Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK KLIEN

DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN

Disusun Untuk Memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah

KEPERAWATAN GERONTIK

Disusun Oleh:

KELOMPOK 4

TONI WAHYU WIBOWO


NOK IMROATUL AZIZAH
BANGUN SASONGKO
SUGIONO
MUHAMMAD ROMLI
GINANJAR LAKSANA
ADITYA WICAKSONO
GETRUDIS WILHELMINA GUDHU
FRISCA RINANDAR

UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN

2017
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit autoimun adalah kegagalan fungsi system kekebalan tubuh yang membuat badan

menyerang jaringannya sendiri. System imunitas menjaga tubuh melawan pada apa yang

terlihat sebagai bahan asing atau berbahaya bagi tubuh. Bahan asing tersebut termasuk

mikro jasad, parasit, sel kanker, bakteri dan pencangkokan organ dan jaringan. Bahan yang

bisa merangsang imunitas itu disebut antigen. Antigen adalah molekul yang mungkin

terdapat dalam selatau di atas permukaan sel. Sistem imunitas hanya bereaksi terhadap

antigen dari bahan asing yang berbahaya dan buka terhadap antigen sendiri. Sistem

imunitas yang rusak menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan

menghasilkan antibody (autoantibodi) atau sel imunitas menyerang jaringan tubuh sendiri.

Respon ini disebut sebagai reaksi autoimun.

Penyakit autoimun terjadi ketika system kekebalan tubuh seseoarang mengalami

gangguan sehingga menyerang jaringan tubuh itu sendiri. Pada hal seharusnya system

imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakantubuh.Dari

segibahasa auto artinyadirisendiri, dan imun artinya system pertahanan tubuh. Jadi

pengertian autoimun adalah system pertahanan tubuh mengalami gangguan sehingga

menyerang sel-sel tubuh itu sendiri.

Laporan pendahuluan ini kami akan membahas tentang konsep dasar penyakit

autoimun dan jenis-jenis penyakit yang pada umumnya sering terjadi pada lansia yaitu

Lupus Erythomatosus Sistemik (SLE).


TujuanPenulisan

1. TujuanUmum

Tujuan umum dari penulisan laporan pendahuluan ini untuk memahami tentang

konsep dasar asuhan keperawatan dengan Penyakit Autoimun pada Lansia.

2. TujuanKhusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan laporan pendahuluan ini adalah:

a. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik yang ditugaskan

oleh dosen pengajar pada kelompok kami,

b. Memahami konsep dasar penyakit pada klien dengan penyakit autoimun yang

terdiri dari definisi, etiologi, anatomi fisiologi, patofisiologi, manifestasi klinis

penatalaksanaan dan lain-lain.

c. Memahami tentang autoimun yang sering dialami pada lansia.

d. Mahasiswa memahami metode pembelajaran dan menguasai topik (group of

expert) dan menjelaskan dalam suatu diskusi menggunakan sistem jigsaw.

e. Memahami konsep dasar asuhan keperawatan Gerontik pada klien dengan penyakit

autoimun dimulai dari proses pengkajian, analisadata, diagnosa keperawatan,

intervensi dan evaluasi keperawatan pada Lansia

f. Memperoleh nilai tugas yang memuaskan untuk mata kuliah Keperawatan

Gerontik.

B. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data untuk penulisan laporanpendahuluan ini penulis

menggunakan metoda Kepustakaan/ Studi literatur yaitu, penulis mencari informasi dari
buku-buku serta dari internet yang masih berhubungan dengan konsep dasar penyakit

autoimun yang sering terjadi pada lansia.

D. SistematikaPenulisan

Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dan maksud laporan

pendahuluan ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis menjadi empat bab, yaitu

sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan awal penulisan askep yang meliputi latar belakang, tujuan, metoda

penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS UMUM

Mengemukakan tentang konsep dasar penyakit Autoimun secara umum

BAB III TINJAUAN TEORITIS PENYAKIT

Pada bab ini penulis akan membahas tentang serta konsep dasar penyakit Lupus

Erythomatosus Sistemik yang terdiri dari definisi, etiologi, manifestasi klinis,

patofisiologi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan.

BAB IV PENUTUP

Merupakan masalah akhir dari penulisan laporan pendahuluan ini meliputi

kesimpulan dan saran. Saran berisi tentang usaha-usaha untuk meningkatkan

mutu asuhan keperawatan pada klien lansia dengan penyakit autoimun.


BAB II

KONSEP DASAR PENYAKIT AUTOIMUN

A. DEFINISI

Penyakit autoimun adalah kegagalan fungsi system kekebalan tubuh yang membuat

badan menyerang jaringannya sendiri. System imunitas menjaga tubuh melawan pada apa

yang terlihat sebagai bahan asing atau berbahaya bagi tubuh. Bahan asing tersebut

termasuk mikrojasad, parasit, sel kanker, bakteri dan pencangkokan organ dan

jaringan.Bahan yang bisa merangsang imunitas itu disebut antigen.Antigen adalah

molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel. Sistem imunitas

hanya bereaksi terhadap antigen dari bahan asing yang berbahaya dan buka terhadap

antigen sendiri.Sistem imunitas yang rusak menterjemahkan jaringan tubuh sendiri

sebagai antigen asing dan menghasilkan antibody (autoantibodi) atau sel imunitas

menyerang jaringan tubuh sendiri.Respon ini disebut sebagai reaksi autoimun.

Penyakit autoimun terjadi ketika system kekebalan tubuh seseoarang mengalami

gangguan sehingga menyerang jaringan tubuh itu sendiri.Padahal seharusnya system

imun hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh.Dari

segi bahasa auto artinya diri sendiri, dan imun artinya system pertahanan tubuh.Jadi

pengertian autoimun adalah system pertahanan tubuh mengalami gangguan sehingga

menyerang sel-sel tubuh itu sendiri.

System kekebalan tubuh adalah kumpulan sel-sel khusus dan zat kimia yang

berfungsi melawan agenpenyebab infeksi seperti bakteri dan virus serta membersihkan
sel-sel tubuh yang menyimpang (non-self) misalnya pada kanker.Gangguan autoimun

terjadi ketika system kekebalan tubuh seseorang keliru menyerang jaringan tubuh sendiri.

System kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap antigen

yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut disebut toleransi

kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu:

 Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari satu sel)

limfosit, terutama limfosit T dan sebagian kecil limfosit B, selama proses

pematangan.

 Alergi klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya;

Supresi klon, yaitu pengendalian fungsi “pembantu” limfosit T

Pada umumnya, system kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self antigen)

dan antigen asing atau bukan diri (non-self antigen).Dalam hal ini terjadi toleransi

imunologik terhadap antigen diri (self tolerance).Apabila system kekebalan gagal

membedakan antara antigen self dan non-self, maka terjadi pembentukan limfosit T dan

B yang auto reaktif dan mengembangkan reaksi terhadap antigen diri (reaksi auto imun).

Gangguan autoimun dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu organ spesifik dan

non-organ spesifik.Organ-spesifik berarti satu organ tertentu yang terkena, contohnya

Thiroiditis, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan auto-antibodi

terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-antibodi terhadap susunan saraf;

penyakit radang usus, dengan auto-antibodi terhadap usus. Sedangkan non-organ spesifik

artinya system imun menyerang beberapa organ atau system tubuh yang lebih luas,

contohnya Systemic Lupus Erythemathosus (SLE), arthritis rheumatika, vaskulitis

sistemik dan scleroderma, dengan auto-antibodi terhadap berbagai organ.


Adapun manifestasi unik, adalah muncul gejala atralgia yang merupakan keluhan

subyektif berupa rasa nyeri pada sendi, terdapat pula gambaran khas pada sinar rontgen

tangan posteroanterior atau pergelangan tangan yang menunjukkan adanya erosi dan atau

dekalsifikasi tulang,

B. ETIOLOGI

Reaksi autoimun dapat dicetuskan oleh beberapa hal:

1. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (disembunyikan dari

system kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam aliran darah. Misalnya pukulan ke mata

bisa membuat cairan di bola mata dilepaskan ke dalam aliran darah. Cairan merangsang

system kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.

2. Senyawa normal di tubuh berubah, misalnya oleh virus, obat, sinar matahari atau radiasi.

Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi system kekebalan tubuh.

Misalnya virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di badan. Sel yang ditulari oleh

virus merangsang system kekebalan tubuh untuk menyerangnya.

3. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki badan.

System kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan senyawa badan mirip

seperti bahan asing sebagai sasran. Misalnya, bakteri penyebab sakit kerongkongan

mempunyai beberapa antigen yang mirip dengan sel jantung manusia. Jarang terjadi,

system kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan

(reaksi ini bagian dari demam rheumatik).


4. Sel yang mengotrol produksi antibody misalnya, limfosit B (salah satu sel darah putih)

mungkin rusak dan menghasilkan antibody abnormal yang menyerang beberapa sel

badan.

5. Keturunan mungkin terlibat pada beberapa kekacauan autoimun. Kerentanan kekacauan,

daripada kekacauan itu sendiri mungki diwarisi. Pada orang yang rentan, satu pemicu,

seperti infeksi virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang.

Faktor hormonal juga mungkin dilibatkan, karena banyak kekacauan autoimun lebih

sering terjadi pada wanita.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada perkembangan penyakit autoimun.Penyakit

autoimun timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri dan dipengaruhi oleh berbagai

faktor (multifaktor). Faktor-faktor yang bersifat predisposisi dan atau bersifat kontributif

adalah:

1. Genetik, yaitu haplotype HLA tertentu meningkatkan risiko penyakit autoimun atau

reaksi autoimun dijumpai.

2. Kelamin (gender), yaitu wanita lebih sering daripada pria.

3. Infeksi, yaitu virus Epstein-Barr, mikoplasma, streptokok, klebsiella, malaria dan lain-

lain berhubungan dengan penyakit autoimun.

4. Sifat autoantigen, yaitu enzim dan protein (heat shock protein) sering sebagai antigen

sasaran dan mungkin bereaksi silang dengan antigen mikroba.

5. Obat-obatan, yaitu obat tertentu dapat menginduksi penyakit autoimun.

6. Umur, yaitu sebagian besar penyakit autoimun terjadi pada usia dewasa.
C. TANDA DAN GEJALA

Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam.Gejala bervariasi bergantung pada

gangguan dan bagian badan yang terkena.Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis

tertentu jaringan di seluruh badan, misalnya pembuluh darah, tulang rawan atau kulit dan

juga mempengaruhi organ manapun maupun organ khusus.Hasil dari peradangan dan

kerusakan jaringan bisa menyebabkab rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan penyakit

kuning, gatal, gangguan pernafasan, penumpukan cairan / udema, demam, bahkan kematian.

D. DIAGNOSA

Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan

autoimun.Misalnya pengendapan laju eritrosit (ESR) seringkali meningkat, karena protein

yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah (eritrosit)

untuk tetap ada di darah.Sering jumlah sel darah merah berkurang (anemia) karena radang

mengurangi produksi mereka.

Tetapi radang mempunyai banyak sebab, banyak diantaranya yang bukan autoimun.Dengan

begitu, dokter sering mendapatkan pemeriksaan darah untuk mengetahui antibody yang

berbeda yang bisa terjadi pada orang yang mempunyai gangguan autoimun khusus. Contoh

antibodi ini ialah antibodi antinuclear, yang biasanya ada di Lupus Erythematosus Sistemik,

dan factor rheumatoid atau anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP) antibody, yang

biasanya ada di radang sendi rheumatoid. Antibodi ini pun kadang-kadang mungkin terjadi

pada orang yang tidak mempunyai gangguan autoimun, oleh sebab itu dokter biasanya

menggunakan kombinasi hasil tes dan tanda dan gejala orang untuk mengambil keputusan

apakah ada gangguan autoimun.


E. PENGOBATAN

Pengobatan memerlukan kotrol reaksi autoimun dengan menekan system kekebalan

tubuh.Tetapi beberapa obat digunakan reaksi autoimun juga mengganggu kemampuan badan

untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.Obat yang menekan sistem kekebalan

tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine,

mycophenolate, dan methotrexate sering digunakan biasanya secara oral dan seringkali

dalam jangka panjang.Obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga

kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad

penyebab infeksi dan sel kanker.

Konsekuensinya resiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.Sering kortikosteroid

seperti prednisone diberikan secara oral.Obat ini mengurangi radang sebaik menekan sistem

kekebalan tubuh. Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang memiliki banyak

efek samping.Kalau mungkin kortikosteroid dipakai untuk waktu yang pendek sewaktu

gangguan yang mulai atau sewaktu gejala memburuk.Tetapi kadang-kadang harus dipakai

dalam jangka waktu tidak terbatas.

Gangguan autoimun tertentu (seperti multiple sklerosis dan gangguan tiroid) juga

diobati dengan obat lain daripada immunosupresan dan kortikosteroid. Pengobatan untuk

mengurangi gejala juga mungkin diperlukan Etanerceb, infliximab, dan adalimumab

menghalangi aksi faktor tumor necrosis (TNF), bahan yang bisa menyebabkan radang di

badan. Obat ini sangat efektif dalam mengobati radang sendi rheumatoid, tetapi mungkin
mereka berbahaya jika digunakan untuk mengobati gangguan autoimun tertentu lainnya,

seperti multiple skleroris. Obat ini juga bisa menambah risiko infeksi dan kanker tertentu.

Obat baru secara khusus membidik sel darah putih.Sel darah putih menolong

pertahanan tubuh melawan infeksi tetapi juga berpartisipasi pada reaksi autoimun.Abatacept

menghalangi pengaktifan salah satu sel darah putih (sel T) dan dipakai pada radang sendi

rheumatoid Rituximab, terlebih dulu dipakai melawan kanker sel darah putih tertentu (B

lymphocytes) dari tubuh.Efektif pada radang sendi rhemathoid dan dalam penelitian untuk

berbagai gangguan autoimun lainnya. Obat lain yang ditujukan melawan sel darah putih

sedang dikembangkan.

Plasmapheresis digunakan untuk mengobati sedikit gangguan autoimun. Darah

dialirkan dan disaring untuk menyingkirkan antibody abnormal.Lalu darah yang disaring

dikembalikan kepada pasien. Beberapa gangguan autoimun terjadi tak dapat dipahami

sewaktu mereka mulai. Tetapi kebanyakan autoimun kronis.Obat sering diperlukan

sepanjang hidup untuk mengotrol gejala.Prognosis bervariasi bergantung pada gangguan.

F. JENIS-JENIS PENYAKIT AUTOIMUN

Berikut ini adalah yang diduga kuat Autoimun:

1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2. Psoriasis- Erytema Nodosum (EN)

3. Rheumatoid Arthritis (RA/Rematik)

4. Asam Urat (Gout)

5. Asma

6. Diabetes Melitus Type 1


7. Sjogren's Syndrome

8. Churg-Strauss Syndrome

9. Hashimoto's Tiroiditis

10. Graves' Disease

11. Ideopathic Trombocytopenic Purpura

12. Myocarditis

13. Postmyocardial Infarction Syndrome

14. Postpericardiotomy Syndrome

15. Subacute Bacterial Endocarditis

16. Anti-Glomerular Basement Membrane Nephritis

17. Interstitial Cystitis

18. Lupus Nephritis

19. Autoimun Hepatitis

20. Primary Biliary Cirrhosis

21. Primary Sclerosing Cholangitis

22. Antisynthetase Syndrome

23. Alopecia Areata

24. Autoimun Angioedema

25. Autoimun Progesterone Dermatitis

26. Autoimun Urticaria

- Bullous Pemphigoid

- Cicatricial Pemphigoid

- Dermatitis Herpetiformis
- Discoid lupus Erythematosus

- Epidermolysis Bullosa Acquisita

- Gestational Pemphigoid

- Hidradenitis Suppurativa

- Lichen Planus

- Lichen Sclerosus

- Linear IgA Disease

- Morphea

- Pemphigus Vulgaris

- Pityriasis Lichenoides Et Varioliformis Acuta

- Mucha-Habermann Disease

- Systemic Scleroderma

- Vitiligo

- Addison's Disease

- Autoimun Polyendocrine Syndrome

- Autoimun Polyendocrine Syndrome Type 2

- Autoimun Polyendocrine Syndrome Type 3

- Autoimun Pancreatitis

- Autoimun Thyroiditis

- Ord's Thyroiditis

- Autoimmune Oophoritis

- Endometriosis

- Autoimun Orchitis
- Autoimun Enteropathy

- Celiac Disease

- Coeliac

- Crohn's Disease

- Microscopic Colitis

- Ulcerative Colitis

- Antiphospholipid Syndrome

- Aplastic Anemia

- Autoimmune Hemolytic Anemia

- Autoimmune Lymphoproliferative Syndrome

- Autoimmune Neutropenia

- Cold Agglutinin Disease

- Essential Mixed Cryoglobulinemia

- Evans Syndrome

- IgG4-related Systemic Disease

- Pernicious Anemia

- Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria

- Pure Red Cell Aplasia

- Thrombocytopenia

- Adiposis Dolorosa

- Adult-onset Still's Disease

- Ankylosing Spondylitis

- CREST Syndrome
- Drug-induced Lupus

- Enthesitis-related Arthritis

- Eosinophilic Fasciitis

- Felty Syndrome

- Juvenile Arthritis

- Lyme Disease (Chronic)

- Mixed Connective Tissue Disease

- Palindromic Rheumatism

- Parry Romberg Syndrome

- Parsonage-Turner Syndrome

- Psoriatic Arthritis

- Reactive Arthritis

- Relapsing Polychondritis

- Retroperitoneal Fibrosis

- Rheumatic Fever

- Sarcoidosis

- Schnitzler Syndrome

- Undifferentiated Connective Tissue Disease

- Dermatomyositis

- Fibromyalgia

- Inclusion Body Myositis

- Myositis

- Myasthenia Gravis
- Neuromyotonia

- Paraneoplastic Cerebellar Degeneration

- Polymyositis

- Acute Disseminated Encephalomyelitis

- Acute Motor Axonal Neuropathy

- Anti-N-Methyl-D-Aspartate Receptor Encephalitis

- Balo Concentric Sclerosis

- Bickerstaff's Encephalitis

- Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy

- Guillain–Barré Syndrome

- Hashimoto's Encephalopathy

- Idiopathic Inflammatory Demyelinating Diseases

- Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome

- Multiple Sclerosis

- Narcolepsy

- Pediatric Autoimmune Neuropsychiatric Disorder Associated with Streptococcus

- Progressive Inflammatory Neuropathy

- Restless Leg Syndrome

- Stiff Person Syndrome

- Sydenham Chorea

- Transverse Myelitis

- Autoimmune Retinopathy

- Autoimmune Uveitis
- Cogan Syndrome

- Graves Ophthalmopathy

- Intermediate Uveitis

- Ligneous Conjunctivitis

- Mooren's Ulcer

- Neuromyelitis Optica

- Opsoclonus Myoclonus Syndrome

- Optic Neuritis

- Scleritis

- Susac's Syndrome

- Sympathetic Ophthalmia

- Tolosa-Hunt Syndrome

- Autoimmune Inner Ear Disease

- Ménière's Disease

- Anti-neutrophil Cytoplasmic Antibody-associated Vasculitis

- Behçet's Disease

- Giant Cell Arteritis

- Henoch-Schonlein Purpura

- Kawasaki's Disease

- Leukocytoclastic Vasculitis

- Lupus Vasculitis

- Rheumatoid Vasculitis

- Microscopic Polyangiitis
- Polyarteritis Nodosa

- Polymyalgia Rheumatica

- Urticarial Vasculitis

- Vasculitis
BAB III

TINJAUAN TEORITIS PENYAKIT

PENYAKIT LUPUS SISTEMIK ERYTOMATOSUS

1. Definisi

Lupus sistemik erytomatosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem

yang terutama mengenai wanita usia subur. Ciri utama dari lupus adalah

ditemukannya zat anti terhadap inti sel dan autoantigen lainnya. Perjalanan

penyakitnya sangat beragam, sulit diprediksi dan manifestasinya tidak khas.

(Irianto, 2014).

SLE (Sistemic Lupus Erythematosus) adalah suatu penyakit autoimun

yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala

bermacam-macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. (Price,

2005).

Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto

imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah,

merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,

leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan

bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.


2. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya

disebabkan kombinasi berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan

lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem kekebalan yang pada

mulanya sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh,

kemudian “teman-teman” sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri) dianggap

sebagai musuh, sehingga dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian

zat anti ini menyerang sel-sel tubuh organ sendiri tersebut. Akibatnya

serangan ini menimbulkan kerusakan-kerusakan pada organ tersebut.

Faktor genetik memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan

penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang

menderita SLE juga.

Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di

daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di

daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.

SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat

yang memiliki gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,

obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat

untuk berikatan degan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing

oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA)

untuk menyaring benda asing tersebut. (Irianto, 2014)


Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun

dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga

mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE.

(Irianto, 2014)

Etiologi lupus erythomatosus sistemik (SLE) belum diketahui secara utuh.

Namun demikian banyak fakta yang menunjukkan bahwa bersifat

multifatorial meliputi genetik yakni HLA DR2 (ras Asia/Jepang) dan HLA

DR3 (ras Kaukasia) neuroendokrin dan lingkungan yang berpemgaruh pada

respon imun. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak sekali gen

(lebih dari 100) yang berperan, terutama yang berfungsi mengkode unsur-

unsur sistem imun dan apoptosis.

a. Faktor Genetik

Faktor genetik berperan penting dalam kepekaan serta manifestasi

klinis. Sebagaimana penyakit autoimmune lainnya, orang dengan lupus

(odapus) mempunyai sifat genetis tertentu. Saudara kembar identik

odapus mempunyai risiko terkena lupus sebesar 3-10 kali lipat dibanding

yang tidak kembar identik. Demikian pula kerabat dekat (ibu, ayah,

saudara kandung) odapus mempunyai risiko 8-9 kali lipat untuk terkena

lupus dibanding masyarakat pada umumnya. Sekitar 10-20% pasien SLE

mempunyai keluarga dekat (first degree relative) yang juga menderita

SLE.
b. Faktor Lingkungan

Saudara kembar identik odapus berisiko lebih tinggi, namun tidak

semuanya akan mengalami lupus (30-50%). Hal ini menunjukkan adanya

peran lingkungan

c. Lupus Karena Obat

3. Tanda dan Gejala

Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala

yang sering timbul. Disamping itu mungkin juga terdapat nyeri sendi,

kelainan pada kulit, anemia, gangguan fungsi ginjal, nyeri kepala sampai

kejang. Pada jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga timbul sesak

napas. Gejala ini tidak semuanya timbul pada seorang penderita lupus.

Penderita lupus mungkin hanya mengalami beberapa gejala saja.

Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut

rontok, sering demam, sering sariawan, kencing mengandung protein, serta

mengalami fotosensitif. Ini dikemukakan oleh Prof. Handono Kalim selaku

Ketua Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar News, 2012).

Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi

Dhuha), Lupus adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut

sebagai Lupus Erythematosus.

Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit

Lupus Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.


Berikut ini adalah fakta-fakta mengenai Lupus Erythematosus yaitu:

a. Meskipun lupus datat menyerang pria dan wanita segala usia, 90%

penderita adalah wanita dan 90% dari jumlah tersebut yang terkena lupus

sistemik terjadi pada usia antara 15-45 tahun.

b. Sekitar 70% kasus lupus adalah sistemik dan dalam 50% kasus tersebut

lupus akan menyerang organ penting.

c. Lupus discoid terhitung sebanyak 10% dari keseluruhan kasus. 20%

penderita lupus memiliki kerabat dekat (orang tua atau saudara) yang

menderita lupus atau sedang dalam perkembangan penyakit lupus.

d. Sekitar 5% anak-anak yang lahir dari ibu yang menderita lupus akan

memiliki kemungkinan memiliki penyakit yang sama.

e. Lupus yang disebabkan oleh obat lebih sering terjadi pada orang tua

karena mereka memiliki kondisi yang mendukung (hipertensi, penyakit

jantung) yang membutuhkan pengobatan yang kemudian dapat

menimbulkan gejala lupus. (Irianto, 2014).

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis Lupus Erythematosus sistemik(SLE) dapat

membingungkan terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering adalah

artritis simetris tau atralgia yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan

penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sering

terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku,

bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliathritis SLE berbeda dari arthritis
rematoid karena jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas. Nodul

subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE.

Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan

berkurangnya berat badan yang biasa timbul pada awal penyakit dan dapat

berulang dalam perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul

sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.

Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yang dapat timbul pada wajah,

leher, ekstremitas atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki

ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam

kulit ini. Dapat timbul alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat

menjadi berat. Rambut biasanya dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga

dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.

Pleuritis (nyeri dada) dapa timbul akibat proses peradangan kronik dari

SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium,

endocardium, atau pericardium.

Fenomena Raynoud dapat timbul sekitar 40% pada pasien SLE. Beberapa

kasus dapat sangat berat sehingga dapat terjadi gangrene pada jari. Vaskulitis

dapat menyerang semua ukuran arteria dan vena.

Nefritis lupus timbul pada waktu antibodi anti-nuklear (anti-DNA)

melekat pada antigennya (DNA) dan diendapkan pada glomerulus ginjal.

Biasanya DNA tidak bersifat antigenic pada orang normal tetapi dapat dapat

menjadi antigenik pada pasien SLE. Komplemen trrfiksasi pada komplek


imun ini, dan proses peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi

peradangan ginjal, kerusakan jaringan dan pembentukan jaringan parut.

Kira-kira 60% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya.

Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui dengan

melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau silinder di

dalam urine. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti mungkin perlu

dilakukan biopsi ginjal.

SLE dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala

yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi, psikosis),

kejang-kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-

perubahan pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit

yang ganas dan sering kali bersifat fatal.

Antibody terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan terhadap kompleks

protein asam Ribonukleat (RNA) yang disebut Sm, hanya ditemukan pada

pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat menyebabkan antibody

antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNA dan anti-Sm jarang

ditemukan kecuali pada SLE (Price, 2005).

5. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,

hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi


selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar

termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,

klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan

seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa

kimia atau obat-obatan. .

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau

beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal

terhadap sel TCD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-

antigen.

Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan

induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun

yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari

yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan

berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang

terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA,

protein histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan

alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein

RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen

ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen

integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA

(anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk


kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa

penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan

klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks

imun dalam hati, dan penurun

Uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini

memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam

organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.

Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan

substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah

yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang

bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan

sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya

mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas

patologis pada individu yang resisten.


Partway SLE

Genetik, Kuman, Virus, Lingkungan, Obat-obatan Tertentu

Gangguan Immunoregulasi

Antibodi yang Berlebihan

Antibodi menyerang Organ-organ tubuh (sel, Jaringan)

Menimbulkan sel T supresor yang abnormal

Penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan

Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik

Produksi Antibodi secara terus-menerus

Mencetus penyakit inflamsi terus-menerus


Sistem Muskuloskletal:
a. Atralgia
b. Arthritis (sinovitis)
c. Pembengkakan Sendi Nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak
d. Rasa kaku pada pagi hari
Sistem Integumen:
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri dari ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
Sistem Kardiak :Perikarditis merupakan manifestasi kardiak
Sistem Pernafasan : Pleuritis atau Efusi Pleura
Sistem Vaskuler :
a. Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi popular
b. Eritematosus dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku, serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis
Sistem Perkemihan : Glomerulus Renal yang biasa terkena
Sistem saraf : Spektrum gangguan system saraf pusat sangat luas dan

mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan

psikosis.
6. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Tes Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif : < 70 IU/mL

Positif : > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE

aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang

tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah

sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit

reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan

sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan

yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit

terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif

pada penyakit SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus

(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang

double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerang single-

stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan

spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.

Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya

untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar


dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan

menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan

terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and

Pagana, 2002).

2) Tes Antinuclear antibodies (ANA)

Ü Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun

yang lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang

bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup sensitif untuk

mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95%

penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena

ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah

ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan

keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian terapi maka

penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan

menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif

terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan

tes laboratorium yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka

sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk menunjang

diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat

meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein),

dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,

2002).
b. Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa

serta untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah

antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test,

anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte Sedimentation

Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan

C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes

fungsi hepar, kreatinin kinase.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Ruam kulit atau lesi yang khas.

2) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

3) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan

adanya gesekan pleura atau jantung.

4) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih

dari 0,5 mg/hari atau +++.

5) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa

jenis sel darah.

d. Biopsi ginjal.

e. Pemeriksaan saraf.
7. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan medis

Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:

1) Antiradang nonstreroid (AINS)

AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini

lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi,

dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati.

Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping

obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian

harus dipantau secara seksama.

2) Kortikosteroid

3) Antimalaria

Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS

tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria

mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan

remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau

pemakaian dosis.

4) Imunosupresif

Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat

dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini

biasanya dipakai ketika:

a) Diagnosis pasti sudah ditegakkan

b) Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa


c) Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila

pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis

steroid harus diturunkan karena adanya efek samping

d) Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan

Lorraine, 1995).

b. Penatalaksanaan keperawatan

Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat

penyakit yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan

reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi.

Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan

keperawatan yang utama.

1) Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan

instrument yang valid, seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi

dan kuesioner pengkajian kesehatan. Hal ini member indikasi yang

berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.

2) Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien

yang menyadari hubungan antara stres dan serangan aktivitas

penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek kesehatan mereka.

Advice tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode istirahat,

pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan,

seperti peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala,

atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan

strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.


3) Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien

SLE. Perawat dapat memberi dukungan dan dorongan serta, setelah

pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.

Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan

memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik

terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka.

c. Penatalaksanaan diet

Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar

pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan

adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah

garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan

obat tradisional.

Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan

untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi

tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan

dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar

matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan

krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu

fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien

SLE.
8. Asuhan Keperawatan pada Lupus Sistemik Erytomatosus

a. Pengkajian

1) Anamnesa

Meliputi riwayat kesehatan sekarang dan riwayat penyakit

dahulu.Riwayat penyakit sekarang difokuskan pada gejala yang

dialami sekarang seperti mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam,

dan anoreksia.Riwayat penyakit dahulu berfokus pada gejala yang

pernah dialami dan riwayat pengobatan sebelumnya.

2) Pemeriksaan Fisik (Pemeriksaan Head To Toe)

3) Pengkajian Persistem

a) Kardiovaskuler

Adanya pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

b) Muskuloskletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak.

c) Integument

Lesi akut yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang

melintang di pangkal hidung serta pipi.

d) Pernafasan

Adnya pleuritis dan efusi pleura.

e) Vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi

popular, eritematosus dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku,


serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan

dan berlanjut dengan terjadinya nekrosis.

f) Renal

Edema dan hematuria.

g) System Saraf

Sering dijumpai depresi dan psikosis, juga serangan kejang

ataupun manifestasi SSP lainnya.

4) Pengkajian Pola Fungsional Gordon

a) Pola Persepsi Kesehatan

Klien/lansia dan keluarga memahami dan mengerti tentang

penyakit yang dideritanya dan mampu untuk melakukan

perawatan.

b) Pola Nutrisi

Lansia yang menderita SLE banyak kehilangan berat badan

sampai beberapa kg, penyakit ini disertai rasa mual dan muntah

sehingga menyebabkan penderita nafsu makannya menurun.

c) Pola Eliminasi

Tida semua penderita SLE mengalami nefritis proliferative

mesangial.

d) Pola Aktifitas Latihan

Lansia yang mengalami lansia sering mengeluhkan kelelahan

yang luar biasa dan sering mengalami nyeri pada persendiannya.

e) Pola Istirahat Tidur


Klien/lansia mengalami gangguan tidur karena nyeri yang

dialaminya.

f) Pola Kognitif Persepsi

Pada system persepsi daya perabaannya akan sedikit terganggu

karena ditemukan lesi vaskulitik pada jari-jari. Pada system

neurologis, penderita bisa mengalami depresi dan psikosis.

g) Pola Persepsi Diri

Penderita akan merasa malu karena timbulnya lesi kulit yang

bersifat irreversible dan timbul kemerahan pada pipi dan kulit.

h) Pola Peran Hubungan

Selama sakit pasien tidak dapat melaksanakan perannya sehari-

hari dengan baik.

i) Pola Reproduksi dan Seksualitas

Biasanya penderita tidak mengalami gangguan dalam pola

seksual.

j) Pola Koping dan Toleransi Stress

Lansia dengan SLE akan mengalami depresi dan juga stress

karena nyeri yang dialami. Untuk menghadapi semua ini klien

perlu diberi dukungan keluarga sehingga klien semangat untuk

sembuh.

k) Pola Nilai dan Kepercayaan

Aktifitas ibadah pasien akan terganggu karena keterbatasan

aktifitas dan nyeri sendi.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit autoimun adalah kegagalan fungsi system kekebalan tubuh yang membuat

badan menyerang jaringannya sendiri. System imunitas menjaga tubuh melawan pada apa

yang terlihat sebagai bahan asing atau berbahaya bagi tubuh. Antigen adalah molekul yang

mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel. Sistem imunitas hanya bereaksi

terhadap antigen dari bahan asing yang berbahaya dan buka terhadap antigen sendiri.Sistem

imunitas yang rusak menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen asing dan

menghasilkan antibody (autoantibodi) atau sel imunitas menyerang jaringan tubuh

sendiri.Respon ini disebut sebagai reaksi autoimun.

Penyakit autoimun terjadi ketika system kekebalan tubuh seseoarang mengalami

gangguan sehingga menyerang jaringan tubuh itu sendiri.Padahal seharusnya system imun

hanya menyerang organisme atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh.

B. Saran

Ada berbagai saran yang menjadi renungan kita sebagai tim medis bidang keperawatan dalam

merawat pasien dengan penyakit gangguan autoimun yang bisa dimasukan agar nantinya dalam

memberikan asuhan keperawatan bisa sesuai dengan keilmuan kita dan sesuai dengan masalah

keperawatan yang ditemukan pada klien.


DAFTAR PUSTAKA

Ahern, Nancy R & Wilkinson, Judith M. 2012


BukuSakuDiagnosaKeperawatan. Ed.9 Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth, 2010,


BukuAjar Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. Vol 1. Suzanne C, Smeltzer, Jakarta:
EGC

Corwin, J. Elizabeth, 2003


Buku Saku Patofisiologi, Jakarta: EGC

Doengos, marilynn. E, 2003


Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk Perencanaan dan Pedokumentasian
Perawatan Pasien), Jakarta: EGC

Doctherman, Joanne McCloskey, 2008.


Nursing Interventions Clasification (NIC), Fifth Edition, Missouri:Mosby

Engram, Barbara, 2008


Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Edisi Volume 2, Jakarta: EGC

Herdman, T. Heather
Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi (Nursing Diagnoses: Definitions and
Classification) 2012-2014, Jakarta: EGC

J.C.E UNDERWOOD
Patologi umum dan sistematik, Edisi II.Volume 2
Alih Bahasa Prof Dr.Sarjadi.dr SpPA, Jakarta: EGC

Nurarif, Amin Huda dkk, 2015


AplikasiAsuhanKeperawatanBerdasarkan Diagnosis Medis& Nanda NIC NOC, Jilid 2
Jogjakarta :Mediaction Publishing

Smeltzer, Susan C, 2015


Keperawatan Medical Bedah (Handbook for Brunner &Suddarth’s Textbook of Medical
surgical Nursing), Jakarta: EGC

Suratun, 2008
Klien Gangguan Sistem Muskuloskletal: seri Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017


Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, DefinisidanIndikatorDiagnostik, Ed.
Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai