Catatan Kuliah An Real PDF
Catatan Kuliah An Real PDF
Disusun oleh
Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si.
Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si.
Buku ini ditulis dalam rangka pengadaan buku ajar mata kuliah Analisis I, yang
merupakan mata kuliah wajib. Buku ini berisi materi yang diperuntukan bagi
mahasiswa yang telah mengambil mata Kalkulus I dan Kalkulus II. Topik-topik
dalam buku ini sebenarnya sudah dikenal oleh mahasiswa yang telah mengambil
kedua mata kuliah tersebut. Hanya saja, materi pada buku ini lebih abstrak,
teoritis, dan mendalam. Materi pada buku ini merupakan materi dasar analisis
real. Analisis real merupakan alat yang esensial, baik di dalam berbagai cabang
dari matematika maupun bidang ilmu-ilmu lain, seperti fisika, kimia, dan ekonomi.
Mata kuliah Analisis I adalah gerbang menuju mata kuliah yang lebih lanjut, baik
di dalam maupun di luar jurusan Matematika. Jika mata kuliah ini dapat dipahami
dengan baik maka mahasiswa mempunyai modal yang sangat berharga untuk
memahami mata kuliah lain. Diharapkan, setelah mempelajari materi pada buku
ini, mahasiswa mempunyai kedewasaan dalam bermatematika, yang meliputi
antara lain kemampuan berpikir secara deduktif, logis, dan runtut, serta memiliki
kemampuan menganalisis masalah dan mengomunikasikan penyelesaiannya
secara akurat dan rigorous.
Buku ini terdiri dari lima bab. Bab I membahas tentang himpunan bilangan real.
Di dalamnya, dibicarakan tentang sifat aljabar (lapangan), sifat terurut, dan sifat
kelengkapan dari himpunan bilangan real. Kemudian, dibahas tentang himpunan
bagian dari himpunan bilangan real yang dikonstruksi berdasarkan sifat
terurutnya, yang disebut sebagai interval. Dijelaskan pula tentang representasi
desimal dari bilangan real dan menggunakannya untuk membuktikan Teorema
Cantor. Selanjutnya, bab II berisi tentang barisan bilangan real, yang meliputi
definisi dan sifat-sifat barisan, Teorema Bolzano-Weierstrass, kriteria Cauchy,
barisan divergen, dan sekilas tentang deret tak hingga. Kemudian, bab III
mendiskusikan tentang definisi limit fungsi (termasuk limit sepihak, limit di tak
hingga, dan limit tak hingga) dan sifat-sifatnya. Lalu, bab IV membahas
kekontinuan fungsi, yang meliputi definisi fungsi kontinu dan sifat-sifatnya, fungsi
kontinu pada interval, kekontinuan seragam, serta fungsi monoton dan fungsi
invers.
Buku ini masih dalam proses pengembangan dan tentunya masih jauh dari
sempurna. Untuk itu, penulis membuka diri terhadap saran dan kritik dari
pembaca, demi semakin baiknya buku ini sebagai buku ajar mata kuliah wajib
Analisis I.
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
HIMPUNAN BILANGAN REAL
Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dengan sistem
bilangan real sebagai suatu sistem matematika yang memiliki sifat-sifat sebagai
suatu lapangan yang terurut dan lengkap. Yang dimaksud dengan sistem
bilangan real sebagai suatu lapangan di sini adalah bahwa pada himpunan
semua bilangan real R yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan dan
perkalian berlaku sifat-sifat aljabar dari lapangan. Sifat terurut dari R berkaitan
dengan konsep kepositifan dan ketidaksamaan antara dua bilangan real,
sedangkan sifatnya yang lengkap berkaitan dengan konsep supremum atau
batas atas terkecil. Teorema-teorema dasar dalam kalkulus elementer, seperti
Teorema Eksistensi Titik Maksimum dan Minimum, Teorema Nilai Tengah,
Teorema Rolle, Teorema Nilai Rata-Rata, dan sebagainya, didasarkan atas sifat
kelengkapan dari R ini. Sifat ini berkaitan erat dengan konsep limit dan
kekontinuan. Dapat dikatakan bahwa sifat kelengkapan dari R mempunyai
peran yang sangat besar di dalam analisis real.
Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab 1.1 membahas sifat lapangan dari
R . Sub bab 1.2 menjelaskan sifat terurut dari R , dan di dalamnya dibahas juga
tentang konsep nilai mutlak. Pada sub bab 1.3 didiskusikan tentang sifat
kelengkapan dari R . Pada sub bab ini dibahas mengenai sifat Archimedean dan
sifat kerapatan dari himpunan bilangan rasional. Selanjutnya, sub bab 1.4,
menjelaskan tentang interval, sebagai suatu himpunan bagian dari R yang
dikonstruksi berdasarkan sifat terurut dari R . Yang terakhir, sub bab 1.5
membahas tentang representasi desimal dari bilangan real. Pada sub bab ini,
juga dipaparkan bagaimana membuktikan Teorema Cantor dengan
menggunakan konsep representasi desimal dari bilangan real ini. Teorema
Cantor mengatakan bahwa himpunan R merupakan himpunan yang tak
terhitung (uncountable).
setiap a ∈ R
terhadap operasi perkalian :
K1. a ⋅ b = b ⋅ a untuk setiap a, b ∈ R
Teorema 1.2.
a. Jika z, a ∈ R dan z + a = a maka z = 0 .
c. a ⋅ 0 = 0 untuk setiap a ∈ R .
Bukti.
a. Berdasarkan sifat T3, T4, T2, dan hipotesis z + a = a ,
z = z + 0 = z + ( a + ( −a ) ) = ( z + a ) + ( −a ) = a + ( −a ) = 0 .
a + a ⋅ 0 = a ⋅ 1+ a ⋅ 0 = a ⋅ (1 + 0) = a ⋅1 = a .
Teorema 1.3.
a. Jika a, b ∈ R , a ≠ 0 , dan a ⋅ b = 1 maka b = 1/ a .
( a ⋅ b ) ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 0 ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 0 ,
(
Terjadi kontradiksi di sini, yaitu antara pernyataan ( a ⋅ b ) ⋅ 1/ ( a ⋅ b ) = 1 dan )
( a ⋅ b ) ⋅ (1/ ( a ⋅ b ) ) = 0 . Dengan demikian, haruslah bahwa a = 0 atau b = 0 .■
Teorema 1.3.a. mengatakan bahwa eksistensi invers dari suatu elemen di R
adalah unik. Sedangkan Teorema 1.3.b. mengandung arti bahwa perkalian dua
elemen tak nol di R tidaklah mungkin menghasilkan elemen nol.
Di dalam himpunan bilangan real R dikenal pula operasi lain, yaitu operasi
pengurangan ( − ) dan pembagian ( : ). Jika a, b ∈ R maka operasi pengurangan
Seperti yang telah disinggung pada pendahuluan bab ini, sifat terurut dari R
berkaitan dengan konsep kepositifan dan ketidaksamaan antara dua bilangan
real. Seperti apa kedua konsep tersebut? Di sini, kita akan membahasnya.
Terlebih dahulu kita akan membahas konsep kepositifannya.
Sifat 1.4 (Sifat Kepositifan). Terdapat himpunan bagian tak kosong dari R ,
yang dinamakan himpunan bilangan real positif R + , yang memenuhi sifat-sifat :
a. Jika a, b ∈ R + maka a + b ∈ R + .
b. Jika a, b ∈ R + maka a ⋅ b ∈ R + .
− a ∈ R + , pasti terpenuhi.
Sifat 1.4.c. disebut juga sebagai sifat Trichotomy. Sifat ini mengatakan bahwa R
dibangun oleh tiga buah himpunan yang disjoin. Tiga buah himpunan tersebut
{ }
adalah himpunan − a : a ∈ R + yang merupakan himpunan bilangan real negatif,
{
himpunan {0} , dan himpunan bilangan real positif R + . Himpunan − a : a ∈ R + }
bisa juga dituliskan dengan R − . Jika a ∈ R + maka a > 0 dan a dikatakan
bagian dari himpunan R + . Himpunan ini memiliki sifat fundamental, yakni bahwa
setiap himpunan bagian tak kosong dari N memiliki elemen terkecil. Sifat yang
demikian disebut sebagai sifat well-ordering dari N .
berlaku salah satu dari a > b , a = b , atau a < b . Selain itu, dapat ditunjukkan
bahwa jika a ≥ b dan a ≤ b maka a = b . Dari sifat terurut, dapat juga diperoleh
fakta-fakta berikut ini.
Sebelumnya kita telah dikenalkan dengan bilangan real nonnegatif, yaitu elemen
dari himpunan R + U {0}. Jika a > 0 atau a = 0 maka jelas bahwa a ∈ R + U {0} .
Definisi 1.8 (Nilai Mutlak). Nilai mutlak dari bilangan real a , dinotasikan dengan
a , didefinisikan dengan
a, a ≥ 0
a :=
−a , a < 0.
2 =2.
Teorema 1.9.
a. ab = a b untuk setiap a, b ∈ R .
Bukti.
a. Jika a = 0 atau b = 0 maka ab = 0 = 0 dan a b = 0 . Jika a, b > 0 maka
kata lain, a ≥ c . ■
Perhatikan kembali sifat nilai mutlak yang terdapat pada Teorema 1.9. Untuk
2
yang bagian a., jika a = b maka a a = a = a 2 . Untuk bagian b., jika c = a
maka − a ≤ a ≤ a .
Selanjutnya, kita sampai kepada sifat nilai mutlak yang lain, yang dinamakan
dengan Ketidaksamaan Segitiga. Ketidaksamaan ini mempunyai kegunaan yang
sangat luas di dalam matematika, khususnya di dalam kajian analisis dan aljabar.
Teorema 1.10 (Ketidaksamaan Segitiga). Jika a, b ∈ R maka a + b ≤ a + b
( )
kita jumlahkan maka − a + b ≤ a + b ≤ a + b atau a + b ≤ a + b . Bukti untuk
Lebih jauh, sebagai konsekuensi dari Teorema 1.10, kita memiliki akibat berikut
ini.
− a − b ≤ a − b ≤ a − b atau a − b ≤ a − b .
Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana konsep terurut dari R ini diaplikasikan
untuk menyelesaikan masalah-masalah ketidaksamaan.
4x − 2 = 4x + ( −2) ≥ 6 ⇔ 4 x + ( −2) + 2 ≥ 6 + 2 ⇔ 4 x ≥ 8 ⇔ x ≥ 2 .
Tampak bahwa ketidaksamaan 4x − 2 ≥ 6 dipenuhi oleh semua
x ∈{x ∈ : x ≥ 2} . ■
Contoh 1.13. Cari semua penyelesaian dari ketidaksamaan x 2 − x < 6 .
Penyelesaian. Perhatikan bahwa
x−2 x − 2 − 2 ( 2x + 3) −3x − 8
>2⇔ >0⇔ > 0.
2x + 3 2x + 3 2x + 3
Yang demikian berarti −3x − 8 > 0 dan 2x + 3 > 0 , atau −3x − 8 < 0 dan
2x + 3 < 0 . Untuk kasus yang pertama kita peroleh x < −8 / 3 dan x > −3 / 2 .
Namun hal itu tidak mungkin terjadi, artinya tidak ada x yang memenuhi. Untuk
kasus yang kedua kita peroleh x > −8 / 3 dan x < −3/ 2 , atau dengan kata lain
−8 / 3 < x < −3 / 2 . Jadi ketidaksamaan
x−2
>2
2x + 3
memiliki penyelesaian, dan himpunan semua penyelesaiannya adalah
{x ∈ R : −8 / 3 < x < −3 / 2} . ■
2 x + 1, jika x ≥ −1/ 2
2x + 1 =
− ( 2 x + 1) , jika x < −1/ 2.
Penyelesaiannya dibagi menjadi dua kasus, yaitu :
Kasus I, x ≥ −1 / 2 .
Kita peroleh 2 x + 1 = 2 x + 1 < 5 . Akibatnya, 2 x < 4 atau x < 2 . Pada kasus ini,
x, jika x ≥ 0 x + 1, jika x ≥ −1
x = dan x +1 =
− x, jika x < 0 − ( x + 1) , jika x < −1.
Penyelesaiannya kita bagi menjadi tiga kasus terlebih dahulu, yaitu :
Kasus I, x < −1 .
atau 1 < 2 . Ketidaksamaan 1 < 2 dipenuhi oleh semua x ∈ R . Untuk kasus II,
2 x < 1 atau x < 1/ 2 . Untuk kasus III, himpunan penyelesaian dari x + x + 1 < 2
adalah
{x ∈ R : x ≥ 0} I {x ∈ R : x < 1/ 2} = {x ∈ R : 0 ≤ x < 1 / 2} .
x − 3, jika x ≥ 3 x + 2, jika x ≥ −2
x −3 = dan x+2 =
− ( x − 3) , jika x < 3. − ( x + 2 ) , jika x < −2.
Kasus III, x ≥ 3 .
{x ∈ R : x ≥ 3}I {x ∈ R : x ≤ 5 / 2} = { }.
x −3 + x + 2 ≤ 4 . ■
Pada subbab ini kita akan membahas sifat ketiga dari R , yaitu sifat kelengkapan.
Seperti yang telah dikatakan pada pendahuluan bab ini, sifat kelengkapan
berkaitan dengan konsep supremum atau batas atas terkecil. Untuk itu, kita akan
bahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan batas atas dari suatu
himpunan bilangan real, dan kebalikannya, yaitu batas bawahnya.
Definisi 1.19. Misalkan X adalah himpunan bagian tak kosong dari R .
a. Himpunan X dikatakan terbatas atas jika terdapat a ∈ R sedemikian
sehingga a ≥ x , untuk setiap x ∈ X . Bilangan real a yang demikian disebut
sebagai batas atas dari X .
b. Himpunan X dikatakan terbatas bawah jika terdapat b ∈ R sedemikian
sehingga b ≤ x , untuk setiap x ∈ X . Bilangan real b yang demikian disebut
sebagai batas bawah dari X .
c. Himpunan X dikatakan terbatas jika X terbatas atas dan terbatas bawah.
Himpunan X dikatakan tidak terbatas jika X tidak terbatas atas atau tidak
terbatas bawah.
mempunyai batas bawah. Jadi himpunan {x ∈ R : x < 1} terbatas atas tetapi tidak
terbatas bawah, atau juga dapat dikatakan bahwa himpunan tersebut tidak
terbatas.
Berdasarkan paparan sebelumnya, himpunan {x ∈ R : 0 < x < 1} memiliki batas
atas dan batas bawah, atau dengan kata lain himpunan tersebut merupakan
himpunan terbatas. Dari batas-batas bawahnya, kita dapat memilih batas bawah
yang terbesar, yaitu elemen 0. Sedangkan dari batas-batas atasnya, kita dapat
memilih batas atas yang terkecil, yaitu elemen 1. Berikut ini adalah definisi
secara formal dari batas atas terkecil, disebut supremum, dan batas bawah
terbesar, disebut infimum, dari suatu himpunan bilangan real.
xε > a − ε . Jadi kita memperoleh fakta baru, yang ekuivalen dengan fakta
Teorema 1.21. Elemen a ∈ R , batas atas dari X , himpunan bagian tak kosong
dari R , adalah supremum dari X jika dan hanya jika apabila z < a maka
terdapat xz ∈ X sedemikian sehingga xz > z .
Teorema 1.22. Elemen a ∈ R , batas atas dari X , himpunan bagian tak kosong
dari R , adalah supremum dari X jika dan hanya jika untuk setiap ε > 0
terdapat xε ∈ X sedemikian sehingga xε > a − ε .
Bukti Teorema 1.23 dan Teorema 1.24 ditinggalkan sebagai latihan bagi para
pembaca.
Berdasarkan semua penjelasan pada subbab ini, kita mempunyai suatu aksioma
yang sangat esensial. Aksioma inilah yang dimaksud dengan sifat Kelengkapan
dari R , atau biasa juga disebut sifat supremum dari .
atas dari {− x : x ∈ V } jika dan hanya jika −r adalah batas bawah dari V . Jadi
Jelas bahwa 1 adalah batas atas dari S . Selanjutnya, misalkan v < 1 . Perhatikan
elemen 1/ 2 + v / 2 . Dapat ditunjukkan bahwa v < 1/ 2 + v / 2 < 1 . Artinya, setiap
elemen v < 1 bukanlah batas atas dari S . Jelas bahwa v batas atas dari S jika
dan hanya jika v ≥ 1 . Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 1 merupakan batas
atas terkecil dari S . Dengan demikian, 1 merupakan supremum dari S .
Kita akan coba cara lain untuk menunjukkan bahwa 1 merupakan supremum dari
S , seperti yang tertulis pada Teorema 1.22. Diberikan ε > 0 . Di sini kita akan
memilih apakah ada sε ∈ S sedemikian sehingga 1 − ε < sε (pemilihan sε yang
demikian tidaklah unik). Jika kita memilih sε = 1 − ε / 2 maka kita memperoleh apa
yang kita harapkan, karena jelas bahwa sε = 1 − ε / 2 < 1 , atau dengan kata lain
infimum dari I .
Cara lain, adalah dengan menunjukkan seperti apa yang tercantum pada
Teorema 1.24. Diberikan ε > 0 . Kita akan memilih apakah ada iε ∈ I sedemikian
Contoh 1.28. Tunjukkan bahwa jika himpunan S ⊆ R terbatas atas dan a > 0
Lebih jauh, kita akan melihat bagaimana sifat kelengkapan dari R ini digunakan
untuk menunjukkan bahwa himpunan semua bilangan asli N tidak mempunyai
batas atas. Artinya tidak terdapat x ∈ R sedemikian sehingga n ≤ x , untuk
setiap n ∈ N , atau dengan kata lain jika diberikan x ∈ R terdapat n x ∈ N
Akibat 1.30. Jika t > 0 maka terdapat nt ∈ N sedemikian sehingga 0 < 1/ nt < t
Selain Akibat 1.30, sifat Archimedean memilki konsekuensi lain, seperti yang
dinyatakan pada akibat berikut ini.
Akibat 1.31. Jika y>0 maka terdapat n y ∈ N sedemikian sehingga
ny − 1 ≤ y < ny .
demikian ny − 1 ≤ y < ny . ■
Jika kita memiliki dua buah sembarang bilangan rasional yang berbeda, secara
intuitif kita akan mengatakan bahwa di antara keduanya juga terdapat bilangan
rasional yang lain dan jumlahnya bisa tak berhingga. Dengan kata lain, himpunan
semua bilangan rasional Q adalah himpunan yang rapat. Secara formal,
memang dapat dibuktikan bahwa Q memiliki sifat yang demikian.
seperti pada kasus x > 0 , kita bisa mendapatkan bilangan rasional r sedemikian
sehingga x < r < y . ■
Kita juga memiliki fakta lain, yang analog dengan teorema 1.32, untuk himpunan
bilangan-bilangan irasional.
1.4 INTERVAL
Pada subbab ini kita membahas suatu himpunan bagian dari R yang
dikonstruksi berdasarkan sifat terurut dari R . Himpunan bagian ini dinamakan
sebagai interval.
Semua jenis interval pada Definisi 1.34 merupakan himpunan yang terbatas dan
memiliki panjang interval yang didefinisikan sebagai b − a . Jika a = b maka
himpunan buka ( a, a ) = { } dan himpunan tutup [ a , a ] = { a} , yang dinamakan
Selain interval terbatas, terdapat pula interval tak terbatas. Pada interval tak
terbatas ini, kita dikenalkan dengan simbol ∞ dan −∞ yang berkaitan dengan
ketak terbatasannya.
(− ∞, a) := {x ∈ R : x < a}.
b. Interval tutup tak terbatas adalah himpunan [a , ∞ ) := {x ∈ R : x ≥ a} atau
(− ∞, a] := {x ∈ R : x ≤ a} .
Himpunan bilangan real R merupakan himpunan yang tak terbatas dan dapat
S ⊆ [ a, b ] .
Selanjutnya, akan ditunjukkan bahwa ( a, b ) ⊆ S . Misalkan z ∈ ( a , b ) atau
a < z < b . Yang demikian berarti z bukan batas bawah dari S . Akibatnya,
terdapat xz ∈ S sedemikian sehingga xz < z . Kita memperoleh pula bahwa z
bukan batas atas dari S . Itu artinya bahwa terdapat yz ∈ S sedemikian sehingga
z ∈ ( a , b ) , maka ( a, b ) ⊆ S .
Kasus II, S adalah himpunan yang terbatas atas tetapi tidak terbatas
bawah.
Karena S terbatas atas, maka S mempunyai supremum. Misalkan supremum
dari S adalah b . Kita memperoleh bahwa x ≤ b , untuk setiap x ∈ S . Akibatnya,
S ⊆ ( −∞, b ] .
Kasus III, S adalah himpunan yang tidak terbatas atas tetapi terbatas
bawah.
Dengan cara yang serupa, seperti pada kasus II, dapat ditunjukkan bahwa
Semua bilangan real dapat dinyatakan dalam bentuk lain yang disebut sebagai
bentuk desimal. Misalkan x∈ [ 0,1] . Jika kita membagi interval [ 0,1] menjadi 10
sub interval yang sama panjangnya, maka x ∈ b1 /10, ( b1 + 1) /10 untuk suatu
b1 ∈ {0,1, 2,...,9} . Jika kita membagi lagi interval b1 /10, ( b1 + 1) /10 menjadi 10
sub interval yang sama panjangnya, maka
x ∈ b1 /10 + b2 /10 2 , b1 /10 + ( b2 + 1) /10 2 untuk suatu b2 ∈{0,1, 2,..., 9} . Jika
proses tersebut terus dilanjutkan maka kita akan memperoleh barisan {bn}
dengan 0 ≤ bn ≤ 9 , untuk semua n ∈ N , sedemikian sehingga x memenuhi
b1 b2 b b b ( b + 1)
+ 2 + ... + nn ≤ x ≤ 1 + 22 + ... + n n .
10 10 10 10 10 10
Representasi desimal dari x∈ [ 0,1] adalah 0, b1b2 ...bn ... . Jika x ≥ 1 dan N ∈ N
N , b1b2 ...bn ... dengan 0, b1b2 ...bn ... adalah representasi desimal dari x − N ∈[ 0,1] .
Sebagai contoh, kita akan menentukan bentuk desimal dari 1/7. Jika [ 0,1] dibagi
menjadi 10 sub interval yang sama panjang maka 1/ 7 ∈ 1/10, (1 + 1) /10 . Jika
1/10, (1 + 1) /10 dibagi menjadi 10 sub interval yang sama panjang maka
1/ 7 ∈ 1/10 + 4 /10 2 + 2 /103 ,1/10 + 4 /10 2 + ( 2 + 1) /10 3 . Jika proses ini terus
Representasi desimal dari suatu bilangan real adalah unik, kecuali bilangan-
Dengan menggunakan representasi desimal dari bilangan real ini, kita akan
membuktikan Teorema Cantor yang mengatakan bahwa himpunan semua
bilangan real adalah tak terhitung (uncountable).
Bukti. Andaikan interval [ 0,1] countable. Misalkan [ 0,1] = {x1 , x2 ,..., xn ,...} .
Karena setiap elemen di [ 0,1] dapat dinyatakan dalam bentuk desimal, maka kita
4, jika bnn ≥ 5
yn :=
5, jika bnn ≤ 4.
Jelas bahwa y ∈ [ 0,1] . Berdasarkan pendefinisian yn , jelas bahwa y ≠ xn untuk
setiap n ∈ N . Selain itu, bentuk y := 0, y1 y2 ... yn ... adalah unik karena yn ∉ {0,9}
untuk semua n ∈ N . Hal itu semua mengandung arti bahwa y ∉ [ 0,1] . Terjadi
BAB II
BARISAN BILANGAN REAL
Jika n semakin besar maka xn semakin besar, tanpa batas. Tetapi, kalau kita
semakin kecil, menuju angka nol. Barisan bilangan real Y ini dikatakan sebagai
barisan yang mempunyai limit atau barisan yang konvergen. Sedangkan barisan
bilangan real X dikatakan sebagai barisan yang tidak memiliki limit atau barisan
yang tidak konvergen atau divergen.
Definisi 2.2. Barisan bilangan real ( xn : n ∈ N ) dikatakan konvergen ke x ∈ R ,
limit dari dari ( xn : n ∈ N ) , jika untuk setiap ε > 0 terdapat N ( ε ) > 0 sedemikian
kecil. Sebaliknya, jika ε > 0 cukup kecil maka xn − x yang cukup kecil dapat
Berdasarkan Definisi 2.2, kita bisa mendapatkan fakta bahwa lim xn = x jika dan
n→∞
{ }
hanya jika untuk setiap ε > 0 , himpunan n ∈ N : x n − x ≥ ε adalah himpunan
yang berhingga. Bukti fakta ini ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca.
setiap n ≥ N ( ε ) . Yang demikian berlaku untuk setiap ε > 0 . Ini artinya bahwa
Kemudian pandang barisan bilangan real Y ' = (1/ 2,1/ 4,1/ 6,... ) . Suku-suku pada
Y ' merupakan suku-suku yang menempati urutan genap pada Y . Barisan Y ' ini
disebut sebagai sub barisan dari Y . Berikut ini adalah definisi formal dari sub
barisan.
n1 < n2 < ... < nk < ... dengan nk ∈ N untuk semua k ∈ N . Barisan bilangan real
Bagaimana dengan limit sub barisan dari suatu sub barisan ? Teorema berikut
menjelaskan hal ini.
juga konvergen ke x ∈ R .
Bukti. Karena X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen ke x ∈ R , maka
n ≥ N ( ε ) berlaku xn − x < ε .
( )
Yang demikian berarti sub barisan X ':= x nk : k ∈ N juga konvergen ke x ∈ R . ■
Apakah kebalikan dari Teorema 2.5 berlaku ? Untuk menjawabnya kita lihat
penjelasan berikut ini. Perhatikan bahwa barisan Z ' = (1,1,1,...,1,...) adalah sub
(
barisan dari barisan Z = 1, −1,1, −1,..., ( −1)
n +1
)
,... . Barisan Z ' adalah barisan
Bagaimana halnya dengan limit dari suatu barisan bilangan real yang konvergen,
apakah tunggal atau tidak ? Misalkan x dan y adalah limit dari barisan bilangan
x − y = ( x − xn ) + ( xn − y ) ≤ x − xn + xn − y < ε / 2 + ε / 2 = ε
atau x = y . Yang demikian berarti bahwa limit dari suatu barisan bilangan real
yang konvergen adalah tunggal.
Teorema 2.6. Limit dari satu barisan bilangan real yang konvergen adalah
tunggal.
Berkaitan dengan sifat keterbatasan barisan bilangan real tersebut kita memiliki
teorema berikut ini.
Teorema 2.7. Barisan bilangan real yang konvergen adalah terbatas.
Bukti. Misalkan barisan bilangan real X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang
konvergen ke x ∈ R . Itu berarti bahwa jika kita ambil ε 0 > 0 maka terdapat
xn = ( xn − x ) + x ≤ xn − x + x < ε 0 + x
untuk semua n ≥ N ( ε 0 ) .
{ }
Berikutnya, pilih M := maks x1 , x2 , x3 ,..., xN (ε 0 )−1 , x + ε 0 . Jelas bahwa untuk
( xn + yn ) − ( x + y ) = ( xn − x ) + ( yn − y ) ≤ xn − x + yn − y .
( xn + yn ) − ( x + y ) ≤ xn − x + yn − y < ε / 2 + ε / 2 = ε .
cxn − cx = c xn − x .
Misalkan c = 0 . Jika diberikan ε > 0 maka dengan memilih berapa pun bilangan
cxn − cx = c xn − x < c ( ε / c ) = ε .
xn yn − xy = ( xn yn − xn y ) + ( xn y − xy )
≤ xn yn − xn y + xn y − xy
= xn yn − y + xn − x y
Menurut Teorema 2.7, X adalah barisan yang terbatas. Itu artinya terdapat
M := maks {L, y } . Jika diberikan ε > 0 maka terdapat bilangan real N1 , N 2 > 0
xn yn − xy ≤ xn yn − y + xn − x y ≤ M ( ε / 2 M ) + M ( ε / 2 M ) = ε .
Bukti. Jika y ≠ 0 kita peroleh bahwa y > 0 . Karena Y adalah barisan yang
1 2
maka yn > (1/ 2 ) y atau < untuk setiap n ≥ N1 .
yn y
Selanjutnya, jika diberikan ε > 0 maka terdapat N 2 > 0 sehingga untuk setiap
2
n ≥ N2 , berlaku yn − y < (1/ 2 ) y ε . Kemudian, perhatikan bahwa, berdasarkan
pertidaksamaan segitiga,
1 1 y − yn 1
− = = yn − y .
yn y yn y yn y
1 1 1 2 1 2
− = yn − y < 2 ⋅ y ε = ε .
yn y yn y y 2
Berdasarkan Teorema 2.8 dan Teorema 2.9, jika X adalah barisan bilangan real
yang konvergen ke x dan Y adalah barisan bilangan real tak nol yang
konvergen ke y ≠ 0 maka barisan bilangan real X / Y juga konvergen ke x / y .
Teorema 2.10 (Teorema Apit). Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) , Y := ( y n : n ∈ N ) , dan
Bukti. Jika diberikan ε > 0 maka terdapat bilangan real N1 , N 2 > 0 sedemikian
cos n
Contoh 2.11. Kita akan menghitung limit dari barisan 2
: n ∈ N . Secara
n
langsung, mungkin kita agak susah untuk menentukan limitnya. Perhatikan
bahwa −1 ≤ cos n ≤ 1 untuk setiap n ∈ N . Karenanya, kita bisa memperoleh
−1 cos n 1
≤ 2 ≤ 2 untuk setiap n ∈ N .
n2 n n
−1 cos n 1
Akibatnya, lim 2
≤ lim 2 ≤ lim 2 . Jadi
n→∞ n n →∞ n n →∞ n
cos n cos n
0 ≤ lim 2
≤ 0 atau lim 2 = 0 . ■
n →∞ n n →∞ n
Barisan bilangan real yang terbatas belum tentu konvergen. Sebagai contoh,
x1 ≥ x2 ≥ ... ≥ xn ≥ xn +1 ≥ ... . Barisan bilangan real yang naik atau turun disebut
sebagai barisan yang monoton.
adalah barisan bilangan real yang monoton. Barisan bilangan real X konvergen
jika dan hanya jika X terbatas. Lebih jauh,
i) Jika X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang naik dan terbatas atas maka
ii) Jika X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang turun dan terbatas bawah maka
Bukti.
i) Karena barisan X terbatas atas, maka, menurut sifat kelengkapan dari R ,
himpunan {x n : n ∈ N} memiliki supremum. Misalkan x = sup{xn : n ∈ N} . Jika
X adalah barisan naik dan x adalah batas atas dari {x n : n ∈ N} maka kita
mempunyai fakta bahwa
x − ε < xK ≤ xK +1 ≤ xK +2 ≤ ... < x < x + ε .
ii) Karena barisan X terbatas bawah, maka, menurut sifat kelengkapan dari R ,
himpunan {x n : n ∈ N} memiliki infimum. Misalkan x = inf {x n : n ∈ N} . Jika
1
suku-sukunya memenuhi hubungan rekursif xn +1 = ( xn + 1) dengan x1 = 0
2
adalah barisan yang konvergen dengan menggunakan Teorema Kekonvergean
Monoton. Akan kita perlihatkan bahwa X := ( xn : n ∈ N ) adalah barisan yang naik
dan terbatas atas yang dibatas atasi oleh 2. Kedua hal itu akan ditunjukkan
dengan menggunakan induksi matematika.
1 1
maka ( xk + 1) ≤ ( xk +1 + 1) atau xk +1 ≤ xk + 2 . Jadi X := ( xn : n ∈ N ) adalah
2 2
barisan yang naik.
bahwa
1 1 3
xk ≤ 2 ⇔ xk +1 = ( xk + 1) ≤ ( 2 + 1) ⇔ xk +1 ≤ .
2 2 2
Berdasarkan pernyataan terakhir, bisa juga kita katakan bahwa xn ≤ 2 untuk
Terema 2.15 (Teorema Sub Barisan Monoton). Setiap barisan bilangan real
memiliki sub barisan yang monoton.
Bukti. Misalkan X := ( xn : n ∈ N ) adalah barian bilangan real. Definisikan
terbesar dari X n1 +1 . Jelas bahwa xn1 ≥ xn2 dengan n1 < n2 . Kita juga bisa
mendapatkan sn3 yang merupakan suku terbesar dari X n2 +1 . Jelas pula bahwa
xn ≥ xn dengan n2 < n3 . Jika proses ini terus dilanjutkan maka kita akan
2 3
dapatkan
xn ≥ xn ≥ xn ≥ ... ≥ xn ≥ xn ≥ ... dengan n1 < n2 < n3 < ... < nk < nk +1 < ... .
1 2 3 k k +1
sehingga
xn = min { xn : n > n1 , xn ≥ xn } .
2 1
xn = min { xn : n > n1 , n ≠ n2 , n ≠ n3 , xn ≥ xn } .
4 1
(
Misalkan X ' = xnk : k ∈ N ) adalah sub barisan yang monoton dari barisan
Teorema 2.16. Barisan bilangan real yang terbatas memiliki sub barisan yang
konvergen.
Cauchy jika untuk setiap ε > 0 terdapat bilangan real N ( ε ) > 0 sedemikian
1 1 1 1 1 1 ε ε
2
− 2 ≤ 2 + 2 = 2 + 2 < + =ε .
n m n m n m 2 2
Karena ε > 0 yang diberikan sembarang, maka barisan bilangan real
(1 / n 2
: n ∈ N ) adalah barisan Cauchy. ■
( )
X = (− 1)n : n ∈ N bukanlah barisan Cauchy. Negasi dari definisi barisan
( )
Jadi barisan X = (− 1) : n ∈ N bukanlah barisan Cauchy.
n
■
Lema 2.20. Barisan bilangan real Cauchy adalah barisan yang terbatas.
Bukti. Misalkan X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan Cauchy. Yang demikian berarti
jika diberikan ε > 0 maka terdapat N (ε ) > 0 sedemikian sehingga untuk setiap
{ }
M := maks x1 , x 2 ,...., x N (ε )−1 , x N (ε ) + ε .
yang terbatas. ■
Selanjutnya, kita akan melihat bahwa setiap barisan bilangan real Cauchyi
adalah barisan yang konvergen dan setiap barisan bilangan real yang konvergen
adalah barisan Cauchy.
Teorema 2.21. Suatu barisan bilangan real adalah konvergen jika dan hanya jika
barisan itu adalah barisan Cauchy.
Bukti. Kita akan buktikan syarat perlunya terlebih dahulu. Misalkan
X = ( x n : n ∈ N ) adalah barisan yang konvergen. Karenanya, jika diberikan
n, m ≥ N (ε ) berlaku
x n − x m = ( x n − x ) + (x − x m ) ≤ xn − x + x − xm < ε / 2 + ε / 2 = ε .
Cauchy.
adalah barisan Cauchy. Itu berarti bahwa jika diberikan ε > 0 maka terdapat
x n − x = (x n − x H (ε ) ) + (x H (ε ) − x ) ≤ xn − x H (ε ) + x H (ε ) − x < ε / 2 + ε / 2 = ε .
yang konvergen ke x . ■
Coba perhatikan kembali Definisi 2.17, definisi tentang barisan bilangan real
Chauchy. Definisi tersebut ekuivalen dengan pernyataan bahwa suatu barisan
bilangan real divergen jika dan hanya jika barisan tersebut bukanlah barisan
Cauchy. Itu artinya untuk suatu ε 0 > 0 tidak terdapat K > 0 sedemikian
k ∈ N terdapat n, m ≥ k berlaku x n − x m ≥ ε .
divergen. Misalkan diberikan sembarang bilangan M > 0 . Kita peroleh selalu ada
n ∈ N sehingga xn > M , yakni untuk n > ( M + 1) / 2 . Barisan ini dikatakan
divergen menuju tak hingga positif ( +∞ ).
adalah barisan yang divergen, karena setiap kita mengambil M > 0 selalu
(
Sekarang pehatikan barisan Z = 1, −1,1, −1,..., ( −1)
n +1
)
,... . Telah ditunjukkan
bahwa barisan ini juga merupakan barisan yang divergen. Suku-suku barisan ini
nilainya berosilasi atau berubah-ubah, secara berselang-seling dan terus-
menerus tanpa henti, antara 1 atau -1. Barisan ini divergen tetapi tidak menuju ke
+∞ maupun −∞ .
Dari tiga contoh barisan divergen di atas, kita dapat membuat definisi formal
barisan yang divergen.
Ada cara lain untuk menunjukkan bahwa suatu barisan bilangan real adalah
barisan yang divergen. Teorema berikut, dinamakan Teorema Perbandingan,
menjelaskan kondisi yang membuat suatu barisan dikatakan sebagai barisan
yang divergen.
yang memenuhi
xn ≤ y n untuk setiap n ∈ N
Maka
a. Jika lim xn = +∞ maka lim y n = +∞ .
n→ ∞ n→ ∞
Bukti.
a. Misalkan M > 0 . Karena lim xn = +∞ , maka terdapat N > 0 sehingga untuk
n→ ∞
Namun demikian, tidaklah selalu kita bisa menjumpai kondisi dua barisan seperti
yang ada pada hipotesis Teorema 2.24, sehingga kita tidak dapat
mengaplikasikan teorema tersebut untuk menunjukkan suatu barisan bilangan
real adalah barisan yang divergen. Teorema di bawah ini, dinamakan sebagai
Teorema Perbandingan Limit, menjelaskan kondisi (yang lebih umum
dibandingkan kondisi pada Teorema 2.24) yang menjadikan suatu barisan
bilangan real dikatakan sebagai barisan divergen.
xn
Bukti. Karena lim = L , maka jika diberikan ε = L / 2 terdapat N > 0
n→ ∞ y
n
sn := x1 + x2 + x3 + ... + x n dengan n ∈ N .
Barisan S yang demikian dinamakan sebagai deret tak hingga (atau deret saja)
yang dibangkitkan oleh barisan X := ( xn : n ∈ N ) . Bilangan sn disebut sebagai
jumlah parsial dari derat tak hingga. Bilangan x n disebut sebagai suku dari deret
tak hingga. Jika lim sn ada maka S dikatakan sebagai deret tak hingga yang
n← ∞
konvergen dan limit tersebut disebut sebagai jumlah deret tak hingga S atau
jumlah dari x1 + x 2 + x3 + ... + x n + ... . Deret tak hingga S dapat pula dinotasikan
dengan
∞
∑1 x
n=
n atau ∑x n .
∞
Jadi jika lim sn ada maka lim s n =
n← ∞ n ←∞
∑x
n =1
n . Kemudian, jika lim sn tidak ada maka
n← ∞
Perhatikan bahwa
n
1 ∞ 1 1 1 1
∑ = + + + ... .
2 n =1 2 4 8 16
Akibatnya,
n n n n
∞
1 1 ∞ 1 1 1 ∞ 1 1 ∞
1
∑ − ∑ = ⇔ ∑ = ⇔
n =1 2 2 n =1 2 2 2 n =1 2 2
∑ = 1.
n =1 2
Dengan demikian,
n
∞
1 1 1 1
∑ = + + + ...
n =1 2 2 4 8
Adalah deret yang konvergen. ■
geometrik.
∑ (2n − 1) = 1 + 3 + 5 + ...
n =1
adalah salah satu contoh deret tak hingga yang divergen karena jumlah deret
tersebut tidak terbatas..
Tentunya bukanlah sesuatu yang mudah untuk menunjukkan suatu deret tak
hingga adalah deret yang konvergen. Melalui fakta-fakta berikut ini, kita akan
diberikan syarat perlu untuk kekonvergenan deret tak hingga.
∞
Teorema 2.27. Jika deret tak hingga ∑x
n =1
n konvergen maka lim x n = 0 .
n→∞
konvergen. Menurut Kriteria Cauchy untuk barisan, kita memperoleh fakta seperti
yang tertuang dalam teorema berikut ini.
∞
Lebih jauh, ∑x
n =1
n = lim sn = sup{s n : n ∈ N} .
n →∞
∞
1
Contoh 2.30. Perhatikan deret tak hingga ∑n .
n =1
Kemudian, perhatikan pula
bahwa
1 1 1 1 1
s2 n = 1 + + + + ... + n −1 + ... + n
2 3 4 2 +1 2
1 1 1 1 1
> 1+ + + + ... + n + ... + n
2 4 4 2 2
1 1 1
= 1+ + + ... +
2 2 2
n
=1+ .
2
Berdasarkan hal tersebut, (s n : n ∈ N ) adalah barisan tak terbatas. Menurut
∞
1
Teorema 2.29, deret tak hingga ∑n
n =1
divergen. ■
∞
1
Contoh 2.31. Kita akan menunjukkan bahwa deret tak hingga ∑n
n =1
2
konvergen.
Barisan jumlah parsial dari deret tak hingga tersebut adalah barisan yang
monoton naik. Untuk menunjukkan barisan jumlah parsial terbatas, cukup
dengan menunjukkan terdapat sub barisan dari (s n : n ∈ N ) , yaitu s nk : k ∈ N , ( )
yang terbatas. Untuk itu, perhatikan bahwa, jika n1 := 21 − 1 = 1 maka sn1 = 1 , jika
n2 := 2 2 − 1 = 3 maka
( )
sn 2 = 1 + 1 / 2 2 + 1 / 32 < 1 + 2 / 2 2 = 1 + 1 / 2 ,
( )
sn3 = sn 2 + 1 / 4 2 + 1 / 5 2 + 1 / 6 2 + 1 / 7 2 < s n2 + 4 / 4 2 = 1 + 1 / 2 + 1 / 2 2 .
Secara umum, dengan menggunakan induksi matematika, kita peroleh bahwa
jika nk := 2 k − 1 maka
( )
setiap k ∈ N . Akibatnya, sub barisan s nk : k ∈ N terbatas. Dengan demikian,
∞
barisan (s n : n ∈ N ) terbatas. Menurut Teorema 2.29, deret tak hingga ∑1/ n
n =1
2
konvergen. ■
Kita juga bisa menentukan kekonvergenan suatu deret tak hingga dengan cara
membandingkan suku ke- k pada deret takhingga tersebut dengan suku ke- k
pada deret tak hingga yang lain.
untuk setiap n ≥ K .
∞ ∞
a. Jika ∑ y n konvergen maka
n =1
∑x
n =1
n konvergen.
∞ ∞
b. Jika ∑ x n divergen maka
n =1
∑y
n =1
n konvergen.
∞
Bukti. Menurut Teorema Cauchy untuk deret tak hingga, jika ∑y
n =1
n konvergen
m > n ≥ N (ε ) maka
m m
∑yj =
j = n +1
∑y
j = n +1
j <ε .
∑xj ≤
j =n +1
∑y
j = n +1
j <ε.
∞
Menurut Teorema Cauchy untuk deret tak hingga, ∑x
n =1
n konvergen.
∞
n
Contoh 2.33. Kita akan menunjukkan bahwa deret tak hingga ∑n
n =1
3
+1
konvergen. Perhatikan bahwa
n 1
3
≤ 2 untuk setiap n ∈ N .
n +1 n
∞
1
Kita ketahui bahwa deret tak hingga ∑n
n =1
2
konvergen. Menurut Uji
∞
n
Perbandingan, ∑n
n =1
3
+1
deret tak hingga yang konvergen. ■
Nilainya ada.
∞ ∞
a. Untuk L ≠ 0 , ∑ x n konvergen jika dan hanya jika
n =1
∑y
n =1
n konvergen.
∞ ∞
b. Untuk L = 0 , jika ∑ yn konvergen maka
n =1
∑x
n =1
n konvergen.
∞
hanya jika ∑y
n =1
n konvergen.
∞
n
Perhatikan kembali deret tak hingga ∑n
n =1
3
+1
pada contoh 2.33. Perhatikan
bahwa
n / (n 3 + 1) n3
lim = lim =1≠ 0 .
n →∞ 1/ n 2 n→ ∞ n 3 + 1
∞
1
Karena deret tak hingga ∑n
n =1
2
konvergen, maka, menurut Uji Perbandingan
∞
n
Limit, deret tak hingga ∑n
n =1
3
+1
konvergen.
Ada cara lain, selain menggunakan Teorema 2.29, yaitu dengan menggunakan
suatu uji yang disebut sebagai Uji Kondensasi Cauchy, untuk menunjukkan
∞ ∞
bahwa deret tak hingga ∑1/ n dan
n =1
∑1/ n
n =1
2
, masing-masing, divergen dan
konvergen, secara berurutan. Bahkan dengan Uji Kondensasi Cauchy kita dapat
∞
menunjukkan secara umum bahwa deret-p, ∑1/ n
n =1
p
, konvergen jika p > 1 dan
divergen jika p ≤ 1 .
Teorema 2.35 (Uji Kondensasi Cauchy). Misalkan barisan (a k : k ∈ N )
∞
nonnegatif dan monoton turun. Deret tak hingga ∑a
k =1
k konvergen jika dan hanya
∞
jika deret tak hingga ∑2
k =1
k
a 2 k konvergen.
n n
Bukti. Perhatikan jumlah parsial sn = ∑ ak dan t n = ∑ 2 k a2k . Untuk n < 2 k ,
k =1 k =1
< a1 + 2a 2 + 2 2 a 2 2 + ... + 2 k a 2k = t k .
∞ ∞
Jelas jika ∑ 2 k a2k konvergen maka
k =1
∑a
k =1
k konvergen.
Untuk n > 2 k ,
sn ≥ a1 + a 2 + (a 3 + a 4 ) + ... + (a 2k −1 +1 + ... + a 2 k )
≥ a1 / 2 + a 2 + 2a 2 2 + ... + 2 k −1 a 2k = t k / 2 .
∞ ∞
Seperti halnya di atas, jika ∑ ak konvergen maka
k =1
∑2
k =1
k
a 2 k konvergen. ■
∞
deret tak hingga ∑ 1/ n
n =1
p
divergen untuk p ≤ 0 . Perhatikan bahwa
∞
2k ∞
Kita pun dapat menunjukkan kekonvergenan suatu deret tak hingga dengan
membandingkan dua suku pada deret tak hingga tersebut.
Teorema 2.36. Misalkan (a n : n ∈ N) adalah barisan bilangan real non negatif
sejati.
∞
a. Jika lim a n +1 / a n < 1 maka deret tak hingga
n→ ∞
∑a
n =1
n konvergen.
∞
b. Jika lim a n +1 / a n > 1 maka deret tak hingga
n→ ∞
∑a
n =1
n divergen.
∞
c. Jika lim a n +1 / a n = 0 maka tidak diperoleh kesimpulan apakah
n→ ∞
∑a
n =1
n
∑a
n =1
n konvergen.
∞ ∞
Untuk L = 1 , perhatikan deret tak hingga ∑1/ n dan
n =1
∑1/ n
n =1
2
. Diperoleh
1 / (n + 1) 1 / (n 2 + 1)
lim = 1 dan lim = 1.
n →∞ 1/ n n→∞ 1/ n2
∞ ∞
Deret tak hingga ∑1/ n dan
n =1
∑1/ n
n =1
2
adalah deret yang divergen dan konvergen,
Contoh 3.2.
1. Misalkan A = ( 2 , 3 ), tentukan titik timbun A.
Penyelesaian
2 titik timbun A, karena dengan mengambil sebarang δ = ½ , dimana
V1 / 2 ( 2) = (1 12 , 2 12 ) maka (V1 / 2 ( 2) /{2}) ∩ A ≠ ∅ . Sehingga dengan mengambil
Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap titik pada interval [2 , 3] merupakan titik
timbun A.
(V1/ 2 (1) /{1}) ∩ B = ∅ . Jadi 1 bukan titik timbun B. Begitu juga dengan titik
yang lain..
Jadi dapat disimpulkan bahwa B = {1, 2, 3, 4, 5 } tidak mempunyai titik timbun.
Teorema 3.3.
Misalkan A ⊆ R dan c ∈ R , c titik timbun A jika dan hanya jika
∃( an ), an ≠ c, ∀n ∈ N ∋ lim (an ) = c .
n→∞
Bukti:
(⇒ ) Misal c titik timbun A. Sehingga V 1 (c) memuat sedikitnya satu titik di A yang
n
an ∈ A, an ≠ c, ∀n ∈ N ∋ lim (an ) = c .
n→∞
Definisi 3.4.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Misalkan L limit
Definisi limit di atas dapat ditulis lim f ( x) = L jika dan hanya jika
x →c
Contoh 3.5
1
1. Misalkan A = : n ∈ R, f : A → R, f ( x) = 2 x . Buktikan lim f ( x) = 0 .
n x →0
Bukti:
ε
Ambil ε > 0 sebarang. Pilih δ = , Sehingga jika 0 < x − 0 = x < δ dan
2
ε
x ∈ A berlaku f ( x) − L = 2 x − 0 = 2 x = 2 x < 2δ = 2 = ε .
2
Jadi terbukti lim 2 x = 0 .
x→ 0
2. Buktikan lim x 2 = c 2 .
x →c
Analisa pendahuluan
Tujuan pembuktian ini mencari δ >0 sehingga untuk
Perhatikan bahwa x 2 − c 2 = ( x + c )( x − c) = x + c x − c .
( )
Sehingga x 2 − c 2 = x + c x − c < 1 + 2 c x − c ,
ε
Dengan mengambil δ = maka diperoleh x 2 − c 2 < ε .
1+ 2 c
Bukti:
ε
Ambil ε > 0 sebarang. Pilih δ = min 1, , Sehingga jika 0 < x − c < δ
1 + 2 c
( )
dan x ∈ R berlaku x 2 − c 2 = x + c x − c ≤ 1 + 2 c x − c < ε
Jadi terbukti lim x 2 = c 2 . ■
x →c
Teorema 3.6.
Jika f : A → R dan c titik timbun A , c ∈ R maka f hanya mempunyai satu limit
di titik c.
Selanjutnya akan dibicarakan kaitan antara barisan dengan limit fungsi dan
kriteria kedivergenan.
lim f ( x) = L jika dan hanya jika untuk setiap barisan (xn) di A yang konvergen
x →c
ke c dimana xn ≠ c, ∀n ∈ N, ( f ( xn ) ) konvergen ke L.
Bukti dari teorema 3.6 dan 3.7 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Contoh 3.8.
Bukti:
1
Ambil ( xn ) = 2 − , n ∈ ℵ . Akan ditunjukkan ( f ( x n ) ) konvergen ke 4.
n
4 1
Perhatikan bahwa lim f ( xn ) = lim 4 − + = 4.
x→ 2 x →2
n n2
Jadi terbukti bahwa lim x 2 = 4 . ■
x→ 2
Contoh 3.10.
1
1. Buktikan lim tidak ada di R .
x →0 x
Bukti:
1 1
Misalkan f (x ) = . Ambil ( xn ) = ,n ∈ N . Tetapi
x n2
1
f (x n ) = = n 2 ,sehingga ( f ( x n ) ) tidak konvergen karena tidak terbatas
1 2
n
1
di ℜ . Jadi terbukti bahwa lim tidak ada di R .
x →0 x
Bukti:
1, x > 0
Misalkan f(x) = sgn (x). Perhatikan bahwa sgn( x ) = 0, x = 0 .
− 1, x < 0
x
Sehingga fungsi sgn (x) dapat ditulis menjadi sgn( x) = ,x≠0.
x
(−1) n
Ambil ( xn ) = , n ∈ N . Tetapi
n
( −1) n
xn n = (−1) n ,
f ( x n ) = sgn( xn ) = = n
xn ( −1)
n
sehingga ( f ( x n ) ) divergen. ■
Definisi 3.11.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. f dikatakan
Teorema 3.12.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan f mempunyai limit di c ∈ R , maka f terbatas
pada suatu lingkungan dari c.
Definisi 3.13
Misalkan A ⊆ R , f : A → R , g : A → R . Definisikan
( f + g )( x) = f ( x) + g ( x) ( f − g )( x) = f ( x) − g ( x ) , ( fg )( x) = f ( x) g ( x )
f f (x )
(bf )( x) = bf ( x), b ∈ ℜ ( x) = , h(x ) ≠ 0 , ∀x ∈ A
h h( x )
Teorema 3.14.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R , g : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A.
Misalkan b ∈ ℜ .
1. Jika lim f ( x) = L dan lim g ( x ) = M , maka
x →c x →c
lim ( f + g )( x) = L + M lim ( f − g )( x ) = L − M
x →c x →c
lim ( fg )( x) = LM lim (bf )( x) = bL
x →c x →c
f L
2. Jika h : A → R, h ( x ) ≠ 0, ∀x ∈ A, lim h( x) = H ≠ 0 maka lim = .
x →c
H
x →c h
Bukti:
1. Ambil ε > 0 sebarang.
ε
berlaku f (x ) − L < .
2
Misal lim g ( x ) = M , artinya ∃δ 2 > 0, ∋ untuk 0 < x − c < δ 2 dan x ∈ A
x →c
ε
berlaku g ( x) − M < .
2
Akan ditunjukkan lim ( f + g )( x ) = L + M .
x →c
( f + g )( x) − ( L + M ) = ( f ( x) − L) + ( g ( x ) − M )
ε ε
≤ f ( x) − L + g ( x) − M < + =ε
2 2
Jadi terbukti lim ( f + g )( x ) = L + M . ■
x →c
Contoh 3.15.
x +4 x2 − 4
Hitung a). lim 2
b ). lim
x→ 2 3x − 6
x→ 2
x
Jawab.
a) Kita dapat menggunakan teorema 3.13 (b), karena jika dimisalkan f(x) = x + 4
dan h(x) = x2 , h( x) ≠ 0, ∀x ∈ ℜ, lim h( x) = H ≠ 0 maka
x →2
x + 4 lim ( x + 4) 6 3
lim 2 = x →2 = =
x→ 2
x lim x 2 4 2
x→ 2
x2 − 4
maka untuk x ≠ 2, lim
x →2 3x − 6
1 1 1
( 4
= lim ( x + 2) = lim x + 2 = ( 2 + 2) = .
x→ 2 3 3 3 3
)
x →2
Teorema 3.16.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Jika
lim g ( x ) = L .
x →c
Contoh 3.18.
1 1
Buktikan bahwa lim cos tidak ada tetapi lim x cos = 0 .
x →0
x x →0
x
Bukti.
1 1
Akan dibuktikan lim cos tidak ada . Misalkan f ( x ) = cos .
x →0
x x
1 1
Ambil subbarisan ( xn ) = , n ∈ ℵ dan subbarisan ( yn ) = , n ∈ℵ ,
2nπ (2 n − 1)π
1 1
dimana lim = 0 , lim =0 .Tetapi f ( x n ) = cos 2 nπ = 1 dan
n→ ∞ 2 nπ n →∞ ( 2n − 1)π
1
Jadi lim cos tidak ada.
x →0
x
1
Akan dibuktikan lim x cos = 0 .
x →0
x
1
Perhatikan bahwa − x ≤ x cos ≤ x dan lim x = 0 = lim − x maka menurut
x x →0 x→ 0
1
teorema apit lim x cos = 0 . ■
x →0
x
Teorema 3.19.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Jika
Bukti:
L
Misalkan L = lim f ( x) > 0 . Pilih ε = > 0 , sehingga menurut definisi limit
x →c 2
L
fungsi ∃δ > 0 ∋ 0 < x − c < δ , x ∈ A ⇒ f ( x) − L < .
2
L L L
Karena f ( x) − L < maka − < f ( x) − L < atau
2 2 2
L
f (x ) > > 0, ∀x ∈ A ∩ Vδ (c), x ≠ c . ■
2
Soal – soal
1
1. Misalkan D = : n ∈ N . Tentukan titik timbun D.
n
2. Misalkan A = (0,2), f : A → R , f ( x) = 3 x + 5 .
Buktikan lim f ( x) = 5 dan lim f ( x) = 8
x →0 x →1
3. Buktikan jika f : A → R dan c titik timbun A , c ∈ R maka f hanya
mempunyai satu limit di titik c.
1 1
4. Buktikan lim = ,c > 0 .
x c x →c
lim ( fg)( x) = 0 .
x →c
9. Berikan contoh fungsi f dan g dimana fungsi f dan g tidak punya limit di titik c,
tetapi f + g dan fg mempunyai limit di titik c.
10. Buktikan teorema 3.15
11. Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ R , dengan c titik timbun A. Buktikan
Definisi 4.1.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ A . f dikatakan kontinu di titik c jika untuk
Berikut ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan titik c;
1. Jika c ∈ A , dimana c titik timbun A, maka dari definisi limit dan definisi fungsi
kontinu dapat disimpulkan bahwa f kontinu di c ⇔ f (c) = lim f ( x) .
x→c
Dengan kata lain, jika c titik timbun A maka f dikatakan kontinu di titik c jika
memenuhi syarat
• f terdefinisi di titik c
• lim f ( x) ada
x→c
• f ( c) = lim f ( x )
x→ c
kontinu di titik c ∈ A walaupun c bukan titik timbun A. Titik ini disebut ”titik
terisolasi dari A”.
Definisi 4.2.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R Jika B ⊆ A , f dikatakan kontinu pada B jika f
kontinu di setiap titik pada B.
Teorema 4.3
Misalkan A ⊆ R , f : A → R dan c ∈ A . Pernyataan berikut ekuivalen :
1) f dikatakan kontinu di titik c jika untuk setiap lingkungan Vε ( f (c)) dari f(c)
f ( x ) ∈ Vε ( f ( c)) .
Contoh 4.5
1. Misalkan f(x) = 2x. Buktikan f(x) kontinu pada R .
Bukti:
Ambil ε > 0 sebarang dan c ∈ R sebarang.
ε
Pilih δ = ∋ x − c < δ , x ∈ D f ⇒ f ( x ) − f (c ) = 2 x − 2c = 2 x − c < 2δ = ε .
2
Sehingga menurut definisi kekontinuan f(x) kontinu pada R .
Pada contoh 3.5 (2) telah dibuktikan bahwa lim h( x) = c 2 = h (c) dengan
x →c
1 , x ∈Q
f (x ) =
0 , x ∈ ℜ \ Q
Buktikan bahwa f(x) tidak kontinu di R .
Bukti:
• Misalkan c ∈ Q , ambil ( xn ) ∈ ℜ \ Q, ( xn ) → c, ∀n ∈ N . Karena
f ( xn ) = 0, ∀n ∈ N maka lim ( f ( xn )) = 0 , tetapi f(c) = 1. Akibatnya f
n→ ∞
L ,x = c
F( x ) =
f ( x ) ,x∈ A
Maka F kontinu di titik c.
2) Misalkan fungsi g : A → R tidak mempunyai limit di titik c, maka tidak
C ,x = c
G( x ) =
g( x ) , x ∈ A
Untuk membuktikan pernyataan di atas andaikan lim G( x ) = C . Bukti
x →c
1
1) Misalkan g ( x ) = sin , x ≠ 0 . Karena lim g ( x ) tidak ada, maka kita
x x →0
1
2) Misalkan f ( x ) = x sin , x ≠ 0 . Karena f(0) tidak terdefinisi dan f tidak
x
1
kontinu di titik x = 0 tetapi lim x sin = 0 , maka kita dapat memperluas
x →0
x
fungsi f(x) menjadi F : R → R yang didefinisikan sebagai berikut:
0 ,x = 0
F( x ) = 1 .
x sin , x ≠ 0
x
Sehingga F kontinu di x = 0.
Teorema 4.7.
Misalkan A ⊆ R , f , g : A → R , b ∈ R . Misalkan c ∈ A dan f dan g kontinu di titik
c,
a) Maka f + g, f - g, fg, bf kontinu di titik c.
b) Jika h : A → ℜ kontinu di c ∈ A dan jika h( x ) ≠ 0, ∀x ∈ A maka f /h
kontinu di titik c.
Bukti:
a). Untuk membuktikan teorema di atas, dibagi menjadi dua kasus :
1. Jika c bukan titik timbun A
2. Jika c titik timbun A, f kontinu di titik c, dan g kontinu di titik c maka
lim f ( x) = f (c ) dan lim g ( x ) = g ( c) . Sehingga
x →c x →c
= f (c) + g (c ) = ( f + g )(c)
Akibatnya (f + g) kontinu di titik c. ■
Teorema 4.8.
Misalkan A ⊆ R , f , g : A → R , b ∈ R . Misalkan c ∈ A dan f dan g kontinu pada
A,
a) Maka f + g, f - g, fg, bf kontinu pada A.
b) Jika h : A → R kontinu pada A dan jika h( x ) ≠ 0, ∀x ∈ A maka f /h
kontinu di pada A.
Teorema 4.9.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R , dan misalkan | f | didefinisikan sebagai
f ( x) = f ( x) , ∀x ∈ A .
Bukti teorema 4.8 dan 4.9 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Teorema 4.10.
sebagai ( f )( x ) = f ( x) , ∀x ∈ A
f (x ) − 0 = f (x) − f (c ) < ε .
f ( x) − f (c ) =
( f ( x) − f (c) )( f ( x) + f ( c) )= ( f ( x) − f (c))
( f ( x) + f (c) ) ( f (x ) + f (c) )
f ( x) − f (c) f ( x ) − f (c ) ε f (c)
= < < =ε
f ( x) + f ( c) f (c) f (c )
Pada teorema 4.7 membahas tentang perkalian dua fungsi kontinu adalah
kontinu. Selanjutnya akan dibahas tentang komposisi fungsi kontinu.
Teorema 4.12.
Misal A, B ⊆ R , f : A → R , g : B → R , ∋ f ( A) ⊆ B . Misalkan f kontinu pada A
Bukti teorema 4.11 dan 4.12 diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Definisi 4.13.
Dari hipotesis di atas diketahui f kontinu pada I, sehingga menurut teorema 4.3
( f ( x nr )) konvergen ke f(x). Menurut teorema suatu barisan konvergen adalah
Definisi 4.15
Misalkan A ⊆ R , f : A → R . f mempunyai maksimum absolut pada A jika ada
1
Karena s* = sup f(I) maka s * − , n ∈ N bukan batas atas f(I). Sehingga
n
1
∃xn ∈ I ∋ s * − < f ( xn ) ≤ s*, n ∈ N .
n
1
kontinu di x* maka lim f ( xnr ) = f ( x*) sehingga s * − < f ( xn r ) ≤ s*, r ∈ ℵ .
n→ ∞ nr
1
Karena lim s * − = s* = lim s * maka menurut teorema apit lim ( f ( x nr )) = s * .
n→ ∞
n r n→ ∞ n→ ∞
∃c ∈ (α , β ) ∋ f (c) = 0 .
Bukti dari teorema lokasi akar diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
Teorema 4.18 (Niai Tengah Bolzano’s).
Misal I = [a,b] interval dan misalkan f : I → R kontinu pada I. Jika a, b ∈ I dan
• Misalkan a < b dan misalkan g(x) = f(x) – k. Karena f (a ) < k < f (b)
maka g ( a ) < 0 < g (b) . Karena f(x) kontinu pada I maka g(x) juga kontinu
pada I, sehingga menurut teorema lokasi akar
∃c ∈ (a , b), a < c < b ∋ 0 = g (c ) = f ( c) − k .Jadi f(c) = k.
• Misalkan b < a dan misalkan h(x) = k - f(x). Karena f (a ) < k < f (b) maka
h(b) < 0 < h (a ) . Karena f(x) kontinu pada I maka h(x) juga kontinu pada I,
sehingga menurut teorema lokasi akar
∃c ∈ (a , b), b < c < a ∋ 0 = h (c) = k − f (c ) .Jadi f(c) = k. ■
Akibat 4.19.
Misal I = [a,b] interval tertutup terbatas dan misalkan f : I → R kontinu pada I.
Definisi 4.20.
Misalkan A ⊆ R , f : A → R. f dikatakan kontinu seragam pada A jika untuk
Dari definisi kekontinuan fungsi jelas bahwa jika f kontinu seragam pada A maka
f kontinu di setiap titik dari A. Tetapi jika f kontinu di setiap titik dari A tidak
mengakibatkan f kontinu seragam pada A. Contohnya misalkan
1
g (x ) = , A = {x ∈ R : x > 0} . Fungsi g kontinu pada A ( lihat contoh ), tetapi g
x
tidak kontinu seragam pada A karena dengan mengambil
1 1
ε 0 = 12 , xn = , un = ∋ lim ( xn − u n ) = 0 dan
n n + 1 n→∞
1
g ( xn ) − g (u n ) =| n − ( n + 1) |= 1 ≥ 2
= ε 0 , ∀n ∈ R .
Selanjutnya jika f kontinu pada suatu interval tertutup terbatas, sebut I maka f
kontinu seragam pada I.
Pada teorema 4.22 suatu fungsi kontinu akan kontinu seragam jika intervalnya
tertutup dan terbatas. Apabila intrervalnya tidak tertutup dan terbatas akan sulit
menentukan kekontinuan seragam. Untuk itu diperlukan kondisi lain, yaitu
kondisi Lipschitz .
Teorema 4.24.
Jika f : A → R dan f fungsi Lipschitz maka f kontinu seragam pada A.
Bukti:
Ambil ε > 0 sebarang.
ε ε
Pilih δ = , sehingga ∀x, u ∈ A, f ( x ) − f (u ) ≤ K x − u < Kδ = K =ε.
K K
Jadi f kontinu seragam pada A. ■
Kebalikan dari teorema di atas tidak benar, artinya tidak setiap fungsi kontinu
seragam adalah fungsi Lipschitz. Contohnya, misalkan
Contoh 4.25.
1. Misalkan f(x) = x2 pada A = [0,b] dengan b konstanta positif. Tunjukkan
bahwa f kon tinu seragam.
Jawab:
Ambil x, u ∈ [0, b] sebarang. Perhatikan bahwa
f ( x) − f (u ) = x 2 − u 2 = x + u x − u ≤ 2b x − u .
Sehingga dengan mengambil K = 2b , f merupakan fungsi Lipschitz. Menurut
teorema 4.24 f kontinu seragam.
x −u 1
g ( x) − g (u ) = x− u = ≤ x−u .
x+ u 2
Sehingga dengan mengambil K = ½ , g merupakan fungsi Lipschitz. Menurut
teorema 4.24 g kontinu seragam.
4.5 Fungsi Monoton dan Fungsi Invers
Definisi 4.26.
Misalkan f : A → R , f dikatakan naik pada A jika ∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 ≤ x2 maka
f ( x1 ) ≤ f ( x2 ) .
f dikatakan naik sejati pada A jika ∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 < x2 maka
f ( x1 ) < f ( x2 ) .
Misalkan f : A → R , f dikatakan turun pada A jika ∀x1 , x 2 ∈ A dan x1 ≤ x2
maka f ( x1 ) ≥ f ( x2 ) .
0 , x ∈ [ 0,1 ]
Misalkan f ( x ) =
1, x ∈ ( 1,2 ]
Pada fungsi di atas, f naik pada [0,2] tetapi tidak kontinu di x = 1.
Teorema 4.27.
Misal I ⊆ R , f : I → R , f naik pada I. Misal c ∈ I dimana c bukan titik ujung
dari I, maka
( i ). lim− f ( x ) = sup{ f ( x ) : x ∈ I , x < c }
x→ c
( ii ). lim+ f ( x ) = inf{ f ( x ) : x ∈ I , x > c }
x →c
Bukti:
(i). Ambil ε > 0 sebarang.
Misalkan x ∈ I dan x < c. Karena f naik maka f ( x ) ≤ f ( c ) . Sehingga
Akibat 4.28.
Misal I ⊆ R , f : I → R , f naik pada I. Misal c ∈ I dimana c bukan titik ujung
dari I, maka pernyataan berikut equivalent:
a) f kontinu di c
b) lim f ( x ) = f ( c ) = lim+ f ( x )
x→ c− x →c
Misal I interval dan f : I → R , f fungsi naik. Misal a titik ujung kiri dari I, dan f
Misal I interval dan f : I → R , f fungsi naik. Misal b titik ujung kanan dari I, dan
2x ,x∈Q
15. Misalkan g : R → R, g ( x) =
x + 3 , x ∈ R \ Q
Tentukan di titik mana g kontinu.
16. Tentukan di titik mana fungsi berikut kontinu
x2 + 2x + 1
( a). f ( x) = ,x∈ℜ
x 2 +1
(b). g ( x) = x + x ,x ≥ 0
1+ | sin x |
(c).h( x) = ,x ≠ 0
x
(d ).k ( x) = cos 1 + x 2 ,x∈ℜ
( a ). f ( x) = x 2 A = [0, ∞)
(b ).g ( x ) = sin(1 x) B = ( 0, ∞)
33. Buktikan jika f dan g kontinu seragam pada R maka f o g kontinu seragam
pada R .
34. Misalkan A ⊆ R , f : A → R , g : A → R , b ∈ R . Misalkan c ∈ A dan f dan g
kontinu di titik c, buktikan (f + g), f - g, fg, bf kontinu di c dengan
menggunakan definisi fungsi kontinu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bartle, R. G., Sherbert, D. R., Introduction to Real Analysis, John Wilwey &
Sons, Inc., Third Edition, 2000.
2. DePree, J., Swartz, C., Introduction to Real Analysis, John Wilwey & Sons,
Inc., 1988.
3. Goldberg, R. R., Methods of Real Analysis, John Wiley & Sons, Second
Edition.