Anda di halaman 1dari 38

FTIR

METABOLOMIK UNTUK TUJUAN STANDARISASI BAHAN BAKU UNGGUL


Nurul Isna Arfianingyas (201610410311243)

Ratna Wati (201610410311095)


Kelompok 8

Rini Dwi Septiani (201610410311080)

Sit Maisarah (201610410311066)

Enninda Atri T.A.W (201610410311055)


1 JU
RN
AL
Langkah pertama untuk analisis Haridra menggunakan spektroskopi FTIR
adalah pemilihan daerah bilangan gelombang. Penggunaan spektrum FTIR di
daerah tertentu dapat meningkatkan akurasi hasil analitik.Pemilihan daerah
bilangan gelombang didasarkan pada kemampuannya untuk menyediakan
koefisien determinasi (R2) yang tinggi dan nilai kesalahan yang rendah, baik
dalam model kalibrasi yang dikenal sebagai Root Mean Square Error of
Calibration (RMSEC) atau dalam model prediksi yang disebut dengan Root
Mean Prediksi Kuadrat Persegi (RMSEP). Setelah langkah optimasi, akhirnya,
wilayah bilangan gelombang 2000-950 cmG1 dipilih untuk prediksi.
Gambar 4 menunjukkan korelasi antara nilai aktual yang ditentukan oleh
FTIR pada panjang gelombang 2000-950 cmG1. Nilai R2 yang tinggi
dan nilai RMSEC yang rendah menunjukkan akurasi dan ketepatan
metode analitik yang tinggi. Dalam sampel uji mentah, pita lebar pada
3428 cm-1 dalam spektrum IR milik frekuensi peregangan ikatan
hidrogen O-H. Puncak pada 2925 cm-1 menunjukkan frekuensi
peregangan C-H. Puncak kuat dan puncak lemah pada 1644 cm-1 dan
1544 cm-1 berhubungan dengan karbonil amida (-C = O) dan
peregangan N-C dari frekuensi amida, masing-masing. Pita lemah pada
1455 cm-1 sesuai dengan frekuensi -COO- bending. Puncak kuat 1042
cm-1 menunjukkan frekuensi peregangan hubungan eter (CO)
2 JU
RN
AL
Analisis Data
Pada penelitian ini spektrum FTIR merepre-sentasikan
profil kimia ekstrak dan fraksi kumis kucing yang kemudian
digunakan sebagai matriks data X, sedangkan aktivitas
(penghambatan enzim α-glukosidase atau antioksidan merupakan
matriks data Y). Spektrum dibuat turunannya menggunakan metode
multi-plicative signal correction (MSC). Data dianalisis dengan
orthogonal projection to latent structures (OPLS) menggunakan
perangkat lunak SIMCA-P versi 13.0 dengan penskalaan pareto.
Model di-deskripsikan dengan kriteria ketepatan model (R2 Y) dan
ketepatan prediksi (Q2 Y). Model kemudian divalidasi dengan CV
ANOVA dan uji permutasi.
Aktivitas penghambatan a-glukosidase ekstrak dan fraksi kumis kucing
hasil uji aktivitas penghambatan enzim a-glukosidase oleh ekstrak dan fraksi kumis
kucing dapat dilihat pada gambar 1. ekstrak metanol, fraksi kloroform dan butanol
menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap enzim a-glukosidase akan tetapi
aktivitas penghambatanterkuat diperoleh dari fraksi butanol. Namun demikian
aktivitas dipeeroleh dari fraksi butanol msih lebih rendah dibandingkan dengan
control positif akarbosa.
Aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi kumis kucing

Penanda senyawa penghambat aktivitas enzim a-


glukosidase
Penanda senyawa antioksidan
.
Metode metabolomik berbasis FTIR memungkinkan identifikasi secara cepat gugus fungsional penanda senyawa
yang berkolerasi positif dengan aktivitas penghambatan enzim a-glukosidase dan antioksidan dari ekstrak kasar dan fraksi
kumis kucing. Hasil analisis menunjukkan bahwa gugus fungsi karbonil, metoksi, hidroksil dan C-O yang mengindikasikan
keberadaan senyawa kelompok metoksi flavonoid (sinensitin dan 5,6,7,3’-tetrametoksi-4’-hidroksi-8-C-prenilflavon),
diterpena (ortosifol, ortoarisin, neoortosifol, staminal, dan staminolakton), triterpena (asam ursolat, asam oleanolat, asam
betulinat, asm hidroksibetulinat, asam maslinat, a-amirin, dan B-amirin) diidentifiksikan sebagai senyawa penghambat
aktivitas enim a-glukosidase sedangkan fenolik (sam rosmarinat), flavonoid (euptorin rosmarinat), flafonoid (eupatorin,
sinenseti, 5-hidroksi-6,7,3',4'-tetrametoksiflafon, salvigenin, 6-hidroksi-5,7,3'-trimetoksiflavon dan 5,6,7,3'-tetrametoksi-4'-
hidroksi-8-C-preniflavon), diterpena (ortosifol, ortoarisin,neortosifol, staminol, dan staminalakton), triterpena (asam urolat,
asam oleaonat, asam betulinat, asam hidroksibetulinat, asam maslinat, a-amirin dan B-amirin) diidentifikasi sebagai senyawa
antioksidan untuk konfirmasi, senyawa senyawa tersebut dapat diisolasi dan diuji aktivitas penghambat enzim a-glukosidase
dan antioksidannya. dengan adanya informasi dan analisis OPLS ini, maka proses isolasi dan identifikasi akan jauh lebih
mudah dan terarah.
3 JU
RN
AL
Analisis Gugus
Fungsional
Analisis Analisis Gugus Fungsional Gugus Fungsional Gugus
Fungsional Prinsip dasar analisis gugus fungsional
menggunakan metode FTIR (Fourier Transform Infrared)
adalah ketika cahaya infrared melewati suatu contoh polimer
maka sebagian frekuensinya akan diserap dan sebagian lagi
akan diteruskan. Transisi yang terjadi pada absorpsi infrared
terkait dengan perubahan vibrasi (getaran) di dalam molekul.
Ikatan-ikatan yang ada dalam polimer akan menunjukkan
frekuensi vibrasi yang berbeda-beda sehingga dapat dideteksi
sebagai pita absorbansi dalam spektrum infrared (Rabek
1983). Hasil analisis FTIR produk PHA dibandingkan dengan
dengan PHB standar dan identifikasinya disajikan pada Tabel
4 berdasarkan Kansiz et al (2000).
Kesimpulan

Hidrolisat pati sagu dapat digunakan sebagai sumber karbon bagi R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA. Pada
rentang konsentrasi total gula awal 10-50 g/L, R. eutropha tumbuh paling baik pada konsentrasi gula awal 30 g/L dengan
laju pertumbuhan spesifik maksimal 0,188/jam. PHA yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kemiripan suhu
pelelehan dan gugus-gugus fungsional dengan PHB murni sebagai pembanding. Titik leleh produk PHA hasil analisis
DSC adalah 163,96oC, sedikit lebih rendah daripada titik leleh PHB murni 170,15oC. Gugusgugus fungsional penting
yang muncul pada analisis FTIR sebagai penciri khas struktur PHB adalah C=O ester, -CH3, -CO-, -(CH)2-, (C-O-C)
polimer dan -C-Cyang terdeteksi berturut-turut pada bilangan gelombang 1726, 1456-1382, 1284, 1456-1228, 1056-1184
dan 979 cm 1 .
4 JU
RN
AL
Hasil dan Pembahasan

Hasil pengamatan zona hambat bakteri (Tabel 1) menunjukkan ekstrak etanol daun S. pinnata memiliki
aktivitas antibakteri terhadap semua bakteri uji. Zona penghambatan yang diperoleh berkisar 4,48-7,49 mm (konsentrasi
ekstrak 6 mg/sumur). Bakteri yang paling rentan adalah P. aeruginosa (zona hambat 7,49±0,23 mm) dan yang paling
tahan adalah L. monocytgenes (zona hambat 4,48±0,28. Zona hambat terhadap berbagai bakteri yang dihasilkan dari
penelitian ini menunjukkan nilai yang lebih kecil.

Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan metode pengeringan dan metoda ekstraksi yang
dilakukan yaitu menggunakan pengeringan udara pada suhu ruang dan teknik ekstraksi yang diguna kan adalah maserasi
menggunakan shaker selama 5 hari. Faktor penyebab lain adalah karena perbedaan kandungan komponen bahan aktif
yang antara lain disebabkan oleh wilayah tumbuh yang berbeda.
Daya sitotoksisitas ekstrak etanol daun S. pinnata

Hasil uji toksisitas terhadap sel Vero menunjukkan


adanya penurunan persentasi viabilitas sel Vero dengan
meningkatnya konsentrasi pemaparan ekstrak etanol daun S.
pinnata (Gambar 1).

Kategori toksisitas berdasarkan nilai IC50 yaitu:


IC50 lebih kecil dari 20 yg/mL adalah toksik, IC50 15-50
yg/mL adalah toksisitas sedang dan IC50 lebih besar 50
yg/mL adalah tidak toksik. Nilai IC50 ekstrak etanol daun S.
pinnata yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 347
yg/mL yang menunjukkan bahwa ekstrak daun ini bersifat
tidak toksik.
Komponen fitokimia
ekstrak etanol daun S.
pinnata

Hasil analisis kualitatif


fitokimia menunjukkan
bahwa ekstrak etanol
daun S. pinnata memiliki
kandungan steroid,
flavonoid, tanin, dan
saponin (Tabel 2).
Hasil ini berbeda bila dibandingkan dengan skrining fitokimia oleh Jain et al. (2014) yang juga
menggunakan ekstrak etanol daun S. pinnata. Pada penelitian Jain et al. (2014), selain flavonoid,
tanin, dan saponin, juga ditemukan adanya alkaloid, dan terpenoid yang tidak ditemukan pada
penelitian ini. Analisis fitokimia secara kuantitatif memberikan hasil yang juga berbeda dengan hasil
yang diperoleh Jain et al. (2014), yaitu total fenol (12,43±0,08-27,76±1,11 mg/g) yang lebih rendah
dari total flavonoid (39,11±41,42-86,53±1,95 mg/g). Pada penelitian ini diperoleh kandungan total
fenol dan total flavonoid berturut- turut 43,2±0,45 dan 23,2±0,33 mg/g ekstrak (Tabel 2).

Faktor-faktor yang memengaruhi produksi dan komposisi metabolit sekunder pada


tumbuhan antara lain: variasi fisiologi, kondisi lingkungan, variasi geografi, penyimpanan, jumlah
material tumbuhan, serta faktor genetik. Selain itu, Jain et al. (2014) menggunakan teknik maserasi
dengan waktu yang cukup lama sehingga jenis komponen fitokimia yang terekstrak lebih beragam.
Analisis fitokimia yang lebih komprehensif dilakukan dengan menggunakan FTIR. Spektra hasil
analisis komponen fitokimia ekstrak etanol daun S. pinnata menggunakan FTIR dapat dilihat pada
Gambar 2 dan Tabel 3. Puncak-puncak yang di-amati pada spektrum FTIR merupakan serapan dari
berbagai gugus fungsi yang berkoresponden dengan keberadaan berbagai komponen kimia seperti
karbohidrat, protein, dan beragam metabolit sekunder (Wei et al., 2009). Pada ekstrak etanol
daun S. pinnata ditemukan beberapa gugus fungsi: O-H, C-H, X=C=Y, C=O, C=C, dan C-O-C.
Spektrum FTIR S. pinnata mengindikasikan keberadaan berbagai jenis senyawa diantaranya
senyawa alkohol, senyawa fenol yang kemungkinan berupa flavonoid dan tannin, steroid, asam
karboksilat, dan senyawa-senyawa dengan gugus aromatik.
5 JU
RN
AL
Tujuan

Dengan penelitian ini, diharapkan


menjadi inisiasi pengembangan
metode standardisasi bahan baku
obat menggunakan konsep
menyeluruh yaitu mengevaluasi
komposisi senyawa bioaktif dan
aktivitas biologinya.
Bahan utama yang
digunakan adalah
rimpang temulawak

Bahan
umur 7,8,9 bulan
1. Rimpang temulawak yang telah yang diperoleh dari
dicuci bersih diiris tipis dengan Tembalang,
ketebalan ±5mm. Semarang, Jawa
2. Dikeringkan dioven dengan suhu Tengah.
40°C hingga kering.
3. Setelah kering, sampel dibuat
menjadi serbuk dengan ukuran
100mesh.
4. Untuk ekstraksi, digunakan
perbandingan 1:10 dengan pelarut,
ekstraksi dilakukan menggunakan
cara maserasi selama 24 jam
dengan pengadukan.
5. Ekstrak kemudian dipekatkan
dengan vakum rotavapor yang
kemudian dikeringkan dengan
pengering bekuan.
0 Aktivitas antioksidan dari temulawak dengan umur

Hasil dan 1
7,8, dan 9 bulan menggunakan tiga metode diatas
menghasilkan nilai yang bervariasi pada tabel 1.

Pembahasan 0 Variasi nilai antioksidan ini disebabkan oleh


berbedanya konsentrasi senyawa-senyawa metabolit

2 sekunder pada umur rimpang yang berbeda.

0
1. Rendemen, aktivitas antioksidan, kadar
Aktivitas antioksidan, kurkuminoid, dan xantorizol cenderung
kurkuminoid, dan xantorizol meningkat seiring dengan bertambahnya umur dari rimpang
3 temulawak.

0 Perbedaan umur dari rimpang temulawak juga akan

4
mempengaruhi kuantitas kurkuminoid dan xantorizol
yang dipengaruhi oleh unsur hara yang digunakan
dalam proses biosintesis.
Hasil dan
Pembahasan
2. Korelasi antara metabolit terhadap
aktivitas antioksidan

Korelasi antara kadar


kurkuminoid dan xantorizol
dengan metode DPPH memiliki
hubungan korelasi yang tinggi
yaitu berkisar antara 0,757 ≤ r ≤
0,0996. Nilai ini menunjukkan
hubungan kuat antara
kurkuminoid dan xantorizol
dengan aktivitas antioksidan
rimpang temulawak.
Hasil dan
Pembahasan
3. Analisis spectrum IR
0 Spectrum IR rimpang temulawak dengan umur yang berbeda

Hasil dan 1
menunjukkan profil spectrum yang identic dengan perbedaan
hanya terlihat pada nilai serapannya (Gambar 1).

Pembahasan 0 Spektrum IR rimpang temulawak menunjukkan adanya


vibrasi dari beberapa gugus fungsi diantaranya –OH, -

2 CH2, dan –CH3, C=C, C-O, serta N-H (tabel 3).

0 Dari hasil semua spectrum menunjukkan adanya perubahan


metabolit dari rimpang temulawak pada waktu tanam yang
0 3
Perbedaan ini terlihat jelas dari banyaknya puncak yang
muncul dan ketajaman puncak dari setiap gugus fungsi berbeda.

4
dari senyawa metabolit rimpang temulawak.
Pada rimpang temulawak berumur 9 bulan terlihat
puncak yang sangat khas.
Kesimpulan

Ekstrak rimpang temulawak dengan umur Rimpang temulawak dengan umur 9 bulan
rimpang yang berbeda menunjukkan memiliki interpretasi spectrum IR yang lebih
aktivitas antioksidan, kurkuminoid, dan jelas dan nilai absorbans yang lebih tinggi
xantorizol yang relatif meningkat seiring dibandingkan dengan rimpang berumur 7
dengan bertambahnya umur rimpang. dan 8 bulan.
Kesimpulan

Hasil ini dapat memberikan informasi


mengenai kualitas bahan baku temulawak
dengan umur rimpang yang berbeda
terhadap aktivitas antioksidan maumpun
dengan kadar metabolit mayor bioaktifnya.
Thankyo
u

Anda mungkin juga menyukai