan akurat. Pelatihan oleh tenaga-tenaga profesional dapat membangun
persepsi masyarakat bahwa proses pemilu dilangsungkan oleh orang-orang
yang tepat. Namun demikian, sikap dan perilaku dari anggota
penyelenggara beserta stafnya, ikut juga ambil bagian dalam menghasilkan
profesionalisme. Komitmen personal dari masing-masing individu di dalam
LPP terhadap prinsip ekuitas (kewajaran), akurasi, ketekunan dan pelayanan
di dalam setiap tindak-tanduk mereka, merupakan hal yang sangat
diperlukan untuk menjaga profesionalisme di dalam penyelenggaraan
pemilu.
7. Pelayanan: pelayanan yang maksimal dilakukan oleh penyelenggara dan
para pekerjanya menjadi prinsip pendukung untuk memenuhi prinsip-
prinsip lainnya. Standar pelayanan perlu diterapkan di interal lembaga
termasuk dalam prosedur kerja ketika tahapan pemilu berlangsung. Hal ini
bisa terkait dengan pelayanan berbasis waktu seperti standar waktu antrian
pemilih untuk mendapatkan surat suara, standar waktu menunggu respon
pelaporan gugatan, atau standar waktu yang dibutuhkan untuk memproses
data registrasi pemilih, selain itu standar prosedur ini juga bisa berkaitan
dengan pelayanan berbasis kualitas seperti persentase jumlah pemilih yang
ditolak karena ada kesalahan pada saat registrasi, proporsi jumlah materi

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 121


dan logistik yang tidak sampai tepat waktu di TPS; proporsi jumlah TPS yang
tidak buka pada hari pemilihan; atau akurasi dan kecepatan pengumuman
hasil pemilu sementara.

Ketujuh prinsip universal LPP yang dirumuskan International IDEA tersebut


juga tercermin dalam Prinsip Penyelenggara Pemilu di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pemilu dan Pasal 6 Peraturan DKPP
Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilihan Umum, sebagaimana dijelaskan dalam tabel 4.1
berikut.

Tabel 4.1. Prinsip-prinsip Penyelenggara Pemilu di Indonesia


Prinsip Pemaknaan
1. Mandiri Penyelenggara Pemilu bebas atau menolak campur tangan dan pengaruh
siapapun yang mempunyai kepentingan atas perbuatan, tindakan,
keputusan dan/atau putusan yang diambil.
2. Jujur Penyelenggara Pemilu didasari niat untuk semata-mata terselenggaranya
Pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa adanya kepentingan
pribadi, kelompok, atau golongan.
3. Adil Penyelenggara Pemilu menempatkan segala sesuatu sesuai hak dan
kewajibannya.
4. Akuntabel Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban
dengan penuh tanggung jawab dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Berkepastian Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sesuai
hukum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6. Tertib Penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, keteraturan, keserasian dan
keseimbangan.
7. Terbuka Penyelenggara Pemilu memberikan akses informasi yang seluas-luasnya
kepada masyarakat sesuai kaedah keterbukaan informasi publik.
8. Proporsional Penyelenggara Pemilu menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan umum untuk mewujudkan keadilan.
9. Profesional Penyelenggara Pemilu memahami tugas, wewenang dan kewajiban dengan
didukung keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan
luas.
10. Efektif Penyelenggara Pemilu penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan sesuai
rencana tahapan dengan tepat waktu.
11. Efisien Penyelenggara Pemilu memanfaatkan sumber daya, sarana dan prasarana
dalam penyelenggaraan Pemilu sesuai prosedur dan tepat sasaran.
12. Kepentingan Penyelenggara Pemilu mendahulukan kepentingan umum dengan cara yang
Umum aspiratif, akomodatif dan selektif.
13. Aksesibilitas bermakna kemudahan yang disediakan Penyelenggara Pemilu bagi
penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.

122 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Secara lebih detail, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
menjabarkan secara lebih rinci tentang sikap dan tindakan apa saja yang
perlu diperhatikan oleh penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugasnya
berdasarkan prinsip penyelenggara pemilu yang tertuang dalam UU Pemilu.
Adapun sikap dan tindakan yang perlu diperhatikan antara lain sebagai
berikut:
1. Dalam melaksanakan prinsip Mandiri, penyelenggara pemilu bersikap
dan bertindak:2
a. netral atau tidak memihak terhadap Parpol, calon, pasangan calon
dan/atau peserta Pemilu;
b. menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk
terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari intervensi pihak lain;
c. tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat
partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses
Pemilu;
d. tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat
partisan dengan peserta Pemilu, tim kampanye dan pemilih;
e. tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau
atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada Parpol
atau peserta Pemilu tertentu;
f. tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak
menanyakan pilihan politik kepada orang lain;
g. tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari peserta
Pemilu, calon peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat
menimbulkan keuntungan dari keputusan Lembaga Penyelenggara
Pemilu;
h. menolak untuk menerima uang, barang dan/atau jasa, janji atau
pemberian lainnya dalam kegiatan tertentu secara langsung
maupun tidak langsung dari peserta Pemilu, calon Anggota DPR,
DPD, DPRD dan tim kampanye kecuali dari sumber APBN/APBD
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
i. menolak untuk menerima uang, barang dan/atau jasa atau
pemberian lainnya secara langsung maupun tidak langsung dari
perseorangan atau lembaga yang bukan peserta Pemilu dan tim
kampanye yang bertentangan dengan asas kepatutan dan melebihi

2 Pasal 8, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 123


batas maksimum yang diperbolehkan menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan;
j. tidak akan menggunakan pengaruh atau kewenangan bersangkutan
untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian,
penghargaan dan pinjaman atau bantuan apapun dari pihak yang
berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu;
k. menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan
keluarga atau sanak saudara dengan calon, peserta Pemilu dan tim
kampanye;
l. menghindari pertemuan yang dapat menimbulkan kesan publik
adanya pemihakan dengan peserta Pemilu tertentu.

2. Dalam melaksanakan prinsip Jujur, penyelenggara pemilu bersikap dan


bertindak:3
a. menyampaikan seluruh informasi yang disampaikan kepada publik
dengan benar berdasarkan data dan/atau fakta; dan
b. memberitahu kepada publik mengenai bagian tertentu dari
informasi yang belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan
berupa informasi sementara.

3. Dalam melaksanakan prinsip Adil, penyelenggara pemilu bersikap dan


bertindak:4
a. memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon
pemilih dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu;
b. memberitahukan kepada seseorang atau peserta Pemilu selengkap
dan secermat mungkin akan dugaan yang diajukan atau keputusan
yang dikenakannya;
c. menjamin kesempatan yang sama bagi pelapor atau terlapor dalam
rangka penyelesaian pelanggaran atau sengketa yang dihadapinya
sebelum diterbitkan putusan atau keputusan; dan
d. mendengarkan semua pihak yang berkepentingan dengan kasus
yang terjadi dan mempertimbangkan semua alasan yang diajukan
secara adil.
3 Pasal 9, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
4 Pasal 10, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu

124 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


4. Dalam melaksanakan prinsip Berkepastian Hukum, Penyelenggara
Pemilu bersikap dan bertindak:5
a. melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang
secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan;
b. melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang
sesuai dengan yurisdiksinya;
c. melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu dan
menaati prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan; dan
d. menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara adil dan
tidak berpihak.

5. Dalam melaksanakan prinsip Tertib, Penyelenggara Pemilu bersikap


dan bertindak:6
a. menjaga dan memelihara tertib sosial dalam penyelenggaraan
Pemilu;
b. mengindahkan norma dalam penyelenggaraan Pemilu;
c. menghormati kebhinnekaan masyarakat Indonesia;
d. memastikan informasi yang dikumpulkan, disusun dan
disebarluaskan dengan cara sistematis, jelas dan akurat; dan
e. memberikan informasi mengenai Pemilu kepada publik secara
lengkap, periodik dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Dalam melaksanakan prinsip Terbuka, Penyelenggara Pemilu bersikap


dan bertindak:7
a. memberikan akses dan pelayanan yang mudah kepada publik untuk
mendapatkan informasi dan data yang berkaitan dengan keputusan
yang telah diambil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;

5 Pasal 11, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
6 Pasal 12, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
7 Pasal 13, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 125


b. menata data dan dokumen untuk memberi pelayanan informasi
publik secara efektif;
c. memberikan respon secara arif dan bijaksana terhadap kritik dan
pertanyaan publik.

7. Dalam melaksanakan prinsip Proporsional, Penyelenggara Pemilu


bersikap dan bertindak:8
a. mengumumkan adanya hubungan atau keterkaitan pribadi yang
dapat menimbulkan situasi konflik kepentingan dalam pelaksanaan
tugas Penyelenggara Pemilu;
b. menjamin tidak adanya penyelenggara Pemilu yang menjadi
penentu keputusan yang menyangkut kepentingan sendiri secara
langsung maupun tidak langsung;
c. tidak terlibat dalam setiap bentuk kegiatan resmi maupun tidak
resmi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan; dan
d. menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat
yang dinyatakan sebagai rahasia sampai batas waktu yang telah
ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan untuk
umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.

8. Dalam melaksanakan prinsip Profesional, Penyelenggara Pemilu


bersikap dan bertindak:9
a. memelihara dan menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara
Pemilu;
b. menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan dan program lembaga
Penyelenggara Pemilu;
c. melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang
didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang, peraturan perundang-undangan dan
Keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu;
d. mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas,
wewenang dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung;

8 Pasal 14, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
9 Pasal 15, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu

126 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


e. menjamin kualitas pelayanan kepada pemilih dan peserta sesuai
dengan standar profesional administrasi penyelenggaraan Pemilu;
f. bertindak berdasarkan standar operasional prosedur dan substansi
profesi administrasi Pemilu;
g. melaksanakan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu dengan
komitmen tinggi; dan
h. tidak melalaikan pelaksanaan tugas yang diatur dalam organisasi
Penyelenggara Pemilu.

9. Dalam melaksanakan prinsip Akuntabel, Penyelenggara Pemilu


bersikap dan bertindak:10
a. menjelaskan keputusan yang diambil berdasarkan peraturan
perundang-undangan, tata tertib dan prosedur yang ditetapkan;
b. menjelaskan kepada publik apabila terjadi penyimpangan dalam
proses kerja Lembaga Penyelenggara Pemilu serta upaya
perbaikannya;
c. menjelaskan alasan setiap penggunaan kewenangan publik;
d. memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan
mengenai keputusan yang telah diambil terkait proses Pemilu;
e. bekerja dengan tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan.

10. Dalam melaksanakan prinsip Efektif, Penyelenggara Pemilu bersikap


dan bertindak:11
a. menggunakan waktu secara efektif sesuai dengan tahapan dan
jadwal penyelenggaraan Pemilu yang telah ditetapkan sesuai
peraturan perundang-undangan; dan
b. melakukan segala upaya yang dibenarkan menurut etika dan
peraturan perundang-undangan untuk menjamin pelaksanaan hak
konstitusional setiap penduduk untuk memilih dan/atau dipilih.

10
Pasal 16, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
11
Pasal 17, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 127


11. Dalam melaksanakan prinsip Efisien, Penyelenggara Pemilu bersikap
dan bertindak:12
a. kehati-hatian dalam melakukan perencanaan dan penggunaan
anggaran agar tidak berakibat pemborosan dan penyimpangan; dan
b. menggunakan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
atau yang diselenggarakan atas tanggung jawab Pemerintah dalam
melaksanakan seluruh kegiatan penyelenggaraan Pemilu sesuai
dengan prosedur dan tepat sasaran.

12. Dalam melaksanakan prinsip Kepentingan Umum, Penyelenggara


Pemilu bersikap dan bertindak:13
a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan;
b. menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan seluruh lembaga
dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. menjaga dan memelihara nama baik Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
e. Menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara
Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu;
f. tidak mengikut sertakan atau melibatkan kepentingan pribadi
maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang dan
kewajibannya;
g. memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan
pikiran dan kesadaran pemilih;
h. memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses
Pemilu;
i. membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk
berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu;

12
Pasal 18, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
13
Pasal 19, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu

128 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


j. menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk
menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan
k. memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi
pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan
dan menyampaikan hak pilihnya.

13. Dalam melaksanakan prinsip Aksesibilitas, Penyelenggara Pemilu


bersikap dan bertindak:14
a. menyampaikan informasi Pemilu kepada penyandang disabilitas
sesuai kebutuhan;
b. memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi
penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya;
c. memastikan penyandang disabilitas yang memenuhi syarat
mempunyai kesempatan yang sama sebagai Pemilih, sebagai calon
Anggota DPR, sebagai calon Anggota DPD, sebagai calon
Presiden/Wakil Presiden, sebagai calon Anggota DPRD, dan sebagai
Penyelenggara Pemilu.

E. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD RI


1945) pasal 22 E menyebut, “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Perumusan
mengenai bentuk “Komisi Pemilihan Umum” yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri sebagaimana disebut pasal 22 E UUD RI 1945, pertama kali
didefenisikan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat (1) yang menyatakan,
“Pemilu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri”. Penyebutan dan pengaturan tentang KPU yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Undang-Undang Nomor 15
tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan terakhir dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

14
Pasal 20, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 129


Sifat “nasional” dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara mencakup
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 15 Struktur
kelembagaan KPU bersifat nasional. Di tingkat nasional, terdapat KPU
Republik Indonesia (KPU RI) yang berkedudukan di Jakarta selaku Ibukota
Negara Republik Indonesia. Selanjutnya sesuai dengan jumlah provinsi yang
ada, KPU juga memiliki kantor di setiap provinsi di wilayah negara Republik
Indonesia. Masing-masing KPU Provinsi berkedudukan di ibukota provinsi.
Juga terdapat KPU Kabupaten/Kota di setiap Kabupaten/Kota di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun Provinsi Aceh
menyebutkan organisasi LPP nya berbeda, yakni Komisi Independen
Pemilihan (KIP), namun KIP Aceh merupakan bagian dari hirarki struktur
KPU secara nasional (Lihat Sub Bab Penyelenggara Pemilu di Aceh).

Sesuai tahapan pemilu dan pilkada, jajaran KPU juga dibentuk secara ad hoc
di tingkat kecamatan (Panitia Pemilihan Kecamatan/PPK), di tingkat
Desa/Kelurahan (Panitia Pemungutan Suara/PPS) dan yang terkecil berupa
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat Tempat
Pemungutan Suara (TPS) sebagai ujung tombak perpanjangan tangan KPU
saat hari pemungutan suara.
Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan
tugasnya secara berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi
oleh masa jabatan tertentu. 16 KPU melaksanakan tugasnya secara terus-
menerus, berkesinambungan dan tidak hanya berlaku di suatu saat
tertentu. Dalam melaksanakan amanah Undang-Undang mengenai sifat
tetap ini, KPU menerapkannya dengan dua cara yang berbeda dalam hal
kegiatan dan dalam hal sumber daya manusia. Dalam hal kegiatan sesuai
fungsinya, KPU menjalankan tugas penyelenggaranya secara terus-
menerus. Rangkaian tugas dimaksud meliputi kegiatan-kegiatan yang
terbagi dalam tiga periode waktu, yakni periode pra-pemilu, periode-pemilu
dan periode pasca-pemilu seperti yang dijelaskan dalam bab 5 tentang
tahapan pemilu. Pada masing-masing periode ini, KPU memiliki sejumlah
tugas pokok dan fungsi yang dijalankan, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah. Adapun dalam hal sumber daya manusia, penyelenggara
pemilu terbagi ke dalam kategori Anggota KPU dan staf Sekretariat KPU.

15
Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
16 ibid

130 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Anggota KPU dipilih melalui proses seleksi terbuka untuk publik. Rekrutmen
atau seleksi Anggota KPU dilakukan oleh sebuah Tim Seleksi Independen
yang dibentuk Presiden yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi dan
masyarakat. Tim Seleksi melaksanakan sejumlah tahapan seleksi yakni
pengumuman seleksi, seleksi administrasi, seleksi tertulis, seleksi psikologi,
seleksi kesehatan dan tahapan seleksi wawancara berpedoman pada UU
Pemilu. Dalam proses seleksi Tim Seleksi juga menerima tangapan dan
masukan dari masyarakat. Sebanyak 14 orang Calon Anggota KPU yang
dihasilkan Tim Seleksi, selanjutnya diajukan kepada Presiden untuk
kemudian diteruskan kepada DPR yang melakukan Uji Kepatutan dan
Kelayakan (fit and proper test) dan memilih 7 orang Anggota KPU. Presiden
kemudian mengesahkan dan menetapkan 7 Anggota KPU yang dipilih DPD
dengan Keputusan Presiden.17

Sedangkan seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota


dilakukan oleh Tim Seleksi independen yang dibentuk oleh KPU yang terdiri
dari unsur akademisi, profesional dan tokoh masyarakat yang memiliki
integritas. Tahapan seleksinya terdiri dari pengumuman seleksi, seleksi
administrasi, seleksi tertulis, seleksi psikologi, seleksi kesehatan dan seleksi
wawancara. Dalam proses seleksi Tim Seleksi juga menerima tanggapan dan
masukan dari masyarakat. Tim seleksi mengajukan nama calon Anggota KPU
Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota sebanyak 2 kali jumlah Anggota KPU
Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota yang dibutuhkan kepada KPU. KPU
kemudian melakukan uji kelayakan dan kepatutan untuk menetapkan
Anggota KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten/Kota terpilih sejumlah
ketentuan yang diatur.18 Khusus untuk Calon Anggota KPU Kabupaten/Kota,
KPU dapat mendelegasikan proses Uji Kelayakan dan Kepatutannya kepada
KPU Provinsi dengan mempertimbangkan aspek waktu, sumber daya
manusia dan pelaksanaan tahapan Pemilu dan Pilkada.19

Staf Sekretariat KPU adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang direkrut lewat
jalur seleksi terbuka ASN KPU berpedoman pada ketentuan rekrutmen atau

17 Pasal 22 s/d Pasal 26 UU Pemilu


18 PKPU Nomor 7 Tahun 2018 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
sebagaimana terakhir kali diubah dengan PKPU Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga PKPU
Nomor 7 tahun 2018 tentang Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
19 Pasal 28 PKPU Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan PKPU Nomor 7 Tahun 2018 tentang Seleksi

Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 131


seleksi ASN. Anggota KPU bertugas selama 5 (lima) tahun sejak saat dilantik.
Sementara ASN KPU bertugas selama masa aktif kepegawaian di KPU.

Sifat “mandiri” dimaksudkan bahwa dalam menyelenggarakan dan


melaksanakan Pemilu, KPU bersikap mandiri dan bebas dari pengaruh
pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban
yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 20 Dalam
sejumlah Putusan terkait kemandirian, MK menegaskan bahwa sifat
kemandirian yang terkandung dalam Pasal 22E ayat (5) UUD RI Tahun 1945
meliputi kemandirian institusional, kemandirian fungsional dan
kemandirian personal. Ketiga sifat mandiri tersebut merupakan satu
kesatuan makna. Mandiri secara institusional berarti secara kelembagaan
KPU berdiri sendiri dan terbebas dari ketergantungan lembaga atau
infrastruktur politik lainnya. Mandiri secara fungsional bermakna bahwa
dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan pemilu, KPU bebas dari
intervensi pihak dan kelompok manapun, termasuk membentuk peraturan
pelaksana maupun melaksanakan setiap tahapan pemilihan. Sementara
mandiri secara personal berarti setiap anggota penyelenggara pemilu harus
bebas dari keanggotaan yang bersifat partisan.21

E.1. Struktur Organisasi KPU

Struktur kelembagaan KPU dideskripsikan sebagaimana gambar 4.4.


Keanggotaan KPU berjumlah 7 orang, bersifat kolektif kolegial dan dipimpin
oleh seorang Ketua. 22 Rapat Pleno adalah hirarki dan pengambilan
keputusan tertinggi dari keorganisasian KPU. Rapat Pleno berfungsi untuk
merumuskan dan menetapkan kebijakan (policy) organisasi KPU. Ketua KPU
bertanggung jawab kepada Rapat Pleno KPU. KPU didukung dan difasilitasi

20 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
21 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUNDANG-UNDANG-XIV/2016, bertanggal 10 Juli 2017,

mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, h.
79-80. Lebih lengkap lihat, Alboin Pasaribu, “Tafsir Konstitusional atas Kemandirian Penyelenggara
Pemilu dan Pilkada”, Jurnal Konstitusi, Volume 16, Nomor 2, Juni 2019.
22 Merujuk pada sejarah pertama kali pembentukan KPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu, jumlah anggota KPU sebanyak-banyaknya 11 orang. Namun
dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 dan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2017, jumlah anggota KPU ditetapkan sebanyak 7 orang.

132 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


oleh seorang Sektretaris Jenderal KPU yang bertanggung jawab kepada
Ketua KPU. Sekretaris Jenderal adalah manajer operasional implementasi
dari kebijakan yang diputuskan Rapat Pleno KPU. Berdasarkan Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 105 tahun 2018 tentang Susunan Oraganisasi
dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU, Sekretaris Jenderal KPU dibantu
oleh 2 orang Deputi yakni Deputi Administrasi dan Deputi Dukungan Teknis
dan 1 orang Inspektur Utama. Di bawah masing-masing Deputi ada Biro dan
di bawah Inspektur Utama ada Inspektorat dan Bagian. Struktur Organisasi
KPU sebagaimana ditunjukkan gambar 4.4 tentunya dapat diadopsi dalam
struktur Organsiasi KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota disesuaikan
dengan ketersediaan jumlah Anggota KPU dan bagian atau sub bagian pada
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Gambar 4.4. Struktur Kelembagaan KPU

Sumber: diolah dari Perpres 105 tahun 2018

Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya, Anggota KPU


melakukan pembagian tugas dalam bentuk Divisi dan Koordinator Wilayah
(Korwil) yang ditetapkan dengan keputusan KPU. 23 Setiap Anggota KPU
menjadi Ketua untuk satu divisi/korwil dan dapat menjadi wakil ketua

23 Pasal 12, pasal 15 dan pasal 16, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 133


untuk satu divisi/korwil.24 Pembentukan korwil dilakukan dengan membagi
daerah Provinsi untuk setiap korwil dengan memperhatikan jarak wilayah
Provinsi, jumlah penduduk di wilayah Provinsi, tingkat kerawanan dan
daerah terpencil dan tidak terpencil. 25 Korwil Anggota KPU mempunyai
tugas untuk:26
a. melakukan koordinasi;
b. melakukan supervisi;
c. melakukan pembinaan;
d. dan/atau mempercepat penyelesaian permasalahan di KPU Provinsi
yang berada dalam wilayah kerjanya.

24 Pasal 13, Pasal 16, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
25 Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) huruf f, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
26 Pasal 17 ayat (1), PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

134 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Gambar 4.5. Pembagian Divisi dan Uraian Tugas Divisi KPU

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 135


Divisi Anggota KPU mengkoordinasikan kedeputian, Inspektorat Utama,
Biro dan Pusat yang menangani tugas dan fungsi terkait dengan tugas Divisi
masing-masing anggota, melalui Sekretaris Jenderal. 27 Hubungan kerja
divisi Anggota KPU dengan Sekretariat Jenderal KPU dilakukan dengan
ketentuan:28
a. Divisi Perencanaan, Keuangan, Umum dan Rumah Tangga
mengkoordinasikan dan bertanggung jawab atas Deputi Bidang
Administrasi dan biro yang menangani bidang perencanaan, bidang
keuangan dan bidang umum;
b. Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat
mengkoordinasikan dan bertanggung jawab atas Deputi Bidang
Dukungan Teknis dan biro yang menangani bidang partisipasi dan
hubungan masyarakat;
c. Divisi Data dan Informasi mengkoordinasikan dan bertanggung jawab
atas Pusat Data dan Informasi;
d. Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi, Pendidikan dan Pelatihan dan
Penelitian dan Pengembangan mengkoordinasikan dan bertanggung
jawab atas Deputi Bidang Administrasi, biro yang menangani bidang
sumber daya manusia, organisasi dan pusat pendidikan, pelatihan,
penelitian dan pengembangan;
e. Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik mengkoordinasikan dan
bertanggung jawab atas Deputi Bidang Dukungan Teknis dan biro yang
menangani bidang Teknis Penyelenggaraan Pemilu dan bidang Logistik;
dan
f. Divisi Hukum dan Pengawasan mengkoordinasikan dan bertanggung
jawab atas dengan Deputi Bidang Dukungan Teknis, biro yang
menangani bidang hukum dan inspektorat.

E.2. Pengambilan Keputusan

UU Pemilu mengatur dua bentuk rapat pleno yakni yang dilakukan secara
terbuka dan tertutup. Namun, PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata
Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU kabupaten/Kota lebih jauh mengatur tiga
jenis rapat pleno (lihat gambar 4.6) yaitu:

27
Pasal 52 ayat (1) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
28
Pasal 53 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

136 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Gambar 4.6. Mekanisme Rapat Pleno

1. Rapat pleno tertutup: merupakan mekanisme pengambilan keputusan


yang dihadiri oleh Anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota,
serta dapat dihadiri oleh Sekretaris Jenderal KPU, Sekretaris KPU Provinsi
dan Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Rapat pleno tertutup dilakukan
untuk memilih Ketua KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota atau
membahas isu-isu krusial lainnya;

2. Rapat pleno terbuka: merupakan mekanisme pengambilan keputusan


yang tidak hanya dihadiri oleh Anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU
Kabupaten/Kota beserta Sekretaris Jenderal, Sekretaris KPU Provinsi,
atau Sekretaris KPU Kabupaten/Kota, namun dapat dihadiri juga oleh
peserta pemilu, tim kampanye, saksi dan pemangku kepentingan
lainnya. Rapat pleno terbuka ini digunakan untuk penetapan rekapitulasi
hasil penghitungan suara, penetapan hasil Pemilu atau Pemilihan, serta
tahapan Pemilu atau Pemilihan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu dan
Pemilihan;

3. Rapat pleno rutin: merupakan mekanisme pengambilan keputusan yang


diselenggarakan secara reguler paling sedikit satu kali dalam seminggu
yang pesertanya terdiri dari Anggota KPU dengan Sekretaris Jenderal,
Anggota KPU Provinsi dengan Sekretaris KPU Provinsi dan Anggota KPU

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 137


Kabupaten/Kota dengan Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Dalam rapat
pleno rutin ini Sekretaris Jenderal atau Sekretaris KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota, memiliki tugas untuk: menyampaikan hasil
tindak lanjut pelaksanaan rapat pleno sebelumnya, melaporkan realisasi
anggaran dan menyampaikan laporan tugas lainnnya secara periodik.

E.3. Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPU

UU Pemilu mengatur secara spesifik tugas, wewenang dan kewajiban dari


KPU yang sebagian besar berlandaskan pada tahapan pemilu. Secara lebih
spesifik berikut adalah tugas, wewenang dan kewajiban KPU.

Tugas KPU adalah:29

a. merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;


b. menyusun tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS,
KPPS, PPLN dan KPPSLN;
c. menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu;
d. mengkoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan dan memantau
semua tahapan pemilu;
e. menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi;
f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan
memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh
pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
g. membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan hasil
suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi Peserta pemilu dan
Bawaslu;
h. mengumumkan calon Anggota DPR, calon Anggota DPD dan Pasangan
Calon terpilih serta membuat berita acaranya;
i. menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan
laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu;
j. mensosialisasikan penyelenggaraan pemilu dan/atau yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;
k. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan
Penyelenggaraan pemilu; dan

29 Pasal 12 UU Pemilu

138 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


l. melaksanakan tugas lain dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wewenang KPU adalah:30

a. menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK,


PPD, KPPS, PPLN dan KPPSLN;
b. menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu;
c. menetapkan peserta pemilu;
d. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara
tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di
KPU Provinsi untuk Pemilu Presiden dan Wakil presiden dan untuk
pemilu Anggota DPR serta hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap
KPU Provinsi untuk pemilu Anggota DPD dengan membuat berita acara
penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;
e. menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan
mengumumkannya;
f. menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi Anggota DPR,
Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
Parpol peserta pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota
DPRD Kabupaten/Kota;
g. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan;
h. membentuk KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan PPLN;
i. mengangkat, membina dan memberhentikan Anggota KPU Provinsi,
Anggota KPU Kabupaten/Kota dan Anggota PPLN;
j. menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara
Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota, Anggota PPLN,
Anggota KPPSLN dan Sekretaris Jenderal KPU yang terbukti melakukan
tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan
pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan putusan Bawaslu dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye
dan mengumumkan laporan sumbangan dana Kampanye Pemilu; dan

30 Pasal 13 UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 139


l. melaksanakan wewenang lain dalam penyelenggaraan Pemilu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban KPU adalah:31

a. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan pemilu secara tepat


waktu;
b. memperlakukan Peserta pemilu secara adil dan setara;
c. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada
masyarakat;
d. melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. mengelola, memelihara dan merawat arsip/dokumen serta
melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang
disusun oleh KPU dan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan
urusan arsip nasional atau yang disebut dengan nama Arsip Nasional
Republik Indonesia;
f. mengelola barang inventaris KPU sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
g. menyampaikan laporan periodik mengenai Penyelenggaraan Pemilu
kepada Presiden dan DPR dengan tembusan kepada Bawaslu;
h. membuat berita acara pada setiap rapat pleno yang ditandatangani oleh
ketua dan Anggota KPU;
i. menyampaikan laporan Penyelenggaraan pemilu kepada Presiden dan
DPR dengan tembusan kepada Bawaslu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah pengucapan sumpah/janji pejabat;
j. melaksanakan putusan Bawaslu mengenai sanksi atas pelanggaran
administratif dan sengketa proses pemilu;
k. menyediakan data hasil Pemilu secara nasional;
l. melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara
berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
m. melaksanakan putusan DKPP; dan
n. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

31 Pasal 14 UU Pemilu

140 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Dalam penyelenggaraan Pilkada tugas, wewenang dan kewajiban KPU
merujuk kepada undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Kepala
Daerah.

E.4. Sekretariat Jenderal KPU

Mengelola Lembaga Penyelenggara Pemilu tentu berbeda dengan tata kelola


organisasi publik lainnya. Meskipun KPU merupakan bagian dari organisasi
publik itu sendiri, namun karena tugas dan wewenang yang melekatnya pada
kelembagaannya bersifat spesifik yakni untuk mengurusi penyelenggaraan
pemilu, maka manajemen sekretariatnya disesuaikan dengan kebutuhan dan
fungsinya. Menurut International IDEA secara global biasanya struktur
kesekretariatan lembaga penyelenggara terbagi kedalam dua divisi yang
diantaranya sebagai berikut:
1. Divisi operasional: mencakup subdivisi-subdivisi seperti registrasi pemilih,
penetapan wilayah pemilihan, pemungutan dan penghitungan suara,
pendaftaran partai dan Calon, pelatihan dan pengembangan kapabilitas,
informasi dan publikasi, bidang hukum; dan
2. Divisi korporat: yang mencakup subdivisi-subdivisi seperti manajemen
keuangan, manajemen SDM, manajemen pengetahuan dan manajemen IT
(Wall, et al. 2016).

Pasal 77 s/d pasal 81 UU Pemilu mengatur tentang Sekretariat Jenderal KPU,


Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota. Untuk
mendukung kelancaran tugas dan wewenang KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota, dibentuk Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi
dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota. Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat
KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota masing-masing
mendukung dan memfasilitasi KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat KPU
Kabupaten/Kota bersifat hirarkis.

Sekretariat Jenderal KPU dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal, yang


dibantu oleh paling banyak 3 (tiga) deputi dan 1 (satu) Inspektur Utama.
Sekretaris Jenderal KPU, Deputi dan Inspektur Utama merupakan Aparatur
Sipil Negara dengan jabatan pimpinan tinggi madya. Sekretaris Jenderal KPU,
Deputi dan Inspektur Utama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 141


usulan KPU. Sekretaris Jenderal KPU bertanggung jawab kepada Ketua KPU.
Sementara Deputi dan Inspektur Utama bertanggung jawab kepada Ketua
KPU melalui Sekretaris Jenderal KPU.

Perpres Nomor 105 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,


Wewenang, Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan
Umum, Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Sekretariat Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten/Kota kemudian mengatur Struktur Sekretariat
Jenderal KPU seperti dideskripsikan pada gambar 4.7. Sekretariat Jenderal
KPU dipimpin Sekretaris Jenderal. Ada 2 Deputi di Sekretariat Jenderal KPU
yakni: Deputi Bidang Administrasi dan Deputi Bidang Dukungan Teknis yang
keduanya bertanggung jawab kepada Ketua KPU melalui Sekretaris Jenderal
KPU. Deputi bidang administrasi diberikan tugas untuk mendukung
pengelolaan administratif kepada KPU, sedangkan deputi bidang teknis
berperan untuk mendukung operasional penyelenggaraan pemilu.

Selain didukung oleh 2 Deputi, Sekretariat Jenderal KPU juga dilengkapi oleh
Inspektorat Utama yang bertugas menyelenggarakan pengawasan internal di
lingkungan Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat
KPU Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan tugas pengawasan internal
tersebut, Inspektorat Utama menyusun kebijakan teknis pengawasan
internal dan melaksanakan pengawasan internal terhadap kinerja dan
keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan
pengawasan lainnya. Struktur Sekretariat Jenderal KPU sebagaimana
ditunjukkan gambar 4.7. tentunya dapat diadopsi dalam struktur Sekretariat
KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota disesuaikan dengan
ketersediaan jumlah bagian atau sub bagian pada Sekretariat KPU Provinsi
dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota.

142 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Gambar 4.7. Struktur Sekretariat Jenderal KPU

Sekretaris
Jenderal

Deputy
Deputy Inspektur
Administra
Teknis Utama
si

Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Inspektorat Inspektorat Inspektorat Bagian

Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian
(maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal
4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian)

Sumber: diolah dari Perpres 105 tahun 2018

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


143
Tugas Sekretariat Jenderal KPU

1. Membantu penyusunan program dan anggaran Pemilu;


2. Memberikan dukungan teknis administratif dan membantu pelaksanaan
tugas KPU dalam menyelenggarakan Pemilu;
3. Membantu perumusan dan penyusunan rancangan peraturan dan
keputusan KPU;
4. Memberikan bantuan hukum dan memfasilitasi penyelesaian sengketa
Pemilu;
5. Membantu penyusunan laporan penyelenggaraan kegiatan dan
pertanggungiawaban KPU;
6. Membantu pelaksanaan sistem pengendalian internal; dan
7. Membantu pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Wewenang Sekretariat Jenderal KPU

1. Mengadakan dan mendistribusikan perlengkapan Penyelenggaraan


Pemilu berdasarkan norma, standar, prosedur dan kebutuhan yang
ditetapkan oleh KPU;
2. Mengadakan perlengkapan Penyelenggaraan Pemilu sebagaimana
dimaksud pada angka 1 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
3. Mengangkat tenaga pakar/ahli berdasarkan kebutuhan atas persetujuan
KPU;
4. Memberikan Layanan administrasi, ketatausahaan dan kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
5. Menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara
pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, yang nyata-nyata melakukan tindakan
yang mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan Pemilu
yang sedang berlangsung berdasarkan putusan Bawaslu dan/atau
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban Sekretariat Jenderal KPU

1. Menyusun laporan pertanggungiawaban keuangan;


2. Memelihara arsip dan Dokumen Pemilu; dan.
3. Mengelola barang inventaris KPU.

144 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Di samping itu, Sekretariat Jenderal KPU bertanggung jawab dalam hal
administrasi keuangan serta pengadaan barang dan jasa berdasarkan
peraturan perundang-undangan.

E.5. KPU Provinsi

KPU Provinsi bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota Provinsi. Anggota
KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang. Penetapan jumlah
Anggota KPU Provinsi didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas
wilayah dan jumlah wilayah administratif pemerintahan. 32 Anggota KPU
Provinsi dipilih dan ditetapkan KPU, sehingga KPU Provinsi bertanggung
jawab kepada KPU. Bentuk pertanggungjawabannya adalah
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas penyelenggaraan tahapan
pemilu dan laporan kinerja kepada KPU. Berbeda dengan KPU, secara
fungsional KPU Provinsi adalah koordinator Kepemiluan di tingkat Provinsi.
KPU Provinsi menyelenggarakan seluruh tahapan Pemilu di tingkat
Provinsi, melaksanakan koordinasi, supervisi dan pengendalian terhadap
KPU Kabupaten/Kota, serta membantu KPU melaksanakan sosialisasi dan
pendidikan pemilih.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya, Anggota KPU


Provinsi melakukan pembagian tugas dalam bentuk Divisi dan Koordinator
Wilayah (Korwil) yang ditetapkan dengan keputusan KPU Provinsi.33 Setiap
Anggota KPU Provinsi menjadi Ketua untuk satu divisi/korwil dan dapat
menjadi wakil ketua untuk satu divisi/korwil. 34 Pembagian divisi
disesuaikan dengan pembentukan korwil dilakukan dengan membagi
daerah Kabupaten/Kota untuk setiap korwil dengan memperhatikan jarak
wilayah Kabupaten/Kota, jumlah penduduk di wilayah Kabupaten/Kota,
tingkat kerawanan dan daerah terpencil dan tidak terpencil. 35 Korwil
Anggota KPU Provinsi mempunyai tugas untuk:36

32 Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu


33 Pasal 22 dan pasal 26, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
34 Pasal 23 dan Pasal 26, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
35 Pasal 26 ayat (1) dan ayat (3) huruf f, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi
Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
36 Pasal 27 ayat (1), PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 145


a. melakukan koordinasi;
b. melakukan supervisi;
c. melakukan pembinaan;
d. dan/atau mempercepat penyelesaian permasalahan di KPU
Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah kerjanya.

Dalam menjalankan Tugas, Wewenang dan Kewajibannya, KPU Provinsi


didukung dan difasilitasi oleh Sekretariat KPU Provinsi yang dipimpin oleh
Sekretaris KPU Provinsi. Sekretaris KPU Provinsi berasal dari Aparatur Sipil
Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sekretaris KPU Provinsi diangkat dan diberhentikan
oleh Sekretaris Jenderal KPU sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sekretaris KPU Provinsi secara administratif
bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal KPU dan secara fungsional
bertanggung jawab kepada Ketua KPU Provinsi.

Perpres 105/2018 membagi dua bentuk tipologi Sekretariat KPU Provinsi


yaitu:
1. Sekretariat KPU Provinsi Tipe A untuk mewadahi beban kerja yang besar
dan terdiri atas paling banyak 5 bagian serta masing-masing bagian
paling banyak 2 subbagian;
2. Sekretariat KPU Provinsi Tipe B untuk mewadahi beban kerja yang
ringan dan dan terdiri atas paling banyak 4 bagian serta masing-masing
bagian paling banyak 2 subbagian.

Perlu dicatat bahwa Sekretariat KPU Provinsi, sesuai tingkatannya, memiliki


tugas, wewenang dan kewajiban yang persis sama dengan Sekretariat
Jenderal KPU kecuali kewenangan dalam hal mengangkat tenaga pakar/ahli
dan menjatuhkan sanksi administratif dan atau menonaktifkan sementara
pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat
KPU Kabupaten/Kota yang nyata-nyata melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan Pemilu yang
sedang berlangsung berdasarkan putusan Bawaslu dan/atau berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di bawah ini terdapat dua tabel yang berbeda dalam pembagian divisi dan
uraian tugas KPU Provinsi berdasarkan jumlah keanggotaannya (lima dan
tujuh orang), yakni:

146 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Tabel 4.2. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas KPU Provinsi
(dengan 7 anggota)37
DIVISI URAIAN TUGAS
Divisi Keuangan, 1. Administrasi perkantoran, rumah tangga dan Kearsipan;
Umum dan 2. Protokol dan persidangan;
Rumah Tangga 3. Pengelolaan dan pelaporan Barang Milik Negara;
(Ketua) 4. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan;
5. Pengusulan Peresmian Keanggotaan dan Pelaksanaan Sumpah janji
DPRD Provinsi.
Divisi 1. Penyusunan Program dan Anggaran;
Perencanaan dan 2. Perencanaan, pengadaan barang dan jasa serta distribusi logistik;
Logistik dan
3. Monitoring, Evaluasi dan Pengendalian Program dan Anggaran.
Divisi Teknis 1. Pengusulan daerah pemilihan dan alokasi kursi;
Penyelenggaraan 2. Verifikasi Parpol dan calon Anggota DPD;
3. Pencalonan Peserta Pemilu dan pemilihan;
4. Pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi
5. penghitungan suara;
6. Penetapan hasil dan Pendokumentasian hasil Pemilu dan
Pemilihan;
7. Pelaporan Dana Kampanye;
8. PAW Anggota DPRD Provinsi.
Divisi Sosialisasi, 1. Sosialisasi Kepemiluan;
Pendidikan 2. Partisipasi masyarakat dan pendidikan pemilih;
Pemilih dan 3. Publikasi dan kehumasan;
Partisipasi 4. Kampanye Pemilu dan Pemilihan;
Masyarakat 5. Kerja Sama Antar Lembaga; dan
6. Pengelolaan dan Penyediaan informasi Publik.
Divisi Sumber 1. Pengusulan PAW Anggota KPU Kabupaten/Kota;
Daya Manusia 2. Pengawasan proses Rekrutmen Anggota PPK, PPS dan KPPS;
dan Litbang 3. Pembinaan Etika dan Evaluasi Kinerja SDM;
4. Pengembangan budaya kerja, tata laksana dan organisasi;
5. Diklat dan pengembangan SDM;
6. Penelitian dan Pengembangan Kepemiluan.
Divisi Data dan 1. Pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih;
Informasi 2. Sistem Informasi yang berkaitan dengan Tahapan Pemilu;
3. Pengelolaan sarana dan prasarana teknologi informasi;
4. Pengelolaan dan Penyajian Data Hasil Pemilu Nasional;
5. Pengendalian Informasi;
6. Pengelolaan dan pengolahan data hasil pemilu dan pemilihan.

37 Pasal 22 ayat (2) dan pasal 24 PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 147


Divisi Hukum dan 1. Penyusunan Rancangan Keputusan KPU Provinsi;
Pengawasan 2. Telaah dan Advokasi Hukum;
3. Penyelesaian Sengketa Proses, tahapan,Hasil Pemilu dan
pemilihan, serta non tahapan pemilu dan pemilihan;
4. Dokumentasi dan Publikasi Hukum;
5. Pengawasan dan pengendalian internal;
6. Penanganan Pelanggaran Administrasi, kode Etik dan kode
perilaku.

Tabel 4.3. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas KPU Provinsi
(dengan 5 anggota)38
DIVISI URAIAN TUGAS
Divisi Keuangan, 1. Administrasi perkantoran, rumah tangga dan Kearsipan;
Umum, Rumah 2. Protokol dan persidangan;
Tangga Logistik 3. Pengelolaan dan pelaporan Barang Milik Negara;
(Ketua) 4. Pelaksanaan, pertangungjawaban dan pelaporan keuangan;
5. Pengusulan Peresmian Keanggotaan dan Pelaksanaan
Sumpah/janji Anggota DPRD Provinsi; dan
6. perencanaan, pengadaan barang dan jasa, serta distribusi logistik
Pemilu dan Pemilihan.
Divisi Teknis 1. Pengusulan daerah pemilihan dan alokasi kursi;
Penyelenggaraaan 2. Verifikasi Parpol dan calon Anggota DPD;
3. Pencalonan Peserta Pemilu dan Pemilihan;
4. Pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara;
5. Penetapan hasil dan Pendokumentasian hasil-hasil Pemilu dan
Pemilihan;
6. Pelaporan Dana Kampanye; dan
7. PAW Anggota DPRD Provinsi.
Divisi Sosialisasi, 1. Sosialisasi Kepemiluan;
Pendidikan 2. Partisipasi masyarakat dan pendidikan pemilih;
Pemilih, 3. Publikasi dan kehumasan;
Partisipasi 4. Kampanye Pemilu dan Pemilihan;
Masyarakat dan 5. Kerja Sama Antar Lembaga;
SDM 6. Pengelolaan dan Penyediaan informasi publik;
7. Pengusulan PAW Anggota KPU Kabupaten/Kota;
8. Pengawasan proses Rekrutmen Anggota PPK, PPS dan KPPS;
9. Pembinaan Etika dan Evaluasi Kinerja SDM;
10. Pengembangan budaya kerja dan disiplin organisasi;
11. Diklat dan pengembangan SDM;
12. Penelitian dan Pengembangan Kepemiluan;

38 Pasal 22 ayat (3) dan pasal 25 PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

148 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


13. Pengelolaan dan Pembinaan SDM.
Divisi 1. penyusunan program dan anggaran;
Perencanaan, 2. evaluasi, penelitian dan pengkajian kepemiluan;
Data dan 3. monitoring, evaluasi dan pengendalian program dan anggaran;
Informasi 4. Pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih;
5. Sistem Informasi yang berkaitan dengan Tahapan Pemilu;
6. Pengelolaan aplikasi dan jaringan Teknologi dan Informasi;
7. Pengelolaan dan Penyajian Data Hasil Pemilu Nasional.
Divisi Hukum dan 1. Penyusunan Rancangan Keputusan KPU Provinsi;
Pengawasan 2. Telaah dan Advokasi Hukum;
3. Dokumentasi dan Publikasi Hukum;
4. Pengawasan dan pengendalian internal;
5. Penyelesaian Sengketa Proses tahapan, hasil Pemilu dan
Pemilihan, serta non pemilu dan pemilihan; dan
6. Penanganan Pelanggaran Administrasi, kode perilaku,
sumpah/janji dan pakta integritas yang dilakukan oleh Anggota
KPU Kabupaten/Kota.

Divisi Anggota KPU Provinsi mengkoordinasikan bagian yang menangani


tugas dan fungsi terkait dengan tugas Divisi masing-masing anggota, melalui
Sekretaris KPU Provinsi. 39 Setiap Divisi Anggota KPU Provinsi
mengkoordinasikan dan bertanggung jawab atas bagian yang menangani
bidang sesuai dengan tugas divisi.40

Tugas KPU Provinsi:41

a. menjabarkan program dan melaksanakan anggaran;


b. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu di provinsi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan tahapan
penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota;
d. menerima daftar pemilih dari KPU Kabupaten/Kota dan
menyampaikannya kepada KPU;
e. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan
memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan
oleh pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;

39
Pasal 52 ayat 2 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
40
Pasal 54 ayat (1) dan (2) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
41 Pasal 15 UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 149


f. merekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu Anggota DPR dan
Anggota DPD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Provinsi yang
bersangkutan dan mengumumkannya berdasarkan berita acara hasil
rekapitulasi penghitungan suara di KPU Kabupaten/Kota;
g. membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat
penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta
Pemilu, Bawaslu Provinsi dan KPU;
h. mengumumkan calon Anggota DPRD Provinsi terpilih sesuai dengan
alokasi jumlah kursi setiap daerah pemilihan di provinsi yang
bersangkutan dan membuat berita acaranya;
i. melaksanakan putusan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi;
j. mensosialisasikan Penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang KPU Provinsi kepada masyarakat;
k. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu dan;
l. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU dan/atau dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

KPU Provinsi berwenang:42

a. menetapkan jadwal Pemilu di Provinsi;


b. menetapkan dan mengumumkan hasl rekapitulasi penghitungan suara
pemilu Anggota DPRD Provinsi berdasarkan hasil rekapitulasi di KPU
Kabupaten/Kota dengan membuat berita acara penghitungan suara dan
sertifikat hasil penghihrngan suara;
c. menerbitkan keputusan KPU Provinsi untuk mengesahkan hasil Pemilu
Anggota DPRD Provinsi dan mengumumkannya;
d. menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara
Anggota KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan pemilu
berdasarkan putusan Bawaslu, putusan Bawaslu Provinsi dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. melaksanakan wewenang lain yang diberikan oleh KPU dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.

42 Pasal 16 UU Pemilu

150 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


KPU Provinsi berkewajiban:43

a. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan tepat


waktu;
b. memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara;
c. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada
masyarakat;
d. melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menyampaikan laporan pertanggungiawaban semua kegiatan
Penyelenggaraan Pemilu kepada KPU;
f. mengelola, memelihara dan merawat arsip/dokumen serta
melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensl arsip yang
disusun oleh KPU Provinsi dan lembaga kearsipan provinsi berdasarkan
pedoman yang ditetapkan oleh KPU dan Arsip Nasional Republik
Indonesia;
g. mengelola barang inventaris KPU Provinsi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
h. menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan
pemilu kepada KPU dan dengan tembusan kepada Bawaslu;
i. membuat berita acara pada setiap rapat pleno KPU Provinsi yang
ditandatangani oleh ketua dan Anggota KPU Provinsi;
j. melaksanakan putusan Bawaslu dan/atau putusan Bawaslu Provinsi;
k. menyediakan dan menyampaikan data hasil pemilu di tingkat Provinsi;
l. melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara
berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan;
m. melaksanakan putusan DKPP; dan
n. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penyelenggaraan Pilkada tugas, wewenang dan kewajiban KPU
Provinsi merujuk kepada undang-undang yang mengatur tentang
Pemilihan Kepala Daerah.

43 Pasal 17 UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 151


E.6. KPU Kabupaten/Kota

KPU Kabupaten/Kota bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota


Kabupaten/Kota. KPU Kabupaten/Kota beranggotakan lima orang yang
terdiri seorang Ketua merangkap anggota dan empat orang anggota. 44
Anggota KPU Kabupaten/Kota dipilih dan ditetapkan oleh KPU. KPU
Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu di
wilayah Kabupaten/Kota. Berbeda dengan KPU dan KPU Provinsi, secara
fungsional KPU Kabupaten/Kota adalah implementator dan pengawas
Kepemiluan di tingkat Kabupaten/Kota yang membentuk PPK, PPS dan
KPPS, mengkoordinasikan dan mengendalikan tahapan pelaksanaan
Pemilu oleh PPK, PPS dan KPPS, memutakhirkan data pemilih,
menindaklanjuti temuan pelanggaran dan memberi sanksi administrasi
kepada jajaran penyelenggara pemilu di bawahnya.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya, Anggota KPU


Kabupaten/Kota melakukan pembagian tugas dalam bentuk Divisi dan
Koordinator Wilayah (Korwil) yang ditetapkan dengan keputusan KPU
Kabupaten/Kota. 45 Setiap angota KPU Kabupaten/Kota menjadi Ketua
untuk satu divisi/korwil dan dapat menjadi wakil ketua untuk satu
divisi/korwil. 46 Pembentukan korwil dilakukan dengan membagi daerah
kecamatan atau sebutan lain untuk setiap korwil dengan memperhatikan
jarak wilayah kecamatan atau sebutan lain, jumlah penduduk di wilayah

44 Pasal 10 ayat 1 huruf c dan ayat (2) UU Pemilu awalnya mengatur jumlah anggota KPU
Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Penetapan Jumlah angota KPU
Kabupaten/Kota tersebut didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah
wilayah administratif pemerintahan. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-
XVI/2018 membatalkan ketentuan tersebut. Putusan MK tersebut menyatakan frasa ‘3 (tiga) atau 5
(lima) orang’ dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c dan frasa‘3 (tiga) orang’ dalam Pasal 52 ayat (1)
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘5 (lima) orang’. Menurut Mahkamah, tidak rasional jika
mengurangi anggota KPU Kabupaten/Kota dengan alasan demi mengurangi beban anggaran dalam
Pemilu Serentak 2019. “Mengurangi jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota di beberapa kabupaten
dan kota menjadi berjumlah 3 orang di tengah bertambahnya beban kerja penyelenggaraan pemilu
legisatif dan pemilu presiden dan wakil presiden serentak tahun 2019 adalah sesuatu yang irasional”,
sebut Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya.
45 Pasal 33 dan pasal 37, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
46 Pasal 34 dan Pasal 36, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

152 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


kecamatan atau sebutan lain, tingkat kerawanan dan daerah terpencil dan
tidak terpencil.47 Korwil Anggota KPU Kabupaten/Kota mempunyai tugas
untuk:48
a. melakukan koordinasi;
b. melakukan supervisi;
c. melakukan pembinaan;
d. dan/atau mempercepat penyelesaian permasalahan di KPU
Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah kerjanya.

Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya KPU


Kabupaten/Kota didukung dan difasilitasi Sekretariat KPU Kabupaten/Kota
yang dipimpin oleh Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. Sekretaris KPU
Kabupaten/Kota merupakan Aparatur Sipil Negara yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sekretaris KPU Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Sekretaris
Jenderal KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sekretaris KPU Kabupaten/Kota secara administratif bertanggung jawab
kepada Sekretaris KPU Provinsi dan secara fungsional bertanggung jawab
kepada Ketua KPU Kabupaten/Kota.

Perpres 105/2018 membagi dua bentuk tipologi Sekretariat KPU


Kabupaten/Kota yaitu:
1. Sekretariat KPU Kabupaten/Kota Tipe A untuk mewadahi beban kerja
yang besar dan terdiri atas paling banyak 5 subbagian;
2. Sekretariat KPU Kabupaten/Kota Tipe B untuk mewadahi beban kerja
yang ringan dan dan terdiri atas paling banyak 4 subbagian.

Perlu dicatat bahwa Sekretariat KPU Kabupaten/Kota, sesuai tingkatannya,


memiliki tugas, wewenang dan kewajiban yang persis sama dengan
Sekretariat Jenderal KPU kecuali kewenangan dalam hal mengangkat tenaga
pakar/ahli dan menjatuhkan sanksi administratif dan atau menonaktifkan
sementara pegawai Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang nyata-nyata melakukan tindakan yang

47 Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) huruf f, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi
Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
48 Pasal 37 ayat (1), PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 153


mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan Pemilu yang sedang
berlangsung berdasarkan putusan Bawaslu dan/atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Tabel 4.4. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas Divisi


KPU Kabupaten/Kota49
DIVISI URAIAN TUGAS
Divisi Keuangan, 1. Administrasi perkantoran, rumah tangga dan Kearsipan;
Umum, Rumah 2. Protokol dan persidangan;
Tangga Logistik 3. Pengelolaan dan pelaporan Barang Milik Negara;
(Ketua) 4. Pelaksanaan, pertangungjawaban dan pelaporan keuangan;
5. Pengusulan Peresmian Keanggotaan dan Pelaksanaan Sumpah janji
DPRD Kabupaten/Kota;
6. perencanaan, pengadaan barang dan jasa, serta distribusi logistik
Pemilu dan Pemilihan.
Divisi Teknis 1. Pengusulan daerah pemilihan dan alokasi kursi;
Penyelenggaraaan 2. Verifikasi Parpol dan calon Anggota DPD;
3. Pencalonan Peserta Pemilu dan Pemilihan;
4. Pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi
5. penghitungan suara;
6. Penetapan hasil dan Pendokumentasian hasil Pemilu dan
Pemilihan;
7. Pelaporan Dana Kampanye; dan
8. PAW Anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Divisi Sosialisasi, 1. Sosialisasi Kepemiluan;
Pendidikan 2. Partisipasi masyarakat dan pendidikan pemilih;
Pemilih, 3. Publikasi dan kehumasan;
Partisipasi 4. Kampanye Pemilu dan Pemilihan;
Masyarakat dan 5. Kerja Sama Antar Lembaga;
SDM 6. Pengelolaan dan penyediaan informasi publik;
7. Rekrutmen Anggota PPK, PPS dan KPPS;
8. Pembinaan Etika dan Evaluasi Kinerja SDM;
9. Pengembangan budaya kerja dan disiplin organisasi;
10.Diklat dan pengembangan SDM;
11.Penelitian dan Pengembangan kepemiluan;
12.Pengelolaan dan Pembinaan SDM.
Divisi 1. Menjabarkan program dan anggaran;
Perencanaan, 2. Evaluasi, penelitian dan pengkajian kepemiluan;
Data dan 3. Monitoring, evealuasi dan pengendalian program dan anggaran;
Informasi 4. Pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih;

49 Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 35 PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

154 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


5. Sistem Informasi yang berkaitan dengan Tahapan Pemilu;
6. Pengelolaan aplikasi dan jaringan teknologi dan informasi;
7. Pengelolaan dan Penyajian Data Hasil Pemilu Nasional.
Divisi Hukum dan 1. Penyusunan Rancangan Keputusan KPU Kabupaten/Kota;
Pengawasan 2. Telaah dan Advokasi Hukum;
3. Dokumentasi dan Publikasi Hukum;
4. Pengawasan dan pengendalian internal;
5. Penyelesaian Sengketa Proses tahapan, Hasil Pemilu dan
pemilihan, serta non tahapan pemilu dan pemilihan; dan
6. Penanganan pelanggaran Administrasi, kode Etik dan kode
perilaku yang dilakukan oleh PPK, PPS dan KPPS.

Divisi Anggota KPU Kabupaten/Kota mengkoordinasikan sub bagian yang


menangani tugas dan fungsi terkait dengan tugas Divisi masing-masing
anggota, melalui Sekretaris KPU Kabupaten/Kota. 50 Setiap Divisi Anggota
KPU Kabupaten/Kota mengkoordinasikan dan bertanggung jawab atas sub
bagian yang menangani bidang sesuai dengan tugas divisi.51

KPU Kabupaten/Kota bertugas:52

a. menjabarkan program dan melaksanakan anggaran;


b. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu di
Kabupaten/Kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. mengkoordinasikan dan mengendalikan tahapan penyelenggaraan oleh
PPK, PPS dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
d. menyampaikan daftar pemilih kepada KPU Provinsi;
e. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan
memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh
pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
f. melakukan dan mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan suara
Pemilu Anggota DPR, Anggota DPD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
dan Anggota DPRD Provinsi serta angota DPRD Kabupaten/Kota yang
bersangkutan berdasarkan berita acara hasil rekapitulasi penghitungan
suara di PPK;

50
Pasal 52 ayat (3) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
51
Pasal 55 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
52 Pasal 18 UU Pemilu.

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 155


g. membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat
penghitungan suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta
Pemilu, Bawaslu Kabupaten/Kota, KPU Provinsi;
h. mengumumkan calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota terpilih sesuai
dengan alokasi jumlah kursi setiap daerah pemilihan di Kabupaten/Kota
yang bersangkutan dan membuat berita acaranya;
i. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan
Bawaslu Kabupaten/Kota;
j. mensosialisasikan Penyelenggaraan Pemilu dan/atau yang berkaitan
dengan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat;
k. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu dan;
l. melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi dan/atau
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

KPU Kabupaten/Kota berwenang:53

a. menetapkan jadwal di Kabupaten/Kota;


b. membentuk PPK, PPS dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
c. menetapkan dan mengumumkan hasl rekapitulasi penghitungan suara
pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan rekapitulasi
penghitungan suara di PPK dengan membuat berita acara penghitungan
suara dan sertifikat hasil penghihrngan suara;
d. menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil
Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota dan mengumumkannya;
e. menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara
Anggota PPK dan Anggota PPS yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan pemilu
berdasarkan putusan Bawaslu, putusan Bawaslu Provinsi, putusan
Bawaslu Kabupaten/Kota dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
f. melaksanakan wewenang lain yang diberikan oleh KPU dan/ atau
ketentuan peraturan perundang-undangan.

53 Pasal 19 UU Pemilu

156 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


KPU Kabupaten/Kota berkewajiban:54

a. melaksanakan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu dengan tepat


waktu;
b. memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan setara;
c. menyampaikan semua informasi penyelenggaraan pemilu kepada
masyarakat;
d. melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menyampaikan laporan pertanggungiawaban semua kegiatan
Penyelenggaraan Pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi;
f. mengelola, memelihara dan merawat arsip/dokumen serta
melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensl arsip yang
disusun oleh KPU Kabupaten/Kota dan lembaga kearsipan
Kabupaten/Kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh KPU dan
Arsip Nasional Republik Indonesia;
g. mengelola barang inventaris KPU Kabupaten/Kota berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
h. menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan
pemilu kepada KPU dan KPU Provinsi serta menyampaikan
tembusannya kepada Bawaslu;
i. membuat berita acara pada setiap rapat pleno KPU Provinsi yang
ditandatangani oleh Ketua dan Anggota KPU Provinsi;
j. melaksanakan dengan segera putusan Bawaslu Kabupaten/Kota;
k. menyampaikan data hasil Pemilu dari tiap-tiap TPS pada tingkat
Kabupaten/Kota kepada peserta Pemilu paling lama 7 hari setelah
rekapitulasi di Kabupaten/Kota;
l. melakukan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara
berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-ndangan;
m. melaksanakan putusan DKPP; dan
n. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi
dan/atau peraturan perundang-undangan.

Dalam penyelenggaraan Pilkada tugas, wewenang dan kewajiban KPU


Kabupaten/Kota merujuk kepada undang-undang yang mengatur tentang
Pemilihan Kepala Daerah.

54 Pasal 20 UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 157


E.7. Lembaga Penyelenggara Pemilu di Aceh

Lembaga Penyelengara Pemilu di Aceh diatur secara khusus dalam Undang-


Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pasal
56 hingga Pasal 57 UUPA mengatur keberadaan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh sebagai penyelenggara pemilu di Aceh yakni:

Pasal 56 UUPAPA;
(1) KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Anggota DPRA dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(2) KIP Kabupaten/Kota menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden/Wakil
Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Anggota DPRA, DPRK dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(3) Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari penyelenggara
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(4) Anggota KIP Aceh diusulkan oleh DPRA dan ditetapkan oleh KPU dan
diresmikan oleh Gubernur.
(5) Anggota KIP Kabupaten/Kota diusulkan oleh DPRK ditetapkan oleh KPU
dan diresmikan oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5), DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad
hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon Anggota KIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, mekanisme
kerja dan masa kerja tim independen sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) diatur dengan qanun.

Pasal 57 UUPA;
(1) Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan Anggota KIP
Kabupaten/Kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur
masyarakat.
(2) Masa kerja Anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan.

158 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Lahirnya UU Pemilu khususnya pasal 557 ayat 1 huruf a dan huruf b dan ayat
2, serta pasal 571 huruf d kemudian memicu perdebatan dan kisruh dalam
pembentukan KIP Aceh sebab pasal tersebut dinilai bertentangan dengan
UUD RI tahun 1945 karena telah menciderai pengaturan nomenklatur,
jumlah anggota, masa kerja, mekanisme rekrutmen, serta kewenangan
lembaga penyelenggara pemilu sebagaimana diatur di dalam UUPA.

Pasal 557 UU Pemilu berbunyi:


(1) Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh terdiri atas:
a. Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh dan Komisi Independen
Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan
yang hirarkis dengan KPU; dan
b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas
Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan
yang hirarkis dengan Bawaslu.
(2) Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
berdasarkan Undang-Undang ini.

Sementara Pasal 571 huruf d UU Pemilu berbunyi, “Pasal 57 dan Pasal 60


ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 62, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4633)”, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Sejumlah pihak kemudian melakukan Judicial Review Pasal 557 ayat 1 huruf
a dan huruf b dan ayat 2; dan pasal 57 huruf d Undang-Undang Pemilu
tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan Nomor 61/PUU-
XV/2017, MK memutus, “menyatakan pasal 557 ayat (2) Undang-Undang
No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran negara Republik
Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat”.

Dalam pertimbangan hukumnya MK menilai bahwa kekhususan KIP di Aceh


bukan merupakan bagian atau wujud keistimewaan Aceh, melainkan
disebabkan oleh konteks historis karena pada mulanya KIP Aceh merupakan

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 159


lembaga independen yang bertugas menyelenggarakan Pilkada secara
langsung di Aceh. Beberapa aspek yang melekat dengan konteks kesejarahan
itu tetap dihormati dan diberi tempat. Aspek-aspek tersebut berkenaan
dengan nama dan komposisi anggota, serta prosedur pengisiannya. Menurut
MK, UUPA adalah Undang-Undang yang berlaku khusus bagi daerah istimewa
Aceh maka apa yang diatur di dalamnya tidak serta merta dapat diubah
sebagaimana hal demikian dapat dilakukan dalam pembentukan atau
perubahan Undang-undang lainnya. Jika hendak dilakukan perubahan terkait
dengan penyelenggara pemilu di Aceh, hal itu memerlukan pertimbangan dan
konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terlebih dahulu.
Sebab, tanpa terlebih dahulu melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan
DPRA, maka norma yang substansinya berhubungan langsung dengan yang
diatur dalam UUPA akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
pemerintahan dan rakyat Aceh yang dengan sendirinya bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD RI Tahun 1945.

Demikian juga dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017, MK memutus


bahwa “menyatakan pasal 571 huruf d Undang-Undang No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2017
Nomor 182, tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 6109)
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Dengan
menekankan kembali pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 61/PUU-
XV/2017 sebelumnya, MK memandang tidak terdapat cukup bukti yang
meyakinkan bahwa proses perumusan ketentuan yang membatalkan Pasal
57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur tentang KIP dan
Panwaslih dalam UUPA, telah dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan DPRA. Sebab, hingga berakhirnya pemeriksaan persidangan,
DPR tidak menunaikan janjinya untuk menyampaikan bukti bahwa telah
melakukan konsultasi dan mendengar pertimbangan DPRA.

Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan Nomor 66/PUU-XV/2017


bukanlah pemisahan secara dikotomis antara organ penyelenggara pemilu
di tingkat nasional dengan penyelenggara pemilu di Aceh. Kedua putusan
tersebut justru adalah penegasan konteks historis lahirnya penyelenggara
pemilu yang independen di Aceh yang masih dipertahankan hingga saat ini,

160 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


sebagaimana diatur dalam UUPA, namun sifatnya adalah nasional, tetap dan
mandiri yang secara hirarkis adalah bagian dari struktur KPU secara nasional.

E.8. Hubungan KPU, KPU/KIP Provinsi dan KPU/KIP Kabupaten/Kota

KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hirarkis, termasuk KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Hal ini
karena UU Pemilu mendefinisikan KPU secara hirarki dari level nasional
sampai dengan level terbawah yakni KPPS dan KPPSLN (KPU, KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS dan KPPSLN). Hirarki struktur
organisasi KPU tercermin dalam ruang lingkup kerjanya berdasarkan wilayah
administrasi sebagai berikut:

Tabel 4.5. Relasi kelembagaan KPU dengan KPU daerah


Level Kedudukan & Wilayah Kerja
Penyelenggara
KPU - Berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia;
- Wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
- Menetapkan PKPU tahapan Pemilu;
- Menerbitkan Keputusan KPU;
- Memembentuk KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan PPLN;
- Mengangkat, membina dan memberhentikan Anggota KPU Provinsi,
Anggota KPU Kabupaten/Kota dan Anggota PPLN;
- Dibantu oleh Sekretariat Jenderal KPU yang dibantu oleh paling banyak 3
deputi dan 1 inspektur;
- Fungsi Utama: Regulator.
KPU Provinsi - Berkedudukan di Ibu Kota Provinsi;
- Wilayah kerja meliputi Provinsi yang bersangkutan;
- Mengoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan tahapan
penyelenggaraan pemilu yang dilaksankan oleh KPU Kabupaten/Kota;
- Dibantu oleh Sekretariat KPU Provinsi yang dipimpin Sekretaris KPU
Provinsi;
- Fungsi Utama: Koordinator dan Implementator.
KPU - Berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten dan KPU Kota berkedudukan di
Kabupaten/Kota pusat pemerintahan Kota;
- Wilayah kerja meliputi Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
- Mengoordinasikan dan mengendalikan tahapan penyelenggaraan oleh
PPK, PPS dan KPPS dalam wilayah kerjanya;
- Membentuk PPK, PPS dan KPPS;
- Dibantu oleh Sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang dipimpin seketaris
KPU Kabupaten/Kota.

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 161


- Fungsi Utama: Implementator.
PPK - Berkedudukan di Ibu Kota Kecamatan;
- Berkoordinasi dengan KPU Kabupaten/Kota dan PPS;
- Dibantu oleh Sekretariat yang dipimpin oleh seketaris dari Aparatur Sipil
Negara yang memenuhi persyaratan.
PPS - Berkedudukan di keluruhan/desa;
- Mengangkat KPPS;
- Berkoordinasi dengan PPK.
KPPS - Berkedudukan di TPS;
- Mennyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara.
Sumber: diolah dari Undang-Undang Nomor. 7/2017 dan PKPU No.8/2019

E.9. Pengawasan Internal KPU

Selain berpedoman terhadap peraturan perundang-undangan, kode etik


penyelenggara pemilu (lihat sub bab prinsip dan kode etik penyelenggara),
sumpah/janji dan pakta integritas, dalam menjalankan tugasnya Anggota
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPLN, PPS, KPPS dan KPPSLN
juga diikat dan wajib berpedoman pada Kode Perilaku. 55 Kode perilaku
adalah salah satu ciri dari organisasi atau lembaga modern. Kode perilaku
adalah turunan atau tuntunan lebih rinci dan detail dari kode etik
penyelenggara pemilu yang dimaksudkan untuk memastikan Anggota KPU,
KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN), PPS, KPPS dan KPPS Luar Negeri (KPPSLN), benar-benar
menjalankan prinsip-prinsip penyelenggara pemilu. Kode perilaku Anggota
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPLN, PPS, KPPS dan KPPSLN,
diantaranya adalah:56

a. tidak melakukan perbuatan atau tindakan yang menguntungkan atau


memperkaya diri sendiri, keluarga dan kerabat dari jabatan sebagai
Penyelenggara Pemilu;
b. tidak melakukan perbuatan yang memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
c. tidak menyalahgunakan kewenangan yang dapat mempengaruhi
keputusan lembaga Penyelenggara Pemilu;

55
Pasal 73 ayat (1) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
56
Pasal 74 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

162 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


d. menolak pemberian dalam bentuk apapun dari Peserta Pemilu, calon
Peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat mempengaruhi
keputusan Penyelenggara Pemilu dan apabila tidak bisa ditolak wajib
diserahkan kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
e. tidak menerima honor narasumber dari Peserta Pemilu, pasangan calon
dan tim kampanye;
f. tidak menerima imbalan dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau
pemberian lainnya secara langsung dan/atau tidak langsung dari Peserta
Pemilu, pasangan calon dan tim kampanye;
g. tidak menggunakan pengaruh atau kewenangan dari jabatan sebagai
Penyelenggara Pemilu untuk mendapatkan keuntungan pribadi;
h. tidak menerima fasilitas apapun dari pihak manapun yang akan
menimbulkan konflik kepentingan; dan
i. tidak menggunakan fasilitas jabatan berupa rumah dinas, mobil dinas
dan fasilitas jabatan lainnya selain untuk kepentingan kedinasan.

Kode perilaku Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPLN,
PPS, KPPS dan KPPSLN secara lebih lengkap diatur dalam pasal 74 s/d pasal
90 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota.

Untuk memastikan kode etik penyelenggara dan kode perilaku dijalankan


dengan benar dan sungguh-sungguh KPU kemudian mengatur dan
mengembangkan adanya mekanisme Pengawasan Internal. Pengawasan
Internal adalah mekanisme pengawasan yang dilakukan KPU secara
berjenjang terhadap jajaran di bawahnya baik itu lewat monitoring
maupun supervisi. Selain melalui pengawasan internal, penegakan kode
perilaku dan kode etik penyelenggara juga bisa dilakukan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat dalam membuat laporan dan/atau
pengaduan terkait dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara dan kode
perilaku. Berdasarkan pengawasan internal dan laporan dan/atau
pengaduan masyarakat, KPU mengembangkan 2 mekanisme internal
penanganan penegakan kode perilaku dan kode etik penyelenggara.

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 163


1. Mekanisme Penanganan Pelanggaran Kode Perilaku Anggota KPU
Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota, PPLN dan KPPSLN.57

KPU dan KPU Provinsi berwenang menyelesaikan dugaan pelanggaran kode


perilaku dengan ketentuan:
a. KPU untuk Anggota KPU Provinsi, PPLN dan KPPSLN.
b. KPU Provinsi untuk Anggota KPU Kabupaten/Kota.

Berdasarkan hasil pengawasan internal KPU atau KPU Provinsi dan/atau


laporan dan/atau pengaduan masyarakat kepada KPU atau KPU Provinsi,
KPU dan KPU Provinsi melakukan Rapat Pleno untuk melakukan verifikasi
dan klarifikasi kepada para pihak dan/atau Bawaslu sesuai tingkatan. Dalam
melakukan verifikasi dan klarifikasi KPU dan KPU Provinsi dapat menggali,
mencari dan menerima masukan dari berbagai pihak, memanggil para pihak,
meminta bukti-bukti pendukung, melakukan koordinasi dan/atau
melibatkan Bawaslu sesuai tingkatannya serta pihak yang kompeten. KPU
dan KPU Provinsi kemudian membuat kesimpulan terkait jenis dugaan
pelanggaran, peraturan/ketentuan yang dilanggar, pembuktian dan
rekomendasi jenis sanksi yang diberikan. KPU dan KPU Provinsi melakukan
Rapat Pleno untuk mengambil keputusan terkait dugaan pelanggaran kode
perilaku. Dalam hal dugaan pelanggaran kode perilaku tidak terbukti, teradu
pelanggaran kode perilaku diberi sanksi rehabilitasi. Dalam hal dugaan
pelanggaran kode perilaku yang dilakukan teradu terbukti KPU memberi
sanksi peringatan tertulis atau pemberhentian sementara dan dilaporkan
kepada DKPP. KPU dan KPU Provinsi menyelesaikan dugaan pelanggaran
kode perilaku paling lama 7 hari setelah diterimanya hasil pengawasan
internal atau terverifikasinya laporan dan/atau pengaduan masyarakat.58

2. Mekanisme Penanganan Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku


PPK, PPS dan KPPS.

Berdasarkan hasil pengawasan internal KPU Kabupaten/Kota dan/atau


laporan dan/atau pengaduan masyarakat, KPU Kabupaten/Kota melakukan
rapat pleno terkait adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan PPK, PPS

57
Pasal 91 dan pasal 93 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
58
Pasal 91 s/d Pasal 98 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota

164 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


dan KPPS. Dalam dugaan pelanggaran ditemukan berdasarkan pengawasan
internal, KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi dan klarifikasi kepada
Anggota PPK, PPS dan KPPS dan/atau pihak terkait paling lama 1 hari
setelah rapat pleno. Dalam hal dugaan pelanggaran berasal dari laporan
dan/atau pengaduan masyarakat, KPU Kabupaten/Kota melakukan
verifikasi dan klarifikasi dengan menggali, mencari dan menerima masukan
dari berbagai pihak, memanggil para pihak, meminta bukti-bukti
pendukung, melakukan koordinasi dan/atau melibatkan Bawaslu sesuai
tingkatannya serta pihak yang kompeten.

Berdasarkan verifikasi dan klarifikasi terhadap PPK, PPS dan KPPS atau
terhadap para pihak dan Bawaslu sesuai tingkatan, maka dalam hal
ditemukan adanya dugaan pelanggaran, KPU Kabupaten/Kota
menindaklanjutinya dengan membentuk Tim Pemeriksa. Tim Pemeriksa
terdiri dari 1 orang Ketua merangkap Anggota Tim Pemeriksa dan 2 orang
anggota pemeriksa. Tim Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan prinsip
terbuka dan adil. Tim Pemeriksa melakukan pemeriksaan terhadap laporan
dan/atau pengaduan, memanggil pengadu, teradu dan memanggil saksi
serta pihak terkait jika diperlukan. Proses Pemeriksaan dilakukan selama 7
hari kerja. Tim Pemeriksa kemudian menyampaikan hasil penelitian dan
kajian materi serta hasil pemeriksaan kepada Rapat Pleno KPU
Kabupaten/Kota. Rapat Pleno tersebut mengambil keputusan terhadap
dugaan pelanggaran paling lama 1 hari setelah proses pemeriksaan Tim
Pemeriksa selesai.

Dalam hal dugaan pelanggaran tidak terbukti, teradu diberi sanksi


rehabilitasi. Dalam hal dugaan pelanggaran terbukti teradu diberi sanksi
peringatan tertulis atau pemberhentian sementara. Keputusan sanksi
pemberhentian sementara diteruskan kepada DKPP melalui KPU Provinsi
dan KPU. Dalam hal keputusan DKPP memutuskan dugaan pelanggaran
tidak terbukti, KPU Kabupaten/Kota merehabilitasi teradu. Dalam hal
keputusan DKPP menyatakan teradu terbukti melakukan pelanggaran kode
etik, KPU Kabupaten/Kota meberhentikan teradu. Dalam hal kewenangan
DKPP untuk memberikan sanksi pemberhentian tetap terhadap PPK, PPS
dan KPPS, diberikan/didelegasikan kepada KPU Kabupaten/Kota, KPU

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 165


Kabupaten/Kota dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada
Anggota PPK, PPS dan KPPS.59

E.10. Hubungan KPU dengan Presiden dan DPR

Dalam menjalankan tugasnya KPU melaporkan penyelenggaraan seluruh


tahapan pemilu dan tugas lainnya kepada DPR dan Presiden. Bahkan dalam
setiap kesempatan di awal dan proses tahapan pemilu berjalan, Rapat
Dengar Pendapat (RDP) selalu dilakukan dan menjadi agenda rutin KPU dan
DPR (Komisi 2), untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi penting. Selain
itu ada juga kegiatan konsultasi yang menjadi forum uji publik KPU dalam
pembuatan PKPU kepada DPR selaku pembuat undang-undang, yang
memahami original intent Undang-Undang dimaksud dan konsultasi
tersebut sifatnya tidak mengikat.

Tabel 4.6. Tugas Pelaporan KPU kepada Pemerintah


Membuat laporan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan
KPU berdasarkan laporan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang
dikonsolidasikan menjadi satu naskah laporan.
Mebuat laporan penyelenggaran pemilu di level provinsi yang terdiri
KPU Provinsi atas gabungan laporan pelaksanaan pemilu dari KPU Kabupaten/Kota
yang berada diwilayah provinsinya.
Membuat laporan pelaksanaan pemilu dari level TPS (KPPS), Desa (PPS),
KPU Kabupaten/Kota Kecamatan (PPK) yang kemudian dikonsolidasikan menjadi satu laporan
penyelenggaraan pemilu di level Kabupaten/Kota.

Laporan pelaksananan penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu


disampaikan secara periodik dalam setiap tahapan penyelenggaraan
pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.60 Dalam
menjalankan tugasnya KPU Provinsi bertanggung jawab kepada KPU. KPU
Provinsi menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan pemiliu
secara periodik kepada KPU. 61 Dalam menjalankan tugasnya KPU
Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada KPU Provinsi. KPU
Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan

59
Pasal 101 s/d Pasal 112 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
60 Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu
61 Pasal 49 UU Pemilu

166 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


pemiu secara periodik kepada KPU Provinsi.62 Sehingga dalam memberikan
laporan pelaksanaan penyelenggaran pemilu kepada Presiden, KPU dapat
menyampaikan secara detail berdasarkan laporan yang terkonsolidasi dan
diperoleh dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang memahami
pelaksanaannya wilayah kerja administrasinya.

E.11. Hubungan KPU RI dengan LPP di Luar Negeri

Dalam menyelenggarakan Pemilu KPU senantiasa menjalin hubungan atau


relasi dengan LPP di negara lain. Relasi ini penting sebagai cara untuk saling
belajar dan berbagi pengalaman guna meningkatkan kualitas Pemilu di
Indonesia. Salah satu yang menarik dalam hubungan atau relasi itu adalah
bahwa Pemilu di Indonesia dan posisi KPU, yang awalnya dipandang sebagai
pembelajar Pemilu dibandingkan dengan LPP di negara lain, kini menjadi
rujukan dalam sejumlah diskursus dan praktik kepemiluan internasional.
Dalam berbagai forum internasional yang membicarakan kemajuan
demokrasi dan Pemilu, Pemilu di Indonesia dan posisi KPU acap menjadi topik
perbincangan dan menjadi pembelajaran bagi sejumlah negara, khususnya
terkait dengan inovasi penggunaan Teknologi Informasi untuk mendorong
Pemilu semakin transparan dan akuntabel. Sistem Informasi Penghitungan
Suara (Situng) dan open data-nya yang digagas KPU dan dipraktikkan dalam
Pemilu Indonesia, sebagaimana dijelaskan di Bab 6, bahkan menginspirasi
sejumlah negara untuk mengupload dokumen hasil penghitungan suara di
TPS kepada publik.

KPU adalah anggota Association of World Election Bodies (A-WEB) atau


perkumpulan lembaga penyelenggara pemilu internasional. A-WEB sendiri
merupakan asosiasi lembaga penyelenggara pemilu dari seluruh dunia. Saat
ini sudah ada 114 lembaga dari 106 negara yang telah menjadi anggotanya.
A-WEB yang bermarkas di Korea Selatan mempunyai visi mendorong
efisiensi dan efektifitas kebebasan, keadilan, transparansi dan partisipasi
pemilu di dunia. Di tingkat regional, KPU juga adalah partisipan dari Asian
Electoral Stakholder Forum (AESF) yakni forum dua tahunan LPP dan
masyarakat sipil yang peduli dengan Pemilu di Asia. Di tahun 2016, KPU
pernah menjadi tuan rumah AESF ke-2 di Bali dengan melahirkan banyak
gagasan yang dituangkan dalam Deklarasi Bali dengan tajuk: Electoral
Transparency: Eight Keys to Integrity. Bahkan dalam beberapa forum AESF,

62 Pasal 50 UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 167


Pemilu Indonesia dan KPU selalu menjadi rujukan dalam upaya peningkatan
kualitas Pemilu di Asia.

E.12. Isu-Isu Strategis Kelembagaan KPU

Walau keorganisasian KPU sudah diatur sedemikian rupa diatur dalam UU


Pemilu, Perpres Nomor 105 Tahun 2018 tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota dan PKPU Nomor. 8 Tahun 2019 tentang
tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, dalam praktiknya
operasional organisasi KPU senantiasa mengalami hambatan dan tantangan
yang relevan dijadikan sebagai isu strategis dalam memperkuat organisasi
KPU. Berikut ini adalah tabel beberapa isu strategsi dan solusi alternatif
dalam kelembagaan organisasi KPU.

Faktor Penting dalam kelembagaan KPU


▪ Penegakan aturan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam mengimplementasikan
mekanisme hirarki.
▪ Rapat Pleno adalah institusi pengambilan putusan tertinggi di KPU secara kolektif kolegial (ter-
masuk KPU di daerah).
▪ Sekretariat dapat dilibatkan dan memfasilitasi serta menjalankan putusan pleno
▪ SOP perlu diterapkan dalam Pleno, seperti daftar hadir, notulensi, risalah rapat dan berita
acara.
▪ Pemenuhan dokumen resmi disusun berdasarkan Peraturan KPU tentang Tata Naskah Dinas.
▪ Mengoptimalkan arsip digital
▪ Koordinasi yang intensif antara Komisioner dengan Sekretariat untuk memahami tugas pokok
dan fungsi masing-masing, khususnya tanggung jawab Sekretariat dalam aspek fungsional dan
administratif.
▪ Optimalisasi supervisi dan monitoring sebagai bentuk quality control kepada jenjang di
bawahnya dikaitkan juga sebagai bagian dari pelaksanaan Pengawasan Internal.
▪ Penyempurnaan aturan (normatif).
▪ Solusi dengan mengakrabkan/membangun teamwork (coffee morning, outbond).
▪ Memperkuat kapasitas penyelenggara di tingkat KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bukan
hanya dengan bimtek, tetapi juga lewat training, kursus, atau study banding belajar best
parctices ke negara lain.
▪ Melakukan mekanisme knowledge sharing bagi anggota KPU yang telah selesai mengikuti
bimbingan teknis (Bimtek) dan rapat koordinasi (Rakor).
▪ Koordinator Divisi dan wilayah tidak dapat mengambil keputusan sendiri, semuanya harus
diputuskan dalam Rapat Pleno.
▪ Pemahaman yang utuh dan komprehensif bagi semua anggota KPU tentang tata kelola yang
menjadi core subject KPU termasuk penganggaran dan operasionalisasinya.
▪ Perlu ada desain dan pengaturan jadwal rekrutmen anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota sehingga simultan dengan periode Pemilu/Pilkada.
▪ KPU perlu melakukan rekrutmen ASN organik KPU baik yang ASN maupun Pegawai Pemerintah
Dengan Perjanjian Kerja (P3K) berpedoman pada aturan ASN yang berlaku.

168 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


F. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)

Guna menjamin demokrasi dan kedaulatan rakyat bisa berjalan dengan baik
dalam setiap penyelenggaraan pemilu selain penyelanggara pemilu yang
bersifat teknis juga dibutuhkan lembaga pengawas untuk memastikan
semuanya berjalan sesuai peraturan perundang-undangan. UU Pemilu
menyebut lembaga tersebut bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),
yang secara garis besar bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu di
Indonesia. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kita sering
mengenal check and balance sebagai bentuk kontrol dan perimbangan dalam
pelaksanaan tata pemerintahan. Kehadiran Bawaslu dalam proses
pelaksanaan pemilu sejatinya juga sebagai bentuk dari check and
balance terhadap penyelenggara pemilu lainnya dalam hal ini adalah Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas menyelenggarakan teknis pemilihan
umum. Sebagaimana KPU, Bawaslu juga dilengkapi oleh Sekretariat Jenderal
yang bertugas mendukung dan memfasilitasi Bawaslu dalam menjalankan
tugas, kewenangan dan kewajibannya. Bawaslu membentuk Bawaslu
Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Provinsi.
Bawaslu Provinsi membentuk Bawaslu Kabupaten/Kota yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten/Kota. Bawaslu, Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap.

Kelembagaan Bawaslu berkembang sesuai dengan dinamika kepemiluan dan


politik pemilu yang tertuang dalam Undang-undang kepemiluan. Mulai dari
yang bersifat ad hoc atau sementara hingga saat ini yang bersifat permanen
sampai pada level Kabupaten/Kota. Dalam konteks itu, Bawaslu pun juga
memiliki posisi yang lebih kuat ketimbang sebelumnya.

F.1. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Bawaslu

Sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu yang dibentuk atas


kebutuhan untuk mengawasi proses pemilu, awalnya keberadaan tugas,
wewenang dan kewajiban yang dimiliki oleh Bawaslu identik dan dibatasi
pada koridor pengawasan saja. Namun tugas, wewenang dan kewajiban
Bawaslu berkembang seiring dengan perubahan regulasi pemilu. Kini
setidaknya ada tiga tugas utama yang diemban Bawaslu yakni pencegahan,
pengawasan dan penindakan. Secara lebih spesifik berikut adalah tugas,
wewenang dan kewajiban Bawaslu yang tertuang UU Pemilu:

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 169


Bawaslu bertugas:63

a. Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu


untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan;
b. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap:
1. Pelanggaran Pemilu; dan
2. Sengketa proses Pemilu;
c. Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas:
1. Perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu;
2. Perencanaan pengadaan logistik oleh KPU;
3. Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan
4. Pelaksanaan persiapan lainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
d. Mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri
atas:
1. Pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara
serta daftar pemilih tetap;
2. Penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota;
3. Penetapan Peserta Pemilu;
4. Pencalonan sampai dengan penetapan Pasangan Calon, Calon
Anggota DPR, calon Anggota DPD dan Calon Anggota DPRD sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Pelaksanaan dan dana kampanye;
6. Pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya;
7. Pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu
di TPS;
8. Pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara dan sertifikat
hasil penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
9. Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU
Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU;
10. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu
lanjutan dan Pemilu susulan; dan
11. Penetapan hasil Pemilu.
e. Mencegah terjadinya praktik politik uang;

63 Pasal 93 UU Pemilu

170 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


f. Mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara, netralitas anggota Tentara
Nasional Indonesia dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;
g. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang terdiri atas:
1. Putusan DKPP;
2. Putusan pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa Pemilu;
3. Putusan/keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/ Kota;
4. Keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota; dan
5. Keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas
Aparatur Sipil Negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia
dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;
h. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu
kepada DKPP;
i. Menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu;
j. Mengelola, memelihara dan merawat arsip serta melaksanakan
penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan;
k. Mengevaluasi pengawasan Pemilu;
l. Mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan
m. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Dalam melakukan pencegahan pelanggaran Pemilu dan pencegahan


sengketa proses Pemilu Bawaslu bertugas:64
a. mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran
Pemilu;
b. mengkoordinasikan, mensupervisi, membimbing, memantau dan
mengevaluasi Penyelenggaraan Pemilu;
c. berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan
d. meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu.

Dalam melakukan penindakan pelanggaran Pemilu, Bawaslu bertugas:65

64 Pasal 94 ayat (1) UU Pemilu


65 Pasal 94 ayat (2) UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 171


a. menerima, memeriksa dan mengkaji dugaan pelanggaran Pemilu;
b. menginvestigasi dugaan pelanggaran Pemilu;
c. menentukan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu, dugaan
pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan/atau dugaan tindak
pidana Pemilu; dan
d. memutus pelanggaran administrasi Pemilu.

Dalam melakukan penindakan sengketa proses Pemilu, Bawaslu bertugas:66


a. menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
b. memverifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian
sengketa proses Pemilu;
c. melakukan mediasi antar pihak yang bersengketa;
d. melakukan proses adjudikasi sengketa proses Pemilu; dan
e. memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.

Bawaslu berwenang:67

a. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan


adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Pemilu;
b. Memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu;
c. Memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran politik uarg;
d. Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi dan memutus
penyelesaian sengketa proses Pemilu;
e. Merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil
pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota
Tentara Nasional Indonesia dan netralitas anggota Kepolisian Republik
Indonesia;
f. Mengambil alih sementara tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota secara berjenjang jika Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota berhalangan sementara akibat
dikenai sanksi atau akibat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan ;
g. Meminta bahan keterangan yang dibutuhkan kepada pihak terkait dalam
rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi,

66 Pasal 94 ayat (3) UU Pemilu


67 Pasal 95 UU Pemilu

172 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu dan sengketa
proses Pemilu;
h. Mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundangundangan;
i. Membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota dan Panwaslu
LN;
j. Mengangkat, membina dan memberhentikan Anggota Bawaslu Provinsi,
Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dan Anggota Panwaslu LN; dan
k. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Bawaslu berkewajiban:68

a. Bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang;


b. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas
Pengawas Pemilu pada semua tingkatan;
c. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR
sesuai dengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkan
kebutuhan;
d. Mengawasi pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih secara
berkelanjutan yang ditakukan oleh KPU dengan memperhatikan data
kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
e. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.

Dalam penyelenggaraan Pilkada tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu


merujuk kepada undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Kepala
Daerah

F.2. Bawaslu Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota)

Struktur kelembagaan Bawaslu dengan KPU sebetulnya tidak jauh berbeda.


Kedudukan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
bersifat hirarki termasuk kewenangan kerjanya disesuaikan dengan wilayah

68 Pasal 96, UU Pemilu

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 173


administratif. Bawaslu Provinsi bersifat tetap dan berkedudukan di Ibukota
Provinsi, sementara Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap dan
berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota. Adapun untuk jumlah Anggota
Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang. Jumlah Anggota
Bawaslu Provinsi tercantum dalam lampiran II UU Pemilu. 69 Sedangkan,
jumlah Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima)
orang. Jumlah Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota tercantum dalam lampiran
II UU Pemilu. 70 Pada sisi lain, Tugas, Wewenang dan Kewajiban Bawaslu
secara umum juga dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten/Kota, kecuali ditentukan berbeda oleh UNDANG-UNDANG
Pemilu. Sebagai contoh kewenangan menangani proses pelanggaran
administrasi Pemilu yang bersifat TSM yang hanya ada pada Bawaslu,
namun tidak ada pada Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Dalam penyelenggaraan Pilkada tugas, wewenang dan kewajiban Bawaslu


Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota merujuk kepada undang-undang
yang mengatur tentang Pemilihan Kepala Daerah

G. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau yang kemudian dikenal


dengan DKPP merupakan salah satu lembaga penyelenggara pemilu yang
memiliki tugas dan wewenang penegakan kode etik KPU dan Bawaslu. DKPP
bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota negara. Keanggotaan DKPP
terdiri dari satu orang ex officio dari unsur KPU, satu orang ex officio dari
unsur Bawaslu, dua orang unsur/utusan pemerintah dan tiga orang
unsur/utusan DPR. DKPP pertama kali dibentuk dengan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2003 dengan nama Dewan Kehormatan yang sifatnya ad
hoc dan berasal dari unsur internal KPU. Dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 posisi Dewan Kehormatan diperkuat namun masih tetap bersifat
ad hoc yang unsurnya berasal dari KPU dan eksternal KPU. Dalam Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2011 posisi Dewan kehormatan Pemilu semakin
kuat, bersifat tetap dan diberi nama Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara

69 Pasal 92 ayat (2) dan ayat (3), UU Pemilu


70 Pasal 92 ayat 2 huruf c dan ayat 3, UU Pemilu

174 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Pemilu mulai dari tingkat KPU sampai dengan KPPS. Putusan DKPP bersifat
final dan mengikat.

Melalui Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013, MK menegaskan bahwa DKPP


bukan merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 UUD RI Tahun 1945, melainkan organ tata usaha
negara. Dengan menyatakan DKPP sebagai organ tata usaha negara, MK
hendak menyatakan bahwa DKPP tunduk pada ketentuan hukum
administrasi negara dan setiap produk keputusan DKPP dapat diuji di
lembaga peradilan tata usaha negara. MK berpendapat bahwa putusan DKPP
harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota maupun Bawaslu yang melaksanakan putusan DKPP.71

Dalam kalimat lain, putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 menegaskan bahwa


sifat final dan mengikatnya putusan DKPP hanya berlaku bagi Presiden, KPU
dan Bawaslu beserta jajarannya sebagai dasar ketika mengeluarkan
keputusan pemberhentian atau pemecatan seorang anggota penyelenggara
pemilu. Putusan DKPP yang memberhentikan atau memecat seorang
anggota penyelenggara pemilu memerlukan tindak lanjut berupa keputusan
Presiden, keputusan KPU dan keputusan Bawaslu sesuai kewenangannya.72

Awalnya berdasar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, DKPP menangani


dugaan pelanggaran kode etik pada semua tingkatan penyelenggara pemilu,
namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
tugas DKPP dibatasi hanya untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan
dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
KPU dan Bawaslu sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota dan
penyelenggara Pemilu di Luar negeri. Sementara penanganan dugaan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ad hoc, kecuali penyelenggara
ad hoc di luar negeri, diserahkan kepada KPU dan Bawaslu sesuai dengan
tingkatan.

71 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor


15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, h. 71-73.
72 Meskipun MK telah memutuskan bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU

dan Bawaslu beserta jajarannya, namun rumusan Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu tetap mempertahankan rumusan yang sama seperti di dalam ketentuan Pasal 112
ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 175


Dalam melaksanakan tugasnya DKPP dilengkapi dengan Sekretariat yang
bertugas membantu dan memfasilitasi DKPP menjalankan tugas,
kewenangan dan kewajibannya. Awalnya Sekretariat DKPP melekat atau
merupakan bagian dari Sekretariat Jenderal Bawaslu. Namun berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Wewenang, Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat DKPP, kini Sekretariat
Jenderal DKPP berada di bawah Kementarian Dalam Negeri. DKPP dapat
membentuk Tim Pemeriksa Daerah di setiap Provinsi yang bersifat ad doc.73
Satu hal yang menarik dalam perkembangan penegakan kode etik
penyelenggara Pemilu adalah bahwa penegakan kode etik dan perilaku tidak
hanya berlaku untuk jajaran KPU dan Bawaslu, tetapi juga mengikat DKPP itu
sendiri. Berbeda dengan posisi DKPP sebelum Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu, kini Anggota DKPP, Tim Pemeriksa Daerah dan
Sekretariat yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku DKPP juga
dapat dikenai sanksi etik oleh Majelis Kehormatan DKPP yang dibentuk oleh
dan berasal dari DKPP.74

G.1. Tugas, Wewenang dan Kewajiban DKPP

DKPP bertugas:
a. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode
etik oleh penyelenggara Pemilu; dan
b. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan
dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh
Penyelenggara Pemilu.

DKPP berwenang:
a. memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran
kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b. memanggil pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait untuk
dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;
c. memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti
melanggar kode etik;

73 Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu
74 Peraturan DKPP Nomor 4 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku DKPP

176 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


d. memutus pelanggaran kode etik.

DKPP berkewajiban :
a. menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas dan
transparansi;
b. menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi penyelenggara
pemilu;
c. bersikap netral, pasif dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk
popularitas pribadi; dan
d. menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

H. Hubungan antara KPU-Bawaslu-DKPP

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, secara formal yuridis KPU,


Bawaslu dan DKPP adalah LPP dengan satu kesatuan fungsi yang berbeda.
KPU sebagai penyelenggara pemilu, Bawaslu sebagai pengawas pemilu dan
DKPP sebagai penegak kode etik penyelenggara pemilu. Walau tugas,
kewenangan dan kewajiban ketiga LPP sudah diatur dalam regulasi, dalam
praktiknya relasi ketiganya tidaklah selalu berjalan sebagaimana mestinya.
Hal itu setidaknya disebabkan sejumlah hal. Pertama, faktor personal. Relasi
antar ketiga LPP bermasalah disebabkan persoalan personal yang kemudian
terbawa dalam sikap dan relasi kelembagaan. Kedua, faktor komunikasi. Di
sejumlah daerah relasi ketiga LPP memburuk karena lemahnya komunikasi
antar lembaga, khususnya antara KPU dan Bawaslu.

Ketiga, faktor regulasi. Seringkali regulasi atau peraturan kepemiluan


memunculkan pengaturan baru khususnya terkait kewenangan yang
kemudian memicu masalah di lapangan. Salah satu contoh yang
mengemuka dalam Pemilu 2019 adalah ketika UU Pemilu memberi
wewenang baru penanganan pelanggaran administrasi pemilu kepada
Bawaslu tanpa norma batas waktu yang defenitif. Dalam praktiknya, ada
sejumlah putusan pelanggaran administrasi Bawaslu terbit setelah
melewati tahapan penetapan pemilu nasional dan putusan tersebut
berdampak pada perubahan hasil perolehan suara Parpol atau Calon, yang
kemudian tindaklanjutnya menjadi problematik bagi KPU. Sebab UU Pemilu
menyebut bahwa perubahan perolehan suara pasca keputusan KPU tentang
penetapan hasil pemilu hanya dapat dilakukan melalui putusan MK. Selain

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 177


memunculkan pengaturan dan kewenangan baru yang kontroversial, tak
jarang regulasi kepemiluan juga masih sangat rentan dibaca dan dipahami
dengan multi-interpretatif antar LPP. Akibatnya penanganan persoalan di
lapangan sering tidak berjalan efektif karena perbedaan pemaknaan
terhadap regulasi yang kemudian memicu perbedaan implementasi di
lapangan, baik dalam konteks penyelenggaraan maupun pengawasan dan
pencegahan.

Di lain pihak, regulasi dan penegakan kode etik penyelenggara pemilu


selayaknya dipertimbangkan untuk disempurnakan. Selama ini pengaturan
dan penanganan pelanggaran prinsip atau kode etik profesionalitas yang
sifatnya administratif, seperti kesalahan atau kelalaian penerapan prosedur
dan tata cara penyelenggaraan pemilu dan pilkada, cenderung diselesaikan
dengan mekanisme pelanggaran kode etik. Padahal pelanggaran proses
pemilu atau pilkada yang sifatnya administratif dapat diprioritaskan untuk
diselesaikan oleh Bawaslu, sesuai tingkatan, yang memiliki kewenangan
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Apalagi kemudian sanksi terhadap
pelanggaran yang bersifat administratif tidak serta merta harus selalu sanksi
etik. Sanksi pelanggaran administratif yang lebih substansial adalah
perbaikan administratif terhadap prosedur dan tata cara penyelenggaraan
pemilu atau pilkada, untuk memastikan pemenuhan hak-hak pelapor atau
pemohon. Pelanggaran yang bersifat administratif tetap dapat ditangani
dengan mekanisme pelanggaran kode etik, namun yang diperiksa dan
didalami adalah pembuktian apakah ada motif keberpihakan (pelanggaran
prinsip mandiri) dan motif kejahatan (pelanggaran prinsip integritas) dalam
kasus tersebut.

Dalam kondisi seperti itu, KPU, Bawaslu dan DKPP dituntut membangun
relasi yang kritis-sinergis, khususnya dalam merespon dan mencari solusi
terhadap masalah yang disebabkan perbedaan interpretasi pelaksanaan UU
dan Peraturan KPU. Secara formal yuridis, KPU, Bawaslu dan DKPP tentu
harus senantiasa “kritis” menjalankan tugas, kewenangan dan
kewajibannya. Namun di sisi lain ketiganya memiliki tanggung jawab supaya
sinergis mensukseskan penyelenggaraan pemilu yang makin demokratis.
Relasi yang kritis-sinergis tersebut tentu tidak mudah, karena dalam
praktiknya ketiga lembaga penyelenggara, acapkali justru mengedepankan
fungsi dan kewenangan formal yuridis, yang tidak selalu dapat
menuntaskan persoalan di lapangan dan pada akhirnya saling menegasikan

178 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


posisi historis dan empiris masing-masing. Padahal, di luar mandat formal
yuridis, pemahaman posisi historis dan empiris masing-masing LPP juga
dapat dijadikan sebagai pijakan dalam membangun dan merawat relasi
antar LPP yang saling menghormati dan terhindar dari saling menegasikan.

Relasi KPU, Bawaslu dan DKPP dapat dikonstruksikan sebagaimana gambar


4.8. KPU adalah LPP utama di Indonesia. Hal ini didasari setidaknya dua
alasan. Pertama, secara historis, sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian
awal Sub Bab B, yang menjadi penyelenggara Pemilu di Indonesia adalah
KPU. Jikapun ada pengawasan dan penegakan kode etik pemilu, fungsi dan
kelembagaan keduanya awalnya melekat tunggal pada KPU. Kedua, secara
empiris, KPU yang menyelenggararakan tahapan esensial pemilu yaitu
pendaftaran dan/atau pemutakhiran dan penetapan daftar pemilih,
pendaftaran dan penetapan peserta pemilu, proses pemungutan dan
penghitungan suara, proses rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu dan
penetapan calon terpilih. KPU yang menentukan kelima unsur dasar pemilu
ini, sedangkan Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) tak terlibat dalam penetapan kelima proses esensial Pemilu
tersebut. Fungsi pengawasan ataupun penegakan kode etik penyelenggara
pemilu dapat ditemukan di negara demokrasi lain, tetapi tidak
dikategorikan, baik sebagai lembaga permanen maupun sebagai
penyelenggara pemilu (Surbakti dan Nugroho 2015). Secara empiris KPU
merencanakan, melaksanakan dan mempertangungjawabkan seluruh
tahapan Pemilu. KPU merancang dan menetapkan peraturan tentang
pelaksanaan tahapan Pemilu. Pemaknaan ini tentu tidak berarti hendak
menempatkan KPU lebih superior dibanding dua LPP lainnya. Apalagi
kemudian secara yuridis, dengan kewenangan yang dimiliki Bawaslu dan
DKPP dalam membuat putusan-putusan yang sifatnya final dan mengikat
KPU, justru Bawaslu dan DKPP lah yang lebih “superior” dibanding KPU.

BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 179


Gambar 4.8. Relasi KPU-BAWASLU-DKPP

Memaknai dan menempatkan posisi KPU sebagai LPP utama pemilu


penting dalam kerangka membangun relasi kritis-sinergis antara KPU,
Bawaslu dan DKPP. Supaya dapat kritis-sinergis, relasi diantara ketiga
lembaga sepatutnya dibangun dengan asumsi dasar bahwa KPU, secara
kelembagaan, memiliki modalitas dan kapasitas kepemiluan dalam
melaksanakan Undang-undang dan membuat Peraturan PKPU serta
megimplementasikannya. Sehingga ketika ada problem atau masalah yang
muncul di lapangan yang disebabkan perbedaan interpretasi terhadap UU
atau Peraturan KPU, KPU tidak langsung dipersepsikan atau diposisikan
sebagai “pihak yang salah” tapi justru dapat diberi ruang yang lebih luas
dan leluasa untuk menjelaskan masalah tersebut secara komprehensif
untuk mendapatkan solusi yang berkeadilan dan akuntabel. Sebagai
penyelenggara pemilu, selayaknya KPU “lebih banyak didengar” dalam
mengambil solusi terhadap masalah kepemiluan yang solusinya tidak selalu
jelas dan defenitif diatur dalam UU.

H.1. Tips Membangun Relasi yang Sinergis KPU–Bawaslu–DKPP

1. Komunikasi formal dan informal: Komunikasi formal dan informal


tripartit antara KPU dengan Bawaslu dan DKPP yang tidak diatur secara
khusus dalam undang-undang dapat digunakan untuk menjembatani
dan menyelesaikan masalah yang membelit antar lembaga. Oleh karena
itu, meskipun sudah ada komunikasi formal, misalnya pertemuan KPU–
Bawaslu–DKPP secara periodik, namun komunikasi informal harus lebih
sering terjadi. Sebab komunikasi informal yang menyentuh dimensi-
dimensi personal, sering kali bisa mengurai dan menemukan solusi atas
180 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU
masalah pelik. Hal ini tentu saja tidak hanya di level pusat, tetapi juga di
level Provinsi dan Kabupaten/Kota.
2. Pelibatan atau involvement: Ketiganya sedapat mungkin terlibat dalam
setiap tahapan Pemilu, mulai dari penyusunan peraturan, perencanaan
dan implementasi. Pelibatan ini bukan hanya menghormati posisi
sesama lembaga penyelenggara Pemilu, tetapi juga untuk mendapatkan
kritik dan saran. Bagaimanapun kritik dan saran akan lebih baik didengar
secara tertutup dan dibahas bersama, daripada diumbar di media
massa.
3. Transparan: perlu membuka diri atas setiap kegiatan dalam batas -batas
yang diperbolehkan undang -undang. Sifat tertutup akan menimbulkan
kecurigaan dan ketidakpercayaan antar lembaga, sebaliknya sifat
terbuka akan mendorong kejujuran dan kepercayaan publik.
4. Akses data dan informasi: harus merespon secara positif keluhan antar
lembaga. Kesan bahwa KPU tertutup atas data dan informasi, harus
dihilangkan. Selama data atau informasi tersebut adalah informasi
terbuka yang diatur oleh undang -undang, sebaiknya disampaikan saja
kepada Bawaslu. Langkah ini tidak hanya menjaga kehormatan masing-
masing pihak, tetapi juga menaikkan citra diri KPU di hadapan peserta
dan pemilih.

I. Penutup

LPP adalah institusi yang memegang peranan penting untuk


menyelenggarakan Pemilu yang demokratis dan berintegritas. LPP lah yang
pada akhirnya mengimplementasikan maksud dari kerangka hukum dan
sistem pemilu yang berlaku. LPP yang mengelola kontestasi antar peserta
pemilu dan mengelola serta memastikan jalannya tahapan
penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dikehendaki hukum yang berlaku.
Dalam menjalankan tugas tersebut LPP tentu rentan melakukan kesalahan,
kekeliruan atau menjadi sasaran intervensi peserta pemilu ataupun
kekuasaan. Guna memastikan Pemilu berlangsung secara demokratis dan
berintegritas, Pemilu mensyaratkan adanya LPP yang mandiri yang
keberadaannya dimandatkan secara jelas dalam konstitusi dan
mendapatkan kepercayaan publik. Dalam tataran praktis, Prinsip dan kode
etik penyelenggara pemilu mengikat seluruh penyelenggara Pemilu agar
bekerja secara akuntabel, mandiri dan profesional.
BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU 181
Berbeda dengan negara lain, di Indonesia ada tiga LPP yaitu KPU, Bawaslu
dan DKPP. Dari tiga LPP di Indonesia, KPU adalah LPP Utama. Sebab, secara
konseptual yang disebut LPP adalah lembaga penyelenggara lima unsur
dasar atau esensial proses penyelenggaraan pemilu, yaitu pendaftaran
dan/atau pemutakhiran dan penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan
penetapan peserta pemilu, proses pemungutan dan penghitungan suara,
proses rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu dan penetapan calon
terpilih. Secara hirarkis KPU memilki jajaran penyelenggara mulai dari
tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Desa/Kelurahan, sampai dengan
TPS. Sebagai administratur utama Pemilu, KPU didukung oleh Sekretariat
Jenderal KPU yang bertugas memfasilitasi dan mendukung tugas,
kewenangan dan kewajiban KPU. Sebagai sebuah organisasi yang
berkembang, KPU bertransformasi dari Pemilu ke Pemilu dengan SOTK
(Susunan Organisasi dan Tata Kerja) yang makin modern.

Kinerja KPU telah mendapatkan pengakuan dan kepercayaan luas di tingkat


internasional. KPU dan Pemilu di Indonesia telah menjadi tempat belajar
dan rujukan bagi LPP negara lain dalam penyelenggaran pemilu. Dalam
menjalankan tugasnya, KPU dituntut membangun relasi yang baik dengan
pemerintah dan DPR. Secara khusus KPU, Bawaslu dan DKPP, dengan posisi
yuridis, historis dan empiris masing-masing, dituntut membangun relasi
yang kritis sekaligus sinergis dalam menyelenggarakan pemilu yang
demokratis dan berintegritas.

182 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU


Pengiriman Logistik ke daerah Pesisir Barat Lampung

Pengiriman Logistik ke Desa Matuting


Kecamatan Gane Timur Tengah
Halmahera Selatan – Maluku Utara
BAB 5
TAHAPAN PEMILU

Aditya Perdana dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah

A. Pengantar

Pemilihan Umum (Pemilu) di sebuah negara merupakan satu proses


tahapan yang terdiri dari banyak kegiatan dan aktivitas untuk mewujudkan
adanya hasil pemilu yang merefleksikan pilihan rakyat. Sebuah negara tentu
tidak dapat menyelenggarakan pemilu tanpa adanya dukungan dan
kontribusi banyak pihak. Dengan demikian, pemilu perlu melibatkan
aktivitas dan kegiatan yang dilakukan oleh banyak pihak demi mewujudkan
tujuan bersama di negara tersebut.

Bab ini menjelaskan ketentuan universal mengenai tahapan


penyelenggaraan pemilu dan juga menjelaskan peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia. Untuk tujuan tersebut, maka struktur bab
ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama mendeskripsikan
tahapan pemilu yang biasanya dilakukan oleh para penyelenggara pemilu.
Bagian kedua mendokumentasikan berbagai tantangan dan hambatan
dalam melakukan pelaksanaan pemilu di Indonesia berdasarkan tahapan
yang ada. Sedangkan bagian ketiga mendiskusikan informasi dari setiap
tahapan pemilu yang berlangsung tersebut sebagai bagian strategi dalam
pelaksanaan pemilu. Sebagai catatan, rujukan dari bab ini adalah tahapan
Pemilu 2019 yang lalu. Dalam beberapa aktivitas dan kegiatan, tahapan
pemilihan kepala daerah (Pilkada) pun juga didiskusikan. Pembahasan fokus
pada tiga tahapan penting, yakni persiapan, pelaksanaan dan akhir. Pada
setiap akhir bahasan tahapan, Penulis juga menguraikan tantangan,
masalah dan cara mengatasinya.

B. Kerangka Tahapan Pemilu

Seperti yang telah disinggung di dalam Bab 1, salah satu dimensi dalam tata
kelola pemilu adalah tahapan dan jadwal pemilu. Perumusan tahapan

184 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


pemilu berguna untuk mendesain, merencanakan, membantu, dan juga
mengontrol semua aktivitas dan kegiatan yang bekerja di setiap bagian
untuk memudahkan para penyelenggara pemilu dalam menjalankan
tugasnya. Tahapan pemilu juga diperlukan untuk mengidentifikasi
tantangan dan kendala yang biasanya dihadapi oleh para penyelenggara
pemilu.

International Democracy and Electoral Assistance (IDEA), sebuah organisasi


interNasional yang mendukung terciptanya demokrasi elektoral yang
bersih, menjelaskan bahwa ada tiga tahapan pemilu, yakni tahapan pra-
pemilu, tahapan pemilu, dan tahapan pasca pemilu. 1 Tahapan-tahapan
pemilu tersebut bersifat siklus sehingga tidak ada ketentuan yang jelas
terkait dengan di mana awal atau akhir tahapan pemilu. Selain itu, terdapat
aktivitas dan kegiatan yang tentunya tidak akan berhenti di satu tahapan
tertentu. Sebagai contoh adalah aktivitas pendidikan politik yang dapat
dilakukan secara terus menerus di semua tahapan pemilu.

Tiga tahapan pemilu tersebut dapat dijelaskan seperti Gambar 5.1. Tahapan
pra-pemilu meliputi aktivitas seperti pembentukan peraturan perundang-
undangan dan regulasi teknis
lainnya, perencanaan kegiatan Gambar 5.1.
dan anggaran untuk Siklus/tahapan Pemilu
mendukungan aktivitas dalam (Electoral Cycle)
kurun waktu pemilu, pelatihan
regulasi dan teknis yang
diberikan kepada para
penyelenggara pemilu,
pemberian informasi awal
seperti pendidikan pemilih, dan
juga pendaftaran yang dibuka
untuk partisipan pemilu.
Tahapan pemilu adalah tahapan
penyelenggaraan pemilu.
Aktivitasnya meliputi pencalonan
peserta pemilu, kampanye

1 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam artikel berikut ini: https://aceproject.org/electoral-ad-
vice/electoral-assistance/electoral-cycle. Informasi lain yang disampaikan oleh International IDEA
dapat dilihat dalam link berikut: https://www.idea.int/data-tools/tools/online-electoral-cycle

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 185


peserta pemilu, pemungutan suara, dan penghitungan serta rekapitulasi
suara. Terakhir adalah tahapan pasca pemilu yang meliputi aktivitas
mengkaji, mereformasi dan menetapkan strategi baru untuk pelaksanaan
pemilu yang akan datang.

Mirip dengan penjelasan IDEA di atas, ACE Project menjelaskan tahapan


atau lingkaran pemilu yang meliputi: desain dan draft peraturan/regulasi,
registrasi Parpol, pencalonan partai dan para calonnya, kampanye,
pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi suara, penetapan hasil
pemilih, sengketa pemilu, laporan, audit dan pengarsipan. 2 Setidaknya
terdapat dua jenis tahapan yang menjadi penekanan dari ACE Project dan
tidak ada dari IDEA, yaitu ada tahapan kegiatan yang menyangkut sengketa
pemilu yang merupakan fase penting setelah penetapan hasil pemilu dan
pelaporan dan pengarsipan bagi keberlanjutan pemilu.

C. Tahapan Pemilu di Indonesia

Jika kita merujuk pada UU Pemilu yang mengatur Pemilu Presiden/Wakil


Presiden, DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang No. 1 tahun 2015 junto
Undang-Undang No. 5 tahun 2015 junto Undang-Undang No. 10 tahun 2016
yang mengatur mengenai Pemilihan Umum kepala daerah serentak
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan
Wakil Walikota, keduanya tidak mengatur tanggal atau hari spesifik
mengenai kapan harus diselenggarakan tahapan pemilu. Namun demikian,
undang-undang yang ada mengatur bentuk dan jenis tahapan
penyelenggaraan pemilu dan rentang waktu atau lamanya hari untuk
menyelenggarakan tahapan pemilu tersebut. UU Pemilu, misalnya,
mengatur mengenai rentang waktu tahapan sekaligus jenis tahapannya
sebagai berikut:3
1. Waktu Tahapan Penyelenggaraan Pemilu:
a. Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan
dengan keputusan KPU.4

2 Informasi lebih lanjut silahkan dilihat dalam link berikut: https://aceproject.org/ero-en/topics/elec-


toral-management/electoral%20cycle.JPG/view
3 Pasal 167 UU Pemilu.
4 Pasal 167 Ayat (2) UU Pemilu.

186 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


b. Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau
hari yang diliburkan secara Nasional;5
c. Pemungutan suara di luar negeri dapat dilaksanakan bersamaan atau
sebelum pemungutan suara di dalam negeri;6
d. Tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai paling lambat 20 bulan
sebelum hari pemungutan suara;7
e. Penetapan pasangan calon terpilih paling lambat 14 hari sebelum
berakhirnya masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.8

2. Jenis/Bentuk Tahapan Penyelenggaraan Pemilu:9


a. Perencanaan program dan anggaraan serta penyusunan peraturan
pelaksanaan penyelenggaraan pemilu;
b. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
c. Pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu;
d. Penetapan peserta pemilu;
e. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f. Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
g. Masa kampanye pemilu;
h. Masa tenang;
i. Pemungutan dan penghitungan suara;
j. Penetapan hasil pemilu;
k. Pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden serta Anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan dalam perundang-undang ini, KPU kemudian


mengatur waktu dan hari tahapan penyelenggaraan pemilu secara spesifik
ke dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) PKPU No. 7 Tahun 2019
tentang Perubahan Ketigas Atas PKPU No. 7 Tahun 2017 tentang Tahapan,
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019,
dengan pengaturan sebagai berikut:

5 Pasal 167 Ayat (3) UU Pemilu.


6 Pasal 167 Ayat (5) UU Pemilu.
7 Pasal 167 Ayat (6) UU Pemilu.
8 Pasal 167 Ayat (7) UU Pemilu.
9 Pasal 167 Ayat (4) UU Pemilu.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 187


1. Tahapan dan Penjadwalan Pemilihan Umum Tahun 2019 di Indonesia:
a. Perencanaan program dan anggaraan;
b. Penyusunan Peraturan KPU;
c. Sosialisasi;
d. Pendaftaran dan Verifikasi Peserta Pemilu;
e. Penyelesaian Sengketa Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;
f. Pembentukan Badan Penyelenggara;
g. Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih;
h. Penyusunan Daftar Pemilih di Luar Negeri;
i. Penataan dan Penetapan Daerah Pemilihan (Dapil);
j. Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota
dan Presiden dan Wakil Presiden;
k. Penyelesaian Sengketan Penetapan Pencalonan Anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Presiden dan Wakil
Presiden;
l. Logistik;
m. Kampanye Calon;
n. Laporan Audit Dana Kampanye;
o. Masa Tenang;
p. Pemungutan dan Penghitungan Suara;
q. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara;
r. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota;
s. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;
t. Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih tanpa Permohonan
Perselisihan Hasil Pemilu;
u. Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi;
v. Peresmian Anggota;
w. Pengucapan Sumpah/Janji;
x. Tahapan kedua Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila ada
putaran kedua;
y. Penetapan Hasil Pemilu;
z. Sumpah Janji dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.

Berbeda dengan tahapan pemilu serentak, UU Pilkada membagi tahapan


penyelenggaraan pemilu kedalam dua bentuk, yakni tahapan persiapan dan

188 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


tahapan penyelenggaraan. Secara spesifik, berikut adalah bentuk aktivitas-
aktivitas dari tahapan persiapan dan pelaksanaan tersebut:
1. Tahapan Persiapan, terdiri dari:
a. perencanaan program dan anggaran;
b. penyusunan peraturan penyelenggaraan pilkada;
c. perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan
jadwal tahapan pelaksanaan pilkada;
d. pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e. pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan
Pengawas TPS;
f. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pilkada;
g. penyerahan daftar penduduk potensial pilkada; dan
h. pemutakhiran dan penyusunan daftar pilkada.

2. Tahapan Penyelenggaraan, yang terdiri dari:


a. pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta
pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
b. pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota;
c. penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota;
d. penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon
Walikota dan Calon Wakil Walikota;
e. pelaksanaan Kampanye;
f. pelaksanaan pemungutan suara;
g. penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
h. penetapan calon terpilih;
i. penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
j. Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.

Di luar tahapan-tahapan tersebut, ada beberapa program dan aktivitas yang


sebenarnya dapat dilakukan secara berkelanjutan, seperti sosialisasi,
logistik, atau pemutakhiran data pemilih. Bahkan ketika semua tahapan

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 189


usai, penyelenggara pemilu dapat melakukan aktivitas kepemilikan lainnya
yang juga penting seperti pemutakhiran data pemilih dan penyebarluasan
hasil kepemilikan kepada publik. Dengan demikian, tahapan-tahapan ini
tidaklah sepenuhnya kaku dalam pelaksanaannya. Namun, baik UU Pemilu
maupun UU Pilkada keduanya mendelegasikan kewenangan untuk
mengatur waktu dan tahapan pemilu ke KPU melalui PKPU. Sementara itu,
aktivitas sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ataupun
evaluasi proses pelaksanaan pemilu tidak disertakan dalam tahapan akhir
pemilu bila merujuk pada UU ataupun PKPU.

Di samping itu, tahapan pemilu di Indonesia juga memiliki beberapa hal


yang menarik untuk disimak dan memiliki kaitan yang baik dengan proses
tahapan yang berjalan tersebut. Pertama, oleh karena masa periode
kepemimpinan KPU dan Bawaslu adalah 5 tahun, maka siklus pemilihan dan
penetapan para komisioner terpilih pun juga terjadi dalam tahun tertentu,
seperti periode waktu saat ini 2017-2022. Dalam periode tersebut, para
Anggota KPU dan Bawaslu dapat melaksanakan pemilu Nasional di tengah
periode yang berjalan seperti Pemilu 2019 saat ini. Kedua, siklus revisi dan
perbaikan pelaksanaan pemilu yang melibatkan DPR, Pemerintah dan
penyelenggara pemilu pun biasanya dilakukan sebelum penetapan Anggota
KPU dan Bawaslu yang baru terpilih. Oleh karena itu, kerapkali pelaksanaan
pemilu dilakukan secara mendadak karena pembentukan regulasi yang baru
pun baru selesai dilakukan. Ketiga, tahapan pemilu biasanya dapat dimulai
setelah adanya penghitungan mundur terhadap periode kekuasaan
Presiden RI yang selalui dimulai pada tanggal 20 Oktober. Untuk itu,
tahapan dan penjadwalan setiap kegiatan penyelenggaraan pemilu ditarik
mundur sejak tanggal mulainya masa kepemimpinan Presiden.

Selain itu, dalam tahapan pemilu di Indonesia ini dapat dikatakan bahwa
semua kegiatan sepenuhnya dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh
KPU sebagai regulator dan implementor kebijakan yang terkait dengan
Pemilu. Namun demikian, oleh karena Indonesia menganut kelembagaan
pemilu yang tidak tunggal, maka adapun yang dimaksud para
penyelenggara disini dalam beberapa hal juga mengikutsertakan Bawaslu
(Badan Pengawas Pemilu) dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu). Bawaslu memiliki peran sebagai pelaksana untuk pengawasan
berbagai kegiatan pemilu yang dilakukan oleh KPU dan dapat mengajukan
keberatan apabila ada hal-hal yang disengketakan oleh pihak lain. Selain itu,

190 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


DKPP adalah sebuah lembaga peradilan etik untuk memperhatikan kinerja
dan perilaku para komisioner KPU dan bawaslu dalam menjalankan
perannya. Kedua badan ini yang kemudian berinteraksi pula dengan KPU
dalam menjalankan tugasnya. Lebih detail tentang relasi antar lembaga
penyelenggara pemilu dapat dilihat di Bab 4.

D. Tahapan Persiapan Pemilu

Di tahap ini, KPU dituntut melakukan persiapan yang menyangkut dukungan


kelembagaan, seperti aturan hukum dan juga persiapan lain yang bersifat
teknis, seperti logistik. Tahap awal ini menjadi krusial bagi KPU karena
segala bentuk perencanaan, monitoring dan anggaran yang dibutuhkan
tentu menjadi mutlak dipersiapkan secara matang. Untuk itu, bagi KPU
tahapan ini menjadi titik awal dan kritis untuk menjadikan pemilu dengan
tujuan yang ingin dicapainya.

D.1. Pembentukan Regulasi

Tahapan ini adalah satu kegiatan dalam menafsirkan berbagai regulasi yang
tercantum di dalam UU Pemilu ke PKPU. Dalam tahapan pembentukan
regulasi, KPU diharuskan untuk menerjemahkan amanat UU Pemilu dalam
bentuk aturan dan regulasi yang bersifat teknis sebagai bagian dari
kerangka hukum pelaksanaan pemilu. Dalam praktiknya, selain
menerjamahkan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Pemilu,
KPU yang memiliki sifat independen dan mandiri tersebut juga menjalankan
fungsi quasi Legislatif. Fungsi tersebut adalah menerjemahkan norma
perundang-undangan secara lebih spesifik dalam rangka menghasilkan
kualitas penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Sebagai contoh, UU
Pemilu tidak mengatur mengenai sanksi diskualifikasi bagi Parpol peserta
pemilu yang tidak mampu memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam
daftar calon Anggota Legislatif. Namun, di dalam menginterprestasikan
Pasal 245 UU Pemilu mengenai keterwakilan perempuan paling sedikit 30
persen, KPU menerjemahkan pengaturan ini sebagai sebuah hal yang
mengikat dan wajib untuk dipenuhi dengan konsekuensi diskualifikasi.

Pada sisi lain, dalam rangka mendorong legitimasi terhadap PKPU sekaligus
menjalankan prinsip transparansi terutama untuk memperoleh masukan
terhadap rancangan PKPU, KPU selalu membuka ruang uji publik dengan

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 191


melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah, media, Parpol, ataupun
LSM, dan perorangan yang memiliki kompetensi dan pengalaman perihal
pemilu dan demokrasi. Adapun pelibatan yang dimaksud adalah sebagai
upaya untuk menampung berbagai pandangan yang memang berinteraksi
dan berkepentingan dalam pelaksanaan pemilu. Dalam hal ini, dengan
demikian, KPU melakukan terobosan baru dalam menyusun peraturan,
khususnya yang bersifat pedoman teknis tahapan pemilu, yaitu dengan
menyelenggarakan uji publik dan pembahasan penyusunan naskah
akademik. KPU mengambil terobosan tersebut sebagai upaya untuk
meningkatkan kepercayaan publik mengenai proses dan hasil
penyelenggaraan pemilu.

Selanjutnya regulasi ini menjadi sangat penting karena sebagai fondasi awal
agar setiap aktivitas yang dilakukan benar-benar telah memenuhi prinsip-
prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemilu, seperti independensi,
kesetaraan, jujur, dan adil. Apabila ada hal yang menyimpang dan tidak
sesuai dengan prinsip dan etika yang diberlakukan dalam penyelenggaraan
pemilu, maka tentu pelanggaran dan manipulasi terhadap proses pemilu
yang berlangsung akan dapat terjadi. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
KPU dan Bawaslu melakukan pertemuan terbuka dalam membahas
rancangan PKPU dalam setiap tahapan agar ada informasi awal, koreksi,
ataupun masukan dari setiap peraturan yang didiskusikan. Tujuannya jelas
bahwa para penyelenggara pemilu secara komprehensif dapat dan sudah
memahami peraturan yang ada dan memudahkan ruang gerak mereka
dalam pelaksanaan pemilu.

Menariknya, desakan atas penyampaian informasi publik yang telah diatur


dalam kebijakan pengaturan informasi publik telah mendorong KPU dan
berbagai lembaga penyelenggara pemilu lainnya untuk menyampaikan
aturan dan regulasi di dalam arsip kelembagaan mereka di masing-masing
laman resmi dari para penyelenggara pemilu. Dengan demikian, kelompok
masyarakat ataupun individu dapat dengan mudah mengakses berbagai
aturan dan regulasi yang terkait dengan tahapan pemilu yang berlangsung.

D.2. Perencanaan dan Anggaran Pemilu

Sebagai sebuah organisasi tentu KPU merasa perlu melakukan perencanaan


dalam menjalankan semua tahapan pemilu. Detail dalam perencanaan di

192 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


setiap kegiatan dan operasionalisasi semua kegiatan adalah bagian penting
yang harus tertuang dalam berbagai dokumen perencanaan KPU untuk
menyelenggarakan pemilu 5 tahun ataupun mengkoordinasikan
pelaksanaan Pilkada serentak tahun berikutnya. Dalam tahap ini tentu
menjadi penting pertimbangan yang disampaikan oleh pihak kementrian
terkait, seperti Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memperhatikan aspek
perencanaan dan penganggaran yang telah disediakan oleh pemerintah.
Untuk itu, dalam tahap ini, bagian revisi dan peninjauan ulang terhadap
kegiatan dan anggaran yang diperlukan menjadi mutlak dilakukan.

KPU merancang perencanaan strategis yang disesuaikan dengan tahapan


pemilu yang diatur dalam undang-undang pemilu ataupun undang-undang
pemilihan kepala daerah. Dari perencanaan strategis tersebut, ada alat ukur
dan basis data yang menjadi bahan rujukan untuk dijadikan pegangan dalam
pelaksanaan setiap tahapan ataupun kegiatan yang dilaksanakan. Selain itu,
tentu KPU dapat menyerap berbagai informasi terkini (baik Nasional
ataupun global) dalam mencermati perkembangan sosial dan politik yang
dapat mempengaruhi pelaksanaan pemilihan umum. Atas dasar
pertimbangan tersebut, perencanaan dapat berfungsi paling tidak tiga hal:
a. Identifikasi masalah, kekuatan dan kelemahan dari penyelenggaraan
pemilu;
b. Penentuan prioritas kunci dalam setiap tahapan ataupun kegiatan yang
tentu telah menjadi pertimbangan para komisioner;
c. Penentuan langkah-langkah yang efektif dan tentu realistis dalam
menyikapi berbagai kendala dan tantangan yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari sebuah perencanaan.

Lebih lanjut mengenai perencanaan, perencanaan strategis dan anggaran


penyelenggaraan pemilu dapat dilihat di Bab 6.

D.3. Rekrutmen Badan Penyelenggara Pemilu

Dalam tugasnya sebagai badan yang bersifat hierarkis dan tetap, KPU
memiliki tanggung jawab untuk menyusun dan membentuk organ
pelaksana yang bekerja di level Provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan
dan juga TPS. Untuk itu, KPU membedakan dua jenis kelompok badan
penyelenggara pemilu, yaitu yang bersifat tetap/permanen dan yang
BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 193
bersifat ad hoc (sementara). Badan penyelenggara yang bersifat tetap ada
di level Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan durasi waktu selama
5 tahun. Sementara badan yang bersifat ad hoc berada di level kecamatan,
kelurahan/desa dan TPS dengan durasi waktu pekerjaan yang bervariasi
antara satu tahun hingga beberapa hari pekerjaan sesuai dengan tahapan
pemilu yang melekat menjadi tugas badan ad hoc tersebut. Meskipun KPU
sudah menetapkan bahwa seorang anggota badan ad hoc tidak boleh
menjabat lebih dari dua kali, maka hal ini bukanlah mudah untuk merekrut
orang batu untuk menjadi Anggota KPPS, PPS dan PPK. Beban pekerjaan
badan ad hoc yang ternyata diluar dugaan dalam pemilu serentak 2019 ini
terlalu banyak, maka kebutuhan standar rekrutmen untuk badan ad hoc pun
dirasakan perlu didorong.

Untuk membentuk badan penyelenggara pemilu tersebut, KPU melakukan


pengaturan terkait dengan proses dan mekanisme seleksi penyelenggara
pemilu. UU Pemilu mengatur seleksi penyelenggara pemilu ke dalam empat
bentuk tahapan, yaitu:
1. Tahapan pendaftaran yang terdiri dari: pengumuman pendaftaran
melalui media massa, penerimaan pendaftaran, dan penelitian berkas
administrasi;
2. Tahapan seleksi yang terdiri dari: seleksi tertulis, tes psikologi, tes
kesehatan, dan wawancara;
3. Penetapan hasil seleksi oleh tim seleksi dengan jumlah dua kali dari
jumlah Anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang
dibutuhkan;
4. Uji kelayakan dan penetapan anggota penyelenggara pemilu terpilih
oleh KPU RI.

KPU melakukan aktivitas rekrutmen ini secara simultan manakala ada


Anggota komisioner di satu Provinsi atau kota yang sudah berakhir masa
jabatannya dan saat bersamaan harus ada pembentukan badan
penyelenggara ad hoc yang dilakukan secara bersamaan. Meski demikian,
yang menjadi catatan penting dalam tahapan rekrutmen adalah bagaimana
KPU dapat menghadirkan Anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota
dan petugas ad hoc yang memiliki integritas, bersikap profesional dan dapat
bekerja penuh di bawah tekanan. Hal ini perlu disampaikan manakala posisi
penyelenggara pemilu adalah tokoh sentral dalam pelaksanaan pemilu di
setiap level. Adanya pelanggaran ataupun kesuksesan penyelenggaraan
194 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU
yang disertai tanpa konflik dan situasi yang damai adalah sepenuhnya
tanggung jawab para penyelenggara pemilu dalam melakukan tugas dan
amanat yang penuh tantangan tersebut.

D.4. Sosialisasi

Aktivitas sosialisasi bertujuan untuk menyebarluaskan informasi terkait


pelaksanaan pemilu, informasi tentang peserta pemilu dan tawaran yang
mereka ingin sampaikan, dan aturan teknis dalam mencoblos kertas suara
dan menghitungan perolehan suara. Salah satu indikator kesuksesan dalam
melakukan sosialisasi adalah kehadiran pemilih dan melakukan
pencoblosan kertas suara di hari pemilu. Namun demikian, tentu KPU
mendesain strategi meraih dukungan publik dalam pelaksanaan pemilu dan
dapat mengidentifikasi dengan mudah kelompok sasaran utama dalam
kegiatan ini. Selain itu, KPU pun dapat mempertimbangkan aspek kearifan
lokal dalam menyampaikan materi sosialisasi kepada kelompok masyarakat
yang berbeda kultur dan kelompok sosialnya. Oleh karena itu, dalam
melakukan sosialisasi, KPU kerapkali mengikutsertakan kelompok
masyarakat dengan berbagai jenis aktivitasnya dan juga pemerintah daerah
demi menyebarluaskan informasi dasar dan awal tentang pemilu.

Untuk itu, kegiatan sosialisasi ini adalah salah satu ruang bagi KPU untuk
menggalang dukungan positif dalam menyukseskan penyelenggaraan
pemilu. Ruang sosialisasi ini adalah salah satu kunci sukses KPU dalam
pencapaian tingkat partisipasi pemilih yang selalu menjadi indikator penting
dalam pelaksanaan pemilu. Maka, dalam setiap kegiatan sosialisasi, para
komisioner dan para pejabat pendukungnya dapat memastikan interaksi
dalam penyampaian informasi kepemiluan tersebut apakah sesuai target
kelompok yang direncanakan dan bagaimana respon terhadap sosialisasi
tersebut. Ditambah pula dengan intensitas pertemuan dan kegiatan yang
lebih banyak maka tentu dukungan dari pemilih, peserta pemilu ataupun
media akan mudah diperoleh. Capaian target partisipasi pun adalah bukan
hal yang sulit dicapai manakala kolaborasi para stakeholder pemilu terjalin
dengan baik.

Melihat perubahan perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi media, maka


KPU melakukan kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih dengan
menyeimbangkan pemanfaatan media arus utama (mainstream) dan juga

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 195


media baru (new media). Semua satuan kerja (satker) didorong untuk
mengaktifkan akun media sosial, seperti twitter, instagram dan facebook.
Jenis media sosial itu wajib dimiliki oleh setiap KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota sebagai sarana untuk berdialog dengan masyarakat yang
hadir di ruang maya setiap saat. Pertimbangan KPU menggunakan jenis
media sosial tersebut karena jumlah penggunanya di Indonesia sangat
banyak.

KPU mendorong admin akun twitter KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
melakukan aktivitas re-tweet terhadap setiap kicauan KPU RI. Dengan cara
demikian, penyebaran informasi kepemiluan di jagat media sosial menjadi
lebih massif. Para komisioner secara pribadi lewat akun twitternya masing-
masing juga diminta terus berkicau untuk menyebarkan informasi pemilu
yang penting diketahui oleh publik. Namun pemanfaatan media sosial
terutama twitter dan facebook belum sepenuhnya direspon oleh daerah. KPU
juga memanfaatkan media youtube untuk memberikan tutorial pemilu
kepada penyelenggara pemilu di setiap level dan masyarakat umum. Simulasi
kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), pengisian formulir
penghitungan suara di TPS dan petunjuk teknis lainnya ditampilkan dalam
bentuk video yang mudah dipahami oleh semua orang (Rizkiyansyah 2017).

D.5. Logistik

Dalam soal mengatur tahapan mengenai logistik pemilu, KPU paling tidak
membagi kedalam dua bentuk, yaitu tahapan produksi logistik dan distribusi
logistik ke daerah-daerah. Pada tahapan produksi logistik perlu ada
identifikasi jenis dan kebutuhan yang disesuaikan dengan tahapan pemilu
karena setiap tahapan pemilu terdapat jenis logistik yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara
undang-undang pemilu mengatur secara spesifik logistik apa saja yang
dibutuhkan, seperti surat suara, kotak suara, bilik suara, alat pencoblos,
tinta, dan formulir penghitungan dan rekapitulasi serta alat kelengkapan di
TPS. Namun, untuk tahapan pendaftaran pemilih dan kampanye tentunya
diperlukan jenis dan bentuk logistik yang berbeda. Jika merujuk pada UU
Pemilu, terdapat beberapa jenis kampanye yang difasilitasi oleh anggaran
negara dan diatur oleh KPU. Artinya, KPU perlu mengatur logistik pada
tahapan kampanye ini yang disesuaikan dengan amanah undang-undang
yang ada seperti yang terlihat dalam gambar di bawah. Dengan demikian,

196 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


pengaturan produksi logistik pemilu disesuaikan dengan kebutuhan
tahapan yang ada.

Berkaitan dengan distribusi logistik pemilu, KPU dituntut untuk memetakan


pendistribusian logistik tepat waktu sesuai dengan tahapan pemilu yang
ada. Dalam konteks ini, pemilihan mode transportasi dengan pertimbangan
letak geografis daerah sangat penting dalam proses distribusi logistik,
termasuk kerjasama dengan instansi terkait dalam pelayanan kebutuhan
distribusi logistik, misalnya dengan TNI/Polri. Aktivitas logistik ini memang
tidak berhenti di titik persiapan pemilu maka ruang geraknya pun dapat
leluasa hingga tahapan selanjutnya. Oleh karenanya, dalam rangka
pengelolaan logistik yang optimal dan paripurna, penyelenggara dituntut
untuk memperhatikan aspek-aspek ketepatan dalam logistik yakni Tepat
Kualitas, Tepat Waktu, Tepat Jumlah, dan Tepat Sasaran.

Gambar 5.2. Tahapan Pengadaan Logistik Pemilu 2019

D.6. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya

Berdasarkan uraian tentang tahapan persiapan di atas, ada banyak


tantangan dan hambatan yang biasanya dialami oleh para penyelenggara
pemilu baik di tingkat Nasional ataupun lokal. Namun demikian, tentu saja
ada banyak cara juga dalam rangka mengatasi beragai hambatan atau

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 197


tantangan tersebut. Berikut ini adalah contoh-contoh tantangan atau
hambatan beserta cara mengatasinya untuk setiap tahapan.

Tabel 5.1. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya


Di Tahap Persiapan Pemilu
Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
Regulasi dan peraturan pendukung teknis
1. Regulasi banyak yang tidak 1. UU mengatur secara detail dan
mengatur secara detail pada level komprehensif norma
norma, padahal norma harusnya di penyelenggaraan pemilu.
atur di level UU 2. PKPU dan pedoman teknis lainnya
2. Di tingkatan lapangan, banyak yang mengatur detail aspek-aspek teknis
belum di atur secara detail berbagai di lapangan.
aspek tentang teknis penyenggaran
pemilu.
Perencanaan dan anggaran
1. Perencanaan yang dibuat tidak 1. Sinkronisasi antara perencanaan,
komprehensif dan tidak mengacu perencanaan strategis dan
pada renstra yang ada. perencanaan operasional, sehingga
2. Perencanaan operasional yang telah sesuai dengan aspek
dirancang kadangkala tidak sesuai penyelenggaraan yang akuntabel.
dengan implementasi. 2. Anggaran di sesuaikan dengan
3. Anggaran tidak sesuai dengan kebutuhan secara detail dan
kebutuhan (management by proporsional
objective) 3. Sinkronisasi pemahaman anggaran
4. Pemahaman teknis anggaran pemilu antar instansi/Lembaga dan
penyelenggaraan yang tidak sinkron dibentuk forum khusus terkait
antara kebutuhan Penyelenggara dengan sinkronisasi anggaran.
Pemilu dengan instansi terkait,
seperti DPR Bappenas, dan
Kemenkeu.
5. Proporsionalitas anggaran di tingkat
pusat dan 514 kab/kota serta 34
Provinsi.
Rekrutmen Penyelenggara Pemilu
1. Rekruitmen yang tidak 1. Tahapan rekruitmen seleksi
memperhatikan aspek tahapan Anggota KPU di daerah disesuaikan
keserentakan penyelenggaraan dengan tahapan seleksi Anggota
pemilu KPU.
2. Regulasi dan implementasi yang 2. Regulasi yang tidak bertabrakan
berbeda antara norma dan implementasi

198 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
3. SOP dan Rekruitmen Tim seleksi 3. Perlunya rekruitmen tim seleksi
yang tidak sinkron dengan harapan yang ketat
penyelenggara yang berintegritas 4. Perlunya SOP yang jelas agar
dan professional. pelaksanaan seleksi benar-benar
4. Transparansi seleksi dan pelibatan sesuai yang diharapkan.
public yang luas 5. Transparansi dan pelibatan public
5. Afirmative action dalam seleksi yang luas dalam proses seleksi,
penyelenggara pemilu sehingga menghasilkan
penyelenggara yang mempunyai
track record yang baik.
Sosialisasi
1. Anggaran yang tidak memadai 1. Perlu inovasi strategi sosialisasi baik
2. Inovasi strategi sosialisasi yang yang above the line, below the line
kurang dan strategi jejaring.
3. Pemetaan daerah yang belum 2. Kerjasama antar Lembaga termasuk
optimal sebagai target grup dengan pihak swasta untuk
sosialisasi optimalisasi sosialisasi secara
4. Kerjasama dan hubungan antar massif.
Lembaga yang kurang dioptimalkan 3. Optimalisasi pada kelompok-
dalam mengimplementasikan kelompok rentan.
sinergitas aktifitas sosialisasi 4. Pemahaman tingkat partisipasi
5. Sosialisasi yang tidak dibarengi pemilih dan pemetaan daerah
dengan Pendidikan pemilih yang menjadi penting untuk penentuan
memadai bagi masyarakat strategi sosialisasi yang dilakukan.
khusus/kelompok rentan (pemilih 5. Anggaran yang mendukung,
pemula, marginal, disabilitas, suku sehingga sosialisasi berjalan secara
terasing, dll) massif, terstruktur dan sistematis
menjangkau seluruh lapisan
masyarakat
Logistik
1. Pengelolaan data kebutuhan & 1. Logistic yang tepat jumlah, tepat
anggaran logistik yang belum sesuai waktu dan tepat sasaran serta tepat
kebutuhan (RAB) kualitas.
2. Kebutuhan logistic yang tidak sesuai 2. Kualiti control yang baik dalam
dengan kondisi lapangan. penyelenggaraan logistic.
3. Distribusi logistic yang lambat 3. Distribusi tepat waktu dan
4. Banyak logistic yang tidak tepat berkoordinasi juga dengan Lembaga
jumlah, tepat waktu, tepat kualitas terkait seperti TNI apabila ada
5. Gudang logistic yang tidak memadai daerah-daerah yang tidak
6. Kurangnya pemetaan daerah untuk terjangkau dengan moda
pendistribusian dan keamanan transportasi konvensional.
logistic. 4. Gudang logistic yang memadai,
bebas dari banjir dan terjangkau.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 199


Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
5. Pengelolaan data kebutuhan &
anggaran logistik sesuai kebutuhan
(RAB)
6. Pengadaan logistik sesuai peraturan
perundangan yang berlaku
7. Pemeliharaan logistik sesuai sop

E. Tahapan Pelaksanaan Pemilu

Tahapan ini merupakan yang paling penting dalam pemilu karena semua
kegiatan inti dalam pemilu berada dalam tahapan ini yang terdiri dari
rangkaian kegiatan yang berjalan bersamaan. Para penyelenggara dan
peserta pemilu pun juga memperhatikan secara serius detail dan peristiwa
yang terjadi dalam tahapan ini. Hal yang paling krusial adalah kepastian
adanya partisipasi pemilih menyangkut hak memilihnya dan keadilan dalam
perlakuan terhadap peserta pemilu dalam menjalankan peran untuk
mempengaruhi pemilih. Untuk itu, prinsip kemandirian dan ketegasan yang
dimiliki oleh KPU tentu dapat disampaikan dalam berbagai sikap dan
kebijakan yang disampaikan kepada pemilih, peserta pemilu dan juga para
pihak yang terlibat dalam pemilu. Hal ini perlu menjadi perhatian karena
peserta pemilu merasa perlu untuk mencari cara untuk mengumpulkan
dukungan suara pemilih sebanyak mungkin. Dalam konteks itu dapat kita
pahami bahwa pelanggaran dan manipulasi sering terjadi manakala adanya
desakan yang kuat untuk melakukan segala cara untuk memenangkan kursi
dalam pemilu.

E.1. Pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap

Berdasarkan PKPU No.11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di


dalam Negeri dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum, pemutakhiran daftar
pemilih merupakan serangkaian kegiatan dalam pembaharuan data pemilih
yang berasal dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari pemilu terakhir untuk
kemudian dicocokkan dan diteliti dengan Daftar Penduduk Potensial
Pemilih Pemilu (DP4) yang disiapkan oleh Ditjen. Kependudukan dan
Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Untuk itu, KPU melakukan tugas
ini bersama KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan juga Petugas

200 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Sebagai ujung tombak dalam
pemutakhiran data pemilih, Pantarlih melakukan pencocokan dan
penelitian (coklit) kepada setiap pemilih dengan berkoordinasi dengan
Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Ketua Rukun Warga (RW) di masing-masing
kelurahan dan desa. Paling tidak, Pantarlih memiliki tiga tugas, yaitu:
1. memastikan nama pemilih yang sudah ada di dalam daftar pemilih;
2. melakukan pencoretan nama pemilih yang diketahui telah melakukan
mutasi karena pindah alamat atau meninggal; dan
3. memastikan nama pemilih yang telah memenuhi syarat sesuai regulasi
telah masuk dan terdaftar.

Selanjutnya, PPS dan PPK diminta melakukan rapat pleno rekapitulasi


pemutakhiran data pemilih secara terpisah dan berjenjang untuk kemudian
diserahkan kepada KPU Kabupaten/Kota. KPU Kabupaten/Kota diharapkan
dapat menyelesaikan pemutakhiran data pemilih dalam kurun waktu tiga
bulan setelah DP4 diterima dengan menetapkan rekapitulasi data pemilih
tersebut menjadi DPT. Keterlibatan pemerintah daerah (dinas
kependudukan dan catatan sipil), peserta pemilu, ataupun Bawaslu adalah
penting untuk mendapatkan proses masukan apabila ada kesalahan data.
Setelahnya, KPU Provinsi dan dilanjutkan oleh KPU RI secara berjenjang pun
menetapkan hasil rekapitulasi daftar pemilih di tingkat Nasional.

Di samping itu, KPU juga melakukan dua hal yang terkait pemutakhiran data
pemilih yaitu Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus
(DPK). DPTb menjangkau pemilih dengan beberapa kondisi dan keadaan
tertentu sehingga pemilih tidak dimungkinkan dapat memilih di TPS yang
telah ditentukan. Untuk menjadi pemilih yang masuk dalam DPTb, maka
seorang pemilih harus mengurus perpindahan TPS tersebut yang dimulai
sejak tiga puluh hari sebelum hari pemilihan. Sementara itu, pemilih yang
masuk dalam DPK adalah yang memang tidak masuk dalam kategori DPT
dan DPTb, namun yang bersangkutan tetap dapat menggunakan hak
pilihnya dengan membuktikan KTP elektronik yang dimilikinya.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 201


202
Gambar 5.3. Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


Sumber : website KPU Kota Jakarta Utara
Pemutakhiran daftar pemilih menjadi penting karena menyangkut
kepastian hak pilih yang dimiliki oleh pemilih tersebut dapat digunakan
semestinya. Hak pilih yang dijamin oleh UUD 1945 menyebutkan bahwa
seseorang apabila sudah berusia di atas 17 tahun dan atau sudah menikah,
maka sudah mendapat hak pilih yang sah untuk mengikuti pemilu. Namun
demikian, pencatatan data kependudukan di Indonesia yang masih belum
rapi dan membutuhkan waktu yang cukup dalam mengintegrasikan data
tersebut bagi kepentingan Nasional masih menjadi isu krusial dan strategis.
Untuk itu, respon KPU dan kerja yang sinergi dengan Ditjen. Kependudukan
dan Catatan Sipil dan juga pemerintah daerah adalah hal yang perlu
diperhatikan secara serius (Perludem 2012). Di samping itu, posisi dan sikap
KPU untuk selalu terbuka dan tetap memegang prinsip kemandirian dalam
menerima berbagai perkembangan data kependudukan tersebut juga perlu
diperkuat karena data pemilih menjadi isu penting juga bagi peserta pemilu
dalam pemetaan dukungan terhadap mereka.

Dalam menyediakan data pemilih, KPU juga diwajibkan menggunakan


sistem informasi data pemilih yang terintegrasi dengan sistem informasi
administrasi kependudukan. Penggunaan sistem informasi ini akan
membantu KPU menyediakan data pemilih yang akurat, mutakhir dan
komprehenship. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena melibatkan pantarlih
yang jumlahnya ratusan ribu, membutuhkan koordinasi dengan instansi
pemerintah, penyediaan sistem informasi yang handal dan dapat
dioperasikan personel penyelenggara di setiap tingkatan.

Selain itu menjaga hak konstitusional warga bukan sekadar memfasilitasi


mereka terdaftar pada DPT dan dapat menggunakan hak pilihnya dengan
baik. Yang tidak kalah penting memastikan pilihan dari setiap pemilih
terhitung dan tercatat sesuai aslinya. Otentisitas suara pemilih benar-benar
terjamin. Hasil penghitungan dan rekapitulasi suara benar-benar
menggambarkan kehendak rakyat yang genuine atau asli, kredibel dan
terbebas dari segala bentuk distorsi.

E.2. Pencalonan

Secara umum, terdapat enam jenis pencalonan yang berbeda untuk


diperhatikan yang juga disinggung dalam Bab 4. Pertama, pendaftaran
peserta pemilu Legislatif, dalam hal ini Parpol. Kedua, pendaftaran calon
Anggota Legislatif di tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 203


dipersiapkan oleh Parpol di setiap tingkatan yang berbeda. Ketiga,
pendaftaran dan pencalonan Anggota DPD di setiap tingkat Provinsi.
Keempat, pendaftaran dan pencalonan pilpres. Kelima, pendaftaran dan
pencalonan pilkada.

Dalam pendaftaran Parpol, sebuah Parpol dapat mendaftar sebagai peserta


pemilu setelah memenuhi berbagai persyaratan dalam PKPU No. 11 Tahun
2017. Setelah proses pendaftaran, KPU akan melakukan penelitian
administrasi dan melakukan verifikasi faktual terhadap Parpol berdasarkan
data-data yang disampaikan dalam Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL)
dan juga berkas pendaftaran asli. Dalam melakukan verifikasi faktual
tersebut, KPU dapat mengecek kebenaran berbagai dokumen pendukung,
perwakilan pengurus yang diharuskan UU (seperti keterwakilan perempuan
30 persen) ataupun kantor partai yang dapat dilihat secara fisik. Setelah itu
proses penetapan pun dilakukan. Penetapan peserta pemilu untuk Parpol
adalah menjadi penting dalam tahapan kegiatan pencalonan Anggota DPR
dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dalam pencalonan Anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota,


setiap partai di semua tingkatan benar-benar harus memperhatikan
berbagai syarat penting semisal pemenuhan jumlah bakal calon sebanyak
maksimal 100 persen dari kursi yang telah ditetapkan di setiap dapil dan
juga persyaratan pencalonan keterwakilan perempuan minimal sebanyak
30 persen dengan posisi zipper yang telah ditetapkan oleh UU Pemilu.
Apabila ketentuan-ketentuan terkait pencalonan tersebut diabaikan, maka
KPU mempersilahkan untuk adanya perbaikan. Namun apabila tidak
digubris, maka KPU dapat dan berhak untuk membatalkan pencalonan
partai tersebut di dapil tertentu. Secara khusus, dalam Pemilu 2019, ada
ketentuan pencalonan yang terkait dengan kasus korupsi dan tindakan yang
tidak terpuji lainnya sebagai salah satu syarat yang memberatkan bagi
calon. KPU dalam konteks ini pun terlihat tidak ada kompromi.

Sementara itu, dalam pencalonan DPD, persyaratan calon perseorangan ini


yang kemudian menjadi perhatian khusus bagi KPU Provinsi. Salah satu isu
utamanya adalah bagaimana KPU harus mampu memverifikasi sampling 10
persen dari bukti dukungan yang dilampirkan oleh bakal calon yang ada
disesuaikan dengan jumlah syarat minimum yang ditentukan. Di samping
juga, berbagai persyaratan administratif yang harus dicek keasliannya
seperti ijazah kelulusan dan sebagainya.
204 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU
Terakhir, dalam pencalonan lembaga eksekutif, pilpres dan pilkada, salah
satu isu utama yang biasanya muncul adalah terkait dengan verifikasi
dukungan koalisi Parpol terhadap Calon. Dalam Pilkada, manakala ada satu
Parpol mengalami dualisme kepengurusan baik itu di pusat ataupun di
daerah, akan tentu merepotkan bagi para penyelenggara pemilu dalam
mengambil keputusan untuk mengklarifikasi dan kemudian menetapkan
calon tersebut apabila semua persyaratan telah memenuhi. Sementara,
untuk Pilpres, tidak demikian. Hanya saja dalam pencalonan di kedua
pemilihan lembaga eksekutif ini, ada sebuah kecenderungan yang berulang
bahwa para calon dapat dipastikan pencalonan resmi dari koalisi partai
pendukungnya pada saat detik-detik terakhir pendaftaran yang dipenuhi
dengan suasana drama politik. Sehingga, meskipun proses pendaftaran
dibuka selama waktu tertentu, namun pada kenyataannya penentuan
pencalonan ada di hari terakhir waktu pendaftaran.

Oleh karena itu, dalam kegiatan pencalonan, ada beberapa aspek yang
diperhatikan. Pertama, proses pendaftaran untuk mencalonkan peserta
pemilu, salah satunya adalah peran petugas penghubung dari Parpol atau
leassion officer (LO) dalam menyampaikan informasi terkait syarat
pencalonan dan syarat calon kepada Parpol dan bakal calon Anggota DPR
belum maksimal. Akibatnya para calon masih mendatangi helpdesk KPU
untuk menanyakan informasi terkait pemenuhan persyaratan calon
tersebut. Padahal, sejak awal sudah diatur mekanisme penyampaian
informasi dari KPU ke LO dan selanjutnya dari LO ke Parpol. Para calon tidak
diperbolehkan berkomunikasi langsung dengan helpdesk demi efektifitas
dan efesiensi kerja. Selain itu adalah kendala pada rekruitmen politik di
Partai Politik. Hal ini menunjukkan Parpol memiliki kendala dalam
melakukan rekrutmen Calon untuk dinominasikan menjadi calon.
Penjaringan calon seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum
tahap pencalonan dibuka sehingga proses pendaftaran caleg oleh partai ke
KPU dapat dilakukan lebih awal.

Kedua, verifikasi proses pendaftaran yang meliputi persoalan administrasi


yang diminta oleh UU ataupun verifikasi faktual dalam rangka mengecek
kehadiran dan bukti yang memang sama dengan apa yang disampaikan oleh
para peserta pemilu. Selain itu, Parpol kurang cermat dalam penyusunan
komposisi caleg yang harus memperhatikan komposisi 30 persen
perempuan dalam setiap dapil dan setiap tiga caleg harus terdapat satu
orang perempuan.
BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 205
Ketiga, penetapan pencalonan pun juga menjadi penting diperhatikan
manakala ada keputusan menerima atau menolak pencalonan yang dapat
berimplikasi terhadap dukungan politik yang dipersiapkan oleh peserta
pemilu. Keempat, sengketa hasil penetapan pencalonan yang
memungkinkan KPU untuk merubah keputusan yang dibuat setelah
mendapat koreksi dan masukan dari Bawaslu.

Di samping keempat aspek yang dapat menjadi perhatian para


penyelenggara, hal yang juga krusial adalah menyangkut pencalonan
independen untuk Pilkada dan Pemilu DPD, dimana ada kebutuhan aktifitas
verifikasi yang rumit terhadap para pemilih yang telah menyatakan
dukungan politiknya. Untuk itu, dalam kegiatan pencalonan ini prinsip
kemandirian menjadi perlu dijaga dengan hati-hati karena tindakan yang
kurang berkenan dan tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku dapat
menjadi bukti dalam pengajuan sengketa proses pencalonan

Gambar 5.4. Pendaftaran dan Verifikasi Calon Anggota DPR dan DPRD
Pemilu 2019

Sumber: KPU RI

206 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


E.3. Masa Kampanye

Kegiatan pada masa kampanye juga merupakan tahapan yang krusial


karena melibatkan banyak kepentingan yaitu pemilih, peserta pemilu,
Pemerintah (aparat keamanan dan juga birokrasi), media, ataupun
pengusaha/pebisnis. Dari kacamata para pihak yang berkepentingan ini,
kampanye ingin menampilkan satu hal yang penting yaitu menyangkut apa
dan bagaimana para peserta pemilu menawarkan program/aktivitas atau
pandangan dalam melihat berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, dan
budaya di daerah pemilihan tersebut. Untuk itu, tentu para pemilih merasa
punya hak mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang tawaran yang
ingin disampaikan oleh peserta pemilu. Peserta pemilu juga merasa
berkewajiban dalam menjual program dan gagasan yang dimiliki untuk
dapat menjangkau pemilih tersebut. Sementara itu, posisi pemerintah pun
juga harus mampu menjamin kehidupan sosial bermasyarakat dapat
berjalan dengan baik tanpa gangguan keamanan dan potensi konflik yang
diakibatkan oleh perbedaan pandangan dalam pemilu tersebut. Media juga
merasa perlu menjadi penengah dalam penyebarluasan informasi yang
disampaikan oleh peserta pemilu secara adil, menyampaikan pesan dan
himbauan pemerintah untuk menjaga pemilu dalam koridor yang damai,
dan juga membantu para penyelenggara dalam menyediakan fasilitas dan
sarana untuk mendukung sosialisasi dan penyebarluasan informasi
tersebut. Di samping itu, para pengusaha/pebisnis juga memiliki perhatian
terhadap tawaran dan kepastian perekonomian yang dapat
menguntungkan kehidupan usaha mereka dari para peserta pemilu. Tentu
dalam konteks kampanye yang beradu gagasan dan berpeluang terciptanya
gangguan keamanan, para pengusah tersebut punya perhatian terhadap
jaminan keamanan dalam berusaha mereka.

Secara umum, pada masa kampanye, para penyelenggara pemilu


memperhatikan dua aspek krusial seperti pengorganisasi kampanye yang
dilakukan oleh peserta pemilu dan pengaturan dan pembatasan kampanye
yang dilakukan oleh KPU dan diawasi oleh Bawaslu. Dimana kedua hal
tersebut telah diatur secara rinci dalam peraturan KPU. Bahkan dalam
pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu, pengaturan terkait Kampanye Pilpres
dan Pileg pun dibedakan secara teknis seperti pengaturan jadwal, materi,
ataupun penempatan lokasi dan jenis alat kampanye yang diperbolehkan.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 207


Namun demikian, UU Pemilu maupun UU Pilkada menjelaskan secara
terperinci mengenai metode kampanye berikut lama waktu
pelaksanaannya. Sebagai contoh, UU Pemilu mengatur bentuk kampanye
antara lain sebagai berikut:10
1. Pertemuan terbatas;
2. Pertemuan tatap muka;
3. Penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum;
4. Pemasangan alat peraga di tempat umum;
5. Media sosial;
6. Iklan media massa cetak, media massa elektronik, dan internet;
7. Rapat umum;
8. Debat pasangan calon;
9. Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan
ketentuan perundang-undangan.

Sembilan jenis kampanye ini diatur rentang waktunya secara spesifik.


Khusus pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebarahan bahan
kampanye, dan pemasangan alat peraga dapat dilakukan tiga hari setelah
ditetapkan daftar calon. Sedangkan kampanye media sosial, iklan media
massa cetak, media massa elektronik, internet, rapat umum, dan debat
pasangan calon, dilaksanakan 21 hari dan berakhir di masa tenang. Namun,
keduanya harus berakhir di masa tenang.

Peserta pemilu, dalam hal ini baik itu calon perseorangan, Parpol ataupun
calon yang diusung oleh Parpol, memiliki kewajiban untuk menyampaikan
materi kampanyenya kepada pemilih dalam ruang yang sudah disepakati.
Setiap peserta pemilu tentu diminta untuk menyampaikan daftar tim
kampanye dengan berbagai perangkat yang dimilikinya, termasuk dalam hal
ini akun-akun di media sosial. Pengaturan jadwal kampanye pun
diperhatikan oleh seksama oleh para penyelenggara pemilu agar tidak
saling bentrok dan tumpang tindih di titik lokasi yang sama yang nantinya
berpotensi menimbulkan konflik. Materi kampanye yang disampaikan oleh
peserta pemilu pun juga disampaikan dengan program yang detail sebagai
bahan pertimbangan bagi pemilih. Namun belakangan, peserta pemilu lebih
memilih metode pertemuan yang langsung dengan berinteraksi kepada
pemilu dalam ruang lingkup yang kecil ketimbang pertemuan akbar dan

10 Pasal 275 UU Pemilu.

208 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


besar. Konsekuensinya, para penyelenggara dituntut untuk lebih aktif
dalam memonitor pergerakan tim kampanye.

Sementara itu, penyelenggara pun telah mengatur sangat rigid dan detail
apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan selama masa
kampanye. Baik itu pengaturan khusus kepada aparat keamanan dan ASN
untuk tidak menunjukkan keberpihakan kepada peserta pemilu hingga
pengaturan penempatan lokasi baliho serta debat calon yang tentu harus
mendapat kesepakatan dengan peserta pemilu. Belakangan, oleh karena
maraknya kampanye di dunia digital melalui platform media sosial, para
penyelenggara pun benar-benar memperhatikan dan memonitor
percakapan dan transfer data yang melewati platform tersebut. Namun
demikian, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat
mendorong model kampanye pun tengah berubah dan bergeser ke dunia
maya. Meskipun dalam konteks pemilu di Indonesia masih menempatkan
bentuk kampanye face to face dan sosialisasi secara langsung, namun ada
kecenderungan sosialisasi dalam dunia maya pun tengah digencarkan untuk
menjangkau karakter pemilih yang dapat memanfaatkan sarana sosial
media dalam kehidupan sehari-harinya.

Gambar 5.5. Metode dan Kampanye Pemilu 2019

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 209


Laporan Dana Kampanye
Peserta pemilu memiliki kewajiban untuk menyampaikan pelaporan dana
kampanye yang digunakan secara rinci. Tujuan pelaporan dana kampanye
ini tentu untuk meminta pertanggung jawaban kepada publik atas
dukungan yang diperolehnya dalam menggerakan tim dan organ partainya
untuk meraih simpati pemilih. Aspek transparansi dan akuntabilitas
merupakan prinsip mendasar yang ingin dituangkan dalam laporan dana
kampanye tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Sukmajati dan Perdana
(2018), laporan pembiayaan kampanye terbagi dalam tiga hal yakni:
penerimaan, pengelolaan dan pengeluaran. Dimana ketiga poin tersebut
sebenarnya telah dikembangkan menjadi: pertama, pelaporan dana awal
kampanye (sumbangan awal) dalam bentuk Laporan Awal Dana Kampanye
(LADK); kedua, pelaporan dalam pengelolaan anggaran dan dana yang
digunakan selama masa tengah kampanye dalam bentuk Laporan
Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK); dan terakhir pelaporan
akhir dana kampanye yang bersifat final dalam menjelaskan jumlah
pendapatan dan pengeluaran dari peserta pemilu secara detail dalam
bentuk Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).

Oleh karena itu, KPU telah meminta peserta pemilu melaporkan secara jelas
nomor rekening yang digunakan, detail sumber pendapatan dan
penggunaan anggaran yang telah disesuaikan dengan peraturan yang
berlaku. Kepatuhan pelaporan ini menjadi hal penting dilakukan dalam
tahapan itu. Setelahnya, KPU akan meminta Kantor Akuntan Publik (KAP)
independen yang ditunjuk KPU melakukan verifikasi data pelaporan dari
KPU untuk dilihat lebih jauh tentang kesamaan dan perbedaan dari laporan
yang disampaikan tersebut. Oleh karena itu, peran KPU dalam mengawal
pelaporan dana kampanye menjadi penting demi memastikan bahwa setiap
peserta pemilu dapat menyampaikan kewajiban dalam pelaporan tersebut
dengan baik.

210 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


Gambar 5.6. Jenis Dana Kampanye Pemilu 2019

Sumber: Netgrit, 2019

Di samping itu, untuk menunjang pelaporan dana kampanye, KPU telah


mengatur tiga hal penting terkait dana kampanye di semua bentuk
pemilihan yakni sumber pendanaan, bentuk pendanaan, dan pembatasan.
Sumber pendanaan dapat berasal dari peserta pemilu sendiri (baik itu
Parpol ataupun calon), perseorangan (individual), dan kelompok ataupun
perusahaan. Sementara itu, bentuk pendanaan dapat berupa uang, barang
dan jasa. Sehingga, setiap pihak yang ingin menyampaikan bentuk
dukungan pendanaan dapat berupa bentuk material ataupun non material.
Dari sisi pembatasan, setiap peserta pemilu boleh dan diperkenankan untuk
menerima material dengan jumlah dan batasan maksimal yang ditentukan.
Sebagai contoh, dana perseorangan dan dana perusahaan tentu jumlah
pembatasan yang berbeda untuk dukungan calon presiden/wakil presiden
ataupun untuk caleg.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 211


Gambar 5.7. Laporan Dana Kampanye Pemilu 2019

Sumber: Netgrit, 2019

E.4. Pemungutan dan Penghitungan suara

Dalam pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara ini, peran


penyelenggara pemilu yakni KPU menjadi sangat krusial karena interaksi
paling penting dan penentuan di hari pelaksanaan inilah yang ditunggu oleh
banyak pihak. Pada hari pemungutan suara dan penghitungan suara,
peserta pemilu menunggu hasil pemilihan, pemilih menunggu kepastian
tentang calon yang yang didukungnya, penyelenggara memastikan semua
kegiatan di hari tersebut berjalan dengan sesuai perencanaan, ataupun
media berharap ada banyak cerita dan dinamika menarik dari hasil pemilu
yang dapat tergambarkan di hari tersebut. Untuk itu, penjelasan kegiatan di
tahapan ini terbagi dua, yakni pemungutan suara di setiap TPS dan
penghitungan suara yang dimulai dari TPS hingga tingkat Nasional (untuk
pemilu Nasional) ataupun tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota (untuk
Pilkada).

Dalam tahapan pemungutan suara, hal krusial menjadi penyelenggara


pemilu di semua tingkatan adalah kesiapan logistik pemilihan untuk semua
item yang diperlukan pada hari pelaksanaan. Oleh karena itu, sebelum hari
pelaksanaan, penyelenggara pemilu dari tingkat Nasional hingga TPS harus
dapat memastikan kesediaan tersebut di lokasi TPS dengan baik. Di samping

212 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


itu, setiap petugas TPS pun dapat memastikan kepastian dari kehadiran
para pihak yang berkepentingan dalam pemungutan dan penghitungan
suara yakni para saksi peserta pemilu dan pengawas TPS. Hal lain yang juga
krusial dapat dilakukan sebelum hari pelaksanaan pemilu adalah
memastikan bahwa pemilih telah mendapat surat undangan memilih (C-6)
dengan baik dan menyiapkan apabila ada permintaan perpindahaan pemilih
yang hendak memilih di TPS tersebut.

Gambar 5.8. Lini Masa Tahapan Pemungutan Suara Hingga Pelantikan


Pemilu 2019

Sumber: Netgrit, 2019

Dalam pelaksanaan pemungutan suara, situasi yang krusial dan perlu


mendapat perhatian para penyelenggara di tingkat TPS adalah pemahaman
yang detail dan komprehensif terkait dengan urutan dan tata cara
pencoblosan yang dilakukan oleh pemilih. Di samping itu, pemahaman yang
baik juga perlu dimiliki oleh pemilih dari setiap runtutan tata cara tersebut
agar bisa dilakukan secara tertib. Untuk mencapai kondisi yang ideal
tersebut, tentu KPU Nasional ataupun di bawahnya dapat memastikan
bahwa segala hal teknis terkait tata cara pemungutan suara dapat
dimengerti dengan baik oleh seluruh petugas KPPS melalui bimbingan
teknis yang komprehensif dan melibatkan seluruh petugas KPPS.

Secara khusus, dalam pemungutan suara di luar negeri yang berbeda, para
penyelenggara dan pemilih di TPS pun juga memerlukan pemahaman yang
sama. Pemungutan suara di luar negeri dilakukan dengan tiga cara yang
berbeda yaitu mencoblos di tempat TPS yang telah disediakan oleh Panitia
Pemilihan Luar Negeri (PPLN), melalui pos dengan mengirimkan surat suara

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 213


yang telah dicoblos kepada panitia, dan Kotak Suara Keliling (KSK). Namun,
di beberapa wilayah dengan jumlah Warga Negara Indonesia (WNI) yang
besar, pilihan ketiga ditempuh oleh PPLN dengan mendatangi kantong-
kantong wilayah di mana WNI banyak berkumpul.

Sementara itu, dalam tahapan selanjutnya yakni penghitungan suara di TPS,


setiap petugas KPPS dapat memastikan bahwa jumlah surat suara dan
formulir-formulir yang ada telah dihitung secara cermat dan tepat dari
berbagai jenis pemilihan yang ada. Dalam pengalaman Pemilu Serentak
2019 lalu, ada lima jenis pemilihan yang dihitung secara berurutan dengan
menyita waktu yang banyak dan melelahkan para petugas KPPS. namun
tentu akan berbeda dengan Pilkada yang akan cepat karena hanya satu
pemilihan. Hal penting yang biasanya perlu disikapi secara serius oleh para
petugas KPPS adalah:
1. memastikan logistik tersedia dengan tepat jumlah dan tepat kualitas;
2. memastikan pemilih dapat menggunakan hak pilihnya sesuai dengan
aturan yang ada serta memastikan pemilih sesuai dengan daftar
pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb) dan daftar pemilih
khusus (DPK); memastikan surat suara yang berada di dalam kotak
suara adalah sama persis angkanya dengan sebelum dimulai
pencoblosan;
3. menghitung perolehan suara di tempat yang terang benderang dan
dapat dilihat oleh semua pihak, termasuk para pemilih;
4. mencermati setiap titik coblosan dalam sebuah surat suara yang dapat
berpotensi adanya perselisihan pemahaman akan makna sah atau
tidaknya suara;
5. dalam penghitungan suara pun juga perlu dilakukan secara hati-hati
apalagi terkait jumlah yang memang diperuntukan para calon ataupun
Parpol di pemilu Legislatif;
6. dalam mengesahkan perolehan suara di TPS, para petugas KPPS dapat
memastikan bahwa penghitungan yang dilakukan olehnya adalah
memiliki jumlah dan angka yang sama persis dengan apa yang juga
dimiliki oleh para saksi peserta pemilu dan pengawas TPS; dan
7. memastikan hasil penghitungan suara yang dituangkan dalam C1 Plano
sesuai dan benar dengan yang dituliskan dalam berita acara dan Salinan
C1.

214 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


KPU yang diberi mandat oleh Undang Undang Dasar 1945 untuk
menyelenggarakan pemilu penting menjaga integritas proses dan hasil
pemilu. KPU memiliki tugas dan wewenang untuk memastikan hasil pemilu
sesuai dengan kehendak rakyat yang genuine, asli dan kredibel. Untuk
itulah, KPU menata akses informasi publik terhadap proses dan hasil pemilu.

Penataan akses informasi publik terhadap hasil pemilu diwujudkan dengan


membuat aplikasi sistem informasi penghitungan suara (situng). Aplikasi ini
digunakan KPU memproses hasil pemilu di setiap jenjang untuk kepentingan
dokumentasi dan publikasi hasil pemilu kepada publik. Untuk mengetahui
gambaran hasil pemilu secara Nasional, publik tidak perlu menungggu
selesainya rekapitulasi secara berjenjang yang memakan waktu satu bulan.
Situng menyediakan empat jenis informasi hasil pemilu, yaitu; hasil
penghitungan dan rincian perolehan suara di setiap tempat pemungutan
suara (TPS); hasil rekapitulasi suara di tingkat kecamatan; hasil rekapitulasi
suara di tingkat Kabupaten/Kota; dan hasil rekapitulasi suara di tingkat
Provinsi.

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) merupakan ujung


tombak untuk menghasilkan akurasi dan kecepatan informasi hasil pemilu
yang akan diproses lewat aplikasi situng. Untuk itu sejak awal KPU
memberikan perhatian besar kepada Anggota KPPS dalam bentuk
bimbingan teknis (bimtek). KPPS dituntut untuk memahami formulir C1 dan
lampirannya, yakni memahami jenis, peruntukan dan tata cara
pengisiannya. Dengan begitu pengisian form C1 dan lampirannya dapat
diselesaikan secara cepat, tepat dan akurat.

Setelah selesai pemungutan dan penghitungan suara di TPS, KPPS segera


mengirimkan salinan formulir C1 dan lampirannya ke KPU Kabupaten/Kota
melalui PPS dan PPK. Setelah menerima formulir model C1 dan
lampirannya, KPU Kabupaten/Kota melakukan pemindaian dan pemasukan
data Salinan C1, selanjutnya mengirimkannya ke server KPU RI untuk
diumumkan di laman resmi KPU.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 215


Gambar 5.9. Situng dan Rekapitulasi Hasil Dalam Pilkada 2018

Sumber : Netgrit, 2019

Di samping itu, dalam tahapan ini yang juga perlu mendapat perhatian dari
para penyelenggara pemilu adalah adanya hasil penghitungan cepat (quick
count) yang dipublikasikan secara massif oleh para konsultan politik
manakala penghitungan suara di tingkat TPS belum tuntas dilakukan.

216 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


Kehadiran quick count paling tidak menyangkut dua hal, yaitu sebagai
pembanding proses penghitungan suara di akhir dan di sisi lain juga dapat
menegasikan proses yang berlangsung dan menjadi demotivasi bagi para
penyelenggara yang belum menyelesaikan tahapan penghitungan yang
sedang berlangsung. Untuk itu, sikap yang bijak perlu disampaikan oleh para
kontestan pemilu untuk dapat menghargai proses penghitungan suara yang
sedang berjalan.

E.5. Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Pemilu

Dalam tahap selanjutnya, penghitungan suara selesai di TPS maka kemudian


pergerakan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPK,
Kabupaten/Kota, Provinsi dan terakhir di Nasional. Penghitungan suara
dilakukan secara berjenjang dari tingkat bawah dengan membawa kotak
suara yang tersegel dan membukanya kembali sebagai tanda bentuk
transparansi dan akuntabilitas proses dilakukan dengan baik. Tidak hanya
itu, proses rekapitulasi pun membutuhkan banyak formulir yang telah
ditentukan oleh KPU, banyak alat logististik yang juga dibutuhkan untuk
membantu penghitungan secara transparan. Dalam proses ini, para
penyelenggara pemilu juga dapat merespon berbagai keberatan yang
disampaikan oleh para saksi peserta pemilu apabila terhadap
ketidakcocokan dan perbedaan angka dalam penghitungan.

Titik ini juga merupakan tahapan yang krusial manakala kesalahan


rekapitulasi penghitungan dan pencatatan hasil perolehan suara seringkali
terjadi. Bahkan dalam beberapa kasus, ada pergeseran hasil perolehan
suara yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu di tingkat PPK demi
menguntungkan calon tertentu. Inilah tahapan yang membutuhkan
kesigapan penyelenggara pemilu untuk dapat mempertahankan dirinya dari
desakan-desakan para peserta pemilu demi melakukan kecurangan dan
manipulasi perolehan suara. Untuk itu, kebutuhan yang paling nyata dalam
tahapan ini adalah upaya yang konsisten dalam menegakkan aturan dan
bersikap adil dalam menyikapi berbagai perbedaan hasil perolehan suara.

Secara mendasar, rekapitulasi penghitungan suara dilakukan melalui dua


hal yakni secara manual dan melalui sistem penghitungan (Situng). Secara
manual maksudnya adalah penghitungan berdasarkan berita acara yang
dikumpulkan dari setiap level di bawahnya untuk kemudian dilihat dan

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 217


dihitung secara bersamaan. Sedangkan melalui Situng, KPU mendapatkan
data hasil penghitungan suara yang berasal dari TPS dan diupload ke dalam
sistem dan semua orang dan pihak dengan mudah dapat melihat secara
rinci hasil tersebut. Secara hukum, proses rekapitulasi suara yang disahkan
dan mendapatkan legitimasi adalah melalui penghitungan manual dan
berjenjang dengan keputusan yang ada di berita acara. Untuk penghitungan
melalui Situng adalah proses pembanding untuk melihat transparansi dan
akuntabilitas penghitungan suara yang berasal dari tingkat paling bawah
yaitu TPS. Sayangnya, penghitungan Situng selalu mengalami kesulitan
manakala infrastruktur teknologi informasi (TI) yang belum sepenuhnya
merata di seluruh wilayah Indonesia sehingga keakuratan dan kecepatan
data untuk menjadi pembanding belum optimal.

Dalam tahapan penetapan hasil penghitungan suara, KPU RI, KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota tentu harus memperhatikan ketentuan dan
regulasi dalam penentuan akhir dalam penetapan suara berdasarkan sistem
pemilu yang diterapkan. Untuk pilpres, sepasang calon yang terpilih tentu
harus melewati ketentuan perolehan suara terbanyak.

Sedangkan dalam Pemilu DPD, ketentuan yang berlaku adalah empat calon
dengan suara terbanyak di setiap daerah pemilihan (Provinsi) dinyatakan
sebagai pemenang. Sementara itu, dalam Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan
Kabupaten/Kota, penentuan pemenang kursi melalui mekanisme sistem
Sainte Lague (murni) dimana ada penghitungan dengan pembagian
bilangan ganjil dan mendapatkan calon dengan suara terbanyak dari partai
yang juga memperoleh suara terbanyak. Sedangkan dalam Pilkada,
penentuan pemenang melalui perolehan suara terbanyak dengan menimal
perolehan suara 30 persen. Untuk itu, setiap penyelenggara pemilu dapat
memperhatikan dengan hati-hati dalam memutuskan penetapan hasil
pemilu. Lebih detail tentang hal ini dibahas di Bab 3.

E.6. Identifikasi tantangan/hambatan dan cara mengatasinya dalam


tahapan pelaksanaan

Setelah kita mengetahui secara rinci berbagai detail kegiatan umum yang
biasanya dilakukan oleh para penyelenggara pemilu dalam tahapan
pelaksanaan, maka identifikasi tantangan dan hambatan perlu juga
diperhatikan. Sebagaimana di tahapan sebelumnya, identifikasi yang

218 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


tergambar dalam tabel di bawah ini juga relatif sama dimana hanya
gambaran awal untuk memberi stimulan terkait dengan tantangan yang
biasanya dihadapi oleh para penyelenggara pemilu yang disertai cara
mengatasi problem tersebut.

Tabel 5.2. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya


Di Tahap Pelaksanaan Pemilu
Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
Pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap
1. Sumber data DP4 yang belum sempurna 1. Penguatan kapasitas dan kompetensi
dan belum mencerminkan kondisi riil petugas coklit dengan mekanisme
dilapangan perekrutan, dan bimtek/pelatihan yang
2. Ambiguitas sumber data optimal
3. Keterbatasan waktu dalam proses 2. pemberian juknis komprehensif dan
pemutakhiran dan penyusunan daftar implementatif
pemilih 3. Manajemen kontrol waktu yang terukur
4. Metode pemutakhiran yang tidak jelas sesuai dengan tahapan
berdasarkan De Jure atau De Facto 4. Koordinasi intensif dengan lintas sektor
5. Proses sinkronisasi data DP4 dengan yang berkaitan dengan daftar pemilih
data DPT yang belum optimal seperti dinas dukcapil, lapas/rutan,
6. Netralitas petugas atau penyelenggara rumah sakit, petugas RT/RW/Kelurahan,
7. Partisipasi partai politik peserta pemilu, pengelola apartemen dll
paslon, dan masyarakat yang rendah 5. perlu ada media expose dan sosisaliasi
8. Kinerja petugas dibawah yang belum pemutakhiran yang massif agar menjadi
maksimal bagian dari masyarakat
9. Sidalih belum diperankan optimal 6. pendidikan pemilih yang mencukupi
untuk menyadarkan pemilih untuk
berpartisipasi aktif
7. melibatkan partai politik dan peserta
pemilu sejak awal proses pemutakhiran
8. Membuka pendaftaran di KPU bagi
masyarakat unutk melaporkan data
terkait data pemilih
9. Melakukan pemutakhiran data secara
reguler melalui program kegiatan
Pemutakhiran Daftar Pemilih
Berkelanjutan
Pencalonan
1. Pemahaman regulasi pencalonan yang 1. Regulasi yang mengatur secara
belum sama antara penyelenggara dan komprehensif
peserta 2. Sosialisasi yg massif kepada para pihak
2. Regulasi pencalonan yang belum 3. Taat aturan bagi seluruh pemangku
sepenuhnya mengatur masalah-masalah kepentingan, terutama peserta dan
darurat, seperti konflik parpol, sengketa penyelenggara.
dll.
3. Sosialisasi pencalonan yang belum
optimal terhadap peserta pemilu

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 219


Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
4. Persyaratan yang tidak dipenuhi
sepenuhnya oleh peserta pemilu
(pemenuhan persyaratan, baik syarat
calon atau syarat pencalonan)
5. Calon tunggal
Masa Kampanye
1. Masa kampanye yang terlalu Panjang 1. media konsisten mengingatkan pemilih
2. Larangan-larangan kampanye yang tidak untuk fokus pada program dan gagasan
dipatuhi oleh peserta pemilu peserta pemilu.
3. Pemahaman tentang regulasi yang tidak 2. mengedukasi masyarakat untuk
sinkron antara penyelenggara (KPU dan bijaksana dalam menerima dan
Bawaslu) serta peserta pemilu, sehingga menyebarkan informasi yang berkaitan
multi tafsir di lapangan. dengan kontestasi dan penyelenggaraan
4. Penyebaran HOAKS (mis-informasi dan Pemilu
dis-informasi), kampanye hitam, ujaran 3. mengingatkan pemilih untuk selalu
kebencian mengkonfirmasi dan memverifikasi data
5. Fake news melalui platform-platform dan informasi kepemiluan yang mereka
berita yang tidak terverifikasi. terima.
6. Kampanye tidak fokus pada program 4. mendorong netralitas TNI Polri dan ASN
dan gagasan tetapi pada isu-isu yang 5. mendorong masyarakat untuk menolak
tidak mendidik. politik uang dan melaporkan praktik
7. Pelanggaran jadwal kampanye di media politik uang yang mereka ketahui.
penyiaran 6. mengingatkan para pejabat negara, tim
8. Politik uang kampanye yang melibatkan pejabat
9. Penyalahgunaan fasilitas jabatan, negara untuk tidak menggunakan
anggaran dan kewenangan oleh Pejabat fasilitas yang terkait dengan jabatan,
negara. wewenang dan anggaran.
10. Mobilisasi, intimidasi dan politisasi ASN. 7. mengingatkan kepada Bawaslu untuk
11. Tidak netralnya TNI Polri dan menegakkan penerapan hukum
Penyelenggara Pemilu. pemilu/kampanye.
12. Media berpihak dan tidak berimbang. 8. mendorong peserta pemilu untuk
13. Pelibatan anak dalam kampanye. mengutamakan/fokus kepada visi misi
14. Pemilih tidak mendapatkan informasi dan program.
yang layak 9. mendorong pemilih untuk rasional dan
proporsional di dalam merespon hasil
survey atas peserta pemilu.
Laporan Dana Kampanye
1. Penyerahan laporan dana kampanye 1. menyoroti kepatuhan, ketaatan dan
yang terlambat kebenaran laporan dana kampanye
2. Laporan tidak memenuhi standar peserta pemilu.
3. Pelanggaran terhadap ketentuan dana 2. mendorong Bawaslu untuk proaktif dan
kampanye. tegas dalam melakukan pengawasan
o Batasan Besaran sumbangan dana dan penegakan hukum dana kampanye.
kampanye 3. memastikan KPU mempublikasikan
o Batasan sumber Dana Kampanye laporan dana kampanye secara terbuka
4. tidak seluruh dana kampanye dicatat dan tepat waktu.
dan dilaporkan 4. Mendorong pemilih untuk peduli dan
5. Dana kampanye tidak menggambarkan kritis atas laporan dana kampanye dan
aktivitas kampanye. menggunakan informasi terkait dana

220 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
6. Tidak ada pembatasan transaksi tunai kampannye sebagai pertimbangan
membuat dana- dana ilegal bisa beredar dalam menilai peserta pemilu.
luas. 5. mendorong voluntarisme publik dalam
7. akuntabilitas dana kampanye tidak bisa mencermati dan memastikan
menjangkau dana yang beredar di masa kepatuhan ketaatan dan kebenaran
tenang dan di hari pemungutan suara laporan dana kampanye.
(dana saksi dan mobilisasi team) 6. mendorong optimalisasi SIDAKAM.
8. Kontribusi caleg untuk menyumbang
dana kampanye
9. Kontribusi caleg nomor satu untuk biaya
kampanye.
Pemungutan dan Penghitungan Suara
1. Logistik kurang 1. memastikan semua pemilih dapat
2. tidak netralnya petugas/ berpihak terlayani hak pilihnya dengan baik
3. Pemilih terhambat atau tidak bisa 2. mendorong KPU membuat rencana
menggunakan hak pilih (tidak punya antisipatif dalam merespon
KTP-el, tidak punya A5, tidak dapat C6, permasalahan yang mungkin timbul
tidak sesuai domisili) dalam pemungutan dan penghitungan
4. praktik politik uang, intimidasi, suara.
kampanye diluar jadwal. 3. memastikan penanganan yang sama
5. Pemahaman petugas yang tidak atas permasalahan yang muncul dalam
seragam tungsura.
6. penghitungan dan pencatatan yang 4. memastikan pelatihan dan materi
tidak akurat (tidak cermat dan teliti) pelatihan yang tepat bagi petugas
7. Pemilih salah memasukkan surat suara tungsura
dalam kotak. 5. mendorong Bawaslu agar proaktif dalam
8. Petugas kelelahan melindungi hak pilih warga dan
9. Pemindahan data C1 Plano ke form C1 menindaklanjuti dugaan pelanggaran
tidak akurat (kesalahan pencatatan atau yang terjadi.
manipulasi) 6. mendorong KPU untuk punya help desk
10. Perbedaan pemahaman antara petugas dan call center untuk jajaran
KPPS dan pengawas TPS. penyelenggara pemilu dan juga publik
11. TPS tidak akses dalam mengkonfirmasi berbagai
12. mobilisasi pemilih oleh calon, peserta informasi tungsura
pemilu, oknum. 7. selalu mengingatkan penyelenggara
13. Pemilih yang tidak berhak menggunakan untuk membuat TPS akses.
hak pilihnya 8. selalu mengingatkan penyelenggara
14. Penghitungan melampaui hari yang supaya cermat, teliti dalam menuangkan
sama hasil penghitungan suara kedalam form
15. petugas tidak menyerahkan salinan C1 C1
kepada saksi dan/atau pengawas TPS. 9. memastikan tungsura berjalan tertib,
16. Penghitungan suara tidak aman, luber dan jurdil
transparan/tertutup. 10. selalu mengingatkan masyarakat untuk
17. Perhatian publik untuk mengikuti proses berpartisipasi dan mengawal hasil
penghitungan suara Pemilu DPR, DPD pemilu (mengikuti keseluruhan proses
dan DPRD di TPS kurang (berfokus pada penghitungan suara).
hasil pemilu presiden), membuat rawan 11. memastikan penyelenggara pemilu
terjadinya manipulasi. bekerja secara professional

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 221


Program/
Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
12. mendorong pemilih untuk rasional dan
proporsional serta tidak cepat
terprovokasi dalam menyikapi hasil
hitung cepat pemilu.
13. mengingatkan peserta pemilu untuk siap
menang dan siap kalah, serta
menempuh langkah hukum apabila
keberatan atas hasil pemilu.
14. memastikan publikasi hasil pemindaian
form C1 dilakukan secara cepat, akurat
dan komprehensif.
Rekapitulasi Penghitungan Suara dan Penetapan hasil Pemilu
1. Tidak transparan/tertutup, tidak 1. Memastikan tidak ada manipulasi
mengundang pemangku kepentingan. rekapitulasi hasil pemilu.
2. Tidak sesuai dengan 2. mendorong permasalahan yang ada
prosedur/pemahaman petugas yang dalam setiap rekapitulasi diselesaikan
tidak sama pada tingkatannya.
3. Petugas PPK disuap oleh peserta (politik 3. membangun kesadaran para pendukung
uang) untuk menerima hasil pemilu.
4. intimidasi dan tekanan massa terhadap 4. mendorong sinergi KPU dan Bawaslu
petugas atas permasalahan dalam rekapitulasi
5. perbedaan pandangan antara petugas dan penetapan hasil.
PPK dan pengawas 5. mendorong partisipasi masyarakat
6. Petugas tidak memberikan salinan hasil untuk mengikuti proses rekapitulasi
rekap kepada petugas dan pengawas khususnya di Kecamatan.
7. kesalahan atau tidak akurat didalam 6. mendorong pelaporan pelanggaran
pencatatan hasil rekap. rekap
8. tidak dilaksanakan sesuai jadwal. 7. mendorong penyelenggara untuk selalu
9. manipulasi atau kecurangan dalam terbuka terhadap partisipasi masyarakat
proses rekapitulasi (petugas tidak netral) dan media di dalam proses rekapitulasi
10. Pengrusakan kotak suara sebelum 8. media melakukan peliputan proses
rekapitulasi rekapitulasi pada setiap tingkatan
11. aparat keamanan tidak netral
12. Perhatian publik untuk mengikuti proses
rekapitulasi suara Pemilu, membuat
rawan terjadinya manipulasi.
13. data penyanding hasil rekap lewat IT
(SITUNG) tidak dapat tampil atau kena
hacker.
14. C1 Plano tidak dibuka saat rekapitlasi di
Kecamatan.

F. Tahapan Akhir Pemilu

Tahapan akhir dalam pemilu ini paling tidak memfokuskan dua hal yang
perlu mendapat perhatian yakni proses sengketa hasil pemilu dan evaluasi

222 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


semua tahapan pemilu demi menciptakan perubahan pemilu yang lebih
baik di kemudian hari. Dalam sengketa hasil pemilu, proses yang melibatkan
penyelenggara pemilu dan peserta pemilu berada dalam sebuah pengadilan
yang bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara itu, evaluasi pemilu
ingin melihat proses pelaksanaan pemilu secara menyeluruh dari titik awal
penyelenggaraan hingga proses akhir, terutama dalam penyelesaian
perselisihan sengketa untuk kemudian ditetapkan hasilnya.

F.1. Sengketa Hasil Pemilu

Dalam tahapan sengketa ini yang juga secara detail dibahas di Bab 7, MK
menetapkan tiga pihak yang terlibat dalam semua proses persidangan
perselisihan hasil pemilu, yakni Pemohon, Termohon, dan Pihak yang
terkait. Pemohon adalah pihak yang merasa dirugikan ataupun mengalami
situasi yang tidak menguntungkan dalam proses penghitungan suara dan
penetapan hasil pemilu oleh KPU seperti Parpol, Calon, ataupun
Capres/Cawapres dan juga Cakada. Sementara termohon adalah pihak yang
berkaitan langsung dengan hasil penetapan hasil pemilu yaitu KPU.
Sedangkan pihak terkait adalah pihak yang juga terlibat dalam pemilu
seperti koalisi partai pendukung, Bawaslu dan pihak lainnya.

Pemohon dalam mengajukan sengketa dapat menyampaikan pokok


gugatan perkaranya dengan bukti pendukung yang otentik ataupun saksi
yang dapat membantu menjelaskan kaitan pokok perkara yang dimaksud.
Sementara itu, pihak Termohon juga dapat dan diminta melakukan
klarifikasi dan keterangan terhadap gugatan yang dimaksud oleh pihak
Pemohon. Untuk itu, KPU sebagai termohon tentu harus mampu
membuktikan semua data-data yang relevan dan otentik untuk
disampaikan sebagai bahan penting dalam persidangan. Sementara itu,
pihak terkait pun juga dapat menyampaikan keterangan dan klarifikasi
seperti yang digugat oleh Pemohon. Dalam hal tertentu, hakim MK dapat
membatalkan keterangan pihak terkait apabila memang tidak relevan.

Dengan demikian, bagi para penyelenggara pemilu, hal yang penting untuk
dilakukan dalam proses beracara di sidang MK adalah menyiapkan
argumentasi hukum dan dapat membuktikan segala hal yang berkaitan
dengan data perselisihan dengan baik. Di samping itu, KPU dan Bawaslu
dalam banyak hal pun dapat menyamakan persepsi dan pandangan yang

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 223


terkait pelaksanaan peraturan pemilu agar tidak menjadi perdebatan
hukum di persidangan. Karenanya, dalam perselisihan untuk pemilu
Nasional, para penyelenggara pemilu harus mampu melakukan koordinasi
dan konsolidasi data dan argumen untuk dapat memberikan keterangan
dalam sidang tersebut.

Sebagai catatan, bagi peserta pemilu, tahapan sengketa hasil pemilu ini
adalah salah satu upaya terakhir yang dilakukan oleh mereka yang merasa
dirugikan dalam tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara. Oleh karena
itu, biasanya para peserta pemilu yang memiliki perhatian terhadap
perselisihan ini akan melakukan banyak hal untuk mempertahankan diri
ataupun menyerang bagi yang ingin digugat. Bahkan perselisihan ini pun
lebih banyak dikontribusikan oleh para caleg yang berasal dari partai yang
sama di dapil yang sama.

Namun demikian, oleh karena hasil keputusan perselisihan sengketa hasil


pemilu tersebut bersifat final dan mengikat, maka para pemohon tidak
memiliki kesempatan lagi untuk mengajukan permohonan gugatan kembali
di pengadilan yang berbeda.

F.2. Evaluasi dan Rekomendasi Perbaikan Pemilu

Dalam tahapan terakhir ini, para penyelenggara pemilu biasanya akan


melakukan serangkaian kegiatan evaluasi pemilu, baik yang dilakukan
secara internal ataupun mengajak pihak eksternal. KPU RI akan mengajak
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk mengevaluasi secara
bersamaan proses pemilu yang telah berlangsung. Di samping itu, KPU juga
akan meminta masukan dan pandangan pihak eksternal seperti akademisi,
pegiat pemilu, peserta pemilu ataupun media, dalam melihat pelaksanaan
pemilu yang sudah usai. Dua hal itu memiliki tujuan untuk perbaikan hal-hal
teknis ataupun rekomendasi untuk revisi kebijakan ke depannya. Di
samping itu, KPU juga merancang kegiatan evaluasi berbasiskan penelitian
yang diserahkan kepada Provinsi untuk lebih mendalami berbagai peristiwa
dan fenomena yang unik untuk kemudian disampaikan kepada publik.

Tahapan evaluasi dan perbaikan tentunya ingin mewujudkan tata kelola


pemilu yang berkualitas dan berintegritas mutlak menuju demokrasi
substantif ke depannya. Pemilu sebagai syarat bagi terbangunnya

224 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


masyarakat politik otonom yang ditandai dengan luasnya minat dan
partisipasi masyarakat dalam politik serta besarnya peranan prosedur-
prosedur rasional dalam proses pengambilan keputusan politik. Ruang-
ruang partisipasi itulah yang harus dibuka agar kualitas proses pemilu
menjadi lebih baik. Semua aspek kepemiluan mulai dari regulasi dan teknis
mesti mendukung terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Pemimpin yang terpilih dari proses politik yang transparan dan akuntabel
diharapkan memiliki komitmen untuk mewujudkan demokrasi substantif
seperti pemerataan, kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

F.3. Identifikasi tantangan/hambatan dan cara mengatasinya dalam


tahapan akhir pemilu

Seperti yang telah disampaikan dari detail kegiatan yang terjadi dalam
tahapan pasca pemilu, gambar berikut ini menjelaskan berbagai tantangan
yang biasanya dihadapi oleh para penyelenggara pemilu sekaligus berbagai
contoh dalam cara mengatasinya.

Tabel 5.3. Tantangan/Hambatan dan Cara Mengatasinya


Di Tahap Pasca Pemilu
Program/ Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
Sengketa Perselisihan Hasil Pemilu
1. KPU tidak siap dengan bukti, 1. mengedukasi masyarakat untuk
data dan kronologis kasus paham tentang proses
2. tidak ada konsolidasi dan penyelesaian sengketa
pengawalan atas sengketa yang 2. mengingatkan peserta pemilu
berlangsung untuk tidak memaksakan
3. KPU tidak mampu menyajikan kehendak atau menggunakan
argumentasi hukum dengan kekerasan namun menyentuh
baik jalur hukum.
4. MK tidak konsisten dalam 3. mendorong KPU
menggunakan pertimbangan mempersiapkan diri dengan
hukum dan pembuatan baik dalam menghadapi
keputusan. sengketa Pemilu.
5. MK tidak konsisten dalam 4. mendorong MK untuk
penerapan hukum acara (misal konsisten dalam menerapkan
tidak sesuai dengan jadwal hukum acara dan
penerimaan perkara) pertimbangan hokum
5. mendorong masyarakat untuk
menghormati apapun putusan

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 225


Program/ Tantangan/hambatan Cara mengatasinya
kegiatan
6. tidak sinkron informasi yang mahkamah konstitusi atas
disampaikan antara KPU dan sengketa hasil pemilu.
Bawaslu.
7. Penyelenggara Pemilu menjadi
saksi pemohon di luar
koordinasi resmi lembaga
Evaluasi Pemilu
1. Evaluasi dilaksanakan hanya 1. Evaluasi mencakup system,
formalitas dan bersifat rutinitas manajemen integritas proses,
2. Evaluasi dilakukan hanya integritas hasil dan integritas
bersifat umum, tidak penyelenggara.
komprehensif. 2. Evaluasi melibatkan multi
3. Tidak melibatkan para pihak stakeholders dalam kepemiluan
yang terlibat dalam pemilu 3. Evaluasi menghasilkan
rekomendasi bagi perbaikan
pemilu kedepannya.

G. Penutup

Bab ini menjelaskan setiap tahapan pemilu yang biasanya dilakukan oleh
para penyelenggara pemilu di Indonesia. Meskipun dalam beberapa hal
tahapan yang dikenal oleh kalangan interNasional tidak memiliki kesamaan
dalam hal jenis kegiatan ataupun aktor utama penyelenggara, namun
tahapan pemilu yang berkembang di Indonesia secara prinsip tidak jauh
berbeda dengan kerangka tahapan yang telah berkembang secara
interNasional.

Titik tekan yang dapat dipelajari dalam tahapan pemilu di Indonesia adalah:
1. kerangka normatif yang berkembang dalam tahapan pemilu Indonesia
menunjukkan adanya konsistensi jadwal dan pentahapan yang relatif
sama di semua pemilu (baik untuk pemilu Legislatif ataupun pemilu
eksekutif) di tingkat Nasional dan lokal;
2. ada ruang yang terbuka dalam tahapan pemilu yang melibatkan para
pemangku kepentingan pemilu secara luas, yakni peserta pemilu,
pegiat pemilu, LSM, media massa, ataupun pemerintah untuk dapat
memberikan masukan dan komentar demi berjalannya pelaksanaan
pemilu itu sendiri;

226 BAB 5 – TAHAPAN PEMILU


3. ada kesempatan yang terbuka luas bagi para stakeholders pemilu
dalam berkontribusi secara positif dalam menyukseskan pemilu,
semisal dengan dukungan moril dan non-moril yang biasanya dilakukan
secara gotong royong.

Untuk menunjung perbaikan penjadwalan dan tahapan pemilu selanjutnya,


ada baiknya para penyelenggara memperhatikan beberapa hal, yakni:
1. seleksi penyelenggara pemilu harus dilaksanakan secara serentak
minimal 2 (dua) tahun sebelum pelaksanaan pemilu, untuk melahirkan
kualitas penyelenggara yang berintegritas, professional dan mandiri;
2. ruang kerjasama dan koordinasi para penyelenggara pemilu di tingkat
Nasional dan lokal harus terus diperkuat demi menjaga integritas
pelaksanaan pemilu itu sendiri;
3. regulasi yang komprehensif dan mengatur semuanya secara teknis
menjadi hal penting dalam memberikan petunjuk bagi penyelenggara
pemilu;
4. perhitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara yang cermat
dan tepat yang diikuti konsistensi dan kepatuhan terhadap jadwal
adalah prinsip yang harus dijaga oleh para penyelenggara pemilu demi
menjaga integritas pemilu; dan
5. prinsip transparansi dengan menggunakan system informasi yang
terintegrasi menjadi suatu keniscayaan dengan ditunjang infrastruktur
dan tata kelola yang baik.

BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 227


BAB 6
MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU

Ferry Kurnia Rizkiyansyah dan Benget Manahan Silitonga

A. Pengantar

Dalam pengertian yang paling sederhana, Manajemen Pemilihan Umum


(Pemilu) adalah bagaimana aturan-aturan pemilu bisa diaplikasikan dan
dilaksanakan di lapangan. Sebagaimana telah dibahas di Bab 1, aturan-
aturan pemilu dirancang dan diputuskan oleh lembaga legislatif, lembaga
eksekutif, dan bahkan lembaga yudikatif. Manajemen pemilu hadir untuk
memastikan bagaimana regulasi kepemiluan tersebut dapat diaplikasikan
dan diimplementasikan sehingga demokrasi dapat benar-benar berfungsi
dalam praktik (James, et. al. 2019). Terry dan Rue (2000) menyebut
setidaknya empat prinsip di dalam manajemen modern, yaitu perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating), dan
pengendalian (controlling). Sebagai sebuah lembaga penyelenggara pemilu,
KPU tentu harus memenuhi keempat prinsip manajemen tersebut untuk
memastikan regulasi kepemiluan dapat diaplikasikan dan dipraktikkan.

Bab ini mengelaborasi lebih jauh bagaimana manajamen penyelenggaraan


pemilu dijalankan. Untuk tujuan tersebut, bab ini memiliki lima fokus
bahasan. Pertama adalah terkait perencanaan strategis yang membahas
pentingnya perencanaan strategis bagi penyelenggara pemilu, perbedaan
perencanaan proaktif dan perencanaan reaktif, analisis kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT), serta langkah-langkah
perencanaan strategis. Kedua adalah pendanaan pemilu yang membahas
tentang bagaimana anggaran atau pendanaan Pemilu Presiden (Pilpres),
Pemilu Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) disusun
serta isu-isu strategis dalam pendanaan pemilu dan pilkada. Ketiga adalah
evaluasi kinerja penyelenggara pemilu yang menjelaskan arti penting dan
bagaimana evaluasi kinerja penyelenggara pemilu dilakukan. Keempat
adalah manajemen jaringan dengan pemangku kepentingan (stakeholder)
yang menjelaskan tentang pentingnya pemangku kepentingan dalam
penyelenggaraan pemilu dan bagaimana membangun hubungan kerja
BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 229
dengan berbagai pihak di lingkungan pemerintahaan atau non-
pemerintahan. Keempat adalah evaluasi kinerja. Kelima adalah terkait
dengan infrastruktur penyelenggara pemilu yang akan menjelaskan apa dan
bagaimana KPU melakukan inovasi penggunaan teknologi informasi
sehingga proses berjalannya tahapan Pemilu dan Pilkada makin transparan
dan aksesibel. Perencanaan strategis dan pendanaan pemilu adalah bagian
dari perencanaan. Sedangkan evaluasi kinerja penyelenggara pemilu adalah
bagian dari pengendalian. Sementara hubungan dengan pemangku
kepentingan dan infrastruktur pemilu merupakan bagian dari
pengorganisasian pemilu.

B. Perencanaan Strategis

Perencanaan merupakan sebuah proses mendefinisikan tujuan organisasi,


membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan
rencana aktivitas kerja organisasi. Tanpa sebuah perencanaan yang matang,
mustahil tugas pokok dan fungsi sebuah organisasi akan dapat berjalan
dengan baik. Tidak berlebihan jika Benjamin Franklin mengungkapkan
bahwa “Jika anda gagal membuat perencanaan maka anda sebenarnya
sedang merencanakan kegagalan” (if you fail to plan, you are planning to
fail). Sedangkan strategi adalah rencana aksi menyeluruh dan berjangka
panjang yang dirancang untuk mencapai target tertentu.

Spinelli (2011) mendefinisikan perencanaan strategis sebagai perencanaan


yang sistematis, selama periode waktu tertentu, yang memfasilitasi
manajemen proses yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
Perencanaan strategis adalah proses pemeriksaan mandiri yang
memungkinkan sebuah organisasi untuk mengatur masa kini berdasarkan
proyeksi masa depan yang diinginkan. Untuk menentukan ke mana ia ingin
pergi, sebuah organisasi perlu tahu persis di mana tempatnya atau
statusnya saat ini. Setelah masa kini ditetapkan, organisasi tersebut
kemudian dapat menentukan di mana ia ingin berada dalam periode waktu
yang ditentukan di masa depan dan bagaimana ia akan sampai di sana.

230 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Gambar 6.1. Alur Perencanaan Strategis

Sumber: Antonio Spinelli, Stretegic Planning Effective Electoral Management: A Practical


Guide for Electoral Management Bodies to Conduct a Strategic Planning Exercise, IFES,
2011.

Dari definisi di atas, perencanaan strategis adalah suatu proses organisasi


mendefinisikan strategi, atau arah, dan membuat keputusan
mengalokasikan sumber daya (manusia dan keuangan) untuk mengejar
tujuan. Dalam rangka untuk menentukan arah organisasi, maka perlu untuk
memahami posisi saat ini dan peluang yang memungkinkan dapat dilalui
untuk mengejar tindakan tertentu.

Perencanaan strategis adalah metodologi perencanaan sistematis, selama


periode waktu yang ditetapkan dan yang memfasilitasi pengelolaan efektif
suatu proses untuk mencapai target tertentu. Perencanaan strategis adalah
proses penelaahan diri yang memungkinkan organisasi untuk mengorganisir
masa kini berdasarkan proyeksi masa depan yang diinginkan. Untuk
menentukan di mana suatu organisasi ingin berada, mereka perlu
mengetahui dengan tepat posisinya saat ini (masa kini atau status saat ini).

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 231


Begitu masa kini sudah ditetapkan, organisasi dapat menentukan di mana
mereka ingin berada dalam periode waktu yang ditetapkan (masa depan)
dan bagaimana mencapainya (strategi).

1. Langkah-langkah Perencanaan Strategis


Dalam sebuah perencaan strategis, terdapat beberapa langkah di dalam
siklus perencanan strategis yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa
perencanaan yang dibuat sesuai dengan tujuan organisasi dan upaya-upaya
untuk mencapai tujuan tersebut. Beberapa langkah yang perlu dilakukan
adalah:
1. Perenungan/refleksi (sudah dimana kita saat ini?, apa yang telah kita
capai?);
2. Perencanaan (penyiapan panitia perencanaan strategis);
3. Pendefinisian (pendefenisian visi/misi KPU); dan
4. Penilaian: (misalnya dengan mengidentifikasi kekuatan (strength),
kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat)
atau SWOT. Analisis SWOT adalah kegiatan menentukan cakupan dan
luas dari penilaian organisasi, membentuk kerangka analisis: basis untuk
analisis data yang dikumpulkan, pengkategorian dan merangkum
temuan, merencanakan perincian proses akan berjalan, mengumpulkan
informasi internal dari berbagai dokumen dan sumber: regulasi pemilu,
laporan evaluasi pemilu, poiling opini masyarakat; penilaian internal
terhadap operasional, laporan pengamat kepemiluan, penilaian teknis
dan dokumen proyek dari penyedia bantuan kepemiluan internasional,
catatan rapat, database, dokumen anggaran; survei pegawai, hasil audit
dan dokumen perencanaan. Penilaian eksternal: laporan statistik,
laporan masyarakat internasional, regulasi pemilu, laporan sensus,
putusan pengadilan, pernyataan politik, laporan kelompok advokasi dan
liputan media. Menentukan siapa yang akan terlibat:
mempertimbangkan keterlibatan pemangku kepentingan internal (staf
KPU Pusat dan daerah), pemangku kepentingan eksternal (analis politik,
akademisi, wakil pemerintahan, anggota Parpol dan LSM).

232 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Gambar 6.2. Analisis SWOT

5. Pengidentifikasian (Penentuan isu strategis dan tujuan strategis);


6. Konsultasi (konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk
merumuskan strategi menjadi aksi);
7. Membuat strategi. Salah satu metode yang seringkali di pakai dalam
perencanaan strategis adalah dengan metode SMART (S.M.A.R.T:
Spesific (spesifik), Measureable (terukur), Achieveable (dapat dicapai),
Realistic (realistis), dan Time-bound (terikat waktu). Metode SMART
adalah metode yang diterapkan dengan filosofi yang digunakan untuk
membantu menetapkan target dan tujuan, misalnya dalam Manajemen
Kegiatan (project management), Manajemen Sumber Daya (employee
performance management), atau Pengembangan Staf (personal
development). Beberapa orang menyamakannya dengan istilah Indikator
Kunci (Key Performance Indicators). Singkatan ini pertama kali digunakan
oleh Doran (1981). Masih terkait dengan metode SMART ini, Baxter
(2007) menjelaskan lebih lanjut bahwa rencana implementasi harus
menggunakan prinsip-prinsip SMART dalam administrasi pemilu.
Rencana harus, pertama: Spesifik. Rencana harus spesifik mungkin.
Setiap orang yang membaca rencana harus tahu apa yang harus dicapai,
bagaimana dan kapan. Di mana pun penyelesaian tugas-tugas khusus
dalam rencana itu diperlukan, rencana itu harus merinci departemen
yang bertanggung jawab atas tugas itu. Rencana departemen internal
harus memerinci orang tertentu. Kedua, terukur. Setiap langkah dari

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 233


proses harus dapat diukur. Artinya, kerangka waktu khusus harus
dimasukkan untuk setiap tugas yang harus diselesaikan dan tanggal
tonggak ditetapkan sehingga kemajuan dalam menyelesaikan tugas
dapat ditinjau. Penugasan tonggak akan memungkinkan para manajer
pemilihan untuk dengan cepat melihat di mana kemacetan dalam
mengimplementasikan rencana-rencana harus ditemukan dan
mengatasinya sebelum mereka menjadi masalah besar yang
mempengaruhi keberhasilan keseluruhan dari rencana strategis.

Ketiga, bisa dicapai/diraih. Setiap tugas dalam rencana harus dapat


dicapai dalam jangka waktu dan anggaran yang dialokasikan dalam
rencana. Rencana yang tidak dapat dicapai dalam jangka waktu dan
anggaran menempatkan seluruh objek dalam bahaya. Keempat, realistis.
Rencana harus realistis dan mencerminkan lingkungan kerja yang
sebenarnya dimana organisasi berada. Ketergantungan pada orang atau
lembaga untuk tampil tepat waktu dan khusus ketika mereka belum
melakukannya di masa lalu bukanlah perencanaan yang realistis.
Rencana cadangan harus tersedia jika memungkinkan. Di daerah-daerah
di mana orang-orang tidak terbiasa dengan teknologi, penggunaan
teknologi canggih dapat terbukti membawa bencana.

Kelima, bertahap waktu. Semuanya tidak bisa dicapai sekaligus. Berbagai


tugas dalam jadwal implementasi secara logis mengikuti satu sama lain.
Orang lain dapat melanjutkan secara bersamaan. Waktu yang tepat
dalam kondisi negara berarti bahwa rencana lebih dapat dicapai dan
realistis. Kegagalan untuk mematuhi jadwal yang realistis akan
menghasilkan situasi krisis untuk menyelesaikan tugas tepat waktu dan
akan meningkatkan biaya penyelenggaraan.

8. Perencanaan Operasional: Menerapkan dan Memonitor Strategi.

234 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Gambar 6.3. Langkah Siklus Perencanaan Strategis

Sumber: Antonio Spinelli, Strategic Planning Effective Electoral Management: A Practical


Guide for Electoral Management Bodies to Conduct a Strategic Planning Exercise, IFES,
2011.

2. Arti Penting Perencanaan Strategis


Setidaknya ada tiga hal penting perencanaan strategis bagi perencanaan
pemilu: Pertama, Sebagai Alat Bantu Penilaian. Dalam konteks ini,
perencanaan strategis membentuk suatu kerangka kerja yang konsisten dan
sistematis untuk membimbing penyelenggara pemilu dalam memulai
proses konsultatif untuk melakukan penilaian diri sendiri (introspeksi), baik
penilaian internal dan eksternal. Kedua, Sebagai Alat Bantu Perencanaan,
perencanaan strategis mendorong penyelenggara pemilu untuk membuat
keputusan dengan pengetahuan yang cukup, untuk mengeksplorasi cara-
cara alternatif dan inovatif menyelesaikan tugas, setelah mendapatkan
penilaian atas dampak di masa depan atas keputusan saat ini; untuk
menekankan tanggung jawab bersama staf penyelenggara pemilu dalam

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 235


perencanaan (dan pelaksanaan) yang sukses dari semua operasi yang
membentuk suatu proses pemilu. Dan Ketiga, Sebagai Alat Bantu
Implementasi. Perencanaan strategis memungkinkan penyelenggara
pemilu menentukan visi yang jelas dan tujuan umum. Dari visi tersebut
kemudian akan dikembangkan dokumen Rencana Strategis tertulis yang
menentukan seluruh kegiatan strategis yang diperlukan untuk mencapai visi
penyelenggara pemilu.

3. Rencana Strategis KPU


Dalam kontek penyelenggaraan negara dan pemerintahan, perumusan
rencana kerja pemerintah, baik jangka pendek, menengah maupun panjang,
telah digagas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
[RPJPN] untuk 20 tahun ke depan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional. Bertitik tolak dari aturan ini, setiap kementerian/lembaga
pemerintah dimandatkan untuk menyusun rencana strategis (renstra)
kementerian/lembaga yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN).

Sebagai salah satu lembaga negara non struktural, Komisi Pemilihan Umum
telah diamanatkan oleh UU Pemilu untuk menyelenggarakan pemilu secara
nasional. Berbagai tantangan dan permasalahan baik yang datang dari
internal dan eksternal timbul seiring dengan perubahan dinamika
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Jawaban
strategis dari berbagai tantangan dan permasalahan tersebut adalah
melalui sebuah perencanaan strategis organisasi yang mampu memetakan
potensi dan permasalahan yang ada untuk kemudian melihat perubahan
lingkungan strategis organisasi dan akhirnya menetapkan apa yang hendak
dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Atas dasar inilah, maka KPU menyusun dan menetapkan Keputusan KPU No.
63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan
Umum (Renstra KPU) Tahun 2015-2019. Renstra KPU disusun dengan
berpedoman pada RPJMP Nasional 2005-2025 dan RPJM Nasional 2015-
2019. Sesuai dengan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5 Tahun
2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Renstra K/L 2015-

236 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


2019, maka renstra KPU memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi
kebijakan serta program dan kegiatan yang merupakan acuan bagi seluruh
satuan kerja di lingkungan KPU dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
selama periode lima tahun mendatang. Pasca 2019, KPU tentunya akan
kembali menyusun Renstra 2020-2024.

Visi seperti yang telah dijelaskan di awal adalah rumusan umum mengenai
kondisi yang ideal pada akhir periode yang ingin dicapai oleh suatu
lembaga/organisasi. Dengan definisi tersebut, KPU periode 2017-2022
merumuskan Visi KPU Periode 2015-2019 yaitu: Menjadi penyelenggara
Pemilu yang mandiri, profesional, dan berintegritas untuk terwujudnya
Pemilu yang luber dan jurdil.1

Dalam Keputusan KPU No. 63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 digambarkan tentang


pernyataan visi tersebut yang merupakan gambaran tegas dari komitmen
KPU untuk menyelenggarakan Pemilu yang jujur, adil, transparan, akuntabel
dan mandiri serta dilandasi dengan mekanisme kerja yang efektif, efisien,
berpegang teguh pada etika profesi dan jabatan, berintegritas tinggi dan
berwawasan nasional sehingga menjadikan KPU sebagai lembaga
penyelenggara pemilu yang terpercaya dan profesional dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Selain itu, KPU juga berkomitmen
penuh untuk ikut mengambil bagian dari upaya meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia, khususnya di bidang politik kepemiluan.
Relevansi pernyataan visi KPU dengan visi nasional dan agenda prioritas
nasional, yakni pembangunan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif,
demokratis dan terpercaya serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia penyelenggara pemilu. Hal ini menyiratkan pentingnya KPU
memperkuat citra (brand image) organisasi menjadi penyelenggara pemilu
yang berintegritas, profesional, dan mandiri demi terwujudnya kualitas
penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Adapun misi merupakan rumusan umum mengenai upaya-upaya yang


harus dilakukan untuk mewujudkan Visi yang telah disepakati. Oleh kerena
itu, untuk menjadi sebuah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mandiri,

1 Keputusan KPU Nomor 63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kpu Tahun 2015-2019
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 237


profesional, dan berintegritas untuk terwujudnya Pemilu yang luber dan
jurdil, KPU merumuskan misi KPU Periode 2015-2019 sebagai berikut:
1. meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu yang efektif dan efisien,
transparan, akuntabel, serta aksesibel;
2. meningkatkan integritas, kemandirian, kompetensi dan profesionalisme
penyelenggara pemilu dengan mengukuhkan kode perilaku (code of
conduct) penyelenggara pemilu;
3. menyusun regulasi di bidang pemilu yang memberikan kepastian hukum,
progesif, dan partisipatif;
4. meningkatkan kualitas pelayanan pemilu untuk seluruh pemangku
kepentingan;
5. meningkatkan partisipasi dan kualitas pemilih dalam pemilu, Pemilih
Berdaulat Negara kuat; dan
6. mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dalam
penyelenggaraan pemilu.2

Gambar 6.4. Peta Strategis KPU 2015-20193

2 Keputusan KPU Nomor 63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kpu Tahun 2015-2019
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018
3 Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum No. 63/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum
Tahun 2015-2019

238 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Tabel 6.1. Sasaran Strategis KPU Berdasarkan RPJMN4
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Sasaran Strategis
meningkatnya kualitas 1. peresentase pemilih;
penyelenggaraan 2. peresentase pemilih perempuan;
Pemilu/Pemilihan 3. peresentase pemilih disabilitas;
yang demokratis 4. peresentase pemilih tetapi tidak masuk dalam daftar pemilih;
5. indeks kepuasan publik.
terlaksananya 1. persentase KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota yang
Pemilu/Pemilihan melaksanakan pemilih tanpa konflik;
yang aman, damai, 2. persentase penyelenggara Pemilu/Pemilihan yang terbukti
jujur dan adil melakukan pelanggaran Pemilu/Pemilihan;
3. persentase sengketa hukum yang dimenangkan KPU.
meningkatnya 1. nilai akuntabilitas kinerja;
kapasitas lembaga 2. opini Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan;
penyelenggara 3. indeks reformasi birokrasi;
Pemilu/Pemilihan 4. nilai keterbukaan informasi publik.

Tabel 6.2. Arah Kebijakan dan Strategi KPU5


Program Dukungan 1. Terwujudnya Data Pemilih yang komprehensif, akurat,
Manajemen dan Pelaksanaan dan terkini;
Tugas Teknis Lainnya 2. Meningkatnya Kapasitas sumber daya manusia yang
Berkompeten;
3. Meningkatnya Akuntabilitas Keuangan dan Kinerja KPU
4. Terwujudnya Dukungan Logistik dalam
Penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan
5. Terlaksananya fasilitasi lembaga riset kePemiluan dan
operasionalisasinya
Program Peningkatan Sarana Terwujudnya Dukungan Sarana dan Prasarana Guna
dan Prasarana Aparatur KPU Meningkatkan Kelancaran Tugas KPU
Program Penguatan 1. Tersusunnya Rancangan Peraturan dan Keputusan KPU
Kelembagaan Demokrasi dan serta Pendokumentasian Informasi Hukum sesuai
Perbaikan Proses Politik Peraturan Perundang- undangan
2. Terwujudnya Tahapan Pemilu/Pemilihan

4 Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum No. 63/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum
Tahun 2015-2019
5 Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum No. 63/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum
Tahun 2015-2019

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 239


Perumusan visi, misi, arah dan sasaran kebijakan strategis tersebut,
tentunya akan mencerminkan gerak langkah suatu organisasi atau institusi
dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Perencanaan strategis yang
matang dan terencana secara menyeluruh menjadi pijakan bagi organisasi
melakukan aktifitasnya dengan daya dukung anggaran yang menjadi
cerminan perencanaan strategis tersebut.

Sebagai perbandingan, dalam merumuskan perencanaan strategis dan


membuat arah kebijakan strategis penyelenggara pemilu, di bawah ini
disajikan rencana strategis Australia Election Commision (AEC).

Tabel 6.3. Contoh Rencana Strategis Australia Election Commission (AEC)6


Tujuan membantu masyarakat memilih siapa yang akan merepresentasikan
mereka di Parlemen Australia. Kami melakukan ini dengan cara
menyediakan layanan kepemiluan yang imparsial dan mudah diakses.
Target menjadi organisasi yang dikenal karena mampu menyelenggarakan dan
memberikan pelayanan kepemiluan yang baik.
Nilai yang Nilai-nilai yang AEC anut merefleksikan harapan warga Australia kepada
dianut kami, yakni:
 melaksanakan aktivitas kami dengan adil dan imparsial
 menjunjung tinggi integritas dan perilaku etis
 mematuhi dan menjunjung tinggi supremasi hukum; terbuka,
transparan, dan akuntabel
 menghormati dan mendengarkan klien dan para pemangku
kepentingan; dan
 melayani warga Australian dan Parlemen Federal.
Lingkungan Kemampuan memahami dan merespon perubahan lingkungan eksternal
kerja dan ekspektasi pemangku kepentingan akan sangat mempengaruhi
kualitas kinerja kami di masa depan. Bagi kami, aspek-aspek kunci yang
perlu diperhatikan adalah:
 perubahan dan kemajemukan kebutuhan dan ekspektasi para klien
dan pemangku kepentingan terhadap pelayanan yang diberikan oleh
AEC;
 Tantangan geografis dalam upaya distribusi sumber daya dan
pelayanan di tiap kantor cabang di tingkat nasional, negara bagian,
dan daerah;
 meningkatkan fokus pada program dan pelayanan melalui kerja sama
dengan organisasi lain dan pemerintah;

6 Disarikan dari Australian Election Commission, ‘Corporate Plan 2006-2007’


(<http://www.aec.gov.au/_content/what/publications/aec_corp_plan060630.pdf>) dalam International
IDEA 2016

240 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


 permintaan bantuan aktivitas kepemiluan dan dukungan untuk
mengembangkan demokrasi di luar negeri;
 perubahan dan kemajuan teknologi informasi dan kesempatan yang
dihadirkan dari kemajuan tersebut terhadap peningkatan kualitas
pelayanan kepemiluan;
 perubahan perundang-undangan;
 ekspektasi pemerintah bahwa semua lembaga negara harus
melakukan efisiensi melalui pelaksanaan aktivitas yang lebih cerdas.
Hasil yang AEC didanai untuk mencapai tiga hasil yang spesifik:
ingin dicapai 1. Registrasi pemilu yang efektif Warga Australia memiliki mekanisme
registrasi pemilu yang menjamin hak-hak kepemiluan mereka dan
menjadi dasar bagi perencanaan dan redistribusi pemilu.
2. Sistem kepemiluan yang imparsial dan independen Para pemangku
kepentingan dan klien memiliki akses terhadap pelayanan kepemiluan
yang imparsial dan independen; dan
3. Penyebaran informasi yang efektif Masyarakat Australia memiliki
informasi yang baik dan lengkap terkait pemilu.
Aktivitas Untuk mencapai hasil-hasil tersebut, AEC memiliki berbagai aktivitas inti:
 melaksanakan pemilu;
 menyelenggarakan registrasi pemilu, yang digunakan oleh semua
lembaga pemerintah di tiap tingkatan;
 memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat mengenai
pemilu;
 melakukan riset, serta memberikan rekomendasi dan bantuan terkait
isu-isu pemilu;
 memberikan asistensi kepemiluan dn referendum di luar negeri;
 menyelenggarakan pendanaan pemilu, transparansi pendanaan, dan
registrasi Parpol; dan
 menangani redistribusi kepemiluan.
Hasil-hasil Di dalam setiap aktivitas, berfokus meningkatkan kinerja dan pelayanan
kunci yang kami di dalam empat area kunci:
ingin dicapai  interaksi dengan klien dan para pemangku kepentingan, serta
memahami dan mengakomodasi keinginan mereka;
 penyampaian pelayanan dan produksi;
 memfasilitasi masyarakat; dan
 manajemen pendanaan, resiko, dan informasi yang akuntabel.
Indikator Menggunakan indikator yang terdapat di dalam Pencatatan Anggaran
kinerja Pendanaan dan Administrasi dan rencana aktivitas. Beberapa indikator
kuncinya antara lain:
 akurasi dan penyelesaian registrasi pemilu;
 seberapa besar akses para pemilih terhadap pelaksanaan pemilu yang
imparsial dan independen; dan
 tingkat kepuasan klien dan pemangku kepentingan.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 241


C. Pendanaan Pemilu

Dalam kajian teoritis, anggaran atau pendanaan pemilu dipahami sebagai


pembiayaan (formal dan informal) yang dikelola oleh peserta pemilu untuk
menyukseskan pencalonannya demi mendulang suara dalam kampanye
dan pembiayaan yang dikelola oleh lembaga penyelenggara pemilu untuk
pelaksanaan pemilu (Perdana dan Sukamajati 2018). Dalam pembahasan
sub bab ini pembiayaan Pemilu yang dimaksud dibatasi pada pembiayaan
yang dikelola oleh lembaga penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, untuk
pelaksanaan pemilu.

Cost of Registration and Election (CORE) pada tahun 2004 pernah


melakukan survei terhadap penyelenggara pemilu di 178 negara yang salah
satunya untuk mengetahui proporsi besaran anggaran penyelenggaraan
pemilu. Sebanyak 56 persen dari alokasi anggaran penyelenggaraan pemilu
dialokasikan untuk gaji penyelenggara, sedangkan sisanya 12 persen untuk
election operation, dan informasi publik atau bagian dari pendidikan pemilih
sebesar 18 persen.

Gambar 6.5. Alokasi Besaran Anggaran dalam Pemilu

Sumber: Fischer 2004, Election Survey Cost Result, hlm.170.

Dalam membaca kebutuhan anggaran penyelenggara pemilu, CORE


membagi biaya pemilu ke dalam tiga kategori, yaitu:

242 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


1. Biaya inti (atau biaya langsung): yakni pos anggaran yang secara rutin
dialokasikan untuk penyelenggaraan pemilu di dalam kondisi pemilu
yang stabil;
2. Biaya sebaran (atau biaya tidak langsung): yakni biaya pemilu yang tidak
bisa dipisahkan dari anggaran lembaga-lembaga lain yang membantu
implementasi proses kepemiluan; dan
3. Biaya integritas: yakni biaya yang muncul untuk menjamin keamanan,
integritas, neteralitas politik, dan kesetaraan arena politik (Wall Te.al.
2016).

Di banyak negara, biasanya integritas biaya berada di luar alokasi anggaran


negara, yakni berasal dari lembaga donor seperti yang terjadi di Afghanistan
dan Irak ketika dalam proses transisi pemilu. Dalam konteks Indonesia,
anggaran penyelenggaraan pemilu terbagi ke dalam tiga kluster, yakni
anggaran penyelenggaraan khusus untuk KPU, anggaran pengawasan untuk
Bawaslu dan DKPP, serta anggaran keamanan yakni untuk aparat
keamanan. Ketiga kluster anggaran ini semuanya berasal dan bersumber
dari anggaran negara.

Secara global, terdapat dua formulasi anggaran arus utama (mainstream)


yang biasa digunakan oleh lembaga penyelenggara pemilu dalam
merumuskan anggaran penyelenggaran pemilu, yakni pendekatan baseline
(incremental) dan zero base.

Pendekatan baseline dilakukan dengan memformulasikan anggaran


penyelenggaran pemilu dengan merujuk dan menyesuaikan besaran alokasi
anggaran berdasarkan anggaran pemilu sebelumnya. Pendekatan ini biasa
digunakan pada negara-negara dengan siklus pemilu yang cukup stabil dan
tidak ada perubahan desian sistem pemilu yang cukup signifikan. Sedangkan
pendekatan zero base dilakukan sebaliknya dengan cara memformulasikan
anggaran penyelenggaraan pemilu sebagai sebuah permulaan baru. Artinya
setiap pemilu terdapat rumusan anggaran baru yang berbeda dengan
pemilu-pemilu sebelumnya. Pendekatan zero base memandang
penyelenggaraan pemilu sebelumnya dengan yang akan dilaksanakan pada
masa mendatang memiliki situasi dan keadaan yang berbeda. Untuk itu
diperlukan formulasi anggaran berdasarkan kebutuhan baru yang
disesuaikan dengan situasi berikut desain kepemiluan yang ada.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 243


Studi yang dilakukan oleh Internasional IDEA menunjukan sebagian besar
penyelenggara pemilu menggunakan pendekatan baseline dan pendekatan
ini dinilai tidak efktif dan tidak cocok diterapkan karena:
1. Aktivitas dan program lembaga penyelenggara pemilu (LPP) dapat
berbeda-beda dari tahun ke tahun, tergantung dari siklus pemilu di suatu
negara, besaran dana yang digunakan LPP pada suatu periode tidak
serta-merta dapat digunakan sebagai dasar estimasi anggaran di periode
berikutnya;
2. Menggunakan anggaran pemilu dari periode tiga, empat, atau bahkan
lima tahun yang lalu mengandung resiko bahwa berbagai perubahan
kondisi, kemajuan teknologi, dan inflasi yang terjadi selama itu tidak
mendapat perhatian lebih baik;
3. Perubahan proses kepemiluan menciptakan berbagai aktivitas dan biaya
baru yang tidak bisa diestimasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan
sebelumnya;
4. Kemungkinan besar akan selalu ada variasi biaya dari tahun ke tahun
akibat meningkatnya penggunaan teknologi jenis baru di dalam berbagai
aktivitas LPP, seperti registrasi pemilih, komunikasi informasi dan sistem
manajemen, pemungutan suara, atau pengumuman hasil pemilu. Akibat
penggunaan teknologi, metode kerja LPP juga berubah, sehingga
menyebabkan naik atau turunnya biaya di berbagai aspek kerja LPP (Wall
et. al. 2016: 198).

Metode zero base yang sifatnya lebih dinamis dan terbuka terhadap
perubahan sering kali direkomendasikan untuk diterapkan dalam formulasi
anggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Situasi ini disebabkan
karena pendekatan zero base mampu merespon dan menyesuaikan
kebutuhan anggaran sesuai dengan dinamika pemilu, termasuk perubahan-
perubahan desain sistem pemilu yang terjadi. Di samping itu, karena model
penganggaran ini mementingkan desain perencanaan yang matang
sehingga dalam praktiknya dapat meningkatkan akuntablitas penggunaan
berdasarkan apa yang sudah direncanakan.

Dalam praktiknya, terdapat pula negara-negara yang dalam perumusan


anggaran penyelenggaraan pemilu berdasarkan biaya pemilu permilih dan
sistem kepartaian di suatu negara. aceproject.org mendata terdapat
beberapa negara yang menghitung besaran anggaran penyelenggara
pemilu per pemilih yang rentangnya kurang lebih $1 sampai $3 per-pemilih
244 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU
diantaranya: Chile ($1.2), Costa Rica ($1.8), dan Brazil ($2.3) in Latin
America; Benin ($1.6), Botswana ($2.7), Ghana ($0.7), dan Senegal ($1.2)
Africa; India ($1) dan Pakistan ($0.5) Asia; dan Australia ($3.2). Selain itu,
dibanyak negara dengan mulitpartai yang sederhana besaran anggaran
pemilu per-pemilih cenderung lebih besar seperti di: Mexico ($5.9), El
Salvador ($4.1) dan Paraguay ($3.7) Latin America; Lesotho ($6.9), Liberia
($6.1) dan Uganda ($3.7) Africa; dan Russia ($7.5) di Eastern Europe.7

1. Mekanisme Pendanaan Pemilu

Pendanaan Pemilu adalah bagian dari perencanaan anggaran KPU. Sebagai


lembaga negara non struktural, mekanisme perencanaan anggaran KPU
serupa dengan lembaga negara lainnya yang secara legal formal diatur
dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-undang APBN yang berlaku tiap tahun, dan Peraturan Pemerintah
No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga, yang diatur lebih lanjut dalam sejumlah
Peraturan Menteri Keuangan. Artinya, dalam perencanan anggaran, KPU
mengikuti siklus penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 6.6. Setelah menerima
usulan anggaran dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, KPU
mengajukan rencana anggaran pemilu kepada pemerintah melalui
kementerian terkait untuk kemudian dibahas bersama dengan DPR dan
kemudian disahkan dalam bentuk APBN. Setelah APBN diundangkan oleh
pemerintah, kementerian dan lembaga kemudian melaksanankan APBN
dikoordinasikan dengan kementerian terkait. Sementara itu, pelaporan dan
pertanggungjawabannya mengikuti ketentuan yang berlaku yang mengatur
pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang kemudian
diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

7 http://aceproject.org/ace-en/focus/core/crb/crb01 (diakses pada tanggal 30 Agustus 2019).

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 245


Gambar 6.6. Siklus APBN

Sumber: Kementerian Keuangan (tanpa tahun)

Namun demikian, pola pengaturan keuangan KPU sedikit berbeda dengan


lembaga negara lainnya, terutama ketika siklus pemilu berlangsung. Alokasi
anggaran di luar siklus pemilu biasanya hanya diperuntukan untuk anggaran
rutin membiayai gaji anggota dan jajaran sekretariat dan program rutin
lainnya. Situasi ini berbeda ketika tahapan pemilu berlangsung dengan
alokasi anggaran yang cukup besar. Mengingat besarnya anggaran KPU
untuk menyelenggarakam pemilu, proses penganggaran pemilu biasanya
telah dimulai sejak dua tahun sebelum tahun pemilu. Pada tahun pertama
adalah anggaran tahapan persiapan, tahun kedua anggaran untuk
penguatan, dan tahun ketiga adalah anggaran untuk tahun pelaksanaan
pemilu. Biasanya, jumlah anggaran tahun ketiga akan lebih besar.

246 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Sebagai contoh, menurut penghitungan dari Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan, alokasi anggaran penyelenggaraan Pemilu 2019
(realisasi dan pagu) membutuhkan biaya Rp. 25,59 triliun. Jumlah tersebut
belum termasuk anggaran pengawasan (Rp. 4,8 triliun) dan anggaran
keamanan (Rp. 4,2 triliun). Anggaran Pemilu 2019 yang berjumlah Rp 25,59
trilun (realisasi dan pagu) tersebut telah dianggarkan pada tahun 2017
sejumlah Rp. 465,7 miliar (realisasi), tahun 2018 sejumlah Rp. 9,3 triliun
(realisasi) dan tahun 2019 sejumlah Rp. 15, 79 triliun (pagu).8

Bila dibandingkan dengan dengan anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014


yang berjumlah Rp. 15,6 triliun, anggaran penyelenggaraan Pemilu 2019
meningkat drastis menjadi Rp 25,59 triliun. Peningkatan anggaran Pemilu
2019 disebabkan dua faktor utama. Pertama, pemekaran daerah yang
berdampak kepada pertambahan jumlah penyelenggara, khususnya
penyelenggara ad hoc. Misalnya, KPU provinsi jumlahnya bertambah satu
(KPU Provinsi Kalimantan Utara). Untuk KPU kabupaten/kota bertambah
sebanyak tujuh belas KPU kabupaten karena terdapat ada pemekaran
daerah sehingga jumlah totalnya bertambah dari 497 menjadi 514
Kabupaten/Kota. Kemudian Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) bertambah
sebanyak 207 sehingga jumlah totalnya berubah dari 6.994 menjadi 7.201
PPK. Kemudian, Panitia Pemungutan Suara (PPS) bertambah sebanyak
2.021 PPS sehingga jumlah totalnya meningkat dari 81.383 menjadi 83.404
PPS. Pertambahan yang signifikan adalah kelompok penyelenggara
pemungutan suara (KPPS) dari 545.803 KPPS (Pemilu 2014) bertambah
263.697 KPPS sehingga menjadi 809.500 KPPS (Pemilu 2019). Kedua,
penyesuaian atau penambahan besaran honor penyelenggara ad hoc.
penyesuaian besaran honorarium anggota badan ad hoc yang rata-rata
meningkat sebesar 68 persen bila dibandingkan Pemilu 2014.9

Apakah peningkatan anggaran Pemilu 2019 mengindikasikan KPU tidak


efisien? Meski mengalami peningkatan anggaran yang signifikan dibandingkan
Pemilu 2014, pelaksanaan Pemilu 2019 sebenarnya mampu menghemat
anggaran dalam jumlah yang tidak kalah signifikan. Realisasi anggaran honor
petugas pemilu, misalnya, efisiensi anggaran mencapai 50 persen. Selain itu,

8 https://kemenkeu.go.id/media/12157/media-keuangan-april.pdf (diakses pada tanggal 23 Agustus


2019).
9 https://kemenkeu.go.id/media/12157/media-keuangan-april.pdf (diakses pada tanggal 23 Agustus
2019).

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 247


KPU juga bisa memangkas biaya pemutakhiran data pemilih karena hanya
perlu dilakukan sebanyak satu kali pada awal persiapan pemilu. Upaya
mengefisiensikan anggaran oleh KPU juga dilakukan dalam beberapa aspek.
Dalam hal pengadaan logistik, misalnya KPU telah melaksanakannya secara
elektronik melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang
menfasilitasi pelaksanaan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Selain itu,
lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah (LKPP) meneyediakan
fasilitas Katalog Elektronik (e-catalogue) Nasional. Upaya ini mampu
menghemat anggaran yang cukup besar dari pagu yang tersedia. Tahun
Anggaran 2018, pengadaan logistik dapat menghemat 50,57 persen atau
setara dengan Rp. 483 miliar. Sedangkan Tahun Anggaran 2019, efisiensi
mencapai 31,4 persen atau setara dengan Rp. 355 miliar. Tidak sampai di situ,
KPU juga mengupayakan terobosan baru berupa penggunaan kotak suara dari
bahan karton yang kedap air sebagai implementasi dari amanat UU Pemilu
untuk menggunakan kotak suara transparan. Dari upaya tersebut, biaya
pengadaan kotak suara diketahui bisa dipangkas hingga 70 persen. Upaya lain
KPU dalam mewujudkan efisensi anggaran adalah dari sisi fasilitasi kampanye
bagi para calon anggota parlemen. Dari sepuluh kali fasilitasi kampanye yang
diperbolehkan UU Pemilu, KPU membatasi pemberian fasilitasi sebanyak tiga
kali saja.10

Walau penganggaran/pembiayaan pemilu relatif terpenuhi dan dilaksanakan


secara efisien, bukan berarti pembiayaan pemilu tidak bermasalah. Salah satu
persoalan yang sering mengemuka dari daerah adalah bahwa besaran
pembiayaan pemilu, khususnya anggaran distribusi logistik dan anggaran
monitoring dan evaluasi, belum sepenuhnya mangakomodasi kondisi daerah-
daerah terluar dan sulit terjangkau. Anggaran pemilu lazimnya berpedoman
pada standar biaya masukan (SBM) yang ditetapkan Kementerian Keuangan
dan berlaku nasional serta dalam kondisi normal. Faktanya ada banyak KPU di
daerah, yang kondisi geografis daerahnya masih terpencil, buruk dan rawan
bencana, yang membutuhkan biaya lebih besar untuk mendisitribusikan
logistik ke wilayah-wilayah terpencil dan sulit dijangkau tersebut. Besaran biaya
tersebut bahkan sering melebihi SBM yang ada. Ke depan, kondisi ini tentu
patut menjadi pertimbangan dalam perencanaan anggaran pemilu sehingga
pembiayaan pemilu benar-benar realistis, mencukupi kebutuhan operasional
di lapangan, dan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

10 https://kemenkeu.go.id/media/12157/media-keuangan-april.pdf (diakses pada tanggal 23 Agustus


2019).

248 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


2. Pendanaan Pemilihan Kepala Daerah

Berbeda dengan pendanaan Pemilu, pendanaan untuk Pemilihan Kepala


Daerah (Pilkada) dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang menyelenggarakan pilkada, dalam bentuk Belanja
Hibah Kegiatan Pemilihan. Lazimnya Belanja Hibah Kegiatan pembiayaan
Pilkada ini akan ditampung pada tahun anggaran sebelum tahun Pilkada dan
saat tahun penyelenggaraan Pilkada namun dengan satu Naskah Perjanjian
Hibah Daerah (NPHD) yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan Ketua
KPU Daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Namun berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 54 Tahun 2019 tentang
Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, dalam hal
pendanaan kegiatan Pilkada tidak dapat dibebankan dalam satu tahun
anggaran, pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan.

Dalam pendanaan Pilkada, peran KPU di daerah menjadi sentral karena


merekalah yang merencanakan, menyusun, mengajukan, dan membahas
serta menyepakati anggaran Pilkada dengan Pemerintah Daerah setempat.

Berdasarkan Permendagri No. 54 Tahun 2019, penyusunan anggaran


Pilkada dilakukan dengan prosedur sebagaimana dideskripsikan pada
gambar 6.7.:
1. KPU menyusun kebutuhan anggaran penyelenggaran pilkada sesuai
tingkatannya masing-masing (KPU provinsi menyusun kebutuhan
anggaran pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, KPU Kabupaten/Kota
menyusun kebutuhan anggaran pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota);
2. Usulan kebutuhan anggaran berpedoman pada standar kebutuhan
pendanaan kegiatan pemilihan yang ditetapkan oleh Ketua KPU setelah
berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan;
3. Standar satuan harga kebutuhan pendanaan kegiatan pemilihan
berpedoman pada ketentunan peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
4. Usulan kebutuhan anggaran Pilkada selanjutnya dibahas bersama oleh
KPU dengan TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) untuk
BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 249
mengevaluasi dan memastikan usulan anggaran Pilkada sesuai dengan
standar kebutuhan dan standar satuan harga sebagaimana dimaksud
angka 3;
5. Hasil pembahasan bersama menjadi dasar penganggaran Belanja Hibah
Pendanaan Kegiatan Pemilihan yang ditetapkan dalam APBD sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Belanja Hibah Kegiatan Pemilihan Kepala Daerah dituangkan dalam
NPHD dan ditandatangani oleh Kepala Daerah dengan Ketua KPU Daerah
yang menyelenggarakan Pilkada;
7. Penandatanganan NPHD dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum
tahapan Pemilihan dimulai;
8. NPHD paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
a. pemberi dan penerima Hibah;
b. tujuan pemberian Hibah;
c. besaran dan rincian penggunaan dana Hibah Kegiatan Pemilihan;
d. hak dan kewajiban; dan
e. tata cara penyaluran hibah; dan
9. NPHD dilampiri dengan pakta integritas dari penerima Hibah yang
menyatakan bahwa Hibah yang diterima akan digunakan sesuai dengan
NPHD

Gambar 6.7. Skema Penyusunan Dana Hibah Pilkada

Sumber: Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan


Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah, Presentasi dalam Rakor KPU Penyusunan Anggaran Pilkada serentak 2020,
Yoyakarta, Agustus 2019

250 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Walau NPHD sudah ditandatangani, proses penganggaran Pilkada belum
selesai. Supaya dapat dicairkan atau digunakan, NPHD Pilkada masih ada
proses atau tahapan yang harus dilalui untuk pencairan, yakni NPHD harus
diregistrasi dulu ke APBN melalui Kanwil Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Negara (gambar 49). Setelah diregistrasi barulah
kemudian anggaran dapat dicairkan.

Gambar 6.8. Mekanisme Registrasi Hibah

Ket: SP2HL= Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung


SPTJM=Surat Pernyataan Tanggungjawab Mutlak
Sumber: https://www.djppr.kemenkeu.go.id/uploads/files/helpdesk-
hibah/edukasi/1.Slide%20Jogja%20Mekanisme%202017.pdf diunduh tanggal 20 agustus
pukul 15.34 wib.

Salah satu isu strategis dan patut digaris bawahi dalam penyusunan
pendanaan pilkada adalah politik anggaran pilkada seperti telah disinggung
di bab 1. Walau sulit dibuktikan, politik anggaran dalam pendanaan pilkada
sulit ditepis. Berbeda dengan pendanaan Pemilu yang menjadi sorotan
banyak pihak secara nasional, termasuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sehingga kepentingan politik cenderung minim, penganggaran
pilkada biasanya lebih rentan dengan konflik kepentingan lokal, khususnya
bila kemudian petahana ikut kembali berkompetisi.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 251


Studi yang dilakukan Pratama, Agustiyati dan Sadikin (2018) dalam
mengelaborasi apakah ada politik kepentingan dalam anggaran pilkada di
17 provinsi dalam Pilkada 2018 menarik dicermati. Dalam studi tersebut
terungkap fakta bahwa ada kaitan atau relasi antara anggaran pilkada yang
besar atau kecil dengan ada atau tidaknya calon petahana yang bertarung
dalam pilkada tersebut. Temuan dalam studi tersebut menunjukkan bahwa
di daerah-daerah dengan calon petahana yang mendapat dukungan
minoritas Parpol di DPRD, maka DPRD cenderung memotong jumlah
anggaran yang diajukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Sebaliknya, di
daerah-daerah dengan calon petahana yang mendapat dukungan mayoritas
Parpol di DPRD, maka DPRD cenderung menyetujui atau bahkan menambah
jumlah anggaran yang diajukan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Selain
itu, daerah-daerah yang tidak memiliki calon petahana atau calon petahana
yang berasal dari wakil kepala daerah sebelumnya, cenderung memotong
jumlah anggaran yang diajukan oleh lembaga penyelenggara pemilu dengan
alasan efisiensi dan keterbatasan anggaran. Bentuk lain politik anggaran
Pilkada adalah memperlama proses pembahasan anggaran sehingga
berpotensi mengganggu jalannya tahapan pilkada.

Tabel 6.4. Perbandingan Presentase Anggaran Pilkada dan Kehadiran


Petahana
NO. DAERAH PILKADA PROVINSI % ANGGARAN PILKADA PETAHANA
DISETUJUI
Bali 90,16 Ada
Jawa Barat 62,01 Ada
Jawa Tengah 87,70 Ada
Jawa Timur 100 Ada
Kalimantan Barat 92,91 Tidak ada
Kalimantan Timur 72,27 Tidak ada
Lampung 96,74 Ada
Maluku 77,45 Ada
Maluku Utara 100 Ada
Nusa Tenggara Barat 82,52 Ada
Nusa Tenggara Timur 100,09 Ada
Papua 67,01 Ada
Riau 84,43 Ada
Sulawesi Selatan 97,00 Ada

252 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Sulawesi Tenggara 55,68 Tidak ada
Sumatera Selatan 78,42 Ada
Sumatera Utara 86,01 Tidak ada

Sumber: Pratama, Agustiyati dan Sadikin (2018)

Walau belum dapat dijadikan generalisasi terhadap seluruh daerah yang


melaksanakan pilkada, studi tersebut patut menjadi perhatian. Dalam
konteks itu, KPU di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada perlu
memperhatikan dan memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam
proses penyusunan dan penggunaan anggaran penyelenggara pilkada agar
terhindar dari pengaruh politik petahana yang ikut kembali bertarung.
Transparansi anggaran sangat penting terutama dalam rangka membangun
kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Melalui transparansi
anggaran, penyelenggara pemilu dapat melaporkan kerja-kerja yang sudah
dilakukan termasuk menunjukan bahwa dirinya bekerja secara profesional
dan mengedepankan neteralitas serta integritas. Transparansi ini sudah
mulai dilakukan dengan mempublikasi besaran anggaran penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah, walaupun tidak detail per-pos anggaran. Untuk
itu, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota penting mempublikasikan
besaran anggaran yang direncanakan, disetujui, sampai dengan besaran
yang dikeluarkan, termasuk hasil audit.

Ada tiga prinsip utama yang perlu dikedepankan dalam mengelola anggaran
penyelenggaraan pemilu dan pilkada yaitu:

a. Transparansi
selain salah satu cara untuk membangun rasa kepercayaan publik
terhadap penyelenggara pemilu, melalui transparansi anggaran baik KPU
RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat meningkatkan
kesadaran publik terhadap kerja-kerja yang sudah dilakukan. Pada sisi
lain, jika ada tudingan korupsi akan dengan mudah untuk diklarifikasi
dalam rangka menjaga kredibilitas penyelenggara pemilu. Penerapan
prinsip transparansi dapat dilakukan mulai dari tahapan persiapan
penganggaran, justifikasi, pengajuan anggaran, persetujuan anggaran,
penggunaan, sampai dengan pelaporan anggaran. Hal lain yang perlu
segera dilakukan ialah mempublikasi hasil audit keuangan lembaga
penyelenggara pemilu dalam rangka mendorong akuntablitas keuangan.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 253


b. Efisiensi dan efektivitas
salah satu tingkat keberhasilan penyelenggara pemilu dalam mengelola
keuangannya ialah dapat menyalurkan anggaran secara efisien tetapi
efektif atau tepat sasaran. Pendekatan berbasis hasil dapat dijadikan
salah satu metode yang dapat dilakukan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota dalam memonitoring pengelolaan anggarannya.

c. Integritas
integritas dalam manajemen keuangan, tidak hanya dilihat dari perilaku
dalam menjalankan transaksi keuangan, tetapi juga isu-isu lain, seperti
penghargaan terhadap properti intelektual (Wall, et. al. 2016).
Membangun sistem kode etik yang terlembaga di internal pegawai KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat meningkatkan integritas
pengelolaan keuangan.

D. Evaluasi Kinerja Lembaga Penyelenggara Pemilu

Evaluasi menjadi salah satu tahapan krusial yang wajib dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dalam rangka kembali meningkatkan kinerja yang
akan dilakukan pada tahun berikut-berikutnya. Evaluasi lembaga
penyelenggara pemilu dapat dipilah kedalam tiga fase, yakni sebelum
tahapan pemilu, pada saat tahapan pemilu, dan pasca tahapan pemilu
sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 5. Meskipun dalam konteks
Indonesia terdapat mekanisme pertanggung jawaban yang diatur dalam
undang-undang lembaga negara dan juga keuangan negara, khusus untuk
penyelenggara pemilu, International IDEA (2016) menyarankan beberapa
tahapan dan bentuk evaluasi yang dapat dilakukan oleh penyelenggara
pemilu yang diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kontrol kualitas internal yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara
pemilu itu sendiri dalam rangka memastikan standar kerja dan pelayanan
yang dilakukan sudah memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi;
b. Audit lembaga penyelenggara pemilu yang dilakukan secara reguler
dalam rangka memastikan akuntabilitas. Terdapat dua kategorisasi audit
diantaranya:

254 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


1. Audit kinerja yang difokuskan pada aktivitas yang dilakukan oleh
lembaga penyelenggara pemilu. Komponen audit kinerja biasanya
mencakup hal-hal berikut ini:
 wawancara dengan pemangku kepentingan utama, seperti Parpol,
pemilih, anggota legislatif, LSM, organisasi pers, kementerian dan
lembaga pemerintah lainnya, serta pemasok. Wawancara ini bisa
dilakukan melalui konsultasi bersama dengan para pemangku
kepentingan di sebuah seminar atau diskusi publik;
 wawancara dengan anggota LPP, staf sekretariat, atau juga staf
temporer dan pekerja kontrak yang terlibat dalam aktivitas yang
sedang diaudit;
 analisa terhadap rencana strategis LPP, struktur manajemen,
kebijakan-kebijakan yang diambil, rencana operasional, pembagian
kerja, dan implementasi dari aktivitas-aktivitas tersebut; dan
 evaluasi terhadap berbagai instrumen hukum seperti undang-
undang dasar, undang-undang, regulasi, keputusan pengadilan,
kode etik, serta pemeriksaan terhadap data komputer, laporan-
laporan, prosedur, dokumen panduan, pedoman kerja, dan
berbagai catatan-catatan penting lainnya.

2. Audit finansial fokus pada tata kelola keuangan termasuk standar


prosedur akuntansi yang dilakukanyang biasanya meliputi hal-hal
berikut:
 laporan dan informasi keuangan (seperti pendapatan dan
pengeluaran, kasbon, tanda terima pencairan dana, dan daftar
aset);
 permintaan anggaran dan variasi antara estimasi dan kinerja
keuangan aktual;
 kepatuhan terhadap undang-undang dan regulasi, terutama dalam
hal pengadaan barang/jasa, akuntansi, pelaporan kontrak dan
hibah, serta pencegahan tindakan korupsi; dan
 kontrol internal terhadap dana, aset, dan pelaporan (IDEA 2016).

c. Evaluasi program lembaga penyelenggara pemilu menyangkut empat


pertanyaan kunci yang perlu dijawab diantaranya:
 Apakah kerangka kerja aktivitas dan target-target LPP sudah sesuai
dengan kebutuhan dan target-target para pemangku kepentingan?
 Apakah layanan yang diberikan LPP diperlukan?
BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 255
 Apakah layanan yang diberikan LPP dapat diberikan secara lebih
efektif?
 Apa dampak jangka panjang dan jangka pendek dari pelayanan yang
diberikan?

E. Manajemen Jaringan dengan Pemangku Kepentingan

Membangun dan mengelola jaringan merupakan salah satu tugas krusial


yang wajib dilakukan oleh KPU. Membantu kerja-kerja penyelenggaraan
pemilu dan membangun kepercayaan terhadap proses pemilu termasuk
lembaga penyelenggara pemilu, menjadi dua tujuan utama yang hendak
dicapai dalam membangun hubungan kerja antara KPU dengan berbagai
pemangku kepentingan. Meningkatnya angka partisipasi pemilih bisa jadi
disebabkan oleh manajemen jaringan yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu secara baik dengan berbagai pemangku kepentingan yang dalam
praktiknya ikut mensosialisasikan tahapan pemilu, termasuk pendidikan
pemilih yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Pertanyaannya, siapa
pemangku kepentingan yang dimaksud? Juga, seberapa strategis pemangku
kepentingan terlibat dengan penyelenggara pemilu?

Pemangku kepentingan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai setiap


aktor yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung, termasuk ikut
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh berbagai aktivitas yang dilakukan
oleh KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota. Secara umum pemangku
kepentingan yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas kepemiluan antara lain:
a. Peserta pemilu: Parpol, Pasangan Calon dan Calon;
b. Pemerintah: eksekutif terdiri dari kementerian yang terkait dengan
urusan pemilu, Kepolisian, TNI ataupun pemerintah daerah, dan
legislatif yakni DPR serta DPRD;
c. Lembaga penyelenggara pemilu: Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di setiap
tingkatan, maupun lembaga penyelenggara pemilu dari negara lain;
d. Media dan jurnalis: secara khusus jurnalis yang ditugaskan untuk
meliput isu-isu pemilu;
e. Organisasi masyarakat sipil: yang menaruh perhatian terhadap isu
pemilu baik dalam negeri maupun luar negeri, termasuk lembaga-
lembaga pemantau Pemilu dan Pilkada;

256 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


f. Pemantau Pemilu : yang melakukan proses pemantauan tahapan
pemilu yang terakreditasi di Bawaslu;
g. Akademisi dan perguruan tinggi: yang memiliki fokus studi terhadap
isu pemilu;
h. Pemilih;
i. Dan pemangku kepentingan lainnya.

Dalam membangun hubungan antar lembaga, salah satu indikator yang


dapat dipertimbangkan adalah seberapa strategis peran pemangku
kepentingan tersebut untuk menyukseskan pemilu sehingga penting bagi
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk membangun relasi
dengan lembaga tersebut. Sebagai contoh, media massa memiliki peranan
untuk ikut mensosialisasikan tahapan penyelenggaraan pemilu kepada
pemilih, untuk itu penting sekali bagi penyelenggara pemilu memiliki
hubungan kelembagaan dengan media massa.

Internasional IDEA (Wall et.al. 2016) menyarankan tujuh strategi untuk


membangun relasi dengan media secara baik diantaranya:
1. Mengidentifikasi media-media yang relevan beserta liputan mereka;
2. Mengidentifikasi tokoh-tokoh penting di dunia pers yang dapat
menjamin akurasi dan efektivitas penyampaian informasi;
3. Bersifat proaktif dan transparan dalam merilis informasi kepada media;
4. Memastikan bahwa informasi yang diberikan kepada media jelas dan
mudah dimengerti;
5. Membuat tabel waktu dan jadwal perilisan informasi kepemiluan;
6. Menunjuk satu orang juru bicara LPP dan satu orang juru kontak untuk
mempermudah komunikasi antara lembaga dan media; dan
7. Membuat media centre di dalam LPP.

Organisasi masyarakat sipil dapat dijadikan sebagai salah satu pemangku


kepentingan strategis yang perlu dijaga dengan baik hubungannya. Banyak
lembaga penyelenggara pemilu memanfaatkan organisasi masyarakat sipil
termasuk kalangan akademisi dan universitas sebagai lembaga pemikir
(think thank) untuk memperoleh saran dan rekomendasi terhadap
kebijakan yang akan diambil oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota. Bahkan, sering kali inovasi-inovasi baru muncul dari usulan
yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil kepada lembaga

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 257


penyelenggara pemilu. Sebagai contoh, munculnya ide-ide sosialisasi dan
pendidikan pemilih yang memanfaatkan teknologi di Indonesia dengan cara
membuat aplikasi yang dapat digunakan di telepon genggam yang
merupakan inisiatif dari kolaborasi antara masyarakat sipil dengan
penyelenggara pemilu.

Lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun ekskutif, termasuk peserta


pemilu menjadi aktor kunci yang juga patut dijaga hubungannya, namun
dengan tetap mengedepankan prinsip independensi dan imparsialitas.
Mekanisme konsultasi dengan peserta pemilu termasuk pemerintah dalam
perumusan kebijakan yang menyangkut pemilu dapat dijadikan sarana
untuk mendapatkan masukan (feedback) sekaligus legitimasi terhadap
kebijakan yang akan dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu. Pada sisi lain,
kebutuhan sumber daya terutama pendanaan penyelenggaraan pemilu
bersumber dari pemerintah penting dikomunikasikan dengan baik oleh
penyelenggara pemilu.

Dari sini sangat penting bagi penyelenggara pemilu untuk membuat


pemetaan terhadap kelompok kepentingan yang diukur dari seberapa besar
pengaruhnya, termasuk fokus isu atau keahlian yang dimiliki oleh kelompok
kepentingan terkait. Berikut ada tabel yang dapat digunakan untuk
melakukan pemetaan terhadap kelompok kepentingan:

Tabel 6.5. Kebutuhan Bagi Penyelenggara Pemilu


Nama Lembaga Fokus/Bidang Kebutuhan Bagi Kelebihan/
Lembaga Penyelenggara* Kekurangan
Stakeholder A
Stakeholder B
Stakeholder C
Stakeholder…
*Kebutuhan bagi penyelenggara pemilu dapat disesuaikan dengan tahapan
penyelenggaraan pemilu yang membutuhkan bantuan dari pemangku kepentingan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menjaga relasi dengan para
pemangku kepentingan, yang bisa dilakukan dengan cara (Wall, et. al.
2016):
1. Memelihara komunikasi yang terbuka dan dua arah;

258 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


2. bersikap sensitif terhadap kebutuhan dan persoalan pemangku
kepentingan;
3. benar-benar mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan
ketika akan membuat keputusan;
4. memperlakukan para pemangku kepentingan secara setara, sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan atau diuntungkan oleh aktivitas LPP;
5. bertindak secara transparan, di mana rapat-rapat LPP bersifat terbuka
dan dapat dikritisi dan ditindaklanjuti;
6. menjaga standar etis yang tinggi, menghargai hak asasi, imparsialitas,
dan kepedulian dalam berinteraksi dengan pemangku kepentingan; dan
7. segera mencari solusi paling berimbang untuk menyelesaikan konflik
antara kebutuhan anggota dan staf LPP dengan pemangku kepentingan.

F. Infrastruktur Penyelenggara Pemilu

Infrastruktur penyelenggara pemilu dapat dimaknai berbagai perlengkapan


yang menunjang kebutuhan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
dalam rangka menjadikan lembaga penyelenggara pemilu yang profesional.
Penggunaan teknologi informasi yang tepat guna menjadi infrastruktur
pendukung untuk optimalisasi peran penyelenggara pemilu. Selain
mempermudah kerja penyelenggara pemilu, keberadaan teknologi
informasi dalam pemilu dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan
akuntabilitas penyelenggaraan pemilu.

Teknologi informasi bisa dimanfaatkan di berbagai proses Pemilu dan


Pilkada termasuk untuk kebutuhan internal lembaga penyelenggara.
Namun demikian, sebelum menjatuhkan pilihan untuk menggunakan
teknlogi tertentu dalam pemilu, Administration and Cost of Elections (ACE)
Project menyarankan setiap penyelenggara pemilu untuk memperhatikan
12 prinsip penggunaan teknologi dalam pemilu yang diantaranya adalah:
1. Penilaian yang holistik terhadap kemajuan teknologi:
sebagai sebuah instrument atau alat bantu, penggunaan teknologi
memerlukan kajian dan pertimbangan pilihan teknologi apa yang
digunakan, untuk kebutuhan apa, dan pada tahapan pemilu apa. Selain
itu penting juga meninjau kerangka hukum yang berlaku;
2. Mempertimbangkan dampak dari penerapan teknologi:
saat teknologi akan diterapkan atau sebuah sistem baru akan
diimplementasikan untuk mengganti sistem lain, evaluasi terhadap

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 259


sistem sebelumnya sangatlah dibutuhkan dalam rangka mengukur
dampak dan nilai perubahan, termasuk apakah tujuan dari penggunaan
teknologi akan tercapai atau tidak;
3. Menjaga transparansi dan etika:
pertanyaan kunci yang harus dijawab sebelum menerapkan teknologi
informasi dalam pemilu ialah sejauh mana sistem yang dibangun
mampu menghasilkan keterbukaan dan mudah diakses oleh publik. Hal
ini penting guna membangun kepercayaan publik terhadap sistem
informasi tersebut;
4. Memperhatikan dan memastikan keamanaan teknologi:
tingkat keamanaan harus menjadi prioritas utama dari teknologi pemilu
yang digunakan. Sistem keamanan wajib diuji dan ditunjukan kepada
publik agar sistem tersebut dapat dipercaya;
5. Mengukur akurasi yang dihasilkan:
penggunaan teknologi haruslah diuji seberapa jauh tingkat akurasinya
dalam rangka meminimalisir manipulasi;
6. Memastikan kerahasiaan:
azas pemilu rahasia pada tahapan pemungutan suara haruslah tercapai
ketika pilihan terhadap teknologi tertentu diterapkan. Data-data
pribadi pemilih termasuk hasil pilihan pemilih di bilik suara harus
terjaga dengan baik dan dapat dipastikan tidak dapat dilihat oleh pihak
manapun;
7. Memastikan inklusifitas:
penggunaan teknologi haruslah akses dan mudah digunakan oleh
siapapun. Untuk itu konsultasi dengan semua pemangku kepentingan
seperti pemilih sangat penting dalam rangka memastikan tidak ada
yang dirugikan dan kesulitan dalam penggunaan teknologi pemilu;
8. Mempertimbangkan efektivitas biaya:
sebelum memutuskan penggunaan teknologi salah satu aspek yang
perlu dipertimbangkan ialah besaran biaya yang akan dikeluarkan.
Pertimbangan daya jangkau penggunaan dan masa waktu pemanfaatan
dapat dijadikan indikator apakah besaran biaya yang dikeluarkan
sepadan dengan penggunaan teknologi tersebut;
9. Mengevaluasi efisiensi teknologi:
salah satu tujuan utama dari penggunaan teknologi ialah untuk
mencipatkan efisiensi. Pertanyaan ini harus terjawab secara baik ketika
260 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU
menjatuhkan pilihan pada teknologi tertentu. Untuk itu, menjadi
penting untuk memastikan apakah sistem teknologi yang digunakan
lebih efisen dibandingkan dengan sistem sebelumnya;
10. Evaluasi keberlanjutan teknologi:
apakah teknologi tersebut memiliki masa waktu penggunaan yang
lama? Atau justru sekali pakai? Dua pertanyaan ini penting untuk
diajukan karena menyangkut prinsip efisiensi dan juga besaran biaya
yang dikeluarkan. Jika sebuah teknologi dapat digunakan secara
berkelanjutan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, maka teknologi
tersebut dapat dikatakan efisien dan efektif untuk diterapkan dalam
jangka panjang;
11. Fleksibilitas teknologi dengan regulasi pemilu:
pemilihan teknologi yang akan diterapkan harus dapat
menyesuaikan/fleksibel dengan konteks regulasi pemilu yang
diterapkan di suatu negara ditengah situasi regulasi pemilu yang sering
kali dinamis atau dapat berubah-ubah dari pemilu ke pemilu;
12. Mudah digunakan dan dipercaya masyarakat:
cara kerja teknologi haruslah mudah dipahami dan mudah digunakan
oleh pemilih. Kemudahan ini akan mendorong kepercayaan pemilu
terhadap sistem teknologi yang dibangun oleh penyelenggara pemilu.
Sehingga harapannya tidak ada resistensi atau penolakan terhadap
sistem yang digunakan.11

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat memberi


peluang pengelolaan data dan informasi yang cepat dan akurat sehingga
perlu dimanfaatkan oleh KPU dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya. Pada praktiknya, pemanfaatan teknologi informasi
bukanlah hal yang baru dalam pemilu di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian
“Penerapan Teknologi dalam Pemilu dan Pilkada” oleh tim kajian penerapan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Pemilu dan Pilkada yang diinisiasi
oleh KPU periode 2012-2017, sejak pemilu pertama pasca tumbangnya
rezim otoritarian orde baru, Indonesia mulai menggunakan teknologi dalam
menunjang aktivitas penyelenggara pemilu. Hasil Pemilu 1999 mulai
didigitalisasi dengan cara dientri ke komputer pada tingkat Kabupaten/Kota

11 http://aceproject.org/ace-en/topics/et/introduction/et20 (diakses pada tanggal 30 Agustus 2019).

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 261


yang memanfaatkan jaringan komunikasi milik BRI dan BNI yang kemudian
datanya dikirim ke KPU. Teknologi informasi yang digunakan oleh KPU pada
Pemilu 1999 dikenal dengan konsep jaringan Sistem Komunikasi Haji
Terpadu (Siskohat).

Pada Pemilu 2004, penggunaan teknologi tidak hanya dilakukan untuk


menyimpan data hasil pemilu, tetapi juga dimaksudkan untuk efektifitas
proses rekapitulasi. Sehingga harapannya pemilih dan peserta pemilu dapat
mengetahui hasil pemilu dengan cepat. Formulir C1 IT disediakan di level
kecamatan untuk dientri oleh operator dan dikirim langsung ke Data Center
KPU. Data tersebut kemudian ditabulasi di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu
dan ditampilkan di website sehingga masyarakat dapat melihat secara
langsung real count hasil Pemilu.

Pemanfaat sistem teknologi informasi terus dikembangkan di Pemilu 2009


sampai dengan Pemilu 2019. Dalam perjalanannya penggunaan teknologi
tidak hanya sebatas pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara,
yang sebetulnya hanya ditempatkan sebagai informasi publik karena
undang-undang pemilu yang ada mengatur proses pemungutan dan
penghitungan suara secara manual. Namun, lebih jauh penggunaan
teknologi sejak Pemilu 2014 masif digunakan di setiap tahapan yang salah
satu tujuan utamanya ialah untuk efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemilu, memberikan transparansi proses pemilu, memberikan pendidikan
politik, dan membangun kepercayaan publik.

Berikut sejumlah inovasi KPU dalam mengembangkan infrastruktur tahapan


penyelenggaran Pemilu:12

1. Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL)

Ujian pertama yang dihadapi KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2014


adalah melaksanakan tahapan pendaftaran dan verifikasi Parpol peserta
pemilu secara sukses dan lancar. Tahapan ini berjalan secara sukses apabila
dalam proses pendaftaran dan verifikasi Parpol peserta pemilu tersebut
KPU menjalankan proses secara transparan, mandiri, akurat, profesional,

12 Penjelasan Bagian ini sebagian besar dikutip dari Buku Inovasi Pemilu, Mengatasi tantangan
Memanfaatkan Peluang, Komisi Pemilihan umum 2017, Bab 7 Teknologi Informasi dalam
Penyelenggaraan Pemilu

262 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


dan adil terhadap semua calon peserta pemilu. Dengan demikian, hasil dari
verifikasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara baik kepada Parpol dan
masyarakat luas.

Untuk mencapai tujuan tersebut KPU memanfaatkan sebuah aplikasi yang


disebut Sistem Informasi Partai Politik. SIPOL merupakan sebuah aplikasi
yang bertujuan membantu KPU dalam melakukan verifikasi Parpol calon
peserta pemilu. SIPOL dikembangkan oleh KPU untuk membantu Parpol
calon peserta pemilu saat mengisi data pengurus Parpol di setiap tingkatan
dan anggota Parpol yang menjadi persyaratan sebagai peserta Pemilu
Legislatif 2014. Dengan penggunaan SIPOL, diharapkan format data
kepengurusan dan anggota semua Parpol bisa seragam. Format data yang
berbeda-beda akan lebih menyulitkan verifikasi Parpol calon peserta
pemilu.

Dalam rangka membangun aplikasi SIPOL, KPU menjajaki kerjasama dengan


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan beberapa lembaga
lainnya. Pada awal bulan Juni 2012, KPU dan BPPT menjajaki kemungkinan
kerjasama ini. Beberapa pertemuan berupa workshop dan diskusi kelompok
terarah (focus group discussion/ FGD) dilakukan oleh KPU dan BPPT untuk
merumuskan aplikasi ini. Namun karena keterbatasan waktu yang tersedia
untuk menyiapkan aplikasi ini, kerjasama KPU dengan BPPT urung
dilaksanakan. KPU kemudian bekerja sama dengan Prakarsa Pendaftaran
KPU yang tengah mematangkan aplikasi SIDALIH. Dengan keterbatasan
waktu yang tersedia, para programmer Prakarsa KPU dengan supervisi
anggota KPU menyusun aplikasi SIPOL. Aplikasi SIPOL Pemilu 2014
kemudian dikembangkan dan digunakan lagi dalam pendaftaran dan
verifikasi Parpol peserta Pemilu 2019.

KPU menyediakan dua macam cara bagi Parpol untuk mengisi data
kepengurusan dan anggota, yaitu secara on line melalui portal yang telah
disediakan dan secara off line dengan menggunakan format excel yang telah
disiapkan oleh KPU. Untuk memudahkan Parpol dalam mengisi kedua
macam data tersebut, KPU telah beberapa kali melakukan sosialisasi SIPOL
kepada Parpol dan menyediakan layanan help desk yang bisa diakses
melalui tatap muka, e-mail, telepon maupun pesan singkat yang siap
membantu Parpol untuk mengisi data tersebut. Untuk pengisian data
Parpol, hanya petugas dari masing-masing Parpol yang bisa mengisi. Setiap

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 263


petugas Parpol dibuatkan user name dan password untuk bisa mengakses
aplikasi ini.

Desain SIPOL selain ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada Parpol


untuk mengisi data kepengurusan dan anggota dan membantu KPU
melakukan verifikasi administrasi dan faktual; juga ditujukan untuk
mendorong akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam
mengontrol kerja KPU dalam melakukan proses verifikasi Parpol peserta
pemilu. Setelah KPU mengumumkan hasil verifikasi administrasi, SIPOL
menampilkan data-data kepengurusan setiap Parpol pada semua tingkatan
(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Kecamatan) dan data anggota
semua Parpol di masing-masing Kabupaten/Kota beserta jumlah
penduduknya. Masyarakat luas dapat mengakses data tersebut di portal
KPU dan semua orang yang memiliki akses internet bisa mendapatkan
informasi kinerja KPU dalam melaksanakan verifikasi administrasi
persyaratan peserta pemilu. Hal ini merupakan bentuk
pertanggungjawaban kinerja KPU kepada publik, termasuk kepada Parpol
dalam proses verifikasi administrasi, selain juga sebagai sarana
pertanggungjawaban atas kinerja KPU.

SIPOL juga bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi


masyarakat dalam proses verifikasi administrasi maupun faktual Parpol
calon peserta pemilu. Dengan SIPOL, masyarakat dengan mudah bisa
melihat dan menilai Parpol yang memenuhi persyaratan administrasi
sebagai peserta pemilu atau tidak. Selain itu, masyarakat diharapkan
mengontrol kinerja KPU dalam melaksanakan verifikasi administrasi dan
faktual. Masyarakat juga diharapkan berpartisipasi aktif dalam proses
verifikasi ini dengan cara menyampaikan informasi terkait kebenaran dan
akurasi data yang diserahkan Parpol, misalnya kepengurusan ganda serta
alamat ataupun anggota fiktif. Publik dapat melaporkan ketidakbenaran
data tersebut kepada KPU maupun Bawaslu pada setiap tingkatan. Akan
tetapi, aplikasi SIPOL ini bukan tanpa kendala. Beberapa Parpol menolak
memasukkan data Parpol yang akan diverifikasi lewat sistem ini. Beberapa
alasan di antaranya adalah KPU dianggap membuat norma baru dengan
mensyaratkan Parpol menggunakan SIPOL untuk proses verifikasi dan
adanya kecurigaan yang tidak mendasar bahwa lembaga asing telah
mengintervensi KPU dan akan memanfaatkan data Parpol di Indonesia
untuk kepentingan asing.

264 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Gambar 6.9. SIPOL

2. Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH)

Sistem Informasi Data Pemilih, dikenal dengan SIDALIH, adalah sebuah


aplikasi yang digunakan oleh KPU untuk menyusun dan memutakhirkan
daftar pemilih untuk kebutuhan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Aplikasi SIDALIH ini mulai dikembangkan oleh KPU pada tahun 2011. Aplikasi
SIDALIH ini dikembangkan untuk menjawab permasalahan daftar pemilih
pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 yang menjadi sorotan publik.
Kondisi pasca-Pemilu 2009 adalah KPU tidak memiliki basis data yang
terpusat. KPU menggunakan lebih dari 80.000 berkas spreadsheet yang
dijalankan dengan menggunakan aplikasi yang tidak memiliki kemampuan
integrasi dengan basis data yang terpusat (Prakarsa Pendaftaran KPU; 2012).
Situasi ini menjadikan proses kegiatan penyusunan dan pemutakhiran daftar
pemilih sulit untuk dikelola dan dikontrol. Pendekatan baru yang akan
digunakan adalah membuat basis data secara terpusat dan membangun
aplikasi yang memiliki kemampuan integrasi dengan basis data tersebut.

Masalah utama dari kondisi yang ada saat itu adalah tidak adanya basis data
tunggal. Masing masing KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memiliki basis
data yang berbeda. Format dan teknologi yang dipakai oleh KPU Provinsi dan

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 265


KPU Kabupaten/Kota juga bermacam-macam. Tidak ada sebuah sistem
informasi yang mampu mengintegrasikan format data dan teknologi yang
digunakan oleh masing-masing daerah. Hal ini membuat KPU mengalami
kesulitan untuk mengintegrasikan seluruh data pemilih di Indonesia dan
melakukan analisis data dalam skala nasional. Untuk mengumpulkan semua
basis data tersebut menjadi satu juga bukan perkara mudah karena format
yang dipakai tidak seragam.

Masalah lainnya adalah aplikasi yang digunakan untuk mengolah basis data
pada waktu itu (DP Tools) tidak memiliki kemampuan berterintegrasi dengan
aplikasi yang sama di tempat lain sehingga data yang diolah berisiko
mengalami duplikasi dan tidak dirancang untuk dapat berkoordinasi dengan
basis data tunggal. Kondisi ini menyebabkan perubahan yang terjadi pada
tingkat pemutakhiran tidak dapat diketahui dan dipantau dengan cepat oleh
para pemangku kepentingan yang berada di lokasi yang berbeda.

Tujuan utama dari aplikasi SIDALIH ini adalah untuk membuat daftar pemilih
yang akurat, komprehensif, dan terkini (up-to-date). SIDALIH dikembangkan
dengan proses yang cukup panjang dengan melibatkan banyak pihak.
Beberapa pihak yang terlibat dalam pengembangan sistem ini antara lain
KPU, BPPT, Kementerian Dalam Negeri, perwakilan LSM, perwakilan
perguruan tinggi, dan perwakilan KPU Provinsi. Perwakilan dari setiap
lembaga ini masuk dalam steering committee (SC) Prakarsa Pendaftaran
Pemilih KPU. Steering committee diketuai oleh anggota KPU yang
membidangi daftar pemilih dibantu dua anggota KPU lainnya sebagai wakil
ketua. Selain itu, tim steering committee dibantu oleh sebuah organizing
committee (OC) yang terdiri atas para ahli di bidang pendaftaran pemilih dan
bidang informasi dan teknologi.

Beberapa kegiatan yang dilakukan Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU dalam


mengembangkan sistem penyusunan daftar pemilih pada saat itu antara lain
melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan, melakukan
kajian terhadap sistem pendaftaran pemilih di negara-negara sahabat,
melakukan FGD (Focus Group Discussion) di beberapa wilayah di Indonesia,
melakukan seminar publik, dan menyelenggarakan uji coba terhadap sistem
ini di tiga wilayah (Kabupaten Karimun - Kepulauan Riau, Kota Tangerang
Selatan – Banten, dan Kabupaten Tabanan - Bali).

266 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


KPU Periode 2012-2017 kemudian melanjutkan dan terus mengembangkan
inisiatif yang telah dilakukan oleh KPU periode sebelumnya dan berkomitmen
untuk mempelajari dan mengimplementasikan dalam Pemilu 2014. Demikian
juga dengan KPU periode 2017-2022 terus mengembangkan dan
menyempurnakan SIDALIH dengan memperbesar kapasitas Server SIDALIH
dalam Pemilu 2019.

SIDALIH dikembangkan untuk digunakan oleh petugas PPS, PPK, sampai


dengan KPU untuk melakukan pemutakhiran data pemilih, yaitu melakukan
fungsi CRUDE (create, read, update and delete). Aplikasi ini akan sangat
membantu PPS dalam mengalokasikan pemilih ke dalam TPS. PPS tidak lagi
perlu menggunting data pemilih dan mengelompokkan ke TPS secara manual,
tetapi KPU Kabupaten/Kota dan/atau PPS hanya cukup menjalankan manual
aplikasi IT yang telah disiapkan. Aplikasi IT ini juga dirancang untuk
membantu PPS dalam menyusun TPS secara komputerisasi.

Aplikasi SIDALIH selain memiliki fungsi penyusunan dan pemutakhiran


(CRUDE), juga memiliki fungsi untuk mempublikasikan daftar pemilih secara
on line di laman KPU. Yang tidak kalah penting adalah SIDALIH memiliki fitur
monitoring. Fitur ini sangat membantu KPU dalam memantau proses
penyusunan daftar pemilih, memberikan informasi hasil analisa daftar
pemilih secara nasional yang berupa data potensi ganda, data pemilih yang
belum lengkap elemen datanya, dan/ atau elemen data yang belum valid.

SIDALIH adalah sebuah aplikasi terpusat yang berbasis internet (web). Setiap
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memiliki portal masing-masing. Data
pemilih yang akan diolah oleh KPU di masing-masing wilayah terpusat di
server KPU. Setiap satuan kerja KPU hanya bisa mengakses data di wilayah
kerjanya masing-masing, tidak diberikan akses untuk melakukan perubahan
di luar wilayah kerjanya. Operator SIDALIH di setiap satuan kerja KPU
jumlahnya berbeda-beda, tergantung dengan ketersediaan sumberdaya
manusia dan jumlah data pemilih. Namun demikian, KPU menetapkan jumlah
operator SIDALIH sekurang-kurangnya 2 (dua) orang di setiap satuan kerja di
provinsi atau kabupaten/kota. Namun demikian, operator SIDALIH dapat
diperluas atau diperbanyak dengan melibatkan anggota PPK jika jaringan
internet di wilayah kerja KPU Kabupaten/Kota menjangkau sampai tingkat
kecamatan. Setiap operator SIDALIH memiliki akun dan kata kunci yang
sifatnya rahasia.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 267


Pengolahan data pemilih tidak harus selalu membutuhkan sambungan
internet dan tersambung dengan aplikasi SIDALIH. Petugas PPS dan PPK dapat
melakukan pemutakhiran/perubahan data pemilih dengan menggunakan
Microsoft Excel yang dengan format yang telah disesuaikan untuk kebutuhan
aplikasi SIDALIH. Petugas PPK dan PPS tinggal menyusun tabel perubahan
data pemilih yang disebabkan pemilih tidak memenuhi syarat (TMS – karena
meninggal dunia, pindah domisili, ganda), pemilih baru, atau perubahan
elemen data. Setelah PPS dan PPK selesai menyusun tabel perubahan data
pemilih dengan excel yang sudah disesuaikan formatnya, operator SIDALIH di
KPU Kabupaten/Kota tinggal mengunggah data tersebut ke aplikasi SIDALIH.
Proses unggah data ke SIDALIH ini membutuhkan sambungan internet. Salah
satu kelebihan penggunaan aplikasi SIDALIH ini adalah aplikasi ini
memberikan informasi secara detail terkait dengan setiap perubahaan data,
siapa yang melakukan perubahan data tersebut, dan kapan perubahan data
tersebut dilakukan.

Penggunaan SIDALIH pada Pemilu 2014, Pilkada 2015, 2017, 2018, dan Pemilu
2019 mendapatkan banyak pujian atau apresiasi dari banyak pihak karena
SIDALIH dinilai banyak membantu terobosan dalam upaya memperbaiki
kualitas daftar pemilih. Keberhasilan SIDALIH dalam meningkatkan kualitas
DPT antara lain:
1. SIDALIH menjadi alat untuk melaksanakan prinsip transparansi dalam hal
daftar pemilih. Dengan SIDALIH masyarakat luas dapat mengakses daftar
pemilih secara on line di laman KPU.
2. SIDALIH mampu mengonsolidasikan daftar pemilih dalam jumlah yang
sangat besar, 190 juta pemilih, secara terpusat.
3. SIDALIH memberikan informasi awal tentang kegandaan data pemilih dan
ketidakakuratan data pemilih yang disusun oleh KPU Kabupaten/Kota.
4. Yang tidak kalah penting adalah Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)
memberikan nilai 74,9 untuk kualitas DPT Pemilu 2014.
5. Pada penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2015, Tahun 2017, Tahun
2018 dan Pemilu 2019 SIDALIH kembali memainkan peran vitalnya dalam
proses menyusun dan mempublikasikan daftar pemilih. KPU juga
memanfaatkan SIDALIH untuk Pilkada karena SIDALIH dianggap salah satu
success story dari penyelenggaraan Pemilu 2014.

Sekalipun demikian, terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh KPU


dalam mengimplementasi aplikasi SIDALIH ini, antara lain:
268 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU
1. Infrastruktur jaringan internet dan listrik untuk beberapa wilayah
Indonesia bagian timur, khususnya di Provinsi Papua, Papua Barat,
Maluku, Maluku Utara, dan beberapa kabupaten di Provinsi Aceh belum
memadai.
2. Sumberdaya manusia, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, untuk
menjadi operator SIDALIH di tingkat kabupaten/kota belum mencukupi.
3. Waktu yang tersedia dalam menyusun daftar pemilih oleh KPU
Kabupaten/Kota sangat pendek menyebabkan proses unggah data pemilih
dalam sistem menjadikan SIDALIH menjadi sangat tinggi frekuensi
(crowded).
Gambar 6.10. SIDALIH

3. Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG)

November 2013 merupakan awal mula tercetusnya ide pemanfaatan


teknologi untuk meningkatkan transparansi hasil Pemilu 2014 dan
memberikan informasi hasil pemilu kepada publik lebih cepat. Beberapa
pertemuan, baik formal maupun informal, digelar oleh pimpinan KPU untuk
mendengarkan berbagai masukan dari para ahli teknologi informasi dari
beberapa institusi, seperti BPPT, Pusilkom Universitas Indonesia, dan
Prakarsa KPU, untuk merealisasikan ide tersebut. Dengan

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 269


mempertimbangkan ketersediaan waktu, infrastruktur di daerah, dan juga
ketersediaan sumberdaya manusia, aplikasi Sistem Informasi Penghitungan
Suara (SITUNG) didorong untuk menjadi sarana KPU dalam membuat arsip
digital hasil pemilu yang berupa formulir C1, formulir DAA, DA1, DB1, dan
DC1 serta sebagai sarana mempublikasikan hasil pemilu dalam bentuk
image maupun excel. SITUNG dalam kesempatan itu tidak didesain untuk
melakukan tabulasi nasional hasil penghitungan suara seperti yang
dilakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Desain SITUNG sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2004 dan
2009, yaitu berbasis aplikasi offline (lokal), scanner/pemindai, dan aplikasi
excel. SITUNG terdiri atas beberapa aplikasi, yaitu aplikasi scan formulir C1,
aplikasi excel untuk formulir rekapitulasi, dan e-rekap.

Aplikasi scan formulir C1 adalah sebuah sistem teknologi informasi (IT) yang
berbasis off line yang dapat dioperasionalkan tanpa membutuhkan
sambungan internet. Aplikasi ini diinstal pada komputer masing-masing
operator dan disambungkan dengan mesin scanner yang dimiliki. Setelah
aplikasi scan C1 terinstal dan tersambung dengan mesin scanner, operator
memulai melakukan pemindaian formulir C1. Hasil pemindaian formulir C1
ini tersimpan dalam aplikasi dan siap dikirim ke server KPU di Jakarta. Agar
bisa mengirimkan gambar formulir model C1 hasil pemindaian ini, komputer
harus terhubung dengan jaringan internet.

Meski perangkat dan teknologi yang digunakan sama dengan 2009, tetapi
pada Pemilu 2014 KPU tidak lagi menggunakan teknologi ICR (Intelligent
Character Recognition) yang mampu melakukan pembacaan dan
rekapitulasi otomatis. Pada Pemilu 2014, KPU memindai formulir C1 dan
hasilnya berupa gambar (image) kemudian ditampilkan di website KPU
sehingga bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Selain image formulir
C1, sejak penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 KPU juga memberikan
informasi hasil penghitungan suara yang lebih cepat, meski bukan hasil final.

Aplikasi scan formulir C1 merupakan sebuah sistem aplikasi yang dirancang


dan diimplementasikan oleh KPU dalam rangka mempublikasikan hasil
penghitungan suara di TPS dari seluruh Indonesia secara cepat. Formulir C1
merupakan formulir yang berisi hasil perolehan suara setiap Parpol, calon
anggota legislatif, maupun pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di

270 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


setiap TPS. Dengan demikian formulir C1 ini merupakan data primer dari
proses penghitungan suara di tingkat paling bawah.

Prosedur dari sistem scan formulir C1 dimulai ketika salinan Formulir C1


yang berasal dari TPS dikirimkan oleh KPPS kepada KPU Kabupaten/Kota
melalui PPS dan PPK. Formulir C1 yang diterima oleh KPU Kabupaten/Kota
kemudian dipindai dan diunggah di website KPU. Meskipun implementasi
dan kinerja sistem scan C1 tidak sempurna, sistem ini telah memberikan
sumbangan yang besar bagi keterbukaan hasil pemilu di Indonesia. Semua
lapisan masyarakat bisa mendapatkan hasil penghitungan suara di seluruh
TPS di Indonesia tanpa harus datang ke TPS yang bersangkutan.

Aplikasi scan formulir C1 menjadi fenomena baru dalam sejarah demokrasi


di Indonesia. Selain KPU menyediakan data primer penghitungan suara di
TPS dari seluruh Indonesia secara on line, sistem ini telah
menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat secara terorganisasi untuk
mengawal proses rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.
Beberapa kelompok masyarakat yang terorganisir tersebut di antaranya
tergabung dalam kawalpemilu.org dan jariungu.org.

Tidak berhenti pada tingkatan mengunggah formulir C1 saja, KPU juga


mengunggah rekapitulasi manual di tingkat PPK, KPU Kabupaten/ Kota, dan
Provinsi atau formulir DA-1, DB-1, dan DC-1 di website KPU. Dengan
mempublikasikan berbagai jenis formulir hasil penghitungan suara kepada
masyarakat luas, kemungkinan terjadinya kecurangan oleh penyelenggara
pemilu atau peserta pemilu semakin kecil. Kemungkinan terjadinya
kecurangan akan segera diketahui, di mana kecurangan itu terjadi dan siapa
pelakunya.

Pada Pemilu Legislatif 2014 Sistem Scan C1, tingkat keberhasilannya tidak
setinggi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Jika pada Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2014 jumlah formulir C1 yang berhasil dipindai
dan diunggah di website KPU mencapai 99,18 persen, pada Pemilu Legislatif
2014 sebanyak 81,85 persen. Ketidakberhasilan untuk mengunggah 100
persen formulir C1 dari seluruh TPS disebabkan oleh beberapa hal,
terutama faktor infrastruktur internet dan kualitas sumberdaya manusia di
daerah. Mayoritas KPU Kabupaten/Kota mampu menyelesaikan

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 271


pemindaian dan pengunggahan formulir C1 kecuali di beberapa daerah di
wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2015, 2017, 2018 serta


Pemilu Serentak 2019, SITUNG terus dilanjutkan dengan beberapa
pengembangan aplikasi. Jika pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-
Wakil Presiden 2014 aplikasi SITUNG hanya menyediakan informasi berupa
gambar (image) dari Model C1 dan formulir rekapitulasi penghitungan suara
di semua tingkatan, pada penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2015
KPU memberikan layanan tambahan kepada masyarakat untuk mengetahui
hasil pemilihan lebih cepat, tetapi bukan merupakan hasil pemilihan yang
resmi. Layanan hasil penghitungan cepat (real count) ini difasilitasi oleh
sebuah aplikasi yang disebut e-rekap. Hitung cepat ini dilakukan dengan
cara menginput sebagian dari data formulir C1 di dalam aplikasi e-rekap.
Hasilnya kemudian dipublikasikan kepada masyarakat luas di website KPU.
Tidak sedikit KPU Kabupaten/Kota mampu menyelesaikan input dan unggah
formulir C1 kurang dari 24 jam setelah proses pemungutan suara selesai.

E-rekap adalah sebuah aplikasi berbasis off line dan mandiri (stay alone)
yang difungsikan untuk menginput dan mempublikasikan beberapa elemen
penting dari data dalam formulir Model C1. Untuk menggunakan aplikasi
ini, operator harus menginstal terlebih dahulu aplikasi e-rekap yang dapat
diperoleh dengan cara mengunduh pada masing-masing portal KPU
Kabupaten/Kota. Untuk menjaga otentisitas dan keamanan data yang
dikirim oleh operator di daerah, setiap penggunaan aplikasi e-rekap
memerlukan username dan password yang harus diverifikasi oleh KPU.
Untuk pengiriman hasil input Model C1 ke server KPU di Jakarta, komputer
harus tersambung dengan jaringan internet. Pengiriman data e-rekap lebih
mudah karena jaringan internet yang dibutuhkan tidak sebesar pengiriman
image Model C1 hasil dari pindai. Server KPU akan menampilkan hasil hitung
cepat yang dikirim oleh e-rekap secara real time. Dengan demikian
masyarakat bisa memantau perubahan perolehan suara setiap pasangan
calon pada masing-masing daerah setiap menit atau jam.

Aplikasi SITUNG telah menstimulasi masyarakat untuk mengawal dan


mengawasi proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang dilakukan
secara berjenjang. Aplikasi pindai dan publikasi Model C1 juga membuat
masyarakat aktif untuk melaporkan kesalahan atau ketidakakuratan

272 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


maupun potensi kecurangan yang terjadi pada Model C1 sebagaimana yang
terjadi dalam Pemilu 2019. Untuk merespons hal ini, KPU membuka kanal
pengaduan masyarakat terkait scan Model C1 yang dipublikasikan kepada
masyarakat melalui saluran e-mail, layanan telepon, dan media sosial
seperti twitter. KPU menerima ratusan bahkan ribuan aduan dari
masyarakat terkait dengan Model C1 yang diunggah. Mayoritas aduan
tersebut adalah kesalahan tulis, kesalahan penjumlahan, dan adanya
coretan di Model C1 yang dilakukan oleh petugas KPPS. KPU memvalidasi
data laporan masyarakat dan menyampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota
yang bersangkutan untuk memperbaiki data tersebut dalam proses
rekapitulasi di atasnya dan menyampaikan jawaban kepada masyarakat
setelah masalahnya ditindaklanjuti. Dalam Pemilu 2019 proses pindai dan
entry C1 Situng diupayakan oleh KPU hingga mendekati 100%. Hasilnya
mengalami peningkatan cukup signifikan. Situng Pemilu Presiden/Wakil
Presiden mencapai 99,5%. Sementara Situng Pemilu DPR RI mencapai
98,9%.
Gambar 6.11. SITUNG

4. Sistem Informasi Pencalonan (SILON) dan Portal Informasi Pemilu 2019

Sistem Informasi Pencalonan (SILON) pertama kali disusun atau dikembangkan


pada awal tahun 2015 dengan tujuan untuk membantu KPU Provinsi/KIP Aceh
BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 273
dan KPU/KIP Kabupaten/Kota untuk melayani calon kepala daerah dari jalur
perseorangan. Pengalaman penyelenggaraan pilkada periode sebelumnya,
KPU belum memiliki sistem informasi yang membantu KPU daerah dalam
meneliti dan memverifikasi syarat dukungan pasangan calon dari jalur
perseorangan. Ketiadaan sistem informasi itu membuat proses penelitian dan
verifikasi dukungan calon perseorangan mengalami banyak kendala, tidak
seragam antardaerah, dinilai kurang transparan, dan berpotensi memunculkan
dukungan ganda. Dengan adanya sistem informasi, diharapkan beban kerja
KPU di daerah dalam memeriksa dan memverifikasi syarat dukungan menjadi
lebih ringan. KPU daerah tidak perlu menghitung secara manual jumlah
minimal dukungan, indikasi dukungan ganda internal pasangan calon atau
ganda dengan pasangan calon lain, maupun dukungan yang tidak memenuhi
syarat.

SILON versi pertama merupakan sebuah aplikasi atau sistem informasi berbasis
off-line dan berdiri sendiri - stand alone. SILON versi pertama ini digunakan
untuk Pilkada Serentak Tahun 2015. Untuk menjalankan aplikasi ini, operator
harus menginstal SILON dalam komputer masing-masing. Setelah diinstal,
operator KPU daerah dapat mengoperasikan aplikasi ini. Beberapa fitur
penting dari aplikasi SILON versi pertama ini antara lain adalah menghitung
jumlah minimal syarat dukungan dan mendeteksi data dukungan ganda baik
dukungan ganda dalam satu pasangan calon maupun ganda dengan pasangan
calon lainnya.

Untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2017, KPU menyempurnakan


aplikasi SILON versi pertama. Aplikasi SILON versi kedua berbasis web (web
base-application) dengan banyak fitur di dalamnya. Untuk dapat menggunakan
aplikasi SILON versi kedua ini, operator tidak perlu mengunduh dan instal
aplikasi, operator setiap KPU daerah cukup memiliki username dan password
untuk bisa mengakses portal SILON. Kelebihan dari aplikasi berbasis website
adalah data terkait dengan pencalonan data dukungan pasangan calon yang
diolah operator di daerah terpusat di server KPU, sehingga KPU dengan mudah
memonitoring dan mensupervisi KPU daerah dalam meneliti dan
memverifikasi dokumen pasangan calon.

274 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Gambar 6.12. SILON

SILON, SIDALIH, SITUNG, dan SILOG ibaratnya “kamar dapur” di mana KPU
mengolah informasi terkait data pencalonan kepala daerah, data pemilih,
dan data logistik pemilihan. Sementara Sistem Informasi Tahapan Pemilihan
(SITAP) ibarat “kamar tamu” sebagai tempat untuk menyuguhkan hasil dari
data yang diolah di “kamar dapur”. SITAP adalah sebuah portal KPU yang
menyajikan informasi setiap tahapan pemilihan. SITAP adalah sebuah upaya
dari KPU untuk memberikan pelayanan “one stop service” kepada
masyarakat untuk mendapatkan berbagai jenis informasi terkait dengan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Portal SITAP KPU menjadi
rujukan utama, pertama, dan terpercaya bagi banyak pihak untuk
mengetahui dan menyampaikan informasi pemilihan kepala daerah di
Indonesia. Pada Pemilu 2019 SITAP dikembangkan menjadi portal Pusat
Informasi Pemilu dimana publik dapat mengakses berbagai informasi
kepemiluan mulai dari tahapan Pemilu, informasi Calon, sampai dengan
hasil pemilu. Pusat Informasi Pemilu 2019 dapat diakses melalui link
https://infopemilu.kpu.go.id/.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 275


Gambar 6.13. Situs Informasi Kepemiluan

5. Sistem Informasi Logistik (SILOG)

Logistik pemilu merupakan hal yang sangat fundamental dalam proses


penyelenggaraan pemilihan atau pemilu. Sebuah pemilihan atau pemilu
dipastikan ditunda atau gagal jika logistik pemilu yang akan digunakan di
TPS terlambat tiba di tujuan, tidak sesuai jumlahnya, tidak sesuai alamat,
atau tidak sesuai spesifikasinya. Oleh karena vitalnya peran logistik dalam
penyelenggaraan pemilu, KPU harus memastikan proses pengadaan dan
pendistribusian logistik pemilu berjalan dengan baik, lancar, tepat jumlah,
tepat spesifikasi, dan tepat waktu.

Untuk memudahkan KPU dalam melakukan monitoring dan supervisi proses


pengadaan dan pendistribusian logistik pemilu, KPU memanfaatkan teknologi
informasi dalam tahapan pengadaan dan pendistribusian logistik pemilu.
Aplikasi yang dibangun oleh KPU untuk tahapan ini dinamakan Sistem
Informasi Logistik (SILOG). Aplikasi SILOG adalah sebuah aplikasi yang
berbasis website di mana setiap KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
memiliki akses untuk memberikan informasi terkait dengan proses
pengadaan dan pendistribusian logistik pemilu. Operator SILOG pada masing-
masing tingkatan secara berkala diminta melakukan pemutakhiran (up date)

276 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


informasi sampai di mana proses pengadaan, berapa jumlahnya, dan sampai
di mana proses pendistribusian logistik pemilu yang sedang berjalan.

Aplikasi SILOG sudah dibangun menjelang penyelenggaraan Pemilu 2009.


Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Kemitraan untuk Reformasi
Pemerintahan (Partnership for Governance Reform) adalah lembaga yang
membantu KPU dalam menyiapkan aplikasi SILOG ini. Akan tetapi, SILOG
belum optimal diimplementasikan pada Pemilu 2009. Dalam
penyelenggaraan Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, KPU sangat serius
mengimplementasikan aplikasi SILOG yang sudah dipersiapkan. KPU
menyelenggarakan pelatihan khusus operator SILOG di setiap satuan kerja
dan memberikan fasilitas kerja berupa honor dan komputer kepada operator
SILOG. Harapannya adalah operator bekerja dengan sungguh-sungguh
mengoperasionalkan SILOG sehingga setiap perubahan dan pergerakan
logistik pemilu dapat dipantu oleh KPU dan juga masyarakat secara langsung.

Dengan portal SILOG ini, masyarakat dapat memantau berapa jumlah surat
suara, tinta pemilu, formulir, dan perlengkapan lainnya yang diproduksi,
sampai di mana proses pendistribusian logistik tersebut. Dengan kehadiran
portal SILOG, KPU lebih mudah memantau dan mengantisipasi berbagai
macam persoalan terkait dengan logistik pemilu/pemilihan.

Gambar 6.14. SILOG

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 277


6. Website KPU dan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum

Website utama KPU, www.kpu.go.id, merupakan sarana bagi KPU untuk


berinteraksi dengan masyarakat luas, sarana untuk menyampaikan
pertanggungjawaban kinerja KPU kepada publik, dan sebagai salah satu
sarana sosialisasi berbagai aktivitas, produk hukum, dan kegiatan terkait
dengan tahapan penyelenggaraan kepemiluan yang sedang dilaksanakan
KPU. Website KPU adalah website yang paling populer terkait pemilu dan
menjadi rujukan masyarakat untuk mendapatkan data pemilu. Website KPU
ini juga menjadi jembatan utama dan pertama bagi masyarakat untuk
mendapatkan informasi kepemiluan yang ada di portal KPU dan portal dari
instansi lain.

Gambar 6.15. Website KPU RI

Website KPU selalu up date dalam menyampaikan informasi kepemiluan,


baik yang dilaksanakan oleh KPU di tingkat pusat maupun KPU daerah, dan
kegiatan yang terkait kepemiluan yang diselenggarakan oleh instansi lain,
seperti proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu, kegiatan rapat koordinasi
oleh Kementerian Dalam Negeri, atau informasi perekaman KTP elektronik
yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi dan
Kependudukan. Masyarakat yang tidak hapal dengan alamat portal SITAP,

278 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


portal PPID, portal JDIH, portal SITUNG, dan portal KPU lainnya, cukup
membuka portal KPU dan menekan link portal yang diinginkan yang tersedia
di portal utama KPU.

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) adalah portal milik KPU
yang dikelola oleh Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU dengan tujuan
memberikan layanan kepada KPU di daerah dan masyarakat luas untuk
memperoleh berbagai macam dokumen produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, proses sengketa hukum
kepemiluan, jadwal persidangan perselisihan hasil pemilu/pemilihan di
Mahkamah Konstitusi, dan berbagai informasi lainnya terkait dengan
hukum kepemiluan. Portal JDIH ini menjadikan sumber informasi yang
sangat penting karena portal JDIH memberikan informasi yang cepat dan
akurat terkait dengan berbagai macam dokumen dan informasi terkait
hukum dalam Pemilu.

Gambar 6.16. JDIH

Portal JDIH juga dijadikan sebagai sarana untuk melakukan sosialisasi dan
uji publik terhadap draf Peraturan KPU yang akan ditetapkan oleh Rapat
Pleno KPU. Setiap draf peraturan KPU dipublikasikan di portal JDIH ini
dengan harapan masyarakat dapat mengakses, mempelajari, dan

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 279


memberikan masukan dan kritik terhadap materi yang ada di dalam draf
peraturan KPU tersebut.

JDIH ini juga menjadi sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban


dan transparansi KPU kepada publik terkait dengan produk hukum yang
dihasilkan KPU yang berupa peraturan KPU, surat keputusan, surat edaran,
standard operating procedure (SOP), dan/atau petunjuk teknis, serta proses
sengketa hukum antara KPU dengan peserta pemilu di lembaga pengawas
pemilu, peradilan tata usaha negara, Mahkamah Agung, ataupun di
Mahkamah Konstitusi.

Keterbukaan data pemilu menjadi infrastruktur teknologi utama yang paling


menonjol digunakan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sejak
Pemilu 2014. Hampir di setiap tahapan pemilu, KPU mempublikasikan data-
data yang bermanfaat bagi pemilih maupun peserta pemilu. Bahkan dengan
keterbukaan data pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu mulai
bermunculan kolaborasi-kolaborasi antara penyelenggara pemilu dengan
berbagai pemangku kepentingan salah satunya kalangan masyarakat sipil.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2019 bermunculan portal aplikasi untuk
memberikan pendidikan pemilih dengan cara mengetahui siapa peserta
pemilu baik Parpol ataupun Calon. Keseluruhan aplikasi tersebut hadir
berkat keterbukaan informasi yang dilakukan oleh KPU melalui portal
infopemilu.kpu.go.id. Yang tidak kalah pentingnya, ialah keberadaan portal
sistem penghitungan suara atau situng, sebagai real count dalam versi cepat
yang dilakukan oleh KPU, meskipun bukan hasil resmi tetapi dapat dijadikan
rujukan oleh pemilih dan peserta pemilu sembari menunggu hasil resmi
yang dilakukan secara manual.

Dalam rangka terus meningkatkan infrastruktur teknologi yang digunakan


oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, terdapat beberapa hal
yang dapat dilakukan guna menjaga keberlanjutannya diantaranya:

1. Melakukan evaluasi terhadap infrastruktur teknologi yang sudah


digunakan;
2. Menyusun operasionalisasi atau rencana strategis kedepan;
3. Pengembangan sumber daya manusia yang professional;
4. Perumusan standar operasional prosedur.

280 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Selanjutnya, pemanfaatan infrastruktur pemilu dengan penerapan sistem
informasi/teknologi informasi (SI/TI) KPU yang sudah dirancang
berdasarkan visi yang telah dimiliki oleh KPU yang tertulis pada rencana
strategis KPU, sebagai operasionalisasi sistem informasi. Sebagai lembaga
pemerintah yang mandiri, KPU memiliki tugas dan fungsi sebagai mana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara nasional.

Dalam menyelenggarakan tugas dan fungsi ini, KPU membutuhkan proses


kegiatan internal yang mendukung dan mendorong tercapainya tugas dan
fungsi tersebut secara maksimal. Untuk itu, proses kegiatan internal KPU
yang dilakukan pada biro dan inspektorat seyogianya saling mendukung
satu dengan yang lain menggunakan standar yang akuntabel. Proses dari
setiap kegiatan dalam Biro dan Inspektorat yang berhubungan satu sama
lain ditunjukkan dengan pertukaran data dan informasi yang terjadi. Skema
ini tentunya membutuhkan dukungan teknologi informasi yang menjadi
media efektif dalam tercapainya tujuan tersebut. Pada bagian ini dibahas
mengenai arahan strategis penerapan SI/TI di KPU dan sasaran strategi SI/TI
sampai lima tahun kedepan.

Untuk menunjang visi di atas, harus ditetapkan misi SI/TI dari KPU sebagai
berikut:

1. Menyediakan sistem informasi terintegrasi, aman dan dapat diakses


dengan cepat sehingga menjadi solusi bagi proses kepemiluan dan
kegiatan operasional internal organisasi.
2. Menyediakan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi teknis
dan spesialisasi di bidang TI sehingga dapat memberikan layanan TI yang
profesional dan mandiri.
3. Menyediakan infrastruktur Teknologi Informasi yang aman, stabil,
merata dan adaptif dalam memfasilitasi diseminasi dan penyimpanan
data maupun informasi KPU.
4. Memfasilitasi pengelolaan informasi secara aman, transparan,
akuntabel, dan memberikan akses informasi yang sesuai kepada seluruh
pemangku kepentingan di lingkungan KPU, KPU di Daerah dan beragam
pihak eksternal.

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 281


KPU telah menggunakan beragam sistem informasi untuk meningkatkan
akurasi dan kecepatan dalam mengelola setiap tahapan pemilu. Namun
sistem infomasi tersebut berada dalam platform yang berbeda, belum
terintegrasi satu sama lain. Ke depan semua sistem informasi yang
digunakan untuk mendukung pelaksanaan tahapan pemilu dapat
diintegrasikan ke dalam sistem informasi pemilu. Integrasi sistem informasi
diperlukan untuk memudahkan pengelolaan data dan informasi. Akses
terhadap informasi akan lebih cepat dan mudah dilakukan baik dari dalam
organisasi maupun publik.

Ke depan Pengembangan sistem informasi kepemiluan mesti


mempertimbangkan aspek keberlanjutan sistem. Jangan sampai setiap
periode pemilu, KPU membangun sistem informasi yang berbeda dan tidak
dapat terhubung dengan sistem informasi yang telah dibangun sebelumnya.
Untuk itu, pilihannya adalah membangun koneksi antar aplikasi yang telah
ada, mengkonversi format data yang berbeda, membuat skema peta dan
memungkinkan pertukaran data antar aplikasi yang berbeda. (rizkiyansyah,
2017).

Untuk menunjang dan menjamin arsitektur sistem informasi yang


terintegrasi dapat dikategorisasikan sistem informasi kepemiluan dalam
beberapa kategori penting sebagai berikut:13

1. Sistem Kepemiluan (Election systems) merupakan kumpulan aplikasi


yang berfungsi untuk memudahkan pelaksanaan aktivitas kepemiluan,
baik pemilihan Presiden, Pemilu Legislatif, ataupun Pemilihan Kepada
Daerah. Oleh karena kegiatan pemilu merupakan kegiatan utama dan
kritikal, maka pengembangan ataupun modifikasi aplikasi dalam kategori
ini sangat penting dan diprioritaskan. Beberapa aplikasi yang tergolong
dalam kategori ini adalah Portal kepemiluan, Portal Kepemiluan Terpadu,
SIDAPIL, SIDALIH, SIPOL, SILON, SILOG, SITAP, SI Wilayah, SITUNG, SIANG,
SIGAS, SIGEO, SIAKUR, dan SIMPAW. Oleh karena sebagian besar aplikasi
telah dikembangkan, kedepannya peningkatan aplikasi-aplikasi election
systems lebih fokus pada pengintegrasian aplikasi dan penambahan fitur.
2. Sistem Administrasi (Administration systems) merupakan kumpulan
aplikasi yang berfungsi untuk mendukung aktivitas-aktivitas internal,

13 Diolah dari IT Masterplan KPU Tahun 2016-2020.

282 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


yang mana tidak berhubungan dengan aktivitas kepemiluan. Aplikasi-
aplikasi yang dikembangkan berdasarkan pada kebutuhan per-bagian,
sehingga aplikasi yang ada masih terpisah-pisah (silo). Beberapa aplikasi
yang tergolong Sistem Administrasi adalah SIADKA, SIM2P, dan E-
Kolaborasi. Kedepannya diperlukan sebuah pengembangan aplikasi yang
terintegrasi, terutama untuk aplikasi E-Monev, SIADKA, SIM2P,
SIPRENJA, SIMONIKA/Keuangan, SIASET, Helpdesk, SIJADWAL, dan SI
audit.
3. Sistem Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management System)
merupakan kumpulan sistem informasi yang berfungsi untuk mengelola
aset informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh KPU. KMS bermanfaat
untuk memudahkan pengguna mengakses pengetahuan, memudahkan
penyebaran pengetahuan, dan meningkatkan ketersediaan
pengetahuan. Pengetahuan perlu dikelola dengan tepat, terutama yang
berhubungan dengan metode penyimpanan, modifikasi, retention,
privacy, dan disposal. Pengelolaan pengetahuan yang sesuai dengan
karakteristik operasional KPU, dapat meningkatkan nilai dan kinerja
operasional KPU, serta kemudahan mencapai obyektif dan tujuan
organisasi. Beberapa aplikasi yang dikategorikan ke dalam knowledge
management system antara lain JDIH, e-collaboration, e-documents dan
tacit knowledge.
4. Pengelolaan Data (Data Governance) merupakan konsep atau kerangka
kerja yang diimplementasikan KPU untuk menjaga kualitas data. Konsep
data governance mencakup aktivitas perencanaan, penstandarisasian,
pengumpulan, pengelolaan, penyimpanan, pendaya-gunaan, dan
memanfaatkan data yang dimiliki, sehingga data yang dihasilkan lebih
akurat, benar, tersedia, integritas, dan aman. Dalam penerapan data
governance diperlukan beberapa teknologi database pendukung seperti
master data dan data warehouse.
5. Sistem Informasi Eksekutif (Executive Information Systems) merupakan
kumpulan aplikasi yang digunakan sebagai pendukung keputusan yang
dibutuhkan oleh para eksekutif dan pimpinan KPU. Hasil dari sistem
informasi executive information systems berupa data analytical dan
dashboard yang dijadikan barometer penentuan keputusan. Data-data
yang diolah dalam executive information system merupakan data yang
memiliki nilai informatif serta strategis sebagai pendukung keputusan

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 283


(decision support). Inisiatif yang tergolong ke dalam domain ini adalah
master data, data warehouse, dan dashboard.
6. Kanal Akses (Access Channel) merupakan kumpulan teknologi kanal
(channel) yang berfungsi untuk mendukung pertukaran data dan
informasi yang dimiliki oleh KPU dengan para pemangku kepentingan
lainnya. Sesuai dengan fungsinya tersebut, maka access channel perlu
menerapkan keamanan informasi yang handal sebagai upaya preventif
untuk pengaksesan data secara illegal. Selain itu, perlu diatur hak akses
untuk pengguna agar pengaksesan informasi sesuai dengan tanggung
jawab dan perannya. Beberapa teknologi yang dikategorikan kedalam
access channel adalah Portal/Website, Open Data, Helpdesk, dan Call
Center.

Penggunaan teknologi informasi dalam proses Pemilu adalah sebuah


keniscayaan. Rangkaian aktivitas Pemilu mulai dari, pembentukan daerah
pemilihan, alokasi kursi, sistem pemilihan, syarat pencalonan, ambang
batas pencalonan (parlimentary threshold dan presidential threshold),
pemutakhiran data pemilih, dan pemungutan suara, adalah persoalan pelik
dan rumit (shopisticated). Di sana ada urusan bagaimana konversi suara
menjadi kursi benar-benar adil dan proporsional merepresentasikan jumlah
penduduk di satu wilayah, dan bagaimana aneka kepentingan yang
berkelindan baik antar Calon, pemilih, dan publik, terkelola dengan baik.
Pemilu membutuhkan teknokrasi untuk menerjemahkan hal ihwal yang
rumit (shopisticated) itu ke dalam instrumen dan prosedur teknis
penyelenggaraan Pemilu yang sederhana, aplikatif, dan berkeadilan.

Namun penggunaan teknologi informasi dalam proses dan infrastruktur


kepemiluan tentu bukan hendak menjadikan proses pemilu semata-mata
menjadi sekadar praktik teknokratis. Bagaimanapun esensi Pemilu adalah
memastikan kemurnian kedaulatan rakyat benar-benar terwujud dalam
proses Pemilu. Hal ini perlu ditegaskan karena masih mengakarnya
pandangan yang menilai proses Pemilu hanyalah sebatas instrumen
partisipasi rakyat memberi suara dalam kontestasi perebutan kursi
kekuasaan secara periodik (Schumpetarian), bukan komitmen membangun
nilai dan praktik politik baru sebagai antitesa politik lama yang manipulatif
dan koruptif. Pemilu diselenggarakan sekadar bagaimana mengelola teknis
administratif tiga aktivitas utama Pemilu yakni, kontestasi, partisipasi, dan
konversi (suara menjadi kursi). Tak heran bila yang dikedepankan adalah
284 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU
rasionalitas teknokratis yaitu, bagaimana menemukan cara yang efektif dan
efisien supaya aktivitas utama Pemilu terselenggara dengan baik, damai,
cepat, dan mendapatkan legitimasi publik. Sukses tidaknya Pemilu pun
diukur bukan pada sejauhmana perubahan dan kebajikan politik telah
tumbuh tetapi pada sejauhmana tata kelola teknis administratif kontestasi,
partisipasi, dan konversi telah dilaksanakan secara independen, profesional,
dan berintegritas. Untuk itu, regulasi Pemilu tak jarang dikonstruksi sarat
dengan norma-norma teknis, dan institusi penyelenggara pun difungsikan
hanya sebagai teknisi atau “tukang” eksekusi regulasi. Dalam konteks
Indonesia, penggunaan teknologi informasi dalam proses Pemilu bukan
dalam rangka mendegradasi pemilu menjadi pemilu teknokratis.
Penggunaan teknologi informasi harus dirancang untuk dua tujuan simultan
yakni sebagai upaya memudahkan pelaksanaan Pemilu dan memastikan
kemurnian suara rakyat dalam seluruh proses dan tahapan pemilu
(Silitonga, 2017).14

G. Penutup

Manajemen penyelenggaraan Pemilu memegang peranan penting dalam


memastikan aturan-aturan kepemiluan dan pilkada dapat diaplikasikan dan
diimplementasikan di lapangan dengan tepat. Sebagai lembaga
penyelenggara yang diamanatkan UU Pemilu untuk melaksanakan praktik
konversi suara menjadi kursi, yang tentu rumit dan kompleks dan sarat
dengan pengaruh atau intervensi politik dari para peserta pemilu dan
penguasa, KPU harus memastikan manajemen penyelenggaraan pemilu dan
pilkada telah memenuhi prinsip-prinsip manajemen pemilu modern yaitu
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian.

Tak cukup hanya memenuhi prinsip-prinsip manajemen modern,


manajemen pemilu juga harus semakin inovatif menggunakan teknologi
dan informasi dalam mengoptimalkan infrastruktur tahapan pemilu
semakin transparan, aksesibel dan akuntabel. Dengan demikian dalam
tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu dan pilkada, pemilih dan
masyarakat luas dapat terlibat secara aktif dan kritis dan pada akhirnya
dapat meningkatkan partisipasi pemilih secara kwantitatif maupun

14 https://www.indonesiana.id/read/111891/repolitisasi-pemilu-2019#yHWOB9kZFZ9GRDkb.41
(diakses pada tanggal 22 Agustus 2019 )

BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU 285


kwalitatif. Pemilu yang rumit dan kompleks harus dibuat semakin mudah
dengan manajemen penggunaan teknologi informasi. Namun, penggunaan
teknologi informasi dalam proses pelaksananaan tahapan pemilu bukan
berarti hendak menjadikan pemilu semata-mata menjadi praktik
teknokratis yang elitis. Manajemen penggunaan teknologi informasi harus
didesain simultan sebagai upaya meningkatkan transparansi pemilih
sekaligus memperkuat representasi atau kedaulatan rakyat dalam setiap
tahapan Pemilu dan Pilkada.

286 BAB 6 – MANAJEMEN PENYELENGGARA PEMILU


Sidang PHPU Pemilu 2019 di
Mahkamah Konstitusi
BAB 7
PENEGAKAN HUKUM PEMILU
DAN PENYELESAIAN MASALAH HUKUM PEMILU1

Titi Anggraini

A. Pengantar

Sejarah politik Indonesia kontemporer mencatat bahwa setiap pelaksanaan


pemilu selalu saja muncul protes yang meragukan proses ataupun hasil
pemilu. Hal ini tidak hanya terjadi pada pemilu-pemilu pada masa Orde
Baru, tetapi juga pemilu pasca reformasi. Bahkan Pemilu 1955 yang dikenal
sebagai pemilu paling bersih pun tidak luput dari protes. Munculnya protes
ketidakpuasan terhadap proses maupun hasil pemilu itu, di satu sisi,
disebabkan oleh banyaknya pelanggaran terhadap peraturan pemilu yang
tidak diselesaikan secara tuntas; namun di sisi lain, disebabkan juga dari
perasaan diperlakukan tidak adil oleh penyelenggara pemilu (Topo Santoso
2006).

Dalam usaha mewujudkan pemilu yang jujur dan adil dan juga dalam rangka
menghindari terjadinya delegitimasi pemilu di masa depan, masalah-
masalah penegakan hukum pemilu itu harus diselesaikan secara
komprehensif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mengidentifikasi sebab-sebab munculnya masalah penegakan hukum;
selanjutnya dicarikan solusi komprehensif untuk mengatasi masalah
tersebut sehingga akhirnya terwujud suatu sistem penegakan hukum
pemilu yang mampu menjamin penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Adanya keberatan/masalah hukum pemilu bukan berarti menunjukkan


kelemahan dalam penyelenggaraan pemilu. Keberatan atau masalah
hukum pemilu merupakan sesuatu yang lazim dalam pemilu karena pada
hakikatmya pemilu adalah kompetisi. Menggugat proses dan hasil pemilu
tidak boleh dipandang sebagai cerminan lemahnya sistem pemilu/sistem

1 Bab ini merupakan revisi atas materi yang sama pada buku berjudul Fondasi Tata Kelola Pemilu (2017)
yang ditulis oleh Topo Santoso dkk. Data dan peraturan pemilu terkini dikembangkan oleh penulis.

288 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


hukum pemilu, tetapi justru bukti kekuatan, vitalitas, dan keterbukaan
sistem politik.

Meningkatnya jumlah dan variasi gugatan atau permohonan penyelesaian


sengketa/pelanggaran pemilu adalah salah satu bagian dari implikasi
meningkatnya pemahaman publik tentang bagaimana proses/mekanisme
mengembalikan hak-hak kepemiluan yang diduga telah dilanggar. Election
Dispute Resolution (EDR) System (sistem penyelesaian perselisihan pemilu)
menjamin stabilitas sistem politik dan bekerjanya perangkat hukum dalam
masyarakat.

Keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum


dan menjamin penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu
yang bebas, adil dan jujur. Sistem ini dikembangkan untuk mencegah dan
mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan
mekanisme pembenahan dan pemberi sanksi kepada pelaku pelanggaran.

Desain dan implementasi sistem keadilan pemilu harus memperhatikan siklus


pemilu mengingat hampir seluruh kegiatan dalam pemilu berpotensi
menimbulkan sengketa dan pelanggaran. Penanganannya juga harus
menyesuaikan dengan waktu tahapan dan periode pemilu yang sedang
berjalan. Hal ini bertujuan untuk menjamin agar setiap tahapan pemilu dapat
berjalan tanpa hambatan sehingga proses pemilu dapat berjalan lancar.

Bab ini mengambil fokus pembahasan sebagai berikut: pertama, kerangka


hukum dan standar internasional penyelesaian masalah hukum pemilu;
kedua, prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu;
ketiga, jenis-jenis pelanggaran dan sengketa; keempat, penanganan
pelanggaran pemilu; kelima, penyelesaian sengketa proses pemilu;
penyelesaian perselisihan hasil pemilu.

B. Kerangka Hukum Pemilu dan Standar Internasional Penegakan Hukum


Pemilu

Standar internasional untuk menghasilkan pemilu yang demokratis adalah


syarat mutlak dalam kerangka hukum yang harus diimplementasikan dalam
pelaksanaan pemilu. Standar ini bersumber pada berbagai deklarasi dan

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 289


konvensi internasional maupun regional, seperti Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia 1948, Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik 1960, Konvensi Eropa 1950 untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia
dan Kebebasan Asasi serta Piagam Afrika 1981 tentang Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat.

Berdasarkan dokumen tersebut, dirumuskan 15 aspek pemilu demokratis


(International IDEA, 2002) yang meliputi:
1. Penyusunan kerangka hukum pemilu;
2. Pemilihan sistem pemilu;
3. Penetapan daerah pemilihan;
4. Hak untuk memilih dan dipilih;
5. Badan penyelenggara pemilu;
6. Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih;
7. Akses kertas suara bagi Parpol dan Calon;
8. Kampanye pemilu yang demokratis;
9. Akses media dan kebebasan berekspresi;
10. Pembiayaan dan pengeluaran;
11. Pemungutan suara;
12. Penghitungan dan rekapitulasi suara;
13. Peranan wakil Parpol dan Calon;
14. Pemantau Pemilu;
15. Kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan Pemilu.

Berdasarkan lima belas butir di atas, akan diuraikan lebih lanjut tentang
standar pertama tentang “penyusunan kerangka hukum” dan standar
kelima belas tentang “kepatuhan terhadap hukum dan penegakan
peraturan Pemilu.” Standar pertama tentang penyusunan kerangka hukum
dimaksudkan bahwa kerangka hukum pemilu harus disusun sedemikian
rupa sehingga tidak bermakna ganda, mudah dipahami, dan harus dapat
menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan
pemilu yang demokratis. Sedangkan standar kelima belas mengenai
kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu berarti
bahwa kerangka hukum pemilu harus mengatur mekanisme dan
penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap
undang-undang pemilu. Dalam hal ini hak memilih dan dipilih setiap warga
harus dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak memilih dan

290 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


dipilih akan dikenakan sanksi. Kerangka hukum harus memastikan adanya
larangan-larangan dan sanksi-sanksi terhadap siapa saja yang melanggar
larangan-larangan tersebut (Topo Santoso 2006).

Istilah “kerangka hukum pemilu” mengacu pada semua undang-undang dan


dokumen hukum yang terkait dengan pemilu. Dalam rezim demokratis dan
konstitusional, kerangka hukum pemilu ini diatur dalam aturan yang cukup
beragam, berasal dari norma dasar seperti konstitusi dan aturan hukum
lainnya (ACE Project 2012). Beberapa ketentuan yang mendasari adalah
konstitusi, perjanjian internasional, undang-undang pemilu, yurisprudensi,
peraturan kode etik dan peraturan terkait lainnya. Kerangka hukum pemilu
ini disusun dengan mempertimbangkan sejarah, kekhasan sosial, budaya
dan aturan hukum yang berlaku di masing-masing negara. Kerangka hukum
ini harus disusun secara terstruktur dengan melingkupi beberapa prinsip,
yakni tidak bermakna ganda dan jelas (clear), memudahkan
(straightforward), mudah dipahami (intelligible), dan melingkupi seluruh
unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang
demokratis (include all electoral components, which are necessary to ensure
the undertaking of democratic elections) (ACE Project 2012).

Kerangka hukum pemilu juga harus melingkupi mekanisme yang efektif


untuk memastikan berjalannya penegakan hukum pemilu dan penegakan
hak-hak sipil. Penegakan hak sipil dimaksud adalah untuk melindungi hak-
hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Prinsipnya, kerangka hukum
harus menetapkan bahwa setiap pemilih, Calon, dan Parpol berhak
mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yang
berwenang apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih. Undang-
undang pemilu harus membuat aturan yang memerintahkan lembaga
penyelenggara pemilu atau pengadilan yang berwenang untuk segera
memberikan keputusan guna mencegah hilangnya hak pilih pihak korban.
Ruang banding bagi para pihak mesti disediakan. Kerangka hukum harus
menetapkan waktu yang dibutuhkan untuk mengajukan keberatan dan
banding hingga waktu bagi otoritas penyelesai sengketa untuk
mempertimbangkan dan memutuskan suatu pengaduan. Klasifikasi
terhadap permasalahan hukum tertentu memungkinkan diselesaikannya
dalam waktu yang berbeda tergantung dari urgensi suatu persoalan, bisa
dengan segera, beberapa jam atau beberapa hari. Namun semua itu harus
ditetapkan dengan kriteria yang jelas.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 291


Untuk memastikan terjaminnya prinsip-prinsip penegakan hukum tersebut,
International IDEA mengajukan empat daftar periksa terhadap materi
kerangka hukum yang akan mengatur penyelenggaraan pemilu, yakni (Topo
Santoso, 2006):
1. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu mengatur mekanisme
dan penyelesaian hukum yang efektif untuk keperluan penegakan
hukum pemilu?
2. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu secara jelas menyatakan
siapa yang dapat mengajukan pengaduan pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan pemilu? apakah juga dijelaskan proses untuk
pengajuan pengaduan tersebut?
3. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu mengatur hak
pengajuan banding atas keputusan lembaga penyelenggara pemilu ke
pengadilan yang berwenang?
4. Apakah peraturan perundang-undangan pemilu mengatur batas waktu
pengajuan, pemeriksaan, dan penentuan penyelesaian hukum atas
pengaduan?

Dengan demikian, kerangka hukum dengan dasar argumen yang disertai


mekanisme yang jelas dan tepat maka akan memudahkan bagi para pihak
yang merasa diperlakukan tidak adil dapat mengajukan proses keberatan
tersebut.

C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Pelanggaran dan Sengketa Pemilu2

Menurut International IDEA (2010) dan Vickery (2011), paling tidak ada
tujuh prinsip dalam penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu yang
perlu diimplementasikan dalam pelaksanaan pemilu, yakni: pengaturan
yang transparan, jelas, dan sederhana; mekanisme yang efektif dan
komprehensif; bebas dan biaya yang wajar; kerangka hukum dan peradilan
yang cepat; Hak-hak untuk pembelaan atau mendengar dalam proses
hukum; ketepatan waktu penegakan hukum dan keputusan (Full and Timely
Enforcement of Judgments and Rulings); Konsistensi dalam Penafsiran dan
Penerapan Hukum Pemilu.
2 Prinsip-prinsip ini disarikan dari prinsip-prinsip penyelesaian masalah hukum pemilu sebagaimana
dicakup dalam Buku Keadilan Pemilu yang diterbitkan oleh International IDEA (2010) dan Buku
berjudul Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Election (GUARDE) yang
ditulis oleh Chad Vickery dan diterbitkan oleh IFES (2011).

292 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


a. Pengaturan yang Transparan, Jelas dan Sederhana

International IDEA menggunakan istilah "transparansi, kejelasan dan


kesederhanaan dalam menyusun pengaturan penyelesaian sengketa
pemilu". Sistem penyelesaian sengketa Pemilu yang ideal tentu
memerlukan kejelasan dan kesederhanaan. Undang-undang dan peraturan
yang dibuat harus menggunakan bahasa yang jelas dan sederhana sehingga
membuka akses keadilan dan memberikan kepastian hukum. Ketentuan
dari undang-undang tersebut juga harus disebarkan ke komunitas dimana
pemilu diselenggarakan untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut
transparan dan mudah dipahami pihak terkait (Jesus Orozco-Henriques
2010).

Sedangkan International Foundation for Electoral System (IFES)


menerjemahkan prinsip transparansi, kejelasan dan kesederhanaan dalam
menyusun pengaturan penyelesaian sengketa pemilu dengan
menggunakan istilah "standar dan prosedur pemilu yang didefinisikan
secara jelas". Prinsipnya sama yakni perlu adanya pengaturan yang
mendefinisikan hak para pihak untuk memperoleh pemulihan dan jaminan
pelaksanaan pemilu berkala, yang bebas dan adil (Violaine Autheman,
2004). Langkah pengajuan keberatan harus diatur secara jelas dan dapat
diakses untuk memberikan informasi yang cukup kepada pemangku
kepentingan.

Pengaturan tentang prosedur pengajuan gugatan yang terdefinisi dengan


jelas merupakan kunci untuk menghindari pengajuan gugatan ke lembaga
yang berbeda-beda. Artinya, harus ada pengaturan yang jelas dan tegas
untuk memberikan kepastian dalam pengajuan keberatan/gugatan hanya
kepada satu lembaga khusus. Pengaturan demikian penting untuk
menghindari pengajuan keberatan kepada beberapa lembaga yang berbeda
untuk mendapatkan putusan yang paling menguntungkan. Akan berbahaya
jika kemudian lembaga berbeda atas kasus yang sama menghasilkan
putusan yang beragam.

b. Mekanisme yang Efektif dan Komprehensif

Prosedur penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu harus terjangkau


dan mudah diakses baik dari segi waktu, jarak, dan biaya. Prosedur harus

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 293


bersifat inklusif sehingga warga negara, Calon, Parpol, dan kelompok politik
lainnya dapat menyampaikan tuntutannya tanpa diskriminasi berdasarkan
gender atau etnisitas. Akses terhadap keadilan tidak hanya diberikan
kepada orang atau Parpol yang mengajukan gugatan, tetapi juga kepada
pihak ketiga atau pihak terkait dengan tuntutan tersebut.

Mekanisme penyampaian keberatan harus dibuat sederhana. Melalui


mekanisme pengaduan kepada otoritas terkait (misalnya KPU), kasus sudah
dapat ditangani. Lembaga yang menangani pelanggaran dan penyelesaian
sengketa pemilu mestinya menyediakan sistem yang memudahkan seperti
pelaporan dan pengajuan keberatan melalui surat elektronik dan
memungkinkan dengan jarak jauh.

Prosedur penyelesaian sengketa pemilu juga harus mengakomodir


mekanisme keberatan yang mampu memberikan solusi perbaikan yang
efektif, tepat waktu dan dapat dilaksanakan. Hak untuk mengajukan
banding merupakan komponen kunci dalam menjamin akses terhadap
tindakan perbaikan yang memadai. Konvensi HAM internasional mengakui
baik secara implisit maupun eksplisit, nilai fundamental dari mekanisme
banding. Keputusan badan penyelesaian sengketa Pemilu juga mesti
dilaksanakan oleh otoritas penyelenggara pemilu. Bahkan jika otoritas
penyelenggara tidak menyetujui putusan pengadilan, mereka tidak dapat
menolak untuk mematuhi keputusan untuk memulihkan hak tersebut.
Namun memang hak untuk melakukan tindakan perbaikan memerlukan
otoritas yang relevan untuk mematuhi keputusan dan berupaya untuk
menghapus seluruh dampak keputusan yang menyatakan tidak sah dan
dibatalkan.

c. Bebas dan Biaya Wajar

Pelayanan keadilan pemilu tidak memiliki konsekuensi biaya kepada pihak


penggugat/pelapor. Di banyak negara, keadilan pemilu dipandang sebagai
hak asasi setiap warga negara dan harus dijamin dalam undang-undang.
Karena itu proses penanganan pelanggaran dan sengketa dibiayai negara
dengan menggunakan anggaran biaya yang diperoleh dari pengumpulan
pajak. Prinsip biaya wajar juga menjadi salah satu asas dalam berperkara di
pengadilan. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan

294 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


sederhana, cepat dan biaya ringan. Biaya ringan berarti biaya yang
terjangkau masyarakat, serendah mungkin sehingga dapat diakses oleh
rakyat. Biaya ringan tidak berarti harus mengorbankan ketelitian dan kehati-
hatian untuk menemukan kebenaran dan keadilan.

Dalam konteks penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah


Konstitusi Republik Indonesia, pembiayaan penanganan perkara di
Mahkamah Konstitusi sepenuhnya dibebankan kepada anggaran
pendapatan belanja negara, karena perkara-perkara di Mahkamah
Konstitusi menyangkut masalah konstitusional yang di dalamnya
kepentingan umum lebih signifikan dibanding kepentingan individual. Oleh
karena itu, berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak dikenakan biaya.

d. Kerangka Hukum dan Peradilan Cepat

Penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu harus diselesaikan dalam


kerangka waktu yang ditentukan. Proses yang berlarut-larut justru
memunculkan kekhawatiran akan keadilan dari keputusan yang dibuat.
Batas waktu yang digunakan juga merupakan batas waktu yang wajar untuk
menyampaikan keberatan. Diperlukan keseimbangan waktu bagi penggugat
mengajukan gugatan, menyampaikan bukti. Hak yang sama juga diberikan
kepada tergugat untuk memperoleh kesempatan dan waktu yang sama.

Kerangka waktu dalam prinsip penyelesaian sengketa pemilu yang disusun


IFES disebut dengan sistem peradilan cepat. Bahwa proses penanganan
keberatan pemilu harus dilakukan secara cepat. Karena itu, diperlukan
penyelesaian keberatan dalam waktu yang masuk akal atau tanpa
penundaan yang tidak semestinya. Harus ada batas waktu penyelesaian
keberatan pemilu. Penanganan dan keputusan secara cepat dan tepat
waktu dalam penanganan gugatan pemilu sangat penting, namun tidak
boleh mengabaikan aspek keadilan para pihak dalam menyiapkan
argumentasi/pembelaan. Adminisitrasi peradilan yang baik memerlukan
prinsip-prinsip seperti kesetaraan di muka pengadilan, hak seseorang untuk
didengar dalam pembelaannya dan hak untuk menjalani pengadilan
terbuka yang kompeten, independen, dan tidak memihak. Karena pemilu
adalah peristiwa politik yang sensitif terhadap waktu yang membagi
kekuasaan negara dan memberikan legitimasi bagi pemerintahan, maka
ketepatan waktu penanganan keberatan sangat penting.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 295


Prinsip peradilan cepat juga menjadi salah satu asas dalam berperkara di
pengadilan. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
menyebutkan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa peradilan harus
memenuhi harapan pencari keadilan yang menghendaki peradilan cepat,
tepat, adil dan biaya ringan, tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang
berbelit-belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun-tahun,
bahkan harus dilanjutkan oleh ahli waris para pencari keadilan.

e. Hak-Hak untuk Pembelaan atau Mendengar dalam Proses Hukum

Sistem penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu harus menjamin hak


pembelaan dan/atau mendengar penggugat dan tergugat dalam sebuah
tuntutan. Termasuk memberikan kesempatan kepada para pihak
menyampaikan argumentasinya. Selain itu merupakan kewajiban badan
penyelesai sengketa pemilu untuk mendengar dan mempelajari
argumentasi masing-masing. Sistem penyelesaian sengketa pemilu harus
memastikan bahwa bukti yang disampaikan penggugat dan jawaban dari
tergugat harus dilihat dari dua sisi, dan badan penyelesaian sengketa pemilu
memiliki kewajiban untuk menilai atau menolak argumentasi tersebut
dengan memberikan keterangan atas setiap bukti yang diajukan. Peradilan
mengenalnya dengan asas "audi et alteram partem" atau "eines mannes
rede ist keines reide, man soll sie horren alle beide". Asas ini juga
memberikan arti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka
sidang yang dihadiri kedua belah pihak sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 132 a, 121 ayat (2) HIR, 145 ayat (2), 157 Rbg, 47Rv.

f. Ketepatan Waktu Penegakan Hukum dan Keputusan (Full and Timely


Enforcement of Judgments and Rulings)

Prinsip ketepatan waktu penegakan hukum dan keputusan hakim sejalan


dengan prinsip adanya kerangka waktu dalam penyelesaian sengketa
pemilu. Kerangka hukum pemilu memang harus mengatur tentang
kerangka waktu penanganan penyelesaian sengketa. Namun yang tidak
kalah penting adalah ketepatan waktu bagi penegakan hukum dan
keputusan hakim atas sengketa pemilu. Hal ini sejalan dengan prinsip
bahwa gugatan pemilu harus diajukan pada periode Pemilu saat tindakan

296 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


yang digugat terjadi. Karena itu, tindakan atau keputusan yang tidak digugat
selama periode tertentu bersifat final dan mengikat.

g. Konsistensi dalam Penafsiran dan Penerapan Hukum Pemilu

Kerangka hukum pemilu mesti ditafsirkan dan diterapkan secara konsisten


sebagai upaya penyelesaian sengketa pemilu yang baik. Hal ini penting
dilakukan mengingat tekanan politik dalam penyelesaian sengketa pemilu
akan sangat tinggi. Keberatan pemilu umumnya bersifat sensitif dan
kontroversial secara politik. Mengingat hal tersebut, maka arbiter/badan
penyelesaian sengketa mesti bersikap netral dan memiliki kemampuan dan
pengetahuan tentang kepemiluan. Arbiter juga harus memiliki pemahaman
yang baik terhadap peraturan perundang-undangan pemilu yang beragam.

Sebagai contoh, dalam kerangka hukum pemilihan umum dikenal dua hal
yang berbeda: pertama, "Pemilu" yang merujuk pada penyelenggaraan
pemilu nasional (legislatif dan eksekutif); kedua, "Pemilihan" atau "Pilkada"
yang merujuk pada pemilihan eksekutif di daerah.

Dalam konteks hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum), desain jadwal
pelaksanaan pemilu di Indonesia dilaksanakan secara serentak, antara
pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pemilu serentak dilaksanakan atas
perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang
dibacakan pada Januari 2014. Putusan ini memerintahkan mulai Pemilu
2019 dan seterusnya, pemilu di Indonesia dilaksanakan secara serentak
antara pemilihan presiden dengan pemilihan anggota legislatif. Pelaksanaan
Pemilu 2019 yang dijadwalkan pada 17 April 2019 sudah menggabungkan
pelaksanaan pemilihan Calon Anggota Legislatif (meliputi Calon Anggota
DPR, Calon Anggota DPD, Calon Anggota DPRD Provinsi, dan Calon Anggota
DPRD Kabupaten/Kota) serta pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden
secara serentak di seluruh Indonesia. Pemilu yang kemudian populer
disebut “pemilu lima kotak (lima surat suara)”, kecuali pelaksanaan pemilu
di DKI Jakarta dengan empat kotak/empat surat suara karena DKI Jakarta
tidak memiliki DPRD Kabupaten/Kota.

Sementara itu, Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan


secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 Ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 297


kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota yang ditegaskan melalui pelaksanaan
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung oleh rakyat
dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Perppu tersebut selanjutnya disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 dan
sudah diubah dua kali dengan UU No. 8 Tahun 2015 dan UU No. 10 Tahun
2016.

Kerangka hukum penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 secara umum


mengacu kepada UU Pemilu, yang menyatukan pengaturan substansi yang
sebelumnya terserak dalam tiga undang-undang, meliputi UU No. 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan UU No. 8 Tahun
2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

UU Pemilu telah memberi landasan pengaturan yang relatif konsisten dalam


berpegang pada prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran dan sengketa
pemilu di atas. Pembagian permasalahan hukum pemilu diatur dalam Buku
Keempat dan Buku Kelima UU ini. Dengan klasifikasi pelanggaran pemilu,
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administratif
pemilu, sengketa proses pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu yang diatur
dalam Buku Keempat. Beserta tindak pidana pemilu yang diatur dalam Buku
Kelima. Klasifikasi ini merupakan pengaturan yang bisa dikatakan lebih jelas
dan sederhana.

Dalam UU Pemilu juga dijabarkan mekanisme penyelesaian untuk masing-


masing pelanggaran dan sengketa yang diharapkan efektif dan
komprehensif. Setiap pelanggaran diatur mekanisme serta
kelembagaannya. Selain itu, prinsip terkait kebebasan dan biaya yang wajar,
prinsip kerangka hukum dan peradilan yang cepat, hak-hak pembelaan atau
mendengar dalam proses hukum sudah diatur dalam peraturan
perundangan-undangan mengenai sistem peradilan di Indonesia, seperti
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang tentang
Mahkamah Agung, UU tentang Peradilan Umum, dan sebagainya.

298 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Sementara itu, untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Pilkada) kerangka hukum
mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016.

Gambar 7.1. Kerangka Hukum Penyelesaian Masalah Hukum Pemilu


di Indonesia

Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota


Periode 2018-2023

Prinsip kerangka hukum dan peradilan cepat, serta prinisp ketepatan waktu
penegakan hukum dan keputusan sudah diatur dalam UU Pemilu. UU ini
mengatur batasan waktu setiap proses penyelesaian perkara, namun hal
yang masih harus diperkuat adalah prinsip terakhir, yakni konsistensi dalam
penafsiran hukum Pemilu.

D. Jenis Pelanggaran dan Sengketa Pemilu

UU Pemilu mengatur permasalahan hukum pemilu menjadi beberapa


bagian, meliputi:
a. Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, diatur dalam Pasal 456-459.
b. Pelanggaran administratif pemilu, diatur dalam Pasal 460-465.
c. Sengketa proses pemilu, diatur dalam Pasal 466-469.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 299


d. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu, diatur dalam Pasal 470-472.
e. Perselisihan hasil pemilu, diatur dalam Pasal 473-475.
f. Tindak pidana pemilu, diatur dalam Pasal 476-487.

Pelanggaran pemilu dan sengketa pemilu diatur UU Pemilu dalam Buku


Keempat tentang Pelanggaran Pemilu. Sengketa Proses Pemilu, dan
Perselisihan Hasil Pemilu. Sedangkan tindak pidana pemilu khusus diatur
dalam Buku Kelima UU Pemilu.

a. Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran Pemilu bisa berasal dari temuan dan laporan pelanggaran


pemilu. Temuan pelanggaran pemilu merupakan hasil pengawasan aktif
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan,
Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS pada setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu.

Laporan pelanggaran pemilu merupakan laporan langsung dari (Pasal 454


ayat (1), (2), (3) UU Pemilu):
1. Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih,
2. Peserta Pemilu, dan
3. Pemantau Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa,
Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu.

Temuan dan laporan pelanggaran pemilu yang merupakan pelanggaran


Kode Etik KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota, diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota kepada DKPP (Pasal 455 ayat
(1) huruf a UU Pemilu).

b. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu

Pelanggaran Kode Etik penyelenggara Pemilu adalah pelanggaran terhadap


etika penyelenggara pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji

300 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. Pelanggaran
kode etik Penyelenggara Pemilu diselesaikan oleh DKPP.

Beberapa bentuk pelanggaran yang terkategori sebagai pelanggaran kode


etik penyelenggara pemilu, misalnya:
1. Anggota KPU dan/atau Bawaslu atau jajaran di bawahnya dengan
sengaja berafiliasi atau menunjukkan keberpihakannya kepada Parpol
atau Calon tertentu. Atas kondisi ini, penyelenggara pemilu dianggap
telah bertindak tidak independen.
2. Anggota KPU dan/atau Bawaslu atau jajaran di bawahnya yang
menghadiri dan mendukung kampanye salah satu Parpol peserta pemilu
atau calon anggota lagislatif tertentu.
3. Anggota KPU dan/atau Bawaslu atau jajaran di bawahnya yang tidak
cermat, lalai, tidak profesional, melanggar dalam proses pendaftaran,
verifikasi dan penetapan calon. Melanggar itikad penyelenggaraan
pemilu yang baik, melanggar sumpah jabatan, melawan prinsip kolektif
kolegial. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum, mencederai nilai-
nilai demokrasi, mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat dan citra
buruk penyelenggara pemilu di mata publik.

c. Pelanggaran Administratif Pemilu

Pelanggaran administratif Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata


cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi
pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar
tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

Berapa contoh pelanggaran administratif Pemilu, misalnya Peserta Pemilu


yang melakukan kampanye di luar jadwal kampanye yang telah ditetapkan
oleh KPU, ataupun Peserta Pemilu melakukan kampanye di luar area yang
telah ditentukan oleh KPU.

d. Sengketa Proses Pemilu

Sengketa Proses Pemilu meliputi sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu


dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 301


dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan
KPU Kabupaten/Kota (Pasal 466 UU Pemilu).

Adapun beberapa kasus yang muncul soal sengketa pemilu ini misalnya
terkait keberatan yang diajukan oleh Parpol kepada Bawaslu atas hasil
Keputusan KPU mengenai hasil verifikasi Parpol peserta pemilu. Sebagai
contoh sengketa yang diajukan Partai Garuda kepada Bawaslu pada
penyelenggaraan Pemilu 2019 yang lalu. Selain itu, beberapa kasus yang
akan muncul misalnya keberatan yang diajukan oleh bakal calon anggota
legislatif atas keputusan KPU mengenai hasil pemeriksaan administrasi
Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Berdasarkan UU Pemilu sengketa proses pemilu terbagi antara:


1. Sengketa yang diselesaikan final di Bawaslu (Pasal 468-469), dan
2. Sengketa yang final di Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 470-472).

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan


penyelesaian sengketa proses Pemilu melalui tahapan (Pasal 468 ayat (4)
UU Pemilu):
a. menerima dan mengkaji permohonan penyelesaian sengketa proses
Pemilu; dan
b. mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan
melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat.

Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa,


Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota menyelesaikan
sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi.

Pasal 469 UU Pemilu selanjutnya mengatur:


(1) Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses Pemilu
merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan
terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan:
a. verifikasi Parpol Peserta Pemilu;
b. penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota; dan
c. penetapan Pasangan Calon.

302 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


(2) Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang dilakukan
oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat
mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara.
(3) Seluruh proses pengambilan putusan Bawaslu wajib dilakukan melalui
proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian sengketa proses Pemilu
diatur dalam Peraturan Bawaslu.

Dalam pelaksanaan Pemilu 2019, terdapat beberapa contoh kasus terkait


dengan sengketa proses pemilu dan sengketa tata usaha negara pemilu.
Putusan Bawaslu menyangkut sengketa proses pemilu misalnya meloloskan
beberapa Parpol yang tidak memenuhi syarat dalam proses verifikasi
peserta pemilu 2019. Bawaslu mengabulkan permohonan pemohon dari
perwakilan tiga partai yakni Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI),
Partai Idaman, dan Partai Bulan Bintang (PBB) terkait tata cara dan prosedur
pendaftaran Parpol calon peserta pemilu.

Dalam Putusan sidang adjudikasi, yang dibacakan Rabu tanggal 15


November 2017, Bawaslu memutuskan KPU melakukan pelanggaran
administratif pemilu. Pada kesimpulannya, Bawaslu mengatakan, sistem
informasi Parpol (SIPOL) yang digunakan KPU sebagai dasar penilaian
keterpenuhan persyaratan pendaftaran, tidak berdasar. KPU pun
diperintahkan memperbaiki tata cara dan prosedur pendaftaran parpol
dengan menerima dokumen pendaftaran sesuai ketentuan Pasal 176 dan
Pasal 177 UU Pemilu. Hanya pada tahapan selanjutnya, Partai Idaman
akhirnya tak lolos sebagai peserta Pemilu 2019 (Ranap Tumpal HS, 2019).

d. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu


Sengketa proses pemilu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara pemilu antara calon
anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau Parpol calon
Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 303


Sengketa proses Pemilu ini merupakan sengketa yang timbul antara (vide
Pasal 470 UU Pemilu):
1. KPU dan Parpol calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Parpol Peserta
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173;
2. KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235; dan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Daftar Calon Tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dan Pasal 266.

Di dalam Pemilu 2019, salah satu contoh kasus sengketa tata usaha negara
pemilu adalah PKPI yang mengajukan sengketa tata usaha negara ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Sebelumnya, PKPI dinyatakan tidak
memenuhi syarat sebagai Parpol peserta pemilu oleh KPU. Kemudian, PKPI
mengajukan sengketa proses pemilu ke Bawaslu. Bawaslu sependapat
dengan KPU, bahwa PKPI tidak memenuhi syarat Parpol peserta pemilu
setelah dilakukan verifikasi oleh KPU. Setelah Bawaslu menolak
permohonan sengketa PKPI, partai ini mengajukan sengketa tata usaha
negara ke PTUN Jakarta. Dalam putusannya, PTUN Jakarta memerintahkan
KPU menetapkan PKPI sebagai Parpol peserta Pemilu 2019.

e. Perselisihan Hasil Pemilu


Berdasarkan Pasal 473 UU Pemilu, perselisihan hasil pemilu meliputi
perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu legislatif dan presiden
mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.

Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD,


dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara
yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD.

Sedangkan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden


dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan

304 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden.

f. Tindak Pidana Pemilu


Tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan atau kejahatan
terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu.

Beberapa bentuk tindak pidana Pemilu menurut UU Pemilu, antara lain


sebagai berikut:
a. Setiap Anggota KPU Kabupaten/Kota yang sengaja tidak memberikan
salinan daftar pemilih tetap kepada Parpol dalam bentuk softcopy atau
cakram padat dalam format yang tidak bisa diubah paling lambat tujuh
hari setelah daftar pemilih tetap tersebut ditetapkan.
b. Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS yang
karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara.
c. Pelaksana Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara
langsung ataupun tidak langsung untuk: a. tidak menggunakan hak
pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih
Parpol Peserta Pemilu tertentu; d. memilih Calon Anggota DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tertentu; atau e. memilih Calon Anggota
DPD tertentu.

Berdasarkan Pasal 476 UU Pemilu, laporan dugaan tindak pidana Pemilu


diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,
dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan
menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan
tindak pidana Pemilu.

Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu


dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 305


dan/atau Panwaslu Kecamatan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam
Gakkumdu.

Secara ringkas pelanggaran/sengketa Pemilu dan lembaga yang


menyelesaikannya adalah sebagai berikut:

Tabel 7.1. Kategorisasi Masalah Hukum Pemilu


NO JENIS PELANGGARAN/ LEMBAGA YANG KETERANGAN
SENGKETA MENANGANI
1. Pelanggaran Pemilu. Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Bawaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan,
Panwaslu Kelurahan/Desa,
Panwaslu LN, dan/atau
Pengawas TPS.
2. Pelanggaran Kode Etik Dewan Kehormatan Temuan dan pelanggaran pemilu yang
Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu merupakan pelanggaran kode etik
(DKPP). diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
ke DKPP. Atau pengadu pelanggaran
etik dapat pula langsung
menyampaikan laporan ke DKPP.
3 Pelanggaran Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
Administratif Pemilu. Bawaslu Kabupaten/Kota.
4 Sengketa Proses 1. Bawaslu. Putusan Bawaslu bersifat final dan
Pemilu berlanjut ke 2. Pengadilan Tata Usaha mengikat kecuali verifikasi parpol
Sengketa Tata Usaha Negara (PTUN). peserta pemilu, penetapan DCT,
Negara Pemilu. penetapan Pasangan Calon dapat
dilakukan upaya hukum ke PTUN.
Putusan PTUN bersifat final dan
mengikat.
5 Perselisihan Hasil Mahkamah Putusan MK bersifat final dan
Pemilu. Konstitusi (MK). mengikat.
6 Tindak Pidana Pemilu. Sistem Peradilan Pidana Laporan diteruskan oleh
(polisi-jaksa-pengadilan). Bawaslu/Panwaslu kepada Kepolisian
setelah dinyatakan sebagai tindak
pidana pemilu oleh Bawaslu
berkoordinasi dengan Kepolisian dan
Kejaksaan dalam Gakkumdu.

306 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


E. Penanganan Pelanggaran Pemilu

a. Laporan Dugaan Pelanggaran

Di dalam UU Pemilu, laporan dugaan pelanggaran pemilu dapat


disampaikan oleh pemilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu. Laporan
paling sedikit memuat nama dan alamat pelapor, pihak terlapor, waktu dan
tempat kejadian perkara, serta uraian singkat kejadian.

Selain bersumber dari laporan, pelanggaran pemilu dapat pula diketahui


dari hasil pengawasan dari jajaran Bawaslu itu sendiri. Jika Bawaslu
menemukan sendiri pelanggaran pemilu dari hasil pengawasannya, atau
menerima laporan pelanggaran pemilu dari pemilih, pemantau atau peserta
pemilu, Bawaslu wajib menindaklanjuti paling lama 7 hari setelah temuan
dan laporan tersebut diregistrasi. Sebelum melakukan tindak lanjut,
Bawaslu juga memiliki kewenangan untuk meminta keterangan tambahan
paling lama 14 hari setelah laporan dan/atau temuan diregistrasi.

Jika hasil tindak lanjut Bawaslu, sebuah laporan dan temuan adalah tindak
pidana pemilu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan
Panwascam meneruskan penanganan peristiwa tersebut ke Kepolisian 1x
24 jam setelah berkoordinasi dengan polisi dan jaksa di Sentra Gakkumdu.
Proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dilaksanakan sesuai
dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, kecuali ditentukan lain oleh
UU Pemilu.

b. Penanganan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu

Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu disebutkan dalam UU Pemilu


sebagai pelanggaran terhadap etika penyelenggaran pemilu yang
berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai
penyelenggara pemilu. Hal ini diatur dalam Pasal 457 UU Pemilu.
Pelanggaran kode etik penyelenggaran pemilu ditangani dan diselesaikan
oleh DKPP.

Pengaduan terhadap dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu


diajukan secara tertulis oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 307


kampanye, masyarakat, dan/atau pemilih yang dilengkapi dengan identitas
pengadu kepada DKPP.

Di dalam proses pemeriksaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu, DKPP


melakukan pemanggilan kepada penyelenggara pemilu yang menjadi
teradu 5 (lima) hari sebelum pelaksanaan sidang DKPP. Jika penyelenggara
pemilu yang diadukan tidak memenuhi panggilan pertama sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), DKPP menyampaikan panggilan kedua 5 (lima) hari
sebelum melaksanakan sidang DKPP. Di dalam UU Pemilu juga mengatur
secara eksplisit bahwa penyelenggara pemilu yang diadukan harus datang
sendiri, dan tidak boleh memberikan kuasa kepada orang lain.

Pengadu dugaan pelanggaran etik juga dapat menghadirkan saksi atau


pihak lain dapat memberikan keterangan untuk membuat terang suatu
dugaan pelanggaran etik. Selanjutnya, DKPP menetapkan putusan setelah
melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut,
mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi serta mempertimbangkan
bukti lainnya.

Putusan DKPP di dalam UU Pemilu dapat berupa sanksi atau rehabilitasi,


yang diambil dalam rapat pleno DKPP. Jika putusan DKPP menjatuhkan
sanksi kepada penyelenggara pemilu yang diadukan, sanksinya dapat
berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian
tetap sebagai penyelenggara pemilu. Putusan DKPP adalah putusan yang
bersifat final dan mengikat.

Terkait dengan pedoman etik penyelenggara pemilu, dapat dibaca lebih


lanjut di dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Selain itu, untuk melihat
pedoman beracara di dalam pemeriksaan kode etik penyelenggara pemilu
dapat merujuk pada Peraturan DKPP No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Kode Etik Beracara Penyelenggara Pemilihan Umum. Selain itu, untuk
pemeriksaan di daerah, dapat dibaca di dalam Peraturan DKPP No. 5 Tahun
2017 tentang Tim Pemeriksa Daerah jo. Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2019.
Selain Sedangkan terkait dengan pedoman beracara di dalam pemeriksaan
kode etik penyelenggara pemilu, diatur juga di dalam Peraturan DKPP No. 2
Tahun 2019.

308 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Gambar 7.2. Skema Pengaduan dalam Penanganan Pelanggaran Etika
Pemilu

Sumber: http://dkpp.go.id/pengaduan/

c. Penanganan Pelanggaran Administratif Pemilu

Di dalam UU Pemilu, untuk penanganan pelanggaran administratif juga


dapat dilaporkan oleh pemilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu.
Selain laporan, pelanggaran administratif juga dapat berasal dari hasil
pengawasan lembaga pengawas pemilu. Jika dugaan pelanggaran berasal
dari hasil pengawasan, dugaan pelanggaran menjadi temuan dari pengawas
pemilu.

Untuk batasan waktu pelaporan atau temuan dari pengawas pemilu,


memiliki batasan waktu 7 hari untuk ditindaklanjuti terkait dengan jenis
peristiwanya apakah pelanggaran administratif atau pelanggaran pidana.
Jika sudah dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, Pengawas
Pemilu menerima, memeriksa, mengkaji, dan membuat rekomendasi atas
hasil kajiannya mengenai pelanggaran administratif pemilu kepada
pengawas pemilu secara berjenjang. Kemudian, Bawaslu, Bawaslu Provinsi,

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 309


dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan
memutus pelanggaran administratif pemilu.

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota wajib memutus


penyelesaian pelanggaran administratif pemilu paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.
Setelah ada putusan, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib
menindaklanjuti putusan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
putusan dibacakan. Untuk pelanggaran administratif pemilu yang bisa
dilakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung, diberikan waktu 14 hari
kepada Mahkamah Agung untuk memutus upaya hukum tersebut.

Sanksi pelanggaran administratif yang dapat dimintakan upaya hukum ke


Mahkamah Agung adalah sanksi administrasi yang khusus mengenai
pembatalan sebagai peserta pemilu. Tindaklanjut dari putusan Bawaslu dari
pelanggaran diskualifikasi adalah keputusan KPU berupa sanksi administrasi
pembatalan sebagai peserta pemilu.

Keputusan KPU yang melakukan diskualifikasi ini yang dapat diajukan upaya
hukum ke Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Agung menetapkan kembali
peserta pemilu yang telah didiskualifikasi, KPU wajib menetapkan peserta
pemilu yang bersangkutan seperti semula. Putusan Mahkamah Agung
adalah putusan yang bersifat final dan mengikat. Jika putusan Mahkamah
Agung tidak ditindaklanjuti, KPU dapat dilaporkan ke DKPP.

Di dalam UU Pemilu, putusan pelanggaran administratif dapat berupa:


1. Perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Teguran tertulis;
3. Sanksi administrasi lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang 7/2017; atau
4. Tidak diikutkan pada tahapan pemilu tertentu dalam penyelenggaraan
pemilu.

310 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


d. Penanganan Tindak Pidana Pemilu

Bahasan sebelumnya menyebutkan bahwa hasil kajian Bawaslu yang


menunjukkan adanya pelanggaran berupa tindak pidana Pemilu diteruskan
kepada Kepolisian.

Adapun mekanisme penanganannya baik di tingkat penuntutan, penyidikan


dan persidangan atas dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu adalah
sebagai berikut:

1. Penyidikan dan Penuntutan

Penyidik Kepolisian menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara


kepada penuntut umum paling lama 14 hari sejak diterimanya laporan.
Berkas tersebut bisa dikembalikan oleh penuntut umum paling lama 3 hari
dalam hal hasil penyidikan belum lengkap. Penyidik dalam waktu 3 (tiga)
hari sejak diterimanya berkas dari penuntut umum harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum. Penuntut
umum melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri paling lama
5 (lima) hari sejak menerima berkas perkara.

2. Persidangan

Persidangan atas dugaan pelanggaran dilakukan oleh Pengadilan Negeri


dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
kecuali ditentukan lain dalam UU Pemilu dan dilakukan oleh majelis hakim
khusus.

Dalam hal pemeriksaan di pengadilan, mengatur secara detil rentang waktu


pemeriksaan. Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara tindak pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan
berkas perkara. Jika Putusan Pengadilan Negeri diajukan banding, maka
permohonan banding harus sudah diajukan paling lambat 3 (tiga) hari
setelah putusan dibacakan. Kemudian Pengadilan Negeri sudah harus
melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan
tinggi paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diterima.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 311


Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus permohonan banding paling
lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan
pengadilan tinggi ini merupakan putusan tingkat terakhir dan mengikat
serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lainnya. Pengecualiannya,
putusan pengadilan terhadap kasus tindak pidana Pemilu yang dinilai dapat
mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu, yakni harus sudah selesai
5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu nasional.

3. Pelaksanaan Putusan

Pelaksanaan putusan juga diatur di dalam UU Pemilu. Putusan pengadilan


harus sudah disampaikan kepada penuntut umum paling lama 3 (tiga) hari
dan putusan tersebut harus dilaksanakan paling lama 3 hari setelah jaksa
menerima putusan. Maka durasi waktu untuk melaksanakan putusan
pengadilan dapat dilakukan paling lama 6 (enam) hari.

Gambar 7.3. Alur Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum 2019

312 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Gambar 7.4. Alur Penanganan Pelanggaran Pilkada

F. Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu

a. Sengketa Proses Pemilu Melalui Bawaslu


Berdasarkan Pasal 466 UU Pemilu, sengketa proses Pemilu meliputi
sengketa yang terjadi antar-Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu
dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota. Pasal
467 ayat (1) menegaskan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu
Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses
Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU
Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu


diatur dalam:
1. Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
2. Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 313


3. Peraturan Bawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
4. Peraturan Bawaslu Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.

Pasal 3 Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 menyebutkan sengketa


proses Pemilu meliputi:
1. Sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu
2. Sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dengan penyelenggara
pemilu.
3. Sengketa Pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 5
Tahun 2019 terjadi karena:
a. Hak peserta Pemilu yang dirugikan secara langsung oleh tindakan
peserta Pemilu lain; atau
b. Hak peserta Pemilu yang dirugikan secara langsung oleh tindakan
KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, atau
keputusan KPU Kabupaten/Kota.
4. Keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, atau keputusan KPU
Kabupaten/Kota berupa surat keputusan dan/atau berita acara.

Adapun keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang tidak
dapat dijadikan objek sengketa, antara lain (Pasal 4A Peraturan Bawaslu
Nomor 5 Tahun 2019):
1. Surat keputusan atau berita acara KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang merupakan tindak lanjut dari Putusan Pelanggaran
Administratif Pemilu atau Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu
oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota;
2. Surat keputusan atau berita acara KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang merupakan tindak lanjut dari penanganan sentra
penegakan hukum terpadu atau putusan pengadilan terkait Tindak
Pidana Pemilu yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; atau
3. Surat keputusan atau berita acara KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang merupakan hasil penghitungan suara, rekapitulasi
hasil penghitungan suara, dan penetapan hasil Pemilu.

314 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Sedangkan yang bisa menjadi Pemohon sengketa proses pemilu menurut
Pasal 7 Peraturan Bawaslu Nomor 5 Tahun 2019 adalah:
1. Parpol calon Peserta Pemilu yang telah mendaftarkan diri sebagai
Peserta Pemilu di KPU;
2. Parpol Peserta Pemilu;
3. Bakal Calon Anggota DPR dan DPRD yang telah mendaftarkan diri kepada
KPU;
4. Calon Anggota DPR dan DPRD yang tercantum dalam daftar calon tetap;
5. bakal Calon Anggota DPD yang telah mendaftarkan diri kepada KPU;
6. calon Anggota DPD;
7. bakal Pasangan Calon; dan
8. Pasangan Calon.

Termohon dalam sengketa proses Pemilu meliputi (vide Pasal 8 Peraturan


Bawaslu No. 18 Tahun 2017):
1. KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota untuk sengketa antara
peserta dengan penyelenggara Pemilu; dan
2. Parpol peserta Pemilu, Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD, atau
Pasangan Calon untuk sengketa antarpeserta.

Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Bawaslu Nomor 5 Tahun 2019, dalam


sengketa proses pemilu dimungkinkan adanya Pihak Terkait. Parpol Peserta
Pemilu, calon anggota DPR dan DPRD yang tercantum di dalam DCT, calon
anggota DPD, atau Pasangan Calon yang berpotensi dirugikan atas
penyelesaian sengketa proses Pemilu dapat mengajukan diri sebagai pihak
terkait. Pengajuan diri sebagai pihak terkait bagi calon anggota DPR dan
DPRD dilakukan melalui Parpol.

Pemohon, Termohon, atau pihak terkait dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dalam mengajukan
Permohonan. Pemohon, Termohon, atau pihak terkait dapat didampingi
oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dalam proses Mediasi.
Pemohon, Termohon, atau pihak terkait dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dalam proses adjudikasi
penyelesaian sengketa proses Pemilu.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 315


Surat kuasa khusus harus didaftarkan di Sekretariat Jenderal Bawaslu,
Sekretariat Bawaslu Provinsi, atau Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota
pada saat mengajukan permohonan, proses Mediasi, atau proses adjudikasi
penyelesaian sengketa di Pengawas Pemilu. Kuasa hukum yang ditunjuk
oleh pemohon atau pihak terkait merupakan advokat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Termohon dapat menunjuk
kuasa hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(vide Pasal 10 Peraturan Bawaslu No. 27 Tahun 2017).

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan


memutus sengketa proses pemilu paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak
tanggal diterimanya Permohonan yang diajukan Pemohon. Permohonan
tersebut diterima sejak tanggal Permohonan diregister oleh Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota. Penghitungan hari
mengacu pada standar perubahan hari kerja pada jam 00.00 waktu
setempat (vide Pasal 6 Peraturan Bawaslu No.27 Tahun 2018 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor
18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan
Umum).

Mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu antara Peserta Pemilu


dengan penyelenggara pemilu dilakukan dengan cara:
1. Menerima Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
2. Melakukan verifikasi formal dan verifikasi materiil Permohonan
penyelesaian sengketa proses Pemilu;
3. Melakukan Mediasi antarpihak yang bersengketa;
4. Melakukan proses Adjudikasi sengketa proses Pemilu; dan
5. Memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.

Sedangkan mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu yang terjadi


antar Peserta Pemilu berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (5) dan (6)
Peraturan Bawaslu No. 5 Tahun 2019, dilakukan dengan cara:
1. Menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
2. Melakukan verifikasi formal dan verifikasi materiil Permohonan
penyelesaian sengketa proses pemilu;
3. Melakukan mediasi terhadap para pihak yang bersengketa; dan

316 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


4. Memutus penyelesaian sengketa proses pemilu apabila tidak tercapai
mufakat di antara para pihak yang bersengketa.

Permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu yang terjadi antara


peserta dengan penyelenggara pemilu dapat diajukan dengan cara:
1. Langsung, yaitu diajukan ke Sekretariat Jenderal Bawaslu, Sekretariat
Bawaslu Provinsi, atau Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota; atau
2. Tidak langsung, yaitu diajukan melalui laman penyelesaian sengketa di
laman resmi Bawaslu dan Bawaslu Provinsi.

Berdasarkan Pasal 7A dan 7B Peraturan Bawaslu No. 18 Tahun 2018,


Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan oleh
Parpol calon Peserta Pemilu dan/atau Parpol Peserta Pemilu dilakukan
dengan ketentuan untuk tingkat pusat diajukan oleh Ketua Umum dan
Sekretaris Jenderal Partai atau sebutan lain, dan tingkat Provinsi diajukan
oleh Ketua dan Sekretaris tingkat Provinsi atau sebutan lain. Sedangkan
tingkat Kabupaten/Kota diajukan oleh ketua dan Sekretaris tingkat
Kabupaten/Kota atau sebutan lain.

Bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang tidak
ditetapkan sebagai daftar calon sementara Anggota DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota dapat mengajukan permohonan penyelesaian
sengketa proses pemilu yang diwakili oleh Parpol sesuai tingkatannya. Bakal
Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang
tercantum dalam daftar calon sementara tidak ditetapkan oleh KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai DCT Anggota DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa proses pemilu yang diwakili oleh Parpol sesuai
tingkatannya.

Permohonan diajukan kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu


Kabupaten/Kota secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memuat:
1. Identitas Pemohon yang terdiri atas nama Pemohon, alamat Pemohon,
dan nomor telepon atau faksimile dengan dilampiri fotokopi kartu tanda
penduduk atau identitas kependudukan lainnya yang sah;
2. Identitas Termohon yang terdiri dari: nama Termohon, alamat
Termohon, dan nomor telepon atau faksimile;

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 317


3. Uraian yang jelas mengenai kewenangan menyelesaikan sengketa proses
Pemilu;
4. Kedudukan hukum Pemohon dalam penyelenggaraan Pemilu;
5. Kedudukan hukum Termohon dalam penyelenggaraan Pemilu;
6. Uraian yang jelas mengenai tenggang waktu pengajuan Permohonan;
7. Penyebutan secara lengkap dan jelas objek sengketa proses Pemilu yang
memuat kerugian langsung Pemohon atas objek yang disengketakan;
8. Uraian alasan Permohonan sengketa proses Pemilu berupa fakta yang
disengketakan yang disertai dengan uraian bukti yang akan diajukan; dan
9. Hal yang dimohonkan untuk diputus.

Permohonan ditandatangani oleh Pemohon dan/atau kuasa hukumnya


disertai bukti dibuat dalam 4 (empat) rangkap yang terdiri atas 1 (satu)
rangkap copy dari asli yang dibubuhi materai dan telah dileges di kantor pos
dan 3 (tiga) rangkap salinan serta dalam bentuk dokumen digital dengan
format word yang disampaikan dalam unit penyimpanan data. Bukti disusun
dalam daftar bukti sesuai dengan uraian Permohonan tertulis. Dalam hal
Permohonan diajukan melebihi jangka waktu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi,
atau Bawaslu Kabupaten/Kota menyatakan Permohonan tidak dapat
diterima. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis dalam hal Permohonan tidak
dapat diterima.

Permohonan disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal


penetapan Keputusan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.
Permohonan tersebut belum pernah diregister pada proses penanganan
dugaan pelanggaran administratif pemilu dan penanganan dugaan tindak
pidana pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu
Kabupaten/Kota. Permohonan tersebut bukan merupakan sengketa yang
terjadi antara calon peserta Pemilu dalam satu Parpol (vide Pasal 12 ayat
Peraturan Bawaslu No. 5 Tahun 2019).

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota selanjutnya


melakukan verifikasi materiil terhadap Permohonan penyelesaian sengketa
proses Pemilu yang telah diregister. Verifikasi materiil dilakukan oleh
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota dalam proses
Adjudikasi.

318 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Langkah berikutnya, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu
Kabupaten/Kota melakukan mediasi terhadap Permohonan yang telah
diregister. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota
menentukan jadwal pelaksanaan mediasi. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau
Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pemanggilan para pihak untuk
menghadiri Mediasi. Mediasi wajib dihadiri Pemohon dan Termohon. Dalam
hal Pemohon dan/atau Termohon tidak menghadiri pemanggilan pertama,
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menentukan
jadwal dan melakukan pemanggilan kembali. Apabila Pemohon tidak
menghadiri Mediasi setelah dua kali dilakukan pemanggilan, Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota membuat putusan
Permohonan gugur. Apabila Termohon tidak menghadiri Mediasi setelah
dua kali dilakukan pemanggilan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu
Kabupaten/Kota menyatakan Mediasi tidak mencapai Kesepakatan dan
dituangkan dalam Berita Acara.

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota menjadi


mediator para pihak dalam menyelesaikan sengketa dengan cara yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Mediasi berpegang pada asas
Pemilu dan prinsip penyelesaian sengketa Proses Pemilu. Pelaksanaan
Mediasi diselesaikan paling lama 2 (dua) hari dan dilaksanakan secara
tertutup. Mediasi penyelesaian sengketa proses Pemilu dipimpin oleh
paling sedikit 1 (satu) mediator.

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan


Mediasi penyelesaian sengketa proses Pemilu dengan tahapan sebagai
berikut:
1. Pimpinan Mediasi menyampaikan pernyataan pembuka;
2. Penyampaian kronologis permasalahan dari para pihak;
3. Perundingan kesepakatan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
4. Penyusunan kesepakatan para pihak oleh mediator; dan
5. Penandatanganan berita acara kesepakatan atau ketidaksepakatan.

Dalam hal Mediasi mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau


Bawaslu Kabupaten/Kota menuangkan dalam Berita Acara Mediasi Tercapai
Kesepakatan, yang ditandatangani oleh para pihak dan pimpinan Mediasi.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 319


Berita Acara tersebut sebagai dasar bagi Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau
Bawaslu Kabupaten/Kota dalam membuat Putusan. Putusan dibacakan oleh
Pimpinan Mediasi dalam forum Mediasi yang terbuka untuk umum.

Dalam hal Mediasi tidak mencapai kesepakatan, Bawaslu, Bawaslu Provinsi,


atau Bawaslu Kabupaten/Kota menuangkan dalam Berita Acara Mediasi
Tidak Tercapai Kesepakatan, yang ditandatangani oleh Para Pihak dan
Pimpinan Mediasi. Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan,
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota melanjutkan
penyelesaian sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi. Pimpinan Mediasi
memberitahukan waktu dan tempat pelaksanaan adjudikasi secara lisan
dalam forum mediasi sebagai panggilan resmi.

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota selanjutnya


membentuk majelis Adjudikasi. Majelis Adjudikasi penyelesaian sengketa
Bawaslu dipimpin oleh majelis sidang paling sedikit 3 (tiga) Anggota
Bawaslu, terdiri atas 1 (satu) Anggota Bawaslu sebagai ketua majelis sidang
dan dibantu oleh 2 (dua) Anggota Bawaslu sebagai anggota majelis sidang.

Majelis Adjudikasi penyelesaian sengketa tingkat provinsi dalam hal jumlah


Anggota Bawaslu Provinsi berjumlah 7 (tujuh) orang anggota, maka dihadiri
sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Bawaslu Provinsi. Dan dalam
hal jumlah Anggota Bawaslu Provinsi berjumlah 5 (lima) orang, maka
dihadiri oleh paling sedikit 3 (tiga) orang Anggota Bawaslu Provinsi.

Majelis Adjudikasi penyelesaian sengketa tingkat Kabupaten/Kota dalam


hal jumlah Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota berjumlah 5 (lima) orang
anggota, dihadiri paling sedikit 3 (tiga) orang Anggota Bawaslu
Kabupaten/Kota; dan dalam hal jumlah Anggota Bawaslu Kabupaten/Kota
berjumlah 3 (tiga) orang, dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang Anggota
Bawaslu Kabupaten/Kota.

Majelis Adjudikasi beranggotakan paling sedikit 2/3 dari jumlah Anggota


Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Apabila jumlah
anggota Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota terdapat
kekurangan, majelis Adjudikasi dapat ditambahkan dari Pengawas Pemilu
setingkat diatasnya.

320 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Majelis sidang memimpin sidang Adjudikasi penyelesaian sengketa proses
Pemilu. Majelis sidang memperhatikan kepentingan para pihak secara
berimbang dan memutus hasil Adjudikasi penyelesaian sengketa proses
Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Termohon dalam persidangan adjudikasi akan diminta menyampaikan


jawaban Termohon. Jawaban Termohon disampaikan paling lama 1 (satu)
hari sejak berita acara Mediasi tidak tercapai kesepakatan ditandatangani.
Jawaban Termohon disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia
sebanyak 4 (empat) rangkap yang terdiri atas 1 (satu) rangkap Asli yang
dibubuhi materai dan 3 (tiga) rangkap salinan yang ditandatangani oleh
Termohon atau kuasa hukumnya dan dalam bentuk dokumen digital
(softcopy) dengan format word yang disampaikan dalam unit penyimpanan
data.

Jawaban Termohon paling sedikit memuat: a. identitas lengkap Termohon


yaitu nama, alamat Termohon dan/atau kuasa hukumnya, nomor telepon
(kantor, telepon seluler), nomor faksimile, dan/atau alamat surat
elektronik; b. jawaban Termohon atas pokok Permohonan Pemohon; c. hal
yang diminta untuk diputuskan; Jawaban Termohon dilengkapi dengan
bukti berupa surat atau tulisan (vide Pasal 28 Peraturan Bawaslu No. 18
Tahun 2017).

Pihak terkait dapat mengajukan Permohonan kepada Bawaslu, Bawaslu


Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota paling lama pada persidangan
Adjudikasi kedua. Permohonan Pihak Terkait diajukan secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia paling sedikit memuat: a. identitas pihak terkait yang
terdiri atas nama pihak terkait, alamat pihak terkait, dan nomor telepon
atau faksimile dengan dilampiri fotokopi kartu tanda penduduk; b.
kedudukan hukum pihak terkait dalam penyelenggaraan Pemilu; c. uraian
potensi kerugian langsung atas penyelesaian sengketa proses Pemilu; d.
uraian jawaban atas pokok Permohonan Pemohon; dan e. hal yang diminta
untuk diputuskan. Permohonan ditandatangani oleh pihak terkait atau
kuasa hukumnya disertai bukti dibuat 1 (satu) rangkap asli yang dibubuhi
materai dan 4 (empat) rangkap salinan serta dalam bentuk dokumen digital
(softcopy) dengan format word yang disampaikan dalam unit penyimpanan
data.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 321


Bukti disusun dalam daftar bukti sesuai dengan uraian Permohonan tertulis
pihak terkait. Dalam hal Permohonan diajukan setelah persidangan
Adjudikasi kedua, majelis sidang menyatakan Permohonan sebagai pihak
terkait tidak dapat diterima. Dalam hal Permohonan tidak dapat diterima,
majelis sidang menyampaikan pemberitahuan secara tertulis. Dalam hal
Permohonan sebagai pihak terkait telah diterima, majelis sidang melakukan
pemanggilan pihak terkait melalui panggilan sidang Adjudikasi penyelesaian
sengketa proses Pemilu dengan melampirkan salinan Permohonan
Pemohon.

Alat bukti dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu terdiri atas:


1. Surat, yang terdiri atas surat keputusan atau berita acara KPU, KPU
Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota; dan dokumen tertulis lainnya;
2. Keterangan Pemohon dan Termohon, yang disampaikan dalam
persidangan Adjudikasi penyelesaian sengketa proses Pemilu;
3. Keterangan Saksi Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait atau dari
pemantau Pemilu yang terakreditasi. Saksi yang dihadirkan harus
memenuhi syarat-syarat berusia di atas 17 (tujuh belas) tahun atau
sudah/pernah kawin; berakal sehat, tidak ada hubungan keluarga
sedarah dan keluarga semenda dari Pemohon dan Termohon, berjumlah
paling sedikit 2 (dua) orang untuk kesaksian suatu peristiwa,
menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri;
4. Keterangan Ahli, sesuai dengan bidang keahliannya yang dapat diajukan
oleh Pemohon dan Termohon dalam sidang penyelesaian sengketa
proses Pemilu;
5. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya. Informasi elektronik ini berupa satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik,
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode
akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan
dokumen elektronik berupa informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,

322 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya; dan hasil cetaknya berupa hasil
cetakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik;
6. Pengetahuan Majelis Sidang.
Majelis sidang menentukan jadwal pelaksanaan Adjudikasi. Dalam hal
Termohon tidak hadir pada penyampaian panggilan tersebut, majelis
sidang melakukan pemanggilan kepada pihak Termohon untuk hadir
dalam Adjudikasi. Dalam hal Pemohon dan Termohon tidak menghadiri
sidang Adjudikasi pada pemanggilan pertama, majelis sidang
menentukan jadwal dan melakukan pemanggilan kembali. Dalam hal
Pemohon dan/atau kuasanya tidak menghadiri sidang Adjudikasi setelah
2 (dua) kali dilakukan pemanggilan, majelis sidang membuat putusan
Permohonan gugur. Dalam hal Termohon tidak menghadiri sidang
Adjudikasi setelah 2 (dua) kali dilakukan pemanggilan, proses Adjudikasi
tetap dilanjutkan untuk membuat putusan. Dalam hal Pemohon dan
Termohon tidak menghadiri Adjudikasi pada pemanggilan kedua, majelis
sidang membuat putusan Permohonan gugur. Dalam hal dibutuhkan
sidang Adjudikasi lanjutan, majelis sidang menyampaikan jadwal sidang
lanjutan secara lisan sekaligus sebagai panggilan resmi kepada para pihak
untuk menghadiri sidang Adjudikasi berikutnya.

Berdasarkan Pasal 33 Peraturan Bawaslu No. 18 Tahun 2017, Adjudikasi


dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Penyampaian pokok Permohonan Pemohon;
2. Jawaban Termohon;
3. Tanggapan pihak terkait;
4. Pembuktian;
5. Kesimpulan para pihak; dan
6. Putusan.

Pelaksanaan persidangan Adjudikasi dilakukan dengan tahapan sebagai


berikut:
1. Pimpinan majelis sidang memberi kesempatan kepada Pemohon untuk
membacakan isi Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
2. Pimpinan majelis sidang memberi kesempatan kepada Termohon
untuk mengajukan dan membacakan Jawaban Termohon atas

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 323


Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan
Pemohon;
3. Dalam hal terdapat pihak terkait, majelis sidang memberikan
kesempatan kepada pihak terkait untuk menyampaikan tanggapan atas
Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan
Pemohon;
4. Setelah penyampaian Permohonan dan Jawaban Termohon, pimpinan
majelis sidang memberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menyampaikan bukti;
5. Para pihak dapat mengajukan Saksi dan Ahli dalam proses Adjudikasi
setelah mendapat persetujuan majelis sidang;
6. Saksi terlebih dahulu diambil sumpah atau janji sesuai dengan
agamanya sebelum dilakukan pemeriksaan;
7. Majelis sidang dapat menghadirkan lembaga pemberi keterangan
terkait dengan objek yang disengketakan berdasarkan pertimbangan
majelis sidang;
8. Dalam hal pembuktian telah dilakukan, pimpinan majelis sidang
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengemukakan
pendapat terakhir berupa kesimpulan yang dirumuskan secara tertulis;
9. Setelah para pihak menyampaikan kesimpulan, majelis sidang
memutuskan penyelesaian sengketa proses Pemilu; dan
10. Putusan majelis sidang dituangkan dalam putusan penyelesaian
sengketa proses Pemilu oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu
Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Pasal 35 Peraturan Bawaslu No. 18 Tahun 2017, Permohonan


penyelesaian sengketa proses Pemilu dinyatakan gugur apabila:
1. Pemohon meninggal dunia;
2. Pemohon tidak hadir 2 (dua) kali berturut-turut dalam proses Mediasi
pertama;
3. Pemohon tidak hadir 2 (dua) kali berturut-turut dalam proses
Adjudikasi;
4. Termohon telah memenuhi tuntutan Pemohon pada saat proses
penyelesaian sengketa proses Pemilu; atau
5. Pemohon mencabut Permohonannya.

324 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Terhadap Permohonan yang dinyatakan gugur, tidak dapat mengajukan
Permohonan kembali. Dalam hal Permohonan sengketa proses Pemilu
dinyatakan gugur, majelis sidang membuat Putusan mengenai gugurnya
Permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu. Putusan tersebut
dituangkan dalam putusan gugurnya Permohonan penyelesaian sengketa
proses Pemilu oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu
Kabupaten/Kota.

Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota atas


penyelesaian sengketa proses Pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali
putusan terhadap sengketa proses Pemilu yang berkaitan dengan verifikasi
Parpol Peserta Pemilu; penetapan DCT anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota; dan penetapan Pasangan Calon (vide Pasal 36
Peraturan Bawaslu No. 18 Tahun 2017).

KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti


Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota paling
lama 3 (tiga) hari kerja sejak dibacakan.

Selain itu, Bawaslu berwenang melakukan koreksi terhadap putusan


sengketa proses pemilu dari Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota
apabila terdapat kesalahan penerapan hukum dan/atau kekhilafan majelis.
Pemohon yang dirugikan atas putusan sengketa proses Pemilu Bawaslu
Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota dapat mengajukan
permohonan Koreksi Putusan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah putusan
Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota dibacakan kepada
Bawaslu melalui Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota.

Permohonan tersebut paling sedikit memuat: a. identitas pemohon; b.


kedudukan hukum pemohon; c. tenggang waktu permohonan; d. alasan
koreksi permohonan pemohon; dan e. hal yang dimohonkan untuk
dikoreksi (Pasal 42 Peraturan Bawaslu 18/2017).

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 325


Gambar 7.5.

Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Periode 2018-2023

Gambar 7.6.

Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Periode 2018-2023

326 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Gambar 7.7.

Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Periode 2018-2023

b. Sengketa Proses Pemilu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara


Sengketa Proses Pemilu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam
Pasal 470-472 UU Pemilu dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor
5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu di
Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Perma Nomor 6 Tahun 2017 tentang
Hakim Khusus dalam Sengketa Pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara.

1. Pengertian dan Ruang Lingkup


Berdasarkan Pasal 470 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, sengketa
proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, atau Parpol calon Peserta
Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan
KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Sengketa proses Pemilu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan


sengketa yang timbul antara:
a) KPU dan Parpol calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Parpol Peserta
Pemilu;

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 327


b) KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Pasangan Calon; dan
c) KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan Calon Anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dicoret dari daftar
calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang
Penetapan Daftar Calon Tetap.

2. Pengajuan Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu


Pengajuan sengketa tata usaha negara Pemilu ke pengadilan tata usaha
negara, dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu telah digunakan.
Pengajuan sengketa tata usaha negara Pemilu dilakukan paling lama 5 (lima)
hari kerja setelah dibacakan putusan Bawaslu. Dalam hal pengajuan
gugatan kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi
gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh
pengadilan tata usaha negara. Apabila dalam waktu 3 (tiga) hari hari kerja
tersebut penggugat belum menyempumakan gugatan, hakim memberikan
putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap putusan tersebut
tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Pengadilan tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan paling lama
21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap. Putusan
pengadilan tata usaha negara bersifat final dan mengikat serta tidak dapat
dilakukan upaya hukum lain. KPU wajib menindaklanjuti putusan
pengadilan tata usaha negara paling lama 3 (tiga) hari kerja (vide Pasal 471
UU Pemilu).

3. Para Pihak
Para pihak dalam sengketa TUN Pemilu dibagi menjadi dua yakni penggugat
dan tergugat. Penggugat dalam sengketa ini bisa Parpol calon peserta
Pemilu yang tidak lolos verifikasi akibat dikeluarkannya Keputusan KPU
tentang Penetapan Parpol Peserta Pemilu, maupun calon anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dicoret dari daftar
calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang
Penetapan Daftar Calon Tetap dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan
Pasangan Calon. Sedangkan tergugat adalah KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota

328 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


4. Hakim Khusus
Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa proses Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 dan Pasal 471 Undang-undang
Nomor 7 tahun 2017 dibentuk majelis khusus yang terdiri atas hakim khusus
yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tata usaha negara.
Hakim khusus ini ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Hakim khusus adalah hakim yang telah
melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun, kecuali
apabila dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya
telah mencapai 3 (tiga) tahun.

Hakim khusus selama menangani sengketa tata usaha negara Pemilu


dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara lain. Hakim khusus harus menguasai pengetahuan tentang Pemilu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung (vide Pasal 472 UU Pemilu).

Gambar 7.8. Alur/proses beracara gugatan sengketa pemilu

Sumber: https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/2015/04/PROSES-
PEMILU_001.jpg

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 329


G. Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu

a. Pengertian Perselisihan Hasil Pemilu


Perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) merupakan buah dari perubahan
ketiga Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang mengatur tentang
wewenang Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24C ayat (1) menyebutkan
bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang (UU) terhadap
UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran Parpol, dan
memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Pengaturan lebih
lanjut tentang wewenang MK diatur oleh UU No. 24/2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Pengertian perselisihan hasil pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 473


UU Pemilu, menyebutkan:
(1) Perselisihan hasil Pemilu meliputi perselisihan antara KPU dan Peserta
Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional.
(2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR,
DPD, dan DPRD secara nasional meliputi perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi Peserta
Pemilu.
(3) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu


anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, Peserta Pemilu anggota DPR,
DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan
hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah
Konstitusi. Peserta Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional oleh KPU. Dalam hal
pengajuan permohonan kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan

330 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi. KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan
Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 474 UU Pemilu).

Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu


Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah
penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. Keberatan
ini hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan
terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi memutus
perselisihan yang timbul akibat keberatan paling lama 14 (empat belas) hari
sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi. KPU
wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 475 UU
Pemilu).

Pada Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Peserta Pemilihan mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan
oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Pasal 157 UU 10/2016).
Terdapat ambang batas selisih perolehan suara sah untuk dapat
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 158 UU
10/2016) sebagai berikut:

(1) Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan


permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan
ketentuan:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua
juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total
suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh
KPU Provinsi;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta)
sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan
perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 331


sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil
penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta)
sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan
paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil
penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;
dan
d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas
juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima
persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang
ditetapkan oleh KPU Provinsi;

(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000
(dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan
suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2%
(dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir
yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua
ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu)
jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima
persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang
ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima
ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan
paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil
penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu
juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima

332 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU
Kabupaten/Kota.

Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019 berimplikasi pada


perubahan peraturan Mahkamah Konstitusi yang mengatur tata beracara
dalam PHPU. Untuk sengketa Pilpres 2019 diatur dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara sengketa Pemilu DPR, DPD, DPRD 2019 diatur dalam UU
Pemilu; PMK No. 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; PMK No. 3 Tahun 2018 tentang Tata
Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun
2018 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban
Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu dalam
Perkara Perkara Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta
Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2018


tentang Tahapan, Kegiatan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum, Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
terdiri atas tahapan:
1. Pengajuan Permohonan Pemohon;
2. Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan Pemohon;
3. Perbaikan Kelengkapan Permohonan Pemohon;
4. Pencatatan Permohonan Pemohon dalam BRPK;
5. Penyampaian Salinan Permohonan Pemohon kepada Termohon dan
Pihak Terkait serta Pemberitahuan Sidang kepada para pihak;
6. Pemeriksaan Pendahuluan;
7. Penyerahan Perbaikan Jawaban dan Keterangan
8. Pemeriksaan Persidangan;
9. Rapat Permusyawaratan Hakim;
10. Sidang Pengucapan Putusan; dan
11. Penyerahan salinan Putusan dan Pemuatan Putusan dalam laman
(website).

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 333


Tahapan pemeriksaan kelengkapan Permohonan Pemohon dan Perbaikan
Kelengkapan Permohonan Pemohon dikecualikan terhadap penanganan
PHP Presiden dan Wakil Presiden.

Dibandingkan PHPU Pemilu 2014, secara umum prosedur/proses


penanganan penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2014 dan Pemilu 2019
tidak banyak perbedaan. Hanya regulasinya saja yang berbeda. Pada Pemilu
2014, pengaturan untuk PHPU Legislatif dan PHPU Presiden dan Wakil
Presiden masih didasarkan pada UU yang berbeda. PHPU DPR, DPD, DPRD
Pemilu 2019 diatur oleh UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD; UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu; Peraturan
MK (PMK) No. 1 Tahun 2014 jo PMK No. 3 Tahun 2014 tentang Pedoman
Beracara dalam PHPU Anggota DPR, DPD dan DPRD. Untuk PHPU Presiden
dan Wakil Presiden 2014 diatur dalam UU No. 42/2008, UU No. 8/2011
tentang Mahkamah Konstitusi dan PMK 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
Beracara dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara untuk sengketa hasil Pemilu 2019 karena pemilunya serentak


Presiden dan Wakil Presiden serta DPR, DPD, DPRD maka diatur dalam
Undang-Undang yang sama, yaitu UU Pemilu; PMK No. 2 Tahun 2018
tentang Tata Beracara dalam PHPU Anggota DPR dan DPRD; PMK No. 3
Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam PHPU Anggota DPD, dan PMK No.
6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon,
Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait dan Keterangan Bawaslu
dalam Perkara PHPU Anggota DPD, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wakil
Presiden.

Oleh karena Pemilu 2019 ini dilaksanakan serentak, sidang sengketa hasil
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselesaikan terlebih dahulu.
Dilanjutkan dengan sidang sengketa hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD. Selain
jangka waktu penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden relatif lebih singkat dibandingkan sengketa hasil Pemilu DPR, DPD,
DPRD, juga asumsi kontestasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ini lebih
tajam secara politik ketimbang Pemilu DPR, DPD, DPRD. Berbeda dengan
Pemilu 2014, sidang sengketa hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD diselesaikan
terlebih dahulu. Dilanjutkan penyelesaian sidang sengketa hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Ini karena Pemilu DPR, DPD, DPRD

334 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


dilaksanakan lebih dahulu yaitu pada tanggal 9 April 2014, sedangkan
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan pada 9 Juli 2014 (Aida
Martadillah 2019).

b. Para Pihak
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018
tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, Para Pihak dalam Perkara PHPU Presiden dan
Wakil Presiden adalah:
1. Pemohon: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
2. Termohon: KPU.
3. Pihak Terkait: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang
berkepentingan terhadap Permohonan yang diajukan oleh Pemohon.

Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang menjadi Pemohon
adalah Pasangan Calon Nomor 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno,
sedangkan yang menjadi Pihak Terkait adalah Pasangan Calon 01 Joko
Widodo dan K.H. Ma’ruf Amin.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018


tentang tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Para Pihak dalam Perkara PHPU anggota DPR dan DPRD adalah:
1. Pemohon: Parpol Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan
DPRD, perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu Parpol
yang sama yang telah memeroleh persetujuan tertulis dari Ketua Umum
dan Sekretaris Jenderal atau sebutan lainnya dari Parpol yang
bersangkutan, Parpol lokal peserta pemilu untuk pengisian keanggotaan
DPRA dan DPRK, perseorangan calon anggota DPRA dan DPRK dalam satu
Parpol Lokal yang sama yang telah memeroleh persetujuan tertulis dari
Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal atau sebutan lainnya dari Parpol
Lokal yang bersangkutan.
2. Termohon: KPU.
3. Pihak Terkait: Partai Peserta Pemilu, Perseorangan Calon Anggota DPR
dan DPRD, Parpol lokal peserta pemilu dan perseorangan calon anggota

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 335


DPRA dan DPRK yang berkepentingan terhadap Permohonan yang
diajukan oleh Pemohon.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018


Para Pihak dalam Perkara PHPU anggota DPD adalah:
1. Pemohon: perseorangan Peserta Pemilu untuk pengisian keanggotaan
DPD.
2. Termohon: KPU
3. Pihak Terkait: perseorangan Peserta Pemilu untuk pengisian
keanggotaan DPD yang berkepentingan terhadap Permohonan yang
diajukan Pemohon.

c. Objek dalam Perkara PHPU


Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018
tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, objek dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil
Presiden adalah keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara
hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang memengaruhi:
a. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang berhak mengikuti
putaran kedua Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; atau
b. terpilihnya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata


Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mengatur bahwa
objek dalam perkara PHPU Anggota DPR dan DPRD adalah Keputusan
Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil Pemilu Anggota DPR
dan DPRD secara nasional yang memengaruhi perolehan kursi Pemohon
dan/atau terpilihnya calon Anggota DPR dan/atau DPRD di suatu daerah
pemilihan.

Sedangkan Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018


tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah, objek dalam perkara PHPU Anggota
DPD adalah Keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil

336 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Pemilu Anggota DPD secara nasional yang memengaruhi terpilihnya
Pemohon.

Dalam praktik pemilu terkini misalnya, yang menjadi objek dalam Perkara
PHPU Presiden dan Wakil Presiden dan PHPU Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota pada Pemilu 2019 adalah Keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang
Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, yang
ditetapkan pada tanggal 21 Mei 2019 pukul 01.46 WIB. Keputusan KPU
inilah yang dimintakan pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi dalam
sidang PHPU.

d. Mekanisme Pengajuan Permohonan ke Mahkamah Konstitusi


Pengajuan Permohonan merupakan tahap awal dalam berperkara di
Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi dapat dilakukan Pemohon secara online melalui pendaftaran
menggunakan Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik (SIMPEL)
pada beranda laman MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id atau
www.mkri.go.id) atau secara offline dengan menyerahkan langsung
permohonan ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 337


Gambar 7.9.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c768182c0f18/sengketa-pemilu-
dulu-dan-sekarang/

338 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


1. Waktu Pengajuan Permohonan
Parpol peserta pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan
penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada
Mahkamah Konstitusi. Permohonan itu diajukan paling lama 3 x 24 jam
sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional
oleh KPU. Jika permohonan yang disampaikan ke MK kurang lengkap, Parpol
sebagai pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling
lama 3 x 24 jam sejak diterimanya permohonan oleh MK. Atas putusan MK,
baik KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti
putusan tersebut.

Gambar 7.10. Alur Pendaftaran Permohonan Langsung

Sumber: https://mkri.id/index.php?page=web.PendaftaranPemohonan&menu=4

2. Tata Cara Pengajuan Permohonan Secara Online


Selain secara langsung, pemohon juga dapat mengajukan permohonan
secara online. Berikut langkah-langkah yang harus ditempuh (Mahkamah
Konstitusi, 2019):
a. Pemohon atau kuasanya mengunjungi laman Mahkamah Konstitusi:
https://mkri.id.

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 339


b. Pemohon atau kuasanya melakukan registrasi secara online untuk
mendapatkan nama identifikasi (Username) dank ode akses (password)
untuk mengakses https: simpel.mkri.id.
c. Pemohon atau kuasanya mengupload softcopy permohonan ke dalam
SIMPEL.
d. Pemohon atau kuasanya mencetak atau memprint tanda terima
pengajuan permohonan online yang telah tersedia dalam SIMPEL
e. Permohonan online diterima dalam Sistem Informasi Manajemen
Penerimaan Permohonan Perkara (SIMPEL) Mahkamah Konstitusi.
f. Pranata Peradilan Registrasi Perkara menerima dan menyampaikan
konfirmasi kepada pemohon atau kuasanya dalam 1 hari setelah
dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL Mahkamah Konstitusi.
g. Pemohon atau kuasanya menjawab konfirmasi dengan menyampaikan
secara tertulis kepada Kepaniteraan Mahkamah Kontitusi dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak permohonan diterima oleh
Mahkamah Konstitusi dengan disertai penyerahan 12 rangkap dokumen
asli (hard copy) permohonan.

Gambar 7.11. Pendaftaran Permohonan Online

Sumber: https://mkri.id/index.php?page=web.PendaftaranPemohonan&menu=4

340 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


3. Registrasi dan Jadwal Sidang
Permohonan yang dinyatakan memenuhi persyaratan akan dicatat dalam
Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) melalui sistem e-BRPK. Pemohon
akan menerima Akta Registrasi Perkara Konstitusi (ARPK) sebagai bukti
pencatatan permohonan dalam BRPK. Permohonan yang telah teregistrasi
akan dimuat pada laman MK (www.mahkamahkonstitusi.go.id atau
www.mkri.go.id) dan salinannya disampaikan kepada Para Pihak.
Selanjutnya MK akan menetapkan dan memberitahukan hari sidang
pertama kepada Para Pihak dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.

4. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan Pendahuluan merupakan sidang pertama MK dalam rangka
mendengarkan penjelasan dan mengklarifikasi Permohonan pemohon.
Dalam sidang ini Hakim MK memberikan nasihat kepada Pemohon terkait
Permohonan yang diajukan. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan oleh
Panel Hakim yang terdiri dari paling sedikit tiga orang Hakim. Pasca sidang
Pemeriksaan Pendahuluan, Pemohon diberikan kesempatan untuk
memperbaiki Permohonan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

5. Pemeriksaan Persidangan
Tahap Pemeriksaan Persidangan terdiri atas kegiatan mendengarkan
jawaban Termohon, mendengarkan keterangan Pihak Terkait,
mendengarkan keterangan Pemberi Keterangan lainnya, pemeriksaan
saksi/ahli; dan pemeriksaan dan.atau pengesahan alat bukti.

6. Rapat Permusyawaratan Hakim


Rapat Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk mengambil putusan
setelah pemeriksaan persidangan dipandang cukup. Rapat
Permusyawaratan Hakim dilakukan secara tertutup oleh pleno hakim
konstitusi, yang terdiri atas kegiatan pembahasan perkara, pengambilan
putusan dan penyusunan konsep putusan. RPH dihadiri oleh 9 (Sembilan)
hakim atau paling sedikit 7 (tujuh) hakim (vide Pasal 15 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Persidangan
Mahkamah Konstitusi).

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 341


7. Putusan
Putusan dibacakan dalam sidang pleno terbuka untuk Umum. Penyelesaian
PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah selama 14 (empat belas) hari
kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Penyelesaian PHPU DPR, DPD,
DPRD adalah selama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat
dalam BRPK. Sedangkan perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur,
Bupati, Walikota diputus paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam BRPK.

Amar putusan dapat menyatakan:


a. Permohonan tidak dapat diterima, apabila tidak memenuhi syarat
formal.
b. Permohonan ditolak, apabila tidak beralasan menurut hukum.
c. Permohonan dikabulkan, apabila beralasan.

e. Kerangka Waktu dan Strategi Penanganan


Permohonan perselisihan hasil pemilu ini sangat singkat, yakni diajukan
dalam waktu 3 x 24 jam setelah KPU menetapkan hasil pemilu. Terhadap
permohonan ini, Panitera mengirimkan berkas permohonan yang sudah
lengkap ke KPU dalam waktu 3 hari kerja sejak registrasi, disertai
permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi bukti-bukti hasil
penghitungan suara yang diperselisihkan. KPU harus menyerahkan jawaban
tertulis ke MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan.

Hari persidangan sendiri ditetapkan dalam waktu 7 hari terhitung sejak


permohonan diregistrasi. Atas jadwal sidang pertama ini, Panitera
menyampaikan pemberitahuan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3
hari sebelum persidangan. MK nantinya memutus perselisihan hasil pemilu
selama 30 hari setelah permohonan diregestrasi.

Mengingat waktu yang singkat, KPU harus bekerja ekstra keras dan
menyiapkan strategi untuk menghadapi keterbatasan waktu tersebut.
Berikut beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh jajaran KPU.

342 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


1. Memantau Pendaftaran
KPU harus memantau proses pendaftaran permohonan dalam tenggang
waktu yang disediakan dan lakukan komunikasi informal dengan Panitera,
untuk mengetahui pemohon perselisihan hasil di MK dan daerah yang
dimohonkan.

2. Koordinasi antar Penyelenggara


Setelah mengetahui peta wilayah yang disengketakan, sebaiknya segera
membangun koordinasi dengan KPU/KIP Propinsi, KPU/KIP
Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS berdasarkan tingkatan perselisihan.
Koordinasi ini diperlukan agar penyelenggara pemilu diseluruh tingkatan
bisa memetakan beberapa hal yakni:
a. Masalah yang sempat muncul di daerah masing-masing, berdasarkan
hasil pemetaan daerah bermasalah dan berpotensi menimbulkan
perselisihan hasil pemilu.
b. Bukti yang mungkin diperlukan.
c. Saksi yang bersedia dan bisa dihadirkan.

3. Penataan alokasi waktu untuk menyiapkan jawaban


Tabel 7.2. Alokasi Waktu Untuk Menyiapkan Jawaban
Waktu Langkah Strategis
H-7 KPU menerima berkas permohonan dari panitera MK & memisahkannya
berdasarkan daerah pemilihan.
H-6 Tim menganalisis permohonan untuk menyimpulkan pokok permohonan,
saksi dan alat bukti yang dibutuhkan dan mengirimkan (melalui fax) surat
pemberitahuan daerah pemilihan yang dimohonkan, pokok permohonan,
petunjuk jawaban atas pokok permohonan berdasarkan masing-masing
dapil, saksi dan alat bukti yang dibutuhkan serta permohonan masukan atas
hal-hal yang diperlukan terkait pokok permohonan.
H-5 Tim daerah membuat posisi kasus, list alat bukti dan saksi untuk kemudian
mengirimkannya (melalui fax) dalam waktu 1x24 jam ke Tim KPU
(Termohon). Sedangkan Tim KPU membuat rancangan jawaban tertulis,
mengumpulkan jawaban Tim daerah
H-4 Tim menganalisis kasus dan membuat kesimpulan awal berdasarkan posisi
kasus yang dibuat tim daerah. Tim KPU pada saat bersamaan mengundang
KPU daerah (turut termohon) hadir dalam rapat koordinasi dan bedah kasus

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 343


di KPU (termohon) pada H-3 dengan membawa alat bukti yang dibutuhkan
dan berkas terkait.
H-3 Bedah kasus dan rapat koordinasi antara pihak termohon dengan turut
termohon serta menyempurnakan jawaban tertulis yang dimohonkan dan
melengkapi berkas yang dibutuhkan seperti alat bukti dan saksi.
H-2 Pemantapan jawaban termohon dan koordinasi terkait kesiapan
menghadapi persidangan.
H-1 Mengirimkan jawaban/keterangan tertulis ke MK.
H Batas penyerahan jawaban/keterangan tertulis ke MK.
Sidang Hari persidangan.

4. Pemetaan Daerah dan Pelanggaran Potensial Sengketa


Proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, rekapitulasi hasil
penghitungan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota dan KPU Propinsi,
berpotensi menjadi penyebab muncul perselisihan hasil. Permasalahan
yang timbul selama proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota dan KPU
Propinsi, bisa dideteksi dari adanya keberatan dan protes dari para saksi
peserta pemilu, dan laporan hasil pemantauan yang disampaikan oleh
organisasi pemantau pemilu, serta pemberitaan media massa.

Semua permasalahan tersebut perlu dicatat, diidentifikasi dan dipetakan


oleh tim, karena hal itu merupakan potensi terjadinya perselisihan hasil
pemilu, yang akan diajukan oleh peserta pemilu yang merasa dirugikan.

Dengan memetakan potensi perselisihan, berarti tim sudah mempersiapkan


diri untuk menghadapi kemungkinan datangnya perselisihan hasil pemilu di
MK. Tim bisa mengingatkan KPU, KPU/ KIP Propinsi dan KPU/ KIP
Kabupaten/Kota tertentu untuk bersiap-siap menghadapi persidangan
perselisihan hasil pemilu di MK.

Pemetaan daerah dan pelanggaran potensial sengketa dilakukan dalam


proses pemungutan dan penghitungan suara. Dalam pemetaan itu, tim
dapat berkoordinasi dengan KPPS, PPS, PPK, KPU/KIP Kabupaten/Kota,
KPU/KIP Propinsi secara berjenjang untuk mendokumentasikan dan
melaporkan permasalahan yang muncul di TPS, PPK, KPU/KIP
Kabupaten/Kota dan KPU/KIP Propinsi masing-masing secara estafet. KPPS

344 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


melaporkan ke PPS/PPK, dan PPS/PPK melaporkan permasalahan-
permasalahan di wilayahnya secara komprehensif dan berjenjang kepada
penyelenggara pemilu di atasnya.

Tabel 7.3. Contoh Pemetaan Potensi Perselisihan Hasil Pemilu


No. KPU KPU PPK TPS Masalah
Propinsi Kabupaten/Kota
1. Banten Tangerang Pamulang TPS 71, Saksi Partai A tidak
Selatan TPS 100, menandatangi berita acara
TPS 126 rekapitulasi suara di PPK
Pamulang, dengan dalih
terjadi pengurangan jumlah
suara yang dilakukan caleg
partai lain.
2. Jawa Bangkalan Kalianget TPS 124, Saksi Paslon B menolak
Timur Pamekasan Kamal TPS 155. menandatangani berita acara
TPS 009, karena menganggap ada
TPS 247 penggelembungan suara
untuk Paslon lain.
dst dst dst dst dst dst

5. Penyiapan Alat Bukti dan Saksi


a) Alat bukti surat atau tulisan.
Alat bukti surat atau tulisan bisa berupa berita acara dan sertifikat hasil
penghitungan suara di TPS, serta berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil
penghitungan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU.
Alat bukti surat atau tulisan mana yang harus dipersiapkan tergantung pada
lokasi perselisihan yang diajukan oleh pemohon.

Kecuali di TPS, apabila lokasi perselisihan terdapat di kecamatan,


kabupaten/kota, propinsi dan nasional, maka harus disiapkan alat bukti
sampai setingkat di bawahnya. Perbedaan penghitungan suara di satu
lokasi, akan berpengaruh terhadap hasil rekapitulsi penghitungan suara di
atasnya, sehingga harus disiapkan juga alat bukti lokasi-lokasi di atasnya.

b) Saksi-saksi
Penyiapan saksi adalah tergantung pada lokasi perselisihan. Jika lokasi
perselisihan di TPS, maka yang perlu atau relevan dihadirkan sebagai saksi

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 345


adalah Ketua/Anggota KPPS. Jika lokasi perselisihan di kecamatan, maka
yang perlu dihadirkan sebagai saksi adalah Ketua/Anggota PPK. Sedangkan
bila lokasi perselesihan di Kabupaten/Kota, maka yang perlu dihadirkan
sebagai saksi adalah Ketua/Anggota KPU Kabupaten/Kota. Bila lokasi
perselisihan di propinsi, maka yang perlu dihadirkan sebagai saksi adalah
Ketua/Anggota KPU Propinsi. Dan dalam hal lokasi perselisihan nasional,
maka yang perlu dihadirkan sebagai saksi adalah Ketua/Anggota KPU.

Selain Ketua/Anggota KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Propinsi


dan KPU, perlu juga dipertimbangkan untuk menghadirkan saksi dari pihak-
pihak yang memperkuat penghitungan suara KPU dan kerja-kerja yang
sudah dilakukan oleh KPU, misalnya jajaran pengawas pemilu dan para saksi
peserta pemilu.

c) Petunjuk, informasi dan dokumen elektronik.


MK memberi kesempatan kepada para pihak untuk menunjukkan alat bukti
lain, selain berita acara dan sertifikat penghitungan suara. Oleh karena itu,
jika KPPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Propinsi dan KPU, memiliki
alat-alat bukti lain yang memperkuat penghitungan suara, seperti putusan
pengadilan terkait pelanggaran pidana pemilu, surat keterangan, catatan
laporan, dokumen-dokumen elektronik yang bisa dipertanggungjawabkan,
maka alat-alat bukti tersebut perlu disiapkan untuk dibawa ke persidangan.

6. Konsolidasi Menghadapi Persidangan


Perselisihan hasil pemilu membuat KPU harus melakukan kegiatan sebagai
berikut: pertama, menyusun keterangan tertulis untuk menjawab
permohonan; kedua, menyertakan bukti-bukti sebagai bagian dari
keterangan tertulis; ketiga, mengikuti pemeriksaan pendahuluan;
keempat, mengikuti pemeriksaan persidangan; kelima, menindaklanjuti
putusan MK.

Dalam rangka menghadapi kegiatan-kegiatan tersebut, Tim PHPU, tidak


hanya harus bekerja bersama dengan KPU Propinsi, tetapi juga harus
mengkoordinasi para saksi yang berasal dari berbagai daerah perselisihan.
Tidak kalah pentingnya adalah bekerja sama dengan para kuasa hukum,
yang akan mewakili KPU dalam persidangan di MK.

346 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Kemampuan Tim dalam bekerja sama dengan kuasa hukum dan
mengkoordinasi para saksi, sangat menentukan keberhasilan KPU dalam
menghadapi persidangan. Materi kesaksian dan para saksi yang telah
dipersiapkan, tidak berarti apa-apa apabila KPU dan para saksi tampil tidak
meyakinkan di persidangan.

Pastikan jajaran KPU secara optmal menyiapkan segala hal yang berkaitan
dengan materi persidangan dan meyampaikan segala hal yang relevan
terkait dengan permohonan PHPU secara efektf, lugas, dan ringkas di
hadapan majelis sidang Mahkamah Konstitusi. Ingat tidak jangan bertele-
tele dan berpanjang-panjang, namun tanpa melupakan esensi penting dari
permasalahan yang ingn disampaikan.

H. Penutup

Bab ini menunjukkan bahwa KPU RI, KPU/KIP Provinsi, dan KPU/KIP
Kabupaten/Kota merupakan pihak yang akan selalu bersentuhan dengan
permasalahan hukum pemilu, baik tindak pidana pemilu, pelanggaran
administratif pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,
sengketa pemilu, maupun perselisihan hasil pemilu. Mengingat itu,
memahami setiap aspek dalam permasalahan hukum pemilu diperlukan
sehingga bisa memandu arah dan tujuan pelaksanaan tugas dan wewenang.

Pemahaman terhadap aspek permasalahan hukum pemilu mesti dimulai


dari memahami paradigma keadilan pemilu, kerangka hukum pemilu, dan
prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu. Bahwa
keadilan dalam pemilu bisa diwujudkan jika hak-hak politik warga negara
terpenuhi. Jika ada hak warga negara yang terlanggar, kerangka hukum
pemilu harus menyediakan ruang untuk mengembalikannya. Karena itu
kerangka hukum pemilu ini mesti disusun secara baik untuk mewujudkan
keadilan pemilu dengan memasukkan semua prinsip-prinsip penanganan
pelanggaran dan sengketa pemilu. Hal ini sesuai dengan tujuan salah satu
keadilan pemilu, yakni untuk memulihkan hak pilih warga negara di dalam
sebuah proses pemilu.

Oleh karena itu, jajaran penyelenggara pemilu diharapkan mampu


memberikan gambaran secara utuh tentang permasalahan hukum pemilu

BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU 347


dan mekanisme penegakannya. Terhadap penyelenggara pemilu
diharapkan bisa memberikan bekal yang cukup untuk melaksanakan tugas
dan wewenangnya, khususnya jika harus berhadapan dengan
permasalahan hukum di setiap tahapan pemilu.

348 BAB 7 – PENEGAKAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU


Penghitungan Suara pada Pemungutan Suara
Pemilu 2019 di TPS 09 Banjar Kedaton,
Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur,
Kota Denpasar - Bali
BAB 8
PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH

Ferry Daud Liando

A. Pengantar

Para penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali menghadapi


situasi dan kondisi yang sangat dinamis dan penuh resiko. Perencanaan
yang matang sudah dilakukan. Prosedur, anggaran, sarana pendukung juga
sudah disiapkan. Aktor-aktor penyelenggara Pemilu juga telah dilatih.
Namun demikian, ketika tahapan-tahapan Pemilu berjalan, muncul kondisi-
kondisi tertentu yang secara tiba-tiba terjadi dan tidak diperkirakan
sebelumnya. Pada sisi yang lain, UU Pemilu tentu saja tidak mampu secara
sempurna untuk mengidentifikasi semua permasalahan yang dapat saja
terjadi di semua tahapan penyelenggaraan Pemilu. Hal yang sama juga
terjadi di dalam regulasi turunan dari UU Pemilu, yang juga tidak utuh akan
mampu untuk memberikan pedoman tentang cara mengantisipasi, cara
menghadapi, dan cara menyelesaikan suatu kondisi tertentu yang sifatnya
darurat atau kejadian-kejadian yang tidak terdeteksi sejak awal.

Menghadapi situasi dan kondisi seperti ini, beberapa penyelenggara Pemilu


berhasil melaluinya. Namun, sebaliknya, tidak sedikit juga mereka yang
tidak mampu mengelolanya. Bab ini mencoba untuk mendokumentasi
beberapa praktik terbaik (best practices) terkait dengan upaya yang telah
dilakukan oleh KPU di berbagai daerah dalam merespon kondisi darurat.
Metode pengumpulan informasi didasarkan pada Diskusi Kelompok
Terpumpun (Focus Group Discussion atau FGD) yang diselenggarakan pada
tanggal 22-24 Juli 2019 di Jakarta dengan mengundang KPU Provinsi
Sumatera Utara, KPU Provinsi DKI Jakarta, KPU Provinsi Jawa Barat, KPU
Provinsi Jawa Timur, KPU Provinsi Bali, KPU Provinsi Sulawesi Utara, KPU
Provinsi Sulawesi Selatan, KPU Provinsi Gorontalo, KPU Kabupaten Karo,
dan KPU Kabupaten Batang. Tentu saja, kasus-kasus yang didiskusikan di
bab ini hanya menjadi contoh sebagian dari upaya maksimal yang telah
dilakukan oleh seluruh jajaran KPU di Indonesia. Dengan memahami

350 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


beberapa kasus ini, kita mendorong adanya pembelajaran horizontal
(horizontal learning) di kalangan KPU. Walapun demikian, sangat disadari
bahwa strategi yang berhasil di suatu daerah tidak serta merta akan dapat
berhasil jika diterapkan di daerah lain karena SDM penyelenggara, kondisi
alam, karakter pemilih, dan dinamika politik berbeda-beda satu sama lain.

Untuk tujuan tersebut, buku ini setidaknya dibagi menjadi empat bagian
besar, yaitu bagian yang menjelaskan beberapa kondisi khusus yang dapat
terjadi di dalam proses penyelenggaraan Pemilu, bagian yang
mendiskusikan pentingnya pengelolaan resiko, beberapa kasus yang
menunjukkan upaya KPU dalam merespon dinamika yang ada, dan bagian
yang mendiskusikan hikmah yang bisa diambil (lesson-learned) dari
berbagai pengalaman baik yang sejauh ini telah dilakukan oleh KPU.

B. Kondisi Darurat

Kondisi darurat adalah sebuah keadaan yang tidak normal atau keadaan
yang tidak diperkirakan sebelumnya. Respon KPU di sejumlah daerah dalam
menghadapi kondisi darurat adalah sangat variatif. Sebagian tidak tahu
bagaiamana menghadapi dan menyelesaikannya. Sebagian lain takut untuk
mengambil resiko. Lainnya tidak bisa bertindak dengan cepat dan tepat
sebelum mendapatkan petunjuk dari KPU RI. Sementara itu, penyelesaian
harus dilakukan secara cepat karena waktu dan tahapan terus berjalan.

Sejumlah ancaman sering dihadapi penyelenggara Pemilu. Pertama,


ancaman lingkungan internal penyelenggara. Sebagai contoh, tidak adanya
relasi yang harmonis antar Anggota KPU atau antara Anggota KPU dengan
pihak kesekretariatan KPU. Contoh yang lain adalah adanya ketidaknetralan
penyelenggara Pemilu sehingga mengganggu kepercayaan terhadap
independsi lembaga penyelenggara Pemilu. Keterbatasan jumlah petugas
juga sangat mengganggu terutama pada saat pekerjaan yang menumpuk.
Hal ini kemudian diperparah dengan kondisi dimana pengalaman organisasi
dan kepemimpinan yang terbatas di kalangan Anggota KPU dalam
menghadapi situasi tertentu.

Kedua, ancaman terjadinya berbagai gangguan teknis dalam penyelesaian


kegiatan yang sifatnya mendesak, misalnya terjadi gangguan internet, tidak
bekerjanya sistim komputer dengan baik, atau terjadi pemadaman listrik
BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 351
secara mendadak. Hal ini tentu saja berdampak pada berbagai aktivitas
dalam proses penyelenggaran Pemilu, seperti input data dalam sistim daftar
pemilih (Sidalih) dan input data dalam ssitim informasi penghitungan
(Situng) yang terganggu, baik terkait dengan keakuratan, maupun terkait
dengan penyesuaian batas waktu.

Ketiga, ancaman terjadinya bencana alam. Ada bentuk bencana alam yang
bisa terdeteksi, namun juga ada bentuk bencana alam yang sulit untuk
terdeteksi sejak awal. Hujan lebat, banjir, tanah longsor, angin kencang atau
pasang air laut adalah contoh bencana alam yang sedapat mungkin sudah
mulai terdeteksi sejak awal. Apalagi siklus musim tahunan sudah diketahui.
Namun, bencana alam yang tidak terdeteksi lebih menjadi ancaman bagi
penyelenggara Pemilu. Gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus adalah
bencana yang tidak bisa terdeteksi.

Keempat, ancaman lingkungan eksternal. Adanya prioritas anggaran untuk


pembangunan di daerah bisa saja mempengaruhi pelaksanaan pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Bisa saja anggaran yang dialokasikan oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak sesuai dengan yang diusulkan
oleh lembaga penyelenggara Pemilu. Sebagai contoh, penetapan anggaran
yang hanya untuk mencakup tahapan pemungutan suara dan tidak
mencakup kemungkinan terjadinya pemungutan suara ulang. Selain itu,
prosedur pencairan anggaran yang terlambat juga dapat mengganggu
sejumlah kegiatan. Petugas tidak akan bekerja optimal mendistribusikan
logistik jika honor mereka tidak dibayarkan sesuai kesepakatan. Contoh
berikutnya, KPU juga sering mengalami kesulitan jika ada putusan
pengadilan tentang syarat calon tertentu. Dalam kondisi ini, surat suara
sudah tercetak dan terdistribusi, namun ada calon tertentu yang berubah
status dari memenuhi syarat menjadi tidak memenuhi syarat atupun
sebaliknya. Parpol yang memiliki konflik internal juga seringkali menyulitkan
KPU dalam proses pencalonan. Masing-masing pihak mengklaim sebagai
pihak yang sah dalam mengusung calon. Kondisi semakin mengancam
ketika konflik internal di Parpol kemudian merambah di kalangan
masyarakat.

Kelima, ancaman regulasi yang tidak mendukung. Kelemahan regulasi


menjadi salah satu masalah penyelenggara saat ini. Tidak semua norma
yang terkandung dalam regulasi kepemiluan dapat mengatasi fakta-fakta

352 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


dilapangan. Sehingga ketika fakta itu muncul maka penyelenggara
mengalami kesulitan mengeksekusi. Permasalahan lainnya adalah
terjadinya tumpang tindih norma antar pasal serta tidak saling bersinergi
antar regulasi.

C. Manajemen Krisis

Terjadinya situasi yang tidak normal sering dialami oleh KPU. Menghadapi
kondisi darurat atau peristiwa khusus yang tidak terduga tentu
membutuhkan ketrampilan tersendiri, baik di dalam konteks tindakan
antisipatif, maupun di dalam konteks tindakan yang harus dilakukan dalam
menghadapi situasi itu. Tindakan antisipatif dapat dilakukan sejak awal
untuk mengantisipasi agar masalah tidak terjadi dalam menjalankan
tahapan, program dan kegiatan. Juga strategi penindakan untuk mengatasi
masalah sehingga masalah yang muncul kemudian tidak menimbulkan
resiko yang lebih besar. Semua tindakan ini harus dilakukan guna menjamin
kepastian hukum, pelayanan peserta Pemilu dan pemilih secara adil,
minimalisasi konflik di masyarakat, dan mempertahankan kepercayaan
publik terhadap KPU.

KPU perlu bertindak sedini mungkin (warning stage) untuk mengurangi


segala bentuk resiko yang muncul. Tindakan awal yang perlu dilakukan oleh
KPU adalah mendeteksi secara dini atau menganalisis gejala-gejala yang
berpotensi mengancam tahapan, program dan kegiatan Pemilu. Dasar yang
bisa digunakan dalam menganalisis adalah pertama, belajar dari kegagalan
atau keberhasilan penyelenggara Pemilu di daerah yang lain dalam
mengatasi situasi tertentu, penguasaan atas kondisi geografi daerah,
mempelajari siklus cuaca di daerah, menguasai informasi tentang dinamika
politik nasional maupun lokal, dan memahami karateristik masyarakat lokal
dengan mengkaitkannya dengan bakal calon. Langkah antisipatif lainnya
adalah menganalisis pasal demi pasal yang rawan di dalam UU Pemilu yang
berpotensi melahirkan masalah serta menganilisis ketersediaan dan
kemampuan sumber daya manusia.

Kedua, dalam melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu, KPU membentuk


peraturan-peraturan sebagai pedoman bagi setiap penyelenggara Pemilu
dalam melaksanakan tugas-tugas teknis, administratif dan operasional.
Namun, aturan-aturan itu sifatnya berlaku bagi semua daerah tanpa

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 353


memperhatikan karakteristik atau keadaan khusus suatu daerah. Dengan
demikian, terdapat tuntutan bagi KPU di daerah untuk menciptakan inovasi
atau strategi khusus sepanjang tidak menyimpang dari kebijakan yang telah
dibuat oleh KPU RI.

Ketiga, penting bagi KPU untuk menyusun strategi cadangan, yaitu sebuah
tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya keadaan yang
sebelumnya telah terdeteksi berdasarkan pengalaman pada pemilihan di
daerahnya atau pengalaman yang pernah terjadi di daerah lain. Sebagai
contoh, jika seorang petahana akan mencalonkan diri kembali, tentu
potensi pelanggaran sudah bisa terdeteksi sejak awal. Contoh lain, jika di
satu daerah tidak terjangkau fasilitas internet, tentu potensi terjadinya
masalah pengimputan data bisa terjadi. Juga, jika Parpol memiliki
kepengurusan ganda di tingkat pusat, maka konflik pencalonan ganda
berpotensi terjadi di semua tingkatan. Dalam konteks pendistribusian
logistik, jika pendistribusian logistik dilakukan pada saat bersamaan
waktunya dengan musim penghujan yang lebat, maka hal tersebut
berpotensi terganggu. Sedangkan dalam tahapan pencalonan, jika
pencalonan hanya terdiri dari dua pasangan calon, maka polarisasi pemilih
akan terjadi sehingga suasana menjadi sangat dinamis. Polarisasi ini juga
bisa mengganggu kemandirian penyelenggara, apalagi dua calon yang
berkompetisi memiliki kesamaan latarabelakang dengan penyelenggara
seperti, kesamaan ormas, kesamaan agama atau etnik.

Ketrampilan untuk mendeteksi secara cepat terkait kondisi khusus (to


manage uncertainty skill) sangat dibutuhkan oleh KPU. Pertama, Anggota
KPU yang memiliki pengalaman panjang dalam berorganisasi tentu sangat
membantu dalam merumuskan langkah-langkah antisipatif. Kedua
kemampuan yang bersumber dari pengalaman sebagai penyelenggara.
Proses rekrutmen penyelenggara yang tidak menganut prinsip sistim merit
dapat saja menjadi penghambat penyelenggara dalam merumuskan solusi,
langkah-langkah strategis, inovatif dan rensponsif dalam mengantipasi
terjadinya masalah atau dalam menyelesaikan permasalahan. Jika Anggota
KPU Provinsi memiliki pengalaman menjadi Anggota KPU Kabupaten/Kota
dan Anggota KPU Kabupaten/Kota memiliki pengalaman sebagai Anggota
PPK atau penyelenggara ad hoc lainnya, maka hal ini menjadi bekal dan
sangat membantu menjawab permasalahan diatas. Ketiga, kemampuan
penyelenggara dalam penguasaan regulasi kepemiluan dan aturan lain yang

354 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


terkait dengan regulasi kepemiluan. Dalam menghadapi semua tahapan
Pemilu, KPU kerap mengalami kesulitan untuk mengimplementasikan pasal-
pasal tertentu. Namun, di bagian tertentu, ada pasal lain yang memberikan
keterangan yang lebih jelas. Jika kemampuan untuk menterjemahkan
berbagai regulasi tentang kepemiluan tidak maksimal, maka hal ini juga
akan dapat memunculkan permasalahan. Keempat, kecakapan KPU dalam
berkomunikasi. Untuk melaksanakan tahapan Pemilu, KPU terikat
hubungan dengan pihak lingkungan eksternal, seperti parpol, pemerintah
daerah, Bawaslu dan masyarakat. Permasalahan yang sering muncul di
sejumlah daerah adalah belum terbangunnya komunikasi antara KPU dan
pihak terkait dengan baik sehingga kerjasama KPU dengan para pemangku
kepentingan juga tidak berlangsung dengan maksimal.

Manajemen krisis merupakan sebuah kerangka teori yang bisa digunakan


sebagai pedoman untuk mendeteksi dini atas kejadian yang tidak diduga.
Manajemen krisis adalah tindakan antisipatif yang dilakukan oleh sebuah
organisasi dalam menghadapi situasi yang tidak terduga sebelumnya.
Manajemen krisis mengajarkan bagaimana mengidentifikasi dan
mengantisipasi agar tidak terjadi krisis, bagiamana menghadapi krisis, dan
bagaiamana mengambil keputusan pada saat krisis. Krisis pada dasarnya
merupakan sebuah keadaan yang tidak terduga oleh apapun atau oleh
siapapun. Jika keadaan itu tidak dideteksi secara dini, maka krisis dapat
mengancam kesiapan penyelenggaraan Pemilu.

Darling (1994:4) memperkenalkan tiga pola penanganan krisis, yakni


sebelum krisis terjadi (before the crisis), selama krisis terjadi (during the
crisis), dan ketika krisis telah terjadi (after the crisis). Tahapan sebelum krisis
merupakan tahapan dimana krisis belum terjadi. Namun demikian, perlu
dilakukan persiapan agar pihak terkait tahu apa yang harus dilakukan ketika
terjadi krisis di kemudian hari. Tindakan yang dilakukan dalam tahapan ini
menkonsolidasi dukungan manajemen untuk rencana penanganan krisis ini,
mengidentifikasi kelemahan organisasi, dan melatih para staf untuk
menghadapi krisis.

Tahapan ketika krisis merupakan tahapan yang terjadi ketika krisis sudah
terjadi dan mulai melibatkan pihak-pihak untuk mengatasi krisis yang
sedang menimpa sebuah organisasi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
ketika KPU berada di tahapan ini. Termasuk di dalamnya adalah melakukan

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 355


pengamatan latar belakang terhadap krisis yang terjadi, menemukan
masalah jangka pendek maupun jangka panjang, mengatakan yang
sejujurnya kepada para pemangku kepentingan yang mengalami dampak
dari krisis, menempatkan diri sebagai pihak yang menjadi korban dari krisis
yang dialami, dan menunjukkan rasa simpati.

Sedangkan tahapan setelah krisis merupakan tahapan terakhir ketika krisis


telah terjadi. Dalam tahapan ini, KPU bisa melakukan evaluasi atas strategi
penanganan krisis yang dilakukan, yaitu apakah memang memberikan
dampak yang signifikan ataukah memang perlu pembenahan. KPU juga
dapat memberikan respon kepada semua pihak karena telah berhasil keluar
dari masa krisis. Terakhir, KPU dapat melanjutkan kontrol kembali, yaitu
dengan melakukan pencermatan masalah (scanning isu) yang mungkin akan
terjadi lagi di kemudian hari.

D. Pengalaman Baik dari Berbagai Daerah

Sejauh ini, KPU RI telah mengidentifikasi sejumlah daerah yang bisa


dijadikan rujukan karena KPU di daerah-daerah tersebut memiliki capaian
terbaik dalam kategori tertinggi, tercepat/terakurat, responsif dan inovatif
untuk kondisi-kondisi tertentu, dan kategori tersolid dalam bekerja sama.
Kategori tertinggi adalah untuk tingkat partipasi pemilih. Kategori tercepat
adalah untuk input data pada aplikasi Situng dan sidalih. Sedangkan kategori
penyelenggara responsif adalah ketika proses pencalonan di daerah konflik
dan pelayanan dan jaminan memilih di daerah rawan bencana alam. Untuk
kategori tersolid adalah untuk daerah yang berhasil membangun relasi dan
kerjasama organisasi.

D.1. Soliditas Tim

Soliditas merupakan salah satu kekuatan organisasi, baik itu soliditas dalam
lingkungan internal, ataupun soliditas dengan lingkungan eksternal. KPU
akan sulit bekerja secara optimal jika tidak terbangun hubungan yang baik
antar para Anggota KPU atau antara Anggota KPU dengan lembaga
kesekretariatan. Di beberapa daerah, kerja-kerja KPU kerap terhambat
karena tidak terbangunnya relasi yang baik antara Anggota KPU dengan
lembaga kesekretariatan. Loyalitas pegawai dari sekeretariat KPU menjadi
ambigu akibat ketidakkompakan. Di satu sisi, para pegawai harus tunduk

356 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


pada hubungan koordinatif dengan para Anggota KPU. Di sisi yang lain,
mereka secara struktural harus menunjukan kepatuhan dan loyalitas
kepada sekretaris sebagai atasannya langsung. Konflik ini terjadi karena
beberapa faktor, misalnya kekurangpahaman terkait kewenangan, konflik
kepentingan, atau relasi sosial atau hubungan emosional inividu yang
kurang baik.

Konflik internal sering juga melibatkan antar sesama Anggota KPU. Relasi
personal antar Anggota KPU yang tidak baik akan sangat mempengaruhi
kinerja KPU. Seseorang yang bekerja dengan lingkungan kerja yang
bermasalah tentu saja akan sangat mengganggu, baik bagi dirinya, maupun
bagi prestasi organisasi (Bambang, 1991). Lingkungan Kerja merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Seorang
pegawai yang bekerja di lingkungan kerja yang mendukung biasanya akan
menghasilkan kinerja yang baik. Sebaliknya, jika seorang pegawai bekerja
dalam lingkungan kerja yang tidak baik, maka akan membuatnya menjadi
pasif, malas, cepat lelah.

Konflik antar Anggota KPU di sejumlah daerah disebabkan oleh sejumlah


hal, yakni masih adanya perasaan saling tidak menyenangkan satu sama lain
akibat proses seleksi penyelenggara sebelumnya. Konflik juga dapat terjadi
karena ada polarisasi dukungan dalam pembentukan struktur KPU.
Perbedaan sikap dalam pemilihan ketua ternyata membekas sehingga
mempengaruhi soliditas tim dalam melaksanakan tugas sebagai
penyelenggara Pemilu. Faktor lainnya adalah belum semua Anggota KPU
bekerja secara mandiri sehingga masih melekat kepentingan kelompok.

Koordinasi yang baik secara berjenjang di dalam KPU menjadi modal


penting bagi terlaksananya tahapan Pemilu secara berkualitas.
Ketidakkompakan di internal KPU dapat menyebabkan kerja-kerja KPU
berjalan tanpa kontrol dan tanpa koordinasi. UU Pemilu telah mengatur
mekanisme seleksi penyelenggara Pemilu. Saat ini, semua proses seleksi
untuk memilih Anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota telah
diselenggarakan oleh KPU RI secara langsung. Pada satu sisi, hal ini adalah
baik karena memperkuat relasi yang hirarkhis antara KPU RI dan KPU di
daerah. Pada sisi yang lain, hal ini juga saja melahirkan dampak berupa
terganggunya sistem komando dan koordinasi secara hierarkis antara KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 357


Membangun komunikasi dan hubungan yang baik dengan pemerintah
daerah juga menjadi hal yang wajib juga dilakukan oleh KPU. Sebagai
contoh, penetapan anggaran pembiayaan penyelenggaraan Pilkada di
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sangat ditentukan oleh
relasi personal atau relasi tim dengan aktor-aktor pemerintah daerah.
Banyak pristiwa yang terjadi, meski Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD)
sudah disepakati, namun proses pencairan anggaran masih sulit dilakukan.
Hal ini berdampak pada banyak hal, misalnya tahapan proses seleksi Panitia
Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) menjadi
terhambat. Kebutuhan anggaran untuk Pilkada kadangkala juga tidak
mencukupi. Terjadi ketidaksesuaian antara total anggaran yang diusulkan
oleh KPU dengan yang ditetapkan di dalam APBD oleh pemerintah daerah.

Di banyak daerah, KPU berhasil membangun soliditas tim dengan baik. Salah
satunya adalah KPU Provinsi Jawa Timur. Meski juga harus mengkoordinir
sebanyak 38 KPU Kabupaten/Kota, KPU di daerah ini relatif berhasil
menjaga soliditas kerja antar sesama Anggota KPU, antara Anggota KPU dan
pihak kesekretariatan ataupun antara KPU Provinsi dan KPU
kabupaten/kotta serta antar KPU Kabupaten/Kota.

Beberapa strategi yang dilakukan oleh KPU Provinsi Jawa Timur untuk
menjaga soliditas tim adalah:
1. Ruang komunikasi dikembangkan tanpa mengenal waktu, jarak dan
struktur. Intensitas waktu pertemuan secara formal dengan semua pihak
dilakukan secara reguler, misalnya di dalam rapat-rapat koordinasi, rapat
evaluasi dan rapat pimpinan;
2. Pertemuan informal juga secara rutin dilakukan, seperti membiasakan
minum kopi bersama sebelum memulai pekerjaan, melakukan rangkaian
keagamaan seperti pengajian, diskusi penyelenggara pada setiap hari
kamis, mengadakan aktivitas-aktivitas outbond dan game untuk
memperkuat relasi tim atau relasi antar personal;
3. KPU di tingkat Provinsi juga melaksanakan kegiatan assesment bagi
komisioner maupun sekretariat untuk menggali setiap permasalahan di
setiap satuan kerja terutama dalam mengawali tahapan pemilihan;
4. Menempatkan kotak aspirasi yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai
pihak untuk membangun komunikasi yang efektif di kantor KPU.

358 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


Dari pengalaman KPU Provinsi Jawa Timur kita dapat belajar bahwa banyak
tindakan yang bisa dilakuan dalam rangka menjaga soliditas organisasi. Hal
ini berdampak pada penyelesaian tugas-tugas dengan baik. Secara umum,
soliditas organisasi akan terpelihara manakala setiap individu dari sebuah
organisasi memiliki integritas yang kuat, saling menghargai, tidak
memaksakan pendapat pribadi, menguasai teknik-teknik berkomunikasi,
tidak selalu merasa lebih penting dan lebih tinggi dari yang lain, dan tetap
menyeimbangkan antara tuntutan hak dan kewajiban. Juga, ketika pada
setiap individu melekat prinsip profesional dan mandiri sehingga tidak
menjadi bagian dari kelompok kepentingan atau kekuatan politik. Jika
kemandiran tidak bisa dijaga, maka yang diperjuangkannya bukalah
kebenaran, tetapi kebenaran menurut kepentingan kelompoknya. Oleh
karena itu PKPU dengan tegas melarang Anggota KPU untuk terikat dalam
struktur organisasi kemasyarakatan.1

D.2. Pendataan Pemilih di Daerah Padat Penduduk

Untuk menjamin hak pilih warga negara yang dijamin oleh konstitusi, maka
hal wajib yang perlu dilakukan oleh KPU adalah memastikan bahwa mereka
terdata dalam daftar pemilih. Selama ini materi gugatan yang sering
disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah persoalan
ketidakakuratan daftar pemilih. Akurasi data pemilih harus dilakukan
karena berkaitan dengan perencanaan, baik untuk penentuan jumlah
logsitik, maupun untuk penetapan jumlah tempat pemungutan suara.

Berbagai persolan masih terjadi dalam penyusunan data pemilih, seperti


tidak terdaftarnya warga negara yang telah memiliki hak untuk memilih
serta masih terdaftarnya warga negara yang tidak lagi memiliki hak pilih
karena pindah alamat, meninggal dunia, atau berstatus TNI/Polri. Petugas
KPU tak bisa sepenuhnya menjangkau pemilih. Beberapa indikasi yang
selama ini dianggap sebagai penyebab adalah petugas pemutahiran data
pemilih yang kurang profesional, kurangnya keterlibatan masyarakat dan
Parpol, dan belum optimalnya sinergitas dengan pemerintah daerah
sebagai penyedia data awal data kependudukan.

1 Pasal 75 Ayat (1) huruf b PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 359


Untuk mengatasi berbagai persoalan ini tentu dibutuhkan kecakapan,
strategi, solusi dan inovasi dari masing-masing penyelenggara agar
persoalan pendaftaran pemilih tidak terjadi berulang-ulang dikemudian
hari. Keadaan wilayah seperti di kota-kota besar yang sifat penduduknya
dinamis seperti datang dan pindah karena ikatan kerja, jumlah tenaga kerja
yang cukup tinggi, karakter penduduk yang tertutup dan pasif sepertinya
perlu dilakukan penanganan pendataan secara khusus.

Keadaan di DKI Jakarta yang penduduknya sangat padat dan mobilitasnya


sangat tinggi tentu memerlukan strategi khusus. Seperti permasalahan di
sejumlah daerah lain, pendataan pemilih yang dilakukan oleh KPU DKI
Jakarta memiliki sejumlah tantangan. Pertama, keadaan penduduk yang
padat dan dinamis. Banyak masyarakat yang tidak tinggal sesuai alamat
tertera di KTP elektroniknya. Padahal, sesuai ketentuan, pemilih harus
dicatat sesuai dengan alamat tertera di KTP elektronik. Sebagai destinasi
dari tujuan karir atau jasa, penduduk di wilayah ini banyak yang tinggal di
rumah kontrakan, rumah susun, apartemen, tanah sengketa/gusuran,
bahkan juga Lapas/Rutan. Untuk mendata di perumahan elite atau
apartemen, petugas tak bisa masuk karena proses perizinan yang super
ketat. Selain warganya sulit dijumpai, warga yang bisa dijumpai tidak serta
merta memiliki kesadaran untuk berpartipasi.

Kedua, perubahan regulasi yang sangat dinamis. Definisi pemilih menurut


UU Pemilu adalah yang berusia 17 tahun ke atas dan/atau sudah menikah.
Namun, di dalam regulasi lain dinyatakan bahwa pemilih harus memenuhi
syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya. 2 Setelah itu, keluar
regulasi lain yang meminta KPU di semua Provinsi dan Kabupaten/Kota
untuk mendata warga negara Indonesia (WNI) penyandang disabilitas
grahita atau gangguan jiwa/mental dan dimasukkan dalam DPT Pemilu
2019.3

Ketika penyandang disabilitas grahita atau gangguan jiwa/mental dan


dimasukkan dalam DPT Pemilu 2019, masalah yang kemudian muncul
adalah banyaknya keluarga yang tidak mengijinkan anggota keluarganya
penyandang disabilitas mental didata ke dalam DPT. Kemudian tidak semua

2 Pasal 4 Ayat 2 butir b PKPU No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 11 Tahun 2018
tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
3 Surat Edaran KPU No. 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/CI/2018.

360 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


penyandang memenuhi ketentuan untuk didata. Untuk bisa dinyatakan
sebagai pemilih harus ada surat keterangan dari pihak dokter yang
menerangkan bahwa ia sanggup atau mampu menggunakan hak pilihnya.
Masalahnya adalah tidak semua KPU menyiapkan anggaran untuk
pengadaan surat keterangan itu. Ketentuan lainnya adalah jika penyandang
kesulitan mencoblos, maka bisa juga didampingi oleh orang yang dipilihnya.
Kondisi ini bertentangan dengan asas Pemilu yakni rahasia.

Ketiga, tidak mudahnya untuk merekrut tenaga pencatat karena warga di


wilayah ini memiliki kesibukan dengan pekerjaan rutin. Ada sejumlah warga
yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun, masalahnya adalah bahwa
warga terebut memiliki kapasitas yang rendah. Banyak warga juga menolak
tugas ini dengan alasan karena tugas ini penuh resiko. Selain itu, tugas ini
dianggap sangat berat, namun fasilitas yang diberikan kepada para pertugas
tidak sebanding.

Dari sejumlah persolan itu, maka strategi sebagai langka-langka antisipasi


yang dilakukan KPU Provinsi DKI Jakarta adalah:
1. Dikarenakan tidak ada pembiayaan terkait pemeriksaan kesehatan jiwa
dalam hal pembuktian terkait “sedang tidak terganggu jiwanya”, maka
KPU DKI Jakarta meminta bantuan Pemerintah Daerah DKI Jakarta (c.q
Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Sosial, dan Kepala Dinas Dukcapil)
untuk dapat membantu mengkoordinasikan Warga Binaan dengan
dilengkapi Nomor Induk Kependudukan/Nomor Kepala Keluarga
(NIK/NKK) serta surat keterangan kesehatan jiwa. Kerja sama ini
dilakukan selama sebulan dengan mendatangkan dokter spesialis
kejiwaan untuk masuk ke dalam panti sosial dan melakukan pemeriksaan
disertai dengan kelengkapan kewarganegaraan dengan mengidentifikasi
warga dan melengkapi NIK/NKKnya.
2. Belajar dari UU 10 Tahun 2016 yang mengakomodasi putusan MK
sehingga KPU DKI Jakarta sesungguhnya sudah mendapatkan data
pemilih dengan klausul sedang tidak terganggu jiwanya dan telah
ditetapkan dalam DPS (Daftar Pemilih Sementara) sesuai dengan
ketentuan yang berlaku saat itu. Namun, pasca keluarnya Edaran KPU RI
Nomor 1401 Tahun 2018, KPU DKI Jakarta menyesuaikan dengan
memasukkan kembali data pemilih sesuai ketentuan, yakni sepanjang

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 361


yang bersangkutan adalah penduduk Indonesia yang memiliki KTP
elektronik dimasukkan dalam data pemilih DKI Jakarta.
3. Terkait pemilih yang berada di kawasan apartemen/rumah susun, KPU
DKI Jakarta berkoordinasi dengan P3RSI (Persatuan Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun Indonesia) untuk memudahkan koordinasi
tatkala Petugas KPU dapat memasuki setiap ruangan penghuni untuk
dicoklit dan memfasilitasi pendirian Posko Pengecekan Pemilih di setiap
wilayah strategis apartemen/rumah susun. Demikian pula, meminta
bantuan mereka untuk memasang iklan layanan di setiap lift dan
penyebarluasan informasi terkait.
4. KPU se-DKI Jakarta membuka Posko Pelayanan dengan konsepsi
“menjemput bola” terhadap pemilih di daerah daerah strategis
perkotaan, antara lain Car Free Day di titik strategis tiap Kota, taman
Kota, sekolah, Kampus, Pasar dengan sebutan “Grebek Pasar”, dan di
daerah wisata- selain posko yang selalu ada di setiap kantor PPK PPS
dalam hal pelayanan sebagaimana dimaksud. Rapat koordinasi secara
berkala juga dilakukan dengan jajaran KPU dibawah dengan melibatkan
peserta Pemilu dan Bawaslu, selain juga dengan Dinas Dukcapil dan pihak
terkait lainnya. Di sini keterbukaan atas data dapat dibahas secara
langsung dan menyeluruh. Pembahasan terkait data ganda dan data
invalid juga rutin dilakukan oleh KPU DKI Jakarta dan ditindaklanjuti
dengan langsung turun ke lapangan oleh Petugas Pemilu Kecamatan
(PPK) atau Petugas Pemungutan Suara (PPS) untuk verifikasi kegandaan
dan kevalidan data yang sudah diinput.
5. Selain hal di atas, komunikasi yang dilakukan secara terbuka dengan
membentuk WA Group dengan semua Kepala Panti Sosial yang memiliki
warga binaan dengan kasus psikotik, Kepala Lapas/Rutan se DKI Jakarta,
dan dengan Kepala Dinas DukCapil wilayah DKI Jakarta. Bahkan grup ini
membicarakan rangkaian tindak lanjut pemuktahiran data pemilih dalam
siang dan malam.
6. Berkaca pada pengalaman KPU DKI Jakarta saat Pilgub 2017, maka dalam
hal terkait pemuktahiran data pemilih interaksi yang paling menjangkau
adalah dengan membuka pusat layanan informasi (call center). Hal ini
dilakukan untuk melengkapi pelayanan yang juga dapat dilakukan
melalui media sosial dan surat elektronik (email). Kelebihan dari pusat
pelayanan infomasi seperti ini adalah warga negara dapat meminta
infomasi selama 24 jam (terkhusus pertanyaan melalui whatsapp).
362 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH
7. Dalam hal Keterbukaan Informasi Publik terkait data pemilih, KPU DKI
Jakarta juga melakukan uji data terbuka dengan menyajikan data “tanpa
diberi tanda bintang”, untuk kemudian dibahas secara bersama secara
terbatas dan tertutup untuk demi perbaikan data pemilih. Peserta
Pemilu dan Bawaslu kemudian dapat memberikan masukan, meskipun
mereka tidak dapat menyimpan dan menguasai data pribadi (data yang
diberi tanda bintang di empat angka terakhir NIK dan NKKnya).
Dengan melakukan berbagai upaya tersebut, maka KPU DKI Jakarta dapat
melakukan Penetapan Daftar pemilih DKI Jakarta dengan lancar. Terhadap
data ganda dan data invalid juga dapat diselesaikan dengan cermat dan
tersampaikan dengan baik kepada para pemangku kepentingan.

D.3. Manajemen Situng

Sistem Informasi Penghitungan Perolehan Suara (Situng) adalah perangkat


yang digunakan sebagai sarana informasi dalam pelaksanaan Penghitungan
Suara, Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara, dan penetapan
hasil Pemilu. Sebagaimana telah dijelaskan di Bab 6, sistim ini dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2019 Tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum pasal 20 ayat 3, Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 536/PL.02.6-
Kpt/06/KPU/II/2019 tentang Petunjuk Penggunaan Sistem Informasi
Penghitungan Suara Pemilihan Umum Tahun 2019, dan Surat Edaran Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 734/PL.02.6-
SD/06/KPU/IV/2019 tanggal 19 April 2019 perihal Tata Cara Penggunaan
Situng Pemilu.

Sebagai lembaga publik, salah satu kewajiban KPU adalah memberikan


pelayanan yang mudah, transparan dan akuntabel kepada masyarakat. Bagi
semua pihak, Situng dapat berfungsi sebagai pengontrol hasil suara. Jika
terdapat perbedaan antara proses dan hasil, maka Situng dapat
mendeteksinya. Khusus peserta Pemilu, Situng bisa juga digunakan sebagai
bukti perkara dalam bersengketa di MK. Peserta Pemilu dapat mengunduh
publikasi Situng melalui laman resmi KPU. Sedangkan bagi pemerintah dan
aparat keamanan, Situng membantu untuk mendeteksi kerawanan dengan
cepat, misalnya bila terjadi perbedaan suara yang tipis dan berpotensi

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 363


gesekan. Aparat juga bisa menentukan langkah tertentu dalam bertindak
melihat hasil yang ditampilkan Situng.

Walaupun data Situng bukan merupakan hasil resmi sebagai data yang
digunakan KPU dalam menetapkan hasil Pemilu. Namun sejumlah persoalan
kerap terjadi dalam penggunaanya. Hal yang sering terjadi adalah
pengelolaan yang belum dilakukan secara profesional. Ada kekeliruan tata
cara penginputan data oleh petugas dalam menginput formulir model C1 ke
Situng menyebabkan terjadinya pelanggaran administrasi. Sebagian KPU di
daerah belum menerapkan standar teknis yang ketat dalam melakukan
verifikasi dan publikasi data di Situng. Harusnya, data yang tersaji di dalam
Situng adalah data yang benar-benar valid, dapat dipertanggungjawabkan,
dan sajiannya tidak menimbulkan polemik dan keresahan di masyarakat.
Kelalaian lainnya adalah terdapat petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) yang memasukan formulir C1 untuk Situng atau
hasil penghitungan suara ke dalam kotak suara. Untuk mengeluarkan
dokumen itu harus melewati prosedur pembukaan melalui Bawaslu. Selain
itu, pola kerja Situng di sejumlah daerah masih terkendala oleh fasilitas
penunjang seperti internet. Akibat gangguan itu maka terjadi
keterlambatan dalam proses input sehingga penyelesaiannya melewati
batas waktu sebagaimana telah ditentukan.

Kendala profesionalisme petugas dan keterbatasan sarana-prasarana


dialami oleh sejumlah KPU di daerah, termasuk oleh KPU Kabupaten Batang.
Pada pelaksanan Pilkada tahun 2018, KPU di Kabupaten Batang mengalami
hambatan, yakni jumlah personil yang terbatas karena terkonsentrasi pada
kegiatan-kegiatan Pemilu yang lain. Persiapan Situng dikerjakan pada
puncak tahapan pelaksanaan Pemilu, yaitu redistribusi logistik dan
rekapitulasi. Kendala lainnya adalah keterbatasan sarana dan prasarana
penunjang, seperti jaringan internet buruk, laman Situng yang sulit diakses,
serta daya listrik yang tidak stabil dan memadai. Peralatan pendukung
berupa scanner dan komputer tidak juga sebanding dengan jumlah
dokumen yang akan dientri dan scan.

Kondisi geografis juga menjadi salah satu faktor yang menghambat. Jarak
antara dari TPS ke PPS, jarak dari PPS ke PPK dan jarak dari PPK ke KPU
Kabupaten Batang cukup jauh. Padahal kegiatan memasukkan dan men-
scan data terpusat di kantor KPU Kabupaten Batang. Selain itu, jumlah

364 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


pemilih yang banyak mempengaruhi banyaknya jumlah TPS sehingga
membutuhkan waktu panjang. Kemudian, keadaan logistik yang tidak utuh
seperti Dokumen Salinan C dan C1 hasil penghitungan suara di TPS yang
akan dimasukkan dan di-scan tidak ada atau jumlah lembarannya tidak
lengkap.

Belajar dari pengalaman tersebut, maka KPU Kabuapten Batang melakukan


berbagai upaya agar masalah yang sama tidak terjadi di Pemilu 2019.
Beberapa strategi yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Batang adalah:
1. Mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi pada saat pengelolaan
Situng pada pemilihan sebelumnya. Setelah itu dicarikan strategi
bagaimana masalah itu bisa diantisipasi jika kemudian masalah itu akan
muncul kembali.
2. Melatih KPPS menyiapkan dokumen supaya dokumen tersebut
lengkap, termasuk di dalam materi pelatihan adalah melatih teknis
pengiriman dari TPS ke PPS, dari PPS ke PPK dan dari PPK ke KPU.
3. Mengantisipai bagaimana proses memasukkan data agar data yang
dimasukkan akurat sesuai angka yang tertera dalam dokumen.
4. KPU juga sejak awal telah mengidentifikasi jumlah personil yang
dibutuhkan untuk menjadi operator Situng serta kemampuan yang
dimiliki personil tersebut.
5. Untuk mempersiapakan tenaga operator profesional, KPU juga
melaksanakan bimtek Situng secara efektif sehingga saat pelaksanaan
Situng, sang operator telah betul-betul menguasai tahapan kerja
Situng.
6. Selain mengidentifikasi hambatan yang kemungkinan terjadi karena
faktor petugas, KPU juga mengantisapasi hambatan sarana dan
prasarana yang akan digunakan untuk mengelola Situng, seperti
kelengkapan dan kualitas scanner, laptop maupun computer.
7. KPU juga mengidentifikasi jaringan internet serta daya listrik yang
dibutuhkan.
8. Untuk mencegah terjadinya hambatan dalam proses input Situng, pada
saat pengelolaan logistik formulir C dan C1 serta salinan C dan C1 telah
diset sesuai peruntukannya dan masing-masing set diberi sampul
identitas. Contohnya, salinan untuk di-scan terdiri dari salinan C-KPU,

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 365


salinan C1-PPWP, salinan C1-DPR, salinan C1-DPD, salinan C1 DPRD
Provinsi dan salinan C1 DPRD Kabupaten/Kota.
9. Anggota utama Tim Situng yang terlibat dalam menyelesaikan Situng
pada Pemilu Tahun 2019 sebanyak 43 orang terdiri dari 1 orang
Koordinator yaitu Kasubbag Teknis, 1 orang Verifikator yaitu Anggota
KPU Divisi Teknis dan 41 Operator Situng dengan rincian 11 orang berasal
dari staf KPU dan tenaga pendukung di KPU Kabupaten Batang serta 30
orang Anggota PPK, masing-masing PPK sebanyak 2 orang. Kemudian
Tim dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok turun di tiga
Kecamatan dengan membawa scanner dan Laptop atau PC. Masing-
masing Kecamatan 1 scanner, karena jumlah scanner 15 buah.
10. Tim Situng diturunkan ke masing-masing kecamatan selama 2 hari. Hari
pertama yaitu tanggal 16 April 2017 memasang instalasi scanner dan
laptop atau Komputer serta mengecek jaringan internet serta
ketersediaan daya listrik. Hari kedua tanggal 18 April 2019 melakukan
entry data dan scan. Cara melakukan entri adalah PPS membacakan
angka-angka yang tertera dalam formulir C1 PPWP hingga C1 DPRD
Kabupaten/Kota dan operator melalukan input serta scan. Pada sore
hari atau malam setelah seluruh dokumen hasil penghitungan suara
dari seluruh TPS terkumpul, tim Situng yang berasal dari KPU
Kabupaten ditarik ke Kantor KPU Kabupaten dengan membawa
peralatan Situng serta dokumen dari TPS tersebut di atas. Sedangkan
operator yang berasal dari PPK tetap berada di PPK untuk persiapan
Pleno Rekapitulasi. Selanjutnya kegiatan entry dan scan dokumen
dilanjutkan oleh operator Situng di Kantor KPU Kabupaten mulai 19
April 2018 hingga selesai. Peran petugas verifikator yang cermat, tekun
dan teliti tentu sangat membantu penyelesaian Situng.

Tindakan antisipasi dan strategi yang dilakukan penyelenggara jauh


sebelum proses input Situng akhirnya hasil yang dicapai adalah entry data
lebih akurat, seperti angka yang diinput sama dengan angka yang tertulis
dalam formulirnya. Karena dilakukan langsung oleh penyelenggara Pemilu,
maka yang petugas tersebut bertanggung jawab penuh terhadap dokumen
dan data yang ada. PPS dan PPK langsung bisa mengidentifikasi lebih dini
jika terjadi kekeliruan penulisan dalam formulir sebelum dilaksanakannya
Rapat Pleno Rekapitulasi ditingkat Kecamatan. Sealin itu, waktu yang
diperlukan untuk proses entry dan scan lebih cepat, waktu yang diperlukan

366 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


untuk melakukan entri seluruh dokumen Salinan C1 adalah dua hari,
dilanjutkan dengan scan. Seluruh kegiatan entri dan scan Salinan C1
membutuhkan waktu 11 hari.

D.4. Manajemen Sidalih

Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) sudah digunakan beberapa kali


dalam Pemilu. Sistem ini difungsikan untuk membantu KPU menyusun dan
memutakhirkan data pemilih. Sidalih dalam praktiknya mampu mendeteksi
data ganda sekaligus perekam data pemilih secara berkesinambungan dari
satu Pemilu ke Pemilu berikutnya.

Namun demikian, jika tidak cermat dalam pengelolaanya, Sidalih dapat juga
menimbulkan persoalan. Pada Pemilu 2019, sejumlah daerah mengalami
penundaan pentepan daftar pemilih karena mengalami banyak kekurangan.
Sebagai contoh adalah pada penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk
pilpres dan pileg di Kabupaten Majalengka. Pleno penetapan DPT
sebenarnya dilakukan pada 21 Agustus. Namun, karena beberapa hal yang
bermasalah, pleno DPT diundur menjadi 28 Agustus. Penyusunan daftar
pemilih tetap hasil perbaikan, seperti dalam DPTHP-2, sering bermasalah
karena data manual dengan data yang dihimpun di Sidalih belum sinkron.
Kondisi ini menjadi salah satu alasan Bawaslu Jawa Barat menolak
penetapan dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi dan Penetapan DPTHP-
2 pada Pemilihan Umum Tahun 2019 Tingkat KPU Provinsi Jabar.

Di sejumlah daerah, kejadian itu terjadi karena pengetahuan KPU dalam


menggunakan Sidalih masih rendah. Sebagian PPS yang diminta bantuan
oleh KPU Kabupaten/Kota memproses data ternyata tidak memiliki akses ke
internet. Sistem jaringan yang lambat sehingga membutuhkan waktu yang
lama untuk melakukan penginputan data juga memberi kontribusi. Sering
juga ditemukan sidalih error sehingga proses mengunggah data berhenti
atau ketika mengunggah data ternyata muncul data ganda. Tidak
mengherankan jika pihak yang berkepentingan terhadap data pemilih,
seperti Bawaslu, parpol, dan peserta Pemilu, sering memiliki kesulitan
ketika mengakses Sidalih.

Untuk mengantisipasi berbagai probelematika tersebut, KPU Provinsi


Gorontalo melakukan sejumlah inovasi yang diantaranya adalah:

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 367


1. melakukan pemetaan secara rigid dan detail sebelum melakukan
pembicaraan ke suatu daerah. Hasil pemetaan dilakukan evaluasi untuk
kemudian dijadikan bahan dalam melakukan sosialisasi yang sudah
berdasarkan format yang cocok.
2. melakukan identifikasi masalah melalui pemetaan daerah-daerah
tertentu yang mengalami kesulitan jaringan atau wilayah yang memiliki
blankspot untuk mengakses internet.
3. memprioritaskan tenaga-tenaga khusus di wilayah-wilayah yang
memiliki kesulitasn akses ke internet tersebut.
4. mempersiapkan petugas yang melakukan asistensi pada titik blankspot
berasal dari PNS organik di Kabupaten/Kota.
5. memberikan apresiasi secara khusus terhadap operator yang berkinerja
bagus.
6. mengembangkan sebuah sistim aplikasi yang terkonsolidasi intensif
dengan KPU RI.

Selain itu, permasalahan yang sering dihadapi KPU Provinsi Gorontalo


dalam mengelola pemutakhiran data dengan menggunakan aplikasi sidalih
diantaranya adalah lambatnya proses pelaporan pemutakhiran data yang
disebabkan faktor minimnya partisipasi masyarakat dalam pemutakhiran
data serta letak geografis yang sebagian sulit dijangkau dan menunjang
percepatan SIDALIH.

Untuk mengatasi berbagai problematika tersebut, KPU Provinsi Gorontalo


memanfaatkan tehnologi komunikasi dan informasi. KPU Provinsi Gorontalo
membuat pusat layanan SMS di Pilkada 2011. Melalui sistem ini, KPU
kemudian menginformasikan tahapan pemutakhiran data pemilih yang
dilaksanakan oleh PPS dan Pantarlih dan informasi tentang tahapan Pemilu
kepada penyelenggara di tingkat bawah. Di Pilkada 2017, sistem ini kemudian
lebih dikembangkan lagi dengan dukungan laman resmi KPU Provinsi
Gorontalo dan pembuatan aplikasi di Sistem. KPU Provinsi Gorontalo juga
melakukan pemutakhiran daftar pemilih melalui SMS center pada Pemilu
2014. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat untuk mengakses
data pemilih. Apabila warga negara telah terdaftar dalam daftar pemilih,
maka secara otomatis mereka akan mendapat pemberitahuan informasi
terdaftar di TPS mana. Sedangkan jika tidak terdaftar, maka mereka
mendapat pemberitahuan untuk melapor ke PPS terdekat sesuai alamat
domisili. SMS center ini menggunakan biaya yang cukup murah.

368 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


Sistem lain yang dikembangkan oleh KPU Provinsi Gorontalo sejak 2017
adalah SMS Gateway, dimana KPU mengingatkan tahapan pemutakhiran
daftar pemilih dan KPU menganjurkan masyarakat untuk datang ke PPS atau
tempat umum untuk melihat apakah masyarakat tersebut terdaftar dalam
daftar pemilih sementara atau daftar pemilih tetap. Selain itu, KPU juga
mengembangkan aplikasi untuk analisa data pemilih di Pemilu 2014, Pilkada
2015, Pilkada 2017, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Aplikasi ini
dikembangkan untuk memberikan kemudahan bagi para operator KPU
Kabupaten/Kota di wilayah ini dalam memasukkan data pemilih yang valid
kedalam Sidalih. Alat bantu ini setidaknya dapat menguraikan kegandaan
data pemilih yang terkategori memiliki kesamaan data kependudukan dan
dapat mensistematisasi data pemilih.

Selain itu, KPU Provinsi Gorontalo juga melakukan koordinasi dengan


pemerintah daerah dan Forkopimda terkait dengan program perekaman
KTP elektronik. Dengan demikian, KPU mendorong kegiatan pendataan
penduduk dan pendataan pemilih secara simultan.

Inovasi yang dikembangkan KPU Provinsi Gorontalo akhrinya membuahkan


hasil. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penghargaan yang diterima dari KPU
RI, diantaranya adalah tercepat dalam pembersihan data ganda, tercepat
dalam penyempurnaan anomali data hasil analisis Dirjen Dukcapil, tercepat
dalam penanganan data DP4 non DPT sebanyak 31 juta se Indonesia, dan
tercepat dalam konteks Gerakan Melindungi Hak Pilih (GMHP).

D.5. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi pemilih merupakan salah satu indikator bagi keberhasilan


Pemilu. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka legitimasi
Pemilu akan semakin baik. Partisipasi merupakan respon atas pengkuan
masyarakat, baik terhadap penyelenggara Pemilu, maupun kontestan.
Kepercayaan yang buruk terhadap kedua lembaga tersebut dapat
mengakibatkan buruknya partisipasi masyarakat.

Terdapat bagian penting dalam siklus Pemilu yang membutuhkan partisipasi


masyarakat, seperti proses pendataan pemilih, pengawasan partisipatif,
mengikuti kampanye maupun partisipasi dalam pemberian suara. Salah
satu faktor dari kondisi tidak akuratnya data pemilih adalah karena

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 369


rendahnya partisipasi masyarakat. Padahal, jika masyarakat berperan serta
aktif dalam melaporkan informasi kependudukannya, maka akan sangat
memudahkan KPU dalam tahapan pendataan. Selain itu, partisipasi
masyarakat juga dibutuhkan untuk pengawasan Pemilu dalam rangka
meminimalisir pelanggaran dan kecurangan. Namun, sayangnya, peran
serta masyarakat dalam pengawasan selama ini belum optimal.

Sedangkan ketidakpercayaan masyarakat, baik terhadap parpol, maupun


calon yang diajukan parpol, menjadi salah satu faktor kurangnya
keterlibatan masyarakat untuk menghadiri kampanye. Masyarakat yang
hadir biasanya bukan atas kesadaran tapi merupakan hasil mobilisasi
dengan segala bentuk imbalan. Di sejumlah daerah, rendahnya tingkat
partisipasi pemilih saat mencoblos juga disebabkan oleh sejumlah sebab,
seperti akses TPS yang sulit dan permasalahan dalam data pemilih.

Mendorong partisipasi masyarakat terlibat dalam kepemiluan tentu tidak


mudah. KPU Provinsi Bali melakukan sejumlah inovasi untuk membangun
kesadaran partipasi masyarakat. Beberapa diantaranya adalah:

1. berpartisipasi dalam kegiatan kirab karnaval.


2. melakukan kegiatan touring dengan melibatkan komunitas mobil velos
melewati empat kabupaten.
3. mengadakan sosialisasi Pemilu dengan disertai jadwal, rute dan tempat
yang dituju.
4. Berpartisipasi dalam sebuah kegiatan pameran lain.
5. Mengadakan konser musik dan gerakan senam masal yang diakhiri
dengan sosialisasi kegiatan Pemilu.
6. Membangun rumah pintar Pemilu yang diisi dengan maket TPS, karikatur
besar, dan menyedikan buku saku kepemiluan di rumah pintar ini.
7. Mengunjungi pusat-pusat pendidikan dan membentuk sebuah
kolaborasi dengan pihak kampus, misalnya menjadi pembina upacara
setiap senin di sekolah-sekolah dan membentuk komunitas relawan
demokrasi dari berbagai kampus.

Hal yang sama juga dilakukan oleh KPU Provinsi Jawa Barat. Sebagai upaya
untuk menjaga suasana pesta demokrasi dapat berjalan damai, KPU di
wilayah ini terus menerus mengingatkan, menghimbau, dan mengajak
seluruh pemangku kepentingan untuk tetap akur sauyunan dalam

370 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


menyikapi permasalahan dan untuk menjaga suasana kondusif selama
proses penyelenggaraan Pemilu. Dalam melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut, KPU memanfaatkan kearifan lokal dengan mengadaptasi nilai,
norma dan budaya lokal yang telah lama ada. KPU Provinsi Jawa Barat pada
Pemilu 2019 memiliki motto “Pemilu Akur, Jabar Sauyunan” yang
merupakan pernyataan kausalitas bahwa pelaksanaan Pemilu yang akur
akan membawa dampak sosial masyarakat yang sauyunan (damai dan
kondusif).

Buah dari berbagai upaya tersebut adalah angka partisipasi pemilih di Bali
tinggi. Selain itu, KPU Provinsi Bali juga berhasil meraih penghargaan
sebagai The Best Award KPU Provinsi bidang Kreasi dan Sosialisasi, The Best
Award Bidang Transparansi Penyelenggaraan Pemilu, Juara 2 Kehumasan,
dan Juara 2 Pilot Projek Pendidikan Pemilih. Sedangkan strategi dari KPU
Provinsi Jawa Barat menghasilkan pelaksanaan Pemilu 2019 yang berjalan
dengan damai dan kondusif. Selain itu, angka partisipasi Pemilu juga
meningkat dibandingkan dengan di Pemilu sebelumnya.

D.6. Potensi Konflik yang Tinggi

Pada beberapa wilayah, KPU dihadapkan pada konteks daerah dengan


potensi konflik sosial yang sangat tinggi. Mengatasai konteks ini, KPU Kota
Makasar melakukan pemetaan tingkat kerawanan Pemilu. Pilkada 2018 di
Kota Makasar diikuti oleh para calon yang berasal dari Parpol/gabungan
Parpol dan dari jalur perorangan. Terdapat konsekwensi logis jika di suatu
daerah diikuti oleh calon yang berasal dari jalur perseorangan, yaitu
penambahan volume kerja yang harus dihadapi penyelenggara. Untuk
daerah yang memiliki calon dari perseorangan, KPU harus melakukan
proses verifikasi dukungan. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 dan
PKPU Nomor 3 tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota/Wakil Wali Kota
menyebutkan bahwa jumlah dukungan menyesuaikan dengan jumlah
pemilih yang terdaftar di dalam DPT terakhir. Dokumen dukungannya juga
harus dilengkapi dengan KTP penduduk setempat.

Salah satu pasangan bakal calon di Pilkada Kota Makassar di Tahun 2018
adalah H. Ichsan Yasin Limpo dan Ir.H. Andi Muzakkar M.Si. Pasangan ini
menyerahkan berkas syarat dukungan kurang lebih 1 juta dukungan.

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 371


Dokumen itu diangkut oleh 40 buah truk. Kondisi semacama ini tentu
membutuhkan penanganan khusus. Apalagi ini merupakan pengalaman
pertama bagi KPU Kota Makassar menghadapi situasi seperti ini. Sebagai
langkah antisipasi, KPU Kota Makassar kemudian memikirkan berbagai
pertimbangan yang diantaranya adalah:

1. apakah kantor KPU memiliki ruangan untuk menyimpan dokumen


dukungan.
2. apakah ada lokasi parkir cukup memadai menampun kendaraan yang
memuat dokumen itu.
3. apakah jumlah petugas yang melakukan penelitian jumlah dukungan,
kebenaran dukungan dan sebaran dukungan akan cukup.
4. apakah waktu penelitian selama dua hari bisa selesai.
5. solusi agar dokumen yang banyak itu diperiksa secara akurat sehingga
tidak menimbukan kecurigaan masyarakat atau oleh bakal pasangan
calon lainnya.
6. bagaimana menghadapi massa dari masing-masing bakal pasangan calon
jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut, KPU Kota Makassar


kemudian mengambil beberapa langkah, yaitu:
1. memindahkan lokasi pendaftaran yang biasanya dilakukan di kantor KPU
Provinsi & KPU Kabupaten/Kota ke sebuah hotel. Tindakan yang
dilakukan ini sangat membantu menampung dokumen dukungan
masyarakat, parkir kendaraan dan kenyamanan para pendukung.
2. dalam melakukan proses penelitian syarat dukungan, KPU Provinsi & KPU
Kabupaten/Kota tidak hanya memanfaatkan pegawai KPU, namun juga
melibatkan tim verfikator dari beberapa KPU, PPS serta PPK dari wilayah
lain sekitarnya.
3. untuk mengantipasi terjadinya kelalaian dalam proses pemeriksaan, KPU
melibatkan saksi dari bakal calon lain dan saksi dari Bawaslu. Masing-
masing saksi juga diperkenankan untuk dapat mengambil gambar
terhadap proses verifikasi.

Sikap responsif seperti ini menghasilkan proses pencalonan yang berjalan


dengan cukup baik. Tidak ada gejolak ataupun gerakan massa sebagiamana
dikuatirkan sebelumnya oleh banyak pihak.

372 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


D.7. Mencegah PSU

Dinamika politik di suatu daerah akan mempengaruhi dinamika


penyelenggaraan Pemilu. Kabupaten Talaud merupakan salah satu wilayah
yang paling dinamis di Provinsi Sulawesi Utara. Salah satu kasus yang
menonjol yang terjadi di wilayah ini adalah adanya kekecewaan masyarakat
karena salah satu pasangan bakal calon dibatalkan oleh KPU Kabupaten
Talaud di Pilkada 2013. Pemungutan suara yang dilakukan pada tanggal 29
Oktober 2013 diwarnai dengan aksi demontrasi yang diikuti dengan
pemboikotan pendirian TPS di sejumlah tempat. Masyarakat melakukan
penolakan pelaksanaan pemungutan suara di dua Desa Riung dan Desa
Riung Utara. Seluruh KPPS dan PPS di wilayah tersebut mengundurkan diri
karena takut dan diancam, distribusi logistik dihalangi, dan lokasi pendirian
tempat pemungutan suara diancam akan dibakar. Selain itu, mengingat
letak geografisnya, akses di beberapa wilayah juga sangat sulit dijangkau.
Kondisi ini berakibat pada pemungutan suara di dua desa tersebut tidak
dapat dilaksanakan.

Mengatasi situasi yang sulit seperti ini, KPU Provinsi Sulawesi Utara
kemudian melakukan tindakan responsif agar proses pemungutan suara
tetap dilaksanakan. Setidaknya, terdapat dua tindakan yang dilakukan,
yaitu:
1. melakukan pengangkatan KPPS yang dipilih dari unsur pegawai KPU
Kabupaten Talaud. Mereka ditugaskan untuk mempersiapkan
pemungutan suara dua hari setelah hari pemungutan suara untuk
mendistribusikan logistik, untuk pemberitahuan memilih, dan untuk
mendirikan TPS.
2. mengantipasi terjadinya pengrusakan fasilitas sekolah dan fasilitas
pemerintah desa, maka KPU mendirikan TPS di tengah jalan. Tindakan
seperti ini tentu merupakan langkah yang sangat berani karena dalam
peraturan perundangan tidak ada satu pun pasal yang mengatur
demikian. Di daerah lain juga belum pernah ada yang melakukan
tindakan serupa dan tidak ditemukan dalam yurisprudensi putusan-
putusan lembaga peradilan Pemilu sejauh ini.

Tindakan responsif KPU Provinsi Sulawesi Utara membuahkan hasil. Meski


tindakan itu di gugat ke MK, namun MK memutuskan bahwa KPU telah
beritikad baik untuk melaksanakan pemungutan suara di kedua desa

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 373


tersebut. Itikad baik tersebut terbukti dari tindakannya dengan
mempersiapkan pelaksanaan pemungutan suara di kedua desa tersebut.
MK berpendapat bahwa pengadaan TPS di tengah jalan dilakukan oleh
karena situasi tidak memungkinkan. Selanjutnya, MK berkeyakinan bahwa
tidak ada maksud dari KPU untuk menghilangkan hak pilih warga
sebagaimana pokok perkara dari pemohon.4

D.8. Pelayanan Pemilih Di Daerah Bencana Alam

Salah satu keadaan yang dapat menghambat penyelenggaraan Pemilu


adalah faktor bencana alam. Bencana alam merupakan peristiwa alam yang
kerap sangat sulit terdeteksi sejak awal. Walaupun demikian, cara untuk
mengurangi resiko akibat bencana alam dapat dilakukan sejak awal.
Daerah-daerah yang mengalami kerusakan hutan yang besar, pemanfaatan
lahan hijau menjadi lahan perumahan, pabrik atau pusat bisnis dan lahan
reklamasi pantai yang meluas berpotensi mengalami banjir jika terjadi
puncak curah hujan di tahun berjalan sebenarnya dapat melakukan
berbagai langkah antisipasi.

Peristiwa bencana alam yang menimpa Kota Palu pada tahun 2018 tentu
menjadi tantangan dan hambatan bagi KPU setempat. Terdapat keadaan
yang luar biasa akibat bencana alam ini, seperti kampung hilang, banyak
penyelenggara Pemilu yang meninggal, dan terganggunya akses dalam
menyalurkan logitik. Selain itu, KPU juga harus memastikan kembali jumlah
pemilih, mendistribusikan logitik dan surat panggilan memilih (formulir C6)
serta memastikan pemilih memiliki kemudahan akses dalam menyalurkan
hak politiknya. Meskipun pemilih mendapatkan pemberitahuan, namun
tidak serta merta mereka akan datang memilih akibat trauma yang mereka
alami.

Kesulitan serupa juga dialami juga oleh KPU Kabupaten Karo. Peristiwa
meletusnya Gunung Sinabung mengakibatkan banyak masyarakat
meninggalkan kampungnya dan berpindah ke wilayah yang tidak terjangkau
abu dan awan panas. Menghadapi kondisi demikian tentu sangat
menyulitkan bagi masyarakat untuk meyalurkan hak pilihnya terutama TPS
yang lokasi memiliki jarak yang sangat jauh.

4
Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/PHPU.D-XII/2014.
374 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH
Untuk merespon hal ini, KPU Kabupaten Karo kemudian menginisiasi
pembentukan TPS khusus. Selain itu, KPU juga mengadakan pengadaan bus
untuk mengangkut para pemilih dari lokasi pengungsian ke TPS-TPS khusus
tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan KPU
mengkutsertakan para petugas pengawas Pemilu dan pihak kepolisian.
Untuk menjamin kesehatan pemilih, KPU juga menyiapkan konsumsi satu
kali untuk setiap pemilih.

Tindakan responsif yang dilakukan KPU tersebut sebagai wujud


implementasi dari prinsip-prinsip penyelenggara sebagaimana yang
tertuang di dalam UU Pemilu, yakni adil dan aksesibilitas. KPU
memperlakukan pemilih secara adil dengan memberikan kemudahan dalam
memberikan suara. Bukti yang dicapai adalah tingginya tingkat partisipasi
pemilih di daerah pengungsian. Partisipasi masyarakat pengungsi sebanyak
75 persen pada Pilkada 2014 di Kabupaten Karo.5

D.9. Menjaga Kemurnian Suara Rakyat

Salah satu teori kebijakan publik menyebutkan bahwa kebijakan publik yang
baik adalah kebijakan publik yang dapat diimplementasikan. Suatu
kebijakan publik dapat diimplementasikan apabila memenuhi beberapa
karakter. Diantaranya adalah norma-norma yang terkandung didalamnya
mencakup pengaturan semua keadaan yang bisa dihadapi dan dapat
menyelesaikan segala bentuk persoalan. Kedua, kebijakan publik tersebut
tidak mengandung multi interprestasi, tidak saling bertentangan dengan
regulasi satu tingkat diatasnya, tidak saling bertentangan antar pasal atau
tidak saling bertentangan dengan kebijakan lainnya. Ketiga, norma-norma
yang terkandung di dalam kebijakan publik dapat dengan mudah dipahami
oleh pelaksana kebijakan. Keempat, aspek lingkungan politik, sosial dan
budaya mendukung kebijakan publik itu. Kelima, aktor-aktor pelaksana
kebijakan memiliki pengetahuan, integritas, dan keterampilan untuk
melaksanakan kebijakan publik tersebut.

Salah satu tantangan Pemilu dan Pilkada adalah bahwa fakta atau peristiwa
Pemilu dan Pilkada di lapangan tidak atau belum diatur secara rinci dan jelas

5 https://kbr.id/berita/04 2014/partisipasi_pemilih_di_pengungsian_sinabung_capai_75_ persen/


3801.html (diakses pada tanggal 30 Agustus 2019).

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 375


dalam regulasi yang ada. Atau regulasi yang berlaku dimaknai secara multi
interpretatif.

KPU Provinsi Sumatera Utara (KPU Sumut) pernah mengalami kondisi


seperti ini dalam Pemilu 2019. KPU Sumut menghadapi problem, namun
belum ada pedoman yang bisa dijadikan rujukan untuk mengatasi problem
itu. Contoh kasus yang di hadapi adalah proses rekapitulasi penghitungan
suara secara berjenjang. PKPU Nomor 4 tahun 2019 tentang rekapitulasi
hasil penghitungan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan
KPU menyebut bahwa para pihak yang dapat mengajukan keberatan dalam
proses rekapitulasi adalah saksi peserta Pemilu yang memiliki mandat dan
Bawaslu sesuai tingkatan. Dengan demikian, jika bukan dari kedua unsur itu,
maka seolah tidak ada satu pihak yang dapat melaporkan adanya dugaan
penggelembungan suara kepada KPU saat rekapitulasi berjalan.

KPU Sumut menghadapi posisi dilema ketika ada Calon DPR RI yang
melaporkan adanya dugaan penggelembungan suara oleh calon DPR RI
lainnya saat rekapitulasi sedang berlangsung. Di satu sisi, KPU harus
menegakkan aturan. Pada sisi yang lain, KPU juga tidak ingin agar aturan itu
mengesampingkan hal yang lebih substansial. Ada beberapa pertimbangan
regulasi yang dimiliki oleh KPU ketika menghadapi kondisi ini. Dalam
menjalankan Prinsip Adil, Kepentingan Umum, dan Profesional, KPU
Provinsi & KPU Kabupaten/Kota “memperlakukan dan memberi
kesempatan yang sama bagi pelapor atau terlapor dalam dugaan
pelanggaran atau sengketa Pemilu”. 6 Sedangkan dalam melaksanakan
Prinsip Kepentingan Umum, Anggota KPU Provinsi wajib berperilaku,
“memberikan respon menyelesaikan pengaduan, keluhan, keberatan dan
aspirasi dari berbagai pihak”. 7 Untuk melaksanakan Prinsip Profesional,
Anggota KPU Provinsi wajib berperilaku, “menjamin kualitas pelayanan
kepada pemilih, Peserta Pemilu, dan para pemangku kepentingan sesuai
dengan standard profesi administrasi Pemilu dan Pemilihan”. 8 Selain itu,
KPU juga mengacu pada aturan yang menyebutkan bahwa pelaksanaan

6 Pasal 79 huruf d PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
7 Pasal 82 huruf b PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
8 Pasal 85 huruf c PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

376 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


tugas konstitusional KPU Provinsi adalah “mengoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan, Penyelenggaraan Pemilu yang
dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota”. 9 Dengan demikian,
penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU haruslah dimaknai
sebagai upaya untuk memastikan berlangsungnya penyelenggaraan Pemilu
secara transparan, akuntabel, dan terhindar dari praktik-praktik kesalahan
maupun pelanggaran terhadap prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu.

Atas dasar ini, KPU Sumut kemudian memberikan respon terhadap laporan
salah satu calon DPR RI tersebut. Untuk memastikan laporan itu KPU Sumut
meminta KPU Kabupaten Nias Barat melakukan pencermatan terhadap
laporan yang diterima untuk memastikan kebenarannya. Dengan
disaksikan Bawaslu Nias Barat dan para saksi, KPU Kabupaten Nias Barat
melakukan pembukaan kotak untuk menyandingkan kembali data di DAA1
dengan C1 plano atau C1 hologram di seluruh TPS di 3 tiga kecamatan.
Hasilnya menunjukkan bahwa memang terjadi penggelembungan suara
oleh seorang calon DPR RI. Setelah mengkoreksi dan mendapatkan
perolehan suara yang benar, KPU Kabupaten Nias Barat kemudian
menginput data ke dalam formulir DB1 dan kemudian ditetapkan. Bukan
hanya mengkoreksi, KPU Kabupaten Nias Barat juga kemudian memberi
sanksi pemberhentian kepada PPK karena terbukti melakukan pelanggaran
kode etik serius menggelembungkan suara calon.

Respon KPU Sumut ini kemudian mendapat keberatan dari pihak yang
merasa dirugikan karena pihak tersebut menganggap KPU Sumut melanggar
PKPU No. 4 Tahun 2019. Atas hal itu, Bawaslu Provinsi Sumatera Utara
kemudian memutuskan bahwa KPU Sumut dan KPU Kabupaten Nias Barat
melakukan pelanggaran administrasi Pemilu. KPU Sumut juga diadukan ke
DKPP hingga kemudian lahir Putusan DKPP Nomor: 114-PKE-DKPP/VI/2019,
Anggota KPU Sumut akhirnya mendapatkan peringatan keras dan
pencopotan jabatan. Kasus ini juga disengketakan dalam PHPU di
Mahkamah Konstitusi.

Sikap KPU Sumut yang konsiten dalam menjalankan prinsip penyelenggara


yang mandiri, profesional dan berintegritas terbukti membuahkan hasil.

9 Pasal 15 huruf c UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 20 huruf c PKPU Nomor 8
Tahun 2019 tentang tata Kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 377


Berbeda dengan Keputusan Bawaslu Sumut dan DKPP, MK justru menolak
seluruh permohonan pemohon dengan berbagai alasan yang sebagian
diantaranya adalah sama dengan pertimbangan yang digunakan oleh KPU
Sumut ketika mengeluarkan keputusannya.10

E. Belajar dari Pengalaman

Apa yang bisa diambil pelajaran dari berbagai kasus di atas? Tentu saja ada
banyak. Sebagian diantaranya adalah sebagai berikut. Dari pengalaman KPU
Provinsi Jawa Timur kita dapat menarik pelajaran bahwa salah satu cara
menjaga soliditas adalah membangun hubungan tim secara personal. Sikap
empati dan toleransi serta kemampuan kerjasama akan memudahkan
setiap Anggota KPU untuk menyadari segala bentuk keterbatasan yang
dimilikinya pada satu sisi dan kesadaran bahwa pihak lain juga memiliki
kelebihannya masing-masing. Strategi komunikasi dengan demikian
menjadi sangat penting untuk membangun soliditas di kalangan para
Anggota KPU. Sedangkan dari pengalaman KPU DKI Jakarta, satu hal yang
bisa dipelajari adalah bahwa hak pilih seseorang adalah hak asasi manusia.
Salah satu cara untuk menghargai hak itu adalah tidak menghalang-halangi
hak politiknya dan dengan sukarela memberikan kemudahan untuk
mendapatkan hak politik itu. Membantu masyarakat untuk mencatatkan
namanya dalam daftar pemilih sebetulnya tidak hanya sebatas tindakan
menghindari proses hukum, namun sebagai bentuk pertanggungjawaban
moril mewujudkan hak manusia yang paling mendasar.

Dari KPU Kabupaten Batang dan KPU Provinsi Jawa Tengah kita dapat
belajar bahwa melakukan identifikasi masalah dalam setiap tahapan adalah
menjadi sangat penting. Identifikasi masalah membantu KPU untuk
membaca kendala atau potensi ancaman yang akan dihadapi. Dalam
konteks ini, Situng sangat efektif memudahkan informasi bagi siapa saja
yang berkepentingan. Namun demikian, pemanfaatan sistem informasi dan
komunikasi mensyaratkan sumber daya manusia yang handal, sarana
prasara yang terbatas, dan sistim koordinasi yang efektif.

Pengalaman KPU Provinsi Gorontalo dalam mengelola dinamika Pemilu di


wilayahnya juga memberikan beberapa pembelajaran kepada kita. Hal yang

10 Putusan MK Nomor 173-04-02/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019.

378 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


bisa dipelajari dari pengalaman ini bahwa kualitas Pemilu tidak hanya
sebatas tanggungjawab penyelenggara. Kualitas Pemilu juga sangat
ditentukan oleh peran masyarakat ataupun sinergitas dengan pemerintah
daerah. Dalam konteks ini, kemampuan KPU dalam membangun
komunikasi dengan pihak-pihak terkait menjadi sangat penting. Selain itu,
kepercayaan terhadap KPU menjadi salah kunci bagi keterlibatan pihak lain
dalam setiap tahapan Pemilu. Kepercayaan dibangun dari banyak upaya,
misalnya penegakan prinsip kemandirian, profesionalitas, adil, dan lainnya.
Yang juga tidak kalah pentingnya adalah pengalaman dari KPU Provinsi
Gorontalo dalam memanfaatkan tehnologi komunikasi dan informasi untuk
menunjang penyelenggaraan Pemilu.

Hampir sama dengan itu, pengalaman KPU Jawa Barat memberikan


pelajaran kepada kita akan pentingnya melibatkan masyarakat dalam setiap
tahapan. Selain itu, meningkatkan partisipasi rakyat di dalam proses
penyelenggaraan Pemilu bukan hanya sekedar untuk kepentingan KPU,
namun juga untuk membangun sebuah kesadaran politik bahwa kedaulatan
itu berada di tangan rakyat. Selain itu, KPU perlu menciptakan banyak
kreativitas dan inovasi agar bisa merangsang masyarakat untuk ikut terlibat
dalam setiap proses Pemilu. Salah satunya adalah dengan menggunakan
mekanisme kultural dan kearifan lokal yang telah berkembang di
masyarakat.

Sedangkan pengalaman dari KPU Kota Makassar dan KPU Sulawesi Selatan
mengajarkan kepada kita terkait dengan ketrampilan dalam mengelola
konflik di daerah yang memiliki tensi politik yang sangat tinggi. Selain itu,
belum semua regulasi Pemilu memberikan pedoman yang jelas bagaimana
mengantisipasi atau menghadapi situasi-situasi tertentu. Dinamika sosial
sangat beragam di berbagai daerah sehingga tidak mungkin sebuah regulasi
bisa menjangkau dinamika itu. Tindakan yang paling efektif bisa dilakukan
penyelenggara adalah bagaimana melakukan upaya antisipatif sebelum
terjadi konflik.

Pengalaman KPU Kabupaten Talaud dan KPU Sulawesi Selatan menunjukkan


bahwa Pemilu merupakan arena kompetisi dan menjadi sebuah wadah bagi
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam
konteks ini, hampir segala cara akan dilakukan untuk memenangkan Pemilu.
Jika kepentingannya terhalangi, konsekuensinya, maka segala tindakan juga

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 379


akan bisa dilakukan. Proses yang dinamis seperti ini akan menghadapkan
KPU pada berbagai tekanan. Dalam arena perebutan kekuasaan, setiap
keputusan penyelenggara pasti akan melahirkan pro dan kontra. Keputusan
KPU yang melahirkan pro dan kontra karena tunduk pada aturan jauh lebih
adil dan bijak ketimbang keputusan yang melahirkan pro dan kontra karena
KPU melanggar aturan.

Hal yang bisa dipelajari dari pengalaman KPU Kabupaten Karo adalah
meskipun memilih bagi masyarakat bukan sesuatu hal yang wajib, namun
keterlibatan masyarakat yang tidak maksimal akan menjadi kendala
tersendiri. Kontribusi demokrasi penyelenggara tidak sekedar mencatatkan
pemilih dalam daftar pemilih. Namun yang penting juga adalah sedapat
mungkin mereka dapat dijangkau lewat pemberitahuan memilih dan
memudahkan masyarakat agar bisa mendatangi dan memilih di tempat
pemungutan suara. Prinsip ini tentu menjadi pelajaran bagi penyelenggara
di lokasi-lokasi sulit karena keadaan geografi dan keadaan alam yang tidak
mendukung.

Akhirnya, dari pengalaman KPU Kabupaten Nias Barat dan KPU Provinsi
Sumatera Utara kita dapat belajar bahwa upaya menjaga dan memastikan
kemurnian suara rakyat (electoral genuine) yang dilakukan oleh KPU sering
sekali penuh resiko. Kasus ini memberikan pelajaran bahwa untuk
menghadapi kasus seperti ini, selain memegang teguh prinsip
penyelenggara Pemilu, KPU juga dituntut untuk memiliki keberanian dalam
menjaga dan mengawal suara rakyat demi mewujudkan Pemilu yang
berintegritas.

380 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH


F. Penutup

Poin utama dari bab ini adalah memetakan beberapa isu strategis yang
biasanya dihadapi oleh KPU di tingkatan daerah. Dari diskusi di atas, kita
juga dapat mengambil pelajaran dari berbagai pengalaman yang telah
dilakukan oleh KPU dalam rangka memberi solusi atas berbagai tantangan,
kendala, dan problematika yang menghadang. Tentu saja pengalaman-
pengalaman di atas hanya menjadi sebagian dari upaya yang telah dilakukan
oleh KPU di semua daerah. Dengan demikian, tulisan ini perlu
ditindaklanjuti dengan kajian-kajian berikutnya dalam rangka memperkaya
praktik-praktik terbaik yang telah dilakukan oleh KPU sampai sejauh ini.
Akumulasi dari pengalaman baik dalam penyelenggaraan KPU tentu saja
akan sangat berharga bagi upaya untuk mendorong proses
penyelenggaraan Pemilu yang semakin lebih baik ke depan.

BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH 381


BAB 9
PENUTUP

Pramono Ubaid Tanthowi

Pemilihan Umum (Pemilu) demokratis telah menjadi salah satu warna paling
penting dari kehidupan politik di Indonesia selama dua dasawarsa terakhir.
Sejak Pemilu 1999, wakil-wakil rakyat di Parlemen dipilih melalui sistem yang
berbeda dibanding dengan pemilu era Orde Baru. Sejak Pemilu 2004, Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih melalui MPR, namun dipilih
secara langsung oleh rakyat. Sejak tahun yang sama, wakil-wakil rakyat yang
duduk di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai pengganti lembaga Utusan
Daerah, juga dipilih secara langsung. Dan terakhir, sejak 2005, Pasangan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota tidak lagi dipilih oleh
DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota, melainkan juga dipilih secara
langsung oleh rakyat.

Perubahan fundamental seperti ini bukan hanya berlaku dalam hal sistem
pemilu, namun juga menyangkut aspek-aspek lain dari pemilu. Yang penting
untuk dicatat adalah reformasi di dalam aspek penyelenggara pemilu yang
mengarah kepada kelembagaan yang semakin mandiri. Demikian juga
teknikalitas penyelenggaraan tahapan-tahapan pemilu yang semakin
mendorong transparansi dan akuntabilitas. Dan tidak ketinggalan adalah
mekanisme penegakan hukum pemilu yang semakin kokoh untuk memastikan
bahwa penyelenggaraan pemilu berlangsung secara berintegritas, luber dan
jurdil.

Topik-topik itulah yang menjadi bahasan utama di sepanjang buku ini. Topik-
topik tersebut, meski ditulis oleh beberapa penulis yang berbeda, namun
memiliki alur penalaran yang cukup runtut. Secara berurutan, bab-bab dalam
buku ini membicarakan berbagai aspek kepemiluan sejak dari hulu hingga hilir.
Pada Bab 1, Mada Sukmajati dan Aditya Perdana menjelaskan definisi dan
konsep “tata kelola pemilu” (electoral governance) sebagai kerangka dasar
bagi para pembaca untuk memahami buku ini. Tidak lupa, kedua penulis juga

BAB 9 – PENUTUP 383


menguraikan alasan-alasan (akademis maupun praktis) mengapa buku ini
perlu untuk dituliskan dalam bentuk buku.

Berikutnya Kris Nugroho dan Ferry Daud M Liando menguraikan secara


konseptual maupun operasional nilai, prinsip, dan asas pemilu pada Bab 2.
Topik ini ditulis dalam bab tersendiri untuk memberikan penekanan bahwa
substansi dan nilai-nilai etik harus menjadi fondasi yang kokoh bagi seluruh
proses tata kelola pemilu. Selanjutnya, pada Bab 4 Benget Manahan Silitonga
dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah menjelaskan sejarah singkat, struktur organisasi,
maupun tugas dan wewenang kelembagaan penyelenggara pemilu di
Indonesia. Berbeda dengan lembaga sejenis di negara-negara lain, lembaga
penyelenggara pemilu di Indonesia dibagi ke dalam tiga fungsi yang terpisah,
yakni KPU sebagai pelaksana teknis, Pengawas Pemilu sebagai pengawas dan
penegak hukum pemilu, serta DKPP sebagai penegak etika penyelenggara
pemilu.

Pada Bab 3 Mada Sukmajati menjelaskan secara mendetail namun mudah


dipahami tentang sistem pemilu beserta unsur-unsurnya, serta bagaimana
konsekuensinya bagi bangunan politik. Dalam bab ini juga diuraikan bagaimana
perjalanan sejarah sistem pemilu di Indonesia yang terentang sejak Pemilu
1955 hingga Pemilu era reformasi. Tidak lupa, pada bab ini juga diuraikan
sistem Pemilu Presiden/Wakil Presiden, sistem Pemilu DPR/DPRD, sistem
Pemilu DPD, serta sistem Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pada Bab 5 Aditya Perdana dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah menerangkan


tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu yang dibungkus dalam kerangka
siklus pemilu (electoral cycle), yakni masa persiapan pemilu, masa pelaksanaan
pemilu, dan masa paska pemilu. Bab ini bukan hanya berisi urutan-urutan
tahapan pemilu, namun juga memuat identifikasi tantangan/hambatan yang
mungkin muncul dalam tahapan-tahapan tersebut serta panduan praktis
bagaimana cara mengatasinya.

Berikutnya, Ferry Kurnia Rizkiyansyah dan Benget Manahan Silitonga


menjelaskan pada Bab 6 mengenai perencanaan dan penganggaran
penyelenggaraan pemilu, metode evaluasi, serta infrastruktur penunjang bagi
para penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Selanjutnya, pada Bab 7 Kris
Nugroho dan Titi Anggraini menjelaskan secara terperinci tentang jenis-jenis
perkara hukum dalam pemilu, baik berupa pelanggaran maupun sengketa,

384 BAB 9 – PENUTUP


berikut tata cara penanganannya, serta lembaga-lembaga yang berwenang
menangani masing-masing perkara tersebut.

Tidak lupa, buku ini juga memuat tentang pengalaman-pengalaman menarik


yang digali dari berbagai daerah bagaimana KPU tingkat lokal mengatasi
berbagai persoalan di saat menghadapi situasi darurat dan krisis. Berbagai
inisiatif, inovasi, dan kreativitas itu dirangkum dengan baik oleh Ferry Daud
Liando di Bab 8 agar menjadi pelajaran serta dapat direplikasi etosnya oleh
para penyelenggara pemilu di daerah-daerah lain. Dan terakhir, Bab 9 menjadi
rangkuman dari seluruh bab yang terdapat dalam buku ini, serta menguraikan
tantangan, hambatan, dan tindak lanjut dari buku ini.

Harus diakui bahwa buku ini menguraikan beragam aspek tata kelola pemilu
dengan sangat lengkap. Meskipun tentu saja, sebagai konsekuensinya, tidak
semua aspek dibahas dengan detail dan lengkap. Tentu menjadi tantangan
tersendiri untuk menuangkan demikian banyak ide dan gagasan secara
terperinci dalam jumlah halaman yang terbatas. Namun demikian, sebagai
sebuah “fondasi”, sebenarnya buku ini telah cukup memadai untuk
mengantarkan pembacanya memahami kompleksitas tata kelola Pemilu di
Indonesia.

Selain masalah kedalaman, salah satu hambatan lain dari penulisan buku ini
menyangkut banyaknya penulis yang terlibat di dalamnya. Di satu sisi hal
tersebut mengakibatkan kurang runtutnya ide-ide yang dituangkan dalam
setiap bab maupun antar bab. Sedangkan di sisi lain, perbedaan selera masing-
masing penulis juga mengakibatkan inkonsistensi gaya penulisan.

Hal seperti sebenarnya telah disadari sejak awal oleh para editor. Sehingga
para editor telah berusaha sekeras mungkin untuk menyelaraskan bukan
hanya teknis dan substansi tulisan, namun juga terkait dengan gaya dan selera
penulisan. Semua upaya tersebut dilakukan dalam rangka menyodorkan
sebuah buku yang utuh dan runtut bagi para pembaca.

Pada awalnya, penulisan buku ini secara khusus bertujuan untuk menyediakan
bahan bacaan bagi para peserta Orientasi Tugas KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota sebelum mereka mulai menjalankan tugas penyelenggaraan
pemilu di daerah masing-masing. Karena sebagai buku panduan, maka kami
menyusun buku ini bersifat pengantar atas setiap aspek, namun menyeluruh
BAB 9 – PENUTUP 385
dan meliputi berbagai aspek. Dengan harapan tentu saja para penyelenggara
pemilu tersebut tidak berhenti dan merasa cukup hanya dengan membaca
buku ini. Sebaliknya mereka terdorong untuk mendalami masing-masing aspek
bahasan dalam buku ini dengan membaca literatur-literatur yang telah banyak
tersedia dan ditulis oleh para pengarang lain.

Selain untuk para peserta Orientasi Tugas, buku ini juga dapat memperkaya
bahan bacaan bagi para pengajar maupun mahasiswa Paskasarjana (S2)
Program Tata Kelola Pemilu Indonesia, yang merupakan hasil kerja sama
antara KPU dengan berbagai Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Indonesia.
Dengan membaca buku ini, para mahasiswa tersebut diharapkan dapat dengan
baik memahami fokus dan ruang lingkup kajian tata kelola pemilu.

Dan tidak lupa, kami berharap agar buku ini menjadi bahan bacaan yang cukup
memadai bagi para peminat isu-isu kepemiluan, baik akademisi, mahasiswa,
pengamat, maupun penggiat kepemiluan. Apalagi bagi mereka yang memiliki
keinginan untuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu, baik di KPU
maupun Bawaslu. Dengan membaca buku ini, mereka setidak-tidaknya telah
memiliki pemahaman yang cukup mengenai apa itu lembaga penyelenggara
pemilu, apa saja bidang tugasnya, serta prinsip atau nilai-nilai apa yang harus
dijadikan pegangan agar dapat menyelenggarakan pemilu secara luber, jurdil,
dan berintegritas.

Sebagaimana telah dinyatakan di bagian awal bahwa pemilu telah menjadi


salah satu ciri utama sistem politik Indonesia paska reformasi. Oleh karena itu,
pemilu tidak boleh hanya sekedar menjadi rutinitas demokrasi prosedural.
Namun penting agar nilai-nilai substantial dan prinsip-prinsip penyelenggaraan
pemilu demokratis dapat terwujud dalam setiap perilaku penyelenggara
pemilu maupun dalam teknikalitas tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu.
Dengan demikian pemilu dapat mendorong terwujudnya penyederhanaan
sistem kepartaian maupun sistem pemerintahan yang efektif. Memang itu
semua belum cukup untuk mewujudkan sistem demokrasi yang sehat. Karena
diperlukan beberapa prasyarat lain, seperti tata kelola pemerintahan yang
transparan dan akuntabel, penghormatan atas hak asasi manusia,
berkembangnya pers yang bebas, penegakan hukum yang adil, masyarakat
sipil yang otonom, dan sebagainya. Dan itu semua akan terus menjadi
tantangan ke depan yang harus diperjuangkan dengan tidak mudah.

386 BAB 9 – PENUTUP


Pendistribusian Logistik Pemilu di desa Pancado Pendistribusian Logistik pemilu dari Pulau Nusa Penida
Kec. Taliabu Selatan Kab. Pulau Taliabu -.Maluku Utara ke Pulau Nusa Lembongan - Bali

Pendistribusian Logistik Pemilu di Kabupaten Pesisir


Barat, Provinsi Lampung

BAB 9 – PENUTUP 387


Pendistribusian Logistik Pemilu di Kabupaten Way
Kanan, Lampung
Daftar Pustaka

BAB 1
Catt, Helena, Andrew Ellis, Michael Maley, Alan Wall dan Peter Wofl. 2014.
Electoral Management Design. Stockholm: International IDEA.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 Di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Haris, Syamsuddin. 1991. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widia
Sarana.
Haris, Syamsuddin (Ed.). 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI.
Isra, Saldi dan Khairul Fahmi. 2019. Pemilihan Umum Demokratis. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi RI 2003-2019. Jakarta: Rajawali Pers
Lay, Cornelis. 2010. Melawan Negara. 1973-1986. Yogyakarta: Polgov.
Liddle, William R. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik.
Jakarta: LP3ES.
Mozaffar dan Schedler. 2002. “The Comparative Study of Electoral Governance-
Introduction.” International Political Science Review. Vol.23 (1).
Pratama, Heroik M., Agustiyati, Khoirinnisa, dan Sadikin, Usep Hasan. 2018.
"Politik anggaran di Pilkada: Studi Perbandingan Besaran Anggaran
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 Petahana dan Non Petahana di 17
Provinsi", dalam Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Sukmajati, Mada dan
Perdana, Aditya (ed.). Jakarta: Bawaslu RI.
Rachman, Fadhly, F. 2019. Fantastis! Anggaran untuk Pemilu 2019 Capai Rp.25 T.
dapat diakses di https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
4485400/fantastis-anggaran-untuk-pemilu-2019-capai-rp-25-t pada
tanggal 29 Agustus 2019.

Surbakti, Ramlan. 2016. “Tata Kelola Pemilu sebagai Subkajian Pemilu Terapan.”
Pidato Inagurasi Anggota Baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
388 DAFTAR PUSTAKA
(MIPI). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 26
Desember 2016.
Suryadinata, Leo. 1992. Golkar dan Militer. Studi tentang Budaya Politik. Jakarta:
LP3ES.
Torres, Luis Eduardo Medina dan Edwin Cuitlàhuac Ramires Diaz. 2015. “Electoral
Governance: More than Just Electoral Administration.” Mexican Review
Law. Vol. VIII (1).
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.

BAB 2
ACE Project.2013. The Encyclopaedia : Electoral Integrity. Dapat di akses di:
http://aceproject.org/ace-en
Annan, Kofi A. et.al. 2012. Deepening Democracy: A Strategy for Improving the
Integrity of Elections Worldwide : Global Commission on Election,
Democracy and Security. Dapat diakses dari
http://kofiannanfoundation.org/sites/default/files/deepeningdemocracy
0.pdf
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:
Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Powell JR, G. Bingham. 2000. Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian
and Proportional Visions). New Haven: Yale University Press.
Gaffar, Abdul.2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gaffar, Janedri M. 2012. Politik Hukum Pemilu. Jakarta:Konstitusi Press.
Wall, Alan et al. 2016. Electoral Management Design The International IDEA
Handbook. Stockholm Sweden.

DAFTAR PUSTAKA 389


Matutina, Domi C. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Gramedia
Widia Sarana Indonesia.
Norris, Pippa. 2013. "The new research agenda studying electoral integrity ".
Electoral Studies. Vol. 32.
Santoso, Topo dan Supriyanto, Didik. 2004. Mengawasi Pemilu, Mengawal
Demokrasi. Murai Kencana: Jakarta.
Surbakti, Ramlan. 2016. Tata Kelola Pemilu Sebagai Subkajian Pemilu Terapan.
_______________ 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Evrensel, Astrid (ed). 2010. Voter Registration in Africa, A Comparative Analysis.
EISA:Johannesburg.
Medvic, Stephen K. 2011. New Direction in Campaigns and Elections. New York:
Routledge.
Panagopoulos, Costas. 2009. Politicking Online The Transformation of Election
Campaign Communication. New Jersey: Rutgers University Press.
Global Commission On Elections, Democracy And Security. 2012. Deepening
Democracy: A Strategy for Improving the Integrity of Elections Worldwide.
September 2012. Dapat diakses di:
https://www.kofiannanfoundation.org/supporting-democracy-and-
elections-with-integrity/global-commission-on-elections-democracy-
security-2/

BAB 3
Benoit, Kenneth. 2007. “Electoral Laws as Political Consequences: Explaining the
Origins and Change of Electoral Institutions.” Annual Review of Political
Science. Vol. 10.

Blais, André dan Louis Massicotte. 2002. “Electoral System,” dalam Comparing
Democracies 2: New Challenges in the Study of Elections and Voting.
Lawrence LeDuc, Richard G. Niemi dan Pippa Norris (Eds.). London: SAGE
Publication.

390 DAFTAR PUSTAKA


Carter, Elisabeth dan David M. Farrell.2010. “Electoral Systems and Election
Management,” dalam Comparing Democracies 3: Elections and Voting in
the 21st Century. LeDuc, Lawrence, Richard G. Niemi dan Pippa Norris (Eds.).
London: SAGE Publication.
Colomer, Josep M. 2004. “The Strategy and History of Electoral System Choice,”
dalam Handbook of Electoral System Choice. Josep M. Colomer (Ed.). New
York: Palgrave Macmillan.
Dahlerup, Drude (De). 2006. Women, Quotas and Politics. Routledge.
Duverger, Maurice. 1959. Political Parties: Their Organization and Activity in the
Modern State. London: Methuen & Co.
Effendi, Agus. 2016. “Studi Komparatif Pengaturan Sistem Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia.” Fiat Justisia Journal of
Law. Vol. 10. Issue 2.
Gallagher, Michael dan Paul Mitchell (Eds.). 2005. The Politics of Electoral Systems.
Oxford: Oxford University Press.
Hazan, Reuven Y. dan Gideon Rahat. 2010. Democracy within Parties: Candidate
Selection Methods and Their Political Consequences. Oxford: Oxford
University Press.
Husein, Harun. 2014. Pemilu di Indonesia. Fakta, Angka, Analisis, dan Studi
Banding. Jakarta: Perludem.
Katz, Richard S. 1997. Democracy and Elections. Oxford: Oxford University Press.
Keech, William R. 1980. “Election and Macroeconomic Policy Optimization.”
American Journal of Political Science. Vol. 24 (2).
LeDuc, Lawrence, Richard G. Niemi dan Pippa Norris. 2010. “Introduction: Building
and Sustaining democracy,” dalam Comparing Democracies 3: Elections and
Voting in the 21st Century. Lawrence LeDuc, Richard G. Niemi dan Pippa
Norris (Eds.). London: SAGE Publication.
Lijphart, Arendt. 1995. Electoral Systems and Party Systems. Oxford: Oxford
University Press.

DAFTAR PUSTAKA 391


Margaret, Anna, Julia Ikasarana, Mia Novitasari and Yolanda Panjaitan. 2014.
Potret Keterpilihan Anggota Legislatif Hasil Pemilu 2014. Depok: Puskapol
UI.
Pasaribu, Kholilullah. 2016. Noken dan Konflik Pemilu. Laporan Awal Pilkada
Serentak di Papua. Jakarta: Perludem.
Perdana, Aditya dan Wildianti, Delia. 2019. Gerakan Perempuan Politik setelah 20
Tahun Reformasi di Indonesia. Jurnal Perempuan. Vol 24 (1). Hal. 43-52.

Puskapol Universitas Indonesia. 2019. Analisis Perolehan Kursi Pemilu DPR dan
DPD RI tahun 2019: Kekerabatan dan Klientalisme dalam Keterwakilan
Politik. Depok: Puskapol UI.
Rae, Douglas W. 1967. The political consequences of electoral laws. New Haven,
CT: Yale University Press.
Reynolds, Andrew, dan Marco Steenbergen. 2006. “How the world votes: The
political consequences of ballot deign, innovation and manipulation.”
Electoral Studies, 25.
Reynolds, Andrew, Ben Reilly dan Andre Ellis (ed). 2016. Desain Sistem Pemilu:
Buku Panduan Baru International IDEA. Jakarta: Perludem.
Rizkiyansyah, Ferry Kurnia. 2017. Catatan Penyelenggaraan Pemilu 2014. Jakarta:
PT. Epicentrum Mahadaya Komunika.
Roberts, Andrew, Jason Seawright, dan Jennifer Cyr. 2013. “Do Electoral Laws
Affect Women’s Representation?”.Comparative Political Studies, Vol. 46
(12).
Santoso, Topo dan Ida Budhiati. 2019. Pemilu di Indonesia. Kelembagaan,
Pelaksanaan, dan Pengawasan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sekretariat Jenderal KPU. 2010. Pemilu untuk Pemula. Jakarta: KPU RI.
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy’ari. 2011. Menyederhanakan
Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
_____________________________ 2011. Menyetarakan Nilai Suara:Jumlah dan
Alokasi Kursi DPR ke Provinsi. Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan.

392 DAFTAR PUSTAKA


_____________________________ 2011. Meningkatkan Keterwakilan
Perempuan: Penguatan Kebijakan Afirmasi. Jakarta: Kemitraan Bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan.
Taagepera, Rein. 1998. “How electoral systems matter for democratization.”
Democratization. Vol. 5 (3).

BAB 4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu

Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum

Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota


Anggota Badan Permusyawaratan/Perw Nomor 7 Tahun 1953

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan Anggota Konstituante


Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1946 tentang Pembaharuan Komite Nasional


Pusat

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 105 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Wewenang, Organisasi, Dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Komisi
Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Dan
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas,


Fungsi, Wewenang, Organisasi, Dan Tata Kerja Sekretariat DKPP, kini
Sekretariat Jenderal DKPP

DAFTAR PUSTAKA 393


PKPU Nomor 7 tahun 2018 tentang seleksi anggota KPU Propinsi dan anggota KPU
Kabupaten/Kota sebagaimana diubah dengan PKPU Nomor 2 tahun 2019
tentang perubahan ketiga PKPU nomor 7 tahun 2018.

PKPU Nomor 23 tahun 2018 tentang perubahan PKPU nomor 7 tahun 2018
tentang seleksi anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU


Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-XV/2017

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XV/2017

Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota

Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu

Peraturan DKPP Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
DKPP

Pasaribu, Alboin. 2019. “Tafsir Konstitusional atas Kemandirian Penyelenggara


Pemilu dan Pilkada”. Jurnal Konstitusi, Vol. 16 (2).

Wall, Alan., et al. 2016. Desain Penyelenggaran Pemilu: Buku Pedoman


Internasional IDEA, The International IDEA dan Perludem.

Surbakti, Ramlan dan Nugroho, Kris. 2015. “Badan Penyelenggara Pemilu” dalam
Kemitraan. Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu Yang Efektif. Jakarta:
Kemitraan Bagi Tata Pembaharuan Pemerintahan.

International IDEA. 2012. Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi,


Tantangan dan Peluang. Policy Paper. International IDEA dan Perludem.

Lopez-Pintor, Rafael. 2000. Electoral Management Bodies as Institutions of


Governance, New York: UNDP.

394 DAFTAR PUSTAKA


James, Toby S., et al. 2019. “Electoral management and the organisational
determinants of electoral integrity: Introduction”. International Political
Science Review. Vol. 40(3)

BAB 5
ACE Project. 2019. Electoral Cycle. Diunduh pada halaman:
https://aceproject.org/electoral-advice/electoral-assistance/electoral-
cycle pada tanggal 29 Agustus 2019.
International IDEA. 2019. Electoral Cycle. Diunduh pada halaman:
https://www.idea.int/data-tools/tools/online-electoral-cycle pada tanggal
29 Agustus 2019.
Perludem. 2017. Analisis Perbandingan Sistem Pendaftar Pemilih Pemilu 2004,
2009, dan Pilkada. Jurnal Pemilu dan Demokrasi. Vol.2. Februari. Hal.9-33
Rizkiyansyah, Ferry Kurnia. 2017. Pemilu dan demokrasi terkonsolidasi: Catatan
Penyelenggaraan Pemilu 2014. Jakarta: Epicentrum Mahadaya Komunika.
Sukmajati, Mada dan Perdana, Aditya (ed.). 2018. Pembiayaan Pemilu di
Indonesia. Jakarta: Bawaslu RI.

BAB 6
Bahri, Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan
Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah, Presentasi dalam Rakor KPU Penyusunan
Anggaran Pilkada serentak 2020, Yogyakarta, Agustus 2019.
Baxter, Joe C. 2007. Strategic Planning for Election Organization : A Practical Guide
for Conducting Strategic Planning Exercise. IFES.
Doran, G. T. 1981. There's a S.M.A.R.T. way to write management's goals and
objectives. Management Review.
Fischer 2004, Election Survey Cost Result.

DAFTAR PUSTAKA 395


https://www.djppr.kemenkeu.go.id/uploads/files/helpdesk-
hibah/edukasi/1.Slide%20Jogja%20Mekanisme%202017.pdf diunduh
tanggal 20 agustus pukul 15.34 wib
James, Toby S., et al. 2019. “Electoral management and the organisational
determinants of electoral integrity: Introduction”, International Political
Science Review. Vol. 40 (3).
Joe C. Baxter. 2017. Strategic Planning for Election Organization: A Practical Guide
for Conducting Strategic Planning Exercise, IFES.
KPU, 2016. IT Masterplan KPU Tahun 2016-2020. Jakarta: KPU RI.
KPU. 2017. Inovasi Pemilu : Teknologi Informasi dalam Penyelenggaraan Pemilu.
Jakarta; KPU RI.
Pratama, Heroik M., et al. 2018. Politik Anggaran Pilkada, dalam Pembiayaan
Pemilu di Indonesia. Sukmajati, Mada dan Perdana, Aditya (ed.). Jakarta:
BAWASLU RI.
Rizkiyansyah, Ferry Kurnia. 2017. Pemilu dan Demokrasi Terkonsolidasi : Catatan
Penyelenggaraan Pemilu 2014, Epicisentrum Mahadaya Komunika. Jakarta.
Spinelli, Antonio. 2011. Strategic Planning Effective Electoral Management : A
Practical Guide for Electoral Management Bodies to Conduct a Strategic
Planning Exercise. IFES.
Terry, G.R. dan Leslie W. Rue. 2000. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara.

BAB 7
Autheman, Violaine. 2004. “Global Lessons Learned: Constitutional Courts, Judicial
Independence and the Rule of Law,” dalam IFES Rule of Law White Paper
Series. International Foundation of Electoral System.
Chad Vickery (ed). 2010. Guidelines for Understanding, Adjudicating, and
Resolving Disputes in Election (GUARDE). International Foundation of
Electoral System dan USAID.

396 DAFTAR PUSTAKA


International Institute for Democracy and Electoral Assistance. 2002. Standar-
standar Internasional Pemilihan Umum – Pedoman Peninjauan Kembali
Kerangka Hukum Pemilu. Jakarta: IDEA.
Jesus Orozco-Henriquez et. al. 2010. Electoral Justice: The International IDEA
Handbook, Stockholm: IDEA.
Santoso, Topo. et.al.2006. Kajian Kebijakan Sistem Penegakan Hukum Pemilu
(2009-2014). Jakarta: Perludem.
Martadillah, Aida. 2019. Sengketa Pemilu Dulu dan Sekarang.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c768182c0f18/sengketa-
pemilu-dulu-dan-sekarang/ (diakses 22 Juli 2019).
The Electoral Knowledge Network. 2019. Legal Framework.
http://aceproject.org/ace-en/topics/lf/lfa/lfa03 (diakses 9 Agustus 2019).
Tumpal HS, Ranap.2019. Upaya Cepat Bawaslu dalam Penyelesaian Sengketa
Proses Pemilu. https://bawaslu.go.id/id/berita/upaya-cepat-bawaslu-
dalam-penyelesaian-sengketa-proses-pemilu (diakses 7 Agustus 2019).
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Tata
Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Peraturan Bawaslu Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.
Peraturan Bawaslu Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 18 Tahun 2017
Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum.

DAFTAR PUSTAKA 397


Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Penyelesaian Sengketa Pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2017 tentang Hakim Khusus dalam
Sengketa Pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Persidangan
Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Tata Beracara
dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara
dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara
dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tahapan, Kegiatan
dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.

BAB 8
Bambang. 1991. Meningkatkan Produktifitas Karyawan. Jakarta : Binaman
Pressindo.
Darling, John. 1994. “Crisis Management in International Business: Keys to
Effective Decision Making.” Leadership & Organization Development
Journal, Vol. 15 (8).

398 DAFTAR PUSTAKA


PROFIL TIM PENULIS BUKU

Aditya Perdana
adalah Ketua Pusat Kajian Politik Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (PUSKAPOL LP2SP FISIP UI). Aditya juga
merupakan dosen di Departemen Ilmu Politik
FISIP UI sejak tahun 2008. Aditya menyelesaikan
gelar sarjana dan magister ilmu politik di FISIP UI.
Selanjutnya, beliau menamatkan studi doktornya
di Universitaet Hamburg Jerman di tahun 2017 dengan
penelitiannya berjudul The relationship of civil society organizations
(CSOs) and political parties in post- Suharto Indonesia: a women’s
CSOs perspective. Fokus penelitiannya meliputi isu partai politik,
tata kelola pemilu, masyarakat sipil dan gender dalam politik.
Beberapa karya terbarunya adalah Gerakan Perempuan Politik
setelah 20 tahun Reformasi di Indonesia (Jurnal Perempuan 2019);
Pembiayaan Pemilu di Indonesia (Bawaslu RI 2018); Dinamika
Masyarakat Sipil dan Advokasi Kebijakan Publik di Indonesia; Koalisi
Masyarakat Sipil Anti-Rokok dalam Upaya Pengendalian Rokok di
Indonesia (2005-2017) (Rajawali Press 2018). Menjadi tim ahli
beberapa kegiatan dan forum yang diselenggarakan oleh KPU RI,
Bawaslu RI, dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPA). Aktif menulis di Harian Kompas, Media
Indonesia, dan Sindo. Dapat dihubungi di: aditya.perdana@ui.ac.id.

PROFIL TIM PENULIS BUKU 399


Benget Manahan Silitonga
adalah anggota KPU Provinsi Sumatera Utara
periode 2013-2018 dan 2018-2023. Pria kelahiran
Siantar, 4 Oktober 1971 ini adalah lulusan Fakultas
Teknik Elektro, Universitas HKBP Nommensen
Medan. Sebelum berkarir di KPU Provinsi Sumut,
Benget aktif di Perhimpunan Bantuan Hukum dan
Advokasi Rakyat Sumut (BAKUMSU). Partisipan
ToT Pemantau Pemilu, Center for Electoral Reform
(CETRO), 2003 Participant Diplomacy Training Program For Human
Rights Defender, Faculty of Law the University of New South Wales,
Bangkok 2003. Bersama J. Anto menulis buku “Menolak Menjadi
Miskin, Gerakan Perlawanan Rakyat Porsea melawan konspirasi
Gurita Indorayon”, BAKUMSU 2004. Editor buku “Quo Vadis Transisi
Demokrasi Indonesia”, BAKUMSU, 2004. Kontributor sejumlah buku
bunga rampai antara lain, “Spiritualitas Pemberdayaan Rakyat”,
KSPPM Parapat 2003, “Membangun Prakarsa Gerakan Rakyat”,
KSPPM Parapat 2008, “Perjuangan Perempuan keluar dari Tabir”,
YAPIDI 2009, dan “Pluralisme di Ujung Tanduk”, DEMOS 2011.
Editor Buku “Kratos Minus Demos, Demokrasi Indonesia Catatan
dari Bawah”, YOI dan BAKUMSU 2012. Ia juga menulis artikel di surat
kabar nasional, lokal dan media online. Sebagai asisten peneliti
dalam Survey “Proses dan Konteks Demokrasi Pasca Orde Baru”,
Perkumpulan DEMOS 2003-2005, dan Key Informan wilayah Sumut
dalam Survey Perkembangan Demokrasi Indonesia, “Power,
Welfare, and Democracy”, UGM dan University of Oslo, 2013.
Benget dapat dihubungi lewat email: bmsonga@yahoo.com

400 PROFIL TIM PENULIS BUKU


Ferry Kurnia Rizkiyansyah
adalah anggota KPU RI periode 2012-2017. Saat ini
merupakan Pendiri dan Peneliti Senior di Network
for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT)
dan Presidium Nasional Jaringan Demokrasi
Indonesia (JaDI), serta Pengajar di Ilmu Politik
Universitas Padjajaran Bandung, UNIKOM dan
beberapa Perguruan Tinggi Swasta. Pria kelahiran
Bandung pada tanggal 21 Februari 1975 ini
menyelesaikan pendidikan sarjana Ilmu Pemerintahan Fisip
Universitas Padjajaran (Unpad), pendidikan Magister Sains Bidang
Perencanaan dan Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) di
tahun 2003 dan pendidikan doktoral dari Fisip Unpad Tahun 2012.
Meniti karier di KPU sejak tahun 2003 sebagai Komisioner KPU
Provinsi Jawa Barat dan menjadi ketua pada periode kedua tahun
2008-2012. Selama bergiat di KPU, pernah mengikuti program
International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat.
Dan menjadi International Observer pada Pemilu di berbagai negara
di dunia seperti Pemilu Presiden Amerika Serikat Tahun 2012 & 2016
serta pemilu di beberapa negara Asia dan Australia. Menjadi
narasumber pada berbagai kegiatan seminar, diskusi publik,
workshop, lokakarya kepemiluan tingkat lokal, nasional, regional
dan internasional. Dan sejak tahun 2010 mendapat pengakuan
sebagai International Accrediting Facilitator for Building Resourches
in Democracy, Goverment and Election (BRIDGE). Aktif melakukan
penelitian serta menulis di beberapa media masa, jurnal dan buku.
Antara lain, kontributor buku Mahasiswa Menggugat (1998),
Pilkada Langsung: Tradisi Baru Demokrasi Lokal (2003), Penulis buku
Mengawal Pemilu Menatap Demokrasi (2004), Pertaruhan
Demokrasi: Dinamika Pemilu 2009 dan terakhir buku adalah buku
Pemilu dan Demokrasi Terkonsolidasi : Catatan Penyelenggaraan
Pemilu 2014 (2017). Dapat dihubungi melalui email:
frizkiyansyah@yahoo.com

PROFIL TIM PENULIS BUKU 401


Ferry Daud Liando
adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sam Ratulangi Manado. Pria
kelahiran Malola, Sulawesi Utara, 25 Mei 1974 ini
sedang memegang jabatan sebagai Ketua Jurusan
Ilmu Pemerintahan di fakultasnya. Selain itu
beliau juga menjabat sebagai Ketua Konsentrasi
Studi (KKS) Program S2 Tata Kelola Pemilu
Pascasarjana Unsrat. Selama ini beliau aktif
meneliti dan menulis kajian khusus tentang kepemiluan. Aktif
memberikan ceramah dan kursus-kursus kepemiluan di berbagai
tempat. Sebagai kolumnis mingguan kajian politik, demokrasi dan
kepemiluan di media massa. Ferry saat ini sebagai pengurus pusat
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Tahun 2016 beliau pernah
mengikuti program pendidkan Study of the U.S. Institute on Political
Thought di Amerika Serikat. Dapat dihubungi melalui email:
fdl_unpad@yahoo.com

402 PROFIL TIM PENULIS BUKU


Kris Nugroho
adalah pengajar pada Prodi Ilmu Politik Fisip
Universitas Airlangga Surabaya dan pengajar S2
Peminatan Tata Kelola Pemilu yang merupakan
kerja sama dengan KPU RI. Menyelesaikan Studi
S2 dari Fisip Universitas Indonesia (1994) dan S3
Fisipol Universitas Gadjah Mada (2012). Disertasi
doktoralnya berjudul "Kesisteman PPP dan PKB
Sampang Madura Pada Pemilu Legislatif Tahun
2009". Beliau bernah menjabat sebagai Anggota Panwaslu Kota
Surabaya tahun 1999, Tim Pemeriksa Daerah (TPD) DKPP untuk
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu wilayah Jatim Tahun
2015 -2018., Timsel Bawaslu Jawa Timur tahun 2013 dan tahun
2017. Selain itu juga menjadi tim riset Evaluasi Pilkada Serentak 2015
dan 2017: Tinjauan Politik Identitas (SARA) bekerja sama dengan
KPU RI tahun 2018. Kris juga melakukan berbagai penelitian skala
lokal, regional dan nasional bekerjasama dengan beberapa mitra
jaringan kepemiluan Kemitraan di tahun 2015. Dapat dihubungi
melalui email: bknug_65@yahoo.com

PROFIL TIM PENULIS BUKU 403


Mada Sukmajati
menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan
Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM pada tahun
1999, pendidikan master (S2) dari National
Graduate Institute for Policy Studies di Tokyo,
Jepang (2004) dan doktor (S3) di Heidelberg
University di Jerman tahun 2011. Saat ini Mada
adalah sekretaris departemen Politik dan
Pemerintahan (2016-2021). Minat kajiannya
meliputi Partai Politik, Tata Kelola Pemilu, Parlemen, dan Kebijakan
Publik. Ia pernah menjadi Ketua Tim Panitia Seleksi Anggota Panwas
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo untuk Pemilihan
Walikota Yogyakarta dan Bupati Kulon Progo tahun 2017. Salah satu
buku karyanya adalah Politik Uang di Indonesia: Pola Patronase dan
Jaringan Klientelisme pada Pileg 2014 (PolGov 2015). Mada dapat
dihubungi melalui email: madasukmajati@gmail.com

404 PROFIL TIM PENULIS BUKU


Pramono U. Tanthowi
adalah Komisioner KPU RI (2017-2022), setelah
sebelumnya menjabat sebagai Ketua Bawaslu
Provinsi Banten (2012-2017). Memperoleh gelar
MA dari Departemen Ilmu Politik di University of
Hawaii at Manoa, AS tahun 2008, tulisan-
tulisannya tersebar di The Jakarta Post, Kompas,
Republika, Koran Sindo, Detik.com, Geotimes, dan
sebagainya. Berlatar belakang aktivis
Muhammadiyah, ia banyak mengulas isu-isu kepemiluan,
demokrasi, politik Islam, korupsi, civil society, dan lain-lain.

PROFIL TIM PENULIS BUKU 405


Titi Anggraini
adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk
Pemilu dan Demokrasi (Perludem), sebuah
organisasi nonpartisan yang melakukan kajian dan
advokasi untuk mempromosikan sistem pemilu
dan praktik demokrasi yang adil dan berkualitas.
Titi menamatkan pendidikan Sarjana dan
Masternya dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (FHUI), dengan program kekhususan
Hubungan Negara dan Masyarakat, konsentrasi pada Hukum Tata
Negara. Titi kelahiran Musi Rawas pada tanggal 12 Oktober 1979 ini
pernah meraih prestasi sebagai Mahasiswa Berprestasi Utama dan
Lulusan Terbaik FHUI, tahun 2001. Pada 1999, saat masih
mahasiswa, Titi terpilih menjadi Anggota Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Tingkat Pusat. Pengalaman tersebut yang menjadi
titik mula baginya untuk terus bergiat di dunia kepemiluan sampai
hari ini.
Sebelum berkarir di Perludem, Titi pernah menjadi Manajer
Kelembagaan dan Kepala Satuan Kerja Kelembagaan Legislatif pada
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh Nias. Selain itu,
pada kurun tahun 2008-2010, Titi dipercaya sebagai Ketua Tim
Asistens Bawaslu RI. Titi pernah menerima penghargaan sebagai
Perempuan Penggerak Politik Keterwakilan Perempuan dari
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
pada tahun 2014. Serta terpilih menjadi Democracy Ambassador
dari International IDEA (2017), bersama tokoh-toko internasional
terkemuka lainnya, semisal Kofi Annan, Gareth Evans, dan Vaira
Vīķe-Freiberga (mantan Presiden Latvia). Titi dapat dihubungi
melalui email: titi.anggraini@gmail.com

406 PROFIL TIM PENULIS BUKU


BIRO SUMBER DAYA MANUSIA
KOMISI PEMILIHAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA
Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta
Telp. 021 3193 7223, Fax. 021 315 7759

h�p://www.kpu.go.id

KPU Republik Indonesia

@KPU_ID

Anda mungkin juga menyukai