Bahasa Kaum Urban - Yusup

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

BAHASA KAUM URBAN

Oleh Yusup Irawan*

Dari sisi pemilahan sosiologis, masyarakat dapat dibagi atas dua tipe, yaitu masyarakat rural
dan masyarakat urban. Masyarakat rural biasanya diasosiasikan dengan masyarakat perdesaan,
sedangkan masyarakat urban biasanya diasosiasikan dengan masyarakat perkotaan.
Karakterisitik kedua tipe masyarakat itu dapat dibedakan satu sama lainnya. Masyarakat
perdesaan memiliki karakteristik yang cenderung (1) homogen, (2) berorientasi kolektivitas, (3)
statis, (4) menjunjung kesatuan dan keutuhan budaya, (5) mengutamakan harmoni, dan (6)
menjaga tradisi serta religi.
Tipe masyarakat seperti ini ditandai pula oleh ciri linguistiknya yang unik. Bahasa di area
perdesaan atau di area rural memiliki ciri yang mirip dengan ciri masyarakatnya, yaitu cenderung
statis dan homogen. Bahasa di lingkungan masyarakat seperti itu tak banyak mengalami
perkembangan yang berarti dibandingkan dengan bahasa di masyarakat urban. Tak banyak
kosakata baru yang muncul, tetapi masih banyak kosakata relik yang digunakan. Masyarakatnya
pun masih teguh menggunakan norma undak-usuk bahasa sebagai wujud tatakrama berbahasa.
Di pihak lainnya, masyarakat urban ditandai oleh beberapa karakteristik, di antaranya
berkarakterisitik (1) dinamis, (2) heterogen, (3) mobilitasnya tinggi, (4) sekuler, (5)
mengutamakan rasionalitas dan fungsi, serta (5) berorientasi kompetisi. Karena masyarakatnya
ditandai oleh karakteristik seperti itu, bahasa yang berkembangnya pun memiliki ciri khas yang
berbeda dari bahasa di masyarakat rural.
Pertama, bahasa di masyarakat urban cenderung sangat dinamis, yaitu ditandai oleh sering
munculnya kata-kata baru atau kata lama yang diberi makna baru. Misalnya, kata cuek, ngehe,
dan jablay adalah kata-kata yang baru dalam leksikon bahasa Indonesia, sedangkan kata garing
adalah kata lama yang diberi makna baru, yaitu bermakna ‘tak lucu’ atau ‘basi’.
Kedua, bahasa di masyarakat urban cederung sangat kompleks. Di kelompok-kelompok
masyarakat tertentu akan ditemukan kata-kata yang khas digunakan. Kata-kata seperti akika
‘aku’, begindang ‘begitu’, belalang ‘beli’, belenjong ‘belanja’, beranak dalam kubur ‘berak’,
cacamarica ’cari’, cucok ‘cocok’, dan cumi ‘cium’ adalah kosakata khas yang sering digunakan
oleh kalangan waria yang merupakan salah satu bagian dari masyarakat urban.
Ketiga, kita akan menemukan banyaknya singkatan dan akronim demi mengefisiensi
penulisan dan waktu berkomunikasi, plus agar terdengar lebih gaul. Bentuk-bentuk seperti Titi
DJ ‘hati-hati di jalan’, OTW ‘on the way’, narsum ‘narasumber’, jubir ‘juru bicara’, jurkam ‘juru
kampanye’, Jupe ‘Julia Perez’, dan basket ‘basah ketek’ adalah kosakata yang muncul dari
inisiatif masyarakat urban demi kepentingan efisiensi penulisan dan waktu berkomunikasi.
Keempat, kita akan menemukan berbagai kosakata yang diserap atau dimodifikasi dari
bahasa lainnya. Kata kepo yang sering diucapkan oleh kalangan anak muda ternyata berasal dari
bahasa Inggris knowing every particular object ‘mengetahui setiap hal kecil’. Begitu pula dengan
kata ilfil ‘ilang filing’ sebagiannya diambil pula dari bahasa Inggris. Dulu kita sering mendengar
kata NATO ‘No Action Talk Only’ ‘ngomong melulu gak ada langkah nyata’.
Secara umum, ada dua respons masyarakat yang saling bertolak belakang terhadap
munculnya keempat gejala bahasa urban tersebut, yaitu respons negatif dan respons positif.
Respons negatifnya adalah bahasa urban dinilai sebagai gejala penyimpangan bahasa karena
dianggap nyeleneh, tak punya aturan, menunjukkan kemalasan berbahasa, dan berasosiasi
dengan hal-hal kotor dan mesum.
Ambil saja contoh akronom ciblek dan puskesmas. Kata ciblek yang awalnya adalah nama
jenis burung kemudian diakronimkan menjadi ‘cilik-cilik betah melek’ dan diasosiasikan dengan
abege perempuan nakal yang dapat diajak berbuat mesum. Kata puskesmas adalah kata yang
merujuk pada tempat orang berobat kemudian diakronimkan dengan ‘pusat kesenangan mas-
mas’ dan diasosiasikan dengan tempat prostitusi atau setidaknya tempat panti pijat plus-plus.
Banyak pihak berkeras bahwa jika gejala leksikon urban semacam itu dibiarkan, gejala bahasa
seperti itu dikhawatirkan akan merusak martabat bahasa yang sudah ada.
Di pihak lain, respons positifnya adalah bahasa urban dinilai sebagai bentuk kreativitas
berbahasa yang patut diapresiasi karena telah memperkaya khazanah bahasa yang sudah ada.
Melihat sangat dinamisnya bahasa yang digunakan oleh masyarakat urban, tampaknya sangat
menarik dan mungkin penting untuk dilakukan sebuah kodifikasi atau pengumpulan kosakata
urban yang selama ini berserakan di mana-mana. Kita memerlukan sebuah kamus yang
representatif untuk memotret perkembangan lingusitik masyarakat urban dari sisi dinamika
kosakatanya. Kosakata yang terseleksi dan terkumpul dapat menjadi gambaran keadaan
masyarakat ketika itu. Mengapa kata itu muncul dan mengapa kata itu kemudian mati?
Sebagai contoh, kata japrem ‘jatah preman’ adalah kata yang dimaknai sebagai ‘upeti’ yang
diberikan kepada preman atau aparat pemerintah. Kata itu muncul dan digunakan secara luas
karena di negeri kita marak budaya memberi upeti demi keamanan atau memperlancar urusan
dengan aparat pemerintah. Kata urban itu dapat saja hilang dari ingatan penuturnya jikalau tak
ada lagi budaya memberi upeti.
Kemudian, akhir-akhir ini muncul kata kepo yang dikenalkan oleh kalangan artis yang kerap
kali tampil di televisi. Artis-artis itu sering kali berkomentar hal-hal yang spesifik tentang artis
lainnya di televisi sehingga muncullah kata kepo. Mungkin, beberapa tahun kemudian, kata itu
dianggap usang dan tak gaul lagi sehingga tak akan digunakan dalam percakapan gaul para artis
dan anak-anak muda. Namun, kata itu memotret sebuah sejarah bahwa ada masa dalam
masyarakat kita terdapat kelompok sosial yang gemar membongkar hal-hal pribadi orang lain.
Selain alasan di atas, penyusunan kamus urban memiliki nilai lain, yaitu untuk menambah
khazanah perkamusan di Indonesia. Bagaimanapun juga kosakata urban merupakan kekayaan
linguistik Indonesia, Jikalau kosakata itu terkodifikasi dengan baik dalam kamus, kosakata itu
akan terabadikan sehingga generasi yang akan datang dapat memahami dan menelusuri makna
yang terkandung di dalam sebuah kata urban.
Pada akhirnya perlu dipahami bahwa kita tidak dapat membendung kehadiran bentuk-bentuk
baru atau kosakata-kosakata baru yang dihasilkan oleh masyarakat urban. Sekeras apapun usaha
kita untuk membendung kosakata yang dianggap “aneh” atau menyimpang dari bahasa umum,
kosakata urban itu akan tetap hadir sepanjang media komunikasi dan penuturnya tetap ada.
Untuk itu, diperlukan kebijaksanaan dalam menyikapi kehadirannya.
Bahasa kaum urban seperti yang telah dijelaskan tersebut adalah bahasa yang menyuarakan
zamannya. Untuk kepentingan di masa yang akan datang, diperlukan usaha untuk
mendokumentasikannya agar tidak hilang keberadaannya. Suatu hari nanti, yakinlah bahwa
kosakata-kosakata tersebut akan berguna, entah sebagai sumber data penelitian bahasa atau
sebagai bahan dalam penelitian humaniora lainnya.

Anda mungkin juga menyukai