BUKU I
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
NOVEMBER 2006
PROSIDING
Seminar Hasil-Hasil Penelitian &
Pengabdian Kepada Masyarakat
September © 2006
Penyunting :
Dr. John Hendri, M.S.
Dr. Ir. Tugiyono, M.S.
Dr. Ir. Udin Hasanudin, M.T.
Dr. Ir. Suharyono, M.S.
Dr. Sutopo Hadi
Dr. Warsito, D.E.A.
Drs. Teguh Budi Raharjo, M.S.
Muhammad Akib, S.H., M.H.
Drs. Buchori Asyik, M.Si.
Penyunting pelaksana:
Ikhman Alhakki, S.E.
Agus Effendi
BUKU I
ISBN 979-8287-XX-11
Diterbitkan oleh :
LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro no. 1 Gedungmeneng
Bandarlampung 35145
Telp. (0721) 705173, 701609 ext. 136, 138,
Fax. 773798,
e-mail : lemlit@unila.ac.id
www.unila.ac.id
KATA PENGANTAR
P uji Syukur kepada ALLAH SWT., yang telah melimpahkan Rahmat dan
Nikmat-Nya kepada civitas akademika Universitas Lampung yang dapat
mengenang hari jadinya yang ke-41 tahun di tahun 2006. dalam rangka
mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Universitas Lampung menyelenggarakan
Seminar Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah
dilaksanakan oleh para dosen, baik yang dilakukan dengan dana mandiri, maupun
mereka mendapatkan bantuan hibah dari berbagai block grant
Terimakasih kami sampaikan kepada panitia seminar yang telah bekerja keras untuk
mengumpulkan makalah dari para dosen di lingkungan Universitas Lmapung dan
peran serta aktif dosen dalam seminar. Demikian juga kami sampaikan ucapan terima
kasih yang setinggi-tingginya kepada dewan penyunting dan penyunting pelaksana yang
telah bekerja keras untuk mewujudkan terbitnya prosiding ini, serta pihak-pihak yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
halaman
Tingkat Motilitas Spermatozoa Dan Pembuahan Sel Telur Tiram Mutiara
(Pinctada Maxima) Dengan Pemberian Larutan Amonia
Eko Efendi …………………………………………………………………………… 1
Evaluasi Produksi Karkas Dan Kulit (By-Product) Dari Dua Bangsa Sapi
Persilangan
Kusuma Adhianto ………………………………………………………………….. 96
ii PROSIDING
Pemanfaatan Zeolit Alam Lampung Teraktifkan (Aktivasi Fisik) Sebagai
Penukar Kation Pada Penurunan Kesadahan Air Yang Mengandung Ion
Magnesium
Simparmin Br Ginting ……………………………………………………………… 191
Pengaruh Perbedaan Warna Media Bubu Karang (Coral Trap) Terhadap Hasil
Tangkapan
Tarsim dan Indra Gumay Yudha ………………………………………………… 204
iv PROSIDING
TINGKAT MOTILITAS SPERMATOZOA DAN PEMBUAHAN SEL TELUR TIRAM
MUTIARA (Pinctada maxima) DENGAN PEMBERIAN LARUTAN AMONIA
EKO EFENDI
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki perairan yang luas sehingga
mempunyai potensi yang cukup besar untuk pemanfaatan sumber hayati laut yang terkandung
didalamnya, salah satu potensi besar yang ada diperairan Indonesia adalah tiram mutiara.
Seiring dengan bertambahnya usaha budidaya tiram mutiara maka meningkat pula kebutuhan
akan pengadaan benih tiram mutiara, dan sampai saat ini pengadaan benih masih banyak
tergantung dari alam. Untuk mengatasinya maka perlu dilakukan usaha pembenihan yang
dapat menjamin kelangsungan usaha budidaya tiram mutiara dan dapat menjaga kelestarian
komoditas tersebut dari kepunahan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat motilitas spermatozoa dengan
penambahan larutan ammonia, mengetahui tingkat keberhasilan pembuahan sel telur oleh
spermatozoa yang telah mendapatkan perlakuan penambahan larutan ammonia dan
mendapatkan konsentrasi larutan ammonia yang paling tepat untuk meningkatkan persentase
pembuahan sel telur tiram mutiara. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian
aini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan,
perlakuan yang diberikan adalah pemberian konsentrasi larutan ammonia yang berbeda.
Konsentrasi yang digunakan adalah 0 % ,0,05%, 0,1 %, 0,15 % dan 0,2 % dari volume
sampel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa semua perlakuan yang dicobakan memberikan perbedaan
pengaruh yang sangat nyata terhadap motilitas spermatozoa dan pembuahan sel telur tiram
mutiara.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki perairan yang luas sehingga
mempunyai potensi yang cukup besar untuk pemanfaatan sumber hayati laut yang terkandung
didalamnya, salah satu potensi besar yang ada diperairan Indonesia adalah tiram mutiara.
Seiring dengan bertambahnya usaha budidaya tiram mutiara maka meningkat pula kebutuhan
akan pengadaan benih tiram mutiara, dan sampai saat ini pengadaan benih masih banyak
tergantung dari alam. Untuk mengatasinya maka perlu dilakukan usaha pembenihan yang
dapat menjamin kelangsungan usaha budidaya tiram mutiara dan dapat menjaga kelestarian
komoditas tersebut dari kepunahan.
Motilitas spermatozoa digunakan sebagai sarana untuk bergabung dengan sel telur pada saat
pembuahan. Fenomena ini dilalui dengan penggiatan sperma dan reaksi akrosomal (Robert,
1989). Penggiatan sperma (sperm activation) adalah perubahan dari sperma yang belum motil
menjadi motil yang terjadi pada saat sperma menempel pada sel telur (Holmes, 1979).
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat motilitas spermatozoa dengan
penambahan larutan ammonia, mengetahui tingkat keberhasilan pembuahan sel telur oleh
spermatozoa yang telah mendapatkan perlakuan penambahan larutan ammonia dan
mendapatkan konsentrasi larutan ammonia yang paling tepat untuk meningkatkan persentase
pembuahan sel telur tiram mutiara. Manfaat penelitian ini adalah Diperolehnya materi dasar
yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan teknik
METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sperma dan sel telur berasal dari induk
jantan dan induk bertina tiram mutiara (Pinctada maxima) yang telah matang gonad pada
stadia IV. Larutan ammonia yang digunakan adalah larutan ammonia Pro Analisis produk E.
Merck dengan konsentrasi 60%.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian aini adlah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan, perlakuan yang diberikan adalah
pemberian konsentrasi larutan ammonia yang berbeda. Konsentrasi yang digunakan adalah 0
% ,0,05%, 0,1 %, 0,15 % dan 0,2 % dari volume sampel.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data motillitas spermatozoa dan
persentase pembuahan telur tiram mutiara yang dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Data yang dikumpulkan berupa persentase motilitas spermatozoa dan pembuahan telur tiram
mutiara dianalisa menggunakan analisa sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan
yang dicobakan. Sebelum dianalisa terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitas sebaran
data.
2 PROSIDING
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlakuan pemberian larutan ammonia dengan konsentrasi yang berbeda pada larutan sperma
tiram mutiara ternyata memberikan respon motilitas spermatozoa yang berbeda seperti tersaji
dalam Tabel 1.dan Gambar 1.
90 85,73
77,56
persentase motilitas spermatozoa
80
70
56,39
60
50 45,35
40
30
20
10
0
0
0,00% 0,03% 0,06% 0,09% 0,12%
Konsentrasi amonia
Sebelum analisa sidik ragam data motilitas spermatozoa diuji normalitasnya dengan metode
Liliefors dan homogenitasnya dengan metode Bartlet. Hasil analisa kovarian spermatozoa
tersaji pada Tabel 2.
Hasil analisa kovarian menunjukan bahwa ada pengaruh yang sangat nyata dari pemberian
larutan amonia dengan konsentrasi yang berbeda. Pada perlakuan A dengan konsentrasi
amonia 0 % atau tanpa amonia tingkat motilitas spermatozoa adalah 0% diduga karena
sperma yang dikeluarkan secara paksa dengan membedah tubuh induk jantan tiram mutiara
yang telah matang gonad tetapi masih dalam keadaan dormant (fase istirahat), jadi
spermatozoa non motil. Aktivasi spermatozoa (sperm activation) dan motilitas terjadi pada
saat pemijahan alami. Pada pH 7.9 (perlakuan A) diduga masih terlalu rendah bagi
spermatozoa untuk melalui fase akrosomal. Menurut Iijima et al., (1986) dalam Schackmann
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 3
(1989) bahwa penurunan pH air laut menjadi 7 atau lebih rendah efektif menahan reaksi
akrosomal dan aktifitas ion Ca2+.
Penambahan larutan amonia akan meningkatkan pH larutan sperma dimana ammonia (NH3)
dengan air akan bereaksi membentuk (NH4OH) dan menyebabkan kenaikan pH air atau air
akan menjadi basa. Peningkatan pH menjadi 9 atau lebih pada larutan sperma akan dapat
meningkatkan keaktifan dan mengaktivasi sperma yang ditunjukan dengan terjadinya reaksi
akrosomal. Hal tersebut mungkin berhubungan dengan air laut yang yang mengandung
amonia yang akan menyebabkan peningkatan reaksi akrosomal pada spermatozoa (Li and
Rebhun, 1979 dalam Longo, 1988).
Motilitas spermatozoa berhubungan dengan aktifitas ATP dalam sel yang diatur dengan pH
sel. Pemberian amonia dengan konsentrasi tinggi (perlakuan E, 0.12%) meningkatkan pH
menjadi 9.8 menghasilkan motilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B, C,
dan D. Larutan amonia yang tinggi konsentrasinya akan membunuh spermatozoa (Harvey and
Hoar, 1979).
Perlakuan pemberian larutan ammonia dengan konsentrasi yang berbeda pada larutan sperma
tiram mutiara ternyata memberikan respon pembuahan yang berbeda seperti tersaji dalam
Tabel 3.dan Gambar 2.
70 62,89
60
50
40
30,57
30
20
10 5 3,45
0
0,00% 0,03% 0,06% 0,09% 0,12%
4 PROSIDING
Hasil analisa kovarian menunjukan bahwa pemberian larutan amonia memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap tingkat pembuahan telur tiram mutiara. Analisa Kovarian
dilakukan setelah data diketahui homogen dan mempunyai sebaran normal. Hasil analisa
kovarian disajikan dalam Tabel 4.
Larutan amonia selain berpengaruh terhadap sperma yaitu dengan mengaktifkan dan
menyuburkan spermatozoa (Schackmann, 1989) juga akan mempengaruhi sel telur, dimana
telur yang tidak subur ketika dicampur dengan larutan amonia akan mengalami proses
penguraian germinal vesikel (germinal vesicle breakdown) sehingga telur akan siap untuk
dibuahi (Longo, 1988).
KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian larutan amonia
dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap
tingkat motilitas spermatozoa dan pembuahan telur.Perlakuan B(0.03%) memberikan jumlah
motilitas tertinggi yaitu 85.73%, kemudaian diikuti perlakuan C (0.06%) 75.56%, perlakuan
D (0.09%) 56.39%, perlakuan E (0.12%) 3.45% dan perlakuan A (0%) motilitas spermatozoa
adalah 0%.Persentase pembuahan telur tertinggi didapatkan dari perlakuan B (0.03%) dengan
tingkat pembuahan 62.89%, kemudian diikuti dengan perlakuan C (0.06%) 30.57%,
perlakuan D (0.09%) 5.00% dan perlakuan E (0.12%) 3.45%, sedangkan pada perlakuan A
tidak terjadi pembuahan.Kisaran kualitas air dalam media masih dalam toleransi untuk
budidaya tiram mutiara, dengan kisaran temperatur 30oC, salinitas 32 ppt dan pH antara 7.9 –
9.8.
DAFTAR PUSTAKA
Garber, d. L. 1989. The Regulation of Spermatozoan Function by the Egg. The molecular
Biology of Fertilization. Chapter 1.pp:3 – 20.
Harvey, B. J and W. S. hoar. 1979. The Theory of Practise of Induced Breeding in Fish.
IDRC. Ottawa. 48p.
Longo, F.J. 1988. Meiotic Maturation and Fertilization. The Mollusca Development Vol.
3. Chapter 2. Academic Press.
Mayes, P. A. 1983. Oksidasi Biologi. Harper’s Review of Biochemistry. Chapter 12. Ed. 20.
EGC.
Mulyanto. 1987. Kerang Mutiara Salah Satu Kekayaan Laut Kita. Balai Budidaya Laut.
Lampung.
Robert, T. M., S. Sepsenwol and H. Ris. 1989. Sperm Motility in Nematodes : crawling
Movement Without Actin. The Cell Biology of Fertilization. Chapter 3.
Academic press.
Schackmann, R. 1989. Ionic Regulation of the Sea Urchin Sperm Acrosoma Reaction and
Stimulation by Egg Derived Peptides: The Cell Biology of Fertilization.
Academic Press.
Sutaman. 1993. Tiram Mutiara : Teknik Budidaya dan Proses Pembuatan Mutiara.
Penerbit Kanisius. Bandung.
Winanto, T dan S. B. Dhoe. 1992. Studi Awal Pemijahan Tiram Mutiara (Pinctada
maxima) Dengan Metode Manipulasi Lingkungan. Buletin Balai Budidaya
Laut lampung. No. 4. Hal 6 – 21.
6 PROSIDING
STUDI KINETIKA BAKTERI KARANG
PENDEGRADASI SENYAWA HERBISIDA MCPA
ESTI HARPENI
Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Pencemaran wilayah pesisir oleh herbisida khususnya oleh MCPA memiliki dampak yang
sangat berbahaya bagi keberadaan ekosistem terumbu karang. Namun keberadaan bakteri
pendegradasi herbisida organoklorin (MCPA) pada lapisan biofilm terumbu karang
merupakan alternatif pemecahan masalah pencemaran ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengisolasi dan menyeleksi bakteri yang berasosiasi dengan karang yang memiliki
kemampuan mendegradasi senyawa MCPA serta mengetahui kinetika pertumbuhan dan
penggunaan senyawa MCPA tersebut. Hasil penelitian menunjukkan dari 127 isolat yang
diperoleh, 107 diantaranya menunjukkan kemampuan mendegradasi senyawa MCPA. Dari uji
kinetika didapatkan laju pertumbuhan maksimum (µmaks) sebesar 0,8024 jam-1 dan nilai
tetapan kejenuhan (Ks) sebesar 0,0071 mg/l. Sedangkan laju penggunaan substrat (rs) tertinggi
pada konsentrasi 200 mg/l yaitu sebesar 1,4781 g/l MCPA.
PENDAHULUAN
Pencemaran garam-garam dari berbagai senyawa halogen (Fluor, Chlor, Brom, Iod dan
Astatin) pada perairan Pantai Utara Jawa disebabkan oleh limbah industri dan peningkatan
penggunaan bahan pestisida dalam bidang pertanian. Salah satu senyawa herbisida yang
sering digunakan adalah MCPA. Pencemaran ini memiliki dampak yang sangat berbahaya
bagi keberadaan ekosistem wilayah pesisir. Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem
wilayah pesisir paling produktif juga mendapat ancaman pencemaran ini. Glynn et al. (1984)
mengatakan bahwa pestisida mampu membunuh karang pada konsentrasi rendah dan dalam
waktu yang sangat singkat.
Masih sedikit upaya yang dilakukan untuk melestarikan sumber hayati karang. Meskipun
beberapa hasil penelitian menunjukkan keberhasilan sistem transplantasi, tetapi rehabilitasi
dan perlindungan terumbu karang membutuhkan penanganan secara ekstensif dengan
pendekatan bioteknologi. Bioesai dengan menggunakan sistem mikrobia banyak disarankan
dalam mendeteksi polutan toksik di perairan. Kemajuan ilmu dan teknologi telah berhasil
mengembangkan suatu sistem katalis biologi dalam mengelola limbah berbahaya untuk
mendegradasi, mendetoksikasi atau mengakumulasikan polutan tersebut.. WSSA (1989)
melaporkan bahwa MCPA dapat didegradasi di perairan melalui proses biodegradasi dan
fotodegradasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa mikroba tanah mampu mendegradasi
MCPA dan rata-rata kemampuan mendegradasinya meningkat seiring kemampuannya
beradaptasi terhadap senyawa ini. Keberadaan bakteri pendegradasi herbisida organoklorin
(MCPA) yang berasosiasi dengan karang dapat menjadi alternatif pemecahan masalah
pencemaran ini.
Sampling
Sampling karang dilakukan pada 4 life-form karang (massive, sub-massive, branching dan
foliose) di perairan Kepulauan Karimunjawa pada 2 stasiun. Sampel selanjutnya dimasukkan
dalam erlenmeyer steril dan dimasukkan dalam cool box dan dibawa ke Laboratorium
Mikrobiogenetika Fakultas MIPA UNDIP untuk preparasi sampel.
Ditimbang 15,0 g Bacto-agar, 5,0 g Bacto-peptone, 1,0 g yeast ekstrak dan 19,5 mg Feri
fosfat, kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang kemudian dituangi air laut steril
hingga mencapai volume 1 liter. Labu erlenmeyer tersebut kemudian dipanaskan di atas hot
plate hingga mendidih dan homogen. pH ditentukan hingga 7,5 - 7,6 dan kemudian media
tersebut disterilisasikan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 1
atm selama 20 menit.
Metode yang digunakan dalam mengisolasi bakteri karang adalah metode yang dilakukan oleh
Chutiwan (1994). Karang yang diambil dari lokasi sampling langsung ditempatkan di dalam
plastik steril kemudian jaringannya dikerok 1 gram menggunakan alat pengerok khusus dan
dihomogenkan dengan 9 ml air laut steril yang selanjutnya dilakukan seri pengenceran.
Diambil 1 ml suspensi homogen dari masing-masing karang, kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril, dikocok hingga homogen dan diperoleh
pengenceran 10-1. Selanjutnya dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml contoh air dengan
menggunakan pipet steril, yang kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml air laut steril dan
diperoleh pengenceran 10-2. Masing-masing diambil 80 µl contoh air, dimasukkan ke dalam
masing-masing cawan petri steril yang berisi Zobell 2216E dan disebarkan hingga merata.
Cawan petri tersebut dibungkus dengan kertas pembungkus dan diinkubasikan selama 2 x 24
jam pada suhu kamar. Koloni bakteri yang tumbuh pada permukaan agar tersebut, kemudian
dipisahkan dengan metode goresan (streak method) sehingga diperoleh isolat bakteri
pembentuk biofilm primer yang berupa kultur murni.
Isolat murni yang diperoleh diuji kemampuan di dalam mendegradasi senyawa MCPA dengan
indikator media EMBA (Loos, 1975). Media EMBA mengandung 200 mg MCPA dan
dilarutkan dalam 1 liter air laut dengan pH 7,0. Isolat murni yang diperoleh ditanam pada
media EMBA dengan teknik goresan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar.
Perubahan warna koloni menjadi merah menunjukkan bahwa isolat mampu mendegradasi
senyawa MCPA. Seleksi tahap pertama dilakukan terhadap isolat bakteri karang yang
memiliki kemampuan mendegradasi senyawa MCPA, untuk dipergunakan sebagai materi
dalam percobaan selanjutnya.
Hasil seleksi kemudian diuji pertumbuhan dan % degradasi yang dilihat dari turbiditasnya
(Bhat et al., 1994; Maltseva et al., 1996) dengan ditumbuhkan pada media yang mengandung
8 PROSIDING
2,5 g bacto-peptone dan 0,5 g yeast extract + 80 mg/l MCPA per 1 liter air laut. Media
terlebih dahulu dilarutkan dengan dipanaskan di atas magnetic stirrer hot plate hingga
homogen, pH ditentukan hingga 7,5 – 7,6. gelas erlenmeyer 50 ml disiapkan untuk dituangi
masing-masing sebesar 25 ml dari media cair tersebut. Kemudian disterilisasikan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121° C selama 20 menit. Setiap bakteri diinokulasi ke dalam
erlenmeyer tersebut dan diinkubasikan pada suhu kamar dengan digoyang (dengan shaker)
selama 48 jam. Kemudian diukur nilai turbiditasnya (OD600) dan kandungan senyawa MCPA
dalam medium dengan menggunakan UV spektrofotometer pada panjang gelombang λ = 228
nm. Rancangan percobaan penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
perlakuan 4 life-form karang (massive, sub-massive, branching dan foliose) masing-masing
dengan 3 kali ulangan. Analisa data menggunakan Anova.
Bakteri hasil seleksi selanjutnya diuji sensitivitasnya dengan metode Difusi Agar (Conception
et al., 1994). Beberapa cawan petri steril dipersiapkan dan dituangi dengan 20 ml Zobell
2216E. Setelah memadat, kemudian tiap isolat bakteri diinokulasikan sebanyak 0,1 ml dengan
metoda sebaran. Kertas cakram steril diletakkan pada permukaan agar dan ditambahkan 200
mg/l MCPA sebanyak 30 µl dengan mikropipet, dan diinkubasikan pada suhu kamar selama
24 jam. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada tidaknya zona hambatan pertumbuhan
bakteri di sekeliling kertas cakram. Zona hambatan yang terbentuk diukur diameternya
dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,05 mm. Seleksi bakteri tahap kedua
dilakukan berdasarkan hasil uji-uji tersebut di atas dari tiap life-form untuk mendapatkan
bakteri yang memiliki daya degradasi tinggi dan sensitivitas rendah untuk digunakan dalam
penelitian selanjutnya. Rancangan percobaan uji sensitivitas ini adalah RAL dengan perlakuan
4 life-form karang, masing-masing 3 kali ulangan. Analisa data dengan Anova.
Studi kinetika pertumbuhan dan penggunaan substrat dilakukan dengan pembuatan media 200
mg yeast extract + 80 mg/l MCPA dalam labu erlenmeyer yang berisi 1 liter air laut,
dipanaskan di atas magnetic stirrer hot plate hingga homogen dan pH ditentukan hingga 7,5 –
7,6. Gelas erlenmeyer yang berisi 50 ml dipersiapkan dan dituangi masing-masing 25 ml dari
media cair tersebut, diautoklaf pada suhu 121° C selama 20 menit.
Setiap isolasi bakteri diinokulasi ke dalam erlenmeyer tersebut dan diinkubasikan pada suhu
kamar dengan digoyang (shaker). Nilai turbiditasnya diukur pada OD600 dan kandungan
senyawa MCPA diukur pada UV spektrofotometer (λ = 228 nm) dengan interval 24 jam
selama 1 minggu. Berat kering biomassa diukur dengan mensentrifugasi sampel dari kultur
broth, lalu dicuci dengan air dan dikeringkan pada suhu 80° C selama 24 jam (Judoamidjojo
dkk., 1992). Seleksi bakteri tahap ketiga dilakukan untuk satu isolat yang paling baik
berdasarkan spesifikasi dan besarnya % degradasi untuk digunakan dalam percobaan
selanjutnya. Cara yang sama dilakukan seperti percobaan sebelumnya untuk membuat media
50 mg yeast extract + MCPA dengan konsentrasi 40, 80, 120, 160 dan 200 mg/l. Isolat
terseleksi diinokulasi pada masing-masing media. Interval pengamatan ditetapkan
berdasarkan hasil percobaan sebelumnya yang meliputi pertumbuhan dan penggunaan
substrat. Konsentrasi sel diukur pada OD600 kemudian dilakukan kalibrasi ke berat kering sel.
Konsentrasi MCPA diukur dengan UV spektrofotometer λ = 228 nm, dan dikalibrasikan
dengan persamaan dari hasil pengukuran sebelumnya.
S
µmaks
µ=
Ks + S
Keterangan :
µ : Laju pertumbuhan spesifik (jam)
S : Konsentrasi substrat (mg/l)
Ks : Tetapan kejenuhan (mg/l)
µmaks : Laju pertumbuhan maksimum (jam)
Xi - X0
Yx/s =
S0 − S1
Keterangan :
Yx/s : Rendemen biomassa yang terbentuk
So : Konsentrasi awal substrat
Si : Konsentrasi substrat tersisa
X0 : Konsentrasi seluler pada t0
Xi : Konsentrasi seluler t1
rx = µ . x
Keterangan :
rx : Laju pertumbuhan (g/l/jam)
µ : Laju pertumbuhan spesifik (l/jam)
x : Konsentrasi selular (mg)
rs = rx / Yx/s
Keterangan :
rs : Laju penggunaan substrat (ppm/l/jam)
Yx/s : Rendemen biomassa yang terbentuk
rx : Laju pertumbuhan (g/l/jam)
Waktu yang diperlukan untuk satu siklus pembelahan (waktu generasi) menurut Schlegel dan
Schmidt (1994) :
t 1
g= =
n v
Keterangan :
g : Waktu generasi
t : Waktu
v : Kecepatan pembelahan
Hasil isolasi bakteri yang berasosiasi dengan berbagai life-form karang di Perairan
Karimunjawa (Tabel 1) menunjukkan jumlah total isolat bakteri karang sebanyak 127 isolat.
10 PROSIDING
Hasil uji degradasi bakteri karang terhadap senyawa MCPA (Tabel 1) menunjukkan bahwa
84,25 % (107 isolat) dari jumlah total isolat yang diperoleh (127 isolat), memiliki kemampuan
mendegradasi senyawa MCPA yang sangat bervariasi pada ke-4 life-form karang. Perubahan
warna koloni menjadi merah pada media EMBA merupakan indikator kemampuan bakteri
karang mendegradasi senyawa MCPA. Warna merah dari koloni, menurut Loos (1975)
disebabkan oleh adanya produksi asam HCl selama proses degradasi.
Hasil analisa sidik ragam daya degradasi dan pertumbuhan bakteri karang dari berbagai life-
form (Tabel 2), menunjukkan tidak ada perbedan nyata antara life-form karang dengan daya
degradasi dan pertumbuhan bakteri karang. Hal ini menguntungkan, karena bakteri karang
dari berbagai life-form mampu mendegradasi senyawa MCPA. Selain itu, bakteri karang
tersebut juga mampu merespon keberadaan senyawa MCPA sebagai sumber karbon bagi
pertumbuhannya. Bachmann (1999) melaporkan tentang degradasi senyawa MCPA oleh
bakteri Ralstonia eutropha JMP 134 yang menggunakan MCPA sebagai sumber karbon.
Bakteri ini memiliki kemampuan mendegradasi senyawa halogen xenobiotik yang sangat
baik.
Tabel 2. Hasil Analisa Ragam Daya Degradasi dan Pertumbuhan Bakteri Karang
Pendegradasi Senyawa MCPA
Keterangan : Jika mengandung unsur huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.
Jika mengandung unsur huruf yang berbeda berarti berbeda nyata.
Hasil uji sensitivitas bakteri karang (Lampiran 1) menunjukkan derajat sensitivitas bakteri
karang terhadap senyawa MCPA sangat bervariasi pada berbagai life-form karang. Semakin
kecil diameter zona hambatan menunjukkan semakin rendah derajat sensitivitas bakteri
karang. Hasil analisa sidik ragam sensitivitas bakteri karang pendegradasi senyawa MCPA
(Tabel 3) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata nilai sensitivitas dan life-form karang
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 11
kecuali antara sub-massive dan branching yang berbeda nyata. Perbedaan respon diantara
isolat-isolat tersebut diduga disebabkan oleh variabilitas isolat bakteri dalam kemampuan
memetabolisme senyawa MCPA (Sabdono et al., 1998). Menurut Hardman and Slater (1981),
bakteri memiliki jumlah dan kombinasi enzim dehalogenase yang bervariasi.
Keterangan : Jika mengandung unsur huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata.
Jika mengandung unsur huruf yang berbeda berarti berbeda nyata.
Uji degradasi, uji sensitivitas dan pertumbuhan bakteri dilakukan untuk menyeleksi bakteri
yang memiliki daya degradasi tinggi dan sensitivitas rendah terhadap senyawa MCPA. Isolat
KM1.2 I diseleksi karena memiliki karakter yang paling baik dari masing-masing life-form
karang. Hasil analisa sidik ragam degradasi, sensitivitas dan pertumbuhan bakteri karang dari
tiap-tiap life-form karang terhadap penggunaan senyawa MCPA menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan.
Studi kinetika pertumbuhan dan penggunaan substrat MCPA pada berbagai konsentrasi
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan spesifik tertinggi tercapai pada konsentrasi MCPA 120
ppm, sedangkan laju penggunaan substrat MCPA tertinggi terjadi pada konsentrasi 200 mg/l
(Tabel 4). Schlegel dan Schmidt (1994) mengatakan bahwa kecepatan pembelahan diri
sepanjang tahap log bersifat spesifik untuk tiap jenis bakteri dan tergantung lingkungan. Laju
pertumbuhan mulai menurun bila konsentrasi substrat telah berkurang, perubahan lingkungan,
kerapatan sel bertambah dan adanya hambatan oleh produk metabolik yang tertimbun
(Schlegel dan Schmidt,1994; Judoamidjojo dkk, 1992).
Laju
Konsentrasi Waktu Laju Rendemen Laju
penggunaan
MCPA generasi pertumbuhan yx/s pertumbuhan
MCPA
(ppm) tg (jam-1) spesifik (µ) g/l/jam g/l (rx)
g/l (rs)
40 1.04 0.6640 2463.5 3.90 0.0016
80 0.90 0.7660 114.54 4.13 0.0361
120 0.82 0.8412 111.82 4.86 0.0435
160 0.90 0.7716 78.557 4.95 0.0630
200 0.99 0.6969 3.498 5.17 1.4781
12 PROSIDING
Pada Gambar 1, dapat dilihat laju pertumbuhan maksimum (µmaks) sebesar 0,8024 jam-1 dan
nilai tetapan kejenuhan (Ks) sebesar 0,0071 mg/l. Artinya bahwa setiap jam, bakteri
pendegradasi senyawa MCPA membelah 0,8024 kali dari jumlah bakteri awal dan pada
konsentrasi 0,0071 mg/l, kemampuan bakteri mendegradasi senyawa MCPA sangat lambat
bahkan nol. Besarnya nilai laju pertumbuhan maksimum tergantung pada jenis mikroba dan
konsentrasi substrat (Judoamidjojo dkk, 1992).
1,0
-1/Ks
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
-145 -95 -45 5 55
1/S (g/l)
Gambar 1. Hubungan antara Laju Pertumbuhan Spesifik dan Konsentrasi MCPA
SIMPULAN
Tidak terdapat pengaruh yang nyata diantara isolat bakteri yang diisolasi dari berbagai life-
form karang dalam hal pertumbuhan, derajat sensitivitas dan daya degradasi.
Diperoleh laju pertumbuhan maksimum sebesar 0,8024 jam-1 dan nilai tetapan kejenuhan (Ks)
sebesar 0,0071 mg/l untuk isolat bakteri KM1.2 I.
DAFTAR PUSTAKA
Bhat, M.A., M. Tsuda, K. Horike, M. Nozaki, C.S. Vidyanathan, and T. Nakazawa 1994.
Identification and characterization of a new plasmid carying genes for degradation
2,4-Dichlorophenoxy acetate from Pseudomonas cepacia CSV90. Appl. Environ.
Microbiol. 60: 3107-3112.
Conception, G.P., G.B. Caraan and J.E. Lazaro 1994. Biological assays for screening of
marine samples. In: Workbook second natural workshop: Strategies in the quest for
novel bioactive compounds from the sea. Marine Science Institute and Institute of
Chemistry, University of Philippines. Deliman, Quezon City, Philippines.
Glynn, P.W., L.S. Howard, E. Corcoran and A.D. Freay 1984. Preliminary investigations into
the occurrence and toxicity of commercial herbicide formulations in reef building
corals. Proc. The 4th Int. Coral Reef Symp., Manila, 473-485.
Hardman, D.J. and J.H. Slater. 1981. Dehalogenases in soil bacteria. J. Gen. Microbiol. 123:
117-128.
Judoamidjojo, M., A.A. Darwis, dan E.G. Sa’id 1992. Teknologi fermentasi. Rajawali Pers.
334 hlm
Loos, M.AI. 1975. Indicator media for microorganisms degrading chlorinated pesticides, Can.
J. Microbiol. 21: 104-107.
Sabdono, A., Joetono, J. Soedarsono, H. Hartiko and W.T. Artama 1998. Survey of 2,4-
Dichlorophenoxyacetic acid degradative properties in bacteria associated with corals.
Ilmu Kelautan. 10: 73-77.
Schlegel, H.G. dan K. Schmidt. 1994. Mikrobiologi umum. Gadjah Mada University Press.
Hlm. 202 – 245.
WWSA (Weed Science Society of America). 1989. Herbicide handbook. 6th ed.
WSSA,Champaign, IL.
14 PROSIDING
Lampiran
Hasil Uji Degradasi, Pertumbuhan dan Sensitivitas Bakteri Karang terhadap Senyawa MCPA
pada Media Cair
Turbiditas Sensitivitas
No Isolat Absorbansi Degradasi (%)
(OD 600 nm) (mm)
1 KM1.2 I 0,000 100,00 0,596 1,83
2 KM1.14 I 0,000 100,00 0,603 0,85
3 KS2.4 II 0,045 82,35 0,373 0,75
4 KF1.1 I 0,087 65,88 0,610 0,9
5 KS2.2 II 0,087 65,88 0,656 0,77
6 KM1.10 I 0,087 65,88 0,589 2,19
7 KS1.8 II 0.087 65,88 0,531 1,41
8 KS1.7 II 0,087 65,88 0,606 0,77
9 KF2.2 I 0,087 65,88 0,597 1,63
10 KB2.1 I 0,087 65,88 0,564 0,91
11 KF1.1 I 0,087 65,88 0,488 0,77
12 KB1.3 I 0,087 65,88 0,563 0,79
13 KM1.6 IA 0,109 57,25 0,625 0,79
14 KS1.9 II 0,109 57,25 0,630 0,76
15 KM1.8 I 0,109 57,25 0,597 0,77
16 KM1.11 I 0,109 57,25 0,572 0,77
17 KS1.2 I 0,109 57,25 0,586 0,91
18 KM1.15 I 0,109 57,25 0,408 1,84
19 KM1.9 I 0,109 57,25 0,640 0,8
20 KS1.4 II 0,109 57,25 0,645 0,77
21 KM1.13 0,109 57,25 0,571 0,95
22 KM1.7 I A 0,109 57,25 0,316 1,82
23 KM1.5 I 0,109 57,25 0,568 0,96
24 KF2.3 I 0,109 57,25 0,531 0,74
25 KM1.3 I 0,109 57,25 0,547 1,81
26 KB2.5 I 0,109 57,25 0,592 1,96
27 KS2.4 I 0,109 57,25 0,595 0,74
28 KF1.3 I 0,109 57,25 0,587 0,77
29 KB2.6 I 0,109 57,25 0,671 1,14
30 KB3.1 I 0,109 57,25 0,451 2,37
LIMIN SANTOSO
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian - Universitas Lampung
ABSTRACT
A feeding experiment was conducted to determine the optimal dose of growth and survival
rate for sea horse juveniles (initial average weight 0.074 g, initial average body length 18 mm
and old 16 days). Completely randomized design with five treatments and three replications
were use: A(control), B(naupli artemia + squalene 0,3 g/l), C(naupli artemia + squalene 0,6
g/l), D(naupli artemia + squalene 0,9 g/l), E(naupli artemia + squalene 1,2 g/l). The results
showed that the growth and survival rate of the juvenile sea horse content increased. There
was significant differences (P<0.01) in survival rate (SR), growth of body weight (AW), and
growth of body length (AL). Based on the evaluation of the some parameters; SR (69, 97%),
AW (0,320 g) and AL (2,67cm), SGR (5, 43%/hari), it can be concluded that treatment D
(naupli artemia + squalene 0, 9 g/l) is optimal for growth and survival rate for sea horse
juveniles.
PENDAHULUAN
Kuda laut merupakan spesies ikan hias laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, selain
dipelihara sebagai ikan hias yang unik, kuda laut juga dapat digunakan sebagai bahan baku
obat yang berkhasiat untuk berbagai macam penyakit antara lain penyakit impotensi, asma,
ginjal, kolesterol, penyakit kulit (Kusdiarti et al., 1999). Tak heran jika konsumsi kuda laut di
wilayah Asia mencapai 45 ton/tahun dengan negara pemakai terbesar adalah Cina (20
ton/tahun), Taiwan (11,2 ton/tahun), Hongkong (10 ton/tahun) dan negara – negara Asia lain
(3,8 ton/tahun). Sampai saat ini untuk memenuhi permintaan pasar para nelayan masih
mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Ditambahkan lagi dalam 5 tahun terakhir telah
terjadi penurunan populasi kuda laut hingga 50% diperairan Indonesia Menurut Vincent
(1996) dalam Al Qodri et al. (1998a). Oleh karena itu perlu upaya pengkajian dan
pengembangan teknologi pembenihan kuda laut merupakan jawaban yang dapat mengatasi
penurunan populasi.
Salah satu tahapan penting dalam usaha budidaya kuda laut adalah pembenihan dimana
tingkat keberhasilannya ditentukan dari tingkat kelulushidupan dan pertumbuhan anakan kuda
laut yang dipelihara. Kendala utama yang dihadapi adalah masih tingginya mortalitas anakan
kuda laut karena tidak tersedianya pakan alami dalam jumlah dan mutu yang sesuai
kebutuhan. (Al-Qodri dan Sudaryanto, 1993). Salah satu persyaratan yang harus diperhatikan
dalam penggunaan pakan alami adalah kandungan nutrisi. Kandungan nutrisi yang sangat
dibutuhkan larva ikan adalah asam lemak ω3-HUFA berantai panjang terutama Eicosa
Pentanoic Acid / EPA (20:5ω3) dan Decosa Hexanoid Acid / DHA (22:6ω3) untuk
pertumbuhan dan metamorfosis secara normal (Watanabe et al., 1980 dalam Isnansetyo dan
Widiastuti, 1992).
16 PROSIDING
Sampai saat ini artemia lebih unggul dibandingkan dengan pakan alami yang lain karena
memiliki kandungan protein kasar yang cukup tinggi mencapai 58,58% dan beberapa jenis
asam lemak ( oleat 19,96; linolenat 22,03; linoleat 5,86 ; palmitat 8,52) (Hasil Penelitian Tim
IPB (1994) dalam Harefa (1997) yang sangat diperlukan untuk kelulushidupan dan
pertumbuhan larva ikan dan udang, sehingga sulit untuk digantikan dengan pakan alami yang
lain. Untuk mengatasi tingginya tingkat mortalitas larva yang telah diberi artemia, maka perlu
adanya upaya peningkatan nilai nutrisi artemia dengan berbagai cara seperti dengan
pengkayaan alga, vitamin, minyak ikan atau emulsi (Redzeki et al. , 1996). Pengkayaann
kandungan nutrisi pada artemia dilakukan dengan memanfaatkan sifatnya yang filter feeder
non selectif, yaitu dengan cara memberikan bahan yang kaya akan nutrisi dalam hal ini asam
lemak ω3 – HUFA pada media kultur artemia (Sorgeloos et al. , 1986).
Bahan pengkaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah squalene yang merupakan
hidrokarbon tidak jenuh yang diperoleh dari destilasi minyak ikan hiu dibawah kondisi vakum
yang berbentuk cair, berwarna kuning transparan dan mempunyai bau yang spesifik.
Berdasarkan penelitian Nurhayati (1996) , kandungan asam lemak ω3 – HUFA squalene
cukup tinggi yaitu 49,96%, dimana kandungan EPA sebesar 4,05% dan kandungan DHA
sebesar 1,23%. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan pengkayaan naupli artemia dengan
squalene dosis berbeda dan diberikan kepada anakan kuda laut untuk mengetahui
kelulushidupan dan pertumbuhannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan kelulushidupan anakan
kuda laut yang diberi pakan naupli artemia yang telah diperkaya squalene dengan dosis
berbeda, sekaligus untuk mengetahui dosis optimum (paling tepat) sebagai bahan
pengakayaan pada naupli artemia sehingga memberikan pengaruh yang terbaik untuk
pertumbuhan dan tingkat kelulushidupan anakan kuda laut. Tahapan kegiatan penelitian
dapat dilihat pada gambar 1.
Kelulushidupan
Pertambahan panjang
O Pertambahan berat
U
T
P Analisa data
U Umpan balik Umpan balik
T
Kesimpulan
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung selama
tiga bulan.
Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ember plastik 15 liter, bak fiberglass
berkapasitas 1, 5 ton, tangki kerucut, akuarium volume 80 liter, filter bag, stoples volume 2
liter, selang sipon, selang aerasi, batu aerasi, plankton net, scoopnet, baskom plastik,
mikroskop, neraca elektrik, gunting, mikrometer, DO- meter, PH-meter, Refraktometer,
Spektrofotometer, Thermometer. Sedangkan bahan yang digunakan adalah hewan uji (anakan
kuda laut), media, minyak squalene, kista artemia dan kaporit. Hewan uji digunakan anakan
kuda laut hasil pemijahan sepasang induk secara alami yang berumur 16 hari dengan panjang
rata – rata 18 mm dan berat rata – rata 0,074 gram per ekor. Air yang digunakan untuk media
18 PROSIDING
pemeliharaan anakan kuda laut diperoleh dari Teluk Hurun yang diambil dengan pompa yang
kemudian disaring denga filter bag supaya partikel – partikel organik dan mikroorganisme
laut tidak terikut. Setelah itu air disterilkan dengan larutan kaporit 60 ppm dan didiamkan
selama 24 jam. Selanjutnya diambilkan Dunaliella dari bak kultur dan kemudian dimasukkan
ke wadah pemeliharaan dengan kapasitas 200.000 cell/ml sebagai pakan alami dan sekaligus
berperan sebagai water stability ( Puja et al., 1998). Wadah yang digunakan untuk media
pemeliharaan adalah ember plastik warna putih dengan volume 15 liter. Padat tebar yang
digunakan adalah 2 ekor perliter sehingga setiap ember berisi 30 ekor anakan kuda laut. Pakan
uji yang diberikan selama penelitian adalah naupli artemia yang diperoleh dengan cara
menetaskan kista artemia yang diimpor dari Amerika Serikat (Merk San Fransisco Bay)
dalam tabung kerucut yang berisi air laut dengan pemberian aerasi kuat selama 24 jam lalu
naupli dipanen dan 12 jam berikutnya dilakukan pengkayaan dengan emulsi squalene sesuai
dengan dosis yang telah ditentukan.
Metode
Perlakuan A (pemberian naupli Artemia sp yang tidak diperkaya dengan squalene)( kontrol)
Perlakuan B (pemberian naupli Artemia sp yang diperkaya dengan squalene dosis 0,3 g/l)
Perlakuan C (pemberian naupli Artemia sp yang diperkaya dengan squalene dosis 0,6 g/l)
Perlakuan D (pemberian naupli Artemia sp yang diperkaya dengan squalene dosis 0,9 g/l)
Perlakuan E (pemberian naupli Artemia sp yang diperkaya dengan squalene dosis 1,2 g/l)
Metode pengkayaan yang digunakan adalah naupli artemia yang sudah berumur 12 jam
(stadia Instar II) dari waktu penetasan dipindahkan ke dalam stoples yang berisi air laut 1
liter, kemudian ditambahkan emulsi squalene menurut dosis yang telah ditentukan. Kepadatan
naupli artemia didalam stoples yaitu 150 individu/ml. Penghitungan padat tebar dilakukan
dengan cara teknik sampling menggunakan gelas ukur 10 ml. Lalu dipasang aerasi pada
stoples sehingga terjadi suplai oksigen ke media kultur serta proses pengadukan air yang
menyebabkan emulsi squalene menjadi tersuspensi. Setelah dilakukan pengkayaan selama 12
jam, naupli dipanen dengan plankton net dan kemudian dicuci dengan air tawar sampai bersih.
Selanjutnya pakan diberikan kepada anakan kuda laut sebagai hewan uji. Pemberian pakan
dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 200 ml air dari wah yang diperkaya, dimana
pemberian dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 dan sore hari pukul
17.00 dengan kepadatan 2 ind/ml. Untuk mempertahankan kualitas air media pemeliharaan,
maka setiap pagi dilakukan penyiponan untuk membuang feses atau sisa – sisa pakan yang
mati dan dilakukan pergantian air maksimal 20% (Al- Qodri dan Sudaryanto, 1993).
Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tingkat kelulushidupan anakan kuda
laut, pertumbuhan anakan kuda laut, kualitas air. Tingkat kelulushidupan dari masing-masing
perlakuan ditentukan dengan menghitung anakan kuda laut pada akhir penelitian
dibandingkan dengan jumlah anakan kuda laut diawal penelitian. Parameter ini dilakukan
pada akhir pengamatan.
Pertumbuhan anakan kuda laut yang diukur adalah pertambahan panjang dan pertambahan
berat tubuhnya. Pengukuran panjang dilakukan dengan menggunakan mikrometer dengan
cara mengambil satu ekor anakan kuda laut dari wadah penelitian secara acak dan kemudian
diukur panjang total tubuhnya yaitu dari ujung moncong ke celah insang ditambah dari celah
insang samapi ke ujung ekor (Al-Qodri dan Sudaryanto, 1993). Sedangkan pengukuran berat
dilakukan dengan menggunakan neraca elektrik dengan cara mengambil anakan kuda laut dari
wadah penelitian secara acak pada tiap – tiap perlakuan, dan kemudian ditimbang di atas
neraca. Pengukuran pada tiap – tiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali untuk mendapatkan
data yang lebih akurat. Pengukuran ini dilakukan pada pagi hari dan selama penelitian
dilakukan empat kali pengukuran, yaitu setiap 10 hari sekali. Pertambahan panjang adalah
selisih panjang rata – rata anakan kuda laut pada awal pengamatan dengan panjang rata – rata
anakan pada akhir pengamatan, yang dihitung berdasarkan Effendie (1979) yaitu:
L = Lt – L0
Pertambahan berat merupakan selisih antara berat rata rata anakan pada awal pengamatan
dengan berat rata rata anakan pada akhir pengamatan .Dapat dihitung berdasarkan rumus
dari Effendie (1979) yakni :
W= Wt-Wo
Laju pertumbuhan spesifik adalah laju pertumbuhan anakan kuda laut dalam kurun waktu
tertentu yang dapat dihitung dengan persamaan eksponensial positif dari Jauncey dan Ross
ln W 2 − ln W 1
(1982) yaitu: SGR = x100%
T 2 − T1
Pengukuran kualitas air dilakukan 4 kali selama penelitian dengan parameter yang diamati
yaitu : suhu, salinitas, DO, pH, total amonia, nitrit.
20 PROSIDING
Analisis Statistik
Data yang dianalisa secara statistik adalah data kelulushidupan dan pertumbuhan anakan kuda
laut menggunakan model penduga rancangan acak lengkap. Data disajikan dalam bentuk tabel
dan gambar kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam untuk mengetahui
perlakuan mana yang memberikan pengaruh nyata terhadap variabel – variabel yang diamati.
Untuk mengetahui perbedaan perlakuan terhadap kontrol dilakukan uji Dunnet serta Uji
Ganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data kualitas air dianalisa
secara deskriptif sedangkan kandungan total ω3-HUFA pada naupli artemia dan anakan kuda
laut dianalisa dengan metode GLC (Gas Liquid Chromatografi).
Tingkat kelulushidupan anakan kuda laut selama penelitian (Tabel 1) dari yang tertinggi
berturut – turut adalah perlakuan D (69,97%), C(62,20%), E(62,17%), B(59,97%) dan
A(53,30%). Pengaruh dari pengkayaan naupli artemia dengan dosis squalene pada dosis yang
berbeda terhadap tingkat kelulus hidupan anakan kuda laut menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkat kelulus hidupan anakan kuda laut dengan meningkatnya dosis perlakuan kecuali
pada perlakuan E (pemberian naupli Artemia sp yang diperkaya dengan squalene dosis 1,2 g/l).
Hasil analisa statistik rancangan acak lengkap dalam hal ini tabel sidik ragam terhadap data
kelulushidupan anakan kuda laut menunjukkan bahwa perlakuan pengkayaan naupli artemia
dengan dosis squalene pada dosis yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata
(P<0,01). Sedangkan untuk mengetahui perbedaan nilai tengah perlakuan dengan nilai tengah
kontrol dilakukan uji Dunnet. Hasil uji Dunnet terhadap data kelulushidupan anakan kuda laut
menunjukkan bahwa nilai tengah perlakuan B, C, E tidak berbeda nyata dengan nilai kontrol,
sedangkan perlakuan D berbeda nyata dengan dengan nilai tengah kontrol. Hasil uji wilayah
ganda Duncan terhadap data kelulushidupan anakan kuda laut menunjukkan bahwa perlakuan
D berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan B, C, dan E serta berbeda sangat nyata (P<0,01)
dengan perlakuan A (kontrol). Histogram data kelulus hidupan anakan kuda laut selama
penelitian (Gambar 1).
Tabel 1. Anakan kuda laut (Hippocampus kuda ) yang diberi naupli artemia yang
diperkaya squalene dosis berbeda.
Parameter A B C D E
Perlakuan kontrol Dosis 0,3 g/l Dosis 0,6 g/l Dosis 0,9 g/l Dosis1,2 g/l
Tingkat
53,30a±2,69 59,97ab±2,74 62,20ab±3,11 69,97b±2,74 62,17ab±4,16
Kelulushidupan(%)
Pertumbuhan
Pertumbuhan panjang
2,24a±0,779 2,44ab±0,334 2,45ab±0,576 2,67b±0,632 2,39ab±0,250
rata – rata (cm)
Pertumbuhan berat
0,249a±0,007 0,294ab±0,014 0,300b±0,010 0,320b±0,002 0,292ab±0,014
rata – rata (g)
Laju pertumbuhan/10 10.
3.2 1.5 11.8 1.6 2.6 12.2 1.8 2.1 11.2 3.0 2.1 11.7 2.0 2.0
hari 4
Rata- rata Laju
pertumbuhan harian
5.03 5.33 5.34 5.43 5.23
(%/hari)
a
a,b means with the same superscript are not significantly different determined by
Duncan’s test (P>0.05).
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 21
Perlakuan D memberikan kelulushidupan tertinggi karena kebutuhan akan asam lemak ω3-
HUFA pada anakan kuda laut tersebut dapat tercukupi dibandingkan perlakuan yang lain. Hal
ini dikarenakan kandungan total baik naupli maupun pada anakan kuda laut menunjukkan
kandungan asam lemak ω3-HUFA tertinggi yaitu 14,96% dengan kandungan EPA sebesar
1,78% dan kandungan DHA 3,49%. Sehingga kebutuhan asam lemak ω3-HUFA pada anakan
kuda laut tercukupi secara optimal maka kemampuan adaptasi dan daya tahan meningkat yang
akhirnya menyebabkan tingkat mortalitas lebih rendah. Hal ini sesuai dengan sesuai dengan
hasil penelitian Isnansetyo (1992) yang menyatakan defisiensi ω3-HUFA pada ikan dapat
menyebabkan kematian dan terhambatnya pertumbuhan. Ditambahkan oleh Halver (1997)
dalam Nurhayati (1996) bahwa dengan adanya penambahan ω3-HUFA, walaupun sedikit
dapat meningkatkan kelulushidupan dan mempercepat laju pertumbuhan . Kelulushidupan
anakan kuda laut pada penelitian ini lebih tinggi yaitu 69% anakan berumur 45 hari
dibandingkan hasil penelitian Syahrul (1995) yang hanya mencapai 30% hingga anakan
berumur 50 hari. Pada penelitian tersebut anakan kuda laut diberi pakan naupli artemia yang
dibioenkapsulasi dengan minyak ikan.
70 2.7
Kelulushidupan (%)
60 2.6
50
Pertambahan
panjang (cm) 2.5
62.17
69.97
59.97
40
62.20
2.4
53.30
2.67
30
2.46
2.3
2.39
20
2.44
2.2
10
0
2.1 2.24
A B C D E 2.0
A B C D E
Perlakuan
Perlakuan
5.5
0.4
Pertumbuhan Harian (%/hari)
5.4
0.3
Pertambahan berat
5.3
0.3
5.2
0.294
0.292
0.2
0.249
5.43
0.300
5.37
5.33
0.320
(g)
5.1
0.2
5.23
0.1 5
5.03
0.1 4.9
- 4.8
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Perlakuan Perlakuan Dosis Squalene (g/l)
Rata – rata pertambahan panjang rata – rata individu anakan kuda laut selama penelitian (30
hari)(Tabel 1) berturut – turut dari yang tertinggi adalah perlakuan D(2,67 cm), C(2,45 cm),
B(2,44 cm), E(2,39 cm ) dan perlakuan A (2,24 cm). Hasil analisa sidik ragam terhadap data
pertambahan panjang anakan kuda laut menunjukkan bahwa perlakuan pengkayaan naupli
artemia dengan dosis squalene pada dosis yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat
nyata (P<0,01). Sedangkan untuk mengetahui perbedaan nilai tengah perlakuan dengan nilai
tengah kontrol dilakukan uji Dunnet. Hasil uji Dunnet terhadap data pertambahan panjang
anakan kuda laut menunjukkan bahwa nilai tengah perlakuan B, C, D berbeda nyata dengan
nilai kontrol, sedangkan perlakuan E tidak berbeda nyata dengan dengan nilai tengah kontrol.
22 PROSIDING
Hasil uji wilayah ganda Duncan terhadap data pertambahan panjang anakan kuda laut
menunjukkan bahwa perlakuan D berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan B, C, dan E serta
berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan A (kontrol). Histogram data pertambahan
panjang anakan kuda laut selama penelitian (Gambar 2).
Perlakuan yang menghasilkan pertambahan panjang terbaik adalah perlakuan D (2,67 cm)
dibandingkan empat perlakuan lainnya yaitu perlakuan C(2,45 cm), B(2,44 cm), E(2,39 cm )
dan perlakuan A (2,24 cm). Hal ini disebabkan karena pada perlakuan D yaitu pemberian
naupli artemia yang diperkaya emulsi squalene dengan dosis 0,9 g/l mampu memberikan
sumbangan asam lemak ω3-HUFA dalam jumlah paling besar pada naupli yang diperkaya
yaitu 11,32% dimana dengan kandungan ω3-HUFA tersebut pertambahan panjang anakan
kuda laut dapat maksimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Watanabe (1980) dalam
Isnansetyo dan Widiastuti (1992) yang menyatakan bahwa asam lemak ω3-HUFA berantai
panjang terutama EPA dan DHA sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan metamorfosis
secara normal. Kandungan asam lemak ω3-HUFA yang tinggi dalam pakan, dapat
memberikan kemungkinan untuk mempercepat pertumbuhan dan mempertinggi tingkat
kelulushidupan larva ikan yang dipelihara (Isnansetyo, 1992). Dengan tercukupinya
kebutuhan asam lemak ω3-HUFA, maka metabolisme di dalam tubuh anakan kud alut yang
dipelihara berjalan baik sehingga pertambahan panjang berlangsung maksimal dibandingkan
anakan kuda laut yang tidak tercukupi kebutuhannya.
Sedangkan perlakuan E yang menggunakan emulsi squalene dengan dosis yang lebih tinggi
dari pada perlakuan D justru memberikan hasil pertambahan panjang yang lebih rendah. Hal
ini disebabkan oleh keterbatasan naupli artemia untuk menyerap emulsi squalene yang
tersuspensi dalam media kultur. Selain itu, karena emulsi squalene yang diberikan terlalu
banyak menyebabkan penurunan kualitas pada media sehingga mengganggu kehidupan naupli
artemia yang diperkaya dan akhirnya kandungan asam lemak ω3-HUFA naupli artemia pada
perlakuan E rendah (8,24%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sunyoto et al (1992), yaitu
bahwa pemberian dosis emulsi minyak ikan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas air media kultur sehingga aktivitas metabolisme naupli artemia terganggu
dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Perlakuan A, B dan C memberikan hasil
pertambahan panjang yang relatif lebih kecil karena emulsi squalene yang diserap oleh
artemia kurang mencukupi sehingga kandungan asam lemak ω3-HUFA pada naupli dari
perlakuan tersebut rendah yaitu pada perlakuan A (3,79%), B(6,81%) dan C(9,56%).
Pertambahan berat anakan kuda laut (Tabel 1) yang tertinggi adalah perlakuan D(0,320 g),
kemudian perlakuan C(0,300 g), D(0,294), E(0,292) dan terendah A(0,249 g). Hasil analisa
sidik ragam terhadap data pertambahan berat anakan kuda laut menunjukkan bahwa
perlakuan pengkayaan naupli artemia dengan dosis squalene pada dosis yang berbeda
memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01). Sedangkan untuk mengetahui perbedaan
nilai tengah perlakuan dengan nilai tengah kontrol dilakukan uji Dunnet. Hasil uji Dunnet
terhadap data pertambahan berat anakan kuda laut menunjukkan bahwa nilai tengah perlakuan
B, C, D dan E berbeda nyata dengan nilai kontrol. Sedangkan dari hasil uji wilayah ganda
Duncan terhadap data pertambahan berat anakan kuda laut menunjukkan bahwa perlakuan D
dan C berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan perlakuan A, tetapi berbeda nyata (P<0,05)
dengan perlakuan B dan E. Histogram data pertambahan berat anakan kuda laut selama
penelitian (Gambar 3).
Hasil analisa dari data pertambahan berat menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis squalene
yang digunakan sebagai bahan pengkaya memberikan pertambahan berat anakan kuda laut
Efisiensi perlakuan C memiliki nilai tertinggi yaitu 78,8% kemudian diikuti perlakuan
D(75,6%), E(70,7%), B(60,5%) dan terendah A(41,1%). Meskipun perlakuan C memiliki
efisiensi tertinggi dalam pemanfaatan ω3-HUFA, namun tidak memberikan hasil pertambahan
berat terbaik. Hal ini terjadi karena kandungan 20:5ω3 (EPA) dalam naupli artemia pada
perlakuan D lebih tinggi dari kandungan 20:5ω3 dalam naupli artemia pada perlakuan C.
Sesuai dengan pernyataan Fujita et al (1980) dalam Syahrul (1995) yaitu artemia yang
mempunyai kandungan asam lemak 20:5ω3 yang tinggi, mampu mendukung pertumbuhan
yang lebih baik bagi organisme laut jika dibandingkan dengan artemia yang mempunyai
kandungan asam lemak 20:5ω3 rendah.
Laju pertumbuhan harian anakan kuda laut selama penelitian yang tertinggi adalah perlakuan
D (5,43%/hari) kemudian diikuti perlakuan C(5,34%/hari), B(5,33%/hari), E(5,23%/hari) dan
terendah A(5,03%/hari). Laju pertumbuhan harian anakan kuda selama penelitian
menunjukkan terjadinya penurunan dengan semakin bertambahnya umur (Tabel. 1).Hal ini
terjadi karena energi yang tersimpan dalam tubuh banyak terbuang seiring bertambahnya
aktivitas anakan kuda laut. Denga demikian dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan
harian anakan kuda laut sebanding dengan pertumbuhannya. Pertumbuhan anakan kuda laut
berlangsung cepat karena tercukupinya kebutuhan asam lemak essensial terutama EPA dan
DHA. Hal ini seiring dengan pendapat Kanazawa (1985) dalam Syahrul (1995) yang
menyatakan bahwa asam amino lemak ω3-HUFA, khususnya 20:5ω3 dalam jumlah yang
relatif besar dibutuhkan oleh larva yang sedang tumbuh dengan cepat.
Kualitas air selama penelitian masih menunjukkan angka yang relatif stabil sehingga masih
mendukung untuk media pemeliharaan anakan kuda laut dengan suhu berkisar 27-29 C,
salinitas 32-33 ppt, pH 7,1-8,2, oksigen terlarut 5,3-6,5 mg/l, total amonia 0,03-0,09 ppm, dan
nitrit 0,097-0,123 ppm. Al – Qodri dan Sudaryanto (1993) menyatakan bahwa kualitas air
yang baik untuk pemeliharaan anakan kuda laut adalah suhu air berkisar 27,7-28,4, salinitas
31-33 ppt, dan oksigen terlarut 5,1-6,4 ppm.
KESIMPULAN
Pemberian naupli artemia yang diperkaya dengan squalene dengan dosis yang berbeda
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan anakan
kuda laut. Perlakuan pemberian naupli artemia yang diperkaya dengan squalene dengan dosis
0,9 g/l memberikan pengaruh terbaik yaitu dengan hasil tingkat kelulushidupan (69,97%),
24 PROSIDING
pertumbuhan panjang (2,67 cm) dan pertambahan berat (0,320 g), sekaligus sebagai perlakuan
yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qodri, A. H. dan Sudaryanto. 1993. Pemeliharaan Juwana Kuda Laut (Hippocampus spp)
di Bak Terkontrol. Buletin Budidaya Laut. Ditjenkan. BBL, Lampung. 7: 10 -16
Al Qodri, A.H, Puja, K. dan Purwanto. 1998a. Rekayasa Teknologi Pemijahan Kuda Laut
(Hippocampus spp). Ditjenkan. BBL, Lampung
Axelrod, H. R., W. E. Burges., and C. V. Emmens. 1988. Exotic Marine Fishes. Gramedia, Jakarta.
Jouncey, K dan Ross, B. 1982. A Guide to Tillapia Feed and Feeding. Institute of Aquaculture
University of Stirling. Scotlandia.
Kusniastuty dan Puja, K. 1992. Produksi Massal Rotifera (Brachionus plicatilis) untuk
Menunjang Ketersediaan Pakan Larva Kakap Putih. Buletin Budidaya Laut.
Ditjenkan. BBL, Lampung. 5: 20 – 25
Puja, Y., E. Juliati dan S. A. Indah. 1998. Penyediaan Pakan Alami untuk Pemeliharaan
Juwana Kuda Laut. Ditjenkan. BBL, Lampung.
Sunyoto, Pramu. 1996. Nutrisi Jasad Pakan Sebagai Salah Satu Kendala pada Pembenihan Ikan Laut di
Indonesia. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Puslitbangkan, Jakarta. Hlm. 11-21.
Waspada, Y. Setiawan dan M. Rodif. 1991. Pengaruh Berbagai Peningkatan Gizi Rotifera
(Brachionus plicatilis) terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan
Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.2: 57 –
56.
ABSTRACT
This experiment was held in March-April 2005 at Puhawang Island waters in South Lampung
regency, to study the effect of different of fish baits to abundance and biomass of coral trap’s
catching. There were five fish baits i.e squid, shrimp, fish, goat’s bone, and roasted coconut;
and equipped with control (without fish bait) as treatments. Each treatment had 3 repetitions.
The result showed that effect of fish baits were not significantly to coral trap’s catching, both
abundance of fishes and their weight. Fishes caught dominantly were Nemipteridae
(Threadfin breams, Whiptail breams) and consist of twin-lined threadfin bream (Nemipterus
isacantus), yellow-tipped threadfin bream (Nemipterus nematopus), saw-jawed monocle
bream (Scolopsis ciliatus), and butterfly whiptail (Pentapodus setosus).
PENDAHULUAN
Potensi sumberdaya ikan karang di Indonesia cukup besar mengingat luasnya habitat karang
di wilayah pesisir dan laut yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara. Jenis-jenis ikan
karang yang ekonomis penting dan memiliki harga jual tinggi antara lain adalah ikan kakap,
kerapu, baronang, ekor kuning, dan lain-lain. Pada umumnya harga jual komoditas perikanan
tersebut akan lebih tinggi jika dipasarkan dalam kondisi hidup.
Pemanfaatan sumberdaya ikan karang dilakukan dengan berbagai jenis alat penangkapan ikan.
Salah satu jenis alat penangkapan ikan yang umumnya digunakan adalah bubu (trap). Ikan
hasil tangkapan bubu memiliki beberapa kelebihan, antara lain tertangkap dalam kondisi
hidup (segar) serta tidak mengalami kerusakan fisik karena ruangan bubu yang relatif luas
yang memungkinkan ikan dapat bergerak bebas di dalamnya. Ikan-ikan yang tertangkap
dalam kondisi demikian memiliki harga jual yang relatif tinggi. Alat tangkap bubu dapat
terbuat dari kayu, bambu, plastik, jaring, ataupun kawat. Pengoperasiannya dilakukan secara
pasif, yaitu menunggu ikan masuk ke dalam bubu dan terperangkap hingga tidak dapat keluar.
Dalam pengoperasiannya, adakalanya nelayan menyamarkan bubu dengan cara menimbun
dengan bongkahan karang, sehingga dapat menimbulkan kerusakan terumbu karang. Menurut
Sukmara dkk. (2001), pemasangan bubu yang demikian dapat menyebabkan terumbu karang
terbongkar, patah dan mengalami kematian.
Penggunaan alat bantu penangkapan, seperti umpan (bait), pada bubu dasar atau bubu karang
merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan efektivitas penangkapan dan sekaligus
dapat mencegah masalah kerusakan terumbu karang. Beberapa ahli perikanan sependapat
bahwa umpan merupakan alat bantu perangsang yang mampu memikat sasaran penangkapan
dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan efektivitas alat tangkap. Menurut Gunarso
(1985), ikan akan memberikan respon terhadap lingkungan sekelilingnya melalui indera
penciuman dan penglihatan. Tertariknya ikan terhadap umpan disebabkan oleh rangsangan
berupa rasa, bau, bentuk, gerakan dan warna. Kebanyakan ikan akan memberikan reaksi jika
26 PROSIDING
benda yang dilihat bergerak, mempunyai bentuk, warna dan bau. Lebih lanjut Gunarso
(1985) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang biasa dimakan
ikan sangat berguna untuk usaha penangkapan ikan, terutama dari jenis-jenis yang ekononis
penting. Hal ini terkait dengan penggunaan jenis makanan sebagai umpan ikan yang menjadi
target penangkapan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jenis-jenis
umpan yang efektif untuk digunakan pada perikanan bubu, sehingga dapat meningkatkan
pendapatan nelayan. Dari penelitian ini diperoleh gambaran tentang pengaruh penggunaan
jenis-jenis umpan alami yang berupa cumi-cumi, udang, kelapa, ikan rucah, dan tulang
kambing, terhadap ikan yang tertangkap; selanjutnya dapat diketahui jenis umpan yang efektif
untuk menangkap ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi yang menjadi major target pada
alat tangkap bubu karang.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cumi-cumi, ikan tembang, kelapa
dibakar, udang putih, dan tulang kambing dengan berat masing-masing 1500 gram sebagai
umpan bubu. Bahan dan alat lainnya adalah: formalin 40% sebanyak 10 liter, tali PE
berdiameter 4 mm sepanjang 30 m, timbangan, buku identifikasi ikan, kamera, borang isian
dan alat tulis, kapal motor dan perlengkapan selam (kompresor, masker, dan selang karet),
serta 18 unit bubu karang. Bubu karang yang digunakan adalah bubu yang terbuat dari bahan
kawat (wire) berukuran (pxlxt) 75x66x33 cm dan memiliki mulut (funnel) 1 buah. Kontruksi
bubu dapat dilihat pada Gambar 1.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan perlakuan 5
jenis umpan yang berbeda yang ditempatkan pada bubu karang dalam jumlah yang sama,
yaitu 500 gram setiap bubu. Penelitian ini juga dilengkapi dengan perlakuan kontrol (bubu
yang tidak menggunakan umpan). Masing-masing perlakuan memiliki ulangan sebanyak 3
kali. Penempatan bubu pada perairan dilakukan secara acak sehingga memenuhi kaidah
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 27
statistika; yaitu setiap satuan percobaan mempunyai peluang yang sama untuk menerima
suatu perlakuan.
Data yang akan dikumpulkan meliputi berbagai data keadaan ikan yang tertangkap, yaitu:
jumlah, jenis, dan bobot ikan. Data mengenai jenis ikan (genus atau spesies) sangat
diperlukan untuk menduga karakteristik dan tingkah laku ikan tersebut terhadap perlakuan
yang diberikan. Data ini juga sangat penting untuk mengetahui apakah ikan yang tertangkap
termasuk jenis ekonomis penting dan memiliki harga jual tinggi atau justru sebaliknya.
Jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap adalah dari famili Nemipteridae, yaitu sebanyak 98
ekor (51.85%); diikuti dengan jenis lainnya yaitu famili Serranidae (17.99%), Ostraciidae
(6.88%), dan Monachantidae (4.76%). Selebihnya, sekitar 18.52%, adalah jenis-jenis ikan
dari famili Chaetodontidae, Pomacanthidae, Zanclidae, Siganidae, Diodontidae,
Hemiscyllidae, Pomacentridae, Labridae, Mullidae, Scaridae, Sparidae, Lethrinidae,
Caesionidae, dan Scorpaenidae.
Ikan-ikan dari famili Nemipteridae yang tertangkap adalah kuniran (Nemipterus isacantus),
belah perahu (Nemipterus nematopus), jelek mata (Scolopsis ciliatus), dan cunung
(Pentapodus setosus); sedangkan dari famili Serranidae adalah kerapu klekek (Epinephelus
sexfasciatus), kerapu lodi (Plectropomus maculatus), kerapu karet loreng (Epinephelus
quoyanus), kerapu karet merah (Cephalopholis miniata), dan kerapu lumpur (Epinephelus
tauvina). Jenis-jenis ikan dari masing-masing famili secara terperinci dapat dilihat pada
Lampiran 2. Jenis ikan ekonomis penting, yaitu kerapu lodi dan kerapu lumpur (famili
Serranidae) hanya tertangkap masing-masing 1 ekor, yaitu pada bubu dengan umpan cumi-
cumi (kerapu lodi) dan umpan ikan (kerapu lumpur). Saat ini harga ikan kerapu lodi di
tingkat pedagang pengumpul berkisar antara Rp 120.000,- hingga Rp 150.000,- per kg untuk
ukuran konsumsi (≥500 gram); sedangkan harga ikan kerapu lumpur Rp 60.000 per kg.
Perlakuan bubu yang diberi umpan berupa tulang kambing menghasilkan tangkapan
terbanyak, yaitu 52 ekor. Bubu dengan umpan cumi-cumi menangkap 32 ekor ikan, bubu
dengan umpan ikan dan kelapa dibakar menghasilkan masing-masing 29 ekor ikan; sedangkan
ikan yang tertangkap pada bubu kontrol adalah 34 ekor (Gambar 2).
28 PROSIDING
35
30
15
10
5
0
Cumi Udang Ikan Tulang Kelapa Kontrol
PERLAKUAN
Gambar 2. Komposisi jumlah ikan yang tertangkap pada berbagai jenis umpan
Tertariknya ikan-ikan pada umpan yang berupa tulangan kambing diduga karena ikan-ikan
tersebut lebih menyukai umpan yang mengandung lemak dan berbau anyir, seperti pada
tulang kambing. Pada tulangan kambing tersebut masih terdapat daging yang mengandung
lemak. Dugaan ini didasarkan pada pendapat King (1986) dalam Rahardjo dan Linting
(1993) yang menyatakan bahwa umpan yang mengandung lemak memberikan hasil
tangkapan yang lebih baik karena lemak lebih memberikan rangsangan terhadap penciuman
ikan/udang. Dari analisis statistik One way ANOVA diketahui bahwa perbedaan jenis umpan
yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang nyata (significant) terhadap jumlah ikan
yang tertangkap; namun dari uji LSD terlihat bahwa antara perlakuan bubu berumpan tulang
kambing dengan bubu yang diberi umpan udang berbeda nyata.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebaran jumlah ikan-ikan yang tertangkap tidak
menunjukkan pengelompokkan tertentu pada jenis umpan yang digunakan, kecuali pada ikan
kuniran. Ikan kuniran (famili Nemipteridae) yang banyak tertangkap adalah pada bubu yang
diberi umpan tulang kambing, yaitu sebanyak 26 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa ikan-ikan
yang tertangkap tidak mengkhususkan diri pada suatu jenis makanan tertentu. Pendapat ini
sesuai dengan Tabolt (1976) dalam Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa ikan-ikan yang
hidup di sekitar karang merupakan karnivora yang tidak mengkhususkan makanannya pada
suatu sumber makanan tertentu, tetapi sebaliknya bersifat oportunistik dan mengambil apa
saja yang berguna baginya.
Jumlah ikan yang tertangkap pada bubu juga sangat dipengaruhi oleh sifat ikan tersebut.
Ikan-ikan yang biasa hidup berkelompok (schooling) cenderung untuk tertangkap dalam
jumlah banyak; sedangkan ikan-ikan yang bersifat soliter cenderung tertangkap dalam jumlah
sedikit. Hal ini terlihat jelas pada beberapa bubu yang menangkap ikan-ikan dari famili
Nemipteridae yang biasa hidup berkelompok, dimana ikan-ikan tersebut tertangkap dalam
jumlah yang relatif banyak. Sebaliknya, pada bubu yang menangkap ikan-ikan yang bersifat
soliter, seperti famili Serranidae, Scorpaenidae, dan Hemiscyllidae, terlihat bahwa ikan-ikan
yang tertangkap dalam jumlah yang relatif sedikit. Proses tertangkapnya ikan pada bubu
diduga juga mempengaruhi hasil tangkapan. Jika ikan yang tertangkap oleh bubu di awal
setting adalah jenis predator, maka ikan-ikan lainnya cenderung tidak mau memasuki bubu;
Data bobot per jenis ikan disajikan pada Lampiran 3. Kelompok ikan dari famili Nemipteridae
merupakan hasil tangkapan bubu yang paling banyak; demikian pula dengan total bobotnya
yang mencapai 6.135 gram. Ikan-ikan dari famili Serranidae yang tertangkap bubu
menempati urutan kedua dengan bobot total mencapai 4.960 gram. Individu yang memiliki
bobot terbesar saat tertangkap adalah ikan kerapu lumpur dengan bobot mencapai 510 gram
dan kerapu lodi dengan bobot 440 gram. Berdasarkan hasil analisis statistik One way
ANOVA, diketahui bahwa perbedaan jenis umpan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot
ikan yang tertangkap. Dengan demikian belum dapat disimpulkan jenis umpan tertentu yang
dianggap paling efektif untuk digunakan dalam operasi penangkapan bubu karang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mawardi (2001) di sekitar Pulau Pramuka (Kepulauan
Seribu) yang menggunakan berbagai jenis umpan pada bubu karang, seperti bulu babi, ikan
rucah dan keong mas, juga memperlihatkan tidak terdapat pengaruh yang nyata penggunaan
jenis-jenis umpan tersebut terhadap jumlah dan bobot ikan hasil tangkapan. Hal ini juga
memperkuat pendapat Tabolt (1976) dalam Nybakken (1992) yang menyatakan bahwa ikan-
ikan karnivora yang hidup di sekitar karang bersifat oportunistik dan mengambil apa saja
yang berguna baginya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan jenis umpan yang berbeda
pada bubu karang tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah
dan bobot ikan hasil tangkapan. Jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap adalah dari famili
Nemipteridae.
Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan tentang penggunaan jenis-jenis umpan yang
dapat meningkatkan efektivitas bubu karang, terutama untuk memikat ikan-ikan karang
ekonomis penting.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. 2000. Marine Fishes of South-East Asia. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Metode dan Taktik
Penangkapan Ikan. Diktat Kuliah Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Laevastu, T. dan M. L. Hayes. 1991. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News
(Books) Ltd. Farnham.
Mawardi, M. I. 2001. Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan terhadap Hasil Tangkapan Ikan
Karang pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor.
30 PROSIDING
Rahardjo, P. dan M. L. Linting. 1993. Penelitian Jenis Umpan untuk Bubu Laut Dalam.
Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.77: 72-77.
Sudirman, H. dan A. Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta.
Sukmara, A., A.J. Siahainenia dan C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu
Karang Berbasis Masyarakat dengan Metode Manta Tow. Proyek Pesisir-CRMP
Indonesia. Jakarta.
05°30’ 05°30’
05°35’ 05°35’
05°40’ 05°40’
05°45’ 05°45’
05°50’ 05°50’
05°55’ 05°55’
05°60’ 05°60’
105°08’ 105°10’ 105°15’ 105°20’ 105°25’ 105°30’ 105°35’
Teluk
Lampung
SKALA 1: 428.750
32 PROSIDING
Lampiran 2. Jumlah ikan yang tertangkap pada masing-masing perlakuan
34 PROSIDING
POPULASI HAMA DAN KERUSAKAN TANAMAN PADA PERTANAMAN
PADI GOGO DI NATAR LAMPUNG SELATAN
PURNOMO
Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Seperti halnya pada tanaman budidaya lain, pada tanaman padi gogo juga biasa ditemukan
berbagai jenis organisme hama. Untuk memperoleh informasi tentang jenis-jenis hama dan
tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tersebut telah dilakukan pengamatan pada
pertanaman padi gogo di Natar Lampung Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-
jenis hama yang berhasil ditemukan berdasarkan urutan populasi dari yang paling tinggi
adalah berasal dari Famili Acrididae, Aphididae, Chrysomelidae, Cicadellidae, Coreidae,
Cydnidae dan Delphacidae. Tingkat kerusakan tanaman padi gogo akibat serangan hama
berkisar 4,2% hingga 35,2%.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia sejak dulu hingga kini sangat mengandalkan beras sebagai bahan pangan
nasional. Dengan demikian produktivitas padi sebagai bahan baku beras harus terus
ditingkatkan, bukan saja padi sawah namun juga padi gogo. Pada saat ini kontribrusi padi
sawah pada produksi beras nasional mencapai 95% (Prasetyo, 2003). Pada masa yang akan
datang kontribusi padi sawah hendaknya dapat diturunkan dan kontribusi padi gogo
diharapkan meningkat. Harapan ini dilatarbelakangi kenyataan bahwa potensi lahan kering
sebagai lahan yang dapat ditanami padi gogo sangat besar, baik di Indonesia maupun di
Lampung. Data pada BPS Lampung (2002) tercatat luas tegalan 676.824 ha dan luas padang
alang-alang 89.476 ha.
Seperti halnya tanaman budidaya yang lain, tanaman padi gogo juga kerap terserang oleh
serangga hama tanaman. Beberapa hama penting pada tanaman padi gogo adalah lalat bibit
(Atherigona exiqua Stein), penggerek batang, walang sangit (Leptocorisa acuta Stal), dan
kepik hijau (Nezara viridula L.) (Manti, 1984). Menurut Soejitno dan Abdullah (1988), lalat
bibit adalah hama yang sering menimbulkan kerugian pada budidaya padi gogo.
Informasi mengenai hama-hama tanaman padi gogo di Lampung belum banyak disajikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis hama yang ditemukan dan kerusakan
tanaman yang ditimbulkan selama pertumbuhan tanaman padi gogo.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengamati pertanaman padi gogo pada lahan seluas sekitar
1000 m2 yang terdiri dari 20 petak. Tanaman padi gogo ditanam dengan jarak tanam 40 cm x
10 cm. Tanaman dipupuk dengan Urea, SP 36, dan KCl masing-masing dengan dosis 15 kg,
13,5 kg, KCl 6 kg per 1000 m2 .
Perangkap pitfall dibuat dari gelas plastik yang ditanam di tanah dan telah diisi air detergen
dan bagian atasnya ditutup dengan triplek. Perangkap ini dibuat 100 buah yang tersebar pada
seluruh areal pertanaman. Pemasangan perangkap ini dilakukan sebanyak 16 kali (16
minggu) dimulai sejak tanaman berumur 30 hst sampai 2 minggu sebelum panen.
Perangkap kuning terbuat dari paralon berdiameter 9 cm dengan panjang 12 cm. Perangkap
ini dipasang sebanyak 20 buah. Bagian luarnya dicat kuning dan dilapisi plastik yang telah
diolesi perekat (vasellin/lem serangga) dan bagian dalamnya diberi T paralon dan kayu
setinggi 40 cm. Pemasangannya dengan ditancapkan pada setiap petakan. Setiap
pemasangan, perekat harus selalu diganti, karena bila sudah kering serangga tidak akan
menempel.
Sweep net (jala ayun) digunakan untuk menangkap serangga-serangga hama yang terbang dan
dilakukan pada pagi hari. Pengambilan serangga dengan alat ini dilakukan 1 kali dalam
seminggu bersamaan dengan pemasangan perangkap kuning.
Serangga-serangga yang pada saat pengamatan sudah diketahui familinya langsung dihitung
dan dicatat, sedangkan untuk serangga-serangga yang sulit diketahui kemudian dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi.
Kerusakan tanaman diamati dengan menghitung intensitas kerusakan tanaman, yaitu dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
Σ(nxv )
I= x100%
(NxZ)
Keterangan :
I = Intensitas serangan
N = Jumlah tanaman yang diamati
Z = Harga numerik tertinggi
v = Harga numerik tiap kategori serangan, dan
n = Jumlah tanaman untuk tiap kategori serangan.
Kerusakan dibedakan menjadi 5 (lima) kategori ,yaitu :
0 = Tidak ada kerusakan atau tanaman sehat
1 = Terdapat kerusakan pada tanaman 0 < x ≤ 25%
36 PROSIDING
2= Terdapat kerusakan pada tanaman 25% < x ≤ 50%
3= Terdapat kerusakan pada tanaman 50% < x ≤ 75%
4= Terdapat kerusakan pada tanaman 75%< x ≤ 100%
5= Tanaman mati
Hasil pengamatan pada pertanaman padi gogo menunjukkan bahwa populasi hama yang
paling dominan ditemukan adalah famili Acrididae, yaitu sebesar 196 ekor atau 28% dari
total populasi(Tabel 1). Hama yang terdiri dari beberapa jenis belalang ini sebenarnya
termasuk hama kurang penting pada padi gogo.
Famili Aphididae, dominasi populasinya di bawah Acrididae yaitu sebesar 168 ekor.
Aphididae merupakan hama pemakan berbagai jenis tanaman (polifag) termasuk tanaman
padi. Populasi Aphididae yang cukup tinggi ini diduga karena pengamatan pada penelitian ini
dilakukan pada musim kemarau. Menurut Kalshoven (1981) populasi Aphididae pada
permulaan musim kemarau akan tinggi. Hal ini terbukti pula pada Gambar 1 yang
menunjukkan bahwa populasi Aphidiade yang tinggi hanya terdapat pada awal dan
pertengahan pertumbuhan tanaman padi. Ketika tanaman padi telah tua dan kemarau
menjelang berakhir, populasi Aphididae menurun drastis.
Famili Delphacidae yang antara lain beranggotakan wereng batang, populasinya satu tingkat
di bawah Aphididae. Tampaknya pada saat itu kelompok wereng tidak terlalu menjadi
persoalan. Posisi Famili Chrysomelidae yang merupakan kumbang daun berada pada urutan
keempat. Famili Chrysomelidae umumnya merupakan serangga polifag.
Pada Gambar 1 di bawah ini disajikan perkembangan 4 jenis famili serangga hama tersebut
sepanjang pertumbuhan tanaman padi gogo. Pada umumnya, populasi serangga pada akhir
masa pertumbuhan tanaman padi gogo lebih rendah dibandingkan pada awal pertumbuhan
tanaman padi.
A p hididae
20
15
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kerusakan Tanaman
Oleh karena populasi hama tidak tinggi, kerusakan tanaman padi gogo tidak berakibat
kegagalan pertumbuhan tanaman padi gogo. Kerusakan tanaman berkisar 4,2% hingga
35,2% (Tabel 2).
Kerusakan tanaman yang lebih tinggi terlihat ditemukan pada umur tanaman yang lebih tua.
Terjadinya hal demikian karena penghitungan kerusakan pada penelitian ini bersifat
akumulatif.
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 famili serangga hama
yang berasosiasi dengan tanaman padi gogo. Berdasarkan banyaknya serangga hama yang
ditemukan, berturut-turut dari yang paling tinggi populasinya adalah Famili Acrididae,
Aphididae, Chrysomelidae, Cicadellidae, Coreidae, Cydnidae dan Delphacidae. Tingkat
kerusakan tanaman padi gogo akibat serangan hama berkisar 4,2% hingga 35,2%.
Perlu dilakukan penelitian serupa ini pada musim penghujan. Dengan demikian dapat
diperoleh data yang lengkap sepanjang tahun.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada saudari Ani Suryani yang telah berperan aktif
dalam pelaksanaan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Agus
38 PROSIDING
Muhammad Hariri, M.P. dan Bapak Nur Yasin, M.Si. yang telah memberi saran-saran
konstruktif bagi terselesaikannya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Jakarta. 701 pp.
Manti, I. 1984. Pengaruh penggunaan insektisida dan fungisida melalui benih terhadap
serangan lalat bibit, penggerek batang, dan blas pada padi gogo. Pemberitaan
Penelitian Sukarami No. 4: 7-9
Prasetyo, Y. T. 2003. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta.
71 hlm.
Soejitno, J. dan Abdullah. 1988. Pertumbuhan populasi lalat bibit padi (Atherigona sp.) di
daerah Bogor. Penelitian pertanian 8 (1): 5-8
OTIK NAWANSIH
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
ABSTRAK
Gula merah mempunyai sifat higroskopis sehingga dalam waktu 2-4 minggu teksturnya sudah
lunak dan mutunya menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mempertahankan mutu gula
merah dengan cara melapisi gula merah dengan composite edible coating.
Penelitian disusun secara factorial dengan factor pertama perlakuan terhadap gula merah :
gula merah tanpa dilapisi/coating (P0); gula merah dilapisi dengan composite berbasis isolat
protein (P1) dan gula merah dilapisi dengan composite berbasis tapioka (P2). Faktor kedua
adalah lama penyimpanan : 0, 2, 4, 6 dan 8 minggu pada suhu ruang. Pengamatan yang
dilakukan adalah kadar air, tekstur dan sifat sensori meliputi penampakan, warna, rasa dan
aorma serta penerimaan keseluruhan. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragamnya dengan
uji Barlet dan diuji lanjut dengan polynomial dan perbandingan orthogonal pada taraf 5 dan
1%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gula merah yang dilapisi dengan composite edible
coating berbasis tapioka lebih baik dibandingkan yang dilapisi dengan composite edible
coating berbasis isolat protein dan mutunya masih dapat dipertahankan selama 8 minggu.
PENDAHULUAN
Gula merah bersifat higroskopis karena mengandung gula reduksi dan kadar air yang tinggi
(sampai 10%). Akibatnya gula merah mempunyai daya simpan yang pendek, hanya 2-4
minggu.
Salah satu teknologi yang dapat mengatasi masalah tersebut adalah bahan pengemas yang
digunakan. Bahan pengemas yang banyak digunakan pengrajin adalah daun pisang kering
dan plastik. Dalam penelitian ini mencoba alternatif pelapisan gula merah dengan bahan
edible sebagai pengemas primer. Pengemas edible dinilai aman dan ramah lingkungan,
sifatnya alami dan tidak toksis serta dapat dimakan bersama produknya tanpa harus
mengupasnya (Setiasih, 1999).
Aplikasi pengemasan dengan bahan edible bisa dilakukan dengan melapisi produk secara
langsung dengan larutan edible (coating) atau dengan membungkus produk dengan film
edible yang dibuat terlebih dahulu. Menurut Marshall and Fishman (1997), lapisan edible
dapat digunakan untuk mempertahankan masa simpan dan mutu produk makanan karena
mampu menghambat migrasi air, oksigen, karbondioksida, flavor serta lemak.
Bahan edible yang digunakan sebagai pengemas bisa terbuat dari hidrokoloid (karbohidrat
dan protein), lemak dan komposit atau campuran dari keduanya. Kemasan komposit dapat
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap sifat-sifat pengemas karena saling
memberikan kontribusi. Hidrokoloid membantu terbentuknya struktur matriks yang lebih
40 PROSIDING
kokoh, dapat menahan oksigen. Sedangkan lemak dapat menahan uap air lebih baik dan
memberikan efek kilap pada permukaan produk (Krochta et al., 1994).
METODE PENELITIAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gula merah kelapa yang diperoleh dari
pengrajin gula merah kelapa di Lampung Selatan, tapioka, isolat protein kedelai, gliserol, lilin
lebah (beeswax) dan bahan untuk analisis.
Peralatan yang digunakan adalah hot plate, desikator, oven, penetrometer, magnetic stirrer,
timbangan analitis serta peralatan uji organoleptik.
Metode Penelitian
Perlakuan disusun secara factorial dalam rancangan acak kelompok lengkap dengan 3
ulangan. Factor pertama adalah gula merah kelapa tanpa pelapisan (P0), gula merah berlapis
komposit edible berbahan dasar tapioka (P1) dan gula merah berlapis komposit edible
berbahan baku isolat protein kedelai (P2). Faktor kedua adalah lama penyimpanan : 0, 2, 4, 6,
dan 8 minggu. Data yang diperoleh diuji kesamaan ragamnya dengan uji Barlet dan data
diolah lebih lanjut dengan polynomial dan perbandingan orthogonal pada taraf nyata 5% dan
1%.
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mencari konsentrasi lilin lebah optimal yang akan
ditambahkan pada komposit. Konsentrasi yang dicobakan adalah 0,5, 1,0, 1,5 dan 2% (b/v).
Pengamatan dilakukan terhadap penampakan, warna, penerimaan keseluruhan, rasa dan
aroma, rata tidaknya lapisan yang terbentuk.
2. Pelapis berbahan dasar isolat protein kedelai (mengacu Hastuti dkk, 2000 dan Setiasih,
1999 yang dimodifikasi)
Isolat protein 10 gram disuspensikan dalam 100 ml aquades, disaring dan ditambahkan
2% (v/v) gliserol dan NaOH sampai pH 9,0. Kemudian ditambahkan lilin lebah 1% dan
dipanaskan pada suhu 650C sambil diaduk sampai terlarut sempurna. Kemudian larutan
didinginkan.
Gula merah satu persatu dicelupkan ke dalam pelapis selama 5 detik kemudian
dikeringanginkan dan disimpan pada suhu kamar.
Penelitian pendahuluan
Berdasarkan pengamatan terhadap meratanya lapisan yang terbentuk dan penampakan maka
konsentrasi lilin lebah yang dipilih adalah sebesar 1% untuk bahan isolat protein dan 1,5%
untuk bahan tapioka.
Penelitian utama
Tekstur
Hasil pengukuran tekstur dengan penetrometer dapat dilihat pada Gambar 1. Nampak bahwa
baik pada gula merah yang dilapisi komposit berbahan baku tapioka maupun isolat protein
kedelai meningkat angka penetrometernya (tekstur semakin lunak) selama penyimpanan 8
minggu dan tidak berbeda dengan kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelapisan yang
dilakukan belum mampu secara nyata mempertahankan tekstur gula kelapa. Pelunakan
tekstur disebabkan meningkatnya kadar air dalam gula merah akibat sifat gula merah yang
higroskopis karena banyak mengandung gula reduksi
42 PROSIDING
Gambar 1. Pengaruh jenis komposit dan lama penyimpanan terhadap tekstur gula
merah yang dilapisi composite edible coating
Kadar air
Hasil pengukuran kadar air gula merah kelapa dapat dilihat pada Gambar2. Nampak bahwa
selama penyimpanan 8 minggu terjadi kenaikan kadar air gula merah kontrol secara gemaris,
namun gula yang telah dilapisi baik dengan komposit berbahan baku tapioka maupun isolat
protein kedelai belum menunjukkan peningkatan yang nyata. Sampai 8 minggu penyimpanan,
kadar air gula merah masih memenuhi persyaratan SNI (maksimal 12%). Diduga gula merah
yang digunakan dalam penelitian ini mutunya bagus sehingga sampai 8 minggu, kontrol juga
masih bagus dan efek pelapisan belum terlihat nyata. Perlu dilakukan penyimpanan yang
lebih lama sehingga diduga efek pelapisan baru akan terlihat.
Gambar 2. Pengaruh jenis komposit dan lama penyimpanan terhadap kadar air gula
merah yang dilapisi composite edible coating
Warna
Hasil pengamatan warna secara organoleptik terhadap gula merah dapat dilihat pada Gambar
4. Lama penyimpanan tidak mempengaruhi warna gula merah kelapa kecuali pada gula
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 43
merah yang dilapisi composite edible berbahan dasar tapioka. Sedangkan gula merah kontrol
menunjukkan skor warna lebih tinggi (coklat kekuningan atau normal) dibanding gula merah
yang dilapisi komposit edible berbahan dasar tapioka maupun isolat protein kedelai. Skor
warna gula kelapa yang dilapisi komposit edible berbahan dasar tapioka lebih tinggi
(coklat/coklat kekuningan), lapisan tidak merata dibanding gula merah yang dilapisi
komposit edible berbahan dasar isolat protein kedelai. Warna gula yang dilapisi composite
edible berbahan dasar tapioka lebih baik dibanding yang dilapisi composite edible berbahan
dasar protein karena lapisan tapioka yang terbentuk lebih transparan dan tidak rapat. Sifat
transparansi tersebut dipengaruhi oleh rasio amilosa dan amilopektin, untuk tapioka yaitu
1:4,7. Amilosa memiliki sifat transparansi rendah
Gambar 4. Pengaruh jenis komposit dan lama penyimpanan terhadap warna gula
merah yang dilapisi composite edible coating
dan kerapatan yang tinggi sedangkan amilopektin memiliki sifat transparansi yang tinggi dan
kerapatan yang rendah (Cowd, 1991). Tingkat kejernihan komposit edible berbahan dasar
isolat protein kedelai dipengaruhi oleh sifat lapisan yang terbentuk dari fraksi 7S dan 11S.
Sifat lapisan yang terbentuk dari fraksi 7S transulen dan keruh, sedangkan sifat lapisan yang
terbentuk dari fraksi 11S halus dan buram (Krochta et al., 1994).
Perubahan warna gula merah yang dilapisi composite edible berbahan dasar tapioka secara
kwadratik selama penyimpanan disebabkan oleh lapisan yang terbentuk pada permukaan gula
merah. Lapisan yang terbentuk dari bahan tapioka setelah kering selama penyimpanan dapat
lepas sebagian sehingga menurunkan warnanya. Amilosa memiliki sifat transparansi rendah
Skor rasa dan aroma gula merah yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5. Gula merah
kontrol memiliki rasa dan aroma lebih tinggi dibanding dengan yang dilapisi komposit edible
berbahan dasar tapioka dan isolat protein kedelai. Skor rasa dan aroma gula merah yang
dilapisi komposit edible berbahan dasar tapioka lebih tinggi dibanding yang dilapisi komposit
berbahan dasar isolat protein kedelai.
Hal ini terjadi akibat pengaruh komponen penyusun komposit edible. Pengujian rasa dan
aroma dilakukan dengan cara melarutkan gula merah dalam air panas. Selama pemanasan,
gula merah yang dilapisi komposit berbahan dasar tapioka cenderung lebih kental akibat
terjadi gelatinisasi amilopektin sehingga rasa manis dan juga aroma gula menurun.
44 PROSIDING
Sedangkan pada gula merah yang dilapisi komposit berbahan dasar isolat protein kedelai,
isolat protein mempunyai rasa dan aroma yang menyebabkan penyimpangan rasa dan aroma
gula merah.
Gambar 5. Pengaruh jenis komposit dan lama penyimpanan terhadap rasa dan aroma
gula merah yang dilapisi composite edible coating
Selama penyimpanan gula merah terjadi perubahan rasa dan aroma secara kuadratik. Hal ini
diduga akibat perubahan komponen yang ada pada pelapis, misalnya ketengikan komponen
lemak dan degradasi protein selama penyimpanan.
Penerimaan keseluruhan
Hasil pengamatan penerimaan secara keseluruhan secara organoleptik terhadap gula merah
dapat dilihat pada Gambar 6. Skor penerimaan keseluruhan gula merah yang dilapisi komposit
edible berbahan dasar tapioka tidak berbeda nyata dengan kontrol tetapi gula merah yang
dilapisi komposit edible berbahan dasar isolat protein kedelai berbeda sangat nyata. Gula
merah yang dilapisi komposit berbahan dasar tapioka lebih disukai dibanding yang berbahan
dasar isolat protein kedelai. Hal ini terjadi karena tapioka tidak menyebabkan penyimpangan
sifat organoleptik yang nyata. Sedangkan isolat protein kedelai menyebabkan penyimpangan
sifat organoleptik terhadap gula merah kelapa.
Komposit edible berbahan dasar tapioka merupakan komposit yang lebih baik untuk
diterapkan pada gula merah kelapa. Sampai 8 minggu gula merah yang dilapisi komposit
tersebut masih memenuhi persyaratan SNI gula merah.
Saran yang diajukan adalah untuk mencari lebih lanjut teknik coating gula merah yang tepat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih penulis ucapkan kepada Nelly Yanti atas bantuan dan kerjasamanya dalam
pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Harris, H. 1999. Kajian Teknil Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati Ubi
Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semi Basah. Disertasi,
Pascasarjana IPB. Bogor.
Krochta, J.M., Baldwin and M.O. Nisperos-Carriedo (eds). 1994. Edible coatings and films
to improve food quality, Technomic publ. Co. Inc. Lancaster. Basel.
Krochta , J.M. and T.H. Shellhammer. 1997. Whey protein film performance as affected by
lipid type and amount. J.Food Sci. 62(2):390-394.
Marshall, L. and Fishman. 1997. Edible and biodegradable polymer films challenges and
opportunities. J. Food Tech. 51(2):16.
Setiasih, I.S. 1999. Kajian Perubahan Mutu Salak Pondoh dan Mangga Arumanis Terolah
Minimal Berlapis Film Edible Selama Penyimpanan. Disertasi, Pascasarjana IPB.
Bogor.
46 PROSIDING
THE ANTIFUNGAL ACTIVITY OF DIBUTYLTIN(IV)
DICARBOXYLATE COMPOUNDS
SUTOPO HADI
Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung
E-mail : sutopo_hadi@yahoo.com.au
ABSTRACT
INTRODUCTION
The organotin(IV) compounds are characterized by the presence of at least one covalent Sn –
C bond. These compounds contain tetravalent Sn centers and can be classified as mono-, di-,
tri-, and tetraorganotin(IV), depending on the number of alkyl (R) or aryl (Ar) moieties
attached to the tin metal. The counter anion is usually chloride, oxide, fluoride, hydroxide,
and thiolate(Pellerito and Nagy, 2002). Carboxylate has also been used successfully as
counter anion (Bonire et al., 1998; Szorsick et al., 2002).
Based on the above fact and the chance to explore the interesting features of these organotin
compounds, we are now dealing with the organotin(IV) compounds with a variety of
carboxylic acid ligands. Having completed successfully in the synthesis of the organotin(IV)
dicarboxylates which has been previously reported (Hadi et al. 2004a), and in attempts to
explore the possible biological activities of these compounds, we, here, reported the
antifungal activity test of two organotin(IV) dicarboxylates, [(C4H9)2Sn(OOCR)2] with two
different carboxylic acids, i.e., salicylic and acetylsalicylic, against F. oxysporum strain which
is part of the current work. A previous paper relating to this work which a test against
Aspergillus sp. has also been published (Hadi et al., 2004c)
Materials
All reagents were of reagent grade. Dibutyltin dichloride [(C4H9)2SnCl2], Carboxylic acids,
DMSO, NaOH, CH3OH were either Sigma or JT Baker products and were used without
further purification. The preparation of the organotin(IV) dicarboxylates,
[(C4H9)2Sn(OOCR)2] (RCOO- = salicylic and acetylsalicylic) for this work and similar
compounds with different carboxylate ligands have been previously reported (Hadi et al.,
2004a,b; Hadi, 2006a,b).
The procedure of the activity test undertaken based on the procedure reported previously(Hadi
et al., 2004a,b; Hadi, 2006a,b) and as follows:
This method was done as follows: transferred the pure culture of the fungi which has grown
optimum by cutting the colony of the fungi at the edge of their culture growth in 1 x 1 cm
size. This colony agar blocks is put at the middle of PDA. It was incubated at 25 oC for 1-2
day to ensure its growth. When the growth of the fungi was seen clearly, three filter disk
papers, which have been kept in the solution containing the organotin(IV) compound in
DMSO, was placed in surround of the inoculums aseptically. The media test was then
incubated further at 25oC for 7 consecutive days and was daily checked. The observation was
monitored by looking at the inhibition zone. If the inhibition zone was formed (the area where
the fungi was unable to grow), then it indicated the compound tested showed the antifungal
activity. If there is no any inhibition zone then the organotin used is inactive or the
concentration used may be less than required.
This method was done as follows: the organotin compound being used is dissolved in DMSO
using the concentration which was the most effective from the disk diffusion test method. The
compund then mixed with 25 mL of agar media with the volume variation of 0.5; 1; 1.5; 2;
and 2.5 mL. The inoculum block of F.oxsyporum is placed in the middle of the PDA media at
25°C for 10 consecutive days and was daily checked.
Although the antifungal activity of carboxylic acid and its derivative has long been known
(Coates et al. 1957) relative to the organotin compounds used in the current work, the free
carboxylic acids presented weak antifungal activity against the tested fungi (Table 1). This
48 PROSIDING
indicates that the presence of the metal ions plays an important role in the increased antifungal
activity when the acids are coordinated. In this respect, our results are consistent with a well-
known fact that many biologically active compounds become more active upon complexation
than in their uncomplexed forms (Gershon, 1974). The activity test of starting materials and
the organotin(IV) carboxylates is shown in Table 1.
The fact that the organotin carboxylates are more active against the tested fungi than their
parent organotin(IV) compound, [(C4H9)2SnCl2] (1), suggests that the carboxylate groups play
a role in the fungi toxicities of these compounds. According to Crowe (1989) the actual
biological activity of diorganotin compounds of the type RR’SnXY (R and R’ = alkyl or aryl;
X and Y= anions) is determined solely by the RR’Sn2+ moiety.
Consequently the group X and Y would only influence the delivery of the active RR’Sn2+ ion
to the cell. However, since the free carboxylic acids show some explanation for our results.
The higher activities of the carboxylates relative to their parent orgontin(IV), [(C4H9)2SnCl2]
(1), the intermediate product, [(C4H9)2SnO] and the free carboxylic acids appear to be an
additive (not a synergistic) effect of the metal ions and the carboxylate groups, with the
possibility of a common mode of action.
In this regard, the hypothesis that relates the toxicity and nontoxicity of metal complexes to
the penetration and nonpenetration of the fungus by the toxicant is of interest (Crowe, 1989).
CONCLUSION
Our results clearly indicate that the dibutyltin(IV) disalicylate and diacetylsalicylate used in
this work exibited a greater antifungal activities compare to the starting material, the free
carboxylic acid and the intermediat product. The comparison of MICs with different alkyl of
organotin will be reported elswhere. Further investigation of these and related compounds
with different fungus are in progress in our laboratory.
ACKNOWLEDGMENTS
The author would like to thank to Directorate General of Higher Education, The ministry of
Cultural and Education of Republic of Indonesia that provide fund for this project to be
undertaken through Hibah Bersaing XIV Research Grant Scheme 2006, Drs. Bambang
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 49
Irawan, M.Sc. for providing help in antifungal test, Any Siskawati and Muhammad Majid for
helping in the preparation of the samples.
REFERENCES
Bhatti, M.H., Ali, S., Huma, F., Shahzadi, S. 2005. Organotin(IV) Derivatives of N-
Maleoylamino Acids: Their Synthesis and Structural Elucidation, Turk. J. Chem. 29,
463-476.
Bonire, J.J., Ayoko, G.A., Olurinola, P.F., Ehinmidu, J.O., Jalil, N.S.N. and Omachi, A.A.
1998. Syntheses and Antifungal Activity of some organotin(IV)carboxylates. Metal-
Based Drugs. 5 (4), 233 - 236 and references therein.
Coates, L.V., Brain, D.J., Kerridge, K.H., Marcus, F.J., and Tattershall. 1957. J. Pharmacol.,
9, 855.
Crowe, A.J. 1989. In Metal-based Drugs. Gielen, M. (Ed.). Freund Publishing House, Freund.
1, 103.
de Vos, D., Willem, R., Gielen, M., van Wingerden, K.E. and Nooter, K. 1998. The
Development of Novel Organotin Anti-Tumor Drugs: Structure and Activity” Metal-
Based Drugs. 5 (4), 179 – 188.
Gershon, H. 1974. Antifungal Activity of Bischelates of 5-, 7-, and 5,7-halogenated 8-quinols
with copper(II). Determination of the long and short aces of the pores in the fungal
spore wall. J. Med. Chem. 17, 824.
Hadi, S., Irawan, B., Susilowati M., Marwiyah, S.U. 2004c. Synthesis and Characterization of
dibutyltin(IV)dicarboxylate complexes, Part 3: the antifungal activities of
(C4H9)2Sn(OOCR)2 (ROO- = Salicylic and Acetyl Salicylic) against Aspergillus sp.”
Proceeding of Seminar Nasional Kimia, Jurusan Kimia, FMIPA Unila Bandar
Lampung, Oktober 2004., p. 102
Hadi, S., Irawan, B., Fathiyah, Masli, M.O., dan Melisa. 2006. Synthesis and Characterization
of Dibutyltin(IV) Dicarboxylate Compounds Part 4: The Antifungal Activity of
50 PROSIDING
(C4H9)2Sn(OOCR)2 (RCOO- = Pthalic, Propanoic and Benzoic) Against Aspergillus
sp. Seminar Nasional Kimia Fisik dan Anorganik, ITB Bandung, Hal. 221 – 225.
Hadi, S. 2006a. Synthesis, Characterization and the Antifungal Activity Test of
Diphenyltin(IV) Dibenzoate. Seminar dan Rapat Tahunan MIPA BKS PTN Barat
2006, Padang, 9-11 July 2006, p. 51-60.
Mahmood, S., Ali, S., Bhatti, M.H., Mazhar, M., Iqbal, R. 2003. Synthesis, Characterization
and Biological Applications of Organotin(IV) Derivatives of 2-(2-Fluoro-4-
biphenyl)propanoic Acid, Turk. J. Chem. 27, 657-666.
Pellerito, L. and Nagy, L. 2002. Organotin(IV)n+ complexes formed with biologically active
ligands: equilibrium and structural studies, and some biological aspects, Coord.
Chem. Rev. 224, 111 – 150 and references therein
Ruzika, A., Dostal, L., Jambor, R., Butcha, V., Brus, J., Cisarova, I., Holcapek, M., and
Holecek, J. 2002. Structure and in vitro antifungal activity of [2,6-bis(dimethyl-
minomethyl)phenyl]diphenyltin(IV) compounds, Appl. Organometal. Chem., 16(6),
315 – 322.
Shahid, K., Ali, S., Shahzadi, S., Akhtar, Z. 2003. Organotin(IV) Complexes on Aniline
Derivaties Part-II-Synthesis and Spectroscopic Characterization of Organotin(IV)
Derivatives of 2-[4-Bromoanailine)carboxyl]benzoic Acid, Turk. J. Chem. 27, 209-
215.
Szorcsik, A., Nagy, L., Gadja-Schrantz, K., Pellerito, L., Nagy, E. and Edelmann, E.T. 2002.
Structural studies on organotin(IV) complexes formed with ligands containing {S,
N, O} donor atoms, J. Radioanal. Nucl. Chem. 252 (3), 523 – 530.
SYAMSURIJAL RASIMENG
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Longsoran pada umumnya disebabkan tingkat saturasi air hujan yang cukup besar dan
topografi perbukitan bergelombang terjal (Horton, 1919). Selain itu pengaruh tingkat
kerusakan lingkungan berupa penebangan hutan sebagai tanaman penutup, menyebabkan
aliran air permukaan yang cukup tinggi. Aliran air pada permukaan dapat diatasi melalui
penanaman tanaman penutup dan pohon pelindung sehingga dapat mereduksi energi potensial
air hujan yang jatuh ke permukaan tanah (Horton, 1933). Sedangkan longsor yang diakibatkan
oleh saturasi air di bawah permukaan (subsurface) membutuhkan suatu penanganan tersendiri.
Langkah tersebut dapat dilakukan jika struktur perlapisan tanah dan batuan basement dapat
diketahui. Penentuan struktur perlapisan batuan dilakukan melalui survey geologi permukaan
dan survey geofisika metode geolistrik resistivitas (resistivity method). Metode resistivitas
dilakukan dengan menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi dan mengukur beda potensial
sehingga diperoleh variasi resistivitas batuan di bawah permukaan. Berdasarkan sifat
kelistrikan (resistivitas) batuan yang berbeda satu dengan yang lainnya, maka variasi
perlapisan di bawah permukaan bumi dapat diketahui.
Daerah Sumberjaya Lampung Barat umumnya merupakan daerah rawan longsor khususnya
saat musim penghujan, sebagai akibat bentuk geomorfologi wilayahnya yang bergelombang
sedang sampai terjal. Berdasarkan pengamatan pada musim penghujan tahun 2004-2005,
khususnya pada bulan Januari 2005 terdapat kurang lebih 9 lokasi sepanjang jalan-lintas
propinsi mengalami longsoran. Akibat longsoran tersebut mengganggu lalu-lintas barang dan
jasa antara kota Liwa (ibukota Lampung Barat) termasuk Propinsi Bengkulu menuju ke
Bandar Lampung (ibukota Propinsi Lampung) bahkan ke Jakarta.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
akurat tentang struktur perlapisan batuan bawah permukaan, khususnya ketebalan lapisan
52 PROSIDING
tanah/batuan yang berpotensi mengalami longsoran, khususnya pada titik-titik rawan longsor
di sepanjang jalan-lintas propinsi di daerah Sumberjaya Lampung Barat.
Manfaat lebih jauh adalah dengan semakin minimalnya daerah longsor, maka usaha-usaha
yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan sarana transportasi (jalan) tidak terganggu,
sehingga tingkat perekonomian masyarakat bisa semakin di tingkatkan. Bahkan hal ini bisa
menghindari ancaman harta, benda dan nyawa pengguna jalan dan masyarakat disekitar
daerah rawan longsor.
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum daerah penelitian terletak pada bagian utara peta lembar Kota Agung (Amin,
1994) dengan topografi perbukitan bergelombang yang menempati sekitar 70% lembar
tersebut, terdiri dari sedimen tersier, gunung api kuarter, batuan terobosan dan sedikit batuan
malihan dengan ketinggian sampai 750 meter di atas MSL (mean sea level). Daerah ini berada
pada zona iklim Indo-Australia yang dicirikan oleh temperatur, kelembaban dan curah hujan
yang tinggi. Curah hujan berkisar antara 2.000 s/d 4.000 mm/thn, dengan curah hujan
maksimum antara Desember dan Januari. Musim hujan berlangsung dari Oktober sampai
April dan musim kemarau antara Mei sampai September.
Lokasi Penelitian
Secara umum tatanan tektonik daerah ini terbentuk oleh subdaksi lempeng Indo-Australia
dengan Eurasia yang menimbulkan busur magmatik yang luas di Pegunungan Bukit Barisan
yang dimulai sejak Perem Awal (Cameron, 1980) atau Perem Tengah-Akhir (Katili 1981;
Gafoer 1990). Daerah penelitian yang terletak pada busur magmatik ini tersusun dari batuan
alas malihan pra-Mesozoikum, batuan beku Mesozoikum dan Kenozoikum, runtuhan
gunungapi Tersier sampai Kuarter dan batuan sedimen di atasnya.
Penggunaan metode geolistrik telah banyak dilakukan oleh peneliti lapisan subsurface dan air
tanah, Nowroozi (1999) telah membuktikan keakuratan metoda geolistrik untuk mendeteksi
lapisan batuan dan akuifer air tanah. Nowroozi juga berhasil membedakan antara tahanan
jenis lapisan yang terisi oleh air tanah (fresh water) dengan lapisan yang terintrusi oleh air
laut (salt water). Selain itu, pemanfaatan metoda geolistrik untuk penelitian lapisan
subsurface. Osella (1999) melakukan penelitian besarnya kandungan air pada lapisan aluvial
dengan teknik electrical imagine, selain itu Benson (1997), Meju (1999) juga melakukan
penelitian serupa pada masing-masing tempat yang berbeda.
Secara umum, pendekatan sederhana pembahasan gejala kelistrikan bumi adalah dengan
menganggap bumi sebagai medium homogen isotropis. Dengan perlakuan tersebut medan
listrik dari sumber titik di dalam bumi merupakan simetri bola.
Prinsip metode geolistrik adalah dengan menginjeksi arus melalui elektroda arus C(x,z) yang
dibenamkan di dalam bumi. Elektroda ini dihubungkan dengan elektroda arus lainnya yang
berada di permukaan tetapi berjarak cukup jauh, sehingga pengaruhnya dapat diabaikan.
elektroda arus C(x,z) dapat dipandang sebagai titik sumber yang memancarkan arus listrik
kesegala arah dalam medium bumi dengan tahanan jenis ρ .
Gambar 2. Model aliran arus listrik dua titik sumber di permukaan bumi
Ekuipotensial disetiap titik di dalam bumi membentuk permukaan bola dengan jari-jari r.
Arus listrik dari titik elektroda arus C(x,z) mengalir keluar bola secara radial kesegala arah
sebesar,
∂V
I = 4πr 2 J = −4πr 2σ = −4πσA. (1)
∂r
Sedangkan potensial listrik dan tahanan jenis (resistivity) dipenuhi oleh persamaan,
Iρ 1
V = dan (2)
2π r
2πrV
ρ= . (3)
I
Apabila jarak antara dua elektroda arus tidak terlalu besar, potensial disetiap titik dekat
permukaan akan dipengaruhi oleh kedua elektroda arus. Adapun potensial listrik yang
dihasilkan dari kedua sumber arus ini adalah beda potensial yang terukur pada dua titik
pengukuran.
Pada daerah dekat sumber arus C1 dan C2 terdapat perubahan potensial sangat drastis.
Sedangkan di dekat titik pusat antara kedua sumber arus tersebut, gradien potensial mengecil
54 PROSIDING
dan mendekati linier. Berdasar tinjauan tersebut, pengukuran potensial listrik paling baik
dilakukan pada titik diantara C1 dan C2. Adapun beda potensial terukur antara titik P1 dan P2
adalah,
Iρ 1 1 1 1
∆V = V ( P1 ) − V ( P2 ) = − − − . (4)
2π r1 r2 r3 r4
1 1 1 1
dengan K = − − − adalah faktor konfigurasi pengukuran di lapangan.
r1 r2 r3 r4
METODE PENELITIAN
Kaji Referensi untuk menentukan metode/ teknik survey yang tepat, analisis situasi tentang
daerah penelitian, serta evaluasi kondisi sosial-budaya masyarakat setempat, sehingga dapat
dilakukan survey secara terancana. Kajian referensi merupakan kajian awal tentang daerah
penelitian meliputi kajian geologi, geomorfologi dan topografi. Kajian geologi regional akan
memberikan gambaran umum struktur geologi daerah penelitian dalam bentuk struktur batuan
regional, stratigrafi dan lithologi batuan penyusunnya. Data ini akan dimanfaatkan untuk
melakukan interpretasi perlapisan batuan daerah penelitian.
Survey Pendahuluan dilakukan untuk mengamati lokasi penelitian secara langsung, sehingga
dapat ditentukan pada titik/daerah yang akan diukur. Selain itu, pada survey pendahuluan juga
ditentukan basecamp yang tepat demi kelancaran pengukuran, keselamatan team dan alat
serta waktu dan kondisi yang paling tepat untuk melakukan pengukuran.
Desain Survey berguna untuk merancang secara detail survey yang akan dilakukan di daerah
penelitian. Sehingga bisa diperhitungkan waktu yang diperlukan di lapangan, jumlah personil,
biaya dan peralatan yang dibutuhkan.
Simulasi, secara umum simulasi hanya dilakukan untuk pengukuran metode resistivitas,
khususnya teknik survay yang akan diterapkan (Wenner-Schlumberger), sehingga tidak
terjadi kesalahan dilapangan.
Selain itu juga dilakukan pengukuran posisi titik pengukuran dengan menggunakan alat GPS
(global positioning system). Pengukuran GPS akan memberikan data berupa posisi global
dalam bentuk lintang, bujur dan ketinggian, sehingga dapat memutakhir-kan data topografi
yang telah ada. Pengambilan sampel batuan serta kondisi daerah penelitian terkini. Tujuan
pengambilan data lapangan adalah untuk mendapatkan variasi nilai resistivitas lapisan/batuan
di bawah permukaan, menentukan posisi global titik-titik pengamatan dan memutakhirkan
data geologi permukaan serta mendapatkan data-data hidrologi daerah penelitian.
Kaji Referensi
Survey Lapangan
(Metode Geolistrik, Pengukuran Posisi dengan
GPS dan Pengamatan Geologi Permukaan)
Pengolahan Data
Kesimpulan
Analisis dan Interpretasi dilakukan dengan melakukan cross-check antara hasil pengolahan
data resistivitas 1D, data geologi permukaan, dan geologi regional. Sehingga diperoleh hasil
yang paling ideal. Hasil pengukuran resistivitas diolah dengan menggunakan resty akan
memberikan informasi nilai-nilai resistivitas perlapisan batuan di bawah permukaan. Hasil
pengolahan data geologi diharapkan memberikan informasi berupa struktur geologi, stratigrafi
serta proses-proses geologi lain yang terjadi.
56 PROSIDING
Selanjutnya dilakukan analisis dari kedua data tersebut sehingga diperoleh informasi
ketebalan lapisan penutup yang merupakan lapisan berpotensi longsor.
Kesimpulan, merupakan tahapan yang cukup penting karena berfungsi untuk menarik benang
merah dari serangkaian kegiatan yang dilakukan, diharapkan pada tahapan ini diperoleh
informasi tentang ketebalan lapisan tanah penutup, kedalaman basement, dan lithologi
perlapisan batuan di daerah penelitian.
Daerah penelitian sebagian besar memiliki morfologi perbukitan karena terletak pada lajur
Bukit Barisan Selatan. Lajur Barisan merupakan bagian dari busur magmatik barisan yang
sejajar dengan sumbu panjang Pulau Sumatera. Daerah ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas
magma pada masa tersier dan kuarter, dengan jenis batuan berupa tuf, breksi gunungapi, lava
beserta batuan terobosan dan sedikit sedimen
Hal ini bersesuaian dengan Amin, dkk. (1994) yang menyatakan bahwa pada sebagian besar
lembar peta daerah penelitian memiliki satauan aluvium berumur holosen terdiri dari
bongkahan, kerakal, kerikil, pasir, lanau dan lempung. Kemudian terdapat satuan gunungapi
muda yang juga berumur holosen berupa breksi vulkanik, lava, dan tuff bersusunan batuan
beku andesitik-basaltik
58 PROSIDING
Gambar 7. Variasi resistivitas dan kedalaman pada titik-3
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil perhitungan inversi dan analisis hasil pengukuran dengan konfigurasi
schlumberger, maka dapat disimpulkan berupa:
1. Lapisan tanah/batuan yang berpotensi rawan longsor memiliki variasi ketebalan antara
9,70 meter sampai 13,18 meter dengan nilai resistivitas kurang dari 90 ohm.meter.
2. Lapisan tersebut berupa lapisan aluvium, batuan yang belum mengalami kompaksi, dan
lapisan lempung-pasiran.
3. Pada kedalaman lebih dari 13 meter terdapat batuan dengan variasi resistivitas antara
dari 131,83 sampai 386,07 di-interpretasikan sebagai batuan yang lebih kompak berupa
batuan beku andesitik-basaltik (basement?).
DAFTAR PUSTAKA
Amin, T.C., Sidarto, S. Santosa, W. Gunawan, 1994, Geology of the Kotaagung Quadrangle
Sumatera, Geological Research and Development Centre, Bandung.
Benson A.K., Payne K.L., and Stubben M., 1997, Mapping Groundwater Contamination
Using DC Resistivity and VLF Geophysical Methods-A Case Study, Geophysics Vol.
62.
Cameron, N.R., Clarke, M.C.G., Aldiss,D.T., Aspden,J.A., Djunuddin,A., 1980, The
geological evolution of Nothern Sumatera, Proceedings of the Indonesian Petroleum
Association, 9th Annual Convention, 149-187.
Gafoer, S., 1990, Tinjauan kembali tataan stratigrafi pra-Tersier Sumatera Bagian Selatan,
Prosiding Persidangan Sains Bumi dan Masyarakat, Malaysia National University.
Harton, R.E.,1919, Rainfall Interception, Mon. Weather Rev., vol. 47, no. 9, p. 603-623.
Katili, 1981, Geology of South-East Asia with particular reference to the South China Sea,
GRDC Bulletin, 4, p. 1-12, Bandung.
Meju M.A., Fontes S.L., Oliveira M.F.B., Lima J.P.R., Ulugergerli E.U. and Carrasquilla
A.A., 1999, Regional Aquifer Mapping Using Combined VES-TEM-AMT/EMAP
Methods in the Semiarid Eastern Margin of Parnaiba Basin, Brazil, Geophysics, 64.
Nowroozi A.A., Horrocks S.B. and Henderson P., 1999, Saltwater Intrusion into the
Freshwater Aquifer in the Eastern Shore of Virginia; A Recognnaissance Electrical
Resistivity Survey, Journal of Applied Geophysics, 42.
Osella A., Favetto, A. and Martinelli P., 1999, Electrical Imaging of an Alluvial Aquifer at the
Antinaco-Los Colorado Tectonic Valley in the Sierras Pampeanas, Argentina,
Journal of Applied Geophysics, 41.
60 PROSIDING
LAMA PENYIMPANAN PESTISIDA ORGANIK FORMULASI CAIR
BERBAHAN AKTIF Pseudomonas fluorescens GI34 dan Bacillus subtilis BB01
SUSKANDINI RATIH
Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Isolat Pseudomonas fluorescens GI34 dan Bacillus subtilis BB01 yang diisolasi dari rizosfer
kedelai diketahui efektif menghambat pertumbuhan bakteri Xanthomonas campestris
pv.glycines penyebab pustul kedelai secara in vitro. Kedua isolat bakteri agensia hayati
tersebut selanjutnya dikembangkan dalam formulasi cair dengan bahan pembawa molase 1%
dan limbah cair tahu. Formulasi cair yang disimpan setelah 4 jam pembuatan (0 hari
penyimpanan) mengandung bakteri agensia hayati sebanyak 106 cfu/ml, tetapi populasi
bakteri agensia hayati kemudian menurun bergantung kepada lama masa penyimpanan dan
jenis bahan pembawa formulasi. Selain itu pH formulasi juga menurun menjadi asam sesuai
dengan lamanya penyimpanan, tetapi tegangan permukaan formulasi dengan bahan
pembawa berupa molase 1% meningkat hingga 180 hari penyimpanan, sedangkan dalam
bahan pembawa berupa limbah cair tahu tegangan permukaan meningkat hanya sampai 90
hari penyimpanan.
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L. Merr.) merupakan salah satu sumber protein nabati bagi penduduk
Indonesia. Kebutuhan kedelai untuk konsumsi penduduk Indonesia terus meningkat dari
tahun ke tahun, yaitu 2,8 juta ton pada tahun 2003 menjadi 3,27 juta ton pada tahun 2004.
Namun demikian kebutuhan kedelai ini belum dapat terpenuhi dari produksi kedelai nasional
yaitu rata-rata 1,2 ton/ha. Hal ini disebabkan oleh serangan organisme pengganggu
tumbuhan, diantaranya bakteri Xanthomonas axonopodis pv. glycines (Xag) yang
menyebabkan penyakit pustul.
Penurunan produksi kedelai akibat serangan bakteri Xag dapat mencapai 50% bergantung
kepada kerentanan varietas kedelai (Dirmawati, 1996). Untuk mengatasi penyakit pustul
kedelai digunakan agensia hayati berupa bakteri yang dibuat dalam formulasi yang tidak
toksik dan mendukung pertumbuhan tanaman serta ekonomis dalam penyediaannya. Agensia
hayati yang terpilih sebagai pengendali organisme pengganggu tanaman haruslah yang dapat
bertahan hidup (survival) walaupun telah 18 bulan dalam penyimpanan ( Jones dan Burges,
1998).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui jumlah bakteri agensia hayati, pH, dan
tegangan permukaan formulasi cair pestisida organik berbahan aktif bakteri Pseudomonas
fluorescens GI34 dan Bacillus subtilis BB01 sebagai jenis agensia hayati. Hipotesis
penelitian adalah jumlah bakteri agensia hayati yang masih bertahan hidup (survival) dalam
formulasi selama dalam penyimpanan berkaitan dengan jenis bahan pembawa formulasi yang
digunakan.
Isolat bakteri agensia hayati diisolasi dari rizosfer kedelai dengan teknik pencawanan
(Lelliot & Stead 1987). Dengan teknik yang sama, dilakukan juga isolasi terhadap bakteri
Xag dari daun kedelai bergejala pustul.
Efikasi isolat agensia hayati dilakukan dengan cara menguji daya inaktivasinya terhadap Xag
menggunakan metode kertas cakram secara in vitro(van Chuyen et al. 1982). Inaktivasi
Xag oleh bakteri agensia hayati dievaluasi dengan cara mengukur diameter zone bening yang
terbentuk di sekeliling kertas cakram yang mengandung bakteri agensia hayati.
Dua isolat bakteri agensia hayati yaitu P. fluorescensGI34 dan B.subtilisBB01 masing-masing
dicampurkan ke dalam bahan pembentuk formulasi cair yaitu molase 1% dan limbah cair
tahu. Pembuatan formulasi cair dilakukan dengan mensuspensikan bakteri agensia hayati
dari dua cawan agar nutrien berumur 24 jam ke dalam 5 ml air destilata steril dengan
kerapatan 106 CFU/ml. Suspensi ini kemudian dicampurkan ke dalam 20 ml molase 1 %
atau 20 ml limbah cair tahu. Umur simpan formulasi cair dievaluasi dengan menghitung
jumlah bakteri agensia hayati, pH formulasi, dan tegangan permukaan formulasi setelah
penyimpanan 4 jam setelah pembuatan (0 hari penyimpanan), 30, 60, 90, dan 180 hari
penyimpanan.
62 PROSIDING
B. subtilis BB01
0 Hari 6,60a 50,1 b 35,3a 6,60a 52,5a 0,5a
30 Hari 6,40a 45,5c 31,9a 5,40b 47,8b 28,5a
60 Hari 5,74b 46,5c 24,6b 5,20b 47,8b 22,6b
90 Hari 5,50b 49,9c 19,5c 4,70c 49,5b 12,8c
180 Hari 5,20b 50,5b 10,5d 4,17c 50,5a 7,7d
360 Hari 4,17c 55,5a 4,2e 4,00c 51,5a 1,5e
Keterangan:
Huruf kecil yang berbeda di belakang angka dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(0,05) berdasarkan uji jarak berganda Duncan.
TP = tegangan permukaan (mN/m), ∑ Pop = populasi agensia hayati dalam formulasi (x 107 CFU/ml)
Molase dan limbah cair tahu yang digunakan dalam percobaan ini mengandung total nitrogen
berturutan sebanyak 0,45 dan 2,27 g/l. Sumber karbon dalam molase berupa sukrosa 37,6
g/l, glukosa 9,0 g/l, dan fruktosa 9,0 g/l serta dalam limbah cair
tahu berupa glukosa 1,60 g/l. Berkaitan dengan kandungan medium pertumbuhan bakteri
maka Mulligan dan Gibbs (1993) menyatakan bahwa bakteri B. subtilis dapat memproduksi
surfaktin dalam medium molase maupun limbah cair tahu yang mengandung total nitrogen
sebanyak 1,5 g/l. Lebih lanjut dikemukakan oleh Cooper et al. (1981) bahwa glukosa 4 g/l
merupakan substrat paling baik bagi produksi biosurfaktan pada B. subtilis dan P.
aeruginosa. Lehninger (1982) menyatakan bahwa glukosa dapat langsung digunakan dalam
lintasan glikolisis. Berdasarkan hal ini molase lebih sesuai untuk pertumbuhan B. subtilis
BB01 maupun P. fluorescens GI34 dibandingkan dengan limbah cair tahu.
Selain karbon dan nitrogen, Mulligan dan Gibbs (1993) menyatakan bahwa kultur tumbuh
yang optimum untuk bakteri penghasil biosurfaktan memerlukan komposisi garam-garam
mineral NH4NO3, KH2PO4, FeSO4.7H2O dan MgSO4.H2O. Untuk pertumbuhan dan produksi
biosurfaktan, bakteri menggunakan garam mineral diantaranya yang mengandung ion Fe3+.
Konsentrasi minimum garam mineral yang mengandung Fe 3+ untuk pembentukan
biosurfaktan adalah 2,0 ppm / l kultur cair. Pada percobaan ini, molase dan limbah cair tahu
yang digunakan sebagai medium pertumbuhan sekaligus bahan pembawa bakteri mengandung
Fe2O3 dengan konsentrasi masing-masing 2,91 ppm dan 1,63 ppm.
Pembentukan biosurfaktan, memerlukan mineral besi dan mangan. Molase dan limbah cair
tahu yang digunakan dalam percobaan ini mengandung mineral mangan berturut-turut 0,55
ppm dan 0,46 ppm. Sheppard dan Cooper (1991) mengemukakan bahwa mineral besi dan
mangan merupakan kofaktor enzim yang digunakan untuk metabolisme glutamat, amonia,
dan pembentukan enzim glutamin sintetase yang memicu pembentukan biosurfaktan. Jika
tersedia amonia dan glutamin tetapi tidak tersedia kofaktor besi dan mangan, maka
pembentukan enzim glutamin sintetase tertekan dan biosurfaktan tidak terbentuk.
Menurut Mulligan dan Gibbs (1993), senyawa biosurfaktan merupakan bagian membran sel
bakteri yang terbentuk selama fase hidup logaritmik hingga stasioner. Biosurfaktan berfungsi
untuk menurunkan tegangan permukaan substrat yang ditempati bakteri penghasilnya jika
substratnya tidak dapat larut dalam air. Dengan adanya kemampuan ini, bakteri mudah
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 63
menyerap nutrisi dalam substrat yang tidak larut dalam air. Hommel dan Ratledge (1993)
serta Desai dan Desai (1993) menyatakan bahwa biosurfaktan merupakan bakteriosin yaitu
toksin terhadap mikroorganisme di sekitarnya.
Berkaitan dengan jumlah biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri agensia hayati yang
berkurang setelah 60 hari penyimpanan, hal ini disebabkan oleh penurunan populasi bakteri
B. subtilis BB01 dan P. fluorescens GI 34 hidup setelah 60 hari penyimpanan. Populasi
bakteri setelah 60 hari penyimpanan lebih sedikit dibandingkan dengan awal infestasi atau
pada 7 hari penyimpanan. Gambar 1 menunjukkan populasi P. fluorescens GI34 dalam
formulasi molase 1% mula-mula meningkat dari 106 CFU/ml pada awal infestasi menjadi
28,60 x 10 7CFU/ml pada 7 hari penyimpanan. Demikian juga populasi awal B. subtilis BB01
(sama dengan P. fluorescens GI34) meningkat menjadi 35,30 x 107 CFU/ml setelah 7 hari
penyimpanan.
Penurunan populasi bakteri yang hidup dalam formulasi cair terjadi setelah 60 hari, 180 hari,
dan 360 hari penyimpanan. Populasi bakteri P. fluorescens GI34 menurun berturut-turut
21,70 x107; 1,7 x 107, dan 0,09 x 107 CFU/ml, sedangkan populasi B. subtilis BB01
menjadi 24,6 x 107; 10,5 x 107, dan 4,2 x 107 CFU/ml.
Populasi Agens Biokontrol
4000.1
3500.1
3000.1 PfGI34 Molase
(107 CFU/ml)
2500.1
PfGI34 LCT
2000.1
1500.1 BsBB01
1000.1 Molase
BsBB01 LCT
500.1
0.1
0 7 30 60 90 120 180 360
Lama Penyimpanan (Hari)
Gambar 1. Pertumbuhan bakteri agensia hayati dalam molase 1 % dan limbah cair
tahu pada suhu 270 C dan kelembaban 80%
Keterangan :
PfGI34 = P.fluorescens GI34,
BsBB01 = B.subtilis BB01,
LCT = limbah cair tahu
Jumlah populasi dan senyawa biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri agensia hayati
dipengaruhi oleh pH medium pertumbuhan. Menurut Javaheri et al. (1985), kisaran pH
medium yang diperlukan oleh bakteri Pseudomonas spp. untuk memproduksi biosurfaktan
adalah 4,6 hingga 7,0. Bakteri B. subtilis spp. memproduksi biosurfaktan pada kisaran pH
medium 4,0 hingga 7,5. Kemasaman formulasi bakteri agensia hayati dalam molase 1%
maupun limbah cair tahu menurun sejak diproduksi hingga 360 hari penyimpanan, yaitu dari
6,7 menjadi 3,9 pada medium pertumbuhan P. fluorescens GI34 dan dari 6,6 menjadi 4,17
pada medium pertumbuhan B. subtilis BB01 (Gambar 2).
64 PROSIDING
8 PfGI34
7 Molase
6 PfGI34 LCT
5
pH
4 BsBB01
3 Molase
2 BsBB01
1 LCT
0
0 7 30 60 90 120 180 360
Lama Penyimpanan (Hari)
Keterangan:
PfGI34 = P.fluorescens GI34,
BsBB01 = B.subtilis BB01,
LCT = limbah cair tahu
Kestabilan hidup bakteri agensia hayati dipengaruhi oleh produk metabolisme bakteri yang
terakumulasi dalam formulasi. Akumulasi metabolit mengubah kemasaman formulasi.
Senyawa metabolit yang berupa asam karboksilat berdisosiasi dalam air menghasilkan ion H+
sehingga menurunkan pH (Jones dan Burges 1998).
KESIMPULAN
SARAN
1. Pencampuran molase dan limbah cair tahu dalam berbagai komposisi belum
dicobakan secara optimal sebagai medium agensia hayati Pseudomonas fluorescens GI34
dan Bacillus subtilis BB01.
2. Efektivitas lama penyimpanan pestisida organik formulasi cair berbahan aktif
Pseudomonas fluorescens GI34 dan Bacillus subtilis BB01 perlu dicoba di berbagai
keadaan lapangan yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2002. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Survei
Pertanian. Jakarta.
Cooper DG, CR Mac Donald, Duff SJB, Kosaric N. 1981. Enhanced Production of
Surfaktin from B. subtilis by Continuous Product Removal and Metal Cation
Additions. App. Environ. Microbiol. 42:408-412.
Desai JD, Desai AJ. 1993. Production of Biosurfactants. Dalam Kosaric N, editor
Biosurfactants. Production. Properties. Applications. Marcel Dekker Inc. New York.
Hlm 279-345.
Dirmawati SR. 1996. Ketahanan Kedelai Terhadap Xanthomonas campestris pv. glycines
Penyebab Penyakit Bisul Bakteri. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Javaheri M, Gary EJ, Inney Mc MJ, Knapp RM. 1985. Anaerobic Production of
Biosurfactants by Bacillus licheniformis JF-2. App. Environ. Microbiol.50: 698-700.
Jones KA, Burges HD. 1998. Technology of Formulation and Application. Dalam
Burges HD, editor. Formulation of Microbial Biopesticides:Beneficial Microorganism,
Nematodes and Seed Tratments. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. Hlm 7-
29
Mulligan CN, Gibbs BF. 1993. Factors Influencing The Economic of Biosurfactants.
Dalam Kosaric N, editor. Biosurfactants. Productions. Properties. Applications.
Marcel Dekker Inc. New York. Hlm 346-387.
Sheppard JD, Cooper DG. 1991. The Response of Bacillus subtilis ATCC 21332 to
Manganese During Continuous Phase Growth. Appl. Microbiol. Techno. 35:72-76.
66 PROSIDING
PENGARUH PEMBERIAN AROMATASE INHIBITOR DAN
17α-METILTESTOSTERON MELALUI PAKAN DALAM PRODUKSI
UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii de Man) JANTAN
MUNTI SARIDA
PS Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
ABSTRACT
A feeding trials was conducted to determine the optimum dose of Aromatase Inhibitor and
17α-Metiltestosteron for produce masculine monosex of Prawn Pole (initial average weight 3
mg , old 16 the day after hatching). Each treatment were subjected to completely
randomized design analysis of variance (ANOVA), 2-factor with 4 replication that is feed
without addition aromatase inhibitor + 17α-metiltestosteron (control), feed added by dose
aromatase inhibitor and 17a-metilltestosteron (0 +10mg/kg; 1000 + 0 mg/kg; 1000 and 10
mg/kg, 2000 + 0 mg/kg; 2000 + 10 mg/kg feed), respectively. The Prawn Pole was feed to ad
libitum four times a day for 30 – day rearing time. Result showed that the masculine
percentage sex ratio content increased and the daily growth rate decreased. There was
significant differences (P<0.05) but survival rate of Prawn Pole content decreased and not
significant differences (P>0.05). Based on the evaluation of masculine percentage sex ratio
(77, 77%), survival rate (81%) and daily growth rate (8, 77%), it can be concluded that the
optimum dose to produce masculine sex ratio is combine dose aromatase inhibitor 2000
mg/kg + 17α-metiltestosteron 10 mg/kg feed).
PENDAHULUAN
Udang galah jantan memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan udang galah
betinanya (Sastradiwirya dalam Kusmini et al., 2001). Udang jantan dapat mencapai panjang
hingga sekitar 25 cm dengan bobot tiga kali lebih besar daripada betina berkisar antara 42 –
102 gram dengan masa pemeliharaan 3 bulan, sedangkan udang betina hanya dapat mencapai
panjang sekitar 15 cm dengan bobot maksimal hanya 19 – 51 gram (Bardach dalam Hadie et
al., 2001). Perbedaan pertumbuhan ini akan berpengaruh pada hasil yang berdampak
permintaan pasar. Oleh karena itu, agar produksi lebih besar dan lebih cepat perlu diusahakan
bagaimana menghasilkan populasi monoseks jantan pada udang galah (Macrobrachium
rosenbergii de Man) dengan metode sex reversal yang merupakan teknik pengarahan kelamin
telah dilakukan dengan menggunakan hormon seks steroid yang diberikan pada saat
Akhir – akhir ini berkembang metode dalam maskulinisasi adalah dengan menggunakan
aromatase inhibitor. Aromatase inhibitor merupakan bahan kimia yang dapat digunakan
untuk memanipulasi diferensiasi kelamin melalui penghambatan aktifitas enzim aromatase.
Aromatase inhibitor bekerja dengan menghambat ekspresi gen aromatase, dimana fungsi
cytochrome P450 aromatase pada penentuan jenis kelamin telah diuji, karena enzim ini
berperan dalam aromatisasi androstenedione menjadi estrogen dan testosteron menjadi
estradiol-17β (Jayasuri et al., 1986 dalam Kwon et al., 2000) yang menyebabkan tidak
terjadinya pembentukan estrogen sehingga yang timbul adalah efek maskulinisasi.
Pemberian aromatase inhibitor ini telah terbukti dapat meningkatkan persentase jantan pada
ikan nila menghasilkan hampir 100% jantan (Oreochromis niloticus) dengan dosis 400 dan
500 mg/kg pakan dengan masa pemberian pakan oral selama 30 hari (Kwon et al., 2000).
Untuk pemberian 17α-metiltestosteron pada larva udang galah berumur 25 hari melalui
perendaman selama 24 jam dengan dosis 25 mg/l menghasilkan 82, 02% jantan (Hadie et al.,
2001) dan pada larva udang galah berumur 20 hari yang diberi hormon17α-metiltestosteron
melalui makanan dengan dosis 35 mg/kg pakan selama 30 hari dapat menghasilkan 80, 91%
jantan (Kusmini et al., 2001). Dalam penelitian ini aromatase inhibitor dan 17α-
metiltestosteron diberikan secara oral melalui makanan sebab cara ini merupakan paling
mudah dan efektif serta tidak memerlukan keahlian khusus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tingkat dosis aromatase
inhibitor dan 17α-metiltestosteron yang tepat melalui pakan dalam produksi udang galah
(Macrobrachium rosenbergii de Man) jantan yang maksimal sebagai upaya efisiensi produksi
udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2004 sampai Januari 2005 dilaboratorium
Lapangan Observasi Bawah Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
68 PROSIDING
Bahan
Pakan yang digunakan dalam percobaan ini adalah pakan udang bentuk bubuk (no.P0) dan
pelet halus (no. P1 – P3) yang memiliki kadar protein kasar 42%. Pakan selama perlakuan
adalah pakan yang diberi campuran larutan aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron
dengan dosis tertentu selama 30 hari. Kemudian, udang uji diberi pakan Daphnia beku dan
pakan pellet selama masa pemeliharaan. Udang yang digunakan berumur 30 hari setelah
menetas dengan berat rata – rata awal 3 mg. Sebelum diberikan perlakuan larva diadaptasikan
di bak fiber. Adaptasi pakan dilakukan sejak larva berumur 25 hari setelah menetas (HSM)
dimana adaptasi pakan yang sebelumnya menggunakan pakan pasta maka mulai
menggunakan pakan bubuk sampai larva berumur 29 hari setelah menetas (HSM). Sedangkan
adaptasi terhadap lingkungan penelitian dilakukan selama empat hari sejak berumur 26 hari
setelah menetas (HSM).
Pemeliharaan ikan
Pada saat percobaan berlangsung, larva dimasukkan ke dalam 24 akuarium dengan ukuran 90
x 40 x 40 cm dengan ketinggian air 20 cm, kepadatan 110 ekor/m2 (50 ekor untuk setiap
akuarium atau ulangan). Penempatan larva ke dalam akuarium secara acak (Steel dan Torrie,
1993). Air yang digunakan berasal dari air sumur yang telah dierasi selama 24 jam.
Pemberian pakan dilakukan secara ad libittum dengan frekuensi empat kali sehari, yaitu pukul
08.00, pukul 11.00, pukul 14.00 dan pukul 17.00 WIB.Pemeliharaan udang dilakukan sampai
udang dapat dibedakan jenis kelaminnya.Dan dikombinasikan dengan pemberian pakan alami
Daphnia beku diberikan secara ad libitum. Supaya kualitas air selalu kondusif untuk
pertumbuhan udang galah, dilakukan pengukuran kualitasnya, diberikan aerasi yang cukup,
dilakukan penyiponan setiap hari dan dilakukan pergantian air sebanyak 20– 30% setiap hari.
Pergantian air menggunakan air yang telah diendapkan dan diaerasi minimal selama satu hari.
Pengamatan
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah persentase udang jantan, persentase udang
betina, tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan harian udang. Semua parameter
tersebut dihitung pada akhir penelitian.
Pengidentifikasian jenis kelamin udang dilakukan secara mikroskopis, yaitu dengan melihat
keberadaan apendik maskulin yang terdapat pada kaki renang kedua udang. Pengamatan jenis
kelamin dilakukan pada semua udang tiap perlakuan yaitu dengan memotong kaki renang
kedua udang untuk memudahkan dalam pengamatan.
Keterangan:
Et
SR = x 100%
Eo
Keterangan :
SR = Kelansungan hidup udang galah ( % )
Et = Jumlah udang galah pada waktu akhir ( ekor )
Eo = Jumlah udang galah awal ( ekor )
Laju pertumbuhan harian udang galah dihitung berdasarkan bobot. Pengukuran bobot udang
dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan menggunakan timbangan elektrik.
Bt
α = t − 1 x 100%
Bo
Keterangan:
α = Laju pertumbuhan harian
Bt = Bobot udang pada waktu t
B0= Bobot udang pada waktu awal penelitian
t =Waktu akhir penelitian
Parameter kualitas air yang diukur adalah suhu, pH, kandungan oksigen terlarut (DO), kadar
ammoniak (TAN), dan alkalinitas. Pengamatan suhu air dilakukan tiga kali sehari yaitu tiap
pemberian pakan. Sedangkan pengukuran parameter lainnya dilakukan pada awal penelitian,
perlakuan, dan pada saat pemeliharaan organisme uji.
Parameter yang dianalisa secara deskriptif adalah pengamatan jenis kelamin udang. Parameter
yang dihitung adalah tingkat kelangsungan hidup, persentase jenis kelamin dan laju
pertumbuhan harian kemudian dianalisa secara statistik menggunakan model penduga
rancangan acak lengkap faktorial (Steel and Torrie, 1993). Data disajikan dalam bentuk tabel
70 PROSIDING
dan gambar kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh faktor-faktor perlakuan baik tunggal maupun interaksinya. Kemudian
diteruskan uji nilai rataan yaitu uji jarak Duncan pada perlakuan yang memperlihatkan
pengaruh nyata sehinggga diketahui perbedaannya secara statistik.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan udang berumur 30 hari setelah menetas (HSM)
yang diberi perlakuan tingkat kombinasi dosis 17α-metiltestosteron dan aromatase inhibitor
selama 30 hari dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil menunjukkan bahwa data persentase ratio
kelamin jantan udang galah rata-rata persentase jenis kelamin jantan udang galah pada kontrol
sebesar 51,38% dengan standar deviasi sebesar 2,59%. Untuk rata – rata ratio persentase jenis
kelamin jantan perlakuan berkisar antara 50,35 % sampai 77,77 %.
Hasil analisa statistik dengan menggunakan tabel sidik ragam menunjukkan antara persentase
jenis kelamin kontrol dan perlakuan, baik jantan maupun betina, menunjukkan perbedaan
yang nyata pada taraf kepercayaan 95%. Perlakuan pemberian dosis aromatase inhibitor dan
17α-metiltestosteron pada udang galah menghasilkan persentase kelamin jantan yang berbeda
nyata dengan persentase kelamin jantan pada kontrol (P<0.05). Hasil ini menerangkan bahwa
pemberian aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron pada penelitian ini memberikan
pengaruh terhadap pengarahan pembentukan jenis kelamin jantan udang galah meskipun,
belum mencapai 100% atau perlakuan ini dapat mempengaruhi terbentuknya kelamin jantan pada udang galah.
Dengan persentase rasio kelamin jantan terbesar pada perlakuan dosis MT 10 + AI 2000
mg/kg pakan sebesar 77,77 % sedangkan terendah dengan dosis MT 10 + AI 0 mg/kg pakan
sebesar 50,35%. Perbedaan rata-rata persentase kelamin jantan dan rata-rata persentase
kelamin betina antar perlakuan ditunjukkan pada Gambar 2. Dengan dilakukan uji jarak
Duncan dapat dibandingkan tiap – tiap perlakuan baik secara faktor yang independent
maupun interaksinya. Hasil uji Duncan ini menunjukkkan bahwa perlakuan dosis MT 0 + AI
0 mg/kg pakan dan perlakuan dosis MT 10 + AI 0 mg/kg pakan tidak berbeda nyata tetapi
kedua perlakuan ini berbeda nyata terhadap semua perlakuan lainnya. Lalu perlakuan dengan
dosis MT 0 + AI 1000 mg/kg pakan berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Kemudian
Perlakuan dengan dosis MT 10 + AI 1000 mg/kg pakan tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan dosis MT 0 + AI 2000 mg/kg pakan tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan yang
lain pada taraf kepercayaan 95% (P<0,05).
Perlakuan yang memberikan hasil yang paling berbeda nyata terhadap kontrol adalah
perlakuan dengan dosis 17α-metiltestosteron 10 + aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan,
dengan hasil udang galah yang berjenis kelamin jantan sebesar 77,77 ± 3,61% namun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan dengan dosis aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan
menghasilkan jenis kelamin jantan cukup tinggi sebesar 72,78 ± 1,09%. Hal ini menunjukkan
bahwa dosis kombinasi dosis aromatase inhibitor 2000 + 17α-metiltestosteron 10 mg/kg
pakan dan dosis aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan memberikan pengaruh yang sama
untuk proses pengarahan terbentuknya kelamin jantan pada udang galah. Namun mengingat,
Mengingat peredaran metiltestosteron dibatasi, karena diduga residu hormon tersebut menjadi
salah satu bahan pencemar lingkungan (endocrine residu agent), bahkan diduga dapat
menyebabkan kanker atau bersifat karsinogenik pada manusia (Phelps et al., 2001), maka
untuk alternatif maskulinisasi udang galah dapat menggunakan dosis aromatase inhibitor
2000 mg/kg pakan menghasilkan jenis kelamin jantan cukup tinggi sebesar 72,78 ±
1,09%.Penggunaan aromatase inhibitor bahan kimia yang aman bagi manusia atau konsumen
yang mengkonsumsi dan lingkungan. Dan dosis aromatase inhibitor 2000 + 17α-
metiltestosteron 10 mg/kg pakan merupakan dosis yang paling tinggi (maksimal) dalam
menghasilkan kelamin jantan pada udang galah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal
ini sesuai dengan Yamazaki (1983) yang menyatakan bahwa tingkat dosis untuk hormon
steroid atau bahan efektif khas untuk setiap jenis.
90 77.77
66.44 72.78
70.18 d
80 b c
c
Ratio Kelamin % Udang Galah
70
51.38
50.35
60 a
a 49.65
48.62
50
40 27.22
33.56 27.22
30 22.23
20
10
0
0
0
00
00
0
+0
00
00
0+
10
20
10
+1
+2
0+
0+
10
10
Gambar 2. Histogram rata-rata persentase Gambar 3 Kaki renang kedua udang galah jantan dan betina
kelamin jantan dan betina udang galah Kaki Renang Udang Kaki Renang Udang
Ket. = huruf superskrif yang sama menunjukkan tidak Jantan Betina
berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95%.
72 PROSIDING
Persentase yang dihasilkan pada perlakuan dengan dosis aromatase inhibitor 2000 mg/kg
pakan menghasilkan jenis kelamin jantan sebesar 72,78 ± 1,09% tidak berbeda nyata terhadap
perlakuan dengan dosis 17α-metiltestosteron 10 + aromatase inhibitor 1000 mg/kg pakan
yang menghasilkan jenis kelamin jantan sebesar 70,18 ± 2,07% sehingga selisih persentase
yang dihasilkan tidak terlalu besar, sedangkan pada perlakuan dengan dosis aromatase
inhibitor 1000 + 17α-metiltestosteron 0 mg/kg pakan menghasilkan jenis kelamin jantan lebih
rendah sebesar 66,44 ± 2,59. Begitu juga pada perlakuan dengan dosis 17α-metiltestosteron
10 + aromatase inhibitor mg/kg pakan menghasilkan kelamin jantan hanya sebesar 50,35 ±
4,20%. Dengan demikian dapat diduga bahwa keempat perlakuan masih kurang efektif jika
dibandingkan dengan dosis 17α-metiltestosteron 0+ aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan.
Hal ini dikarenakan dosis – dosis tersebut masih relatif rendah untuk mempengaruhi
terbentuknya jenis kelamin jantan pada udang galah. Juga diduga ada kemungkinan 17α-
metiltestosteron dan aromatase inhibitor yang terkandung di dalam pakan mengalami
degradasi pada saat melewati saluran pencernaan karena adanya enzim pencernaan.
Aromatase dimiliki oleh crustacea termasuk udang galah karena menurut Summavielle et al.
(2003) menyatakan bahwa pada udang Marsupenaeus japonicus terdapat aromatase. Hal ini
mengindikasikan keberadaan aromatase pada udang. Sehingga jika diberikan aromatase
inhibitor, maka kerja aromatase ini terhambat. Aromatase inhibitor yang berpengaruh pada
udang galah diduga karena aromatase yang dimiliki udang galah adalah aromatase tipe otak.
Pendugaan ini berdasarkan adanya dua tipe aromatase pada ikan, yaitu aromatase otak (brain
aromatase) dan aromatase ovari (ovarian aromatase) (Tchoudakova and Callard, 1998).
Sehingga aromatase otak yang terdapat pada udang galah diduga berperan dalam differensiasi
jenis kelamin. Maka aromatase yang ada pada masa differensiasi kelamin yang berarti
aromatase terlibat dalam pembentukan kelamin udang galah.
Pengaruh suatu bahan pada organisme dalam teknik pengarahan kelamin dapat dilihat melalui
beberapa parameter. Parameter-parameter tersebut diantaranya adalah rasio jenis kelamin,
tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan harian. Sedangkan tingkat keberhasilan
suatu bahan mempengaruhi pengarahan pembentukan jenis kelamin dipengaruhi oleh umur
organisme, lama waktu pemberian, waktu pemberian dan dosis pemberian serta faktor
lingkungan.
Selain itu, periode dan lamanya perlakuan juga mempengaruhi keefektifan kerja 17α-
metiltestosteron dan aromatase inhibitor dan dalam merangsang pembentukan kelamin jantan,
sebab menurut Yamazaki (1983), usaha pengubahan jenis kelamin harus dilakukan pada
waktu yang tepat dan jangka waktu yang tepat pula. Hal ini berkaitan dengan diferensiasi
Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina dapat teramati secara dari luar saja.
Dalam membedakan morfologi udang galah jantan dan betina yang cukup signifikan pada
pasangan kaki jalan keduanya. Secara mikroskopis untuk melihat perbedaan jenis kelamin
udang galah dapat dilakukan dengan melihat perbedaan morfologi kaki renang kedua. Karena
kaki renang kedua udang galah memiliki morfologi yang berbeda antara jantan dan betina.
Pada kaki renang kedua udang galah jantan memiliki percabangan didasar apendik interna,
dan pada percabangan ini terdapat setae-setae yang merupakan ciri jenis kelamin jantan
disebut apendik maskulin. Sedangkan pada kaki renang kedua udang galah betina hanya
terdapat apendik interna tidak memiliki setae dapat dilihat pada Gambar 3.
Tingkat kelangsungan hidup udang galah pada masing-masing perlakuan dengan rata-rata
76% sampai 81% dan pada kontrol sebesar 76%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kelangsungan hidup udang galah
antara semua perlakuan pemberian dosis aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron pada
taraf kepercayaan 95%. Ini berarti aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron yang
diberikan lewat pakan tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup
udang galah. Berdasarkan penelitian-penelitian pengarahan kelamin ikan yang telah dilakukan
memang didapatkan bahwa aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron tidak berpengaruh
terhadap mortalitas ikan uji baik aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron yang diberikan
melalui pakan maupun melalui perendaman. Kwon et al., (2000) menyatakan bahwa tidak ada
hubungan statistik antara mortalitas dengan perlakuan pemberian aromatase inhibitor dan
17α-metiltestosteron. Hal ini didukung oleh hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Mazida
(2002), Nurlaela (2002), Piferrer et al. (1994), dan Muthalib (2004). Bahkan untuk aromatase
inhibitor telah digunakan dalam pengobatan dan pencegahan kanker, terutama kanker
payudara pada manusia.
Tingkat kelangsungan hidup selama penelitian termasuk cukup tinggi bagi pemeliharaan
udang galah, yaitu rata-rata berkisar antara 76,00 – 81,00% apalagi dengan kepadatan yang
cukup tinggi yang didukung juga dengan penggunaan tiga macam shleter untuk setiap
akuarium percobaan yaitu plastik gelombang, anyaman tali plastik dan susunan pipa paralon
sehingga bisa memperkecil kemungkinan terjadinya kanibalisme atau saling memakan
74 PROSIDING
diantara udang galah baik yang ukurannya lebih kecil atau sedang lemah sehabis molting.
Hadie (2002) mengungkapkan bahwa tingkat kelangsungan hidup pendederan udang galah di
beberapa petani berkisar antara 56-93% untuk pemeliharaan selama 50-71 hari dengan
kepadatan pemeliharaan 24 – 90 ekor/m2. Tingkat kelangsungan hidup yang cukup tinggi
menunjukkan kondisi pemeliharaan dan kondisi fisiologis udang yang baik.
Tingkat kelangsungan hidup yang cukup tinggi juga didukung oleh kualitas air dan pakan
yang cukup selama penelitian. Hasil analisa kualitas air selama penelitian menunjukkan
keadaan kualitas air yang masih mendukung untuk pemeliharaan udang galah dengan suhu
berkisar 25 – 30 C, pH 6,80 – 6,82, Oksigen terlarut (5,49 – 5,97), Total Amoniak Nitrogen
berkisar 0,54 – 0,89, kandungan nitrit 0,003 – 0,006.
Laju pertumbuhan harian rata-rata udang galah perlakuan berkisar antara 8,01% sampai
8,77% sedangkan pada kontrol sebesar 8,13%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan yang nyata untuk laju pertumbuhan harian antar perlakuan terhadap
kontrol pada taraf kepercayaan 95%. Ini menunjukkan perbedaan yang nyata antara udang
yang diberi pakan yang ditambah aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron dengan udang
yang tidak diberi aromatase inhibitor dan 17α-metiltestosteron. Namun, setelah uji lanjut
dengan uji jarak Duncan didapatkan bahwa perlakuan kontrol dengan perlakuan dosis MT 10
+ aromatase inhibitor 0 mg/kg pakan tidak berbeda nyata. Perlakuan dengan dosis MT 0 +
aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan berbeda nyata terhadap perlakuan dengan dosis MT 0
+ aromatase inhibitor 1000 mg/kg pakan. Sedangkan untuk perlakuan dosis 17α-
metiltestosteron 10 + aromatase inhibitor 1000 mg/kg pakan), perlakuan MT 0 + aromatase
inhibitor 2000 mg/kg pakan), dan perlakuan dosis 17α-metiltestosteron 10 + aromatase
inhibitor 2000 mg/kg pakan ) juga tidak berbeda nyata.
Perbedaan utama udang galah air tawar (Macrobrachium rosenbergii de Man) terdapat pada
pertumbuhan jantan dan betina yang tampak jelas dan telah menjadi karakteristik (Brodie et
al., 1980; Cohen et al., 1981 dalam Sagi et al., 1986). Dengan perbedaan pertumbuhan antara
jantan dengan betina ini sangat mempengaruhi hasil yang sesuai dengan ukuran pasar. Maka
dengan menghasilkan udang galah dalam waktu yang cukup singkat sesuai dengan permintaan
pasar dengan parameter jumlah jantan yang dihasilkan, tingkat kelangsungan hidup yang
tinggi dan laju pertumbuhan harian yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan keefisienan
produksi sehingga dapat mendapatkan keuntungan usaha. Dan untuk alternatif maskulinisasi
yang efektif dan aman bagi manusia, lingkungan dapat menggunakan aromatase inhibitor
dengan dosis 2000 mg/kg pakan untuk mengasilkan jantan yang cukup tinggi. Dengan
demikian aromatase inhibitor dapat mengurangi atau menggantikan penggunaan 17α-
metiltestosteron dalam sex reversal pada udang dan ikan pada umumnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Perlakuan pemberian kombinasi aromatase
inhibitor (0, 1000, dan 2000 mg/kg pakan) dan 17α-metiltestosteron dosis (0 dan 10 mg/kg
pakan) selama 30 hari dimulai pada udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) yang
berumur 30 hari setelah menetas (HSM) memberikan pengaruh yang nyata terhadap
persentase kelamin jantan dan laju pertumbuhan harian tetapi tidak memberikan pengaruh
yang nyata pada kelangsungan hidup udang galah. Perlakuan terbaik untuk menghasilkan
jantan udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) yang maksimal yaitu dosis 17α-
metiltestosteron 10 mg/kg + aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan dengan persentase
jantan 77,77%, tingkat kelangsungan hidup 81%, dan laju pertumbuhan harian sebesar 8,77%.
Teknik maskulinisasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) yang efektif dan
aman bagi manusia, lingkungan dapat menggunakan aromatase inhibitor dengan dosis 2000
mg/kg pakan tanpa harus menggunakan 17α-metiltestosteron lagi, karena dapat menghasilkan
jumlah jantan yang tidak berbeda nyata dengan dosis 17α-metiltestosteron 10 mg/kg +
aromatase inhibitor 2000 mg/kg pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Pencanangan gerbang mina bahari pergerakan nasional pembangunan kelautan
dan perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Gorontalo.
Hadie, W. dan L. E. Hadie. 2002. Budidaya Udang Galah GIMacro Di Kolam Irigasi, Sawah
Tambak dan Tambak.Penebar Swadaya. Jakarta
Malecha, S. R., P.A. Nevin, Phyllis Ha, L. E. Barck, Y. Lamadrid-Rose, S. Masuno and D.
Hedgecock. 1992. Sex-ratios and Sex-Determination in Progeny from Crosses of
Surgically Sex-Reversed Freshwater Prawn, Macrobrachium rosenbergii.
Aquaculture Vol 105 : 201 – 218. Elsevier Science Publishers B.V. Amsterdam.
Mazida, A. N. 2002. Pengaruh aromatase inhibitor terhadap nisbah kelamin ikan Gapi
(Poecilia reticulata Peters). Skripsi. Fakulas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Muthalib. A. 2004. Pengaruh lama pemberian aromatase inhibitor melalui pakan terhadap
nisbah kelamin udang Galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
76 PROSIDING
Nurlaela, 2002. Pengaruh dosis aromatase inhibitor pada perendaman embrio terhadap nisbah
kelamin ikan nila merah (Oreochromis sp). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Piferrer, F., S.Januy, M. Carillo, I.I Solar, R. H. Devlin and E. M. Donaldson. 1994. Brief
Treatment with an aromatase inhibitor diring sex diferrentation causes female
salmon to develop as normal. Functional males. Journal of Experimental Zoology.
270 : 255 – 262. Wiley- Liss. Inc.
Steel, R. G. and J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT Gramedia Pustaka.
Jakarta.
Suhanti, I. Y. 2003. Sensitivitas periode waktu pemberian aromatase inhibitotr melalui pakan
untuk sex reversal pada ikan nila merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Yamamoto, T. 1969. Sex Diferrentiation. In W. S. Hoar and D.J. Randall (eds), Fish
Physiology. Vol III.. Academic Press. New York. P:117-158.
Yamazaki, F. 1983. Sex Control and manipulation in Fish. Aquaculture 33: 329 – 554.
Academic Press New York.
Yoshikawa, H., and M. Oguri., 1981. Ovarion Diferrentiation in Medaka, Oryzias latipes,
with Spesial Reference to The Gradient of The Diferrentiation. Bulletin of The
Japanase Society of Scientific Fisheries, 47:43-50
INDRIYANTO
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk: mengetahui spesies tumbuhan dan mengkaji kesesuaian spesies
tumbuhan pada tiap bentuk vegetasi penghijauan di Kota Bandar Lampung. Penelitian
dilakukan pada bulan Juli—September 2005 di ruang terbuka hijau di Kota Bandar Lampung.
Metode yang digunakan adalah metode survei. Data yang dihimpun meliputi bentuk vegetasi
penghijauan kota, komposisi spesies tumbuhan, penutupan tajuk, tinggi tumbuhan,
identifikasi bentuk tajuk, dan fungsi lansekap tiap spesies tumbuhan. Data diolah dan
ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif. Dalam penelitian telah teridentifikasi 66
spesies tumbuhan yang meliputi 8 spesies vegetasi sisi jalan dengan tingkat kesesuaian cukup
sesuai (skor 13,63), 6 spesies vegetasi median jalan dengan tingkat kesesuaian sesuai (skor
15,92), 18 spesies vegetasi halaman rumah dengan tingkat kesesuaian cukup sesuai (skor
16,50), 13 spesies vegetasi halaman kantor dengan tingkat kesesuaian cukup sesuai (skor
17,15), 2 spesies vegetasi halaman toko dengan tingkat kesesuaian cukup sesuai (skor 18,63),
14 spesies vegetasi taman kota dengan tingkat kesesuaian cukup sesuai (skor 16,71), dan 29
spesies vegetasi hutan kota dengan tingkat kesesuaian sesuai (skor 16,01). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar spesies tumbuhan yang ditanam sebagai komponen
utama penghijauan kota adalah cukup sesuai, namun perlu upaya peningkatan tingkat
kesesuaian spesies tumbuhan melalui cara pemilihan spesies dengan memperhatikan
persyaratan tumbuh, ketahanan terhadap angin, sifat menggugurkan daun, dan fungsi lansekap
(pengarah, pembatas, peneduh, pelentur, dan pengontras warna). Selain itu, jumlah spesies
tumbuhan perlu ditambah, khususnya pada hutan kota dengan menanam spesies pohon langka
agar keberadaan hutan kota dapat menjadi objek pelestarian plasma nutfah berbagai spesies
pohon langka.
PENDAHULUAN
Kota Bandar Lampung saat ini pertumbuhannya cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari adanya
bangunan-bangunan gedung besar dan tinggi yang jumlahnya selalu bertambah, sehingga
akan berpengaruh terhadap kondisi Ekosistem Kota Bandar Lampung secara keseluruhan.
Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya kerusakan lingkungan kota tersebut, maka
dilaksanakannya program penghijauan sebagai upaya memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
78 PROSIDING
Peranan penghijauan kota dititikberatkan pada peranan vegetasi penghijauan kota yang antara
lain sebagai pengendali pencemaran air, udara, dan tanah, sebagai pengendali iklim kota,
peredam kebisingan, memperindah kota, memperbaiki proses tata air, sebagai pencagaran
sumberdaya genetik, dan sebagai sarana pendidikan dan seni (Indriyanto, 1991).
Untuk dapat menikmati manfaat penghijauan kota, maka pemilihan spesies tumbuhan yang
akan ditanam harus memperhatikan tiga syarat utama, antara lain sebagai berikut (Indriyanto,
1993).
(1) Memenuhi syarat silvikultur yaitu bahwa spesies tumbuhan yang ditanam harus pada
tempat tumbuh yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhannya, dapat tumbuh pada tanah
miskin hara, mampu memulihkan kesuburan tanah, tahan terhadap serangan hama dan
penyakit, spesies tumbuhan yang selalu hijau, batang pokok dan cabang kuat sehingga
tidak mudah tumbang dan patah, akar tidak merusak jalan, beton, dan bangunan yang ada
di sekitarnya.
(2) Memenuhi syarat manajemen yaitu bahwa spesies tumbuhan yang dipilih harus mudah
cara penanamannya, mudah dan murah pemeliharaannya, mudah pengamanannya, dan
mudah pemanfaatannya.
(3) Memenuhi syarat keindahan (estetika) yaitu bahwa spesies tumbuhan yang ditanam harus
memiliki morfus dan habitus yang menampakkan kesesuaian dengan tujuan keindahan.
Keindahan spesies tumbuhan akan ditampilkan pada bentuk utama tajuk, ukuran, tekstur,
dan warna, serta bergantung pada komposisi yang diinginkan secara tepat (Grey dan
Deneke, 1978).
Menurut Grey dan Deneke (1978), keindahan suatu tipe vegetasi sangat bergantung kepada
komposisi spesies tumbuhan dan lokasi penempatannya. Komposisi spesies tumbuhan
menghasilkan perpaduan warna, bentuk, ukuran, dan tekstur dari setiap tipe vegetasi,
sedangkan lokasi penempatan akan menghasilkan perpaduan dari semua hal tersebut dengan
benda-benda lain dalam kesatuan ruang.
Hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penempatan pohon dan tumbuh-
tumbuhan lainnya dalam suatu lingkungan perkotaan, antara lain sebagai berikut (Grey dan
Deneke, 1978; Indriyanto; 1993).
(1) Menempatkan pohon bercampur dengan tumbuhan lain dan/atau obyek-obyek lain
seperti bangunan gedung, jalan, pabrik, rumah, dan lain-lain. Pada tempat seperti ini
dapat dipilih tumbuhan yang memiliki tajuk berbentuk jorong (oval), vase bunga (vase),
dan langsing (fastigate).
(2) Menempatkan pohon-pohon pada tempat khusus agar kualitas lingkungan meningkat,
misalnya di sekitar sumber air, pada daerah pantai, daerah bekas penambangan, pada
tempat-tempat terbuka yang tidak ada vegetasinya. Pada tempat seperti ini, pohon dan
spesies tumbuhan lain dengan segala bentuk tajuk dapat ditanam, meskipun sebaiknya
diutamakan spesies yang pertumbuhannya cepat dan dapat tumbuh pada tanah yang
miskin hara.
Bagi kota-kota yang pembangunannya mengacu pada pola superblock yaitu mengintegrasikan
berbagai fasilitas pelayanan kota (permukiman, perkantoran, perbelanjaan, tempat rekreasi,
Dengan demikian spesies tumbuhan yang ditanam di ruang terbuka di perkotaan harus
disesuaikan dengan fungsi/kegunaannya pada lingkungan kota tersebut, oleh karenanya
diperlukan kajian tentang identifikasi spesies dan kesesuaian spesies tumbuhan pada setiap
bentuk vegetasi penghijauan kota agar dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan spesies
tumbuhan dan penempatannya untuk kegiatan penghijauan dan pengelolaan hutan kota
Bandar Lampung.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama tiga bulan (Juli—September 2005) di lokasi ruang terbuka hijau
di Kota Bandar Lampung, meliputi: jalur hijau jalan (sisi pinggir jalan dan median jalan),
halaman (halaman rumah, kantor, toko), taman kota, dan hutan kota. Alat-alat yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah kompas, meteran kain, rafia, christenhypsometer,
lembar pengamatan, pensil/pulpen, dan kamera.
Metode yang digunakan adalah metode survei. Jenis data yang dihimpun meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer antara lain: bentuk vegetasi penghijauan kota, komposisi
spesies tumbuhan, penutupan tajuk, tinggi tumbuhan, identifikasi bentuk tajuk, dan fungsi
lansekap tiap spesies tumbuhan. Adapun data sekunder berupa data tentang persyaratan
tempat tumbuh, ketahanan terhadap angin, dan sifat menggugurkan daun yang digali dari
kepustakaan. Data diolah dan ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif. Untuk
kesesuaian spesies tumbuhan pada tiap segmen (tipe vegetasi) diklasifikasi menjadi tiga klas
(sesuai, cukup, tidak sesuai) dengan penentuan interval kelas sebagai berikut.
Komponen penentuan skor untuk bentuk vegetasi sisi jalan dan median jalan:
80 PROSIDING
(6) Pembatas : a. kokoh dan rapat (skor 4)
b. kokoh dan tidak rapat (skor 3)
c. tidak kokoh tetapi rapat (skor 2)
d. tidak kokoh dan tidak rapat (skor 1)
Komponen penentuan skor untuk bentuk vegetasi halaman rumah, halaman kantor, halam
toko, dan taman kota:
A. Hasil Penelitian
Pada penelitian ini telah teridentifikasi 66 spesies tumbuhan penyusun vegetasi penghijauan
di Kota Bandar Lampung yang meliputi 8 spesies vegetasi sisi jalan, 6 spesies vegetasi
median jalan, 18 spesies vegetasi halaman rumah, 13 spesies vegetasi halaman kantor, 2
spesies vegetasi halaman toko, 14 spesies vegetasi taman kota, dan 29 spesies vegetasi hutan
kota. Nama-nama spesies tumbuhan yang telah teridentifikasi pada setiap bentuk vegetasi
disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6, dan Tabel 7. Adapun
kesesuaian spesies tumbuhan pada setiap bentuk vegetasi penghijauan dapat dilihat pada
Tabel 8.
82 PROSIDING
Tabel 1. Spesies tumbuhan pada bentuk vegetasi penghijauan sisi jalan di Kota Bandar
Lampung tahun 2005
Tabel 2. Spesies tumbuhan pada bentuk vegetasi penghijauan median jalan di Kota
Bandar Lampung tahun 2005
Tabel 3. Spesies tumbuhan pada bentuk vegetasi penghijauan halaman rumah di Kota
Bandar Lampung tahun 2005
Tabel 5. Spesies tumbuhan pada bentuk vegetasi penghijauan halaman toko di Kota
Bandar Lampung tahun 2005
Tabel 6. Spesies tumbuhan pada bentuk vegetasi penghijauan taman kota di Kota
Bandar Lampung tahun 2005
84 PROSIDING
Tabel 7. Spesies tumbuhan pada bentuk vegetasi penghijauan hutan kota di Kota
Bandar Lampung tahun 2005
Tabel 8. Kategori kesesuaian spesies tumbuhan pada setiap bentuk vegetasi penghijauan
di Kota Bandar Lampung tahun 2005
Jumlah
No. Bentuk vegetasi penghijauan Rata-rata skor Kategori kesesuaian
spesies
1. Sisi jalan 8 13,63 Cukup sesui
2. Median jalan 6 15,92 Sesuai
3. Halaman rumah 18 16,50 Cukup sesuai
4. Halaman kantor 13 17,15 Cukup sesuai
5. Halaman toko 2 18,63 Cukup sesuai
6. Taman kota 14 16,71 Cukup sesuai
7. Hutan kota 29 16,01 Sesuai
Berdasarkan kategori kesesuaian spesies tumbuhan dalam setiap bentuk vegetasi penghijauan
bahwa sebagian besar spesies tumbuhan yang ditanam sebagai komponen utama penghijauan
kota adalah cukup sesuai, hal ini terdapat pada vegetasi sisi jalan, halaman rumah, halaman
kantor, halaman toko, dan taman kota. Sedangkan pada vegetasi median jalan dan pada hutan
kota termasuk kategori sesuai (Tabel 8).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa spesies tumbuhan yang teridentifikasi pada
semua bentuk vegetasi penghijauan kota baik pada sisi jalan, median jalan, halaman rumah,
halaman kantor, halaman toko, taman kota, maupun pada hutan kota yaitu sebanyak 66
spesies tumbuhan yang mencakup kelompok pohon, perdu, dan herba. Spesies maupun
jumlah spesies tumbuhan pada setiap bentuk vegetasi penghijauan tersebut tidak selalu sama,
hal ini disebabkan pemilihan spesies tumbuhan pada setiap lokasi harus disesuaikan dengan
fungsi/kegunaannya selain harus juga memperhatian persyaratan lain misalnya aspek
silvikultur dan manajemen.
Sebagian besar bentuk vegetasi penghijauan kota (lima dari tujuh bentuk vegetasi) memiliki
kategori cukup sesuai, ini berarti bahwa pada bentuk vegetasi tersebut masih terdapat spesies
tumbuhan yang tidak memenuhi semua persyaratan yang seharusnya dipenuhi misalnya aspek
silvikultur, manajemen, keindahan, komposisi, dan penempatannya (Grey dan Deneke, 1978;
Indriyanto, 1993). Dua bentuk vegetasi penghijauan lainnya yaitu median jalan dan hutan
kota memiliki kategori sesuai, ini berarti bahwa penanaman spesies tumbuhan pada lokasi ini
telah memenuhi syarat-syarat kesesuaian spesies tumbuhan penghijauan kota.
Pada vegetasi sisi jalan dijumpai tanaman yang tidak sesuai yaitu Kelapa Sawit yang ditanam
tidak berjajar, tidak rapat, sehingga dari segi lansekap tidak bisa berfungsi sebagai pengarah
dan pembatas. Tanaman Kelapa Sawit memiliki tajuk jarang dan tidak beraturan, sehingga
tidak bisa berfungsi sebagai peneduh.
Pada vegetasi halaman rumah dan halaman kantor sebagian besar spesies tumbuhannya telah
sesuai untuk komponen penghijauan kota, namun terdapat beberapa spesies tumbuhan yang
penempatannya hanya berfungsi sebagai pengontras warna, namun tidak bisa dimanfaatkan
sebagai pengarah, pembatas, peneduh, dan pelentur. Spesies tumbuhan yang dimaksudkan
antara lain Puring, Asoka Besar, Asoka Kecil, dan Daun Kupu-kupu. Dengan demikian
komposisi spesies tumbuhan harus disesuaikan dengan fungsi setiap spesies dan
kombinasinya dalam kesatuan ruang. Menurut Grey dan Deneke (1978), keindahan suatu tipe
vegetasi sangat bergantung kepada komposisi spesies tumbuhan dan lokasi penempatannya.
Komposisi spesies tumbuhan menghasilkan perpaduan warna, bentuk, ukuran, dan tekstur
dari setiap tipe vegetasi, sedangkan lokasi penempatan menghasilkan perpaduan dari semua
hal tersebut dengan benda-benda dalam kesatuan ruang.
Spesies tumbuhan yang ditanam di halaman toko pada prinsipnya harus memiliki kriteria
sama dengan untuk halaman rumah ataupun halaman kantor yaitu harus memenuhi syarat
tempat tumbuh (ketinggian tempat dan curah hujan), tahan pengaruh angin, bisa berfungsi
sebagai pengarah, pembatas, peneduh, pelentur, dan pengontras warna. Jumlah spesies
tumbuhan yang ditanam di halaman toko Kota Bandar Lampung terlalu sedikit, yaitu pada
umumnya hanya terdapat dua spesies tumbuhan pohon dan palem.
Pada vegetasi taman kota, sebagian besar spesies tumbuhannya (85,7%) sudah memiliki
kriteria kesesuaian vegetasi taman, namun kekurangannya adalah pada peletakan spesies
menurut fungsinya masih kurang tepat, sehingga fungsi pengarah, pembatas, peneduh,
pelentur, dan pengontras masih kurang maksimal. Adapun vegetasi hutan kota, komposisi
spesies tumbuhan penyusunnya termasuk kategori sesuai dengan kondisi penutupan tajuk
cukup (40—70%), stratifikasi vertikal minimal 3 stratum tajuk, dan jarak antarpohon tidak
seragam, sebagian besar pohonnya selalu hijau, dan memiliki sifat tahan terhadap angin.
86 PROSIDING
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Jumlah spesies tumbuhan pada seluruh bentuk vegetasi penghijauan di Kota Bandar Lampung
cukup banyak yaitu sebanyak 66 spesies (8 spesies pada sisi jalan, 6 spesies pada median
jalan, 18 spesies pada halaman rumah, 13 spesies pada halaman kantor, 2 spesies pada
halaman toko, 14 spesies pada taman kota, dan 29 spesies pada hutan kota).
Sebagian besar spesies tumbuhan yang ditanam sebagai komponen utama penghijauan kota
adalah cukup sesuai, namun perlu upaya peningkatan kesesuaian spesies tumbuhan melalui
cara pemilihan spesies dengan memperhatikan syarat tempat tumbuh, ketahanan terhadap
angin, sifat menggugurkan daun, dan fungsi lansekap (pengarah, pembatas, peneduh, pelentur,
dan pengontras warna).
Saran
Pemilihan spesies tumbuhan harus memenuhi syarat silvikultur, syarat manajemen, dan
memenuhi syarat estetika. Kemudian peletakan setiap spesies baik secara terpisah maupun
kombinasi harus memperhatikan fungsi lansekap yang ingin dicapai, misalnya sebagai
pengarah, pembatas, peneduh, pelentur, dan pengontras warna.
Pada vegetasi sisi jalan dan median jalan perlu ditambah spesies pohon, antara lain Salam
(Eugenia polyantha), mindi (Melia azedarach), dan Lamtorogung (Leucaena leucocephala).
Sedangkan pada vegetasi hutan kota supaya ditambah spesies-spesies pohon langka agar
fungsinya dalam pelestarian plasma nutfah dapat meningkat selain fungsi-fungsi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, E. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan
Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Jakarta. 92 p.
Dinas Pertamanan DKI Jakarta. 1977. Penghijauan dengan Pohon Pelindung. Jakarta. 27 p.
Dinas Pertamanan Kota Bandar Lampung. 1998. Pengenalan Bentuk Taman Pemukiman
(Penghijauan dan Keindahan). Bandar Lampung. 32 p.
Grey, G. W. dan F. J. Deneke. 1978. Urban Forestry. John Wiley and Sons Inc. Canada. 279 p.
Indriyanto. 1991. Fungsi Pepohonan pada Daerah Perkotaan. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan Vol. VII No. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Bogor. P.26—28.
Mudiyarso, D. dan H. Suharsono. 1992. Peranan Hutan Kota dalam Pengendalian Iklim
Kota. Proseding Seminar Sejuta Pohon untuk Perbaikan Iklim Kota. Kerjasama
Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia dengan Kantor Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup dan Environmental Management
Development in Indonesia. Jakarta. P. 61—72.
HARI KASKOYO
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian UNILA
ABSTRAK
Kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan seluas 57.476,9 ha (SK Menhutbun
No. 256/Kpts-II/2000) selayaknya dapat memberikan fungsi ganda, tidak hanya fungsi
ekologis tetapi juga memberikan manfaat ekonomis. Sejak era reformasi, sebagian besar
kawasan hutan produksi yang ada di Kabupaten Lampung Selatan tersebut sudah diduduki
dan di rambah masyarakat. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kawasan hutan produksi dan permasalahan
yang ada di lapangan. Lokasi penelitian adalah kawasan hutan produksi di Kabupaten
Lampung Selatan yang terdiri dari Register 1, 2, 5, 18, 35, 37, dan 40. Sampel dalam
penelitian berjumlah 14 orang atau 2 orang tiap register dan diambil secara purposive, yaitu
masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan produksi. Data yang diambil dianalisis
secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan hutan produksi sudah dirambah
dan diduduki oleh masyarakat. Kawasan sudah ditanami tanaman palawija, kelapa sawit,
singkong dan tanaman pertanian lainnya serta tegakan yang tersisa seluas sekitar 4.000 ha
berupa tegakan gmelina dan jati. Selain sudah ditanami tanaman pertanian, di sebagian besar
kawasan juga sudah didirikan bangunan permanen berupa rumah, sekolahan dan perkantoran.
Di dalam kawasan juga sudah banyak dibangun sarana dan prasarana transportasi dan
komunikasi. Semua responden mengetahui bahwa lahan yang diduduki merupakan kawasan
hutan dan mereka dahulu memperoleh lahan tersebut dengan membeli dengan harga berkisar
Rp 2.500.000,- hingga Rp 3.000.000,- per 2 ha lahan garapan sedangkan lahan untuk
pemukiman dan pekarangan diberi gratis. Responden bersedia untuk diatur oleh pihak
kehutanan apabila nantinya akan ditertibkan oleh pihak kehutanan.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan suatu ekosistem yang berperanan penting dalam menunjang kehidupan
manusia dan memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain. Hutan menghasilkan
berbagai manfaat bagi manusia yaitu manfaat langsung berupa hasil kayu dan non kayu, serta
manfaat tidak langsung berupa jasa lingkungan (air, udara bersih, jasa rekreasi). Di samping
itu fungsi hutan yang sangat penting adalah bahwa hutan mengandung sumberdaya genetik
atau sumber plasma nutfah yang perlu dilestarikan untuk kepentingan kehidupan sekarang dan
generasi yang akan datang. Oleh sebab itu pemanfaatan hutan harus dilakukan secara bijak
untuk kemakmuran rakyat yang tidak terbatas pada dimensi waktu maupun ruang.
Luas kawasan hutan dan Perairan di Propinsi Lampung menurut hasil Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) SK Menteri Kehutanan Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus
2000 adalah ± 1.004.735 hektar atau 68,13 % dari luas daratan Propinsi Lampung. Luas
Hutan Produksi (HP) secara keseluruhan sebesar 225.090 ha (22,40 % dari luas kawasan
88 PROSIDING
hutan atau 15,26 % dari luas daratan propinsi Lampung) sedangkan hutan produksi yang ada
di Kabupaten Lampung Selatan seluas 57.476,9 ha. Hutan produksi di Kabupaten Lampung
Selatan telah mengalami kerusakan, oleh sebab itu untuk mengetahui kondisi tersebut
dilakukan penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2005 di Hutan Produksi di
Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung, yaitu di Register 1, 2, 5, 18, 35, 37, dan 40.
Lokasi penelitian adalah kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan dan dan
obyek penelitian adalah masyarakat yang bermukim di hutan produksi tersebut. Masyarakat
yang diambil sebagai sampel sebanyak 14 orang yang diambil secara purposive. Alat yang
digunakan adalah alat tulis, peta, kamera, kuisioner. Data primer diambil dengan observasi
lapangan dan wawancara dengan responden dan data sekunder diambil antara lain peraturan-
peraturan, peta, data kependudukun, dan data-data lain yang terkait dengan register 1, 2, 5, 18,
35, 37, dan 40. Data dianalisis secara descriptive untuk mencapai tujuan penelitian.
Kawasan hutan produksi register 1, 2, 3, 5, 35, 37, dan 40 hampir seluruhnya dijarah dan
diduduki masyarakat pada masa reformasi sehingga hanya tersisa 8 ha berupa tegakan
gmelina dan jati. Sebagian besar lahan kawasan di register-register tersebut sudah berupa
pemukiman, pekarangan, dan tegalan yang ditanami tanaman pertanian seperti jagung, padi,
singkong, dan kelapa sawit.
Register 18, sebagian besar masih berupa kawasan hutan dengan tegakan jati yang ditanam
pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Luas lahan register 18 sebesar 4.280 ha menurut Besluit
Register 1, 2, 37, dan 40 dengan total area 41.250 ha merupakan bekas HPH yang saat ini
dijadikan areal konsesi HPH kultur oleh PT. Darma Hutan Lestari (DHL) yang bekerjasama
dengan PT Inhutani V. Namun demikian dari 41.000 ha yang ditunjuk sebagai areal konsesi,
hanya 3.000 ha yang layak untuk dikembangkan menjadi HPH kultur pada saat persetujuan
tersebut diberikan pada tanggal 5 Juni 1997 dengan SK Menteri Kehutanan no. C2-4625 HT
01 tahun 1997. Pada tahun 1999, register-register tersebut dijarah dan diduduki masyarakat
yang bermukim di 21 desa definitive yang termasuk di dalam Kecamatan Jati Agung, yaitu :
Desa Karang Rejo, Purwotani, Sidoharjo, Sinar Rejeki, Sumberjaya, Margo Dadi, Margo
Mulyo, Banjar Agung, Marga Agung, Karang Anyar, Way Hui, Marga Lestari, Gedung
Agung, Sidodadi Asri, Gedung Harapan, Margo Kaya, Karang Sari, Fajar Baru, Rejo Mulyo,
Margo Rejo, dan Jati Mulyo. Umumnya mata pencaharian penduduk desa tersebut bertani
sehingga sebagian besar lahan bekas HPH tersebut sudah berubah menjadi lahan garapan dan
pemukiman. Tata guna lahan atau pola pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada lahan
garapannya bervariasi yaitu :
Secara resmi areal konsesi PT Darma Hutan Lestari cukup luas sekitar 41.000 ha. Namun
hampir seluruh areal tersebut tidak bisa dioperasionalkan dan hanya 3.000 ha saja yang dapat
dioperasionalkan untuk pengembangan kawasan hutan karena berbagai faktor, yaitu :
1. sebagian besar areal konsesi telah dijadikan pemukiman serta areal pertanian penduduk.
Dalam areal konsesi telah ada 21 pemerintahan desa definitive.
2. terjadi penjarahan lahan pada masa reformasi oleh masyarakat yang berasal dari berbagai
daerah di Propinsi Lampung. Penjarahan ini akibat runtuhnya sistem hukum serta tekanan
yang kuat dari kelompok-kelompok masyarakat dengan berbagai intimidasi.
3. belum adanya upaya masyarakat untuk menghalau maupun melakukan pencegahan yang
sistematis sehingga proses penjarahan berlangsung terus- menerus.
Pada tahun 1998 paska kerusuhan Mei, terjadi penjarahan dari masyarakat terhadap areal
konsesi PT Darma Hutan Lestari. Agar penjarahan ini tidak semakin parah dan dapat
dikendalikan maka dibentuk Tim 13 yang terdiri dari elemen pemerintah daerah, lembaga
swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan wakil dari anggota masyarakat. Melalui Tim 13,
masyarakat diberikan ijin menggarap areal seluas 1500 ha dari 3.000 ha yang dikelola PT
Darma Hutan Lestari. Setelah areal seluas 1500 ha diberikan, muncul tuntutan lagi agar
sisanya, 1500 ha, diberikan pengelolaanya kepada masyarakat melalui POSKO REFORMASI
yang sebagian anggotanya merupakan anggota Tim 13. Dengan demikian seluruh areal
konsesi PT Darma Hutan Lestari telah beralih ke masyarakat.
Pada areal yang berdekatan terdapat PT Darma Agrindo yang bergerak dalam processing
singkong untuk menjadi tapioka dengan sistem pinjam pakai di mana perusahaan
mengkompensasi areal seluas 2 kali lipat areal konsesinya di daerah lain. Luas areal konsesi
90 PROSIDING
PT Darma Agrindo adalah 82,4 ha sehingga luas areal kompensasinya sekitar 170 ha. Izin
pinjam pakai tersebut diberikan pada tanggal 30 Juli 1996 dengan SK Menteri Kehutanan No,
388/Kpts-II/1996. Saat ini PT Darma Agrindo sedang melakukan perluasan pabrik dan
mengurus perpanjangan hak pinjam pakai yang akan habis masa berlakunya pada akhir tahun
2005. Keberadaan PT Darma Agrindo yang mengolah singkong ini menjadi unik karena ia
merupakan perusahaan yang independen, berada di kawasan hutan produksi, tidak memiliki
batas waktu izin pinjam pakai kecuali hanya perpanjangan setiap lima tahun, dan dijadikan
profit center dari ketiadaan fungsi dari PT DHL. Hal ini menjadi persoalan yang rumit karena
perusahaan tersebut memiliki izin-izin resmi dan sah dari Departemen Kehutanan serta dinas-
dinas terkait seperti Dinas Perindustrian dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan.
Di sisi lain perusahaan ini tidak ada kaitannya dengan tujuan pengelolaan hutan produksi
yaitu menghasilkan kayu bahkan industri ini bersifat disinsentif terhadap pengembangan
kehutanan.
Di Register 5 dan 35 juga mengalami permasalahan yang sama meskipun tidak ada
perusahaan yang diberi hak kelola oleh Departemen Kehutanan. Hampir seluruh kawasan
sudah dirambah dan diubah menjadi areal pertanian dan pemukiman oleh masyarakat.
Tegakan tanaman hutan sudah tidak ada lagi dan berubah menjadi tanaman pertanian seperti
pisang, singkong, jagung, kacang-kacangan, kelapa sawit, karet, dan sebagainya.
Di register 18 sudah terdapat 5 desa yang termasuk dalam Kecamatan Negeri Katon, yaitu
Desa Tri Rahayu, Tri Mulyo, Gedong Gumanti, Sinar Bandung, dan Kresno Widodo. Salah
satu desa, yaitu Gedong Gumanti, sebagian wilayahnya berada dalam kawasan hutan produksi
register 18. Masalah lainnya adalah adanya jual beli atau perambahan lahan rawa yang
luasnya sekitar 300 ha yang ada di register 18. Sebagian besar lahan rawa tersebut diubah
menjadi sawah dan sudah banyak yang memperjual belikan lahan rawa tersebut. Kawasan
hutan produksi register 18 tersebut tersebut sebagian sudah ditanami kembali dengan tanaman
jati oleh Dinas Kehutanan Propinsi Lampung pada tahun 2001, 2002, dan 2003 dengan luas
areal penanaman sekitar 300 ha.
Semua responden mengetahui bahwa lahan yang diduduki merupakan kawasan hutan dan
mereka dahulu memperoleh lahan tersebut dengan membeli dengan harga berkisar Rp
2.500.000,- hingga Rp 3.000.000,- per 2 ha lahan garapan sedangkan lahan untuk pemukiman
dan pekarangan diberi gratis. Meskipun demikian karena kondisi ekonomi yang semakin sulit,
banyak responden yang telah menjual lahan garapannya dan mereka hanya sebagai petani
penggarap saja. Responden bersedia untuk diatur oleh pihak kehutanan apabila nantinya akan
ditertibkan oleh pihak kehutanan.
Kawasan hutan produksi yang ada di Kabupaten Lampung Selatan akan semakin luas
dirambah apabila tidak ada tindakan segera dari pihak Departemen Kehutanan dengan
berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Perambahan yang semakin parah akan
menyebabkan fungsi produksi tidak optimal disamping berkurangnya atau hilangnya
biodiveritas. Hutan produksi tidak hanya sekumpulan pohon tetapi di dalamnya terdapat flora
dan fauna. Mahfud (1998) memberikan 4 alasan utama yang menjadi dasar perlunya
pelestarian flora dan fauna, yaitu :
Banyak komoditas flora dan fauna di alam yang tidak dapat digantikan dengan komoditi lain
yang banyak terdapat di dalam hutan lindung, misalnya cadangan pangan, obat-obatan, lilin,
minyak pelumas, dsb.
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 91
b. Alasan dari segi ekologi
Kontribusi paling penting dari flora dan fauna adalah perannya dalam siklus ekologi. Sebagai
salah satu ekosistem dunia, peranan flora dan fauna tidak dapat dipungkiri lagi antara lain
sebagai penyambung rantai makanan, penyaring atmosfer, dan sumber plasma nutfah.
Flora dan fauna di hutan kebanyakan mempunyai bentuk selain indah dan sedap dipandang
mata juga dapat memberikan rasa kenyamanan bagi manusia sehingga hutan dapat
dialokasikan sebagai tempat rekreasi apabila manusia telah jenuh dari pekerjaan sehari-hari
d. Alasan etika
Tidaklah etis dan bermoral memusnahkan jenis flora dan fauna yang ada di muka bumi ini.
Karena sekecil apapun jenis flora dan fauna mempunyai hak hidup dan mempunyai peranan di
muka bumi ini seperti layaknya manusia yang juga ingin hidup.
Dengan fungsi yang demikian penting, keberadaan dan pengelolaan hutan produksi secara
lestari dan berdaya guna sangat diperlukan. Untuk mencapai hal tersebut, pengelolaan hutan
produksi harus di rancang dengan memperhatikan beberapa aspek , yaitu :
1. Aspek Kebijakan.
Kebijakan pemerintah merupakan suatu hasil atau perangkat yang diharapkan dapat
mendorong pengelolaan hutan yang efisien (Prakosa, 1996)
Aspek kebijakan meliputi :
a. Kepastian kawasan hutan, terdiri dari letak, luas dan batas, status dan peruntukan kawasan
hutan serta kondisi penutupan lahan. Kepastian kawasan hutan dan batas wilayah yang
jelas merupakan salah satu syarat dari kelestarian hutan (Simon, 1993)
b. Batas administrasi pemerintahan, adalah kawasan yang akan ditetapkan sebagai Kesatuan
Pemangkuan Pengelolaan Hutan Produksi dibatasi oleh batas administrasi pemerintahan
kabupaten/kota dengan batas dan letak yang jelas tergambar dalam peta.
c. Daerah aliran sungai, pembentukan kesatuan pengelolaan hutan lindung dilakukan dengan
mempertimbangkan Daerah Aliran Sungai (DAS).
92 PROSIDING
dengan ijin/hak yang ada, misalnya pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu.
2. Aspek Ekologis.
Hutan produksi merupakan ekosistem yang terdiri dari biotik (flora dan fauna) dan abiotik
(tanah, air, dan mineral). Kekayaan dan keanekaragaman flora dan fauna dalam hutan
merupakan bahan untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dapat dikembangkan dan
dimanfaatkan sebagai ajang pendidikan, penelitaian, rekreasi, dan pariwisata (Harianto,
2000).
b. Biogeofisik, dirinci menurut geomorfologi, jenis tanah, topografi, tipe hutan, dan
penutupan lahan.
Sesuai dengan amanat konstitusi, hutan termasuk kekayaan alam yang dikandungnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, penguasaan hutan oleh negara
memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan (Anonim, 2000). Agar kedua hal
tersebut dapat dilakukan dengan baik, diperlukan koordinasi antar instansi pemerintah baik
vertikal maupun horisontal.
Salah satu bentuk pengaturan negara dalam pengelolaan hutan produksi yang memperhatikan
masyarakat lokal adalah dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001
tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan tersebut
digulirkan dalam rangka pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Prinsip-prinsip dasar yang
harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah (Harianto, 2000):
kelestarian fungsi hutan dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial; keberlanjutan kesejahteraan
masyarakat; demokrasi; keadilan; pertanggungjawaban kepada masyarakat umum; dan
kepastian hukum. Prinsip-prinsip tersebut dilaksanakan dengan pendekatan : keanekaragaman
hayati dan budaya; keanekaragaman komoditas dan jasa; masyarakat sebagai pelaku utama
dan pengambil keputusan; masyarakat menentukan sistem dan kelembagaan pengelolaan;
pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau; serta hak dan kewajiban ditentukan pemerintah
bersama masyarakat.
d. Kelembagaan masyarakat lokal, adalah suatu wadah masyarakat lokal yang di dalamnya
terdapat aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan
penyelesaian konflik dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi.
e. Distribusi manfaat sumberdaya hutan, terdiri dari penyebaran dan pemerataan manfaat
sumberdaya hutan secara adil yang menjamin keberlangsungan hidup dan kesejahteraan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
4. Aspek Ekonomi.
Keberadaan hutan produksi sangat membantu masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Umumnya untuk keperluan sehari-hari masyarakat mengambil hasil hutan kayu dan non kayu.
Agar hutan produksi mempunyai manfaat yang optimal, maka pemilihan komoditas yang
dapat dipanen berupa non kayu maupun jasa lingkungan selain harus memperhitungkan aspek
ekonomi juga harus memperhatikan ekternalitas yang akan timbul (Prakosa, 1996).
Aspek ekonomi terdiri dari :
a. Potensi sumberdaya hutan (pasar), adalah produktivitas kawasan hutan produksi yang
berupa hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.
b. Sarana dan prasarana, terdiri dari sarana jalan, sungai, jembatan, dan prasarana lain seperti
pasar yang dapat menampung hasil hutan kayu maupun non kayu. Selain itu perlu
diterapkan penggunaan teknologi pengolahan hasil hutan bukan kayu untuk meningkatkan
nilai tambah.
Kesimpulan
1. sebagian besar kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sudah dirambah
dan diduduki masyarakat.
2. sebagian besar kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sudah beralih
fungsi menjadi areal pertanian/lahan garapan dan pemukiman.
94 PROSIDING
Saran
1. Departemen kehutanan selaku pihak pemerintah yang memberi izin pengelolaan dengan
berkoordinasi dengan pemerintah daerah harus segera menyelesaikan masalah
perambahan dan perusahaan pengolah singkong agar kelestarian kawasan hutan produksi
dapat dijaga.
2. Perlu dilakukan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Harianto, S.P. 2000. Strategi Pengelolaan Hutan yang berbasiskan Pelestarian Alam dan
Kesejahteraan Rakyat. Makalah disampaikan dalam acara Pembekalan Pengurus dan
Rapat Kerja Yayasan Wanatama Lestari di Kecamatan Talang Padang Kabupaten
Tanggamus tanggal 24-26 Maret 2000.
Harianto, S.P. 2000. Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial Hutan Kemasyarakatan terhadap
Masyarakat di sekitar Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Hutan
Kemasyarakatan Propinsi Lampung bekerjasama dengan Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial bekerjasama dengan Ford Foundation di
Bandar Lampung tanggal 3 Oktober 2000.
Machfud. 1998. Pelestarian Sumberdaya Plasma Nutfah di Indonesia. Duta Rimba, No. 214,
tahun XXIII/April 1998. Hal. 7-15.
Prakosa, M. 1996. Renjana Kebijakan Kehutanan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. 142
hlm.
Simon, H. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Problematika dan Strategi Pemecahannya.
Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. 224 hlm.
KUSUMA ADHIANTO
Jurusan Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bangsa sapi persilangan yang berbeda
terhadap produksi karkas dan kulit (by-product). Penelitian ini dilaksanakan pada April--Mei
2006 yang bertempat di RPH Karawaci, Jl. Panunggangan Barat No. 99, Desa Cikokol,
Kecamatan Karawaci, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sapi Brahman Ongole kastrasi dan sapi Brahman Shorthon kastrasi,
masing-masing sebanyak 87 ekor dengan bobot tubuh berkisar antara 451--600 kg dan
berumur 15--24 bulan. Sapi yang dipilih adalah sapi dalam keadaan sehat dan tidak ada
anggota tubuh yang cacat. Sapi-sapi tersebut berasal dari perusahaan feedlot PT. Santosa
Agrindo, Lampung. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) produksi karkas sapi
brahman shorton lebih baik dibandingkan sapi brahman ongole (P<0,01) dan kulit sebagai
hasil samping dihasilkan lebih banyak oleh sapi brahman ongole dibanding dengan sapi
brahman shorton (P<0,01).
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di seluruh dunia dan
merupakan pangsa pasar yang menjanjikan pada seluruh produk peternakan. Masyarakat
Indonesia mengkonsumsi protein hewani baru mencapai 5,1 g/kapita/hari yang setara dengan
daging 7,7 kg/kapita/tahun, telur 4,7 kg/kapita/tahun, dan susu 7,5 kg/kapita/tahun (Wasito,
2005). Sebagian besar konsumsi protein hewani dipenuhi dari daging sapi. Kebutuhan akan
konsumsi daging sapi di Indonesia mencapai 378.930 ton/tahun, sedangkan total produksinya
sebesar 271.840 ton/tahun.
Upaya untuk meningkatkan produksi sapi potong, dan diantaranya dengan memperbaiki
performan sapi potong. Salah satu cara untuk meningkatkan performan adalah dengan
menyilangkan sapi potong lokal dan sapi bangsa lain yang memiliki produksi daging yang
tinggi. Sapi Brahman Cross merupakan sapi potong persilangan antara sapi Brahman dan
sapi lainnya seperti Ongole, Angus, dan Shorthon. Sapi Brahman Cross memiliki keunggulan
secara genetik karena pertumbuhannya cepat, tahan terhadap kondisi daerah tropis, serta
memiliki pertumbuhan dan bobot tubuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal.
Keadaan ini menyebabkan karkas yang dihasilkan oleh sapi persilangan ini juga lebih besar
dibandingkan dengan sapi potong lokal. Selain daging yang dihasilkan sebagai produksi
utama, hasil samping (byproduct) yang memiliki nilai jual tinggi adalah kulit sapi. Kulit sapi
merupakan komponen terbesar (sekitar 50%) dari total hasil samping (Animal Protection
Institute, 2006). Oleh karenanya pendapatan peternak dari hasil pemotongan sapi
diharapkan dapat meningkat, karena peternak dapat tahu jenis sapi yang lebih menguntungkan
untuk dipelihara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bangsa sapi persilangan yang berbeda
terhadap produksi karkas dan kulit (by-product) yang dihasilkan.
96 PROSIDING
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan pada April--Mei 2006 yang bertempat di RPH Karawaci, Jl.
Panunggangan Barat No. 99, Desa Cikokol, Kecamatan Karawaci, Kabupaten Tanggerang,
Provinsi Banten.
B. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Brahman Ongole kastrasi dan sapi
Brahman Shorthon kastrasi, masing-masing sebanyak 87 ekor dengan bobot tubuh berkisar
antara 451--600 kg dan berumur 15--24 bulan. Sapi yang dipilih adalah sapi dalam keadaan
sehat dan tidak ada anggota tubuh yang cacat. Sapi-sapi tersebut berasal dari perusahaan
feedlot PT. Santosa Agrindo, Lampung.
C. Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pisau besar, pisau kecil, kapak daging,
katrol, timbangan elektrik kapasitas 1.000 kg, 500 kg, dan 200 kg dengan tingkat ketelitian
masing-masing berturut-turut 0,5 kg, 0,2 kg dan 0,1 kg, kristal (Batu asah), tali tambang, dan
alat tulis.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey di RPH Karawaci di Desa Cikokol,
Kecamatan Karawaci, Kabupaten Tanggerang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan
dengan cara mencatat bobot hidup, bobot karkas, dan bobot kulit.
Sapi diistirahatkan selama + 3 hari, kemudian sapi yang akan dipotong ditempatkan pada
kandang isolasi tepat dibelakang tempat procesing untuk diamati dan dipuasakan selama 8--
10 jam. Tahapan procesing karkas adalah sebagai berikut :
1. Pencatatan nomor eartage sapi yang memenuhi kriteria sampel (sesuai dengan bangsa dan
bobot tubuh);
2. Sapi yang akan dipotong ditimbang;
3. sapi yang akan dipotong digiring ke tempat pemotongan dan masuk ke kandang jepit;
4. kaki kiri depan dan belakang sapi diikat dengan menggunakan tali;
5. sisi kandang jepit sebelah kiri dibuka dan sapi terjatuh;
6. pemotongan sapi dilakukan dengan syariat agama Islam yaitu membaca Basmalah,
menghadap kiblat, memutus arteri karotis, vena jugularis, oesofagus, dan trachea;
7. kulit leher dilubangi untuk memasukkan pengait katrol;
8. kulit di belakang telinga disayat, eartage diambil kemudian kepala dipisahkan dari leher;
9. ditarik dengan katrol, direbahkan pada tempat khusus dan sapi dimandikan;
10. kaki sapi dipotong batas metatarsus;
11. kulit disayat dengan menyayat bagian tengah perut membujur dari anus sampai leher dan
sapi dikuliti pada bagian perutnya;
12. lemak subkutan dipisahkan dari daging dan dada dibelah dengan kampak;
1. bobot tubuh
2. bobot karkas
3. bobot kulit
Analisis statistik
Untuk mengetahui perbedaan yang diinginkan data hasil penelitian dianalisis) dengan Uji T-
Student (Steel dan Torrie, 1991).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapat data yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Bangsa ternak yang berbeda diduga akan menghasilkan bobot karkas yang berbeda pula,
Menurut Bowker, et al. (1978), persentase karkas dari bangsa sapi Bos Taurus 52--62%, Bos
Indicus 40--50%, sedangkan persilangan antara Bos Taurus dan Bos Indicus 55--60%.
Rata-rata persentase karkas persilangan Bos Taurus dan Bos Indicus (Brahman Shorthon) dari
hasil penelitian ini sebesar 51,27% dan Bos Indicus (Brahman Ongole) sebesar 50,95%. Hasil
penelitian persentase karkas sapi Brahman Shorthon berbeda dengan pernyataan Bowker, et
al. (1978), hal ini dimungkinkan karena perbedaan kondisi lingkungan yang signifikan antara
lingkungan tropis dan subtropis. Sapi Brahman Ongole memiliki persentase karkas yang
tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Salam (2004) yang menyatakan kisaran persentase
karkas sapi Peranakan Ongole 47,17%--52,42%.
Berdasarkan hasil penelitian, pada sapi persilangan dengan bobot tubuh hidup rata-rata yang
sama, ternyata menghasilkan bobot karkas yang berbeda, dari hasil analisis data yang
dilakukan sapi persilangan brahman shorton memberikan hasil yang lebih baik (P<0,01)
dibandingkan sapi brahman ongole.
Perbedaan produksi karkas terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh atau bobot pada
saat dewasa. Bila perbandingan produksi karkas antara bangsa tipe besar dan tipe kecil
98 PROSIDING
didasarkan pada bobot yang sama, maka bangsa tipe besar akan lebih besar perdagingannya
dan lebih banyak mengandung protein, proporsi tulangnya lebih tinggi dan proporsi lemak
lebih rendah daripada sapi tipe kecil (Williamson dan Payne, 1993). Perbedaan ini disebabkan
karena pada bobot yang sama, ternak tipe besar secara fisiologis adalah lebih muda. Sapi
Eropa tipe kecil seperti Angus, Hereford dan Shorthorn mengandung lebih banyak lemak pada
saat penggemukan daripada tipe besar seperti Charolais (Williamson dan Payne, 1993).
Hasil penelitian persentase kulit sapi masih dalam kisaran yang sama yaitu 6-8% dari bobot
tubuh (FAO Corporate Document Repository, 2006). Walaupun hasil penelitian tidak jauh
berbeda, akan tetapi pada sapi persilangan dengan bobot tubuh hidup rata-rata yang sama,
ternyata menghasilkan bobot kulit yang berbeda, dari hasil analisis data yang dilakukan sapi
persilangan brahman ongole memberikan hasil yang lebih baik (P<0,01) dibandingkan sapi
brahman shorton.
Perbedaan hasil kulit ini kemungkinan disebabkan dari perbedaan deposit lemak subcutan,
pada sapi brahman ongole lemak subcutan yang menempel pada kulit saat dipisahkan terlihat
lebih banyak dibandingkan pada sapi brahman shorton. Selain itu usia sapi juga dapat
mempengaruhi bobot kulit yang dihasilkan, pada penelitian ini sapi-sapi dipotong pada usia
yang ideal yaitu 2 – 3 tahun sehingga asumsinya perbedaan usia tidak memberikan pengaruh
yang besar terhadap perbedaan yang terjadi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan produksi karkas sapi brahman shorton lebih
baik dibandingkan sapi brahman ongole dan kulit sebagai hasil samping dihasilkan lebih
banyak oleh sapi brahman ongole dibanding dengan sapi brahman shorton.
DAFTAR PUSTAKA
Animal Protection Institute. 2006. Animal Issues; Slaughtered and Skinned Article . Volume
33 Number 3. http://www.api4animals.org/ index.php. diakses 2 September 2006.
Bowker, W.A.T, R.G. Dumsday, J.E. Frisch, R.A. Swan, dan N.M. Tulloh. 1978. A Course
Manual in Beef Cattle Management and Economics. Academy Press, Pty. Ltd.
Brisbane
FAO Corporate Document Repository. 2006. Manual for the slaughter of small ruminants in
developing countries. http://www.fao.org/docrep/003/X6552E/X6552E00.HTM. diakses
2 September 2006.
Salam. 2004. “Pengaruh Bangsa dan Bobot Tubuh terhadap Komposisi Karkas Sapi pada
Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Lampung Utara”. Sripsi. Fakultas Pertanian.
Universitas Lampung. Lampung
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Gramedia. Jakarta.
Wasito, H. R. 2005. Peternakan Harus Jadi Unggulan. Tri Wacana Lestari. Jakarta.
SUPONO
Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Produktivitas udang windu (Penaeus monodon) dengan skala intensif di Tulang Bawang.
Budidaya udang windu (P. monodon) secara intensif berkembang pesat di Indonesia sejak
tahun 1986. Udang windu menjadi spesies unggulan bagi petambak karena harganya tinggi
dan permintaan pasar cenderung meningkat.. Permintaan pasar yang terus meningkat
mendorong petambak mamacu produktivitas tambaknya dengan meningkatkan kepadatan
tebar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas udang windu yang
dibudidayakan secara intensif yang meliputi hasil panen, survival rate (SR), feed conversion
ratio (FCR) dan laju pertumbuhan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi
kasus. Data hasil panen udang windu diambil dari tambak udang yang ada di Kabupaten
Tulang Bawang, Lampung. Pengambilan data dilakukan terhadap 34 tambak intensif dengan
luas masing-masing 5.000m2. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil panen rata-rata
3.109 kg per tambak dengan padat tebar 258.071 ekor per tambak, SR 58%, FCR 2,2 dan laju
pertumbuhan 0,16 gram per hari.
PENDAHULUAN
Udang windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Komoditas dari sektor perikanan ini menjadi primadona bagi petambak karena
disamping harganya tinggi, permintaan pasar cenderung naik dari tahun ke tahun. Melalui
gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003, ditargetkan
pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang diharapkan mampu
menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000), yaitu sejumlah lebih dari
60.000 ton udang (Harris, 2000).
Secara umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Namun budidaya
udang secara intensif baru berkembang pesat pada pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau
Jawa, selanjutnya berkembang, antara lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung,
Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa,
dan Irian Jaya (Poernomo, 1988).
Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia. Namun
produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton (1996), dan 50.000 (1998).
Sejak tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami penurunan produksi udang, tetapi
berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu menjadi negara penghasil udang
budidaya nomor satu di dunia.
Budidaya udang windu secara intensif mulai berkembang pesat di Lampung mulai tahun 1989
dengan beroperasinya perusahaan besar yang bergerak dalam budidaya udang yaitu PT
Dipasena Citra Darmaja kemudian diikuti oleh PT CP Bratasena pada tahun 1994. Fenomena
100 PROSIDING
ini memberikan dampak positif baik bagi peningkatan devisa negara maupun kesejahteraan
masyarakat sekitar.
Udang windu merupakan jenis udang yang memiliki laju pertumbuhan yang tinggi jika
dipelihara dan dibesarkan di tambak (0,3 gram per hari). Dengan pertumbuhan yang cepat
akan mempersingkat masa budidaya dan memperkecil biaya operasi. Ukuran yang semakin
besar akan meningkatkan harga jual udang sehingga dapat memperbesar keuntungan.
Udang windu digolongkan jenis hewan eurihalin atau hewan air yang toleran terhadap kisaran
kadar garam yang luas (3‰-45‰) dengan salinitas optimal untuk pertumbuhan 15‰-30‰.
Hewan ini juga aktif pada malam hari (nocturnal), sementara pada sing hari lebih suka
membenamkan diri di tempat teduh atau lumpur. Kecerahan yang tinggi atau kepadatan
plankton yang rendah pada air tambak akan membuat udang windu tidak nyaman (stres).
Udang windu termasuk dalam klas Crustacea yang memiliki kulit yang keras sehingga untuk
tumbuh harus melalui proses ganti kulit atau molting. Frekuensi pergantian kulit tergantung
pada jumlah dan kualitas pakan yg dikonsumsi, usia dan kondisi lingkungan. Kualitas pakan
yang bagus ketersediaan mineral terutama kalsium akan mempercepat frekuensi molting. Udang
muda lebih banyak melakukan ganti kulit dibandingkan udang tua.
Udang memiliki sifat kanibal, yaitu sifat suka memangsa jenisnya sendiri. Sifat ini muncul
sejak udang masih kecil. Sifat kanibal pada udang akan lebih nyata jika terjadi kekurangan
pakan. Sifat kanibal juga muncul pada udang terutama pada udang sehat terhadap udang yang
sedang ganti kulit. Untuk menghindari kanibalisme tersebut, biasanya udang yang ganti kulit
akan mencari tempat persembunyian. Pemberian pakan yang cukup dapat mencegah
terjadinya kanibal pada udang.
Materi dalam penelitian ini adalah 34 unit tambak udang windu yang dikelola secara intensif
dengan luas masing-masing 5000 m2. Metode yang digunakan adalah studi kasus (case study)
terhadap tambak udang windu di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Data yang
dikumpulkan berupa jumlah tebar (ekor), berat udang rata-rata (gram), hasil panen (kg), dan
pakan kumulatif (kg). Selanjutnya data tersebut digunakan untuk menghitung survival rate
(SR), feed conversion ratio (FCR), dan laju pertumbuhan atau average daily gain (ADG).
Parameter yang dikumpulkan dan cara pengukurannya terdapat pada tabel 1 Tabel 1.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data panen udang windu seperti yang tersaji pada
tabel 2.
Data tersebut diambil dari siklus budidaya pada bulan Agustus 2004-Januari 2005. Kepadatan
tebar rata-rata 258.071 ekor per tambak dari 34 tambak dengan luas masing-masing 5.000 m2
102 PROSIDING
atau dengan kepadatan tebar 52 ekor/ m2. Masing-masing tambak menggunakan kincir
sebanyak 8 unit yang terdiri dari 2 unit 2HP dan 6 unit 1 HP yang berfungsi sebagai sumber
oksigen terlarut dan mencegah terjadinya stratifikasi kualitas air tambak. Sterilisasi air pada
waktu persiapan air dilakukan untuk menekan timbulnya penyakit terutama yang ditimbulkan
oleh virus, seperti bintik putih atau white spot syndrome virus (WSSV). Sistem penggantian
air yang digunakan adalah less water exchange yaitu tanpa penggantian air kecuali
penambahan air karena hilangnya air akibat penguapan , rembesan dan penyiponan. Probiotik
diaplikasikan untuk meningkatkan bakteri pengurai bahan organik dan menekan bakteri
pathogen baik pada waktu persiapan maupun pada saat budidaya berlangsung.
Dari hasil perhitungan diperoleh produksi rata-rata yang mampu dicapai oleh tambak udang
windu adalah 3.109 kg per tambak atau 6.218 kg ha-1 dengan berat rata-rata 21,5 gram.
Sebaran hasil panen udang windu dapat dilihat pada gambar 1.
5000
Hasil Panen (kg)
4000
3000
2000
1000
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34
No Tambak
Panen dilakukan pada umur rata-rata 134 hari, panen termuda dilakukan pada umur 117 hari
dan yang tertua umur 143 hari. Panen pada umur 117 hari dilakukan karena udang terinfeksi
white spot syndrome virus.
Feed conversion ratio (FCR) udang windu rata-rata 2,2, artinya untuk menghasilkan 1 kg
udang windu dibutuhkan pakan sebanyak 2,2 kg. Dalam budidaya udang skala intensif,
sumber makanan utama bagi udang berupa pakan komersial (pelet), sedangkan pakan alami
berupa plankton (fitoplankton dan zooplankton) hanya dibutuhkan pada awal tebar. Nilai FCR
ini lebih besar jika dibdingkan FCR untuk tambak tradisional atau semi intensif (1,4) yang
masih mengandalkan pakan alami. Fungsi utama plankton pada tambak intensif adalah
sebagai peneduh (shading) dan penghasil oksigen terlarut pada siang hari.
Pertumbuhan
Sampling berat udang dimulai pada umur rata-rata 57 hari. Biasanya, sampling berat udang
dimulai pada umur 30-35 hari. Hal ini terjadi karena pada awal bulan ke 2 budidaya ada
gejala-gejala merebaknya penyakit, terutama white spot syndrome virus (WSSV), sehingga
segala aktifitas yang memungkinkan sebagai penyebab menularnya penyakit dihentikan.
20.0
Berat (gram) 15.0
10.0
5.0
0.0
57 64 71 78 85 92 99 106 113 120 127 134
Umur (hari)
Berat udang windu yang diperoleh pada waktu panen umur 134 hari rata-rata 21,5 gram
dengan berat tertinggi 27,6 gram (139 hari) dan terendah 13,7 gram (119 hari).
Sintasan
Sintasan udang windu yang diperoleh pada akhir budidaya rata-rata 58% dengan sintasan
tertinggi 84% dan terendah 38%. Sintasan mengalami penurunan dari awal tebar sampai
panen seperti yang terlihat pada gambar 3.
100
80
SR (%)
60
40
20
0
57 64 71 78 85 92 99 106 113 120 127 134
Umur (hari)
1. Penyakit
penyakit yang dalam budidaya udang windu antara lain disebabkan oleh virus (viral
desease), bakterial (bacterial desease) maupun karena kekurangan nutrisi.
104 PROSIDING
3. Kekurangan oksigen terlarut karena aerator mati atau plankton mati masal (die off)
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa udang windu yang
dibudidayakan di Tulang Bawang Lampung mampu menghasilkan produksi 3.109 kg per
tambak atau 6.218 kg ha-1 dengan berat rata-rata 21,5 gram, FCR 2,2, SR 58%, dan ADG
0,16 gram per hari.
DAFTAR PUSTAKA
Basoeki, D.M., 2000. Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target
protekan 2003: Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari.
Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor
Boyd, C.E., Clay, J.W. 2002. Evaluation of Belize Aquaculture LTD, A Superintensive
Shrimp Aquaculture System. Report prepared under The World Bank,NACA, and FAO
Consorsiu. Work in progress for Public Discussion. Published by The Consorsium.17
pages
Briggs, M., Smith, S.F., Subasinghe, R., Phillips, M. 2004. Introduction and Movement of
Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. RAP Publication
2004/10.
Duraippah, Israngkura A., Sae Hae, S. 2000. Sustainable Shrimp Farming : Estimation of
Survival Fuction. CREED Publicion, working paper no 31.
Harris, E., 2000. Manajemen operasional tambak udang untuk pencapaian target protekan
2003. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Kopot, R. and Taw, N. 2004. Efficiency of Pacific White Shrimp, Current Issues in
Indonesia. Global Aquaculture Advocate. Pp 40-41
Latt, U.W. 2002. Shrimp Pond Waste Management. Aquaculture Asia, Volume VII No. 3.
Obaldo, Leonard G. 2002. Design and Modeling Zero-Water Exchange Shrimp Production.
Global Aquaculture Advocate. Pp 56-58
Purnomo, A., 1988. Pembuatan tambak udang di Indonesia. Deptan, Badan Litbang
Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros. 30 hal.
Soto, M.A., Shervette, V.R.,Lotz, J.M. 2001. Transmission of White Spot Syndrome Virus
(WSSV) to Litopenaeus vannamei from Infected Cephalothorax, Abdomen, or Whole
Shrimp Cadaver. Disease of Aquatic Organisms,
Vol. 45;81-87
RIYANTI
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan terhadap persentase karkas
dan persentase komponen karkas pada itik tegal betina afkir. Penelitian dilakukan dengan
metode kasus di Desa Bulukarto, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus. Tiga puluh
ekor itik dari sistem pemeliharaan ekstensif dan 30 ekor itik dari sistem pemeliharaan
semiintensif diamati untuk mengetahui persentase karkas, persentase daging, persentase
tulang, persentase lemak, dan persentase kulit pada dua sistem pemeliharaan tersebut. Data
sekunder dikumpulkan dari peternak meliputi manajemen pemeliharaan dan data lain yang
erat dengan topik penelitian. Data dianalisis dengan uji t-student pada taraf 5 %. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa bobot karkas, persentase karkas, dan persentase lemak itik
tegal betina afkir yang dipelihara pada sistem pemeliharaan semiintensif nyata lebih tinggi
(P<0,05) namun persentase tulang dan persentase kulit itik tegal betina afkir yang dipelihara
pada sistem pemeliharaan semiintensif nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan pada itik
tegal betina afkir yang dipelihara pada sistem pemeliharaan ekstensif. Sementara sistem
pemeliharaan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap persentase
daging itik tegal betina afkir.
Kata kunci : Itik tegal afkir, sistem pemeliharaan, persentase karkas, dan komponen
karkas
PENDAHULUAN
Di Indonesia, ternak itik adalah ternak unggas penghasil telur yang cukup potensial selain
ternak ayam. Umumnya, ternak itik merupakan ternak yang dipelihara oleh para petani di
pedesaan. Pada peternakan tingkat tradisional, itik dibiarkan mencari pakan di sekitar
permukiman penduduk dan digembalakan di sawah-sawah yang baru dipanen atau disebut
sistem pemeliharaan ekstensif. Selain peternakan sistem ekstensif, beberapa peternak sudah
mencoba melakukan pemeliharaan itik menggunakan sistem terkurung pada umbaran terbatas
atau pemeliharaan semiintensif. Salah satu daerah yang masyarakatnya banyak memelihara
itik adalah Desa Bulukarto, Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus. Sistem
pemeliharaan itik yang dilakukan di desa tersebut sama seperti di daerah Indonesia lainnya
yaitu sistem pemeliharaan ekstensif dan sistem pemeliharaan semiintensif.
Peranan itik di Desa Bulukarto adalah sebagai sumber pangan dan sumber penghasilan,
namun peningkatan pemanfaatannya belum dilaksanakan secara terarah. Produk utama itik
masih terbatas pada telur, sedangkan dagingnya belum sepenuhnya memasyarakat. Daging
itik yang banyak dikonsumsi masyarakat saat ini pada umumnya bersumber dari itik jantan
atau itik petelur afkir yang sudah tidak berproduksi lagi. Selama dalam pemeliharaan, itik
pada kedua sistem tersebut mengalami fase pertumbuhan dan fase produksi. Untuk produksi
daging, hasil karkas merupakan penilaian yang sangat penting karena berhubungan dengan
penyusutan selama prosesing dan pembuangan isi jeroan (Morran, 1997).
106 PROSIDING
Sejauh ini informasi poduksi karkas itik tegal pada dua sistem pemeliharaan yang berbeda
belum diketahui, oleh sebab itu penting dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh
sistem pemeliharaan terhadap persentase karkas dan persentase komponen karkas itik tegal
betina afkir. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan gambaran
dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan itik tegal sebagai penghasil telur dan penghasil
daging.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan metode studi kasus di peternakan rakyat di Desa Bulukarto,
Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus. Objek penelitian yang digunakan adalah itik
tegal betina afkir berumur 65 minggu yang dipelihara pada sistem pemeliharaan yang
berbeda, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif dan sistem pemeliharaan semiintensif.
Pada pemeliharaan ekstensif, itik dipelihara dengan cara digembalakan di sawah mulai pukul
06.30 WIB dan dikandangkan kembali pada pukul 17.00 WIB. Ransum yang dikonsumsi
hanya berasal dari tempat itik digembalakan sehingga konsumsi ransumnya tidak terukur.
Pada pemeliharaan semiintensif, sepanjang hari itik berada di dalam lingkungan kandang
sistem litter dengan halaman umbaran terbatas dan dilengkapi kolam. Area perkandangan
terdiri atas 35 petak kandang. Setiap petak kandang berukuran 5x3 m yang diisi 50 ekor itik
dewasa, sedangkan kolam bermain sebanyak 5 buah, masing-masing berukuran 10x5 m.
Ransum yang diberikan pada itik setiap hari terdiri dari lima bagian (83,33 %) dedak yang
dicampur dengan satu bagian (16,67 %) konsentrat komersial. Pemberian ransum 200
g/ekor/hari dilakukan dua kali sehari. Selain diberi ransum bentuk mash yang dicampur
dengan air, dua kali seminggu diberikan tepung rajungan dan hijauan (kangkung). Kandungan
protein ransum yang dikonsumsi itik pada sistem pemeliharaan semiintensif adalah 16,83 %,
energi metabolis 2.551,34 kkal/kg, serat kasar 11,67 %, kalsium 2,07 %, dan fosfor 1,64 %.
Pengamatan dilakukan terhadap 30 ekor itik dari sistem pemeliharaan ekstensif dan 30 ekor
itik dari sistem pemeliharaan semiintensif . Pada pemeliharaan ekstensif, bobot potong itik
rata-rata 1.150,00 ± 136,09 g (koefisien variasi 11,92 %). Pada pemeliharaan semiintensif,
bobot potong itik rata-rta 1.448,33 ± 153,39 g (koefisien variasi 10,59 %). Setiap itik
diproses untuk dibentuk karkas, yaitu itik yang telah dipotong, tanpa darah, bulu, kepala,
leher, kaki, dan jeroan. Selanjutnya setiap karkas yang terbentuk dipilah berdasarkan
komponen karkas yang terdiri atas daging, tulang, kulit, dan lemak. Peubah yang diamati
adalah bobot karkas, persentase karkas, dan persentase komponen karkas yang meliputi
persentase daging, persentase tulang, persentase lemak, dan persentase kulit. Persentase
karkas (%) adalah perbandingan antara bobot karkas (g) dan bobot potong (g), sedangkan
persentase komponen karkas (%) dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot masing-
masing komponen karkas (g) dan bobot karkas (g). Analisis data dilakukan berdasarkan uji t-
student pada taraf nyata 5 % (Steel dan Torrie, 1993).
Hasil penelitian pengaruh sistem pemeliharaan terhadap rata-rata bobot karkas, persentase
karkas, dan persentase komponen karkas itik tegal betina afkir pada sistem pemeliharaan yang
berbeda tersaji pada Tabel 1.
Sistem pemeliharaan
Peubah
Semiintensif Ekstensif
Bobot karkas (g) 876,67* 664,67*
Persentase karkas (%) 60,43* 57,91*
Keterangan: * berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji t-student
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa bobot karkas itik tegal betina afkir pada pemeliharaan
semiintensif nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan bobot karkas itik betina afkir pada
pemeliharaan ekstensif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharno dan Amri (2003) bahwa
pada umumnya itik yang dipelihara secara semiintensif mempunyai bobot yang lebih tinggi
daripada yang dipelihara secara ekstensif. Keadaan ini menunjukkan bahwa perbaikan
manajemen telah memberikan hasil yang lebih tinggi pada bobot karkas itik betina afkir. Hal
ini berkaitan dengan protein yang dikonsumsi itik pada masing-masing sistem pemeliharaan.
Protein merupakan nutrisi penting untuk pembentukan jaringan otot. Menurut Setioko
(1997), pada sistem pemeliharaan semiintensif kebutuhan protein dipenuhi dari ransum yang
disediakan oleh peternak, sedangkan pada sistem ekstensif protein dipenuhi dari sumber
makanan di sawah seperti keong, katak, dan kepiting. Dalam hal ini bila sumber protein di
lahan penggembalaan tidak mencukupi akibatnya otot yang dibentuk tidak setinggi pada itik
yang dipelihara dengan sistem semiintensif.
Hasil uji t-student menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap persentase karkas. Menurut Setioko, dkk. (1985), rendahnya produktivitas itik
gembala diakibatkan oleh rendahnya mutu bibit dan ransum. Umumnya jenis pakan yang
tersedia di lahan penggembalaan terdiri dari padi dan siput atau keong. Ransum itik pada
sistem ekstensif, selain digunakan untuk pertumbuhan dan produksi digunakan juga untuk
aktivitas selama digembala. Pada itik yang dipelihara secara ekstensif, energi ransum yang
diperoleh tidak banyak disimpan dalam bentuk lemak tetapi terpakai untuk aktivitas berjalan.
Sedangkan pada pemeliharaan semiintensif, nutrisi yang dikonsumsi lebih terjamin untuk
pertumbuhan dan produksi telur sehingga karkasnya menjadi lebih tinggi. Menurut Soeparno
(1998), hipertropi dapat terjadi apabila terdapat peningkatan sintesis protein, dalam kaitan ini
konsumsi protein itik pada pemeliharaan semiintensifdiduga lebih tinggi dibandingkan pada
itik betina afkir pada pemeliharaan ekstensif.
Berdasarkan Tabel 2, persentase daging itik pada pemeliharaan semiintensif tidak berbeda
nyata (P>0,05) dengan persentase daging itik pada pemeliharaan ekstensif. Hal ini
menunjukkan bahwa bobot karkas yang tinggi pada itik betina afkir pada sistem pemeliharaan
semiintensif tidak dikontribusi dari bobot daging, namun dari bobot lemak yang tinggi. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (1998) bahwa laju pertumbuhan daging setelah
pubertas menurun dan deposisi lemak meningkat. Fenomena ini tampak jelas pada hasil
persentase lemak karkas pada sistem pemeliharaan semiintensif (15,60 %) yang lebih tinggi
daripada persentase lemak karkas itik pada sistem pemeliharaan ekstensif (5,63 %).
Tingginya persentase lemak itik pada sistem semiintensif disebabkan kelebihan energi yang
dikonsumsi tidak digunakan untuk aktivitas tetapi cenderung disimpan dalam bentuk lemak
tubuh, termasuk lemak karkas, sedangkan pada itik tegal pada sistem pemeliharaan ekstensif
mempunyai aktivitas yang tinggi sehingga deposit lemak relatif lebih rendah karena
digunakan untuk bergerak
108 PROSIDING
Persentase tulang pada pemeliharaan semiintensif nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan
dengan persentase tulang itik pada pemeliharaan ekstensif. Tulang berkembang dengan pesat
setelah telur itik menetas, kemudian berangsur-angsur menurun dan selanjutnya yang
berkembang adalah jaringan otot. Menurut Blakely dan Bade (1994), tulang bertambah
persentasenya dari bobot tubuh keseluruhan dan berkurang secara berangsur dengan
meningkatnya umur. Dalam kaitan ini bobot tulang itik pada kedua sistem pemeliharaan
cenderung tidak bertambah menjelang fase bertelur. Dalam kaitan ini pada fase bertelur, itik
pada pemeliharaan semiintensif mengalokasikan konsumsi ransumnya untuk kebutuhan hidup
pokok, produksi telur, dan menyimpan kelebihan energi dalam bentuk lemak. Dengan
demikian bobot karkas yang tinggi pada itik yang dipelihara pada sistem pemeliharaan
semiintensif menghasilkan persentase tulang yang lebih rendah dibandingkan persentase
tulang pada itik yang dipelihara pada sistem ekstensif. Hasil penelitianini sesuai dengan
pernyataan Simanjuntak (1990) bahwa persentase bobot tulang pada itik betina berkurang
dengan meningkatnya bobot karkas.
Tabel 2. Persentase komponen karkas itik tegal betina afkir pada sistem pemeliharaan
yang berbeda
Sistem pemeliharaan
Peubah
Semiintensif Ekstensif
Persentase daging (%) 38,15 38,82
Persentase tulang (%) 30,27* 36,38
Persentase lemak (%) 15,60* 5,63
Persentase kulit (%) 15,56* 19,09
Keterangan: *berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan uji t-student
Persentase kulit itik tegal betina afkir yang dipelihara pada sistem pemeliharaan semiintensif
nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan itik yang dipelihara pada sistem ekstensif.
Fenomena ini disebabkan pada pemeliharaan semiintensif, kulit lebih tipis akan tetapi bobot
kulit lebih besar dibandingkan bobot kulit pada sistem pemeliharaan ekstensif. Hal ini
dipengaruhi oleh lemak bawah kulit pada sistem pemeliharaan semiintensif lebih tinggi.
Kondisi ini sesuai dengan pendapat Sitohang (1990) bahwa lemak yang melekat pada kulit
itik jumlahnya cukup banyak dan sulit dipisahkan sehingga bobot kulit menjadi lebih tinggi.
Namun walau bobot kulit tinggi, tetapi karena bobot karkas (876,67 g) pada sistem
pemeliharaan semiintensif lebih tinggi dibandingkan bobot karkas (664,67 g) pada sistem
pemeliharaan ekstensif, maka persentase kulitnya menjadi lebih rendah. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Simanjuntak (1990) bahwa persentase kulit cenderung berkurang dengan
bertambahnya bobot karkas.
KESIMPULAN
2. Bobot karkas, persentase karkas, dan persentase lemak itik tegal betina afkir yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan semiintensif nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada itik
tegal betina afkir yang deipelihara pada sistem pemeliharaan ekstensif.
DAFTAR PUSTAKA
Blakely, J. dan D. H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Cetakan III. Alih Bahasa: Bambang
Srigandono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Morran, E.T. 1977. “Growth and meat poultry”. British Poultry Sci. 12:145—173
Setioko, A. R., A. J. Evans, and Y. C. Rahardjo. 1985. Productivity of herded ducks in West
Java. Agricultural System 16:1--5
Setioko, A. R. 1997. “Prospek dan Kendala Peternakan Itik Gembala di Indonesia”. Laporan
Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi. Bogor
Simanjuntak, M. M. 1990. “Komposisi Karkas dan Lemak Rongga Tubuh Itik Lokal Betina
Dewasa”. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sitohang, R. 1990. “Pertumbuhan Komponen Karkas yang dapat Dikonsumsi pada Itik
Mandalung (Mule Duck)”. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-3. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Cetakan ke-4. Alih
Bahasa: Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta
Suharno, B. dan K. Amri. 1999. Peternakan Itik Secara Intensif. Cetakan ke-4. Penebar
Swadaya. Jakarta
110 PROSIDING
INVENTARISASI PENYAKIT PARASIT PADA PEMBESARAN KERAPU LUMPUR
(Epinephelus tauvina)
SITI HUDAIDAH
PS. Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Budidaya ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) mulai dikembangkan di Indonesia karena
memiliki prospek yang baik yang ditandai dengan meningkatnya permintaan masyarakat
dalam dan luar negeri. Keberhasilan suatu usaha budidaya bisa terhambat akibat adanya
penyakit yang akan timbul apabila lingkungan kurang baik. Penyakit yang disebabkan oleh
infeksi parasit dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, penurunan produksi bahkan
kematian yang akan merugikan usaha budidaya. Parasit tumbuh dan berkembang dengan
menempel pada inangnya. Berdasarkan organ inang yang diserang parasit dibedakan menjadi
endoparasit dan ektoparasit. Pemeriksaan dan inventarisasi penyakit parasit dilakukan pada
ikan yang menunjukkan ketidaknormalan kebiasaan yang dibesarkan di bak semen dan
keramba jaring apung di Balai Budidaya Laut Lampung. Berdasarkan identifikasi yang
dilakukan terhadap parasit yang ditemukan maka didapat cacing Nematoda sp dan kistanya
serta Digenea yang termasuk endoparasit. Dari golongan ektoparasit didapat cacing Benedia
sp, Diplectanum sp, Pseudorhapdosynchus sp, Haliotrema sp dan Isopoda sp. Parameter
kualitar air yang diukur selama pembesaran ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina)
meliputi suhu yang berkisar 28-31.5 oC, salinitas 30-34 ppt, DO 4.01-4.89 ppm, NO2 0.01-
0.058 ppm, PO4 0.001-0.03 ppm, NH3 0.024-0.415 ppm dan BO 44.24-59.29 ppm. Infeksi
parasit pada ikan dapat menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri, jamur dan virus.
Berdasarkan akibat serangan maka endoparasit lebih berbahaya bagi ikan dibandingkan
ektoparasit karena serangan endoparasit sulit dideteksi pada tahap dini.
PENDAHULUAN
Budidaya ikan laut di Indonesia merupakan salah satu usaha yang memiliki prospek yang baik
untuk dikembangkan. Salah satu ikan laut yang mulai berkembang budidayanya adalah
kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) hal ini disebabkan harganya yang relatif mahal dan
merupakan salah satu komoditas perikanan yang diekspor ke negara Hongkong, Singapura,
Cina dan Jepang (Lau dkk., 1995).
Penyakit merupakan salah satu factor penghambat dalam keberhasilan usaha budidaya ikan.
Hal ini disebabkan karena agen penyakit selalu ada dalam media pemeliharaan (lingkungan)
yang akan menyerang ikan jika kondisi lingkungan kurang baik dan kondisi kesehatan ikan
menurun akibat pengelolaan pemeliharaan kurang baik. Mortalitas yang disebabkan oleh
serangan cacing Trematoda pernah dilaporkan oleh Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai Bojonegoro, Serang mencapai 80% pada pembesaran ikan baronang, 100% induk
kakap putih, dan 50% induk kerapu sunu. Sedangkan mortalitas yang disebabkan oleh
serangan Diplectanum sp pada benih ikan kerapu lumpur mencapai 60% (Susanti, 1995).
Parasit yang menyerang dan tumbuh pada ikan umumnya menimbulkan masalah kesehatan
pada masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi daging ikan mentah atau setengah matang.
Diagnosa dan pengobatan yang cepat dan tepat sangat diperlukan jika ada indikasi serangan
parastit di lapangan. Kontrol dan pengelolaan terhadap media pemeliharaan ikan sangat
diperlukan agar tercipta lingkungan yang mendukung pertumbuhan ikan.
Penyakit yang sering ditimbulkan oleh parasit ikan adalah trematodiosis, cestodiosis dan
nematodiosis.
METODE PENELITIAN
Contoh ikan yang diamati berasal dari bak pembesaran dan karamba jarring apung (KJA) di
Balai Budidaya Laut sebanyak 5-10% dari contoh ikan yang menunjukkan gejala infeksi
penyakit terutama yang disebabkan oleh parasit.
Pemeriksaan Parasit
Diagnosa klinis terhadap ikan sakit yang dipelihara dalam bak atau karamba, didahului
dengan pengamatan gejala klinis. Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh meliputi
pemeriksaan abnormalitas pada permukaan tubuh seperti warna kulit, keadaan lendir,
perubahan pada insang, sisik, kondisi anggota gerak Pemeriksaan dilakukan terhadap bagian
luar tubuh ikan untuk mengetahui adanya ektoparasit (parasit yang menyerang bagian luar
tubuh) maupun endoparasit (parasit yang menyerang bagian dalam tubuh). Parasit
mempunyai spesifitas terhadap mikro habitat (organ inang) sehingga pemeriksaan diarahkan
pada organ internal dan eksternal tubuh ikan.
Pemeriksaan ektoparasit
Pemeriksaan ektoparasit pada kerapu lumpur dilakukan pada bagian kulit, insang dan sirip
dengan metode kerokan kulit dan metode mount insang.
Pemeriksaan endoparasit
Pemeriksaan endoparasit untuk mengetahui dan menentukan parasit yang hidup dan
menyerang bagian dalam tubuh ikan (bagian internal) kerapu lumpur dan dilakukan dengan
membedah ikan yang sakit. Metode yang digunakan adalah metode usap darah, metode
tempel jaringan dan metode usap jaringan serta metode tekan jaringan.
Air merupakan media bagi hidup dan kehidupan ikan. Jumlah dan kualitas air yang
memenuhi syarat bagi kebutuhan ikan merupakan salah satu kunci keberhasilan budidaya
ikan. Parameter kualitas air yang diukur selama pembesaran ikan kerapu lumpur (Epinephelus
tauvina) meliputi suhu , salinitas, pH, oksigen terlarut, NO dan bahan organik.
112 PROSIDING
Identifikasi penyakit parasit
Identifikasi jenis parasit yang menyerang dilakukan menggunakan buku identifikasi yang
merupakan rujukan dan hasil penelitian (Zafran dkk., 1998) dan (Koesharyani dkk., 2001).
Sampel diambil dari keramba jaring apung dan kolam (bak semen) diutamakan pada ikan
kerapu lumpur yang menunjukkan gejala infeksi penyakit terutama yang disebabkan oleh
parasit. Pengamatan secara fisik diarahkan pada perubahan tingkah laku ikan (abnormal)
seperti diam di dasar atau berenang di permukaan bak atau karamba, menggosok-gosokkan
tubuhnya pada dinding bak atau jaring, perubahan warna tubuh, sekresi lendir berlebihan dan
beberapa abnormalitas lainnya. Gejala klinis yang dijumpai pada ikan kerapu lumpur yang
diambil sebagai sampel inventarisasi disajikan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Gejala klinis ikan kerapu lumpur yang diambil sebagai sampel
Parasit
Parasit yang ditemukan pada pembesaran ikan kerapu lumpur dan diidentifikasi disajikan
dalam Tabel 2 berikut.
114 PROSIDING
Siklus hidup kedua parasit ini dimulai dari telur parasit yang menetas, dalam waktu 5- 8 hari
menjadi parasit muda (Oncomiracidia) yang dilengkapi dengan cilia berfungsi sebagai alat
gerak untuk menemukan inang baru, di inang biasanya tumbuh dan berkembang di bagian
insang (Koesharyani dkk., 1999).
Pengobatan ikan yang terserang parasit ini antara lain dengan merendamnya dalam formalin
250 ppm selama sehari atau formalin 30 ppm selama 24 – 48 jam.
Ektoparasit yang lain adalah Benedenia sp yang banyak menyerang insang dan permukaan
tubuh ikan. Ciri-ciri Benedenia sp panjang 1.4-2.7 mm, bentuk pipih agak oval, bagian
anterior terdapat sepasang alat penempel, sedangkan pada bagian posterior terdapat haptor
yang dilengkapi dengan sepasang alat pengait (Zafran dkk., 1998). Parasit ini berwarna
transparan dan aktif bergerak, akan berwarna putih dan meninggalkan inang (ikan) jika ikan
direndam dalam air tawar.
Siklus hidup dimulai dari telur parasit yang menetas, dalam waktu 4- 7 hari menjadi parasit
muda (Oncomiracidium) yang berenang
Beberapa pengobatan yang dilakukan untuk ikan yang diserang parasit ini antara lain dengan
merendam ikan yang terserang dalam air tawar selama 30 menit, formalin 100 ppm selama 1-
3 menit maupun H2O2 150 ppm selama 30 menit.
Isopoda merupakan ektoparasit yang berasal dari ordo Isopoda, kelas Crustacea dan jenis
Alitropus typus (Philipus, 2002). Secara umum tubuh Isopoda terbagi menjadi 3 bagian yaitu
kepala (cephalon) yang tidak bersegmen, dilengkapi sepasang mata, dua pasang antena dan
mulut. Tubuh (peraeon) terdiri dari 7 segmen dan masing-masing segmen dilengkapi dengan
sepasang kaki (peraeopoda). Bagian terakhir dari Isopoda adalah pleon yang terdiri dari 6
segmen dan segmen terakhir disebut pleotelson (Kabata, 1985).
Akibat serangan parasit ini jaringan tubuh ikan rusak, nekrosis pada dermis dan filamen
insang. Gejala klinis ikan yang diserang Isopoda menunjukkan abnormalitas dalam berenang,
gerakan lamban, kehilangan nafsu makan, anemia, bebas dan aktif karena dilengkapi dengan
cilia untuk menemukan inang. Setelah mendapatkan inang cilia di tubuhnya berangsur
menghilang. Tujuh hari dalam tubuh inang parasit Benedenia sp menjadi dewasa dan siap
menghasilkan telur (Koesharyani dkk., 1999).
Gejala klinis ikan yang terserang parasit Benedenia sp menunjukkan abnormalitas dalam
berenang baik di dasar atau permukaan bak dan KJA, nafsu makan berkurang (hilang), luka
pada kulit dan kerusakan pada epitel insang yang pada akhirnya mempengaruhi respirasi
ikan.Infeksi yang parah akan menyebabkan luka atau ulcer kulit yang akhirnya akan
menyebabkna infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur. Jika bagian mata ikan yang terinfeksi
oleh parasit ini akan menyebabkan kebutaan akibat infeksi oleh parasit dan infeksi sekunder
oleh bakteri dan jamur.
Untuk ikan yang terserang Isopoda pengobatan dilakukan dengan merendamnya dalam
formalin 200 ppm sampai parasit terlepas, atau diremdam dalam air tawar selama 30 menit
atau dengan pengendalian mekanis dengan mengambil langsung parasit ini dari bagian tubuh
ikan yang terserang.
Digenea sp. merupakan endoparasit berbentuk cacing pipih berukuran 0.4-2.6 x 0.22-2.58
mm, ditemukan pada bagian internal tubuh ikan yaitu di usus, otot daging dan lambung ikan.
Tubuh Digenea sp. Dilengkapi dua alat penghisap (sucker) yang terletak pada ujung anterior
dan di ventral. Patogenitas Digenea sp lebih berbahaya pada inang pada stadium larva
(Oncomiracidium) dibandingkan stadium dewasa (Pitogo, 1995). Perut menggembung,
ditemukan kista kecil berwarna putih kekuningan atau kecoklatan pada kulit, ekor dan insang
merupakan tanda klinis yang umum ditemukan pada ikan yang terserang Digenea sp.
Serangan yang parah akan menyebabkan fungsi organ vital ikan terganggu, bila parasit ini
konsumsi manusia akan mengakibatkan diare.
Endoparasit lain yang ditemukan dalam kerapu lumpur adalah Nematoda yang termasuk
dalam Phylum Nemathelminthes denngan bentuk tubuh bulat silindris dan terbungkus kutikula
yang kuat (Dana dkk, 1999) dan berukuran 3-9 x 0.1-0.5 mm (Philipus dkk, 2002). Sebagian
besar Nematoda bersifat oviparous yaitu melepaskan telurnya ke dalam perairan dan
berkembang menjadi larva yang berenang bebas dan masuk ke dalam ikan kecil. Parasit
Nematoda membutuhkan inang perantara (intermediate) sebelum mencapai inang definitf dan
berkembang biak. Siklus hidup dimulai dari telur yang menetas menjadi larva (miracidium)
yang berenang bebas mencari inang perantara dan masuk dalam organ internalnya.
Perkembangan miracidium menjadi sporocyt pada inang pertama butuh waktu dua minggu,
berkembang menjadi cercaria dan memerlukan ikan sebagai inang kedua.
Umumnya menyerang ikan dewasa dan tingkat serangan belum diketahui. Kebanyakan ikan
yang terserang Nematoda tidak bisa bertelur atau telur yang dihasilkan tidak bisa berkembang
menjadi embrio (Robert, 1989). Tanda klinis ikan yang terserang Nematoda permukaan
tubuh bagian perut menebal dan sedikit bengkak, nafsu makan menurun, tubuh kurus,
permukaan tubuh hitam dan pemeriksaan organ internal menunjukkan pembengkakan usus.
Gejala klinis secara umum ikan yang terserang parasit (ektoparasit dan endoparasit)
berdasarkan organisme parasitnya disajikan dalam Tabel 3 berikut:
116 PROSIDING
Tabel 3. Gejala klinis secara umum ikan yang parasit (Koesharyani dkk., 2001)
Jenis parasit
No Gejala klinis
Crypto Tricho Bened Pseudo Dipelc Halio Neroc Nema
Berenang lemah di √ √ √ √ √
1
permukaan
2 Berdiam di dasar √ √ √ √
Mata buram tanpa √
3
pendarahan
Mata buram √
4
dengan pendarahan
Permukaan tubuh √
5
kasar
Sisik banyak yang √
6
terlepas
7 Insang pucat √ √ √ √ √
8 Lendir berlebih √ √ √ √
Parasit berwarna √
9 putih dalam air
tawar
Berenang dengan √ √
10
cepat (flashing)
11 Sirip geripis √ √
Nafsu berkurang √ √ √ √ √ √ √ √
12
atau hilang
Menggosok tubuh √ √
13
pada benda keras
Air merupakan media kehidupan ikan. Selain jumlah, kualitasnya harus memenuhi syarat
yang diperlukan agar budidaya ikan yang dilakukan berhasil. Pengelolaan kualitas air
merupakan tindakan preventif dalam menanggulangi serangan penyakit parasit. Parameter
fisika-kimia kualitas air meliputi oksigen terlarut, pH, ammonia (NH3), nitrit (NO2), salinitas,
phosphat, suhu dan kandungan bahan organik. Parameter kualitas air selama pembesaran ikan
kerapu lumpur disajikan dalam Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kisaran parameter kualitas air selama pembesaran ikan kerapu lumpur
KESIMPULAN
Selama pembesaran ikan kerapu lumpur ditemukan berbagai parasit yang menyerang pada
berbagai bagian organ ikan yang bisa digolongkan dalam ektoparasit (menyerang bagian luar
tubuh) dan endoparasit (menyerang bagian dalam tubuh). Bagian tubuh ikan yang diserang
adalah permukaan tubuh dan insang oleh ektoparasit dan dinding lambung dan usus oleh
endoparasit. Parasit yang menyerang perlu diidentifikasi dan ditangani (diobati)
menggunakan obat-obatan yang cocok dan efektif agar tidak terjadi serangan yang lebih parah
yang akan mengakibatkan infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur yang ahirnya
mengakibatkan kematian pada ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Basyarie, A. 1989. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Sub Balai Penelitian Budidaya
Pantai. Bojonegoro-Serang. 26 hal
Kabata, Z. 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in The Tropics. Taylor&Francis ,
London, Philadelphia. 317 pp
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny and K. Yuasa. 2001. Manual for Fish
Disease Diagnosis-II. Gondol Research Station for Coastal Fisheries and Japan
International Cooperation Agency. 57 pp.
Lau dan Jones. 1995. Ikan Laut komoditas Ekspor. Techner. Tahun IV. 14-17 p
Robert, R. J. 1989. Fish Pathology. Second Edition, Bailliere Tindall, Philadelphia. 242-
288 pp
Susanti. 1995. Mengenal beberapa Parasit pada Ikan Kerapu Lumpur. Techner. Tahun IV.
14-17 p
Zafran Des Roza, Isti Koesharyani, Fris Johnny and Kei Yuasa. 1998. Manual for Fish
Disease Diagnosis. Marine fish and Crustacean Diseases in Indonesia. Gondol
Research Station for Coastal Fisheries. Bali, Indonesia. Pp 17-22
118 PROSIDING
MIE BERBAHAN BAKU DAGING IKAN;ASPEK TEKNIS DAN
PELUANG PENGEMBANGANNYA
ABSTRAK
Mie merupakan produk makanan yang sangat populer dan banyak dikonsumsi oleh
masyarakat. Konsumsi mie di Indonesia tercatat sebagai yang terbesar kedua di dunia setelah
RRC, tetapi ternyata mie bukan merupakan makanan yang dianggap istimewa, karena
umumnya kandungan gizi produk mie dan olahannya masih sangat rendah. Penambahan ikan
sebagai bahan campuran membuat mie sangat prospektif untuk dikembangkan, mengingat
ikan adalah salah satu bahan makanan yang murah, banyak disukai oleh masyarakat
Indonesia, memiliki citarasa yang khas, tersedia melimpah dan kandungan gizinya relatif
tinggi. Penelitian ini mencoba untuk membuat mie dengan tambahan bahan daging ikan,
dengan tujuan untuk mengetahui kandungan nutrisi dari mie yang dibuat dengan penambahan
daging ikan tersebut, mengetahui perbedaan penampilan, aroma, warna, dan tekstur mie yang
menggunakan daging ikan dan mie yang tanpa menggunakan daging ikan, serta mengetahui
persepsi masyarakat tentang keyakinannya terhadap kandungan nutrisi mie ikan yang
dihasilkan, sekaligus menggali informasi tentang peluang pengembangan mie ikan sebagai
salah satu komoditas yang memiliki nilai ekonomis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penambahan daging ikan sebagai bahan pembuat mie dapat meningkatkan kandungan protein
pada mie yang dihasilkan, juga terdapat peningkatan kualitas penampilan, aroma, warna, dan
tekstur pada mie ikan yang dihasilkan dengan mie yang dibuat tanpa penambahan daging
ikan. Selanjutnya sebagian besar masyarakat (87,5 % responden) menyatakan keyakinannya
terhadap peningkatan nilai gizi mie ikan yang dihasilkan, serta terdapat 97,5% masyarakat
(responden) yang menyatakan setuju produk mie ikan ini dikembangkan di pasaran. Dengan
demikian mie dengan tambahan daging ikan ini mempunyai prospek yang cukup bagus untuk
dikembangkan.
PENDAHULUAN
Mie merupakan produk makanan yang sangat populer dan banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Konsumsi mie di Indonesia tercatat sebagai yang terbesar kedua di
dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC) (Astawan, 1999). Dunia perdagangan mengenal
mie dalam berbagai macam produk, seperti mie basah, mie kering, mie soun dan mie bihun.
Masing-masing jenis mie ini berbeda dalam bahan baku dan sistem pengolahannya. Mie basah
dan mie kering terbuat dari bahan baku tepung terigu, yang membedakan antara keduanya
adalah di akhir prosesnya, pada mie kering dilakukan tahap pengeringan produk sebelum
dipasarkan, sedangkan mie basah tidak. Mie soun dan mie bihun berturut-turut menggunakan
bahan baku tepung beras yang kaya akan kandungan amilosa dan tepung sagu yang kaya
amilopektin (keduanya karbohidrat). Dalam skala terbatas dikenal juga adanya mie tiwul dan
mie tapioka yang bahan utamanya terbuat dari singkong atau ketela pohon. Ada beberapa
kelebihan mie dibandingkan dengan bahan pangan utama lainnya, antara lain adalah
kandungan nutrisinya yang cukup lengkap, rasanya yang khas dan terutama adalah karena
produk mie sering dikemas dalam bentuk yang praktis.
Penambahan ikan sebagai bahan campuran membuat mie sangat prospektif untuk
dikembangkan, mengingat ikan adalah salah satu bahan makanan yang murah, banyak disukai
oleh masyarakat Indonesi, memiliki citarasa yang khas, tersedia melimpah dan kandungan
gizinya relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya seperti
daging sapi, ayam, telur, bahkan susu sekalipun. Selain kandungan nutrisinya yang lengkap,
daging ikan juga dilengkapi dengan beberapa vitamin lainnya, seperti vitamin E, vitamin B,
dan vitamin C. Selain itu juga daging ikan memiliki kandungan asam amino essensial yang
cuckup lengkap, bahkan beberapa jenis ikan juga mengandung asam lemak omega-3 yang
diketahui mempunyai khasiat menurunkan kadar kolesterol dalam darah dan membantu
mencegah serangan penyakit jantung. Dengan menambahkan daging ikan sebagai bahan
pembuat mie, diharapkan nantinya selain dapat memberikan tambahan citarasa pada produk
mie, juga dapat memberikan tambahan kandungan nutrisi pada mie dan produk olahannya,
sehingga nantinya mie dapat menjadi salah satu bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang
tinggi.
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk membuat produk mie yang memiliki nilai
gizi tinggi, mengetahui perbedaan penampilan, aroma, warna dan tekstur antara mie yang
dibuat dengan menambahkan daging ikan sebagai salah satu bahan pembuatnya dan mie yang
dibuat tanpa tambahan daging ikan serta mengetahui persepsi masyarakat tentang citarasa,
kandungan nutrisi mie dan peluang pengembangan produk mie yang dibuat dengan tambahan
daging ikan.
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan kandungan nutrisi bagi berbagai
jenis mie dan produk olahannya, sehingga mie bukan lagi menjadi bahan makanan yang
dianggap kelas rendah, selain itu produk mie yang dihasilkan juga diharapkan dapat menjadi
salah satu alternatif pengembangan produk mie yang selain memiliki citarasa tinggi, juga
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.
METODE PENELITIAN
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat peralatan dalam pembuatan
mie dan olahannya, seperti mesin press dan pencetak mie, pengaduk (mixer), peralatan
memasak seperti panci, kompor, baskom, ember, penampan, piring dan berbagai alat bantu
memasak lainnya. Sementara bahan-bahan yang digunakan adalah bahan-bahan untuk
120 PROSIDING
membuat mie, seperti tepung terigu, telur, daging ikan, mentega, penyedap rasa, dan berbagai
jenis bumbu lainnya seperti cabai, bawang merah, bawang putih, lada, kemiri, garam, kecap
ikan, kecap manis, kecap asin dan beberapa jenis bumbu masak lainya.
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pembuatan mie ikan, dan tahap
pengujian mutu mie ikan yang dihasilkan. Kedua tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Pembuatan mie ikan dalam penelitian ini dilakukan seperti halnya membuat mie pada
umumnya, yaitu dengan mencampurkan daging ikan yang telah dihaluskan dengan bahan-
bahan lainnya seprti tepung terigu, garam, gula, telur dan penyedap rasa serta bahan-bahan
lainnya dengan komposisi yang proposianal, selanjutnya bahan-bahan dihaluskan dan diberi
air lalu di aduk hingga betul-betul lumat dan merata sehingga terbentuk adonan. Selanjutnya
adonan tersebut di press agar padat, lalu dicetak dengan mesin atau alat penggiling/pencetak
mie (Moeljanto, 1992).
Setelah proses pembuatan mie selesai, selanjutnya dilakukan penilaian dan pengujian mutu
terhadap mie yang dihasilkan. Penilaian dan pengujian mutu mia ikan ini dilakukan dengan
dua macam penilaian seperti dijelaskan oleh Ilyas (1983) yaitu penilaian subjektif dan
penilaian objektif.
a. Penilaian Subjektif
Penilaian subjektif atau yang biasa disebut juga penilaian organoleptik dilakukan dengan
menggunakan panca indera. Penilaian organoleptik ini meliputi penilaian bentuk atau rupa
(appearance), penilaian bau (odor), citarasa (flavour) dan tekstur (texture) mie ikan yang
dihasilkan (Soekarto, 1985). Penilaian subjektif ini bertujuan untuk membandingkan
beberapa unsur penilaian di atas terhadap mie yang dibuat dengan menambahkan daging ikan
dan mie yang dibuat tanpa tambahan daging ikan. Penilaian ini dilakukan dengan melibatkan
sejumlah responden yang dipersilahkan mencicipi mie yang dihasilkan, selanjutnya para
responden dipersilahkan mengisi kuisioner (daftar pertanyaan) yang telah disediakan, dan
menjawab beberapa pertanyaan tentang faktor-faktor penilaian yang telah disebutkan di atas,
sebegi upaya untuk membandingkan kedua jenis mia yang dihasilkan.
b. Penilaian Objektif
Penilaian mutu secara objektif dilakukan melalui pemeriksaan laboratorum terhadap sifat fisik
dan kimiawi mie ikan yang dihasilkan. Pengujian fisik meliputi antara lain elastisitas dan
warna mie ikan, sedangkan pengujian kimiawi dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui
seberapa besar kandungan nutrisi mie ikan yang dihasilkan, terutama tentang kandungan
protein, lemak, karbohidrat, air, abu dan beberapa kandungan kimia lainnya (Ilyas, 1983).
Pada pelaksanaan penelitian ini dilakukan pembuatan dua macam mie basah, yaitu mie biasa
yang tidak menggunakan ikan, dan mie lainnya yang mengunakan ikan sebagai salah satu
bahan bakunya. Pada prinsipnya kedua jenis mie basah ini adalah sama, hanya saja untuk mie
ikan pada saat pembuatannya diberikan bahan tambahan berupa daging ikan yang telah di
lumatkan. Pada pelaksanaannya, ikan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan mie
adalah jenis ikan jolot atau gabus laut (Platychepalus spp), jenis ikan ini juga biasa digunakan
sebagai bahan baku dalam pembuatan empek-empek (makanan khas Palembang). Pemilihan
ikan jolot/gabus laut ini sebagai bahan pembuatan mie ikan didasari pertimbangan bahwa,
ikan jenis ini umumnya mudah didapat di pasar-pasar tradisional, harganya murah, tulang
pada dagingnya relatif sedikit, tekstur daging cukup lembut, serta warna dagingnya relatif
lebih putih jika dibandingkan dengan beberapa jenis ikan lainnya seperti ikan tengiri atau ikan
tongkol.
Gambar 1. Ikan jolot/gabus laut (Platychepalus spp) dagingnya yang putih dan tulang
daging yang relatif sedikit, cocok sebagai bahan pembuat mie.
Selain daging ikan, bahan baku utama pembuatan mie ini tentu saja adalah tepung terigu,
telur, penyedap rasa, garam dan air. Berikut adalah perbandingan bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan kedua jenis mie basah tersebut.
Tabel 1. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan mie ikan dan mie tanpa
ikan.
122 PROSIDING
Bahan-bahan di atas, adalah bahan utama dalam pembuatan adonan mie sebelum dipress dan
dicetak, berbagai bahan tersebut kemudian dicampur dan diaduk hingga benar-benar merata
dengan menmbahkan air secukupnya, hingga membantuk adonan yang siap dipress dan
dicetak/digiling hingga membentuk mie. Mie yang telah dicetak tersebut kemudian disisihkan
sebagian untuk digunakan sebagai bahan uji nilai gizi (uji proksimat) yang meliputi protein,
lemak, karbohidrat dan air. Selanjutnya sebagian lainnya di masak dengan menambahkan
bumbu-bumbu seperti cabai, bawang putih, bawang merah, lada, kemiri, mentega, kecap, ebi,
penyedap rasa, garam, dan bumbu-bumbu lainnya, dan selanjutnya digunan untuk uji
persepsi/uji subjektif yang melibatkan sejumlah responden.
Untuk mengetahui kandungan nutrisi mie ikan yang dihasilkan, maka dilakukan uji proksimat
yang meliputi empat komponen nutrisi utama yaitu karbohidrat, lemak, protein, abu dan air.
Prosentasi komponen gizi yang terdapat dalam kedua jenis mie yang dihasilkan tersebut tersai
pada Tabel 2.
Tabel 2. Prosentase nilai gizi antara mie hasil penelitian yang ditambahkan daging ikan
dan mie tanpa penambahan daging ikan.
Hasil di atas menunjukkan terdapat peningkatan terhadap kandungan protein mie ikan
dibandingkan dengan mie yang dibuat tanpa menambahkan daging ikan terutama pada
komponen protein dan karbohidrat. Peningkatan nilai nutrisi ini juga diyakini oleh sebagian
besar responden yang menilai bahwa mie yang dibuat dengan menambahkan daging ikan pada
bahan bakunya akan mempunyai nilai nutrisi yang lebih tinggi daripada mie yang dibuat tanpa
daging ikan. Penjelasan tantang keyakinan responden tersebut akan disampaikan pada sub bab
khsusus tentang uji persepsi/uji subjektif.
Selain dilakukan uji kandungan nutrisi pada mie ikan yang di hasilkan, pada penelitian ini
juga dilakukan uji organoleptik / uji persepsi terhadap kedua macam mie ikan yang
dihasilkan, uji organoleptik yang dilakukan meliputi penilaian bentuk/rupa (appearance),
penilaian bau (odor), warna (colour) citarasa (flavour) dan tekstur (texture) mie ikan yang
dihasilkan. Hasil penilaian perbandingan peneliti antara mie yang mengunakan daging ikan
dan mie yang tidak menggunkan daging ikan tersaji dalam Tabel 3 berikut.
Selanjutnya bentuk dan penampilan kedua macam mie ini dapat dilihat pada Gambar 2
berikut.
Gambar 2. Penampilan dua macam mie basah yang dihasilkan: Mie Ikan (kiri) dan mie
tanpa ikan (kanan). Mie yang menggunakan daging ikan tampak berwarna lebih putih.
Selain melibatkan peneliti, kegiatan penilaian untuk membandingkan antara mie ikan dan mie
tanpa ikan yang dihasilka. Pada penelitian ini juga melibatkan sejumlah 40 orang responden.
Penilain responden lebih ditekankan pada persepsi mereka setelah mie diolah menjadi
makanan (dimasak). beberapa hasil penilain persepsi responden tersebut adalah sebagai
berikut.
a. Pendapat Responden tentang rasa mie ikan dibandingkan dengan mie tanpa ikan.
Pada perbandingan rasa ini, responden dipersilahkan mencicipi mie ikan yang telah dimasak
dengan bumbu yang sama, selanjutnya dipersilahkan menjawab pertanyaan tentang rasa kedua
macam mie yang dihasilkan. Dari tiga alternatif jawaban yang disodorkan, ternyata sebagain
besar (60%) responden menilai bahwa mie yang dibuat dengan menambahkan daging ikan
rasanya lebih enak/lebih gurih, selanjutnya 40% responden menyatakan bahwa rasanya sama
saja, dan tidak ada responden yang menilai bahwa rasa mie yang dibuat dengan
menambahkan daging ikan rasanya lebih tidak enak daripada mie tanpa daging ikan.
124 PROSIDING
Tabel 4. Pendapat responden tentang rasa mie ikan dibandingkan dengan mie tanpa
ikan.
b. Pendapat responden tentang warna dan penampilan mie ikan dibandingkan mie tanpa
ikan.
Terhadap pertanyaan yang dilontarkan tertang penampilan dan warna mie ikan yang
dihasilkan jika dibandingkan dengan mie tanpa ikan, ternyata sebagian besar responden (60%)
menjawab bahsa secara fisik, warna dan penampilan mie ikan sama saja dengan mie tanpa
ikan, selanjutnya terdapat 35 % yang menjawab bahwa mie ikan warna dan penampilannya
lebih menarik, dan hanya 5 % responden yang menilai mie ikan yang dihasilkan kurang
menarik.
Tabel 5. Pendapat responden tentang warna dan penampilan mie ikan dibandingkan
dengan mie tanpa ikan.
Tentang aroma mie ikan ini, deri pertanyaan yang diberikan tentang perbandingan aroma mie
yang dibuat dengan menambahkan daging ikan sebagai bahan baku dibandingkan mie yang
tidak menggunakan daging ikan, ternyata terdapat 52,5 % responden yang menyatakan bahwa
mie ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini aromanya sama saja dengan mie yang dibuat
tanpa daging ikan, selanjutnya terdapat 42,5 % responden yang menjawab bahwa mie ikan
memiliki aroma yang lebih menarik daripada mie tanpa ikan, dan sisanya sejumlah 5 %
responden menyatakan bahwa mie ikan yang dihasilkan kurang menarik jika dibandingkan
dengan mie yang dibuat tanpa menambahkan daging ikan sebgai bahan pembuatnya.
Tabel 6. Pendapat responden tentang aroma mie ikan dibandingkan dengan mie
tanpa ikan.
Tentang tekstur mie ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini, dari 6 alternatif jawaban yang
disajikan, terungkap bahwa terdapat 40 % responden menyatakan bahwa mie ikan yang
dihasilkan memiliki tekstur yang lembut, 27,5 % responden menjawab bahwa mie ikan yang
dihasilkan kenyal, selanjutnya 20 % responden menjawab bahwa mie ikan yang dibuat
memiliki tekstur yang sama dengan mie biasa, selanjutnya terdapat masing-masing 5 %
responden yeng menjawab bahwa mie ikan yang dihasilkan terlalu keras dan terlalu lembut,
dan sisanya 2,5 % responden menyatakan bahwa mie ikan yang dibuat terlalu kenyal.
Pendapat responden tentang tekstur mie yang doihasilkan dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7. Pendapat responden tentang tekstur mie ikan dibandingkan dengan mie yang
dibuat tanpa daging ikan.
e. Pendapat responden tentang kekuatan rasa ikan pada mie yang dihasilkan.
Berkenaan dengan komposisi daging ikan yang dicampurkan pada adonan mie ikan yang di
buat, maka perlu juga ditanyakan tentang kekuatan citarasa ikan pada mie ikan yang
dihasilkan, terhadap pertanyaan ini 40% responden menyatakan bahwa rasa ikan pada mie
ynag dihasilkan cukup terasa, selanjutnya 35 % reponden manjawab terasa, lalu 5%
responden menjawab bahwa rasa ikan pada mie yang dihasilkan sangat terasa dan sisanya
sejumlah 20% responden menjawab bahwa pada mie yang dihasilkan kurang terasa.
Tabel 8. Pendapat responden tentang kekuatan rasa ikan pada mie yang dihasilkan.
Untuk mengetahui tentang peluang pengembangan mie ikan dan produk olahanya, maks
disajikan pula pertanyaan tentang setuju atau tidaknya para responden jika dikembangkan mie
ikan dan produk olehannya. Jawaban responden tentang pengembangan mie ikan tersaji pada
Tabel 9 berikut.
126 PROSIDING
Tabel 9. Persetujuan responden jika dkembangkan mie ikan
Terhadap pertanyaan ini sebagian besar responden 97,5 % responden menyatakan sangat
setuju atau setuju (52,5% setuju dan 45% sangat setuju) jika mie dengan bahan baku ikan ini
dekembangkan di daerahnya. Selanjutnya hanya terdapat 2,5% responden yang menyatakan
ragu-ragu dan tidak ada responden (0%) yang menyatakan tidak setuju jikan dikembangkan
mie ikan dan produk olahannya.
Terhadap jawabannya yang menyatakan setuju jika dikembangkan mie ikan dan produk
olahannya, maka disajikan pertanyaan tentang alasan responden menyatakan setuju atas
pengembangan mie ikan dan produk olahannya. Jawaban para responden tentang persetujuan
tersebut disajikan pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10. Alasan responden mengapa setuju jika dikembangkan mie ikan
Pada tabel di atas, sebagian besar responden (45%) menyatakan alasan bahwa mereka setuju
dikembangkan mie ikan karena para responden percaya bahwa mie yang dibuat dengan
menambahkan daging ikan akan memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi, selanjunya
37,5% responden menyatakan persetujuannya dengan alasan bahwa mie yang dibuat dengan
penambahan daging ikan memiliki rasa yang lebih enak, selanjutnya 2,5 % responden
menyatakan karena mie ikan lebih bergengsi, dan sisanya sejumlah 15% responden
menyatakan alasan lain seperti rasa mie ikan yang lebih gurih, atau ada juga responden yang
berpendapat karena mengkonsumsi ikan relatif aman dari ancaman serangan penyakit seperti
anthrax dan flu burung seperti halnya ancaman yang timbul jika mengkonsumsi daging sapi
atau daging ayam.
h. Tingkat keyakinan responden terhadap penambahan nilai gizi pada mie ikan
Untuk lebih meyakinkan penilain responden tentang pendapat bahwa mie yang dibuat dengan
menambahkan daging ikan memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi, maka pada
penelitian ini juag digali informasi tentang kayakinan responden terhadap peningkatan
kandungan nutrisi jika ditambahkan daging ikan pada bahan baku mie. Keyakinan responden
tentang tingginya nilai gizi mie ikan tersaji pada Tabel 11 berikut.
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 127
Tabel 11. Keyakinan responden tentang lebih tingginya nilai gizi mie ikan jika
dibandingkan dengan mie tanpa ikan
Terhadap pertanyaan tersebut, Sebagian besar responden (87,5%) yakin bahwa mie ikan
memiliki nutrisi yang lebih tinggi dari pada mie biasa, selanjutnya 10 % responden
menyatakan ragu-ragu, 2,5% responden menyatakan bahwa nutrisi mie ikan sama saja dengan
mie tanpa ikan, dan tidak ada responden (0%) yang menyatakan bahwa mie yang dibuat
dengan menambahkan daging ikan nutrisinya lebih rendah daripada mie biasa.
Kesimpulan
− Penambahan daging ikan pada bahan baku adonan pembuatan mie dan olahannya dapat
meningkatkan kandungan protein pada produk mie yang dihasilkan.
− Berdasarkan data kuisioner persepsi masyarakat tentang citarasa, aroma, penampilan dan
kandungan nutrisi pada mie yang dibuat dengan menambahkan daging ikan umumnya
(97,50 %) responden setuju jika dikembangkan produk mie dengan tambahan daging ikan
pada bahan pembuatnya.
− Sebagian besar responden (87,5 %) juga merasa yakin bahwa mie yang menggunakan
tambahan daging ikan sebagai bahan pembuatnya memiliki kandungan gizi yang lebih
tinggi daripada mie biasa.
Saran
− Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang berbagai jenis ikan, komposisi dan proporsi
daging ikan yang paling tepat sebagi bahan pembuat mie ikan.
− Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang peluang pengembangan dan analisa usaha
bagi produk mie ikan, sehingga diharapkan mie ikan menjadi sebuah komoditas
perdagangan yang menguntungkan.
128 PROSIDING
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Mie Basah. dalam Buletin Teknologi Pangan dan Agroindustri. Vol. 1 Nomor
4. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi- IPB. Bogor.
Azwar, A. 2002. Pengantar Pedoman Umum Gizi Seimbang. Dirjen Bina Kesehatan
Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Ilyas, S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid I : Teknik Pendinginan Ikan,
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soekanto, T.S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian.
Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
ABSTRACT
Key word: coffee leaf rust, Hemileia vastatrix, crude water extract
PENDAHULUAN
Kendala utama dalam budidaya kopi arabika di dataran rendah (< 1000 mdpl) adalah adanya
penyakit karat daun yang disebabkan oleh jamur Hemileia vastatrix B. et. Br. Penyakit ini
mulai dikenal di Jawa dan Sumatera pada tahun 1876 dan tahun 1885 penyakit tersebut
menghentikan perkembangan perkebunan kopi di Indonesia (Semangun, 2000).
Selama ini pengelolaan penyakit karat daun kopi dilakukan dengan penyemprotan fungisida
sintetik. Akan tetapi, penggunaan fungisida sintetik yang kurang bijaksana selain
menimbulkan resistensi dan menyebabkan munculnya ras baru patogen juga berdampak
terhadap kesehatan manusia dan mencemari lingkungan, karena residunya yang sulit terurai di
alam.
alah satu alternatif pengendalian yang relatif aman terhadap lingkungan dan manusia serta
murah adalah penggunaan bahan tanaman sebagai agen pengendali atau yang lazim disebut
pestisida nabati. Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tanaman
dan bukan senyawa kimia hasil sintesis (Soeharjan, 1994) dan dapat mengakibatkan satu atau
lebih pengaruh biologi terhadap organisme penggangu tanaman (OPT) serta memenuhi syarat
untuk digunakan dalam pengendalian OPT (Prijono, tanpa tahun).
Kelebihan pestisida nabati adalah relatif aman terhadap lingkungan karena residunya mudah
terurai (Prijono dan Triwidodo, 1994), dan kemungkinan menimbulkan resistensi kecil karena
senyawa yang dikandung sangat komplek (multiple active ingredients).
Beberapa tanaman diketahui mempunyai daya kerja menghambat atau mematikan organisme
pengganggu, sehingga berperan sebagai pestisida nabati. Misalnya ekstrak bawang-bawangan
dapat menekan laju infeksi gejala awal busuk pangkal batang panili yang disebabkan oleh
jamur Fusarium oxysporum f.sp. Vanillae (Hadiwiyono, 1999), sedangkan ekstrak kunyit
130 PROSIDING
dapat menghambat pertumbuhan dan perkecambahan zoospora Phytophthora capsici
(Manohara et all., 1995 dan Silviana, 1995 dalam Manohara dan Noveriza, 1999).
Berdasarkan permasalahan di atas dan dalam rangka memanfaatkan potensi alami dari
tumbuh-tumbuhan yang sangat melimpah di Indonesia khususnya sebagai pestisida nabati,
maka dilakukan kajian mengenai pengaruh aplikasi ekstrak bahan tanaman (alang-alang, jahe,
kunyit, lengkuas, bawang bombay, bawang merah, dan bawang putih) terhadap
perkecambahan uredospora H. vastatrix.
METODE PENELITIAN
Bahan tanaman berupa rimpang dan umbi yang diuji dicuci dengan air, lalu dikeringanginkan.
Setelah kering, sebanyak 100 gr bahan tersebut diblender dan dihomogenkan dengan 100 ml
aquades steril, kemudian campuran disaring dengan empat lapis kain kasa. Hasil dari
saringan bahan tersebut didefinisikan sebagai alliquot atau larutan induk.
Inokulum yang digunakan adalah suspensi uredospora jamur H. vastatrix. Inokulum tersebut
berasal dari daun kopi arabika klon Kartika I yang diambil dari lapang. Uredospora yang
berasal dari daun yang diambil dari lapang dipanen menggunakan skalpel dan dimasukkan ke
dalam erlenmeyer. Dalam membuat suspensi uredospora, uredospora yang terkumpul dalam
erlenmeyer ditambah aquades dan beberapa tetes detergen agar uredospora tidak menggumpal
sehingga mudah dihitung. Kerapatan uredospora dihitung dengan menggunakan
haemocytometer. Kerapatan uredospora yang digunakan dalam percobaan ini adalah 4 x 105
spora/ml.
Karena jamur H. vastatrix adalah parasit obligat maka digunakan daun kopi sehat sebagai
media tumbuhnya. Daun yang sehat yang diambil dari lapang, dicuci bersih dengan air
mengalir lalu dikeringanginkan. Setelah itu daun-daun tersebut dipotong dengan ukuran + 2
cm x 2 cm, kemudian daun disusun secara terbalik (bagian bawah daun di atas) pada nampan
plastik yang telah dilapisi plastik busa dan telah diberi aquades 90 ml, kemudian ditutup
dengan kaca transparan.
Inokulasi
Sebanyak 0,1 ml ekstrak tanaman dari larutan induk diambil dan dimasukkan dalam tabung
reaksi steril dan ditambahkan 0,9 ml aquades steril untuk mendapatkan larutan dengan
konsentrasi 10%. Kemudian sebanyak 0.25 ml suspensi uredospora yang mengandung 4 x
105 spora/ml ditambahkan dan dikocok. Sebanyak 0.3 ml suspensi campuran tersebut diambil
Peubah Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada 4, 8 dan 12 jam setelah inokulasi, dengan mengambil 0,05 ml
larutan pada potongan daun tersebut. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop pada
perbesaran 100x. Peubah yang diamati adalah persentase perkecambahan uredospora.
Jumlah sampel uredospora yang dihitung adalah 100 uredospora. Uredospora dikatakan
berkecambah apabila panjang tabung kecambah yang terbentuk minimal sama dengan
panjang diameter uredospora itu sendiri.
Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Percobaan terdiri
dari delapan perlakuan, yaitu aquades steril sebagai kontrol (T0), ekstrak alang-alang (T1),
jahe (T2), kunyit (T3), lengkuas (T4), bawang bombay (T5), bawang merah (T6), dan bawang
putih (T7) dan masing-masing perlakuan ekstrak diuji pada konsentrasi 10%. Data hasil
pengamatan dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan nilai tengah antar-perlakuan diuji
dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD) pada taraf nyata 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ekstrak bahan tanaman yang diuji
memperlihatkan adanya penghambatan perkecambahan uredospora yang berbeda nyata
dengan kontrol. Dengan demikian ekstrak tanaman yang diuji bisa dikatakan memiliki
aktifitas fungisida terhadap uredospora jamur H. vastatrix. Persentase perkecambahan
edospora H. vastatrix yang diberi perlakuan berbagai ekstrak tanaman disajikan pada gambar
1.
K on tro l K un y it A la ng -a lan g B a w an g B om b ay
5 B aw a ng M e rah Jah e B a w an g P ut ih Le ng k u as
Perkecambahan Uredospora (%)
a
3 a
a
b
2 b
bc b b
1 bc bc bc bc
c c c c c b b b b b
c c
0
414 828 3
12 12
W a k tu P e n g a m a ta n (Ja m S e te l a h In o ku l a si )
132 PROSIDING
Hasil percobaan 4, 8 dan 12 jam setelah inokulasi menunjukkan bahwa semua ekstrak bahan
tanaman berpengaruh nyata dalam menekan perkecambahan uredospora. Percobaan 4 dan 8
jam setelah inokulasi memperlihatkan pengaruh ekstrak tanaman dalam menekan
perkecambahan uredospora tidak semuanya sama, yaitu ekstrak bawang putih dan lengkuas
lebih efektif dari pada ekstrak kunyit, ekstrak lengkuas lebih efektif daripada ekstrak jahe (8
jsi), tetapi percobaan 12 jam setelah inokulasi memperlihatkan kemampuan semua ekstrak
sama dalam menekan perkecambahan uredospora (Tabel 1).
Kandungan minyak atsiri umbi bawang merah, bawang putih dan bawang bombay yang
diduga berperan dalam menghambat perkecambahan uredospora H. vastatrix adalah senyawa
allicin, propil disulfida, propil metil disulfida, flavonol, keursetin, dan keursetin glikosida
yang merupakan senyawa yang bersifat anti jamur dan bakteri (Rubatzky dan Yamaguchi,
1998). Di samping itu, bawang-bawangan mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder
yaitu fenol yang berfungsi dalam ketahanan terhadap infeksi patogen (Walker dan Stakmann,
1995 dalam Hadiwiyono, 1999). Menurut Salisbury dan Ross (1995), flavonol masih
berhubungan dekat dengan antosianin yang berperan dalam resistensi terhadap penyakit,
walaupun bukti dalam hal ini masih lemah.
Menurut Salisbury dan Ross (1995), tanaman jenis bawang-bawangan mengandung senyawa
asam protokatekuat dan asam klorogenat yang merupakan senyawa turunan asam amino yang
berperan dalam resistensi terhadap penyakit. Asam protokatekuat merupakan salah satu
senyawa yang mencegah corengan pada tanaman bawang tertentu yang disebabkan oleh jamur
Colletotrichum circinans dan bila diekstrak dari tanaman bawang, asam ini akan mencegah
perkecambahan spora dan pertumbuhan jamur sisik dan juga jamur lainnya.
Senyawa kimia yang terdapat pada rimpang alang-alang yang diduga berperan dalam
menghambat perkecamabahan uredospora antara lain adalah senyawa-senyawa fenolat dan
senyawa golongan triterpenoid. Senyawa fenolik merupakan senyawa yang bersifat anti
mikroba.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu
perkecambahan uredospora H. vastatrix pada ekstrak rimpang jahe dan kunyit serta daun
cengkeh dan sirih (Ginting, 2006), dimana ekstrak rimpang jahe dan kunyit juga efektif
menekan perkecambahan uredospora.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa aplikasi ekstrak alang-alang, jahe, kunyit,
lengkuas, bawang bombay, bawang merah, dan bawang putih menekan perkecambahan
uredospora H. vastatrix dan memiliki aktifitas fungisida pada skala laboratorium tetapi .
SANWACANA
Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian Hibah Bersaing Dikti atas nama Dr.
Cipta Ginting. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.
Cipta Ginting atas kesempatan yang diberikan untuk bergabung dalam penelitiannya, Ir. Titik
Nur Aeny, M.Sc., dan Ir. M Nurdin atas saran dan masukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, C. 2006. Perkecambahan Uredospora Hemileia vastatrix pada Ekstrak Rimpang Jahe
dan Kunyit serta Daun Cengkeh dan Sirih. J. HPT Tropika 6: 52 – 58.
Hadiwiyono. 1999. Uji Esktrak Umbi Bawang-bawangan sebagai Fungisida Botani untuk
Menekan Laju Infeksi Fusarium oxysporum f.sp. Vanillae Schl. Pada Stek Batang
panili. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Dalam Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 9 –
10 November 1999. Halaman 382 – 387.
Manohara, D., R. Noveriza. 1999 . Potensi Tanaman Rempah dan Obat sebagai Pengendali
Jamur Phytophthora capsici. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Dalam
Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 9 – 10
Nopember 1999. Halaman 406 – 422.
Prijono, D. dan Triwidodo, 1994. Pemanfaatan Insektisida Nabati di Tingkat Petani. Dalam
Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati.
Bogor. Halaman 76–83 .
134 PROSIDING
Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi. 1997. World Vegetables. Principles, Production, and
Nutritive Value. 2nd Ed. Van Nostrand Reinhold, A Division ofInternational
Publishing Inc. Edisi Terjemah: Catur, H.1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip Produksi
dan Gizi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. 292 hlm.
Salisbury, F.B. and C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. 4th Ed. Wadsworth Publishing Co., A
division of Wadsworth Inc. Edisi Terjemah; Diah, R.L. dan Sumaryono. 1995.
Fisiologi Tanaman. Jilid II. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Soeharjan, 1994. Konsepsi dan Strategi Penelitian dan Pengembangan Pestisida Nabati.
Dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida
Nabati, Bogor 1 – 2 Desember 1993. Halaman 11 – 18.
DYAH KOESOEMAWARDANI
Jurusan THP Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
ABSTRAK
Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil yang ikut tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis
rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomisnya dengan membuat dendeng
giling menggunakan teknik restrukturisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
konsentrasi yang tepat penambahan alginat untuk menghasilkan dendeng giling ikan rucah
dengan sifat fisik (kekerasan dan tekstur), sifat kimia (kadar air dan kadar protein) dan
organoleptik terbaik. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
dengan faktor tunggal 3 ulangan. Konsentrasi penambahan alginat terdiri atas 6 taraf yaitu : 0
%; 2 %; 4 %; 6 %; 8 % dan 10 % (b/b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
alginat yang tepat untuk pembuatan dendeng giling ikan rucah adalah konsentrasi 4 %.
Dendeng giling ikan rucah dengan penambahan 4 % alginat mempunyai kadar air 19,03 %,
kadar protein 26,41 %, kekerasan 2,33 kg, tekstur yang tidak rapuh dan tidak keras dengan
skor 3,08, warna agak disukai dengan skor 3,34, aroma disukai dengan skor 3,46, rasa agak
disukai dengan skor 3,29, tekstur yang disukai dengan skor 3,87 dan penerimaan keseluruhan
yang disukai dengan skor 3,52.
PENDAHULUAN
Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan UPTD Pelabuhan Perikanan di
Lempasing, ikan rucah dimasukkan ke dalam ikan lainnya dengan jumlah produksi pada
tahun 2005 sebesar 458.651,84 kg (UPTD Pelabuhan Perikanan Lempasing, 2005). Artinya
ikan rucah tergolong dalam ikan yang berdaya guna rendah dan bernilai ekonomis rendah.
Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil dengan ukuran ± 10 cm yang ikut tertangkap
Selanjutnya, oleh nelayan biasanya hanya dibuat untuk makanan ternak atau pakan ikan
berukuran besar seperti kerapu atau diolah menjadi ikan asin. Bahkan ikan-ikan rucah hanya
dibuang begitu saja, sehingga mengakibatkan limbah atau sampah yang berbau busuk dan
biasanya tidak banyak dimanfaatkan pada saat panen raya/penangkapan ikan (Murtidjo,
1997). Jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah seperti ikan pari, ikan cucut, ikan
tembang, kuniran, rebon, ikan selar, krisi dan sejenisnya (SI-LMUK, 2004; Sitorus, 1997).
Nilai ekonomis ikan rucah sebenarnya dapat ditingkatkan apabila dilakukan pengolahan
dengan benar melalui berbagai cara pengolahan ikan dengan sedikit sentuhan
teknologi, sehingga mempunyai nilai jual tinggi (marketable). Salah satu diversifikasi cara
pengolahan ikan tersebut adalah dendeng. Permasalahannya, bentuk ikan rucah yang
berukuran kecil tidak mempunyai daging yang tebal. Oleh karena itu, cara pengolahan
dendeng ini adalah dengan cara menghancurkan ikan-ikan rucah tersebut. atau menjadi
produk dendeng ikan giling, sehingga diperlukan usaha untuk restrukturisasi atau penyatuan
kembali daging giling hasil hancuran ikan-ikan rucah.atau biasa disebut dengan
restrukturisasi. Menurut Savitry, dkk (2003) permasalahan pada restrukturisasi dendeng giling
adalah tekstur yang cendrung rapuh dan tidak elastis, sehingga memerlukan bahan pengikat
agar dendeng tersebut tidak rapuh namun elastis.
136 PROSIDING
Salah satu bahan pengikat yang sangat sering digunakan dalam restrukturisasi adalah alginat
(Raharjo, dkk., 2001). Selain itu, Savitry dkk. (2003) telah menggunakan alginat untuk
mebuat dendeng giling dari tetelan daging sapi. Secara umum jenis protein dalam daging sapi
dan daging ikan adalah sama, yang membedakan hanyalah kandungan jenis proteinnya
terutama protein miofibril. Oleh karena itu, bahan pengikat yang akan digunakan untuk
restrukturisasi dendeng giling ikan rucah adalah alginat.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi alginat yang tepat untuk menghasilkan
dendeng giling ikan rucah dengan teknik restrukturisasi.
METODE PENELITIAN
Bahan baku yang digunakan adalah ikan rucah segar jenis ikan kuniran (Upeneus sp) yang
dapat diperoleh dari tempat pelelangan ikan di Lempasing. Bahan Pengikat berupa alginat
yang dipesan dari Toko Bahan Kimia Setia Guna Bogor. Bahan-bahan tambahan seperti
garam, gula kelapa, ketumbar, bawang putih, jinten, lengkuas asam jawa dan minyak goreng
yang diperoleh dari beberapa pasar tradisional di Bandar Lampung. Bahan-bahan lain adalah
bahan untuk analisis kimia.
Alat yang digunakan adalah neraca analitik, pisau, baskom, panci, kompor, gilingan daging,
desikator, oven, talenan, wajan, anyaman bambu. Alat-alat untuk analisis meliputi
penetrometer kekerasan buah (Fruit Hardnesss Tester) Model KM Kiya Seisakusho, labu
Kjeldahl, alat destilasi, tabung ekstraksi Soxhlet, labu lemak, kertas saring, pipet dan cawan
petri.
A. Metode Penelitian
Penelitian disusun dalam RAKL dengan faktor tunggal 3 ulangan. Konsentrasi penambahan
alginat terdiri atas 6 taraf yaitu : 0 %, 2 %, 4 %, 6 %, 8 % dan 10 % (b/b). Tiap perlakuan
diulang 3 kali. Data dianalisis kesamaan ragamnya dengan sidik ragam pada taraf 0,1 % atau
0,5 %. Untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji signifikasi. Untuk mengetahui ada
atau tidaknya perbedaan antar perlakuan analisis lebih lanjut menggunakan uji BNJ pada taraf
5 % (Steele and Torie, 1995).
B. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu pembuatan bumbu dendeng giling ikan rucah dan
pembuatan dendeng giling ikan rucah. Penambahan alginat sebanyak 6 taraf (perlakuan) yaitu
konsentrasi 0 %, 2 %, 4 %, 6 %, 8 % dan 10 %, dilakukan pada saat pembuatan dendeng
giling ikan rucah. Kemudian dilanjutkan dengan pengamatan. Setiap kali ulangan melalui
kedua tahapan di atas. Dalam penelitian ini dilakukan 3 kali ulangan.
Penyiapan bumbu dilakukan dengan cara melarutkan gula kelapa 600 g ke dalam 400 ml air
kemudian direbus sampai diperoleh gula kental. Larutan gula yang diperoleh dimasukkan ke
dalam baskom. Kemudian sebanyak 40 g garam, 40 g ketumbar, 40 g bawang putih, 20 g
bawang merah, 20 g jinten, 10 g lengkuas, dan 50 g asam jawa yang dihaluskan.
Selanjutnya, ditambah 400 ml air dan direbus sekitar 2 menit. Kemudian dicampur dengan
larutan kental air dari gula kelapa (600 g gula kelapa dan 400 ml air). Formulasi bumbu yang
Pembuatan dendeng hancuran ikan diawali dengan ikan dihilangkan kepala, ekor dan isi perut
dicuci . Dilanjutkan dengan pencucian untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada
daging ikan agar bersih. Setelah itu daging ditiriskan. Setelah daging ditiriskan, daging
digiling dengan halus. Kemudian dilakukan proses curing yaitu daging ikan dicampur dengan
bumbu yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Curing dapat dilakukan secara basah dan
kering. Setelah dicampur dengan bumbu-bumbu yang telah disiapkan maka dilakukan
pencampuran dengan alginat mulai dari 0 %, 2 %, 4 %, 6 %, 8 % dan 10 % (b/b). Dendeng
giling hancuran ikan dicetak dengan ukuran 25 x 15 x 0,2 cm. Kemudian dengan oven pada
suhu 65oC selama 15 jam. Skema pembuatan dendeng giling hancuran ikan dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gula
Garam, ketumbar, bawang
putih, bawang merah, jinten,
400 ml air
lengkuas dan asam jawa
Perebusan
80o C,2 menit
Penghalusan bumbu
Larutan gula kental
400 ml air
Perebusan
80o C, 2 menit Pencampuran
BUMBU DENDENG
E. Pengamatan
Kadar air (Sudarmadji, dkk 1997), kekerasan dengan penetrometer ((Fruit Hardnesss Tester)
Model KM Kiya Seisakusho, Ltd), organoleptik (Soekarto, 1985), kadar protein
(Sudarmadji, dkk 1997),
138 PROSIDING
Ikan
Pencucian
Air cucian
Penirisan
Penggilingan
Pemberian Bumbu/kuring
dengan penambahan alginat
0. 2, 4, 6, 8, 10 % (b/b)
Pencetakan Dendeng
25 x 15 x 0,2 cm
Pengeringan
Suhu 65oC, 15 jam
A. Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan alginat berpengaruh sangat nyata
terhadap kadar air dendeng giling ikan rucah yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan BNJ
diketahui bahwa kadar air dendeng ikan rucah dengan konsentrasi alginat 10 % tidak berbeda
nyata dengan konsentrasi 8 %. Konsentrasi 8 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 6 %.
Konsentrasi 6 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 4 %. Konsentrasi 4 % tidak berbeda
nyata dengan konsentrasi 2 %. Sementara itu, konsentrasi 0 % berbeda dengan konsentrasi
lainnya.
Adanya perbedaan kadar air pada tiap-tiap perlakuan karena kemampuan alginat dalam
mengikat air. Marseno (1988) menyatakan bahwa struktur molekul alginat tersusun atas
polimanuronat dan asam guluronat yang gugus funsionalnya tergantung atas rasio asam
manuronat dan asam guluronat. Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai hidrofilik yang mampu
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan alginat berpengaruh sangat nyata
terhadap kekerasan dendeng giling ikan rucah yang dihasilkan.Jika nilai kekerasan yang
tinggi berarti dendeng yang dihasilkan alot, sebaliknya jika nilai kekerasan rendah berarti
dendeng yang dihasilkan plastis (tidak alot). Hasil uji lanjut dengan BNJ diketahui bahwa
kekerasan dendeng ikan rucah dengan konsentrasi alginat 10 % berbeda nyata dengan
konsentrasi 8 %. Konsentrasi 8 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 6 %. Konsentrasi 6
% tidak berbeda nyata dengan 4 %. Konsentrasi 2 % dan konsentrasi 0 % berbeda nyata
dengan perlakuan yang lainnya. Sementara itu, nilai tertinggi tingkat kekerasan adalah pada
konsentarsi 10% (2,57 kg), sedangkan nilai terendah tingkat kekerasan adalah pada
konsentrasi 0% (1,07 kg)
Adanya perbedaan tingkat kekerasan dendeng giling yang dihasilkan karena pada konsentrasi
tersebut alginat dapat mengikat daging ikan dan meningkatkan plastisitas dari dendeng giling
ikan rucah. Data yang dihasilkan menunjukkan bahwa tekstur bertambah keras dengan
penambahan konsentrasi alginat hingga konsentrasi 10 %. Menurut Savitry, dkk., (2003)
penambahan alginat akan meningkatkan kekerasan serta daya putus pada tekstur dendeng
giling. Protein daging apabila ditambahkan alginat akan membentuk suatu ikatan yang cukup
kuat.
Marseno (1988) menyatakan bahwa struktur molekul alginat tersusun atas asam manuronat
dan asam guluronat. Senyawa ini dikenal sebagai hidrofilik yang mampu mengikat air. Jika
penambahan alginat banyak, akibatnya dendeng giling kuat dalam mengikat air. Oleh karena
itu, pembentukan gel sempurna dengan banyaknya air yang terperangakap dalam struktur tiga
dimensi. Pembentukan gel alginat mengakibatkan terbentuknya ikatan kompleks antara
protein daging, air dan alginat, air terjebak di antara gel polisakarida dengan protein melalui
jembatan hidrogen. Setelah terjadi ikatan antara alginat, air dan protein, tekstur pada dendeng
yang mudah rapuh dapat diperbaiki.
C. Tekstur (Skoring)
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi alginat yang ditambahkan
berpengaruh sangat nyata terhadap tekstur (skoring) dendeng giling ikan rucah yang
dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan BNJ diketahui bahwa kekerasan dendeng ikan rucah setiap
konsentrasi berbeda nyata dengan konsentrasi lainnya. Skor kekerasan tertinggi adalah pada
konsentrasi 10 % yaitu 4,59 (sangat keras) dan skor terrendah adalah pada konsentrasi 0 %
yaitu 1,74 (rapuh). Data yang dihasilkan menunjukkan bahwa tekstur bertambah keras dengan
penambahan konsentrasi alginat hingga konsentrasi 10 %. Hal ini sejalan dengan analisis
kekerasan menggunakan penetrometer. Menurut Savitry, dkk., (2001) penambahan alginat
akan meningkatkan kekerasan serta daya putus pada tekstur dendeng giling. Protein daging
apabila ditambahkan alginat akan membentuk suatu ikatan yang cukup kuat.
140 PROSIDING
D. Warna
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan alginat tidak berpengaruh nyata
terhadap kesukaan panelis pada warna dendeng giling ikan rucah yang dihasilkan. Tidak
adanya perbedaan yang nyata menunjukkan bahwa alginat tidak mempengaruhi perubahan
warna pada dendeng giling ikan rucah. Alginat yang ditambahkan berupa bubuk alginat.
Selanjutnya, dalam proses alginat akan membentuk gel yang tidak berwarna. Warna yang
terbentuk pada dendeng giling lebih dipengaruhi oleh faktor lain. Warna dendeng giling
dipengaruhi oleh browning enzimatis antara asam amino daging dengan gugus karbonil.
Selain itu, kandungan gula merah dengan konsentrasi yang cukup banyak pada bumbu juga
sangat mempengaruhi terjadinya pembentukan warna pada produk dendeng giling ikan rucah.
E. Aroma
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan alginat tidak berpengaruh nyata
terhadap kesukaan panelis pada aroma dendeng giling ikan rucah yang dihasilkan. Aroma
pada dendeng giling ikan rucah tidak dipengaruhi oleh konsentrasi alginat yang ditambahkan.
Alginat tidak memberikan pengaruh pada perubahan aroma pada dendeng giling ikan rucah.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Savitry, dkk. (2003) bahwa alginat tidak berpengaruh pada
aroma produk dendeng giling. Aroma pada dendeng yang terbentuk biasanya dipengaruhi
oleh faktor lain seperti suhu dan lama pengeringan. Menurut Sitorus (1997) aroma dendeng
mentah sangat dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan serta interaksi antara keduanya.
F. Rasa
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi alginat yang ditambahkan
pada dendeng giling ikan rucah berbeda sangat nyata terhadap rasa dendeng giling ikan rucah
yang dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan BNJ diketahui bahwa rasa dendeng ikan rucah
dengan konsentrasi alginat 4 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi alginat 0 %,
konsentrasi 2 % dan konsentrasi 6 %. Konsentrasi alginat 0 % tidak berbeda nyata dengan
konsentrasi 2 %, konsentrasi 6 %, dan konsentrasi 8 %. Konsentrasi alginat 10 % berbeda
nyata dengan konsentrasi yang lainnya.
Hasil uji organoleptik di atas terlihat bahwa rasa dendeng dipengaruhi oleh besarnya
konsentrasi alginat yang ditambahkan pada konsentrasi 8 % dan 10 %. Hal ini karena rasa
yang telah dibentuk oleh bumbu sedikit tertutupi oleh banyaknya konsentrasi alginat yang
ditambahkan pada konsentrasi 8 % dan10 %.
G. Tekstur (hedonik)
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi alginat yang ditambahkan
berpengaruh sangat nyata terhadap tekstur dendeng giling ikan rucah yang dihasilkan. Hasil
uji lanjut dengan BNJ diketahui bahwa kekerasan dendeng ikan rucah dengan konsentrasi
alginat 4 % berbeda nyata dengan konsentrasi lainnya. Konsentrasi 6 % tidak berbeda nyata
dengan konsentrasi 2 %. Konsentrasi 8 % berbeda nyata dengan konsentrasi lainnya.
Konsentrasi 0 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 10 %.Sementara itu, skor tertinggi
pada tekstur secara hedonik adalah pada konsentrasi 4% (3,87 = suka)
Pada uji organoleptik dengan parameter tekstur terlihat bahwa konsentrasi alginat yang
ditambahkan pada produk dendeng giling ikan rucah sangat berpengaruh pada penerimaan
H. Penerimaan Keseluruhan
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi alginat yang ditambahkan
berpengaruh sangat nyata terhadap penerimaan keseluruhan dendeng giling ikan rucah yang
dihasilkan. Hasil uji lanjut dengan BNJ diketahui bahwa penerimaan keseluruhan dendeng
ikan rucah konsentrasi alginat 4 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 6 % dan
konsentrasi 2 %. Konsentrasi alginat 6 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi alginat 2 %
dan konsentrasi 8 %. Konsentrasi 8 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0 %.
Konsentrasi alginat 0 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 10 %
Hal ini tidak jauh berbeda dengan kesukaan konsumen akan tekstur. Penilaian konsumen
pada parameter tekstur mempengaruhi penerimaan secara keseluruhan. Hal ini disebabkan
parameter lain seperti warna, aroma dan rasa tidak dipengaruhi oleh penambahan konsentrasi
alginat. Kekerasan pada konsentrasi alginat 2 %, 4 % dan 6 % masih disukai oleh panelis dan
tidak berbeda nyata. Dari data terlihat bahwa konsentrasi alginat 4 % berbeda nyata dengan
konsentrasi 0 %. Hal ini dapat disebabkan tidak adanya penambahan sodium alginat
menyebabkan tekstur yang rapuh, sehingga kurang disukai oleh panelis dan mempengaruhi
penerimaan secara keseluruhan. Konsentrasi alginat 4 % berbeda sangat nyata dengan
konsentrasi alginat 8 % dan 10 %. Hal ini dapat disebabkan karena penambahan alginat pada
konsentrasi 8 % dan 10 % menyebabkan tekstur keras sehingga kurang disukai oleh panelis
dan mempengaruhi penerimaan secara keseluruhan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan konsentrasi alginat yang tepat sehingga
didapatkan dendeng yang sesuai dengan kriteria secara fisik dan kimia serta memenuhi
penerimaan konsumen berdasarkan organoleptiknya. Pada tabel 1 dapat diketahui dendeng
giling ikan rucah terbaik dengan konsentarsi alginat yang tepat berdasarkan parameter
pengamatan yang sudah dilakukan. Prioritas pemilihan produk terbaik adalah pada tekstur
(skoring). Berdasarkan kriteria tekstur, untuk produk terbaik adalah yang tidak rapuh dan
tidak keras. Sementara itu, berdasarkan uji lanjut didapatkan bahwa yang memenuhi syarat
adalah pada produk dengan penambahan alginat sebesar 4 % . Selanjutnya, berdasarkan uji
kesukaan tekstur pada konsentrasi 4% penambahan alginat juga mempunyai skore yang
tertinggi yaitu 3,87 (suka). Sementara itu, pada parameter penerimaan keseluruhan produk
dengan penambahan alginat sebesar 2, 4 dan 6 % yang paling bisa diterima panelis. Parameter
warna pada semua produk tidak berbeda nyata jadi bisa terpilih semua. Begitu juga pada
parameter kadar air, semua produk memenuhi persyaratan dari IMF yaitu antara 15-50%.
142 PROSIDING
Tabel 1. Pemilihan perlakuan terbaik meliputi sifat fisik, kimia dan organoleptik
dendeng giling ikan rucah.
Tekstur
Kadar Penetromtr Tekstur hedonik Penerimaan
Perl Warna Aroma Rasa
Air (%) (kg) Skoring Keseluruhan
Berdasarkan keterangan di atas maka produk yang terbaik adalah dendeng giling ikan rucah
dengan penambahan alginat sebesar 4 %. Selanjutnya, hasil analisis kadar protein dari
dendeng giling ikan rucah terbaiknya adalah sebesar 26,41 %, sedangkan berdasarkan SNI 01-
2908-1992 kadar protein mencapai 25 %. Hal ini berarti kadar protein dendeng giling ikan
rucah dengan penambahan sodium alginat sebesar 4 % memenuhi syarat mutu SNI.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa konsentrasi
alginat yang tepat untuk restrukturisasi dendeng giling ikan rucah adalah konsentrasi 4 %
(b/b). Dendeng giling ikan rucah dengan penambahan 4 % alginat mempunyai kadar air 19,03
%, kadar protein 26,41 %, kekerasan 2,33 kg, tekstur yang tidak rapuh dan tidak keras
dengan skor 3,08, warna agak disukai dengan skor 3,34, aroma disukai dengan skor 3,59, rasa
agak disukai dengan skor 3,42, tekstur yang disukai dengan skor 3,87 dan penerimaan
keseluruhan yang disukai dengan skor 3,52.
DAFTAR PUSTAKA
UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. 2005. Data Produksi Ikan di
Pelabuhan Perikanan Lempasing.
Marseno, D.W. 1998. Non Starch Polysaccharudes. Program Studi Ilmu dan Teknologi
Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Murtidjo, A.B. 1997. Budi Daya Kakap Dalam Tambak dan Karamba. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Modal Usaha Kecil (SI-LMUK) Bank Indonesia.
2004. http // Bank Indonesia.Org.Id/Aspek Teknis - Ikan Kerapung Karamba.htm.
Sitorus, R.T.Y. 1997. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Sifat Kimia dan
Organoleptik Dendeng Ikan Pari (Trygon Sephen). Skripsi Sarjana. Unila. Lampung.
Soekarto, 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Barata
Karya Aksara. Jakarta.
Steel, R.G.D. 1995. Torie, James H. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Sudarmadji, S. Haryono, B. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta. 138 hal.
Yohari, K. 1989. Mempelajari bentuk Potongan Ikan, Suhu dan Lama Pengeringan serta
Penambahan Kalium Sorbat Terhadap Mutu dan Keawetan Dendeng Ikan Nila (Tilapia
nilotica L.) Selama Penyimpanan. Skripsi. IPB. Bogor.
144 PROSIDING
Lampiran
Gambar 3. Gambar penampungan ikan rucah di tempat pelelangan ikan (TPI) Lempasing
FAUZAN MURDAPA
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Lampung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil surveyor topografi di Bandar Lampung
dilihat dari lisensi yang dimiliki, sebaran tempat kerja, masa kerja dan pendidikan. Dari hasil
enelitian terhadap 168 surveyor, diketahui bahwa surveyor yang berlisensi hanya berjumlah 4
% sedangkan yang tidak berlisensi berjumlah 96 %. Dilihat dari segi pendidikannya, sebanyak
44.6 % surveyor berpendidikan Diploma III dan sebanyak 5.3 % berpendidikan Sarjana,
sedangkan sisanya berpendidikan STM/SMA dan Diploma I. Dilihat dari masa kerjanya,
surveyor dengan masa kerja > 3 tahun berjumlah 52.4 %, sedangkan yang kurang dari 1 tahun
hanya 8.9 %. Dilihat dari sebaran tempat kerja, sebagian besar (36.90 %) bekerja pada sector
jasa konstruksi, sedangkan sisanya bekerja pada sector non-jasa konstruksi.
PENDAHULUAN
Sesuai dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi, disyaratkan
bahwa semua tenaga profesional orang perseorangan dalam bidang usaha jasa konstruksi baik
sebagai perencana, pelaksana maupun pengawas, harus memiliki sertipikat keahlian dan
ketrampilan kerja. Tanggung jawab perencana konstruksi, pengawas konstruksi dan pelaksana
konstruksi orang perseorangan dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan keilmuan,
kepatutan dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan tetap
mengutamakan kepentingan umum.
Dalam rangka memperoleh sertipikat keahlian dan ketrampilan kerja ini, maka harus
mengikuti sertifikasi keahlian kerja yang dilaksanakan oleh suatu lembaga tertentu.
Sertifikasi dibidang jasa konstruksi adalah proses penilaian kompetensi dan kemampuan
profesi keterampilan kerja seseorang dibidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan
atau keterampilan tertentu atau keahlian tertentu. Sertipikat ini akan diberikan kepada tenaga
terampil yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin keilmuan atau ketrampilan
tertentu. Sedangkan keahlian kerja diberikan kepada tenaga kerja ahli yang telah memenuhi
syarat berdasarkan disiplin keilmuan dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu. Sesuai
dengan UU No.18 Tahun 1999, maka semua tenaga ahli dan terampil tersebut harus
bersertipikat (berlesensi). Namun pada kenyataannya, khusus ahli pemetaan tidak pernah
dipersyaratkan harus berlisensi surveyor, hal ini sangat ironis.
Sementara itu, sesuai dengan kesepakatan GATT, AFTA dan APEC bahwa era perdagangan
bebas telah ditetapkan bahwa :
146 PROSIDING
Indonesia termasuk tenaga kerja pada usaha jasa dan konstruksi. Dengan demikian akan
terjadi persaingan yang sangat ketat antara tenaga kerja asing dan tenaga kerja Indonesia.
Oleh karena itu, agar supaya tenaga kerja Indonesia tidak tersisih dalam persaingan tersebut
maka harus mempunyai kemampuan dan ketrampilan yang tinggi, sebab apabila tidak maka
akan tergusur di negeri sendiri dan tidak mendapat tempat di negeri orang. Jelas di sini bahwa
dengan adanya kesepakatan tersebut maka akan memberi peluang kerja dan sekaligus
tantangan.
Menyadari hal yang demikian, pada tahun 1999 Dewan Geomatika Indonesia (DGI) telah
berhasil menyusun suatu standar kompetensi di bidang Survey dan Pemetaan. Dewan
Geomatika adalah wadah para ahli di bidang survey dan pemetaan yang konsern terhadap
kualitas surveyor topografi Indonesia. Keanggotaannya terdiri dari para professional di bidang
pemetaan, akademisi (misalnya: UGM, ITB, UI, ITN Malang, STPN, ITN Bandung dsb), dan
birokrat (misalnya: Bakosurtanal, BPPT, Dir.Topografi TNI-AD dsb) yang bersifat mandiri,
ilmiah dan professional.
TINJAUAN PUSTAKA
Mengacu pada salah satu tujuannya agar para surveyor Indonesia mempunyai kompetensi
yang tinggi, maka Dewan Geomatika Indonesia berupaya untuk mengembangkan Standar
Kompetensi di Bidang Keahlian Geomatika yang meliputi Surveyor Topografi, Sistim
Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh. Sebagai referensi utama dalam menyusun
standar kompetensi surveyor nasional ini, Dewan Geomatika Indonesia (DGI) mengadopsi
dan menggunakan standar yang ditetapkan oleh Internasional Standards Organisation (ISO)
dan standar dari Institusion of Surveyor Australia (ISA).
Pengertian dari standar kompetensi adalah sebagai suatu kemampuan yang dilandasi oleh
pengetahuan, ketrampilan dan didukung sikap kerja serta penerapannya dalam melaksanakan
suatu tugas/pekerjaan di indutri / di tempat kerja yang mengacu pada unjuk kerja yang
dipersyaratkan. Dengan demikian maka standar kompetensi meliputi kemampuan seseorang :
Seseorang yang telah mempunyai suatu keahlian (kompetensi tertentu) akan diberikan
sertipikat, sebagai bentuk pengakuan terhadap kompetensi seorang surveyor.
Berdasarkan tingkat kesulitan (kompleksitas) jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh
surveyor, jenjang kompetensi disusun dan dikelompokkan dalam tingkat kesukaran serta
persyaratan yang harus dipenuhi. Khususnya di Indonesia, profesi surveyor topografi di bagi
dalam lima (5) jenjang yaitu :
1. Jenjang I Operator
Pada jenjang I Operator ini yang bersangkutan minimal telah tamat Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) pada keahlian survey dan pemetaan, serta mampu melaksanakan sebagian
kecil pekerjaan bidang survey di bawah bimbingan/pengawasan seorang teknisi.
Seorang operator adalah tenaga pembantu pelaksana yang paling depan dalam melaksanakan
pengumpulan data dan informasi yang diperlukan. Oleh sebab itu seorang operator harus teliti
dan tekun dalam pekerjaannya. Pengawasan oleh seorang teknisi dan surveyor harus
dilakukan secara ketat.
Untuk dapat melaksanakan pengumpulan data dan informasi dengan baik, seorang operator
harus dibekali dengan pengetahuan tentang berbagai jenis data dan informasi yang perlu
dikumpulkan dilapangan serta ketrampilan untuk memperolehnya, selama dia mengikuti
pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja.
Seorang operator ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan tugas secara keseluruhan, oleh
sebab itu hak-haknya perlu diperhatikan termasuk kesempatan untuk dapat mengikuti
program pelatihan dan pengembangan yang terstruktur untuk peningkatan kemampuannya.
2. Jenjang II Teknisi
Pada jenjang teknisi ini yang bersangkutan minimal memiliki latar belakang diploma III
Geomatika (Diploma III Survey dan Pemetaan /Diploma III Geodesi), mampu melaksanakan
pekerjaan dibidang surveyor dibawah pengawasan / bimbingan surveyor professional.
Pada tingkat ini seorang surveyor sebagai teknisi yang bekerja pada sector pemerintahan,
swasta atau pihak lain, mengerjakan hal-hal yang sudah ditetapkan dan bekerja dibawah
pengawasan seorang surveyor dan mampu melaksanakan kegiatannya dalam satu area
sebagaimana telah ditetapkan dalam persyaratan seorang teknisi.
Seorang teknisi telah dibekali pengetahuan tentang berbagai bentuk medan dan ketrampilan
teknis selama yang bersangkutan melaksanakan pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja
serta mampu menunjukkan peningkatan kemampuannya di lapangan. Seorang teknisi juga
ikut bertanggung jawab secara operasional dalam melaksanakan kegiatan bersama surveyor
berpengalaman dan harus mengikuti program pelatihan dan pengembangan yang terstruktur
untuk peningkatan kemampuannya.
148 PROSIDING
3. Jenjang III Surveyor Profesional
Pada jenjang ini yang bersangkutan harus memiliki/telah menyelesaikan pendidikan formal
atau ekuivalen S1 bidang geomatika (geodesi) dan mampu melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
dibidang surveyor geomatika dibawah bimbingan/pengesahan dari Surveyor Profesional
Berpengalaman.
Surveyor pada level ini harus ikut bertanggung jawab secara professional bersama dengan
surveyor yang telah berpengalaman dan harus melaksanakana program pelatihan dan
pengembangan yang terstruktur untuk peningkatan kemampauannya.
Surveyor pada level ini mampu berperan serta dalam menyampaikan informasi dan data di
bawah arahan surveyor yang telah berpengalaman. Yang bersangkutan juga harus betanggung
jawab atas akurasi hasil pekerjaan yang dilakukan kepada atasan atau seniornya.
Pada jenjang ini yang bersangkutan telah memiliki persyaratan sebagaimana pada jenjang
III, dan harus memiliki pengetahuan bekerja dibidang geomatika paling sedikit 3 (tiga) tahun
serta mampu melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di bidang surveyor geomatika dibawah
bimbingan/pengesahan dari Surveyor Profesional Senior.Disamping persyaratan tersebut di
atas, yang bersangkutan juga memiliki “Post Geomatika Award”
Pada jenjang ini, disamping yang bersangkutan telah memiliki persyaratan dan kemampuan
sebagaimana pada jenjang IV, juga memiliki pengalaman dalam pengembangan keprofesian
geomatika.
a. Melakukan survey langsung ke lapangan, baik dengan teknik wawancara maupun dengan
menyebarkan formulir isian. Isi pertanyaan-pertanyaan baik dengan teknik wawancara
maupun dengan menggunakan formulir ini antara lain tentang pendidikan surveyor, masa
kerja, tempat kerja, menjawab secara tertulis soal-soal tentang ilmu pemetaan dan
pengetahuan tentang lisensi surveyor dan sebagainya.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 168 responden, didapatkan data bahwa sebagian besar
surveyor berpendidikan SMK/STM sedangkan sebagian kecil berpendidikan sarjana. Adapun
data lebih rinci tentang pendidikan para surveyor diperlihatkan pada table 1 di bawah ini.
Terlihat pada table 1 di atas bahwa dari jumlah responden surveyor di Bandar Lampung
sebagian besar (44.6 % atau 75 orang) berpendidikan Diploma III Survey dan Pemetaan,
sedangkan sebagian kecil berpendidikan Sarjana (5.3 % atau 9 orang). Hasil ini tidak
mengherankan mengingat bahwa Program Studi Diploma III Survey dan Pemetaan,
Universitas Lampung telah meluluskan lebih kurang 200 alumni sejak dibukanya program ini
tahun 1998. Hasil yang mengejutkan adalah terdapatnya jumlah surveyor yang berpendidikan
SMA atau sederajat dengan jumlah cukup besar yaitu 11.9 % atau 20 orang. Hal ini tentu
mengherankan karena pendidikan di SMA tidak diajarkan tentang pemetaan.
Mengingat bahwa para surveyor dengan pendidikan SMA ini tidak mempunyai dasar-dasar
pemetaan sama sekali, maka menyebabkan tanggung jawab terhadap profesi sangat rendah
dan inilah yang sering menyebabkan profesi surveyor kurang dihargai oleh masyarakat jasa
konstruksi. Ini dibuktikan dengan ketika diberi pertanyaan yang sangat sederhana “apakah
ketika anda mengukur dengan pesawat theodolit ketiga benang dibaca semua”. Hampir semua
menjawab dengan “tidak” dan yang dibaca hanya benang atas dan bawah. Ketika ditanya
kenapa hanya dua benang yang dibaca hampir semua menjawab kebiasaan (mengikuti
surveyor tedahulu) sebagian tidak tahu maksudnya (hanya biar cepat selesai).
Ditinjau dari lisensi yang dimiliki oleh surveyor, hampir semuanya tidak mempunyai lisensi
dan hanya beberapa surveyor yang mempunyai lisensi dari Ikatan Surveyor Kadastral
Indonesia (ISKI) yang tentu saja hanya berlaku untuk pekerjaan bidang kadastral (Badan
Pertanahan Nasional / BPN). Hal ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat bahwa lisensi
surveyor sangat diperlukan dalam mencari pekerjaan pada era pasar bebas ini. Untuk lebih
rinci tentang surveyor berlisensi diperlihatkan pada table 2 di bawah ini.
150 PROSIDING
Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas dan daya saing surveyor perlu diambil langkah-
langkah penangannya, antara lain dengan segera memberlakukan lisensi pada surveyor
topografi. Sedangkan surveyor dengan basis pendidikan SMA harus mengambil program
Diploma I, karena salah satu syarat untuk pemberian lisensi surveyor topografi adalah
minimal berpendidikan STM. Dengan diwajibkannya lisensi bagi surveyor, maka akan
mendorong para surveyor untuk meningkatkan kemampuan, pendidikan dan tanggung jawab
profesinya.
Pada umumnya kemampuan para surveyor dalam melakukan pemetaan akan berbanding
lurus dengan masa kerjanya. Semakin lama masa kerja surveyor, kualitas peta yang dihasilkan
juga semakin baik. Dari hasil survey didapatkan bahwa rata-rata surveyor mempunyai masa
kerja yang cukup lama yaitu > 3 tahun berjumlah 52.4 %, sedangkan surveyor dengan
pengalaman kurang dari 1 tahun hanya 8.9 %. Adapun data masa kerja secara rinci
diperihatkan pada table 3 di bawah ini.
Terlihat pada table 3 bahwa ditinjau dari masa kerjanya, surveyor paling banyak mempunyai
masa kerja antara 1 thn s/d 3 thn dengan jumlah 38.7 % sedangkan yang paling sedikit
mempunyai masa kerja kurang dari 1 tahun dengan jumlah 8.9 %. Yang menarik semua
surveyor dengan pendidikan SMA mempunyai masa kerja di atas 5 tahun. Tetapi masa kerja
ini dimulai sejak belajar langsung di lapangan. Sedangkan surveyor dengan pendidikan D.III
tidak ada yang mempunyai masa kerja lebih dari 5 tahun.
Terkait dengan sebaran tempat kerja surveyor topografi pada saat ini didapatkan data bahwa
sebagian besar bekerja pada bidang konsultan teknik dengan jumlah 62 orang (36.90 %) yang
meliputi konsultan swasta sebesar 51 orang (30.36 %) dan konsultan BUMN 11 orang (6.54
%). Adapun data sebaran tempat bekerja secara lebih rinci diperlihatkan pada table 4 di bawah
ini.
Dari table 4 di atas terlihat bahwa sector jasa konstruksi masih merupakan tempat kerja yang
sangat dominan bagi seorang surveyor di Lampung yaitu 60.11 %, yang meliputi konsultan
maupun kontraktor. Sedangkan yang lain bekerja secara mandiri sebanyak 23.21 % dan
perusahaan lain (misalnya perkebunan sawit, pengembang, PLN, dsb). Terlihat jelas bahwa
tenaga kerja surveyor topografi merupakan tenaga kerja yang sangat penting dalam pekerjaan
jasa konstruksi yaitu sebagai penyedia peta teknis dan melakukan stake out suatu desain.
Dengan demikian peranan surveyor sangat menentukan akan kualitas suatu pekerjaan teknik
sipil (jasa konstruksi).
Namun pada kenyataannya, jasa para surveyor topografi pada pekerjaan usaha jasa kontruksi
ini masih dipandang sebelah mata dan hanyalah sebagai pelengkap saja, bahkan sering kurang
dihargai peranannya. Hal ini dibuktikan dengan tidak diwajibkannya sertifikasi surveyor
sebagai ahli pemetaan. Yang terjadi selama ini, seorang surveyor dinyatakan ahli dalam
perencanaan jalan dan yang mengeluarkan sertipikat adalah HPJI, padahal seharusnya ISI,
kerana ISI lah yang lebih berkompeten. Namun apabila ISI tidak ada disuatu daerah maka bisa
ditunjuk lembaga lain yang berkompeten, misalnya lembaga pendidikan.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa peran surveyor topografi pada usaha
jasa konstruksi masih tinggi yaitu hampir 37 %. Namun mengingat bahwa 94 % surveyor
topografi tidak belisensi, maka bisa dipastikan bahwa mereka akan tersisih dalam bersaing
memperebutkan peluang kerja pada pasar bebas ASEAN. Oleh karena itu sudah menjadi
kuwajiban kita bersama termasuk pemerintah (termasuk perguruan tinggi), Dewan Geomatika
dan swasta (Inkindo, HPJI, ISKI, asosiasi profesi seperti ISI dan sebagainya) untuk bahu
membahu membantu para surveyor untuk mendapatkan lisensi dengan segera sesuai dengan
tuntutan undang-undang, sebelum tergusur oleh tenaga asing.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Bobby dan T.Lukman Aziz, 2002, Peran Perguruan Tinggi Sebagai Pelaksana Proses
Kualifikasi Dalam Rangka Program Sertifikasi Surveyor Indonesia, Prosiding
Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia (FIT-ISI), Sekretariat FIT-ISI
2002 Yogyakarta,
Vilanueva, Klass J., 1998, Sertifikasi Keprofesian Geomatika, KBK, Geomatika MPKN, DGI,
Jakarta..
ABSTRAK
Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada bumi akibat adanya proses
pergeseran secara tiba-tiba (sudden slip) pada kerak bumi. Sudden slip terjadi karena adanya
sumber kekuatan (force) sebagai penyebabnya. Gempa bumi mempunyai sifat berulang,
dalam arti bahwa suatu gempa bumi di suatu daerah akan terjadi lagi di masa yang akan
datang dalam periode waktu tertentu (biasanya puluhan sampai ratusan tahun). Istilah
perulangan gempa bumi ini dinamakan earthquake cycle. Selanjutnya di dalam satu
Earthquake cycle terdapat beberapa fase atau tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi
yaitu fase interseismic, pre-seismic, co-seismic, dan postseismic.
Penggunaan metode Geodetik melalui pengamatan GPS untuk monitoring pergerakan sesar
sumatra di wilayah lampung dapat memperlihatkan pola dan karakteristik sesar dan
parameter-parameter sesar seperti lokasi sesar, geometri sesar dan tingkat akumulasi
deformasi pada sesar. Selanjutnya dengan karakteristik pergeseran sesar yang diitegrasikan
dengan informasi histori aktifitas sesar dan informasi tektonik seting dapat ditentukan
akumulasi strain, locking depth, dan prediksi energi gempa yang mungkin terjadi di daerah
sesar tersebut yang diharapkan dapat membantu upaya mitigasi.
PENDAHULUAN
Gempa bumi adalah getaran yang terjadi pada bumi akibat adanya proses pergeseran secara
tiba-tiba (sudden slip) pada kerak bumi. Pergeseran secara tiba-tiba terjadi karena adanya
sumber gaya (force) sebagai penyebabnya, baik bersumber dari alam maupun dari bantuan
manusia (artificial earthquakes). Sumber gaya (force) dapat berupa Proses tektonik akibat
pergerakan kulit / lempeng bumi, Aktivitas sesar dipermukaan bumi, Aktivitas gunungapi,
Pergerakan geomorfologi secara lokal seperti terjadinya runtuhan tanah, dan Ledakan Nuklir.
Kebanyakan gempa bumi berawal dari adanya akumulasi gaya pergerakan di dalam interior
bumi (gaya konveksi mantel) yang menekan kerak bumi (outer layer) yang bersifat rapuh,
sehingga ketika batas elastisitas dan plastisitasnya terlampaui maka kerak bumi itu akan
patah. Ketika terjadi patahan itulah pelepasan energi menghasilkan gempa bumi yang
besarnya merupakan daya tahan energi maksimum yang dapat ditahan oleh koefisien gaya
gesek antara dua lempeng batuan di suatu perbatasan retakan atau patahan. Wilayah yang
mengalami gempa adalah wilayah yang jaraknya terjangkau oleh rambatan energi dan akan
melemah seiring semakin jauhnya jarak, kerapatan masa batuan, berat jenis batuan, dan ada
tidaknya retakan pada batuan yang digetarkan.
154 PROSIDING
Indonesia merupakan salah satu bagian wilayah di dunia yang mempunyai tatanan geologi
yang tergolong unik dan rumit dengan frekuensi kejadian gempa bumi cukup tinggi.
Fenomena tersebut disebabkan posisi Indonesia terletak pada wilayah tumbukan (pertemuan)
3 (tiga) buah lempeng besar berukuran benua yang secara terus menerus bergerak. Ketiga
lempeng aktif tersebut adalah lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik.
Akibat tumbukan dari ketiga lempeng tersebut, Indonesia juga merupakan jalur Ring of Fire
(Cincin Api), yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif dari Sumatra – Jawa – Bali –
Nusatenggara – Banda – Maluku.
Setiap bencana alam selalu mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, korban jiwa dan
harta benda kerap melanda masyarakat yang berada di sekitar lokasi bencana. Di Indonesia
daerah rawan bencana gempa bumi sebagian besar berada pada daerah yg tingkat populasinya
sangat padat. Daerah-daerah ini sering merupakan pusat aktifitas serta sumber pendapatan
masyarakat serta negara, dan menjadi pusat pencurahan dana pembangunan. Namun ketika
bencana gempa bumi itu terjadi maka usaha-usaha pembangunan yg sudah dilakukan akan
hilang dan lenyap dalam waktu yang sangat singkat. Kejadian bencana alam tidak dapat
dicegah dan ditentukan kapan dan dimana lokasinya, akan tetapi pencegahan jatuhnya korban
akibat bencana ini dapat dilakukan bila terdapat cukup pengetahuan mengenai sifat-sifat
bencana tersebut.
Menurut para peneliti kebumian, 95% gempa bumi terjadi disebabkan oleh gempa tektonik
yang terjadi di perbatasan lempeng dan sekitar sesar (Mori, 2004). Gempa tektonik adalah
gempa bumi yang berpotensi menghasilkan gempa besar.
Secara geologi di wilayah indonesia akan banyak dijumpai sesar (fault) yang merupakan
daerah yang rawan terhadap terjadinya gempa bumi. Beberapa sesar aktif yang terkenal di
Indonesia adalah sesar Sumatra (Great Sumatran Fault), sesar Cimandiri di Jawa barat, sesar
Palu-Koro di Sulawesi, sesar naik Flores, sesar naik Wetar, dan sesar geser Sorong.
Sesar atau patahan adalah batas lempeng dalam skala yang lebih kecil yang merupakan suatu
batas yang menghubungkan 2 Blok tektonik yang berdekatan [Puspito, 2000]. Bidang sesar
(fault plane) adalah sebuah bidang yang merupakan bidang kontak antara 2 blok tektonik.
Lokasi penelitian adalah propinsi Lampung yang dilalui oleh sesar Sumatra. Fakta
memperlihatkan sudah banyak catatan bencana alam gempa bumi di sekitar daerah sesar
Sumatera seperti gempa Liwa tahun 1932,1994, gempa kerinci 1909, 1995 yang
meninggalkan kerugian jiwa dan materi yang cukup besar. Dengan adanya kenyataan ini
maka langkah pemantauan potensi dan usaha mitigasi bencana jelas penting sekali untuk
dilakukan, sehingga diharapkan efek negatif yang dapat ditinggalkan oleh bencana tersebut
dapat direduksi jika bencana itu datang.
Sesar Sumatra adalah sesar yang dibentuk oleh pelimpahan stress tabrakan lempeng Indo-
Australia dengan Eurasia dengan sudut tabrakan miring terhadap garis batas. Kemiringan ini
menyebabkan timbulnya sesar Sumatra dimana konsentrasi akumulasi stress atau pusat-pusat
gempa ada di daerah ini. Sesar sumatra membujur dari Aceh sampai Lampung sepanjang
bukit barisan. Bahkan menurut Yusuf Surahman (Peneliti BPPT) sesar sumatra tidak hanya
berhenti di selat sunda, tetapi menerus sepanjang 300 km di selatan Jawa. Sesar Sumatera
sangat tersegmentasi dengan panjang masing-masing segmen 60 ~ 200 kilometer. Segmen-
segmen sesar sepanjang 1650 kilometer tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan
miring antara lempeng Eurasia dan India–Australia dengan arah tumbukan 10°N ~ 7°S.
Para peneliti kebumian mencoba meramalkan gempa lewat dua cara, yaitu mempelajari
sejarah gempa besar di daerah tertentu (siklus gempa) dan laju penumpukan energi (tahapan
gempa) di suatu lokasi. Siklus gempa bumi (earthquake cycle) didefinisikan sebagai
perulangan gempa. Satu siklus dari gempa bumi ini biasanya berlangsung dalam kurun waktu
puluhan sampai ratusan tahun. Bentuk analisis siklus gempa bumi dilakukan dengan cara
meneliti dokumen sejarah kejadian gempa bumi, dan penelitian-penelitian geologi, geofisika
seperti stratigrafi batuan, terumbu karang (coral microattols), paleo-tsunami, paleo-likuifaksi,
dan lain-lain. Sementara itu bentuk analisis tahapan gempa bumi dilakukan dengan cara
melihat dan meneliti fenomena-fenomena yang menyertai tahapan gempa bumi seperti
deformasi, seismisitas, informasi pengukuran geofisika (reseistivitas elektik, pengamatan
muka dan temperatur air tanah), dan lain-lain. [Mori (2004), Natawidjaja (2004)].
Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa mekanisme tahapan terjadinya gempa bumi,
diantaranya yaitu tahapan interseismic, pre-seismic, co-seismic, dan post-seismic [Mori
(2004), Natawidjaja (2004)]. Fase interseismic merupakan fase awal dari satu earthquake
cycle, dimana pada fase ini energi dari dalam bumi menggerakan kerak bumi dan energi mulai
terakumulasi di bagian-bagian tempat biasanya terjadinya gempa bumi (batas antar lempeng
dan patahan). Sesaat sebelum terjadinya gempa bumi dinamakan fase pre-seismic, dan ketika
terjadinya gempa utama dinamakan fase co-seismic. Sementara itu fase postseismic
didefinisikan sebagai fase ketika sisa-sisa energi gempa terlepaskan secara aseismic dan
kondisi kembali pada tahap kesetimbangan awal (permulaan earthquake cycle yang baru).
Sampai saat ini, meskipun pakar-pakar gempa telah berhasil mengukur kekuatan gempa,
lokasi episentrum, hingga pergerakan lempengnya serta perkiraan laju penumpukan
energinya, peramalan gempa secara tepat masih sulit dilakukan karena fenomena gempa
adalah unik untuk lokasi tertentu. Banyak cerita sukses tentang prediksi gempa yang telah
dilakukan oleh para pakar gempa, tetapi banyak juga yang gagal. Prediksi gempa secara tepat
akan dapat dilakukan jika lokasi yang diteliti telah dipahami secara baik karakteristiknya.
Oleh karena itu upaya pemantauan potensi dan mitigasi gempa bumi yang dilakukan baik
secara global ataupun secara parsial sangat penting untuk dilakukan.
GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang berbasiskan pada pengamatan
satelit-satelit Global Positioning System. Sistem ini dimiliki dan dikelola oleh Amerika
Serikat dan didesain untuk memberikan informasi posisi dan kecepatan tiga dimensi serta
informasi mengenai waktu, secara kontinyu tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak
orang secara simultan. Prinsip penentuan posisi dengan GPS adalah pengukuran jarak secara
simultan ke beberapa satelit yang telah diketahui koordinatnya, dengan melakukan
pengamatan yang cukup maka koordinat pengamat dapat ditentukan.
GPS memiliki spektrum ketelitian yang bervariasi, dari yang biasa biasa saja (orde meter)
sampai yang sangat teliti (orde milimeter) dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial
maupun temporal. Ketelitian posisi yang diperoleh dari pengamatan GPS bergantung pada
156 PROSIDING
jenis dan ketelitian data (tingkat kesalahan dan bias pada data GPS saat pengamatan),
geometri satelit, metode penentuan posisi yang digunakan dan strategi pengolahan data yang
diterapkan.
Untuk kasus studi geodetik aktifitas sesar, tentunya dibutuhkan peralatan, metode penentuan
posisi, dan strategi pengolahan data yang memadai karena diharapkan dapat memberikan nilai
vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai beberapa mm. Dengan kemampuan dan
konsistensi yang dimiliki GPS maka diharapkan besarnya pergerakan sesar yang kecil dan
lamban akan dapat terdeteksi dengan baik.
Prinsip penentuan aktivitas sesar dengan metode survei GPS adalah dengan cara
menempatkan beberapa titik di beberapa lokasi yang dipilih, secara periodik ditentukan
koordinatnya secara teliti dengan menggunakan metode survei GPS.
METODOLOGI PENELITIAN
Aktifitas studi ini dimulai dengan mendesain konfigurasi jaringan titik-titik pantau yang akan
digunakan untuk pengamatan pergerakan sesar pada fase Iterseismic akibat dari aktifitas
tektonik. Hal ini pada dasarnya ditujukan untuk mendesain konfigurasi jaring pemantuan dan
perencanaan pengamatan yang optimal. Hal tersebut dilakukan dalam rangka penentuan
parameter-parameter deformasi (pergeseran dan tensor regangan) dengan tingkat keakuratan,
sensitivitas, kepresisian dan keterhandalan yang tinggi serta biaya pelaksanaan yang rendah.
Tahap selanjutnya, setelah desain konfigurasi jaringan titik-titik pantau dibuat dan dipasang
adalah tahap pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan metode statik selama kurang lebih
10 jam pada masing-masing titik pantau. Data yang diperoleh dari pengamatan survei GPS
selanjutnya diolah dan dianalisis menggunakan perangkat lunak ilmiah Bernesse 4.2 untuk
mendapatkan posisi dengan ketelitian pada level mm.
Titik-titik pantau tersebut nantinya secara periodik ( satu tahun sekali ) dilakukan pengamatan
kembali untuk mengetahui karakteristik pergeseran yang terjadi. Dengan mempelajari pola
dan kecepatan perubahan koordinat dari titik-titik pantau tersebut dari survei yang satu ke
survei berikutnya, kemudian bersama data-data penunjang lainnya di modelkan secara
matematis (menggunakan teori deformasi elastic).
Penelitian yang dilakukan saat ini adalah tahapan pertama dimana aktifitas yang dilakukan
adalah mendesain dan memasang jaringan titik titik pantau serta melakukan pengamatan GPS
untuk yang pertama kalinya. Titik-titik pantau tersebut nantinya secara periodik (satu tahun
sekali) dilakukan pengamatan kembali untuk memperoleh karakteristik pergeseran sesar.
Hasil desain titik-titik pantau seperti pada gambar jaringan titik-titik pantau berikut ini.
Terdapat 11 titik pantau yang didesain sedemikian rupa untuk optimalisasi dari segi
pemantauan deformasi dan kemudahan akses. Dari desain yang dihasilkan diharapkan
pergerakan yang diakibatkan oleh lempeng dan sesar Sumatra dapat terpantau dengan baik.
Pemasangan titik pantau di Liwa untuk memprediksi kemungkinan perulangan gempa yang
terjadi di Liwa.
158 PROSIDING
Gambar 2. Jaringan titik-titik pantau
Jaringan titik titik pantau dibuat memotong sesar sumatra berarah barat-timur. Terdapat lokasi
titik pantau dekat sesar dan jauh dari sesar. Hal ini dimaksudkan untuk memantau pergerakan
near dan far-field velocity-nya.
Hasil pengamatan GPS diolah menggunakan perangkat lunak ilmiah Bernesse 4.2 yang
mampu memodelkan pengaruh efek-efek ionosfer dengan baik sehingga diharapkan dapat
memberikan tingkat ketelitian posisi pada level mm. Selanjutnya dilakukan pengolahan hasil
survey dengan mengikut sertakan data-data stasiun IGS yang tersebar di sekitar wilayah Asia
dalam rangka memperoleh medan kecepatan dalam kerangka referensi global.
Karakteristik pergeseran sesar yang diperoleh dari survei GPS di sesar Lampung ini
selanjutnya akan diintegrasikan dengan informasi histori aktivitas sesar, informasi tektonik
Bencana alam gempa bumi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam dinamika bumi ini.
Perlu penanaman kesadaran pada masyarakat dan aparatur pemerintah bahwa kita hidup di
daerah yang rawan terhadap gempa bumi yang dapat datang kapan saja. Dengan demikian kita
harus pandai menyiasati bencana dalam upaya mereduksi efek-efek negatif yang mungkin
ditimbulkan seperti jatuhnya korban dan kerugian setiap kali bencana datang, sehingga negara
kita bisa terus maju meskipun berada pada wilayah yang rawan bencana alam.
Sebagai penutup makalah ini, kami dari tim peneliti Universitas Lampung memberikan
beberapa rekomendasi dalam upaya menyiasati bencana alam yang mungkin terjadi.
1) Segala bentuk penelitian potensi dan mitigasi bencana alam baik dari bidang geodesi,
geofisika, geologi dan lainnya untuk mempelajari karakteristik kegempaan suatu daerah
dalam upaya mendapatkan metode dalam menyiasati fenomena gempa perlu mendapatkan
perhatian yang serius.
2) perlunya sistem penyuluhan yang efektif bagi masyarakat. Penyuluhan ini di antaranya
berisikan tentang apa dan bagaimana gempa bumi terjadi, dan cara-cara untuk menghindar
dari bencana.
3) Untuk mendukung rekomendasi pertama dan kedua, perlu dibentuk suatu lembaga atau
setidaknya kelompok kerja yang mempunyai kewenangan dan kemampuan yang besar.
Lembaga atau kelompok kerja semacam ini bekerja all out dalam bidang penelitian dan
penyebaran informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Hz. Dkk. “Studi Geodetik Sesar Lembang”, Kelompok Keahlian Geodesi Departemen
Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung, 2004.
Abidin, Hz. Dkk . “Studi Geodinamika Daerah Sulawesi dengan GPS”, Kelompok Keahlian
Geodesi Departemen Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung, 2004.
Andreas H., D.A. Sarsito, M.Irwan, H.Z.Abidin, D. Darmawan, M. Gamal. “Implikasi Co-
Seismic dan Post-Seismic Horizontal Displacement Gempa Aceh 2004 Terhadap
Status Geometrik Data Spasial Wilayah Aceh dan Sekitarnya”, Kelompok Keahlian
Geodesi Departemen Teknik Geodesi Institut Teknologi Bandung, 2004.
160 PROSIDING
Blewitt G. 1993. Advances in Global Positioning System technology for geodynamics
investigations: 1978–1992. In Contrib. Space Geodesy Geodyn.: Technol. Geodyn.,
Geodyn. Ser., ed. DE Smith, DL Turcotte, 25: 195–213. Washington, DC: Am. Geophys.
Union. 213 pp.
Herring T. “Dislocation in Elastic Halfspace Model of the Earthquake Cycle”, Lecture notes,
MIT OpenCourseware, Spring 2006
Okada, Y., Internal deformation due to shear and tensile faults in a halfspace,
Bull. Seismol. Soc. Am., 82, 1018–1040, 1992.
Vigny et.al (2005). Report on Banda Aceh Mega-Thrust Earthquake, December 26, 2004.
SEAMERGES PROJECT 2005
ABSTRAK
Pada repong damar, hutan akan dikendalikan manusia untuk tetap didominasi oleh pohon
damar. Saat kondisi repong damar produktif terealisasi masyarakat akan terus
mempertahankannya sampai pohon tersebut tua, mati atau tidak menghasilkan getah damar.
Bila pohon tersebut tumbang, biasanya akan diganti dengan bibit yang sama atau lain jenis
secara sengaja atau alami. Regenerasi permudaan tingkat semai inilah yang akan menentukan
masa depan repong damar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis regenerasi permudaan repong damar dan
pengelolaannya pada tingkat semai.
Metode penelitian ini dengan menggunakan transek berbentuk bujur sangkar berukuran 20 x
20 m. Petak ukur berada pada Petak Permanen Hubert de Foresta di Pekon Pahmungan dan
Gunung Kemala.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa regenerasi permudaan tingkat semai didominasi oleh
bayur, duku, sepat, damar dan kuau dengan INP masing-masing sebesar 41,49 %; 15,38 % ;
14,45 % ; 14,01 % dan 13,37 %. Nilai H’ menujukkan angka 2,49 yang menunjukkan bahwa
ekosistem repong damar memiliki keanekaragaman katagori sedang. Pada tingkat semai di
repong damar memiliki indeks kemerataan sebesar 0,66 dan tergolong sedang.
Repong damar dikelola berdasarkan keinginan pemiliknya meskipun para pemilik lahan
tersebut tergabung dalam satu kelompok tani. Masyarakat repong damar melakukan
penanaman pengganti (sulaman) bila pohon tua tidak berproduksi damar atau sudah mati.
Tanaman permudaan ini di lapangan dapat mudah dikenali dengan adanya tanaman puring
disebelahnya. Pengelolaan permudaan tingkat semai yang dilakukan oleh petani adalah dalam
rangka pelestarian tanaman damar dan tanaman buah-buahan lainnya yang merupakan sumber
pendapatan bagi mereka.
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Struktur dan komposisi vegetasi di hutan alam memiliki ciri yang khas pada tingkat suksesi
primer. Namun demikian seringkali terjadi perubahan saat terjadi gangguan terutama yang
disebabkan oleh manusia. Peran manusia dapat mengendalikan hutan hingga berubah
menjadi ladang, kebun, serta semak belukar atau menjadi hutan kembali.
Suksesi dari ladang hingga menjadi hutan primer sangat jarang terjadi karena proses
terbentuknya hutan primer kembali membutuhkan biaya yang tinggi, waktu yang sangat lama.
162 PROSIDING
Sering terjadi gangguan dalam proses tersebut sehingga hampir mustahil dapat terbentuk
suksesi primer berupa hutan dengan kondisi yang relatif stabil (klimaks).
Pada tahap suksesi sekunder biasaya kawasan hutana akan ditumbuhi alang-alang atau semak
belukar yang mudah terbakar. Kondisi ini mengakibatkan hutan mengalami perubahan tipe
vegetasi dan fungsinya, berkurang nilai manfaat dan berdampak negatif bagi lingkungan dan
manusia.
Pada kawasan sepanjang Pesisir Barat Krui, manusia berperan mengendalikan perubahan
hutan dari hutan primer menjadi ladang, kebun, hutan sekunder sampai hutan damar (klimaks)
terbentuk. Kasus ini terjadi pada repong damar dimana perubahan tersebut mulai dari hutan
alam menjadi ladang, kebun sampai menjadi hutan kembali (hutan damar). Pada repong
damar, hutan akan dikendalikan manusia untuk tetap didominasi oleh pohon damar. Saat
kondisi repong damar produktif terealisasi (telah terbentuk dominasi pohon damar),
masyarakat akan terus mempertahankannya sampai pohon tersebut tua, mati atau tidak
menghasilkan getah damar. Bila pohon tersebut tumbang, biasanya akan diganti dengan bibit
yang sama atau lain jenis secara sengaja atau alami.
Regenerasi permudaan tingkat semai inilah yang akan menentukan masa depan repong damar.
Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Harianto dkk 2005. Mereka menganalisi vegetasi repong damar pada tingkat pohon, tiang dan
pancang. Sementara pada tingkat semai belum dianalisis secara lebih mendalam. Untuk
itulah perlu dilakukan penelitian yang terfokus pada tingkat semai dari vegetasi repong damar.
Penelitian akan mengungkap pula aspek pengelolaan regenerasi tingkat semai yang dilakukan
oleh masyarakat pemilik repong damar.
Perumusan Masalah
Hingga saat ini kondisi repong damar di Pekon Pahmungan Krui Lampung Barat masih tetap
eksis meskipun terjadi krisis ekonomi dan ancaman perambahan serta penebangan liar.
Kondisi ini merupakan model yang patut dipelajari bagi rimbawan Indonesia. Kelestarian
repong damar ini menarik perhatian untuk dikaji lebih lanjut mengapa repong damar ini tetap
eksis dan bagaimana pengelolaannya. Kajian tentang pengambilan keputusan dalam
pengelolaan repong damar telah diteliti oleh Lubis 1997. Sedangkan dalam penelitian ini
akan dikaji bagaimana sebenarnya regenerasi permudaan repong ini dan pengelolaannya
sehingga bisa tetap bertahan pada tingkat suksesi primer.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis regenerasi permudaan repong damar dan
pengelolaannya pada tingkat semai.
Kontribusi Penelitian
Kontribusi penelitian ini adalah dapat dijadikan model pengelolaan hutan lestari pada tingkat
semai. Prinsip model ini nanti dapat diaplikasikan di berbagai kawasan hutan negara maupun
hutan rakyat di seluruh Indonesia.
Lokasi plot permenen repong damar merupakan areal hutan rakyat, yang secara administratif
masuk dalam Pekon Pahmungan Krui Lampung Barat.
Waktu yang digunakan dalam penelitian adalah 3 bulan termasuk persiapan lapangan dan
operasional hingga pembuatan laporan.
Analisis data menggunakan rumus Indeks Nilai Penting, INP (Soerianegara dan Indrawan
(1982), Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Kemerataan (e). Indeks Nilai Penting
merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR).
INP = KR + FR
1. H’ 0 - 2 : Keanekaragaman rendah/miskin.
2. H’ 2 - 3 : Keanekaragaman sedang
3. H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi
Indeks Kemerataan (Evenness Indices) ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
E = H’
LnS
H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah Spesies
164 PROSIDING
Pemberian nama latin berpedoman hasil penelitian yang telah dilakukan Foresta (1994). Data
hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar.
Sedangkan metode untuk menganalisis aspek pengelolaan regenerasi tingkat semai oleh
masyarakat digunakan metode pengisian kuesioner dan wawancara. Hasilnya disajikan dalam
bentuk tabulasi dan deskriptif. Wawancara ditujukan pada kepala keluarga pemilik repong
damar baik yang termasuk dalam petak penelitian maupun di luar petak penelitian. Responden
yang diambil adalah yang berdomisili di Pekon Pahmungan.
Pengambilan sampel. Dari keseluruhan jumlah penduduk diambil sampel secara purposive
berdasarkan jumlah petani repong damar yang memiliki lahan lebih dari 0,25 hektar.
Sedangkan pengambilan sampel ditingkat petani dilakukan secara acak sederhana ( Simple
random sampling).
Arikunto dalam Matondang (2005) menyatakan bahwa apabila jumlah subjek (populasi)
kurang dari 100 lebih baik diambil semua. Namun, apabila lebih dari 100 dapat diambil 10 –
15% dari total populasi. IS yang digunakan adalah 10%. Jumlah responden dihitung dengan
menggunakan rumus :
S : IS x P
Dimana :
S : Jumlah responden
IS : Intensitas sampling (10%)
P : Jumlah populasi ( Jumlah petani di Desa Pahmungan)
Penelitian tingkat semai repong damar di Pekon Pahmungan, menunjukkan bahwa regenerasi
jenis permudaan alam tingkat semai dan penyebarannya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah penyebaran pohon induk dan kemampuannya bereproduksi serta tingkat
kesukaan petani terhadap jenis tersebut.
Penyebaran dan reproduksi spesies tertentu ditunjukkan oleh besarnya nilai kerapatan dan
frekuensi spesies pada tiap plot pengamatan. Khusus di Petak Hubert seluas 1 hektar,
diketahui bahwa jenis dominan yang mempunyai nilai kerapatan tinggi adalah bayur
(Pterospermum javanicum) terdapat 871 individu, duku (Lansium domesticum) 243 individu,
sepat (Carallia brachiata) 213, kuau (Archidendron bubalinum) 213 individu dan damar
(Shorea javanica) 195 individu. Total individu tingkat semai dalam 1 petak pengukuran
tesebut berjumlah 2.509 individu dengan jumlah jenis sebanyak 43 spesies.
Adapun penyebaran spesies dari 25 plot pengamatan ternyata kelima individu tersebut sering
kali dijumpai bahkan bayur selalu dijumpai pada tiap plot pengamatan (Tabel 1). Nilai
frekuensi ditemukannya jenis pada plot yang dominan adalah bayur (25 plot), damar (23
plot), sepat (22 plot), duku (21 plot) dan kuau (18 plot). Regenerasi ini akan dinamis tiap
periode waktu pengamatan, hingga sampai pada tahap klimaks atau tingkat pohon.
Indeks Nilai Penting ini akan berubah pada tingkat pohon dan menuju pada suksesi tahap
klimaks. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Harianto dkk., (2006), di petak yang sama,
menemukan bahwa INP tingkat pohon didominasi damar (120,94 %), duku (48,8 %), bayur
(21,06 %) dan duren (17,70 %). Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tingkat pohon,
dominasi vegetasi berubah karena beberapa sebab diantaranya adalah adanya pemilihan jenis
untuk berbagai keperluan (kayu untuk bahan bangunan) atau pengurangan populasi spesies
yang tidak diprioritaskan (untuk mengurangi persaingan tumbuh).
Regenerasi tumbuhan secara buatan biasanya pada jenis damar, duren, petai, pinang, gaharu
dan melinjo. Sedangkan regenerasi semai secara alami lebih banyak jenisnya seperti bayur,
kalawi, sepat, sungkai, jengkol, aren, kerbang dan jenis kayu lainnya. Perbedaan semai alami
atau buatan adalah dengan ditanami puring di sebelah tanaman sulaman. Jika terdapat
tanaman puring menunjukkan bahwa tanaman tersebut adalah hasil sulaman oleh pemilik
petak (Gambar 3).
Gambar 2. Tanaman sulaman di repong damar. Mulai dari depan damar, duren dan
petai. Disamping tanaman terdapat puring sebagai ajir hidup. (Foto oleh Gunardi D.W)
Nilai H’ menujukkan angka 2,49 yang menunjukkan bahwa ekosistem repong damar memiliki
keanekaragaman katagori sedang, yang menunjukkan bahwa produktivitas sedang, ketahanan
terhadap tekanan ekologi seperti hama dan penyakit tergolong sedang. Indeks
keanekaragaman sedang ini disebabkan karena jenis pada tingkat semai tidak didominasi oleh
satu spesies. Berbeda jika pada tingkat pohon yang menurut Harianto dkk., tergolong rendah
(1,98) karena lebih di dominasi oleh damar dengan kerapatan relatif 41,3 %.
166 PROSIDING
Tabel 1. Indeks Nilai Penting di Petak Hubert.
No Jenis K KR F FR INP
1 Andamali 2 0,08 2 0,54 0,62
2 Aren 17 0,68 8 2,17 2,85
3 Bayur 871 34,72 25 6,78 41,49
4 Cempedak 6 0,24 4 1,08 1,32
5 Damar 195 7,77 23 6,23 14,01
6 Duku 243 9,69 21 5,69 15,38
7 Durian 76 3,03 16 4,34 7,37
8 Gaharu 7 0,28 5 1,36 1,63
9 Handitak 1 0,04 1 0,27 0,31
10 Haneban 11 0,44 9 2,44 2,88
11 Heling tenangau 1 0,04 1 0,27 0,31
12 Jajahli 71 2,83 18 4,88 7,71
13 Jambu bol 1 0,04 1 0,27 0,31
14 Jelatang 1 0,04 1 0,27 0,31
15 Jengkol 6 0,24 4 1,08 1,32
16 Kadundung pulan 9 0,36 4 1,08 1,44
17 Kalawi 104 4,15 16 4,34 8,48
18 Kandis 41 1,63 16 4,34 5,97
19 Kerbang 10 0,40 9 2,44 2,84
20 Kuau 213 8,49 18 4,88 13,37
21 Lada 48 1,91 14 3,79 5,71
22 Langit 2 0,08 2 0,54 0,62
23 Linsuh 1 0,04 1 0,27 0,31
24 Medang berawas 8 0,32 7 1,90 2,22
25 Melinjo 5 0,20 2 0,54 0,74
26 Merampai 1 0,04 1 0,27 0,31
27 Mungkol 12 0,48 5 1,36 1,83
28 Nangka 2 0,08 1 0,27 0,35
29 Petai 34 1,36 15 4,07 5,42
30 Putak 26 1,04 10 2,71 3,75
31 Rambutan 2 0,08 2 0,54 0,62
32 Randu 1 0,04 1 0,27 0,31
33 Rarebo 46 1,83 15 4,06 5,90
34 Salai 4 0,16 2 0,54 0,70
35 Salam 42 1,67 12 3,25 4,93
36 Sepat 213 8,49 22 5,96 14,45
37 Sirsak 2 0,08 2 0,54 0,62
38 Sudu 43 1,71 13 3,52 5,24
39 Sungkai 3 0,12 2 0,54 0,66
40 Talas 46 1,83 12 3,25 5,09
41 Talas pulau 7 0,28 2 0,54 0,82
42 Tau 4 0,16 3 0,81 0,97
43 Tupak 71 2,83 21 5,69 8,52
2.509 100,00 369 100,00 200,00
Indeks kemerataan menunjukkan sebaran jenis yang merata atau tidak pada suatu komunitas.
Pada tingkat semai di repong damar memiliki indeks kemerataan sebesar 0,66 dan tergolong
sedang. Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan tingkat semai di repong damar pada
umumnya tidak didominasi oleh satu spesies. Nilai indeks kemerataan akan menjadi
maksimum dan homogen jika semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama pada
suatu lokasi.
Repong damar adalah fase final dalam tahapan linier system pengelolaan lahan kering (darak)
yaitu fase ketika lahan hutan (baik hutan primer maupun sekunder) yang dibuka dan dibabat
bersih akan menjadi format seperti hutan alam kembali setelah 20 tahun kemudian (Lubis,
1997). Michon dan de Foresta (1994) menyebutkan bahwa secara ekologis fase
perkembangan repong damar tersebut menyerupai tahapan suksesi hutan alam dengan segala
keuntungan ekologisnya seperti perlindungan tanah dan air serta iklim mikro.
Tradisi pembukaan lahan hutan secara garis besar dapat dibedakan atas tiga fase produktif
yaitu fase darak, kebun dan repong. Ketiga fase itu berlangsung di ruang fisik yang sama
tetapi secara taksonomis berada di ruang kognisi yang berbeda. Hal itu berkaitan dengan
definisi, konsepsi dan harapan-harapan yang mereka lekatkan pada masing-masing fase
pengelolaan tersebut.
Regenerasi (permudaan) tanaman direpong damar Desa Pahmungan berlangsung secara alami
dan secara buatan. Wijayanto (2001) menyatakan bahwa keanekaragaman hayati dalam
repong damar merupakan hasil dari dua jenis dinamika. Dinamika pertama – setengah
direncanakan dan terdiri atas perpaduan antara penanaman spesies yang berguna – yang
menciptakan kembali kerangka sistem hutan – dan seleksi sumberdaya yang tumbuh sendiri,
khususnya tumbuh-tumbuhan. Dinamika kedua tidak direncanakan: munculnya berbagai
flora dan fauna dalam setiap proses regenerasi hutan, yang merupakan aspek hutan sejati dari
agroforestri.
Kegiatan pengelolaan permudaan tingkat semai direpong damar, pada umumnya dilakukan
oleh anggota keluarga, yang kepala keluarganya merupakan petani utama. Repong damar
dikelola berdasarkan keinginan pemiliknya meskipun para pemilik lahan tersebut tergabung
dalam satu kelompok tani. Pengelolaan permudaan tingkat semai yang dilakukan oleh petani
adalah dalam rangka pelestarian tanaman damar dan tanaman buah-buahan lainnya yang
merupakan sumber pendapatan bagi mereka.
168 PROSIDING
Pemeliharaan tanaman sulaman dan areal repong damar dilakukan dengan pembersihan gulma
atau semak belukar. Tujuan pembersihan gulma ini untuk mengurangi tingkat persaingan
dalam memperoleh unsur hara bagi tanaman baru. Jenis-jenis pioneer liar yang tumbuh di
repong damar diseleksi dengan diteres atau ditebang seperti jelantong, timah dan gerbang.
Pemeliharaan tanaman dimaksudkan untuk memberi kesempatan bibit sulaman cepat tumbuh
bebas dari persaingan. Pada akhirnya tanaman yang bernilai ekonomi bagi masyarakat saja
yang dibiarkan tumbuh besar. Tumbuhan liar lainnya yang tidak bernilai ekonomi akan
dibersihkan dari repong damar.
KESIMPULAN
Regenerasi jenis permudaan alam tingkat semai dan penyebarannya dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah penyebaran pohon induk dan kemampuannya
bereproduksi serta tingkat kesukaan petani terhadap jenis tersebut.
Jenis dominan yang mempunyai nilai kerapatan tinggi adalah bayur (Pterosperum javanicum)
terdapat 871 individu, duku (Lansium domesticum) 243 individu, sepat (Carallia brachiata)
213, kuau (Archidendron bubalinum) 213 individu dan damar (Shorea javanica) 195
individu. Nilai frekuensi ditemukannya jenis pada plot yang dominan adalah bayur (25 plot),
damar (23 plot), sepat (22 plot), duku (21 plot) dan kuau (18 plot).
Sedangkan jenis tanaman tingkat semai yang memiliki nilai INP dominan terdapat lima
spesies utama yaitu bayur, duku, sepat, damar dan kuau dengan INP masing-masing sebesar
41,49 %; 15,38 % ; 14,45 % ; 14,01 % dan 13,37 %.
Nilai H’ menujukkan angka 2,49 yang menunjukkan bahwa ekosistem repong damar memiliki
keanekaragaman katagori sedang. Pada tingkat semai di repong damar memiliki indeks
kemerataan sebesar 0,66 dan tergolong sedang.
Masyarakat repong damar melakukan penanaman pengganti (sulaman) bila pohon tua tidak
berproduksi damar atau sudah mati. Tanaman permudaan ini di lapangan dapat mudah
dikenali dengan adanya tanaman puring disebelahnya. Jumlah tanaman pengganti ini menurut
mereka 10 batang untuk satu pohon yang ditebang.
Pemeliharaan tanaman dimaksudkan untuk memberi kesempatan bibit sulaman cepat tumbuh
bebas dari persaingan. Pada akhirnya tanaman yang bernilai ekonomi bagi masyarakat saja
yang dibiarkan tumbuh besar. Tumbuhan liar lainnya yang tidak bernilai ekonomi akan
dibersihkan dari repong damar.
Repong damar dikelola berdasarkan keinginan pemiliknya meskipun para pemilik lahan
tersebut tergabung dalam satu kelompok tani. Pengelolaan permudaan tingkat semai yang
dilakukan oleh petani adalah dalam rangka pelestarian tanaman damar dan tanaman buah-
buahan lainnya yang merupakan sumber pendapatan bagi mereka.
SARAN
Hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam pembangunan hutan, khususnya dalam
pemilihan jenis dan sistem permudaan tingkat semai, baik di hutan negara maupun hutan
rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
De Foresta, H. 2000. Agroforest Khas Indonesia. SMT Grafika Desa Putera. Jakarta. 218
hlm.
Harianto, S.P., Winarno, G.D., dan Kaskoyo, H.. 2005. Dinamika Tumbuhan di Repong
Damar Krui. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat. Edisi I. Unila. Bandar Lampung.
Harianto, S.P., Winarno, G.D., dan Kaskoyo, H.. 2005. Dinamika Tumbuhan di Repong
Damar Krui. Laporan Hasil Penelitian. Unila. Bandar Lampung.
Heriyanto, N..M., Bustomi S., dan Sumarna Y. 2001. Ekologi dan Potensi Damar Mata
Kucing (Shorea javanica) di Kelompok Hutan Krui – Kota Jawa Kabupaten
Lampung Barat. Buletin Penelitian. No. 628/2001. hlm.
Lubis, Z. 1997. Repong Damar : Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan
Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper No. 20.
http://www.cgiar.org/cifor. Diakses 15 Juni 2005.
Soerianegara, I., dan Indrawan, A. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen
Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tesis Institut Pertanian Bogor. Bogor.
170 PROSIDING
Lampiran 1. Kamus Spesies di Krui
174 PROSIDING
EVALUASI KANDUNGAN LOGAM TIMBAL (Pb) DALAM Enhalus acoroides Linn.
(ILALANG LAUT) DI PERAIRAN LEMPASING BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
Pantai Lempasing merupakan salah satu bagian dari Teluk Lampung, yang ke-beradaannya
dijadikan sebagai pusat kegiatan bagi nelayan dan masyarakat sekitar dalam memanfaatkan
kekayaan laut. Aktivitas tersebut memberikan dampak negatif, yaitu terjadinya pencemaran
air. Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang potensial menjadi bahan
pencemar. Logam ini berasal dari penggunaan cat pada kapal dan bahan bakar kapal. Logam
Pb yang dilepas ke laut kemudian akan diserap oleh biota laut dan dapat berakibat kepada
keracunan dan kematian biota tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kadar Pb dalam Enhalus acoroides di pantai
Lempasing. Pengambilan sampel menggunakan metode titik sampling yang berjumlah 3 titik,
jarak antar titik 1 km. Dalam setiap titik terdiri dari 5 plot berukuran 1 x 1 m2, setiap plot
diambil 1 sampel sehingga seluruhnya berjumlah 15 sampel. Parameter yang diamati adalah
kadar Pb dalam Enhalus acoroides dengan penentuan kadar Pb yang dianalisis melalui
Spektrofotometri Serapan atom Varian 200. Data dianalisis dengan ANAVA dan dilanjutkan
dengan uji Duncan pada taraf 1 %. Faktor kimia dan fisika yang diukur adalah pH,
kecepatan arus dan suhu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata kadar Pb dalam Enhalus
acoroides pada setiap titik sampling, dengan kadar Pb paling tinggi terdapat pada titik I yang
berada di sekitar pelabuhan kapal pencari ikan di pantai Lempasing dengan konsentrasi 0,37
ppm.
PENDAHULUAN
Tidak kurang dari 70 % permukaan bumi terdiri dari lautan, sehingga selain sebagai
sumber bahan mineral, energi dan makanan masih banyak kekayaan yang diperoleh dari
laut (Dewi, 2002). Daerah pesisir merupakan bagian wilayah lautan Indonesia yang paling
produktif. Lampung sebagai salah satu daerah di Indonesia memiliki wilayah pesisir dengan
garis pantai sepanjang 1.105 km (Wiryawan dkk., 1999).
Pantai Lempasing sebagai salah satu dari sekian banyak daerah pesisir yang terletak di
Lampung, tepatnya di perairan Teluk Lampung. Pada mulanya pantai ini dijadikan sebagai
tempat rekreasi, namun saat ini kondisinya cukup memprihatinkan. Pencemaran oleh logam
timbal dapat diakibatkan oleh buangan limbah industri yang bermuara ke Teluk Lampung.
Industri yang beroperasi di Lampung diantaranya industri semen, batubara, bahan kimia, marmer
dan reklamasi pantai justru menghasilkan limbah yang merusak lingkungan. Diperkirakan
kandungan timbal di Teluk Lampung berkisar antara 0,019-0,069 ppm, dimana nilai tersebut
sudah berada diluar batas yang diperbolehkan yaitu dibawah 0,01 ppm (Wiryawan dkk.,
1999). Selain itu logam timbal yang mencemari Teluk Lampung juga disebabkan oleh adanya
korosi kapal, tumpahan minyak dan pengelupasan cat dari kapal yang lalu lalang di perairan
Salah satu tumbuhan air yang masih dapat dijumpai di perairan Lempasing adalah lamun.
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang memiliki peranan penting. Secara
ekologis lamun mampu menjadi bagian dari siklus hidup organisme, interaksi dengan biota
sekitarnya dan juga sebagai stabilisator sedimen (Alfian, 1992). Berbeda dengan tumbuhan
lainnya, lamun adalah satu-satunya kelompok tumbuhan laut yang berbunga, berbuah dan
menghasilkan biji, selain itu juga memiliki akar dan sistem internal untuk mengangkut zat
hara (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Lamun juga berperan sebagai tempat pembesaran bagi banyak species yang menghabiskan
waktu dewasanya di lingkungan lain. Dengan sistem perakaran yang padat dan saling
menyilang dapat menstabilkan dasar lunak, dimana banyak spesies tumbuh, sehingga dapat
melindungi banyak organisme. Kerusakan yang serius terhadap ekosistem lamun juga dapat
berdampak serius terhadap perikanan komersial tertentu (Nybakken, 1988).
METODE PENELITIAN
Sampel dari penelitian ini adalah tumbuhan Enhalus acoroides yang terdapat di dalam plot
dari setiap dari tiga titik yang dibuat di perairan Lempasing. Pada satu titik diambil sampel
dengan ulangan sebanyak 5 kali. Enhalus acoroides yang dijadikan sampel adalah yang
daunnya berwarna hijau tua dan ukuran panjangnya dari akar ke ujung daun kurang lebih 60
cm. Alat yang digunakan antara lain pH meter, thermometer air raksa, buah jeruk Bali, tali
plastik 10 m, stopwatch, kertas label, kantong plastik transparan, spektro-fotometri serapan atom
(SSA) varians 200, neraca analitik, desikator, oven, lumpang porselin , tray (nampan), kertas
saring whatman, labu ukur 50, 100 dan 500 ml, pipet gondok 50 ml, spatula, beaker glass 25
dan 100 ml, sedangkan bahan yang digunakan adalah tumbuhan Enhalus acoroides, alkohol 70%,
aquadest, larutan HNO3 1 % dan 5 M dan larutan timbal 1000 ppm. Pengambilan sampel
ditentukan dengan cara menentukan 3 titik dimana jarak antara masing-masing titik 1
kilometer dan pada setiap titik dibuat 5 plot. Jarak antar plot 2 meter dan ukuran plot 1 x 1
meter, plot pertama dibuat dengan jarak 20 meter dari tepi pantai, sedangkan jarak antara plot
berikutnya adalah 2 meter. Sampel Enhalus acoroides diambil dari masing-masing titik
pengambilan sampel di perairan Lempasing dengan cara mengambil seluruh bagian
tumbuhan, setiap titik diambil sebanyak 5 sampel, selanjutnya sampel yang diambil dari
masing-masing plot dipisahkan dan dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan
kemudian diberi label.
Sampel Enhalus acoroides yang telah didapatkan dicuci dengan aquadest agar bersih dari
kotoran air laut, kemudian sampel dikering anginkan selama 24 jam. Setelah dikering
anginkan kemudian sampel di bawa ke laboratorium untuk dipreparasi. Pengambilan sampel
disertai pengukuran pH, suhu dan kecepatan arus dilakukan pada pukul 09.00 sampai pukul
13.00.
Preparasi sampel dilakukan sebagai berikut:1) Membersihkan seluruh bagian sampel Enhalus
acoroides dengan alkohol, kemudian diletakkan di atas tray (nampan), setelah itu
dikeringkan dalam oven pada suhu 1100 C selama 5 jam, lalu didinginkan dalam
desikator selama 30 menit; 2) Menimbang berat sampel yang telah dioven. Selanjutnya
sampel dihaluskan menggunakan blender sampai sampel halus; 3) Menimbang sampel
yang telah diblender menggunakan neraca analitik sebanyak 1 gram, kemudian dimasukkan
176 PROSIDING
ke dalam beaker glass 25 ml dan menambahkan 5 ml HNO3 5 M dengan pipet tetes lalu
diaduk menggunakan spatula kemudian dipanaskan dengan hot plate hingga sampel larut.
Selanjutnya diangkat dan didinginkan selama 15 menit; 4) Menyaring filtrat yang telah
dingin dengan kertas saring whatman ke dalam labu ukur 50 ml hingga filtrat habis tersaring,
kemudian menambahkan aquadest hingga tanda batas, untuk selanjutnya siap di analisis.
Untuk melihat kadar timbal dengan cara mengambil 2 ml sampel yang telah dipreparasi,
kemudian dianalisis menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom varians 200 dilakukan
dengan api (flame) kondisi optimum dengan koreksi latar belakang pada panjang gelombang
217,0 nm.
Untuk pengukuran faktor fisika dan kimia digunakan pHmeter untuk mengetahui keasaman
air laut, termometer air raksa untuk mengetahui suhu air laut, dan menggunakan buah jeruk
bali untuk mengukur kuat arus air. Kuat arus didapat dengan cara mengukur jarak sepanjang
10 meter dari tepi pantai menggunakan rol meter 150 m, kemudian meletakkan buah jeruk
Bali di air, pada saat arus datang hingga mencapai tepi pantai bersamaan itu mencatat waktu
yang ditempuh sepanjang 10 meter menggunakan stopwatch. Pengulangan dilakukan
sebanyak 5 kali.
Data kandungan logam Pb dari sampel Enhalus acoroides kemudian dianalisis menggunakan
analisis varian (uji-F) pada taraf 1 %. Oleh karena terdapat perbedaan nyata dan hasil
perhitungan KK adalah17 %, maka analisis dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 1%.
Hasil analisis kadar Pb dalam tumbuhan Enhalus acoroides yang diambil berdasarkan jarak
dari sumber pencemar pada pantai Lempasing dirangkum dan disajikan dalam tabel di bawah
ini.
Hasil analisis laboratorium terhadap kadar Pb pada tumbuhan Enhalus acoroides yang diambil
berdasarkan jarak dari sumber pencemaran yaitu pelabuhan pelelangan ikan di pantai
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 177
Lempasing menunjukkan bahwa rata-rata kadar logam timbal tertinggi terdapat di dalam
tumbuhan Enhalus acoroides yang berada pada jarak 0 km (0,374 ppm ± 0,044) dan rata-rata
kadar Pb terendah terdapat pada tumbuhan Enhalus acoroides yang berada pada jarak 2 km
(0,134 ± 0,029).
Penyerapan dan akumulasi logam berat timbal pada Enhalus acoroides tampaknya
dipengaruhi oleh faktor kimia dan fisika. Dari hasil pengukuran faktor kimia dan fisika
diperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Rerata ± SD hasil pengukuran faktor kimia dan fisika pada pantai Lempasing
Jarak Ulangan
(km)
Faktor Kimia Jumlah Rerata ± SD
& Fisika 1 2 3 4 5
0 Suhu (0C) 38 38 38 37 38 187 37,400 ± 0,894
km Kec.Arus (m/s) 0,077 0,080 0,054 0,071 0,072 0,354 0,071 ± 0,010
pH 7,700 7,600 7,600 7,500 7,600 38,000 7,600 ± 0,071
1 Suhu (0C) 35 34 34 34 35 172 34,400 ± 0,548
km Kec. Arus (m/s) 0,072 0,053 0,077 0,072 0,073 0,347 0,069 ± 0,009
pH 7,000 7,200 7,200 7,200 7,300 35,900 7,100 ± 0,110
2 Suhu (0C) 34 35 34 35 35 173 34,600 ± 0,548
km Kec. Arus (m/s) 0,071 0,068 0,064 0,070 0,070 0,343 0,069 ± 0,003
pH 7,400 7,400 7,600 7,600 7,700 37,700 7,500 ± 0,134
Dari hasil pengukuran faktor kimia dan fisika suhu yang diperoleh berada di atas kisaran
baku alami yaitu 28,0 0C– 31,5 0C, sedangkan kecepatan arus dan pH yang diperoleh masih
berada pada kisaran alami yaitu 0,1 m/s – 0,5 m/s dan 7,96 – 8,22 (Wiryawan dkk., 1999).
Dari hasil analisis sampel diperoleh data rata-rata kandungan logam timbal tertinggi yang
diserap oleh tumbuhan Enhalus acoroides adalah 0,37 ppm yang berada pada jarak 0 km.
Kadar logam timbal ini sangat berbeda nyata jika dibandingkan dengan rata-rata
kandungan logam timbal yang terdapat dalam tumbuhan Enhalus acoroides yang diambil
pada jarak 1 km dan jarak 2 km dimana rata-rata kandungan timbalnya adalah 0,25 ppm
dan 0,13 ppm.
Tingginya kadar logam timbal dalam tumbuhan Enhalus acoroides pada jarak 0 km ini,
diduga karena dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitarnya yang merupakan tempat
pelelangan ikan, sehingga dijadikan pusat untuk berlabuhnya kapal-kapal. Salah satunya juga
adalah pada jarak pengambilan sampel 0 km merupakan tempat lalu-lintas dan bersandarnya
kapal-kapal yang sangat padat. Kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar bensin
dan solar yang mengandung timbal, selain itu penggunaan cat pada dinding kapal juga
diduga berpotensi mengeluarkan timbal.
Menurut data Balai Pelaksana Teknis Lempasing jumlah kapal sandar yang ada di
pelelangan ikan Lempasing pada tahun 2002 berjumlah sekitar 1500 buah. Pada tahun
2002, penggunaan bahan bakar terutama solar sebanyak 9.701.000 kemudian meningkat
pada tahun 2003 sebanyak 1575 buah dan penggunaan solar sebanyak 11.033.200 liter.
Peningkatan jumlah kapal yang disertai dengan peningkatan pemakaian bahan bakar
dan penggunaan cat pada kapal diduga dapat meningkatkan kadar logam timbal pada
perairan. Hal ini disebabkan jumlah senyawa Pb dalam bahan bakar jauh lebih besar
dibandingkan dengan senyawa lain. Logam Pb yang dibuang ke udara melalui asap buangan
178 PROSIDING
kendaraan jumlahnya menjadi sangat tinggi, kemudian melalui pengkristalan Pb di udara
dengan bantuan air hujan dapat masuk ke dalam badan perairan (Palar, 1992).
Logam berat dalam perairan memiliki daya racun terhadap organisme air pada kadar
yang berbeda-beda, dimana keadaan ini dapat terjadi jika kelarutan logam berat di
perairan cukup tinggi dan sudah melewati ambang batas (Hartati, 1996). Hal ini
disebabkan karena perbedaan kemampuan organisme dalam menetralisir logam berat
tertentu sampai tingkat tertentu pula (Palar, 1992).
Pada tumbuhan air logam berat timbal merupakan unsur non esensial yang bila masuk ke
dalam tumbuhan, maka akan dikelat oleh suatu protein yang ada dalam akar kemudian
disimpan dan sebagian akan diteruskan ke daun. Untuk unsur yang tertimbun dalam sel,
kecepatan penyerapan naik dengan cepat ketika konsentrasi larutan naik, tetapi pada
konsentrasi yang lebih tinggi kecepatan penyerapan mulai konstan (Salisbury, 1991).
Tumbuhan Enhalus acoroides berpeluang besar untuk mengakumulasi logam berat Pb yang
mengendap di perairan melalui penyerapan oleh akar. Akar menghasilkan fitokelatein yang
lebih banyak dibandingkan bagian daun, dalam tumbuhan sebagian logam itu akan
disimpan dalam vakuola dan sebagian lagi diikat oleh fitokelatein, ion logam timbal itu
akan diikat oleh atom belerang pada sistein yang ada dalam fitokelatein (Rauser dan
Raskin, 1994 dalam Ulfin, 2001).
Penyerapan logam oleh tumbuhan juga dipengaruhi oleh faktor kimia yaitu pH. Dari hasil
pengukuran parameter kimia diketahui bahwa rata-rata pH yang terdapat pada setiap
tempat pengambilan sampel berkisar antara 7,1 – 7,6. Kisaran pH ini cenderung stabil
untuk kelarutan senyawa-senyawa dalam badan perairan yang mempunyai derajat
keasaman (pH) mendekati normal atau kisaran pH 7,0 – 8,0 (Palar, 1992). Menurut Raidana
(dalam Junardi, 1997) kisaran pH yang baik untuk tumbuhan laut berada di antara 7,9 - 8,3.
Dengan demikian pH hasil penelitian yang masih berada dalam kisaran untuk tumbuhan laut
sangat mendukung untuk penyerapan logam Pb oleh Enhalus acoroides. Kelarutan logam
timbal dalam perairan akan rendah apabila pH dalam air tinggi (Wiryawan dkk., 1999).
Parameter lain yang diukur adalah parameter fisika yaitu kecepatan arus dan suhu. Dari
hasil penelitian rata-rata kisaran kuat arus pada setiap tempat pengambilan sampel adalah 0,34
m/s – 0,35 m/s. Kecepatan arus mempengaruhi kehidupan pantai secara langsung dengan
dua cara utama. Pertama, pengaruh mekaniknya dapat menghanyutkan dan
menghancurkan benda yang terkena. Kedua, kuat arus akan mencampur atau mengaduk
gas dan partikel-partikel dalam air (Nybakken, 1988). Bila wilayah laut luas dengan arus
yang aktif, maka logam berat akan terurai dan terbuang ke perairan luas sehingga dapat
Suhu sebagai parameter fisika lain yang diukur dalam penelitian ini berkisar antara 34 0 C
– 38 0 C, dimana pada jarak 0 km didapat suhu rata-rata 37,4 0 C, sedangkan pada jarak 1
km dan jarak 2 km rata-rata suhu 34,6 0C dan 34,4 0C. Suhu yang diperoleh telah melewati
kisaran baku alami yang ditetapkan yaitu kisaran rata-ratanya adalah 28,0 0C – 31,5 0C. Suhu air
laut akan mempengaruhi daya racun logam berat, yaitu semakin tinggi suhu, daya racun
logam berat terhadap organisme akan semakin tinggi pula. Hal ini akan berdampak buruk
bagi organisme penghuni perairan tersebut (Sumardianto dalam Nanty, 1999). Dengan
suhu yang tinggi maka akan menyebabkan kelarutan rendah sehingga partikel-partikel
timbal akan mengendap dalam sedimen dan membentuk lumpur dan penyerapan logam oleh
tumbuhan akan meningkat (Wiryawan dkk., 1999).
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut : 1) Kadar logam Pb dalam tumbuhan Enhalus acoroides di perairan pantai
Lempasing
pada jarak 0 km rata-rata 0,37 ppm, jarak 1 km rata-rata 0,25 ppm dan jarak 2 km rata- rata 0,13
ppm; 2) Ada perbedaan kadar logam Pb dalam tumbuhan Enhalus acoroides antar jarak.
Kadar Pb tertinggi terdapat dalam tumbuhan Enhalus acoroides pada jarak 0 km,
sedangkan kadar Pb terendah terdapat dalam tumbuhan Enhalus acoroides pada jarak 2
km.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, R.S.S. 2002. Studi Penentuan Logam Berat Besi dan Seng dalam Alga Coklat
(Sargassum duplicatum) di Perairan Pantai Gading Secara Spektofotometri
Serapan Atom. Skripsi Sarjana FKIP Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Hartati. 1996. Kandungan Logam Berat Dalam Euchema spinosum Secara Spektro-
fotometri Serapan Atom. Skripsi Sarjana FMIPA Unila. Bandar Lampung.
Hutomo, M., W. Kiswara, dan M.H. Azkab, 1992. Studi dan Khasanah Pengetahuan Ekosistem
Lamun di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Penyusunan Program
Penelitian Biologi Kelautan dan Proses Dinamika Pesisir. LIPI dan Undip.
Jakarta.
180 PROSIDING
Junardi. 1997. Perbandingan Tingkat Pencemaran Air laut Berdasarkan Indek Keragaman
Plankton Antara Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Curah Batubara Di
Bandarlampung. Skripsi Sarjana Unila. Bandar Lampung.
Nanty, I. H. 1999. Kandungan Logam Berat Dalam Badan Air dan Sedimen Di Muara
Sungai Way Kambas dan Way Sekampung Lampung. Skripsi Fakultas
Perikanan dan Kelautan. IPB. Bogor
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Palar, H. 1992. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Ulfin, I. 2001. Logam Berat Timbal dan Kadmium dalam Larutan oleh Kayu Apu (Pistia
stratiotes L). Jurnal Sains KAPPA. ITS. Surabaya.
Wiryawan, B., B. Marsden., H.A. Suswanto., A.K. Mahi., M. Ahmad., dan H. Poespitasari. Atlas
Sumber Daya Wilayah Pesisir Propinsi Lampung. Kerjasama Proyek Pesisir
Lampung dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Lampung.
ABSTRAK
Kota Bandar Lampung termasuk sebagai salah satu kota besar di indonesia, berdasarkan hasil
evaluasi kementerian lingkungan hidup tahun 2005 dalam rangka perebutan penghargaan
adipura, mendapat predikat kota terkotor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
partisipasi dan pemberdayaan warga masyarakat dan pamong kelurahan sebagai mitra dalam
kebersihan lingkungan. Kota Bandar Lampung didalam pengelolaan kebersihan lingkungan
memerlukan pola kepemimpinan yang dapat memberdayakan masyarakat sehingga
meningkatnya partisipasi pamong kelurahan dan seluruh warganya secara bersama-sama
melaksanakan kebersihan lingkungan.
PENDAHULAUAN
Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri di atas bumi ini tanpa kehadiran makhluk-
makhluk lain disekitarnya seperti hewan, tumbuhan maupun jasad renik. Keberadaan ketiga
makhluk tersebut sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri,
sebaliknya, ketiga makhluk tersebut justru akan tetap hidup meskipun tanpa kehadiran
manusia.
Kenyataan tersebut seyogyanya manusia lebih arif dan bijaksana dalam mengelola lingkungan
hidup. Kearifan dan kebijaksanaan tersebut akan timbul dan terwujud dalam nilai-nilai dan
perilaku sehari-hari. Perwujudan tersebut tidak akan terjadi begitu saja, namun dibutuhkan
proses stimulan terhadap respons yang ada, baik melalui adat kebiasaan, penerangan maupun
ajakan seseorang yang dianggap lebih tahu dan mengerti, baik melalui contoh langsung
dengan tindakan nyata maupun tidak langsung.
Pengaruh pembangunan kota kepada lingkungan adalah lebih besar daripada pengaruh
pembangunan desa. Pengaruh pertama ialah, karena pembangunan kota mengubah keadaan
fisik lingkungan alam menjadi lingkungan buatan manusia. Dalam kota, keadaan lingkungan
alam sulit dipertahankan kelestarian dalam wujud aslinya, sehingga lahirlah lingkungan
buatan-manusia. Maka menjadi pertanyaan, sampai seberapa jauhkah fungsi lingkungan alam
bisa diambil alih oleh lingkungan buatan manusia? Sampai seberapa jauhkah perubahan
lingkungan alam mencapai titik krisis sehingga berpengaruh negatif terhadap perikehidupan
manusia?
Maka lahirlah sampah dan Limbah, pencemaran udara, sungai, tanah, kebisingan suara dan
lain-lain yang se-rupa, sebagai perwu-judan pengaruh negatif dari perubahan ling-kungan
alam ini.
Pengaruh kedua ialah terhadap perubahan lingkungan sosial masyarakat yang hidup dalam
kota. Semula hidup masyarakat lebih akrab dan hubungan antar-manusia saling tolong-
182 PROSIDING
menolong dalam perikehidupan masyarakat kecil di kampung atau desa. Perubahan menjadi
kota mengakibatkan masing-masing orang harus berusaha memecahkan masalahnya sendiri-
sendiri. Tetapi berbagai keperluan kini sulit diusahakan sendiri, seperti keperluan akan air
minum, energi, angkutan, pelayanan kesehatan dan lain-lain keperluan yang lazim disebut
“pelayanan umum” (public utilities). Sehingga tampil kedepan peranan Pemerintahan Kota
memberi berbagai keperluan pelayanan umum ini. Soal yang dihadapi Pemerintahan Kota
ialah, bagaimana memenuhi berbagai keperluan pelayanan umum ini dengan dana keuangan
yang serba terbatas?
Partisipasi masyarakat diharapkan dapat terjadi baik pada sektor publik maupun swasta.
Partisipasi ini penting terutama pada proyek-proyek dimana masyarakat memiliki kepentingan
langsung, baik itu yang menyangkut perencanaan proyek, penggunaan aset dan pemantauan
proyek yang mungkin memberikan dampak kepada masyarakat dalam arti luas.
Partisipasi masyarakat tidak hanya terbuka pada salah satu sektor saja misalnya pengelolaan sampah,
dimana terdapat kemungkinan melibatkan masyarakat dalam skala besar, tetapi juga pada sektor-
sektor lain yang padat modal dimana masyarakat mungkin terkena dampaknya secara langsung,
misalnya proyek-proyek energi terbarukan atau efisiensi energi.
Kota Bandar Lampung termasuk sebagai salah satu kota besar di indonesia, berdasarkan hasil
evaluasi kemeteratan lingkungan hidup tahun 2005 dalam rangka perebutan penghargaan
adipura, mendapat predikat kota terkotor. Untuk membangun kota yang bersih yang
berkelanjutan peran seluruh stackeholder sangat dibutuhkan. Salah satu unsur stackeholder
dalam komunitas perkotaan adalah komponen masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat
diabaikan dalam mewujudkan kota yang bersih. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
partisipasi dan pemberdayaan warga masyarakat dan pamong kelurahan sebagai mitra dalam
kebersihan lingkungan.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini adalah kota Bandar Lampung yang terdiri dari 13 kecamatan dan
kelurahan 98 kelurahan. Penelitian ini menggunakan metode, dokumentasi, dan wawancara
metode doumentasi diperlukan untuk mengabil data dari berbagai laporan pemerintahan Kota
Bandarlampung yang terkait dengan pemberdayaan pengelolaan lingkungan yang telah
dilakukan. Sedangkan metode observasi mengamati secara rinci obyek secara langsung
berdasarkan laporan dari kementerian lingkungan hidup yang mengkatagorikan Kota
Bandarlampung menjadi kota terkotor di tahun 2005/2006. Motode wawancara dilakukan
untuk mencari informasi tentang upaya-upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah daerah,
wawancara dilakukan kepada pejabat atau yang berwewenang dalam bidang pengelolaan
lingkungan disetiap dinas instansi pada tingkat Kota sampai pejabat kecamatan dan kelurahan
yang terpilih menjadi sampel.
Data yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan menyajikan dalam bentuk table
kemudian diintrpretasi secara kualitatif yang didukung oleh kajian literature.
Kota Bandar Lampung mempunyai penduduk sekitar 790.089 jiwa dengan pertumbuhan
sebesar 4,2% pertahun dengan luas wilayah 192 km2 tergolong sebagai kota besar.
Tabel 1: Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung Per Kecamatan dan Jenis Kelamin
Tahun 2004
PENDUDUK
No KECAMATAN JUMLAH
LAKI-LAKI PEREMPUAN
1. Teluk Betung Barat 31.153 30,023 61.176
2. Teluk Betung Selatan 46.602 43.737 90.339
3. Panjang 30.407 30.085 60.492
4. Tanjungkarang Timur 37.565 37.511 75.076
5. Teluk Betung Utara 30.468 30.500 60.968
6. Tanjungkarang Pusat 36.113 37.061 73.174
7. Tanjungkarang Barat 27.018 26.134 53.152
8. Kemiling 26.800 26.669 53.489
9. Kedaton 43.030 43.762 86.792
10. Rajabasa 18.173 16.661 34.834
11. Tanjung Seneng 15.602 15.367 30.969
12. Sukarame 28.905 28.643 57.548
13. Sukabumi 26.592 26.314 52.906
Jumlah 398.428 392.467 790.895
Sumber: Buku Bandar Lampung Dalam Angka Tahun 2004.
Dari tabel di atas, terdapat sejumlah 790.895 jiwa yang menjadi pemukim di Kota Bandar
Lampung yang berpotensi “menghasilkan” sampah rumah tangga, sampah industri maupun
limbah lainnya.
Dengan kondisi kota seperti tersebut di atas, memerlukan permukiman yang sehat. Dari
sejumlah kelurahan yang ada, sebagian besar adalah daerah dengan pola perkampungan
(sekitar duapuluhan diantaranya dikategorikan daerah kumuh). Yang dimaksud dengan pola
perkampungan kumuh adalah daerah-daerah permukiman yang memiliki ciri-ciri : (1) Tidak
memiliki prasarana kota yang yang memadai seperti air minum/ air bersih, listrik, sistem
pembuangan sampah, ruang terbuka (open space) dan sebagainya. (2) Berkepadatan tinggi
dengan konsentrasi penduduk berpenghasilan rendah. (3) Berkembang tanpa rencana dengan
bangunan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, kebersihan, dan keamanan pada
umumnya.Secara umum status tanah dan hak atas tanah tidak jelas (Bianpoen, 1979).
Dinas kebersihan Kota Bandar Lampung bertanggung jawab dalam mengangkut sampah yang
terdapat di jalan protokol, pertokoan di luar pasar, mall dan super market. Sampah di dalam
terminal dan pelabuhan berada di bawah tanggung jawab Kepala Terminal dan Kepala
Pelabuhan, tetapi yang mengangkut ke TPA adalah tanggung jawab Dinas Kebersihan.
Dalam hal ini Dinas Kebersihaan berkoordinasi dengan Kepala Terminal dan Kepala
Pelabuhan.
Jumlah personil yang bekerja di TPA Bakung terdiri dari 3 orang supir alat berat, 2 orang
penjaga, dan 3 orang pengawas. Kendaraan pengangkut sampah sebanyak 27 unit, terdiri dari
184 PROSIDING
dump truck dan truck/armrol. Setiap hari jumlah kendaraan yang beroperasi sebanyak 19
unit.
Alat berat yang beroperasi di TPA Bakung adalah buldozer 1 unit, excavator 1 unit, dan whell
loader 1 unit. Selain Dinas Kebersihan, Dinas Pasar Kota Bandar Lampung juga bertanggung
jawab untuk mengangkut sampah ke TPA Bakung, khususnya sampah yang berasal dari
pasar. Di Kota Bandar Lampung terdapat 13 pasar di bawah tanggung jawab Dinas Pasar,
sedangkan sampah dari Pasar KOGA merupakan tanggung jawab Dinas Kebersihan. Jumlah
kendaraan yang beroperasi dan perkiraan jumlah sampah yang terangkut tiap hari dari
masing-masing pasar disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Kios, Prakiraan Sampah yang Dihasilkan dan Jumlah Truck Masing-
masing Pasar di Kota Bandar Lampung
Kendaraan Frekuensi
Perkiraan Jumlah
Jumlah Kios Pengangkut Sampah Pengangkutan
sampah yang
(unit) yang Dimiliki Sampah per hari
Nama Pasar Dihasilkan (m3)
(unit) (kali)
Non- Kontainer/ Truk/ Kontainer/ Truk/
Sayuran Organik Aorganik
sayuran Dumptruck ARMROL Dumptruck ARMROL
Panjang 622 575 2 3 1 0 1 0
Kangkung 407 254 2 3 1 0 1 0
Gudang Lelang 44 130 1 2 0 1 0 1
Cimeng 108 346 1 2 0 1 0 1
Tamin 207 176 4 1 1 0 1 0
Pasir Gintung 400 193 12 3 1 0 3 0
Baru 160 362 6 3 0 1 0 3
Bambu Kuning 0 540 0 3 0 1 0 1
Bawah 100 23 1 2 0 1 0 1
Tugu 354 192 2 3 1 0 1 0
Way Halim 262 296 2 3 1 0 1 0
Way Kandis 180 76 1 1 1 0 1 0
Beringin Raya 90 30 1 1 1 0 1 0
2934 3193 35 30 8 5 10 7
Sumber: Dinas Pasar Kota Bandar Lampung (2005)
Di samping sampah tersebut di atas, sampah permukiman dan pasar tradisional berada di
bawah tanggung jawab camat. Sampah ini juga diangkut ke TPA Bakung.
Selain menampung sampah, TPA Bakung juga menampung tinja dari masyarakat Bandar
Lampung. Pengangkutan tinja ini berada di bawah tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota
Bandar Lampung. Kondisi pengolahan tinja di TPA Bakung saat ini sudah rusak.
Mengatasi berbagai problemantika lingkungan hidup yang semakin rumit dimasa mendatang
memang tidak mudah. Apalagi piranti hukum dan kelembagaan yang ada mengidap berbagai
keterbatasan. Namun untuk menuju perbaikan yang menyeluruh ada beberapa hal yang
tampak perlu mendapat perhatian, yakni:
b. Lingkup fungsi dan peran lembaga pemerintahan yang membidangi lingkungan hidup,
perlu lebih diefektifkan, yakni dengan memberikan peluang yang lebih leluasa, baik dalam
kerangka pembinaan masyarakat maupun penegakkan hukum. Sehubungan dengan itu,
lembaga Kementerian Negara Lingkungan Hidup seyogyanya lebih disempurnakan agar
dapat mengatasi segala persoalan dengan cepat, baik melalui instrumen pengadilan
maupun diluar itu.
Tabel 3: Jumlah Kelurahan, LK, RW dan RT Per Kecamatan di Kota Bandar Lampung Tahun 2004
JUMLAH
No KECAMATAN
KEL. LK RW RT
1. Teluk Betung Barat 8 24 47 132
2. Teluk Betung Selatan 11 26 99 301
3. Panjang 7 18 60 204
4. Tanjungkarang Timur 11 25 96 246
5. Teluk Betung Utara 10 21 72 230
6. Tanjungkarang Pusat 11 26 115 226
7. Tanjungkarang Barat 6 19 52 150
8. Kemiling 7 20 76 230
9. Kedaton 8 23 46 138
10. Rajabasa 4 8 16 78
11. Tanjung Seneng 4 10 22 98
12. Sukarame 5 16 51 166
13. Sukabumi 6 17 51 151
Jumlah 98 253 803 2.350
Sumber: Buku Bandar Lampung Dalam Angka Tahun 2004.
186 PROSIDING
Dari tabel di atas, terdapat 3.406 Pamong Kelurahan yang terdiri dari Ketua Lingkungan,
Ketua Rukun Warga (RW) dan Ketua Rukun Tetangga (RT) yang dapat menggerakkan
partisipasi warga masyarakat dalam pemberdayaan kebersihan lingkungan.
Keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik faktor
intern maupun faktor ekstern salah satu faktor ekstern tersebut adalah partisipasi dan
pemberdayaan pamong kelurahan. Menyadari bahwa masyarakat kota yang heterogen baik
tingkat pendidikan, kultur, maupun jenis pekerjaan maka dalam berpartisipasi diperlukan
stimulus dari “atas”, yang secara langsung atau tidak, pengaruh dan tindakan pemimpin akan
membangkitkan dan memberdayakan anggota masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam
segala bentuk kegiatan. Peranan para pemimpin dalam pembangunan antara lain:
Dengan memperhatikan peran dan tugas pemimpin jika dikaitkan dengan masalah pengelolaan
lingkungan hidup yang merupakan program pemerintah dewasa ini, maka keterlibatan pamong
kelurahan menjadi sangat penting dalam memberdayakan masyarakat di sekitarnya. Pengelolaan
lingkungan hidup seba-gaimana yang dimaksud dalam UU RI No 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, peme-liharaan,
pemulihan, pengawasan dan pengen-dalian lingkungan hidup.
Lingkungan hidup disini merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya yang ada di sekitar
kota yang menjadi tanggung jawab pamong yang bersangkutan.
5. Bina institusi
(a) Membangun jaringan (networking) dan koordinasi.
(b) Membangun basis peran serta masyarakat.
Bina manusia adalah fokus penting dalam upaya pembinaan dan upaya pemberdayaan karena fakta
yang ada menunjukkan bahwa sebenarnya ada pergeseran fungsi pamong kelurahan yang tadinya
sebagai pembimbing masyarakat bergeser ke fungsi sebagai administratur di tingkat pemerintah yang
paling bawah. Pergeseran tersebut tentunya akan merubah perilaku dan pemahaman tentang tugas
dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat.
Bina lingkungan merupakan isu yang perlu dibangun dikalangan pamong kelurahan dan seluruh warga
masyarakat. Pembinaan lingkungan perlu dikedepankan karena masalah lingkungan harus menjadi
masalah bersama.
Bina usaha diarahkan pada pembinaan untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya mandiri,
membangun akses pasar hasil daur ulang, membangun akses modal dan terwujudnya legitimasi
aktifitas berusaha.
Dalam upaya mewujudkan ketiga aspek tersebut diatas, diperlukan kebijakan yang konsisten dan
kelembagaan yang kuat. Kebijakan diarahkan pada perumusan hukum dan kebijakan pemberdayaan
peran serta masyarakat melalui kelompok-kelompok yang dibangun pada tingkatan akar rumput.
Kelompok-kelompok tersebut harus mampu membangun jaringan (networking) dengan dinas/instansi
terkait dan kelompok kepentingan lain yang mempunyai kepedulian terhadap kebersihan lingkungan.
KESIMPULAN
Kualitas kehidupan manusia sesungguhnya tergantung pada kondisi fisik, sosial dan ekonomi
dan tempat tinggal di mana mereka hidup baik itu di desa maupun di kota. Pada tahun 2000,
sekitar 3 miliar manusia hidup di perkotaan dan akan meningkat sekitar 5 miliar pada tahun
2025.
188 PROSIDING
daerah kumuh, menurunnya nilai sosial dan merupakan ancaman yang hebat bagi lingkungan
dan kesehjateraan manusia. Kota Bandar Lampung didalam pengelolaan kebersihan
lingkungan memerlukan pola kepemimpinan yang dapat memberdayakan masyarakat
sehingga meningkatnya partisipasi pamong kelurahan dan seluruh warganya secara bersama-
sama melaksanakan kebersihan lingkungan.
SARAN
Diperlukan strategi pemberdayaan yang optimal sehingga predikat sebagai kota terkotor dapat
dihapus dan dapat meraih kembali predikat Kota Adipura Kencana pada tahun 1990 an (tiga
tahun berturut mendapat penghargaan Adipura dari Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup).
DAFTAR PUSTAKA
Bandar Lampung Selayang Pandang, 2004, Kota Tapis Berseri, Diterbitkan oleh Pemerintah
Kota Bandar Lampung.
Bian poen, 1979, Perkampungan Kota (Kasus Kota DKI), Widyapura, No.5, Jakarta.
Daniel Murdyarso, 2003, Protokol Kyoto, Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Buk
Kompas, Jakarta.
Gist, Noel P.and Sylvia, F, 1974, Urban Society, Six Edition, Thomas J.Crowell,
p.642 – 672.
Komisi Dunia Untuk Pembangunan, 1988, Hari Depan Kita Bersama, PT. Gramedia
Jakarta.
Memahami KTT Bumi, 1992, Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan
Hidup, Rio De Janeiro, Brazil, Diterbitkan oleh SKEPHI, Indonesia
Otto Sumarwoto, 2006, Ceramah Umum Peringatan Ulang Tahun Usia ke 80 di Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Rahardjo, 1983, Perkembangan Kota dan Permasalahannya, Bina Aksara, Jakarta,
Hal. 7 – 17.
__________, dkk., 1987, Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam
Pembangunan, UI Press, Jakarta
190 PROSIDING
PEMANFAATAN ZEOLIT ALAM LAMPUNG TERAKTIFKAN (AKTIVASI FISIK)
SEBAGAI PENUKAR KATION PADA PENURUNAN KESADAHAN AIR YANG
MENGANDUNG ION MAGNESIUM
SIMPARMIN BR GINTING
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Lampung
ABSTRACT
This report outlines an investigation into the effectiveness of physical activated Lampung
Natural Zeolites (size of -10+20 and -20+30 mesh) in reducing the concentration of Mg++ in
hardening water (the initial concentration of Mg++ in the water was 113.8 mg/lt). The
concentrations (water-zeolites ratio or RZA) used were 30 : 1000 ( RZA 3 %) and 50 : 1000
(RZA 5 %). The investigation was performed at 10 times of immersion i.e. 10, 20, 30, 40, 50,
60, 70, 80, 90, and 100 minutes. The results showed that higher concentration of zeolites in
the hardening water could reduce more ion Mg++. The highest reduction of ion Mg++ in the
hardening water, in general, occurred after the immersion time of the first 10 minutes and
second 10 minutes. The reduction rates of ion Mg++ after the first 10 minutes were 12.98
mg/lt (11.41%), 16.04 mg/lt (14.09%), 25.3 mg/lt (22,23%), and 29.78 mg/lt (26.17%) for the
use of zeolite -10+20 mesh-3%, -20+30 mesh-3%, -10+20 mesh-5%, and -20+30 mesh-5%,
respectively. Meanwhile, after subsequent 10 minutes, the reduction were not significant, this
means that the rate of reduction were slow. However, after 90 minutes, there were no
adsorption of Mg++ anymore.
PENDAHULUAN
Air adalah pelarut yang baik, sehingga dapat melarutkan zat-zat dari batu-batuan yang
berkontak dengannya. Bahan-bahan mineral yang dapat terkandung dalam air karena
kontaknya dengan batu-batuan tersebut antara lain: CaCO3, MgCO3, CaSO4, MgSO4, NaCl,
Na2SO4, SiO2 dan sebagainya. Dimana air yang banyak mengandung ion-ion kalsium dan
magnesium dikenal sebagai air sadah. Kesadahan air ini dapat menyebabkan kesukaran
pembentukan busa oleh sabun. Sabun dalam air bereaksi lebih dulu dengan ion-ion ini
sebelum dapat berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan air, akibatnya pemakaian
sabun akan meningkat jika air itu digunakan sebagai air pencuci. Senyawa-senyawa kalsium
dan magnesium ini relatif sukar larut dalam air, sehingga senyawa-senyawa ini cenderung
untuk memisah dari larutan dalam bentuk endapan atau precipitation yang kemudian melekat
pada logam (wadah) dan menjadi keras sehingga mengakibatkan timbulnya kerak.
Karena air merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia, maka manusia berusaha
memanfaatkan air dari berbagai sumber yang dapat digunakan secara langsung maupun
melalui tahap pengolahan terlebih dahulu. Salah satu sumber air yang paling mudah didapat
adalah air tanah permukaan, tetapi pada umumnya kualitas air tanah permukaan belum
memenuhi standar air minum yang disyaratkan oleh Dinas Kesehatan. Air tanah permukaan
belum terbebas dari mineral-mineral yang membentuk kesadahan. Maka tidak berlebihan bila
masalah air minum yang berasal dari air tanah permukaan ini merupakan masalah nasional,
karena sebagian besar rakyat Indonesia tergantung sepenuhnya kepada air tanah permukaan
untuk memenuhi hajat hidup utama, yaitu air minum. Oleh sebab itu, sangat diperlukan suatu
cara untuk dapat meningkatkan mutu air tanah permukaan agar layak digunakan untuk
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengolah air minum, yaitu: 1). secara kimia,
misalnya dengan menggunakan tawas dan kaporit, 2). secara fisik dengan menggunakan
aneka ragam bahan sebagai penyaring seperti batu kerikil, pasir, ijuk, dan zeolit alam, dan
3). gabungan secara kimiawi dan fisik.
Pengolahan atau penyaringan logam-logam berat, penurunan kesadahan dan turbidity dalam
air tanah permukaan yang dilakukan secara fisik (menggunakan zeolit alam) telah dilakukan
oleh banyak peneliti, diantaranya Ginting (2003), Suyartono dan Husaini (1992), dan Atastina
(1999). Disamping itu, zeolit alam ini tersedia sangat melimpah di Propinsi Lampung. Ginting
(2003) telah membuktikan kemampuan zeolit alam Lampung dalam menjerap logam berat
Fe++ dalam air tanah sebesar 0,2168 mg/lt, sedangkan terhadap logam Mn++ sebesar 4,1468
mg/lt. Di lain penelitian, Suyartono dan Husaini (1992) menyatakan bahwa zeolit alam Bayah
teraktifkan mampu menurunkan kesadahan air tanah dari 4,03 mg/lt menjadi 1,79 mg/lt.
Sementara itu, Atastina (1999) melaporkan bahwa zeolit alam Lampung teraktifkan mampu
menurunkan konsentrasi ion Kalsium dalam air sadah dari 1200 ppm hingga di bawah 500
ppm.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pemakaian zeolit alam jenis klinoptilolit (zeolit alam
Lampung) untuk menjerap ion magnesium (Mg++) sangat baik dilakukan, dan hal ini dapat
berakibat semakin rendahnya tingkat kesadahan air yang diolah. Oleh karena itu, serangkaian
percobaan telah dilakukan untuk mengamati kemampuan zeolit alam Lampung teraktivasi
fisik dalam menjerap ion magnesium dalam air tanah. Aktivasi fisik terhadap zeolit bertujuan
untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori kristal zeolit, sehingga jumlah pori-
pori dan luas permukaan spesifiknya bertambah. Dengan demikian, daya adsorb zeolit
terhadap ion Mg++ menjadi lebih meningkat.
METODE PENELITIAN
Persiapan Bahan
Zeolit alam Lampung pertama-tama digerus menggunakan lumpang porselin sampai ukuran
butir tertentu, lalu disaring dengan menggunakan ayakan untuk mendapatkan ukuran -10 + 20
mesh dan - 20 + 30 mesh. Selanjutnya, zeolit alam yang telah disaring ini diaktivasi secara
fisik dengan cara dipanaskan di dalam oven pada temperatur 300 oC selama 3 jam (Hendri,
2000 dan Saksono, 1997). Zeolit yang telah dipanaskan ini kemudian didinginkan di dalam
desikator, lalu disimpan di dalam container-nya sebelum digunakan.
Di sisi lain, kesadahan air dibuat dengan melarutkan MgCl2 ke dalam air. Dalam air, MgCl2
terionisasi menjadi Mg++ dan Cl-. Ion Mg++ inilah yang diturunkan konsentrasinya dalam air.
Rasio zeolit-air sadah (RZA) divariasikan: 30 : 1000 (g/ ml) atau 3%, dan 50 : 1000 (g/ ml)
atau 5%. Waktu kontak antara zeolit dengan air sadah juga divariasikan : 10, 20, 30, 40, 50,
60, 70, 80, 90, dan 100 menit.
Prosedur Penelitian
Pertama-tama air sampel simulasi (air sadah buatan) dianalisis dengan Spektrofotokopi
Serapan Atom (SSA). Selanjutnya, zeolit alam teraktivasi fisik ukuran -10 + 20 mesh
192 PROSIDING
dicampurkan dengan air sampel simulasi dengan RZA 3 % selama 10 menit. Air sadah yang
telah berkontak dengan zeolit selama 10 menit ini diambil untuk dianalisis. Pengujian
dilanjutkan untuk waktu kontak lainnya, yaitu 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100 menit.
Setelah itu, pengujian dengan kondisi yang sama dilakukan lagi untuk kondisi RZA yang
berbeda, yaitu 5%.
Pengujian dengan kondisi yang sama kemudian dilakukan menggunakan zeolit alam
teraktivasi fisik ukuran lainnya, yaitu -20 + 30 mesh. Pada setiap pengujian dilakukan
pengukuran besaran. Besaran yang diukur adalah banyaknya kandungan ion magnesium
(Mg++) yang dinyatakan dalam mg/lt. Kondisi operasi untuk proses filtrasi ini adalah pada
suhu kamar dan tekanan atmosfir.
Konsentrasi ion Mg++ dalam air sadah simulasi setelah dikontakkan dengan zeolit teraktivasi
fisik pada dua RZA, untuk waktu perendaman 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100
menit ditunjukkan pada Gambar 1.
120
Konsentrasi Mg++, mg/lt
110
30F1020
100
30F2030
50F1020
90
50F2030
80
70
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu Perendaman, menit
Gambar 1. Penurunan Konsentrasi ion Magnesium (Mg++) oleh Zeolit Aktivasi Fisik,
pada beragam RZA
Dari Gambar 1 terlihat bahwa zeolit alam Sidomulyo-Lampung yang telah diaktivasi secara
fisik dapat menurunkan konsentrasi ion Mg++ secara cukup signifikan, terutama pada 10 menit
pertama dan kedua. Hal ini dikarenakan pada saat awal masih terdapat beda konsentrasi yang
sangat besar antara permukaan adsorben dengan larutan sampel, hal inilah yang menjadi
driving force untuk terjadinya transfer massa dari larutan sampel ke permukaan adsorben.
Semakin kecil ukuran zeolit, maka penurunan konsentrasi Mg++ dalam air sadah semakin
tinggi. Hal ini dapat terjadi karena semakin kecil ukuran zeolit yang digunakan, maka
semakin besar pula luas permukaan kontak zeolit, sehingga air sadah berkontak lebih besar
dengan zeolit. Hal yang serupa juga terjadi pada nilai RZA yang lebih tinggi, semakin tinggi
nilai RZA, makin besar Mg++ yang mampu diadsorb. Semakin besar nilai RZA berarti jumlah
zeolit yang digunakan lebih banyak, sehingga air sadah berkontak dengan permukaan zeolit
yang lebih banyak.
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 193
Gambar 1 menunjukkan bahwa zeolit aktivasi fisik hingga 10 menit pertama mampu
menurunkan konsentrasi Mg++ sebesar 12,98 mg/lt (11,41 %), 16,04 mg/lt (14,09 %), 25,3
mg/lt (22,23 %), dan 29,78 mg/lt (26,17 %) dari konsentrasi awal air sadah sebesar 113,8
mg/lt, masing-masing menggunakan zeolit aktivasi fisik 3 % ukuran -10+20 mesh dan -20+30
mesh (disingkat 30F1020 dan 30F2030), 5 % ukuran -10+20 mesh dan -20+30 mesh
(disingkat 50F1020 dan 50F2030). Sedangkan hingga 10 menit kedua, laju penurunan Mg++
yang terjadi untuk keempat zeolit tersebut jauh lebih kecil dibanding setelah 10 menit
pertama. Laju penurunan yang terjadi adalah 6,16 mg/lt (5,41%), 8,03 mg/lt (7,06%), 3,69
mg/lt (3,24%), dan 3,56 mg/lt (3,13%), secara berturut-turut. paling besar juga diturunkan
oleh zeolit 50F2030 yaitu sebesar 33,34 mg/lt (29,30 %). Dari keempat zeolit aktivasi
tersebut, nilai konsentrasi Mg++ maksimum yang mampu diturunkan oleh masing-masing
zeolit yaitu sebesar 27,14 mg/lt (23,85 %), 32,88 mg/lt (28,89 %), 40,37 mg/lt (35,47 %), dan
42,53 mg/lt (37,37 %). Hasil maksimum ini terjadi pada waktu kontak yang berbeda.
Hal lain yang dapat dikaji dari Gambar 1 adalah secara umum penurunan konsentrasi ion
Mg++ pada menit-menit berikutnya (di atas 20 menit, apalagi setelah 30 menit), tidak lagi
terlihat signifikan, artinya laju penurunan konsentrasi ion Mg++ telah sangat lambat. Zeolit
30F1020 masih mampu menjerap ion Mg++ hingga waktu perendaman 100 menit. Zeolit
30F2030 dan 50F1020 tidak mampu lagi menjerap ion Mg++ di atas 80 menit, sedangkan
zeolit 50F2030 di atas 70 menit. Artinya laju penurunan ion Mg++ di atas waktu-waktu
perendaman yang disebutkan tadi untuk masing-masing zeolit sudah menurun, daya adsorb
zeolitnya telah lebih buruk dari waktu perendaman sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh
muatan kerangka zeolit telah hampir netral/ jenuh. Akibatnya ion-ion Mg++ yang telah
diadsorb oleh kerangka zeolit tadi dapat terlarut kembali, sehingga konsentrasi air sadah
menjadi lebih meningkat. Alasan lain dapat disebabkan oleh mutu zeolit alam Sidomulyo-
Lampung ini kurang baik, jadi zeolit teraktifkan tersebut hanya mampu menjerap ion Mg++
hanya hingga nilai tertentu. Sebagai contoh, pada penggunaan zeolit 50F2030, setelah waktu
perendaman 70 menit konsentrasi ion Mg++ dalam air sadah adalah sebesar 71,27 mg/lt. Akan
tetapi setelah waktu perendaman 80 menit, konsentrasi ion Mg++ dalam air sadah menjadi
72,73 mg/lt, lebih tinggi dari sebelumnya. Begitu pula untuk menit-menit berikutnya,
konsentrasi ion Mg++ dalam air sadah setelah pengujian selalu lebih besar dari 71,27 mg/lt.
KESIMPULAN
Keefektifan zeolit alam Lampung teraktivasi fisik dalam menurunkan konsentrasi ion Mg++
dalam air sadah telah dibuktikan melalui penelitian ini. Ukuran zeolit, RZA, dan waktu
perendaman benar-benar mempengaruhi daya adsorb terhadap ion Mg++. Dari hasil penelitian
ini diperoleh bahwa zeolit teraktivasi fisik 50F2030 mampu menurunkan konsentrasi ion
Mg++ lebih tinggi dibanding zeolit teraktivasi fisik lainnya. Secara umum penurunan
konsentrasi ion Mg++ paling tinggi terjadi setelah pengontakan 10 menit pertama dan 10 menit
kedua untuk semua jenis zeolit teraktivasi. Sedangkan pada menit-menit berikutnya,
penurunan yang signifikan tidak terlihat lagi, artinya laju penurunan konsentrasi ion Mg++
telah sangat lambat ( hampir mendekati konstan). Semakin kecil ukuran zeolit yang
digunakan, memberikan laju penurunan ion Mg++ yang lebih tinggi. Begitu pula pada operasi
RZA yang lebih tinggi, memberikan laju penurunan ion Mg++ yang lebih tinggi pula. Waktu
kontak lebih lama tidak selalu menjamin terjadinya penjerapan ion Mg++ yang lebih besar
194 PROSIDING
DAFTAR PUSTAKA
Atastina, S.B., Praswasti, P.D,K., Wulan, dan Syarifudin, 1999, “Penghilangan Kesadahan
Air Yang Mengandung Ion Ca2+ Dengan Menggunakan Zeolit Alam Lampung
Sebagai Penukar Kation”, Laporan Penelitian Jurusan Teknik Gas dan Petrokimia,
Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Jakarta.
Bekkum, V.H., Flanigen, E.M., and Jansen, J.C., 1991, “Introduction to Zeolite Science and
Practice”, Elsevier Science Publishers B.V., Netherlands.
Ginting, S.B., 2003, “Kemampuan Zeolit Alam Dalam Menjerap Logam-Logam Berat (Fe++
dan Mn++) Dalam Air Tanah”, Prosiding Seminar Hari Air Sedunia IX Di Propinsi
Lampung, Pemda Propinsi. Lampung-Universitas Lampung, Bandarlampung.
Hendri, J., 2000, “Gabungan Aktifasi Asam Sulfat dan Pemanasan Zeolit Lampung Terhadap
Daya Adsorbsi Ion Amonium”, Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 6 No. 1,
Bandarlampung.
Ribeiro, F.R., Rodrigues, A.E., Rollman, L.D., and Naccache, C., 1984, “Zeolites: Science
and Technology”, Proceedings of the NATO ASI Series, The Netherlands.
Saksono, N., Roekmijati, W.S., dan Jannah, P., 1997, “ Pengaruh Panas Terhadap Ketahanan
Zeolit Alam dan Sintesis H-Zeolit dengan Larutan Ammonium Asetat dan
Ammonium Hidroksida”, Jurnal Teknologi no.4 FT-UI, Jakarta.
Suyartono dan Husaini, 1992, “Kegiatan Penelitian Dan Pengembangan Zeolit Indonesia
Periode 1980-1981”, Majalah Pertambangan & Energi Nomor 5 Tahun XVII,
PPTM, Bandung.
ABSTRAK
Teknologi pelunakan air dengan menggunakan penukar ion sudah cukup berkembang. Zeolit
merupakan salah satu ion exchanger yang sering digunakan untuk pertukaran ion positif. Pada
penelitian ini digunakan zeolit alam yang merupakan salah satu sumber daya alam Lampung
yang cukup berlimpah. Zeolit alam tersebut diaktivasi dengan cara fisika dan kimia. Aktivasi
ini dilakukan untuk membersihkan pori-pori zeolit dari pengotor dan menghilangkan air yang
terjebak di pori-pori. Pembersihan pori-pori ini sangat menentukan laju penjerapan ion Mg2+
ke dalam zeolit diikuti dengan reaksi pertukaran ion yang biasanya berlangsung sangat cepat.
Dengan adanya pengadukan pada saat pengamatan laju adsorpsi ion Mg2+ dalam larutan air
sadah maka tahanan transfer massa di film zeolit dapat diabaikan. Dengan demikian maka laju
adsorpsi ion Mg2+ ini dapat didekati dengan model difusi pori. Dengan menggunakan prinsip
chemical engineering tools diperoleh persamaan matematis yang menggambarkan fenomena
fisis laju pertukaran kation di dalam zeolit, yaitu sebagai berikut :
dwA π Deff
( )
2
*
= 2
wA − wA
dt r
Dan dengan metode regresi linier diperoleh Difusivitas Efektif ion Mg2+ dalam zeolit alam
Lampung yang telah diaktivasi secara fisika dan kimia untuk ukuran butir -10+20 dan -20+30
mesh dan rasio zeolit air sadah (RZA) 30 : 1000 dan 50 : 1000 g/mL dengan kesalahan relatif
rata-rata model persamaan terhadap data percobaan sebesar 7,59 %.
PENDAHULUAN
Dalam perjalanan daur hidrologinya, air banyak menyerap berbagai bahan pengotor di
antaranya adalah ion Ca2+ dan Mg2+. Kedua ion ini yang menyebabkan air bersifat sadah yang
akan menyebabkan kesukaran pembentukan busa, dimana sabun di dalam air akan bereaksi
terlebih dahulu dengan ion-ion ini sebelum dapat berfungsi untuk menurunkan tegangan
permukaan air. Akibatnya pemakaian sabun akan meningkat jika air itu digunakan sebagai air
pencuci. Senyawa-senyawa yang dibentuk dari kedua ion ini akan sukar larut dalam air,
sehingga senyawa-senyawa ini cenderung untuk membentuk endapan yang akan melekat pada
logam dan menjadi keras sehingga mengakibatkan timbulnya kerak.
Di industri, untuk menghasilkan steam dibutuhkan air umpan yang mendekati murni atau
disebut boiler feed water (air umpan boiler). Untuk menghasilkan air ini dibutuhkan
perlakuan khusus diantaranya adalah penghilangan kandungan kation dan anion serta gas-gas
terlarut. Perlakuan khusus tersebut dilakukan setelah perlakuan umum yaitu menurunkan
turbidity sekecil mungkin melalui operasi fisika seperti pengendapan dan filtrasi. Berbagai
komponen ini tidak dikehendaki di dalam operasi boiler karena dapat mempercepat terjadinya
korosi dan pengerakan di dinding tube pada boiler.
196 PROSIDING
Untuk menghilangkan kation di dalam air, biasanya digunakan zeolit sintetis sebagai bahan
penukar ionnya. Jenis zeolit yang biasa digunakan adalah zeolit sintetis jenis H-Zeolit dan Na-
Zeolit. Pada umumnya zeolit sintetis ini mahal harganya sehingga perlu dicari alternatif
penukar ion yang murah dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap berbagai
macam ion serta tersedia dalam jumlah yang melimpah.
Dari berbagai penelitian, zeolit alam mempunyai kemampuan yang relatif baik dalam
menjerap ion dan harganya murah. Kemampuan zeolit alam dalam menjerap ion akan
meningkat jika sebelum digunakan diaktivasi terlebih dahulu. Suyartono dan Husaini (1992)
menyatakan bahwa zeolit alam Bayah yang telah diaktifkan mampu menurunkan kesadahan
air tanah dari 4,03 mg/L menjadi 1,79 mg/L. Sementara itu Atastina (1999) melaporkan
bahwa zeolit alam Lampung yang telah diaktifkan mampu menurunkan konsentrasi ion Ca2+
dalam air sadah dari 1200 ppm hingga dibawah 500 ppm. Sedangkan Ginting (2003) telah
membuktikan kemampuan zeolit alam Lampung dalam menjerap logam berat Fe2+ dalam air
tanah sebesar 0,2168 mg/L dan terhadap logam Mn2+ sebesar 4,1468 mg/L. Mulyono (1999)
telah melakukan penelitian daya jerap zeolit alam Lampung yang telah diaktifkan secara fisik
dan kimia terhadap ion NH4+ dengan kisaran daya jerap 1,7182 – 2,117 mg/gr zeolit.
Sementara itu, Ressiani (1999) melaporkan daya jerap zeolit alam Lampung yang telah
diaktifkan secara fisik maupun kimia terhadap ion NH4+ dengan kisaran daya jerap 3,6852 –
7,5072 mg/g zeolit.
Dari berbagai penelitian tersebut dan percobaan pendahuluan yang telah dilakukan,
diharapkan zeolit alam Lampung yang telah diaktivasi secara fisik dan kimia mampu
menurunkan kesadahan air yang mengandung ion Mg2+. Penelitian ini ditekankan untuk
mencari tetapan perancangan yang akan menentukan dimensi Adsorber yang ingin dirancang.
Salah satu tetapan perancangan yang penting adalah Difusivitas Efektif yang menentukan laju
kinetika reaksi pertukaran ion keseluruhan. Untuk keperluan ini maka sebelumnya disusun
model matematis yang menggambarkan laju penjerapan ion Mg2+ dalam zeolit alam ini.
METODE PENELITIAN
Persiapan Bahan
Zeolit alam digerus dengan menggunakan lumpang porselen sampai ukuran butir tertentu,
kemudian diayak untuk mendapatkan ukuran -10+20 mesh (~ 1,504 mm) dan -20+30 mesh (~
0,803 mm). Sebagian zeolit alam yang telah diayak ini kemudian diaktivasi secara fisika
maupun kimia.
Aktivasi Fisika
Zeolit dicuci dengan air kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 300 oC selama 3 jam.
Zeolit yang telah dipanaskan ini kemudian didinginkan di dalam desikator, untuk selanjutnya
disimpan di dalam container-nya sebelum digunakan.
Aktivasi zeolit alam secara kimia dilakukan dengan mencampur zeolit alam dengan NaOH 0,5
N dengan rasio zeolit-larutan NaOH 1 : 1 dan dengan lama pengadukan 3 jam. Setelah
pengadukan selesai, lalu zeolit dicuci dengan air, selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105 oC selama 3 jam. Zeolit yang telah dipanaskan ini kemudian didinginkan di dalam
desikator, untuk selanjutnya disimpan di dalam container-nya sebelum digunakan.
Kesadahan air dibuat dengan melarutkan MgCl2 ke dalam air, selanjutnya larutan ini disebut
air sadah simulasi. Air sadah simulasi ini dianalisa dengan menggunakan Spektrofotokopi
Serapan Atom (SSA) yang dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kimia-FMIPA
UNILA.
Variabel Penelitian
Diambil 3 variabel untuk masing-masing zeolit yang diaktivasi secara fisik maupun kimia
yaitu rasio zeolit - air sadah (30 g : 1000 mL dan 50 g : 1000 mL), ukuran butir (-10+20 mesh
dan -20+30 mesh) dan waktu kontak (10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100 menit).
Perlakuan
Zeolit yang telah diaktivasi (fisika maupun kimia) dengan ukuran tertentu dicampurkan
dengan air sadah simulasi dengan rasio tertentu, kemudian setiap waktu kontak yang telah
ditentukan diambil cuplikan untuk dianalisa kandungan ion Mg2+ dengan menggunakan
Spektrofotokopi Serapan Atom (SSA) yang dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Jurusan
Kimia-FMIPA UNILA.
Mekanisme adsorpsi zeolit alam terhadap ion Mg2+ dalam larutan sadah dianggap mengikuti
teori 2 film (Treybal, 1981), yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Transfer massa ion Mg2+ dari cairan bulk ke permukaan luar zeolit.
2. Difusi ion Mg2+ dari permukaan luar zeolit ke tempat terjadinya reaksi pertukaran ion
melalui pori-pori zeolit.
3. Reaksi pertukaran ion di permukaan pori antara ion Mg2+ dengan ion Na+.
4. Difusi balik ion Na+ ke permukaan luar zeolit.
5. Transfer massa ion Na+ dari permukaan luar zeolit ke cairan bulk.
Reaksi pertukaran ion yang terjadi pada proses penjerapan ion Mg2+ oleh zeolit adalah
sebagai berikut :
( )
2 Na + Z − + Mg 2+ + 2Cl 2− ⇔ Mg 2+ Z − 2 + 2 Na − + 2Cl 2− (2)
Disini : Z = Unit tetrahedral AlO4 pada zeolit.
Pada umumnya pertukaran antara ion-ion dengan beda valensi dan mobilitas dipengaruhi oleh
diffusion potential yang disebabkan oleh beda ke-elektrostatik-an dan driving force karena
beda konsentrasi (Richardson, 2002).
198 PROSIDING
Berdasarkan hukum Fick, difusi ion Mg2+ di dalam pori zeolit dapat dijabarkan sebagai
berikut :
∂C A
J A = − Deff (3)
∂r
Difusivitas efektif ini telah memperhitungkan difusi balik ion Na+ di dalam pori dan beda ke-
eletrostatik-an kedua ion.
Dalam menyelesaikan model matematis difusi ion Mg2+ dalam pori zeolit, diperlukan untuk
menentukan beberapa asumsi sebagai berikut :
Gambar 1. Skema aliran ion Mg2+ di dalam zeolit pada elemen jari-jari partikel sebesar ∆r.
∂
4πr 2 J A
r + ∆r
− 4πr 2 J A = −
r ∂t
(
4πr 2 ∆rC A ) (4)
r2JA − r2J A ∂C A
lim
∆r → 0
r + ∆r
∆r
r
= −r 2
∂t
∂ 2 ∂C A
∂r
( )
r J A = −r 2
∂t
(5)
Substitusi JA pada persamaan (5) dengan hukum Fick (persamaan (3)), diperoleh :
∂ 2 ∂C A 2 ∂C A
− Deff r = −r (6)
∂r ∂r ∂t
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 199
∂C A Deff ∂ 2 ∂C A
= 2 r (7)
∂t r ∂r ∂r
∂C A ∂ 2C A 2 ∂C A
= Deff + (8)
∂t ∂r
2
r ∂r
Persamaan (8) telah diselesaikan secara analitis oleh Eagle dan Scott (Richardson, 2002)
untuk kondisi dimana konsentrasi di luar partikel zeolit dianggap tetap dan tahanan transfer
massa di batas film dapat diabaikan. Dari penyelesaian analitis tersebut diperoleh:
C A − C A0 6 ~
1 Deff π 2t
*
C A − C A0
= 1− 2
π
∑
n =1 n
2
exp− 2 2
nr
(9)
Untuk t yang sangat besar (t = ~) maka persamaan (9) dapat disederhanakan menjadi :
C A − C A0 6 Deff π 2t
= 1 − 2 exp − (10)
*
C A − C A0 π r 2
dC A π Deff
( )
2
*
= 2
CA − CA (11)
dt r
Jika konsentrasi Mg2+ di dalam zeolit yang digunakan adalah fraksi berat (wA) maka
persamaan menjadi :
dwA π Deff
( )
2
*
= 2
wA − wA (12)
dt r
Analisa Data
Untuk mendapatkan konsentrasi ion Mg2+ yang terjerap dalam zeolit dapat dihitung dengan
neraca massa antara ion Mg2+ sebelum dan sesudah penjerapan sehingga diperoleh persamaan
matematis sebagai berikut :
V
wA = (C0 − C ) (13)
M
200 PROSIDING
Analisa data dilakukan dengan Metode Differensial, dimana dwA/dt (pada persamaan (12)) ~
∆wA/∆t sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
∆wA
= α + β wA (14)
∆t
π 2 Deff
Dimana : α= 2
wA
*
r
π 2 Deff
β =−
r2
Persamaan (14) dapat dianggap persamaan linier dengan slope β dan intercept α. Dengan
regresi linier maka harga α dan β dapat diperoleh dan harga Deff dapat dihitung. Kemudian
dengan mengintegrasi persamaan (12) akan diperoleh persamaan untuk menghitung wA
berdasarkan Deff yang telah diperoleh, sebagai berikut :
π 2 Deff t
wA = w*A − exp − (15)
r 2
Hasil perhitungan model matematis laju difusi ion Mg2+ dalam zeolit alam Lampung
ditampilkan dalam Gambar 2 dan 3 serta Tabel 1.
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu Kontak, t (menit)
Gambar 2. Kurva Adsorpsi Mg2+ dalam Zeolit Alam Lampung Yang Diaktivasi Secara Fisik
1.4
1.2
0.8
2+
0.6
0.4
0.2
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Waktu Kontak, t (menit)
Gambar 3. Kurva Adsorpsi Mg2+ dalam Zeolit Alam Lampung Yang Diaktivasi Secara Kimia
Tabel 1. Hasil Analisa Data Penjerapan ion Mg2+ dalam Zeolit Alam Lampung
Berdasarkan persamaan (12), laju difusi berbanding lurus dengan difusivitas dan driving force
(wA* - wA) serta berbanding terbalik dengan kuadrat jari-jari butir zeolit (jarak lintasan
difusi).
Dari Gambar 1 dan 2 terlihat laju difusi semakin besar dengan semakin kecil jari-jari butir
zeolit, hal ini disebabkan karena jarak lintas ion Mg2+ mendifusi akan semakin kecil. Dan
terlihat pula laju difusi semakin besar dengan semakin sedikitnya jumlah zeolit yang
digunakan, hal ini disebabkan karena kapasitas jerap zeolit menjadi semakin kecil sehingga
kesetimbangan akan semakin cepat tercapai. Secara umum, aktivasi kimia lebih baik dari pada
aktivasi fisika karena dengan aktivasi kimia menggunakan NaOH akan semakin banyak
jumlah ion Na+ yang dapat dipertukarkan sehingga kapasitas jerap akan semakin besar.
202 PROSIDING
berubah dengan perubahan jumlah zeolit. Dan terjadi sedikit peningkatan harga difusivitas
dengan aktivasi kimia. Hal ini disebabkan jumlah Na+ yang ditambahkan pada saat aktivasi
kimia tidak begitu banyak karena jumlah atom Al di dalam zeolit tidak begitu besar.
Perubahan harga difusivitas berubah cukup signifikan dengan perbedaan ukuran butir zeolit.
Dari Tabel 1 terlihat semakin kecil ukuran butir zeolit yang digunakan maka semakin kecil
nilai difusivitas. Hal ini disebabkan karena kesetimbangan elektrostatik antara ion Mg2+ dan
ion Na+ semakin cepat tercapai. Namun secara umum hal ini tidak berpengaruh terhadap laju
difusi secara keseluruhan, karena beda konsentrasi ion Mg2+ sebagai driving force masih
cukup signifikan. Sehingga dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2, laju difusi akan semakin besar
dengan semakin kecilnya ukuran butir zeolit.
KESIMPULAN
Model difusi pori cukup baik menggambarkan laju difusi Mg2+ di dalam zeolit alam Lampung
yang telah diaktivasi secara fisika maupun kimia dengan kesalahan relatif rata-rata sebesar
7,59 %. Laju difusi tidak hanya dipengaruhi oleh nilai difusivitas, namun juga ukuran butir
zeolit dan kapasitas jerap zeolit. Kondisi terbaik proses adsorpsi ion Mg2+ menggunakan
zeolit alam Lampung adalah pada RZA = 30 g : 1000 mL ; ukuran butir zeolit -20+30 mesh ;
dan zeolit diaktivasi secara kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, S. B., 2003, ”Kemampuan Zeolit Alam dalam Menjerap Logam-Logam Berat (Fe2+
dan Mn2+) dalam Air Tanah”, Prosiding Seminar Hari Air Sedunia IX di Propinsi
Lampung, PEMDA Propinsi Lampung - Universitas Lampung, Bandarlampung.
Mulyono, P., Soemantojo, R.W., Nasikin, M., dan Artari, R., 1999, ”Pengaruh Perlakuan
Fisis dan Kimiawi Zeolit Alam Lampung terhadap Kapasitas Jerap Ion Amonium”,
Forum Teknik, Jilid 23, No. 2, 124-131, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Ressiani, 1999, ”Pengaruh Perlakuan Fisis dan Kimiawi Zeolit Alam terhadap Daya Jerap
Amoniak dalam Larutan”, Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Richardson, J.F., Harker, J.H., and Backhurst, J.R., 2002, ”Coulson and Richardson’s
Chemical Engineering : Particle Technology and Separation Processes”, 5th ed., 2nd
vol., Butterworth-Heinemann Ltd., Oxford.
Treybal, R.E., 1981, ”Mass Transfer Operations”, Mc Graw Hill Kogakusha Ltd., Tokyo.
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Oktober 2005 di perairan Pulau Puhawang,
Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perbedaan
warna media bubu karang terhadap jumlah dan bobot ikan yang tertangkap. Warna media
bubu yang digunakan sebagai perlakuan adalah biru, merah, kuning, hijau, dan tidak dicat
(warna perak kawat galvanis) sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan bubu karang yang berbeda warna pada kedalaman 20-30 m tidak berbeda nyata
terhadap jumlah ikan hasil tangkapan; sedangkan terhadap berat ikan yang tertangkap, bubu
berwarna biru memberikan hasil yang terbaik. Jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap
adalah ikan dari famili Nemipteridae, seperti kuniran (Nemipterus isacantus), belah perahu
(Nemipterus nematopus), jelek mata (Scolopsis ciliatus), dan cunung (Pentapodus setosus).
PENDAHULUAN
Ikan-ikan karang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik sebagai ikan hias maupun
untuk konsumsi. Pasar Hongkong dan Taiwan setiap tahun membutuhkan 25.000 ton ikan
karang dengan nilai hampir mencapai 1 milyar dollar Amerika (Kunzman, 2001). Keadaan
ini memungkinkan untuk dilakukan pengembangan usaha karena maximum sustainable yield
(MSY) ikan karang adalah 76.000 ton (Nurhakim et. al., 1998).
Salah satu upaya untuk meningkatkan efektivitas penangkapan dapat dilakukan dengan
aplikasi pewarnaan bahan bubu. Hal ini berdasarkan Bull (1952) dalam Gunarso (1988) yang
menyatakan bahwa sebagian besar ikan mempunyai daya penglihatan yang cukup baik untuk
membedakan warna seperti manusia, terutama ikan-ikan yang hidup di perairan yang relatif
dangkal dan banyak menerima cahaya matahari. Diduga ikan-ikan tertentu menyukai jenis
warna tertentu. Warna alat penangkap ikan yangbaik akan menyebabkan ikan tidak takut
untuk mendekati alat tangkap tersebut, bahkan dapat menarik perhatian ikan untuk mendekat
dan masuk dalam perangkap.
204 PROSIDING
Penangkapan ikan-ikan karang menggunakan racun dan bom yang selama ini digunakan
sebagian besar nelayan telah menyebabkan kerusakan terumbu karang. Untuk mengurangi
kerusakan diperlukan alternatif alat tangkap yang ramah lingkungan dan secara ekonomi
menguntungkan. Alat tangkap yang selama ini digunakan sebagai bubuefektivitasnya diduga
masih rendah, sehingga kurang diminati nelayan. Salah satu upaya untuk meningkatkan
efektivitas alat tangkap adalah dengan cara menciptakan alat tangkap yang lebih menarik.
Oleh karena ikan-ikan karang mampu membedakan warna karena hidup pada daerah di mana
sinar matahari masih tembus ke dasarnya dan ikan-ikan menyukai jenis warna tertentu, maka
pewarnaan bahan bubu diduga dapat meningkatkan efektivitas penangkapannya. Diduga ikan
akan menyukai jenis warna tertentu sehingga akan tertarik, mendekati dan masuk ke dalam
alat tangkap. Peningkatan daya tangkap bubu diharapkan dapat menarik nelayan untuk
beralih dari penggunaan bom dan racun ke alat tangkap bubu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis warna bubu yang paling efektif daya
tangkapnya. Adapun manfaat hasil penelitian ini adalah: memberi informasi kepada nelayan
warna bubu yang ideal untuk menangkap ikan; meningkatkan efektivitas alat tangkap bubu
sehingga diharapkan dapat mengurangi resiko penangkapan ikan dengan bom dan racun; serta
sebagai informasi bagi penelitian lainnya, khususnya kajian lebih lanjut mengenai desain dan
teknik penangkapan dengan bubu.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan selama 4 bulan yang berlangsung pada bulan Juli-Oktober 2005.
Penelitian awal dilakukan untuk merancang bubu karang yang digunakan untuk tahap
penelitian lapangan; sedangkan penelitian lapangan dilakukan pada daerah penangkapan ikan
di sekitar Pulau Puhawang, Kabupaten Lampung Selatan.
Alat dan bahan penelitian yang digunakan adalah bubu karang yang terbuat dari bahan kawat
galvanis sebanyak 15 unit yang dicat biru, merah, kuning, hijau, dan tidak dicat (warna perak
kawat galvanis) sebagai kontrol. Kontruksi bubu berukuran (pxlxt) 75x66x33 cm3 dan
memiliki mulut (funnel) 1 buah.
Alat-alat lainnya adalah: GPS, peta dasar Pulau Puhawang, kantong plastik sebanyak 15 buah,
tali PE berdiameter 4 mm sepanjang 30 m, alat pengukur berat (timbangan), kapal motor dan
perlengkapan selam (kompresor, masker, dan selang karet), buku identifikasi ikan, kamera,
borang isian dan alat tulis.
Penempatan bubu di dasar perairan dilakukan secara acak dan diupayakan agar jarak antara
bubu tidak berdekatan, sehingga tidak saling mempengaruhi antara satu perlakuan dengan
perlakuan lainnya. Jarak antara bubu diupayakan lebih dari 10 m. Waktu pengoperasian
bubu adalah 3 hari 2 malam. Menurut para nelayan bubu, operasi penangkapan ikan dengan
menggunakan bubu karang dapat dilakukan selama 3 hari 2 malam atau maksimal 4 hari 3
malam. Jika terlalu lama dioperasikan (lebih dari 4 hari), kemungkinan ikan yang tertangkap
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5
perlakuan warna bubu, yaitu biru, merah, kuning, hijau, dan perak/warna kawat bubu sebagai
kontrol). Masing-masing perlakuan memiliki ulangan sebanyak 3 kali. Uji signifikansi
dilakukan dengan analysis of variance (ANOVA), sedangkan uji lanjut dapat digunakan uji
beda nyata terkecil (BNT). Untuk memudahkan analisis data digunakan perangkat lunak
Program SPSS.
Data jumlah hasil tangkapan disajikan pada Lampiran 1. Jenis-jenis ikan yang dominan
tertangkap adalah dari famili Nemipteridae, yaitu sebanyak 148 ekor (47,44%); diikuti dengan
jenis lainnya yaitu famili Serranidae (14,74%), Ostraciidae (6,73%), Siganidae (5,77%), dan
Chaetodontidae (5,45%). Selebihnya, sekitar 19,87%, adalah jenis-jenis ikan dari famili
Monachantidae, Diodontidae, Hemiscyllidae, Pomacanthidae, Pomacentridae, Labridae,
Mullidae, Scaridae, Sparidae, Lethrinidae, Caesionidae, dan Scorpaenidae.
5.77
19.87
47.44
14.74
5.45 6.73
Ikan-ikan dari famili Nemipteridae yang tertangkap adalah kuniran (Nemipterus isacantus),
belah perahu (Nemipterus nematopus), jelek mata (Scolopsis ciliatus), dan cunung
(Pentapodus setosus); sedangkan dari famili Serranidae adalah kerapu klekek (Epinephelus
sexfasciatus), kerapu lodi (Plectropomus maculatus), kerapu karet loreng (Epinephelus
quoyanus), kerapu karet merah (Cephalopholis miniata), dan kerapu lumpur (Epinephelus
tauvina). Jenis-jenis ikan dari masing-masing famili secara terperinci dapat dilihat pada
Lampiran 2. Jenis ikan ekonomis penting, yaitu kerapu lodi dan kerapu lumpur (famili
Serranidae) hanya tertangkap dalam jumlah sangat sedikit, yaitu masing-masing 2 dan 1 ekor.
Ikan kerapu lodi tertangkap pada bubu kontrol dan bubu berwarna biru; sedangkan kerapu
lumpur tertangkap pada bubu berwarna kuning. Saat ini harga ikan kerapu lodi di tingkat
pedagang pengumpul berkisar antara Rp 120.000,- hingga Rp 150.000,- per kg untuk ukuran
konsumsi (≥500 gram); sedangkan harga ikan kerapu lumpur Rp 60.000 per kg.
Perlakuan bubu yang berwarna biru menghasilkan tangkapan terbanyak, yaitu 79 ekor. Bubu
warna merah menangkap 56 ekor ikan, bubu berwarna kuning menghasilkan 61 ekor ikan,
206 PROSIDING
bubu berwarna hijau menangkap ikan sebanyak 50 ekor; sedangkan ikan yang tertangkap
pada bubu kontrol adalah 66 ekor. Dari analisis statistik One way ANOVA diketahui bahwa
perbedaan warna bubu yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang nyata (significant)
terhadap jumlah ikan yang tertangkap; namun dari uji LSD terlihat bahwa antara perlakuan
bubu berwarna biru dengan bubu berwarna hijau berbeda nyata (Lampiran 3).
Tidak berbeda nyata antara perlakuan bubu terhadap jumlah ikan yang tertangkap diduga
bahwa pada kedalaman 20-30 m (daerah pemasangan bubu) intensitas cahaya matahari sudah
mulai menurun. Walaupun pada kondisi tersebut ikan masih dapat melihat karena cahaya
yang dibutuhkan ikan untuk dapat melihat adalah 10-2-10-5 lux, tetapi kemungkinan besar
beberapa warna bubu tidak dapat dikenali pada kedalaman tersebut. Jika warna suatu benda
merefleksikan cahaya dengan warna yang sama, dan pada kedalaman tertentu di dalam air
tidak semua cahaya dapat menembusnya, maka warna benda di dalam air pada kedalaman
tersebut tidak dapat dikenali. Hal ini sesuai dengan pendapat Nomura dan Yamazaki (1977),
yang menyatakan bahwa cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mengalami reduksi
yang jauh lebih besar bila dibandingkan dalam udara. Cahaya dengan warna berbeda akan
diserap secara berbeda pula oleh air sejalan dengan kedalaman air. Sinar merah tidak akan
menembus lebih dari 10 m, disusul kemudian jingga dan kuning. Sinar biru dan violet
mampu menembus lebih dalam. Dengan demikian pada kedalaman 20 hingga 30 m, ikan-
ikan yang tertangkap diduga tidak memiliki preferensi tertentu terhadap warna bubu.
Jumlah ikan yang tertangkap pada bubu juga sangat dipengaruhi oleh sifat ikan tersebut.
Ikan-ikan yang biasa hidup berkelompok (schooling) cenderung untuk tertangkap dalam
jumlah banyak; sedangkan ikan-ikan yang bersifat soliter cenderung tertangkap dalam jumlah
sedikit. Hal ini terlihat jelas pada beberapa bubu yang menangkap ikan-ikan dari famili
Nemipteridae yang biasa hidup berkelompok, dimana ikan-ikan tersebut tertangkap dalam
jumlah yang relatif banyak. Sebaliknya, pada bubu yang menangkap ikan-ikan yang bersifat
soliter, seperti famili Serranidae, Scorpaenidae, dan Hemiscyllidae, terlihat bahwa ikan-ikan
tesebut tertangkap dalam jumlah yang relatif sedikit. Proses tertangkapnya ikan pada bubu
diduga juga mempengaruhi hasil tangkapan. Jika ikan yang tertangkap oleh bubu di awal
setting adalah jenis predator, maka ikan-ikan lainnya cenderung tidak mau memasuki bubu;
sedangkan jika di awal setting bubu yang tertangkap adalah jenis non predator, maka ikan ini
berikutnya dapat menjadi umpan untuk menarik ikan-ikan lainnya termasuk predator.
Data bobot per jenis ikan disajikan pada Lampiran 2. Kelompok ikan dari famili Nemipteridae
merupakan hasil tangkapan bubu yang paling banyak; demikian pula dengan total bobotnya
yang mencapai 6.484 gram. Ikan-ikan dari famili Serranidae yang tertangkap bubu
menempati urutan kedua dengan bobot total mencapai 5.925 gram. Individu yang memiliki
bobot terbesar saat tertangkap adalah kerapu lodi dengan bobot 425 gram. Berdasarkan hasil
analisis statistik One way ANOVA, diketahui bahwa perbedaan warna bubu berpengaruh nyata
terhadap bobot ikan yang tertangkap (Lampiran 3). Dari uji lanjut, yaitu uji BNT (LSD),
diketahui bahwa bubu warna biru memberi hasil tangkapan yang terbaik dibandingkan dengan
perlakukan lainnya dari segi bobot ikan yang tertangkap.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan bubu karang yang berbeda
warna pada kedalaman 20-30 m tidak menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata
terhadap jumlah ikan hasil tangkapan; sedangkan terhadap berat ikan yang tertangkap, bubu
berwarna biru merupakan bubu yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. 2000. Marine Fishes of South-East Asia. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore.
Gunarso, W. !988. Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan alat, metode dan taktik
penangkapan. Diktat kuliah Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan IPB. Bogor.
Kunzman, A. 2001. Coral, fisherman and tourists. Jur. Pesisir dan Lautan. Vol. 4(1):40-53.
Nurhakim, S., J.C.B. Uktolseja, Badrudin & I.G.S. Mertha. 1998. Potensi, penyebaran, dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.
208 PROSIDING
Lampiran 1. Jumlah ikan yang tertangkap bubu dengan warna berbeda (ekor)
210 PROSIDING
Lampiran 3. Hasil analisis statistik
A. ANOVA : pengaruh perbedaan warna bubu terhadap jumlah ikan yang tertangkap
Multiple Comparisons
LSD: pengaruh perbedaan warna bubu terhadap jumlah ikan yang tertangkap
Mean
Difference Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
(I-J)
(I) (J) Upper
Lower Bound
PERLAKUA PERLAKUA Bound
kontrol biru -4.3333 4.2635 .333 -13.8331 5.1664
merah 3.3333 4.2635 .452 -6.1664 12.8331
kuning .3333 4.2635 .939 -9.1664 9.8331
hijau 5.3333 4.2635 .239 -4.1664 14.8331
biru kontrol 4.3333 4.2635 .333 -5.1664 13.8331
merah 7.6667 4.2635 .102 -1.8331 17.1664
kuning 4.6667 4.2635 .299 -4.8331 14.1664
hijau 9.6667 4.2635 .047 .1669 19.1664
merah kontrol -3.3333 4.2635 .452 -12.8331 6.1664
biru -7.6667 4.2635 .102 -17.1664 1.8331
kuning -3.0000 4.2635 .498 -12.4998 6.4998
hijau 2.0000 4.2635 .649 -7.4998 11.4998
kuning kontrol -.3333 4.2635 .939 -9.8331 9.1664
biru -4.6667 4.2635 .299 -14.1664 4.8331
merah 3.0000 4.2635 .498 -6.4998 12.4998
hijau 5.0000 4.2635 .268 -4.4998 14.4998
hijau kontrol -5.3333 4.2635 .239 -14.8331 4.1664
biru -9.6667 4.2635 .047 -19.1664 -.1669
merah -2.0000 4.2635 .649 -11.4998 7.4998
kuning -5.0000 4.2635 .268 -14.4998 4.4998
* The mean difference is significant at the .05 level.
B. ANOVA : Pengaruh perbedaan warna bubu terhadap bobot ikan yang tertangkap
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3271728.933 4 817932.233 4.931 .019
Within Groups 1658618.667 10 165861.867
Total 4930347.600 14
Multiple Comparisons
LSD: Pengaruh perbedaan warna bubu terhadap bobot ikan yang tertangkap
212 PROSIDING
PROSES DELIGNIFIKSASI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)
DENGAN Phanerochaete chrysosporium
ABSTRAK
Berkaitan dengan isu lingkungan yang melarang penggunaan kayu hutan secara berlebihan,
mendorong dilakukan upaya-upaya pencarian bahan baku kertas selain kayu. Pulp merupakan
kumpulan serat selulosa. Selain kayu, serat untuk pulp dapat diperoleh dari bahan-bahan non-
kayu seperti jerami, rumput-rumputan dan limbah-limbah padat perkebunan seperti Tandan
Kosong Kelapa Sawit.. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) mempunyai tingkat
ketersediaan yang besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Ditinjau dari jumlahnya,
maka TKKS sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku pulp serta bahan-bahan
kimia lain.
TKKS termasuk biomassa lignoselulosa, yang kandungan utamanya adalah selulosa 45,95%,
hemiselulosa 22,84% dan lignin 16,49% [Darnoko, 1992]. Kandungan selulosa yang cukup
tinggi tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp untuk kertas.
Teknologi pembuatan pulp secara konvensional mempunyai beberapa kelemahan antara lain
kualitas kertas yang kurang baik, memerlukan energi yang cukup besar serta prosesnya tidak
ramah lingkungan. Metode pembuatan pulp yang ramah lingkungan antara lain dapat
dilaksanakan dengan memanfaatkan agen biologis seperti enzim dari jamur, proses ini
disebut juga proses biopulping. Proses biopulping pada intinya adalah proses delignifikasi
secara biologis.
PENDAHULUAN
Telah banyak dilakukan penelitian dalam rangka pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) sebagai bahan baku pulp dan bahan kimia lain seperti gula dan furfural. Susanto, dkk
(1999) melaporkan bahwa pemanfaatan TKKS sebagai bahan baku yang telah dilakukan
menghasilkan pulp yang memiliki sifat sesuai dengan pulp untuk kertas ditinjau dari bilangan
Kappa dan Yield-nya.
Pulp adalah bahan berupa serat bewarna putih yang diperoleh melalui proses penyisihan
lignin dari biomassa. Proses penyisihan lignin dari biomassa dapat dilakukan dengan beberapa
proses, baik secara mekanik maupun secara kimia. Dari berbagai studi diketahui bahwa proses
penyisihan lignin yang telah dilakukan tersebut mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan ditinjau dari bahan kimia dan alat yang digunakan.
Berkaitan dengan isu lingkungan, akhir-akhir ini proses biologis telah menjadi alternatif bagi
para peneliti melihat tingkat keberhasilan yang diberikan ditinjau dari tidak adanya kerusakan
lingkungan serta kesederhanaan alat pemrosesnya.
Proses biologis pada prinsipnya sama dengan proses konvensional yaitu memanfaatkan enzim
yang didapatkan dari mikroorganisme untuk memilah ketiga komponen lignoselulosa
tersebut. Enzim yang didapatkan dari mikroorganisme ini diharapkan dapat merusak struktur
kristalin dari selulosa sehingga proses penyisihan lignin dan hemiselulosa dapat menjadi lebih
mudah (Darnoko, 1992).
Lignoselulosa merupakan biomassa yang sukar untuk didegradasi. Dari beberapa pustaka
diketahui ada beberapa jenis mikroorganisme yang dapat memilah senyawa lignoselulosa
tersebut terutama mampu untuk mendegradasi lignin seperti dari golongan bakteri dan
beberapa jenis jamur. Dari sekian banyak jenis mikroba yang mampu mendegradasi senyawa
lignoselulosa, hanya jamur mempunyai aktifitas yang cukup tinggi untuk mendegradasi lignin
(Darnoko, 1992).
Berdasarkan warna hifa yang ditinggalkan pada kayu, jamur dapat diklasifikasikan menjadi
jamur pembusuk putih dan jamur pembusuk coklat. Diantara jamur tersebut, yang paling
efektif untuk mendegradasi lignin adalah jenis jamur pelapuk putih. Jamur pelapuk putih
(white-rot fungi) tergolong kelompok basidiomiset. Jamur ini banyak didapatkan hidup pada
kayu-kayuan atau substrat organik lainnya (Artiningsih, dkk., ….).
Kemampuan jamur, terutama jenis jamur pelapuk putih dalam mendegradasi lignin
disebabkan karena adanya aktifitas enzim lignolitik yang disekresikan melalui hifa. Enzim
lignolitik terdiri dari Lignin peroksidase (LiP), Mangan Peroksidase (MnP) dan lakase.
Kinerja dari masing-masing enzim tersebut sangat spesifik, sehingga selulosa yang terdapat
pada senyawa lignoselulosa tidak ikut terdegradasi (Munir, 1999).
Munir (1999) melaporkan bahwa jenis jamur pelapuk putih yaitu Phanerochaete
chrysosporium dapat menghasilkan enzim lignolitik yang cukup tinggi sehingga dapat
mendegradasi lignin dengan baik. Tetapi tentu saja ada beberapa hal yang diperlukan untuk
dapat mendukung proses penyisihan lignin dengan baik. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah waktu inkubasi serta pH. Atas dasar faktor-faktor tersebut, penelitian ini dilakukan
dengan menvariasikan waktu inkubasi yang terdiri atas 1-2 minggu terhadap TKS dengan
menggunakan Phanerochaete chrysosporium. Selanjutnya, pengurangan kadar lignin dan
selulosa didapatkan berdasarkan ukuran dari bilangan Kappa, rendemen serta α-selulosa.
214 PROSIDING
METODELOGI PENELITIAN
Persiapan TKKS
TKKS dipotong-potong dengan ukuran 1 – 2 cm, kulit atau kelopak buah yang menempel
dipisahkan dan bagian yang berserat (seperti serabut) diambil sebagai calon bahan baku.
TKKS dibersihkan dari kotoran-kotoran lain, serabut TKKS yang telah bersih tersebut
direndam dalam ember selama 24 jam, kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Bahan
baku TKKS yang telah kering disimpan dalam wadah yang tertutup agar kandungan air
seragam. Kemudian kandungan air, α- selulosa dan kandungan lignin pada TKKS diuji untuk
mengetahui kandungan awalnya.
Persiapan Jamur
Jamur yang digunakan pada penelitian ini adalah P. chrysosporium yang merupakan koleksi
dari Balit Mikrobiologi LIPI, Bogor. Jamur ini diperbanyak dengan menumbuhkan pada
medium PDA (Potato Dextrose Agar) dan Media PDB (Potato Dextrose Broth), dan
diinkubasikan pada temperatur 28-30oC untuk memproduksi spora. Pertumbuhan jamur
diamati setiap hari dan setelah miselia jamur tumbuh diseluruh permukaan PDA dan PDB,
biakan siap digunakan.
TKKS dengan ukuran 1 – 2 cm sebanyak 150 g dimasukkan ke dalam Stoples kaca, yang
ditutup dengan menggunakan alumunium foil. Stoples kaca selanjutnya disterilisasi dengan
menggunakan autoclave selama 15 menit pada temperatur 121oC. Selanjutnya TKKS
didinginkan sebelum diinokulasi dengan menggunakan jamur (1x1) sebanyak 10 blok. Setelah
proses inokulasi, dilanjutkan dengan proses inkubasi selama 0,1 sampai 2 minggu (variabel
operasi) pada 25oC.
Setelah inkubasi, Pulp dipisahkan dari enzim supernatan dan dikeringkan dalam oven dan
dilakukan analisa untuk mengetahui rendemen, kamdungan α-selulosa, lignin dan bilangan
Kappa (Derajat putih).
Jamur pelapuk putih merupakan salah satu mikroorganisme yang mendegradasikan dan
menggunakan komponen kimia kayu untuk pertumbuhannya. Beberapa akibat dari
pertumbuhan jamur pada kayu yaitu terjadinya penurunan bobot kering (rendemen) dan
penurunan lignin. Dari hasil penelitian didapat bahwa penurunan rendemen dengan
menggunakan isolat jamur P. Chrysosporium terjadi sebesar 27,78% atau menjadi 108,33
gram terhadap rendemen awal (kontrol) TKKS sebesar 150 gram .
Pada aktivitas metabolismenya, jamur yang tumbuh pada TKKS mensekresikan enzimnya ke
dalam TKKS, sehingga enzim tersebut akan mendegradasi sumber-sumber makanan yang
terkandung pada TKKS. Penurunan kadar lignin dan selulosa menyebabkan terjadinya
penurunan rendemen TKKS yang dihasilkan setelah perlakuan (treatment) dengan
menggunakan jamur. Jamur mensekresikan enzim untuk mengubah nutrien atau sumber
karbon yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam TKKS. Nutrien yang tersedia dalam
media biasanya dalam bentuk polimer, sedangkan nutrien yang masuk ke dalam sel harus
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 215
dalam bentuk monomer. Enzim yang diekskresikan jamur akan mengubah nutrien tersebut
dari polimer menjadi monomer-monomernya.
Jamur hidup dalam media TKKS dengan cara penetrasi hifa dari satu sel ke sel yang lain. Hifa
menembus jaringan serat TKKS melalui selaput noktah dan dinding sel dengan membentuk
lubang-lubang pengeboran. Hifa tumbuh terutama pada permukaan dinding sel sebelah dalam
dan mendegradasi dinding sel dengan eksoenzim. Setelah penyerangan oleh hifa, dinding-
dinding sel menjadi kropos dan menghasilkan struktur seperti sarang lebah. Melalui kekuatan
eksoenzim yang dihasilkan jamur, akan terjadi penurunan kandungan lignin oleh enzim
berhubungan dengan demetilasi, dehidroksilasi dan pemutusan ikatan C-C pada cincin
senyawa fenilpropanoid. Pada proses ini, lignin diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana
sehingga mudah larut di dalam air. Banyaknya lignin yang telah diubah dapat ditentukan
dengan bilangan kappa.
Dari hasil pengamatan terlihat adanya penurunan bilangan Kappa setelah waktu inkubasi 2
minggu yaitu sebesar 46,3 atau turun sekitar 4,16% dibandingkan bilangan kappa pada TKKS
awal/kontrol yaitu sebesar 48,31. Penurunan bilangan Kappa ini menunjukkan bahwa
aktivitas metabolisme jamur P. Chrysosporium dapat mengurangi kadar lignin yang terdapat
pada pulp TKKS. Penurunan kadar lignin ini diperkirakan akan dapat meningkatkan kualitas
pulp yang dihasilkan sehingga penggunaan bahan-bahan kimia untuk proses pemutihan
(bleaching) dapat diminimalisasi.
Selain penurunan rendemen dan penurunan bilangan Kappa, pada penelitian ini juga
dilakukan uji efektifitas (Z) yang merupakan nilai perbandingan karbohidrat (selulosa) dengan
lignin (C/L) dan dinyatakan dalam Z. Uji nilai Z ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas
dari proses delignifikasi. Dari hasil penelitian didapatkan nilai Z untuk proses delignifikasi
didapatkan sebesar 1,3958, dengan kadar selulosa 31,28 dan lignin sebesar 22,41. Dari nilai
ini terlihat bahwa selama waktu 2 minggu terjadi penurunan kadar selulosa rata-rata 1,05 %.
Hal tersebut menunjukkan bahwa jamur P. chrysporium merupakan tipe jamur pelapuk putih
preferential yaitu jamur yang dalam aktivitas lignolitiknya menguraikan lignin terlebih dahulu
sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa. Adanya penurunan kandungan lignin yang
besar tanpa diikuti penurunan kandungan selulosa yang signifikan ini tentu saja berdampak
positif bagi pulp yang dihasilkan.
KESIMPULAN
Jamur P.chrysosporium termasuk jamur pelapuk putih (white rot fungi) tipe preferential yang
dalam aktivitas lignolitiknya menguraikan lignin terlebih dahulu.
Jamur P. chrysosporium dapat dikaji lebih lanjut penggunaannya sebagai agen biopulping
yaitu proses pulping secara biologis yang lebih ramah lingkungan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada LIPI Bogor yang telah menyediakan fasilitas serta
bantuan baik moril maupun materiil selama penelitian ini dilaksanakan.
216 PROSIDING
DAFTAR PUSTAKA
Collins, Patrick J., Field, Jim A., Teunissen, Pauline., Dobson, Alan D. W., Stabilization of
Lignin Peroxidases in White Rot Jamur by Tryptophan. Applied and Environmental
Microbiology, 1997, hal 2543 – 2548.
Haque, Nawshadul. White Rot Fungal Decay of Wood. Forest Industries Technology SAFS,
University of Wales, Bangor.
Munir, Erman., Optimasi Produksi Enzim Lignolitik oleh Phanerochaete chrysosporium dan
Aktivitasnya dalam Mendegradasi Limbah Lignoselulosa, Laporan Penelitian,
FMIPA Universitas Sumatera Utara, 1999.
Sabharwal, H. S., Akhtar, Masood., Balnchette, Robert A., Young, Raymond A., Refiner and
Biomechanical Pulping of Jute, Report, 1995, hal. 537 – 544.
Susanto, H., Rusmanto, Diah Fadjarwati dan Asep Fupun Hudaya, “Proses Dua Tahap
Hidrolisis dan Delignifikasi Tandan Kosong Sawit Menjadi Gula, Furfural dan
Pulp”, Proseding Seminar ITS, Surabaya, 1999
Tim Penulis PS., Kelapa Sawit Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan Aspek Pemasaran,
PT Penebar Swadaya, Jakarta, 1996, hal 182.
TUGIYONO
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung
e-mail :Tugiyono64@yahoo.com.au
ABSTRAK
Sungai merupakan salah satu sumber air selain memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan
air bagi kehidupan termasuk manusia, juga menjadi tempat pembuangan dari sebagian besar
kegiatan manusia seperti dari aktivitas emukiman, pertanian dan industri. Masuknya bahan
pencemar ke sungai akan menurunkan kualitas air sungai, yang pada akhimya akan
mempengaruhi organisme perairan, terutama komunitas plankton. Respon ini akan mengacu
pada konsep bioindikator. Indikator secara ekologi yang membuktikan adanya pengaruh
ekosistem yang tergambarkan dalam struktur komunitas atau yang sederhana ada atau tidak
adanya spesies. Konsep ini dikenal dengan konsep biodiversitas. Penelitian ini di lakukan di
DAS Way Tulang Bawang. pada bulan Oktober-November 2005. Sampel diambil pada. lima,
stasiun dengan menggunakan metode pemekatan yang dilakukan secara, tuang dan tarik.
Struktur komunitas meliputi: indeks kemelimpahan, indeks keanekaragaman, dominansi, dan
kemerataan. Hasil penelitian pada lima stasiun ditemukanj enis-jenis fitoplankton dan
zooplankton yang terdiri dari kelas Cyanophyceae, Bacillariaceae (Diatom), Chlorophyceae,
Sarcodina, Ciliata, dan Crustacea. Dari hasil analisis kuantitatif plankton menunjukkan bahwa
indeks kemelimpahan plankton berkisar antara 4291 - 24700 individu/liter; indeks
keanekaragaman sebesar 3,0204 - 3,2; indeks dominansi 0,0542 -0,1; dan indeks kemerataan
sebesar 0,8782 - 0,9164. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas, air DAS Way Tulang Bawang
secara keseluruhan masih baik atau tidak tercemar, kemilimpahan individu plankton cukup
beragam tapi masih tergolong tinggi, tidak ada jenis yang mendominasi, dengan penyebaran
plankton yang sangat merata. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan yang berkorelasi
signifikan adalah antara DO dengan indeks dominans dengan faktor korelasi = 0.898, pada
tingkat signifikansi α = 0,05.
PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi
kehidupan makhluk hidup. Sejalan dengan pertambahan penduduk serta industri maka
intensitas pemakaian air semakin meningkat sedangkan ketersediaan air bersih relatif
terbatas. Oleh karena itu, untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan sumber
daya air dan pengendalian pencemaran air (Anonim, 2002).
Sungai merupakan salah satu sumber yang dekat dengan kehidupan manusia. Sungai dengan
segala bentuk memiliki fungsi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dan sarana
penunjang dalam pembangunan (Subagyo, 1999). Sungai sebagai perairan yang mengalir dan
terbuka juga penting karena menjadi tempat pembuangan dari semua kegiatan manusia di
daerah pemukiman, pertanian, dan industri yang ada disekitarnya (Mahida, 1984).
218 PROSIDING
Sungai merupakan suatu ekosistem yang selalu mengalami perubahan yang dipengaruhi atau
mempengaruhi oleh komponen lainnya penyusunnya. Penurunan kualitas air sungai akan
menurunkan daya guna, produktivitas, kekayaan sumber daya perairan, serta keseimbangan
ekologis yang ada disekitarnya (Anonim, 2002). Limbah merupakan penyebab utama
tercemarnya suatu lingkungan (Palar, 1994). Menurunnya kualitas lingkungan terutama pada
sungai dapat menghambat fungsi ekosistem dan perubahan struktur komunitas sungai tersebut
(Odum, 1993).
Pencemaran air sungai akan membawa dampak yang cukup luas. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya kegiatan manusia yang sangat tergantung pada air sungai seperti perikanan,
peternakan, pertanian, serta kegiatan sehari-hari manusia sehari-hari yang tinggal disekitar
sungai seperti: mandi, minum, mencuci, dan sebagai tempat pernbuangan ataupun sebagai
bahan baku air minum.
Dampak dari penurunan kualitas air akan menyebabkan prevalensi berbagai penyakit
(waterborne disease) dan akhirnya akan berpengaruh status kesehatan serta kehidupan sosial
manusia. Menurut Suriawiria (2003) menyatakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya ada
sekitar 3.500.000 anak-anak di bawah umur 3 tahun diserang berbagai jenis penyakit perut
(mual-mual dan diare) dan sekitar 105.000 anak meninggal karena penyakit tersebut.
Sungai Tulang Bawang merupakan salah satu dari 5 (Daerah Aliran Sungai) DAS sungai
besar di Lampung yang banyak dimanfaatkan masyarakat sekitarnya sebagai sumber
kehidupan. Tetapi dengan adanya pemukiman, kegiatan pertanian, pertambakan dan pabrik-
pabrik yang berdiri di sekitar sungai tersebut dapat menyebabkan perubahan pada kualitas
airnya. Karena sebagian besar kegiatan tersebut akan membuang limbahnya secara langsung
ke sungai. Selain itu dimanfaatkan juga untuk aktivitas manusia disekitar sungai seperti
mandi, mencuci, dan kakus (MCK) dan untuk membuang limbah rumah tangga. Sebaliknya,
sebagian masyarakat memanfaatkan juga untuk budidaya ikan dalam keramba maupun
nelayan tangkap (jaring atau mancing). Kondisi ini menyebabkan terjadinya komplik
kepetingan dalam pemanfaatan air sungai tersebut.
Masuknya bahan polutan abaik organik maupun anorganik akan menyebabkan perunbahan
kualitas perairan sungai Tulang Bawang, karena sungai merupakan suata ekosistem, maka
setiap perubahan komponen abiotik akan direspon oleh komponen biotik. Komponen biotik
(organisme) akan berkembang sebagai respon dari setiap perubahan faktor abiotik, organisme
yang mampu bertahan hidup dalam kondisi tersebut dikenal dengan istilah organisme
indikator (bioindikator). Bioindikaor dapat digunakan dalam monitoring perubahan kualitas
lingkungan (Hawkes 1962, Sastrawijaya, 2000).
2. Tes organisme yang menggunakan prosedur laboratorium yang baku, seperti penelitian
ekotoksikologi secara laboratorium.
Plankton merupakan hewan dan tumbuhan mikroskopik yang memiliki sifat hidup
mengapung pada permukaan suatu badan air dan merupakan organisme yang menempatai
pada tingkat dasar dalam piramida makanan (tropic level) (Michael, 1994). Sehingga bila
pada suatu perairan terdapat bahan-bahan pencemar secara berlebih dapat menyebabkan
perubahan kemelimpahan individu maupun jumlah jenisnya (diversitas), karena tidak semua j
enis dapat bertahan hindup atau beradaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan DAS Tulang Bawang
berdasarkan bioindikaotor struktur komunitas plankton, dan mengetahui hubungan parameter
fisika-kemia air terhadap komponen struktur komunitas plankton.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan. pada bulan Oktober - November 2004 di DAS Way Tulang
Bawang. Lokasi pengambilan sampel di DAS Way Tulang Bawang yang meliputi 5 stasiun
yang merupakan muara dari sub-DAS, yaitu; stasiun, Stasiun 1 muara Way Bawang Bakung,
stasiun 2 muara Way Gelam, stasiun 3 muara Way Mahara Bakung, stasiun 4 muara Way
Gedong Meneng dan stasiun 5 muara Way Pedada, secara skematik lokasi pengambilan
sampel disajikan pada gambar 1.
220 PROSIDING
4o LS
Keterangan
U
0 1 2 3 4 Cm
MENGGALA
PANARAGANJAYA
KABUPATEN
LAMPUNG TENGAH
104 BT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut botol film (flakon),
kertas label, plankton net mikroskop, Sadgwick Rafter Cell (SR) Counting Chamber, pipet
tetes, buku identiftasi plankton, termometer, bola pingpong, tali rapia, stopwacht, keping
secci, meteran, cawan, pH meter, dan DO meter. Sedangkan bahan yang digunakan dalain
penelitian ini adalah formalin 4%, air suling, dan aquadest, dan bahan kimia untuk analisis
parameter fisika kimia secara exsitu di Laboratorium Instrumentasi Jurusan Kima FMIPA
Unila.
Cara Kerja
Pengambilan sampel palnkton dengan menggunakan plankton net no 25, dengan metode
pemekatan. Sampel plankton yang telah diambil akan diidentifikasi dan dihitung jumlah
individunya di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Unila. Pengukuran parameter
fisika kimia secara insitu meliputi: temperatur air dan udara dengan menggunkan termometer,
kecepatan arus dengan pengukuran arus permukaan, kekeruhan dengan menggunakan keping
secchi, DO dengan menggunakan DO meter, dan pH dengan menggunkan pH meter.
Sedangkan analisis secara eksitu dikerjakan oleh teknisi (laboran) Laboratorium Instrumentasi
Jurusan Kima FMIPA Unila, meliputi: BOD.
Jenis-jenis plankton yang ditemukan pada. lima stasiun pengamatan di sepanjang DAS Way
Tulang Bawang adalah sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat perbedaan spesies yang ditemukan
baik dari jumlah individu maupun jumlah jenis plankton. Hal ini dikarenakan perbedaan
kemampuan setiap plankton dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan bahan yang
terkandungan pada perairan. Pada kelima stasum plankton yang paling banyak ditemukan
adalah dart kelas Bacillariaceae (Diatom) dan Chlorophyceae. Salah satu jenis yang sering
ditemukan pada semua stasiun antara.lian Melosira sp, Synedra sp, Nitzschia sp., dan
Spirogyra sp. Seperti dikemukakan oleh Sachlan (1972) dan Nybakken (1992) bahwa.
Diatomae dan Chlorophyceae merupakan plankton terbanyak dan terpenting dalam perairan,
baik tawar maupun laut sebagai produsen primer, terutama pada permukaan air yang penuh
zat hara. Fitoplankton memiliki kepadatan dan jumlah jenis lebih besar dibandingkan dengan
zooplankton (Nybakken, 1992).
Dalam perairan zooplankton merupakan konsumen primer, yaitu sebagai kelonipok yang
memakan fitoplankton karena itu keberadaamiya sangat dipengaruhi oleh fitoplankton
(Mulyanto, 1992). Selain itu menurut Odum (1993) zooplankton sebagai predator fitoplankton
akan memperlihatkan fluktuasi populasi yang seirama atau selalu mengikuti fitoplankton.
Pergerakan atau penyebaran zooplankton juga sangat ditentukan oleh sifatnya yang fototaksis
negatif, yaitu akan menjauhi sinar. Oleh karena itu pada waktu siang hari zooplankton akan
berada di lapisan perairan yang lebih dalam (Mulyanto, 1992). Sehingga dapat diketahui
bahwa sulit untuk menemukan zooplankton pada siang hari. Zooplankton hidup sebagai
holoplankton dan meroplankton. Sebagian besar contoh holoplankton adalah dari kelas
Sarcodina (Amoeba sp.) dan kelas Cilliata (Ileonema sp.). Salah satu meroplankton yang
ditemukan adalah. dari kelas Crustacea. Plankton jenis ini dan hewan air lainnva saat meniadi
larva atau telur merupakan plankton tetapi bila telah dewasa tidak bersifat plankton lagi dan
kebanyakan menjadi benthos (Mulyanto,1992). Beberapa jenis plankton dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran secara langsung Pada. penelitian ini salah satu jenis plankton
yang dapat digunakan. sebagai indikator adalah Spirogyra sp, Closterium sp., dan Dhaphnia
sp untuk perairan tidak tercemar (Hawkes, 1962)
Selain diperoleb hasil kualitatif berupa jenis-jenis plankton yang terdapat disepaniang DAS
Way Tulang Bawang, juga diperoleh hasil plankton secara kuantitatif yang dapat
222 PROSIDING
menggambarkan kondisi (struktur) komuinitas plankton pada perairan tersebut. Struktur
komunitas meliputi: indeks Kemelimpahan, indeks Keanekaragaman, indeks Dominansi, dan
Indeks kemeratam, hasil analisis disajikan Pada Tabel 1
Tabel 1. Hasil analisis struktur komunitas plankton di DAS Way Tulang Bawang
Berdasarkan hasli analisis kuantitatif kemelimpahan individu (plankter) per liter sampel
tertinggi di stasiun 1, yaitu muara Way Bawang Bakung, sedangkan kemelimpahan terendah
di stasiun 5 muara Way Pedada. Tingginya kemelimpahan plankter pada stasiun 1 diduga
karena adanya pemasukan air dari Way Bawang Bakung, yang berasal dari aktivitas pertanian
yang membawa unsur hara, masuknya unsur hara ke dalam sungai akan memacu pertumbuhan
palnkton khususnya fitoplankton. Sedangkan rendahnya kemelimpahan plankter di stasiun 5
diduga dikarenakan pada stasiun ini adanya pengaruh air laut, sehingga plankton yang toleran
dengan salinitas yang tinggi yang berkembang.
Indeks dominansi plankton pada kelima stasiun tergolong rendah yaitu berkisar 0,0542-0,1,
yang berarti tidak terdapat spesies yang dominan (blooming). Nilai dominansi yang rendah
akan mengarah pada komunitas yang stabil, dan sebaliknya nilai dominansi tinggi akan
mengarah pada komunitas yang labil atau tertekan (Anonim, 1997).
Indeks kemerataan yang terdapat pada kelima stasiun tergolong tinggi atau sangat merata (E >
0,81), yang berarti penyebaran plankton pada setiap stasiun merata atau tidak ada perbedaan
jumlah jenis dan jumlah individu tidak besar. Kondisi ini berarti komunitas palnkton di
wilayah studi dalam keadaan seimbang, menurut Anonim (1997) menyatakan semakin merata
penyebaran organisme berati kondisi ekosistem semakin seimbang (stabil).
Indeks keanekaragaman plankton menunjukkan nilai yang tinggi pada kelima stasiun (H > 3),
hal ini berarti kondisi perairan masih baik atau tidak tercemar. Kualitas perairan dapat
digolongkan berdasarkan nilai dari indeks keanekaragaman (H). Jika 0 < H < 1 bearti perairan
tercemar berat, 1< H< 3 berati perairan tercemar sedang dan jika H > 3 bwerati perairan
tidak tercemar (Mason, 1996).
Hubungan parameter fisika kimia air dengan nilai indeks struktur komunitas dianalisis dengan
Koelasi Pearson. Hasil analisis disajikan pada Tabel 2.
Kesimpulan
- Struktur komunitas plankton di DAS Tulang Bawang dalam kondisi yang stabil , tidak
ada jenis plankton yang dominan, penyebaran jenis plankton sangat merata, dan
keanekaragaman jenis plankton tinggi.
224 PROSIDING
- Parameter fisika-kimia oksigen terlarut (DO) mempunyai hubungan yang searah dengan
nilai indeks dominasi.
Saran
Perlu ditingkat pengelolaan lingkungan sekitar DAS Tulang Bawang untuk mempertahankan
kondisi lingkungan yang tidak tercemar, dengan melalui penegakan hukum yang tegas bagi
pelaku pencemaran lingkungan, diadakan sosialisasi pembuatan jamban keluarga untuk
menekan masuknya limbah padat dari rumah tangga.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada BAPEDALDA Propinsi Lampung atas
dukungan dana untuk penelitian ini, dan saudara Septyana, S. Si atas bantuannya dalam
melakukan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arinardi, O.H., A.B. Sutomo, S.A. Yusuf, Trimaningsih, E. Asnwyanti, dan S.H. Priyono.
1997. Kisaran Kemelimpahan dan Komposisi Plankton Predomman Perairan Sekitar
Pulau Sumatra. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. Hal
128-129.
Connell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. DiteJemahkan
oleh Yanti K L11-Press. Jakarta. Hal 85-112.
Hawkes, H.A. 1962. Biologycal Aspects of River PoILution. Dalam L. Klein (Ed.), River
Pollution II. Causes and Effects. BuTterworths, London. Hal 311.
Hynes. 1978. The Ecology of Running Waters. Universitas of Toronto Press. Toronto. 555
hal.
Izzah, K. 2000. Karakteristik Komunitas Fitoplankton dan Perifiton, Dalam Kaitan Dengan
Kajian Tingkat Pencemaran Perairan di Sungai Ciliman, Jawa Barat. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal 39.
Mahida, U.N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Lingeh Industri. CV. Rajawali-
Jakarta. 543 hal.
Mason, C. F. 1996. Biology ofFreshwater Pollution. 3'd edition. Longman Limited, Harlow,
England. 352 hal.
Romimohtarto, K., Juwana, S., 2001. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut.
Penerbit Djambatan.
Sastrawijaya, A-T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta- Hal 86-125.
Subagyo, P.J. SH. 1999. Hukum Lingkungan, Masalah dan Penanoulangarmya. PT. Rineka
Cipta. Jakarta. 178 hal.
Welch, P. 1948. Lymnologycal Methods. MC. Graw Hill Book Company Inc. New York.
Westlake, D.F. 1966. A model for quantitative studies of photosynthesis by higher plants in
streams.Air Water Pollut Int. J. Eds 10. . 83 hal.
226 PROSIDING
KARAKTERISASI SISTEM PENGENDALI OTOMATIS PROTOTIPE SISTEM
CONVEYOR MENGGUNAKAN MIKROKONTROLER AT89C51
ABSTRACT
It has been realized a new system of conveyor controller protoype using AT89C51
microcontroller. The realized instrument has been completed with infra-red sensor.
The physics valiable will be captured by infra-red sensor and transferred to signal prossessor
as an input signal, that is indicates “on or off” the microcontroller action system.
Microcontroler will respon while infra-red ray blocked by coal train during 15 seconds. Infra-
Red transmitter realized uses an IC NE555 multivibrator astabil circuit. Infra-red receiver uses
a A-394HB fotodioda integrated with electronic swicths using BD139 and BC108 transistors.
One of actions in this realized system is an alarm and will be set by a life first time in a time
gap 30 seconds after the present of coal train that’s mean the blocking of infra-red sensor. The
second action is conveyors, and between conveyors will be active in such respectively 15
seconds delay. All of controler system will be off when the infra-red sensor is not blocked by
coal train for about 60 seconds. All of systems have been characterized and give a good
results compared with the theoretical prediction, and certainly will be possible to be implented
in reel condition, such at PT Tambang Batubara Bukit Asam.
PENDAHULUAN
Konveyor merupakan suatu alat yang digunakan untuk tujuan pengangkutan. Penggunaan
konveyor juga dilakukan untuk efisiensi waktu. Konveyor di industri digunakan untuk
mengangkut bahan produksi yang akan diproses lebih lanjut atau mengangkut barang hasil
produksi. Konveyor yang ada biasanya selalu dalam keadaan hidup dan terus berjalan
meskipun belum ada benda hasil produksi, maka yang terjadi adalah pemborosan energi.
Dalam aplikasinya konveyor diputar dengan menggunakan motor listrik yang dikendalikan
oleh sistem kontrol baik secara manual maupun otomatis.
Saat ini sistem kontrol yang digunakan banyak menggunakan produk luar negeri. Hal inilah
yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian tentang konveyor. Contohnya saja adalah
konveyor yang digunakan di PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) Tarahan Lampung,
konveyornya dikendalikan mengunakan Programmable Logic Control (PLC) yang di impor
dari Jerman (Junaidi, 2005).
Dalam penelitian ini simulasi dilakukan menggunakan arus searah dan arus bolak-balik. Arus
searah digunakan untuk mengaktifkan relay dan alarm, sedangkan arus bolak-balik digunakan
untuk sumber motor listrik yang akan memutar konveyor.
Suatu sistem dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu sistem berumpan maju dan
sistem berumpan balik. Sistem berumpan maju dicirikan dengan tidak adanya komponen
balikan (feedback) di dalam sistem tersebut. Keluaran dari sistem tersebut selalu menjadi
besaran penting bagi sistem tersebut. Sistem berumpan maju dapat pula dikatakan sebagai
sistem pengukuran, (Gambar 1) (Warsito, 2003).
Sistem berumpan balik memiliki komponen balikan, yaitu keluaran dari sistem akan menjadi
bagian masukan pada proses berikutnya, (Gambar 2). Sistem ini juga disebut sistem
pengontrolan. Pengontrolan akan berakhir apabila sistem tersebut telah stabil.
Feedback
Sistem kontrol terbagi dalam dua jenis, yaitu sistem manual dan otomatis. Sistem manual
merupakan sistem yang otomatisasinya dilakukan langsung oleh manusia setiap kali sistem
tersebut bekerja. Sedangkan sistem kontrol otomatis dapat terealisasi dengan suatu sistem
cerdas, artinya keluaran akan mencatu masukan secara otomatis sampai tujuan keluaran
tercapai (reference output). Realisasi suatu sistem kontrol otomatis memerlukan suatu nilai
masukan referensi, baik dalam perumusan maupun pemberian nilai konstanta sebagai acuan
sistem untuk menuju kestabilan (Warsito dan Yuliansyah, 2004).
Mikrokontroler AT89C51
Mikrokontroler AT89C51 memiliki memori yang terdiri dari RAM internal dan Special
Function Register (SFR). RAM internal berukuran 128 byte dan beralamatkan 00H – 7FH
serta dapat diakses menggunakan RAM address register. RAM internal terdiri dari 8 buah
register (R0 – R7) yang disebut bank register. Special Function Register berjumlah 21 buah
berada pada alamat 80H – FFH (Budiharto, 2004).
Mikrokontroler AT89C51 memiliki 40 pin, 32 pin diantaranya adalah pin untuk keperluan
port paralel. Sebuah port paralel terdiri atas 8 pin (8 bit), sehingga terdapat 4 kelompok port
paralel, yang masing-masing disebut Port 0 (P0), Port 1 (P1), Port 2 (P2) dan Port 3 (P3).
228 PROSIDING
Nomor dari masing-masing port paralel dimulai dari 0 sampai 7. Gambar 3 merupakan
diagram pin untuk mikrokontroler AT89C51 (Eko Putra, 2002).
Terdiri dari dua buah rangkaian, yaitu rangkaian transimitter dan receiver inframerah.
Rangkaian transmitter inframerah dibentuk menggunakan rangkaian astabil multivibrator
dengan IC NE 555. Rangkaian ini mampu menghasilkan gelombang carrier (pembawa)
dengan batasan 32 – 45 KHz.
Dalam keadaan forward bias, di dalam rangkaian itu timbul arus listrik yang disebabkan oleh
kedua macam pembawa muatan. Jadi arus listrik yang mengalir di dalam Sambungan p-n
disebabkan oleh gerakan hole dan gerakan elektron. Arus listrik itu mengalir searah dengan
gerakan hole, tapi berlawanan arah dengan gerakan elektron.
Apabila bagian positif fotodioda dihubungkan dengan kutup negatip baterai dan bagian
negatif fotodioda dihubungkan dengan kutub positip baterai, maka sekarang terbentuk
hubungan yang dinamakan "reverse bias". Dengan keadaan seperti ini, maka hole (pembawa
muatan positip) dapat tersambung langsung ke kutub positip, sedangkan elektron juga
langsung ke kutub positip. Jadi, jelas di dalam Sambungan p-n tidak ada gerakan pembawa
muatan mayoritas baik hole maupun elektron. Sedangkan pembawa muatan minoritas
(elektron) di dalam bagian P bergerak berusaha mencapai kutub positip baterai.
Demikian pula pembawa muatan minoritas (hole) di dalam bagian N juga bergerak berusaha
mencapai kutub negatip. Karena itu, dalam keadaan reverse bias, di dalam Sambungan p-n
terdapat arus yang timbul meskipun dalam jumlah yang sangat kecil (mikro ampere). Arus ini
sering disebut dengan reverse saturation current atau leakage current (arus bocor).
Sinar inframerah dihasilkan dari getaran atom pada suatu bahan seperti bahan untuk light
emitting dioda (LED). Frekuensi sinar inframerah berkisar antara 3x1011 – 3,9x1014 Hz
dengan panjang gelombang berkisar antara 7,7x10-7 – 10-3 meter.
Dalam aplikasi sensor agar diperoleh jangkauan yang relatif jauh, maka digunakan gelombang
pembawa (carrier) yang menghasilkan frekuensi tertentu. Sinar inframerah ini dihasilkan oleh
unsur Si dan HgCdTe.
METODE PENELITIAN
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : IC mikrokontroler AT89C51, IC
NE555, IC LM7805, fotodioda tipe A-394HB, LED inframerah, relay 6 volt, transistor,
resistor, kapasitor, kristal 12 MHz, Motor AC, batang alumunium, lembaran seng, bor listrik,
multimeter dan komputer.
Rancangan Penelitian
a. Perancangan Sensor
Ketika cahaya inframerah terhalang oleh benda, maka transistor akan menghubungkan arus ke
port P3.1 mikrokontroler sebagai masukan sensor. Pemilihan inframerah dalam penelitian ini
didasari pertimbangan, jangkauan cahaya inframerah memiliki radius intensitas relatif jauh
dan tidak mengganggu pandangan mata manusia.
230 PROSIDING
b. Perancangan Alarm dan Konveyor
Alarm dirancang dengan tujuan pengamanan dan keselamatan pekerja. Alarm akan hidup
pertama kali dalam selang waktu ± 30 detik ketika mikrokontroler aktif. Dengan aktifnya
alarm ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pekerja bahwa sistem akan
mulai bekerja. Sehingga para pekerja yang ada di lingkungan konveyor ( sedang mengontrol
atau memperbaiki konveyor ) lebih berhati-hati.
Perancangan konveyor dibuat menggunakan batang alumunium dan seng. Sabuk konveyor
kemudian diputar oleh motor listrik berspesifikasi 220 VAC. Dalam penelitian ini digunakan
dua buah motor listrik yang hidup secara kontinyu dengan tujuan penghematan energi listrik.
Mikrokontroler AT89C51 berfungsi sebagai pengontrol dan pengendali sinyal masukan alarm
dan motor listrik. Program tambahan dibuat untuk kondisi khusus, yaitu saat kereta api
melintasi dan menghalang cahaya inframerah, maka sistem bekerja.
Bahasa pemograman yang digunakan adalah Turbo assembler yang kemudian diuji
menggunakan program topview simulator (frontline elektronics put ltd) sebagai simulator
perangkat keras dari mikrokontroler AT89C51.
Dari diagram blok di atas, mikrokontroler akan bekerja setelah sensor inframerah terhalang
oleh objek (kereta api). Kemudian relay aktif dan menghubungkan tegangan AC ke motor
listrik.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada diagram alur penelitian berikut :
Tidak
Apakah P3.1 =1 ?
Ya
Tidak
Apakah P3.1 =1 ?
Ya
Hidupkan Konveyor 1
(P0.1)
Tunda ± 15 detik
Tunda 60
detik lalu
Tidak matikan
Apakah P3.1 =1 ?
sistem
Ya
Hidupkan Konveyor 2
(P0.2)
Tidak
Apakah P3.1 =1 ?
Ya
232 PROSIDING
HASIL DAN PEMBAHASAN
2,5
Tegangan (volt)
1,5
0,5
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300
Jarak (cm)
Rangkaian transistor sebagai saklar tersususn atas dua buah transistor, yaitu tipe BD139 dan
tipe BC108 sebagai saklar. Seperti terlihat pada Gambar 8 berikut :
Karena nilai arus yang terlalu kecil ( 0,14 mA), maka keluaran dari fotodioda tidak dapat
langsung dihubungkan dengan pin P3.1 sebagai pin masukan sensor, tetapi harus dikuatkan
terlebih dahulu. Mikrokontroler akan aktif (bekerja) apabila pada pin P3.1 mendapat sinyal
masukan aktif tinggi. Mikrokontroler tipe AT89C51 akan aktif apabila mendapat tegangan
sebesar 1,9 volt sampai 5,5 Volt untuk kondisi high (logika 1) dan -0,5 volt sampai 0,9 Volt
untuk kondisi low (logika 0).
Dari Port 0
Semua pin keluaran dari mikrokontroler AT89C51 dalam keadaan aktif tinggi (sama dengan
tegangan Vcc) pada saat belum diisikan program. Pada gambar di atas transistor akan aktif
apabila pada kaki basis mendapat tegangan rendah (logika 0). Berdasarkan hasil pengukuran
dengan multimeter, tegangan yang masuk pada kaki basis
saat program dijalankan dan menghidupkan alarm dan konveyor adalah 0 Volt dengan arus
sebesar 82,7 mA.
KESIMPULAN
Alat pengendali konveyor yang telah dibuat terbukti mampu mengendali konveyor.
Transmitter dan receiver inframerah dapat bekerja dengan baik pada jarak ± 3 meter.
Tanggapan keluaran tegangan fotodioda sebesar +4,86 Volt dengan arus sekitar 0,14 mA pada
saat cahaya inframerah terhalang dan sebesar +1,93 Volt dengan arus 0,14 mA pada saat
cahaya inframerah tidak terhalang. Mikrokontroler akan memproses keseluruahn dari sistem,
234 PROSIDING
apabila tegangan pada port 3.1 ber-logika 1 selama ± 15 detik dan akan reset dalam waktu ±
60 detik setelah port 3.1 benilai logika 0.
DAFTAR PUSTAKA
Eko Putra, A., 2002, Belajar Mikrikontroler AT89C51/52/55 ( Teori dan Aplikasi), Gava
Media, Yogyakarta.
Junaidi, 2005, Sistem Pengendali Kecepatan Motor Untuk Slewing Gear Pada
Staker/Reclaimer dengan Unidrive Type Uni 4401 di PT. Tambang Batubara Bukit
Asam (Persero) Pelabuhan Tarahan Lampung, Laporan Kerja Praktek, Universitas
Lampung, Bandar Lampung.
Warsito dan Yuliansyah D., 2004, Desain dan Realisasi Prototive Sistem Conveyor Yang
Dikendalikan Oleh Sebuah PC Berbasis PPI8255, Jurnal Informatika Darmajaya, Vol.2,
No.1, 67-77, Juni 2004.
RUSTADI
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Lampung
ABSTRACT
This reseach was intended of geoelectric method in estimating of iron ang manganese on X
area Lampung Selatan. Mapping and 2D technic with Wenner configuration was used to
measure, were processed using Surfer version 8 and Res2dinv program. While the instrument
used was Naniura made by Sumber Daya Mineral, Bandung. Based on this reseach, it can be
concluded that geoelctrical method could accurately detect spread and position of iron ore and
manganese.
PENDAHULUAN
Propinsi Lampung yang dipengaruhi oleh aktivitas geotektonik, menjadikan propinsi ini
memiliki bentang pegunungan dan gunung api sepanjang wilayah bagian selatan, yang
memanjang dari Lampung Selatan hingga Lampung Barat. Aktivitas naiknya magma dalam
proses pembentukan gunung api dan pegunungan di masa lalu, memiliki potensi terbentuknya
mineral-mineral ekonomis. Propinsi Lampung diyakini memiliki potensi mineral logam,
diantaranya bijih besi dan mangan.
Genesa keduanya berkaitan erat dengan pembentukan batuan beku dan seringkali merupakan
bagian dari batuan ini. Proses tersebut menjadikan bijih besi dan mangan berada pada
kedalaman tertentu tertutup oleh lapisan tanah, hanya sebagian kecil mencapai permukaan.
Keadaan tersebut menyulitkan pendugaan posisi dan sebaran kedua deosit di atas.
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan variable tersebut adalah dengan
memanfaatkan perbedaan sifat fisik, khususnya hambatan kelsitrikan batuan. Pendekatan ini
selain lebih ekonomis, juga cukup akurat dalam memetakan keberadaan bijih besi dan
mangan. Sebagai mineral logam, keduanya berperilaku sebagai konduktor yang baik,
sehingga penerapan metode geolistrik cukup akurat dalam pencarian kedua mineral ini.
Metode geolistrik merupakan metode geofisika yang dapat digunakan untuk menafsirkan
benda bawah permukaan. Stratigrafi bawah permukaan tersusun oleh lapisan-lapisan dengan
hambatan jenis berbeda (Ocvianti dkk, 2000). Variasi ini dapat diamati dengan
menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi dan mencatat beda potensial pada titik-titik
pengamatan di permukaan bumi. Dengan mengubah-ubah jarak elektroda sesuai konfigurasi
tertentu, maka dapat diinterpretasi perubahan hambatan jenis secara vertical dan horizontal.
Akurasi pendekatan menggunakan metode ini telah dibuktikan oleh Osella (Osella et al,1999).
Dengan menggunakan konfigurasi Sclumberger, Osella mampu mengamati lapisan konduktif
berupa akuifer alluvial di Antinaco, Argentina. Selain Osella, Meju (Meju et al, 1999) berhasil
mendeteksi kedalaman air tanah menggunakan metode ini yang dipadukan dengan metode
elektromagnetik. Sedangkan Nowroozi (Nowroozi et al, 1999), memanfaatkan metode yang
sama untuk mengetahui intrusi air laut di Virginia, Amerika Serikat.
236 PROSIDING
Konsep dasar metode geolistrik untuk dapat membedakan hambatan jenis media adalah
dengan memberikan gangguan arus listrik di permukaan atau kedalaman tertentu. Arus listrik
didefinisikan sebagai gerakan muatan negative pada materi sebagai proses mengatur diri
menuju kesetimbangan. Keadaan tersebut terjadi apabila materi menerima gangguan luar
berupa medan listrik. Melalui rumusan matematis, arus listrik dinyatakan oleh:
∂Q
I= (1)
∂t
Apabila bumi dialiri arus searah I (diberi medan listrik E), maka elemen arus ∂I yang melalui
elemen luas ∂A dengan rapat arus J adalah
∂I = J ⋅ ∂A (2)
dimana J = σE = −∇(σV ) . Jika di dalam medium (bumi) tidak terdapat arus, maka menurut
hukum Gauss
∫ J ⋅ ∂A = ∫ ∇ ⋅ J∂V =0
s v
(3)
∂ 2V 2 ∂V
+ =0 (4)
∂r 2 r ∂r
C1
V (r ) = + C2 (5)
r
dengan C1 dan C2 adalah konstanta integrasi. Pada r = ∞ potensial listrik di titik tersebut
adalah nol, sehingga C2 = 0. Penyelesaian umum persamaan Laplace untuk model bumi
simetris dan homogen isotropis dapat ditulis dalam bentuk
C1
V (r ) = (6)
r
∂V
I = 4πr 2 J = 4πr 2 − σ = 4πσC1 (7)
∂r
sehingga
Iρ
C1 =
4π
V
ρ = 4πr . (9)
I
Sedangkan apabila sumber arus terdapat di permukaan bumi, permukaan yang dilalui arus I
adalah setengah bola, sehingga
Iρ
V (r ) = (10)
2πr
V
ρ = 2πr. (11)
I
Pada penerapan praktis, pengukuran dilakukan di dua titik seperti diperlihatkan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Ekuipotensial dan garis arus dari dua titik sumber di permukaan bumi
(Reynolds, 1997).
Beda potensial yang terdapat antara M dan N diakibatkan oleh injeksi arus pada A dan B
adalah:
Iρ 1 1 1 1
∆V = VM − VN = AM − BM − AN − BN
2π
Iρ 1 1 1 1
∆V = VM − VN = − − − . (12)
2π r1 r2 r3 r4
Sedangkan besarnya hambatan jenis semu atau terbaca pada alat adalah
∆V
ρa = K . (13)
I
238 PROSIDING
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah mencari teknik pengukuran dari metode geolistrik yang dapat
diterapkan untuk eksplorasi bijih besi dan mangan yang mempunyai dimensi komplek di
daerah X, Lampung Selatan.
METODE PENELITIAN
Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah resistimeter “Naniura” produksi Sumber
Daya Mineral (SDM) Bandung. Perlengkapan lainnya berupa; 2 buah pore spot untuk
eletrode potensial, 2 elektroda arus, 4 rol kabel masing-masing dengan panjang 300m, 2 unit
meteran masing-masing dengan panjang 100m, 3 martil, 1 unit kompas geologi, 1 unit GPS
dan 3 unit handy-talky.
Akuisisi Data
Bijih besi dan mangan yang terdapat di daerah penelitian adalah berupa boulder-boulder
massif yang diperkirakan tersebar pada alur tertentu (strata) dengan diameter benda antara 0,5
– 5 meter yang berada pada kedalaman 1 – 60 meter dari permukaan tanah.
Untuk dapat mengestimasi posisi dan sebaran keduanya, konfigurasi yang digunakan adalah
Wenner dengan spasi datum 10 meter, spasi terkecil 10 meter, serta n = 1, 2, 3 dan 4. Model
pengukuran diperlihatkan pada Gambar 2. Titik-titik datum diperlihatkan pada Gambar 3.
Kombinasi teknik pengukuran yang diterapkan dalam eksplorasi boulder-boulder bijih besi
dan mangan yang berada di daerah X, Lampung Selatan, memberikan hasil seperti yang
diharapkan. Pendekatan teknik mapping, mampu memberikan informasi zona keberadaan
kedua mineral seperti diperlihatkan pada Gambar 4.
Melalui asumsi strata keberadaan bijih besi dan mangan mempunyai nilai hambatan jenis
lebih kecil dari 150 Ohm-m (kombinasi boulder dengan media resistif), zona strata
diperlihatkan oleh warna merah seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Sedangkan warna merah
muda dan biru menyimbolkan area yang mempunyai potensi kecil akan keterdapatan bijih
besi dan mangan.
Bijih besi dan mangan adalah bahan konduktor yang baik, keduanya merupakan bagian atau
penyusun dari aneka bahan yang terdapat pada boulder-boulder. Kombinasi antara mineral
konduktor dan aneka bahan tersebut, ditafsirkan cenderung memiliki nilai hambatan jenis
rendah, dalam penelitian ini nilai 75 Ohm-m, adalah sebagai pendekatan.
Berdasar Gambar 5, boulder bijih besi dan mangan berada pada posisi 120 – 180 meter dari
titik awal pengukuran, dengan kedalaman 2 – 25 meter dari permukaan yang diperlihatkan
oleh warna biru.
Gambar 4. Zonasi strata bijih besi dan mangan hasil teknik mapping
240 PROSIDING
..
KESIMPULAN
Metode geolistrik melalui kombinasi teknik pengukuran mapping dan 2D mampu memetakan
zona strata dan mengestimasi posisi dari bijih besi dan mangan. Berdasar hasil tersebut,
metode ini cukup baik digunakan dalam eksplorasi bahan tambang dan mineral yang bersifat
konduktif.
REFERENSI
Meju M.A., Fontes S.L., Oliveira M.F.B., Lima J.P.R., Ulugergerli E.U., and Carrasquilla
A.A., 1999, Regional aquifer Mapping Using Combined VES-TEM-AMT/EMAP
Methods in the Seiarid Eastern Margin of Parnaiba Basin, Brazil, Geophysics, 64.
Nowroozi A.A., Horrocks S.B. and Henderson P., 1999, Saltwater Intrusion into the
Freshwater Aquifer in the Eastern Shore of Virginia; A Recognnaissance
Electrical Resistivity Survey, Journal of Applied Geophysics, 42.
Ocvianti M.A., Suyanto I., dan Hartantyo E., 2000, Pengolahan Data Resistivitas Mapping
Mengggunakan Program Probabilitas Tomografi, Prosiding PIT-HAGI 25,
Bandung.
Osella A., Favetto, A. and Martinelli P., 1999, Electrical Imaging of an Alluvial Aquifer at the
Antinaco-Los Colorado Tectonic Valley in the Sierras Pampeanas, Argentina,
Journal of Applied Geophysics, 41.
HARI KASKOYO
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan seluas 57.476,9 ha (SK Menhutbun
No. 256/Kpts-II/2000) selayaknya dapat memberikan fungsi ganda, tidak hanya fungsi
ekologis tetapi juga memberikan manfaat ekonomis. Sejak era reformasi, sebagian besar
kawasan hutan produksi yang ada di Kabupaten Lampung Selatan tersebut sudah diduduki
dan di rambah masyarakat. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan hutan produksi sudah dirambah dan diduduki
oleh masyarakat. Kawasan sudah ditanami tanaman palawija, kelapa sawit, singkong dan
tanaman pertanian lainnya serta tegakan yang tersisa seluas sekitar 4.000 ha berupa tegakan
gmelina dan jati. Selain sudah ditanami tanaman pertanian, di sebagian besar kawasan juga
sudah didirikan bangunan permanen berupa rumah, sekolahan dan perkantoran. Di dalam
kawasan juga sudah banyak dibangun sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi.
Semua responden mengetahui bahwa lahan yang diduduki merupakan kawasan hutan dan
mereka dahulu memperoleh lahan tersebut dengan membeli dengan harga berkisar Rp
2.500.000,- hingga Rp 3.000.000,- per 2 ha lahan garapan sedangkan lahan untuk pemukiman
dan pekarangan diberi gratis. Responden bersedia untuk diatur oleh pihak kehutanan apabila
nantinya akan ditertibkan oleh pihak kehutanan.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan suatu ekosistem yang berperanan penting dalam menunjang kehidupan
manusia dan memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain. Hutan menghasilkan
berbagai manfaat bagi manusia yaitu manfaat langsung berupa hasil kayu dan non kayu, serta
manfaat tidak langsung berupa jasa lingkungan (air, udara bersih, jasa rekreasi). Di samping
itu fungsi hutan yang sangat penting adalah bahwa hutan mengandung sumberdaya genetik
atau sumber plasma nutfah yang perlu dilestarikan untuk kepentingan kehidupan sekarang dan
generasi yang akan datang. Oleh sebab itu pemanfaatan hutan harus dilakukan secara bijak
untuk kemakmuran rakyat yang tidak terbatas pada dimensi waktu maupun ruang.
Luas kawasan hutan dan Perairan di Propinsi Lampung menurut hasil Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) SK Menteri Kehutanan Nomor 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus
2000 adalah ± 1.004.735 hektar atau 68,13 % dari luas daratan Propinsi Lampung. Luas
Hutan Produksi (HP) secara keseluruhan sebesar 225.090 ha (22,40 % dari luas kawasan
hutan atau 15,26 % dari luas daratan propinsi Lampung) sedangkan hutan produksi yang ada
di Kabupaten Lampung Selatan seluas 57.476,9 ha. Hutan produksi di Kabupaten Lampung
Selatan telah mengalami kerusakan, oleh sebab itu untuk mengetahui kondisi tersebut
dilakukan penelitian ini.
242 PROSIDING
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2005 di Hutan Produksi di
Kabupaten Lampung Selatan Propinsi Lampung, yaitu di Register 1, 2, 5, 18, 35, 37, dan 40.
Lokasi penelitian adalah kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan dan dan
obyek penelitian adalah masyarakat yang bermukim di hutan produksi tersebut. Sampel
diambil sebanyak 14 orang secara purposive. Alat yang digunakan adalah alat tulis, peta,
kamera, kuisioner. Data primer diambil dengan observasi lapangan dan wawancara dengan
responden, meliputi : kondisi sosial ekonomi dan sejarah bermukim. Data sekunder yang
diambil antara lain peraturan yang terkait dengan hutan produksi di Provinsi Lampung, peta,
data kependudukan, dan data-data lain yang terkait dengan register 1, 2, 5, 18, 35, 37, dan 40.
Data dianalisis secara deskriptif untuk mencapai tujuan penelitian.
Kawasan hutan produksi register 1, 2, 3, 5, 35, 37, dan 40 hampir seluruhnya dijarah dan
diduduki masyarakat pada masa reformasi sehingga hanya tersisa 8 ha berupa tegakan
gmelina dan jati. Sebagian besar lahan kawasan di register-register tersebut sudah berupa
pemukiman, pekarangan, dan tegalan yang ditanami tanaman pertanian seperti jagung, padi,
singkong, dan kelapa sawit.
Register 18, sebagian besar masih berupa kawasan hutan dengan tegakan jati yang ditanam
pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Luas lahan register 18 sebesar 4.280 ha menurut Besluit
Lampung sedangkan menurut Departemen Kehutanan melalui SK menteri seluas 1.955 ha dan
baru 1.389 ha yang sudah diukur dan ada tata batasnya.
Register 1, 2, 37, dan 40 dengan total area 41.250 ha merupakan bekas HPH yang saat ini
dijadikan areal konsesi HPH kultur oleh PT. Darma Hutan Lestari (DHL) yang bekerjasama
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 243
dengan PT Inhutani V. Namun demikian dari 41.000 ha yang ditunjuk sebagai areal konsesi,
hanya 3.000 ha yang layak untuk dikembangkan menjadi HPH kultur pada saat persetujuan
tersebut diberikan pada tanggal 5 Juni 1997 dengan SK Menteri Kehutanan no. C2-4625 HT
01 tahun 1997. Pada tahun 1999, register-register tersebut dijarah dan diduduki masyarakat
yang bermukim di 21 desa definitive yang termasuk di dalam Kecamatan Jati Agung, yaitu :
Desa Karang Rejo, Purwotani, Sidoharjo, Sinar Rejeki, Sumberjaya, Margo Dadi, Margo
Mulyo, Banjar Agung, Marga Agung, Karang Anyar, Way Hui, Marga Lestari, Gedung
Agung, Sidodadi Asri, Gedung Harapan, Margo Kaya, Karang Sari, Fajar Baru, Rejo Mulyo,
Margo Rejo, dan Jati Mulyo. Umumnya mata pencaharian penduduk desa tersebut bertani
sehingga sebagian besar lahan bekas HPH tersebut sudah berubah menjadi lahan garapan dan
pemukiman. Tata guna lahan atau pola pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada lahan
garapannya bervariasi yaitu :
Secara resmi areal konsesi PT Darma Hutan Lestari cukup luas sekitar 41.000 ha. Namun
hampir seluruh areal tersebut tidak bisa dioperasionalkan dan hanya 3.000 ha saja yang dapat
dioperasionalkan untuk pengembangan kawasan hutan karena berbagai faktor, yaitu :
1. sebagian besar areal konsesi telah dijadikan pemukiman serta areal pertanian penduduk.
Dalam areal konsesi telah ada 21 pemerintahan desa definitif.
2. terjadi penjarahan lahan pada masa reformasi oleh masyarakat yang berasal dari berbagai
daerah di Propinsi Lampung. Penjarahan ini akibat runtuhnya sistem hukum serta tekanan
yang kuat dari kelompok-kelompok masyarakat dengan berbagai intimidasi.
3. belum adanya upaya masyarakat untuk menghalau maupun melakukan pencegahan yang
sistematis sehingga proses penjarahan berlangsung terus- menerus.
Pada tahun 1998 paska kerusuhan Mei, terjadi penjarahan dari masyarakat terhadap areal
konsesi PT Darma Hutan Lestari. Agar penjarahan ini tidak semakin parah dan dapat
dikendalikan maka dibentuk Tim 13 yang terdiri dari elemen pemerintah daerah, lembaga
swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan wakil dari anggota masyarakat. Melalui Tim 13,
masyarakat diberikan ijin menggarap areal seluas 1500 ha dari 3.000 ha yang dikelola PT
Darma Hutan Lestari. Setelah areal seluas 1500 ha diberikan, muncul tuntutan lagi agar
sisanya, 1500 ha, diberikan pengelolaanya kepada masyarakat melalui POSKO REFORMASI
yang sebagian anggotanya merupakan anggota Tim 13. Dengan demikian seluruh areal
konsesi PT Darma Hutan Lestari telah beralih ke masyarakat.
Pada areal yang berdekatan terdapat PT Darma Agrindo yang bergerak dalam processing
singkong untuk menjadi tapioka dengan sistem pinjam pakai di mana perusahaan
mengkompensasi areal seluas 2 kali lipat areal konsesinya di daerah lain. Luas areal konsesi
PT Darma Agrindo adalah 82,4 ha sehingga luas areal kompensasinya sekitar 170 ha. Izin
pinjam pakai tersebut diberikan pada tanggal 30 Juli 1996 dengan SK Menteri Kehutanan No,
388/Kpts-II/1996. Saat ini PT Darma Agrindo sedang melakukan perluasan pabrik dan
mengurus perpanjangan hak pinjam pakai yang akan habis masa berlakunya pada akhir tahun
2005. Keberadaan PT Darma Agrindo yang mengolah singkong ini menjadi unik karena ia
244 PROSIDING
merupakan perusahaan yang independen, berada di kawasan hutan produksi, tidak memiliki
batas waktu izin pinjam pakai kecuali hanya perpanjangan setiap lima tahun, dan dijadikan
profit center dari ketiadaan fungsi dari PT DHL. Hal ini menjadi persoalan yang rumit karena
perusahaan tersebut memiliki izin-izin resmi dan sah dari Departemen Kehutanan serta dinas-
dinas terkait seperti Dinas Perindustrian dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan.
Di sisi lain perusahaan ini tidak ada kaitannya dengan tujuan pengelolaan hutan produksi
yaitu menghasilkan kayu bahkan industri ini bersifat disinsentif terhadap pengembangan
kehutanan.
Di Register 5 dan 35 juga mengalami permasalahan yang sama meskipun tidak ada
perusahaan yang diberi hak kelola oleh Departemen Kehutanan. Hampir seluruh kawasan
sudah dirambah dan diubah menjadi areal pertanian dan pemukiman oleh masyarakat.
Tegakan tanaman hutan sudah tidak ada lagi dan berubah menjadi tanaman pertanian seperti
pisang, singkong, jagung, kacang-kacangan, kelapa sawit, karet, dan sebagainya.
Di register 18 sudah terdapat 5 desa yang termasuk dalam Kecamatan Negeri Katon, yaitu
Desa Tri Rahayu, Tri Mulyo, Gedong Gumanti, Sinar Bandung, dan Kresno Widodo. Salah
satu desa, yaitu Gedong Gumanti, sebagian wilayahnya berada dalam kawasan hutan produksi
register 18. Masalah lainnya adalah adanya jual beli atau perambahan lahan rawa yang
luasnya sekitar 300 ha yang ada di register 18. Sebagian besar lahan rawa tersebut diubah
menjadi sawah dan sudah banyak yang memperjual belikan lahan rawa tersebut. Kawasan
hutan produksi register 18 tersebut tersebut sebagian sudah ditanami kembali dengan tanaman
jati oleh Dinas Kehutanan Propinsi Lampung pada tahun 2001, 2002, dan 2003 dengan luas
areal penanaman sekitar 300 ha.
Semua responden mengetahui bahwa lahan yang diduduki merupakan kawasan hutan dan
mereka dahulu memperoleh lahan tersebut dengan membeli dengan harga berkisar Rp
2.500.000,- hingga Rp 3.000.000,- per 2 ha lahan garapan sedangkan lahan untuk pemukiman
dan pekarangan diberi gratis. Meskipun demikian karena kondisi ekonomi yang semakin sulit,
banyak responden yang telah menjual lahan garapannya dan mereka hanya sebagai petani
penggarap saja. Responden bersedia untuk diatur oleh pihak kehutanan apabila nantinya akan
ditertibkan oleh pihak kehutanan.
Kawasan hutan produksi yang ada di Kabupaten Lampung Selatan akan semakin luas
dirambah apabila tidak ada tindakan segera dari pihak Departemen Kehutanan dengan
berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Perambahan yang semakin parah akan
menyebabkan fungsi produksi tidak optimal disamping berkurangnya atau hilangnya
biodiveritas. Hutan produksi tidak hanya sekumpulan pohon tetapi di dalamnya terdapat flora
dan fauna. Mahfud (1998) memberikan 4 alasan utama yang menjadi dasar perlunya
pelestarian flora dan fauna, yaitu :
d. Alasan etika
Tidaklah etis dan bermoral memusnahkan jenis flora dan fauna yang ada di muka bumi
ini. Karena sekecil apapun jenis flora dan fauna mempunyai hak hidup dan mempunyai
peranan di muka bumi ini seperti layaknya manusia yang juga ingin hidup.
Dengan fungsi yang demikian penting, keberadaan dan pengelolaan hutan produksi secara
lestari dan berdaya guna sangat diperlukan. Untuk mencapai hal tersebut, pengelolaan hutan
produksi harus di rancang dengan memperhatikan beberapa aspek , yaitu :
1. Aspek Kebijakan.
Kebijakan pemerintah merupakan suatu hasil atau perangkat yang diharapkan dapat
mendorong pengelolaan hutan yang efisien (Prakosa, 1996). Aspek kebijakan meliputi :
a. Kepastian kawasan hutan, terdiri dari letak, luas dan batas, status dan peruntukan kawasan
hutan serta kondisi penutupan lahan. Kepastian kawasan hutan dan batas wilayah yang
jelas merupakan salah satu syarat dari kelestarian hutan (Simon, 1993)
b. Batas administrasi pemerintahan, adalah kawasan yang akan ditetapkan sebagai Kesatuan
Pemangkuan Pengelolaan Hutan Produksi dibatasi oleh batas administrasi pemerintahan
kabupaten/kota dengan batas dan letak yang jelas tergambar dalam peta.
c. Daerah aliran sungai, pembentukan kesatuan pengelolaan hutan lindung dilakukan dengan
mempertimbangkan Daerah Aliran Sungai (DAS).
246 PROSIDING
2. Aspek Ekologis.
Hutan produksi merupakan ekosistem yang terdiri dari biotik (flora dan fauna) dan abiotik
(tanah, air, dan mineral). Kekayaan dan keanekaragaman flora dan fauna dalam hutan
merupakan bahan untuk ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dapat dikembangkan dan
dimanfaatkan sebagai ajang pendidikan, penelitaian, rekreasi, dan pariwisata (Harianto,
2000).
b. Biogeofisik, dirinci menurut geomorfologi, jenis tanah, topografi, tipe hutan, dan
penutupan lahan.
Sesuai dengan amanat konstitusi, hutan termasuk kekayaan alam yang dikandungnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan
Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, penguasaan hutan oleh negara
memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan (Anonim, 2000). Agar kedua hal
tersebut dapat dilakukan dengan baik, diperlukan koordinasi antar instansi pemerintah baik
vertikal maupun horisontal.
Salah satu bentuk pengaturan negara dalam pengelolaan hutan produksi yang memperhatikan
masyarakat lokal adalah dikeluarkannya SK Menteri Kehutanan Nomor 31/Kpts-II/2001
tentang penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Kebijakan Hutan Kemasyarakatan tersebut
digulirkan dalam rangka pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Prinsip-prinsip dasar yang
harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah (Harianto, 2000):
kelestarian fungsi hutan dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial; keberlanjutan kesejahteraan
masyarakat; demokrasi; keadilan; pertanggungjawaban kepada masyarakat umum; dan
kepastian hukum. Prinsip-prinsip tersebut dilaksanakan dengan pendekatan : keanekaragaman
hayati dan budaya; keanekaragaman komoditas dan jasa; masyarakat sebagai pelaku utama
dan pengambil keputusan; masyarakat menentukan sistem dan kelembagaan pengelolaan;
pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau; serta hak dan kewajiban ditentukan pemerintah
bersama masyarakat. Aspek sosial budaya masyarakat meliputi :
b. Hak masyarakat lokal, terdiri dari hak adat dan hak tradisional termasuk praktek dan
metoda yang telah dilakukan sejak lama dalam jangka panjang dan masih terus dilakukan
serta diakui keberadaannya.
4. Aspek Ekonomi.
Keberadaan hutan produksi sangat membantu masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Umumnya untuk keperluan sehari-hari masyarakat mengambil hasil hutan kayu dan non kayu.
Agar hutan produksi mempunyai manfaat yang optimal, maka pemilihan komoditas yang
dapat dipanen berupa non kayu maupun jasa lingkungan selain harus memperhitungkan aspek
ekonomi juga harus memperhatikan ekternalitas yang akan timbul (Prakosa, 1996).
Aspek ekonomi terdiri dari :
a. Potensi sumberdaya hutan (pasar), adalah produktivitas kawasan hutan produksi yang
berupa hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan.
b. Sarana dan prasarana, terdiri dari sarana jalan, sungai, jembatan, dan prasarana lain seperti
pasar yang dapat menampung hasil hutan kayu maupun non kayu. Selain itu perlu
diterapkan penggunaan teknologi pengolahan hasil hutan bukan kayu untuk meningkatkan
nilai tambah.
Kesimpulan
1. sebagian besar kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sudah dirambah
dan diduduki masyarakat.
2. sebagian besar kawasan hutan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sudah beralih
fungsi menjadi areal pertanian/lahan garapan dan pemukiman.
Saran
1. Departemen kehutanan selaku pihak pemerintah yang memberi izin pengelolaan dengan
berkoordinasi dengan pemerintah daerah harus segera menyelesaikan masalah
perambahan dan perusahaan pengolah singkong agar kelestarian kawasan hutan produksi
dapat dijaga.
2. Perlu dilakukan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan
produksi.
248 PROSIDING
DAFTAR PUSTAKA
Harianto, S.P. 2000. Strategi Pengelolaan Hutan yang berbasiskan Pelestarian Alam dan
Kesejahteraan Rakyat. Makalah disampaikan dalam acara Pembekalan Pengurus dan
Rapat Kerja Yayasan Wanatama Lestari di Kecamatan Talang Padang Kabupaten
Tanggamus tanggal 24-26 Maret 2000.
Harianto, S.P. 2000. Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial Hutan Kemasyarakatan terhadap
Masyarakat di sekitar Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Hutan
Kemasyarakatan Propinsi Lampung bekerjasama dengan Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial bekerjasama dengan Ford Foundation di
Bandar Lampung tanggal 3 Oktober 2000.
Machfud. 1998. Pelestarian Sumberdaya Plasma Nutfah di Indonesia. Duta Rimba, No. 214,
tahun XXIII/April 1998. Hal. 7-15.
Prakosa, M. 1996. Renjana Kebijakan Kehutanan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. 142
hlm.
Simon, H. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Problematika dan Strategi Pemecahannya.
Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. 224 hlm.
Hutan
Nama Jumlah Cara memperoleh lahan garapan dan tempat Tahun
No Produksi Umur Pendidikan Jenis tanaman Luas lahan garapan
Reponden keluarga bermukim bermukim
Register
1. 1 Suratman 21 SD 3 Jagung Membeli seharga Rp. 2.500.000,- 2 ha 1999
11. 37 Aroni 28 SMA 2 Ubi Kayu Membeli seharga Rp. 2.500.000,- 2 ha 2001
250 PROSIDING
TUMBUH-TUMBUHAN YANG DIMANFAATKAN SEBAGAI OBAT
PENGENDALIAN PENYAKIT DIABETES MELITUS ( DM)
RUMYATI
Fakultas Matematika dan Ilmu Ilmu Pengetahuan Alam
Jurusan Biologi, Universitas Lampung.
ABSTRAK
Penelitian tentang tumbuhan yang digunakan sebagai obat pengendalian penyakit Diabetes
Melitus secara tradisional telah di lakukan di Bandar Lampung. Data yang dikumpulkan dari
hasil wawancara dengan penderita diabetes melitus dan orang-orang yang mengetahui tentang
tumbuhan obat, terdapat 9 jenis tumbuhan dari 7 suku yang telah di gunakan sebagai obat
pengendalian penyakit Diabetes Melitus dengan cara menurunkan kadar gula darah.
PENDAHULUAN
Pengetahuan mengenai tumbuh-tumbuhan sebagai obat diketahui secara empiris, yaitu jenis
tumbuhan, cara pengolahan, penggunaan dan manfaatnya secara turun temurun telah
diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi berikutnya termasuk generasi sekarang.
Cara pengobatan semacam ini telah lama dikenal dengan sebutan pengobatan tradisional
(Dalimartha, S.,1999)
Dalam khasanah budaya Indonesia, sebenarnya jauh sebelum pengobatan modern dikenal,
nenek moyang bangsa ini telah mengenal berbagai metode pengobatan. Karena keterdesakan
budayalah , tradisi yang telah dikenal turun menurun ini digantikan oleh pengobatan modern.
Tradisi pengobatan (alternatif) warisan nenek moyang ini banyak yang hilang dari ingatan dan
tidak lagi digunakan sebagai elternatif pengobatan (Harmanto, N., 2001)
Namun pada saat ini bersamaan dengan kecendrungan dunia untuk “back to nature” kitapun
ikut kembali kealam. Kembali kealam dalam bidang obat-obatan berarti kembali ketanaman
obat yang sudah secara tradisional dikenal sebagai obat asli Indonesia. Namun seperti sudah
menjadi barang baru lagi karena pernah kita tinggalkan. Karena itu perlu kita kenali lagi, kita
pelajari lagi dan kita manfaatkan lagi.
Pengertian Pengobatan tradisional adalah salah satu upaya pengobatan atau perawatan cara
lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, yang mencakup cara, obat dan
pengobatannya yang mengacu kepada pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan turun
temurun. Baik yang asli maupun yang berasal dari luar Indonesia, dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Hermiati, S.,1993)
Pengertian Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan meneral, sediaan sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional
meliputi simplisia, jamu gendong, jamu bungkus dan obat fitoterapi ( Hermiati,S., 1993)
Penyakit Diabetes Melitus atau lebih dikenal dengan istilah “ kencing manis” atau sakit gula
ialah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang, disebabkan meningkatnya kadar
gula darah akibat kekurangan hormon insulin baik secara mutlak atau relatif (Sutarjo,B.
,2002). Insulin membantu tubuh dalam mengelola makanan menjadi energi (tenaga). Secara
normal, cara kerjanya sebagai berikut: Selama proses pencernaan, tubuh mengubah makanan
menjadi suatu gula sederhana yang disebut glukose. Glukose diserap ke dalam aliran darah
sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Jika insulin bekerja sebagaimana mestinya,
glukose akan masuk ke dalam sel, dan kadar glukose dalam darah akan turun lagi ke batas
normal. Pada saat anda makan, pancreas mengeluarkan ektra insulin. Insulin inilah yang
membawa glikose masuk ke dalam sel untuk diubah menjadi energi.
Kadar glukose darah naik turun sepanjang waktu dalam kisaran normal. Jika insulin bekerja
sebagaimana mestinya, maka pengontrolan ini terjadi secara otomatis.
Pada saat ini penyakit Diabetes Miletus telah menjadi masalah kesehatan yang boleh
dikatakan umum. Salah satu penyebabnya adalah semakin meningkatnya taraf kehidupan
rata-rata masyarakat. Penyakit DM walaupun tidak dapat disembuhkan tetapi dapat
dikendalikan sehingga pasien dapat hidup secara normal dan sehat, terbebas dari komplikasi
penyakit.
Tujuan pengelolaan/ pengendalian ialah: jangka pendek menghilangkan keluhan dan gejala
diabetes (banyak makan, minum, kencing, rasa lemah, kesemutan) dan jangka panjang ialah
mencegah terjadinya komplikasi pada pembuluh darah baik kerusakan pembuluh darah besar,
kecil, serta kerusakan saraf ( neuropati).
Perinsip pengelolaan didasarkan 4 pilar utama yaitu: diet, olah raga, obat-obatan dan
penyuluhan ( Tjokroprawiro, A.,1999). Jika dengan diet dan olah raga kadar glukosa darah
belum dapat dikontrol dengan baik, dapat dipikirkan pemakaian obat oral atau kalau perlu
insulin. Obat oral dapat bekerja membantu menurunkan kadar glukosa / gula darah , dan ada
juga obat oral yang bekerja dengan cara merangsang sel penghasil insulin ( sel beta) di
pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak sehingga kebutuhan insulin dapat
tercukupi. Jika pasien yang kelenjar pankreasnya sudah tidak mampu lagi dipacu dengan obat
oral untuk memproduksi insulin lebih banyak lagi, untuk itu perlu injeksi insulin.
Pengobatan tradisional tidak hanya merupakan upaya yang bersifat penyembuhan, tetapi juga
mencakup setiap bentuk upaya yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun masyarakat
dalam meningkatkan kesehatannya, mencegah dari segala bentuk gangguan termasuk
penyakit serta mengupayakan penyembuhan dan pemulihan dari gangguan yang dialaminya
dengan mendasarkan pada pengalaman turun temurun yang mengakar pada pola budaya dan
tradisi masyarakat baik yang bersifat setempat maupun adaptasi dari budaya lain (Poerwanto,
P., 1993)
252 PROSIDING
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
sebagai obat pengendalian penyakit Diabetes Melitus , cara pemakaiannya serta bagian yang
berhasiat. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat yang belum mengetahui tentang jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
untuk menurunkan kadar glukose darah pada penderita Diabetes Miletus Tidak Tergantung
Insulin (DMTTI) secara tradisional.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan adalah “wawancara” dengan penderita DM yang telah menggunakan
tumbuh-tumbuhan sebagai obat pengendalian glukose darah, dan orang-orang yang
mengetahui tentang tumbuhan obat. Untuk setiap jenis tumbuhan obat yang dikumpulkan
dicatat nama daerahnya, bagian tumbuhan yang digunakan, morfologi dan data biologinya.
Disamping itu setiap tumbuhan obat yang dikumpulkan jika belum diketahui nama latinnya
dibuat spesimen herbarium untuk di identifikasi nama ilmiahnya.
Hasil wawancara dengan orang-orang yang mengetahui tentang tumbuhan obat dan dengan
penderita diabetes melitus, diketahui ada 9 jenis tumbuhan dari 7 suku (familia) yang
digunakan sebagai obat untuk menurunkan kadar gula darah (Tabel I). Suku yang jenisnya
paling banyak digunakan yaitu suku Myrtaceae.
Bagian tumbuhan yang digunakan adalah akar, batang, bunga, dan buah. Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan tumbuhan obat tersebut mudah didapat karena umumnya
sudah di budidayakan dan banyak ditanam di pekarangan atau kebun-kebun dekat rumah
penduduk. Hanya ada satu jenis yang masih tumbuh liar yaitu Physalis angulata L (ciplukan).
Dari hasil penelitian di Bandar Lampung ternyata masyarakat Lampung masih banyak
menggunakan tumbuhan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit diantaranya
penyakit Diabetes Miletus. Masyarakat pengguna tumbuhan obat ada yang mengetahui
tentang tumbuhan obat tersebut berdasarkan pengetahuan turun temurun, dari kenalan, dari
orang pintar (dukun), pengalaman membaca dibuku kemudian dicoba dan cocok.
Cara pengobatan dan pengolahan tumbuhan obat tersebut sangat sederhana yaitu umumnya
dengan merebus simplisia tumbuhan dan air rebusannya diminum. Selain itu ada juga
dengan mengeringkan simplisia tumbuhan, kemudian ditumbuk sampai halus, lalu
dimasukkan dalam kapsul. Tetapi dalam penggunaan obat tersebut dosisnya tidak sama
antara pemakai satu dan lainnya, hanya berdasarkan pengalaman. Kalau gula darah penderita
sedang normal tumbuhan obat tersebut bisa diminum 3 kali atau 2 kali dalam seminggu.
Tujuannya hanya untuk mengontrol kadar gula darah supaya tetap normal. Tetapi jika kadar
gula darah tinggi dianjurkan minum 3 atau 2 kali sehari, karena tujuannya untuk menurunkan
agar supaya kadar gula darah menjadi normal.
Menurut Suwati dan Wahyono, 1922, ada 2 macam khasiat pokok dari tumbuhan. Pertama
tumbuhan sebagai obat dalam arti bahwa tumbuhan itu memang mengandung sejenis senyawa
atau zat-zat tertentu yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Kedua tumbuhan dianggap
mengandung khasiat magis (“kekuatan tertentu”) sehingga dapat menyembuhkan penyakit.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terdapat 9 jenis tumbuhan yang bisa
dimanfaatkan sebagai obat pengendalian penyakit Diabetes Melitus secara tradisional.
Bagian-bagian dari tumbuhan tersebut yang digunakan yaitu daun, batang, akar, buah. Cara
penggunaannya umumnya simplisia tumbuhan direbus dan air rebusannya diminum. Perlu
dilakukan penelitian laboratorium untuk mengetahui senyawa-senyawa yang berperan dalam
penurunan kadar gula darah.
DAFTAR PUSTAKA
Dalimartha, S., 1999. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Melitus. Cetakan ke
IV. Penebar Swadaya Jakarta.
Furnawathi, J.S.P., 2002. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya si Tanaman Ajaib. Balai
Pengkajian Biotehnologi, BPPT dengan Agromedia Pustaka.
Harmanto, N., 2001. Mahkota Dewa Obat Pusaka Para Dewa. AgroMedia Pustak
Sutarjo, B., 2002. “ Mengenal Lebih Dekat Diabetes Miletus dan Pegelolaannya” dalam
Kliping Info Kesehatan Diabetes Miletus seri 1. Laboratorium Klinik Prodia.
Suyono, S.,1996. Masalah Diabetes Miletus DI Indonesiamdalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam jilid I. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
254 PROSIDING
Lampiran
HASIL PENELITIAN
DANA DIK UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN ANGGARAN 2003
TABEL I. Daftar Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagi obat pengendalian penyakit
Diabetes Melitus secara tradisional.
Bagian
Nama Nama
No. Familia yang Cara Pemakian
Ilmiah Daerah
digunakan
Rebus 7 atau 11 lembar daun
Syzygium salam segar atau kering
polyantum dengan 2 gelas air sampai
1. Salam Myrtaceae daun
(Weight) airnya tinggal 1 gelas. Air
Walp rebusan tersebut diminum 2x
sehari
Biji ½ sendok the serbuk mahoni
dikeringkan seduh dengan 1/3 cangkir air
Swietenia lalu panas, minum 30 menit
2. Mahugoni Mahoni Meliaceae ditumbuk sebelum makan. Lakukan 2-3
jacy sampai kali sehari
menjadi
bubuk
1 buah jambu yang masih
mengkal, potong-potong lalu
Psidium rebus dengan 3 gelas air
3. Jambu biji Myrtaceae buah
guajava L sampai air tersisia
setengahnya. Air rebusan
diminum 2x sehari.
Rambut jagung dan kelobot
yang masih muda direbus
Rambut dan
4. Zea Mays Jagung Gramineae dengan 3 gelas air sampai
klobot
airnya tinggal 1 gelas, air
rebusan lalu diminum
Segenggam daun kopi lalu
direbus dengan air 1 gayung,
Coffe sampai air rebusan berwarna
5. Kopi Rubiaceae daun
Arabica merah seperti teh. Air
rebusannya diminum 1x
sehari sebanyak 1 gelas
Satu dau lidah buaya
Lidah dipotong-potong rebus
6. Aloe Vera liliaceae daun
buaya dengan 2 gelas air sampai
tinggal 1 gelas. Air
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 255
rebusannya diminum 3x
sehari masing-masing ½
gelas.
Buah dipotong-potong lalu
dikeringkan. Setelah kering
Phaleria
ambil 3-6 iris lalu direbus
macrocarp Mahkota
7. Thymelaeceae buah dengan 2 gelas air sampai
a (Scheff.) dewa
tinggal ½ gelas. Bisa
Boerl
diulang samapi 3x rebus.
Minum 2x sehari
Seluruh bagian tanaman
Physalis Seluruh direbus dengan air 3 gelas.
8. Ciplukan Solanaceae
angulata tanaman Air rebusan tersebutdiminum
2x sehari
Rebus 7 buah pinang yang
tidak terlalu tua dan tidak
terlalu muda dengan 3 gelas
Araceae
9. Pinang Arecaeae buah air sampai tinggal 1 gelas.
Catechu
Air rebusan tersebut lalu
diminum 1x sehari sebanyak
¼ gelas.
256 PROSIDING
PENGGUNAAN PUPUK SULFOMAG PLUS
DALAM MENINGKATKAN HASIL PADI HIBRIDA
ABSTRACT
The improvement of plant cultivation can be done by using the seeds of best varities and
hybrid as well as equal fertilization. One of hybrid paddies which are introduced to the
farmers is Intani and introduced in the level of breeding lines are H4 and H9, while nationally
best variety which is widely used by farmers is IR64. IR64 variety is the best variety of
lowland paddy which is commonly planted by farmers in Indonesia, especially in Lampung.
The use of SP-36 fertilizer as the source of P is commonly used because it can be relatively
easy to be foundthan others. However Sulfomag Plus fertilizer which is just recommended to
the farmers is not to be able to compete with SP-36 nor TSP, because the farmers can not
prove whether Sulfomag Plus is able to equal the potency of SP-36 and TSP as the source of P
in the lowland paddy plantation. Related to that, it was tried to give Sulfomag Plus fertilizer
to some varieties of hybrid paddy. This research was conducted in the research field of
Polinela, Bandar Lampung from June to September 2004.
From the result it can be concluded that: (a) the yield of hybrid paddy was higher variety of
IR-64, while 3 hybrid varieties (H4, H9, and Intani), (b) the dosage of Sulfomag Plus can be
alternative source of P beside SP-36. The dosage of Sulfomag Plus of 200 kg ha-1 , and (c) the
application of P fertilizer did not depend on the varieties of paddy.
PENDAHULUAN
Salah satu komponen teknologi yang memberikan kontribusi besar dalam produksi pangan
adalah penggunaan varietas unggul antara lain varietas padi hibrida yang mulai
diperkenalkan. Selain itu sudah banyak beredar pupuk anorganik selain urea, KCl, dan SP-36
yang umum digunakan petani, misalnya Sulfomag plus yang akan dicoba.
Perbaikan budidaya tanaman dapat dilakukan antara lain dengan pengguna benih varietas
unggul dan hibrida serta pemupukan yang berimbang. Padi hibrida yang mulai diperkenalkan
pada petani salah satunya adalah Intani dan yang akan di kenalkan kemudian masih dalam
bentuk galur adalah H4 dan H9, sedangkan varietas unggul nasional IR-64 banyak digunakan
petani. Varietas IR-64 adalah varietas padi unggul sawah yang paling banyak ditanam petani
di Indonesia khususnya di Lampung. Untuk itu akan dicobakan padi hibrida ini, apakah
mampu berproduksi tinggi pada kondisi Lampung; karena hasil deskripsi menunjukkan bahwa
padi hibrida Intani 1 mampu berproduksi sebesar 8.7-11.2 t/ha gabah kering, di samping rasa
nasi tidak kalah dengan IR-64 serta tekstur nasi pulen (BALITPA, 2002).
Menurut Sunihardi dan Hermanto (2000), sebagian besar tanaman padi hingga saat ini masih
didominasi oleh varietas IR-64 yang dilepas tahun 1986. Jika tidak dilakukan rotasi verietas
dikhawatirkan akan terjadi ledakan hama dan penyakit.
Hasil penelitian Sunarsedyono, Punarto, dan Isgianto (1995), pemberian pupuk P di atas dosis
90 kg/ha tidak meningkatkan hasil gabah kering bersih. Ini setara dengan dosis Sulfomag
Plus 450 kg/ha. Tetapi hasil penelitian Raudhatunnur (2003) menyimpulkan bahwa sampai
dosis 300 kg/ha Sulfomag Plus masih menunjukkan garis linear untuk hasil pipilan kering
jagung varietas Srikandi.
Untuk itu dicobakan pupuk Sulfomag Plus 200 kg/ha dan 400kg/ha dengan harapan padi
hibrida respon dengan pemberian pupuk sulfomag ini, sehingga hasil gabah kering meningkat.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk (1) mengetahui apakah varietas hibrida lebih baik daripada
varietas unggul IR-64 dalam hal pertumbuhan dan hasil, (2) mengetahui apakah pupuk
Sulfomag Plus dan SP-36 sama pengaruhnya pada pertumbuhan dan hasil padi, dan (3)
mengetahui apakah jenis pupuk tergantung pada macam varietas padi hibrida.
Perlakuan disusun dalam faktorial (4x3) dalam rancangan kelompok tercak sempurna dengan
3 ulangan. Faktor pertama adalah macam varietas padi yaitu H4 (V1), H9 (V2), Intani (V3),
dan IR-64 (V4). Faktor kedua adalah pupuk SP-36 175 kg/ha (P1), Sulfomag Plus 200 kg/ha
(P2), dan Sulfomag Plus 400 kg/ha (P3). Kesamaan ragam antarperlakuan diuji dengan uji
Bartllet dan persitindakan antarkelompok dan perlakuan diuji dengan uji Tukey. Penduga
galat percobaan didapat dengan sidik ragam dan pemisahan nilai tengah dengan uji ortogonal
pada taraf nyata 1 dan 5%. Benih direndam semalam sebelum ditebar di pesemian dengan
kerapatan 25 g benih/m2 setelah berumur 21 hari baru dipindah ke petak percobaan. Jarak
tanam 20 x 15 cm dengan tiga bibit per lubang tanam. Ketinggian air 3-5 cm sampai bibit
dapat menyesuaikan diri dengan genangan, setelah itu dinaikan menjadi 7 cm agar anakan
terangsang sampai anakanan maksimum baru, setelah itu diturunkan lagi menjadi 5 cm. Saat
berbunga sampai 1 minggu sebelum panen pemberian air terputus-putus. Sulfomag dan SP-
36 diberikan saat tanam sesuai dengan dosis perlakuan, begitu juga KCl 50 kg/ha dan Urea 50
kg/ha. Dua minggu setelah pindah di petak percobaan urea diberikan 120 kg/ha dan KCl 30
kg/ha untuk yang kedua kali. Kemudian dipupuk lagi saat 3 minggu setelah pemupukan
kedua dengan urea 100 kg/ha dan KCl 20 kg/ha. Penyiangan dilakukan dengan melihat
kondisi lahan begitu juga pencegahan hama dan penyakit tanaman. Panen dilakukan bila 90%
kondisi padi sudah menguning. Pengamatan dilakukan terhadap (a) jumlah anakan produktif,
258 PROSIDING
dihitung saat tanaman berumur 8 MST, (b) jumlah gabah per malai, menghitung semua gabah
per malai pada saat panen, (c) gabah isi per malai, menghitung gabah yang berisi per malai
saat panen, (d) bobot 100 butir pada kadar air 14%, dan (e) hasil padi (t/ha) pada kadar air
14%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa macam varietas berpengaruh pada , jumlah gabah total,
jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, bobot 1000 butir, dan hasil gabah per hektar.
Sedangkan pupuk P berpengaruh pada komponen hasil seperti jumlah gabah total, jumlah
gabah isi, bobot 1000 butir, dan hasil gabah (Tabel 1)..
Padi sawah varietas hibrida (H4, H9, dan Intani) mempunyai jumlah gabah total, jumlah
gabah isi, dan hasil gabah yang tinggi daripada varietas IR-64; sedangkan bobot 1000 butir
IR 64 lebih tinggi daripada varietas hibrida (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Sutaryo, Suprihatno, dan Suparyono (2001) bahwa padi hibrida mempunyai daya hasil lebih
tinggi daripada IR 64 pada musim hujan maupun musim kering. Tetapi varietas hibrida
mempunyai jumlah gabah total, jumlah gabah isi yang tinggi sehingga hasil gabah kering
juga tinggi. Ini berarti varietas hibrida meskipun ukuran biji kecil tetapi biji yang terbentuk
lebih banyak daripada IR 64.
Padi varietas Intani mempunyai jumlah gabah total dan jumlah gabah isi yang tinggi daripada
padi galur H4 dan H9, tetapi hasil gabah kering ketiganya tidak berbeda (Tabel 2). Ini berarti
galur H4 dan H9 mempunyai peluang untuk dapat dikembangkan khususnya di daerah
Lampung, karena meskipun mempunyai penampakan pertumbuhan lebih rendah daripada
Intani tetapi mempunyai hasil gabah kering yang sama. Padi galur H4 mempunyai jumlah
gabah total dan jumlah gabah isi lebih tinggi tetapi hasil gabah H4 dan H9 tidak berbeda
(Tabel 2). Ini diduga oleh perbedaan genetik hasil persilangan dengan induk yang berbeda,
tetapi kedua galur ini mempunyai hasil yang sama, sehingga keduanya mempunyai peluang
dapat dikembangkan di daerah Lampung ini.
Sumber unsur P dari pupuk Sulfomag Plus ternyata dapat meningkatkan jumlah gabah isi dan
bobot 1000 butir; tetapi hasil gabah (t/ha) tidak berbeda (Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa
pupuk Sulfomag Plus dapat menggantikan SP-36 untuk berbudidaya padi sawah. Selain itu
juga pupuk Sulfomag Plus mengandung P205 juga mengandung unsur makro 10% SO4 dan
4% Mg serta unsur mikro 2% CuO dan 0.2% ZnO (Polowijo Gosari, 2002). Unsur ini justru
menguntungkan tanaman padi hibrida karena tanaman memperoleh tambahan hara esensial
untuk proses metabolisme dalam tanaman. Unsur hara belerang akan meningkatkan
kandungan protein dalam tanaman, Mg akan meningkatkan kandungan klorofil sehingga
fotosintesis akan meningkat, Mg juga akan berperan dalam transportasi P dalam biji.
Sedangkan Cu dan Zn sebagai kofaktor untuk membantu meningkatkan kerja enzim dalam
mengkatalis proses metabolisme tanaman (Hakim, 1986).
Pupuk Sulfomag Plus dosis 200 kg/ha dapat meningkatkan jumlah gabah total, jumlah gabah
isi, bobot 1000 butir, dan hasil gabah kering dibandingkan pupuk Sulfomag Plus dosis 400
kg/ha (Tabel 2). Ini menunjukkan bahwa pemberian 400 kg/ha Sulfomag Plus tidak
bermanfaat tetapi justru pemborosan, karena pertumbuhan padi sawah dapat meningkat
dengan dosis 200 kg/ha Sulfomag Plus dan ini setara dengan 111 kg SP-36/ha. Jadi sesuai
dengan dosis anjuran yang merupakan rekomendasi pupuk sawah irigasi di Lampung yang
Sedangkan penelitian ini Urea 270 kg/ha, 111 kg SP-36 atau setara 200 kg Sulfomag Plus/ha,
dan 100 kg KCl/ha. Hal ini juga diduga karena penggenangan selama 1 bulan pada lahan
justru meningkatkan ketersediaan fosfat (Ismunadji dan Sismiyati, 1988); sehingga pemberian
400 kg Sulfomag Plus/ha menjadi berlebih dalam tanah. Kelebihan P dalam tanah dapat
menyebabkan ketidak seimbangan dengan unsur lain seperti Zn. Unsur P bersifat antagonis
dengan Zn, sehingga bila P berlebih Zn menjadi tidak tersedia untuk tanaman padi. Menurut
Castro (1977 dalam Basyir, Slamet, dan Suyamto, 1994) jika suasana N dan P berlebih
tanaman padi menjadi kekurangan Zn, sebab Zn terkait dengan garam seng amonium fosfat
yang tersedia untuk tanaman padi.
Persitindakan antara varietas dan Sulfomag Plus tidak nyata untuk semua variabel
pengamatan. Ini berarti pemberian pupuk P tidak tergantung pada jenis varietas pada sawah.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa (a) varietas padi hibrida mempunyai hasil
yang tinggi daripada varietas unggul IR-64, sedangkan ketiga varietas hibrida (H4, H9, dan
Intani) mempunyai hasil gabah yang sama, (b) dosis Sulfomag Plus dapat menjadi alternatif
sebagai sumber unsur hara P selain SP-36. Dosis Sulfomag Plus 200 kg/ha akan memberikan
hasil padi sawah yang lebih tinggi daripada dosis 400 kg Sulfomag Plus/ha, dan (c) pemberian
pupuk sulfomag tidak tergantung pada jenis varietas padi sawah.
DAFTAR PUSTAKA
Ardjasa, W., Annas Zubair, dan Widyantoro. 2001. Teknologi Budidaya Padi Berbagai
Agroekosistem dalam Mendukung Program Gema Palagung di Propinsi Lampung.
Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Natar. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. DEPTAN. 45 hal.
BALITPA. 2002. Deskripsi Varietas Unggul. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Hal. 25.
Basyir, A. , P. Slamet, dan Suyamto. 1994. Pengelolaan Hara pada Lahan Sawah dalam
Jangka Panjang. Dalam Risalah Lokakarya Komunikasi Teknologi untuk Produksi
Tanaman Pangan di Jawa Timur. BPTP-Malang. Hal. 12-19.
Polowijo Gosari. 2002. “Pupuk Majemuk Sulfomag Plus.” Brosur PT. Polowijo Gosari.
Yogyakarta. 2 hal.
Hakim, Nurhayati, dkk. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung.
488 hal.
260 PROSIDING
Ismunadji, M. dan Sismiyati Roechan. Hara Mineral Tanaman Padi. Dalam Padi . Buku I.
BPPP. Bogor. Hal. 231-270.
Sutaryono, B.; B. Suprihatno, dan Suparyono. 2001. “Penampilan Beberapa Kombinasi Padi
Hibrida pada Beberapa Pengujian Daya Hasil.” Dalam Implementasi Kebijakan
Strategis untuk Peningkatan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan.
Lokakarya Padi. BP3. Bogor. Hal. 109-114.
Tabel 1. Sidik Ragam Pengaruh Sulfomag Plus pada Empat Varietas Padi Sawah
Sumber
DB Kuadrat Tengah
Keragaman
1 2 3 4 5
Kelompok 2 45,51** 99,76tn 20,02tn 5.81tn 0,80tn
Perlakuan
Varietas 3 11,74tn 2884,21** 1049,62** 40,83** 6,37**
Pupuk P 2 4,52tn 663,59* 1111,80** 13,63** 1,80*
Interaksi 6 4,58tn 104,91tn 0,98tn 1,56tn 0,16tn
Galat 21 6,54 154,87 99,43 1,92 0,37
Keterangan: 1 = Jumlah anakan produktif 2 = Jumlah gabah total
3 = Jumlah gabah isi 4 = Bobot 1000 butir
5 = Hasil gabah kering t/ha tn = tidak nyata
* dan ** = nyata 5 dan 1%
262 PROSIDING
KARAKTERISTIK HIDROFILITAS FILM POLIETILEN TERGRAFTING ASAM
AKRILAT YANG DIPEROLEH DENGAN METODA FOTOGRAFTING
ABSTRAK
Permukaan film polietilen (PE) yang bersifat hidrofob telah diubah menjadi hidrofil dengan
menggrafting asam akrilat (AA) dengan bantuan xanthone sebagai fotoinisiator. Setelah
ekstraksi homopolimer dan sisa monomer yang tidak bereaksi dari permukaan film PE,
karakterisasi dengan spektroskopi inframerah membuktikan bahwa rantai grafting AA telah
tergrafting pada film PE. Karakteristik hidrofilitas film PE tergrafting asam akrilat yang
dihasilkan diukur dari tingkat kebasahan (wettability) dan daya absorbsinya terhadap air.
Penurunan sudut kontak film PE dengan air dan peningkatan daya absorbsi air dengan jelas
menunjukkan bahwa metoda fotografting dapat digunakan untuk meningkatkan hidrofilitas
permukaan film PE. Pada suhu dan kelembaman yang konstan, film PE tergrafting AA
kehilangan air yang diabsorbsinya hingga mencapai kesetimbangan.
Key words : Photografting, hidrofilik, daya absorbsi air, sudut kontak, polimerisasi
grafting, asam akrilat, polietilen.
PENDAHULUAN
Saat ini pemanfaatan berbagai jenis polimer telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dengan kehidupan manusia. Dari berbagai jenis polimer yang ada, polietilen (PE) adalah
salah satu dari poliolefin yang paling banyak digunakan secara komersial disebabkan
memiliki banyak sifat-sifat yang bermanfaat antara lain daya tahan terhadap zat kimia dan
daya benturan yang baik, mudah dibentuk dan dicetak, ringan dan biaya produksinya yang
murah (Peacock, 2000). Secara alami, permukaan film polietilen (PE) adalah bersifat
hidrofob disebabkan ketidak reaktifannya terhadap bahan kimia dan energi permukaanya yang
rendah. Hidrofobitas ini menyebabkan masalah dalam beberapa bidang aplikasinya seperti
perekatan, pengecatan, dan pencetakan.
Dalam penelitian ini, asam akrilat digrafting ke film polietilen dengan bantuan xanthone (XT)
sebagai fotoinisiator yakni inisiator yang akan mengalami eksitasi akibat menyerap sinar
ultraviolet (UV). Struktur molekul asam akrilat dan xanthone diperlihatkan pada Gambar 1.
Pemanfaatan turunan akrilat seperti asam akrilat (C3H4O2) (He and Gu, 2003) sebagai
monomer hidrofilik penggrafting didasarkan pada kemudahannya berpolimerisasi, tersedia di
pasaran dan dengan harga yang murah. Keberhasilan reaksi grafting dievaluasi dengan
menggunakan data analisis spektroskopi inframerah untuk mendapatkan fungsionalitas
sampel. Karakteristik hidrofilitas film PE tergrafting asam akrilat yang dihasilkan diukur dari
tingkat kebasahan (wettability) dan daya absorbsinya terhadap air.
METODE PENELITIAN
Pemurnian Polietilen
Percobaan pertama adalah pemurnian film polietilen (PE) dari bahan aditif yang terkandung
di dalamnya dan akan digunakan untuk percobaan selanjutnya. Film PE yang digunakan
adalah PE komersial dengan kerapatan rendah (LLDPE) dengan ketebalan 30 µm dan ukuran
3 x 10 cm2. Film PE tersebut direfluks dengan aseton selama 24 jam pada suhu 60°C lalu
dikeringkan. Film PE yang telah dikeringkan selanjutnya dianalisis dengan FTIR. Analisis
dengan FTIR dimaksudkan untuk mendapatkan fungsionalitas acuan, sehingga perobahan
fungsionalitas setelah film PE digrafting dengan asam akrilat dapat diketahui.
Pengukuran daya absorbsi air ditentukan dengan cara merendam film PE tergrafting AA
dengan berbagai persen grafting dalam air pada 25°C selama 24 jam (aampel dengan tipe-H).
Setelah perendaman, PE film diangkat dari larutan, sisa air pada permukaan film dikeringkan
dengan kertas saring. Untuk menentukan daya absorbsi air dari film PE tergrafting AA
dengan tipe-Na, film PE tergrafting AA dicelupkan dalam larutan yang mengandung NaOH
0,5 M pada 25°C selama 2 jam. Daya absorbsi air ditentukan dengan persamaan (2), yakni
perbandingan selisih berat film PE setelah (W2) dan sebelum (W1) direndam dalam air (W1)
dengan rumus berikut :
Fotografting asam akrilat ke polietilen film dengan menggunakan Xanthone (XT) sebagai
fotoinitiator pada 60°C memberikan hasil yang baik seperti yang diperlihatkan pada Gambar
2. Persen grafting meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi AA yang digunakan.
Dengan bertambahnya konsentrasi AA semakin bertambah jumlah AA pada daerah radikal
dan rantai grafting AA pada PE yang sedang bertumbuh, sehingga semakin meningkatkan
Gambar 3 memperlihatkan spektrum inframerah dari film PE awal (a) dan film PE tergrafting
AA sebesar 78 % (b). Pada spektra film PE awal (a), terdapat pita serapan metilen, pada 1470
cm-1 dari CH2(bending). Akan tetapi, pada film PE tergrafting AA sebesar 78% (b) di atas, pita
serapan metilen di atas hilang ditutupi oleh pita serapan karakteristik gugus karbonil(stretching)
dari asam akrilat pada 1710 cm-1, yang membuktikan bahwa permukaan film PE hingga batas
kedalaman analisa dengan inframerah, telah ditutupi/dilapisi oleh AA yang tergrafting pada
film PE.
Gambar 3 Gambar Spektra ATR-IR dari (a) Film polietilen dan (b) Film
polietilen tergrafting asam akrilat (0,98 M) dengan persen grafting = 78%
266 PROSIDING
Karakteristik Hidrofilitas Film PE Tergrafting AA
Gambar 4 memperlihatkan hasil pengukuran sudut kontak air pada permukaan film PE
tergrafting AA. Sudut kontak menurun secara tajam dengan meningkatnya jumlah AA pada
film PE, dan mencapai keadaan konstan dimulai pada persen grafting tertentu. Hal ini diduga
disebabkan permukaan PE film sampel hampir seluruhnya ditutupi oleh rantai grafting AA
meskipun pada persen grafting yang rendah sekalipun, telah mengubah sifat hidrofob film PE
menjadi hidrofil. Kubota (1995), melaporkan bahwa dengan jumlah rantai grafting yang
sangat sedikit saja (terlalu kecil untuk dianalisis dengan cara gravimetri) telah cukup untuk
mengubah sifat non polar film PE menjadi bersifat polar dengan pemasukan rantai grafting
asam metakrilat ke dalam film PE.
Reaksi polimerisasi grafting AA ke film PE, dapat mengubah permukaan film PE yang
sebelumnya bersifat hidrofob menjadi hidrofil oleh AA yang tergrafting pada film PE,
sehingga memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi air. Daya absorbsi air film PE tergrafting
AA setelah direndam dalam air pada 25°C selama 24 jam (tipe-H) dan setelah direndam
dalam larutan NaOH pada 25°C selama 2 jam (tipe-Na) diperlihatkan pada Gambar 5 sebagai
fungsi dari persen grafting. Daya absorbsi air film PE tergrafting AA (tipe-H dan Na)
semakin besar dengan semakin meningkatnya jumlah AA yang tergrafting pada film PE.
Kecendrungan yang sama juga diperlihatkan oleh film PE tergrafting asam akrilat bersama-
sama dengan N-isopropilakrilamida yang dinisiasi oleh XT (Kondo et al., 1998). Hal ini
membuktikan bahwa benar permukaan film PE yang tadinya bersifat hidrofob berubah
menjadi hidrofilik setelah digrafting dengan AA.
Ketika film PE tergrafting AA dengan tipe H yang telah mengabsorbsi air dibiarkan dalam
ruangan udara terbuka dengan suhu dan kelembaman yang konstan, secara perlahan film PE
akan kehilangan air yang diabsorbsinya. Setelah dicelupkan dalam air bersuhu 25˚C, Gambar
6 memperlihatkan air yang hilang dari film PE tergrafting AA ketika dibiarkan terbuka pada
suhu 20˚C. Awalnya film PE tergrafting AA kehilangan air yang diabsorbsinya dengan laju
yang konstan dan akhirnya mencapai kesetimbangan dengan daya absorbsi air tertentu pada
suhu reaksi yang dilakukan. Setelah 25 menit, film PE tergrafting AA ditemukan masih
memiliki daya absorbsi air sekitar 50% dari daya absorbsi air sebelum dibiarkan dalam udara
terbuka dengan kondisi perlakuan di atas.
268 PROSIDING
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian di atas disimpulkan bahwa sifat permukaan film PE dapat diubah
menjadi hidrofilik dengan menggrafting asam akrilat. Karakterisasi dari film PE yang telah
digrafting dengan AA menunjukkan bahwa gugus karboksilat telah terikat pada permukaan
film PE sehingga mengubah permukaan film PE yang bersifat hidrofob menjadi hidrofilik.
Hidrofilitas film PE sangat bergantung pada jumlah AA yang tergrafting yang diukur dari
sudut kontak dan kemampuannya mengabsorbsi air yakni dengan bertambahnya jumlah AA
yang tergrafting pada film PE akan menurunkan sudut kontak film PE dan meningkatkan daya
absorbsi airnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chanunpanich, N.; Ulman, A.; Strzhemechny, Y. M.; Schwarz, S. A.; Janke, A.; Braun, H.
G.; Kraztmuller, T. 1999. Langmuir. 15: 2089–2094.
He, C and Gu, Z. 2003. Studies on Acrylic Acid Grafted Polyester Fabrics by Electron Beam
Preirradiation Method. I. Effects of Process Parameters on Graft Ratio and
Characterization of Grafting Products. J. Appl. Polym. Sci. 89: 3931–3938.
Huang, J., Wang, X., Chen, X., Yu, X. 2003. Temperature-Sensitive Membranes Prepared by
the Plasma-Induced Graft Polymerization of Nisopropylacrylamide into Porous
Polyethylene Membranes. J. Appl. Polym. Sci. 89: 3180 – 3187.
Irwan, G. S.; S. Kuroda.; T. Kondo and H. Kubota. 2002. Photografting of Methacrylic Acid
on Polyethylene Film: Effect of Mixed Solvents Consisting of Water and Organic
Solvent. J. Appl. Polym. Sci. 83: 2454–2461.
Irwan, G. S.; Kuroda, S.; Kubota, H.; Kondo, T. 2004. Characteristics of Acrylic Acid-
Grafted Polyethylene Prepared by Photografting Using Mixed Solvent Consisting of
Water and Organic Solvent. Eur. Polym. J. 40,171–179.
Kondo, T., Koyama, M., Kubota, H and Katakai, R. 1998. Characteristics of Acrylic Acid and
N-Isopropylacrylamide Binary Monomers–Grafted Polyethylene Film Synthesized by
Photografting. J. Appl. Polym. Sci. 67: 2057–2064.
Liu, W.; Wang, Y. J.; Sun, Z. 2003. Effects of Polyethylene-Grafted Maleic Anhydride (PE-
g-MA) on Thermal Properties, Morphology, and Tensile Properties of Low-Density
Polyethylene (LDPE) and Corn Starch Blends. J. Appl. Polym. Sci. 88: 2904 – 2911.
Macmanus, L. F.; M. J. Walzak.; N. S. Mcintyre. 1999. Study of Ultraviolet Light and Ozone
Surface Modification of Polypropylene. J. Polym. Sci. Part A. Polym. Chem. 37:
2489–2501.
Maji, T. K and Banerjee, A. N. 1999. Photograft Copolymerization of Methyl Methacrylate
on Silk Fiber Using Titanium(III) Chloride–Potassium Persulphate Redox Initiator in a
Limited Aqueous System. J. Appl. Polym. Sci. 73: 2187–2193.
270 PROSIDING
POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN RUMAH TANGGA PETANI DALAM
MENERAPKAN TEKNIK PERTANIAN ORGANIK DAN ANORGANIK
DI KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN TANGGAMUS
KTUT MURNIATI
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pola pengambilan keputusan petani
dalam penerapan teknik pertanian organik dan anorganik serta faktor-faktor yang
berhubungan dengan pengambilan keputusan petani dalam penerapan teknik pertanian
organik dan anorganik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengambilan keputusan rumah tangga petani baik
yang menerapkan teknik pertanian organik maupun anorganik didominasi oleh keputusan
suami sendiri. Hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pola pengambilan
keputusan antara rumah tangga yang menerapkan teknik pertanian organik dengan rumah
tangga yang menerapkan teknik pertanian anorganik. Sifat kosmopolit dan pengetahuan
berhubungan dengan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani.
PENDAHULUAN
Teknik pertanian anorganik atau konvensional yang diterapkan oleh petani selama ini akan
membawa dampak yang lebih buruk pada petani, dimana teknik pertanian ini membutuhkan
penggunaan varietas unggul, pupuk kimia dan pestisida yang ketiganya itu merupakan
komponen utama dalam berusahatani yang harus dipenuhi oleh petani. Melihat kenyataan ini,
penerapan teknik pertanian anorganik atau konvensional membutuhkan biaya yang tinggi
untuk operasionalnya. Di samping itu, teknik pertanian ini memiliki dampak negatif
diantaranya keseimbangan lingkungan menjadi terganggu seperti tercemarnya air, udara dan
tanah oleh bahan-bahan kimia yang digunakan, dan produk yang dihasilkan mengandung
residu pestisida yang sangat membahayakan.
Berbagai dampak yang ditimbulkan dengan menerapkan teknik pertanian anorganik atau
konvensional menyebabkan petani semakin terpuruk. Oleh sebab itu sudah saatnya petani
beralih ke arah pertanian yang berkelanjutan yaitu penerapan teknik pertanian organik
(alami). Teknik pertanian organik adalah suatu teknik pertanian yang bersahabat dan selaras
dengan alam, berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi yang
memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman dan hewan untuk menghasilkan
Perbedaan yang terlihat menonjol antara penerapan teknik pertanian organik dan anorganik
adalah terletak pada pemilihan varietas, pemupukan dan pengendalian hama penyakit.
Sedangkan untuk pengolahan tanah dan pelaksanaan panen serta pasca panen tidak ada
perbedaan. Di samping itu harga hasil padi organik jauh lebih tinggi dibanding padi
anorganik selisih harga dapat mencapai Rp 1000,- sampai Rp 2.000,-. Hal inilah kemungkinan
yang membuat petani di Kecamatan Pagelaran memutuskan untuk menanam padi organik.
Keinginan petani untuk memilih menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik terkait
pada pola pengambilan keputusan. Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapi
dengan tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan.
Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari
rencana semula (Davis dalam Hasan, 2002)
Sondang (1983 dalam Hasibuan, 1986) memaparkan bahwa pengambilan keputusan biasanya
didasarkan pada: (1) appeal kepada kekuatan gaib, (2) appeal kepada duniawi, (3)
berdasarkan intuisi, (4) berdasarkan logika murni, dan (5) berdasarkan metode ilmiah. Tetapi
pada dasarnya banyak orang mengambil keputusan atas basis (1) intuisi, suara hati (2) fakta-
fakta, (3) experience (pengalaman), (4) authority (kekuasaan). Masih menurut Hasibuan
(2001), proses pengambilan keputusan dibagi menjadi 2 macam yaitu (1) keputusan Auto
Generated, yaitu keputusan diambil dengan cepat dan kurang memperhatikan data, informasi
dan fakta. Keputusan Auto Generated ini kurang baik sebab resikonya besar; (2) keputusan
Induced, yaitu keputusan yang diambil dengan terlebih dahulu menganalisis data informasi,
mempertimbangkan situasi, tujuan, kemampuan dalam hubungan dengan data yang sudah
dikumpulkan, menentukan sejumlah alternatif baru kemudian menetapkan apa yang menjadi
keputusan.
Blood and Wolfe (1960 dalam Sajogyo, 1985) menyatakan bahwa pola pengambilan
keputusan dan wewenang antara suami dan istri di dalam rumah tangga memiliki
hubungannya dengan alokasi kekuasaan dan kebudayaan. Selain faktor wewenang dan
kebudayaan terdapat faktor yang berpengaruh terhadap distribusi kekuasaan yaitu sumber-
sumber berharga yang dimiliki seperti tenaga, uang dan keterampilan, pengetahuan dan
sebagainya. Dengan demikian, pola pengambilan keputusan pada setiap rumah tangga
berbeda sesuai dengan alokasi kekuasaan, wewenang, kebudayaan dan sumberdaya pribadi
yang disumbangkan mereka di dalam rumah tangga.
Lebih lanjut, Sajogyo menjelaskan bahwa terdapat lima jenis pola pengambilan keputusan
dalam rumah tangga yaitu: (1) Pengambilan keputusan hanya oleh istri; (2) Pengambilan
keputusan hanya oleh suami; (3) Pengambilan keputusan oleh suami dan istri bersama, istri
lebih dominan; (4) Pengambilan keputusan oleh suami dan istri bersama, suami lebih
dominan; (5) Pengambilan keputusan oleh suami dan istri bersama dan setara. Sumber daya
pribadi yang dimiliki perempuan di dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga, yaitu
pendidikan baik formal maupun informal, pengalaman dan pemilikan lahan. Pemilikan lahan
yang relatif sempit menyebabkan berkurangnya kesempatan atau peluang bagi lelaki atau
perempuan untuk bekerja dalam usahataninya.
272 PROSIDING
Madrie (1990) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi warga masyarakat untuk
berperan dalam kelompok. Pendidikan mempengaruhi sikap dan tindakan serta pola pikir
petani dalam mengambil keputusan untuk menerapkan usahataninya. Pendidikan yang lebih
tinggi memungkinkan seorang petani akan lebih cepat dan lebih matang dalam mengambil
keputusan.
Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pola pengambilan
keputusan rumah tangga petani dalam menerapkan teknik pertanian padi organik dan
anorganik (2) Apakah terdapat ada perbedaan pola pengambilan keputusan antara petani yang
menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik (3) Faktor-faktor yang berhubungan
dengan keputusan petani dalam menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan pola pengambilan keputusan petani dan
penerapan teknik pertanian organik dan anorganik serta faktor-faktor yang berhubungan
dengan pengambilan keputusan petani dalam penerapan padi organik dan anorganik.
Diharapkan penelitian ini berguna bagi pembuat kebijakan khususnya dalam bidang pertanian
untuk membuat perencanaan dalam bidang pembangunan pertanian.
Berdasarkan permasalahan diatas, dapat diturunkan hipotesis yaitu terdapat hubungan antara
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, sifat kosmopolit, pengetahuan dengan pola
pengambilan keputusan rumah tangga petani dalam menerapkan teknologi pertanian organik
dan anorganik serta terdapat perbedan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani
dalam menerapkan teknologi pertanian organik dan anorganik
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari instansi
terkait dan data primer diambil dengan wawancara langsung kepada petani responden
menggunakan kuesioner yang telah disediakan. Metode pengambilan sampel menggunakan
metode Proportional Random Sampling (Pengambilan acak sederhana) dengan jumlah sampel
27 rumah tangga petani padi organik dan 54 rumah tangga petani padi anorganik. Analisis
data menggunakan satatistik non parametrik dengan uji U Mann Whitney untuk mengetahui
perbedaan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani organik dan anorganik dengan
rumus sebagai berikut:
n1n 2
U−
z= 2
(n1)(n 2)(n1 + n 2 = 1)
12
Setelah diketahui nilai Zhitung dengan menggunakan Tabel A pada α tertentu, maka akan
diketahui nilai Phitung.
(1) Jika Phitung < α maka tolak Ho, terima H1 pada α = 0,01 atau 0,05 berarti ada
perbedaan moral ekonomi dan etika subsistensi antara petani yang menerapkan
teknik pertanian organik dengan petani yang menerapkan teknik pertanian
anorganik
(2) Jika Phitung ≥ α maka terima Ho, tolak H1 pada α = 0,01 atau 0,05 berarti tidak ada
perbedaan moral ekonomi dan etika subsistensi antara petani yang menerapkan
teknik pertanian organik dengan petani yang menerapkan teknik pertanian
anorganik
Untuk menguji hipotesis faktor-faktor yang berhubungan dengan pola pengambilan keputusan
rumah tangga petani digunakan uji korelasi Koefisien Kontingensi (C) dengan rumus sebagai
berikut:
x2 r k (Oij Eij ) 2
C= dimana x =∑
2
∑
N + x2 i =1 j =1 Eij
C = kontingensi
Eij = frekuensi yang diharapkan untuk tiap sel
(1) Jika Phitung < α maka tolak Ho, terima H1 pada α = 0,01 atau 0,05 yang berarti
terdapat perbedaan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani dalam
menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik
(2) Jika Phitung ≥ α maka terima Ho, tolak H1 pada α = 0,01 atau 0,05 yang berarti
tidak terdapat perbedaan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani dalam
menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik
274 PROSIDING
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola pengambilan keputusan rumah tangga petani organik dan petani anorganik
Pola pengambilan keputusan rumah tangga petani yang menerapkan teknik pertanian organik
dan petani anorganik adalah pola atau bentuk pengambilan keputusan yang dilakukan dalam
rumah tangga petani yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usahatani seperti pemilihan
benih atau varietas, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit.
Pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga yang digunakan dalam penelitian ini
merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Sajogyo (1985) yaitu (1) keputusan yang dibuat
oleh istri sendiri, (2) keputusan yang dibuat oleh suami sendiri, (3) keputusan yang dibuat
oleh suami dan istri (bersama). Secara rinci pola pengambilan keputusan rumah tangga petani
organik dan petani anorganik disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 menunjukkan bahwa pola pengambilan keputusan rumah tangga petani baik petani
yang menerapkan teknik pertanian organik maupun anorganik didominasi oleh keputusan
Analisis yang digunakan untuk mengetahui pola pengambilan keputusan rumah tangga petani
dalam penerapan teknik pertanian organik dan anorganik adalah uji U Mann Whitney. Hasil
analisis mengenai ada tidaknya perbedaan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani
dalam penerapan teknik pertanian organik dan anorganik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil analisis dengan nilai Z-hitung sebesar -1,330 dengan
tingkat signifikan pada tingkat kepercayaan 95% sebesar 0,184. Karena hasil analisis
menunjukkan nilai taraf signifikan 0,184 lebih besar dari α = 0,05 maka Ho diterima. Artinya
tidak ada perbedaan antara pola pengambilan keputusan rumah tangga dalam penerapan
teknik pertanian organik dan anorganik. Selain itu dapat pula dilihat dari persentase pola
pengambilan keputusan pada Tabel 3.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pola pengambilan keputusan petani dalam penerapan
teknik pertanian organik dan anorganik meliputi pendapatan, pendidikan, sifat kosmopolit dan
pengetahuan. Hasil uji dengan menggunakan analisis koefisien kontingensi tertera pada
Tabel 4
276 PROSIDING
Tabel 4. Hasil perhitungan uji koefisien kontingensi faktor-faktor yang berhubungan
dengan pola pengambilan keputusan petani dalam penerapan teknik pertanian
organik dan anorganik
Faktor-Faktor yang
berhubungan
Teknik Koefisien Tingkat
Hal dengan Pola α
Pertanian Kontingensi Signifikan
Pengambilan
Keputusan
Sifat kosmopolit berhubungan nyata dengan pola pengambilan keputusan petani dalam
menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
signifikansi 0,040 untuk sifat kosmopolit pada teknik pertanian organik dan 0,015 untuk sifat
kosmopolit pada teknik pertanian anorganik yang lebih kecil daripada α = 0,05 yang berarti
tolak Ho terima H1, artinya ada hubungan nyata antara sifat kosmopolit dan pengetahuan
rumah tangga petani terhadap pola pengambilan keputusan rumah tangga petani baik yang
menerapkan teknik pertanian organik maupun anorganik. Hal ini senada dengan pendapat
Rogers dan Shoemaker bahwa sifat kosmopolit menyebabkan seseorang lebih menyukai
perubahan daripada anggota sistem pertanian lainnya. Sifat kosmopolit ini ditandai dengan
keterbukaan sifat rumah tangga petani responden dengan orang-orang di luar sistem sosialnya
misalnya hubungan antara petani dengan ketua kelompok tani, PPL dan juga pemanfatan
media informasi seperti televisi, radio dan lainnya.
Pengetahuan (sifat kognitif) rumah tangga petani berhubungan nyata dengan pola
pengambilan keputusan petani dalam menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat signifikansi 0,038 untuk pengetahuan petani dalam penerapan
teknik pertanian organik dan 0,023 untuk pengetahuan petani dalam penerapan teknik
pertanian anorganik yang lebih kecil daripada α = 0,05 yang berarti tolak Ho terima H1,
artinya ada hubungan nyata antara pengetahuan rumah tangga petani terhadap pola
pengambilan keputusan rumah tangga petani baik yang menerapkan teknik pertanian organik
maupun anorganik. Pengetahuan berhubungan dengan sikap petani yang menerapkan teknik
pertanian organik dan anorganik. Faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan pola
pengambilan keputusan petani dalam penerapan teknik pertanian organik maupun dalam
penerapan teknik pertanian anorganik adalah pendapatan dan pendidikan.
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 277
Pendapatan tidak berhubungan nyata dengan pola pengambilan keputusan petani dalam
menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
signifikansi 0,730 untuk sifat kosmopolit pada teknik pertanian organik dan 0,760 untuk sifat
kosmopolit pada teknik pertanian anorganik yang lebih kecil daripada α = 0,05 yang berarti
terima Ho tolak H1, artinya tidak ada hubungan nyata antara pendapatan rumah tangga petani
terhadap pola pengambilan keputusan rumah tangga petani baik yang menerapkan teknik
pertanian organik maupun anorganik. Sebagaimana diutarakan Dillon dan Anderson (dalam
Soekartawi dkk,1993) pendapatan petani mencerminkan tingkat kekayaan dan besarnya
modal yang dimiliki petani. Pendapatan yang besar mencerminkan tersedianya dana yang
cukup dalam berusahatani, dan dana yang cukup memberikan keberanian petani dalam
pengambilan keputusan untuk beresiko.
Pendidikan tidak berhubungan nyata dengan pola pengambilan keputusan petani dalam
menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
signifikansi 0,780 untuk sifat kosmopolit pada teknik pertanian organik dan 0,975 untuk sifat
kosmopolit pada teknik pertanian anorganik yang lebih kecil daripada α = 0,05 yang berarti
terima Ho tolak H1, artinya tidak ada hubungan nyata antara pendapatan rumah tangga petani
terhadap pola pengambilan keputusan rumah tangga petani baik yang menerapkan teknik
pertanian organik maupun anorganik.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan disimpulkan bahwa pola pengambilan keputusan rumah
tangga petani yang menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik didominasi oleh
keputusan suami sendiri, tidak terdapat perbedaan pola pengambilan keputusan rumah tangga
petani yang menerapkan teknik pertanian organik dan anorganik serta sifat kosmopolit dan
pengetahuan berhubungan nyata dengan pola pengambilan keputusan rumah tangga petani,
baik yang menerapkan teknik pertanian organik maupun anorganik.
Saran
Hendaknya petani yang menerapkan teknik pertanian organik lebih berorientasi keluar sistem
(yang ditandai dengan sifat kosmopolit yang tinggi). Orientasi keluar sistem dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti pencarian informasi mengenai teknik pertanian organik melalui
media cetak seperti koran, leaflet, majalah, dan lainnya, maupun media elektronik seperti
televisi, radio dan lain sebagainya. Perlu ditingkatkan kembali pengetahuan petani mengenai
teknik pertanian organik yang dapat diperoleh dari berbagai sumber agar petani dapat lebih
meningkatkan keterampilannya dalam penerapan teknik pertanian organik.
DAFTAR PUSTAKA
278 PROSIDING
Hasibuan, M.S.P. 1986. Manajemen Dasar: Pengertian dan Masalah. PT Gunung
Agung. Jakarta. 253 halaman.
Rogers, E.M dan F.F Shoemaker. 1987. Memasyarakatkan Ide-ide Baru: disadur Oleh
Hanafi. Usaha Nasional. Surabaya. 197 halaman.
Sajogyo, P. 1985. Peranan Perempuan dalam Perkembangan Masyarakat Desa. YIIS dan
CV Rajawali. Jakarta. 379 halaman.
ABSTRACT
The objective of this research was to obtain the kind of tempe and binding agents that
resulting the best chemical properties, and organoleptics test from the nugget tempe. The
experiment conducted in the factorial completely randomized block design in 3x4 with 3
replications. The first factor was kind of tempe: T1=soybean tempe,T2=benguk tempe. The
second factor was kind of binding agent:P1=tapioca flour, P2=wheat flour, P3=sago flour,
P4=maizena, and data were analyzed with ortogonal comparison. The research showed that
soybean tempe resulting the best chemical properties, and organoleptics . Maizena is the best
binding agent that resulting the best chemical properties, and organoleptics. There was an
interaction between soybean tempe and maizena that resulting the best chemical properties
and organoleptics with the value of water contents 52,91 %; protein contents 16,53 %;
carbohydrate contents 6,56 %; fat contents 19,7 %; score of colour 3,27 (yellow to brown),
flavour 2,47 (spesific character of tempe), taste 3,04 (spesific character of tempe), texture
2,75 (compact), the overall acceptance 3,17 (like).
PENDAHULUAN
Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi dari kacang kedelai atau jenis kacang-
kacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Tempe
umumnya dibuat secara tradisional dan merupakan sumber protein nabati yang murah
harganya. Di Indonesia pembuatan tempe sudah menjadi industri rakyat (Francis F.J., 2000).
Guna meningkatkan daya simpan dan daya terima tempe serta untuk menganekaragamkan
jenis makanan dari tempe, maka perlu dipikirkan suatu bentuk alih teknologi yang dapat
meningkatkan status tempe sebagai bahan pangan tradisional. Salah satu cara yaitu dengan
mengolahnya menjadi nugget tempe.
Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging giling dan diberi bumbu-bumbu serta
dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu selanjutnya
dilumuri dengan tepung roti, digoreng setengah matang lalu dibekukan untuk
mempertahankan mutu selama penyimpanan dan pembentukan tekstur (Francis F.J., 2000).
Nugget yang sekarang ada dipasaran menggunakan bahan baku daging atau ikan yang
harganya relatif mahal. Oleh karena itu diperlukan alternatif lain bahan baku dalam
pembuatan nugget sebagai pengganti daging atau ikan dengan komposisi gizi yang tetap sama
dan dengan harga yang terjangkau. Dalam penelitian ini akan dibuat produk nugget dengan
bahan baku tempe.
Bahan pengikat menjadi komponen penting dalam pembuatan nugget, sehingga dalam
pembuatan nugget ditambahkan tepung yang berfungsi sebagai bahan pengikat. Bahan
280 PROSIDING
pengikat pada pembuatan nugget berguna untuk memperbaiki cita rasa, meningkatkan daya
ikat air, menurunkan peyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang,
pembuatan nugget sebagai pengganti daging atau ikan dengan komposisi gizi yang tetap sama
dan dengan harga yang terjangkau. Dalam penelitian ini akan dibuat produk nugget dengan
bahan baku tempe.
Bahan pengikat menjadi komponen penting dalam pembuatan nugget, sehingga dalam
pembuatan nugget ditambahkan tepung yang berfungsi sebagai bahan pengikat. Bahan
pengikat pada pembuatan nugget berguna untuk memperbaiki cita rasa, meningkatkan daya
ikat air, menurunkan peyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang,
membentuk tekstur yang padat, menghemat biaya produksi dan memperbaiki elastisitas
produk (Tanikawa, 1998).
Pada penelitian ini digunakan empat jenis tepung sebagai bahan pengikat, yaitu tepung
tapioka, tepung terigu, tepung sagu, dan tepung maizena yang mempunyai kandungan amilosa
dan amilopektin yang berbeda pada setiap jenis tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik
produk. Penggunaan berbagai jenis tepung akan menghasilkan nugget yang berbeda pula.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis tempe dan jenis bahan pengikat yang
menghasilkan produk nugget tempe dengan sifat kimia dan organoleptik terbaik.
METODE PENELITIAN
Bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tempe kedelai, tempe benguk,
tepung tapioka, tepung terigu, tepung sagu, jamur Rhizopus oligosporus, Rhizopus oryzae, dan
tepung maizena. Bahan tambahan yang digunakan telur, bumbu-bumbu yang terdiri dari
garam, gula, MSG, tepung roti, minyak goreng, serta bahan-bahan kimia untuk analisis
protein, lemak dan karbohidrat.
Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, talenan, baskom, panci, kompor, freezer,
deepfrying (Kenwood 220-240 V 50/60 Hz), blender, oven, alat-alat gelas (phyrex), mortar
dan alat analisis lainnya.
Metode Penelitian
Perlakuan disusun secara faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL)
dengan 2 faktor dan 3 (tiga) ulangan. Faktor pertama adalah jenis tempe (T), yang terdiri dari
2 (dua) taraf yaitu tempe kedelai (T1) dan tempe benguk (T2). Faktor kedua adalah jenis
bahan pengikat (P) yang terdiri dari 4 (empat) taraf yaitu tepung tapioka (P1), tepung terigu
(P2), tepung sagu (P3), dan tepung maizena (P4).
Kesamaan ragam diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey.
Data dianalisis dengan analisis sidik ragam untuk mendapatkan penduga ragam galat dan uji
signifikasi untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Data dianalisis lebih
lanjut dengan menggunakan perbandingan orthogonal pada taraf 5% dan 1%.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan tiga
ulangan (Ulangan sebagai kelompok). Dalam setiap ulangan melibatkan tahap proses pembuatan
nugget tempe yang terdiri dari 8 satuan percobaan yang merupakan kombinasi dari perlakuan yaitu
jenis tempe dan jenis bahan pengikat. Setelah dilakukan 8 satuan percobaan, maka selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap 8 satuan percobaan tersebut. Pada ulangan kedua dan ketiga
dilakukan sama seperti pada ulangan pertama yang dikerjakan pada hari yang berbeda.
Penelitian dilakukan dengan cara pembuatan nugget tempe menurut Tanikawa (1998) yang
dimodifikasi. Pembuatan produk dengan cara tempe (tempe kedelai, tempe benguk) dikukus terlebih
dahulu selama ± 20 menit kemudian dihaluskan/digiling. Setelah itu 500 g tempe (tempe kedelai,
tempe benguk) giling/halus dicampur dengan bahan pengikat sebanyak 1,5% (tapioka, terigu, sagu,
maizena) untuk setiap perlakuan, telur 20 g, bumbu-bumbu yang terdiri dari gula 2 g, garam 3 g,
MSG 0,5 g, dan bumbu-bumbu penyedap 4 g,. Kemudian semua bahan diaduk rata, setelah semua
tercampur dan menjadi homogen dilakukan pencetakan dengan bentuk persegi panjang atau bulat
pipih dengan ketebalan ± 0,5 cm, setelah itu dicelupkan kedalam campuran yang berisi 100 g kuning
telur, 2 g garam dan 1,7 g bumbu-bumbu kemudian dicelupkan kembali kedalam tepung roti.
Nugget beku setengah matang dapat dikonsumsi dengan cara menggoreng nugget dalam minyak
mendidih selama ± 3 menit, tergantung pada ketebalan atau ukuran produk atau sampai nugget
berubah warna menjadi kekuning-kuningan dan kering. Produk disajikan dalam keadaan hangat untuk
uji organoleptik.
Pengamatan
Nugget tempe yang dihasilkan dilakukan analisis yang terdiri dari kadar air, kadar protein, kadar
karbohidrat, kadar lemak dan organoleptik yang meliputi aroma, warna, rasa, tekstur dan penerimaan
keseluruhan.
Kadar Air
Kadar air nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 45,55 % sampai
52,91 % . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan jenis tempe berpengaruh sangat nyata,
jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar air nugget tempe. Hasil analisis lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan
bahwa jenis tempe berpengaruh sangat nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan tidak
ada interaksi antar keduanya terhadap kadar air nugget tempe yang dihasilkan.
Gambar 1 menunjukkan bahwa penambahan jenis tempe kedelai menghasilkan nugget dengan kadar
air lebih tinggi daripada nugget yang ditambah jenis tempe benguk. Nugget tempe kedelai
menghasilkan kadar air sebesar 52,28 % sedangkan nugget tempe benguk menghasilkan kadar air
sebesar 46,15 %. Perbedaan kadar air antara nugget tempe kedelai dengan nugget tempe benguk
diduga disebabkan oleh perbedaan komposisi kadar air dari tempe kedelai dengan tempe benguk.
Direktorat Gizi dan Departemen Kesehatan RI (1981), melaporkan bahwa komposisi kadar air tempe
kedelai adalah sebesar 69,0 %, sedangkan tempe benguk sebesar 64,0%.
282 PROSIDING
60
Gambar 1. Histogram kadar air nugget yang ditambah tempe kedelai dan tempe
benguk.
Perbedaan komposisi protein pada tempe juga akan menyebabkan perbedaan kadar air nugget tempe
yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar protein akan menghasilkan kadar air nugget semakin tinggi
pula. Hal ini dikarenakan protein mempunyai sifat mengikat air. Selain protein, karbohidrat juga
berperan dalam pengikatan air terutama komponen amilosa dan amilopektin. Komposisi protein
tempe kedelai sebesar 18,3 %, sedangkan tempe benguk sebesar 10,3 %, komposisi karbohidrat tempe
kedelai sebesar 12,7%, sedangkan tempe benguk sebesar 23,2% .
Kadar Protein
Kadar protein nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 13,44
% sampai 16,53 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan jenis tempe
berpengaruh sangat nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan interaksi
keduanya berpengaruh sangat nyata terhadap kadar protein nugget tempe. Hasil analisis
lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh sangat
nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan terdapat interaksi antar keduanya
terhadap kadar protein nugget tempe yang dihasilkan.
25
20
Kadar 15
protein (%) 10
5
0
T1 T2
Gambar 2. Kadar protein nugget tempe kedelai dan tempe benguk pada berbagai
bahan pengikat.
Gambar 2 menunjukkan bahwa nugget tempe kedelai memiliki kadar protein 13,94% sedangkan
nugget tempe benguk sebesar 15,55 % pada penambahan bahan pengikat tepung tapioka. Kadar
protein nugget tempe kedelai sebesar 16,34 % sedangkan nugget tempe benguk sebesar 13,44 % pada
penambahan bahan pengikat tepung sagu. Kadar protein nugget tempe kedelai sebesar 16,53 %
sedangkan nugget tempe benguk sebesar 13,55 % pada penambahan bahan pengikat tepung maizena.
Kadar protein nugget tempe kedelai dengan nugget tempe benguk pada penambahan bahan pengikat
tepung terigu tidak berbeda nyata.
Kadar protein yang berbeda pada nugget tempe kedelai dan nugget tempe benguk yang
ditambah berbagai bahan pengikat disebabkan oleh perbedaan komposisi protein pada tempe
kedelai dengan tempe benguk serta antara komposisi protein bahan pengikatnya. Komposisi
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 283
protein tempe kedelai sebesar 18,3 %, tempe benguk sebesar 10,3 %, tepung tapioka 0,6 %,
tepung sagu 0,7 %, tepung maizena 0,3 % (Direktorat Gizi dan Departemen Kesehatan RI
(2004), dan tepung terigu 10 – 12 % (PT Bogasari Flour Mills, 1997).
Kadar Karbohidrat
Kadar karbohidrat nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 6,56 %
sampai 28,80 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan jenis tempe berpengaruh sangat
nyata, jenis bahan pengikat berpengaruh sangat nyata, dan interaksi keduanya berpengaruh sangat
nyata terhadap kadar karbohidrat nugget tempe. Hasil analisis lanjut dengan perbandingan ortogonal
menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh sangat nyata, jenis bahan pengikat berpengaruh sangat
nyata, dan terdapat interaksi antar keduanya terhadap kadar karbohidrat nugget tempe yang dihasilkan.
Gambar 3 menunjukkan bahwa nugget tempe kedelai dengan nugget tempe benguk pada semua jenis
bahan pengikat berbeda nyata terhadap kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat nugget tempe kedelai
sebesar 11,30 % dan nugget tempe benguk sebesar 16,77 % pada penambahan jenis bahan pengikat
tepung tapioka. Kadar karbohidrat nugget tempe kedelai sebesar 11,43% dan nugget tempe benguk
sebesar 22,72 % pada penambahan jenis bahan pengikat tepung terigu. Kadar karbohidrat nugget
tempe kedelai sebesar 10,67 % dan nugget tempe benguk sebesar 28,80 % pada penambahan jenis
bahan pengikat tepung sagu. Kadar karbohidrat nugget tempe kedelai sebesar 6,56 % dan nugget
tempe benguk sebesar 25,58 % pada penambahan jenis bahan pengikat tepung maizena.
30
Kadar 25
20
karbohidrat 15
(%) 10
5
0
T1 T2
Gambar 3. Kadar karbohidrat nugget tempe kedelai dan tempe benguk pada berbagai bahan
pengikat
Kadar karbohidrat nugget tempe dalam penelitian ini lebih baik jika dibandingkan dengan
produk sejenis (chicken nugget). Perlakuan yang memiliki kadar karbohidrat lebih baik adalah
T2P1 (tempe benguk;tepung tapioka), T2P2 (tempe benguk;tepung terigu), T2P3 (tempe
benguk;tepung sagu), T2P4 (tempe benguk;tepung maizena), dengan kadar karbohidrat
masing - masing 16,77%; 22,72%; 28,80%; dan 25,58%. Kadar karbohidrat chicken nugget
pembanding sebesar 15%.
Kadar Lemak
Kadar lemak nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 8,61 %
sampai 19,7 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan jenis tempe berpengaruh
sangat nyata , jenis bahan pengikat berpengaruh sangat nyata, dan interaksi keduanya
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar lemak nugget tempe. Hasil analisis lanjut dengan
perbandingan ortogonal menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh sangat nyata, jenis
bahan pengikat berpengaruh sangat nyata, dan terdapat interaksi antar keduanya terhadap
kadar lemak nugget tempe yang dihasilkan.
284 PROSIDING
Gambar 4 menunjukkan bahwa nugget tempe kedelai dengan nugget tempe benguk pada semua jenis
bahan pengikat berbeda nyata terhadap kadar lemak. Kadar lemak nugget tempe kedelai lebih tinggi
dari nugget tempe benguk pada semua jenis bahan pengembang. Kadar lemak nugget tempe kedelai
sebesar 19,03 % dan nugget tempe benguk sebesar 16,53 % pada penambahan jenis bahan pengikat
tepung tapioka. Kadar lemak nugget tempe kedelai sebesar 15,88 % dan nugget tempe benguk sebesar
12,50 % pada penambahan jenis bahan pengikat tepung terigu. Kadar lemak nugget tempe kedelai
sebesar 14,99 % dan nugget tempe benguk sebesar 9,04 % pada penambahan jenis bahan pengikat
tepung sagu. Kadar lemak nugget tempe kedelai sebesar 19,7 % dan nugget tempe benguk sebesar
8,61 % pada penambahan jenis bahan pengikat tepung maizena.
30
25
Kadar lemak 20
(%) 15
10
5
0
T1 T2
Jenis
tem pe
Gambar 4. Kadar lemak nugget tempe kedelai dan tempe benguk pada berbagai bahan
pengikat.
Perbedaan kadar lemak pada nugget ini disebabkan oleh perbedaan komposisi lemak pada tempe
kedelai dengan tempe benguk dan tepung sebagai bahan pengikatnya. Komposisi lemak tempe kedelai
sebesar 4,0 %, tempe benguk 1,3 %, tepung tapioka 0,3 %, tepung terigu 1,3 %, tepung sagu 0,2 %,
dan tepung maizena 0,0 % (Direktorat Gizi dan Departemen Kesehatan RI, 2004).
Kadar lemak nugget tempe dalam penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk sejenis
(chicken nugget). Perlakuan yang memiliki kadar karbohidrat tinggi adalah T1P1 (tempe
kedelai;tepung tapioka), T1P2 (tempe kedelai;tepung terigu), T1P3 (tempe kedelai;tepung sagu), T1P4
(tempe kedelai;tepung maizena), T2P1 (tempe benguk;tepung tapioka), dan T2P2 (tempe
benguk;tepung terigu) dengan kadar lemak masing - masing 19,03%; 15,88%; 14,99%; 19,70%;
16,53%; dan 12,50%. Sedangkan kadar lemak chicken nugget pembanding hanya sebesar 11%.
UJI ORGANOLEPTIK
Warna
Skor warna nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 1,24 (coklat tua)
sampai 3,34 (kuning kecoklatan). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan jenis tempe
berpengaruh sangat nyata , jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap warna nugget tempe.
Hasil analisis lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh
sangat nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan tidak terdapat interaksi antar
keduanya terhadap warna nugget tempe yang dihasilkan.
Gambar 5 menunjukkan bahwa nugget tempe kedelai mempunyai skor 3,25 (kuning kecoklatan)
sedangkan nugget tempe benguk sebesar 1,31 (coklat tua). Perbedaan warna nugget yang dihasilkan
disebabkan oleh perbedaan komposisi karbohidrat dan protein pada tempe kedelai dengan tempe
benguk. Perbedaan ini akan menghasilkan perbedaan warna akibat dari reaksi maillard yaitu antara
korbohidrat (gula sederhana) dengan protein (gugus amino). Komposisi karbohidrat pada tempe
3
Skor warna 2
1
0
Gambar 5. Histogram organoleptik warna nugget yang ditambah tempe kedelai dan tempe
benguk.
Aroma
Skor aroma nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 1,59
(agak khas tempe) sampai 2,53 (khas tempe). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa,
perlakuan jenis tempe berpengaruh sangat nyata , jenis bahan pengikat tidak berpengaruh
nyata, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap aroma nugget tempe. Hasil
analisis lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh
sangat nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan tidak terdapat interaksi antar
keduanya terhadap aroma nugget tempe yang dihasilkan.
Gambar 6 menunjukkan bahwa nugget tempe kedelai menghasilkan aroma khas tempe dibandingkan
dengan nugget tempe benguk yang agak khas tempe. Perbedaan aroma ini disebabkan oleh perbedaan
aroma pada tempe mentah. Tempe kedelai memiliki aroma tempe yang lebih baik dari pada tempe
benguk. Aroma dominan yang terdapat pada tempe mentah adalah aroma kapang atau jamur. Hal ini
terjadi karena tempe mentah memiliki penampakan yang ditutupi oleh pertumbuhan kapang yang
berwarna putih bersih dengan tekstur yang padat dan kompak. Senyawa 1-octen-3-ol yang
teridentifikasi sebagai komponen volatil tempe mentah dan diketahui sebagai salah satu komponen
volatil utama kapang (Breheret, 1996).
2
Skor aroma
1
Gambar 6. Histogram organoleptik aroma nugget yang ditambah tempe kedelai dan tempe
benguk.
286 PROSIDING
Rasa
Skor rasa nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 1,71 (agak
khas tempe) sampai 3,04 (khas tempe). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan
jenis tempe berpengaruh sangat nyata , jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap aroma nugget tempe. Hasil analisis
lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh sangat
nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan tidak terdapat interaksi antar
keduanya terhadap rasa nugget tempe yang dihasilkan.
3
2.5
2
Skor rasa 1.5
1
0.5
0
Gambar 7. Histogram organoleptik rasa nugget yang ditambah tempe kedelai dan
tempe benguk.
Gambar 7 menunjukkan nugget tempe kedelai memiliki rasa khas tempe sedangkan nugget
tempe benguk berasa agak khas tempe. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan dari rasa
aibat perbedaan bahan mentahnya. Nugget tempe kedelai terbuat dari tempe berbahan baku
kedelai dan memiliki aroma khas tempe sehingga pada nugget juga akan terasa khas tempe.
Nugget tempe benguk terbuat dari tempe berbahan baku kacang benguk. Pada tempe kacang
benguk rasa kacang benguk lebih dominan daripada rasa khas tempe sehingga rasa pada
nugget tempe benguk berkurang rasa khas tempenya.
Tekstur
Skor tekstur nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 2,05 (agak
kompak) sampai 2,81 (kompak). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa, perlakuan jenis tempe
berpengaruh sangat nyata , jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan interaksi keduanya tidak
berpengaruh nyata terhadap tekstur nugget tempe.
Hasil analisis lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan bahwa jenis tempe berpengaruh
sangat nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata, dan tidak terdapat interaksi antar
keduanya terhadap tekstur nugget tempe yang dihasilkan.
Gambar 8 menunjukkan bahwa tekstur nugget tempe kedelai lebih kompak dibanding dengan
nugget tempe benguk. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kekompakan antara tempe
kedelai dengan tempe benguk. Tempe kedelai terbuat dari kedelai yang mempunyai bentuk
kecil sehingga tekstur yang terbentuk oleh misellium kapang menjadi sangat kompak
sedangkan pada tempe benguk terbuat dari kacang benguk yang mempunyai ukuran besar
sehingga tekstur yang terbentuk kurang kompak. Protein tempe kedelai mampu membentuk
gel sehingga tektstur produk yang terbentuk menjadi lengket dan kompak (Winarno, 1997).
Gambar 8. Histogram organoleptik tekstur nugget yang ditambah tempe kedelai dan tempe
benguk.
Penerimaan keseluruhan
Skor penerimaan keseluruhan nugget tempe yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah
berkisar antara 1,36 (tidak suka) sampai 3,17 (suka). Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa, perlakuan jenis tempe berpengaruh sangat nyata , jenis bahan pengikat tidak
berpengaruh nyata, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan
keseluruhan nugget tempe. Hasil analisis lanjut dengan perbandingan ortogonal menunjukkan
bahwa jenis tempe berpengaruh sangat nyata, jenis bahan pengikat tidak berpengaruh nyata,
dan tidak terdapat interaksi antar keduanya terhadap penerimaan keseluruhan nugget tempe
yang dihasilkan.
Gambar 9 menunjukkan bahwa nugget tempe kedelai lebih disukai dari pada nugget tempe
benguk. Perbedaan ini disebabkan oleh rasa dan aroma nugget tempe kedelai adalah khas
tempe sehingga panelis lebih suka. Aroma nugget tempe benguk tidak khas tempe sehingga
panelis tidak suka. Warna tempe yang semakin kuning akan meningkatkan tingkat kesukaan
panelis terhadap nugget. Tekstur yang kompak akan meningkatkan tingkat kesukan panelis
terhadap penerimaan keseluruhan nugget. Penerimaan keseluruhan menggambarkan tingkat
kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa.
3
Skor
penerimaan 2
keseluruhan
1
Pemilihan nugget terbaik berdasarkan komposisi kimia dan organoleptik terbaik yang
dibandingkan dengan komposisi kimia chicken nugget produk lain. Nugget terbaik adalah
nugget yang memenuhi standart nugget pembanding dengan organoleptik paling disukai.
Nugget tempe dalam penelitian ini dibandingkan komposisi kimianya dengan chicken nugget
produk lain, yang memenuhi syarat diberi tanda bintang. Perlakuan yang memiliki bintang
terbanyak dengan mempertimbangkan hasil organoleptik paling disukai (skor terbaik) dipilih
sebagai perlakuan terbaik.
288 PROSIDING
Tabel 1. Perbandingan komposisi kimia dan organoleptik nugget tempe
Berdasarkan tabel di atas perlakuan terbaik adalah T1P4 ; nugget dengan komposisi tempe
kedelai dengan penambahan tepung maizena dengan kadar air 52,91%; protein 16,53%;
karbohidrat 6,56%; lemak 19,7%; warna 3,27 (kuning kecoklatan); aroma 2,47 (khas tempe);
rasa 3,04 (khas tempe); tekstur 2,75 (kompak); dan penerimaan keseluruhan 3,17 (suka).
Sebagai pembanding komposisi, digunakan daftar komposisi Nugget dari Nebraska Food
Distribution Processed Commodity Fact Sheet.
Komposisi
% Komposisi kimia %
kimia
Calories : 220.00 Protein : 15.00 gram 15
Total Fat : 11.00 gram 11 Carbohydrate : 15.00 gram 15
Saturated Fat : 1.50 grams 1.5 Cholesterol : 30.00 mg
Trans Fat : 0.00 gram 0 Calcium : 16.00 mg
Iron : 1.00 mg Dietary Fiber : 0.00 mg
Sodium : 470.00 mg Vitamin C : 0.00 mg
Vitamin A : 0.00 IU
Sumber : Nebraska Health and Human Service System www.hhs.state.ne.us (20 Maret 2006)
Kesimpulan
Jenis tempe kedelai menghasilkan nugget tempe dengan komposisi kimia dan organoleptik
terbaik.
Jenis bahan pengikat tepung maizena menghasilkan nugget tempe dengan komposisi kimia
dan organoleptik terbaik.
Saran
Karena aroma dan warna tempe benguk kurang disukai, maka disarankan untuk meneliti
bahan tambahan yang bisa mengurangi aroma dan warna tempe benguk serta membuat tekstur
lebih kompak pada nugget tempe.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Method of Analysis of The Associates of Official Analytical Chemist.
AOAC Inc. New York. 1141 pp.
Francis, F.J. 2000. “Starch” dalam Willey Encyclopedia of Food Scienc and Technology.
John Willey and Sons, Inc. New York. 2203-2209.
Gaman dan Sherringthon. 1992. Ilmu Pangan (Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan
Mikrobiologi). UGM Press. Yogyakarta. 317 hlm.
Lindajati, T., H.R. Hariyadi, Y. Mulyati. 1991. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas
Tempe Di Indonesia. Jurnal Kimia Terapan Indonesia. Vol.1 No.1. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kimia Terapan LIPI. Hlm 31 - 34.
Nebraska Health and Human Service System. 2005. Nebraska Food Distribution Processed
Commodity Fact Sheet. www.hhs.state.ne.us. 1 hlm. Diakses tanggal 20 Maret
2006.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta. 253 hlm.
290 PROSIDING
KAJIAN KOMPERATIF PENERAPAN SAPTA USAHATANI JAGUNG VARIETAS
HIBRIDA DANNONHIBRIDA DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT
PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI JAGUNG DI DESA MARGOTOTO
KECAMATAN METRO KIBANG KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
ABSTRACT
The objective of this research : (1) to knowing difference of applying seven corn farming
among farmer using varietas of hibrida and nonhibrida, (2) knowing difference of productivity
of farming corn among farmer using varietas of hibrida and nonhibrida, (3) knowing
difference of earnings of corn farming among farmer using varietas of hibrida and nonhibrida,
(4) knowing relation among applying level seven farming with corn productivity at corn
farming varietas of hibrida and nonhibrida, and (5) knowing relation among productivity level
with earnings at corn farming of varietas of hibrida and nonhibrida
The research show that there are difference of applying level seven corn farming,
productivity, and earnings among farmer using varietas of hibrida and nonhibrida. At farmer
using varietas of hibrida generally have applying level, productivity, and higher earnings than
farmer using nonhibrida varietas.
Applying seven corn farming correlate reality with yielded by productivity level is excelsior
mount applying seven farming hence excelsior will mount yielded productivity. And
productivity correlate reality with level earnings of excelsior mount yielded productivity
hence earnings excelsior of farmer.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, yang
memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia
harus mulai mengantisipasi persaingan ekonomi yang semakin ketat di segala bidang. Perlu
adanya usaha untuk menggali sektor-sektor yang berpotensi besar bagi kelangsungan
perekonomian nasional. Salah satu sektor yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah
sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor nonmigas yang penting bagi
perekonomian Indonesia, karena memberikan devisa yang cukup besar. Oleh karena itu
pembangunan yang dilaksanakan di sektor ini, diharapkan dapat lebih meningkatkan
perekonomian Indonesia. Pembangunan pertanian mencakup berbagai subsektor antara lain
subsektor tanaman pangan, perikanan, peternakan dan perkebunan.
Tanaman Jagung (Zea mays) merupakan tanaman penting di Lampung setelah padi bagi
sebagian besar masyarakat petani. Jagung mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu
sekitar 73,3 persen. Selain sebagai bahan makanan, jagung dapat digunakan sebagai pakan
ternak, bahan industri, minuman sirup, kertas minyak, dan cat (Suprapto, 1996).
Penggunaan benih jagung hibrida oleh petani menyebabkan biaya produksi yang harus
dikeluarkan petani lebih besar, karena harga benih jagung hibrida lebih tinggi dibandingkan
1. Apakah terdapat perbedaan penerapan sapta usahatani jagung antara petani yang
menggunakan varietas hibrida dan nonhibrida ?
2. Apakah terdapat perbedaan produksi antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida ?
3. Apakah terdapat perbedaan pendapatan antara petani yang menggunakan varietas hibrida
dan nonhibrida?
4. Apakah terdapat hubungan yang nyata antara tingkat penerapan sapta usahatani jagung
dengan produksi pada usahatani jagung varietas hibrida dan nonhibrida?
5. Apakah terdapat hubungan yang nyata antara tingkat produksi dengan pendapatan pada
usahatani jagung varietas hibrida dan nonhibrida?
Kerangka Pemikiran
Kegiatan usahatani memiliki tujuan utama yaitu memperoleh pendapatan yang maksimal
melalui hasil produksi yang optimal. Jagung hibrida merupakan salah satu tanaman yang
masih memiliki potensi cukup besar untuk ditingkatkan, baik melului perluasan areal maupun
peningkatan produktivitasnya. Penggunaan benih jagung hbrida menyebabkan biaya produksi
yang harus dikelurkan oleh petani lebih besar, karena harga benih jagung hibrida lebih tinggi
dibandingkan dengan benih jagung nonhibrida, walaupun produktivitasnya lebih tinggi.
Namun petani berusaha menggunakan benih jagung hibrida dengan asumsi bahwa
produktivitas yang dihasilkan lebih tinggi sehingga dapat menutupi biaya produksi.
Kegiatan usahatani jagung juga memiliki tujuan akhir yaitu memperoleh pendapatan yang
maksimal dengan jalan mempertinggi produksi jagung tersebut, hal ini dapat dicapai dengan
cara menerapkan sapta usahatani jagung. Sapta usahatani merupakan suatu kegiatan usahatani
yang terdiri dari penggunaan benih unggul, teknik bercocok tanam, pengairan, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit, panen dan pascapanen, dan pemasaran. Dengan menerapkan
sapta usahatani jagung maka akan berpengaruh terhadap produksi jagung yang dihasilkan dan
pendapatan yang diperoleh petani jagung tersebut.
292 PROSIDING
Penerapan Sapta
Usahatani Jagung
varietas Hibrida dan
Nonhibrida(X):
1. Penggunaan benih
Unggul
2. Teknik bercocok
tanam
3. Pengairan
4. Pemupukan Produksi (Y) Pendapatan (Z)
5. Pengendalian hama
dan penyakit
6. Panen dan pasca
panen
7. Pemasaran
1. Terdapat perbedaan penerapan sapta usahatani jagung antara varietas hibrida dan
nonhibrida pada varietas hibrida tingkat penerapannya lebih tinggi dibandingkan dengan
varietas nonhibrida.
2. Terdapat perbedaan produksi antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida
3. Terdapat perbedaan pendapatan antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida
4. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat penerapan sapta usahatani jagung dengan
produksi pada jagung vareitas hibrida dan nonhibrida.
5. Terdapat hubungan antara tingkat produksi dengan pendapatan pada jagung varietas
hibrida dan nonhibrida.
METODOLOGI PENELITIAN
Konsep Dasar dan Batasan Operasional
1. Penggunaan benih adalah biji tanaman yang digunakan untuk pertanaman kembali. Benih
varietas unggul adalah varietas yang memiliki keunggulan produksi dan mutu hasil,
tanggap terhadap pemupukan, toleran terhadap hama penyakit, umur genjah, dan tahan
terhadap rebahan. Penggunaan benih diukur dengan skor berdasarkan varietas yang
digunakan. Diklasifikasikan menjadi rendah, sedang dan tinggi.
6. Panen dan pasca panen merupakan tahap akhir dalam berusahatani jagung dan merupakan
tahap dalam menjaga mutu hasil panen sampai saat digunakan atau dijual. Diukur
berdasarkan frekuensi petani dalam melakukan panen dan pasca panen. Diklasifikasikan
menjadi rendah, sedang, dan tinggi.
7. Pemasaran merupakan penjualan hasil panen yang diperoleh selama berusahatani. Diukur
berdasarkan frekuensi petani dalam melakukan pemasaran. Diklasifikasikan menjadi
rendah, sedang, dan tinggi.
Untuk keperluan pembahasan secara deskriptif dari variabel diatas maka dibuat klasifikasi
menjadi tiga klasifikasi yaitu rendah, sedang, dan tinggi menggunakan rumus Sturges yang
dikemukakan oleh Dayan (1982) yaitu:
S=X–Y
Z
294 PROSIDING
Lokasi Penelitian, Responden, dan Waktu Penelitian
Jumlah seluruh populasi sebanyak 240 orang petani. Jumlah petani yang menanam
menggunakan varietas hibrida sebanyak 185 orang petani sedangkan yang menggunakan
varietas nonhibrida sebanyak 55 orang petani. Keseluruhan ditentukan berdasarkan pada
pendugaan proporsi populasi dengan pertimbangan presisi 10%.
Penentuan sampel ini merujuk pada teori Yamane (1967, dalam Rahmat, 1997) dengan rumus
sebagai berikut:
n= N
N(d)2+1
Keterangan :
N = Unit populasi
n = unit sampel
d = Tingkat presisi
Sedangkan untuk sampel setiap varietas ditentukan dengan menggunakan rumus Nasir (1988),
yaitu :
Ni
ni = n
N
Responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 70 orang petani terdiri dari 54 orang petani
yang menanam dengan menggunakan varietas hibrida dan 16 orang petani yang menanam
dengan menggunakan varietas nonhibrida.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data yang
digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara
langsung dengan petani responden. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari lembaga-lembaga atau
instansi yang terkait dengan penelitian ini.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik nonparametrik dan
deskriptif. Untuk menguji kebenaran hipotesis dipergunakan Uji U Mann Whitney dan uji
korelasi Rank Sperman.
Untuk menguji hipotesis satu sampai tiga yaitu menguji ada tidaknya perbedaan penerapan
sapta usahatani, produksi, dan pendapatan antara varietas hibrida dan nonhibrida digunakan
uji U Mann Whitney (Siegel, 1997) dengan rumus sebagai berikut :
U2 = n1n2 + n2 (n2 + 1) − R2
2
Keterangan :
U1 = Nilai hitung sampel dari n1
U2 = Nilai hitung sampel dari n2
n1 = Jumlah sampel yang menggunakan varietas nonhibrida
n2 = Jumlah sampel yang menggunakan varietas hibrida
R1 = Jumlah ranking yang diberikan pada sampel n1
R2 = Jumlah rangking yang diberikan pada sampel n2
U − n1n2
Z= 2
(n1 )(n2 )(n1 + n2 + 1)
12
Keterangan :
Z = Nilai hitung
N = Jumlah seluruh sampel (n1 + n2)
T = Jumlah data kembar untuk suatu rangking
n1 = Jumlah sampel terkecil
n2 = Jumlah sampel terbesar
Untuk menguji hipotesis ada tidaknya hubungan penerapan sapta usahatani , produksi, dan
pendapatan pada jagung varietas hibrida dan nonhibrida digunakan uji statistik korelasi Rank
Sperman, rumus yang digunakan yaitu :
N
6 ∑ di
I =1
2
rs = 1 −
N3 − N
Keterangan :
Untuk mencari t-hitung pada Uji Korelasi Rank Sperman dipergunakan rumus sebagai berikut
:
296 PROSIDING
N −2
t = rs
1 − rs 2
Perbandingan skor tingkat penerapan sapta usahatani jagung antara yang menggunakan
varietas hibrida dan nonhibrida
Tabel 1. Perbandingan skor tingkat penerapan sapta usahatani jagung antara petani
yang menggunakan varietas hibrida dan nonhibrida
Dari tabel 1 terlihat bahwa terdapat perbedaan skor tingkat penerapanan sapta usahatani
antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan nonhibrida. Skor rata-rata penerapan
sapta usahatani jagung pada petani yang menggunakan varietas hibrida lebih tinggi dari skor
patani yang menggunakan varietas nonhibrida. Jika dilihat dari aspek-aspek penerapan sapta
usahatani, maka skor benih, pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, panen
dan pasca panen, serta pemasaran pada petani yang menggunakan varietas hibrida lebih tinggi
dibandingkan dengan skor petani yang menggunakan varietas nonhibrida, sedangkan untuk
Perbedaan penerapan sapta usahatani jagung antara petani yang menggunakan varietas hibrida
dan nonhibrida dianalisis dengan menggunakan uji Man Withney. Untuk mengetahui hasil
analisis disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis perbedaan sapta usahatani jagung antara varietas hibrida dan
nonhibrida
Dari hasil analisis diperoleh z-hitung sebesar –4,538 lebih besar dari z-tabel sebesar
0,00003 pada taraf kepercayaan 99 dan 95 persen, maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan
penerapan sapta usahatani jagung antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida. Pada petani yang menggunakan varietas hibrida memiliki tingkat penerapan sapta
usahatani lebih tinggi daripada petani yang menggunakan varietas nonhibrida.
Tabel 3 menunjukkan rata-rata produktivitas usahatani jagung pada petani yang menggunakan
varietas hibrida adalah 6,536 ton per ha lebih tinggi dari pada petani yang menggunakan
varietas nonhibrida yaitu 4,413 ton per ha. Ada perbedaan sebesar 2,123 ton per ha.
Penggunaan benih jagung hibrida selain dapat meningkatkan produksi juga menyebabkan
struktur biaya yang lebih tinggi. Meskipun biaya yang dikelurkan petani jagung hibrida lebih
tinggi tetapi produksi yang dihasilkan juga tinggi, karena penggunaan benih jagung hibrida
akan berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas lahan.
Produktivitas usahatani jagung pada petani yang menggunakan varietas hibrida lebih tinggi
dibandingkan dengan petani yang menggunakan varietas nonhibrida. Hal ini disebabkan
298 PROSIDING
karena perbedaan jenis varietas yang digunakan. Pada petani yang menggunakan varietas
hibrida minimal produksi yang diperoleh sebesar 5,20 ton per ha, sedangkan pada petani
jagung nonhibrida sebesar 3,75 ton per ha.
Perbedaan produktivitas jagung antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida dianalisis dengan menggunakan uji Man Withney. Untuk mengetahui hasil
analisis disajikan dalam Tabel 4.
Dari hasil analisis diperoleh z-hitung sebesar –6,044 lebih besar dari z-tabel sebesar
0,00003 pada taraf kepercayaan 99 dan 95 persen, maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan
produktivitas usahatani jagung antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida. Pada petani yang menggunakan varietas hibrida memiliki tingkat produksi lebih
tinggi daripada petani yang menggunakan varietas nonhibrida.
Pendapatan usahatani jagung adalah jumlah penerimaan yang diterima oleh petani dikurangi
dengan biaya usahatani jagung. Pendapatan rata-rata usahatani jagung pada petani yang
menggunakan varietas hibrida sebesar Rp 3.791.600,00 per satu musim tanam dan petani
jagung nonhibrida sebesar Rp 2.275.800,00 per musim tanam.
Pada tabel 3 juga terlihat terdapat perbedaan yang signifikan pada biaya usahatani antara
petani yang menggunakan varietas hibrida dan nonhibrida. Selisih biaya usahatani antara
petani yang menggunakan varietas hibrida dan nonhibrida sebesar Rp 656.750,00. Hal ini
disebabkan karena harga benih jagung hibrida lebih mahal dibandingkan dengan harga benih
jagung lokal. Untuk harga benih jagung hibrida yaitu sebesar Rp 27.000,00 sampai Rp
30.000,00 per kg, sedangkan untuk harga benih jagung lokal sebesar Rp 2.000,00 sampai Rp
2.500,00 per kg. Dari kedua jenis benih jagung tersebut terdapat perbedaan yang sangat
besar, namun jika dilihat dari produksi yang dihasilkan jagung hibrida memiliki produksi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung lokal. Hal inilah yang mendorong petani untuk
menggunakan varietas hibrida. Meskipun harga benihnya cukup mahal tapi produksi yang
dihasilkan cukup tinggi. Dari produktivitas yang tinggi akan meningkatkan penerimaan
sehingga pendapatan meningkat.
Perbedaan pendapatan antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan nonhibrida
dianalisis dengan menggunakan uji Man Withney. Untuk mengetahui hasil analisis disajikan
dalam Tabel 5.
Dari hasil analisis diperoleh z-hitung sebesar –5,818 lebih besar dari z-tabel sebesar
0,00003 pada taraf kepercayaan 99 dan 95 persen, maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan
pendapatan usahatani jagung antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida. Pada petani yang menggunakan varietas hibrida memiliki tingkat pendapatan
lebih tinggi daripada petani yang menggunakan varietas nonhibrida.
Hubungan antara tingkat penerapan sapta usahatani dengan produksi pada usahatani
jagung varietas hibrida dan nonhibrida
Hubungan antara penerapan sapta usahatani dengan produktivitas dapat dilihat dalam Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan bahwa tingkat penerapan sapta usahatani jagung sebagian besar berada
dalam klasifikasi sedang yaitu 31 orang (44,28%) dan memiliki produktivitas yang tinggi
yaitu 46 orang (65,71%).
Dari tabel 6 terlihat bahwa tingkat penerapan sapta usahatani jagung berada dalam klasifikasi
sedang namun memiliki produksi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
petani responden menggunakan varietas hibrida sehingga produksi yang dihasilkan lebih
tinggi. Secara analisis hubungan antara tingkat penerapan sapta usahatani dengan produksi
dianalisis dengan menggunakan uji rank sperman. Untuk mengetahui secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 7.
Dari hasil analisis diperoleh t-hitung 4,672 lebih besar dari t-tabel pada taraf kepercayaan 99
dan 95 persen maka tolak Ho berarti terdapat hubungan sangat nyata antara tingkat penerapan
300 PROSIDING
sapta usahatani dengan produksi. Semakin tinggi tingkat penerapan sapta usahatani maka
semakin tinggi tingkat produktivitas yang dihasilkan.
Hubungan antara produktivitas usahatani jagung dengan pendapatan dapat dilihat dalam Tabel
8.
Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat produktivitas usahatani jagung sebagian besar berada
dalam klasifikasi tinggi yaitu 46 orang (65,72%) dan memiliki pendapatan yang tinggi yaitu
31 orang (44,28%). Dari tabel terlihat bahwa tingkat produktivitas usahatani jagung berada
dalam klasifikasi tinggi cenderung memiliki pendapatan yang tinggi berarti hasil penelitian ini
membuktikan bahwa ada hubungan yang nyata antara tingkat produktivitas dengan
pendapatan. Sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan bahwa semakin tinggi tingkat
produksi yang dihasilkan maka semakin tinggi pendapatan yang diperoleh petani.
Kesimpulan
(1) Terdapat perbedaan sapta usahatani jagung antara petani yang menggunakan varietas
hibrida dan nonhibrida. Pada petani yang menggunakan varietas hibrida umumnya
(2) Terdapat perbedaan produksi antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida. Pada petani yang menggunakan varietas hibrida umumnya produksi yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan petani yang menggunakan varietas
nonhibrida.
(3) Terdapat perbedaan pendapatan antara petani yang menggunakan varietas hibrida dan
nonhibrida. Pendapatan yang diperoleh petani jagung hibrida lebih tinggi dibandingkan
dengan pendapatan yang diperoleh petani jagung nonhibrida.
(4) Terdapat hubungan yang sangat nyata antara penerapan sapta usahatani jagung dengan
produksi. Berarti semakin tinggi tingkat penerapan sapta usahatani maka semakin tinggi
tingkat produksi jagung yang dihasilkan.
(5) Terdapat hubungan yang sangat nyata antara produktivitas dengan pendapatan. Berarti
semakin tinggi tingkat produktivitas maka semakin tinggi pendapatan
usahatani jagung.
Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan keadaan maka penulis dapat mengungkapkan saran
sebagai berikut:
(1) Diharapkan agar petani dapat menggunakan varietas jagung hibrida karena produksi yang
dihasilkan lebih tinggi dan lebih menguntungkan.
(2) Diharapkan agar petani dapat terus menerapkan sapta usahatani dalam berusahatani
jagung agar mendapatkan hasil produksi yang optimal.
(3) Perlunya peningkatan pelayanan dan penyaluran sarana produksi seperti benih dan pupuk
oleh perusahaan saprodi agar petani mudah memperolah sarana produksi yang diperlukan
dengan harga terjangkau sehingga penggunaan sarana produksi sesuai dengan anjuran.
(4) Memberikan penyuluhan kepada petani yang masih menggunakan varietas nonhibrida
agar mereka mengetahui bahwa produksi yang dihasilkan lebih tinggi dan lebih
menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Desyani, T. 2003. Evaluasi Manfaat Kemitraan PT. Tanindo Subur Prima Dengan Kelompok
Tani Dalam Produksi Jagung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
302 PROSIDING
Gustiana, F. 2004. Studi Perbandingan Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan
Nonhibrida. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Moster, A.T 1991. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. C.V. Yasaguna. Jakarta.
Suprapto, J. 1998. Teknik Sampling Untuk Survei dan Eksperimen. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
RAHMAT SAFE’I
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
ABSTRACT
Nowadays forest fire is the most damaging factor that affect to sustainable forest
management, because the quality and the quantity of residual stand decrease significantly.
Forest health condition, nowadays, has become important criteria for sustainable forest
management. Forest Health Monitoring (FHM) is a method for monitoring, assessing and
reporting forest status of the present, changes and long term trends in forest ecosystem health
by using measurable ecological indicators for management decision making. Even so, this
method has not commonly implemented yet in the field especially on burned-forest. The
objective of this research was to study the impact of forest fire to vegetation (tree damage
condition) in Mahagoni plantation using FHM method. The assessment of burned-forest was
conducted on FHM cluster-plots in the area of BKPH Cibenda KPH Majalengka dominated
by Mahagoni (Swietenia macrophylla). The number of plots in burned-forest was 12 plots (3
cluster-plots), and 4 plots (1 cluster-plots) unburned-forest. The results showed that the forest
health status on impact of forest fire to vegetation on the value of forest health condition
based on FHM method on burned-forest was classified into very bad (0), bad (4) and
moderate (5).
PENDAHULUAN
Hutan mempunyai berbagai manfaat bagi kehidupan umat manusia baik langsung maupun
tidak langsung. Tetapi dari waktu ke waktu luas hutan di permukaan bumi ini mengalami
penurunan, yang disebabkan oleh penebangan dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan pada
saat ini dipandang menjadi salah satu bentuk kerusakan yang sangat hebat sehingga dampak
yang ditimbulkanya mengarah kepada kepunahan hutan atau mengancam kelestarian hutan,
sehingga menilai dampak kebakaran hutan sangatlah penting untuk mengetahui kualitas dan
kuantitas tegakan sisa kebakaran. Hutan yang terbakar tersebut harus dapat dipulihkan
kembali dengan berbagai teknologi. Jika hutan tersebut mampu pulih kembali maka hutan
tersebut dapat dikatakan lentur terhadap tekanan (sehat). Informasi kondisi hutan yang sehat
dan perubahan yang terjadi mutlak diperlukan oleh para pemegang keputusan bidang
kehutanan untuk pengambilan keputusan yang tepat untuk mendukung pengelolaan hutan
yang lestari. Informasi tersebut akan dapat diperoleh dengan menerapkan suatu sistem
pemantauan kondisi hutan yang dilaksanakan secara periodik. Salah satu metode yang
digunakan adalah Forest Health Monitoring (FHM). FHM atau pemantauan kesehatan hutan
adalah sebuah metode untuk memantau, menilai dan melaporkan tentang status saat ini,
perubahan, dan kecenderungan jangka panjang kesehatan ekosistem hutan dengan
menggunakan indikator-indikator ekologis yang terukur untuk pengambilan keputusan
manajemen (USDA-FS 1997). Metode FHM ini belum banyak diimplementasikan di
lapangan, terutama di kawasan hutan bekas terbakar. Oleh karena itu, implementasi teknologi
FHM perlu dikembangkan di areal hutan bekas terbakar seperti terhadap vegetasi (kondisi
1
Bahan Disampaikan Pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dalam Rangka
Dies Natalis 41 Universitas Lampung Tanggal 13-14 September 2006
304 PROSIDING
kerusakan pohon). Penelitian ini bertujuan untuk menilai dampak kebakaran hutan terhadap
vegetasi (kondisi kerusakan pohon) di tegakan mahoni berdasarkan metode FHM (USDA-FS
1997).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di BKPH Cibenda KPH Majalengka Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat dan Banten. Waktu penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan dari bulan Juni
hingga Agustus 2005.
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari : tally sheet, taging,
bendera, paku, palu, papan berjalan, alat tulis, kompas, GPS (Global Positioning System),
kamera digital, meteran (50 m) dan pita meter (50 cm). Perangkat lunak yang digunakan
untuk pengolahan dan analisis data adalah MS-Access 2000 dan MS-Excel 2000.
Metode Penelitian
Metode penelitian mencakup penetapan dan pembuatan plot permanen serta pengukuran
dampak kebakaran hutan melalui kondisi kerusakan pohon, dan teknik penilaian dampak
kebakaran terhadap vegetasi.
Klaster-plot dibangun di areal hutan tanaman mahoni (Swietenia macrophylla) yang telah
terbakar pada tahun 2003 dan 2004, jumlah plot yang dibangun sebanyak 12 plot (3 klaster-
plot) dan 4 plot (1 klaster-plot) yang tidak terbakar sebagai pembanding. Pemilihan lokasi
plot permanen didasarkan pada tiga klasifikasi fire severity menurut De Bano et al. (1998),
yaitu: low fire severity, moderate fire severity, dan high fire severity. Teknik pembuatan plot
permanen didasarkan pada metode FHM (USDA-FS 1997). Desain plot contoh yang
digunakan dalam metode FHM disebut dengan klaster-plot (Gambar 1). Setiap klaster-plot
mempunyai kriteria sebagai berikut :
- Mempunyai annular plot berupa lingkaran dengan jari-jari 17,95 meter dan subplot dengan
jari-jari 7,32 meter.
- Titik pusat subplot 1 merupakan titik pusat bagi keseluruhan plot. Titik pusat subplot 2
terletak pada arah 00 atau 3600 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat
subplot 3 terletak pada arah 1200 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat
subplot 4 terletak pada arah 2400 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m.
4
Microplot
3 Jari-jari 2,07 m
0
@ azimuth 90
jarak dari titik pusat subplot 3.66 m
Pengukuran dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi dengan metode FHM yang
berhubungan dengan kesehatan hutan dilakukan terhadap kondisi kerusakan pohon dengan
menggunakan metode FHM.
Kondisi kerusakan pohon ini dihubungkan dengan lokasi ditemukanya kerusakan yaitu, pada :
akar, batang, cabang, tajuk, daun, pucuk dan tunas. Dalam lokasi tertentu, hirarki kerusakan
mengikuti nomor kode tipe kerusakan yang mungkin untuk lokasi tersebut. Semakin tinggi
nomor kode kerusakan, semakin rendah prioritasnya (Tabel 1).
Kerusakan pohon terdiri dari tiga pengkodean berurutan yang menggambarkan tipe kerusakan
pohon, lokasi terjadinya kerusakan pada pohon, dan tingkat keparahan yang ditimbulkan.
Pencatatan kerusakan pohon dilakukan untuk maksimum tiga kerusakan, dimulai dari lokasi
dengan kode terendah. Apabila ada lebih dari tiga kerusakan yang memenuhi nilai ambang
keparahan, maka tiga kerusakan pertama yang dicatat dimulai dari akar. Untuk kerusakan
yang tidak memenuhi nilai ambang, akan diberikan nilai ’0’ dalam tingkat keparahannya.
Apabila terdapat kerusakan ganda pada lokasi yang sama, maka kerusakan yang paling
merusaklah yang dicatat. Kode-kode dari kondisi kerusakan pohon (tipe kerusakan, lokasi
kerusakan, dan tingkat keparahan) menurut metode FHM (Tabel 1 dan 2).
306 PROSIDING
Tabel 1 Kode tipe kerusakan pohon dan nilai ambang keparahan (Nuhamara et al.
2001)
Penilaian dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi dengan metode FHM yang berhubungan
dengan kesehatan hutan diperoleh berdasarkan nilai skor parameter dari kondisi kerusakan
pohon.
Nilai skor tersebut diperoleh melalui transformasi terhadap nilai masing-masing parameter
dari kondisi kerusakan pohon (lokasi kerusakan, tipe kerusakan, dan tingkat keparahan). Nilai
skor diberikan pada rentang 0-10. Semakin tinggi nilai skor, maka semakin tinggi nilai dari
suatu parameter. Secara terinci penentuan nilai skor dari masing-masing parameter indikator
vitalitas (kondisi kerusakan pohon) dijelaskan seperti dibawah ini :
Parameter pengukuran kondisi kerusakan pohon yaitu tipe kerusakan, lokasi kerusakan dan
tingkat keparahan dirumuskan dalam sebuah indek kerusakan (IK), sebagai berikut :
Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Unila, 2006 307
IK = [xtipe kerusakan*ylokasi*zkeparahan]
Keterangan :
x,y,z, adalah nilai pembobotan yang besarnya berbeda-beda tergantung kepada tingkat
dampak relatif setiap komponen terhadap pertumbuhan dan ketahanan pohon.
Pembobotan untuk setiap kode tipe kerusakaan, lokasi kerusakan dan tingkat keparahan
(Tabel 3).
Tabel 3 Nilai pembobotan untuk setiap kode tipe kerusakan, lokasi dan keparahan
(Nuhamara et al. 2001)
Nilai indek kerusakan pohon (Tree Level Index-TLI) dan nilai indek kerusakan plot (Plot
Level Index-PLI) pada masing-masing klaster-plot merupakan dasar untuk mengetahui kondisi
kerusakan suatu vegetasi. Nilai indek kerusakan (IK) pada tingkat kondisi kerusakan pohon
dibagi dalam dua tingkat yang berbeda, yaitu pada tingkat pohon dan tingkat plot dirumuskan
sebagai berikut :
308 PROSIDING
Tabel 4 Nilai skor kondisi kerusakan pohon pada klaster-plot berdasarkan nilai PLI
Tabel 5 Lokasi kerusakan, tipe kerusakan dan tingkat keparahan dari masing-masing
klaster-plot di BKPH Cibenda KPH Majalengka
Kode
No
Lokasi Kerusakan Keparahan
Klaster
0 1 2 3 4 6 7 02 03 11 21 22 0 2 3 4 5 6 7
K1P1 12 - 1 - - - 9 - 1 - - 9 - 7 1 2 - - -
K1P2 7 - - - - - 14 - - - - 14 - 6 7 1 - - -
K1P3 16 - 1 - - - 12 - - 1 - 12 1 7 4 1 - - -
K1P4 15 - 2 - - - 15 - 2 - - 15 - 6 9 2 - - -
KP-1 50 0 4 0 0 0 50 0 3 1 0 50 1 26 21 6 0 0 0
K2P1 - - 1 - - - 3 - 1 - - 3 - 1 - 2 - 1 -
K2P2 - 1 - 1 - - 3 - 1 1 - 3 1 - 2 1 1 -
K2P3 2 - - - - 1 4 - - - 1 4 - 2 - 2 1 - -
K2P4 - - - - - - - - - - - - - - - - - -
KP-2 2 1 1 1 0 1 10 0 2 1 1 10 1 3 0 6 2 2 0
K3P1 1 1 3 2 - - 20 1 5 - - 20 1 3 5 6 7 3 1
K3P2 - 2 2 - - - 7 1 1 2 - 7 3 1 - 2 1 2 2
K3P3 2 - - - - - 9 - - - - 9 - 2 - 5 2 - -
K3P4 - - - - - - 1 - - - - 1 - - - - 1 - -
KP-3 3 3 5 2 0 0 37 2 6 2 0 37 4 6 5 13 11 5 3
K4P1 - - - 1 3 2 2 - 4 - 2 2 - 2 4 2 - - -
K4P2 - 1 2 2 5 - 8 - 9 1 - 8 1 10 3 1 3 - -
K4P3 - 1 1 1 - 2 1 - 2 1 2 1 1 2 1 2 - - -
K4P4 - - 4 2 4 2 2 - 10 - 2 2 - 7 4 2 1 - -
KP-4 0 2 7 6 12 6 13 0 25 2 6 13 2 21 12 7 4 0 0
Keterangan : KP-1 = hutan tidak terbakar; KP-2,KP-3 dan KP-4 = hutan bekas terbakar
Sumber : diolah dari data lapang
Tabel 7 menyajikan data nilai batas ambang kesehatan hutan yang diperoleh dari nilai skor
kondisi kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI (Plot Level Index)
pada Tabel 4.
Tabel 5 menunjukkan tipe kerusakan pohon yang dominan akibat kebakaran adalah cabang
patah atau mati diikuti oleh luka terbuka. Hal ini sesuai dengan Syaufina (2003) bahwa
kerusakan yang langsung disebabkan oleh kebakaran diantaranya adalah luka terbuka (open
wood) pada batang dan cabang patah atau mati cabang.
Penilaian terhadap kondisi kerusakan pohon ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya
pengaruh kebakaran terhadap kondisi pohon atau tingkat kepekaan suatu jenis pohon
terhadap api. Seperti diketahui bahwa panas yang dihasilkan dalam suatu kebakaran hutan
dapat mencapai lebih dari 10000C, sehingga menyebabkan kematian vegetasi (Syaufina
2003).
Panas yang dihasilkan dalam kebakaran apabila masih memungkinkan vegetasi (pohon) untuk
hidup, maka akan tertinggal luka-luka akibat kebakaran yang akhirnya akan merangsang
pertumbuhan hama dan penyakit atau menghasilkan cacat permanen.
Kerusakan pohon terutama pada batang bagian bawah seperti luka terbuka akan menyebabkan
aktivitas pengangkutan air dan hara dari tanah ke daun terganggu. Terganggunya
pengangkutan hara dan air akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pasokan hara
dan air bagi bagian-bagian pohon diatasnya dan cadangan karbohidrat berkurang. Padahal
batang bagian bawah adalah bagian pohon yang sangat penting untuk memproduksi kayu
olahan. Dengan demikian kerusakan batang bawah akan mempengaruhi kuantitas dan
kualitas kayu olahan yang akan dihasilkan.
Kerusakan luka terbuka pada pohon akan menyebabkan terkena penyakit, karena luka yang
tidak segera pulih akan menjadi tempat bagi terjadinya infeksi dan menjadi media
310 PROSIDING
pertumbuhan jamur yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan pada kayu gubal
akibat penyakit busuk hati (Putra, 2004).
Kerusakan cabang patah atau mati mengakibatkan daun ataupun tajuk menjadi tidak
berkembang dengan baik sehingga proses fotosintesis terganggu. Gangguan proses
fotosintesis akan mengakibatkan pertumbuhan pohon menjadi berkurang dan dapat
menurunkan kualitas kayu.
Tingkat kerusakan (keparahan) yang agak besar (20-40%) di areal bekas terbakar diakibatkan
oleh api yang membakar areal tersebut begitu besar pengaruhnya terhadap vegetasi yang ada.
Hal ini dibuktikan dengan status nilai PLI kerusakan pohon di areal bekas terbakar yang lebih
besar dibandingkan dengan areal tidak terbakar. Walaupun tingkat kerusakan yang ditemukan
di areal bekas terbakar agak besar, jenis kerusakan yang dijumpai pada areal bekas terbakar
adalah jenis-jenis kerusakan yang tingkat pemulihannya relatif cepat, seperti cabang patah
atau mati.
Kerusakan cabang patah atau mati (kode 22) mengakibatkan daun ataupun tajuk tidak
berkembang dengan baik sehingga proses fotosintesis terganggu, yang pada gilirannya
mengakibatkan pertumbuhan pohon tidak optimal. Kerusakan pohon terutama pada batang
bagian bawah seperti luka terbuka (kode 03) akan menyebabkan aktivitas translokasi air dan
hara dari tanah ke daun terganggu. Terganggunya translokasi hara dan air akan menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan pasokan hara dan air bagi bagian-bagian pohon diatasnya.
Berdasarkan nilai PLI (Tabel 6), bahwa kebakaran yang terjadi menyebabkan kerusakan
kondisi pohon yang begitu parah (tingkat kerusakan ≥ 20% sebanyak 93,5%), karena dampak
yang ditimbulkan mengakibatkan kualitas tegakan tidak baik, sehingga dengan demikian
keputusan menajemen yang dapat diambil adalah menebang pohon-pohon yang mengalami
kerusakan dengan tingkat keparahan ≥ 20% (titik ambang).
Kondisi kesehatan hutan pada setiap klaster-plot di areal hutan tidak terbakar dan bekas
terbakar berdasarkan penilaian dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi dengan
menggunakan metode FHM (Tabel 8). Nilai kondisi kesehatan hutan ini merupakan nilai PLI
(Tabel 6) dengan nilai skor kondisi kerusakan pohon pada klaster-plot berdasarkan nilai PLI
(Tabel 4).
Hasil penilaian tingkat kesehatan hutan di areal bekas terbakar dengan menggunakan metode
FHM di tegakan mahoni (kondisi kerusakan pohon), menunjukkan bahwa data atau informasi
yang diperoleh dapat memberikan gambaran status saat ini dan perubahan yang terjadi akibat
kebakaran hutan terhadap vegetasi (kondisi kerusakan pohon yang meliputi lokasi kerusakan,
tipe kerusakan dan tingkat keparahan), karena dalam metode FHM, kondisi kesehatan hutan
didasarkan kepada penilaian terhadap indikator-indikator terukur (kondisi kerusakan pohon)
yang dapat menggambarkan kondisi tegakan secara komprehensif dan ditinjau dari sudut
Kesimpulan
1. Dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi (kondisi kerusakan pohon) di hutan tanaman
mahoni (Swietenia macrophylla) berdasarkan metode Forest Health Monitoring (FHM) di
areal bekas terbakar bernilai sangat jelek (0), jelek (4), dan sedang (5).
2. Kondisi kerusakan pohon akibat kebakaran hutan didominasi oleh lokasi kerusakan di
daerah cabang (kode 7), serta didaerah akar dan batang bagian bawah (kode 2) dengan tipe
kerusakan cabang patah atau mati (kode 22) dan luka terbuka (kode 03).
Saran
Penilaian dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi (kondisi kerusakan pohon) perlu
dikembangkan untuk menilai kesehatan hutan bekas terbakar di jenis-jenis hutan tanaman
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
De Bano, LF, DG Neary and PF Ffolliot. 1998. Fire’s effects on ecosystem. John Wiley and
Sons. USA. 2: 24-28.
Nuhamara ST, Kasno, US Irawan. 2001. Assessment on damage indicators in forest health
monitoring. FHM technical report No. 17. di dalam: forest health monitoring to
monitor the sustainability of Indonesian tropical rain forest volume II. Japan: ITTO
dan Bogor: SEAMEO-BIOTROP.
Putra EI. 2004. Pengembangan metode penilaian kesehatan hutan alam produksi. [tesis].
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Syaufina L. 2002. The effect of climate variations on peat swamp forest condition and peat
combustability [desertasi]. Universiti Putra Malaysia. Malaysia.
USDA Forest Service. 1997. Forest health monitoring field guide (International-Indonesia).
R. Mangold (Eds). Washington DC 20090.
312 PROSIDING
DAMPAK PEMBANGUNAN JARINGAN TRANSMISI SUTT 150 KV TERHADAP
PERSEPSI MASYARAKAT
ABSTRAK
Kebutuhan akan pasokan tenaga listrik semakin lama semakin meningkat, sesuai dengan
tuntutan perkembangan masyarakat. Sementara disisi lain kegiatan pembangunan
penambahan jaringan Transmisi tentunya akan bersinggungan dengan masalah lingkunga.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pembangunan jaringan
transmisi SUTT 150 kV Menggala-Gumawang terhadap persepsi masyarakat yang berada di
sepanjang jalur transmisi tersebut.
Sampel penelitian ini dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang
berdomisili dekat dengan jalur lintas transmisi tersebut yang tersebar dari Desa Menggala
Kecamatan Menggala di Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung sampai dengan Desa
Gumawang Kecamatan Blitang II di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Propinsi
Sumatera Selatan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadinya penurunan jumlah vegetasi tumbuhan di areal
perkebunan mereka, cenderung responden menyataklan tidak setuju dikarekan akan
berdampak pada penurunan pendapatan mereka dari kebun tersebut. Sedangkan kekhawatiran
responden yang bekerja di bawah jaringan transmisi, mereka cenderung menjawab tidak takut
untuk bekerja di bawah jaringan transmisi tersebut. Namun ketidak takutan tersebut
memberikan asumsi bahwa mereka telah mendapat informasi tentang tingkat keamanan dari
jaringan tersebut, atau sebaliknya mereka belum mendapat informasi sedikitpun tentang
bahaya bagi manusia yang bekerja di bawah jaringan, sehingga mereka juga menyatakan tidak
takut untuk bekerja di bawah jaringan.
PENDAHULUAN
Keberaaan tenaga listrik yang sangat bermanfaat dalam upaya ikut memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan perekonomian dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dn makmur yang merata sudah sangatlah penting, sehingga
kebutuhan tenaga listrik bagi kehidupan manusia dapat dikatakan tidak terpisahkan.
Sementara itu ketersediaan pasokan tenaga listrik bagi masyarakat, hampir di semua wilayah
sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kebutuhan pasokan tenaga listrik yang terus
meningkat setiap tahunnya. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pemerintah berupaya
maksimal untk dapat menyediakan sumber tenaga listrik yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Penyediaan tenaga listrik harus senantiasa memperhatikan kelestarian fungsi
Permasalahan pembangunan pada umumnya salah satunya disebebkan tidak terjadinya proses
komunikasi (mis communications) antara pemerintah dengan masyarakat maupun sebaliknya,
sehingga permasalahan-permasalahan pembangunan menjadi menggelem-bung dan mencapai
puncaknya pada tahun 1997, dimana krisis ekonomi secara global yang berakibat pada
terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pada waktu itu. Padahal dalam
Komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai suatu aktivitas
pertukaran pesan secara timbal balik) diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha
pembangunan; terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak proses perencanaan,
kemudian pelaksanaan dan penilaian terhadap pembangunan. (Z. Nasution 2002)
Sementara itu menurut Hedebro 1979 (dalam Zulkarimen Nasution 2002.) menyatakan bahwa
Komunikasi dapat menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujuk nilai-nilai, sikap
mental dan bentuk prilaku yang menunjang modernisasi, serta komunikasi dapat mengajarkan
ketrampilan-ketrampilan baru muali dari baca tulis ke pertanian, hingga keberhasilan
lingkungan. Namun bagi negara-negara yang sedang membangun (Development) seperti
Indonesia, juga menghadapi masalah dalam kaitannya dengan perubahan sosial yaitu :
pertama mengenai masalah lingkungan hidup yang disebabkan oleh kemiskinan dan akibat
kepadatan penduduk; kedua masalah perusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh kegiatan pembangunan itu sendiri.
Oleh karena itu dalam upaya untuk mencermati dampak dari kegiatan pembangunan,
pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan keputusan, maka dikeluarkanya Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 tahun 2001, tentang beberapa jenis-jenis
kegiatan atau usaha yang wajib dilengkapi dengan studi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang memperkirakan dampak-dampak kegiatan atau usaha dibidang
fisik-kimia, bilogi dan social ekonomi dan budaya.
Adapun tujuan studi analisis tersebut adalah untuk memperkecil terjadinya dampak negatif
yang ditimbulkan dari sebuah kegiatan pembangunan yang dapat merusak lingkungan dengan
pencemaran limbahnya hingga perubahan social yang berupa penurunan tingkat kesejahteraan
masyarakat, kemudian diupayakan untuk optimalisasi dampak positif kegiatan pembangunan
yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu kegiatan pembangunan dalam upaya upaya memenuhi kebutuhan akan energi atau
ketersediaan tenaga listrik di Propinsi Lampung yang hampir selama 3 tahun terahir selalu
mengalami kekurangan pasokan tenaga listrik, sehingga pihak PT. PLN (PERSERO)
memandang perlu untuk melakukan pemadaman aliran listrik di beberapa wilayah di Propinsi
Lampung. Pemadaman ini dilakukan pada jam-jam tertentu yang merupakan waktu beban
puncak, dengan tujuan guna memelihara pralatan yang masih tersedia maupun kelangsungan
pelayanan bagi masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, pihak PT. PLN (PERSERO) PIKITRING, SUMBAGSEL,
BABEL, SUMBAR DAN RIAU akan merealisasikan penambahan Jaringan Transmisi SUTT
150 kV Interkoneksi Propinsi Sumatra Selatan dengan Propinsi Lampung. Pembangunan
tower ini meliputi beberapa titik kegiatan pembangunan jaringan yang salah satunya berlokasi
dari Gardu Induk (GI) Menggala di kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung ke arah
Gardu Induk Gumawang di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Propinsi Sumatera Selatan
314 PROSIDING
sepanjang 92 Km. Luas lahan yang dipergunakan pada setiap titik tower hanya sebesar 15 X
15 m untuk jenis tower lurus (tower suspension) dan 20 X 20 m untuk jenis tower sudut
(tower tension) (Laporan ANDAL Menggala – Gumawang 2005)
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di beberapa kecamatan yang dilalui oleh jaringan Transmisi SUTT
150 kV Menggala – Gumawang meliputi Kecamatan Negeri Batin, Kabupaten Way kanan;
Kecamatan Gunung Terang, Kecamatan Kibang Yekti dan Kecamatan Menggala kabupaten
Tulang Bawang. Propinsi Lampung. Serta Kecamatan Belitang II dan Kecamatan Belitang III
Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur dan Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering
Ilir. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling pada lokasi-lokasi
terdekat yang dilalui jaringan, kemudian unit analisis diambil secara insidental sebanyak 100
orang.
Konsep dasar pembangunan Indonesia, baik di era orde baru maupun di era reformasi pada
prinsipnya akan tetap menerapkan sistem pembangunan di segala bidang secara berkelanjutan
(Sustainable Development) sangat tergantung pada beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap keberlangsungan pembangunan itu sendiri. Karena keberlanjutan suatu
pembangunan, tidak hanya di-pengaruhi oleh faktor ekonomi dan biofisik semata, melainkan
pula oleh faktor sosial budaya (Soemarwoto, 1991 dalam Poerwanto, 2000).
Salah satu faktor social budaya dalam kegiatan pembangunan adalah terjadinya perubahan
masyarakat (Social change) kea rah yang diharapkan. Menurut Pujiwati Sajogyo (1985)
bahwa perubahan sosial dalam masyarakat dapat disebabkan oleh dua hal, yakni perubahan
yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri, dan perubahan yang bersumber dari luar
masyarakat. Meskipun perubahan social yang diharapkan sangatlah tergantung pada tingkat
penerimaan hal-hal baru (innovative), baik berupa pola prilaku maupun teknologi di
lingkungan social mereka.
Tentunya kegiatan pembangunan jaringan tersebut oleh pihak PT. PLN (Persero) akan
memberikan dampak-dampak perubahan lingkungan social pada masyarakat di sepanjang
kegiatan pembangunan jaringan itu sendiri. Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
kegiatan tersebut antara lain meliputi 1. Perubahan nilai dan alih fungsi lahan, 2. Perubahan
vegetasi tumbuhan, 3. Perubahan pendapatan masyarakat.
Pada perubahan nilai dan alih fungsi lahan, terdapat 76,33 persen responden yang
menyatakan setuju terjadinya perubahan nilai dan alih fungsi lahan dengan alasan jika lahan
yang digunakan untuk kepentingan pemerintah. Mereka tidak terlalu merisaukan terhadap
penggantian nilai tanah mereka asal tidak terlalu merugikan, dan terjadinya alih fungsi lahan
Sedangkan pada perubahan vegetasi tumbuhan dalam kegiatan ini difokuskan pada jenis-jenis
tumbuhan (pohon) perkebunan yang produktif dengan kemungkinan mencapai ketinggian
lebih dari 9 meter akan mengalami penebangan. Karena jenis tanaman tersebut akan dapat
memasuki darah bebas saluran udara tegangan tinggi (SUTT) sesui Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 01.P/47/MPE/1992. Pendapat responden terhadap
perubahan vegetasi tumbuhan tersebut nampak pada table berikut:
No Katagori Jawaban F %
1 Setuju 32 32
2 Tidak tahu 20 20
3 Tidak Setuju 48 48
Jumlah 100 100
Sumber : Hasil pengolahan data lapngan 2005
Dari 100 orang responden terdapat 32,00 persen yang menyatakan setuju untuk terjadinya
penurunan jumlah vegetasi tumbuhan mereka, meskipun jenis tumbuhan mereka masih dalam
usia produktif dan memiliki nilai ekonomi. Adapun responden yang menjawab tidak tahu
sebanyak 20,00 persen dikarenakan mereka pada umumnya adalah responden yang tidak
memiliki jenis-jenis tanaman (pohon) yang produktif dan dapat mencapai ketinggian di atas
8,5 meter ( seperti pohon Karet, sonokeling dsb) serta yang berusaha di sektor pertanian
sawah. Sedangkan sebanyak 48,00 persen menyatakan tidak setuju terjadinya penurunan
jumlah vegetasi tumbuhan dikarenakan dengan berkurangan jumlah pohon yang masih
produktif dalam jumlah tertentu akan berakibat pada menurunya tingkat pendapatan mereka
per bulan secara permanent. Ketidak setujuan responden tersebut pada umumnya di sebabkan
oleh karena tanaman pohon mereka yang akan berada di bawang jaringan transmisi, masih
dalam masa produktif.
Untuk perubahan pendapatan masyarakat terutama pada individu masyarakat yang lahan
garapan terkena kegiatan pembangunan jaringan tersebut, terdapat sebesar 18,00 persen
responden yang menyatakan tidak masalah jika pendapatan mereka berkurang sebagai akibat
dari pembangunan jaringan transmisi yang melewati lahan mereka. Kelompok responden ini
pendapatan keluarganya tidak hanya menggantungkan pada hasil kebunnya. Ada juga sebesar
29,00 persen responden yang tidak berpendapat jika mereka mengalami penurunan
pendapatan dari hasil lahan perkebunan mereka, dikarenakan sebagian besar tidak memiliki
lahan perkebunan. Sedangkan sebanyak 53,00 persen responden yang menyatakan akan
bermasalah jika pendapatan mereka berkurang secara permanen. Hal ini dikarenakan selain
terjadinya penurunan jumlah populasi tumbuhan produksi yang menjadi sandaran hidup
mereka, juga perhitungan secara ekonomis dari tanamanya menjadi tidak menguntungkan lagi
bagi mereka.
316 PROSIDING
Perubahan Persepsi Sosial
Salah satu dampak sosial yang muncul dalam pembangunan jaringan transmisi ini antara lain
adanya persepsi (pemaknaan) dari masyarakat berupa kekhawatiran maupun ketakutan
terhadap dampak dari sebuah kegiatan atau usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan Persepsi
adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada
stimuli indrawi (sensory stimuli) (Jalaludin Rakhmat 1988:57)
Gambar : Diadopsi dari Model David Krech dan Richard S. Crutchfield 1977 dalam
Jalaludin Rakhmat 1988.
Disamping adanya faktor atensi dan sensasi dalam pembentukan persepsi, terdapat faktor
personal yang berasal dari dalam individu itu sendiri, serta faktor situasional yang berasal dari
luar diri individu yang ikut berpengaruh terhadap pembentukan persepsi. Oleh karena itu
persepsi memiliki kemungkinan akan berubah sesuai dengan faktor-faktor mana yang lebih
dominan mempengaruhi terbentuknya persepsi.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden yang diambil secara purposif sampling dari
masing-masing desa yang dilalui jaringan transmisi tersebut, hampir sebagian besar responden
menyatakan kekhawatirannya terhadap adanya dampak pembangunan Jaringan Trasnmisi
SUTT 150 kV dari Menggala Kabupaten Tulang Bawang Propnsi Lampung sampai ke
Gumawang Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur di propinsi Sumatera Selatan,
sebagaimana nampak pada table berikut ini
Terdapat sebesar 58,00 persen responden yang menyatakan tidak takut terhadap dampak
pembangunan jaringan transmisi ini, dapat disebabkan oleh kepasrahan mereka terhadap nasib
hidup serta pemilikan informasi yang sudah cukup lengkap terhadap tingkat keamanan sebuah
jaringan transmisi. Meskipun demikian tetap saja memerlukan pembinaan dan sosialisasi
secara simultan agar persepsi postifi mereka terhadap dampak tidak mengalami perubahan
yang drastis menjadi persepsi yang negative terhadap dampak pembangunan.
Sebagaimana tujuan utama dari studi ANDAL jaringan transmisi SUTT 150 kV Menggala –
Gumawang sebagai kegiatan pembangunan adalah memberikan rekomendasi pengelolaan
dampak lingkungan dengan optimalisasi dampak positif bagi masyarakat dan menekan sekecil
mungkin dampak negatifnya. Maka proses sosialisasi kegiatan pembangunan beserta
dampaknya harus selalu dilakukan baik dalam tahap pra konstruksi maupun tahap pasca
konstruksi (tahap operasi) sebagai upaya pengelolaan persepsi masyarakat terhadap dampak
pembangunan.
Perubahan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan dari persepsi yang positif
kea rah persepsi yang negative akan memberikan kecenderungan yang kuat bagi masyarakat
untuk menggangu proses pembangunan atau bahkan mampu menggagalkan realisasi
pembangunan itu sendiri.
KESIMPULAN
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan di atas antara lain :
1. Kegiatan penyebaran informasi tentang rencana pembangunan jaringan transmisi perlu
dilakukan agar tidak terjadi miss Communications maupun miss Perceptions
318 PROSIDING
2. Kegiatan pembangunan Jaringan transmisi SUTT 150 kV Menggala-Gumawang
sekecil apapun akan memberikan dampak positif maupun negative bagi masyarakat .
3. Perubahan lingkungan social akibat kegiatan pembangunan, tetap harus dioptimalkan
pada perubahan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4. Perlu dilakukannya pengelolaan terhadap persepsi masyarakat melalui sosialisasi dan
persuasi, agar tidak terjadi perubahan persepsi dari postifi menjadi negative.
5. Proses sosialisasi dan persuasi harus dilakukan untuk semua jenis kegiatan
pembangunan baik pada masa pra konstruksi maupun pasca konstruksi (tahap operasi)
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin Rakhmat, 1988, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi, Penerbit C.V Remaja
Karya, Bandung.
Kretch, D, dan R.S. Crutfield 1977, Perceiving The World: The Process and Effect of Mass
Communications, W. Schramm dan D.F Roberts, Editors, Urbana, University of
illionis Press.
Otto Soemarwoto. 2001. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Pujiwati Sajogyo, 1985, Sosiologi Pembangunan, Penerbit IKIP Jakarta - BKKBN Pusat,
Jakarta .
Hari Poerwanto. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Zulkarimen Nasution 2002, Komunikasi Pembangunan, pengenalan teori dan penerapan, PT.
Raja Grafindi Perkasa, Jakarta.