Tahun 2019 sebentar lagi akan berakhir, kita semua telah melewatinya dengan catatan
dan pandangan yang berbeda, berdasarkan peran duniawi kita masing-masing. Catatan baik
di tahun 2019 akan kita seberangkan ke tahun 2020, dan yang tidak baik kita tinggalkan
menjadi kenangan yang kurang nyaman nan elok. Sebagai pejabat publik yang telah diberi
amanah dibawah sumpah, Saya perlu menulis catatan sederhana ini, sebagai konsekuensi
akuntabilitas penyelenggara pemerintahan yang sementara mengemban amanah Rakyat.
Sejak kami dilantik sebagai Anggota DPRD Sultra pada tanggal 7 bulan Oktober
2019, kami dihadapkan pada situasi kamtibmas khususnya di kota Kendari yang cenderung
memanas. Sebagai Ibukota Provinsi, Kota Kendari menjadi epicentrum perputaran issu,
ekonomi, politik dan gerakan-gerakan sosial. Dibulan September 2019, gelombang unjuk rasa
mahasiswa serentak terjadi di seluruh Indonesia tak terkecuali di Kendari. Agenda nasional
gerakan mahasiswa ini yaitu menolak revisi UU KPK dan pengesahan RUU KHUP.
Demontrasi ini menimbulkan korban jiwa dikalangan mahasiswa, yaitu Alm. Immawan
Randi dan Yusuf Kardawi yang diduga tertembak peluru, keduanya adalah mahasiswa
Universitas HaluOleo. Tentu Kita semua harus dan akan selalu mengenang keduanya sebagai
syuhada bagi bangsa dan pahlawan bagi Demokrasi.
Setelahnya Gelombang aksi massa berlanjut ke DPRD Sultra, dengan tuntutan agar
DPRD Sultra selaku wakil rakyat menjadi bagian yang ikut menuntaskan atau mengungkap
oknum pelaku yang diduga melakukan penembakan terhadap Alm. Randi dan Yusuf.
Merespons tuntutan mahasiswa tersebut, nurani kami bergolak, sebagai salah satu mantan
aktivis mahasiswa, eksponen gerakan reformasi 1998, dan juga satu almamater dengan
korban, sikap kami tegas yaitu mendukung perjuangan mahasiswa, agar pelaku penembakan
segera diungkap. Terkait hal ini, sikap 45 Anggota DPRD Sultra seragam, bulat dan tegas.
Bahkan pada saat rapat paripurna pelantikan kami sebagai Anggota DPRD, dihadapan
Forkompimda Provinsi dan undangan, Saya menginterupsi pimpinan sidang agar sejenak
menundukan kepala seraya mendo’akan Alm. Randi dan Yusuf agar diterima disisi-Nya.
Menurut kami, tanah Sultra tidak boleh dialiri darah mahasiswa yang berjuang untuk
kebaikan bangsanya. Yang mereka perjuangkan adalah peradaban bangsanya di masa depan
yaitu demokrasi yang makin baik dan negeri yang bebas korupsi. Karena itu kami mengutuk
siapapun pelaku dan minta diproses secara hukum, agar keluarga korban dan kita semua
mendapatkan keadilan. Saya juga menyampaikan akan mengusulkan nama ruangan rapat
khusus di DPRD Provinsi menjadi Ruang Rapat Randi dan Yusuf sebagai bentuk
penghormatan terhadap keduanya, sebagaimana KPK telah lebih dulu mengabadikan nama
kedua Alm. sebagai nama Gedung/Auditorium di KPK. Juga dalam kesempatan yang baik
perlu Saya mengingatkan dan menyampaikan kepada kita semua adanya usulan untuk
membuat monument randi yusiuf guna mengenang perjuangan keduanya.
Berkenaan dengan gugurnya randi yusuf ini, Saya kira DPRD Provinsi Sultra, Aparat
Kepolisian, Para Mahasiswa maupun Kita semua perlu mengevaluasi standard operasi,
prosedur dan metode penyampaian aspirasi dalam bentuk unjuk rasa. Kita tidak ingin tragedi
kelam ini terulamg dimasa depan. Randi dan yusuf adalah korban yang pertama dan terakhir.
Selanjutnya, sebagai anggota DPRD Provinsi, salah satu tugas kami adalah
mengawasi penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) dibawah Pimpinan Gubernur/Wakil
Gubernur. Saya atau kami menghadapi situasi dimana Gubernur Sultra telah merencanakan
beberapa pembangunan proyek mercusuar yang menimbulkan diskursus publik. Proyek
merecusuar itu misalnya, Pembangunan Rumah Sakit Jantung Internasional, Perpustakaan
Modern, Jalan Toronipa Kendari, Pembangunan Gedung Baru DPRD Prov direncanakan
puluhan lantai, Renovasi Kantor Gubernur Sultra menjadi 17 lantai. Program dimaksud telah
ditetapkan dalam APBD tahun 2020 oleh Anggota DPRD periode sebelumnya, beberapa hari
sebelum pelantikan anggota DPRD yang baru.
Diskursus publik terus berlanjut, bebannya tentu saja jatuh kepada Anggota DPRD
yang baru. Merespons hal ini, sikap Saya tegas, sebagaimana telah saya sampaikan melalui
media, bahwa beberapa proyek mercusuar tersebut cenderung “gegap gempita” namun minus
manfaat untuk jangka panjang. Jarak antara kebutuhan rakyat dengan proyek-proyek
tersebut teramat curam dan lebar, tidak terukur dan pemborosan. Rakyat di pelosok Kabaena
dan Pulau Batu Atas Kab. Buton misalnya tidak butuh gedung-gedung tersebut. Yang mereka
butuhkan adalah infrastruktur jalan, fasilitas melaut, dan pemberdayaan ekonomi. Bukankah
rezim pembangunan kita telah bergeser dari era developmentalisme menjadi empowerment.
Atau kita sebenarnya masih dijangkiti dengan syndrome sejarah masa lalu bahwa
pembangunan selalu identik dengan prasasti, benteng, candi atau memorabilia batu-batu besar
yang sebenarnya lebih mengusung watak otoritarianisme kekuasaan. Di masa kini, mindset
pembangunan telah bergeser bahwa kekuatan modal dan kebijakan bertumpu kepada
pemberdayaan rakyat selaku subjek pembangunan, dengan harapan rakyat berdaya dan
mandiri dalam memenuhi kebutuhan mendasarnya. Pemerintah hanya katalisator dan
fasilitator melalui pemihakan dan perlindungan kebijakan. Oleh karenanya, sejatinya setiap
kebijakan pembangunan haruslah mencerminkan kebutuhan rakyat.
Titik kritis dalam catatan saya terkait kebijakan dan pendekatan pembangunan Sultra
saat ini maupuan yang akan datang, wajib diletakan dalam formulasi yang terukur dan
mendasarkan pada dokumen RPJMD yang secara resmi dan mengikat telah ditetapkan.
Kebijakan Pembangunan yang didasarkan pada perencanaan yang matang dengan sendirinya
akan menghindari praktek-praktek yang illegal dan merugikan kepentingan publik. Selain itu
juga sebagai alat monitoring dan evaluasi penilaian publik. Belajar dari pengalaman-
pengalaman penyelenggaraan pemerintah sebelumnya, baik secara institutional maupun
sebagai warga masyarakat di Sulawesi Tenggara, tentunya banyak hal-hal yang mesti
dicampakan dalam kotak sampah dan dicegah untuk tidak mewabah kembali dikehidupan
publik. Beberapa pengalaman yang kelam bin kelabu adalah kebiasaan pemerintah daerah
menggunakan anggaran dan sumberdaya publik secara tidak terencana atau tidak tertata,
akibatnya banyak asset-asset rakyat yang terbengkalai, tidak berfungsi guna, dan bahkan
yang lebih menyakitkan terjauhkanya hak dan kebutuhan akar rumput dari hasil
pembangunan. Sampai saat ini Saya belum menemukan data dan jejak digital, bahwa proyek
proyek mercusuar tersebut pernah dijanjikan pasangan AMAN pada pelaksanaan pilgub
tahun 2018.
Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Secara geografis dan kultural masyarakat Sulawesi Tenggara mayoritas hidup dan
memiliki ketergantungan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara turun
temurun baik untuk keberlanjutan eksistensi kultural maupun regenerasinya. Hingga saat ini,
kenyataan itu masih dipertahankan sekaligus menegasikan bahwa masyarakat kita memiliki
ruang hidup yang mesti dilindungi dan dikembangkan secara lestari dan bermanfaat.
Sektor sumberdaya alam sejak beberapa tahun ini telah menjadi andalan utama
penopang PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara, meliputi sub sektor pertanian, perkebunan,
perikanan, kelautan, kehutanan dan pertambangan. Sub sektor bahan galian pertambangan
nikel memiliki nilai perdagangan yang dominan atau sekitar 80% nilai Total Perdagangan
dari sektor sumberdaya alam, terhitung January – November Tahun 2019 total perdagangan
mencapai total USD 1.516.526.790 atau setara Rp.21.215.777.869.912 (Dua Puluh Satu
Trilyun Dua ratus Lima Belas Milyar Tujuh Ratus Tujuh Puluh Tujuh Juta Delapan Ratus
Enam Puluh Sembilan Ribu Sembilan Ratus Dua belas Rupiah.
Di sisi lain, nilai ekonomi yang terbilang mentreng ini sangat tidak linear dengan
kondisi kehidupan sosial dan pembangunan daerah yang masih serba terbatas. Konflik
kekerasan, kerusakan ekologi, kriminalisasi dan lain-lain yang terkait dehumanisasi masih
menjadi potret yang mewarnai investasi ini.
Selain itu, belum tegasnya model pengelolaan usaha pertambangan yang transparan,
partisipatif dan bertanggungjawab di Sultra terutama pemegang IUP pertambangan nikel,
baik yang masih status eksplorasi maupun produksi memicu kerugian sosial-budaya,
lingkungan dan ekonomi.
Tercatat, 267 pemegang IUP lalai membayar pajak. Perlunya pengelolaan usaha
pertambangan yang transparan dan partisipatif merupakan solusi dalam menjembatani
persoalan-persoalan investasi sumberdaya alam yang menjadi fenomena selama ini. Hal ini
akan sangat mungkin dilakukan melalui pendekatan peluang kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam daerah yang terintegrasi, holistik dan tentunya partisipatif.
Pelayanan Publik
Berkenaan dengan manajemen penataan birokrasi Kita ditahun 2019 Kita juga
memberi catatan yang kurang, belum adanya Sekda definitiv, puluhan jabatan eselon II yang
dijabat oleh Pelaksana Tugas dalam kurun waktu hampir 2 tahun ini menunjukkan kepada
Kita bahwa jangankan mengurus pelayanan publik, mengurus dirinya sendiri saja Pemerintah
Provinsi belum maksimal. Dalam manajemen penataan ASN, berdasarkan penilaian KASN
Kita juga berada di Zona merah bersama Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dana Desa
Dana Desa sebagai representatif hak ekonomi politik masyarakat Desa yang
diimplementasikan melalui Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Desa memiliki ruang lingkup untuk sebesar-besarnya pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat Desa. Proses yang lebih menjunjung tinggi azas manfaat dan transparansi dalam
penggunaannya menjadi salah satu prasyaratnya. Di Sulawesi Tenggara, Dana Desa sebagian
besar bukanya menjadi ruang ekspresi pembangunan, justru sebagian besar menjadi alat
kekuasaan baru yang pada giliranya menimbulkan persoalan-persoalan sosial. Lemahnya
sistem pengawasan dan penindakan penyalahgunaan pengelolaan Dana Desa hampir merata
disemua wilayah Kabupaten Provinsi Sulawesi Tenggara. Sementara, sumberdaya tenaga
pengawasan DD, tenaga teknis dan supervisi juga tak kalah banyak yang terlatih dan
menggunakan anggaran Negara.
Saya merasakan selama satu tahun terakhir ini, masyarakat sipil lokal belum
menunjukan eksistensinya sebagai salah satu penyeimbang pemerintahan. Program-program
Gubernur Sultra, minim sorotan dari masyarakat sipil. Pertanda, masyarakat sipil mengalami
“defisit deposito” nalar kritik ataukah masyarakat sipil kita telah berdiaspora atau
bermetamorfosa menjadi bagian kolaborasi/supporting kekuasaan. Misalnya beberapa proyek
yang saya singgung di atas, kemana suara masyarakat sipil? Mengamati fenomena ini, maka
kita akan bertanya, pada titik mana gerakan masyarakat sipil hendak diarahkan. Atau kita
bungkam secara berjamaah,membiarkan penyelenggaraan pemerintahan bergerak tanpa
kontrol. Jika demikian adanya, maka rakyat kehilangan gantungan harapan. Jangan biarkan
kami berjuang sendiri, dengan daya terbatas.
Kita tengah berada di era disrupsi, revolusi 4.0. Teknologi sebagai konsekuensi
tuntutan aktivitas kehidupan manusia serba cepat dan efisien, pun dalam hal penyeleggaraan
pemerintahan. Saat ini, teknologi yang dapat mendukung pengambilan keputusan dan
akselerasi/deseminasi kebijakan secara cepat dan tepat telah menjadi bagian dari program
kebijakan pemerintah. Semua lini pengelolaan dan pelayanan pemerintahan mengusung
standard e-governance berbasi teknologi informasi. Bahkan, Presiden akan melakukan
terobosan pemangkasan birokrasi. Kedepan, birokrasi pada level tertentu perannya akan
digantikan oleh mesin cerdas melalui kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Masyarakat Lombe, Buton Tengah untuk membeli produk grosiran di Tanah Abang,
Jakarta tidak lagi harus berlayar tiga hari tiga malam dari pelabuhan Murhum, Baubau
menuju Tanjung Priok, Jakarta. Cukup memesan barang via online, tiga hari barang tersebut
akan sampai ke Lombe melalui pengiriman swasta serba cepat.Masyarakat telah beradaptasi
bahkan memanfaatkan era digital ini sebagai lompatan kemajuan disegala bidang. Misalnya,
munculnya wirausahawan starup diberbagai kota yang memanfaatkan teknologi.
Tentunya, syarat utamanya adalah DPRD yang terdepan dalam prinsif akuntabel dan
partisipatif dan efisien dengan memaksimalkan peran teknologi. Tidak bisa lagi seperti dulu,
manual bahkan sembunyi-sembunyi dalam pengambilan keputusan. Saat ini, era dimana
setiap aktivitas anggota harus diketahui oleh publik bahkan dalam pembahasan anggaran
sekalipun.Jika perlu pada hal-hal tertentu, publik terlibat langsung dalam forum rapat
pengambilan keputusan di DPRD.
Rakyat harus tahu secara langsung apa yang sedang dibahas oleh wakilnya di DPRD
sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. DPRD sebagai badan publik wajib menyiapkan informasi
publik setiap saat, serta merta, maupun informasi secara berkala sebagai bentuk transparansi
dan standard akuntabilitas kinerja representatif.
Pada tingkat tertentu, studi banding dan Kajian Antar Daerah (KAD) dapat dikurangi
dengan memanfatkan teknologi. Misalnya, konsultasi kepadaKementerian/Lembaga di
Jakarta, DPRD bisa mengundang narasumber dari K/L tersebut agar ke Kendari, kecuali
untuk merespons secara cepat aspirasi rakyat. Kajian Antar Daerah, tidak perlu lagi
mengunjungi daerah tersebut, karena saat ini masing-masing daerah memilik website yang
menampilkan seluruh informasi tentang daerahnya dan setiap saat bisa diakses.
Bahkan untuk daerah-daerah tertentu telah memiliki akun medsos resmi yang
menyiapkan laman tanya-jawab. Dengan pemanfaatan teknologi,DPRD dalam bekerja tidak
boros waktu dan efisien dalam penggunaan anggaran.
Sebagai institusi pengawasan, pembuat perda dan pembahas anggaran rakyat, DPRD
akan berupaya memaksimalkan tugas dan fungsinya sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan di daerah bersama Gubenur dan perangkatnya. Dalam UU 23/2014 tentang
Pemda, posisi DPRD dan Gubernur setara, sama tinggi dan memiliki tujuan yang sama yaitu
bersama menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. DPRD Sultra adalah
representasi seluruh rakyat Sultra, secara idealitas suara dan tindakannya adalah cerminan
suara rakyat, Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.