Asmaul Husna adalah nama-nama yang baik milik Allah SWT. Secara harfiyah, pengertian Asmaul Husna adalah "nama-nama
yang baik". Asmaul Husna merujuk kepada nama-nama, gelar, sebutan, sekaligus sifat-sifat Allah SWT yang indah lagi baik.
Istilah Asmaul Husna juga dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
ُ َ لُ ِإ َٰلَ ُهَُ ِإ
ُلُه َُهوُلَ ُههُٱ أۡل َ أس َما ا هُءُٱ أل هح أسن ََٰى ُّللهُ َ ا
َُ ٱ
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai asmaa'ul husna (nama-nama yang
baik)" (Q.S. Thaha:8).
Umat Islam dianjurkan berdoa kepada Allah sambil menyebut Asmaul Husna. Misalnya, saat seorang Muslim memohon
ampunan-Nya, maka ia berdoa mohon ampun sambil menyebut "Al-Ghoffaar" (Yang Maha Pengampun) dan seterusnya.
ُيَل َ َُُِتُبِ َهاُ َُوٱ أبت َُِغُبَ أينَُُ َٰذَلِك
ُ ّٗ ِسب ُلُتهخَاف أ
ُ َ ص ََلتِكَُُ َو َُٰ لر أح َٰ َمنَُُأ َ ّٗياُ َماُت أَدعهواُُفَلَ ُههُٱ أۡلَسأ َما ا هُءُٱ أل هحسأ ن
ُ َ َىُ َو
َ ِلُت أَج َهرأُُب َ ّللَُأ َ ُِوُٱ أدعهواُُٱ ُِ قه
َُ لُٱ أدعهواُُٱ
"Katakanlah (olehmu Muhammad): Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaa'ul husna (nama-nama yang terbaik)..." (Q.S Al-Israa': 110)
َُٰ ّللُِٱ أۡل َ أس َما ا هُءُٱ أل هح أسن
َُُىُُفَٱ أدعهو ُههُبِ َها َُ ِ َو
"Allah memiliki Asmaul Husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu..." (QS. Al-A'raaf :
180).
Jumlah Asmaul Husna ada 99 nama, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, diperkuat dengan
hadits riwayat Bukhari.
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Nabi Muhammad Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Swt mempunyai 99 nama, yaitu seratus
kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal seluruhnya) masuklah ia kedalam surga" (HR. Bukhari).
Dari jumlah Asmaul Husna yang 99 itu, yang dipelajari pada bab ini hanya 7 nama, yaitu: al Ghaffar, al Razzaq, al Malik, al
Hasib, al Hadi, al Khaliq, dan al Hakim.
Kata al Ghaffar berasal dari kata bahasa Arab ghaffara yang artinya menutupi. Di sini timbul pertanyaan apa yang ditutupi,
siapa yang menutupi? Yang menutupi adalah Allah sedangkan yang ditutupi adalah kesalahan manusia. Ada tiga perbuatan
manusia yang ditutupi oleh Allah.
1. Jasmani yang tidak dipandang mata. Allah telah menutupi jasmani seseorang hamba-Nya yang tidak sedap dipandang
mata dengan cara melengkapinya dengan kelebihan-kelebihan seseorang di sisi lain.
2. Kehendak buruk seseorang. Allah menutupi bisikan hati, atau kehendak jahat seseorang dengan cara tidak ada
seorangpun yang mengetahuinya kecuali Allah dan dirinya sendiri. Apa yang akan terjadi jika niat buruk seseorang
diketahui oleh orang lain. Maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Penutupan ini dilakukan oleh Allah, agar manusia mau berbuat baik pada dirinya, orang lain dan lingkungan di mana
dia berada.
3. Perbuatan dosa. Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosa seseorang apabila dia menyadari melakukan perbuatan
dosa tersebut dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat kecuali syirik (menyekutukan) Allah dengan sesuatu.
اُربَ هكمُ ِإنَههُكاَنَ ُغَفا َ ًرا
َ فَقهلته ُاست َغ ِف هرو
Maka aku katakan kepada mereka mohonlah ampun kepada tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun “
Q.S. 71: 10
ُو َع ِملَُصا َ ِلحاًُث ه َمُاهتَدَى
َ َُوا َمن
َ بَ َ َوإِنِىُلَغَفا َ ٌرُ ِل ِِ َمنُتا
“ Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, kemudian tetap
di jalan yang benar “ Q.S.20:82
Nama Allah al-Ghaffar, al-Ghafur dan al-'Afuww jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya sama yaitu
Maha Pengampun. Tapi sesungguhnya maknanya berbeda. Beberapa ulama sudah ada yang membahasnya. Inilah
beberapa dari keindahan bahasa Arab. Dua kata yang digunakan secara berbeda, walaupun sekilas artinya sama, tapi
sebenarnya mengandung perbedaan dan makna yang mendalam. Mari kita membahasnya, diawali dengan menyebutkan
beberapa ayat yang menggunakan ketiga nama tersebut dalam al-Qur’an.
Nama Allah "Al-Ghaffar" disebutkan 5 kali dalam Al-Qur'an yaitu di surat Shad: 66, az-Zumar: 5, Nuh: 10, Ghafir: 42, dan
Thaha: 82. Berikut adalah satu diantaranya
يزُالغَفَ ه
ُار ُو َماُ َبي َن هه َماُال َع ِز ه
َ ضِ ُِواۡلر
َ س َم َاوات
َ َربُّ ُال
Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS Shad: 66).
ُُالرحِ ي هم
َ ورُِوه َهوُالغَفه ه
َ هصيبه ُبِهُِ َمنُُيَشَا هءُمِ نُ ِعبَا ِده
ِ َلُرادَُ ِلفَض ِلهُِي َ ِفُلَههُإِلُه َهو
َ َُوإِنُي ِهردكَ ُبِخَي ٍرف َ َُّللاهُبِض ٍهرُفََلُكَاش
َ َسسكَ َوإِنيَم
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan
jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan
itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lahYang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS.Yunus : 107)
"Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. Al-Nisa': 149)
Kedua, nama al'Afuww digandeng bersama nama-Nya "Al-Ghafur", disebutkan sebanyak 4 kali. Yaitu di surat an-Nisa': 43,
an-Nisa': 99, al-Hajj: 60, dan al-Mujadilah: 2. Berikut adalah satu diantaranya.
ً َُّللاَُ َكانَ ُ َعفه ًّواُ َغفه
ورا َ ِإ َن
"Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Nisa': 43)
Ayat-ayat yang menyebutkan nama Allah "al-'Afuww" memiliki sifat pemberi maaf, sesungguhnya menunjukkan bahwa
Allah senantiasa memberi maaf kepada hamba-hamba-Nya, walau mereka sering berdosa kepada-Nya. Mereka sangat
membutuhkan maaf-Nya sebagaimana mereka membutuhkan rahmat dan kemurahan-Nya. Bahkan bisa dikatakan,
kebutuhan mereka kepada maaf Allah lebih daripada kebutuhan mereka kepada makan dan minum. Kenapa? Karena jika
Allah tidak memberikan maaf kepada penduduk bumi, niscaya hancur dan binasalah mereka semua dengan dosa-dosa
mereka.
Sifat maaf Allah adalah maaf yang lengkap dan lebih luas dari dosa-dosa yang dilakukan hamba-Nya. Apalagi kalau mereka
datang dengan istighfar, taubat, iman, dan amal-amal shalih yang menjadi sarana untuk mendapatkan maaf Allah.
Sesungguhnya tidak ada yang bisa menerima taubat para hamba dan memaafkan kesalahan mereka dengan sempurna kecuali
Allah SWT.
Pada dasarnya, semua nama Allah adalah sangat baik. Tapi al-'Afuww itu memiliki makna lebih dalam daripada maghfirah
(al-Ghaffar dan al-Ghafur). Karena maghfirah, adalah ampunan dosa namun dosa itu masih ada. Dosa tersebut ditutupi oleh
Allah di dunia dan diakhirat nanti juga ditutupi dari pandangan makhluk. Sehingga Allah tidak menyiksa seseorang dengan
dosa tersebut, tapi dosa itu masih ada.
Adapun maaf (al-‘Afuww), maka dosa yang dilakukan hamba sudah tidak ada. Seolah-olah, ia tidak pernah melakukan
kesalahan. Karena dosa itu telah dihilangkan dan dihapuskan sehingga bekasnya tidak lagi terlihat. Dari sisi ini, pemberian
maaf lebih istimewa.
Boleh jadi seseorang melakukan dosa-dosa kecil, ia tidak banyak ibadah di Lailatul Qadar, maka ia datang di hari kiamat
akan mendapati Allah sebagai Maha Pengampun (al-Ghafur). Namun nanti dosa-dosa itu akan ditampakkan dan ia disuruh
mengakuinya. Berbeda dengan yang -boleh jadi- melakukan dosa besar, lalu ia bertaubat, giat ibadah di Lailatul Qadar,
maka di hari kiamat ia memperoleh maaf. Maka Allah Maha Pemaaf (al-‘Afuww), tidak lagi menyebutkan kesalahan-
kesalahannya, karena sudah dihapuskan. Adapun al-Ghafur (Maha Pengampun), terkadang dosanya masih disebut dan
ditampakkan, namun Allah tidakmenyiksa/menghukum karenanya.
Perbedaan keduanya, terlihat jelas dalam dua hadits berikut ini: Pertama, hadits tentang datangnya seorang hamba pada hari
kiamat, lalu Allah Tabarakan wa Ta'ala berfirman kepadanya: "Wahai hamba-Ku, mendekatlah!" Maka hamba tadi
mendekat. Lalu Allah menurunkan tabir penutup atasnya, dan bertanya padanya:"Apakah kamu ingat dosa ini? Apakah
kamu ingat dosa itu?" -Dan ini menunjukkan bahwa bekas dosa itu masih ada dalam catatan amal-. Lalu hamba tadi
menjawab, "Ya, masih ingat wahai Rabb." Hamba tadi mengira akan binasa. Lalu Allah berfirman padanya: "Aku telah
tutupi dosa itu atasmu didunia, dan hari ini Aku beri ampunan atas dosa itu untukmu." Ini adalah maghfirah (al-Ghafuur /
al-Ghaffar).
Sedangkan al-'Afuww (pemaafan atas dosa), maka Allah akan berfirman pada hari kiamat kepada seseorang yang telah
dimaafkan-Nya, "Wahai fulan, Sesungguhnya Aku telah ridha kepadamu karena perbuatanmu di dunia, Aku telah ridha
kepadamu dan memaafkanmu, maka pergilah dan masuklah ke dalam surga."
Menurut Imam Ghazali, al-Ghafuur adalah ( )يغفرُالذنوبُالعظيمatau mengampuni dosa dari segi kualitasnya, sedangkan al-
Ghaffar adalah ( )يغفر ُالذنوبُالكثيرatau mengampuni dosa dari segi kuantitasnya. Sehingga al-Ghafur lebih sempurna dan
menyeluruh pengampunannya.
Ada juga ulama lain yang menjelaskan perbedaan kedua kata itu yaitu al-Ghafuur adalah mengampuni dosa dari masa lalu
hingga masa mendatang ()من ُالماضي ُالى ُالمستقبل, sedangkan al-Ghaffar mengampuni dosa dari masa kini hingga masa
mendatang ()منُالحاضرُالىالمستقبل
Jadi, ketiga nama tersebut sekilas seperti tampak sama, tetapi ternyata ada perbedaan makna yang sangat dalam, yaitu Al
Ghafur bermakna menutupi dosa dan Al ‘Afuwwu bermakna melebur dosa. Sehingga al Ghafur terkadang bermakna
menutupi dosa seseorang dan tiadalah siksa baginya, tapi Allah SWT tidak meridhai apa yang dilakukannya. Adapun al
Afuwwu berarti melebur dosa dan Allah SWT juga meridhainya, sehingga seakan-akan dosa itu tidak pernah ada. Dari
keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-‘Afuww lebih tinggi tingkatannya dibanding al-Ghafur.
Tentang Al-Ghaffar dan Al-Ghafur, menurut Imam Ghazali, al-Ghafur adalah ampunan Allah dari sisi kualitas, sedangkan
Al-Ghaffar adalah ampunan Allah dari segi kuantitas. Perbedaan lain adalah bahwa al-Ghafuur mengampuni dosa dari masa
lalu hingga masa mendatang, sedangkan al-Ghaffar mengampuni dosa dari masa kini hingga masa mendatang Sehingga
dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Ghafur lebih sempurna dan menyeluruh pengampunannya daripada
al-Ghaffar.
Jadi dari ketiga nama tersebut, jika ingin disusun dari tingkatan yang baik hingga yang paling baik adalah al-Ghaffar, al-
Ghafuur dan al-'Afuww.
1. Harus tumbuh sikap pemaaf, mampu menahan amarah dan tidak mudah terpancibg emosi.
2. Tidak enggan meminta maaf jika melakukan salah, karena seseorang tidak akan menjadi hina hanya karena meminta
maaf.
3. Orang yang paling mulia adalah orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain.
Adapun kata Ar-Razzaq sama dengan kata Al-Khaliq (penciptaan), yaitu sebagai salah satu sifat perbuatan, yakni salah satu
sifat-Nya sebagai Rabb (Rububiyyah). Kata Ar-Razzaq tidak boleh disandarkan kepada yang selain-Nya, sehingga yang
selain-Nya tidak boleh disebut Raziq (pemberi rezeki) sebagaimana tidak boleh disebut Khaliq (pencipta). Allah berfirman:
َُىُ َع َماُي أهش ِر هكون لُ ِمنُ َٰذَ ِل هكمُ ُِمنُش أَيءُُ ه
َُٰ َس أب َٰ َحنَ ُهۥهُ َوتَ َٰعَل ُش َر َكاائِ هكمُ َمنُيَ أفعَ ه ُّللهُٱلَذِيُ َخلَقَ هك أُمُث ه َُمُ َرزَ قَ هك أُمُث ه َُمُي ِهميت ه هك أُمُث ه َُمُي أهحيِي هك أُمُه أ
َلُ ِمنُ ه َُ ٱ
“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu
(kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (ar-Rum: 40)
Jadi, semua rezeki itu di tangan Allah saja. Dialah pencipta rezeki dan pencipta makhluk yang memanfaatkan rezeki tersebut.
Dialah yang menyampaikan rezeki tersebut kepada mereka. Dia juga merupakan Pencipta sebab-sebab menikmatinya. Oleh
karena itu, yang wajib dilakukan adalah menyandarkan rezeki tersebut hanya kepada Allah satu-satu-Nya dan mensyukuri-
Nya.
Rezeki Allah kepada hamba-hamba-Nya ada dua macam, yaitu yang umum dan yang khusus. Rezeki yang umum adalah
Allah menyampaikan segala kebutuhan hidup mereka dan menjaga kelangsungan mereka. Oleh karena itu, Allah
memudahkan jalan-jalan rezeki bagi mereka. Allah pun mengaturnya dalam jasad mereka, lalu menyampaikan makanan
yang dibutuhkan jasad ke anggota-anggota tubuh yang kecil maupun yang besar. Rezeki yang umum ini mencakup orang
yang baik maupun yang jahat, muslim maupun kafir, bahkan juga meliputi manusia, jin, dan hewan. Allah berfirman:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Rezeki ini mungkin berupa sesuatu yang halal, yang tidak mengandung dosa bagi hamba. Akan tetapi, mungkin pula berupa
sesuatu yang haram namun tetap disebut sebagai rezeki dari sisi ini, yaitu disalurkannya kepada anggota badan dan
dijadikannya badan tersebut dapat mengambil manfaat darinya, sehingga hal ini tetap bisa disebut rezeki dari Allah. Sama
saja, baik dia mengambilnya dari yang halal maupun dari yang haram. Yang seperti ini sekadar disebut rezeki (muthlaqur
rizq).
Adapun yang kedua, (rezeki yang khusus) adalah rezeki yang mutlak (yang sempurna), atau rezeki yang bermanfaat di dunia
maupun di akhirat. Rezeki ini diperoleh melalui Rasulullah dan terbagi menjadi dua.
1. Rezeki bagi kalbu, berupa ilmu dan iman serta hakikat keduanya, karena kalbu sangat membutuhkan pengetahuan akan
kebenaran dan berkeinginan terhadapnya, serta ingin menghamba kepada Allah. Dengan rezeki ini akan tercukupi dan
hilang rasa butuhnya (karena kalbu tidak akan membaik, beruntung, dan merasa kenyang hingga mendapatkan ilmu
tentang hakikat yang bermanfaat dan aqidah yang benar, akhlak yang mulia, serta bersih dari akhlak yang hina. Apa
yang dibawa Rasul menjamin dua hal tersebut sesempurna-sempurnanya, dan tidak ada jalan menuju kepadanya
melainkan melalui jalan beliau).
2. Rezeki bagi badan, berupa rezeki halal yang tidak mengandung dosa. Allah mencukupi hamba-Nya dengan rezeki yang
halal sehingga tidak membutuhkan yang haram. Allah juga mencukupi hamba-Nya dengan keutamaan-Nya sehingga
tidak membutuhkan selain keutamaan-Nya.
Rezeki yang khusus untuk mukminin dan yang mereka minta dari-Nya adalah kedua macam rezeki tersebut.
Yang pertama adalah tujuan terbesar, sedangkan yang kedua adalah sarana menuju kepadanya dan yang membantu dalam
mewujudkannya. Bila Allah SWT memberikan rezeki kepada seorang hamba berupa ilmu yang bermanfaat, iman yang
benar, rezeki yang halal, serta sifat qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah SWT rezekikan, berarti segala urusannya
telah sempurna dan keadaannya telah lurus, baik sisi agama maupun jasmaninya. Rezeki semacam inilah yang dipuji dalam
nash-nash (teks-teks) nabawi dan tercakup dalam doa-doa yang bermanfaat. Oleh karena itu, bila berdoa kepada Rabbnya,
seorang hamba semestinya mengingat dalam kalbunya dua hal ini, sehingga bila dia mengatakan, ‘Ya Allah, berikan
kepadaku rezeki’, yang dia maksud adalah sesuatu yang membuat kalbunya semakin baik, yaitu ilmu dan petunjuk, serta
pengetahuan dan iman; juga yang menjadikan jasmaninya baik, yaitu rezeki yang halal, yang nikmat, yang tidak sulit, dan
tidak mengandung dosa. (Syarh Nuniyyah karya al-Harras, 2/110—111 dengan beberapa tambahan dari Syarh al-Asma’
wash Shifat, kumpulan penjelasan as-Sa’di)
Dengan mengimani nama Allah SWT tersebut, kita mengetahui betapa besarnya karunia Allah dan betapa luasnya rezeki-
Nya. Semua makhluk-Nya: manusia, jin, hewan, dan tumbuhan Allah berikan rezeki-Nya kepada mereka tanpa kecuali.
Lebih dari itu, Allah mengkhususkan rezeki yang besar di dunia dan akhirat untuk hamba-Nya yang bertakwa.
Tentu semua itu menuntut kita untuk selalu bersyukur atas semuanya (rezeki iman dan amal, serta rezeki kebutuhan kita
sehari-hari), tunduk kepada-Nya, memohon kepada-Nya, karena Dialah yang Mahakaya dan Mahamampu, serta tidak
memohon rezeki kepada selain Allah SWT, siapa pun dia karena pada hakikatnya semuanya tidak memiliki apa pun. Justru
mereka juga mendapatkan rezeki dari Allah Yang Maha Pemberi Rezeki, Ar-Razzaq.
Dalam Al Qur’an, kata Malik diulang sebanyak 5 kali, dua diantaranya dirangkaikan dengan kata haq yang berarti “pasti”
dan “sempurna”.
Secara umum Al Malik diartikan Raja atau Penguasa, kata Malik terdiri dari huruf Mim Laam Kaaf yang rangkaiannya
mengandung makna “kekuatan” dan “Keshahihan”, ini menunjukkan bahwa Allah adalah segala kekuatan yang ada di alam
semesta ini yang shahih dan tidak dapat di ingkari lagi kekuasaan-Nya meliputi semesta alam dan pengetahuan yang ada.
Al Malik dalam Al Qur’an menyebutnya Raja Yang Maha Berkuasa (yang Mutlak kekuasaannya), Menurut Imam Al
Ghazali, Al Malik adalah “yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh
kepada-Nya, Wujud segala sesuatu bersumber dari pada-Nya. Maka segala sesuatu selainnya menjadi Milik-Nya dalam zat
dan sifat-Nya serta membutuhkan-Nya. Itulah Raja Yang Mutlak.
Firman Allah dalam Surat Thaaha: 114 ُُّ ّلل هُٱ أل َم ِلكهُُٱ أل َح
ُق َُ فَتَ َٰعَلَىُٱ
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenar-benarnya” (Q.S. At Thaaha:114)
Sudah sangat jelas bahwa Allah adalah Raja Yang sebenar-benarnya segala bentuk raja di dunia dan semesta ini adalah
miliknya dan tunduk kepada-Nya, selain merajai di dunia yang fana ini, kerajaan Allah juga bersifat langgeng (abadi).
“(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu
Allah berfirman):”Kepunyaan siapa kerajaan pada hari ini? ”Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”
(Q.S. Al Mu’minun:16).
Dengan begitu Allah yang menguasai pengetahuan dan segala urusan tentang hari pembalasan, yang mengusai waktu yang
telah lalu dan yang akan datang. Dunia dan seisinya dalam genggaman-Nya.
“Allah Yang Maha Mulia Lagi Agung ‘menggenggam’ bumi pada hari kemudian dan ‘melipat’ semua langit dengan
‘tangan kanan-Nya’, kemudian berseru: Aku Adalah Malik (Raja), maka dimanakah (mereka yang mengaku) Raja?” (H.R.
Bukhori).
DALIL AQLI : Allah sebagai sang pencipta pasti menguasai segala yang diciptakannya termasuk manusia, Allah mengatur
segala takdir bagi manusia sehingga wajib bagi manusia untuk tunduk kepada raja dari segala raja yaitu tidak lain adalah
Allah.
Buah dari Mengimani Sifat Al Malik :
Sebagai manusia yang beriman dalam melaksanakan tugas kepemimpinan hendaknya meneladani sifat Allah ini dan
menjadikan sifat wajib rasul dan para khulafaur rasyidin sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya.
Bagi manusia ini sangat perlu karena semua manusia merupakan khalifah bagi dirinya sendiri dan khalifah di bumi.
Sebelum Allah SWT memberikan sesuatu kepada hamba-hambaNya terlebih dahulu Dia perhitungkan dari sisi manfaat dan
mudhoratnya. Baik dari segi harta, ilmu, tenaga dan lain sebagainya.
Apabila Allah SWT memberikan sesuatu kepada hamba-Nya justru akan membawa kemudhoratan bagi hamba-Nya tersebut,
maka Allah SWT tidak akan memberinya. Dan apabila pemberian-Nya akan membawa manfa’at bagi hambaNya maka Allah
SWT akan memberinya.
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mau menerima kebaikan Allah SWT ini sehingga dia cenderung untuk berburuk
sangka kepada Allah SWT. Padahal apapun yang Allah SWT berikan adalah untuk menyelamatkannya didunia dan
diakhirat.
Sebagai contohnya ada seseorang yang ingin sekali menjadi orang yang kaya, akan tetapi Allah SWT menjadikannya orang
yang miskin (berkecukupan). Biasanya dia akan berkeluh kesah dan berburuk sangka kepada Allah SWT. Padahal andaikata
Allah SWT menjadikan dia sebagai orang yang kaya, maka dia akan melampaui batas dimuka bumi sehingga akan
menjerumuskannya masuk kedalam neraka.
Contoh yang lain ada seseorang yang ingin sekali menjadi seorang polisi, akan tetapi Allah SWT justru menjadikannya
sebagai karyawan. Biasanya dia akan berburuk sangka kepada Allah SWT dan selalu berkeluh kesah. Padahal andaikata dia
menjadi polisi, dia akan menjadi polisi yang dzolim sehingga akan menjerumuskannya masuk kedalam neraka. Begitupun
juga dengan yang lain.
Karena apa yang kita sangka baik, belum tentu baik dimata Allah SWT, dan apa yang kita sangka buruk belum tentu buruk
dimata Allah SWT.
Firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah (2) : 216
َُلُت َعأ لَ همون َُ ىُأَنُت ه ِحبُّواُُش أَّٗيُاُ َوه َُهوُشَرُُلَ هك أُمُ َُوٱ
ُ َ ُّللهُيَعأ لَ هُمُ َوأَنت ه أُم َ ىُأَنُت أَك َرههواُُش أَّٗيُاُ َوه َُهوُخ أَيرُُلَ هك أُمُ َو َع
ُس َٰ ا ُبُ َعلَ أي هك هُمُٱ أل ِقت َا ه
َ لُ َوه َُهوُ هك أرهُُلَ هك أُمُ َو َع
ُس َٰ ا َُ ِهكت
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
SWT mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Perhitungan Allah SWT adalah sangat tepat, tidak kurang dan tidak lebih walau sedikitpun. Apabila pemberian-pemberian
Allah kita lihat secara duniawi, banyak sekali yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi kalau kita lihat
secara ukhrowi, ternyata sangat sesuai dan banyak sekali amal-amal yang ditawarkan. Karena kesulitan apapun yang Allah
berikan tenyata terdapat amal yang besar didalamnya. Bahkan semakin sulit yang kita terima maka semakin besar pula
amalnya.
Rasulullah bersabda : “Yang paling berat menerima ujian adalah kami para nabi, setelah itu orang yang dibawahnya,
dibawahnya, dibawahnya lagi, sehingga orang kafir tidak diberi ujian tetapi azab”. (al Hadits)
Apabila kita perhatikan banyak orang-orang yang tidak beriman dalam mencari harta menggunakan berbagai macam cara
tidak peduli halal atau haram, tetapi mereka tidak mendapatkan peringatan. Akan tetapi kalau orang beriman yang sedikit
saja melakukan kesalahan langsung mendapat peringatan. Berarti dalam hal ini Allah menginginkan agar kita selamat nanti
diakhirat.
Bahkan Allah menciptakan syetan juga ada gunanya bagi manusia. Apabila kita mau memohon perlindungan kepada Allah
serta tidak menuruti langkah-langkahnya niscaya akan mendapatkan amal. Sehingga terujilah keimanan seseorang
disebabkan adanya setan tersebut.
Jadi semua ciptaan-ciptaan (pemberian) Allah berdasarkan pertimbangan yang sangat tepat. Oleh sebab itu kita harus ikhlas
dan jangan berkeluh kesah atas segala pemberian Allah serta menggunakannya untuk kepentingan akhirat.
Sebagai contohnya kita gotong royong yang datang hanya orang delapan. Kalau kita lihat secara duniawi kita akan susah,
akan tetapi kalau kita lihat secara ukhrowi kita justru bersyukur. Karena dengan sedikit yang datang kita akan memperoleh
amal yang banyak. Jadi apapun yang diberikan Allah pasti bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
DALIL AQLI : disini Allah SWT sebagai yang menciptakan pasti akan menjamin kebutuhan makhluknya, tapi terkadang
terjadi kesalahpahaman, bahwa Allah tidak adil karena kebutuhannya tidak terjamin, disini sesungguhnya Allah telah
menjamin hanya saja makhluknya saja yang tidak mau berusaha dalam memperolehnya.
Buah dari Mengimani Sifat Al Hasib
Kita sebagai mun’min harus senantiasa selalu mengadakan perhitungan terhadap perilaku kita terhadap sesama makhluk
(introspreksi diri). Jika pada instrospeksi itu ada perilaku yang memberikan manfaat maka hendaknya diteruskan tetapi jika
pada introspeksi diri itu ada perilaku yang memberikan kemudhorotan maka hendaknya tidak dilakukan lagi.
Al Hadi atau Maha Pemberi Petunjuk menunjukkan bahwa Allah SWT memberi petunjuk atau hidayah kepada siapapun
di antara hamba-Nya yang Dia kehendaki. Petunjuk yang paling utama bagi manusia berupa agama yang benar di sisi-Nya.
Dengan agama yang benar, kehidupan manusia menjadi terarah. tidak tersesat, dan sampai pada tujuan hidup yang
sebenarnya. yakni kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Hanya Allah SWT-lah yang dapat memberikan petunjuk. Allah SWT paling mengetahui siapa yang patut mendapat
petunjuk dan siapa yang belum patut mendapatkan petunjuk. Seorang Rasul sekalipun tidak akan dapat memberikan
petunjuk atau hidayah itu. Para nabi dan rasul hanya diberi tugas untuk menyampaikan ajaran tauhid dan ajaran Islam yang
datangnya dari Allah SWT. Diterima atau ditolaknya ajaran tersebut oleh umatnya bukan lagi menjadi kewajiban para rasul.
Para rasul itu pun tidak diperbolehkan untuk memaksakan orang lain mengakui kebenaran yang disampaikannya. Sebagai
contoh, Nabi Muhammad SAW tidak dapat menyadarkan pamannya yang bernama Abu Talib untuk masuk Islam. Nabi
Ibrahim tidak mampu menyadarkan ayahnya yang bernama Azar untuk berhenti menyembah berhala. Nabi Nuh tidak dapat
menyadarkan anaknya yang bernama Kan’an untuk menyembah Allah SWT. Allah berfirman:
َُشا ا هُءُ َوه َُهوُأَ أعلَ هُمُبُِٱ أل همهأ تَدِين َُ نُأ َ أح َب أبتَُُ َو َٰلَ ِك
َُ نُٱ
َ َّللَُيَهأ دِيُ َمنُي ُلُتَهأ دِيُ َم أ
ُ َ َُُإِنَك
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al
Qasas:56)
Hidayah pada surat al Qasas: 56 mempunyai arti petunjuk, maksudnya adalah menunjukkan disertai kelembutan. Petunjuk
Allah yang diberikan kepada manusia terbagi dalam empat macam.
1. Petunjuk yang menjangkau mukallaf -dengan berbagai jenisnya- yang berupa akal, kecerdasan dan pengetahuan dharuri
(yaitu ilmu yang didapat tanpa berpikir panjang) dan yang paling luas.
2. Kedua, hidayah yang diberikan kepada manusia melalui lisan para Nabi, Al-Quran, dan sarana lain yang sejenis dengan
itu.
3. Pemberian taufiq (pertolongan) yang khusus diberikan kepada orang yang mengharapkan petunjuk.
4. Petunjuk di akhirat kepada surga.
Manusia mampu memberikan petunjuk kepada seseorang dengan melalui dakwah (seruan) dan memperkenalkan cara-cara
untuk mencapai berbagai jenis hidayah-Nya.
Manusia juga mampu memberi petunjuk dalam berbagai hal, seperti menunjukkan arah, jalan, lokasi, maupun waktu.
Buah dari sifat Allah al Hadi, maka hendaknya kita :
1. Dapat membimbing diri sendiri dan orang lain istiqamah dijalan yang benar
2. Selalu dan di mana saja mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah saw, yang menjadi suri tauladan
bagi orang-orang yang beriman.
3. Menjadikan petunjuk jalan kita segala ucapan dan nasihat yang baik serta amal perbuatan yang baik pula.
Al-Hakîm adalah salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat indah, namun jarang dihayati oleh kaum Muslimin.
Itulah sebabnya, disamping tidak merasakan indahnya nama itu, juga banyak pelanggaran terhadap hukum Allah yang
dilakukan oleh banyak kaum Muslimin, baik dalam konteks individual maupun sosial.
Syaikh Dr. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, menjelaskan, al-Hakîm mempunyai dua makna.
1. Allah SWT adalah Hakîm (pembuat dan penentu hukum) bagi seluruh makhluk-Nya. Dan hukum Allah ada dua. Yaitu,
hukum yang bersifat kauni (yakni, ketetapan taqdir) dan hukum yang bersifat syar’i (yakni, ketetapan syariat).
2. Allah Maha bijaksana, tepat, bagus dan meyakinkan dalam menetapkan semua hukumnya, baik hukum yang brsifat
kauni maupun hukum yang bersifat syar’i. Makna kedua ini diambil dari kata hikmah, yang artinya meletakkan sesuatu
tepat pada tempatnya.
Jadi, Allah SWT adalah Hakîm, yang membuat dan menetapkan hukum kauni (taqdir) dan syar’i (syariat) bagi seluruh
makhluk-Nya. Dan semua hukum Allah SWT ; semua ketetapan taqdir serta semua ketetapan syariat Allah SWT, adalah
ketetapan yang bijaksana, tepat dan bagus. Allah SWT tidak menciptakan apapun untuk tujuan yang sia-sia, dan Allah
SWT tidak menetapkan hukum syariat apapun kecuali sesuatu yang pasti maslahat, bahkan syariat Allah Azza wa Jalla
adalah kemaslahatan itu sendiri.[3]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, al-Hakîm (Maha Bijaksana) maksudnya, (bijaksana) dalam semua perkataan,
perbuatan,syariat maupun taqdir-Nya.
Dari uraian makna di atas, berarti nama al-Hakîm mengandung dua sifat, yaitu Allah bersifat Maha menetapkan hukum,
dan bersifat Maha bijaksana dalam hukum-Nya. Misalnya, ketika Allah SWT mentaqdirkan seseorang beriman, berarti
itulah yang paling tepat dan bijaksana. Demikian pula ketika, misalnya, Allah mentaqdirkan seseorang mati dalam keadaan
kafir, maka itu pulalah yang paling adil, bijaksana dan tepat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang harus Dia lakukan.
Dia Maha Mengetahui segala-galanya, baik berkaitan dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya maupun berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan para hamba-Nya.
Begitu pula, semua ketetapan syariat Allah, adalah syariat yang bijaksana, bagus dan tepat dipakai oleh siapapun, kapanpun
dan di manapun. Syariat Allah tidak mengandung cacat sedikitpun, baik syariat yang berkaitan dengan pribadi, rumah
tangga, sosial, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah maupun mu’amalah.
Karena itu, hendaklah kaum Muslimin senantiasa ingat akan nama Allah SWT; al-Hakîm, dan senantiasa berupaya
menghayati nama-nama husna Allah serta sifat-sifat sempurna-Nya, supaya dengan demikian menjadi orang-orang yang
benar-benar bertakwa.
BAB II
ADAB BERGAUL DENGAN ORANG YANG LEBIH MUDA,
SEBAYA, DAN YANG LEBIH TUA
Kita harus menjaga akhlak baik terhadap orang yang lebih tua, terhadap masyayikh, dan
ulama: yakni dengan Menghormatinya, membantunya, dan meringankan kesulitannya.
Sebagian tanda memuliakan Allah adalah menghormati orang Islam yang telah putih
rambutnya (tua). (HR Abu Daud).
Tiada seorang pemuda yang menghormati orang yang tua usianya, melainkan Allah akan
menyediakan orang-orang yang akan menghormatinya jika ia telah tua usianya. (HR
Turmudzi).
Akhlak kita terhadap orang tua, dimana orang tua kita telah melahirkan dan membesarkan kita sampai menjadi seseorang
yang dewasa yang mampu berguna bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, setelah menghormati
orang tua, maka kita juga harus memiliki akhlak maupun adab yang baik terhadap orang-orang yang lebih tua dari kita,
karena bagaimanapun juga merekalah yang telah memberikan seluruh pengorbanan baik jiwa maupun harta sehingga sampai
saat ini kita masih menikmati hasil perjuangan mereka. Tanpa mereka, kita tidak akan hidup seperti saat ini, dimana terjadi
kemajuan di berbagai bidang yang sangat urgen dalam hidup dan kehidupan kita.
Jika sekarang kita menghormati orang yang lebih tua, maka kelak apabila kita telah lanjut usia kita juga akan dihormati
demikian sebaliknya. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa orang yang tidak mengetahui tentang apa kewajiban yang
harus dilakukan terhadap orang yang lebih tua, maka orang itu bukanlah termasuk golongan umat Nabi.
Tidaklah ada yang lain yang dapat kita lakukan untuk orang yang lebih tua dari kita kecuali dengan menghormatinya dan
meneruskan perjuangan mereka hingga nantinya kita akan hidup dengan lebih baik lagi dari pada sekarang. Dan anggaplah
orang yang lebih tua itu sebagai orang tua kita sendiri dan juga kita tidak akan canggung berbuat karena mereka adalah
orang tua kita sendiri.
2. Akhlak dengan Teman Sebaya
Kita harus menjaga akhlak baik terhadap orang yang sebaya, teman, dan sahabat:
yakni dengan nasihat yang tulus, adil, dan saling mencocoki (seiya sekata) selama
bukan dalam perkara dosa dan maksiat.
Orang mukmin terhadap orang mukmin lainnya, tak ubahnya bagaikan
sesuatu bangunan yang bagian-bagiannya (satu sama lain) kuat mengkuatkan.
(HR Muslim).
Barang siapa yang berjalan dalam upaya memenuhi kebutuhan saudaranya, dan
usaha ini berhasil, adalah lebih baik daripada beri’tikaf sepuluh tahun. Dan barang
siapa beri’tikaf satu hari saja karena Allah, maka Allah menjauhkan antara dia dan
neraka sejauh tiga parit yang lebih jauh dari antara ujung bumi sebelah barat dan
timur. ( HR Baihaqi).
Apabila kita mendapatkan suatu masalah pasti dibutuhkan solusi yang tepat, dimana solusi itu sedikit banyak akan kita
dapatkan dari orang-orang yang sebaya dengan kita, karena orang yang sebaya pastinya baik dari segi kematangan fisik
maupun mental memiliki kesamaan yang banyak dengan pribadi kita. Orang yang sebaya dengan kita tentunya akan lebih
terbuka dengan kita karena seolah-olah nasib yang dirasakan sama atau seimbang atas dasar pengalaman dan pengetahuan
yang dialami dan didapat.
Kita harus sadar bahwa orang yang hidup tanpa bantuan orang lain maka orang itu seolah-olah seperti mayat hidup. Oleh
karena itu, dalam setiap kita melakukan suatu perbuatan maka harus mampu berpikir jauh tentang baik dan buruknya
tindakan yang kita lakukan tersebut. Dari hal itu dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang mau memikirkan kebutuhan
orang lain adalah merupakan akhlak yang sangat mulia dan terpuji.
Siapakah taman sebayamu ? Jika kamu di tanya seperti itu, mungkin kamu akan menyebutkan nama-nama temanmu.
Misalnya temanmu bernama Idrus, Ilyas, Nisa, atau nama temanmu yang lain. Namun, Apakah yang dimaksud dengan
teman sebaya ? Teman sebaya adalah seseorang yang usianya sama atau hampir sama dengan usia kita. Nah, sekarang kamu
telah mengetahui siapa yang di maksud teman sebayamu. Contohnya kamu dikelas dua belas, teman-temanmu yang sama
kelas dua belas merupakan teman sebayamu. Adapun teman yang duduk di kelas sepuluh dan sebelas adalah adik kelasmu
yang usianya lebih muda dari kamu.
Apakah yang sering kamu lakukan bersama temanmu ? tentunya kamu sering belajar bersama, bermain bersama, atau pergi
bersama. Namun, harus kamu ingat bahwa teman sebayamu bukan hanya mereka yang selalu bersamamu, akan tetapi masih
banyak teman sebayamu yang lain, ada yang kamu kenal dan ada yang belum kamu kenal. Kamu harus saling menghormati,
bersikap baik, dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan, Contohnya ketika temanmu sakit, kamu bisa menolongnya
mencarikan obat, atau membantu menyampaikan izin sakit pada gurumu. Apabila alat tulismu berlebihan dan kebetulan ada
temanmu yang tidak membawa, kamu dapat meminjamkannya. Itulah tolong-menolong dalam kebaikan. Perbuatan tolong-
menolong dalam kebaikan amat di anjurkan dalam agama Islam. Akan tetapi, tolong-menolong dalam kejahatan amat
dilarang. Firman Allah swt menyatakan sebagai berikut :
ُُو أٱلعه أد َٰ َو ِن
َ ىُٱۡل أث ِم
ِ ُو َلُتَ َع َاونهواُ َعلَ أ
َ ُوٱلت َ أق َو َٰى َوت َ َع َاونهواُ َعلَ أ
َ ىُٱل ِب ُِر
“Bertolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa
dan permusuhan “ ( Q. S. Al – Maaidah : 2 ).
Bagaimana jika tolong-menolong dalam kejahatan ? tentu saja itu tidak baik. Janganlah tolong-menolong dalam kejahatan.
Ajaran agama Islam melarang kita untuk tolong-menolong dalam kejahatan. Misalnya, dengan memberikan contekan atau
tolong-menolong dalam berkelahi. Sebaiknya kamu jangan ikut-ikutan melakukan kejahatan atau perbuatan tersebut. Jika
kamu mampu maka damaikanlah temanmu yang sedang berkelahi. Bila tidak bisa, maka beritahukanlah kepada Gurumu.
Maka wajib bagi seorang Mukmin untuk menjauhi teman-teman yang suka berbuat dalam dosa dan permusuhan, apalagi
yang hanya mencari kehidupan dunia, karena mereka akan mengarahkanmu kepada perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan
pertemananmu akan menjadi pertemanan penghamba dunia dan cinta dunia saja. Jika ini terjadi maka akan mencegahnya
dari keselamatan dan bisa merusak persahabatan. Bersemangatlah untuk menjalin pertemanan dengan ahlul khoir (orang-
orang baik) dan para pencari akhirat.
Yang perlu diperhatikan dalam pergaulan dengan teman sebaya adalah :
a. Hendaknya masing-masing dari kita jangan merasa dirinya lebih kuat, lebih pintar dan lebih berpengalaman dari yang
lain. Karena pada prinsipnya manusia itu sama derajatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Manusia itu adalah bagaikan gigi sisir dalam persamaan (Saling butuh membutuhkan)" (HR. Abu Dawud)
b. Kita harus menjalin hubungan yang harmonis, sehingga terwujud persatuan dan kesatuan. Sebagaimana Sabda Rasulullah
SAW yang artinya : "Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, dimana satu sama lain saling
menguatkan" (HR. Bukhari Muslim)
c. Kita harus menghormati seseorang menurut keadaannya. Misalnya kita menghadapi guru yang walaupun mungkin
usianya sebaya dengan kita, tetapi sesuai dengan kedudukannya seorang murid terhadap guru harus tetap hormat
layaknya seorang murid terhadap gurunya.
d. Dalam pergaulan dengan teman sebaya, hendaknya menjaga batas-batas kesopanan dan tidak melanggar norma-norma
agama. Misalnya pergaulan muda-mudi yang tidak mengenal batas, sehingga terjadi hubungan bebas yang melanggar
hukum-hukum agama. Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut : Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sekali-kali kamu berkhalwat (sendirian ditempat yang sepi) dengan seorang
perempuan, kecuali dengan muhrimnya". (HR Bukhari Muslim)
Ingat…….!!!!!
Anak yang bagus adabnya akan disukai oleh teman-temannya. Oleh karena itu, agar dicintai dan dihormati teman-teman
sebaya, kita harus bergaul kepada mereka dengan adab yang baik.
Kita harus menjaga akhlak baik terhadap orang yang lebih muda dan anak-anak: Yakni
dengan memberi bimbingan, adab, membawa mereka dengan apa yang diwajibkan ilmu,
adab yang dituntunkan as sunnah, juga adab-adab bathin, dan menunjukkan kepada mereka
dengan perkara lain yang bisa memperbagus adab.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
Tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang yang lebih (muda), dan
tidak mengerti hak-hak orang yang lebih (tua). Bukanlah termasuk golonganku orang yang
menipu kami, seorang mukmin yang lain, seperti mencintai diri sendiri. (Tabrani dari
Damrah)
“Bukanlah termasuk umatku orang yang tidak menyayangi kepada yang lebih muda dan
tidak menghargai kehormatan yang lebih tua” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Orang yang lebih muda adalah semua orang yang umurnya lebih muda dari kita. Mereka diantaranya: adik kandung, adik
kelas di madrasah atau teman-teman bermain yang lebih muda umurnya. Terhadap adik-adik kita harus membimbing dan
menyayangi mereka. Kita harus memberikan contoh dengan tingkah laku yang baik.
Jika bicara masalah akhlak, kita tidak mengenal dengan siapa kita harus menghormati ataupun menghargai orang lain.
Jangan dianggap bahwa yang lebih muda harus selalu menghormati yang lebih tua tetapi yang muda pun harus kita hormati
dan hargai juga. Tentunya kita harus memberikan perhatian yang lebih dan memberikan kasih sayang yang penuh kepada
mereka karena tak terelakkan bahwa merekalah (kaum muda) yang nantinya akan meneruskan perjuangan dan diharapkan
bahwa mereka akan hidup dalam kehidupan yang lebih baik dari kita.
Yang lebih muda belum tentu lebih rendah dari kita. Jangan dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang ini sangat cepat menembus dunia kaum muda, sehingga kita sebagai generasi tua harus banyak belajar
kepada mereka. Kita sebagai generasi yang lebih tua hendaknya memberikan bimbingan agar generasi muda sekarang ini
lebih berkualitas yang ditunjukkan dengan prestasi yang baik, dimana prestasi itu diraih dengan mengikuti kaidah yang ada,
terutama kaidah yang dianjurkan agama yaitu akhlak yang mulia.
Hal yang perlu diperhatikan adalah kita tidak boleh ujub dan takabur terhadap kaum muda, karena boleh jadi mereka lebih
baik dan berilmu dari pada kita. Jadikanlah itu semua menjadi tantangan karena sesungguhnya di atas orang yang berilmu
itu ada yang lebih tinggi lagi ilmunya.
Banyak pertanyaan muncul setelah banyak kalangan mengeluhkan mengapa banyak sekali penyimpangan akhlak dan moral
yag dilakukan oleh para remaja. Banyak pelanggaran atas kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan sering sekali terjadi
tindak kejahatan yang seharusnya itu tidak terjadi. Tentunya kita semua bertanggung jawab, bahkan orang tua di rumah,
guru di sekolah dan masyarakat pada umumnya tampak sudah kehilangan akal atas terjadinya krisis akhlak yang terjadi pada
remaja.
Akhlak yang mulia sebagaimana dikemukakan banyak pakar bukanlah terjadi dengan sendirinya, akan tetapi dipengaruhi
oleh banyak faktor terutama lingkungan keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Pembinaan akhlak terhadap remaja sangat
penting sekali untuk dilakukan mengingat secara psikologis usia remaja adalah sedang berada dalam goncangan dan mudah
terpengaruh sebagai akibat dari keadaan dirinya yang masih belum memiliki bekal pengetahuan, mental, dan pengalaman
yang cukup. Dari situ, para remaja mudah sekali terjerumus dalm perbuatan yang menghancurkan masa depan mereka
sendiri, sebagai contoh adalah pergaulan bebas.
Banyak kalangan masih memperdebatkan apakah perlu pendidikan seks diperkenalkan kepada generasi muda. Sebagian
kalangan yang tergolong modernis-progressif setuju bahwa pendidikan seks bagi remaja perlu diberikan. Salah satu alasan
mereka adalah jika manusia perlu diberikan pendidikan intelektual dengan dasar karena manusia memiliki akal pikiran,
maka pendidikan seks pun perlu diberikan karena manusia memiliki potensi biologis. Sementara bagi sebagian kalangan
konservatif tradisionalis tidak setuju terhadap pendidikan seks bagi remaja, yang salah satu alasannya adalah bahwa para
remaja secara psikologis ditandai oleh keadaan serba ingin tahu, ingin mengalami, ingin merasakan dan seterusnya. Mereka
kurang berpikir panjang, sebagai akibat posisi dirinya yang masih bebas, tanpa ikatan apapun, belum ada beban dan
sebagainya dan dengan posisi psikologis yang demikian mereka sering tidak berpikir panjang dan kurang memperhatikan
akibat dari perbuatan yang dikerjakannya.
Wujud konkret yang harus dilakukan sebagai suatu tindakan yang berakhlak yang dilakukan remaja. Sebagai contoh adalah
:
a. Memberikan kasih sayang dan bimbingan kepada mereka
b. Memberikan contoh dengan berbuat sesuai ucapanmu
c. Berbicara dengan sopan kepadanya
d. Menolong bila ia dalam kesulitan
e. Bersabar menghadapi kemauannya
1. Menundukkan pandangan
Pandangan merupakan awal terjadinya fitnah sehingga Allah memerintahkan kepada setiap laki-laki maupun perempuan untuk
menjaga pandangannya. Sebagaimana firman Allah,
َ ظواُفه هرو َج ههمُذَُِلكَ ُأَزكَىُلَ ههمُ ِإ َن
ٌ َُّللاَُ َخ ِب
َُيرُ ِب َماُ َيص َنعهون ُو َيحفَ ه
َ ارهِم
ِ صَ ُّواُمنُأَب
ِ قهلُ ِلل همؤ ِمنِينَ ُ َيغهض
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.” (QS. An Nur : 30)
ُُو َيحفَظنَ ُفه هرو َج هه َن
َ اره َِن
ِ صَ ُمنُأَب
ِ ََوقهلُ ِلل همؤ ِمنَاتُِ َيغضهضن
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS.
An Nur : 31)
Manfaat dari menjaga pandangan ini adalah agar ketika berinteraksi, seseorang tidak terfitnah dengan lawan jenis dan tidak
menjadi sumber fitnah. Hendaknya seseorang tidak mengumbar pandangannya dan senantiasa menjaga hatinya. Jika seseorang
tidak sengaja melihat lawan jenis maka hendaknya dia langsung menundukkan pandangannya, bukan malah menuruti keinginan
untuk melihat berulang kali, baik karena kecantikannya, rasa penasaran terhadap orang yang baru saja dilihat, maupun karena
iseng-iseng saja. Stop dan jangan teruskan pandanganmu meski hanya melirik kepada hal yang tak layak kau pandangi!
Cukuplah kau jaga hatimu dan tundukkan pandanganmu.
Ada suatu kisah mengesankan dari seorang yang shalih. Suatu hari, ada seorang shalih berangkat ke tempat shalat. Ketika ia
pulang, istrinya bertanya, “Berapa wanita cantik yang telah engkau lihat?”. Orang shalih itupun menjawab, “Demi Allah,
semenjak aku berangkat hingga aku pulang, tidaklah aku melihat kecuali ibu jari kaki-kakiku!”
Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah tadi adalah kesungguhannya dalam menjaga pandangannya dari hal-hal yang bukan
menjadi haknya untuk dilihat. Lalu bagaimana dengan orang yang belum memiliki pasangan hidup? Seharusnya dia lebih
berusaha keras untuk menjaga pandangannya.
A. Adil
1. Pengertian adil
Adil menurut bahasa berarti sama, tidak berat sebelah, berpihak pada kebenaran dan tidak berlaku sewenang-wenang. Jadi,
orang disebut berbuat adil apabila ia tidak memihak, jiwanya senantiasa berpihak pada yang benar karena yang benar dan
yang salah sama-sama mendapatkan haknya, dan tidak berbuat sewenang-wenang. Allah SWT berfirman :
ُٱّللهُأَ أولَ َٰى ُبِ ِه َما ُفَ ََل ُتَت َ ِبعهوا ُ أٱل َه َو َٰ ا
ُى ُأَن ُِ ُولَ أو ُ َعلَ َٰ اى ُأَنفه ِس هك أُم ُأَ ِو ُ أٱل َٰ َو ِلدَ أي
َُ َن ُ َُو أٱۡل َ أق َربِينَُ ُإِنُيَ هك أن ُ َغنِيًّاُأ َ أو ُفَ ِق ّٗيراُُف َ ِ ش َهدَاا َء
َ ُِّلل طُ هُِ َٰ ايَأَيُّ َهاُٱلَذِينَُ ُ َءا َمنهوا ُ هكونهوا ُقَ َٰ َو ِمينَ ُبُِ أٱل ِق أس
ُ ُ١٣٥ُيرا َُ ُت َعأ ِدُلهواُُ َو ِإنُت أَل اهُوۥاُُأ َ أوُتهعأ ِرضهواُفَإ ِ َن
ّٗ ٱّللَُ َكانَ ُ ِب َماُتَعأ َملهونَ ُ َخ ِب
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan” (QS. An-Nisaa’ {4} : 135)
Sedangkan ditinjau dari segi istilah, pengertian adil memiliki 4 pemahaman :
1. Adil berarti sama. Seseorang dikatakan adil bila ia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang
lainnya. (QS. An-Nisa’ {4} : 58)
2. Adil berarti seimbang, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. (QS. Al-Mulk {67} : 3)
3. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau memberi pihak lain haknya melalui jalan terdekat. Lawannya
adalah kezaliman, yang berarti pelanggaran terhadap hak-hak orang lain atau diri sendiri. (QS. Ibrahim{14} : 34, QS.
Al-Ahzab{33} : 72).
4. Adil bermakna keadilan Illahi (QS. Fushilat{41} : 46)
Kata adil juga sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth (moderat/seimbang) dan kata adil
dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at
Islam, sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan
manusia diperintah untuk berlaku adil.
Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala
urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti
kecuali terhadap Allah swt saja. Allah swt berfirman:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari
kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. An-Nisa’:135)
Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. yaitu keadilan seorang Muslim terhadap
orang yang dicintai, dan keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak
bersekongkol dengan kebathilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia dari berbuat adil (insaf) dan memberikan
kebenaran kepada yang berhak.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu .” (An-Nisa’: 135)
٩َُُلُت ه أخس هِرواُُ أٱل ِميزَ ان ُِ َوأَقِي همواُُ أٱل َو أزنَُُبِ أٱل ِق أس٨ُان
ُ َ طُ َو ُِ َلُت أَطغ أَواُُفِيُ أٱل ِميز
ُ َ َ أ٧َُُض َُعُ أٱل ِميزَ ان
َ س َما ا َُءُ َرفَعَ َهاُ َو َو
َ َوٱل
Artinya:”Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui
batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”. (QS.
Ar-Rahman:7-9)
Dalil yang lain bisa dilihat di QS. Al-Hadid:25; QS. Al-An’âm : 152; QS. An-Nisâ` : 135; QS. Al-Mâ`idah : 8; QS. Al-
A’râf : 181; QS. Asy-Syûrô: 15.
B. Amal Shalih
C. Ukhuwwah
1. Definisi Ukhuwah
Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata ukhuwah digunakan untuk kata
yang bermakna teman akrab, sahabat, saudara, dan lain-lain lagi. Dari segi istilah ukhuwah adalah ikatan jiwa yang
melahirkan perasaan kasih sayang, cinta, dan penghormatan yang mendalam terhadap setiap orang, di mana keterpautan
jiwa itu ditautkan oleh ikatan akidah Islam, iman dan takwa.
Persaudaraan yang tulus ini akan melahirkan rasa kasih sayang yang mendalam pada jiwa setiap muslim dan mendatangkan
dampak positif, seperti saling menolong, mengutamakan orang lain, ramah, dan mudah untuk saling memaafkan.
Dan sebaliknya dengan ukhuwah juga akan terhindari hal-hal yang merugikan dengan menjauhi setiap hal yang dapat
mendatangkan kerugian bagi orang lain, baik yang berkaitan dengan jiwa, harta, kehormatan, atau hal-hal yang merusak
harkat dan martabat mereka. Sesungguhnya Islam telah menghimbau kepada umatnya untuk senantiasa menjaga ukhuwah
ini.
Ukhuwah yang biasa juga diartikan sebagai "persaudaraan", terambil juga dari akar kata yang pada mulanya berarti
"memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang
merasa bersaudara. Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang
bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai "setiap
persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari
segi persusuan".
Masyarakat muslim mengenal istilah ukhuwah Islamiyyah. Namun selama ini, masyarakat seringkali memaknai ukhuwah
Islamiyah sebagai persaudaraan terhadap sesama orang Islam. Mestinya tidak demikian. Ukhuwah Islamiyah (Islamic
brotherhood) berbeda dengan ukhuwah baynal-muslimin atau al-Ikhwanul-Muslimun (moslem brotherhood).
Makna persaudaraan antara sesama orang Islam itu sebenarnya bukan ukhuwah Islamiyah, tetapi ukhuwah baynal-
muslimin / al-Ikhwanul-Muslimun (Moslem Brotherhood). Jika dikaji dari segi nahwu, ukhuwah Islamiyah adalah dua kata
yang berjenis mawshuf atau kata yang disifati (ukhuwah) dan shifat atau kata yang mensifati (Islamiyah). Sehingga,
ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai sebagai persaudaraan yang berdasarkan dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan
persaudaraan antar sesama umat Islam dinamakan dengan ukhuwah diniyyah.
Dari pemaknaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa ukhuwah diniyyah (persaudaraan terhadap sesama orang Islam),
ukhuwah wathâniyyah (persaudaraan berdasarkan rasa kebangsaan), dan ukhuwah basyâriyyah (persaudaraan berdasarkan
sesama makhluk Tuhan) memiliki peluang yang sama untuk menjadi Ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah tidak
sekedar persaudaraan dengan sesama orang Islam saja, tetapi juga persaudaraan dengan setiap manusia meskipun berbeda
keyakinan dan agama, asalkan dilandasi dengan nilai-nilai keislaman, seperti saling mengingatkan, saling menghormati,
dan saling menghargai.
4. Peringkat-peringkat ukhuwah:
a. Ta’aruf adalah saling mengenal sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata
ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13)
b. Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa
bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak
saudaranya yang harus ia tunaikan. Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda, “Barangsiapa
menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat.
Barang siapa menutupi aib di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong
saudaranya.” (H.R. Muslim)
c. Ta’awun adalah saling membantu tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran
8. Syarat-Syarat Ukhuwah
Dalam menegakkan ukhuwah, hendaknya kita juga memperhatikan beberapa syarat berikut ini:
a. Hendaknya ukhuwah tersebut dilandasi oleh keikhlasan karena Allah dan dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah .
b. Hendaknya ukhuwah tersebut diiringi dengan iman dan takwa.
c. Hendaknya ukhuwah itu dijalankan sesuai dengan bimbingan Islam yang benar.
Catatan :
Perhatikan sabda Nabi berikut:
ُُو هكونهواُ ِعبَادَُهللاُِإِخ َوا ًناُال همس ِل همُأَخهُال همس ِل ِمُلَيَظ ِل همههُ ِولَيَخذهلهه َهُولَيَك ِذبههه َ ضٍ ض هكمُ َعلَىُبَيعُِ َبع
واُولَيَبِعُبَع ه
َ هواُولَتَدَابَ هر
َ واُولتَبَا َغض َ ش هواُولَتَنَا َج ه
َ سد َ لَت َ َحا
ه َ َ
ش ِرُأنُيَح ِق َُرُأخَاههُال همس ِل َمُ هكلُُّال همس ِل ِمُ َح َرا ٌمُدَ همه َهُو َماله َهُو ِعر ه
ض ُهه َ ُمنَ ُال
ِ ٍبُام ِرىء ِ ُ ِب َحس،ٍُثُ َم َرات َ َُاُويهشِي هرُ ِإلَى
َ َصد ِرهُِثََل َ َولَيَح ِق هرههُالتَق َوىُهَا ههن
“Janganlah kalian saling hasad, saling najasy (menawar barang dengan harga yang lebih tinggi tanpa bermaksud
membeli, akan tetapi untuk memperdaya pihak lain), saling membenci, saling acuh tak acuh. Janganlah sesama kalian
menjual di atas penjualan sebagian yang lainnya (maksudnya mempengaruhi pembeli ditengah memilih suatu barang
sehingga membatalkan pembeliannya, kemudian orang lain menawarkan barang dengan kualitas yang sama atau lebih
baik dengan harga yang sama). Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara, seorang muslim adalah saudara bagi
muslim yang lainnya. Oleh karena itu janganlah menzhalimi, menghina, mendustai dan jangan pula meremehkannya.
Taqwa itu ada di sini (hati), dan beliau sambil menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seseorang dianggap jahat jika
ia memandang hina kepada saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya,
hartanya, dan juga kehormatannya.” (HR. Muslim)
Mengamalkan hadits ini merupakan salah satu sarana yang penting untuk meraih ukhuwah dan kerukunan antar sesama
muslim serta menghindarkan dari kedengkian dan permusuhan di antara mereka.
BAB V
NIFAQ DAN KERAS HATI
A. Nifaq
Nifaq secara bahasa berasal dari kata naafaqa – yunaafiqu – nifaaqan wa munaafaqan yang diambil dari kata an-naafiqaa’,
yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangannya, dimana jika ia dicari dari lubang yang
satu, maka ia akan keluar dari lubang yang lain. Dikatakan pula, ia berasal dari kata an-nafaqa (nafaq) yaitu lubang tempat
bersembunyi. [Lihat An-Nihaayah V/98 oleh Ibnu Katsir]
Nifaq menurut syara’ yaitu menampakkan Islam dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan
demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Nifaq juga diartikan menampakkan
perbuatan yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Orang yang melakukan perbuatan nifaq disebut munafiq.
Contoh nifaq adalah menampakkan diri rajin shalat padahal sebenarnya malas. Hanya rajin shalat ketika di hadapan orang
lain. Tapi kalau lagi sendiri di rumah tidak pernah melakukan shalat. Berbeda dengan riya’, karena biasanya kalau riya’ itu bisa
jadi rajin shalat juga di rumah ketika sendirian, hanya saja ketika di hadapan orang lain ingin dipuji dan mendapat simpati. Tapi
kalau nifaq, memang sengaja menutupi kekufuran dan kejahatan dengan menampakkan keislaman di hadapan orang lain.
Allah memperingatkan dengan firman-Nya:
َُُنُٱ أل هم َٰنَ ِف ِقينَُُ هه هُمُٱ أل َٰفَ ِسقهون
َُ ِإ
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. At-Taubah: 67)
Allah ‘SWT. juga berfirman:
ُع هه أم َُ نُٱ أل هم َٰنَ ِف ِقينَُُيه َٰ َخ ِدعهونَُُٱ
ّللَُ َوه َُهوُ َٰ َخ ِد ه َُ ِإ
“Sesungguhnya orang-orang Munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka…” (QS. An-Nisaa’: 142)
[Lihat juga al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 9-10]
Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa memang kalau orang yang munafiq itu seolah-olah akan menipu Allah Swt. dengan
apa yang diperbuatnya. Dulu di jaman Nabi saw. ada beberapa orang munafiq yang kalau di hadapan Nabi saw. dan para
sahabatnya seperti taat. Mereka shalat juga bahkan ikut berjamaah bersama kaum muslimin walaupun agak malas. Namun
dibelakang Nabi saw. tidak pernah menunaikan shalat. Soalnya, hati dan pikiran mereka tidak taat kepada Allah Swt.
sebagaimana orang yang beriman. Itu namanya penipuan. Mereka tidak sadar jika Allah Swt. tidak mungkin dapat ditipu.
JENIS-JENIS NIFAQ
Menurut Al Buraikan nifaq dibagi menjadi 2 yaitu nifaq akbar (besar) dan nifaq asghar (kecil), sedang menurut Abdurrahman
Faudah nifaq dibagi menjadi nifaq iman dan nifaq amali, adapun menurut Ibnu Taimiyah nifaq dibedakan menjadi nifaq nifaq
i’tiqadi dan nifaq ‘amali.
1. Nifaq I’tiqadi/Iman/Akbar (Nifak dalam bentuk keyakinan)
Nifaq i’tiqadi (keyakinan) disebut juga nifaq besar, dimana pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan
kekufuran. Jenis nifaq ini menjadikan keluar dari agama dan pelakunya berada pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.
Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok agama dan
pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-musuh untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam.
Orang-orang munafiq jenis ini senantiasa ada pada setiap zaman. Lebih-lebih ketika tampak kekuatan Islam dan mereka
tidak mampu membendungnya secara lahiriyah. Dalam keadaan seperti itu, mereka masuk ke dalam agama Islam untuk
melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-sembunyi, juga agar mereka bisa hidup bersama umat
Islam dan merasa tenang dalam hal jiwa dan harta benda mereka. Karena itu, seorang munafiq menampakkan keimanannya
kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Hari Akhir, tetapi dalam batinnya mereka berlepas diri dari semua
itu dan mendustakannya.
Nifaq jenis ini ada empat macam, yaitu :
a. Mendustakan Rasulullah SAW atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
b. Membenci Rasulullah SAW atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.
c. Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam.
d. Tidak senang dengan kemenangan Islam.
Orang yang melakukan perbuatan nifaq besar ini akan mendapatkan azab yang lebih berat dari orang-orang kafir, karena bahaya
perbuatan mereka lebih besar dari orang kafir. Allah berfirman :
يرا ِ ارُ َولَنُت َِج ُدَُلَ هه أُمُن
ً َص ُِ َلُ ِمنَُُٱلن ُِ نُٱ أل هم َٰنَ ِف ِقينَُُفِيُٱلد أَر
ُِ َكُٱ أۡل َ أسف َُ ِإ
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali
tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Karena itu di awal-awal surat Al-Baqarah Allah bercerita tentang orang-orang kafir hanya dengan dua ayat, sedangkan tentang
orang-orang munafiq dengan tiga belas ayat.
“Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”
f. Banyak mengingat kematian
Diriwayatkan dari Shafiyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya seorang wanita mendatangi ‘Âisyah Radhiyallahu anhuma
dan mengadukan keadaan hatinya yang keras. Kemudian ‘Âisyah pun berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian, engkau
akan mendapatkan apa yang kau inginkan.” Kemudian wanita itu pun mengerjakannya. Setelah itu, dia pun mendapatkan
petunjuk di hatinya dan bersyukur kepada ‘Âisyah radhiallâhu 'anhâ., Sa’îd bin Jubair, dan Rabî’ bin Abi Râsyid
rahimahumallâh pernah berkata:
سا َعةًُ َخشِيتُأَنُيَف ه
سدَُقَلُ ِبي َ َلَوُف
َ ُارقَ ُذِك هرُال َموتُِقَل ِبي
“Seandainya mengingat kematian terpisah dari hatiku sekejap saja, saya takut hatiku akan menjadi rusak”
g. Banyak berziarah kubur
Abu Thâlib, seorang murid Imam Ahmad, pernah berkata, “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillâh
(Imam Ahmad) tentang bagaimana melunakkan hatinya. Beliau pun menjawab, ‘Masuklah ke dalam pemakaman dan
usaplah kepala anak yatim.’.”
h. Menghadiri majlis ta’lim dan majlis nasihat
Menghadiri majlis-majlis seperti ini sangat berpengaruh terhadap hati manusia. Mari kita perhatikan apa yang dikatakan
oleh al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu, “Pada suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
shalat, kemudian menghadap ke kami dan memberikan nasihat yang sangat menyentuh, yang membuat mata-mata
menangis dan hati-hati menjadi takut.”
i. Menjauhi sebab-sebab terjadinya fitnah dan dosa
Agar hati kita tidak menjadi keras, maka kita berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi sebab-sebab terjadinya dosa atau
fitnah. Oleh karena itu, Allâh SWT. melarang para Sahabat bertanya atau meminta sesuatu hal kepada istri-istri Nabi SAW
kecuali dari belakang tabir. Allâh SWT. berfirman:
َٰ ٍ ُح َجا
َ بُُذَ ِل هكمُأَط َه هرُ ِلقهلهو ِب هكم
ُُوقهلهو ِب ِه َن ِ اء
ِ ُو َر ِ سأَلت ه هموه َهنُ َمت َاعًاُفَاسأَلهوه َهن
َ ُمن َ َُو ِإذَا
“Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.
Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [al-Ahzâb/33:53]
j. Makan makanan yang halal
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Dengan apa hati bisa menjadi lunak?” Kemudian beliau pun
menjawab, “Ya bunayya (wahai anakku)! Dengan makan makananan yang halal.”
k. Shalat malam
Beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh di waktu sahûr (sebelum Subuh)
l. Berteman dengan orang-orang yang soleh, Ibrâhim al-Khawwâsh rahimahullah pernah berkata:
َ سةهُال
َُصالِحِ ين َ َُو هم َجال,
َ ض ُّرعهُعِندَُالسَح ِر َ ُوقِيَا همُاللَي ِل,
َُ َ ُوالت, ِ ُق َِرا َءةهُالقهر:ُسةهُأَشيَاء
َ آنُبِالتَدَب ُِّر
َ ُوخ َََل هءُالبَط ِن, ِ دَ َوا هءُالقَل
َ بُخَم
“Obat hati ada lima macam, yaitu: membaca al-Qur’ân dengan men-tadabburi-nya, mengosongkan perut, shalat malam,
mendekatkan diri (kepada Allâh) di waktu sahûr dan duduk-duduk (berteman) dengan orang-orang yang soleh”
KESIMPULAN
1. Hati memiliki sifat-sifat yang bisa berubah-ubah.
2. Orang yang telah dibukakan hatinya untuk menerima agama Islam dan taat kepada Allâh tidak sama dengan orang yang
berhati keras.
3. Orang yang berhati keras akan mendapatkan ancaman yang sangat besar
4. Orang yang berhati keras memiliki sifat-sifat tertentu seperti yang sudah dipaparkan di atas. Seyogyanya seorang Muslim
selalu melakukan introspeksi diri.
5. Hati bisa menjadi keras disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita menjauhi sebab-sebab tersebut.
6. Hati yang keras pun dapat diobati dengan berbagai cara yang telah disebutkan.
7. Orang-orang yang telah terjerumus kepada kemaksiatan atau merasa bahwa hatinya sangat keras, maka harus segera
bertaubat dan Allâh akan mengampuni orang-orang yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.
Perbuatan manusia bersumber dari hatinya, maka ketika hatinya selamat dari sifat-sifat yang kotor maka perbuatan tersebut
akan mencerminkan prilaku yang islami dan jauh dari maksiat kepada Allah Swt.
Ketahuilah,sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik,
dan sebaliknya apabila dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk, Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah "Qolbu"
yaitu hati ". ( H.R Bukhori ).
Sekarang mari kita lihat dan selidiki tentang hati. Hati adalah sumber kebahagian setiap insan yang ada di muka bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra: "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika raja itu baik, maka akan baiklah
tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruklah pula tentaranya.”
Hati yang keras mempunyai tanda-tandanya yang bisa dikenali diantaranya :
1. Malas melakukan ketaatan dan amal kebajikan.
Terlalu malas untuk melakukan ibadah dan memandang ringan. Misalnya tidak serius melakukan shalat, terasa berat dan
enggan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah yang lain. Hal ini sesuai firman-Nya:
Maksudnya : Mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta mereka
melainkan dengan rasa enggan. (surah taubat ayat 54)
2. Tidak terasa bergetar dengan ayat al-Quran.
Ketika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, hatinya tidak terpengaruh sama sekali tidak
mau khusyuk dan tawaduk dan lalai daripada membaca al-Quran serta mendengarkan al-Quran. Sedangkan Allah swt telah
memberikan gambaran dalam firman-Nya:
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan (dari berbagai tuduhan terhadapmu wahai Muhammad), dan engkau
bukanlah seorang yang berkuasa memaksa mereka (supaya masing-masing beriman). Oleh itu, berilah peringatan dengan
Al-Quran ini kepada orang yang takutkan janji azabKu. (surah al-Qaf ayat 45)
3. Berlebih-lebihan dalam mencintai dunia dan melupakan akhirat.
Segala tumpuan fikiran dan hatinya semata-mata hanya untuk dunia tanpa memikirkan bekalan untuk kehidupan semata-
mata. Urusan sesama manusia hanya semata-mata untuk keuntungan atau mengumpulkan kekayaan dunia semata-mata yang
mana menjadikan seseorang itu menjadi ego,dengki, dan individualistik, bakhil serta tamak terhadap kekayaan dunia yang
hanya sementara ini.
4. Kurang mengagungkan Allah berbanding mengagungkan makhluk.
Sehingga hilang rasa cemburu dalam hati dalam mengejar rahmat Allah dan imannya. Sehingga hilang kemanisan iman ,
tidak marah ketika larangan Allah diperlecehkan serta tidak mengamalkan amal makruf serta tidak memperdulikan terhadap
segala kemaksiatan dan dosa.
5. Tidak belajar dengan Ayat Kauniah.
Tidak terpengaruh dengan peristiwa-peristiwa yang dapat memberi pengajaran seperti kematian,sakit,bencana dan
seumpamanya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai perkara biasa, padahal cukuplah
kematian itu sebagai nasihat seperti firman Allah :
BAB VI
ADAB DALAM BERDO’A
A. Pengertian Do'a
DO’A adalah memohon atau meminta pertolongan kepada Allah SWT. Akan tetapi bukan berarti hanya orang-orang yang
sedang ditimpa musibah saja yang layak memanjatkan do’a. Dalam keadaan segar-bugar dan tidak kekurangan suatu apa pun,
sebagai manusia, kiranya kita layak berdo’a. Setidaknya berdo’alah memohon perkenan Allah SWT untuk mengampuni segala
dosa-dosa, baik yang kita segaja maupun tidak. Juga meminta tetap diberi kekuatan iman dan kesehatan agar dapat
melaksanakan segala perintah-Nya. Lalu memohon perlindungan-Nya dari gangguan setan dan hawa nafsu kita sendiri supaya
tidak terjerembab dalam jurang maksiat.
Apalagi jika kita sadari bahwa situasi dan kondisi yang kita hadapi sehari-hari berputar bagai roda pedati. Mungkin saja
hari ini kita bisa beribadah dengan baik dan ikhlas, namun siapa tahu hari- hari berikutnya kita didera rasa malas? Boleh jadi
hari ini kita begitu bahagia, tetapi siapa tahu nasib kita pada esok atau lusa menjadi sebaliknya? Karena itulah dalam keadaan
sebaik apa pun kita tetap perlu berdo’a. Muhammad Rasulullah saw. bersabda, "Tiada sesuatu yang paling mulia dalam -
pandangan Allah, selain dari berdo’a kepada-Nya, sedang kita dalam keadaan lapang." (HR. Al-Hakim).
Tentu saja dalam berdo’a jangan memohon sesuatu yang menurut kita baik, padahal sesungguhnya buruk. Suatu misal
karena sudah lama menderita sakit parah, karena merasa selalu tersiksa lalu kita memohon kematian. Bukankah seharusnya
kita memohon kesembuhan. Nabi saw. juga melarang kita memohon mati. Abu Huroiroh ra. mengutarakan, Muhammad
Rasulullah saw. bersabda, Sekali-kali janganlah kalian meminta mati. Jangan pula mendo’akannya sebelum mati itu datang
sendiri. Sebab jika kamu telah mati, maka berhentilah kalian beramal. Sesungguhnya bertambah panjang umur seorang
mukmin, bertambah pula kebaikan yang dapat diperbuatnya". (HR. Muslim)
Allah SWT juga berjanji untuk mengabulkan do’a para hamba- Nya. Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya Aku perkenankan bagimu." (QS. 40/Al- Mukmin: 60) "Dan Dia memperkenankan (do’a) orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan serta menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. (QS. 42/Asy- Syuro: 26)
Dalam hadits juga diungkapkan bahwa Allah SWT tidak akan menolak do’a hamba-Nya. Muhammad Rasulullah saw.
bersabda, "Sesungguhnya Allah, Tuhan Yang Maha Hidup lagi Maha Mulia, merasa malu jika seseorang mengangkat kedua
tangannya untuk berdo’a, lalu orang itu ditolak dengan kosong dan kecewa". (HR. Empat Ahli Hadits, kecuali Nasai dari
Salman ra.)
Dengan demikian setiap do’a pasti dikabulkan oleh-Nya. Bahkan ada tiga orang yang mendapat prioritas do’anya segera
dikabulkan.
Muhammad Rasulullah saw. menerangkan, "Ada tiga orang yang sekali- kali tidak akan ditolak do’anya oleh Allah SWT,
ialah orang yang sedang berpuasa sampai waktu menjelang berbuka, kepala negara yang adil, dan orang yang teraniaya."
(HR. Tirmidzi dari Abu Huroiroh ra.)
Jika do’a-do’a yang telah kita panjatklan belum terkabulkan, bukan berarti bahwa do’a kita tersebut ditolak. Muhammad
Rasulullah saw. bersabda: "Apabila seorang muslim menyungkurkan wajahnya (sujud) kepada Allah dalam memohon sesuatu,
pasti Allah memberinya. Dan pemberian itu disegerakan atau menjadi simpanan di akhirat". (HR. Ahmad dari Abu Huroiroh
ra.).
B. Fungsi Do’a
Do’a merupakan unsur yang paling esensial dalam ibadah. Muhammad Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada sesuatu yang
lebih mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan do’a". (HR. Ahmad, Bukhori, Tirmidzi dan Nasai) Sebab sebagaimana
diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Anas ra., menurut Nabi saw. do’a adalah ibadah karena:
1. Mematuhi perintah Allah SWT, yakni firman-Nya: "Berdo’alah kamu kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkan do’amu;
2. Do’a merupakan cermin menghambakan diri kepada Allah SWT; dan
3. Pengakuan, bahwa hanya Allah SWT Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, sehingga hanya Dia-lah yang dapat
mengabulkan dan mewujudkan segala keinginan kita.
Al Qur'an sebagai Kitab Suci, Wahyu Ilahi, mempunyai adab-adab tersendiri bagi orang-orang yang membacanya.
Adab-adab itu sudah diatur dengan sangat baik, untuk penghormatan dan keagungan Al Quran; tiap-tiap orang harus
berpedoman kepadanya dan mengerjakannya.
Imam Al Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin telah memperinci dengan sejelas-jelasnya bagaimana hendaknya
adab-adab membaca Al Qur'an menjadi adab yang mengenal batin, dan adab yang mengenal lahir.
Adab yang mengenal batin itu, diperinci lagi menjadi arti memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat
Allah, menghadirkan hati dikala membaca sampai ke tingkat memperluas, memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa.
Dengan demikian, kandungan Al Quran yang dibaca dengan perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam
hati sanubarinya. Kesemuanya ini adalah adab yang berhubungan dengan batin, yaitu dengan hati dan jiwa.
Sebagai contoh, Imam Al Gazhali menjelaskan, bagaimana cara hati membesarkan kalimat Allah, yaitu bagi pembaca
Al Qur'an ketika ia memulainya, maka terlebih dahulu ia harus menghadirkan dalam hatinya, betapa kebesaran Allah yang
mempunyai kalimat-kalimat itu. Dia harus yakin dalam hatinya, bahwa yang dibacanya itu bukanlah kalam manusia, tetapi
adalah kalam Allah Azza wa Jalla. Membesarkan kalam Allah itu, bukan saja dalam membacanya, tetapi juga dalam menjaga
tulisan-tulisan Al Quran itu sendiri.
Sebagaimana yang diriwayatkan, 'Ikrimah bin Abi Jahl, sangat gusar hatinya bila melihat lembaran-lembaran yang
bertuliskan Al Quran berserak-serak seolah-olah tersia-sia, lalu ia memungutnya selembar demi selembar, sambil berkata:"Ini
adalah kalam Tuhanku! Ini adalah kalam Tuhanku, membesarkan kalam Allah berarti membesarkan Allah."
Adapun mengenai adab lahir dalam membaca Al Quran, selain didapati di dalam kitab Ihya Ulumuddin, juga banyak
terdapat di dalam kitab-kitab lainnya. Misalnya dalam kitab Al Itqan oleh Al Imam Jalaludin As Suyuthi, tantang adab membaca
Al Quran itu diperincinya sampai menjadi beberapa bagian.
Diantara adab-adab membaca Al Quran, yang terpenting ialah:
1. Disunatkan membaca Al Quran sesudah berwudhu, dalam keadaan bersih, sebab yang dibaca adalah wahyu Allah.
2. Mengambil Al Quran hendaknya dengan tangan kanan; sebaiknya memegangnya dengan kedua belah tangan.
3. Disunatkan membaca Al Quran di tempat yang bersih, seperti di rumah, di surau, di mushalla dan di tempat-tempat lain
yang dianggap bersih. Tapi yang paling utama ialah di mesjid.
4. Disunatkan membaca Al Quran menghadap ke Qiblat, membacanya dengan khusyu' dan tenang; sebaiknya dengan
berpakaian yang pantas.
5. Ketika membaca Al Quran, mulut hendaknya bersih, tidak berisi makanan, sebaiknya sebelum membaca Al Quran mulut
dan gigi dibersihkan terlebih dahulu.
6. Sebelum membaca Al Quran disunatkan membaca ta'awwudz, yang berbunyi: a'udzubillahi minasy syaithanirrajim.
Sesudah itu barulah dibaca Bismillahirrahmanir rahim. Maksudnya, diminta lebih dahulu perlindungan Allah, supaya
terjauh pengaruh tipu daya syaitan, sehingga hati dan fikiran tetap tenang di waktu membaca Al quran, dijauhi dari
gangguan. Biasa juga orang yang sebelum atau sesudah membaca ta'awwudz itu, berdoa dengan maksud memohon kepada
Alah supaya hatinya menjadi terang. Doa itu berbunyi sebagai berikut. "Ya Allah bukakanlah kiranya kepada kami hikmat-
Mu, dan taburkanlah kepada kami rahmat dan khazanah-Mu, ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
7. Disunatkan membaca Al Quran dengan tartil, yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang, sesuai dengan firman
Allah dalam surat (73) Al Muzammil ayat 4: "....Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil". Membaca dengan tartil itu lebih
banyak memberi bekas dan mempengaruhi jiwa, serta serta lebihmendatangkan ketenangan batin dan rasa hormat kepada
Al Quran.
Telah berkata Ibnu Abbas r.a.:" Aku lebih suka membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran dengan tartil, daripada kubaca
seluruh Al Quran dengan cara terburu-buru dan cepat-cepat."
8. Bagi orang yang sudah mengerti arti dan maksud ayat-ayat Al Quran, disunatkan membacanya dengan penuh perhatian
dan pemikiran tentang ayat-ayat yang dibacanya itu dan maksudnya. Cara pembacaan seperti inilah yang dikehendaki,
yaitu lidahnya bergerak membaca, hatinya turut memperhatikan dan memikirkan arti dan maksud yang terkandung dalam
ayat-ayat yang dibacanya. Dengan demikian, ia akan sampai kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu membaca Al Quran
serta mendalami isi yang terkandung di dalamnya.Hal itu akan mendorongnya untuk mengamalkan isi Al Quran itu. Firman
Allah dalam surat (4) An Nisaa ayat 82 berbunyi sebagai berikut:
"Apakah mereka tidak memperhatikan (isi) Al Quran?..."
Bila membaca Al Quran yang selalu disertai perhatian dan pemikiran arti dan maksudnya, maka dapat ditentukan
ketentuan-ketentuan terhadap ayat-ayat yang dibacanya.
Umpamanya: Bila bacaan sampai kepada ayat tasbih, maka dibacanya tasbih dan tahmid; Bila sampai pada ayat Doa dan
Istighfar, lalu berdoa dan minta ampun; bila sampai pada ayat azab, lalau meminta perlindungan kepada Allah; bila sampai
kepada ayat rahmat, lalu meminta dan memohon rahmat dan begitu seterusnya. Caranya, boleh diucapkan dengan lisan
atau cukup dalam hati saja.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dari Ibnu Abbas yang maksudnya sebagai berikut: "Sesungguhnya Rasulullah
s.a.w. apabila membaca: "sabbihissma rabbikal a'la beliau lalu membaca subhanarobbiyal a'la . Diriwayatkan pula oleh
Abu Daud, dan Wa-il binHijr yang maksudnya sebagai berikut:" Aku dengan Rasulullah membaca surat Al Fatihah , maka
Rasulullah sesudah membaca walad dholliin lalu membaca aamin . Demikian juga disunatkan sujud, bila membaca ayat-
ayat sajadah, dan sujud itu dinamakan sujud tilawah.
Ayat-ayat sajadah itu terdapat pada 15 tempat yaitu:
1. Dalam surat Al-A'raaf ayat 206
2. Dalam surat Ar-ra'd ayat 15
3. Dalam surat An-Nahl ayat 50
4. Dalam surat Bani Israil ayat 109
5. Dalam surat Maryam ayat 58
6. Dalam surat Al-Haji ayat 18 dan ayat 77
7. Dalam surat Al Furqaan ayat 60
8. Dalam surat Annaml ayat 26
9. Dalam surat As-Sajdah ayat 15
10. Dalam surat As-Shad ayat 24
11. Dalam surat Haamim ayat 38
12. Dalam surat An-Najm ayat 62
13. Dalam surat Al-Insyiqaq ayat 21, dan
14. Dalam surat Al-'Alaq ayat 19
9. Dalam membaca Al Quran itu, hendaknya benar-benar diresapkan arti dan maksudnya, lebih-lebih apabila sampai pada
ayat-ayat yang menggambarkan nasib orang-orang yang berdosa, dan bagaimana hebatnya siksaan yang disediakan bagi
mereka. Sehubungan dengan itu, menurut riwayat, para sahabat banyak yang mencucurkan air matanya di kala membaca
dan mendengar ayat-ayat suci Al Quran yang menggambarkan betapa nasib yang akan diderita oleh orang-orang yang
berdosa.
10. Disunatkan membaca Al Quran dengan suara yang bagus lagi merdu, sebab suara yang bagus dan merdu itu menambah
keindahan islubnya Al Quran. Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Kamu hiasilah Al Quran itu dengan suaramu yang merdu"
Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam Rasulullah s.a.w. menunggu-nunggu istrinya, Sitti 'Aisyah r.a. yang kebetulan
agak terlambat datangnya. Setelah ia datang, Rasulullah bertanya kepadanya:" Bagaimanakah keadaanmu?" Aisyah
menjawab :"Aku terlambat datang, karena mendengarkan bacaan Al Quran seseorang yang sangat bagus lagimerdu
suaranya. Belum pernah akumendengarkan suara sebagus itu." Maka Rasulullah terus berdiri dan pergi mendengarkan
bacaan Al Quran yang dikatakan Aisyah itu. rasulullah kembali dan mengatakan kepada Aisyah:" Orang itu adalah Salim,
budak sahaya Abi Huzaifah. Puji-pujian bagi Allah yang telah menjadikan orang yang suaranya merdu seperti Salim itu
sebagai ummatku."
Oleh sebab itu, melagukan Al Quran dengan suara yang bagus, adalah disunatkan, asalkan tidak melanggar ketentuan-
ketentuan dan tata cara membaca sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu qiraat dan tajwid, seperti menjaga
madnya, harakatnya (barisnya) idghamnya dan lain-lainnya.
Di dalam kitab zawaidur raudhah, diterangkan bahwa melagukan Al Quran dengan cara bermain-main serta melanggar
ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas itu, haramlah hukumnya; orang yang membacanya dianggap fasiq, juga orang
yang mendengarkannya turut berdosa.
Sedapat-dapatnya membaca Al Quran janganlah diputuskan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain. Hendaknya
pembacaan diteruskan sampai ke batas yang telah ditentukan, barulah disudahi. Juga dilarang tertawa-tawa, bermain-main dan
lain-lain yang semacam itu, ketika sedang membaca Al Quran. Sebab pekerjaan yang seperti itu tidak layak dilakukan sewaktu
membaca Kitab Suci dan berarti tidak menghormati kesuciannya.