Anda di halaman 1dari 39

BAB I

MEYAKINI SIFAT-SIFAT ALLAH


YANG TERKANDUNG DALAM TUJUH ASMAUL HUSNA

Asmaul Husna adalah nama-nama yang baik milik Allah SWT. Secara harfiyah, pengertian Asmaul Husna adalah "nama-nama
yang baik". Asmaul Husna merujuk kepada nama-nama, gelar, sebutan, sekaligus sifat-sifat Allah SWT yang indah lagi baik.
Istilah Asmaul Husna juga dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
ُ َ ‫لُ ِإ َٰلَ ُهَُ ِإ‬
ُ‫لُه َُهوُلَ ُههُٱ أۡل َ أس َما ا هُءُٱ أل هح أسن ََٰى‬ ُ‫ّللهُ َ ا‬
َُ ‫ٱ‬
"Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai asmaa'ul husna (nama-nama yang
baik)" (Q.S. Thaha:8).
Umat Islam dianjurkan berdoa kepada Allah sambil menyebut Asmaul Husna. Misalnya, saat seorang Muslim memohon
ampunan-Nya, maka ia berdoa mohon ampun sambil menyebut "Al-Ghoffaar" (Yang Maha Pengampun) dan seterusnya.
ُ‫يَل‬ َ َُُ‫ِتُبِ َهاُ َُوٱ أبت َُِغُبَ أينَُُ َٰذَلِك‬
ُ ّٗ ِ‫سب‬ ُ‫لُتهخَاف أ‬
ُ َ ‫ص ََلتِكَُُ َو‬ َُٰ ‫لر أح َٰ َمنَُُأ َ ّٗياُ َماُت أَدعهواُُفَلَ ُههُٱ أۡلَسأ َما ا هُءُٱ أل هحسأ ن‬
ُ َ ‫َىُ َو‬
َ ِ‫لُت أَج َهرأُُب‬ َ ‫ّللَُأ َ ُِوُٱ أدعهواُُٱ‬ ُِ ‫قه‬
َُ ‫لُٱ أدعهواُُٱ‬
"Katakanlah (olehmu Muhammad): Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaa'ul husna (nama-nama yang terbaik)..." (Q.S Al-Israa': 110)
َُٰ ‫ّللُِٱ أۡل َ أس َما ا هُءُٱ أل هح أسن‬
ُُ‫َىُُفَٱ أدعهو ُههُبِ َها‬ َُ ِ ‫َو‬
"Allah memiliki Asmaul Husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama yang baik itu..." (QS. Al-A'raaf :
180).
Jumlah Asmaul Husna ada 99 nama, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, diperkuat dengan
hadits riwayat Bukhari.
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata Nabi Muhammad Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Swt mempunyai 99 nama, yaitu seratus
kurang satu, barangsiapa menghitungnya (menghafal seluruhnya) masuklah ia kedalam surga" (HR. Bukhari).
Dari jumlah Asmaul Husna yang 99 itu, yang dipelajari pada bab ini hanya 7 nama, yaitu: al Ghaffar, al Razzaq, al Malik, al
Hasib, al Hadi, al Khaliq, dan al Hakim.

A. al Ghaffar (Yang Maha Pengampun)

Kata al Ghaffar berasal dari kata bahasa Arab ghaffara yang artinya menutupi. Di sini timbul pertanyaan apa yang ditutupi,
siapa yang menutupi? Yang menutupi adalah Allah sedangkan yang ditutupi adalah kesalahan manusia. Ada tiga perbuatan
manusia yang ditutupi oleh Allah.
1. Jasmani yang tidak dipandang mata. Allah telah menutupi jasmani seseorang hamba-Nya yang tidak sedap dipandang
mata dengan cara melengkapinya dengan kelebihan-kelebihan seseorang di sisi lain.
2. Kehendak buruk seseorang. Allah menutupi bisikan hati, atau kehendak jahat seseorang dengan cara tidak ada
seorangpun yang mengetahuinya kecuali Allah dan dirinya sendiri. Apa yang akan terjadi jika niat buruk seseorang
diketahui oleh orang lain. Maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Penutupan ini dilakukan oleh Allah, agar manusia mau berbuat baik pada dirinya, orang lain dan lingkungan di mana
dia berada.
3. Perbuatan dosa. Allah berjanji akan mengampuni dosa-dosa seseorang apabila dia menyadari melakukan perbuatan
dosa tersebut dan bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat kecuali syirik (menyekutukan) Allah dengan sesuatu.
‫اُربَ هكمُ ِإنَههُكاَنَ ُغَفا َ ًرا‬
َ ‫فَقهلته ُاست َغ ِف هرو‬
Maka aku katakan kepada mereka mohonlah ampun kepada tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun “
Q.S. 71: 10
‫ُو َع ِملَُصا َ ِلحاًُث ه َمُاهتَدَى‬
َ َ‫ُوا َمن‬
َ ‫ب‬َ َ ‫َوإِنِىُلَغَفا َ ٌرُ ِل ِِ َمنُتا‬
“ Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh, kemudian tetap
di jalan yang benar “ Q.S.20:82

PERBEDAAN AL-GHAFFAR, AL-GHAFUR DAN AL-‘AFUWW

Nama Allah al-Ghaffar, al-Ghafur dan al-'Afuww jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya sama yaitu
Maha Pengampun. Tapi sesungguhnya maknanya berbeda. Beberapa ulama sudah ada yang membahasnya. Inilah
beberapa dari keindahan bahasa Arab. Dua kata yang digunakan secara berbeda, walaupun sekilas artinya sama, tapi
sebenarnya mengandung perbedaan dan makna yang mendalam. Mari kita membahasnya, diawali dengan menyebutkan
beberapa ayat yang menggunakan ketiga nama tersebut dalam al-Qur’an.

Nama Allah "Al-Ghaffar" disebutkan 5 kali dalam Al-Qur'an yaitu di surat Shad: 66, az-Zumar: 5, Nuh: 10, Ghafir: 42, dan
Thaha: 82. Berikut adalah satu diantaranya
‫يزُالغَفَ ه‬
ُ‫ار‬ ‫ُو َماُ َبي َن هه َماُال َع ِز ه‬
َ ‫ض‬ِ ‫ُِواۡلر‬
َ ‫س َم َاوات‬
َ ‫َربُّ ُال‬

Tuhan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS Shad: 66).

Sedangkan, nama Allah "Al-Ghafuur" disebutkan 91 kali dalam Al-Qur'an, diantaranya :

ُ‫ُالرحِ ي هم‬
َ ‫ور‬‫ُِوه َهوُالغَفه ه‬
َ ‫هصيبه ُبِهُِ َمنُُيَشَا هءُمِ نُ ِعبَا ِده‬
ِ ‫َلُرادَُ ِلفَض ِلهُِي‬ َ ‫ِفُلَههُإِلُه َهو‬
َ َ‫ُوإِنُي ِهردكَ ُبِخَي ٍرف‬ َ ‫َُّللاهُبِض ٍهرُفََلُكَاش‬
َ َ‫سسك‬َ ‫َوإِنيَم‬

Jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan
jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan
itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lahYang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS.Yunus : 107)

sedangkan nama Allah "Al-'Afuww" disebutkan 5 kali dalam Al-Qur'an.

Pertama, disebutkan satu kali bersama nama-Nya"Al-Qadir".

َ ‫إِنُتهبد هواُخَي ًراأَوُتهخفهوههُأَوُتَعفهواُ َعنُسهوءٍ ُفَإِ َن‬


ً ‫َُّللاَُ َكانَ ُ َعفه ًّواقَد‬
‫ِيرا‬

"Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa." (QS. Al-Nisa': 149)

Kedua, nama al'Afuww digandeng bersama nama-Nya "Al-Ghafur", disebutkan sebanyak 4 kali. Yaitu di surat an-Nisa': 43,
an-Nisa': 99, al-Hajj: 60, dan al-Mujadilah: 2. Berikut adalah satu diantaranya.
ً ‫َُّللاَُ َكانَ ُ َعفه ًّواُ َغفه‬
‫ورا‬ َ ‫ِإ َن‬

"Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Nisa': 43)

Ayat-ayat yang menyebutkan nama Allah "al-'Afuww" memiliki sifat pemberi maaf, sesungguhnya menunjukkan bahwa
Allah senantiasa memberi maaf kepada hamba-hamba-Nya, walau mereka sering berdosa kepada-Nya. Mereka sangat
membutuhkan maaf-Nya sebagaimana mereka membutuhkan rahmat dan kemurahan-Nya. Bahkan bisa dikatakan,
kebutuhan mereka kepada maaf Allah lebih daripada kebutuhan mereka kepada makan dan minum. Kenapa? Karena jika
Allah tidak memberikan maaf kepada penduduk bumi, niscaya hancur dan binasalah mereka semua dengan dosa-dosa
mereka.

Sifat maaf Allah adalah maaf yang lengkap dan lebih luas dari dosa-dosa yang dilakukan hamba-Nya. Apalagi kalau mereka
datang dengan istighfar, taubat, iman, dan amal-amal shalih yang menjadi sarana untuk mendapatkan maaf Allah.
Sesungguhnya tidak ada yang bisa menerima taubat para hamba dan memaafkan kesalahan mereka dengan sempurna kecuali
Allah SWT.

Perbedaan antara al'Afuww (Maha Pemaaf) dan al-Ghaffar (Maha Pengampun)

Pada dasarnya, semua nama Allah adalah sangat baik. Tapi al-'Afuww itu memiliki makna lebih dalam daripada maghfirah
(al-Ghaffar dan al-Ghafur). Karena maghfirah, adalah ampunan dosa namun dosa itu masih ada. Dosa tersebut ditutupi oleh
Allah di dunia dan diakhirat nanti juga ditutupi dari pandangan makhluk. Sehingga Allah tidak menyiksa seseorang dengan
dosa tersebut, tapi dosa itu masih ada.

Adapun maaf (al-‘Afuww), maka dosa yang dilakukan hamba sudah tidak ada. Seolah-olah, ia tidak pernah melakukan
kesalahan. Karena dosa itu telah dihilangkan dan dihapuskan sehingga bekasnya tidak lagi terlihat. Dari sisi ini, pemberian
maaf lebih istimewa.
Boleh jadi seseorang melakukan dosa-dosa kecil, ia tidak banyak ibadah di Lailatul Qadar, maka ia datang di hari kiamat
akan mendapati Allah sebagai Maha Pengampun (al-Ghafur). Namun nanti dosa-dosa itu akan ditampakkan dan ia disuruh
mengakuinya. Berbeda dengan yang -boleh jadi- melakukan dosa besar, lalu ia bertaubat, giat ibadah di Lailatul Qadar,
maka di hari kiamat ia memperoleh maaf. Maka Allah Maha Pemaaf (al-‘Afuww), tidak lagi menyebutkan kesalahan-
kesalahannya, karena sudah dihapuskan. Adapun al-Ghafur (Maha Pengampun), terkadang dosanya masih disebut dan
ditampakkan, namun Allah tidakmenyiksa/menghukum karenanya.

Perbedaan keduanya, terlihat jelas dalam dua hadits berikut ini: Pertama, hadits tentang datangnya seorang hamba pada hari
kiamat, lalu Allah Tabarakan wa Ta'ala berfirman kepadanya: "Wahai hamba-Ku, mendekatlah!" Maka hamba tadi
mendekat. Lalu Allah menurunkan tabir penutup atasnya, dan bertanya padanya:"Apakah kamu ingat dosa ini? Apakah
kamu ingat dosa itu?" -Dan ini menunjukkan bahwa bekas dosa itu masih ada dalam catatan amal-. Lalu hamba tadi
menjawab, "Ya, masih ingat wahai Rabb." Hamba tadi mengira akan binasa. Lalu Allah berfirman padanya: "Aku telah
tutupi dosa itu atasmu didunia, dan hari ini Aku beri ampunan atas dosa itu untukmu." Ini adalah maghfirah (al-Ghafuur /
al-Ghaffar).

Sedangkan al-'Afuww (pemaafan atas dosa), maka Allah akan berfirman pada hari kiamat kepada seseorang yang telah
dimaafkan-Nya, "Wahai fulan, Sesungguhnya Aku telah ridha kepadamu karena perbuatanmu di dunia, Aku telah ridha
kepadamu dan memaafkanmu, maka pergilah dan masuklah ke dalam surga."

Perbedaan antara al'Ghafur dan al-Ghaffar

Menurut Imam Ghazali, al-Ghafuur adalah (‫ )يغفرُالذنوبُالعظيم‬atau mengampuni dosa dari segi kualitasnya, sedangkan al-
Ghaffar adalah (‫ )يغفر ُالذنوبُالكثير‬atau mengampuni dosa dari segi kuantitasnya. Sehingga al-Ghafur lebih sempurna dan
menyeluruh pengampunannya.

Ada juga ulama lain yang menjelaskan perbedaan kedua kata itu yaitu al-Ghafuur adalah mengampuni dosa dari masa lalu
hingga masa mendatang (‫)من ُالماضي ُالى ُالمستقبل‬, sedangkan al-Ghaffar mengampuni dosa dari masa kini hingga masa
mendatang (‫)منُالحاضرُالىالمستقبل‬

Jadi, ketiga nama tersebut sekilas seperti tampak sama, tetapi ternyata ada perbedaan makna yang sangat dalam, yaitu Al
Ghafur bermakna menutupi dosa dan Al ‘Afuwwu bermakna melebur dosa. Sehingga al Ghafur terkadang bermakna
menutupi dosa seseorang dan tiadalah siksa baginya, tapi Allah SWT tidak meridhai apa yang dilakukannya. Adapun al
Afuwwu berarti melebur dosa dan Allah SWT juga meridhainya, sehingga seakan-akan dosa itu tidak pernah ada. Dari
keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-‘Afuww lebih tinggi tingkatannya dibanding al-Ghafur.

Tentang Al-Ghaffar dan Al-Ghafur, menurut Imam Ghazali, al-Ghafur adalah ampunan Allah dari sisi kualitas, sedangkan
Al-Ghaffar adalah ampunan Allah dari segi kuantitas. Perbedaan lain adalah bahwa al-Ghafuur mengampuni dosa dari masa
lalu hingga masa mendatang, sedangkan al-Ghaffar mengampuni dosa dari masa kini hingga masa mendatang Sehingga
dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Ghafur lebih sempurna dan menyeluruh pengampunannya daripada
al-Ghaffar.

Jadi dari ketiga nama tersebut, jika ingin disusun dari tingkatan yang baik hingga yang paling baik adalah al-Ghaffar, al-
Ghafuur dan al-'Afuww.

Buah mengimani sifat Allah Al-Ghaffar yaitu:

1. Harus tumbuh sikap pemaaf, mampu menahan amarah dan tidak mudah terpancibg emosi.
2. Tidak enggan meminta maaf jika melakukan salah, karena seseorang tidak akan menjadi hina hanya karena meminta
maaf.
3. Orang yang paling mulia adalah orang yang mampu memaafkan kesalahan orang lain.

B. al-Razzaq(Yang Maha Pemberi Rizqi)


Muhammad Khalil al-Harras berkata, “Salah satu nama Allah adalah ‫اق‬ ُ‫لر َز ه‬
َ َ ‫( ا‬Ar-Razzaq), yang merupakan bentuk
mubalaghah dari kata ‫ق‬ َ َ ‫( ا‬Ar-Raziq). Perubahan bentuk kata tersebut menunjukkan sesuatu yang banyak, diambil dari
ُ‫لر ِاز ه‬
َ َ ‫( ا‬ar-razq) yang bermakna pemberian rezeki, yang merupakan bentuk mashdar (kata dasar). Adapun ‫ق‬
ُ‫لرز ه‬
kata ‫ق‬ ُ‫( ا َ ِلرز ه‬ar-rizq)
adalah nama bagi sesuatu yang Allah rezekikan kepada seorang hamba (kata benda). Jadi, makna Ar-Razzaq adalah Dzat
yang banyak memberi rezeki kepada hamba-hamba-Nya, yang bantuan dan keutamaan-Nya bagi mereka tidak terputus
walau sekejap mata.

Adapun kata Ar-Razzaq sama dengan kata Al-Khaliq (penciptaan), yaitu sebagai salah satu sifat perbuatan, yakni salah satu
sifat-Nya sebagai Rabb (Rububiyyah). Kata Ar-Razzaq tidak boleh disandarkan kepada yang selain-Nya, sehingga yang
selain-Nya tidak boleh disebut Raziq (pemberi rezeki) sebagaimana tidak boleh disebut Khaliq (pencipta). Allah berfirman:

َُ‫ىُ َع َماُي أهش ِر هكون‬ ‫لُ ِمنُ َٰذَ ِل هكمُ ُِمنُش أَيءُُ ه‬
َُٰ َ‫س أب َٰ َحنَ ُهۥهُ َوتَ َٰعَل‬ ُ‫ش َر َكاائِ هكمُ َمنُيَ أفعَ ه‬ ُ‫ّللهُٱلَذِيُ َخلَقَ هك أُمُث ه َُمُ َرزَ قَ هك أُمُث ه َُمُي ِهميت ه هك أُمُث ه َُمُي أهحيِي هك أُمُه أ‬
‫َلُ ِمنُ ه‬ َُ ‫ٱ‬

“Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu
(kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (ar-Rum: 40)

Jadi, semua rezeki itu di tangan Allah saja. Dialah pencipta rezeki dan pencipta makhluk yang memanfaatkan rezeki tersebut.
Dialah yang menyampaikan rezeki tersebut kepada mereka. Dia juga merupakan Pencipta sebab-sebab menikmatinya. Oleh
karena itu, yang wajib dilakukan adalah menyandarkan rezeki tersebut hanya kepada Allah satu-satu-Nya dan mensyukuri-
Nya.

Rezeki Allah kepada hamba-hamba-Nya ada dua macam, yaitu yang umum dan yang khusus. Rezeki yang umum adalah
Allah menyampaikan segala kebutuhan hidup mereka dan menjaga kelangsungan mereka. Oleh karena itu, Allah
memudahkan jalan-jalan rezeki bagi mereka. Allah pun mengaturnya dalam jasad mereka, lalu menyampaikan makanan
yang dibutuhkan jasad ke anggota-anggota tubuh yang kecil maupun yang besar. Rezeki yang umum ini mencakup orang
yang baik maupun yang jahat, muslim maupun kafir, bahkan juga meliputi manusia, jin, dan hewan. Allah berfirman:

ُ‫ّللُِ ِر أزقه َها‬ ُ ِ ‫َو َماُ ِمنُ ُدَاابَةُُفِيُٱ أۡل َ أر‬


ُ َ ‫ضُ ِإ‬
َُ ‫لُ َعلَىُٱ‬

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS. Hud: 6)

Rezeki ini mungkin berupa sesuatu yang halal, yang tidak mengandung dosa bagi hamba. Akan tetapi, mungkin pula berupa
sesuatu yang haram namun tetap disebut sebagai rezeki dari sisi ini, yaitu disalurkannya kepada anggota badan dan
dijadikannya badan tersebut dapat mengambil manfaat darinya, sehingga hal ini tetap bisa disebut rezeki dari Allah. Sama
saja, baik dia mengambilnya dari yang halal maupun dari yang haram. Yang seperti ini sekadar disebut rezeki (muthlaqur
rizq).

Adapun yang kedua, (rezeki yang khusus) adalah rezeki yang mutlak (yang sempurna), atau rezeki yang bermanfaat di dunia
maupun di akhirat. Rezeki ini diperoleh melalui Rasulullah dan terbagi menjadi dua.

1. Rezeki bagi kalbu, berupa ilmu dan iman serta hakikat keduanya, karena kalbu sangat membutuhkan pengetahuan akan
kebenaran dan berkeinginan terhadapnya, serta ingin menghamba kepada Allah. Dengan rezeki ini akan tercukupi dan
hilang rasa butuhnya (karena kalbu tidak akan membaik, beruntung, dan merasa kenyang hingga mendapatkan ilmu
tentang hakikat yang bermanfaat dan aqidah yang benar, akhlak yang mulia, serta bersih dari akhlak yang hina. Apa
yang dibawa Rasul menjamin dua hal tersebut sesempurna-sempurnanya, dan tidak ada jalan menuju kepadanya
melainkan melalui jalan beliau).
2. Rezeki bagi badan, berupa rezeki halal yang tidak mengandung dosa. Allah mencukupi hamba-Nya dengan rezeki yang
halal sehingga tidak membutuhkan yang haram. Allah juga mencukupi hamba-Nya dengan keutamaan-Nya sehingga
tidak membutuhkan selain keutamaan-Nya.

Rezeki yang khusus untuk mukminin dan yang mereka minta dari-Nya adalah kedua macam rezeki tersebut.

Yang pertama adalah tujuan terbesar, sedangkan yang kedua adalah sarana menuju kepadanya dan yang membantu dalam
mewujudkannya. Bila Allah SWT memberikan rezeki kepada seorang hamba berupa ilmu yang bermanfaat, iman yang
benar, rezeki yang halal, serta sifat qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah SWT rezekikan, berarti segala urusannya
telah sempurna dan keadaannya telah lurus, baik sisi agama maupun jasmaninya. Rezeki semacam inilah yang dipuji dalam
nash-nash (teks-teks) nabawi dan tercakup dalam doa-doa yang bermanfaat. Oleh karena itu, bila berdoa kepada Rabbnya,
seorang hamba semestinya mengingat dalam kalbunya dua hal ini, sehingga bila dia mengatakan, ‘Ya Allah, berikan
kepadaku rezeki’, yang dia maksud adalah sesuatu yang membuat kalbunya semakin baik, yaitu ilmu dan petunjuk, serta
pengetahuan dan iman; juga yang menjadikan jasmaninya baik, yaitu rezeki yang halal, yang nikmat, yang tidak sulit, dan
tidak mengandung dosa. (Syarh Nuniyyah karya al-Harras, 2/110—111 dengan beberapa tambahan dari Syarh al-Asma’
wash Shifat, kumpulan penjelasan as-Sa’di)

Buah Mengimani Nama Allah Ar-Razzaq

Dengan mengimani nama Allah SWT tersebut, kita mengetahui betapa besarnya karunia Allah dan betapa luasnya rezeki-
Nya. Semua makhluk-Nya: manusia, jin, hewan, dan tumbuhan Allah berikan rezeki-Nya kepada mereka tanpa kecuali.
Lebih dari itu, Allah mengkhususkan rezeki yang besar di dunia dan akhirat untuk hamba-Nya yang bertakwa.

Tentu semua itu menuntut kita untuk selalu bersyukur atas semuanya (rezeki iman dan amal, serta rezeki kebutuhan kita
sehari-hari), tunduk kepada-Nya, memohon kepada-Nya, karena Dialah yang Mahakaya dan Mahamampu, serta tidak
memohon rezeki kepada selain Allah SWT, siapa pun dia karena pada hakikatnya semuanya tidak memiliki apa pun. Justru
mereka juga mendapatkan rezeki dari Allah Yang Maha Pemberi Rezeki, Ar-Razzaq.

C. al-Malik (Yang Maha Menguasai)

Dalam Al Qur’an, kata Malik diulang sebanyak 5 kali, dua diantaranya dirangkaikan dengan kata haq yang berarti “pasti”
dan “sempurna”.

Secara umum Al Malik diartikan Raja atau Penguasa, kata Malik terdiri dari huruf Mim Laam Kaaf yang rangkaiannya
mengandung makna “kekuatan” dan “Keshahihan”, ini menunjukkan bahwa Allah adalah segala kekuatan yang ada di alam
semesta ini yang shahih dan tidak dapat di ingkari lagi kekuasaan-Nya meliputi semesta alam dan pengetahuan yang ada.

Al Malik dalam Al Qur’an menyebutnya Raja Yang Maha Berkuasa (yang Mutlak kekuasaannya), Menurut Imam Al
Ghazali, Al Malik adalah “yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh
kepada-Nya, Wujud segala sesuatu bersumber dari pada-Nya. Maka segala sesuatu selainnya menjadi Milik-Nya dalam zat
dan sifat-Nya serta membutuhkan-Nya. Itulah Raja Yang Mutlak.

Firman Allah dalam Surat Thaaha: 114 ُُّ ‫ّلل هُٱ أل َم ِلكهُُٱ أل َح‬
ُ‫ق‬ َُ ‫فَتَ َٰعَلَىُٱ‬
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenar-benarnya” (Q.S. At Thaaha:114)

Sudah sangat jelas bahwa Allah adalah Raja Yang sebenar-benarnya segala bentuk raja di dunia dan semesta ini adalah
miliknya dan tunduk kepada-Nya, selain merajai di dunia yang fana ini, kerajaan Allah juga bersifat langgeng (abadi).

Di terangkan dalam Firman-Nya dalam surat Al Mu’minun : 16

“(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu
Allah berfirman):”Kepunyaan siapa kerajaan pada hari ini? ”Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”
(Q.S. Al Mu’minun:16).

Di terangkan lagi dalam surat Al Fatihah : 4

“Yang Mengusai hari Pembalasan” (Q.S. Al Fatihah:4)

Dengan begitu Allah yang menguasai pengetahuan dan segala urusan tentang hari pembalasan, yang mengusai waktu yang
telah lalu dan yang akan datang. Dunia dan seisinya dalam genggaman-Nya.

Dalam Hadits Rasulullah

“Allah Yang Maha Mulia Lagi Agung ‘menggenggam’ bumi pada hari kemudian dan ‘melipat’ semua langit dengan
‘tangan kanan-Nya’, kemudian berseru: Aku Adalah Malik (Raja), maka dimanakah (mereka yang mengaku) Raja?” (H.R.
Bukhori).
DALIL AQLI : Allah sebagai sang pencipta pasti menguasai segala yang diciptakannya termasuk manusia, Allah mengatur
segala takdir bagi manusia sehingga wajib bagi manusia untuk tunduk kepada raja dari segala raja yaitu tidak lain adalah
Allah.
Buah dari Mengimani Sifat Al Malik :
Sebagai manusia yang beriman dalam melaksanakan tugas kepemimpinan hendaknya meneladani sifat Allah ini dan
menjadikan sifat wajib rasul dan para khulafaur rasyidin sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya.
Bagi manusia ini sangat perlu karena semua manusia merupakan khalifah bagi dirinya sendiri dan khalifah di bumi.

D. al-Hasib (Yang Maha Penghitung)

Sebelum Allah SWT memberikan sesuatu kepada hamba-hambaNya terlebih dahulu Dia perhitungkan dari sisi manfaat dan
mudhoratnya. Baik dari segi harta, ilmu, tenaga dan lain sebagainya.
Apabila Allah SWT memberikan sesuatu kepada hamba-Nya justru akan membawa kemudhoratan bagi hamba-Nya tersebut,
maka Allah SWT tidak akan memberinya. Dan apabila pemberian-Nya akan membawa manfa’at bagi hambaNya maka Allah
SWT akan memberinya.
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mau menerima kebaikan Allah SWT ini sehingga dia cenderung untuk berburuk
sangka kepada Allah SWT. Padahal apapun yang Allah SWT berikan adalah untuk menyelamatkannya didunia dan
diakhirat.
Sebagai contohnya ada seseorang yang ingin sekali menjadi orang yang kaya, akan tetapi Allah SWT menjadikannya orang
yang miskin (berkecukupan). Biasanya dia akan berkeluh kesah dan berburuk sangka kepada Allah SWT. Padahal andaikata
Allah SWT menjadikan dia sebagai orang yang kaya, maka dia akan melampaui batas dimuka bumi sehingga akan
menjerumuskannya masuk kedalam neraka.
Contoh yang lain ada seseorang yang ingin sekali menjadi seorang polisi, akan tetapi Allah SWT justru menjadikannya
sebagai karyawan. Biasanya dia akan berburuk sangka kepada Allah SWT dan selalu berkeluh kesah. Padahal andaikata dia
menjadi polisi, dia akan menjadi polisi yang dzolim sehingga akan menjerumuskannya masuk kedalam neraka. Begitupun
juga dengan yang lain.
Karena apa yang kita sangka baik, belum tentu baik dimata Allah SWT, dan apa yang kita sangka buruk belum tentu buruk
dimata Allah SWT.
Firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah (2) : 216
َُ‫لُت َعأ لَ همون‬ َُ ‫ىُأَنُت ه ِحبُّواُُش أَّٗيُاُ َوه َُهوُشَرُُلَ هك أُمُ َُوٱ‬
ُ َ ُ‫ّللهُيَعأ لَ هُمُ َوأَنت ه أُم‬ َ ‫ىُأَنُت أَك َرههواُُش أَّٗيُاُ َوه َُهوُخ أَيرُُلَ هك أُمُ َو َع‬
ُ‫س َٰ ا‬ ُ‫بُ َعلَ أي هك هُمُٱ أل ِقت َا ه‬
َ ‫لُ َوه َُهوُ هك أرهُُلَ هك أُمُ َو َع‬
ُ‫س َٰ ا‬ َُ ِ‫هكت‬
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah
SWT mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Perhitungan Allah SWT adalah sangat tepat, tidak kurang dan tidak lebih walau sedikitpun. Apabila pemberian-pemberian
Allah kita lihat secara duniawi, banyak sekali yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi kalau kita lihat
secara ukhrowi, ternyata sangat sesuai dan banyak sekali amal-amal yang ditawarkan. Karena kesulitan apapun yang Allah
berikan tenyata terdapat amal yang besar didalamnya. Bahkan semakin sulit yang kita terima maka semakin besar pula
amalnya.
Rasulullah bersabda : “Yang paling berat menerima ujian adalah kami para nabi, setelah itu orang yang dibawahnya,
dibawahnya, dibawahnya lagi, sehingga orang kafir tidak diberi ujian tetapi azab”. (al Hadits)
Apabila kita perhatikan banyak orang-orang yang tidak beriman dalam mencari harta menggunakan berbagai macam cara
tidak peduli halal atau haram, tetapi mereka tidak mendapatkan peringatan. Akan tetapi kalau orang beriman yang sedikit
saja melakukan kesalahan langsung mendapat peringatan. Berarti dalam hal ini Allah menginginkan agar kita selamat nanti
diakhirat.
Bahkan Allah menciptakan syetan juga ada gunanya bagi manusia. Apabila kita mau memohon perlindungan kepada Allah
serta tidak menuruti langkah-langkahnya niscaya akan mendapatkan amal. Sehingga terujilah keimanan seseorang
disebabkan adanya setan tersebut.
Jadi semua ciptaan-ciptaan (pemberian) Allah berdasarkan pertimbangan yang sangat tepat. Oleh sebab itu kita harus ikhlas
dan jangan berkeluh kesah atas segala pemberian Allah serta menggunakannya untuk kepentingan akhirat.
Sebagai contohnya kita gotong royong yang datang hanya orang delapan. Kalau kita lihat secara duniawi kita akan susah,
akan tetapi kalau kita lihat secara ukhrowi kita justru bersyukur. Karena dengan sedikit yang datang kita akan memperoleh
amal yang banyak. Jadi apapun yang diberikan Allah pasti bermanfaat untuk kehidupan akhirat.
DALIL AQLI : disini Allah SWT sebagai yang menciptakan pasti akan menjamin kebutuhan makhluknya, tapi terkadang
terjadi kesalahpahaman, bahwa Allah tidak adil karena kebutuhannya tidak terjamin, disini sesungguhnya Allah telah
menjamin hanya saja makhluknya saja yang tidak mau berusaha dalam memperolehnya.
Buah dari Mengimani Sifat Al Hasib
Kita sebagai mun’min harus senantiasa selalu mengadakan perhitungan terhadap perilaku kita terhadap sesama makhluk
(introspreksi diri). Jika pada instrospeksi itu ada perilaku yang memberikan manfaat maka hendaknya diteruskan tetapi jika
pada introspeksi diri itu ada perilaku yang memberikan kemudhorotan maka hendaknya tidak dilakukan lagi.

E. al-Hadi (Yang Maha Pemberi Petunjuk)

Al Hadi atau Maha Pemberi Petunjuk menunjukkan bahwa Allah SWT memberi petunjuk atau hidayah kepada siapapun
di antara hamba-Nya yang Dia kehendaki. Petunjuk yang paling utama bagi manusia berupa agama yang benar di sisi-Nya.
Dengan agama yang benar, kehidupan manusia menjadi terarah. tidak tersesat, dan sampai pada tujuan hidup yang
sebenarnya. yakni kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Hanya Allah SWT-lah yang dapat memberikan petunjuk. Allah SWT paling mengetahui siapa yang patut mendapat
petunjuk dan siapa yang belum patut mendapatkan petunjuk. Seorang Rasul sekalipun tidak akan dapat memberikan
petunjuk atau hidayah itu. Para nabi dan rasul hanya diberi tugas untuk menyampaikan ajaran tauhid dan ajaran Islam yang
datangnya dari Allah SWT. Diterima atau ditolaknya ajaran tersebut oleh umatnya bukan lagi menjadi kewajiban para rasul.
Para rasul itu pun tidak diperbolehkan untuk memaksakan orang lain mengakui kebenaran yang disampaikannya. Sebagai
contoh, Nabi Muhammad SAW tidak dapat menyadarkan pamannya yang bernama Abu Talib untuk masuk Islam. Nabi
Ibrahim tidak mampu menyadarkan ayahnya yang bernama Azar untuk berhenti menyembah berhala. Nabi Nuh tidak dapat
menyadarkan anaknya yang bernama Kan’an untuk menyembah Allah SWT. Allah berfirman:
َُ‫شا ا هُءُ َوه َُهوُأَ أعلَ هُمُبُِٱ أل همهأ تَدِين‬ َُ ‫نُأ َ أح َب أبتَُُ َو َٰلَ ِك‬
َُ ‫نُٱ‬
َ َ‫ّللَُيَهأ دِيُ َمنُي‬ ُ‫لُتَهأ دِيُ َم أ‬
ُ َ َُُ‫إِنَك‬
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al
Qasas:56)
Hidayah pada surat al Qasas: 56 mempunyai arti petunjuk, maksudnya adalah menunjukkan disertai kelembutan. Petunjuk
Allah yang diberikan kepada manusia terbagi dalam empat macam.
1. Petunjuk yang menjangkau mukallaf -dengan berbagai jenisnya- yang berupa akal, kecerdasan dan pengetahuan dharuri
(yaitu ilmu yang didapat tanpa berpikir panjang) dan yang paling luas.
2. Kedua, hidayah yang diberikan kepada manusia melalui lisan para Nabi, Al-Quran, dan sarana lain yang sejenis dengan
itu.
3. Pemberian taufiq (pertolongan) yang khusus diberikan kepada orang yang mengharapkan petunjuk.
4. Petunjuk di akhirat kepada surga.
Manusia mampu memberikan petunjuk kepada seseorang dengan melalui dakwah (seruan) dan memperkenalkan cara-cara
untuk mencapai berbagai jenis hidayah-Nya.
Manusia juga mampu memberi petunjuk dalam berbagai hal, seperti menunjukkan arah, jalan, lokasi, maupun waktu.
Buah dari sifat Allah al Hadi, maka hendaknya kita :
1. Dapat membimbing diri sendiri dan orang lain istiqamah dijalan yang benar
2. Selalu dan di mana saja mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Rasulullah saw, yang menjadi suri tauladan
bagi orang-orang yang beriman.
3. Menjadikan petunjuk jalan kita segala ucapan dan nasihat yang baik serta amal perbuatan yang baik pula.

F. al-Khaliq (Yang Maha Pencipta)


al-Khaliq secara bahasa berasal dari kata "khalq" atau "khalaqa" yang berarti mengukur atau memperhalus. Kemudian,
makna ini berkembang dengan arti menciptakan tanpa contoh sebelumnya. Kata khalaqa dalam berbagai bentuknya
memberikan penekanan tentang kehebatan dan kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya. (Q.S. Ar-Rum: 20-25)
Allah al-Khaliq, artinya Allah pencipta semua makhluk dan segala sesuatu. Malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dan segala yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah. Allah menciptakan setiap
makhluk secara sempurna dan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan ukuran yang paling tepat. al-Qur'an menegaskan,
ُ‫نُ ِمنُ ِطين‬ َ َٰ ‫لُش أَيءٍُُ َخلَقَهۥُ هُ َو َبدَُأ َُخ أَلقَُُٱ أ ِۡلن‬
ُِ ‫س‬ َ ‫ِيُأ َ أح‬
َُ ‫سنَُُ هك‬ ُ‫ٱلَذ ا‬
"Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah." (Q.S. As-Sajdah
: 7)
Dalam ayat lain ditegaskan,
ُ‫نُت أَق ِويم‬ َ ‫يُأَ أح‬
ُِ ‫س‬ َ َٰ ‫لَقَ أُدُ َخلَ أقنَاُٱ أ ِۡلن‬
ُ‫سنَُُفِ ا‬
"sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebik-baiknya." (Q.S. At-Tin: 4)
Allah SWT dapat menciptakan makhluk mati (abiotik) maupun makhluk hidup (biotik). Allah menciptakan segala sesuatu
tanpa ada yang sia-sia, semuanya bermanfaat. Terlebih lagi ketika Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang
dikatakan-Nya sebagai makhluk-Nya yang paling baik, makhluk yang paling sempurna, maka kita harus bersyukur kepada-
Nya.
Pahamilah bahwa Allah telah menciptakan segalanya bagi manusia dan menciptakan manusia bagi Diri-Nya sendiri. Seluruh
isi alam baik makhluk hidup maupun yang tidak hidup serta tatanan yang menyertainya, merupakan manfaat dan hikmah
bagi manusia. Orang mukmin harus menemukan manfaat dan hikmah ini, kemudian menggunakannya, dan merasa
beruntung karena menjadi bagian yang sangat penting dan berperan dari penciptaan ini. Allah SWT berfirman :
ُ‫ب‬
ِ ‫ارُآليَاتٍُۡلو ِليُاۡللبَا‬ َ ‫َلفُاللَي ِل‬
ِ ‫ُوالنَ َه‬ ِ ِ‫ُواخت‬
َ ‫ض‬ِ ‫ُِواۡلر‬
َ ‫س َم َاوات‬ ِ ‫إِ َنُفِيُخَل‬
َ ‫قُال‬
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda (ayat)
bagi orang yang berakal” (QS. Ali 'Imron [3] : 190)
ُ‫ُوأَل َوا ِن هكم‬
َ ‫َلفُأَل ِسنَ ِت هكم‬
‫ُواخ ِت ه‬
َ ‫ض‬ِ ‫ُِواۡلر‬ َ ‫َو ِمنُآ َيا ِت ِهُخَل هقُال‬
َ ‫س َم َاوات‬
“(Dan) Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya langit dan bumi serta berlain-lainannya bahasa dan
warna kulitmu” (QS. Ar-Rum [30]: 22)
Siapa saja yang mempunyai akal pasti akan mampu membuktikan —dengan adanya benda-benda yang dapat diinderanya—
bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Fakta menunjukkan bahwa semua benda
itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Hal ini menggambarkan segala sesuatu yang ada hanyalah
makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Al-Khaliq Yang Maha Pencipta, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan
perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri. Dengan
mengamati salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu
bagian dari diri manusia, akan kita dapati bukti nyata dan meyakinkan akan adanya Allah SWT.
Buah dari sifat Allah al Khaliq :
Kita dapat meneladani al Khalik dengan cara menjadi orang yang kreatif dan menjadikan hasil karya kita bermanfaat bagi
orang lain. Bukan sebaliknya, menjadi kreatif tapi menggunakan karya kita untuk merusak lingkungan, menyakiti,
merugikan, dan bahkan membunuh manusia lain.
Kita juga dapat melahirkan kreasi-kreasi atau hal-hal baru dan bermanfaat untuk kemaslahatan atau kesejahteraan seluruh
makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Karena orang yang pada dirinya bermanifestasi sifat Allah al-Khaliq
dianugerahi pengetahuan, kemampuan (skill), dan juga restu Allah, sehingga Dia melihat alam semesta tercermin di dalam
dirinya (mikrokosmos). Dari situ, dia dapat mengenal segala sesuatu yang ada di sekelilingnya (makrokosmos). Dia
mengenal alam-alam yang telah diciptakan-Nya itu sebaik dia mengenal dirinya sendiri.

G. al-Hakim (Yang Maha Bijaksana)

Al-Hakîm adalah salah satu nama Allah Azza wa Jalla yang sangat indah, namun jarang dihayati oleh kaum Muslimin.
Itulah sebabnya, disamping tidak merasakan indahnya nama itu, juga banyak pelanggaran terhadap hukum Allah yang
dilakukan oleh banyak kaum Muslimin, baik dalam konteks individual maupun sosial.
Syaikh Dr. Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, menjelaskan, al-Hakîm mempunyai dua makna.
1. Allah SWT adalah Hakîm (pembuat dan penentu hukum) bagi seluruh makhluk-Nya. Dan hukum Allah ada dua. Yaitu,
hukum yang bersifat kauni (yakni, ketetapan taqdir) dan hukum yang bersifat syar’i (yakni, ketetapan syariat).
2. Allah Maha bijaksana, tepat, bagus dan meyakinkan dalam menetapkan semua hukumnya, baik hukum yang brsifat
kauni maupun hukum yang bersifat syar’i. Makna kedua ini diambil dari kata hikmah, yang artinya meletakkan sesuatu
tepat pada tempatnya.
Jadi, Allah SWT adalah Hakîm, yang membuat dan menetapkan hukum kauni (taqdir) dan syar’i (syariat) bagi seluruh
makhluk-Nya. Dan semua hukum Allah SWT ; semua ketetapan taqdir serta semua ketetapan syariat Allah SWT, adalah
ketetapan yang bijaksana, tepat dan bagus. Allah SWT tidak menciptakan apapun untuk tujuan yang sia-sia, dan Allah
SWT tidak menetapkan hukum syariat apapun kecuali sesuatu yang pasti maslahat, bahkan syariat Allah Azza wa Jalla
adalah kemaslahatan itu sendiri.[3]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, al-Hakîm (Maha Bijaksana) maksudnya, (bijaksana) dalam semua perkataan,
perbuatan,syariat maupun taqdir-Nya.
Dari uraian makna di atas, berarti nama al-Hakîm mengandung dua sifat, yaitu Allah bersifat Maha menetapkan hukum,
dan bersifat Maha bijaksana dalam hukum-Nya. Misalnya, ketika Allah SWT mentaqdirkan seseorang beriman, berarti
itulah yang paling tepat dan bijaksana. Demikian pula ketika, misalnya, Allah mentaqdirkan seseorang mati dalam keadaan
kafir, maka itu pulalah yang paling adil, bijaksana dan tepat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang harus Dia lakukan.
Dia Maha Mengetahui segala-galanya, baik berkaitan dengan perbuatan-perbuatan diri-Nya maupun berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan para hamba-Nya.
Begitu pula, semua ketetapan syariat Allah, adalah syariat yang bijaksana, bagus dan tepat dipakai oleh siapapun, kapanpun
dan di manapun. Syariat Allah tidak mengandung cacat sedikitpun, baik syariat yang berkaitan dengan pribadi, rumah
tangga, sosial, politik, ekonomi dan lain-lainnya. Baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah maupun mu’amalah.
Karena itu, hendaklah kaum Muslimin senantiasa ingat akan nama Allah SWT; al-Hakîm, dan senantiasa berupaya
menghayati nama-nama husna Allah serta sifat-sifat sempurna-Nya, supaya dengan demikian menjadi orang-orang yang
benar-benar bertakwa.

BAB II
ADAB BERGAUL DENGAN ORANG YANG LEBIH MUDA,
SEBAYA, DAN YANG LEBIH TUA

A. Pentingnya Akhlak dalam Agama Islam


Nilai-nilai baik buruk, terpuji dan tercela berlaku kapan dan dimana saja dalam semua aspek kehidupan yang tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu. Jadi akhlak dalam Islam bukanlah akhlak yang kondisional tetapi mempunyai nilai yang pasti. Dalam
persoalan ini, fitrah manusia sebagai makhluk yang berakhlak, berkewajiban menjalankan dan menjaga akhlak yang baik
serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk.
Dalam era glabalisasi saat ini, kemerosotan akhlak, etika, dan moral sudah semakin terasa. Fenomena-fenomena sosial
memunculkan berbagai anggapan tentang akhlak orang-orang Islam. Oleh karena itu, kita harus mengevaluasinya yang
dimulai dari diri kita sendiri, sejauh mana kita mampu menjalankan akhlak yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Ajaran-ajaran Islam ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Dalam bidang akhlak ini, Islam menjunjung tinggi tolong-
menolong, saling menasehati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa, dan
kebersamaan. Dari hal itu dapat diketahui bahwa derajat manusia ditentukan oleh ketakwaannya dan ditunjukkan dengan
prestasi yang baik dimana prestasi itu diraih dengan mengikuti akhlak yang baik.
Menurut penelitian yang dilakukan Jalaludin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar
dari pada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial dari pada aspek kehidupan ritual.
Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah.
Pentingnya dalam bermuamalah, membuat kita harus membuka diri dan menjalani kehidupan dengan memiliki akhlak yang
baik dimana kita nantinya akan bergaul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam bab ini, sedikit akan dikupas tentang
akhlak bermasyarakat (terhadap sesama) antara yang lebih muda, sebaya, dan kepada yang lebih tua.

B. Pentingnya Akhlak Dalam Pergaulan Sehari-hari


Dalam bermasyarakat, tentunya kita harus mempunyai akhlak yang baik dalam bergaul sehingga nantinya akan tercapai
kedamaian, keseimbangan, dan keselarasan di dalam kehidupan. Tentunya kita harus melaksanakan pergaulan menurut
norma-norma pergaulan kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan hukum syara’. Itu semua ada karena manusia
sebagai makhluk sosial yang selau hidup dengan dan di dalam masyarakatnya.
Jadi, akhlak terhadap kehidupan masyarakat, pada dasarnya berkisar pada sikap menyuruh berbuat baik dan mencegah
perbuatan buruk, atau yang lebih dikenal dengan “Amar ma’ruf nahi munkar”. Bila tiap anggota masyarakat menyadari akan
pentingnya hal itu, maka setidaknya akan mampu mengekang gejala-gejala yang dapat menimbulkan hal-hal yang buruk
dan sebaliknya dapat mendorong setiap usaha yang menghasilkan hal yang baik.
Dunia pendidikan yang sedang kita geluti sekarang ini sangat berperan sekali dalam meningkatkan kualitas akhlak. Al-
Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan budi pekerti yang mencakup penanaman kualitas
moral dan etika. Pendidikan yang sekarang telah ada harus mampu menciptakan keseimbangan antara kecerdasan akhlak
dengan kecerdasan intelektual sehingga perjalanan yang seimbang akan membawa keseimbangan yang baik pula dalam
kehidupan.
Penanaman kualitas moral dan etika tersebut seperti bagaimana seharusnya beradab/beretika dalam pergaulan sehari-hari,
dimulai dari bagaimana adab terhadap orang yang lebih tua, teman sebaya, dan orang yang lebih muda.
Allah Subhanahu wataala berfirman,
ُ‫سولَهه‬
‫ُو َر ه‬ َ ‫ُاآلخ ِرُي َهوادُّونَ ُ َمنُ َحاد‬
َ َ‫ََُّللا‬ ِ ‫ُواليَو ِم‬ َ ِ‫لُت َِجد هُقَو ًماُيهؤ ِمنهونَ ُب‬
َ ِ‫اّلل‬
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,” (Al Mujaadilah: 22)
1. Akhlak dengan orang yang lebih tua

Kita harus menjaga akhlak baik terhadap orang yang lebih tua, terhadap masyayikh, dan
ulama: yakni dengan Menghormatinya, membantunya, dan meringankan kesulitannya.
Sebagian tanda memuliakan Allah adalah menghormati orang Islam yang telah putih
rambutnya (tua). (HR Abu Daud).
Tiada seorang pemuda yang menghormati orang yang tua usianya, melainkan Allah akan
menyediakan orang-orang yang akan menghormatinya jika ia telah tua usianya. (HR
Turmudzi).

Akhlak kita terhadap orang tua, dimana orang tua kita telah melahirkan dan membesarkan kita sampai menjadi seseorang
yang dewasa yang mampu berguna bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, setelah menghormati
orang tua, maka kita juga harus memiliki akhlak maupun adab yang baik terhadap orang-orang yang lebih tua dari kita,
karena bagaimanapun juga merekalah yang telah memberikan seluruh pengorbanan baik jiwa maupun harta sehingga sampai
saat ini kita masih menikmati hasil perjuangan mereka. Tanpa mereka, kita tidak akan hidup seperti saat ini, dimana terjadi
kemajuan di berbagai bidang yang sangat urgen dalam hidup dan kehidupan kita.
Jika sekarang kita menghormati orang yang lebih tua, maka kelak apabila kita telah lanjut usia kita juga akan dihormati
demikian sebaliknya. Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa orang yang tidak mengetahui tentang apa kewajiban yang
harus dilakukan terhadap orang yang lebih tua, maka orang itu bukanlah termasuk golongan umat Nabi.
Tidaklah ada yang lain yang dapat kita lakukan untuk orang yang lebih tua dari kita kecuali dengan menghormatinya dan
meneruskan perjuangan mereka hingga nantinya kita akan hidup dengan lebih baik lagi dari pada sekarang. Dan anggaplah
orang yang lebih tua itu sebagai orang tua kita sendiri dan juga kita tidak akan canggung berbuat karena mereka adalah
orang tua kita sendiri.
2. Akhlak dengan Teman Sebaya
Kita harus menjaga akhlak baik terhadap orang yang sebaya, teman, dan sahabat:
yakni dengan nasihat yang tulus, adil, dan saling mencocoki (seiya sekata) selama
bukan dalam perkara dosa dan maksiat.
Orang mukmin terhadap orang mukmin lainnya, tak ubahnya bagaikan
sesuatu bangunan yang bagian-bagiannya (satu sama lain) kuat mengkuatkan.
(HR Muslim).
Barang siapa yang berjalan dalam upaya memenuhi kebutuhan saudaranya, dan
usaha ini berhasil, adalah lebih baik daripada beri’tikaf sepuluh tahun. Dan barang
siapa beri’tikaf satu hari saja karena Allah, maka Allah menjauhkan antara dia dan
neraka sejauh tiga parit yang lebih jauh dari antara ujung bumi sebelah barat dan
timur. ( HR Baihaqi).

Apabila kita mendapatkan suatu masalah pasti dibutuhkan solusi yang tepat, dimana solusi itu sedikit banyak akan kita
dapatkan dari orang-orang yang sebaya dengan kita, karena orang yang sebaya pastinya baik dari segi kematangan fisik
maupun mental memiliki kesamaan yang banyak dengan pribadi kita. Orang yang sebaya dengan kita tentunya akan lebih
terbuka dengan kita karena seolah-olah nasib yang dirasakan sama atau seimbang atas dasar pengalaman dan pengetahuan
yang dialami dan didapat.
Kita harus sadar bahwa orang yang hidup tanpa bantuan orang lain maka orang itu seolah-olah seperti mayat hidup. Oleh
karena itu, dalam setiap kita melakukan suatu perbuatan maka harus mampu berpikir jauh tentang baik dan buruknya
tindakan yang kita lakukan tersebut. Dari hal itu dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang mau memikirkan kebutuhan
orang lain adalah merupakan akhlak yang sangat mulia dan terpuji.
Siapakah taman sebayamu ? Jika kamu di tanya seperti itu, mungkin kamu akan menyebutkan nama-nama temanmu.
Misalnya temanmu bernama Idrus, Ilyas, Nisa, atau nama temanmu yang lain. Namun, Apakah yang dimaksud dengan
teman sebaya ? Teman sebaya adalah seseorang yang usianya sama atau hampir sama dengan usia kita. Nah, sekarang kamu
telah mengetahui siapa yang di maksud teman sebayamu. Contohnya kamu dikelas dua belas, teman-temanmu yang sama
kelas dua belas merupakan teman sebayamu. Adapun teman yang duduk di kelas sepuluh dan sebelas adalah adik kelasmu
yang usianya lebih muda dari kamu.
Apakah yang sering kamu lakukan bersama temanmu ? tentunya kamu sering belajar bersama, bermain bersama, atau pergi
bersama. Namun, harus kamu ingat bahwa teman sebayamu bukan hanya mereka yang selalu bersamamu, akan tetapi masih
banyak teman sebayamu yang lain, ada yang kamu kenal dan ada yang belum kamu kenal. Kamu harus saling menghormati,
bersikap baik, dan saling tolong menolong dalam hal kebaikan, Contohnya ketika temanmu sakit, kamu bisa menolongnya
mencarikan obat, atau membantu menyampaikan izin sakit pada gurumu. Apabila alat tulismu berlebihan dan kebetulan ada
temanmu yang tidak membawa, kamu dapat meminjamkannya. Itulah tolong-menolong dalam kebaikan. Perbuatan tolong-
menolong dalam kebaikan amat di anjurkan dalam agama Islam. Akan tetapi, tolong-menolong dalam kejahatan amat
dilarang. Firman Allah swt menyatakan sebagai berikut :
ُ‫ُو أٱلعه أد َٰ َو ِن‬
َ ‫ىُٱۡل أث ِم‬
ِ ‫ُو َلُتَ َع َاونهواُ َعلَ أ‬
َ ‫ُوٱلت َ أق َو َٰى‬ ‫َوت َ َع َاونهواُ َعلَ أ‬
َ ‫ىُٱل ِب ُِر‬
“Bertolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan dalam berbuat dosa
dan permusuhan “ ( Q. S. Al – Maaidah : 2 ).
Bagaimana jika tolong-menolong dalam kejahatan ? tentu saja itu tidak baik. Janganlah tolong-menolong dalam kejahatan.
Ajaran agama Islam melarang kita untuk tolong-menolong dalam kejahatan. Misalnya, dengan memberikan contekan atau
tolong-menolong dalam berkelahi. Sebaiknya kamu jangan ikut-ikutan melakukan kejahatan atau perbuatan tersebut. Jika
kamu mampu maka damaikanlah temanmu yang sedang berkelahi. Bila tidak bisa, maka beritahukanlah kepada Gurumu.
Maka wajib bagi seorang Mukmin untuk menjauhi teman-teman yang suka berbuat dalam dosa dan permusuhan, apalagi
yang hanya mencari kehidupan dunia, karena mereka akan mengarahkanmu kepada perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan
pertemananmu akan menjadi pertemanan penghamba dunia dan cinta dunia saja. Jika ini terjadi maka akan mencegahnya
dari keselamatan dan bisa merusak persahabatan. Bersemangatlah untuk menjalin pertemanan dengan ahlul khoir (orang-
orang baik) dan para pencari akhirat.
Yang perlu diperhatikan dalam pergaulan dengan teman sebaya adalah :
a. Hendaknya masing-masing dari kita jangan merasa dirinya lebih kuat, lebih pintar dan lebih berpengalaman dari yang
lain. Karena pada prinsipnya manusia itu sama derajatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut :
"Manusia itu adalah bagaikan gigi sisir dalam persamaan (Saling butuh membutuhkan)" (HR. Abu Dawud)
b. Kita harus menjalin hubungan yang harmonis, sehingga terwujud persatuan dan kesatuan. Sebagaimana Sabda Rasulullah
SAW yang artinya : "Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, dimana satu sama lain saling
menguatkan" (HR. Bukhari Muslim)
c. Kita harus menghormati seseorang menurut keadaannya. Misalnya kita menghadapi guru yang walaupun mungkin
usianya sebaya dengan kita, tetapi sesuai dengan kedudukannya seorang murid terhadap guru harus tetap hormat
layaknya seorang murid terhadap gurunya.
d. Dalam pergaulan dengan teman sebaya, hendaknya menjaga batas-batas kesopanan dan tidak melanggar norma-norma
agama. Misalnya pergaulan muda-mudi yang tidak mengenal batas, sehingga terjadi hubungan bebas yang melanggar
hukum-hukum agama. Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai berikut : Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah sekali-kali kamu berkhalwat (sendirian ditempat yang sepi) dengan seorang
perempuan, kecuali dengan muhrimnya". (HR Bukhari Muslim)
Ingat…….!!!!!
Anak yang bagus adabnya akan disukai oleh teman-temannya. Oleh karena itu, agar dicintai dan dihormati teman-teman
sebaya, kita harus bergaul kepada mereka dengan adab yang baik.

3. Akhlak Terhadap Yang Lebih Muda

Kita harus menjaga akhlak baik terhadap orang yang lebih muda dan anak-anak: Yakni
dengan memberi bimbingan, adab, membawa mereka dengan apa yang diwajibkan ilmu,
adab yang dituntunkan as sunnah, juga adab-adab bathin, dan menunjukkan kepada mereka
dengan perkara lain yang bisa memperbagus adab.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
Tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang yang lebih (muda), dan
tidak mengerti hak-hak orang yang lebih (tua). Bukanlah termasuk golonganku orang yang
menipu kami, seorang mukmin yang lain, seperti mencintai diri sendiri. (Tabrani dari
Damrah)
“Bukanlah termasuk umatku orang yang tidak menyayangi kepada yang lebih muda dan
tidak menghargai kehormatan yang lebih tua” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Orang yang lebih muda adalah semua orang yang umurnya lebih muda dari kita. Mereka diantaranya: adik kandung, adik
kelas di madrasah atau teman-teman bermain yang lebih muda umurnya. Terhadap adik-adik kita harus membimbing dan
menyayangi mereka. Kita harus memberikan contoh dengan tingkah laku yang baik.
Jika bicara masalah akhlak, kita tidak mengenal dengan siapa kita harus menghormati ataupun menghargai orang lain.
Jangan dianggap bahwa yang lebih muda harus selalu menghormati yang lebih tua tetapi yang muda pun harus kita hormati
dan hargai juga. Tentunya kita harus memberikan perhatian yang lebih dan memberikan kasih sayang yang penuh kepada
mereka karena tak terelakkan bahwa merekalah (kaum muda) yang nantinya akan meneruskan perjuangan dan diharapkan
bahwa mereka akan hidup dalam kehidupan yang lebih baik dari kita.
Yang lebih muda belum tentu lebih rendah dari kita. Jangan dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang ini sangat cepat menembus dunia kaum muda, sehingga kita sebagai generasi tua harus banyak belajar
kepada mereka. Kita sebagai generasi yang lebih tua hendaknya memberikan bimbingan agar generasi muda sekarang ini
lebih berkualitas yang ditunjukkan dengan prestasi yang baik, dimana prestasi itu diraih dengan mengikuti kaidah yang ada,
terutama kaidah yang dianjurkan agama yaitu akhlak yang mulia.
Hal yang perlu diperhatikan adalah kita tidak boleh ujub dan takabur terhadap kaum muda, karena boleh jadi mereka lebih
baik dan berilmu dari pada kita. Jadikanlah itu semua menjadi tantangan karena sesungguhnya di atas orang yang berilmu
itu ada yang lebih tinggi lagi ilmunya.
Banyak pertanyaan muncul setelah banyak kalangan mengeluhkan mengapa banyak sekali penyimpangan akhlak dan moral
yag dilakukan oleh para remaja. Banyak pelanggaran atas kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan sering sekali terjadi
tindak kejahatan yang seharusnya itu tidak terjadi. Tentunya kita semua bertanggung jawab, bahkan orang tua di rumah,
guru di sekolah dan masyarakat pada umumnya tampak sudah kehilangan akal atas terjadinya krisis akhlak yang terjadi pada
remaja.
Akhlak yang mulia sebagaimana dikemukakan banyak pakar bukanlah terjadi dengan sendirinya, akan tetapi dipengaruhi
oleh banyak faktor terutama lingkungan keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Pembinaan akhlak terhadap remaja sangat
penting sekali untuk dilakukan mengingat secara psikologis usia remaja adalah sedang berada dalam goncangan dan mudah
terpengaruh sebagai akibat dari keadaan dirinya yang masih belum memiliki bekal pengetahuan, mental, dan pengalaman
yang cukup. Dari situ, para remaja mudah sekali terjerumus dalm perbuatan yang menghancurkan masa depan mereka
sendiri, sebagai contoh adalah pergaulan bebas.
Banyak kalangan masih memperdebatkan apakah perlu pendidikan seks diperkenalkan kepada generasi muda. Sebagian
kalangan yang tergolong modernis-progressif setuju bahwa pendidikan seks bagi remaja perlu diberikan. Salah satu alasan
mereka adalah jika manusia perlu diberikan pendidikan intelektual dengan dasar karena manusia memiliki akal pikiran,
maka pendidikan seks pun perlu diberikan karena manusia memiliki potensi biologis. Sementara bagi sebagian kalangan
konservatif tradisionalis tidak setuju terhadap pendidikan seks bagi remaja, yang salah satu alasannya adalah bahwa para
remaja secara psikologis ditandai oleh keadaan serba ingin tahu, ingin mengalami, ingin merasakan dan seterusnya. Mereka
kurang berpikir panjang, sebagai akibat posisi dirinya yang masih bebas, tanpa ikatan apapun, belum ada beban dan
sebagainya dan dengan posisi psikologis yang demikian mereka sering tidak berpikir panjang dan kurang memperhatikan
akibat dari perbuatan yang dikerjakannya.
Wujud konkret yang harus dilakukan sebagai suatu tindakan yang berakhlak yang dilakukan remaja. Sebagai contoh adalah
:
a. Memberikan kasih sayang dan bimbingan kepada mereka
b. Memberikan contoh dengan berbuat sesuai ucapanmu
c. Berbicara dengan sopan kepadanya
d. Menolong bila ia dalam kesulitan
e. Bersabar menghadapi kemauannya

C. Berakhlaklah Karena Akhlak Itu Penting


Berbicara akhlak memang sangat sulit, karena akhlak dipandang sebagai suatu implementasi nilai-nilai Al-Qur’an. Zakiah
Darajat berpendapat jika kita ambil ajaran agama, maka akhlak adalah sangat penting, bahkan yang tepenting, dimana
kejujuran, kebenaran, keadilan, dan pengabdian adalah diantara sifat-sifat yang terpenting dalam agama. Bagaimana kita
menyikapi akhlak kaum muda kita sekarang ini, itu tergantung siapa yang memandang dan dari sisi mana dia memandang.
Yang dapat kita lakukan dalam rangka meningkatkan kualitas akhlak adalah pendidikan pembentukan akhlak yang baik
harus dilakukan dengan kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari semua aspek kehidupan serta mampu menggunakan
seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk teknologi modern. Disamping itu kita sebagai calon-calon tenaga pendidik,
harus mampu mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Jadi tidak hanya transfer pengetahuan (transfer of
knowledge), ketrampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan ketrampilan tetapi juga
mampu membentuk kepribadian dan pola hidup berdasarkan nilai-nilai yang luhur
Bab III
Adab Bergaul Dengan Lawan Jenis

A. Bergaul Dengan Lawan Jenis


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Meski memiliki kedudukan tinggi, memiliki harta yang
melimpah dan martabat yang tinggi, mereka tetaplah makhluk yang lemah, sebagaimana Allah kabarkan di dalam kitab-Nya,
‫ض ِعيفًا‬
َ ُ ‫سانه‬ ِ َ‫َو هخلِق‬
َ ‫ُاۡلن‬
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (QS. An Nisa` : 28)
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak akan terlepas dari interaksi dengan orang lain, baik dengan orang tua, saudara,
kerabat, teman maupun tetangga. Baik dengan kaum laki-laki maupun kaum perempuan, baik yang muda maupun yang tua.
Maka syariat Islam datang untuk mengatur tentang adab-adab bergaul dengan sesama melalui perantara Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Beliau adalah manusia yang paling agung akhlaknya, termasuk tatkala beliau berinteraksi. Sebagaimana
firman Allah,
ٍ ‫َو ِإنَكَ ُلَ َعلَُىُ هخله‬
ُ‫قُ َع ِظ ٍيم‬
“Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al Qalam : 4)
Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk mengikuti beliau dan menjadikan beliau teladan yang baik dalam hidup kita karena
telah jelas keterangan dari Allah,
َ ‫َُّللاُِأهس َوةٌُ َح‬
ٌُ‫سنَة‬ َ ‫سو ِل‬ َ ِ‫ُلَقَدُ َكانَ ُلَ هكمُف‬
‫يُر ه‬
“Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik bagi kalian.”(QS. Al Ahzab : 21)
Pada zaman ini, interaksi antara laki-laki dan perempuan sudah sangat bebas, bahkan tak ada batas, baik di dunia maya maupun
nyata. Hal itu dapat kita temui di lingkungan sekolah, kampus, masyarakat, dan tempat-tempat lainnya. Kita akan dapati banyak
fenomena yang miris. Sangat disayangkan adanya para pemuda-pemudi yang mengumbar kesenangan dunia yang pada
hakikatnya adalah pintu menuju perzinaan yang akan mengantarkan pada kemurkaan Allah Sungguh sangat menakutkan
balasan yang akan diberikan bagi pelaku zina. Andaikan seseorang merenungkan hal ini, maka dia akan berpikir seribu kali
untuk mendekati perbuatan zina.
Islam mengajarkan adab-adab yang baik ketika bergaul dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis. Islam memberikan
batasan-batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam rangka menjaga keduanya dari fitnah. Tetapi banyak orang
tidak memperhatikan hal ini karena menganggapnya tidak penting bahkan dianggap akan membebani mereka. Padahal agama
Islam itu agama yang mudah dan tidak membebani umatnya. Allah-lah Yang Maha Tahu tentang agama ini. Tidaklah Dia
menciptakan syariat ini kecuali untuk kebaikan makhluk-Nya.

B. Siapa yang aman dari fitnah???


Adakah yang aman dari fitnah ketika seseorang berinteraksi dengan lawan jenis? Kemungkinan ada tetapi hanya sedikit karena
Allah akan menguji laki-laki dengan ujian yang berat yaitu wanita. Sebagaimana sabda Rasulullah,
ُ‫اء‬
ِ ‫س‬َ ِ‫ُمنَ ُالن‬
ِ ‫ىُالر َجا ِل‬
ِ َ َ ‫َماُت ََركته ُبَعدِيُفِتنَةًُأ‬
َ‫ض َرُ َعل‬
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku fitnah (ujian) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
(HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no.7122)
Bagi orang-orang yang berkesempatan untuk menuntut ilmu di pondok pesantren, bisa saja aman dari fitnah karena tidak ada
interaksi antara santri laki-laki dan perempuan secara langsung. Namun bagi yang tidak di pesantren, yaitu mereka yang hidup
di tengah-tengah masyarakat yang penuh keragaman pola hidup dan pergaulan yang bebas, mereka berpeluang besar untuk
terkena fitnah jika mereka tak pandai-pandai dalam menjaga pergaulan.
Lalu bagaimana dengan para aktivis dakwah, apakah mereka juga aman dari fitnah? Ada orang yang beranggapan bahwa
mereka aman dari fitnah karena mereka telah berbekal ilmu agama sehingga kebal terhadap fitnah, apalagi fitnah wanita.
Apakah hal itu menjamin? Tidak.
Bahkan orang yang alim sekalipun, mereka juga berpeluang terkena fitnah tatkala berinteraksi dengan lawan jenis. Semua
tergantung usaha masing-masing orang, bagaimana cara seseorang meminimalisir interaksi dengan lawan jenis dan senantiasa
membentengi diri dengan iman. Jika seseorang memiliki keimanan yang tinggi maka ia akan berusaha sungguh-sungguh untuk
menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah.
C. Adab yang disyariatkan ketika berinteraksi dengan lawan jenis
Ada beberapa adab yang hendaknya dilakukan ketika berinteraksi dengan lawan jenis, yaitu:

1. Menundukkan pandangan
Pandangan merupakan awal terjadinya fitnah sehingga Allah memerintahkan kepada setiap laki-laki maupun perempuan untuk
menjaga pandangannya. Sebagaimana firman Allah,
َ ‫ظواُفه هرو َج ههمُذَُِلكَ ُأَزكَىُلَ ههمُ ِإ َن‬
ٌ ‫َُّللاَُ َخ ِب‬
َُ‫يرُ ِب َماُ َيص َنعهون‬ ‫ُو َيحفَ ه‬
َ ‫ارهِم‬
ِ ‫ص‬َ ‫ُّواُمنُأَب‬
ِ ‫قهلُ ِلل همؤ ِمنِينَ ُ َيغهض‬
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.” (QS. An Nur : 30)
ُ‫ُو َيحفَظنَ ُفه هرو َج هه َن‬
َ ‫اره َِن‬
ِ ‫ص‬َ ‫ُمنُأَب‬
ِ َ‫َوقهلُ ِلل همؤ ِمنَاتُِ َيغضهضن‬
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS.
An Nur : 31)
Manfaat dari menjaga pandangan ini adalah agar ketika berinteraksi, seseorang tidak terfitnah dengan lawan jenis dan tidak
menjadi sumber fitnah. Hendaknya seseorang tidak mengumbar pandangannya dan senantiasa menjaga hatinya. Jika seseorang
tidak sengaja melihat lawan jenis maka hendaknya dia langsung menundukkan pandangannya, bukan malah menuruti keinginan
untuk melihat berulang kali, baik karena kecantikannya, rasa penasaran terhadap orang yang baru saja dilihat, maupun karena
iseng-iseng saja. Stop dan jangan teruskan pandanganmu meski hanya melirik kepada hal yang tak layak kau pandangi!
Cukuplah kau jaga hatimu dan tundukkan pandanganmu.
Ada suatu kisah mengesankan dari seorang yang shalih. Suatu hari, ada seorang shalih berangkat ke tempat shalat. Ketika ia
pulang, istrinya bertanya, “Berapa wanita cantik yang telah engkau lihat?”. Orang shalih itupun menjawab, “Demi Allah,
semenjak aku berangkat hingga aku pulang, tidaklah aku melihat kecuali ibu jari kaki-kakiku!”
Pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah tadi adalah kesungguhannya dalam menjaga pandangannya dari hal-hal yang bukan
menjadi haknya untuk dilihat. Lalu bagaimana dengan orang yang belum memiliki pasangan hidup? Seharusnya dia lebih
berusaha keras untuk menjaga pandangannya.

2. Menjaga diri agar tidak menjadi sumber fitnah


Baik laki-laki maupun perempuan harus senantiasa berusaha menjaga dirinya agar dia tidak menjadi fitnah bagi lawan jenisnya
tatkala bergaul dengannya. Tidak dipungkiri lagi bahwasanya hati manusia sangatlah lemah.
Ketika seorang perempuan berbicara di depan laki-laki hendaklah tidak menggunakan nada yang mendayu-dayu, tetapi nada
yang datar saja sebab dengan begitu si laki-laki tersebut tidak akan terfitnah dengan suara perempuan.
Begitu pula ketika berjalan dan bertingkah laku hendaknya tetap memperhatikan adab. Seringkali karena si perempuan saking
senangnya mengobrol dengan temannya sampai-sampai dia tidak mempedulikan keadaan sekitar. Ternyata di dekatnya ada
laki-laki yang sedang konsentrasi mengerjakan sesuatu tetapi karena mendengar suara perempuan yang begitu indah,
konsentrasi si laki-laki menjadi buyar. Walhasil apa yang dia kerjakan menjadi kacau. Bahkan hafalan seseorang akan hilang
seketika ketika melakukan maksiat, yaitu melihat apa-apa yang Allah larang untuk melihatnya.
Perlu kita sadari, saudara kita mungkin merasa terganggu hatinya dengan sikap dan lisan kita. Mereka berusaha menjaga hati
mereka dengan susah payah, tapi justru kita tak membantu mereka agar terjaga dari fitnah? Sungguh sayang jika kita tak peduli
dengan saudara kita.
Laki-laki pun juga harus menjaga dirinya agar tidak menjadi sumber fitnah sama seperti halnya perempuan. Ketahuilah bahwa
hati perempuan itu lemah semisal kaca, sebagaimana sabda Rasulullaah,
ِ ‫ارفهقُبِالقَ َو ِار‬
ُ‫ير‬
“Lembutlah kepada kaca-kaca (para wanita)” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan ini lafazh miliknya)
Mereka akan mudah merasa GR kepada seorang laki-laki yang memberinya perhatian, mereka memiliki perasaan yang lebih
sensitif. Oleh karena itu, jangan memberikan rayuan-rayuan pada perempuan yang bukan istrinya. Bersikaplah sewajarnya pada
mereka karena dengan begitu mereka juga akan bersikap sewajarnya terhadap kalian. Intinya antara laki-laki dan perempuan
hendaknya saling membantu bukan saling menjatuhkan.

3. Jangan berdua-duaan (berkhalwat)


Rasulullah mengingatkan kepada kita dengan sabda beliau,
‫طانَ ُثَا ِلث ه هه َما‬ َ ‫ُفَإ ِ َنُال‬،ٍ‫َلُيَخله َو َنُأ َ َحده هكمُ ِبام َرأَة‬
َ ‫شي‬
“Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaithan menjadi orang
ketiga di antara mereka berdua.” (HR. Ahmad)
Tidak boleh bagi laki-laki dan perempuan ber-khalwat karena yang ketiga adalah setan yang akan membisikkan keburukan bagi
keduanya sehingga keduanya akan terjerumus pada hal-hal yang dilarang dalam syariat Islam. Baik mereka melakukannya
dengan alasan yang dipandang baik misal untuk belajar, menunggu guru di kelas, jajan bareng, pulang-pergi sekolah bareng,
apalagi berboncengan bareng, bahkan sampai bergandengan tangan.
Daripada setan yang menemani kita lebih baik malaikat bukan? mengkaji Al Quran dan memahami artinya serta menuntut ilmu
agama InsyaAllah malaikatlah yang akan mendampingi kita. Tentu sebagai orang yang cerdas, pasti akan lebih memilih untuk
didampingi oleh malaikat dari pada didampingi oleh syetan.
Sungguh orang yang melanggar hal itu akan diancam dengan ancaman yang pedih sebagaimana dalam sabda beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
‫سُام َرأَة ً َُلُت َِحلُُّلَ ُهه‬
َ ‫هُمنُأَنُيَ َم‬ ِ ٍ‫يُرأ ِسُأ َ َح ِد هكمُبِ ِمخ َيط‬
ِ ‫ُمنُ َحدِيدٍُخَي ٌرُلَه‬ َ ِ‫َۡلَنُيهطعَنَ ُف‬
“Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak
halal baginya.”(HR. Thabrani)

4. Jangan Bercampur Baur dengan Lawan Jenis (Ikhtilat)


Ikhtilat yakni campur baurnya antara pria dan wanita yang bukan mahramnya. Kalau demikian apakah Islam melarang
seseorang berkomunikasi dengan lawan jenisnya? Mari kita kaji hal berikut.
a. Mengobrol dengan lawan jenis
Kita boleh bergaul dan berbicara dengan lawan jenis selama mengikuti aturan moral Islam, yakni tak ada sikap yang
menunjukkan tindak asusila, tidak saling menyentuh, tak ada janji rahasia untuk bertemu berdua dengan maksud berbuat
zina dan sebagainya. Kita boleh berbicara untuk saling mengenal namun dengan batas yang wajar, namun harus waspada
ke arah mana perbincangan yang dimaksud.
b. Bersahabat dengan lawan jenis
Ketika pria dan wanita bekerjasama melakukan kebaikan, mereka disebut sahabat. Ketika mereka bertemu di ruang publik
dan berdiskusi seperti dalam kajian mereka disebut sahabat, dalam hal ini diperbolehkan. Namun ketika mereka mulai
bertemu di tempat yang tersembunyi atau dalam pertemuan di suatu tempat rahasia dan tidak disertai mahramnya, saling
bersentuhan, dan tindakan yang mendekati zina maka hal ini dilarang.
c. Duduk bersama lawan jenis
Jika duduk bersama dengan lawan jenis dalam forum ilmiah ,misalnya seminar, musyawarah dll sepanjang tidak bersentuhan
dan pergaulan hanya demi kebaikan maka hal ini diperbolehkan.
d. Membicarakan lawan jenis
Kita hendaknya waspada ketika membicarakan lawan jenis. Menjaga kesucian diri merupakan kata kunci dalam hal ini. Kita
hendaknya menjaga kesucian diri baik dalam pikiran maupun perbuatan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
tersembunyi dalam hati kita sehingga kitapun harus menyadari hal ini.

5. Jaga aurat terhadap lawan jenis


Jagalah aurat kita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Maksudnya mahram di sini adalah laki-laki yang haram
untuk menikahi kita. Yang tidak termasuk mahram seperti teman sekolah, teman bermain, teman pena bahkan teman dekat pun
kalau dia bukan mahram kita, maka kita wajib menutup aurat kita dengan sempurna. Maksud sempurna di sini yaitu
a. Gunakan Hijab
Hijab berarti penutup atau penghalang. Pria dan wanita hendaknya berbusana yang sopan dan menutup aurat. Dengan hijab,
Islam mengajarkan kepada kita untuk menundukkan hawa nafsu. Selain menutup aurat, Allah memerintahkan kepada kita untuk
menjaga pandangan. Karena dari pandangan yang tak terjagalah segalanya bermula.
Menjaga pandangan dibagi dua; yakni menjaga pandangan terhadap hal yang berhubungan dengan dzahir yaitu melihat dan
menikmati bagian tubuh lawan jenis yang menarik dan menjaga terhadap syahwat yang timbul dalam hati.
Allah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang menjaga pandangan" Ada tiga kelompok manusia yang mata mereka tidak akan
melihat api neraka, yakni : orang-orang yang matanya terjaga di jalan Allah, orang yang matanya menangis karena takut kepada
Allah dan orang-orang yang matanya tidak mau melihat hal-hal yang diharamkan Allah."( HR.Thabrani)
b. Gunakan Jilbab
jilbab yang dipakai hendaknya yang menjulur ke seluruh tubuh kita dan menutupi dada. Kain yang dimaksud pun adalah kain
yang disyariatkan, misal kainnya tidak boleh tipis, tidak boleh sempit, dan tidak membentuk lekuk tubuh kita. Adapun yang
bukan termasuk aurat dari seorang wanita adalah kedua telapak tangan dan muka atau wajah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ال َمرأَةهُ َعو َرةٌُفَإِذَاُخ ََر َجتُِاست َش َرفَ َهاُال‬
َ ‫شي‬
ُ‫طانه‬
"Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki." (HR. Tirmidzi, shahih)
c. Jangan Bersentuhan Kulit dengan Lawan Jenis
Islam tidak membenarkan pria dan wanita yang bukan mahram bersentuhan kulit. "Sesungguhnya salah seorang di antaramu
ditikam kepalanya dengan jarum dan besi, adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan mahramnya." ( HR.
Thabrani ).
Lantas bagaimana jika kita memiliki profesi atau beberapa hal yang mengharuskan bersentuhan kulit dengan yang bukan
mahram? Misalnya Dokter dll. Terhadap hal ini Islam tidak melarang karena ada rukhshah ( keringanan ).

d. Adakah Pacaran dalam Agama Islam ??


Salah satu godaan yang amat besar pada usia remaja adalah “rasa ketertarikan terhadap lawan jenis”. Memang, rasa tertarik
terhadap lawan jenis adalah fitrah manusia, baik wanita atau lelaki. Namun kalau kita tidak bisa memenej perasaan
tersebut,maka akan menjadi mala petaka yang amat besar,baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang yang kita sukai. Sudah
Allah tunjukkan dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ‫ِقُذَلِكَ ُالفَر هج‬
‫صد ه‬ َ َ‫ىُويَتَ َمن‬
َ ‫ىُويه‬ َ ‫اُوالقَلبه ُيَه َو‬
َ ‫ط‬ َ ‫هُزنَاهَاُال هخ‬
ِ ‫الرجل‬
ُِ ‫ُو‬
َ ‫ش‬
‫هُزنَاهَاُالبَط ه‬ َ ‫ُزنَاههُال َكَلَ هم‬
ِ ‫ُواليَد‬ ِ ‫سانه‬
َ ‫الل‬ َ ‫ُزنَا هه َماُا ِلس ِت َماع‬
ِ ‫هُو‬ ِ ‫ُواۡلهذهن‬
ِ ‫َان‬ َ َ‫ُزنَا هه َماُالن‬
َ ‫ظ هر‬ ِ ‫فَالعَين‬
ُِ ‫َان‬
‫َويهك َِذبه ُهه‬
”Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina
tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)
Sebagai wanita muslimah kita harus yakin bahwa kehormatan kita harus dijaga dan dirawat, terlebih ketika berkomunikasi atau
bergaul dengan lawan jenis agar tidak ada mudhorot (bahaya) atau bahkan fitnah.
e. Jaga Kemaluan
Menjaga kemaluan juga bukan hal yang mudah, karena dewasa ini banyak sekali remaja yang terjebak ke dalam pergaulan dan
seks bebas. Sebagai muslim kita wajib tahu bagaimana caranya menjaga kemaluan. Caranya antara lain dengan tidak melihat
gambar-gambar yang senonoh atau membangkitkan nafsu syahwat, tidak terlalu sering membaca atau menonton kisah-kisah
percintaan, tidak terlalu sering berbicara atau berkomunikasi dengan lawan jenis, baik bicara langsung (tatap muka) ataupun
melalui telepon, SMS, chatting, BBM, dan media komunikasi lainnya.
Sudah selayaknya sebagai seorang muslim-muslimah baik remaja atau dewasa, kita mempunyai niat yang sungguh-sungguh
untuk mematuhi adab-adab bergaul dengan lawan jenis tersebut.
Bab IV
Adil, Amal Shalih, dan Ukhuwwah

A. Adil

1. Pengertian adil

Adil menurut bahasa berarti sama, tidak berat sebelah, berpihak pada kebenaran dan tidak berlaku sewenang-wenang. Jadi,
orang disebut berbuat adil apabila ia tidak memihak, jiwanya senantiasa berpihak pada yang benar karena yang benar dan
yang salah sama-sama mendapatkan haknya, dan tidak berbuat sewenang-wenang. Allah SWT berfirman :
ُ‫ٱّللهُأَ أولَ َٰى ُبِ ِه َما ُفَ ََل ُتَت َ ِبعهوا ُ أٱل َه َو َٰ ا‬
ُ‫ى ُأَن‬ ُِ ‫ُولَ أو ُ َعلَ َٰ اى ُأَنفه ِس هك أُم ُأَ ِو ُ أٱل َٰ َو ِلدَ أي‬
َُ َ‫ن ُ َُو أٱۡل َ أق َربِينَُ ُإِنُيَ هك أن ُ َغنِيًّاُأ َ أو ُفَ ِق ّٗيراُُف‬ َ ِ ‫ش َهدَاا َء‬
َ ِ‫ُّلل‬ ‫طُ ه‬ُِ ‫َٰ ايَأَيُّ َهاُٱلَذِينَُ ُ َءا َمنهوا ُ هكونهوا ُقَ َٰ َو ِمينَ ُبُِ أٱل ِق أس‬
ُ ُ١٣٥ُ‫يرا‬ َُ ُ‫ت َعأ ِدُلهواُُ َو ِإنُت أَل اهُوۥاُُأ َ أوُتهعأ ِرضهواُفَإ ِ َن‬
ّٗ ‫ٱّللَُ َكانَ ُ ِب َماُتَعأ َملهونَ ُ َخ ِب‬
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan” (QS. An-Nisaa’ {4} : 135)
Sedangkan ditinjau dari segi istilah, pengertian adil memiliki 4 pemahaman :
1. Adil berarti sama. Seseorang dikatakan adil bila ia memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang
lainnya. (QS. An-Nisa’ {4} : 58)
2. Adil berarti seimbang, bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. (QS. Al-Mulk {67} : 3)
3. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau memberi pihak lain haknya melalui jalan terdekat. Lawannya
adalah kezaliman, yang berarti pelanggaran terhadap hak-hak orang lain atau diri sendiri. (QS. Ibrahim{14} : 34, QS.
Al-Ahzab{33} : 72).
4. Adil bermakna keadilan Illahi (QS. Fushilat{41} : 46)
Kata adil juga sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth (moderat/seimbang) dan kata adil
dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at
Islam, sehingga wajar kalau tuntunan dan aturan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan
manusia diperintah untuk berlaku adil.

Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala
urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar tanpa ada yang ditakuti
kecuali terhadap Allah swt saja. Allah swt berfirman:

ُ‫َلُتَتَ ِب هعواُُ أٱل َه َو َٰ ا‬


ُ‫ىُأَن‬ َُٰ َ‫ٱّللهُأَ أول‬
ُ َ َ‫ىُ ِب ِه َماُُف‬ َُ َ‫نُ َغ ِنيًّاُأَوأُُفَ ِق ّٗيراُف‬ ُِ ‫ىُأَنفه ِس هك أُمُأ َ ُِوُ أٱل َٰ َو ِلدَ أي‬
ُ‫نُ َو أٱۡل َ أق َر ِبينَُُ ِإنُ َي هك أ‬ ُ‫ّللُِ َولَوأُُ َعلَ َٰ ا‬
َُ ِ ُ‫ش َهدَاا َُء‬ ُِ ‫َٰ اَيأ َ ُّي َُهاُٱلَذِينَُُ َءا َمنهواُُ هكونهواُُقَ َٰ َو ِمينَُُ ِب أٱل ِق أس‬
‫طُ ه‬
‫ه‬
١٣٥ُ‫ٱّللَُكَانَُُبِ َماُتَعأ َملونَُُ َخبِ ّٗيرا‬ َُ ُ‫ن‬ َُ ِ ‫ت َعأ ِدلهواُُ َوإِنُت أَل اهۥواُُأَوأُُتهعأ ِرضهواُُفَإ‬

Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka
Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari
kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. An-Nisa’:135)

Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. yaitu keadilan seorang Muslim terhadap
orang yang dicintai, dan keadilan seorang Muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak
bersekongkol dengan kebathilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia dari berbuat adil (insaf) dan memberikan
kebenaran kepada yang berhak.

Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu .” (An-Nisa’: 135)

2. Dalil Tentang Adil

٩َُُ‫لُت ه أخس هِرواُُ أٱل ِميزَ ان‬ ُِ ‫ َوأَقِي همواُُ أٱل َو أزنَُُبِ أٱل ِق أس‬٨ُ‫ان‬
ُ َ ‫طُ َو‬ ُِ َ‫لُت أَطغ أَواُُفِيُ أٱل ِميز‬
ُ َ َ ‫أ‬٧َُُ‫ض َُعُ أٱل ِميزَ ان‬
َ ‫س َما ا َُءُ َرفَعَ َهاُ َو َو‬
َ ‫َوٱل‬

Artinya:”Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui
batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”. (QS.
Ar-Rahman:7-9)

Dalil yang lain bisa dilihat di QS. Al-Hadid:25; QS. Al-An’âm : 152; QS. An-Nisâ` : 135; QS. Al-Mâ`idah : 8; QS. Al-
A’râf : 181; QS. Asy-Syûrô: 15.

3. Sasaran Penerapan Keadilan dalam Islam


a. Berlaku adil terhadap diri sendiri,yaitu berpegang pada kebenaran, jujur, berani mengoreksi dan mengakui kesalahan
sendiri, teguh pendirian dalam bermuamalah dan beribadah.
b. Berlaku adil terhadap Allah, yaitu taat beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun.
c. Berlaku adil terhadap makhluk lain, yaitu berbuat secara layak dan tidak semena-mena terhadap makhluk lain.

4. Manfaat bersikap Adil


a. Membentuk pribadi yang tenang dan tentram.
b. Terbina pribadi muslim yang beriman dan taqwa
c. Mendapat ridho dan pahala disisi Allah.
d. Terwujudnya rasa aman, hidup rukun, dan hubungan yang harmonis dengan alam.
e. Disenangi oleh sesama manusia.
f. Meningkatkan disiplin, menghargai waktu dan semangat beramal soleh.
g. Memanfaatkan alam sekitar untuk kemaslahatan hidup.

5. Contoh Prilaku Adil dalam Kehidupan


a. Adil kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam menyembah-Nya dan sifat-sifat-
Nya, taat kepada-Nya, berzikir dan bersyukur hanya kepada-Nya.
b. Adil dalam memberikan keputusan hukum kepada manusia, dengan memberikan hak-hak kepada pemiliknya.
c. Adil diantara istri-istri dan anak-anak dengan tidak melebihkan satu dari yang lain.
d. Adil dalam perkataan dengan tidak bersaksi palsu dan tidak berkata bohong.
e. Adil dalam keyakinan dengan tidak meyakini kecuali kebenaran, kejujuran dan tidak dipuji dengan sesuatu yang
tidak ada pada dirinya.
f. Bertindak bijaksana dalam memutuskan antara orang orang yang berselisih.
g. Tidak mengurangi timbangan dan takaran dalam perdagangan.
h. Bekerja secara optimal untuk mengatur berjalannya tata kelola pemerintahan yang baik, sehingga semua rakyat
mendapat keadilan dan tidak dikurangi haknya.
i. Belajar secara maksimal dan sungguh-sungguh agar semua potensi yang telah diciptakan oleh Allah dalam diri kita
dapat berkembang dengan baik
j. Tolong-menolong dan bekerjasama dalam kebaikan.

6. Contoh Perilaku Dalam Kehidupan Sehari-Hari


a. Dikutip dari kisah para sahabat Rasulullah saw: Suatu hari terjadi sengketa diantara Ali bin Abi Thalib dengan
seorang Yahudi, yaitu suatu sengketa yang sampai juga ke meja hijau (majelis hukum) dibawah pimpinan Umar bin
Khattab guna mendapatkan penyelesaian. Setelah kedua pihak sama-sama datang menghadap Umar, maka
berkatalah Umar kepada Ali: “ Ya Abal Hasan, berdirilah berdekatan dengan lawanmu”. Seusai Umar memberikan
keputusannya, Umar melihat bahwa diwajah Ali terdapat tanda-tanda kedukaan, maka ujarnya : “ Wahai Ali,
mengapa saya lihat anda agak susah ?”. Ali menjawab : “Sebab anda tidak mempersamakan antara saya dan lawan
saya, anda memanggil saya dengan sebutan kehormatanku “Abal Hasan“, sedang anda memanggil Yahudi dengan
namanya yang biasa”.
b. Penduduk Samarkand menyampaikan pengaduan kepada Amirul mukminin Umar bin Abdul aziz atas panglima
pasukannya Qutaibah, karena pasukan Islam masuk Negara mereka dan memeranginya tanpa peringatan
sebelumnya sebagaimana diwajibkan oleh syari’at al-Qur’an, maka amirul mukminin mengalihkan pengaduan
mereka kepada Qadhi, lalu penduduk Samarkand memenangkan perkara, karena Qadhi membuat putusan agar umat
Islam keluar dari Samarkand.

B. Amal Shalih

1. Pengertian Amal shaleh.


Kata amal shaleh berasal dari kata “amal” dan “shaleh”. Amal berarti perbuatan atau tindakan, sedang shaleh berarti
baik atau yang patut (tiadanya/terhentinya kerusakan). Kebalikan dari shaleh adalah kata fasid (rusak). Shaleh juga
diartikan sebagai ”bermanfaat dan sesuai”. Amal shaleh adalah perbuatan yang jika dilakukan maka suatu kerusakan
akan terhenti atau menjadi tiada, atau bisa juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang dengan melakukannya diperoleh
manfaat dan kesesuaian. (Quraish Shihab, 1997 : 480)
Secara terminologis, amal shaleh adalah segala perbuatan yang tidak merusak atau menghilangkan kerusakan. Amal
shaleh juga diartikan perbuatan yang mendatangkan maslahat bagi diri sendiri dan orang lain. Memperbanyak amal saleh
berarti banyak jalan/cara yang baik (halal) untuk memperoleh sesuatu yang baik.
Ada 2 dalil yang berkaitan dengan amal shaleh, yaitu :
a. Dalil Naqli Q.S. Al-A’Raf [7] : 42
‫ا‬
٤٢َُُ‫لُ هو أس َع َهُا اُأهو َٰلَ ِئكَُُأَصأ َٰ َحبهُُ أٱل َجنَ ُِةُه أُهمُ ِفي َهاُ َٰ َخ ِلدهون‬ ً ‫فُن أَف‬
ُ َ ‫ساُ ِإ‬ َ َٰ ‫َوٱلَذِينَُُ َءا َمنهواُُ َو َع ِملهواُُٱل‬
ُِ ‫ص ِل َٰ َح‬
ُ َ ُ‫ت‬
ُ‫لُنهك َِل ه‬
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya”.
b. Dalil aqli (berdasarkan logika), tanpa adanya amal shaleh, manusia akan terus-menerus berbuat kejahatan, yang
akhirnya membuat dunia binasa dan di penuhi oleh orang-orang yang berbuat kerusakan.
Manfaat-manfaat dari amal saleh adalah orang yang melakukan amal shaleh akan lebih dekat dengan Allah SWT, orang
yang melakukan amal shaleh akan teguh imannya, terciptanya ketenangan dan kenyamanan sehingga kebersamaan di
antara kita dalam menjalani hidup dapat terwujud, akan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.

2. Kriteria Perbuatan Amal Shaleh


a. Niat yang ikhlas karena Allah
b. Benar dalam melaksanakannya, sebagai mana yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya.
c. Tujuannya hanya mencari ridha Allah.

3. Contoh Perbuatan Amal Shaleh


a. Mendamaikan dua orang yang berselisih secara adil.
b. Membantu orang untuk naik kendaraan atau membantu mengangkat barangnya naik kendaraan.
c. Ucapan yang baik.
d. Menyingkirkan duri atau rintangan lain dari jalan.
e. Tersenyum pada sesama.

4. Keuntungan Beramal Shaleh


a. Dianugerahi kehidupan yang baik. (QS. An-Nahl {16} : 97)
َُ‫نُ َماُكَانهواُُ َيعأ َملهون‬ َ ‫ط ِي َب ُّٗةُ َولَن أَج ِز َينَ هه أُمُأ َ أج َرههمُ ِبأ َ أح‬
ُِ ‫س‬ َُٰ َ‫َرُأَوأُُأهنث‬
َ ُ‫ىُ َوه َُهوُ هم أؤ ِمنُُفَلَنه أح ِي َينَ ۥههُ َح َي َٰو ُّٗة‬ َ َٰ ُ‫ل‬
ٍُ ‫ص ِل ّٗحاُ ِمنُذَك‬ ُ‫َم أ‬
َُ ‫نُ َع ِم‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
b. Memiliki rasa kasih sayang. (QS. Maryam {19} : 96)
‫ٱلر أح َٰ َمنهُُ هو ّٗدا‬
َ ُ‫لُلَ هه هُم‬
ُ‫س َي أج َع ه‬ َ َٰ ‫نُٱلَذِينَُُ َءا َمنهواُُ َو َع ِملهواُُٱل‬
ُِ ‫ص ِل َٰ َح‬
َ ُ‫ت‬ َُ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan
dalam (hati) mereka rasa kasih sayang”
c. Memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-An’am {6} : 160)
َُ‫لُي أهظلَ همون‬
ُ َ ُ‫لُ ِم أثلَ َهاُ َوه أُهم‬
ُ َ ‫ىُ ِإ‬ َ ‫َمنُ َجا ا َُءُ ِب أٱل َح‬
ُ َ َ‫سنَ ُِةُفَلَ ۥه هُ َع أش هُرُأَمأ ثَا ِل َهاُُ َو َمنُ َجا ا َُءُ ِبٱلس َِيئ َ ُِةُف‬
ُ‫َلُي أهجزَ َٰ ا‬
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang
membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”
d. Memperoleh kekuasaan atau kesuksesan di muka bumi. (QS. An-Nur {24} : 55)
ُ‫ىُلَ هه أُم‬ َ َ‫َنُلَ هه أُمُدِينَ هه هُمُٱلَذِيُ أٱرت‬
َُٰ ‫ض‬ َُ ‫فُٱلَذِينَُُ ِمنُقَ أب ِل ِه أُمُ َولَيه َم ِكن‬
َُ َ‫ٱست أَخل‬ ُ ِ ‫تُلَ َي أست أَخ ِلفَنَ هه أُمُ ِفيُ أٱۡل َ أر‬
‫ضُ َك َماُ أ‬ َ َٰ ‫ٱّللهُٱلَذِينَُُ َءا َمنهواُُ ِمن هك أُمُ َو َع ِملهواُُٱل‬
ُِ ‫ص ِل َٰ َح‬ َُ َُ‫َو َع ُد‬
َ
ُُ‫َولَيهبَ ِدلَنَ ههمُ ِمنُُ َبعأ ُِدُخ أَوفِ ِه أُمُأ أم ّٗنا‬
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang
shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”
e. Memperoleh ampunan. (QS. Al-Hajj {22} : 50)
ُ‫تُلَ ههمُ َم أغ ِف َرةُُ َو ِر أزقُُك َِريم‬ َ َٰ ‫فَٱلَذِينَُُ َءا َمنهواُُ َو َع ِملهواُُٱل‬
ُِ ‫ص ِل َٰ َح‬
“Maka orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia”
f. Memperoleh jalan keluar atas masalah yang mereka hadapi. (QS. Att-Talaq{65) : 2-3)
ُ َ ُ‫ث‬
ُ‫لُيَ أحتَسِبه‬ ُ‫ُ َويَ أر هز أق ُههُ ِم أ‬٢ُ‫ٱّللَُيَ أجعَلُلَ ۥههُ َم أخ َر ّٗجا‬
ُ‫نُ َح أي ه‬ َُ ُ‫ق‬ُِ َ ‫َو َمنُيَت‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya.”
g. Memperoleh petunjuk dari Allah. (QS. Yunus{10} : 9)
ُِ َ‫تُيَهأ دِي ِه أُمُ َر ُّب ههمُبِإِي َٰ َم ِن ِه أُمُت أَج ِريُ ِمنُت أَحتِ ِه هُمُ أٱۡل َأُن َٰ َه هُرُفِيُ َج َٰن‬
ُِ ‫تُٱلنَ ِع‬
٩ُ‫يم‬ َ َٰ ‫نُٱلَذِينَُُ َءا َمنهواُُ َو َع ِملهواُُٱل‬
ُِ ‫ص ِل َٰ َح‬ َُ ِ‫إ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan
mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan”

5. Hal-hal yang Merusak Amal Soleh


a. Sibuk mengurus kesalahan orang lain (istighalu bi uyubil khalqi). Mencari-cari dan membuka aib atau kesalahan
orang lain termasuk akhlak tercela yang merusak amal saleh yang telah diperbuat.
b. Keras Hati (qaswatul qulub). Kondisi keras hati akan menimpa seorang mukmin jika dirinya tidak dapat menghindar
sifat-sifat buruk seperti riya, takabur dan hasud. Termasuk keras hati adalah tidak mau menerima kebenaran dan
nasihat baik.
c. Cinta pada dunia (hubbud dunya), yakni menjadikan harta dan kedudukan atau hal duniawi lainnya seperti pujian
dan popularitas–sebagai tujuan, bukan sarana.
d. Tidak punya rasa malu (qillatul haya) sehingga merasa ringan dan tanpa beban saja ia melanggar aturan Allah
(maksiat). Setiap mukmin pasti punya rasa malu, karena malu memang sebagian dari iman (hadis), utamanya malu
kepada Allah SWT. Rasa malu akan mendorong perbuatan baik. Sebaliknya, ketiadaan rasa malu akan mendorong
orang berbuat sekehendak hati tanpa mengindahkan syariat-Nya
e. Panjang angan-angan (thulul amal), yakni sibuk berangan-angan, berkhayal, tanpa usaha nyata
f. Berbuat zhalim, yakni perbuatan yang mendatangkan kerusakan bagi diri sendiri dan orang lain, tidak proporsional,
dan melanggar aturan. Berbuat dosa termasuk aniaya, yakni aniaya terhadap diri sendiri.

6. Prilaku Membiasakan Amal Sholeh dalam Kehidupan Sehari-hari


a. Memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama
b. Mempunyai sikap toleransi dalam kehidupan
c. Sopan dalam bertutur kata
d. Tanggap terhadap masalah lingkungan
e. Ramah dalam pergaulan.
f. Selalu bersikap ikhlas dalam berbuat
g. Menumbuhkan dan mengembangkan sikap qona’ah
h. Tidak pilih kasih dalam pergaulan
i. Mengembangkan dan membiasakan untuk selalu berfikir positif dalam hidup.

C. Ukhuwwah

1. Definisi Ukhuwah

Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata ukhuwah digunakan untuk kata
yang bermakna teman akrab, sahabat, saudara, dan lain-lain lagi. Dari segi istilah ukhuwah adalah ikatan jiwa yang
melahirkan perasaan kasih sayang, cinta, dan penghormatan yang mendalam terhadap setiap orang, di mana keterpautan
jiwa itu ditautkan oleh ikatan akidah Islam, iman dan takwa.
Persaudaraan yang tulus ini akan melahirkan rasa kasih sayang yang mendalam pada jiwa setiap muslim dan mendatangkan
dampak positif, seperti saling menolong, mengutamakan orang lain, ramah, dan mudah untuk saling memaafkan.
Dan sebaliknya dengan ukhuwah juga akan terhindari hal-hal yang merugikan dengan menjauhi setiap hal yang dapat
mendatangkan kerugian bagi orang lain, baik yang berkaitan dengan jiwa, harta, kehormatan, atau hal-hal yang merusak
harkat dan martabat mereka. Sesungguhnya Islam telah menghimbau kepada umatnya untuk senantiasa menjaga ukhuwah
ini.
Ukhuwah yang biasa juga diartikan sebagai "persaudaraan", terambil juga dari akar kata yang pada mulanya berarti
"memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang
merasa bersaudara. Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang
bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai "setiap
persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari
segi persusuan".
Masyarakat muslim mengenal istilah ukhuwah Islamiyyah. Namun selama ini, masyarakat seringkali memaknai ukhuwah
Islamiyah sebagai persaudaraan terhadap sesama orang Islam. Mestinya tidak demikian. Ukhuwah Islamiyah (Islamic
brotherhood) berbeda dengan ukhuwah baynal-muslimin atau al-Ikhwanul-Muslimun (moslem brotherhood).
Makna persaudaraan antara sesama orang Islam itu sebenarnya bukan ukhuwah Islamiyah, tetapi ukhuwah baynal-
muslimin / al-Ikhwanul-Muslimun (Moslem Brotherhood). Jika dikaji dari segi nahwu, ukhuwah Islamiyah adalah dua kata
yang berjenis mawshuf atau kata yang disifati (ukhuwah) dan shifat atau kata yang mensifati (Islamiyah). Sehingga,
ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai sebagai persaudaraan yang berdasarkan dengan nilai-nilai Islam. Sedangkan
persaudaraan antar sesama umat Islam dinamakan dengan ukhuwah diniyyah.
Dari pemaknaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa ukhuwah diniyyah (persaudaraan terhadap sesama orang Islam),
ukhuwah wathâniyyah (persaudaraan berdasarkan rasa kebangsaan), dan ukhuwah basyâriyyah (persaudaraan berdasarkan
sesama makhluk Tuhan) memiliki peluang yang sama untuk menjadi Ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah tidak
sekedar persaudaraan dengan sesama orang Islam saja, tetapi juga persaudaraan dengan setiap manusia meskipun berbeda
keyakinan dan agama, asalkan dilandasi dengan nilai-nilai keislaman, seperti saling mengingatkan, saling menghormati,
dan saling menghargai.

2. Ukhuwah Dalam Al Qur’an


Dalam Al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti.
a. Saudara kandung atau saudara seketurunan (QS Al-Nisa [4]:23)
ُُ‫ضعَ ُِةُ َوأ ه َم َٰ َهته‬ َ َُُ‫ضعأ نَ هك أُمُ َوأَخ َٰ ََوته هكمُ ِمن‬
َ َٰ ‫ٱلر‬ َ ‫يُأَ أر‬ ُ‫تُ َوأ ه َم َٰ َهت ه هك هُمُٱ َٰلَتِ ا‬ ُ َ ‫تُ َعلَ أي هك أُمُأ ه َم َٰ َهت ه هك أُمُ َو َبنَات ه هك أُمُ َوأَخ َٰ ََوت ه هك أُمُ َو َع َٰ َمت ه هك أُمُ َو َٰ َخ َٰلَت ه هك أُمُ َوبَنَاتهُُ أٱۡل‬
ُِ ‫خُِ َوبَنَاتهُُ أٱۡل ه أخ‬ ُ‫هح ِر َم أ‬
‫ا‬
َٰ
ُ‫نُأَصأ لَ ِب هك أُمُ َوأَن‬ ُ‫لُأَ أبنَا ا ِئ هك هُمُٱلَذِينَُُ ِم أ‬ َٰ
ُ‫حُ َعلَ أي هك أُمُ َو َحلَ ِئ ه‬
َُ ‫َلُ هجنَا‬ ُ َ َ‫نُف‬ َُ ‫نُفَإِنُلَ أُمُتَ هكونهواُُدَخ أَلتهمُ ِب ِه‬ َُ ‫سا ا ِئ هك هُمُٱ َٰلَ ِتيُدَخ أَلتهمُ ِب ِه‬ ‫ن‬ُ ‫ن‬ ‫م‬ ُ ‫م‬ ‫ه‬
‫ك‬ ‫ور‬ ‫ج‬
َ ِ ِ ِ ‫ِ َ ِ أ َ َ َِه ه ِ ِ ه ه‬ ‫ح‬ ُ ‫ي‬ ‫ف‬ ُ ‫ي‬ ‫ت‬ َ ‫ل‬َٰ ‫نساائ هك ُمُور َٰ ابئب هك ُمُٱ‬
٢٣ُ‫وراُ َر ِح ّٗيما‬ ّٗ ‫ٱّللَُكَانَُُ َغفه‬ َُ ُ‫ن‬ َُ ِ‫فُإ‬ َُ َ‫سل‬ َ ُ‫لُ َماُقَ أُد‬ ُ َ ِ‫نُإ‬ُِ ‫ت أَج َمعهواُُبَ أينَُُ أٱۡل ه أخت أَي‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
b. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga (QS Thaha [20]:29-30).
٣٠ُ‫ َٰ َه هرونَُُأ َ ِخي‬٢٩ُ‫نُأ َ أه ِلي‬
ُ‫ٱج َعلُ ِليُ َو ِز ّٗيراُ ِم أ‬
‫َو أ‬
“dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (yaitu) Harun, saudaraku”
c. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama (QS Al-A'raf [7]: 65), (QS Al-Haqqah [69]: 6-7).
ُ َ َ‫نُإِ َٰلَ ٍُهُغ أَي هر اُۥههُأَف‬
َُ‫َلُتَتَقهون‬ ُ‫ٱّللَُ َماُلَ هكمُ ِم أ‬
َُ ُُ‫ٱعبهد هوا‬ َُ ‫ىُ َعا ٍُدُأَخَاه أُهمُههودّٗ اُُقَا‬
‫لُ َٰيَقَ أو ُِمُ أ‬ َُٰ َ‫َوإِل‬
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ´Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS Al-A'raf
[7]: 65)
d. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham (QS Shad [38]: 23). Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. Bersabda:
“Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun teraniaya. Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara
membantu orang yang menganiaya, beliau menjawab, Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian
itulah pembelaan baginya.” (HR Bukhari melalui Anas bin Malik)
e. Persaudaraan seagama (Al-Hujurat :10)
َُ ُُ‫ِإنَ َماُ أٱل هم أؤ ِمنهونَُُ ِإ أخ َوةُُفَأَصأ ِل هحواُُ َب أينَُُأَخ ََو أي هك أُمُ َوٱتَقهوا‬
َُ ‫ٱّللَُلَ َعلَ هك أُمُت ه أر‬
١٠َُُ‫ح همون‬
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”

3. Perbedaan Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Jahiliyah:


Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam sedang Ukhuwah
Jahiliyah bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan akidah (missal:ikatan keturunan
orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi)

4. Peringkat-peringkat ukhuwah:
a. Ta’aruf adalah saling mengenal sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata
ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13)
b. Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa
bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak
saudaranya yang harus ia tunaikan. Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda, “Barangsiapa
menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat.
Barang siapa menutupi aib di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong
saudaranya.” (H.R. Muslim)
c. Ta’awun adalah saling membantu tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran

5. Macam-macam Ukhuwah Islamiyah


Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam.
Telah dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis "persaudaraan" yang disinggung oleh Al-
Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
a. Ukhuwwah 'ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
b. Ukhuwwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua
berasal dari seorang ayah dan ibu. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat sabda beliau, “Jadilah kalian hamba
Allah yang bersaudara. Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara.”
c. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
d. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim. Rasulullah Saw. Bersabda: “Kalian adalah sahabat-
sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah (wafat)-ku”

6. Faktor Penunjang Persaudaraan


Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan
akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya
persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan
sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give," tetapi justru “Mengutamakan
orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan” (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan
dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan.
Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan.
Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS Ali 'Imran [3]: 64) dan Saba [34): 24-25).
karena pada hakekatnya kaum mukminin itu bersaudara. Mereka bagaikan susunan bangunan yang kokoh yang saling
menguatkan satu dengan yang lain.
Allah berfirman :
ُُ‫ِإنَ َماُ أٱل هم أؤ ِمنهونَُُ ِإ أخ َوة‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
Rasulullah bersabda:
‫ضههُ َبعضًا‬
‫شدُُّ َبع ه‬ ِ ‫اَل همؤ ِمنه ُ ِلل همؤ ِم ِنُكَالبهن َي‬
‫انُ َي ه‬
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah laksana bangunan yang saling menguatkan bagian satu dengan
bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaum mukminin itu seperti satu anggota tubuh, jika salah satu anggota tubuh tersebut merasakan sakit, maka bagian tubuh
yang lain juga akan merasakan sakitnya. Nabi bersabda:
‫ُوال هح َمى‬
َ ‫س َه ِر‬
َ ‫سدُِبِال‬ َ ُ‫عىُلَ ُهه‬
َ ‫سائ هِرُال َج‬ َ ‫عض ٌوُتَدَا‬ ‫ُوتَعَا ه‬
َ ‫ط ِف ِهمُ َمثَلهُال َج‬
َ ُ‫سدُِإِذَُاشت َ َكىُمِ نهه‬ َ ‫َمثَلهُال همؤمِ ِنُفِيُت ََو ِادهِم‬
َ ‫ُوت ََراحهمِ ِهم‬
“Perumpamaan kaum mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta cinta adalah seperti satu tubuh. Jika satu bagian
anggota tubuh sakit maka akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR. Bukhari
dan Muslim)

7. Faedah dan Manfaat Ukhuwah


Adapun keutamaan, manfaat, serta faedah ditegakkannya ukhuwah di antaranya adalah:
a. Akan mendapatkan rasa manis dan lezatnya iman, sebagaimana sabda Rasulullah:
ُ‫ُوأَنُيَك َرهَُأَنُ َيعهودَُفِيُال هكف ِرُبَعدَُأَن‬
َ ِ‫اُوأَنُي ِهحبَ ُال َمر َءُلَُي ِهحبُّههُإِلَُِهلل‬ ِ ‫سولهههُأ َ َحبَ ُإِلَي ِه‬
َ ‫ُم َُماُ ِس َوا هه َم‬ َ ‫انُ َمنُ َكانَ ُهللاه‬
‫ُو َر ه‬ ٌ َ‫ثََل‬
َ ‫ثُ َمنُ هك َنُفِي ِه‬
ِ ‫ُو َجدَُبِ ِه َنُ َحَلَ َوةَُا ِۡلي َم‬
ُِ َ‫فُفِيُالن‬
‫ار‬ َ
َ َ‫ُ َك َماُيَك َرهَُأنُيهقذ‬،‫ُمنهه‬ َ
ِ ‫أنقَذَههُهللاه‬
“Tiga perkara yang barangsiapa mendapatinya, dia akan merasakan manisnya iman, yaitu dia mencintai Allah dan
Rasul-Nya melebihi daripada kecintaan kepada selain keduanya, dia mencintai saudaranya dan dia tidaklah
mencintainya melainkan karena Allah, dia membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana dia membenci
untuk dilemparkan ke dalam An Nar.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
b. Allah akan melindungi dan menaunginya dari kengerian-kengerian pada hari kiamat kelak. Ini sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah hadits tentang tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak
ada naungan kecuali naungan-Nya, di antaranya adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah. Dan juga
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :
ُ‫ُظلَي‬ ِ ‫ِإنَ ُهللاَُت َ َعالَىُيَقهولهُيَو َمُال ِقيَا َم ِةُأَينَ ُال َمت َ َحابُّونَ ُ ِب َجَلَ ِليُ؟ُاليَو َمُأ َ ِظلُّ ههمُفِي‬
ِ َ‫ُظ ِليُيَو َمُلَ ِظلَُ ِإل‬
“Sesungguhnya Allah berfirman pada hari kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang mencintai karena kemuliaan-Ku?
Pada hari ini Aku akan menaungi mereka pada suatu hari yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Muslim)
c. Mencintai karena Allah akan mendatangkan iman yang kemudian akan mengantarkannya ke dalam Al Jannah. Nabi
bersabda:
‫سَلَ َمُبَينَ هك ُم‬ ‫ُأ َ َولَُأَدهلُّ هكمُ َعلَىُشَيءٍُُإِذَاُفَعَلت ه هموههُتَ َحابَبتهمُ؟ُأَف ه‬.‫ُولَُتهؤ ِمنهواُ َحتَىُتَ َحابُّوا‬.‫وا‬
َ ‫شواُال‬ َ ‫لَُتَد هخلهونَ ُال َجنَةَُ َحتَىُتهؤ ِمنه‬
“Kalian tidak akan masuk Al Jannah sampai kalian beriman. Dan kalian belum dikatakan beriman sampai kalian
saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu perbuatan yang jika kalian lakukan akan membuat kalian
saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
d. Ukhuwah akan melahirkan akhlak yang mulia, di antaranya sikap ramah, cinta kasih, peduli terhadap kebutuhan
saudaranya seiman dan sekaligus membantu mereka. Sehingga terwujudlah kehidupan yang aman, tenteram, dan
harmonis tanpa adanya saling permusuhan dan kebencian.
e. Ukhuwah akan memperkokoh kekuatan kaum muslimin sehingga akan terwujudlah kejayaan Islam dan kaum
muslimin.

8. Syarat-Syarat Ukhuwah
Dalam menegakkan ukhuwah, hendaknya kita juga memperhatikan beberapa syarat berikut ini:
a. Hendaknya ukhuwah tersebut dilandasi oleh keikhlasan karena Allah dan dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah .
b. Hendaknya ukhuwah tersebut diiringi dengan iman dan takwa.
c. Hendaknya ukhuwah itu dijalankan sesuai dengan bimbingan Islam yang benar.

Catatan :
Perhatikan sabda Nabi berikut:
ُ‫ُو هكونهواُ ِعبَادَُهللاُِإِخ َوا ًناُال همس ِل همُأَخهُال همس ِل ِمُلَيَظ ِل همههُ ِولَيَخذهلهه َهُولَيَك ِذبههه‬ َ ‫ض‬ٍ ‫ض هكمُ َعلَىُبَيعُِ َبع‬
‫واُولَيَبِعُبَع ه‬
َ ‫هواُولَتَدَابَ هر‬
َ ‫واُولتَبَا َغض‬ َ ‫ش‬ ‫هواُولَتَنَا َج ه‬
َ ‫سد‬ َ ‫لَت َ َحا‬
‫ه‬ َ َ
‫ش ِرُأنُيَح ِق َُرُأخَاههُال همس ِل َمُ هكلُُّال همس ِل ِمُ َح َرا ٌمُدَ همه َهُو َماله َهُو ِعر ه‬
‫ض ُهه‬ َ ‫ُمنَ ُال‬
ِ ٍ‫بُام ِرىء‬ ِ ‫ُ ِب َحس‬،ٍُ‫ثُ َم َرات‬ َ ُ‫َاُويهشِي هرُ ِإلَى‬
َ َ‫صد ِرهُِثََل‬ َ ‫َولَيَح ِق هرههُالتَق َوىُهَا ههن‬
“Janganlah kalian saling hasad, saling najasy (menawar barang dengan harga yang lebih tinggi tanpa bermaksud
membeli, akan tetapi untuk memperdaya pihak lain), saling membenci, saling acuh tak acuh. Janganlah sesama kalian
menjual di atas penjualan sebagian yang lainnya (maksudnya mempengaruhi pembeli ditengah memilih suatu barang
sehingga membatalkan pembeliannya, kemudian orang lain menawarkan barang dengan kualitas yang sama atau lebih
baik dengan harga yang sama). Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara, seorang muslim adalah saudara bagi
muslim yang lainnya. Oleh karena itu janganlah menzhalimi, menghina, mendustai dan jangan pula meremehkannya.
Taqwa itu ada di sini (hati), dan beliau sambil menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seseorang dianggap jahat jika
ia memandang hina kepada saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya,
hartanya, dan juga kehormatannya.” (HR. Muslim)
Mengamalkan hadits ini merupakan salah satu sarana yang penting untuk meraih ukhuwah dan kerukunan antar sesama
muslim serta menghindarkan dari kedengkian dan permusuhan di antara mereka.

BAB V
NIFAQ DAN KERAS HATI

A. Nifaq
Nifaq secara bahasa berasal dari kata naafaqa – yunaafiqu – nifaaqan wa munaafaqan yang diambil dari kata an-naafiqaa’,
yaitu salah satu lubang tempat keluarnya yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangannya, dimana jika ia dicari dari lubang yang
satu, maka ia akan keluar dari lubang yang lain. Dikatakan pula, ia berasal dari kata an-nafaqa (nafaq) yaitu lubang tempat
bersembunyi. [Lihat An-Nihaayah V/98 oleh Ibnu Katsir]
Nifaq menurut syara’ yaitu menampakkan Islam dan kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan
demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lain. Nifaq juga diartikan menampakkan
perbuatan yang tidak sesuai dengan isi hatinya. Orang yang melakukan perbuatan nifaq disebut munafiq.
Contoh nifaq adalah menampakkan diri rajin shalat padahal sebenarnya malas. Hanya rajin shalat ketika di hadapan orang
lain. Tapi kalau lagi sendiri di rumah tidak pernah melakukan shalat. Berbeda dengan riya’, karena biasanya kalau riya’ itu bisa
jadi rajin shalat juga di rumah ketika sendirian, hanya saja ketika di hadapan orang lain ingin dipuji dan mendapat simpati. Tapi
kalau nifaq, memang sengaja menutupi kekufuran dan kejahatan dengan menampakkan keislaman di hadapan orang lain.
Allah memperingatkan dengan firman-Nya:
َُُ‫نُٱ أل هم َٰنَ ِف ِقينَُُ هه هُمُٱ أل َٰفَ ِسقهون‬
َُ ِ‫إ‬
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. At-Taubah: 67)
Allah ‘SWT. juga berfirman:
ُ‫ع هه أم‬ َُ ‫نُٱ أل هم َٰنَ ِف ِقينَُُيه َٰ َخ ِدعهونَُُٱ‬
‫ّللَُ َوه َُهوُ َٰ َخ ِد ه‬ َُ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya orang-orang Munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka…” (QS. An-Nisaa’: 142)
[Lihat juga al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 9-10]
Dari ayat ini bisa kita pahami bahwa memang kalau orang yang munafiq itu seolah-olah akan menipu Allah Swt. dengan
apa yang diperbuatnya. Dulu di jaman Nabi saw. ada beberapa orang munafiq yang kalau di hadapan Nabi saw. dan para
sahabatnya seperti taat. Mereka shalat juga bahkan ikut berjamaah bersama kaum muslimin walaupun agak malas. Namun
dibelakang Nabi saw. tidak pernah menunaikan shalat. Soalnya, hati dan pikiran mereka tidak taat kepada Allah Swt.
sebagaimana orang yang beriman. Itu namanya penipuan. Mereka tidak sadar jika Allah Swt. tidak mungkin dapat ditipu.

JENIS-JENIS NIFAQ
Menurut Al Buraikan nifaq dibagi menjadi 2 yaitu nifaq akbar (besar) dan nifaq asghar (kecil), sedang menurut Abdurrahman
Faudah nifaq dibagi menjadi nifaq iman dan nifaq amali, adapun menurut Ibnu Taimiyah nifaq dibedakan menjadi nifaq nifaq
i’tiqadi dan nifaq ‘amali.
1. Nifaq I’tiqadi/Iman/Akbar (Nifak dalam bentuk keyakinan)
Nifaq i’tiqadi (keyakinan) disebut juga nifaq besar, dimana pelakunya menampakkan keislaman, tetapi menyembunyikan
kekufuran. Jenis nifaq ini menjadikan keluar dari agama dan pelakunya berada pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.
Allah menyifati para pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan iman, mengolok-olok agama dan
pemeluknya serta kecenderungan kepada musuh-musuh untuk bergabung dengan mereka dalam memusuhi Islam.
Orang-orang munafiq jenis ini senantiasa ada pada setiap zaman. Lebih-lebih ketika tampak kekuatan Islam dan mereka
tidak mampu membendungnya secara lahiriyah. Dalam keadaan seperti itu, mereka masuk ke dalam agama Islam untuk
melakukan tipu daya terhadap agama dan pemeluknya secara sembunyi-sembunyi, juga agar mereka bisa hidup bersama umat
Islam dan merasa tenang dalam hal jiwa dan harta benda mereka. Karena itu, seorang munafiq menampakkan keimanannya
kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Hari Akhir, tetapi dalam batinnya mereka berlepas diri dari semua
itu dan mendustakannya.
Nifaq jenis ini ada empat macam, yaitu :
a. Mendustakan Rasulullah SAW atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
b. Membenci Rasulullah SAW atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.
c. Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam.
d. Tidak senang dengan kemenangan Islam.
Orang yang melakukan perbuatan nifaq besar ini akan mendapatkan azab yang lebih berat dari orang-orang kafir, karena bahaya
perbuatan mereka lebih besar dari orang kafir. Allah berfirman :
‫يرا‬ ِ ‫ارُ َولَنُت َِج ُدَُلَ هه أُمُن‬
ً ‫َص‬ ُِ َ‫لُ ِمنَُُٱلن‬ ُِ ‫نُٱ أل هم َٰنَ ِف ِقينَُُفِيُٱلد أَر‬
ُِ َ‫كُٱ أۡل َ أسف‬ َُ ِ‫إ‬
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali
tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisaa’: 145)
Karena itu di awal-awal surat Al-Baqarah Allah bercerita tentang orang-orang kafir hanya dengan dua ayat, sedangkan tentang
orang-orang munafiq dengan tiga belas ayat.

2. Nifaq ‘Amali/Asghar (Nifak dalam bentuk perbuatan)


Nifaq amali juga disebut nifaq kecil, yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq, tetapi masih
tetap ada iman di dalam hatinya. Nifaq jenis ini tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, tetapi merupakan wasilah
(perantara) kepada yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq.
Indikasi seseorang dikatakan melakukan perbuatan nifaq kecil bila dia melakukan sebagian perbuatan yang menjadi ciri dan
karakter orang-orang munafiq tulen. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: "Tanda-tanda orang munafiq ada tiga, yaitu:
dusta ketika berbicara, suka ingkar janji, khianat ketika diamanahi. (muttafaqun 'alaih)
Lalu, jika perbuatan nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya dia kedalam nifaq sesungguhnya,
berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Ada empat hal yang jika berada pada diri seseorang, maka ia menjadi seorang munafiq sesungguhnya, dan jika seseorang
memiliki kebiasaan salah satu daripadanya, maka berarti ia memliki satu kebiasaan (ciri) nifaq sampai ia meninggalkannya,
bila dipercaya ia berkhianat, bila berbicara ia berdosa, bila berjanji ia memungkiri dan bila bertengkar ia melewati batas.”
(Muttafaqun ‘alaih. HR. Al-Bukhari (34, 2459, 3178), Muslim (58), Ibnu Hibban (254-255), Abu Dawud (4688), At-Tirmidzi
(2632), An-Nasa-I (VIII/116) dan Ahmad (II/189), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu.
Allah Swt. berfirman :
٢٠٤ُ‫ام‬ َ ‫ىُ َماُفِيُقَ أل ِب ُِهۦُ َوه َُهوُأَلَ ُدُُّٱ أل ِخ‬
ُِ ‫ص‬ َُ ‫اسُ َمنُيهعأ ِجبهكَُُقَ أوله ُهۥهُفِيُٱ أل َح َي َٰوةُُِٱلد أُّن َياُ َوي أهش ِه ُد هُٱ‬
َُٰ َ‫ّللَُ َعل‬ ُ ِ َ‫َو ِمنَُُٱلن‬
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya
kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” (QS al-Baqarah [2]: 204)
Nifaq kecil tidak menyebabkan pelakunya keluar dari islam, tetapi itu termasuk dosa besar yang harus dijauhi.
At-Tirmidzi berkata, "Makna nifaq pada hadits di atas menurut para ahli hadits adalah nifaq dalam perbuatan saja. Adapun
nifaq tulen adalah nifaq yang mendustakan ajaran islam seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Terkadang pada diri seorang hamba berkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan kebiasaan-kebiasaan buruk, kebiasaan-
kebiasaan iman dan kebiasaan-kebiasaan kufur dan nifaq. Karena itu, ia mendapatkan pahala dan siksa sesuai konsekuensi dari
apa yang mereka lakukan, seperti malas dalam melakukan shalat berjama’ah di masjid. Ini adalah di antara sifat orang-orang
munafiq. Sifat nifaq adalah sesuatu yang buruk dan sangat berbahaya, karena itulah sehingga para Sahabat begitu sangat
takutnya kalau-kalau dirinya terjerumus ke dalam nifaq. Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Aku bertemu dengan 30 Sahabat
Rasulullah SAW, mereka semua takut kalau-kalau ada nifaq dalam dirinya.”
PERBEDAAN ANTARA NIFAQ BESAR DAN NIFAQ KECIL
 Nifaq besar mengeluarkan pelakunya dari agama, sedangkan nifaq kecil tidak mengeluarkan dari agama.
 Nifaq besar adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal keyakinan, sedangkan nifaq kecil adalah berbedanya
yang lahir dengan yang batin dalam hal perbuatan bukan dalam hal keyakinan.
 Nifaq besar tidak terjadi dari seorang mukmin, sedanghkan nifaq kecil bisa terjadi dari seorang mukmin.
 Pada umumnya, pelaku nifaq besar tidak bertaubat, seandainya pun bertaubat, maka ada perbedaan pendapat tentang
diterima atau tidak taubatnya di hadapan hakim. Lain halnya dengan pelakunya terkadang bertaubat kepada Allah, sehingga
Allah menerima taubatnya. [‘Aqidah at-Tauhid (hal. 85-88) oleh Dr. Shalih bin Abdullah al-Fauzan]
((Disalin dari buku Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal. 223-227, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas; Penerbit:
Pustaka At-Taqwa, Bogor; Cetakan Pertama: Jumadil Akhir 1425 H – Agustus 2004 M))

B. Keras Hati (Al Qasawah)


Keras hati ialah adanya rasa tidak peduli terhadap kesusahan orang lain. Seseorang yang hatinya mengalami kondisi tersebut
tidak merasakan kepedihan dan penderitaan orang lain. Sumber keras hati ini adalah karena ia dikalahkan oleh kekuatan buas
hawa nafsunya.
Kebanyakan dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti aniaya, menyakiti orang lain, tidak menjawab atau mengabulkan
panggilan orang lain yang terzalimi, tidak membantu orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan bantuan, itu semua
timbul dari sifat atau kondisi keras hati.
Mengobati penyakit hati seperti ini sangat sulit. Dan orang yang tertimpa penyakit seperti ini, hendaklah ia senantiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membuat hatinya lunak kembali, agar jiwanya mempunyai potensi untuk menerima
curahan sifat belas kasih sayang dari sumber rahmat Allah Swt, agar nantinya sifat dan kondisi keras hatinya tersebut dapat
menjadi sirna.
Apabila seseorang yang tertimpa penyakit tersebut tidak berusaha mengobati dirinya, maka dia akan keluar dari daerah atau
batasan manusia.
Allah Swt berfirman: “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu.” (Qs. Al Maidah:13)
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Janganlah kalian memperbanyak ucapan selain berzikir kepada Allah
Swt, karena banyak berbicara selain berzikir kepada Allah Swt, dapat mengakibatkan keras hati. Sesungguhnya paling jauhnya
manusia dari Allah adalah orang yang hatinya keras”
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, beliau bersabda: “Tidak akan kering air mata, melainkan orang
yang keras hati. Dan tidak akan keras hati melainkan orang yang banyak dosanya”
Diriwayatkan dari Al Masih binti Maryam Isa As, beliau bersabda: “Sesungguhnya binatang apabila tidak ditunggangi,
tidak diuji dan tidak digunakan, maka nantinya ia akan menjadi sulit dan akan berubah sikapnya. Demikian pula hati manusia,
apabila dia tidak dilembutkan dengan mengingat kematian dan tidak diikut sertakan dengan senantiasa beribadah, maka ia
akan menjadi keras seperti batu”
Penyair Sa’di Syirazi dalam sebuah syairnya berkata yang artinya: “Anak-anak Adam adalah anggota satu sama lainnya,
Mereka diciptakan dari mutiara yang satu. Apabila salah satu dari mereka tertimpa kesulitan suatu penyakit, maka anggota-
anggota yang lain akan merasakan penderitaan tersebut. Apabila engkau tidak mengambil faedah dari bencana orang lain,
maka ketahuilah bahwa engkau tidak layak dinamakan sebagai anak Adam.”

1. HATI MEMILIKI SIFAT


Setiap manusia memiliki sifat yang berbeda-beda. Sifat-sifat tersebut pun bisa berubah-ubah setiap waktu. Begitu pula hati,
dia pun memiliki sifat. Hati bisa menjadi sehat dan juga bisa menjadi sakit. Allâh SWT. berfirman:
ٌ ‫ِفيُقهلهو ِب ِهمُ َم َر‬
َ ‫ضُفَزَ ادَ هه هم‬
‫َُّللاهُ َم َرضًا‬
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allâh penyakitnya ...” [al-Baqarah/2:10]
Hati juga bisa menjadi lunak dan juga bisa menjadi sekeras batu. Allâh SWT. berfirman:
َ َ ‫ارةُِأَوُأ‬ َٰ ِ ‫ستُقهلهوبه هكم‬
َ َ‫ث ه َمُق‬
ً ‫شدُُّقَس َو ُة‬ َ ‫ُمنُ َبعدُِذَلِكَ ُفَ ِه‬
َ ‫يُكَال ِح َج‬
“Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” [al-Baqarah/2:74]
Begitu pula hati bisa mengkilap, bersinar dan bisa juga menjadi hitam kelam sebagaimana diterangkan di beberapa hadits
Rasûlullâh SAW. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Muslim memperhatikan kondisi hatinya setiap saat, jangan sampai
menjadi hati yang keras atau mulai mengeras sehingga nantinya akan menjadi keras dan sulit menerima kebenaran. Na’ûdzu
billâhi min dzâlik.

2. BAHAYA HATI YANG KERAS


Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa orang yang hatinya keras sangat tercela dan dalam kesesatan yang nyata. Mâlik
bin Dînâr rahimahullah pernah berkata, "Seorang hamba tidaklah dihukum dengan suatu hukuman yang lebih besar daripada
hatinya yang dijadikan keras. Tidaklah Allâh SWT. marah terhadap suatu kaum kecuali Dia akan mencabut rasa kasih sayang-
Nya dari mereka”

3. TANDA-TANDA HATI YANG KERAS ATAU MULAI MENGERAS


Hati yang keras atau mulai mengeras memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
a. Bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan, serta meremehkan suatu kemaksiatan.
b. Tidak terpengaruh hatinya dengan ayat-ayat al-Qur’ân yang dibacakan. Berbeda dengan kaum mu’minîn, hati mereka akan
bergetar jika dibacakan ayat-ayat al-Qur’ân atau diingatkan akan Allâh Swt. Firman-Nya :
َُ‫ُربِ ِهمُيَت ََو َكلهون‬
َ ‫اُو َعلَ َٰى‬ َُ ‫ُو ِجلَتُقهلهوبه ههم‬
َ ً‫ُوإِذَاُت ه ِليَتُ َعلَي ِهمُآيَاتهههُزَ ادَت ههمُإِي َمان‬ َ ‫إِنَ َماُال همؤ ِمنهونَ ُالَذِينَ ُإِذَاُذ ه ِك َر‬
َ ‫َُّللاه‬
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal. [al-
Anfâl/8:2]
c. Tidak terpengaruh hatinya dengan berbagai ujian, musibah dan cobaan yang diberikan oleh Allâh Swt. Firman-Nya :
َ َ‫أ َ َو َلُيَ َرونَ ُأَنَ ههمُيهفتَنهونَ ُفِيُ هك ِلُ َع ٍامُ َم َرةًُأَوُ َُم َرت َي ِنُث ه َم َُلُيَتهوبهون‬
َُ‫ُو َلُههمُيَذَ َك هرون‬
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munâfiq) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan
mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” [at-Taubah/9:126]
d. Tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allâh SWT.
e. Bertambahnya kecintaan terhadap dunia dan mendahulukannya di atas akhirat
f. Tidak tenang hatinya dan selalu merasa gundah
g. Bertambahnya dan meningkatnya kemaksiatan yang dilakukannya. Allâh Swt. berfirman:
َُ‫َّللاه َُلُيَهدِيُالقَو َمُالفَا ِس ِقين‬
َ ‫ُو‬ َ ُ‫َُّللاهُقهلهوبَ ههم‬
َ ‫غ‬ َ ‫غواُأَزَ ا‬
‫فَلَ َماُزَ ا ه‬
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka. Dan Allâh tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik” [ash-Shaf/61:5]
h. Tidak mengenal atau tidak membedakan perbuatan ma’ruf dan munkar.

4. SEBAB-SEBAB KERASNYA HATI


Hati menjadi keras tentu ada penyebabnya. Penyebab-penyebab kerasnya hati di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kesyirikan, Kekufuran Dan Kemunafikan.
Inilah sebab yang paling besar yang dapat menutupi hati seseorang dari menerima kebenaran. Allâh SWT. berfirman yang
artinya:
َ
َُ‫ىُالظالِمِ ين‬ ‫سُ َمث َو‬
َ ‫ُو ِبئ‬ ‫ُو َمأ َوا هُه همُالنَ ه‬
َ ُ‫ار‬ َ ‫سل‬
َ ُ‫طانًا‬ َ ‫بُ ِب َماُأَش َر هكواُ ِب‬
‫اّللُِ َماُلَمُيهن َِزلُ ِبهُِ ه‬ َ ‫واُالرع‬
ُّ ‫بُالَذِينَ ُ َكف هَر‬
ِ ‫سنهلقِيُفِيُقهلهو‬
َ
“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, karena mereka telah mempersekutukan Allâh dengan
sesuatu yang Allâh sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka. Dan itulah
seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zhalim” [Ali ‘Imrân/3:151]
b. Melanggar Perjanjian Yang Dibuat Kepada Allâh SWT.. Allâh SWT. berfirman:
ًُ‫ُو َج َعلنَاُقهلهو َب ههمُقَا ِس َية‬
َ ‫ُميثَاقَ ههمُلَ َعنَاههم‬ ِ ‫فَ ِب َماُنَق‬
ِ ‫ض ِهم‬
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka kami laknat mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu”.
[al-Mâ-idah/5:13]
c. Tertawa Berlebihan.
Nabi SAW bersabda:
َ ‫ُفَإ ِ َنُكَث َرة َُالض َِح ِكُت ه ِميته ُالقَل‬،ُ َ‫لَُتهكثِ هرواُالض َِحك‬
ُ‫ب‬
Janganlah kalian banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati
d. Banyak Berbicara Dan Banyak Makan.
Bisyr bin al-Hârits pernah berkata, "(Ada) dua hal yang dapat mengeraskan hati: banyak berbicara dan banyak makan.”
e. Banyak Melakukan Dosa
Nabi SAW bersabda:
َ ‫ُالرانه ُالَذِيُذَك ََرهه‬
ُ‫َُّللاهُ ِفيُ ِكتَا ِب ِه‬ َ َ‫ُفَذَلِك‬،ُ‫ُزَ ادَت‬،َُ‫ُفَإِنُزَ اد‬،ُ‫ص ِقلَُقَلبههه‬
‫ُ ه‬،ُ‫ُواست َغفَ َر‬
َ ‫ع‬َ َ‫ُونَز‬ َ ‫ُفَإِنُت‬،ُ‫َبُكَانَتُنهكت َةٌُ َسودَا هءُ ِفيُقَل ِب ِه‬
َ ‫َاب‬ َ ‫ ِإ َنُال همؤ ِمنَ ُ ِإذَاُأَذن‬: [[
َُ‫ُرانَ ُ َعلَىُقهلهوبِ ِهمُ َماُكَاُنهواُيَك ِسبهون‬َ ‫]] َكَلَُبَل‬
Sesungguhnya seorang Mukmin jika melakukan dosa, maka akan ada bintik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat dan
berhenti (dari dosa tersebut) serta memohon ampunan, maka hatinya akan mengkilap. Apabila dia terus melakukan dosa,
maka bertambah pula noktah hitam itu. Itu adalah ar-rân (penutup) yang disebutkan oleh Allâh di kitab-Nya: ‘Sekali-kali
tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka [al-Muthaffifîn/83:14]
f. Lalai Dari Ketaatan
Allâh SWT. berfirman yang artinya:
ُ‫ان َُلُيَس َمعهونَ ُبِ َهاُُأهو َٰلَئِكَ ُكَاۡلَنعَ ِامُبَلُههم‬
ٌ َ‫اُولَ ههمُآذ‬
َ ‫ص هرونَ ُبِ َه‬ ُ َ ‫اُولَ ههمُأَعي ٌهن‬
ِ ‫ُلُيهب‬ َ ‫اۡلن ِسُُلَ ههمُقهلهوبٌ َُلُيَف َق ههونَ ُبِ َه‬
ِ ‫ُو‬َ ‫اُمنَ ُال ِج ِن‬
ِ ‫ير‬ً ِ‫َولَقَدُذَ َرأنَاُ ِل َج َهنَ َمُ َكث‬
َُ‫ضلُُُّأهو َٰلَئُِكَ ُ هه همُالغَافِلون‬
‫ه‬ َ َ‫أ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allâh), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allâh) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allâh). Mereka itu seperti binatang-binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai” [al-A’râf/7:179]
g. Nyanyian Dan Alat Musik
‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata:
ِ ‫ال ِغنَا هءُيهنبِته ُالنِفَاقَ ُفِىُالقَل‬
ُ‫ب‬
Lagu-laguan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati
h. Suara Wanita Yang Menggoda
Allâh SWT. berfirman :
ُ‫ُوقهلنَ ُقَو ًلُ َمع هروفًا‬
َ ‫ض‬ٌ ‫ضعنَ ُ ِبالقَو ِلُفَيَط َم َعُالَذِيُفِيُقَل ِب ِهُ َم َر‬ ُ َ َ‫ِإ ِنُاتَقَيت ه َنُف‬
َ ‫َلُت َخ‬
“Maka janganlah kamu tunduk (menghaluskan suara) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” [al-Ahzâb/33:32]

i. Melakukan Hal-Hal Yang Merusak Hati


Hal-hal yang merusak hati sangatlah banyak. Akan tetapi, dari semua itu ada lima hal yang menjadi faktor perusak hati.
Kelima hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah : “Adapun lima hal yang merusak hati adalah
banyak bergaul (berkumpul dengan manusia), (banyak) berangan-angan, tergantung kepada selain Allâh SWT.,
kekenyangan (banyak makan) dan (banyak) tidur. Inilah kelima hal utama yang dapat merusak hati ”

5. OBAT HATI YANG KERAS


Hati yang keras juga memiliki obat agar dia bisa kembali melunak. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat melunakkan
hati:
a. Beriman kepada Allâh SWT. dan selalu meningkatkan keimanan. Allâh SWT. berfirman:
ُ‫اّللُِيَهدُِقَلبَهه‬
َ ‫َو َمنُيهؤ ِمنُ ِب‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allâh niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya” [at-Taghâbun/64:11]
b. Banyak mengingat Allâh (ber-dzikr) dan membaca al-Qur’ân dengan men-tadabburi-nya (memahami dan merenungi
maknanya). Allâh SWT. berfirman:
َ ‫َُّللاُُِأَ َلُ ِبذِك ِر‬
ُ ‫َُّللاُِت َط َمئِ ُّنُالقهلهوبه‬ َ ‫الَذِينَ ُآ َمنه‬
َ ‫واُوت َط َمئِ ُّنُقهلهوبه ههمُ ِبذِك ِر‬
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah! Hanya dengan
mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram” [ar-Ra’d/13 : 28]
c. Belajar ilmu syar’i (ilmu agama)
Tidak diragukan lagi, bahwa ilmu syar’i dapat membimbing seseorang untuk menjadi hamba Allâh SWT. yang bertakwa.
Di awal surat Ali ‘Imrân, Allâh SWT. memuji orang-orang yang memiliki ilmu yang dalam. Tahukah pembaca, doa apakah
yang mereka ucapkan? Doa yang diucapkan oleh mereka adalah:
ُ‫ُرح َمةًُإِنَكَ ُأَنتَ ُال َو َهابه‬
َ َ‫َاُمنُلَدهنك‬ َ ‫َاُلُت ه ِزغُقهلهوبَنَاُبَعدَُإِذُ َهدَيتَن‬
ِ ‫َاُوهَبُلَن‬ َ ‫َربَن‬
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati-hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi
(karunia)” [Ali ‘Imrân/3:8]
Merekalah yang lebih tahu akan Rabb-nya bila dibandingkan orang-orang awam dan mereka juga lebih tahu bahwa hati
manusia bisa berubah-ubah, sehingga mereka berdoa dengan doa tersebut.
d. Berlindung kepada Allâh dari hati yang tidak khusyû’ dengan doa yang telah diajarkan oleh Nabi SAW , yang berbunyi:
‫ُو ِمنُدَع َوةٍُلَُيهسُت َ َجابه ُلَ َها‬
َ ‫ُو ِمنُنَف ٍسُلَُت َشبَ هع‬ َ ‫بُلَُيَخ‬
َ ‫ش هع‬ ٍ ‫ُو ِمنُقَل‬ ِ َ‫اللَ هه َمُإِنِىُأَعهوذهُبِك‬
َ ‫ُمنُ ِعل ٍمُلَُيَنفَ هع‬
“Ya Allâh! Aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang bermanfaat, dari hati yang tidak khusyû’, dari jiwa yang tidak
kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan”
e. Berbuat baik terhadap anak yatim dan orang miskin. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya
seseorang mengadu kepada Nabi SAW tentang hatinya yang keras. Beliau SAW pun bersabda:
ُ‫سُاليَ ِت ِيم‬
َ ‫ُرأ‬
َ ‫سح‬ َ َ‫ُفَأَط ِع ِمُال ِمسكِين‬،ُ َ‫إِنُأ َ َردتَ ُُأ َنُيَلِينَ ُقَلبهك‬
َ ‫ُوام‬،ُ

“Jika engkau ingin agar hatimu menjadi lunak, maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim”
f. Banyak mengingat kematian
Diriwayatkan dari Shafiyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya seorang wanita mendatangi ‘Âisyah Radhiyallahu anhuma
dan mengadukan keadaan hatinya yang keras. Kemudian ‘Âisyah pun berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian, engkau
akan mendapatkan apa yang kau inginkan.” Kemudian wanita itu pun mengerjakannya. Setelah itu, dia pun mendapatkan
petunjuk di hatinya dan bersyukur kepada ‘Âisyah radhiallâhu 'anhâ., Sa’îd bin Jubair, dan Rabî’ bin Abi Râsyid
rahimahumallâh pernah berkata:
‫سا َعةًُ َخشِيتُأَنُيَف ه‬
‫سدَُقَلُ ِبي‬ َ َ‫لَوُف‬
َ ُ‫ارقَ ُذِك هرُال َموتُِقَل ِبي‬
“Seandainya mengingat kematian terpisah dari hatiku sekejap saja, saya takut hatiku akan menjadi rusak”
g. Banyak berziarah kubur
Abu Thâlib, seorang murid Imam Ahmad, pernah berkata, “Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillâh
(Imam Ahmad) tentang bagaimana melunakkan hatinya. Beliau pun menjawab, ‘Masuklah ke dalam pemakaman dan
usaplah kepala anak yatim.’.”
h. Menghadiri majlis ta’lim dan majlis nasihat
Menghadiri majlis-majlis seperti ini sangat berpengaruh terhadap hati manusia. Mari kita perhatikan apa yang dikatakan
oleh al-‘Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu, “Pada suatu hari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan
shalat, kemudian menghadap ke kami dan memberikan nasihat yang sangat menyentuh, yang membuat mata-mata
menangis dan hati-hati menjadi takut.”
i. Menjauhi sebab-sebab terjadinya fitnah dan dosa
Agar hati kita tidak menjadi keras, maka kita berusaha sekuat mungkin untuk menjauhi sebab-sebab terjadinya dosa atau
fitnah. Oleh karena itu, Allâh SWT. melarang para Sahabat bertanya atau meminta sesuatu hal kepada istri-istri Nabi SAW
kecuali dari belakang tabir. Allâh SWT. berfirman:
َٰ ٍ ‫ُح َجا‬
َ ‫بُُذَ ِل هكمُأَط َه هرُ ِلقهلهو ِب هكم‬
ُ‫ُوقهلهو ِب ِه َن‬ ِ ‫اء‬
ِ ‫ُو َر‬ ِ ‫سأَلت ه هموه َهنُ َمت َاعًاُفَاسأَلهوه َهن‬
َ ‫ُمن‬ َ ُ‫َو ِإذَا‬
“Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri- istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.
Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [al-Ahzâb/33:53]
j. Makan makanan yang halal
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Dengan apa hati bisa menjadi lunak?” Kemudian beliau pun
menjawab, “Ya bunayya (wahai anakku)! Dengan makan makananan yang halal.”
k. Shalat malam
Beribadah dan mendekatkan diri kepada Allâh di waktu sahûr (sebelum Subuh)
l. Berteman dengan orang-orang yang soleh, Ibrâhim al-Khawwâsh rahimahullah pernah berkata:
َ ‫سةهُال‬
َُ‫صالِحِ ين‬ َ َ‫ُو هم َجال‬,
َ ‫ض ُّرعهُعِندَُالسَح ِر‬ َ ‫ُوقِيَا همُاللَي ِل‬,
َُ َ ‫ُوالت‬, ِ ‫ُق َِرا َءةهُالقهر‬:ُ‫سةهُأَشيَاء‬
َ ‫آنُبِالتَدَب ُِّر‬
َ ‫ُوخ َََل هءُالبَط ِن‬, ِ ‫دَ َوا هءُالقَل‬
َ ‫بُخَم‬
“Obat hati ada lima macam, yaitu: membaca al-Qur’ân dengan men-tadabburi-nya, mengosongkan perut, shalat malam,
mendekatkan diri (kepada Allâh) di waktu sahûr dan duduk-duduk (berteman) dengan orang-orang yang soleh”

KESIMPULAN
1. Hati memiliki sifat-sifat yang bisa berubah-ubah.
2. Orang yang telah dibukakan hatinya untuk menerima agama Islam dan taat kepada Allâh tidak sama dengan orang yang
berhati keras.
3. Orang yang berhati keras akan mendapatkan ancaman yang sangat besar
4. Orang yang berhati keras memiliki sifat-sifat tertentu seperti yang sudah dipaparkan di atas. Seyogyanya seorang Muslim
selalu melakukan introspeksi diri.
5. Hati bisa menjadi keras disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu, sebisa mungkin kita menjauhi sebab-sebab tersebut.
6. Hati yang keras pun dapat diobati dengan berbagai cara yang telah disebutkan.
7. Orang-orang yang telah terjerumus kepada kemaksiatan atau merasa bahwa hatinya sangat keras, maka harus segera
bertaubat dan Allâh akan mengampuni orang-orang yang benar-benar bertaubat kepada-Nya.
Perbuatan manusia bersumber dari hatinya, maka ketika hatinya selamat dari sifat-sifat yang kotor maka perbuatan tersebut
akan mencerminkan prilaku yang islami dan jauh dari maksiat kepada Allah Swt.
Ketahuilah,sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila dia baik maka jasad tersebut akan menjadi baik,
dan sebaliknya apabila dia buruk maka jasad tersebut akan menjadi buruk, Ketahuilah segumpal daging tersebut adalah "Qolbu"
yaitu hati ". ( H.R Bukhori ).
Sekarang mari kita lihat dan selidiki tentang hati. Hati adalah sumber kebahagian setiap insan yang ada di muka bumi ini.
Dari Abu Hurairah ra: "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika raja itu baik, maka akan baiklah
tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruklah pula tentaranya.”
Hati yang keras mempunyai tanda-tandanya yang bisa dikenali diantaranya :
1. Malas melakukan ketaatan dan amal kebajikan.
Terlalu malas untuk melakukan ibadah dan memandang ringan. Misalnya tidak serius melakukan shalat, terasa berat dan
enggan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah yang lain. Hal ini sesuai firman-Nya:
Maksudnya : Mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak pula menafkahkan harta mereka
melainkan dengan rasa enggan. (surah taubat ayat 54)
2. Tidak terasa bergetar dengan ayat al-Quran.
Ketika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, hatinya tidak terpengaruh sama sekali tidak
mau khusyuk dan tawaduk dan lalai daripada membaca al-Quran serta mendengarkan al-Quran. Sedangkan Allah swt telah
memberikan gambaran dalam firman-Nya:
Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan (dari berbagai tuduhan terhadapmu wahai Muhammad), dan engkau
bukanlah seorang yang berkuasa memaksa mereka (supaya masing-masing beriman). Oleh itu, berilah peringatan dengan
Al-Quran ini kepada orang yang takutkan janji azabKu. (surah al-Qaf ayat 45)
3. Berlebih-lebihan dalam mencintai dunia dan melupakan akhirat.
Segala tumpuan fikiran dan hatinya semata-mata hanya untuk dunia tanpa memikirkan bekalan untuk kehidupan semata-
mata. Urusan sesama manusia hanya semata-mata untuk keuntungan atau mengumpulkan kekayaan dunia semata-mata yang
mana menjadikan seseorang itu menjadi ego,dengki, dan individualistik, bakhil serta tamak terhadap kekayaan dunia yang
hanya sementara ini.
4. Kurang mengagungkan Allah berbanding mengagungkan makhluk.
Sehingga hilang rasa cemburu dalam hati dalam mengejar rahmat Allah dan imannya. Sehingga hilang kemanisan iman ,
tidak marah ketika larangan Allah diperlecehkan serta tidak mengamalkan amal makruf serta tidak memperdulikan terhadap
segala kemaksiatan dan dosa.
5. Tidak belajar dengan Ayat Kauniah.
Tidak terpengaruh dengan peristiwa-peristiwa yang dapat memberi pengajaran seperti kematian,sakit,bencana dan
seumpamanya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai perkara biasa, padahal cukuplah
kematian itu sebagai nasihat seperti firman Allah :

BAB VI
ADAB DALAM BERDO’A

A. Pengertian Do'a
DO’A adalah memohon atau meminta pertolongan kepada Allah SWT. Akan tetapi bukan berarti hanya orang-orang yang
sedang ditimpa musibah saja yang layak memanjatkan do’a. Dalam keadaan segar-bugar dan tidak kekurangan suatu apa pun,
sebagai manusia, kiranya kita layak berdo’a. Setidaknya berdo’alah memohon perkenan Allah SWT untuk mengampuni segala
dosa-dosa, baik yang kita segaja maupun tidak. Juga meminta tetap diberi kekuatan iman dan kesehatan agar dapat
melaksanakan segala perintah-Nya. Lalu memohon perlindungan-Nya dari gangguan setan dan hawa nafsu kita sendiri supaya
tidak terjerembab dalam jurang maksiat.
Apalagi jika kita sadari bahwa situasi dan kondisi yang kita hadapi sehari-hari berputar bagai roda pedati. Mungkin saja
hari ini kita bisa beribadah dengan baik dan ikhlas, namun siapa tahu hari- hari berikutnya kita didera rasa malas? Boleh jadi
hari ini kita begitu bahagia, tetapi siapa tahu nasib kita pada esok atau lusa menjadi sebaliknya? Karena itulah dalam keadaan
sebaik apa pun kita tetap perlu berdo’a. Muhammad Rasulullah saw. bersabda, "Tiada sesuatu yang paling mulia dalam -
pandangan Allah, selain dari berdo’a kepada-Nya, sedang kita dalam keadaan lapang." (HR. Al-Hakim).
Tentu saja dalam berdo’a jangan memohon sesuatu yang menurut kita baik, padahal sesungguhnya buruk. Suatu misal
karena sudah lama menderita sakit parah, karena merasa selalu tersiksa lalu kita memohon kematian. Bukankah seharusnya
kita memohon kesembuhan. Nabi saw. juga melarang kita memohon mati. Abu Huroiroh ra. mengutarakan, Muhammad
Rasulullah saw. bersabda, Sekali-kali janganlah kalian meminta mati. Jangan pula mendo’akannya sebelum mati itu datang
sendiri. Sebab jika kamu telah mati, maka berhentilah kalian beramal. Sesungguhnya bertambah panjang umur seorang
mukmin, bertambah pula kebaikan yang dapat diperbuatnya". (HR. Muslim)
Allah SWT juga berjanji untuk mengabulkan do’a para hamba- Nya. Dan Tuhanmu berfirman, "Berdo’alah kepada-Ku,
niscaya Aku perkenankan bagimu." (QS. 40/Al- Mukmin: 60) "Dan Dia memperkenankan (do’a) orang-orang yang beriman
dan mengerjakan kebajikan serta menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya. (QS. 42/Asy- Syuro: 26)
Dalam hadits juga diungkapkan bahwa Allah SWT tidak akan menolak do’a hamba-Nya. Muhammad Rasulullah saw.
bersabda, "Sesungguhnya Allah, Tuhan Yang Maha Hidup lagi Maha Mulia, merasa malu jika seseorang mengangkat kedua
tangannya untuk berdo’a, lalu orang itu ditolak dengan kosong dan kecewa". (HR. Empat Ahli Hadits, kecuali Nasai dari
Salman ra.)
Dengan demikian setiap do’a pasti dikabulkan oleh-Nya. Bahkan ada tiga orang yang mendapat prioritas do’anya segera
dikabulkan.
Muhammad Rasulullah saw. menerangkan, "Ada tiga orang yang sekali- kali tidak akan ditolak do’anya oleh Allah SWT,
ialah orang yang sedang berpuasa sampai waktu menjelang berbuka, kepala negara yang adil, dan orang yang teraniaya."
(HR. Tirmidzi dari Abu Huroiroh ra.)
Jika do’a-do’a yang telah kita panjatklan belum terkabulkan, bukan berarti bahwa do’a kita tersebut ditolak. Muhammad
Rasulullah saw. bersabda: "Apabila seorang muslim menyungkurkan wajahnya (sujud) kepada Allah dalam memohon sesuatu,
pasti Allah memberinya. Dan pemberian itu disegerakan atau menjadi simpanan di akhirat". (HR. Ahmad dari Abu Huroiroh
ra.).

B. Fungsi Do’a
Do’a merupakan unsur yang paling esensial dalam ibadah. Muhammad Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada sesuatu yang
lebih mulia di sisi Allah Ta’ala dibandingkan do’a". (HR. Ahmad, Bukhori, Tirmidzi dan Nasai) Sebab sebagaimana
diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Anas ra., menurut Nabi saw. do’a adalah ibadah karena:
1. Mematuhi perintah Allah SWT, yakni firman-Nya: "Berdo’alah kamu kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkan do’amu;
2. Do’a merupakan cermin menghambakan diri kepada Allah SWT; dan
3. Pengakuan, bahwa hanya Allah SWT Yang Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, sehingga hanya Dia-lah yang dapat
mengabulkan dan mewujudkan segala keinginan kita.

C. Ada beberapa keutamaan yang akan kita peroleh dalam berdo’a.


1. Do’a adalah ibadah dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Do’a
adalah ibadah.” (HR. Abu Daud no. 1479, At Tirmidzi no. 2969, Ibnu Majah no. 3828 dan Ahmad 4/267; dari An Nu’man
bin Basyir)
2. Do’a itu amat bermanfaat dengan izin Allah. Manfaat do’a ada dalam tiga keadaan sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits berikut, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan
silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan
do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan
yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad 3/18,
dari Abu Sa’id. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid)
3. Do’a adalah sebab kuat dan semakin mendapatkan pertolongan menghadapi musuh.
4. Do’a merupakan bukti benarnya iman dan pengenalan seseorang pada Allah baik dalam rububiyah, uluhiyah maupun nama
dan sifat-Nya. Do’a seorang manusia kepada Rabbnya menunjukkan bahwa ia yakini Allah itu ada dan Allah itu Maha
Ghoni (Maha Mencukupi), Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Pengasih, Maha Mampu, Rabb yang berhak diibadahi
semata tidak pada selainnya.
5. Do’a menunjukkan bukti benarnya tawakkal seseorang kepada Allah Ta’ala. Karena seorang yang berdo’a ketika berdo’a,
ia berarti meminta tolong pada Allah. Ia pun berarti menyerahkan urusannya kepada Allah semata tidak pada selain-Nya.
6. Do’a adalah sebagai peredam murka Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ضبُ َعلَي ِه‬ َ ‫َمنُلَمُيَسأ َ ِل‬
َ ‫َُّللاَُيَغ‬
“Barangsiapa yang tidak meminta pada Allah, maka Allah akan murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 3373. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
7. Allah menyertai hamba-nya yang berdo’a. Muhammad Rasulullah saw. bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman: Aku
selalu dalam persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku selalu bersamanya ketika ia berdo’a kepada-Ku." (HR. Bukhori
Muslim dari Abu Huroiroh ra)
8. Do’a senjata orang mukmin. Muhammad Rasulullah saw. bersabda, "Do’a adalah senjata orang mukmin, dan tiang agama,
serta cahaya langit dan bumi". (HR. Hakim dari Ali bin Abi Tholib ra.)
9. Do’a datangkan keselamatan. Muhammad Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah engkau merasa lemah untuk berdo’a,
sebab sesungguhnya tidak seorang pun yang binasa selama ia tetap berdo’a". (HR. Ibnu Hiban dan Hakim dari Anas ra.)
10. Do’a menolak bencana, dan menolak tipu daya musuh. Muhammad Rasulullah saw. bersabda, "Do’a berguna terhadap
apa saja yang telah menimpa seseorang, dan hal-hal yang belum turun kepadanya. Sesungguhnya bencana pasti akan turun,
dan akan ditemui oleh, do’a. Lalu keduanya selalu bersaingan sampai hari kiamat".(HR. Bazaar dan Thobroni dari Aisyah
ra.) Maksudnya, bencana senantiasa mengintai manusia, dan semua itu dapat ditolak hanya dengan do’a.
Memanjatkan do’a kepada Allah SWT, pertanda beriman kepada- Nya. Itulah sebabnya do’a dikatakan sebagai tiang
agama. Do’a yang dipanjatkan oleh orang-orang beriman tersebut, jika diawali atau diakhiri dengan bacaan sholawat, akan
dibawa naik oleh para malaikat. Maka tidak salah jika do’a itu diibaratkan cahaya langit dan bumi.

D. Adab Dalam Berdo’a


1. Mencari Waktu yang Mustajab
Di antara waktu yang mustajab adalah hari Arafah, Ramadhan, sore hari Jumat, dan waktu sahur atau sepertiga malam
terakhir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ُمنُيستغفرنى‬،‫ُمنُيسألنىُفأعطيه‬،‫ُمنُيدعونىُفأستجبُله‬:‫ينزلُهللاُتعالىُكلُليلةُإلىُالسماءُالدنياُحينُيبقىُثلثُالليلُاۡلخيرُفيقولُعزُوجل‬
‫فأغفرُله‬
“Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ‘Siapa yang berdo’a
kepada-Ku, Aku kabulkan, siapa yang meminta, akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampunan pasti Aku ampuni’.”
(HR. Muslim)
2. Memanfaatkan Keadaan yang Mustajab Untuk Berdo’a
Di antara keadaan yang mustajab untuk berdo’a adalah: ketika perang, turun hujan, ketika sujud, antara adzan dan iqamah,
atau ketika puasa menjelang berbuka.
Abu Hurairah radhiallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka ketika jihad fi sabillillah sedang
berkecamuk, ketika turun hujan, dan ketika iqamah shalat wajib. Manfaatkanlah untuk berdo’a ketika itu.” (Syarhus
Sunnah al-Baghawi, 1: 327)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Do’a antara adzan dan iqamah tidak tertolak.” (HR. Abu Daud, Nasa’i,
dan Tirmidzi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keadaan terdekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sujud.
Maka perbanyaklah berdo’a.” (HR. Muslim)
3. Menghadap Kiblat dan Mengangkat Tangan
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Padang Arafah, beliau menghadap
kiblat, dan beliau terus berdo’a sampai matahari terbenam. (HR. Muslim)
Dari Salman radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian itu
Malu dan Maha Memberi. Dia malu kepada hamba-Nya ketika mereka mengangkat tangan kepada-Nya kemudian
hambanya kembali dengan tangan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan beliau hasankan)
Cara mengangkat tangan:
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdo’a, beliau
menggabungkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya setinggi wajahnya (wajah menghadap telapak tangan). (HR.
Thabrani)
4. Dengan Suara Lirih dan Tidak Dikeraskan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ً ‫س ِب‬
ُ‫يَل‬ َ ُ َ‫اُوابت َغُِ َبينَ ُذَلِك‬
َ ‫ُو َلُتهخَافِتُ ِب َه‬
َ َ‫ص ََلتِك‬
َ ِ‫َو َلُت َج َهرُب‬
“Janganlah kalian mengeraskan do’a kalian dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara
kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Zakariya ‘alaihis salam, yang berdo’a dengan penuh khusyu’ dan suara lirih.
‫ىُربَههُنِ ُدَا ًءُ َخ ِفيًّا‬
َ َ‫)ُإِذُنَاد‬2(ُ‫ُِربِكَ ُ َعبدَههُزَ ك َِريَا‬
َ ‫ُرح َمت‬
َ ‫ذِك هر‬
“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia
berdo’a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 2–3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
َُ‫ًاُو هخفيَةًُإِنَه َهُلُي ِهحبُّ ُال همعتَدِين‬ َُ َ ‫هواُربَ هكمُت‬
َ ‫ض ُّرع‬ َ ‫ادع‬
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)
Dari Abu Musa radhiallahu’anhu bahwa suatu ketika para sahabat pernah berdzikir dengan teriak-teriak. Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
َ ُ‫ُإِنَهه‬،ُ‫ُإِنَههُ َمعَ هكم‬،ُ‫ُولَُغَائِبًا‬
ٌُ‫س ِمي ٌُعُقَ ِريب‬ َ َ ‫ُفَإِنَ هكمُلَُت َدعهونَ ُأ‬،ُ‫ُاربَعهواُ َعلَىُأَنفه ِس هكم‬،ُ‫اس‬
َ ‫ص َم‬ ‫يَاُأَيُّ َهاُالنَ ه‬
“Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya
Allah bersama kalian, Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.” (HR. Bukhari)
5. Berendah Diri dan Suara yang Lembut
Do’a yang terbaik adalah do’a yang ada dalam Alquran dan sunah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
َُ‫ًاُو هخفيَةًُإِنَه َهُلُي ِهحبُّ ُال همعتَدِين‬ َ َ ‫هواُربَ هكمُت‬
َ ‫ض ُّرع‬ َ ‫ادع‬
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)
6. Khusyu’, Merendahkan Hati, dan Penuh Harap. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
َُ‫ًاُوكَانهواُلَنَاُخَا ِش ِعين‬ َ ‫َاُر َغب‬
َ ‫ًاُو َر َهب‬ َ ‫ُِو َيدعهونَن‬
َ ‫ارعهونَ ُ ِفيُالخَي َرات‬
ِ ‫س‬َ ‫ِإنَ ههمُكَانهواُ هي‬
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka berdo’akepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.”
(QS. Al-Anbiya': 90)
7. Memantapkan Hati Dalam Berdo’a dan Berkeyakinan Untuk Dikabulkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫كرهُله‬
ِ ‫لُيقلُأحدكمُإذاُدعاُاللهمُاغفرُليُإنُشئتُاللهمُارحمنيُإنُشئتُليعزمُالمسألةُفإنهُلُ هم‬
“Janganlah kalian ketika berdo’a dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau mau. Ya Allah, rahmatilah
aku, jika Engkau mau’. Hendaknya dia mantapkan keinginannya, karena tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian berdo’a, hendaknya
dia mantapkan keinginannya. Karena Allah tidak keberatan dan kesulitan untuk mewujudkan sesuatu.” (HR. Ibn Hibban
dan dishahihkan Syua’ib Al-Arnauth)
Di antara bentuk yakin ketika berdo’a adalah hatinya sadar bahwa dia sedang meminta sesuatu. Dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ادعواُهللاُوأنتمُموقنونُباۡلجابةُواعلمواُأنُهللاُلُيستجيبُدعاءُمنُقلبُغافلُله‬
“Berdo’alah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a
dari hati yang lalai, dan lengah (dengan do’anya).” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani)
Banyak orang yang lalai dalam berdo’a atau bahkan tidak tahu isi do’a yang dia ucapkan. Karena dia tidak paham bahasa
Arab, sehingga hanya dia ucapkan tanpa direnungkan isinya.
8. Mengulang-ulang Do’a dan Merengek-rengek Dalam Berdo’a
Misalnya, orang berdo’a: Yaa Allah, ampunilah hambu-MU, ampunilah hambu-MU…, ampunilah hambu-MU yang penuh
dosa ini. ampunilah ya Allah…. Dia ulang-ulang permohonannya. Semacam ini menunjukkan kesungguhhannya dalam
berdo’a.
Ibn Mas’ud mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdo’a, beliau mengulangi tiga kali. Dan
apabila beliau meminta kepada Allah, beliau mengulangi tiga kali. (HR. Muslim)
9. tidak tergesa-gesa agar segera dikabulkan, dan menghindari perasaan: mengapa do’aku tidak dikabulkan atau kalihatannya
Allah tidak akan mengabulkan do’aku.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫يهست َ َجابه ُۡل َ َح ِد هكمُ َماُلَمُُيَع َجلُ َيقهولهُدَ َعوته ُفَلَمُيهست َ َجبُ ِلى‬
“Akan dikabulkan (do’a) kalian selama tidak tergesa-gesa. Dia mengatakan, ‘Saya telah berdo’a, namun belum saja
dikabulkan‘.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sikap tergesa-gesa agar segera dikabulkan, tetapi do’anya tidak kunjung dikabulkan, menyebabkan dirinya malas berdo’a.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ُيقولُقدُدعوتُوقدُدعوتُفلمُأرُيستجيب‬:‫ُياُرسولُهللاُوماُالستعجال؟ُقال‬:‫ُقيل‬،‫ُماُلمُيستعجل‬،‫لُيزالُالدعاءُيستجابُللعبدُماُلمُيدعُبإثمُأوُقطيعةُرحم‬
‫ُفيستحسرُعندُذلكُويدعُالدعاءُرواهُمسلم‬،‫لي‬
“Do’a para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdo’a yang isinya dosa atau memutus silaturrahim, selama
dia tidak terburu-buru.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud terburu-buru dalam berdo’a?” Beliau
bersabda, “Orang yang berdo’a ini berkata, ‘Saya telah berdo’a, Saya telah berdo’a, dan belum pernah dikabulkan’.
Akhirnya dia putus asa dan meninggalkan do’a.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Sebagian ulama mengatakan: “Saya pernah berdo’a kepada Allah dengan satu permintaan selama dua puluh tahun dan
belum dikabulkan, padahal aku berharap agar dikabulkan. Aku meminta kepada Allah agar diberi taufiq untuk
meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting bagiku.”
10. Memulai Do’a dengan Memuji Allah dan Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Bagian dari adab ketika memohon dan meminta adalah memuji Dzat yang diminta. Demikian pula ketika hendak berdo’a
kepada Allah. Hendaknya kita memuji Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang mulia (Asma-ul husna).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar ada orang yang berdo’a dalam shalatnya dan dia tidak memuji Allah
dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, “Orang ini terburu-buru.”
kemudian beliau bersabda,
‫إذاُصلىُأحدكمُفليبدأُبتحميدُربهُجلُوعزُوالثناءُعليهُثمُليصلُعلىُالنبيُصلىُهللاُعليهُوسلمُثمُيدعوُبماُشاء‬
“Apabila kalian berdo’a, hendaknya dia memulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berdo’alah sesuai kehendaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan
dishahihkan Al-Albani)
11. Memperbanyak Taubat dan Memohon Ampun Kepada Allah
Banyak mendekatkan diri kepada Allah merupakan sarana terbesar untuk mendapatkan cintanya Allah. Dengan dicintai
Allah, do’a seseorang akan mudah dikabulkan. Di antara amal yang sangat dicintai Allah adalah memperbanyak taubat
dan istighfar.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ُُ‫ُ َو ِإن‬،.…ُ‫ُفَإِذَاُأَح َببتهههُ هكنته‬،ُ‫ىُ ِبالنَ َوا ِف ِلُ َحتَىُأ ه ِح َبهه‬
ُ‫سأَلَ ِنى‬ َ َُ‫ُو َماُ َيزَ الهُ َعبدِىُ َيتَقَ َربه ُ ِإل‬،ُ
َ ‫ُم َماُافت ََرضته ُ َعلَي ِه‬
ِ ‫ى‬َ َ‫ىُ َعبدِىُ ِبشَىءٍ ُأ َ َحبَ ُ ِإل‬ َ ‫بُ ِإ َل‬
َ ‫َو َماُت َ َق َر‬
‫ه‬ ُِ ِ‫ُ َولَئ‬،ُ‫ۡلهع ِطيَنَ ُهه‬
‫نُاستَعَاذَنِىُۡل ِعيذَ َن ُهه‬
“Tidak ada ibadah yang dilakukan hamba-Ku yang lebih Aku cintai melebihi ibadah yang Aku wajibkan. Ada hamba-Ku
yang sering beribadah kepada-Ku dengan amalan sunah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka …jika
dia meminta-Ku, pasti Aku berikan dan jika minta perlindungan kepada-KU, pasti Aku lindungi..” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan bahwa ketika terjadi musim kekeringan di masa Umar bin Khatab, beliau meminta kepada Abbas untuk
berdo’a. Ketika berdo’a, Abbas mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun musibah dari langit kecuali karena
perbuatan dosa. dan musibah ini tidak akan hilang, kecuali dengan taubat…”
12. Hindari Mendo’akan Keburukan, Baik Untuk Diri Sendiri, Anak, Maupun Keluarga
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, mencela manusia yang berdo’a dengan do’a yang buruk,
ً‫ل‬
ُ ‫سانه ُ َع هجو‬ ِ َ‫ُو َكان‬
َ ‫ُاۡلن‬ َ ‫سانه ُبِال‬
َ ‫ش ِرُد ه َعاءههُبِالخَي ِر‬ َ ‫هُاۡلن‬
ِ ‫َويَدع‬
“Manusia berdo’a untuk kejahatan sebagaimana ia berdo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
(QS. Al-Isra': 11)
ُ‫يُ ِإلَي ِهمُأ َ َجله ههم‬ ِ ‫ش َرُاستِع َجالَ ههمُ ِبالخَي ِرُلَقه‬
َ ‫ض‬ َ ‫َولَوُيه َع ِجل‬
ِ َ‫هَُّللاهُلِلن‬
َ ‫اسُال‬
“Kalau sekiranya Allah menyegerakan keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan
kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka (binasa).” (QS. Yunus: 11)
Ayat ini berbicara tentang orang yang mendo’akan keburukan untuk dirinya, hartanya, keluarganya, dengan do’a
keburukan.
Dari Jabir radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫ُلُتوافقُمنُهللاُساعةُيسألُفيهاُعطاءُفيستجاب‬،‫ُولُتدعواُعلىُأموالكم‬،‫ُولُتدعواُعلىُخدمكم‬،‫ُولُتدعواُعلىُأولدكم‬،‫لُتدعواُعلىُأنفسكم‬
‫لكم‬
“Janganlah kalian mendo’akan keburukan untuk diri kalian, jangan mendo’akan keburukan untuk anak kalian, jangan
mendo’akan keburukan untuk pembantu kalian, jangan mendo’akan keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi ketika
seorang hamba berdo’a kepada Allah bertepatan dengan waktu mustajab, pasti Allah kabulkan.” (HR. Abu Daud)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫لُيزالُالدعاءُيستجابُللعبدُماُلمُيدعُبإثمُأوُقطيعةُرحم‬
“Do’a para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdo’a yang isinya dosa atau memutus silaturrahim.” (HR.
Muslim dan Abu Daud)
13. Menghindari Makanan dan Harta Haram
Makanan yang haram menjadi sebab tertolaknya do’a.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ُ‫ُِواع َملهوا‬
ُ‫صا ِل ًحاُ ِإنِىُ ِب َما‬ َ ‫ط ِيبَات‬ َ ‫واُمنَ ُال‬
ِ ‫سلهُ هكله‬ ‫اُالر ه‬ ُّ ‫س ِلينَ ُفَقَالَُ(ُيَاُأَيُّ َه‬
َ ‫َُّللاَُأ َ َم َرُال همؤ ِمنِينَ ُ ِب َماُأَ َم َرُ ِب ِهُال همر‬
َ ‫ًاُو ِإ َن‬
َ ‫ط ِيب‬ َ َُ‫ط ِيبٌ ُلَُيَقبَلهُ ِإل‬ َ َُ‫َُّللا‬
َ ‫اسُ ِإ َن‬ ‫أَيُّ َهاُالنَ ه‬
‫ه‬
‫بُ )تَع َملونَ ُ َع ِلي ٌُم‬ ُِ ‫بُيَاُ َر‬
ُِ ‫اءُيَاُ َر‬
ُِ ‫س َم‬ َ َ َ
َُ َ‫سفَ َُرُأشع‬
َ ‫ثُأغبَ َُرُيَ هم ُدُُّيَدَي ُِهُإِلىُال‬ َ ‫لُال‬ ُ‫لُي ِهطي ه‬ َُ ‫ج‬
ُ‫الر ه‬ َ ‫ه‬ ‫ه‬
َُ ‫ُث َُمُذك‬.»ُ)‫اُرزَ قنَاكم‬
َ ُ‫َر‬ َ
َ ‫واُمنُطيِبَاتُِ َم‬ ‫ه‬ ‫ه‬ َ َ
ِ ‫َوقَالَُ(يَاُأيُّ َهاُالذِينَ ُآ َمنهواُكل‬
َُ‫ِىُ ِبالُ َح َر ِامُفَأَنَىُيهستَ َجابه ُ ِلذَ ِلك‬َُ ‫غذ‬‫س ُههُ َح َرا ٌُمُ َو ه‬‫َو َمط َع هم ُههُ َح َرا ٌُمُ َو َمش َربه ُههُ َح َرا ٌُمُ َو َملبَ ه‬
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyib (baik). Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik
pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada
para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’. Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang
beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya.
Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a, ‘Wahai
Tuhanku, wahai Tuhanku’. Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya
dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan
do’anya?” (HR. Muslim)
14. Berdo'a Meminta Perlindungan Dengan Telapak Tangan Bagian Luar
‫عنُخَلدُبنُالسائبُالنصاريُرضُانُالنبيُصلعمُكانُاداُسالُجعلُباطنُكفيهُاليهُواداُاستعادُجعلُظاهرهماُاليه‬
“Rasulullah ketika berdo'a meminta kebaikan, Beliau tengadahkan telapak tangannya yang bagian dalam ke atas.
Sementara ketika berdo'a meminta perlindungan (dari keburukan), telapak tangan bagian luar Beliau yang mengarah ke
atas.” (HR. Imam Ahmad bin Hanbal dari Sahabat Khollad bin al-Saib. Hadits ini kualitasnya HASAN)
BAB VII
ADAB DALAM MEMBACA AL QUR’AN

Al Qur'an sebagai Kitab Suci, Wahyu Ilahi, mempunyai adab-adab tersendiri bagi orang-orang yang membacanya.
Adab-adab itu sudah diatur dengan sangat baik, untuk penghormatan dan keagungan Al Quran; tiap-tiap orang harus
berpedoman kepadanya dan mengerjakannya.
Imam Al Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumuddin telah memperinci dengan sejelas-jelasnya bagaimana hendaknya
adab-adab membaca Al Qur'an menjadi adab yang mengenal batin, dan adab yang mengenal lahir.
Adab yang mengenal batin itu, diperinci lagi menjadi arti memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat
Allah, menghadirkan hati dikala membaca sampai ke tingkat memperluas, memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa.
Dengan demikian, kandungan Al Quran yang dibaca dengan perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam
hati sanubarinya. Kesemuanya ini adalah adab yang berhubungan dengan batin, yaitu dengan hati dan jiwa.
Sebagai contoh, Imam Al Gazhali menjelaskan, bagaimana cara hati membesarkan kalimat Allah, yaitu bagi pembaca
Al Qur'an ketika ia memulainya, maka terlebih dahulu ia harus menghadirkan dalam hatinya, betapa kebesaran Allah yang
mempunyai kalimat-kalimat itu. Dia harus yakin dalam hatinya, bahwa yang dibacanya itu bukanlah kalam manusia, tetapi
adalah kalam Allah Azza wa Jalla. Membesarkan kalam Allah itu, bukan saja dalam membacanya, tetapi juga dalam menjaga
tulisan-tulisan Al Quran itu sendiri.
Sebagaimana yang diriwayatkan, 'Ikrimah bin Abi Jahl, sangat gusar hatinya bila melihat lembaran-lembaran yang
bertuliskan Al Quran berserak-serak seolah-olah tersia-sia, lalu ia memungutnya selembar demi selembar, sambil berkata:"Ini
adalah kalam Tuhanku! Ini adalah kalam Tuhanku, membesarkan kalam Allah berarti membesarkan Allah."
Adapun mengenai adab lahir dalam membaca Al Quran, selain didapati di dalam kitab Ihya Ulumuddin, juga banyak
terdapat di dalam kitab-kitab lainnya. Misalnya dalam kitab Al Itqan oleh Al Imam Jalaludin As Suyuthi, tantang adab membaca
Al Quran itu diperincinya sampai menjadi beberapa bagian.
Diantara adab-adab membaca Al Quran, yang terpenting ialah:
1. Disunatkan membaca Al Quran sesudah berwudhu, dalam keadaan bersih, sebab yang dibaca adalah wahyu Allah.
2. Mengambil Al Quran hendaknya dengan tangan kanan; sebaiknya memegangnya dengan kedua belah tangan.
3. Disunatkan membaca Al Quran di tempat yang bersih, seperti di rumah, di surau, di mushalla dan di tempat-tempat lain
yang dianggap bersih. Tapi yang paling utama ialah di mesjid.
4. Disunatkan membaca Al Quran menghadap ke Qiblat, membacanya dengan khusyu' dan tenang; sebaiknya dengan
berpakaian yang pantas.
5. Ketika membaca Al Quran, mulut hendaknya bersih, tidak berisi makanan, sebaiknya sebelum membaca Al Quran mulut
dan gigi dibersihkan terlebih dahulu.
6. Sebelum membaca Al Quran disunatkan membaca ta'awwudz, yang berbunyi: a'udzubillahi minasy syaithanirrajim.
Sesudah itu barulah dibaca Bismillahirrahmanir rahim. Maksudnya, diminta lebih dahulu perlindungan Allah, supaya
terjauh pengaruh tipu daya syaitan, sehingga hati dan fikiran tetap tenang di waktu membaca Al quran, dijauhi dari
gangguan. Biasa juga orang yang sebelum atau sesudah membaca ta'awwudz itu, berdoa dengan maksud memohon kepada
Alah supaya hatinya menjadi terang. Doa itu berbunyi sebagai berikut. "Ya Allah bukakanlah kiranya kepada kami hikmat-
Mu, dan taburkanlah kepada kami rahmat dan khazanah-Mu, ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
7. Disunatkan membaca Al Quran dengan tartil, yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan tenang, sesuai dengan firman
Allah dalam surat (73) Al Muzammil ayat 4: "....Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil". Membaca dengan tartil itu lebih
banyak memberi bekas dan mempengaruhi jiwa, serta serta lebihmendatangkan ketenangan batin dan rasa hormat kepada
Al Quran.
Telah berkata Ibnu Abbas r.a.:" Aku lebih suka membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran dengan tartil, daripada kubaca
seluruh Al Quran dengan cara terburu-buru dan cepat-cepat."
8. Bagi orang yang sudah mengerti arti dan maksud ayat-ayat Al Quran, disunatkan membacanya dengan penuh perhatian
dan pemikiran tentang ayat-ayat yang dibacanya itu dan maksudnya. Cara pembacaan seperti inilah yang dikehendaki,
yaitu lidahnya bergerak membaca, hatinya turut memperhatikan dan memikirkan arti dan maksud yang terkandung dalam
ayat-ayat yang dibacanya. Dengan demikian, ia akan sampai kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu membaca Al Quran
serta mendalami isi yang terkandung di dalamnya.Hal itu akan mendorongnya untuk mengamalkan isi Al Quran itu. Firman
Allah dalam surat (4) An Nisaa ayat 82 berbunyi sebagai berikut:
"Apakah mereka tidak memperhatikan (isi) Al Quran?..."
Bila membaca Al Quran yang selalu disertai perhatian dan pemikiran arti dan maksudnya, maka dapat ditentukan
ketentuan-ketentuan terhadap ayat-ayat yang dibacanya.
Umpamanya: Bila bacaan sampai kepada ayat tasbih, maka dibacanya tasbih dan tahmid; Bila sampai pada ayat Doa dan
Istighfar, lalu berdoa dan minta ampun; bila sampai pada ayat azab, lalau meminta perlindungan kepada Allah; bila sampai
kepada ayat rahmat, lalu meminta dan memohon rahmat dan begitu seterusnya. Caranya, boleh diucapkan dengan lisan
atau cukup dalam hati saja.
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dari Ibnu Abbas yang maksudnya sebagai berikut: "Sesungguhnya Rasulullah
s.a.w. apabila membaca: "sabbihissma rabbikal a'la beliau lalu membaca subhanarobbiyal a'la . Diriwayatkan pula oleh
Abu Daud, dan Wa-il binHijr yang maksudnya sebagai berikut:" Aku dengan Rasulullah membaca surat Al Fatihah , maka
Rasulullah sesudah membaca walad dholliin lalu membaca aamin . Demikian juga disunatkan sujud, bila membaca ayat-
ayat sajadah, dan sujud itu dinamakan sujud tilawah.
Ayat-ayat sajadah itu terdapat pada 15 tempat yaitu:
1. Dalam surat Al-A'raaf ayat 206
2. Dalam surat Ar-ra'd ayat 15
3. Dalam surat An-Nahl ayat 50
4. Dalam surat Bani Israil ayat 109
5. Dalam surat Maryam ayat 58
6. Dalam surat Al-Haji ayat 18 dan ayat 77
7. Dalam surat Al Furqaan ayat 60
8. Dalam surat Annaml ayat 26
9. Dalam surat As-Sajdah ayat 15
10. Dalam surat As-Shad ayat 24
11. Dalam surat Haamim ayat 38
12. Dalam surat An-Najm ayat 62
13. Dalam surat Al-Insyiqaq ayat 21, dan
14. Dalam surat Al-'Alaq ayat 19
9. Dalam membaca Al Quran itu, hendaknya benar-benar diresapkan arti dan maksudnya, lebih-lebih apabila sampai pada
ayat-ayat yang menggambarkan nasib orang-orang yang berdosa, dan bagaimana hebatnya siksaan yang disediakan bagi
mereka. Sehubungan dengan itu, menurut riwayat, para sahabat banyak yang mencucurkan air matanya di kala membaca
dan mendengar ayat-ayat suci Al Quran yang menggambarkan betapa nasib yang akan diderita oleh orang-orang yang
berdosa.
10. Disunatkan membaca Al Quran dengan suara yang bagus lagi merdu, sebab suara yang bagus dan merdu itu menambah
keindahan islubnya Al Quran. Rasulullah s.a.w. telah bersabda: "Kamu hiasilah Al Quran itu dengan suaramu yang merdu"
Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam Rasulullah s.a.w. menunggu-nunggu istrinya, Sitti 'Aisyah r.a. yang kebetulan
agak terlambat datangnya. Setelah ia datang, Rasulullah bertanya kepadanya:" Bagaimanakah keadaanmu?" Aisyah
menjawab :"Aku terlambat datang, karena mendengarkan bacaan Al Quran seseorang yang sangat bagus lagimerdu
suaranya. Belum pernah akumendengarkan suara sebagus itu." Maka Rasulullah terus berdiri dan pergi mendengarkan
bacaan Al Quran yang dikatakan Aisyah itu. rasulullah kembali dan mengatakan kepada Aisyah:" Orang itu adalah Salim,
budak sahaya Abi Huzaifah. Puji-pujian bagi Allah yang telah menjadikan orang yang suaranya merdu seperti Salim itu
sebagai ummatku."
Oleh sebab itu, melagukan Al Quran dengan suara yang bagus, adalah disunatkan, asalkan tidak melanggar ketentuan-
ketentuan dan tata cara membaca sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ilmu qiraat dan tajwid, seperti menjaga
madnya, harakatnya (barisnya) idghamnya dan lain-lainnya.
Di dalam kitab zawaidur raudhah, diterangkan bahwa melagukan Al Quran dengan cara bermain-main serta melanggar
ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas itu, haramlah hukumnya; orang yang membacanya dianggap fasiq, juga orang
yang mendengarkannya turut berdosa.
Sedapat-dapatnya membaca Al Quran janganlah diputuskan hanya karena hendak berbicara dengan orang lain. Hendaknya
pembacaan diteruskan sampai ke batas yang telah ditentukan, barulah disudahi. Juga dilarang tertawa-tawa, bermain-main dan
lain-lain yang semacam itu, ketika sedang membaca Al Quran. Sebab pekerjaan yang seperti itu tidak layak dilakukan sewaktu
membaca Kitab Suci dan berarti tidak menghormati kesuciannya.

Anda mungkin juga menyukai