EDITOR :
PRAMONO U. TANTHOWI, ADITYA PERDANA dan MADA SUKMAJATI
TATA KELOLA PEMILU
DI INDONESIA
EDITOR:
PRAMONO U. TANTHOWI
ADITYA PERDANA
MADA SUKMAJATI
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga buku ini dapat diselesaikan. Buku Tata Kelola Pemilu di Indonesia ini
adalah buku yang akan menyebarkan informasi tentang kepemiluan di
Indonesia dan sekaligus menjadi buku pegangan yang akan memandu para
Anggota KPU seluruh Indonesia dalam menjalankan tugasnya sebagai
penyelenggara Pemilu.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada Tim Penulis dan semua pihak
yang telah berkontribusi dalam memberikan masukan terhadap modul ini,
serta yang telah ikut membantu dalam penyelesaian buku ini. Terkhusus
terima kasih kami kepada Prof. Ramlan Surbakti, MA.,Ph.D. dan Ibu Prof. Dr.
Valina Singka Subekti, M.Si. yang telah berkenan menjadi reviewer Buku ini.
Buku ini merupakan edisi revisi dari buku Fondasi Tata Kelola Pemilu
pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tentu
masih ada kekurangan dan sangat terbuka untuk terus dilakukan perbaikan
dasn penyempurnaan di masa mendatang. Untuk itu, kritik dan saran terhadap
penyempurnaan modul ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi
ARIEF BUDIMAN
Tata kelola pemilu sangat terkait dengan fungsi, tugas dan wewenang dari
penyelenggara pemilu, dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU),
sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Kemandirian
penyelenggara pemilu merupakan prinsip utama agar pemilu memiliki legitimasi
dan kredibilitas. Mandat konstitusi menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan
oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Mandat ini harus diterjemahkan dalam tataran pengetahuan dan ketrampilan
yang lebih operasional sehingga KPU dapat lebih efektif dan responsif dalam
melayani hak konstitusional warga negara.
Buku yang berjudul Tata Kelola Pemilu di Indonesia ini sebenarnya dikembangkan
dari buku yang berjudul Fondasi Tata Kelola Pemilu yang diterbitkan oleh KPU RI
pada tahun 2017. Penyusunannya berdasarkan konstruksi pemahaman normatif
serta teknis kepemiluan yang dikombinasikan dengan pengalaman empirik dan
praktek-prakter terbaik (best practises) penyelenggaraan pemilu di pusat maupun
di daerah. Buku ini memberikan gambaran besar tentang desain tata kelola
pemilu di Indonesia. Ada banyak catatan penting yang dielaborasi di dalam buku
Dalam kesempatan baik ini, kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Ketua
dan Anggota KPU RI beserta jajaran Sekretariat Jenderal KPU RI (Biro Sumber Daya
Manusia) atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada kami untuk
dapat berkontribusi di dalam penyusunan buku sederhana ini. Terimakasih juga
kami sampaikan kepada KPU Provinsi Bali dan KPU Kabupaten Sleman yang juga
telah memfasilitasi kami selama proses penyusunan buku ini. Juga kepada KPU
Provinsi Sumatera Utara, KPU Provinsi DKI Jakarta, KPU Provinsi Jawa Barat, KPU
Provinsi Jawa Timur, KPU Provinsi Bali, KPU Provinsi Sulawesi Utara, KPU Provinsi
Sulawesi Selatan, KPU Provinsi Gorontalo, KPU Kabupaten Karo, dan KPU
Kabupaten Batang atas partisipasinya dalam forum Diskusi Kelompok Terpumpun.
Apresiasi dan penghargaan tentu saja juga kami haturkan kepada para penulis
yang berasal dari berbagai latar belakang, yakni praktisi, pegiat pegiat, dan
akademisi yang memiliki topik studi kepemiluan. Tak lupa, kami menyampaikan
terimakasih kepada Prof. Ramlan Surbakti (Guru Besar Ilmu Politik Unair) dan Prof.
Valina Singka Subekti (Guru Besar Ilmu Politik UI) yang telah bersedia memberikan
masukan dan umpan balik untuk naskah awal dari buku ini.
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Tentu saja buku ini tidak mampu untuk
mencakup semua topik terkait dengan tema tata kelola pemilu. Dengan demikian,
saran dan masukan selalu kami harapkan demi perbaikan kualitas dari buku.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi
penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas di masa depan. Selamat membaca
dan bercengkrama.
Jakarta, Agustus 2019
Lebih jauh, masih menurut Torres dan Dìaz, siklus tata kelola pemilu
melibatkan kuantitas dan watak dari aturan-aturan kepemiluan. Selain itu,
siklus tata kelola pemilu juga melibatkan instruksi-instruksi dari pemerintah
dan semua aktor pemangku kepentingan, yaitu lembaga penyelenggara
pemilu dan aktor politik yang merupakan pembuat kebijakan dan sekaligus
adalah peserta pemilu. Dengan kata lain, tata kelola pemilu melibatkan
siklus berkelanjutan atas perilaku para aktor pemangku kepentingan pada
tahapan-tahapan yang berbeda di dalam sebuah proses kepemiluan. Dalam
konteks ini, tata kelola pemilu tidak sekedar melulu bersifat administratif,
melainkan juga bersifat sangat politis.
Ide Mozaffar dan Schedler (2002) serta Torres dan Dìaz (2015) sebagaimana
dijelaskan di atas mirip dengan gagasan yang dikembangkan oleh Catt. et al.
(2014) yang menjelaskan tentang siklus kepemiluan yang terdiri dari
tahapan (lihat tabel 1.1.):
- penetapan kerangka legal: tahapan ini sebagai dasar awal dan bersifat
fundamental untuk menjadi aturan hukum. Untuk itu, dalam tahapan ini
revisi sistem pemilu dan batasan-batasan kepemiluan, bentuk dan
kewenangan lembaga penyelenggara pemilu, ataupun aturan perilaku
dalam pelaksanaan pemilu dapat diajukan sebagai bahan legislasi
kepemiluan;
- perencanaan dan implementasi: tahapan ini menyangkut penganggaran,
pendanaan dan pembiayaan, kalender kepemiluan, rekruitmen
penyelenggara dan pelelangan/tender serta logistik dan keamanan;
Lebih jauh, Mozaffar dan Schedler (2002) menjelaskan enam dimensi dari
tata kelola pemilu, yaitu:
1. Sentralisasi: dimensi ini menjadi penting bagi negara demokrasi baru
untuk dapat mengontrol proses pemilu dengan baik ketimbang memberi
kepercayaan kepada kekuatan aktor politik lokal yang dapat membajak
Buku ini mengikuti definisi atas konsep tata kelola pemilu sebagaimana
telah didiskusikan di atas. Di buku ini, tata kelola pemilu didefinisikan
sebagai “sebuah siklus atas pengelolaan tahapan-tahapan kepemiluan yang
melibatkan interaksi antar para pemangku kepentingan di dalam
kepemiluan.” Sebagai buku pegangan bagi kalangan para penyelenggara
pemilu, dengan demikian, buku ini lebih menekankan pada pendekatan sisi
administrasi kepemiluan dan aturan serta standar kepemiluan. Namun
demikian, dalam batasan-batasan tertentu, buku ini juga berusaha untuk
menyentuh dimensi yang lebih komprehensif (di luar dimensi administrasi
dan hukum-hukum kepemiluan).
2. Sistem pemilu: hal ini terkait dengan sistem pemilu yang telah dan
sedang digunakan di Indonesia, baik di dalam konteks pemilu
presiden/wakil presiden, pemilihan legislatif, maupun pemilihan kepala
daerah/wakil kepala daerah. Namun demikian, sistem pemilu di
Indonesia juga memiliki dinamika sosial dan politik yang tinggi;
4. Tahapan pemilu; hal ini terkait dengan siklus, tahapan, dan jadwal
pemilihan umum nasional dan lokal (pemilu presiden dan wakil presiden,
pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah).
Agak berbeda dengan kajian-kajian yang sudah ada, buku ini memberikan
penekanan pada nilai, prinsip dan asas pemilu sebagai salah satu dimensi
penting dalam tata kelola pemilu karena ketiganya menjadi fondasi bagi
bangunan tata kelola pemilu yang ada secara utuh (di semua tahapan).
Dimensi ini perlu diangkat sebagai bagian tak terpisahkan dalam nilai inti
(core values) yang menjadi landasan berpikir dan berpijak dalam
pelaksanaan pemilu. Hal ini menjadi sangat penting jika kita mengingat
adanya berbagai problematika yang terkait dengan nilai, prinsip, dan asas
pemilu di dalam penyelenggaraan pemilu-pemilu di Indonesia sampai
sejauh ini.
Untuk dimensi keadilan pemilu, buku ini mengikuti apa yang telah dikaji di
dalam literatur tentang tata kelola pemilu sebelumnya. Namun demikian,
buku ini lebih memberikan penekakan pada topik keadilan pemilu, yaitu
sejauhmana prinsip keadilan ditegakkan di dalam pemilu. Dengan demikian,
konsep ini tidak sekedar tentang ajudikasi aturan-aturan pemilu
sebagaimana digagas oleh Mozaffar dan Schedler (2002) atau tahapan
verifikasi hasil pemilu sebagaimana disampaikan oleh Catt. et al. (2014).
Gambar 1.2. Tata Kelola Pemilu di Indonesia
Membicarakan tata kelola pemilu, tentu saja tidak bisa kita pisahkan
dengan topik politik kepemiluan. Adapun yang dimaksud dengan politik
kepemiluan adalah hal ihwal yang terkait dengan pemilu yang memiliki
interaksi kuat dengan sistem politik yang ada, relasi kuasa para aktor politik
dan respon publik, pemilih, penyelenggara ataupun negara terhadap
aktivitas pemilu. Untuk itu, ada beberapa poin penting dalam kerangka legal
kepemiluan yang sangat menentukan karakter tata kelola pemilu di
Indonesia.
Salah satu masalah yang juga serius dihadapi oleh KPU adalah pengaturan
DPR yang sangat detail terkait dengan daerah pemilihan (dapil). Di dalam
UU No. 10 Tahun 2008 sebagai dasar regulasi untuk penyelenggaraan
Pemilu 2009, daerah pemilihan dan alokasi kursi untuk Pemilu DPR RI telah
dirumuskan secara langsung oleh DPR di dalam bagian lampiran dari
undang-undang tersebut. Di dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD sebagai dasar regulasi
penyelenggaraan Pemilu 2014 dan di dalam UU Pemilu sebagai dasar
regulasi penyelenggaraan Pemilu 2019 bahkan DPR RI telah merumuskan
daerah pemilihan dan alokasi kursi tidak saja untuk Pemilu DPR RI, tapi juga
untuk Pemilu DPRD Provinsi. Padahal, seyogianya perumusan daerah
pemilihan dan alokasi seperti ini bersifat teknis dan menjadi wilayah dari
KPU sebagai implementor dari UU. Untuk itu, masalah seperti ini
menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan melakukan tekanan yang
sudah terlalu dalam mengenai pengaturan teknis kepemiluan sejak
penyelenggaraan Pemilu 2009.
Isu yang selalu muncul dan berulang setiap menjelang Pemilu adalah
pembahasan revisi UU tentang Pemilu yang memakan waktu sangat lama.
Pembahasan intensif UU Pemilu misalkan baru dilakukan setahun sebelum
pengesahannya. Dari sisi politik, terdapat lima isu krusial yang saat itu
sangat sulit untuk dicarikan kesepakatan, yaitu ambang batas pencalonan
presiden, ambang batas parlemen, metode penyuaraan, daerah pemilihan,
dan metode konversi suara ke kursi. Tentu saja kelima topik ini menjadi
sangat penting karena kelimanya akan menentukan siapa Parpol atau calon
yang akan mampu mendapatkan kursi di Pemilu 2019. Sedangkan dari sisi
Hingga saat ini, Pemilu nasional di Indonesia setelah reformasi tahun 1998
telah dilangsungkan sebanyak lima kali. Sepanjang perjalanan Pemilu
demokratis ini, infrastruktur kepemiluan ini pun juga telah berjalan dengan
baik meski diiringi dengan berbagai perubahan yang terjadi. Dalam
perkembangan yang ada, tata kelola Pemilu di Indonesia pun telah
mendorong perubahan dalam perilaku pemilih dan para aktor politik untuk
menjadi lebih terbuka dan partisipatif dalam semua aktifitas politik mereka.
Meski demikian, harus diakui pelaksanaan Pemilu hingga hari ini pun masih
jauh dari sempurna. Kepentingan politik para peserta Pemilu dalam
mempengaruhi tahapan Pemilu masih dirasakan betul oleh para
penyelenggara Pemilu. Selain itu, berbagai pelanggaran ataupun manipulasi
yang melibatkan para peserta, pemilih dan penyelenggara Pemilu masih
kerapkali kita dengar. Namun paling tidak, pelaksanaan Pemilu di Indonesia
yang rumit dan kompleks ini masih jauh lebih baik karena hingga saat ini
belum ada menimbulkan konflik politik dan sosial yang serius. Untuk itu,
para penyelenggara Pemilu di Indonesia memiliki tantangan yang perlu
disadari sejak awal menjabat bahwa integritas dan kemandirian dari setiap
orang yang bekerja di lembaga ini adalah sangat penting.
Tujuan utama dari penulisan buku ini sebenarnya agar dapat menjadi
pegangan bagi para penyelenggara Pemilu dari tingkat pusat sampai tingkat
daerah yang paling bawah dalam menjalankan aktivitas kepemiluan
mereka. Dengan memahami substansi dari buku ini, maka diharapkan para
penyelenggara di semua tingkatan semakin memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang bersifat lebih teknis tentang kepemiluan di Indonesia,
mulai dari pemahaman atas nilai dan prinsip sampai dengan kemampuan
teknis-manajerial sebagai penyelenggara Pemilu. Hal ini menjadi sangat
penting dalam rangka mendorong penyelenggaraan Pemilu-Pemilu
berikutnya yang lebih Luber dan Jurdil. Selain itu, buku ini diharapkan juga
dapat menjadi bagian dari literatur tentang kepemiluan di Indonesia
sehingga dapat bermanfaat bagi publik secara luas. Dengan membaca buku
ini, publik seyogianya akan memiliki ketertarikan dalam pelaksanaan tata
kelola pemilu di Indonesia. Secara lebih ambisius, buku ini juga diharapkan
akan menjadi bagian dari upaya Indonesia dalam menularkan
pengalamannya ke dunia internasional terkait dengan dinamika
penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi baru.
F. Sistematika Buku
Bab kedua membahas tentang nilai, prinsip dan asas Pemilu yang menjadi
landasan berpikir dan bertindak bagi para penyelenggara Pemilu dan
stakeholder yang terkait dalam menyukseskan pelaksanaan Pemilu di
Indonesia. Bab ini juga akan membahas bagaimana nilai, prinsip dan asas
Pemilu ini kemudian masih menjadi penting dan relevan untuk tetap
dibicarakan dalam konteks Indonesia. Bab ini juga menekankan nilai, prinsip
dan asas Pemilu adalah hal penting yang selalu diperhatikan dalam
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
A. Pengantar
Untuk mewujudkan tata kelola pemilu yang demokratis, setidaknya ada dua
hal mendasar dan penting diperhatikan, yakni Pemilu yang berintegritas
(electoral integrity) dan juga menyangkut aspek Pemilu yang jujur, adil,
langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilu berintegritas adalah
kesepakatan (covenant) dan standar internasional mengenai norma-norma
Pemilu demokratis yang berlaku di dunia, dimana salah satunya
menyangkut isu inklusifitas. Sedangkan isu kedua mengenai asas-asas
Pemilu yang menjadi payung normatif dalam penyelenggaraan Pemilu di
Indonesia. Oleh karena itu, bab 2 ini akan mengelaborasi dua isu utama
tersebut dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Bab ini akan dimulai
dengan penjelasan Pemilu berintegritas yang memiliki standar dan norma
internasional yang berkaitan dan tentu berkelindan dengan aspek Pemilu
luber dan jurdil di Indonesia. Setelah itu, bab ini juga akan menjelaskan
bagaimana asas Pemilu yang berlaku di Indonesia telah diterapkan dan
diaplikasikan sejak lama. Oleh karena itu, tentu bab ini akan mampu
menjelaskan kenapa Pemilu di Indonesia merasa perlu menekankan nilai,
prinsip dan asas dalam aktivitas kepemiluannya dimana bila berkaca
pengalaman negara lain, maka tidak semua negara lain mengadopsi hal ini
secara khusus.
Menurut Norris (2013), bila kita ingin mengkategorikan suatu negara telah
menyelenggarakan Pemilu secara demokratis, maka konsep Pemilu
berintegritas adalah rujukan yang tepat. Pemilu berintegritas memiliki
pengertian dimana Pemilu yang berlangsung telah mengikuti standar atau
norma-norma internasional dalam konteks Pemilu yang bebas dan adil (free
and fair election). Konsep adil dan bebas ini adalah merefleksikan Pemilu
1. Pemilu periodik
2. Hak pilih universal
3. Prinsip satu orang satu suara
4. Hak untuk mencalonkan dan kompetisi dalam Pemilu
5. Hak pemilih sah untuk dapat menggunakan suaranya
6. Hak penyuaraan yang bersifat rahasia
7. Pemilu yang sesungguhnya (genuine)
8. Pemilu merupakan ekspresi kehendak rakyat
Di samping bahasan yang berasal dari ACE Project, Kofi Annan, mantan
Sekjen PBB, menyatakan bahwa Pemilu berintegritas diartikan sebagai
Pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis tentang hak pilih
universal, kesetaraan, profesional, imparsial dan transparan pada seluruh
siklus Pemilu (Annan 2012). Pemilu berintegritas menekankan aspek
tanggung jawab penyelenggara dengan kewenangan yang dimilikinya sesuai
Undang-Undang dapat menghadirkan Pemilu yang dimaksud.
Penyelenggara Pemilu dapat membuat keputusan-keputusan (PKPU,
Peraturan atau Surat Edaran) yang dapat menentukan kualitas Pemilu.
Kualitas ini bisa pada tingkat kebijakan atau keputusan, administratif,
penentuan kebijakan anggaran Pemilu dan personal misalnya terkait
rekrutmen penyelenggara ad hoc (PPK, KPPS, PPS).
ACE Project melihat ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam
Pemilu yang berintegritas, yakni: (ACE Project, 2012).
1
Pasal 5 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU dan DKPP No 13 Tahun 2012.
Namun hal ini tidak cukup karena dalam realita terjadi praktik-praktik yang
dapat mendistorsi tujuan menuju Pemilu demokratis. Asas-asas di atas
perlu diperkuat dengan asas-asas lain yang secara komprehensif
diharapkan menghasilkan Pemilu berintegritas. Dengan Pemilu
berintegitas, legitimasi penyelenggara dan hasil-hasil Pemilu akan kuat dan
dapat diterima oleh publik. Artinya, di balik Pemilu berintegritas, akan
muncul kepercayaan yang kuat bahwa Pemilu telah dilangsungkan sesuai
prosedur dan substansi kaidah-kaidah demokrasi.
▪ Pemilih. Posisi pemilih menjadi penting bahkan inti dari Pemilu itu
sendiri dalam menggunakan hak politiknya pada Pemilu legislatif dan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Untuk itu, pemilih memiliki hak untuk
diperlakukan secara sama atau egaliter dalam menggunakan hak
pilihnya. Contoh bentuk Pemilu berintegritas terkait dengan pemilih
2
Tentang siklus pemilu bisa dibaca selengkapnya pada Bab 5.
C. Inklusifitas (Inclusiveness)
Pemilu inklusif juga harus menjamin adanya perlakuan yang adil terutama
dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Adanya pembelahan-
pembelahan masyarakat secara sosio kultural, secara politik hal ini
berpotensi dalam menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip Pemilu
inklusif. Begitu pula, adanya dinamika politik yang tinggi menjelang Pemilu
di beberapa tempat/wilayah, langsung atau tidak langsung, juga dapat
berpotensi mempengaruhi kemandirian penyelenggara Pemilu. Dinamika
politik yang berkembang, apapun bentuknya, tidak seharusnya
Landasan nilai Pemilu inklusif dapat direduksi dari prinsip bahwa hak pilih
bersifat universal (universal suffrage). Siapa saja yang memenuhi syarat
sesuai Undang-Undang Pemilu yang berlaku, dijamin dapat menggunakan
hak suaranya tanpa hambatan apapun. Dengan demikian isu Pemilu inklusif
menjadi jantung dari Pemilu berintegritas yang diwujudkan dalam bentuk
perlindungan terhadap hak-hak pemilih. Berikut ini lingkup kegiatan Pemilu
yang dapat dijadikan best practices (cerita baik) untuk menghasilkan Pemilu
inklusif adalah :
3 Misal pasal 289 UU Nomor 7 Tahun 2017 dinyatakan bahwa peserta pemilu dalam menggunakan me-
dia kampanye media massa cetak, media daring (online).
Selama ini cara pandang memahami demokrasi tidaklah selalu sama oleh
masing-masing negara. Ada negara yang tidak melaksanakan Pemilu namun
tetap mengklaim sebagai negara demokrasi. Sebaliknya ada negara yang
cenderung tidak demokratis namun tetap melaksanakan pemilihan umum.
Korea Utara yang dikenal dengan kekuasaan otoriter tetap melaksanakan
Pemilu secara periodik (Gaffar 2006). Pemilu di sana dilaksanakan sekedar
untuk melegitimasi kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Penggunaan istilah luber dan jurdil sebagai asas Pemilu bukan hal yang baru
berlaku pada Pemilu saat ini. Dalam Pemilu tahun 1971, seperti yang
dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang
Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan
Terdapat tiga hal utama yang akan dielaborasi dalam Pemilu yang luber dan
jurdil di Indonesia, yakni (1) pemahaman tentang makna yang dimaksud; (2)
mengapa harus menerapkan asas tersebut; dan (3) bagaimana mewujudkan
asas tersebut dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Asas Langsung
Asas Pemilu langsung dipahami dari dua makna yakni pertama, tindakan
secara teknis, dimaksudkan agar masyarakat sendiri yang menyatakan
suaranya secara langsung, tidak boleh diwakilkan. Hal ini untuk mencegah
agar jangan sampai terjadi kecurangan yang dilakukan pihak yang mewakili.
Kedua, asas Pemilu langsung memiliki arti yang sifatnya substantif.
Pemilihan secara langsung sebagai bentuk implementasi ketentuan
konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Rakyat memiliki
kedaulatannya sendiri termasuk dalam menentukan siapa pemimpinnya.
Itulah sebabnya dalam UU Pemilu yang di gunakan selama ini menyebut
bahwa Pemilu adalah sebagai sarana kedaulatan rakyat. Pemilu langsung
juga bermakna untuk mendorong partisipasi masyarakat secara langsung.
Asas Umum
Asas umum juga mengandung tiga makna berbeda. Pertama, Pemilu itu
harus diikuti oleh semua warga negara yang telah diberikan kesempatan
oleh UU sebagai pengguna hak pilih. Semua warga negara yang telah
memenuhi syarat harus didaftarkan dan semua masyarakat yang telah
didaftarkan harus diberikan kemudahan akses untuk memberikan suaranya
dan suara yang diberikan tidak boleh hilang atau berpindah pilihan. Kedua,
makna umum memiliki arti bahwa Pemilu dilaksanakan secara bersama-
sama di seluruh wilayah Indonesia. Pemilu dilaksanakan pada hari yang
sama, jam yang sama, dan di lokasi-lokasi pemungutan suara yang sama
yakni di tempat pemungutan suara (TPS). Ketiga, makna umum memiliki arti
juga bahwa Pemilu diselenggarankan oleh organisasi penyelenggara yang
sama, pemilih yang sama serta diikuti oleh peserta Pemilu yang sama.
Asas Bebas
Asas Pemilu bebas mengandung makna bahwa pemilih dalam menentukan
sikap politik dilakukan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kebebasan
menyatakan sikap atau keyakinan politik adalah hak asasi manusia.
Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih dan
mempunyai keyakinan politiknya. Pemilih tidak boleh diintervensi,
diintimidasi ataupun dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu. Asas
bebas dan adil ini memberikan kesempatan kepada setiap warga negara
untuk memilih calon pemimpin sesuai dengan keyakinannya. Bebas juga
memutuskan untuk tidak lagi memilih pemimpin yang tidak amanah
berkuasa kembali.
Asas Rahasia
Asas Pemilu rahasia bermakna bahwa pilihan seseorang tidak boleh
diketahui oleh orang lain. Sehingga tidak boleh satupun pemilih
memberitahukan pilihannya kepada orang lain. Asas rahasia juga bermakna
bahwa kelompok atau seseorang tidak diperbolehkan memaksakan
pilihannya itu kepada kelompok atau orang lain. Asas rahasia menjadi salah
satu permasalahan dalam proses Pemilu saat ini. Makin menguatnya politik
aliran, politik uang serta mobilisasi aparat menyebabkan asas kerahasiaan
tidak lagi bermakna.
Asas Jujur
Asas Pemilu jujur dimaksudkan agar tidak terjadi kecurangan oleh siapapun
dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan Pemilu. Mulai dari proses
rekrutmen calon, pernyataan janji-janji kampanye, mempengaruhi
masyarakat tidak dengan imbalan atau paksaan, tidak menambahkan atau
mengurangi suara dalam proses penghitungan suara. Pemilu adalah
kompetisi merebut kemenangan, namun kompetisi yang dimaksud adalah
tindakan mempengaruhi pemilih dengan cara-cara yang lebih beradab.
Tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang berhasil, jika mereka terpilih
melalui cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang
bertentangan dengan asas Luber dan Jurdil. (Santoso 2004)
Asas jujur tidak hanya menyasar peserta atau penyelenggara Pemilu. Asas
ini mencakup semua stakeholder Pemilu seperti kejujuran pemilih dengan
keyakinan politiknya, tidak karena imbalan atau tekanan. Kejujuran
pemerintah dalam memfasilitasi data awal pemilih, kejujuran media dalam
pemberitaan, kejujuran lembaga survei dalam mempublikasi hasil serta
kejujuran para ilmuwan kampus dalam mewartakan gagasannya.
Asas Adil
Asas Pemilu adil dimaksudkan agar setiap pemilih, penyelenggara dan
peserta Pemilu diperlakukan secara adil. Keadilan Pemilu berkaitan
langsung dengan integritas Pemilu. Pasal 4 UU Pemilu menyebutkan bahwa
Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu bertujuan untuk memperkuat sistem
ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan
BAB 2 – NILAI DAN ASAS PEMILU 41
berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu,
memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan
Pemilu serta mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.
Asas adil mengandung tiga aspek. Pertama, segala bentuk regulasi Pemilu
(mulai dari UU dan turunannya) harus memberikan rasa keadilan bagi setiap
warga negara. Kedua, setiap penyelenggara Pemilu harus memberikan
pelayanan yang adil tanpa membeda-bedakan perlakuan, baik terhadap
peserta Pemilu maupun pemilih. Ketiga, setiap putusan lembaga peradilan
Pemilu harus memutus perkara seadil-adilnya.
Pemilu yang tidak dilaksanakan secara luber dan jurdil ternyata menyisakan
banyak persoalan baik dalam proses Pemilu maupun dinamika
pemerintahan pasca Pemilu. Sejumlah negara menunjukkan sebuah contoh
ketika Pemilu tidak berlangsung secara luber dan jurdil. Gejolak akibat
Pemilu di Venezuela yang dilaksanakan pada tahun 2018, hingga kini belum
memiliki kepastian. Negara itu kini sedang dilanda konflik berkepanjangan.
Calon Presiden yang dikalahkan Nicolas Maduro yakni Henri Falcon dan
Javier Bertucci kompak bersepakat menolak hasil itu. Keduanya
menganggap proses Pemilu berlaku curang dalam hal jual beli suara dan
pelanggaran lainnya. Negara itu makin parah ketika Ketua Majelis Nasional
(DPR), Juan Guaido memanfaatkan konflik itu dengan mendeklarasikan diri
sebagai Presiden interim Venezuela. Juan membangun kekuatan dengan
sejumlah elit dan bergabung dengan kelompok-kelompok yang menentang
kepemimpinan Maduro.
Pada Tahun 1999 untuk pertama kali diadakan Pemilu pasca tumbangnya
pemerintahan Orde Baru. Sebagai dasar hukum pelaksanaan menggunakan
UU nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Dalam bab I pasal 1 UU
itu menyebutkan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemilihan Umum
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, jujur dan adil, dengan
mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum,
bebas, dan rahasia. Ketentuan itu berlaku hingga saat ini yakni ketika Pemilu
menggunakan UU Nomor 7 Tahun 2017 dengan asas Pemilu luber dan jurdil.
Komitmen untuk melaksanakan Pemilu luber dan jurdil paling tidak memiliki
empat alasan, seperti yang disebutkan di gambar 3. Pertama memastikan
Pemilu memiliki legitimasi. Pemilu harus memiliki kepastian hukum,
kontestasi peserta, penyelenggara yang mandiri serta pelibatan dan
partisipasi masyarakat. Dukungan masyarakat akan sangat tergantung pada
Kedua, asas Pemilu luber dan jurdil sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya konflik Pemilu. Konflik yang terjadi di sejumlah negara
sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu diakibatkan oleh
pelaksanana Pemilu yang dinilai tidak jujur dan adil. Akan halnya dengan
Pemilu dan pilkada di sejumlah daerah juga mengalami hal yang sama. Pihak
penyelenggara yang terbukti bekerja tidak profesional sehingga
menguntungkan pihak lain menjadi pemicu terjadinya konflik. Pihak yang
merasa dirugikan berekasi dengan cara memobilisasi massa pendukungnya
melakukan perlawanan. Suasana yang tak terkendali menyebabkan
keonaran dan kerusuhan massa berkepanjangan.
Ketiga, asas Pemilu luber dan jurdil dimaksudkan agar hasil dari proses
Pemilu melahirkan pemimpin atau politisi yang berkualitas. Pembiayaan
Pemilu yang sangat besar dan kompetisinya menguras banyak energi
diharapkan akan berdampak pada kepentingan masyarakatnya. Selama ini
hasil Pemilu dianggap belum memberikan kontribusi bagi pembangunan
dan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Sebagian besar yang
terpilih dianggap tidak cakap dan tidak memiliki kemampuan melaksanakan
tugas yang diembankan baik dalam jabatan eksekutif ataupun legislatif.
Minimnya pengalaman organisasi dan kepemimpinan sebelum terpilih
menyebabkan yang bersangkutan tidak memiliki modal ketika menjabat.
Telah menjabat lima atau sepuluh tahun, tapi daerah yang dipimpinnya
tidak memiliki kemajuan apa-apa. Sebagian harus berurusan dengan KPK
Hasil Pemilu semacam ini dipengaruhi oleh pelaksanaan Pemilu yang tidak
dijalankan secara luber dan jurdil. Parpol tidak menyeleksi calonnya dengan
baik. Kualitas calon sering diabaikan dan yang dikedepankan adalah calon
yang memiliki modal dan atau juga karena kedekatan dengan penguasa-
penguasa politik lokal. Memang tidak ada satupun pasal dalam regulasi
melarang unsur masyarakat tertentu untuk menjadi calon, namun
persoalannya adalah apakah calon yang kemudian terpilih itu memiliki
kapasitas atau tidak.
Pada tabel di atas menjelaskan bahwa terwujudnya Pemilu luber dan jurdil
merupakan tanggung jawab bersama. Pelaksanaan Pemilu memang
menjadi tanggung jawab penyelenggara, namun untuk mewujudkan Pemilu
berkualitas dibutuhkan tanggung jawab bersama.
UU dan pengaturan Pemilu harus mengatur agar semua warga negara yang
memiliki hak pilih dapat dengan mudah terdata dalam daftar pemilih
kemudian pemilik hak pilih dapat dengan leluasa mencoblos di TPS. Tata
kelola pendataan pemilih perlu penguatan tanggung jawab antara
pemerintah, penyelenggara, peserta dan pemilih. Kelalaian dalam tanggung
jawab harus ditindaklanjuti dengan pemberlakuan sanksi. Untuk
mewujudkan asas Pemilu ini, harus juga dipastikan bahwa Pemilu dapat
dilakukan dalam waktu yang sama, serentak di seluruh tanah air.
Asas Pemilu luber dan jurdil akan bermakna jika materi UU Pemilu mengatur
dan memaksa. Sehingga dalam proses penyusunannya harus berdasarkan
pada kepentingan umum, bukan sebatas pada kepentingan Parpol atau elit
penguasa. Dalam perumusannya harus melibatkan masyarakat. Meski
kewenangan menyusun UU adalah lembaga legislatif, namun peran
masyarakat perlu difasilitasi dan dilembagakan dalam bentuk pengaturan
agar lebih mengikat dalam perumusannnya.
Kedua, Parpol menjadi salah satu bagian penting agar Pemilu bisa berjalan
luber dan jurdil. Sehingga kelembagaan Parpol perlu dibenahi. UU Nomor 2
Tahun 2008 tentang Parpol menjelasakan bahwa salah tugas Parpol adalah
mempersiapkan calon pemimpin melalui proses rekrutmen, kaderisasi dan
seleksi. Demikian juga dalam UU Pemilu menyebutkan bahwa calon
legislatif didaftarkan oleh Parpol sebagai peserta Pemilu. Tanggung jawab
Parpol untuk mewujudkan asas Pemilu sangat besar.
Peran Parpol dimulai pada saat pembentukan Parpol peserta Pemilu, seleksi
calon hingga pengawasan terhadap calon yang berkompetisi. Apakah para
pendiri memiliki cita-cita mendirikan Parpol untuk kepentingan masyarakat
atau sekedar sarana merebut jabatan bagi pendirinya semata. Apakah
dokumen yang dimasukkan sebagai syarat pendirian Parpol merupakan
data benar atau fiktif belaka. Apakah nama-nama yang seleksi sebagai calon
adalah sesuai kepentingan publik atau hanya untuk kepentingan elit Parpol.
Apakah proses seleksi itu didasarkan pada kualitas calon atau karena faktor
imbalan (candidate buying). Apakah Parpol membuat aturan sanksi internal
untuk mencegah permainan politik uang bagi setiap calon. Apakah calon
yang terpilih adalah benar-benar didasarkan karena dedikasi dan
prestasinya di masyarakat atau karena dengan membeli suara (vote buying).
Untuk mendorong peran masyarakat bagi Pemilu luber dan jurdil, maka
proses pendidikan politik bagi masyarakat perlu dikembangkan. Kualitas
pemilihan sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi. Partisipasi masyarakat
dibentuk oleh sebuah kesadaran bersama dan kesadaran itu terbentuk oleh
karena pengetahuan masyarakat. Pengetahuan masyarakat yang terbatas
mengakibatkan pula Pemilu tidak berlangsung luber dan jurdil. Dengan
demikian diperlukan pendidikan politik masyarakat secara sistematis dan
terarah. Pendidikan politik perlu dilakukan secara terlembaga dan
terkoordinasi antara pemerintah, Parpol, LSM, Ormas, penyelenggara
Pemilu atupun pihak kampus.
Pasal 155 dan Pasal 159 UU Pemilu sebagai dasar hukum pelaksanaan
Pemilu (lihat tabel 2.2.) memberi penguatan terhadap kerja-kerja
penyelenggara Pemilu agar lebih mandiri dan profesional. Selain KPU dan
Bawaslu sebagai penyelenggara, juga dibentuk DKPP dengan tugas
memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU
provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu
Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. 4 DKPP berkewajiban
menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara
Pemilu.
6 Pasal 6 Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
E. Penutup
Mada Sukmajati
A. Pengantar
Telah banyak ilmuwan menjelaskan pengertian dari sistem pemilu. Blais dan
Massicotte (2002) mendefinisikan sistem pemilu sebagai “bagaimana suara
diberikan dan kursi dialokasikan.” Senada dengan itu, Reynolds, Reilly, Ellis,
et. al. (2016) menjelaskan bahwa “sistem pemilu mengkonversi perolehan
suara dalam sebuah pemilu menjadi kursi-kursi yang dimenangkan oleh
para Parpol dan para calon.” Sedangkan Gallagher dan Mitchell (2005)
mendefinisikan sistem pemilu sebagai “sekumpulan aturan yang
menstruktur bagaimana suara diberikan pada pemilu untuk wakil rakyat
dan bagaimana suara ini kemudian dikonversi menjadi kursi ke dalam
lembaga perwakilan.”
Menurut Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016), terdapat empat keluarga dari
sistem pemilu, yaitu sistem pluralitas/mayoritas, sistem campuran, sistem
perwakilan berimbang (proporsional representation), dan sistem lain-lain.
Untuk keperluan buku ini, kita akan membahas secara umum beberapa
varian dari sistem pemilu pluralitas/mayoritas (TRS dan FPTP), sistem
pemilu perwakilan berimbang (List), dan sistem pemilu lainnya (SNTV).
1. Sistem Pluralitas/Mayoritas
Secara umum, sistem pemilu pluralitas dan sistem pemilu mayoritas adalah
dua sistem yang memiliki prinsip yang sama. Dalam sistem ini, satu daerah
pemilihan (dapil) memperebutkan satu kursi atau lebih dari satu kursi.
Prinsip dari sistem pemilu ini adalah sangat sederhana. Setelah suara
dihitung, mereka yang mendapat jumlah suara sah terbanyak yang akan
BAB 3 – SISTEM PEMILU 61
mendapatkan kursi di sebuah dapil tanpa memperhitungkan selisih suara
sah yang dimenangkan. (Reynolds, Reilly, Ellis et. al. 2016). Namun secara
khusus, sistem pemilu pluralitas dan sistem pemilu mayoritas dapat
dibedakan. Sistem pemilu pluralitas biasanya menyediakan satu kursi atau
lebih untuk setiap dapil dimana pemilih memilih calon atau menyediakan
lebih dari satu kursi untuk setiap dapil dimana pemilih memilih Parpol,
misalnya FPTP (First Past the Post atau Yang Pertama Melewati Yang
Berikutnya), BV (Block Vote atau Plihan Blok), dan PBV (Party Block Vote
atau Pilihan Blok Partai). Sedangkan sistem pemilu mayoritas adalah sistem
yang menjamin bahwa pemenang akan mendapat mayoritas absolut dan
sistem ini memberikan kesempatan bagi pemilih untuk menyodorkan
pilihan keduanya, misalnya TRS (Two Round Sistem atau Sistem Dua
Putaran) dan AV (Alternative Vote atau Pilihan Alternatif).1
Untuk kebutuhan buku ini, kita fokus pada TRS dan FPTP di dalam keluarga
sistem pemilu mayoritas/pluralitas. Pemilu dengan sistem TRS dicirikan
dengan adanya pemilu putaran kedua jika di dalam putaran pertama tidak
terdapat calon yang mencapai tingkat suara tertentu (biasanya adalah 50
persen plus 1). TRS dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem
mayoritas/pluralitas (lebih dari dua calon bertanding di dalam putaran
kedua dan calon yang meraih jumlah suara terbanyak dalam putaran kedua
dinyatakan terpilih) dan sistem mayoritas mutlak atau majority run-off (dua
calon teratas dalam kompetisi putaran pertama yang bisa masuk ke dalam
kompetisi putaran kedua). Meksipun tidak secara eksplisit ditulis dalam
konstitusi, pilpres di Indonesia sejak tahun 2004 menggunakan TRS.
Menurut Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016), TRS memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah:
1. Sistem ini memungkinkan pemilih mempunyai kesempatan kedua untuk
memberi suara bagi calon terpilih mereka, atau bahkan mengubah
keputusan mereka antara putaran pertama dan kedua;
2. Sistem ini juga memungkinkan Parpol-Parpol dan pemilih bereaksi
terhadap perubahan-perubahan dalam lanskap politik yang terjadi di
antara putaran pertama dan putaran kedua; dan
1 Di Indonesia, sistem pemilu mayoritas/pluralitas ini secara populer disebut dengan sistem distrik. Istilah
“distrik” sendiri sebenarnya merujuk pada istilah “daerah pemilihan”. Di dalam menggunakan istilah
ini, sistem distrik biasanya dimaksudkan untuk merujuk pada sebuah sistem pemilu di mana sebuah
daerah pemilihan menyediakan satu kursi.
Sedangkan First Past The Post (FPTP) adalah bentuk paling sederhana dari
sistem pluralitas/mayoritas. Dalam sistem ini, setiap dapil memiliki satu
kursi. Para pemilih memilih satu nama dari para calon yang bersaing, yaitu
nama Calon dan/atau nama Parpol. Pemenang adalah mereka yang
mendapatkan suara sah terbanyak, meskipun tidak harus memperoleh
suara mayoritas absolut. Meksipun tidak secara eksplisit ditulis dalam
undang-undang, pilkada di Indonesia sejak tahun 2015 menggunakan FPTP.
Menurut Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), FPTP memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah:
1. Mendorong pilihan tegas di kalangan pemilih;
2. Mendorong terbentuknya oposisi;
3. Menguntungkan Parpol atau Calon dengan basis politik yang luas;
4. Memberi peluang bagi para calon perseorangan untuk terpilih; dan
5. Sederhana untuk dipahami dan diselenggarakan.
Menurut Reynolds, Reilly, Ellis, et. al. (2016), Sistem Perwakilan Berimbang
Daftar memiliki beberapa kelebihan, yaitu:
2 Di Indonesia, sejak Pemilu 2009, regulasi menyatakan bahwa sistem pemilu DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota adalah sistem proporsional terbuka. Secara populer, sistem proporsional ter-
buka ini kemudian juga seringkali disebut dengan istilah sistem suara terbanyak.
Menurut Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), SNTV memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dari sistem ini diantaranya adalah:
1. Sistem ini cocok untuk melahirkan para calon perseorangan; dan
2. Mudah dipahami serta mudah diimplementasikan.
Menurut Reynolds, Reilly, Ellis et. al. (2016), terdapat beberapa unsur dalam
sistem pemilu, yaitu pencalonan, rumusan matematis untuk mengkonversi
suara ke kursi, struktur pemungutan suara, dan besaran dapil (district
magnitude). Sedangkan Gallagher dan Mitchell (2005) mendefinisikan enam
unsur dalam sistem pemilu, yaitu besaran dapil, jumlah pilihan yang dimiliki
oleh para pemilih, struktur surat suara, pencalonan, tingkatan alokasi suara,
dan keterbatasan proporsionalitas. Untuk kepentingan buku ini, unsur
dalam sistem pemilu akan didiskusikan dari dimensi-dimensi berikut ini:
Untuk itu, dalam tahapan pencalonan yang dilakukan oleh Parpol yang
disampaikan oleh Hazan dan Rahat di atas, pertimbangan keterwakilan
perempuan pun menjadi isu penting di banyak negara saat ini. Bahkan
dalam bentuk kuota calon seperti yang disebutkan dalam nomor 2, ada
mekanisme yang ketat dalam pengaturan calon berdasarkan nomor urut
dan jenis kelamin (zipper system), seperti yang diadopsi oleh Indonesia
saat ini.
3. Pemberian Suara
Metode pemberian suara sangat terkait dengan metode pencalonan.
Dalam memberikan suaranya, para pemilih dapat mencoblos,
mencontreng atau meranking pada tanda gambar Parpol dan/atau pada
nama calon tertentu. Metode pemberian suara sangat ditentukan oleh
tingkat literasi pemilih. Selain itu, pemilih juga dapat memberikan
suaranya sekali dan/atau dua kali. Dalam konteks ini, kertas suara dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu surat suara umum (ordinal ballots),
dimana pemilih dapat memberikan pilihan kepada lebih dari satu Parpol
atau calon (biasanya dengan cara meranking) dan surat suara berkategori
(categorical ballots), dimana pemilih wajib untuk memberikan satu pilihan
saja.
Varian yang kedua adalah the Sainte-Laguë. Metode ini hampir sama
dengan metode yang pertama, dengan perbedaan utama pada bilangan
pembaginya yang menggunakan angka ganjil, yaitu 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Sejak tahun 2019, Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di
Indonesia menggunakan metode ini.
5. Ambang Batas
Terdapat beberapa konsep ambang batas, diantaranya adalah ambang
batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pemilu (electoral
threshold), dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Ambang batas parlemen adalah persentase minimal yang dipersyaratkan
bagi para peserta pemilu agar suara mereka dapat dikonversi menjadi kursi
di parlemen. Ambang batas pemilu adalah persentase minimal di dalam
sebuah pemilu agar peserta pemilu dapat mengikuti pemilu berikutnya.
Sedangkan ambang batas pencalonan presiden adalah persentase minimal
(suara dan kursi) yang wajib dimiliki oleh Parpol-Parpol agar mereka dapat
mencalonkan presiden/wakil presiden di dalam pilpres secara langsung.
Di bagian ini akan diuraikan secara singkat profil sistem pemilu di dalam
pemilu-pemilu yang diselenggarakan di periode Orde Lama, Orde Baru dan
di periode Reformasi (dari Pemilu 1999 sampai Pemilu 2014).
1. Pemilu 1955
Pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada tanggal 29 September
1955 untuk memilih 260 anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955
untuk memilih 520 anggota Konstituante yang salah satu tugasnya adalah
merumuskan konstitusi negara.
Para calon di pemilu ini berasal dari berbagai latar belakang, yaitu 36 Parpol,
34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 calon perseorangan. Sedangkankan
untuk Konstituante, pesertanya adalah 39 Parpol, 23 organisasi
kemasyarakatan, dan 29 calon perseorangan.
Pemilu di Periode Orde Baru diselenggarakan pada tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Pemilu-pemilu yang penuh dengan rekayasa tersebut
diselenggarakan untuk memilih sebagian anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kotamadya, karena tidak semua anggota lembaga
legislatif saat itu dipilih melalui pemilu. Sistem yang digunakan adalah
Sistem Perwakilan Berimbang. Sebagai tambahan informasi, tidak ada
pilpres secara langsung saat itu.
Dapil di pemilu DPR adalah Provinsi, dapil di pemilu DPRD Provinsi adalah
Kabupaten/Kotamadya, dan dapil di pemilu DPRD Kabupaten/Kotamadya
adalah kecamatan. Jumlah kursi untuk DPR yang diisi dari hasil pemilu
adalah 360 kursi di Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, 365 kursi di Pemilu 1982,
400 kursi di Pemilu 1987 dan Pemilu 1992, dan 425 kursi di Pemilu 1997.
Sedangkan jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kotamadya
sesuai dengan proporsi jumlah penduduk.
Terkait dengan model pemberian suara, surat suara di Pemilu 1999 berisi
nomor, nama dan tanda gambar Parpol. Untuk mekanisme pemberian
suara, pemilih memilih tanda gambar Parpol. Dengan kata lain, sistem di
Pemilu 1999 adalah sistem perwakilan berimbang daftar tertutup.
Sedangkan di Pemilu 2004-214, surat suara berisi nomor, nama dan tanda
gambar Parpol, serta nomor dan nama-nama calon. Di Pemilu 2004, pemilih
dapat mencoblos tanda gambar Parpol atau tanda gambar Parpol dan nama
calon. Pada pemilu ini, pemilih tidak diperbolehkan mencoblos hanya
nomor dan/atau nama calon. Dengan demikian, Pemilu 2004 menggunakan
sistem perwakilan berimbang daftar semi-terbuka. Sedangkan di Pemilu
2009, pemilih mencontreng (bukan mencoblos) tanda gambar Parpol
dan/atau nama calon sesuai pilihan Parpolnya. Untuk Pemilu 2014, pemilih
mencoblos tanda gambar Parpol dan/atau nomor dan/atau nama calon
sesuai pilihan Parpolnya. Dengan demikian, sejak Pemilu 2009 kita
menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka
Selain Pileg, sejak Pemilu 2004 diselenggarakan Pilpres secara langsung dan
Pemilu DPD. Pilpres menggunakan sistem dua putaran. Sedangkan Pemilu
DPD menggunakan sistem distrik berwakil majemuk (SNTV). Untuk Pilpres
diselenggarakan pada tahun yang sama setelah penyelenggaraan Pemilu
legislatif. Sedangkan Pemilu DPD diselenggarakan secara serentak dengan
Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
5 Penentuan pemenang berdasarkan atas perolehan suara terbanyak untuk Pemilu DPR, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008
dikarenakan oleh berbagai pertimbangan, misalnya karena hal tersebut sesuai dengan substansi
kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi, agar tidak memasung suara rakyat, dan meningkatkan
legitimasi calon terpilih.
Regulasi tentang sistem Pilpres dan sistem Pileg diatur di dalam UUD 1945
dan UU Pemilu. Di bagian ini kita membahas sistem-sistem pemilu yang ada
di Indonesia saat ini.
Dapil untuk Pileg DPR RI dan DPRD Provinsi sudah ditetapkan di dalam
lampiran UU Pemilu. Dengan demikian, perumusan dapil untuk DPR RI dan
DPRD Provinsi dilakukan oleh DPR dan Pemerintah. Namun demikian,
regulasi secara umum mengatur dapil untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota yang diantaranya adalah:
- Untuk DPR:
o dapilnya adalah Provinsi atau bagian dari Provinsi;
o jumlah kursinya adalah 575; dan
o jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil adalah 3-10 kursi.
- Untuk DPRD Provinsi:
o Dapilnya adalah Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota;
o jumlah kursi untuk DPRD Provinsi adalah 35-120 kursi;
o jumlah kursi DPRD di setiap Provinsi didasarkan pada jumlah
penduduk Provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan dari mulai
yang terkecil (yaitu Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan
1 juta orang memperoleh alokasi 35 kursi) sampai dengan yang
terbesar (yaitu Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta
orang memperoleh alokasi 120 kursi);
o jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil adalah 3-12 kursi.
- Untuk DPRD Kabupaten/Kota:
o dapilnya adalah kecamatan atau gabungan kecamatan;
o jumlah kursi untuk DPRD Kabupaten/Kota adalah 20-55 kursi;
o jumlah kursi DPRD di setiap Kabupaten/Kota didasarkan pada jumlah
penduduk Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan ketentuan dari
mulai yang terkecil (yaitu Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk
sampai dengan 100 ribu orang memperoleh alokasi 20 kursi) sampai
dengan yang terbesar (yaitu Kabupaten/Kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 3 juta orang memperoleh alokasi 55 kursi); dan
o jumlah kursi yang disediakan di setiap dapil adalah 3-12 kursi.
Kedua, Parpol peserta pemilu adalah mereka yang lolos verifikasi oleh KPU.
Ketiga, berbagai aturan persyaratan bagi para bakal calon. Keempat,
pencalonan di internal Parpol peserta pemilu diselenggarakan dengan
mekanisme demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART, dan/atau
peraturan internal serta melarang praktek-praktek politik uang. Kelima,
daftar bakal calon memuat paling banyak 100 persen dari jumlah kursi pada
setiap dapil yang memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30
persen. Keenam, nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan
nomor urut, dimana di setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit
satu orang perempuan bakal calon. Ketujuh, terdapat mekanisme yang
bernuansa partisipatif dalam proses dari daftar calon sementara (DCS) ke
daftar calon tetap (DCT). Kedelapan, di Pemilu 2019, meneruskan apa yang
telah dilaksanakan oleh KPU di periode sebelumnya, KPU juga
menggunakan sistem aplikasi berbasis teknologi informasi untuk
menunjang kelancaran di dalam tahapan pencalonan yang diberi nama
Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang berisi informasi mulai dari tahap
pengajuan, penelitian, Daftar Calon Sementara (DCS), perubahan DCS, DCT,
dan Perubahan DCT.
Sistem Pemilu Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem
distrik berwakil banyak
Daerah Pemilihan Setiap Provinsi menyediakan 4 kursi
Perseorangan
Mendapatkan dukungan minimal dari pemilih di dapil yang
bersangkutan mulai dari Provinsi dengan jumlah penduduk paling
sedikit (1 juta orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit
1000 pemilih) sampai Provinsi dengan jumlah penduduk paling
banyak (15 juta orang harus mendapatkan dukungan paling
sedikit 5 ribu pemilih)
Dukungan tersebut tersebar di paling sedikit 50 persen dari
jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan
Pencalonan
Dukungan tersebut dibuktikan dengan daftar dukungan yang
dibubuhi tanda tangan atau cap jempol tangan dilengkapi dengan
fotokopi KTP untuk setiap pendukung
Seorang pendukung tidak diperbolehkan untuk memberikan
dukungan kepada lebih dari satu calon anggota DPD
Metode Mencoblos satu kali pada nomor, nama atau foto calon untuk
pemberian suara Pemilu anggota DPD
Penetapan calon terpilih didasarkan pada nama calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama, kedua, ketiga, dan
keempat di Provinsi yang bersangkutan
Dalam hal perolehan suara calon terpilih keempat terdapat
Penentuan paslon jumlah suara yang sama, calon yang memperoleh dukungan
terpilih pemilih yang lebih merata penyebarannya di seluruh
Kabupaten/Kota di Provinsi tersebut ditetapkan sebagai calon
Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali
Sistem pilkada diatur di dalam UUD 1945 dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi UU. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK), regulasi pilkada adalah bagian dari rejim pemerintahan daerah (bukan
rejim pemilu) sehingga regulasi tersebut tidak menjadi bagian yang diatur
di dalam UU Pemilu.
Tidak ada pengaturan yang eksplisit di dalam regulasi terkait dengan dapil
untuk pilkada. Namun demikian, jika dikaitkan status gubernur sebagai
kepala daerah di tingkatan pemerintahan Provinsi, maka daerah pemilihan
gubernur adalah di tingkatan Provinsi yang bersangkutan. Demikian juga
dengan bupati dan walikota, dimana daerah pemilihan bupati adalah di
kabupaten yang bersangkutan dan daerah pemilihan walikota adalah di
kota yang bersangkutan.
42 Pasal 39 UU Pilkada.
43 Pasal 40 UU Pilkada.
44 Pasal 41 Ayat (1) UU Pilkada.
bernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Salah satu teori yang populer adalah Hukum Duverger dan Hipothesis
Duverger (1959). Hukum Duverger berbunyi bahwa sistem pemilu
mayoritas/pluralitas cenderung menghasilkan sistem kepartaian sederhana
(sistem dua partai). Sedangkan Hipothesis Duverger mengatakan bahwa
sistem pemilu perwakilan berimbang dan sistem campuran cenderung
Teori lain yang juga sangat populer adalah teori yang diajukan Katz (1997),
dimana dia menjelaskan bahwa sistem proporsional daftar terbuka
cenderung tidak disukai oleh para calon. Hal ini dikarenakan para calon
tersebut tidak saja harus berkompetisi dengan calon lain yang berasal dari
Parpol yang berbeda, tapi mereka juga harus berkompetisi dengan calon
lain dari Parpol yang sama. Bahkan, tingkat kompetisi antar calon di Parpol
yang sama lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kompetisi antar calon
di Parpol yang berbeda. Colomer (2004) juga menyodorkan teori yang tidak
kalah menariknya. Menurutnya, meskipun sistem pemilu perwakilan
berimbang akan menghasilkan perwakilan yang proporsional, sistem ini
pada sisi yang lain juga cenderung menghasilkan faksionalisme dan
kandidasi partisan. Teori ini juga berlaku sejak pelaksanaan Pemilu 2009
dengan menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar terbuka.
Pertama, terjadi kompetisi yang sangat sengit di dalam proses pencalonan
di internal masing-masing Parpol. Kedua, dalam tahapan kampanye,
kompetisi antar calon di dalam Parpol yang sama berjalan jauh lebih sengit
dibandingkan dengan kompetisi antar calon dari antar Parpol. Yang
kemudian lebih mengedepan adalah peran calon dan bukannya peran
Parpol. Padahal, regulasi mengatur bahwa peserta pemilu adalah Parpol
dan bukan calon.
Selain itu, beberapa kajian juga sampai pada kesimpulan bahwa sistem
pemilu proporsional lebih menjamin keterwakilan perempuan
dibandingkan dengan sistem pemilu mayoritas/pluralitas. Namun demikian,
kesimpulan seperti ini telah mendapat kritikan. Salah satunya adalah studi
yang dilakukan oleh Roberts, Seawright, dan Cyr (2012) yang menjelaskan
bahwa pengaruh sistem pemilu sebenarnya tidak besar terhadap
keterwakilan perempuan. Perubahan sistem pemilu pada akhirnya tidak
akan menjamin meningkatnya keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Teori ini juga sepertinya dapat menjelaskan kondisi keterwakilan
perempuan di Indonesia saat ini, dimana jumlah calon perempuan terpilih
Sumber: Perdana dan Wildianti (2019) & Margaret et. al. (2014)
52
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
106 BAB 3 – SISTEM PEMILU
terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian. Dengan demikian, kita
sepertinya masih memiliki tantangan dan hambatan yang sangat besar
dalam mewujudkan ketiga tujuan tersebut ke depan.
G. Penutup
Bab ini menjelaskan sistem pemilu di Pilpres, Pileg, dan Pilkada di Indonesia.
Secara umum, sistem Pilpres telah diatur di UUD 1945, misalnya sistem
pemilu, dapil, ambang batas pencalonan, dan penentuan calon terpilih.
Dalam porsi yang lebih terbatas, UUD 1945 juga mengatur sistem pileg
terkait dengan sistem Pileg, dan dapil untuk DPR RI dan DPRD Provinsi.
Sedangkan konstitusi tidak mengatur secara detail sistem pilkada. Dengan
demikian, selain oleh Putusan MK, regulasi lebih lanjut tentang sistem
pemilu diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pilkada. Sebagai contoh adalah
pengaturan dapil untuk Pileg DPRD Kabupaten/Kota, metode konversi suara
ke kursi di Pileg, sistem Pilkada, dan penentuan pemenang di Pilkada. Tema-
tema ini yang kemudian diatur lebih lanjut ke dalam PKPU dan peraturan
lembaga penyelenggara pemilu yang lain.
A. Pengantar
Bab ini akan menjelaskan sejumlah hal tentang LPP di Indonesia yaitu:
pertama, konsepsi dan variasi desain dari LPP; kedua, prinsip-prinsip dan
kode etik penyelenggara pemilu; ketiga, keunikan dan dinamika
transformasi LPP di Indonesia; keempat, organisasi KPU berupa struktur,
pengambilan keputusan, tugas, wewenang, kewajiban, Sekretariat
Konsepsi tentang LPP adalah sebuah badan yang bertugas dan berwenang
menyelenggarakan pemilu untuk memilih para penyelenggara negara
legislatif dan eksekutif baik pada tingkat nasional maupun lokal. Sebuah LPP
adalah organisasi atau lembaga yang memiliki tujuan dan bertanggung
jawab secara legal, untuk menyelenggarakan sebagian atau semua elemen
yang esensial untuk menyelenggarakan pemilu atau instrumen
pelaksanaan demokrasi langsung lainnya, seperti referendum dan
pemungutan suara ulang. Elemen-elemen yang termasuk esensial untuk
pelaksanaan pemilu diantaranya adalah menentukan siapa-siapa saja yang
memenuhi syarat untuk memilih, menerima dan menetapkan Parpol
peserta pemilu dan calon peserta pemilu, melaksanakan pemungutan
suara, melaksanakan penghitungan suara dan melaksanakan rekapitulasi
hasil penghitungan suara serta penetapan calon terpilih (Wall et. al. 2016).
Faktanya LPP tidaklah berbentuk tunggal. Ada banyak variasi desain organisasi
LPP di seluruh dunia. Untuk memetakan perbedaan dari variasi LPP tersebut
biasanya dapat dilihat dari 7 dimensi. Pertama, Sentralisasi yakni apakah
manajemen pemilu dilaksanakan oleh satu penyelenggara pemilu tingkat
nasional yang bersifat tunggal atau apakah manajemen pemilu dilaksanakan
oleh banyak lembaga penyelenggara di wilayah administratif nasional
(misalnya LPP di tingkat federal dan negara bagian; atau LPP tingkat nasional
dan kota). Kedua, Independensi yakni apakah lembaga penyelenggara pemilu
benar-benar independen atau mandiri dari pemerintah dan hal itu diatur jelas
dan kuat dalam kerangka hukum pemilu yang berlaku. Dimensi Independensi
tersebut mencakup kelembagaan, fungsi dan personil.
Ketiga, Kapasitas yakni sejauh mana LPP stabil dan berkelanjutan, memiliki
sumber daya yang cukup dan memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan
pemilihan. Ini merujuk tidak hanya pada apakah LPP bersifat permanen atau
sementara, tetapi juga terkait ketersediaan sumber daya yang cukup untuk
LPP. Keempat, Lingkup Pembagian Tugas, yakni sejauhmana LPP mampu
memastikan ruang lingkup tugasnya dengan jelas sehingga dia tidak melakukan
semua hal melampaui batas kemampuannya. Misalnya LPP memiliki tugas dan
tanggung jawab dalam hal pengorganisasian pemungutan suara namun juga
diberi tugas untuk menyelesaikan adjudikasi pemilu. Bagaimanapun Pemilu
memiliki banyak aspek yang juga dikerjakan oleh pihak lain. LPP harus mampu
fokus menjalankan fungsi yang menjadi mandatnya dan membangun relasi dan
komunikasi dengan pihak lain yang fungsinya juga terkait dengan kepemiluan.
Ketujuh, Personil. Dimensi ini merujuk tidak hanya pada jumlah personil yang
terlibat dalam mengelola pemilu tetapi juga tingkat keahlian, pelatihan,
rekrutmen mereka, metode, orientasi layanan publik dan sistem yang
digunakan untuk mengelolanya. Ini relevan untuk kinerja LPP karena personil
dengan pelatihan dan keahlian yang memadai dalam prosedur pemilu
kemungkinan akan meningkatkan persepsi dan efisiensi penyelenggara pemilu.
(James et. al. 2019):
Gambar 4.2. Hubungan Desain LPP, Kinerja LPP dan Hasil Proses Pemilu
Mengacu kepada konsepsi LPP yang telah disinggung pada sub bagian LPP
sebelumnya, yang berhak menyandang LPP utama di Indonesia adalah KPU.
KPU yang menyelenggarakan keseluruhan elemen-elemen yang esensial untuk
menyelenggarakan pemilu di Indonesia yaitu, menentukan siapa-siapa saja
114 BAB 4 – KELEMBAGAAN PENYELENGARA PEMILU
yang memenuhi syarat untuk memilih, menerima dan menetapkan Parpol
peserta pemilu dan calon peserta pemilu, melaksanakan pemungutan suara,
melaksanakan penghitungan suara dan melaksanakan rekapitulasi hasil
penghitungan suara serta penetapan calon terpilih (Wall, et al. 2016). Namun
LPP di Indonesia memiliki keunikan tersendiri. Di banyak negara, fungsi
manajemen dalam penyelenggaraan pemilu yang terdiri dari pengaturan,
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, hingga evaluasi,
biasanya diemban oleh satu komisi penyelenggara pemilu. Namun di
Indonesia, fungsi pengawasan dan penegakan hukum dipegang oleh lembaga
atau badan yang berbeda. Selain memiliki Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Indonesia juga punya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Pada Pemilu pertama pasca reformasi yakni Pemilu 1999, LPP di Indonesia
bertransformasi menjadi model Campuran. Undang-Undang Nomor 3 tahun
1999 tentang Pemilu mengamanatkan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur Parpol-
Parpol peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab
kepada Presiden. Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU)
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
yang terdiri atas Unsur-Unsur Parpol Peserta Pemilu dan Pemerintah. Masing-
masing Parpol mengutus seorang wakil dan pemerintah mengirimkan
sebanyak 5 (lima) orang. Oleh karena Parpol saat itu berjumlah 48 (empat
puluh delapan) dan ditambah dengan perwakilan dari Pemerintah, maka
jumlah Anggota KPU secara keseluruhan adalah 53 (lima puluh tiga) orang. KPU
kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut
PPI sebagai Pelaksana KPU dalam pemilihan umum. PPI kemudian membentuk
PPD I (Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I). PPD I membentuk PPD II. PPD juga
terdiri dari unsur Pemerintah dan Parpol peserta pemilu sesuai dengan
Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, LPP yang terdiri dari KPU, Bawaslu dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) semakin ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
1 Pasal 8 s.d pasal 23 UNDANG-UNDANG Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
119
D. Prinsip dan Kode Etik Penyelenggara Pemilu
2 Pasal 8, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
5 Pasal 11, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
6 Pasal 12, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
7 Pasal 13, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
8 Pasal 14, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
9 Pasal 15, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara
Pemilu
10
Pasal 16, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
11
Pasal 17, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
12
Pasal 18, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
13
Pasal 19, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
14
Pasal 20, Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
Sesuai tahapan pemilu dan pilkada, jajaran KPU juga dibentuk secara ad hoc
di tingkat kecamatan (Panitia Pemilihan Kecamatan/PPK), di tingkat
Desa/Kelurahan (Panitia Pemungutan Suara/PPS) dan yang terkecil berupa
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat Tempat
Pemungutan Suara (TPS) sebagai ujung tombak perpanjangan tangan KPU
saat hari pemungutan suara.
Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan
tugasnya secara berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi
oleh masa jabatan tertentu. 16 KPU melaksanakan tugasnya secara terus-
menerus, berkesinambungan dan tidak hanya berlaku di suatu saat
tertentu. Dalam melaksanakan amanah Undang-Undang mengenai sifat
tetap ini, KPU menerapkannya dengan dua cara yang berbeda dalam hal
kegiatan dan dalam hal sumber daya manusia. Dalam hal kegiatan sesuai
fungsinya, KPU menjalankan tugas penyelenggaranya secara terus-
menerus. Rangkaian tugas dimaksud meliputi kegiatan-kegiatan yang
terbagi dalam tiga periode waktu, yakni periode pra-pemilu, periode-pemilu
dan periode pasca-pemilu seperti yang dijelaskan dalam bab 5 tentang
tahapan pemilu. Pada masing-masing periode ini, KPU memiliki sejumlah
tugas pokok dan fungsi yang dijalankan, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah. Adapun dalam hal sumber daya manusia, penyelenggara
pemilu terbagi ke dalam kategori Anggota KPU dan staf Sekretariat KPU.
15
Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
16 ibid
Staf Sekretariat KPU adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang direkrut lewat
jalur seleksi terbuka ASN KPU berpedoman pada ketentuan rekrutmen atau
20 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
21 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUNDANG-UNDANG-XIV/2016, bertanggal 10 Juli 2017,
mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang, h.
79-80. Lebih lengkap lihat, Alboin Pasaribu, “Tafsir Konstitusional atas Kemandirian Penyelenggara
Pemilu dan Pilkada”, Jurnal Konstitusi, Volume 16, Nomor 2, Juni 2019.
22 Merujuk pada sejarah pertama kali pembentukan KPU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu, jumlah anggota KPU sebanyak-banyaknya 11 orang. Namun
dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 dan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2017, jumlah anggota KPU ditetapkan sebanyak 7 orang.
23 Pasal 12, pasal 15 dan pasal 16, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
24 Pasal 13, Pasal 16, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
25 Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) huruf f, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
26 Pasal 17 ayat (1), PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
UU Pemilu mengatur dua bentuk rapat pleno yakni yang dilakukan secara
terbuka dan tertutup. Namun, PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata
Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU kabupaten/Kota lebih jauh mengatur tiga
jenis rapat pleno (lihat gambar 4.6) yaitu:
27
Pasal 52 ayat (1) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
28
Pasal 53 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
29 Pasal 12 UU Pemilu
30 Pasal 13 UU Pemilu
31 Pasal 14 UU Pemilu
Selain didukung oleh 2 Deputi, Sekretariat Jenderal KPU juga dilengkapi oleh
Inspektorat Utama yang bertugas menyelenggarakan pengawasan internal di
lingkungan Sekretariat Jenderal KPU, Sekretariat KPU Provinsi dan Sekretariat
KPU Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan tugas pengawasan internal
tersebut, Inspektorat Utama menyusun kebijakan teknis pengawasan
internal dan melaksanakan pengawasan internal terhadap kinerja dan
keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan
pengawasan lainnya. Struktur Sekretariat Jenderal KPU sebagaimana
ditunjukkan gambar 4.7. tentunya dapat diadopsi dalam struktur Sekretariat
KPU Provinsi dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota disesuaikan dengan
ketersediaan jumlah bagian atau sub bagian pada Sekretariat KPU Provinsi
dan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota.
Sekretaris
Jenderal
Deputy
Deputy Inspektur
Administra
Teknis Utama
si
Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Biro Inspektorat Inspektorat Inspektorat Bagian
Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian Bagian
(maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal (maksimal
4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian) 4 bagian)
KPU Provinsi bersifat tetap dan berkedudukan di ibu kota Provinsi. Anggota
KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang. Penetapan jumlah
Anggota KPU Provinsi didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas
wilayah dan jumlah wilayah administratif pemerintahan. 32 Anggota KPU
Provinsi dipilih dan ditetapkan KPU, sehingga KPU Provinsi bertanggung
jawab kepada KPU. Bentuk pertanggungjawabannya adalah
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas penyelenggaraan tahapan
pemilu dan laporan kinerja kepada KPU. Berbeda dengan KPU, secara
fungsional KPU Provinsi adalah koordinator Kepemiluan di tingkat Provinsi.
KPU Provinsi menyelenggarakan seluruh tahapan Pemilu di tingkat
Provinsi, melaksanakan koordinasi, supervisi dan pengendalian terhadap
KPU Kabupaten/Kota, serta membantu KPU melaksanakan sosialisasi dan
pendidikan pemilih.
Di bawah ini terdapat dua tabel yang berbeda dalam pembagian divisi dan
uraian tugas KPU Provinsi berdasarkan jumlah keanggotaannya (lima dan
tujuh orang), yakni:
37 Pasal 22 ayat (2) dan pasal 24 PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
Tabel 4.3. Matrik Pembagian Divisi dan Uraian Tugas KPU Provinsi
(dengan 5 anggota)38
DIVISI URAIAN TUGAS
Divisi Keuangan, 1. Administrasi perkantoran, rumah tangga dan Kearsipan;
Umum, Rumah 2. Protokol dan persidangan;
Tangga Logistik 3. Pengelolaan dan pelaporan Barang Milik Negara;
(Ketua) 4. Pelaksanaan, pertangungjawaban dan pelaporan keuangan;
5. Pengusulan Peresmian Keanggotaan dan Pelaksanaan
Sumpah/janji Anggota DPRD Provinsi; dan
6. perencanaan, pengadaan barang dan jasa, serta distribusi logistik
Pemilu dan Pemilihan.
Divisi Teknis 1. Pengusulan daerah pemilihan dan alokasi kursi;
Penyelenggaraaan 2. Verifikasi Parpol dan calon Anggota DPD;
3. Pencalonan Peserta Pemilu dan Pemilihan;
4. Pemungutan, penghitungan suara dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara;
5. Penetapan hasil dan Pendokumentasian hasil-hasil Pemilu dan
Pemilihan;
6. Pelaporan Dana Kampanye; dan
7. PAW Anggota DPRD Provinsi.
Divisi Sosialisasi, 1. Sosialisasi Kepemiluan;
Pendidikan 2. Partisipasi masyarakat dan pendidikan pemilih;
Pemilih, 3. Publikasi dan kehumasan;
Partisipasi 4. Kampanye Pemilu dan Pemilihan;
Masyarakat dan 5. Kerja Sama Antar Lembaga;
SDM 6. Pengelolaan dan Penyediaan informasi publik;
7. Pengusulan PAW Anggota KPU Kabupaten/Kota;
8. Pengawasan proses Rekrutmen Anggota PPK, PPS dan KPPS;
9. Pembinaan Etika dan Evaluasi Kinerja SDM;
10. Pengembangan budaya kerja dan disiplin organisasi;
11. Diklat dan pengembangan SDM;
12. Penelitian dan Pengembangan Kepemiluan;
38 Pasal 22 ayat (3) dan pasal 25 PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
39
Pasal 52 ayat 2 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
40
Pasal 54 ayat (1) dan (2) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
41 Pasal 15 UU Pemilu
42 Pasal 16 UU Pemilu
43 Pasal 17 UU Pemilu
44 Pasal 10 ayat 1 huruf c dan ayat (2) UU Pemilu awalnya mengatur jumlah anggota KPU
Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Penetapan Jumlah angota KPU
Kabupaten/Kota tersebut didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah
wilayah administratif pemerintahan. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-
XVI/2018 membatalkan ketentuan tersebut. Putusan MK tersebut menyatakan frasa ‘3 (tiga) atau 5
(lima) orang’ dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c dan frasa‘3 (tiga) orang’ dalam Pasal 52 ayat (1)
bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘5 (lima) orang’. Menurut Mahkamah, tidak rasional jika
mengurangi anggota KPU Kabupaten/Kota dengan alasan demi mengurangi beban anggaran dalam
Pemilu Serentak 2019. “Mengurangi jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota di beberapa kabupaten
dan kota menjadi berjumlah 3 orang di tengah bertambahnya beban kerja penyelenggaraan pemilu
legisatif dan pemilu presiden dan wakil presiden serentak tahun 2019 adalah sesuatu yang irasional”,
sebut Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya.
45 Pasal 33 dan pasal 37, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
46 Pasal 34 dan Pasal 36, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
47 Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) huruf f, PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi
Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
48 Pasal 37 ayat (1), PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
49 Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 35 PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
50
Pasal 52 ayat (3) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
51
Pasal 55 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
52 Pasal 18 UU Pemilu.
53 Pasal 19 UU Pemilu
54 Pasal 20 UU Pemilu
Pasal 56 UUPAPA;
(1) KIP Aceh menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Anggota DPRA dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(2) KIP Kabupaten/Kota menyelenggarakan Pemilihan Umum Presiden/Wakil
Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan
Daerah, Anggota DPRA, DPRK dan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
(3) Dalam hal pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari penyelenggara
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.
(4) Anggota KIP Aceh diusulkan oleh DPRA dan ditetapkan oleh KPU dan
diresmikan oleh Gubernur.
(5) Anggota KIP Kabupaten/Kota diusulkan oleh DPRK ditetapkan oleh KPU
dan diresmikan oleh Bupati/Walikota.
(6) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan ayat (5), DPRA/DPRK membentuk tim independen yang bersifat ad
hoc untuk melakukan penjaringan dan penyaringan calon Anggota KIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, mekanisme
kerja dan masa kerja tim independen sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) diatur dengan qanun.
Pasal 57 UUPA;
(1) Anggota KIP Aceh berjumlah 7 (tujuh) orang dan Anggota KIP
Kabupaten/Kota berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur
masyarakat.
(2) Masa kerja Anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal
pelantikan.
Sejumlah pihak kemudian melakukan Judicial Review Pasal 557 ayat 1 huruf
a dan huruf b dan ayat 2; dan pasal 57 huruf d Undang-Undang Pemilu
tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Melalui Putusan Nomor 61/PUU-
XV/2017, MK memutus, “menyatakan pasal 557 ayat (2) Undang-Undang
No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, tambahan Lembaran negara Republik
Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat”.
KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hirarkis, termasuk KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pada satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Hal ini
karena UU Pemilu mendefinisikan KPU secara hirarki dari level nasional
sampai dengan level terbawah yakni KPPS dan KPPSLN (KPU, KPU Provinsi,
KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS dan KPPSLN). Hirarki struktur
organisasi KPU tercermin dalam ruang lingkup kerjanya berdasarkan wilayah
administrasi sebagai berikut:
55
Pasal 73 ayat (1) PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota.
56
Pasal 74 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
Kode perilaku Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPLN,
PPS, KPPS dan KPPSLN secara lebih lengkap diatur dalam pasal 74 s/d pasal
90 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota.
57
Pasal 91 dan pasal 93 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
58
Pasal 91 s/d Pasal 98 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
Berdasarkan verifikasi dan klarifikasi terhadap PPK, PPS dan KPPS atau
terhadap para pihak dan Bawaslu sesuai tingkatan, maka dalam hal
ditemukan adanya dugaan pelanggaran, KPU Kabupaten/Kota
menindaklanjutinya dengan membentuk Tim Pemeriksa. Tim Pemeriksa
terdiri dari 1 orang Ketua merangkap Anggota Tim Pemeriksa dan 2 orang
anggota pemeriksa. Tim Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan prinsip
terbuka dan adil. Tim Pemeriksa melakukan pemeriksaan terhadap laporan
dan/atau pengaduan, memanggil pengadu, teradu dan memanggil saksi
serta pihak terkait jika diperlukan. Proses Pemeriksaan dilakukan selama 7
hari kerja. Tim Pemeriksa kemudian menyampaikan hasil penelitian dan
kajian materi serta hasil pemeriksaan kepada Rapat Pleno KPU
Kabupaten/Kota. Rapat Pleno tersebut mengambil keputusan terhadap
dugaan pelanggaran paling lama 1 hari setelah proses pemeriksaan Tim
Pemeriksa selesai.
59
Pasal 101 s/d Pasal 112 PKPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota
60 Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu
61 Pasal 49 UU Pemilu
62 Pasal 50 UU Pemilu
Guna menjamin demokrasi dan kedaulatan rakyat bisa berjalan dengan baik
dalam setiap penyelenggaraan pemilu selain penyelanggara pemilu yang
bersifat teknis juga dibutuhkan lembaga pengawas untuk memastikan
semuanya berjalan sesuai peraturan perundang-undangan. UU Pemilu
menyebut lembaga tersebut bernama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),
yang secara garis besar bertugas untuk mengawasi pelaksanaan Pemilu di
Indonesia. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia kita sering
mengenal check and balance sebagai bentuk kontrol dan perimbangan dalam
pelaksanaan tata pemerintahan. Kehadiran Bawaslu dalam proses
pelaksanaan pemilu sejatinya juga sebagai bentuk dari check and
balance terhadap penyelenggara pemilu lainnya dalam hal ini adalah Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas menyelenggarakan teknis pemilihan
umum. Sebagaimana KPU, Bawaslu juga dilengkapi oleh Sekretariat Jenderal
yang bertugas mendukung dan memfasilitasi Bawaslu dalam menjalankan
tugas, kewenangan dan kewajibannya. Bawaslu membentuk Bawaslu
Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Provinsi.
Bawaslu Provinsi membentuk Bawaslu Kabupaten/Kota yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten/Kota. Bawaslu, Bawaslu
Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota bersifat tetap.
63 Pasal 93 UU Pemilu
Bawaslu berwenang:67
Bawaslu berkewajiban:68
dan Bawaslu beserta jajarannya, namun rumusan Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu tetap mempertahankan rumusan yang sama seperti di dalam ketentuan Pasal 112
ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011
DKPP bertugas:
a. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode
etik oleh penyelenggara Pemilu; dan
b. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan
dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh
Penyelenggara Pemilu.
DKPP berwenang:
a. memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran
kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
b. memanggil pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait untuk
dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;
c. memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti
melanggar kode etik;
73 Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu
74 Peraturan DKPP Nomor 4 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku DKPP
DKPP berkewajiban :
a. menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas dan
transparansi;
b. menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi penyelenggara
pemilu;
c. bersikap netral, pasif dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk
popularitas pribadi; dan
d. menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
Dalam kondisi seperti itu, KPU, Bawaslu dan DKPP dituntut membangun
relasi yang kritis-sinergis, khususnya dalam merespon dan mencari solusi
terhadap masalah yang disebabkan perbedaan interpretasi pelaksanaan UU
dan Peraturan KPU. Secara formal yuridis, KPU, Bawaslu dan DKPP tentu
harus senantiasa “kritis” menjalankan tugas, kewenangan dan
kewajibannya. Namun di sisi lain ketiganya memiliki tanggung jawab supaya
sinergis mensukseskan penyelenggaraan pemilu yang makin demokratis.
Relasi yang kritis-sinergis tersebut tentu tidak mudah, karena dalam
praktiknya ketiga lembaga penyelenggara, acapkali justru mengedepankan
fungsi dan kewenangan formal yuridis, yang tidak selalu dapat
menuntaskan persoalan di lapangan dan pada akhirnya saling menegasikan
I. Penutup
A. Pengantar
Seperti yang telah disinggung di dalam Bab 1, salah satu dimensi dalam tata
kelola pemilu adalah tahapan dan jadwal pemilu. Perumusan tahapan
Tiga tahapan pemilu tersebut dapat dijelaskan seperti Gambar 5.1. Tahapan
pra-pemilu meliputi aktivitas seperti pembentukan peraturan perundang-
undangan dan regulasi teknis
lainnya, perencanaan kegiatan Gambar 5.1.
dan anggaran untuk Siklus/tahapan Pemilu
mendukungan aktivitas dalam (Electoral Cycle)
kurun waktu pemilu, pelatihan
regulasi dan teknis yang
diberikan kepada para
penyelenggara pemilu,
pemberian informasi awal
seperti pendidikan pemilih, dan
juga pendaftaran yang dibuka
untuk partisipan pemilu.
Tahapan pemilu adalah tahapan
penyelenggaraan pemilu.
Aktivitasnya meliputi pencalonan
peserta pemilu, kampanye
1 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam artikel berikut ini: https://aceproject.org/electoral-ad-
vice/electoral-assistance/electoral-cycle. Informasi lain yang disampaikan oleh International IDEA
dapat dilihat dalam link berikut: https://www.idea.int/data-tools/tools/online-electoral-cycle
Selain itu, dalam tahapan pemilu di Indonesia ini dapat dikatakan bahwa
semua kegiatan sepenuhnya dilakukan dan dipertanggungjawabkan oleh
KPU sebagai regulator dan implementor kebijakan yang terkait dengan
Pemilu. Namun demikian, oleh karena Indonesia menganut kelembagaan
pemilu yang tidak tunggal, maka adapun yang dimaksud para
penyelenggara disini dalam beberapa hal juga mengikutsertakan Bawaslu
(Badan Pengawas Pemilu) dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu). Bawaslu memiliki peran sebagai pelaksana untuk pengawasan
berbagai kegiatan pemilu yang dilakukan oleh KPU dan dapat mengajukan
keberatan apabila ada hal-hal yang disengketakan oleh pihak lain. Selain itu,
Tahapan ini adalah satu kegiatan dalam menafsirkan berbagai regulasi yang
tercantum di dalam UU Pemilu ke PKPU. Dalam tahapan pembentukan
regulasi, KPU diharuskan untuk menerjemahkan amanat UU Pemilu dalam
bentuk aturan dan regulasi yang bersifat teknis sebagai bagian dari
kerangka hukum pelaksanaan pemilu. Dalam praktiknya, selain
menerjamahkan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Pemilu,
KPU yang memiliki sifat independen dan mandiri tersebut juga menjalankan
fungsi quasi Legislatif. Fungsi tersebut adalah menerjemahkan norma
perundang-undangan secara lebih spesifik dalam rangka menghasilkan
kualitas penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Sebagai contoh, UU
Pemilu tidak mengatur mengenai sanksi diskualifikasi bagi Parpol peserta
pemilu yang tidak mampu memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam
daftar calon Anggota Legislatif. Namun, di dalam menginterprestasikan
Pasal 245 UU Pemilu mengenai keterwakilan perempuan paling sedikit 30
persen, KPU menerjemahkan pengaturan ini sebagai sebuah hal yang
mengikat dan wajib untuk dipenuhi dengan konsekuensi diskualifikasi.
Pada sisi lain, dalam rangka mendorong legitimasi terhadap PKPU sekaligus
menjalankan prinsip transparansi terutama untuk memperoleh masukan
terhadap rancangan PKPU, KPU selalu membuka ruang uji publik dengan
Selanjutnya regulasi ini menjadi sangat penting karena sebagai fondasi awal
agar setiap aktivitas yang dilakukan benar-benar telah memenuhi prinsip-
prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemilu, seperti independensi,
kesetaraan, jujur, dan adil. Apabila ada hal yang menyimpang dan tidak
sesuai dengan prinsip dan etika yang diberlakukan dalam penyelenggaraan
pemilu, maka tentu pelanggaran dan manipulasi terhadap proses pemilu
yang berlangsung akan dapat terjadi. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
KPU dan Bawaslu melakukan pertemuan terbuka dalam membahas
rancangan PKPU dalam setiap tahapan agar ada informasi awal, koreksi,
ataupun masukan dari setiap peraturan yang didiskusikan. Tujuannya jelas
bahwa para penyelenggara pemilu secara komprehensif dapat dan sudah
memahami peraturan yang ada dan memudahkan ruang gerak mereka
dalam pelaksanaan pemilu.
Dalam tugasnya sebagai badan yang bersifat hierarkis dan tetap, KPU
memiliki tanggung jawab untuk menyusun dan membentuk organ
pelaksana yang bekerja di level Provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan
dan juga TPS. Untuk itu, KPU membedakan dua jenis kelompok badan
penyelenggara pemilu, yaitu yang bersifat tetap/permanen dan yang
BAB 5 – TAHAPAN PEMILU 193
bersifat ad hoc (sementara). Badan penyelenggara yang bersifat tetap ada
di level Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan durasi waktu selama
5 tahun. Sementara badan yang bersifat ad hoc berada di level kecamatan,
kelurahan/desa dan TPS dengan durasi waktu pekerjaan yang bervariasi
antara satu tahun hingga beberapa hari pekerjaan sesuai dengan tahapan
pemilu yang melekat menjadi tugas badan ad hoc tersebut. Meskipun KPU
sudah menetapkan bahwa seorang anggota badan ad hoc tidak boleh
menjabat lebih dari dua kali, maka hal ini bukanlah mudah untuk merekrut
orang batu untuk menjadi Anggota KPPS, PPS dan PPK. Beban pekerjaan
badan ad hoc yang ternyata diluar dugaan dalam pemilu serentak 2019 ini
terlalu banyak, maka kebutuhan standar rekrutmen untuk badan ad hoc pun
dirasakan perlu didorong.
D.4. Sosialisasi
Untuk itu, kegiatan sosialisasi ini adalah salah satu ruang bagi KPU untuk
menggalang dukungan positif dalam menyukseskan penyelenggaraan
pemilu. Ruang sosialisasi ini adalah salah satu kunci sukses KPU dalam
pencapaian tingkat partisipasi pemilih yang selalu menjadi indikator penting
dalam pelaksanaan pemilu. Maka, dalam setiap kegiatan sosialisasi, para
komisioner dan para pejabat pendukungnya dapat memastikan interaksi
dalam penyampaian informasi kepemiluan tersebut apakah sesuai target
kelompok yang direncanakan dan bagaimana respon terhadap sosialisasi
tersebut. Ditambah pula dengan intensitas pertemuan dan kegiatan yang
lebih banyak maka tentu dukungan dari pemilih, peserta pemilu ataupun
media akan mudah diperoleh. Capaian target partisipasi pun adalah bukan
hal yang sulit dicapai manakala kolaborasi para stakeholder pemilu terjalin
dengan baik.
KPU mendorong admin akun twitter KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
melakukan aktivitas re-tweet terhadap setiap kicauan KPU RI. Dengan cara
demikian, penyebaran informasi kepemiluan di jagat media sosial menjadi
lebih massif. Para komisioner secara pribadi lewat akun twitternya masing-
masing juga diminta terus berkicau untuk menyebarkan informasi pemilu
yang penting diketahui oleh publik. Namun pemanfaatan media sosial
terutama twitter dan facebook belum sepenuhnya direspon oleh daerah. KPU
juga memanfaatkan media youtube untuk memberikan tutorial pemilu
kepada penyelenggara pemilu di setiap level dan masyarakat umum. Simulasi
kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), pengisian formulir
penghitungan suara di TPS dan petunjuk teknis lainnya ditampilkan dalam
bentuk video yang mudah dipahami oleh semua orang (Rizkiyansyah 2017).
D.5. Logistik
Dalam soal mengatur tahapan mengenai logistik pemilu, KPU paling tidak
membagi kedalam dua bentuk, yaitu tahapan produksi logistik dan distribusi
logistik ke daerah-daerah. Pada tahapan produksi logistik perlu ada
identifikasi jenis dan kebutuhan yang disesuaikan dengan tahapan pemilu
karena setiap tahapan pemilu terdapat jenis logistik yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara
undang-undang pemilu mengatur secara spesifik logistik apa saja yang
dibutuhkan, seperti surat suara, kotak suara, bilik suara, alat pencoblos,
tinta, dan formulir penghitungan dan rekapitulasi serta alat kelengkapan di
TPS. Namun, untuk tahapan pendaftaran pemilih dan kampanye tentunya
diperlukan jenis dan bentuk logistik yang berbeda. Jika merujuk pada UU
Pemilu, terdapat beberapa jenis kampanye yang difasilitasi oleh anggaran
negara dan diatur oleh KPU. Artinya, KPU perlu mengatur logistik pada
tahapan kampanye ini yang disesuaikan dengan amanah undang-undang
yang ada seperti yang terlihat dalam gambar di bawah. Dengan demikian,
Tahapan ini merupakan yang paling penting dalam pemilu karena semua
kegiatan inti dalam pemilu berada dalam tahapan ini yang terdiri dari
rangkaian kegiatan yang berjalan bersamaan. Para penyelenggara dan
peserta pemilu pun juga memperhatikan secara serius detail dan peristiwa
yang terjadi dalam tahapan ini. Hal yang paling krusial adalah kepastian
adanya partisipasi pemilih menyangkut hak memilihnya dan keadilan dalam
perlakuan terhadap peserta pemilu dalam menjalankan peran untuk
mempengaruhi pemilih. Untuk itu, prinsip kemandirian dan ketegasan yang
dimiliki oleh KPU tentu dapat disampaikan dalam berbagai sikap dan
kebijakan yang disampaikan kepada pemilih, peserta pemilu dan juga para
pihak yang terlibat dalam pemilu. Hal ini perlu menjadi perhatian karena
peserta pemilu merasa perlu untuk mencari cara untuk mengumpulkan
dukungan suara pemilih sebanyak mungkin. Dalam konteks itu dapat kita
pahami bahwa pelanggaran dan manipulasi sering terjadi manakala adanya
desakan yang kuat untuk melakukan segala cara untuk memenangkan kursi
dalam pemilu.
Di samping itu, KPU juga melakukan dua hal yang terkait pemutakhiran data
pemilih yaitu Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus
(DPK). DPTb menjangkau pemilih dengan beberapa kondisi dan keadaan
tertentu sehingga pemilih tidak dimungkinkan dapat memilih di TPS yang
telah ditentukan. Untuk menjadi pemilih yang masuk dalam DPTb, maka
seorang pemilih harus mengurus perpindahan TPS tersebut yang dimulai
sejak tiga puluh hari sebelum hari pemilihan. Sementara itu, pemilih yang
masuk dalam DPK adalah yang memang tidak masuk dalam kategori DPT
dan DPTb, namun yang bersangkutan tetap dapat menggunakan hak
pilihnya dengan membuktikan KTP elektronik yang dimilikinya.
E.2. Pencalonan
Oleh karena itu, dalam kegiatan pencalonan, ada beberapa aspek yang
diperhatikan. Pertama, proses pendaftaran untuk mencalonkan peserta
pemilu, salah satunya adalah peran petugas penghubung dari Parpol atau
leassion officer (LO) dalam menyampaikan informasi terkait syarat
pencalonan dan syarat calon kepada Parpol dan bakal calon Anggota DPR
belum maksimal. Akibatnya para calon masih mendatangi helpdesk KPU
untuk menanyakan informasi terkait pemenuhan persyaratan calon
tersebut. Padahal, sejak awal sudah diatur mekanisme penyampaian
informasi dari KPU ke LO dan selanjutnya dari LO ke Parpol. Para calon tidak
diperbolehkan berkomunikasi langsung dengan helpdesk demi efektifitas
dan efesiensi kerja. Selain itu adalah kendala pada rekruitmen politik di
Partai Politik. Hal ini menunjukkan Parpol memiliki kendala dalam
melakukan rekrutmen Calon untuk dinominasikan menjadi calon.
Penjaringan calon seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum
tahap pencalonan dibuka sehingga proses pendaftaran caleg oleh partai ke
KPU dapat dilakukan lebih awal.
Gambar 5.4. Pendaftaran dan Verifikasi Calon Anggota DPR dan DPRD
Pemilu 2019
Sumber: KPU RI
Peserta pemilu, dalam hal ini baik itu calon perseorangan, Parpol ataupun
calon yang diusung oleh Parpol, memiliki kewajiban untuk menyampaikan
materi kampanyenya kepada pemilih dalam ruang yang sudah disepakati.
Setiap peserta pemilu tentu diminta untuk menyampaikan daftar tim
kampanye dengan berbagai perangkat yang dimilikinya, termasuk dalam hal
ini akun-akun di media sosial. Pengaturan jadwal kampanye pun
diperhatikan oleh seksama oleh para penyelenggara pemilu agar tidak
saling bentrok dan tumpang tindih di titik lokasi yang sama yang nantinya
berpotensi menimbulkan konflik. Materi kampanye yang disampaikan oleh
peserta pemilu pun juga disampaikan dengan program yang detail sebagai
bahan pertimbangan bagi pemilih. Namun belakangan, peserta pemilu lebih
memilih metode pertemuan yang langsung dengan berinteraksi kepada
pemilu dalam ruang lingkup yang kecil ketimbang pertemuan akbar dan
Sementara itu, penyelenggara pun telah mengatur sangat rigid dan detail
apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan selama masa
kampanye. Baik itu pengaturan khusus kepada aparat keamanan dan ASN
untuk tidak menunjukkan keberpihakan kepada peserta pemilu hingga
pengaturan penempatan lokasi baliho serta debat calon yang tentu harus
mendapat kesepakatan dengan peserta pemilu. Belakangan, oleh karena
maraknya kampanye di dunia digital melalui platform media sosial, para
penyelenggara pun benar-benar memperhatikan dan memonitor
percakapan dan transfer data yang melewati platform tersebut. Namun
demikian, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat
mendorong model kampanye pun tengah berubah dan bergeser ke dunia
maya. Meskipun dalam konteks pemilu di Indonesia masih menempatkan
bentuk kampanye face to face dan sosialisasi secara langsung, namun ada
kecenderungan sosialisasi dalam dunia maya pun tengah digencarkan untuk
menjangkau karakter pemilih yang dapat memanfaatkan sarana sosial
media dalam kehidupan sehari-harinya.
Oleh karena itu, KPU telah meminta peserta pemilu melaporkan secara jelas
nomor rekening yang digunakan, detail sumber pendapatan dan
penggunaan anggaran yang telah disesuaikan dengan peraturan yang
berlaku. Kepatuhan pelaporan ini menjadi hal penting dilakukan dalam
tahapan itu. Setelahnya, KPU akan meminta Kantor Akuntan Publik (KAP)
independen yang ditunjuk KPU melakukan verifikasi data pelaporan dari
KPU untuk dilihat lebih jauh tentang kesamaan dan perbedaan dari laporan
yang disampaikan tersebut. Oleh karena itu, peran KPU dalam mengawal
pelaporan dana kampanye menjadi penting demi memastikan bahwa setiap
peserta pemilu dapat menyampaikan kewajiban dalam pelaporan tersebut
dengan baik.
Secara khusus, dalam pemungutan suara di luar negeri yang berbeda, para
penyelenggara dan pemilih di TPS pun juga memerlukan pemahaman yang
sama. Pemungutan suara di luar negeri dilakukan dengan tiga cara yang
berbeda yaitu mencoblos di tempat TPS yang telah disediakan oleh Panitia
Pemilihan Luar Negeri (PPLN), melalui pos dengan mengirimkan surat suara
Di samping itu, dalam tahapan ini yang juga perlu mendapat perhatian dari
para penyelenggara pemilu adalah adanya hasil penghitungan cepat (quick
count) yang dipublikasikan secara massif oleh para konsultan politik
manakala penghitungan suara di tingkat TPS belum tuntas dilakukan.
Dalam tahapan penetapan hasil penghitungan suara, KPU RI, KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota tentu harus memperhatikan ketentuan dan
regulasi dalam penentuan akhir dalam penetapan suara berdasarkan sistem
pemilu yang diterapkan. Untuk pilpres, sepasang calon yang terpilih tentu
harus melewati ketentuan perolehan suara terbanyak.
Sedangkan dalam Pemilu DPD, ketentuan yang berlaku adalah empat calon
dengan suara terbanyak di setiap daerah pemilihan (Provinsi) dinyatakan
sebagai pemenang. Sementara itu, dalam Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan
Kabupaten/Kota, penentuan pemenang kursi melalui mekanisme sistem
Sainte Lague (murni) dimana ada penghitungan dengan pembagian
bilangan ganjil dan mendapatkan calon dengan suara terbanyak dari partai
yang juga memperoleh suara terbanyak. Sedangkan dalam Pilkada,
penentuan pemenang melalui perolehan suara terbanyak dengan menimal
perolehan suara 30 persen. Untuk itu, setiap penyelenggara pemilu dapat
memperhatikan dengan hati-hati dalam memutuskan penetapan hasil
pemilu. Lebih detail tentang hal ini dibahas di Bab 3.
Setelah kita mengetahui secara rinci berbagai detail kegiatan umum yang
biasanya dilakukan oleh para penyelenggara pemilu dalam tahapan
pelaksanaan, maka identifikasi tantangan dan hambatan perlu juga
diperhatikan. Sebagaimana di tahapan sebelumnya, identifikasi yang
Tahapan akhir dalam pemilu ini paling tidak memfokuskan dua hal yang
perlu mendapat perhatian yakni proses sengketa hasil pemilu dan evaluasi
Dalam tahapan sengketa ini yang juga secara detail dibahas di Bab 7, MK
menetapkan tiga pihak yang terlibat dalam semua proses persidangan
perselisihan hasil pemilu, yakni Pemohon, Termohon, dan Pihak yang
terkait. Pemohon adalah pihak yang merasa dirugikan ataupun mengalami
situasi yang tidak menguntungkan dalam proses penghitungan suara dan
penetapan hasil pemilu oleh KPU seperti Parpol, Calon, ataupun
Capres/Cawapres dan juga Cakada. Sementara termohon adalah pihak yang
berkaitan langsung dengan hasil penetapan hasil pemilu yaitu KPU.
Sedangkan pihak terkait adalah pihak yang juga terlibat dalam pemilu
seperti koalisi partai pendukung, Bawaslu dan pihak lainnya.
Dengan demikian, bagi para penyelenggara pemilu, hal yang penting untuk
dilakukan dalam proses beracara di sidang MK adalah menyiapkan
argumentasi hukum dan dapat membuktikan segala hal yang berkaitan
dengan data perselisihan dengan baik. Di samping itu, KPU dan Bawaslu
dalam banyak hal pun dapat menyamakan persepsi dan pandangan yang
Sebagai catatan, bagi peserta pemilu, tahapan sengketa hasil pemilu ini
adalah salah satu upaya terakhir yang dilakukan oleh mereka yang merasa
dirugikan dalam tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara. Oleh karena
itu, biasanya para peserta pemilu yang memiliki perhatian terhadap
perselisihan ini akan melakukan banyak hal untuk mempertahankan diri
ataupun menyerang bagi yang ingin digugat. Bahkan perselisihan ini pun
lebih banyak dikontribusikan oleh para caleg yang berasal dari partai yang
sama di dapil yang sama.
Seperti yang telah disampaikan dari detail kegiatan yang terjadi dalam
tahapan pasca pemilu, gambar berikut ini menjelaskan berbagai tantangan
yang biasanya dihadapi oleh para penyelenggara pemilu sekaligus berbagai
contoh dalam cara mengatasinya.
G. Penutup
Bab ini menjelaskan setiap tahapan pemilu yang biasanya dilakukan oleh
para penyelenggara pemilu di Indonesia. Meskipun dalam beberapa hal
tahapan yang dikenal oleh kalangan interNasional tidak memiliki kesamaan
dalam hal jenis kegiatan ataupun aktor utama penyelenggara, namun
tahapan pemilu yang berkembang di Indonesia secara prinsip tidak jauh
berbeda dengan kerangka tahapan yang telah berkembang secara
interNasional.
Titik tekan yang dapat dipelajari dalam tahapan pemilu di Indonesia adalah:
1. kerangka normatif yang berkembang dalam tahapan pemilu Indonesia
menunjukkan adanya konsistensi jadwal dan pentahapan yang relatif
sama di semua pemilu (baik untuk pemilu Legislatif ataupun pemilu
eksekutif) di tingkat Nasional dan lokal;
2. ada ruang yang terbuka dalam tahapan pemilu yang melibatkan para
pemangku kepentingan pemilu secara luas, yakni peserta pemilu,
pegiat pemilu, LSM, media massa, ataupun pemerintah untuk dapat
memberikan masukan dan komentar demi berjalannya pelaksanaan
pemilu itu sendiri;
A. Pengantar
B. Perencanaan Strategis
Sebagai salah satu lembaga negara non struktural, Komisi Pemilihan Umum
telah diamanatkan oleh UU Pemilu untuk menyelenggarakan pemilu secara
nasional. Berbagai tantangan dan permasalahan baik yang datang dari
internal dan eksternal timbul seiring dengan perubahan dinamika
kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Jawaban
strategis dari berbagai tantangan dan permasalahan tersebut adalah
melalui sebuah perencanaan strategis organisasi yang mampu memetakan
potensi dan permasalahan yang ada untuk kemudian melihat perubahan
lingkungan strategis organisasi dan akhirnya menetapkan apa yang hendak
dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Atas dasar inilah, maka KPU menyusun dan menetapkan Keputusan KPU No.
63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 Tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan
Umum (Renstra KPU) Tahun 2015-2019. Renstra KPU disusun dengan
berpedoman pada RPJMP Nasional 2005-2025 dan RPJM Nasional 2015-
2019. Sesuai dengan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 5 Tahun
2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Renstra K/L 2015-
Visi seperti yang telah dijelaskan di awal adalah rumusan umum mengenai
kondisi yang ideal pada akhir periode yang ingin dicapai oleh suatu
lembaga/organisasi. Dengan definisi tersebut, KPU periode 2017-2022
merumuskan Visi KPU Periode 2015-2019 yaitu: Menjadi penyelenggara
Pemilu yang mandiri, profesional, dan berintegritas untuk terwujudnya
Pemilu yang luber dan jurdil.1
1 Keputusan KPU Nomor 63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kpu Tahun 2015-2019
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018
2 Keputusan KPU Nomor 63 /Kpts/Kpu/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kpu Tahun 2015-2019
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018
3 Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum No. 63/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum
Tahun 2015-2019
4 Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum No. 63/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum
Tahun 2015-2019
5 Keputusan KPU No. 51/HK.03-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Komisi
Pemilihan Umum No. 63/Kpts/KPU/Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum
Tahun 2015-2019
Metode zero base yang sifatnya lebih dinamis dan terbuka terhadap
perubahan sering kali direkomendasikan untuk diterapkan dalam formulasi
anggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Situasi ini disebabkan
karena pendekatan zero base mampu merespon dan menyesuaikan
kebutuhan anggaran sesuai dengan dinamika pemilu, termasuk perubahan-
perubahan desain sistem pemilu yang terjadi. Di samping itu, karena model
penganggaran ini mementingkan desain perencanaan yang matang
sehingga dalam praktiknya dapat meningkatkan akuntablitas penggunaan
berdasarkan apa yang sudah direncanakan.
Salah satu isu strategis dan patut digaris bawahi dalam penyusunan
pendanaan pilkada adalah politik anggaran pilkada seperti telah disinggung
di bab 1. Walau sulit dibuktikan, politik anggaran dalam pendanaan pilkada
sulit ditepis. Berbeda dengan pendanaan Pemilu yang menjadi sorotan
banyak pihak secara nasional, termasuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sehingga kepentingan politik cenderung minim, penganggaran
pilkada biasanya lebih rentan dengan konflik kepentingan lokal, khususnya
bila kemudian petahana ikut kembali berkompetisi.
Ada tiga prinsip utama yang perlu dikedepankan dalam mengelola anggaran
penyelenggaraan pemilu dan pilkada yaitu:
a. Transparansi
selain salah satu cara untuk membangun rasa kepercayaan publik
terhadap penyelenggara pemilu, melalui transparansi anggaran baik KPU
RI, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat meningkatkan
kesadaran publik terhadap kerja-kerja yang sudah dilakukan. Pada sisi
lain, jika ada tudingan korupsi akan dengan mudah untuk diklarifikasi
dalam rangka menjaga kredibilitas penyelenggara pemilu. Penerapan
prinsip transparansi dapat dilakukan mulai dari tahapan persiapan
penganggaran, justifikasi, pengajuan anggaran, persetujuan anggaran,
penggunaan, sampai dengan pelaporan anggaran. Hal lain yang perlu
segera dilakukan ialah mempublikasi hasil audit keuangan lembaga
penyelenggara pemilu dalam rangka mendorong akuntablitas keuangan.
c. Integritas
integritas dalam manajemen keuangan, tidak hanya dilihat dari perilaku
dalam menjalankan transaksi keuangan, tetapi juga isu-isu lain, seperti
penghargaan terhadap properti intelektual (Wall, et. al. 2016).
Membangun sistem kode etik yang terlembaga di internal pegawai KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dapat meningkatkan integritas
pengelolaan keuangan.
Evaluasi menjadi salah satu tahapan krusial yang wajib dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dalam rangka kembali meningkatkan kinerja yang
akan dilakukan pada tahun berikut-berikutnya. Evaluasi lembaga
penyelenggara pemilu dapat dipilah kedalam tiga fase, yakni sebelum
tahapan pemilu, pada saat tahapan pemilu, dan pasca tahapan pemilu
sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 5. Meskipun dalam konteks
Indonesia terdapat mekanisme pertanggung jawaban yang diatur dalam
undang-undang lembaga negara dan juga keuangan negara, khusus untuk
penyelenggara pemilu, International IDEA (2016) menyarankan beberapa
tahapan dan bentuk evaluasi yang dapat dilakukan oleh penyelenggara
pemilu yang diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kontrol kualitas internal yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara
pemilu itu sendiri dalam rangka memastikan standar kerja dan pelayanan
yang dilakukan sudah memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi;
b. Audit lembaga penyelenggara pemilu yang dilakukan secara reguler
dalam rangka memastikan akuntabilitas. Terdapat dua kategorisasi audit
diantaranya:
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menjaga relasi dengan para
pemangku kepentingan, yang bisa dilakukan dengan cara (Wall, et. al.
2016):
1. Memelihara komunikasi yang terbuka dan dua arah;
12 Penjelasan Bagian ini sebagian besar dikutip dari Buku Inovasi Pemilu, Mengatasi tantangan
Memanfaatkan Peluang, Komisi Pemilihan umum 2017, Bab 7 Teknologi Informasi dalam
Penyelenggaraan Pemilu
KPU menyediakan dua macam cara bagi Parpol untuk mengisi data
kepengurusan dan anggota, yaitu secara on line melalui portal yang telah
disediakan dan secara off line dengan menggunakan format excel yang telah
disiapkan oleh KPU. Untuk memudahkan Parpol dalam mengisi kedua
macam data tersebut, KPU telah beberapa kali melakukan sosialisasi SIPOL
kepada Parpol dan menyediakan layanan help desk yang bisa diakses
melalui tatap muka, e-mail, telepon maupun pesan singkat yang siap
membantu Parpol untuk mengisi data tersebut. Untuk pengisian data
Parpol, hanya petugas dari masing-masing Parpol yang bisa mengisi. Setiap
Masalah utama dari kondisi yang ada saat itu adalah tidak adanya basis data
tunggal. Masing masing KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memiliki basis
data yang berbeda. Format dan teknologi yang dipakai oleh KPU Provinsi dan
Masalah lainnya adalah aplikasi yang digunakan untuk mengolah basis data
pada waktu itu (DP Tools) tidak memiliki kemampuan berterintegrasi dengan
aplikasi yang sama di tempat lain sehingga data yang diolah berisiko
mengalami duplikasi dan tidak dirancang untuk dapat berkoordinasi dengan
basis data tunggal. Kondisi ini menyebabkan perubahan yang terjadi pada
tingkat pemutakhiran tidak dapat diketahui dan dipantau dengan cepat oleh
para pemangku kepentingan yang berada di lokasi yang berbeda.
Tujuan utama dari aplikasi SIDALIH ini adalah untuk membuat daftar pemilih
yang akurat, komprehensif, dan terkini (up-to-date). SIDALIH dikembangkan
dengan proses yang cukup panjang dengan melibatkan banyak pihak.
Beberapa pihak yang terlibat dalam pengembangan sistem ini antara lain
KPU, BPPT, Kementerian Dalam Negeri, perwakilan LSM, perwakilan
perguruan tinggi, dan perwakilan KPU Provinsi. Perwakilan dari setiap
lembaga ini masuk dalam steering committee (SC) Prakarsa Pendaftaran
Pemilih KPU. Steering committee diketuai oleh anggota KPU yang
membidangi daftar pemilih dibantu dua anggota KPU lainnya sebagai wakil
ketua. Selain itu, tim steering committee dibantu oleh sebuah organizing
committee (OC) yang terdiri atas para ahli di bidang pendaftaran pemilih dan
bidang informasi dan teknologi.
SIDALIH adalah sebuah aplikasi terpusat yang berbasis internet (web). Setiap
KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memiliki portal masing-masing. Data
pemilih yang akan diolah oleh KPU di masing-masing wilayah terpusat di
server KPU. Setiap satuan kerja KPU hanya bisa mengakses data di wilayah
kerjanya masing-masing, tidak diberikan akses untuk melakukan perubahan
di luar wilayah kerjanya. Operator SIDALIH di setiap satuan kerja KPU
jumlahnya berbeda-beda, tergantung dengan ketersediaan sumberdaya
manusia dan jumlah data pemilih. Namun demikian, KPU menetapkan jumlah
operator SIDALIH sekurang-kurangnya 2 (dua) orang di setiap satuan kerja di
provinsi atau kabupaten/kota. Namun demikian, operator SIDALIH dapat
diperluas atau diperbanyak dengan melibatkan anggota PPK jika jaringan
internet di wilayah kerja KPU Kabupaten/Kota menjangkau sampai tingkat
kecamatan. Setiap operator SIDALIH memiliki akun dan kata kunci yang
sifatnya rahasia.
Penggunaan SIDALIH pada Pemilu 2014, Pilkada 2015, 2017, 2018, dan Pemilu
2019 mendapatkan banyak pujian atau apresiasi dari banyak pihak karena
SIDALIH dinilai banyak membantu terobosan dalam upaya memperbaiki
kualitas daftar pemilih. Keberhasilan SIDALIH dalam meningkatkan kualitas
DPT antara lain:
1. SIDALIH menjadi alat untuk melaksanakan prinsip transparansi dalam hal
daftar pemilih. Dengan SIDALIH masyarakat luas dapat mengakses daftar
pemilih secara on line di laman KPU.
2. SIDALIH mampu mengonsolidasikan daftar pemilih dalam jumlah yang
sangat besar, 190 juta pemilih, secara terpusat.
3. SIDALIH memberikan informasi awal tentang kegandaan data pemilih dan
ketidakakuratan data pemilih yang disusun oleh KPU Kabupaten/Kota.
4. Yang tidak kalah penting adalah Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)
memberikan nilai 74,9 untuk kualitas DPT Pemilu 2014.
5. Pada penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2015, Tahun 2017, Tahun
2018 dan Pemilu 2019 SIDALIH kembali memainkan peran vitalnya dalam
proses menyusun dan mempublikasikan daftar pemilih. KPU juga
memanfaatkan SIDALIH untuk Pilkada karena SIDALIH dianggap salah satu
success story dari penyelenggaraan Pemilu 2014.
Desain SITUNG sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2004 dan
2009, yaitu berbasis aplikasi offline (lokal), scanner/pemindai, dan aplikasi
excel. SITUNG terdiri atas beberapa aplikasi, yaitu aplikasi scan formulir C1,
aplikasi excel untuk formulir rekapitulasi, dan e-rekap.
Aplikasi scan formulir C1 adalah sebuah sistem teknologi informasi (IT) yang
berbasis off line yang dapat dioperasionalkan tanpa membutuhkan
sambungan internet. Aplikasi ini diinstal pada komputer masing-masing
operator dan disambungkan dengan mesin scanner yang dimiliki. Setelah
aplikasi scan C1 terinstal dan tersambung dengan mesin scanner, operator
memulai melakukan pemindaian formulir C1. Hasil pemindaian formulir C1
ini tersimpan dalam aplikasi dan siap dikirim ke server KPU di Jakarta. Agar
bisa mengirimkan gambar formulir model C1 hasil pemindaian ini, komputer
harus terhubung dengan jaringan internet.
Meski perangkat dan teknologi yang digunakan sama dengan 2009, tetapi
pada Pemilu 2014 KPU tidak lagi menggunakan teknologi ICR (Intelligent
Character Recognition) yang mampu melakukan pembacaan dan
rekapitulasi otomatis. Pada Pemilu 2014, KPU memindai formulir C1 dan
hasilnya berupa gambar (image) kemudian ditampilkan di website KPU
sehingga bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Selain image formulir
C1, sejak penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 KPU juga memberikan
informasi hasil penghitungan suara yang lebih cepat, meski bukan hasil final.
Pada Pemilu Legislatif 2014 Sistem Scan C1, tingkat keberhasilannya tidak
setinggi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Jika pada Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden 2014 jumlah formulir C1 yang berhasil dipindai
dan diunggah di website KPU mencapai 99,18 persen, pada Pemilu Legislatif
2014 sebanyak 81,85 persen. Ketidakberhasilan untuk mengunggah 100
persen formulir C1 dari seluruh TPS disebabkan oleh beberapa hal,
terutama faktor infrastruktur internet dan kualitas sumberdaya manusia di
daerah. Mayoritas KPU Kabupaten/Kota mampu menyelesaikan
E-rekap adalah sebuah aplikasi berbasis off line dan mandiri (stay alone)
yang difungsikan untuk menginput dan mempublikasikan beberapa elemen
penting dari data dalam formulir Model C1. Untuk menggunakan aplikasi
ini, operator harus menginstal terlebih dahulu aplikasi e-rekap yang dapat
diperoleh dengan cara mengunduh pada masing-masing portal KPU
Kabupaten/Kota. Untuk menjaga otentisitas dan keamanan data yang
dikirim oleh operator di daerah, setiap penggunaan aplikasi e-rekap
memerlukan username dan password yang harus diverifikasi oleh KPU.
Untuk pengiriman hasil input Model C1 ke server KPU di Jakarta, komputer
harus tersambung dengan jaringan internet. Pengiriman data e-rekap lebih
mudah karena jaringan internet yang dibutuhkan tidak sebesar pengiriman
image Model C1 hasil dari pindai. Server KPU akan menampilkan hasil hitung
cepat yang dikirim oleh e-rekap secara real time. Dengan demikian
masyarakat bisa memantau perubahan perolehan suara setiap pasangan
calon pada masing-masing daerah setiap menit atau jam.
SILON versi pertama merupakan sebuah aplikasi atau sistem informasi berbasis
off-line dan berdiri sendiri - stand alone. SILON versi pertama ini digunakan
untuk Pilkada Serentak Tahun 2015. Untuk menjalankan aplikasi ini, operator
harus menginstal SILON dalam komputer masing-masing. Setelah diinstal,
operator KPU daerah dapat mengoperasikan aplikasi ini. Beberapa fitur
penting dari aplikasi SILON versi pertama ini antara lain adalah menghitung
jumlah minimal syarat dukungan dan mendeteksi data dukungan ganda baik
dukungan ganda dalam satu pasangan calon maupun ganda dengan pasangan
calon lainnya.
SILON, SIDALIH, SITUNG, dan SILOG ibaratnya “kamar dapur” di mana KPU
mengolah informasi terkait data pencalonan kepala daerah, data pemilih,
dan data logistik pemilihan. Sementara Sistem Informasi Tahapan Pemilihan
(SITAP) ibarat “kamar tamu” sebagai tempat untuk menyuguhkan hasil dari
data yang diolah di “kamar dapur”. SITAP adalah sebuah portal KPU yang
menyajikan informasi setiap tahapan pemilihan. SITAP adalah sebuah upaya
dari KPU untuk memberikan pelayanan “one stop service” kepada
masyarakat untuk mendapatkan berbagai jenis informasi terkait dengan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Portal SITAP KPU menjadi
rujukan utama, pertama, dan terpercaya bagi banyak pihak untuk
mengetahui dan menyampaikan informasi pemilihan kepala daerah di
Indonesia. Pada Pemilu 2019 SITAP dikembangkan menjadi portal Pusat
Informasi Pemilu dimana publik dapat mengakses berbagai informasi
kepemiluan mulai dari tahapan Pemilu, informasi Calon, sampai dengan
hasil pemilu. Pusat Informasi Pemilu 2019 dapat diakses melalui link
https://infopemilu.kpu.go.id/.
Dengan portal SILOG ini, masyarakat dapat memantau berapa jumlah surat
suara, tinta pemilu, formulir, dan perlengkapan lainnya yang diproduksi,
sampai di mana proses pendistribusian logistik tersebut. Dengan kehadiran
portal SILOG, KPU lebih mudah memantau dan mengantisipasi berbagai
macam persoalan terkait dengan logistik pemilu/pemilihan.
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) adalah portal milik KPU
yang dikelola oleh Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU dengan tujuan
memberikan layanan kepada KPU di daerah dan masyarakat luas untuk
memperoleh berbagai macam dokumen produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, proses sengketa hukum
kepemiluan, jadwal persidangan perselisihan hasil pemilu/pemilihan di
Mahkamah Konstitusi, dan berbagai informasi lainnya terkait dengan
hukum kepemiluan. Portal JDIH ini menjadikan sumber informasi yang
sangat penting karena portal JDIH memberikan informasi yang cepat dan
akurat terkait dengan berbagai macam dokumen dan informasi terkait
hukum dalam Pemilu.
Portal JDIH juga dijadikan sebagai sarana untuk melakukan sosialisasi dan
uji publik terhadap draf Peraturan KPU yang akan ditetapkan oleh Rapat
Pleno KPU. Setiap draf peraturan KPU dipublikasikan di portal JDIH ini
dengan harapan masyarakat dapat mengakses, mempelajari, dan
Untuk menunjang visi di atas, harus ditetapkan misi SI/TI dari KPU sebagai
berikut:
G. Penutup
14 https://www.indonesiana.id/read/111891/repolitisasi-pemilu-2019#yHWOB9kZFZ9GRDkb.41
(diakses pada tanggal 22 Agustus 2019 )
Titi Anggraini
A. Pengantar
Dalam usaha mewujudkan pemilu yang jujur dan adil dan juga dalam rangka
menghindari terjadinya delegitimasi pemilu di masa depan, masalah-
masalah penegakan hukum pemilu itu harus diselesaikan secara
komprehensif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mengidentifikasi sebab-sebab munculnya masalah penegakan hukum;
selanjutnya dicarikan solusi komprehensif untuk mengatasi masalah
tersebut sehingga akhirnya terwujud suatu sistem penegakan hukum
pemilu yang mampu menjamin penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.
1 Bab ini merupakan revisi atas materi yang sama pada buku berjudul Fondasi Tata Kelola Pemilu (2017)
yang ditulis oleh Topo Santoso dkk. Data dan peraturan pemilu terkini dikembangkan oleh penulis.
Berdasarkan lima belas butir di atas, akan diuraikan lebih lanjut tentang
standar pertama tentang “penyusunan kerangka hukum” dan standar
kelima belas tentang “kepatuhan terhadap hukum dan penegakan
peraturan Pemilu.” Standar pertama tentang penyusunan kerangka hukum
dimaksudkan bahwa kerangka hukum pemilu harus disusun sedemikian
rupa sehingga tidak bermakna ganda, mudah dipahami, dan harus dapat
menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan
pemilu yang demokratis. Sedangkan standar kelima belas mengenai
kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu berarti
bahwa kerangka hukum pemilu harus mengatur mekanisme dan
penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap
undang-undang pemilu. Dalam hal ini hak memilih dan dipilih setiap warga
harus dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak memilih dan
Menurut International IDEA (2010) dan Vickery (2011), paling tidak ada
tujuh prinsip dalam penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu yang
perlu diimplementasikan dalam pelaksanaan pemilu, yakni: pengaturan
yang transparan, jelas, dan sederhana; mekanisme yang efektif dan
komprehensif; bebas dan biaya yang wajar; kerangka hukum dan peradilan
yang cepat; Hak-hak untuk pembelaan atau mendengar dalam proses
hukum; ketepatan waktu penegakan hukum dan keputusan (Full and Timely
Enforcement of Judgments and Rulings); Konsistensi dalam Penafsiran dan
Penerapan Hukum Pemilu.
2 Prinsip-prinsip ini disarikan dari prinsip-prinsip penyelesaian masalah hukum pemilu sebagaimana
dicakup dalam Buku Keadilan Pemilu yang diterbitkan oleh International IDEA (2010) dan Buku
berjudul Guidelines for Understanding, Adjudicating, and Resolving Disputes in Election (GUARDE) yang
ditulis oleh Chad Vickery dan diterbitkan oleh IFES (2011).
Sebagai contoh, dalam kerangka hukum pemilihan umum dikenal dua hal
yang berbeda: pertama, "Pemilu" yang merujuk pada penyelenggaraan
pemilu nasional (legislatif dan eksekutif); kedua, "Pemilihan" atau "Pilkada"
yang merujuk pada pemilihan eksekutif di daerah.
Dalam konteks hukum yang berlaku saat ini (ius constitutum), desain jadwal
pelaksanaan pemilu di Indonesia dilaksanakan secara serentak, antara
pemilu legislatif dan pemilu presiden. Pemilu serentak dilaksanakan atas
perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang
dibacakan pada Januari 2014. Putusan ini memerintahkan mulai Pemilu
2019 dan seterusnya, pemilu di Indonesia dilaksanakan secara serentak
antara pemilihan presiden dengan pemilihan anggota legislatif. Pelaksanaan
Pemilu 2019 yang dijadwalkan pada 17 April 2019 sudah menggabungkan
pelaksanaan pemilihan Calon Anggota Legislatif (meliputi Calon Anggota
DPR, Calon Anggota DPD, Calon Anggota DPRD Provinsi, dan Calon Anggota
DPRD Kabupaten/Kota) serta pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden
secara serentak di seluruh Indonesia. Pemilu yang kemudian populer
disebut “pemilu lima kotak (lima surat suara)”, kecuali pelaksanaan pemilu
di DKI Jakarta dengan empat kotak/empat surat suara karena DKI Jakarta
tidak memiliki DPRD Kabupaten/Kota.
Prinsip kerangka hukum dan peradilan cepat, serta prinisp ketepatan waktu
penegakan hukum dan keputusan sudah diatur dalam UU Pemilu. UU ini
mengatur batasan waktu setiap proses penyelesaian perkara, namun hal
yang masih harus diperkuat adalah prinsip terakhir, yakni konsistensi dalam
penafsiran hukum Pemilu.
a. Pelanggaran Pemilu
Adapun beberapa kasus yang muncul soal sengketa pemilu ini misalnya
terkait keberatan yang diajukan oleh Parpol kepada Bawaslu atas hasil
Keputusan KPU mengenai hasil verifikasi Parpol peserta pemilu. Sebagai
contoh sengketa yang diajukan Partai Garuda kepada Bawaslu pada
penyelenggaraan Pemilu 2019 yang lalu. Selain itu, beberapa kasus yang
akan muncul misalnya keberatan yang diajukan oleh bakal calon anggota
legislatif atas keputusan KPU mengenai hasil pemeriksaan administrasi
Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Di dalam Pemilu 2019, salah satu contoh kasus sengketa tata usaha negara
pemilu adalah PKPI yang mengajukan sengketa tata usaha negara ke
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Sebelumnya, PKPI dinyatakan tidak
memenuhi syarat sebagai Parpol peserta pemilu oleh KPU. Kemudian, PKPI
mengajukan sengketa proses pemilu ke Bawaslu. Bawaslu sependapat
dengan KPU, bahwa PKPI tidak memenuhi syarat Parpol peserta pemilu
setelah dilakukan verifikasi oleh KPU. Setelah Bawaslu menolak
permohonan sengketa PKPI, partai ini mengajukan sengketa tata usaha
negara ke PTUN Jakarta. Dalam putusannya, PTUN Jakarta memerintahkan
KPU menetapkan PKPI sebagai Parpol peserta Pemilu 2019.
Jika hasil tindak lanjut Bawaslu, sebuah laporan dan temuan adalah tindak
pidana pemilu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan
Panwascam meneruskan penanganan peristiwa tersebut ke Kepolisian 1x
24 jam setelah berkoordinasi dengan polisi dan jaksa di Sentra Gakkumdu.
Proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dilaksanakan sesuai
dengan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, kecuali ditentukan lain oleh
UU Pemilu.
Sumber: http://dkpp.go.id/pengaduan/
Keputusan KPU yang melakukan diskualifikasi ini yang dapat diajukan upaya
hukum ke Mahkamah Agung. Jika Mahkamah Agung menetapkan kembali
peserta pemilu yang telah didiskualifikasi, KPU wajib menetapkan peserta
pemilu yang bersangkutan seperti semula. Putusan Mahkamah Agung
adalah putusan yang bersifat final dan mengikat. Jika putusan Mahkamah
Agung tidak ditindaklanjuti, KPU dapat dilaporkan ke DKPP.
2. Persidangan
3. Pelaksanaan Putusan
Adapun keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang tidak
dapat dijadikan objek sengketa, antara lain (Pasal 4A Peraturan Bawaslu
Nomor 5 Tahun 2019):
1. Surat keputusan atau berita acara KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang merupakan tindak lanjut dari Putusan Pelanggaran
Administratif Pemilu atau Putusan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu
oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota;
2. Surat keputusan atau berita acara KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang merupakan tindak lanjut dari penanganan sentra
penegakan hukum terpadu atau putusan pengadilan terkait Tindak
Pidana Pemilu yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap; atau
3. Surat keputusan atau berita acara KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang merupakan hasil penghitungan suara, rekapitulasi
hasil penghitungan suara, dan penetapan hasil Pemilu.
Pemohon, Termohon, atau pihak terkait dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dalam mengajukan
Permohonan. Pemohon, Termohon, atau pihak terkait dapat didampingi
oleh kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dalam proses Mediasi.
Pemohon, Termohon, atau pihak terkait dapat didampingi atau diwakili oleh
kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dalam proses adjudikasi
penyelesaian sengketa proses Pemilu.
Bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota yang tidak
ditetapkan sebagai daftar calon sementara Anggota DPR, DPRD Provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota dapat mengajukan permohonan penyelesaian
sengketa proses pemilu yang diwakili oleh Parpol sesuai tingkatannya. Bakal
Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang
tercantum dalam daftar calon sementara tidak ditetapkan oleh KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai DCT Anggota DPR, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa proses pemilu yang diwakili oleh Parpol sesuai
tingkatannya.
Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Periode 2018-2023
Gambar 7.6.
Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Periode 2018-2023
Sumber: Buku Orientasi Tugas Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota Periode 2018-2023
Pengadilan tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan paling lama
21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap. Putusan
pengadilan tata usaha negara bersifat final dan mengikat serta tidak dapat
dilakukan upaya hukum lain. KPU wajib menindaklanjuti putusan
pengadilan tata usaha negara paling lama 3 (tiga) hari kerja (vide Pasal 471
UU Pemilu).
3. Para Pihak
Para pihak dalam sengketa TUN Pemilu dibagi menjadi dua yakni penggugat
dan tergugat. Penggugat dalam sengketa ini bisa Parpol calon peserta
Pemilu yang tidak lolos verifikasi akibat dikeluarkannya Keputusan KPU
tentang Penetapan Parpol Peserta Pemilu, maupun calon anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang dicoret dari daftar
calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang
Penetapan Daftar Calon Tetap dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan
Pasangan Calon. Sedangkan tergugat adalah KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota
Sumber: https://ptun-jakarta.go.id/wp-content/uploads/2015/04/PROSES-
PEMILU_001.jpg
Pada Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Peserta Pemilihan mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Konstitusi paling lambat 3 (tiga) hari kerja
terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan
oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota (Pasal 157 UU 10/2016).
Terdapat ambang batas selisih perolehan suara sah untuk dapat
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 158 UU
10/2016) sebagai berikut:
(2) Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil
Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000
(dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan
suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2%
(dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir
yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua
ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu)
jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima
persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang
ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima
ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan
perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan
paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil
penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu
juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima
Oleh karena Pemilu 2019 ini dilaksanakan serentak, sidang sengketa hasil
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselesaikan terlebih dahulu.
Dilanjutkan dengan sidang sengketa hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD. Selain
jangka waktu penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden relatif lebih singkat dibandingkan sengketa hasil Pemilu DPR, DPD,
DPRD, juga asumsi kontestasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ini lebih
tajam secara politik ketimbang Pemilu DPR, DPD, DPRD. Berbeda dengan
Pemilu 2014, sidang sengketa hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD diselesaikan
terlebih dahulu. Dilanjutkan penyelesaian sidang sengketa hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Ini karena Pemilu DPR, DPD, DPRD
b. Para Pihak
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018
tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, Para Pihak dalam Perkara PHPU Presiden dan
Wakil Presiden adalah:
1. Pemohon: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
2. Termohon: KPU.
3. Pihak Terkait: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang
berkepentingan terhadap Permohonan yang diajukan oleh Pemohon.
Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang menjadi Pemohon
adalah Pasangan Calon Nomor 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno,
sedangkan yang menjadi Pihak Terkait adalah Pasangan Calon 01 Joko
Widodo dan K.H. Ma’ruf Amin.
Dalam praktik pemilu terkini misalnya, yang menjadi objek dalam Perkara
PHPU Presiden dan Wakil Presiden dan PHPU Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota pada Pemilu 2019 adalah Keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang
Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Secara Nasional Dalam Pemilihan Umum Tahun 2019, yang
ditetapkan pada tanggal 21 Mei 2019 pukul 01.46 WIB. Keputusan KPU
inilah yang dimintakan pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi dalam
sidang PHPU.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c768182c0f18/sengketa-pemilu-
dulu-dan-sekarang/
Sumber: https://mkri.id/index.php?page=web.PendaftaranPemohonan&menu=4
Sumber: https://mkri.id/index.php?page=web.PendaftaranPemohonan&menu=4
4. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan Pendahuluan merupakan sidang pertama MK dalam rangka
mendengarkan penjelasan dan mengklarifikasi Permohonan pemohon.
Dalam sidang ini Hakim MK memberikan nasihat kepada Pemohon terkait
Permohonan yang diajukan. Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan oleh
Panel Hakim yang terdiri dari paling sedikit tiga orang Hakim. Pasca sidang
Pemeriksaan Pendahuluan, Pemohon diberikan kesempatan untuk
memperbaiki Permohonan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
5. Pemeriksaan Persidangan
Tahap Pemeriksaan Persidangan terdiri atas kegiatan mendengarkan
jawaban Termohon, mendengarkan keterangan Pihak Terkait,
mendengarkan keterangan Pemberi Keterangan lainnya, pemeriksaan
saksi/ahli; dan pemeriksaan dan.atau pengesahan alat bukti.
Mengingat waktu yang singkat, KPU harus bekerja ekstra keras dan
menyiapkan strategi untuk menghadapi keterbatasan waktu tersebut.
Berikut beberapa strategi yang bisa dilakukan oleh jajaran KPU.
b) Saksi-saksi
Penyiapan saksi adalah tergantung pada lokasi perselisihan. Jika lokasi
perselisihan di TPS, maka yang perlu atau relevan dihadirkan sebagai saksi
Pastikan jajaran KPU secara optmal menyiapkan segala hal yang berkaitan
dengan materi persidangan dan meyampaikan segala hal yang relevan
terkait dengan permohonan PHPU secara efektf, lugas, dan ringkas di
hadapan majelis sidang Mahkamah Konstitusi. Ingat tidak jangan bertele-
tele dan berpanjang-panjang, namun tanpa melupakan esensi penting dari
permasalahan yang ingn disampaikan.
H. Penutup
Bab ini menunjukkan bahwa KPU RI, KPU/KIP Provinsi, dan KPU/KIP
Kabupaten/Kota merupakan pihak yang akan selalu bersentuhan dengan
permasalahan hukum pemilu, baik tindak pidana pemilu, pelanggaran
administratif pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,
sengketa pemilu, maupun perselisihan hasil pemilu. Mengingat itu,
memahami setiap aspek dalam permasalahan hukum pemilu diperlukan
sehingga bisa memandu arah dan tujuan pelaksanaan tugas dan wewenang.
A. Pengantar
Untuk tujuan tersebut, buku ini setidaknya dibagi menjadi empat bagian
besar, yaitu bagian yang menjelaskan beberapa kondisi khusus yang dapat
terjadi di dalam proses penyelenggaraan Pemilu, bagian yang
mendiskusikan pentingnya pengelolaan resiko, beberapa kasus yang
menunjukkan upaya KPU dalam merespon dinamika yang ada, dan bagian
yang mendiskusikan hikmah yang bisa diambil (lesson-learned) dari
berbagai pengalaman baik yang sejauh ini telah dilakukan oleh KPU.
B. Kondisi Darurat
Kondisi darurat adalah sebuah keadaan yang tidak normal atau keadaan
yang tidak diperkirakan sebelumnya. Respon KPU di sejumlah daerah dalam
menghadapi kondisi darurat adalah sangat variatif. Sebagian tidak tahu
bagaiamana menghadapi dan menyelesaikannya. Sebagian lain takut untuk
mengambil resiko. Lainnya tidak bisa bertindak dengan cepat dan tepat
sebelum mendapatkan petunjuk dari KPU RI. Sementara itu, penyelesaian
harus dilakukan secara cepat karena waktu dan tahapan terus berjalan.
Ketiga, ancaman terjadinya bencana alam. Ada bentuk bencana alam yang
bisa terdeteksi, namun juga ada bentuk bencana alam yang sulit untuk
terdeteksi sejak awal. Hujan lebat, banjir, tanah longsor, angin kencang atau
pasang air laut adalah contoh bencana alam yang sedapat mungkin sudah
mulai terdeteksi sejak awal. Apalagi siklus musim tahunan sudah diketahui.
Namun, bencana alam yang tidak terdeteksi lebih menjadi ancaman bagi
penyelenggara Pemilu. Gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus adalah
bencana yang tidak bisa terdeteksi.
C. Manajemen Krisis
Terjadinya situasi yang tidak normal sering dialami oleh KPU. Menghadapi
kondisi darurat atau peristiwa khusus yang tidak terduga tentu
membutuhkan ketrampilan tersendiri, baik di dalam konteks tindakan
antisipatif, maupun di dalam konteks tindakan yang harus dilakukan dalam
menghadapi situasi itu. Tindakan antisipatif dapat dilakukan sejak awal
untuk mengantisipasi agar masalah tidak terjadi dalam menjalankan
tahapan, program dan kegiatan. Juga strategi penindakan untuk mengatasi
masalah sehingga masalah yang muncul kemudian tidak menimbulkan
resiko yang lebih besar. Semua tindakan ini harus dilakukan guna menjamin
kepastian hukum, pelayanan peserta Pemilu dan pemilih secara adil,
minimalisasi konflik di masyarakat, dan mempertahankan kepercayaan
publik terhadap KPU.
Ketiga, penting bagi KPU untuk menyusun strategi cadangan, yaitu sebuah
tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya keadaan yang
sebelumnya telah terdeteksi berdasarkan pengalaman pada pemilihan di
daerahnya atau pengalaman yang pernah terjadi di daerah lain. Sebagai
contoh, jika seorang petahana akan mencalonkan diri kembali, tentu
potensi pelanggaran sudah bisa terdeteksi sejak awal. Contoh lain, jika di
satu daerah tidak terjangkau fasilitas internet, tentu potensi terjadinya
masalah pengimputan data bisa terjadi. Juga, jika Parpol memiliki
kepengurusan ganda di tingkat pusat, maka konflik pencalonan ganda
berpotensi terjadi di semua tingkatan. Dalam konteks pendistribusian
logistik, jika pendistribusian logistik dilakukan pada saat bersamaan
waktunya dengan musim penghujan yang lebat, maka hal tersebut
berpotensi terganggu. Sedangkan dalam tahapan pencalonan, jika
pencalonan hanya terdiri dari dua pasangan calon, maka polarisasi pemilih
akan terjadi sehingga suasana menjadi sangat dinamis. Polarisasi ini juga
bisa mengganggu kemandirian penyelenggara, apalagi dua calon yang
berkompetisi memiliki kesamaan latarabelakang dengan penyelenggara
seperti, kesamaan ormas, kesamaan agama atau etnik.
Tahapan ketika krisis merupakan tahapan yang terjadi ketika krisis sudah
terjadi dan mulai melibatkan pihak-pihak untuk mengatasi krisis yang
sedang menimpa sebuah organisasi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan
ketika KPU berada di tahapan ini. Termasuk di dalamnya adalah melakukan
Soliditas merupakan salah satu kekuatan organisasi, baik itu soliditas dalam
lingkungan internal, ataupun soliditas dengan lingkungan eksternal. KPU
akan sulit bekerja secara optimal jika tidak terbangun hubungan yang baik
antar para Anggota KPU atau antara Anggota KPU dengan lembaga
kesekretariatan. Di beberapa daerah, kerja-kerja KPU kerap terhambat
karena tidak terbangunnya relasi yang baik antara Anggota KPU dengan
lembaga kesekretariatan. Loyalitas pegawai dari sekeretariat KPU menjadi
ambigu akibat ketidakkompakan. Di satu sisi, para pegawai harus tunduk
Konflik internal sering juga melibatkan antar sesama Anggota KPU. Relasi
personal antar Anggota KPU yang tidak baik akan sangat mempengaruhi
kinerja KPU. Seseorang yang bekerja dengan lingkungan kerja yang
bermasalah tentu saja akan sangat mengganggu, baik bagi dirinya, maupun
bagi prestasi organisasi (Bambang, 1991). Lingkungan Kerja merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Seorang
pegawai yang bekerja di lingkungan kerja yang mendukung biasanya akan
menghasilkan kinerja yang baik. Sebaliknya, jika seorang pegawai bekerja
dalam lingkungan kerja yang tidak baik, maka akan membuatnya menjadi
pasif, malas, cepat lelah.
Di banyak daerah, KPU berhasil membangun soliditas tim dengan baik. Salah
satunya adalah KPU Provinsi Jawa Timur. Meski juga harus mengkoordinir
sebanyak 38 KPU Kabupaten/Kota, KPU di daerah ini relatif berhasil
menjaga soliditas kerja antar sesama Anggota KPU, antara Anggota KPU dan
pihak kesekretariatan ataupun antara KPU Provinsi dan KPU
kabupaten/kotta serta antar KPU Kabupaten/Kota.
Beberapa strategi yang dilakukan oleh KPU Provinsi Jawa Timur untuk
menjaga soliditas tim adalah:
1. Ruang komunikasi dikembangkan tanpa mengenal waktu, jarak dan
struktur. Intensitas waktu pertemuan secara formal dengan semua pihak
dilakukan secara reguler, misalnya di dalam rapat-rapat koordinasi, rapat
evaluasi dan rapat pimpinan;
2. Pertemuan informal juga secara rutin dilakukan, seperti membiasakan
minum kopi bersama sebelum memulai pekerjaan, melakukan rangkaian
keagamaan seperti pengajian, diskusi penyelenggara pada setiap hari
kamis, mengadakan aktivitas-aktivitas outbond dan game untuk
memperkuat relasi tim atau relasi antar personal;
3. KPU di tingkat Provinsi juga melaksanakan kegiatan assesment bagi
komisioner maupun sekretariat untuk menggali setiap permasalahan di
setiap satuan kerja terutama dalam mengawali tahapan pemilihan;
4. Menempatkan kotak aspirasi yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai
pihak untuk membangun komunikasi yang efektif di kantor KPU.
Untuk menjamin hak pilih warga negara yang dijamin oleh konstitusi, maka
hal wajib yang perlu dilakukan oleh KPU adalah memastikan bahwa mereka
terdata dalam daftar pemilih. Selama ini materi gugatan yang sering
disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah persoalan
ketidakakuratan daftar pemilih. Akurasi data pemilih harus dilakukan
karena berkaitan dengan perencanaan, baik untuk penentuan jumlah
logsitik, maupun untuk penetapan jumlah tempat pemungutan suara.
1 Pasal 75 Ayat (1) huruf b PKPU Nomor 8 tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
2 Pasal 4 Ayat 2 butir b PKPU No. 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 11 Tahun 2018
tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
3 Surat Edaran KPU No. 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/CI/2018.
Walaupun data Situng bukan merupakan hasil resmi sebagai data yang
digunakan KPU dalam menetapkan hasil Pemilu. Namun sejumlah persoalan
kerap terjadi dalam penggunaanya. Hal yang sering terjadi adalah
pengelolaan yang belum dilakukan secara profesional. Ada kekeliruan tata
cara penginputan data oleh petugas dalam menginput formulir model C1 ke
Situng menyebabkan terjadinya pelanggaran administrasi. Sebagian KPU di
daerah belum menerapkan standar teknis yang ketat dalam melakukan
verifikasi dan publikasi data di Situng. Harusnya, data yang tersaji di dalam
Situng adalah data yang benar-benar valid, dapat dipertanggungjawabkan,
dan sajiannya tidak menimbulkan polemik dan keresahan di masyarakat.
Kelalaian lainnya adalah terdapat petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) yang memasukan formulir C1 untuk Situng atau
hasil penghitungan suara ke dalam kotak suara. Untuk mengeluarkan
dokumen itu harus melewati prosedur pembukaan melalui Bawaslu. Selain
itu, pola kerja Situng di sejumlah daerah masih terkendala oleh fasilitas
penunjang seperti internet. Akibat gangguan itu maka terjadi
keterlambatan dalam proses input sehingga penyelesaiannya melewati
batas waktu sebagaimana telah ditentukan.
Kondisi geografis juga menjadi salah satu faktor yang menghambat. Jarak
antara dari TPS ke PPS, jarak dari PPS ke PPK dan jarak dari PPK ke KPU
Kabupaten Batang cukup jauh. Padahal kegiatan memasukkan dan men-
scan data terpusat di kantor KPU Kabupaten Batang. Selain itu, jumlah
Namun demikian, jika tidak cermat dalam pengelolaanya, Sidalih dapat juga
menimbulkan persoalan. Pada Pemilu 2019, sejumlah daerah mengalami
penundaan pentepan daftar pemilih karena mengalami banyak kekurangan.
Sebagai contoh adalah pada penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk
pilpres dan pileg di Kabupaten Majalengka. Pleno penetapan DPT
sebenarnya dilakukan pada 21 Agustus. Namun, karena beberapa hal yang
bermasalah, pleno DPT diundur menjadi 28 Agustus. Penyusunan daftar
pemilih tetap hasil perbaikan, seperti dalam DPTHP-2, sering bermasalah
karena data manual dengan data yang dihimpun di Sidalih belum sinkron.
Kondisi ini menjadi salah satu alasan Bawaslu Jawa Barat menolak
penetapan dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi dan Penetapan DPTHP-
2 pada Pemilihan Umum Tahun 2019 Tingkat KPU Provinsi Jabar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh KPU Provinsi Jawa Barat. Sebagai upaya
untuk menjaga suasana pesta demokrasi dapat berjalan damai, KPU di
wilayah ini terus menerus mengingatkan, menghimbau, dan mengajak
seluruh pemangku kepentingan untuk tetap akur sauyunan dalam
Buah dari berbagai upaya tersebut adalah angka partisipasi pemilih di Bali
tinggi. Selain itu, KPU Provinsi Bali juga berhasil meraih penghargaan
sebagai The Best Award KPU Provinsi bidang Kreasi dan Sosialisasi, The Best
Award Bidang Transparansi Penyelenggaraan Pemilu, Juara 2 Kehumasan,
dan Juara 2 Pilot Projek Pendidikan Pemilih. Sedangkan strategi dari KPU
Provinsi Jawa Barat menghasilkan pelaksanaan Pemilu 2019 yang berjalan
dengan damai dan kondusif. Selain itu, angka partisipasi Pemilu juga
meningkat dibandingkan dengan di Pemilu sebelumnya.
Salah satu pasangan bakal calon di Pilkada Kota Makassar di Tahun 2018
adalah H. Ichsan Yasin Limpo dan Ir.H. Andi Muzakkar M.Si. Pasangan ini
menyerahkan berkas syarat dukungan kurang lebih 1 juta dukungan.
Mengatasi situasi yang sulit seperti ini, KPU Provinsi Sulawesi Utara
kemudian melakukan tindakan responsif agar proses pemungutan suara
tetap dilaksanakan. Setidaknya, terdapat dua tindakan yang dilakukan,
yaitu:
1. melakukan pengangkatan KPPS yang dipilih dari unsur pegawai KPU
Kabupaten Talaud. Mereka ditugaskan untuk mempersiapkan
pemungutan suara dua hari setelah hari pemungutan suara untuk
mendistribusikan logistik, untuk pemberitahuan memilih, dan untuk
mendirikan TPS.
2. mengantipasi terjadinya pengrusakan fasilitas sekolah dan fasilitas
pemerintah desa, maka KPU mendirikan TPS di tengah jalan. Tindakan
seperti ini tentu merupakan langkah yang sangat berani karena dalam
peraturan perundangan tidak ada satu pun pasal yang mengatur
demikian. Di daerah lain juga belum pernah ada yang melakukan
tindakan serupa dan tidak ditemukan dalam yurisprudensi putusan-
putusan lembaga peradilan Pemilu sejauh ini.
Peristiwa bencana alam yang menimpa Kota Palu pada tahun 2018 tentu
menjadi tantangan dan hambatan bagi KPU setempat. Terdapat keadaan
yang luar biasa akibat bencana alam ini, seperti kampung hilang, banyak
penyelenggara Pemilu yang meninggal, dan terganggunya akses dalam
menyalurkan logitik. Selain itu, KPU juga harus memastikan kembali jumlah
pemilih, mendistribusikan logitik dan surat panggilan memilih (formulir C6)
serta memastikan pemilih memiliki kemudahan akses dalam menyalurkan
hak politiknya. Meskipun pemilih mendapatkan pemberitahuan, namun
tidak serta merta mereka akan datang memilih akibat trauma yang mereka
alami.
Kesulitan serupa juga dialami juga oleh KPU Kabupaten Karo. Peristiwa
meletusnya Gunung Sinabung mengakibatkan banyak masyarakat
meninggalkan kampungnya dan berpindah ke wilayah yang tidak terjangkau
abu dan awan panas. Menghadapi kondisi demikian tentu sangat
menyulitkan bagi masyarakat untuk meyalurkan hak pilihnya terutama TPS
yang lokasi memiliki jarak yang sangat jauh.
4
Putusan Mahkamah Konstitusi No.1/PHPU.D-XII/2014.
374 BAB 8 – PENGALAMAN BAIK DI BERBAGAI DAERAH
Untuk merespon hal ini, KPU Kabupaten Karo kemudian menginisiasi
pembentukan TPS khusus. Selain itu, KPU juga mengadakan pengadaan bus
untuk mengangkut para pemilih dari lokasi pengungsian ke TPS-TPS khusus
tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan KPU
mengkutsertakan para petugas pengawas Pemilu dan pihak kepolisian.
Untuk menjamin kesehatan pemilih, KPU juga menyiapkan konsumsi satu
kali untuk setiap pemilih.
Salah satu teori kebijakan publik menyebutkan bahwa kebijakan publik yang
baik adalah kebijakan publik yang dapat diimplementasikan. Suatu
kebijakan publik dapat diimplementasikan apabila memenuhi beberapa
karakter. Diantaranya adalah norma-norma yang terkandung didalamnya
mencakup pengaturan semua keadaan yang bisa dihadapi dan dapat
menyelesaikan segala bentuk persoalan. Kedua, kebijakan publik tersebut
tidak mengandung multi interprestasi, tidak saling bertentangan dengan
regulasi satu tingkat diatasnya, tidak saling bertentangan antar pasal atau
tidak saling bertentangan dengan kebijakan lainnya. Ketiga, norma-norma
yang terkandung di dalam kebijakan publik dapat dengan mudah dipahami
oleh pelaksana kebijakan. Keempat, aspek lingkungan politik, sosial dan
budaya mendukung kebijakan publik itu. Kelima, aktor-aktor pelaksana
kebijakan memiliki pengetahuan, integritas, dan keterampilan untuk
melaksanakan kebijakan publik tersebut.
Salah satu tantangan Pemilu dan Pilkada adalah bahwa fakta atau peristiwa
Pemilu dan Pilkada di lapangan tidak atau belum diatur secara rinci dan jelas
KPU Sumut menghadapi posisi dilema ketika ada Calon DPR RI yang
melaporkan adanya dugaan penggelembungan suara oleh calon DPR RI
lainnya saat rekapitulasi sedang berlangsung. Di satu sisi, KPU harus
menegakkan aturan. Pada sisi yang lain, KPU juga tidak ingin agar aturan itu
mengesampingkan hal yang lebih substansial. Ada beberapa pertimbangan
regulasi yang dimiliki oleh KPU ketika menghadapi kondisi ini. Dalam
menjalankan Prinsip Adil, Kepentingan Umum, dan Profesional, KPU
Provinsi & KPU Kabupaten/Kota “memperlakukan dan memberi
kesempatan yang sama bagi pelapor atau terlapor dalam dugaan
pelanggaran atau sengketa Pemilu”. 6 Sedangkan dalam melaksanakan
Prinsip Kepentingan Umum, Anggota KPU Provinsi wajib berperilaku,
“memberikan respon menyelesaikan pengaduan, keluhan, keberatan dan
aspirasi dari berbagai pihak”. 7 Untuk melaksanakan Prinsip Profesional,
Anggota KPU Provinsi wajib berperilaku, “menjamin kualitas pelayanan
kepada pemilih, Peserta Pemilu, dan para pemangku kepentingan sesuai
dengan standard profesi administrasi Pemilu dan Pemilihan”. 8 Selain itu,
KPU juga mengacu pada aturan yang menyebutkan bahwa pelaksanaan
6 Pasal 79 huruf d PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
7 Pasal 82 huruf b PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
8 Pasal 85 huruf c PKPU No. 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
Atas dasar ini, KPU Sumut kemudian memberikan respon terhadap laporan
salah satu calon DPR RI tersebut. Untuk memastikan laporan itu KPU Sumut
meminta KPU Kabupaten Nias Barat melakukan pencermatan terhadap
laporan yang diterima untuk memastikan kebenarannya. Dengan
disaksikan Bawaslu Nias Barat dan para saksi, KPU Kabupaten Nias Barat
melakukan pembukaan kotak untuk menyandingkan kembali data di DAA1
dengan C1 plano atau C1 hologram di seluruh TPS di 3 tiga kecamatan.
Hasilnya menunjukkan bahwa memang terjadi penggelembungan suara
oleh seorang calon DPR RI. Setelah mengkoreksi dan mendapatkan
perolehan suara yang benar, KPU Kabupaten Nias Barat kemudian
menginput data ke dalam formulir DB1 dan kemudian ditetapkan. Bukan
hanya mengkoreksi, KPU Kabupaten Nias Barat juga kemudian memberi
sanksi pemberhentian kepada PPK karena terbukti melakukan pelanggaran
kode etik serius menggelembungkan suara calon.
Respon KPU Sumut ini kemudian mendapat keberatan dari pihak yang
merasa dirugikan karena pihak tersebut menganggap KPU Sumut melanggar
PKPU No. 4 Tahun 2019. Atas hal itu, Bawaslu Provinsi Sumatera Utara
kemudian memutuskan bahwa KPU Sumut dan KPU Kabupaten Nias Barat
melakukan pelanggaran administrasi Pemilu. KPU Sumut juga diadukan ke
DKPP hingga kemudian lahir Putusan DKPP Nomor: 114-PKE-DKPP/VI/2019,
Anggota KPU Sumut akhirnya mendapatkan peringatan keras dan
pencopotan jabatan. Kasus ini juga disengketakan dalam PHPU di
Mahkamah Konstitusi.
9 Pasal 15 huruf c UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 20 huruf c PKPU Nomor 8
Tahun 2019 tentang tata Kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Apa yang bisa diambil pelajaran dari berbagai kasus di atas? Tentu saja ada
banyak. Sebagian diantaranya adalah sebagai berikut. Dari pengalaman KPU
Provinsi Jawa Timur kita dapat menarik pelajaran bahwa salah satu cara
menjaga soliditas adalah membangun hubungan tim secara personal. Sikap
empati dan toleransi serta kemampuan kerjasama akan memudahkan
setiap Anggota KPU untuk menyadari segala bentuk keterbatasan yang
dimilikinya pada satu sisi dan kesadaran bahwa pihak lain juga memiliki
kelebihannya masing-masing. Strategi komunikasi dengan demikian
menjadi sangat penting untuk membangun soliditas di kalangan para
Anggota KPU. Sedangkan dari pengalaman KPU DKI Jakarta, satu hal yang
bisa dipelajari adalah bahwa hak pilih seseorang adalah hak asasi manusia.
Salah satu cara untuk menghargai hak itu adalah tidak menghalang-halangi
hak politiknya dan dengan sukarela memberikan kemudahan untuk
mendapatkan hak politik itu. Membantu masyarakat untuk mencatatkan
namanya dalam daftar pemilih sebetulnya tidak hanya sebatas tindakan
menghindari proses hukum, namun sebagai bentuk pertanggungjawaban
moril mewujudkan hak manusia yang paling mendasar.
Dari KPU Kabupaten Batang dan KPU Provinsi Jawa Tengah kita dapat
belajar bahwa melakukan identifikasi masalah dalam setiap tahapan adalah
menjadi sangat penting. Identifikasi masalah membantu KPU untuk
membaca kendala atau potensi ancaman yang akan dihadapi. Dalam
konteks ini, Situng sangat efektif memudahkan informasi bagi siapa saja
yang berkepentingan. Namun demikian, pemanfaatan sistem informasi dan
komunikasi mensyaratkan sumber daya manusia yang handal, sarana
prasara yang terbatas, dan sistim koordinasi yang efektif.
Sedangkan pengalaman dari KPU Kota Makassar dan KPU Sulawesi Selatan
mengajarkan kepada kita terkait dengan ketrampilan dalam mengelola
konflik di daerah yang memiliki tensi politik yang sangat tinggi. Selain itu,
belum semua regulasi Pemilu memberikan pedoman yang jelas bagaimana
mengantisipasi atau menghadapi situasi-situasi tertentu. Dinamika sosial
sangat beragam di berbagai daerah sehingga tidak mungkin sebuah regulasi
bisa menjangkau dinamika itu. Tindakan yang paling efektif bisa dilakukan
penyelenggara adalah bagaimana melakukan upaya antisipatif sebelum
terjadi konflik.
Hal yang bisa dipelajari dari pengalaman KPU Kabupaten Karo adalah
meskipun memilih bagi masyarakat bukan sesuatu hal yang wajib, namun
keterlibatan masyarakat yang tidak maksimal akan menjadi kendala
tersendiri. Kontribusi demokrasi penyelenggara tidak sekedar mencatatkan
pemilih dalam daftar pemilih. Namun yang penting juga adalah sedapat
mungkin mereka dapat dijangkau lewat pemberitahuan memilih dan
memudahkan masyarakat agar bisa mendatangi dan memilih di tempat
pemungutan suara. Prinsip ini tentu menjadi pelajaran bagi penyelenggara
di lokasi-lokasi sulit karena keadaan geografi dan keadaan alam yang tidak
mendukung.
Akhirnya, dari pengalaman KPU Kabupaten Nias Barat dan KPU Provinsi
Sumatera Utara kita dapat belajar bahwa upaya menjaga dan memastikan
kemurnian suara rakyat (electoral genuine) yang dilakukan oleh KPU sering
sekali penuh resiko. Kasus ini memberikan pelajaran bahwa untuk
menghadapi kasus seperti ini, selain memegang teguh prinsip
penyelenggara Pemilu, KPU juga dituntut untuk memiliki keberanian dalam
menjaga dan mengawal suara rakyat demi mewujudkan Pemilu yang
berintegritas.
Poin utama dari bab ini adalah memetakan beberapa isu strategis yang
biasanya dihadapi oleh KPU di tingkatan daerah. Dari diskusi di atas, kita
juga dapat mengambil pelajaran dari berbagai pengalaman yang telah
dilakukan oleh KPU dalam rangka memberi solusi atas berbagai tantangan,
kendala, dan problematika yang menghadang. Tentu saja pengalaman-
pengalaman di atas hanya menjadi sebagian dari upaya yang telah dilakukan
oleh KPU di semua daerah. Dengan demikian, tulisan ini perlu
ditindaklanjuti dengan kajian-kajian berikutnya dalam rangka memperkaya
praktik-praktik terbaik yang telah dilakukan oleh KPU sampai sejauh ini.
Akumulasi dari pengalaman baik dalam penyelenggaraan KPU tentu saja
akan sangat berharga bagi upaya untuk mendorong proses
penyelenggaraan Pemilu yang semakin lebih baik ke depan.
Pemilihan Umum (Pemilu) demokratis telah menjadi salah satu warna paling
penting dari kehidupan politik di Indonesia selama dua dasawarsa terakhir.
Sejak Pemilu 1999, wakil-wakil rakyat di Parlemen dipilih melalui sistem yang
berbeda dibanding dengan pemilu era Orde Baru. Sejak Pemilu 2004, Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih melalui MPR, namun dipilih
secara langsung oleh rakyat. Sejak tahun yang sama, wakil-wakil rakyat yang
duduk di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai pengganti lembaga Utusan
Daerah, juga dipilih secara langsung. Dan terakhir, sejak 2005, Pasangan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota tidak lagi dipilih oleh
DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota, melainkan juga dipilih secara
langsung oleh rakyat.
Perubahan fundamental seperti ini bukan hanya berlaku dalam hal sistem
pemilu, namun juga menyangkut aspek-aspek lain dari pemilu. Yang penting
untuk dicatat adalah reformasi di dalam aspek penyelenggara pemilu yang
mengarah kepada kelembagaan yang semakin mandiri. Demikian juga
teknikalitas penyelenggaraan tahapan-tahapan pemilu yang semakin
mendorong transparansi dan akuntabilitas. Dan tidak ketinggalan adalah
mekanisme penegakan hukum pemilu yang semakin kokoh untuk memastikan
bahwa penyelenggaraan pemilu berlangsung secara berintegritas, luber dan
jurdil.
Topik-topik itulah yang menjadi bahasan utama di sepanjang buku ini. Topik-
topik tersebut, meski ditulis oleh beberapa penulis yang berbeda, namun
memiliki alur penalaran yang cukup runtut. Secara berurutan, bab-bab dalam
buku ini membicarakan berbagai aspek kepemiluan sejak dari hulu hingga hilir.
Pada Bab 1, Mada Sukmajati dan Aditya Perdana menjelaskan definisi dan
konsep “tata kelola pemilu” (electoral governance) sebagai kerangka dasar
bagi para pembaca untuk memahami buku ini. Tidak lupa, kedua penulis juga
Harus diakui bahwa buku ini menguraikan beragam aspek tata kelola pemilu
dengan sangat lengkap. Meskipun tentu saja, sebagai konsekuensinya, tidak
semua aspek dibahas dengan detail dan lengkap. Tentu menjadi tantangan
tersendiri untuk menuangkan demikian banyak ide dan gagasan secara
terperinci dalam jumlah halaman yang terbatas. Namun demikian, sebagai
sebuah “fondasi”, sebenarnya buku ini telah cukup memadai untuk
mengantarkan pembacanya memahami kompleksitas tata kelola Pemilu di
Indonesia.
Selain masalah kedalaman, salah satu hambatan lain dari penulisan buku ini
menyangkut banyaknya penulis yang terlibat di dalamnya. Di satu sisi hal
tersebut mengakibatkan kurang runtutnya ide-ide yang dituangkan dalam
setiap bab maupun antar bab. Sedangkan di sisi lain, perbedaan selera masing-
masing penulis juga mengakibatkan inkonsistensi gaya penulisan.
Hal seperti sebenarnya telah disadari sejak awal oleh para editor. Sehingga
para editor telah berusaha sekeras mungkin untuk menyelaraskan bukan
hanya teknis dan substansi tulisan, namun juga terkait dengan gaya dan selera
penulisan. Semua upaya tersebut dilakukan dalam rangka menyodorkan
sebuah buku yang utuh dan runtut bagi para pembaca.
Pada awalnya, penulisan buku ini secara khusus bertujuan untuk menyediakan
bahan bacaan bagi para peserta Orientasi Tugas KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota sebelum mereka mulai menjalankan tugas penyelenggaraan
pemilu di daerah masing-masing. Karena sebagai buku panduan, maka kami
menyusun buku ini bersifat pengantar atas setiap aspek, namun menyeluruh
BAB 9 – PENUTUP 385
dan meliputi berbagai aspek. Dengan harapan tentu saja para penyelenggara
pemilu tersebut tidak berhenti dan merasa cukup hanya dengan membaca
buku ini. Sebaliknya mereka terdorong untuk mendalami masing-masing aspek
bahasan dalam buku ini dengan membaca literatur-literatur yang telah banyak
tersedia dan ditulis oleh para pengarang lain.
Selain untuk para peserta Orientasi Tugas, buku ini juga dapat memperkaya
bahan bacaan bagi para pengajar maupun mahasiswa Paskasarjana (S2)
Program Tata Kelola Pemilu Indonesia, yang merupakan hasil kerja sama
antara KPU dengan berbagai Perguruan Tinggi Negeri di seluruh Indonesia.
Dengan membaca buku ini, para mahasiswa tersebut diharapkan dapat dengan
baik memahami fokus dan ruang lingkup kajian tata kelola pemilu.
Dan tidak lupa, kami berharap agar buku ini menjadi bahan bacaan yang cukup
memadai bagi para peminat isu-isu kepemiluan, baik akademisi, mahasiswa,
pengamat, maupun penggiat kepemiluan. Apalagi bagi mereka yang memiliki
keinginan untuk mendaftar sebagai penyelenggara pemilu, baik di KPU
maupun Bawaslu. Dengan membaca buku ini, mereka setidak-tidaknya telah
memiliki pemahaman yang cukup mengenai apa itu lembaga penyelenggara
pemilu, apa saja bidang tugasnya, serta prinsip atau nilai-nilai apa yang harus
dijadikan pegangan agar dapat menyelenggarakan pemilu secara luber, jurdil,
dan berintegritas.
BAB 1
Catt, Helena, Andrew Ellis, Michael Maley, Alan Wall dan Peter Wofl. 2014.
Electoral Management Design. Stockholm: International IDEA.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 Di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Haris, Syamsuddin. 1991. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widia
Sarana.
Haris, Syamsuddin (Ed.). 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI.
Isra, Saldi dan Khairul Fahmi. 2019. Pemilihan Umum Demokratis. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi RI 2003-2019. Jakarta: Rajawali Pers
Lay, Cornelis. 2010. Melawan Negara. 1973-1986. Yogyakarta: Polgov.
Liddle, William R. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik.
Jakarta: LP3ES.
Mozaffar dan Schedler. 2002. “The Comparative Study of Electoral Governance-
Introduction.” International Political Science Review. Vol.23 (1).
Pratama, Heroik M., Agustiyati, Khoirinnisa, dan Sadikin, Usep Hasan. 2018.
"Politik anggaran di Pilkada: Studi Perbandingan Besaran Anggaran
Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 Petahana dan Non Petahana di 17
Provinsi", dalam Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Sukmajati, Mada dan
Perdana, Aditya (ed.). Jakarta: Bawaslu RI.
Rachman, Fadhly, F. 2019. Fantastis! Anggaran untuk Pemilu 2019 Capai Rp.25 T.
dapat diakses di https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
4485400/fantastis-anggaran-untuk-pemilu-2019-capai-rp-25-t pada
tanggal 29 Agustus 2019.
Surbakti, Ramlan. 2016. “Tata Kelola Pemilu sebagai Subkajian Pemilu Terapan.”
Pidato Inagurasi Anggota Baru Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
388 DAFTAR PUSTAKA
(MIPI). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 26
Desember 2016.
Suryadinata, Leo. 1992. Golkar dan Militer. Studi tentang Budaya Politik. Jakarta:
LP3ES.
Torres, Luis Eduardo Medina dan Edwin Cuitlàhuac Ramires Diaz. 2015. “Electoral
Governance: More than Just Electoral Administration.” Mexican Review
Law. Vol. VIII (1).
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.
BAB 2
ACE Project.2013. The Encyclopaedia : Electoral Integrity. Dapat di akses di:
http://aceproject.org/ace-en
Annan, Kofi A. et.al. 2012. Deepening Democracy: A Strategy for Improving the
Integrity of Elections Worldwide : Global Commission on Election,
Democracy and Security. Dapat diakses dari
http://kofiannanfoundation.org/sites/default/files/deepeningdemocracy
0.pdf
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:
Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Powell JR, G. Bingham. 2000. Elections as Instruments of Democracy (Majoritarian
and Proportional Visions). New Haven: Yale University Press.
Gaffar, Abdul.2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Gaffar, Janedri M. 2012. Politik Hukum Pemilu. Jakarta:Konstitusi Press.
Wall, Alan et al. 2016. Electoral Management Design The International IDEA
Handbook. Stockholm Sweden.
BAB 3
Benoit, Kenneth. 2007. “Electoral Laws as Political Consequences: Explaining the
Origins and Change of Electoral Institutions.” Annual Review of Political
Science. Vol. 10.
Blais, André dan Louis Massicotte. 2002. “Electoral System,” dalam Comparing
Democracies 2: New Challenges in the Study of Elections and Voting.
Lawrence LeDuc, Richard G. Niemi dan Pippa Norris (Eds.). London: SAGE
Publication.
Puskapol Universitas Indonesia. 2019. Analisis Perolehan Kursi Pemilu DPR dan
DPD RI tahun 2019: Kekerabatan dan Klientalisme dalam Keterwakilan
Politik. Depok: Puskapol UI.
Rae, Douglas W. 1967. The political consequences of electoral laws. New Haven,
CT: Yale University Press.
Reynolds, Andrew, dan Marco Steenbergen. 2006. “How the world votes: The
political consequences of ballot deign, innovation and manipulation.”
Electoral Studies, 25.
Reynolds, Andrew, Ben Reilly dan Andre Ellis (ed). 2016. Desain Sistem Pemilu:
Buku Panduan Baru International IDEA. Jakarta: Perludem.
Rizkiyansyah, Ferry Kurnia. 2017. Catatan Penyelenggaraan Pemilu 2014. Jakarta:
PT. Epicentrum Mahadaya Komunika.
Roberts, Andrew, Jason Seawright, dan Jennifer Cyr. 2013. “Do Electoral Laws
Affect Women’s Representation?”.Comparative Political Studies, Vol. 46
(12).
Santoso, Topo dan Ida Budhiati. 2019. Pemilu di Indonesia. Kelembagaan,
Pelaksanaan, dan Pengawasan. Jakarta: Sinar Grafika.
Sekretariat Jenderal KPU. 2010. Pemilu untuk Pemula. Jakarta: KPU RI.
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, dan Hasyim Asy’ari. 2011. Menyederhanakan
Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.
Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
_____________________________ 2011. Menyetarakan Nilai Suara:Jumlah dan
Alokasi Kursi DPR ke Provinsi. Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan.
BAB 4
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 105 Tahun 2018 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Wewenang, Organisasi, Dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Komisi
Pemilihan Umum, Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Dan
Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
PKPU Nomor 23 tahun 2018 tentang perubahan PKPU nomor 7 tahun 2018
tentang seleksi anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum,
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota
Peraturan DKPP Nomor 2 tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Penyelenggara Pemilu
Peraturan DKPP Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
DKPP
Surbakti, Ramlan dan Nugroho, Kris. 2015. “Badan Penyelenggara Pemilu” dalam
Kemitraan. Studi Tentang Desain Kelembagaan Pemilu Yang Efektif. Jakarta:
Kemitraan Bagi Tata Pembaharuan Pemerintahan.
BAB 5
ACE Project. 2019. Electoral Cycle. Diunduh pada halaman:
https://aceproject.org/electoral-advice/electoral-assistance/electoral-
cycle pada tanggal 29 Agustus 2019.
International IDEA. 2019. Electoral Cycle. Diunduh pada halaman:
https://www.idea.int/data-tools/tools/online-electoral-cycle pada tanggal
29 Agustus 2019.
Perludem. 2017. Analisis Perbandingan Sistem Pendaftar Pemilih Pemilu 2004,
2009, dan Pilkada. Jurnal Pemilu dan Demokrasi. Vol.2. Februari. Hal.9-33
Rizkiyansyah, Ferry Kurnia. 2017. Pemilu dan demokrasi terkonsolidasi: Catatan
Penyelenggaraan Pemilu 2014. Jakarta: Epicentrum Mahadaya Komunika.
Sukmajati, Mada dan Perdana, Aditya (ed.). 2018. Pembiayaan Pemilu di
Indonesia. Jakarta: Bawaslu RI.
BAB 6
Bahri, Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan
Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang Bersumber Dari Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah, Presentasi dalam Rakor KPU Penyusunan
Anggaran Pilkada serentak 2020, Yogyakarta, Agustus 2019.
Baxter, Joe C. 2007. Strategic Planning for Election Organization : A Practical Guide
for Conducting Strategic Planning Exercise. IFES.
Doran, G. T. 1981. There's a S.M.A.R.T. way to write management's goals and
objectives. Management Review.
Fischer 2004, Election Survey Cost Result.
BAB 7
Autheman, Violaine. 2004. “Global Lessons Learned: Constitutional Courts, Judicial
Independence and the Rule of Law,” dalam IFES Rule of Law White Paper
Series. International Foundation of Electoral System.
Chad Vickery (ed). 2010. Guidelines for Understanding, Adjudicating, and
Resolving Disputes in Election (GUARDE). International Foundation of
Electoral System dan USAID.
BAB 8
Bambang. 1991. Meningkatkan Produktifitas Karyawan. Jakarta : Binaman
Pressindo.
Darling, John. 1994. “Crisis Management in International Business: Keys to
Effective Decision Making.” Leadership & Organization Development
Journal, Vol. 15 (8).
Aditya Perdana
adalah Ketua Pusat Kajian Politik Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia (PUSKAPOL LP2SP FISIP UI). Aditya juga
merupakan dosen di Departemen Ilmu Politik
FISIP UI sejak tahun 2008. Aditya menyelesaikan
gelar sarjana dan magister ilmu politik di FISIP UI.
Selanjutnya, beliau menamatkan studi doktornya
di Universitaet Hamburg Jerman di tahun 2017 dengan
penelitiannya berjudul The relationship of civil society organizations
(CSOs) and political parties in post- Suharto Indonesia: a women’s
CSOs perspective. Fokus penelitiannya meliputi isu partai politik,
tata kelola pemilu, masyarakat sipil dan gender dalam politik.
Beberapa karya terbarunya adalah Gerakan Perempuan Politik
setelah 20 tahun Reformasi di Indonesia (Jurnal Perempuan 2019);
Pembiayaan Pemilu di Indonesia (Bawaslu RI 2018); Dinamika
Masyarakat Sipil dan Advokasi Kebijakan Publik di Indonesia; Koalisi
Masyarakat Sipil Anti-Rokok dalam Upaya Pengendalian Rokok di
Indonesia (2005-2017) (Rajawali Press 2018). Menjadi tim ahli
beberapa kegiatan dan forum yang diselenggarakan oleh KPU RI,
Bawaslu RI, dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPA). Aktif menulis di Harian Kompas, Media
Indonesia, dan Sindo. Dapat dihubungi di: aditya.perdana@ui.ac.id.
h�p://www.kpu.go.id
@KPU_ID