Tim Penyusun :
1. Prof. DR. Ir. Rahmatullah Rizieq, M. Si
2. DR. Ir. Agusalim Masulili, MP
3. Ir. Agus Suyanto, MMA
4. Sutikarini, SP, M. Sc
5. Donna Youlla, SP, MEM
6. Mustika, A, Md
Diterbitkan oleh :
Universitas Panca Bhakti Pontianak
Alamat :
Jalan Kom. Yos Sudarso
Telp. (0561) 780051, 772627 Fax. (0561) 774442
PO BOX 78113
Pontianak – Kalimantan Barat
KATA PENGANTAR
Buku prosiding tersebut memuat sejumlah artikel hasil penelitian dengan tema
Pengelolaan Dan Peningkatan Kualitas Lahan Sub-Optimal Untuk Mendukung
Terwujudanya Ketahanan Dan Kedaulatan Pangan Nasional (Pemanfaatan Biochar
Untuk Mendukung Pertanian Berlanjut) yang telah dilakukan oleh Bapak/Ibu dosen
UPB, UNITRI, UNRAM dan ABI (Asosiasi Biochar Indonesia), serta pihak lainnya
yang terkait.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan aktif sehingga Prosiding
Seminar Nasional ini dapat terselesaikan. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan,
memberikan manfaat bagi kita semua. Kami menyadari, dalam penyusunan yang
kami berikan, banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan, untuk itu kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Ttd
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
PERUBAHAN SIFAT-SIFAT KIMIA TANAH DAN HASIL PADI PADA LAHAN RAWA
PASANG SURUT DENGAN APLIKASI PEMBENAH TANAH
Junita Barus1 dan Novilia Santri1 ....................................................................................................... 106
ABSTRAK
Wapaupun ada kontroversi, banyak penelitian telah membuktikan bahwa biochar dapat memperbaiki kualitas tanah
dan meningkatkan hasil tanaman pertanian. Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa pengaruh biochar terhadap
perbaikan kualitas tanah dan hasil tanaman dapat bertahan lama. Kemampuan biochar untuk bertahan lama disebabkan
karena sebagian besar senyawa karbon dalam biochar berbentuk aromatik, sehingga tahan terhadap dekomposisi.
Kenyataan ini memberi harapan positif bagi petani dalam melakukan pengelolaan bahan organik tanah, karena pemberian
bahan organik tidak diperlukan setiap musim tanam sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan usaha taninya.
Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa dapat mengurangi kehilangan hara, dan juga meningkatkan efisiensi
pemupukan, terutama K dan N. Penurunan kkehilangan hara dan penigkatan efisiensi pemupukan dengan penambahan
biochar disebabkan adanya muatan negatif yang cukup besar pada biochar sehingga dapat menjerap kation, dalam hal ini
K+ dan NH4+. Dengan phenomena tersebut dalam artikel ini dibahas kemungkinan penggunaan biochar untuk pengelolaan
hara Nitrogen.
1.Pendahuluan
Memperhatikan phenomena pertanian di daeah Amazon, dan cepatnya proses
dekomposisi bahan organik di daerah tropis, para pakar ertanian tertarik untuk menggunakan
bahan organik tahan dekomposisi untuk pengelolaan bahan organik tanah pertanian (Lehman et
al., 2003). Bahan ini kemudian dikenal sebagai “biochar” atau sering juga diebut “agri char”.
Biochar, atau jika diterjemahkan secara bebas kedalam bahasa Indonesia sebagai “arang
organik” yaitu bahan padatan hasil pembakaran biomassa pada kondisi tanpa atau oksigen
terbatas. Pada umumya biochar dihasilkan dari proses pirolisis atau dapat juga dengan teknik
karbonasi. Dengan teknik pirolisis, disamping biochar, dihasilkan panas yang dapat digunakan
sebagai energy pembangkit listrik, dan asap cair (lihat Gambar 1). Asap cair dapat digunakan
untuk berbagai kepentingan, antara lain sbagai bahan pengawet makanan, penggumpal karet
alam dan pestisida organik.
1
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tergantung dari bahan baku dan teknik pembuatanya, sifat biochar sangat beragam.
Walaupun demikian, ada satu sifat yang relatif sama, yaitu semua biochar mengandung senyawa
carbón yang relatif tahan dekomposisi. Hal ini disebabkan karena senyawa karbon dalam biochar
sebagian besar berbentuk “aromatik“ yang bersifat tertutup, sedangkan dalam bahan organik
yang tidak di”arang”kan senyawa karbon didalamnya berbentuk alifatik dan bersifat terbuka
(Gambar 2)
Gambar 2. Bentuk senyawa karbon di dalam biochar (kiri), dan gambar kanan adalah bentuk
senyawa karbon di dalam bahan organik yang belum di”arang”kan.
Adanya senyawa karbon tahan dekomposisi inilah yang menarik minat para pakar
pertanian, karena dengan adanya senyawa karbon tahan dekomposisi maka pemberian bahan
organik tidak perlu dilakukan secara rutin. Bahkan dengan mengacu sifat “terra pretta”
diharapkan sekali pemberian dapat untuk puluhan atau bahkan ratusan tahun. Beberapa
penelitian (a.l. Islami et al., 2013; Sukartono et al., 2011) telah membuktikan bahwa, walaupun
belum mencapai puluhan tahun, pengaruh positif biochar dapat bertahan beberapa tahun setelah
penambahannya. Kenyataan ini akan membawa prospek yang sangat menguntungkan bagi
petani dalam melakukan pengelolaan bahan organik tanah karena mereka tidak lagi perlu
melakukan penambahan bahan organik stiap musim tanam. Hal ini berarti akan meningkatkan
efisiensi dan keuntungan usaha taninya. Disamping itu, biochar dapat mendorong terwjudnya
pertanian berlanjut, karena dengan fakta tersebut maka 4 kunci utama pertanian berlanjut, yaitu;
(1) keberlanjutan hasil, (2) pemanfaatan sumberdaya terbarukan, (3) keuntungan ekonomis
dapat diwujudkan, dan (4) tidak menimbulkan masalah lingkungan.Di samping itu, para pakar
lingkungan berharap bahwa dengan tersimpannya senyawa karbon dalam tanah dalam waktu
yang lama, biochar daat digunakan untuk mengurangi laju pemanasan global (Lehman.2007).
Terlepas dari kontroversi yang muncul (Ernsting and Smolker, 2009; Senjen,2009),
banyak penelitian telah membuktikan bahwa pemberian biochar dapat memperbaiki kualitas
tanah (Chan et al., 2007; Islami et al., 2011; Liang et al., 2006; Yamato et al., 2006) dan
meningkatkan hasil berbagai tanaman pertanian, antaralain padi (Asai et al., 2009; Masulili et al.,
2010), Jagung (Nur et al.,2014; Sukartono et al., 2011; Yamato et al., 2006), ubikayu (Islami et
al., 2011), kedelai (Tagoe et al., 2008). Dalam hal perbaikan kualitas tanah, disamping terjadinya
perbaikan sifat kimia, sifat fisika tanah dan biologi tanah, biochar juga mampu mempengaruhi
ketersediaan unsur hara. Biochar memang bukan pupuk, tetapi biochar mengandung beberapa
unsur hara yang cukup tinggi, dan dapat mempengaruhi kehilangan unsur hara, antara lain
nitrogen dan Kalium (Widowati et al., 2014). Dalam artikel ini akan dibahas penggunaan
biochar untuk pengelolaan hara nitrogen.
2
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Sebagaimana sumber bahan organik yang lain, beberapa penelitian baik yang dilakukan
di daerah sub tropis seperti Australia, pemberian biochar di daerah tropis juga terbukti dapat
meningkatkan hasil beberapa tanaman semusim (Tabel 2).
Indrayatie dan Utomo (2016) juga menunjukkan bahwa pemberian biochar juga dapat
memperbaiki pertumbuhan bibit tanaman coklat
3
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tentu saja kenaikan hasil tanaman ini disebabkan oleh berbagai faktor yang berbeda;
peningkatan hasil tanaman padi gogo pada penelitian Asai et al. (2009) mungkin karena adanya
perbaikan sifat fisik tanah, terutama peningkatan ketersediaan air tanah. Chan et al. (2007)
menjelaskan peningkatan hasil tanaman pada penelitiannya disebabkan karena adanya penurunan
kekuatan tanah dan perbaikan penyediaan hara.Perbaikan sifat kimia tanah, seperti halnya
peningkatan pH (Tabel 3) pada tanah masam, peningatan KTK tentunya juga mempunyai
kontribusi terhadappeningkatan hasil tanaman. Demikian pula, adanya perbikan aktivitas biology
tanah seperti ditunjukkan oleh beberapa peneliti (a.l. Rondon et al., 2007)
Data yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umumnya biochar bersifat
basa, dan oleh banyak peneliti telah dibuktikan bahwa penggunaan biochar dapat menngkatkan
pH tanah (Tabel 3), Disamping meningkatkan pH tanah, adanya muatan negatif yang tinggi
pada biochar diharapkan dapat menjerap Al dan dengan demikian akan memperkecil kelarutan
Al. Jika ide ini dapat menjadi kenyataan, maka biochar akan sangat membantuuntuk perbaikan
tanah masam karena dapat menggantikan kapur atau dolomit yang pada umumnya sumbernya
derada jauh dari lahan masam.
Perlu diingat bahwa biochar bukanlah pupuk,tetapi bahan pembenah tanah yang
berbentuk sumber senyawa organik. Walaupun demikian, karena berasal dari biomassa maka
tidak berlebihan jika berharap bahwa biochar juga mengandung sejumlah unsur hara esensiel.
Memang nitrogen dalam pembakaran akan hilang karena terurai dan menguap. Tetapi basa dan
logam yang terkandung dalam biomassa, walaupun teruari tetap berada di dalam biochar.
Dengan demikian maka dapat merupakan hal yang logis bahwa beberapa peneliti telah
menunjukkan bahwa pemberian biochar dapat meningkatkan kandungan hara P dan K di dalam
tanah (Tabel 4 dan Tabel 5).
4
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 5. Pengaruh bahan amendemen organic terhadap kandungan C-organik, N, P dan K saat
panen jagung ke satu dan ke dua (Widowati et al., 2012)
C-Organik N P tersedia K dapat ditukar
Perlakuan (%) (%) (ppm) (cmol kg-1)
1st 2nd 1st 2nd 1st 2nd 1st 2nd
Control 1.39 a 1.20 a 0.11 a 0.09 a 21.56 a 19.45 a 0.67 a 0.69 a
23.54
N- tanpa amendemen 1.41 a 1.15 a 0.18ab 0.17 ab 22.54 a ab 0.75 a 0.74ab
N+kotoran ayam (KA) 2.28 b 1.98ab 0.25 b 0.20 b 36.25 b 26.28 b 1.16ab 1.05ab
N+kompos sampah 0.21
kota(SK) 2.46 b 2.06 b 0.29 b bc 34.76 b 27.78 b 1.45bc 1.19bc
N+biochar KA 3.14 d 3.14 c 0.24 b 0.39 c 40.26 b 29.45 b 1.98 c 2.18 c
N+biochar SK 3.21 d 3.18 c 0.21 b 0.31 c 38.76 b 30.04 b 2.01 c 2.14 c
Sebagaimana telah dibahas dimuka, kenaikkan hasil tanaman juga mungkin terjadi
Karena adanya perbaikan sifat fisik tanah. Perbaikan sifat fisik karena pemberian biochar telah
dibuktikan oleh beberap peneliti (Tabel 6). Beberapa sifat fisik yang mengalami perbaikan
karena pemberian biochar antara lain, penurunan Berat Isi tanah, penurunan kekuatan tanah dan
peningkatan kemampuan air tersedia. Peningkatan kandungan air tersedia terjadi sebagai akibat
adanya perbaikan struktur tanah sebagaimana telah dibuktikan oleh Islami et al. (2011)
5
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Perbaikan kesuburuan biologi tanah dan aktivitas organismo tanah juga telah
ditunjukkan oleh para pakar, antara lain bakteri rhizobium (Rondon et al., 2007; Tagoe et al.,
2008), dan mycorrhiza (Warnock et al., 2007).
Hasil penelitian Widowati et al., (2012) yang disajikan pada Tabel 5 juga menunjukkan
bahwa sampai panen jagung ke dua kandungan bahan organik tanah yang diberi biochar masih
tetap tinggi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Sukartono et al. (2011) sebagai mana disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1. Stabilitas C tanah pada berbagai perlakuan sumber bahan organik (Sukartono et al.,
2011).
Karena senyawa C-organik di dalam biochar tahan terhadap dekomposisi dan
demineralisasi, maka diharapkan pengaruh positif biochar terhdap kenaikan hasil tanaman dapat
bertahan untuk waktu yang lama. Hasil penelitian Islami et al. (2011) yang disajikan dalam
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampai panen jagung tahun ke 3, pemberian biochar masih
memberi pengruh yang nyata. Sedangkan untuk pupuk kandang pengruh positifnya hanya
bertahan satu tahun, sehingga untuk mendapatkan hasil yang sama dengan biochar pemberian
pupuk kandang harus diberikan setiap kali musim tanam.
6
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 6. Pengaruh pemberian bahan amandemen organic terhadap hasil tanaman jagung (Islami
et al. 2011b)
Perlakuan Hasil jagung (t/ha)
2009 2010 2011
Jagung+cassava Kontrol 3.06 a A 2.73 a B 2.06 a C
Jagung+cassava FYM 3.62 bc A 2.69 a B 2.15 a C
Maize+cssava FYM 4.06 c A 4.13 c A 3.89 c A
biochar
Jagung monokultur Kontrol 4.09 cd A 3.62 b B 3.06 b C
Jagung monokultur FYM 4.56 d A 3.87 bc B 3.19 b C
Jagung monokutur FYM 4.17 d A 3.99 bc B 4.06 c C
biochar
7
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tetapi perlu dipahami bahwa pengaruh biochar terhadap pencucian nitrogen tentu tidak
sesederhana mekanisme diatas. Perlu dipikirkan pula bagaimana pengaruh perbaikan sifat fisik
tanah akibat pemberian biochar. Misalnya perbaikan porositas bukankah akan meningkatkan
konduktivitas hidraulik tanah danmestinya akan meningkatkan pencucin. Tetapi sebaliknya
peningkatan kapasitas menyimpan air tanah kan memperkecil pencucian. Jadi masih banyak
yang perlu dipelajari, tetapi satu fakta yang telah terbukti bahwa biochar (dengan persyaratan
tertentu) dapat mengurangi kehilangan N karena pencucian. Fakta ini telah membuka
kemungkinan untuk menggunakan biochar sebagi “carrier” nitrogen.
Tabel 7. Pengaruh biochar terhadap penyerapan N dan efisiensi pemupukan (Utomo& Islami,
2013)
N dalam N dalam Penyerapan Efisiensi
- batang biji N (kg pemupukan
Bahan amandemen dosis (kg ha
1 (%) (%) ha-1) (%)
)
Tanpa Biochar 0 0.65 a 0.98 ab 37.73 a -
45 0.72 ab 1.05 c 53.29 b 34.57 a
90 0.74 ab 1.02 bc 75.06 c 41.47 ab
180 0.86 c 1.10 d 91.08 d 29.63 a
Diberi biochar 0 0.70 ab 0.96 a 56.54 b -
45 0.76 b 0.98 ab 74.57 c 81.86 c
90 0.86 c 1.14 d 108.37 e 78.49 c
180 0.95 d 1.13 d 119.37 e 45.35 b
Angka rata rata yang didampingi hurup sama pada kolom sama tidk berbeda nyata (p=0,05)
8
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
3,5
3 3-3,5
Yield (t ha-1)
2,5 2,5-3
2 2-2,5
1,5
1,5-2
Biochar (t ha-1)
1
60 1-1,5
0,5 30
0 0,5-1
15
0 0-0,5
45
90 0
135
180
N (kg ha-1)
Gambar 2. Respon biomassa tanaman jagung terhadap pemberian N dan biochar (Widowati et
al., 2012)
Dari model tersebut dapat diperhitungkan bahwa untuk menghasilkan 3,2 t/ha
biomassa, pada tanah yang diberi biiochar 15 t/ha hanya memerlukan 90 kg N/ha, sedangkan
pada tanah yang tidak diberi biochar membutuhkan 160 Kg N/ha. Denga demikian terjadi
penghematan pemakaian pupuk lebih dari 70 %.
Hasil penelitian Utomo dan Islami (2013) yang disajika pada Gambar 3 menujukkan
bahwa hasil jagung (tanaman ke dua) pada tanah yang tidak diberi biochar lebih rendah
dibandingkan tanah yang diberi biochar dan masih meningkat secara linear sampai dosis N 180
kg N/ha. Pada tanah yang diberi biochar hasil maksimum diperoleh pada dosis sekitar 135 kg
N/ha. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil tanpa biochar pada dosis N tertinggi (180
kg N/ha) sekalipun. Pada perlakuan tanpa pupuk, tanah yang diberi biochar juga memberikan
hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanpa bichar. Hal ini disebabkan adanya tabungan N pada
tanaman jagung sebelumnya, sehagai hasil berkurangnya pencucian N pada tanah yang diberi
biochar.
8
y = -0.0001x2 + 0.042x + 3.156
R² = 0.990
Gram Yield Mg ha-1
4 y = 0,0136x + 2,65
R² = 0,9629
2
0
0 45 90 135 180
Nitrogen Rate Kg N ha-1
Gambar 3.Hubungan antara dosis N dan hasil jagung pada tanah diberi biochar (▲) dan
tanah tanpa biochar (♦)
9
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
4. Kesimpulan
Walaupun masi hada kontroversi, hasil hasil penelitian yang dibahas dalam makalah ini
membuktikan bahwa biochar dapat memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan hasil hasil;
dan pengaruhnya dapat bertahan lama. Kemampuan biochar untuk bertahan lama disebabkan
karena sebagian besar senyawa karbon dalam biochar berbentuk aromatik, sehingga tahan
terhadap dekomposisi. Kenyataan ini memberi harapan positif bagi petani dalam melakukan
pengelolaan bahan organik tanah, karena pemberian bahan organik tidak diperlukan setiap
musim tanam sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan usaha taninya.
Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa biochar dapat mengurangi
kehilangan hara, dan juga meningkatkan efisiensi pemupukan, terutama K dan N. Penurunan
kkehilangan hara dan penigkatan efisiensi pemupukan dengan penambahan biochar disebabkan
adanya muatan negatif yang cukup besar pada biochar sehingga dapat menjerap kation, dalam
hal ini K+ dan NH4+. Dengan phenomena tersebut maka penggunaan biochar dapat digunakan
untuk pengelolaan hara Nitrogen.
REFERENSI
Asai, H., Samson, B.K., Stephan, H.M., Songyikhangsuthor, K., Homma, K., Kiyono, Y., Inoue, Y., Shiraiwa,
T., & Horie, T. (2009). Biochar amendment techniques for upland rice production in Northern Laos 1.
Soil physical properties, leaf SPAD and grain yield. Field Crops Research, 111, 81–84.
Chan, K.Y., van Zwieten, B.L., Meszaros, I., Downie, D., & Joseph, S. (2007). Agronomic values of
greenwaste biochars as a soil amendments. Australian Journal of Soil Research, 45, 437–444.
Endriani, Sunarti & Ajidirman. 2013. Pemanfaatan biochar cangkang kelapa sawit sebagai soil amandement
Ultisol Sungai Bahar, Jambi. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 15:39-46
Dempster, D.N., Jones, D.L. & Murphy, D.M. Clay and biochar amendments decreased inorganic but not
dissolved organic nitrogen leaching in soil. Soil Res. 2012, 50, 216–221.
Ding, Y., Liu, Y.X., Wu, W. X., Shi, D. Z. & Khong, Z.K. 2010. Evaluation of biochar effects on nitrogen
retention and leaching in multi-layered soil columns. Water Air Soil Pollut 213: 47-55
Ernsting, A., & Smolker, R. (2009). Biochar for climate change mitigation: Fact or fiction. [Online] Available:
www.biofuelwatch.org.uk/docs/biocharbriefing.pdf. February 2009. Retrieved via Internet Explorer
Ver. 6, 2 October 2009.
Indrayatie, E.R. & Utomo, W.H. 2016. Pengaruh pemberian biochar dan kompos kulit kakao terhadap kualitas
tanah dan pertumbuhan bibit kakao. Makalah disampaikan pada Kongres 3 dan Seminar Nasional
Asosiasi Biochar Indonesia (ABI). Universitas Panca Bhakti, Pontianak, 2-4 Mei 2016.
Islami. T., Guritno,B., Basuki, N. & Suryanto. A. 2011a. Biochar for sustaining productivity of cassava based
cropping systems in the degraded lands of East Java, Indonesia. J. Tropical Agriculture 49: 40-46.
Islami, T. Guritno, B. Nur Basuki , N. & Suryanto,, A. 2011b. Maize yield and associated soil quality changes
in Cassava + Maize intercropping System after 3 years of biochar application. J. Agric. Food. Tech. 1:
112-115
Islami,T. Kurniawan, S. & Utomo, W.H. 2013. Yield stability of cassava (Manihot esculenta Crantz) planted in
intercropping system after 3 years of biochar aplication. American-Eurasian Journal of Sustainable
Agriculture, 7(4): 306-312, 2013
Iswaran. V., Jalihri, K. S. & A. Sen, A. 1980. Effect of charcoal, coal and peat on the yield of moong, soybean
and pea Soil Biol. Biochem. 12: 191-192
Kameyama, K., Miyamoto, T., Shiono, T., & Shinogi, Y. 2012. Influence of sugarcane bagasse-derived biochar
application on nitrate leaching in calcaric dark red soil. J. Environ. Qual. 41: 1131–1137.
10
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Lehman, J. 2007. Biochar for mitigating climate change: carbon sequestration in the black. Forum Geokol 18:
15-17
Lehman, J., J.P. da Silva Jr., C. Steiner, T. Nehls, W. Zech & B. Glaser, 2003. Nutrient availability and leaching
in an archaeological Anthrosol and a Ferralsol of the Central Amazon basin: fertilizer, manure and
charcoal amendments. Plant and Soil., 249: 343-357.
Liang, B., Lehmann, J., Kinyangi, D., Grossman, J., O’Neill, B., Skjemstad, J.O., Thies, J., Luizao, F.J.,
Peterson, J., & Neves, E.G. 2006. Black carbon increases cation exchange capacity in soils. Soil Sci.
Soc. Am. J., 70, 1719–1730.
Parliament of`Australia. 2010. Carbon sequestration. www.aph.gov.au/About_Parliament/
Parliamentary_Departments/Parliamentary_Library/Browse_by_Topic/ClimateChangeold/responses/m
itigation/carbon.
Nur, M.S.M., Islami, T., Handayanto, E., Nugroho, W.H. & Utomo, W.H. 2014. The use of biochar fortified
compost on calcareous soil of East Nusa Tenggara, Indonesia: 2. Effect on the yield of maize (Zea Mays
l) and phosphate absorption. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture, 8: 105-111.
Rondon, M.A., Lehmann, J., Ramirez, J. & Hurtado. M. 2007. Biological nitrogen fixation by common beans
(Phaseolus vulgaris L.) increases with bio-char additions. Biology and Fertility of Soils 43: 699-708.
Senjen, R. (2009). Biochar, another dangerous techno fix. Friend of Earth Australia. [Online] available:
www.foe.au.org. Retrieved via Internet Explorer Ver. 6, 2 October 2009.
Sukartono, Utomo, W.H. Kusuma, Z. & Nugroho, W.H. 2011. Soil fertility status, nutrient uptake, and maize
(Zea mays L.) yield following biochar application on sandy soils of Lombok, Indonesia. J. Tropical
Agriculture 49: 47-52.
Tagoe, S.O., Takatsugu Horiuchi, T., & Matsui, T. 2008. Effects of carbonized and dried chicken manures on
the growth, yield, and N content of soybean. Plant Soil, 306, 211–220.
Utomo, W.H. & Islami, T. 2013. Nitrogen fertilizer requirement of maize (Zea mays L.) on biochar-treated
soil.Proc. worksop: “Biochar for future food security: Learning from Experiences and Identifying
Research Priorities” . IRRI- CFORD, Bogor, 4-5, 2013
Widowati, Utomo, W.H., Soehono, L.A, & Guritno, B. 2011. Effect of biochar on the release and loss of
nitrogen from urea fertilization. J. Agric. Food Technol. 1: 127–132.
Widowati, Utomo, W.H., Soehono, L.A. & Guritno, B. 2012. The effect of biochar on the growth and N
fertilizer requirement of maize (Zea mays L.) in green house experiment. Journal of Agricultural Science
4: 255-260
Widowati, Asnah, A. & Utomo, W.H. 2014. The use of biochar to reduce of nitrogen and potassium leaching
from soil cultivated with maize. Journal of Degraded Land and Mining Management 2: 211 – 218.
Yamato, M., Okimori,Y., Wibowo, I.F., Anshori, S., & Ogawa, M. 2006. Effects of the application of charred
bark of Acacia mangium on the yield of maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in
South Sumatra, Indonesia. Journal Soil Science and Plant Nutrition, 52, 489–495
Yao, Y., Gao, B., Zhang, M., Inyang, M., & Zimmerman, A.R.2012. Effect of biochar amendment on sorption
and leaching of nitrate, ammonium, and phosphate in a sandy soil. Chemosphere 89:1467–1471.
11
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Pengawetan perlu dilakukan karena banyaknya bahan pangan segar yang mudah rusak. Penggunaan asap cair
sudah mulai dikembangkan karena aman bagi kesehatan dan lingkungan. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan
asap cair dapat berasal dari limbah pertanian yang mengandung arang. Agar mendapatkan asap cair yang berkualitas dan
aman dikonsumsi maka diperlukan suatu alat yang mempunyai kinerja yang optimal dan dalam penelitian ini direkayasa alat
pembuat asap cair tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan uji kinerja alat penghasil asap cair dan mengetahui
kualitas asap cair yang dihasilkan.
Pada penelitian ini melakukan proses pirolisis dan pemurnian asap cair dari tempurung kelapa dan tongkol jagung
menggunakan alat pirolisis, destilasi dan kolom filtrasi pada kondisi operasi optimum kemudian di analisa menggunakan
GC/MS dan LC/MS sehingga dapat lebih aman digunakan sebagai bahan pengawet.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya rendemen asap cair dari tempurung kelapa tanpa penjemuran dan
melalui penjemuran adalah 36% dan 28,8% sedangkan dari tongkol jagung adalah 61,2% dan 30,4%. Arang sisa
pembakaran dari tempurung kelapa 33% dan 50% sedangkan dari tongkol jagung adalah 16,7% dan 33,3%. Jumlah
komponen yang hilang dari tempurung kelapa adalah 31 % dan 21,2% sedangkan dari tongkol jagung adalah 22,1% dan
36,3% %. Kinerja alat asap cair dari tempurung kelapa adalah 4,37 g/(jam.m) dan 5,59 g/(jam.m) sedangkan dari tongkol
jagung adalah 7,42 g/(jam.m) dan 7,37 g/(jam.m). Kualitas asap cair yang dihasilkan untuk fenol dari tempurung kelapa dan
tongkol jagung adalah 3,04 % dan 1,38 %. Kualitas keasaman adalah 7,3 % dan 1,3 %. Nilai pH adalah 1,41 dan 2,47.
PENDAHULUAN
Saat ini banyak produsen yang sering meresahkan masyarakat adalah banyaknya penggunaan bahan
kimia sebagai bahan pengawet seperti senyawa formalin (sebagai pengawet mayat), boraks, dan sebagainya
untuk tujuan mencari keuntungan karena praktis dan mudah didapat. Bahan-bahan kimia tersebut yang dapat
membahayakan kesehatan manusia, seperti penyebab munculnya penyakit kanker dan kematian bagi para
konsumen.
Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengawetkan bahan pangan, melalui
pemanfaatan limbah pertanian seperti tempurung kelapa dan tongkol jagung. Pemanfaatannya dapat digunakan
sebagai bahan pengawet makanan yang alami sekaligus menjawab permasalahan tentang pengawet makanan
yang aman bagi masyarakat. Pemanfaatan tempurung kelapa dan tongkol jagung dapat dibuat sebagai asap cair.
Asap cair digunakan sebagai pengawet makanan karena mengandung senyawa asam organik, fenol, dan
karbonil yang merupakan senyawa fungsional dalam pengawetan bahan antara lain untuk menghambat
pertumbuhan mikroba selain itu lebih bersahabat dengan lingkungan, karena tidak menimbulkan pencemaran
udara.
Penggunaan asap cair sudah mulai dikembangkan karena aman bagi kesehatan dan lingkungan. Pada
peneliti menurut Aulia S.A (2011) berpendapat bahwa kapasitas alat dengan bahan baku tempurung kelapa
paling tinggi yaitu 1,0838 kg/jam sedangkan tongkol jagung sebesar 0,9091 kg/jam. Rendemen yang didapat
yaitu tempurung kelapa 31,85% dan tongkol jagung 33%. Penelitian asap cair juga pernah dilakukan Sari R.N
et al (2007) dengan kondensor sepanjang 1,2 m dan lama waktu pirolisis 8 jam diperoleh kinerja alat asap cair
dengan bahan baku serbuk gergaji kayu jati sabrang sebesar 6,89 g/(jam.m) dan rendemen asap cair adalah
38,0%; arang 32,0% sedangkan komponen yang hilang sebesar 30,0%. Pada peneliti Ernita Y (2011)
menyatakan bahwa kinerja alat sebesar 1,25 kg/jam. Agar mendapatkan asap cair yang berkualitas dan aman
dikonsumsi maka diperlukan suatu alat yang mempunyai kinerja yang optimal dan dalam penelitian ini
direkayasa alat pembuat asap cair tersebut. Penelitian ini menggunakan bahan baku yang berasal dari limbah
pertanian yaitu tempurung kelapa dan tongkol jagung. Menurut hasil penelitian Anggraini SPA (2014) bahwa
12
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
untuk mendapatkan asap yang baik sebaiknya menggunakan kayu keras seperti tempurung kelapa dan tongkol
jagung sehingga diperoleh produk asapan yang baik dengan rendemen yaitu 26,35% dan 27,58%.
Asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu yang mengandung sejumlah besar senyawa
yang terbentuk oleh proses pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan
menggunakan suhu tinggi melalui proses pembakaran dalam ruangan tertutup atau hampa udara dengan
menggunakan alat penghasil asap cair. Alat penghasil asap cair merupakan alat yang digunakan untuk
memproduksi asap cair yang terdiri dari tabung pirolisis, pipa penyalur asap, penangkap tar, kondensator, dan
penampung asap cair. Dalam penelitian ini akan dilakukan uji kinerja alat yang menyangkut rendemen asap
cair, rendemen arang, komponen yang hilang, dan kinerja alat penghasil asap cair serta uji kualitas asap cair
dengan alat gas kromatografi spectrometri massa (GC/MS) dan gas kromatografi spectrometri liquid ( LC/MS).
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan uji kinerja alat penghasil asap cair dan mengetahui kualitas asap
cair yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan bahan baku yaitu tempurung kelapa dan tongkol jagung. Bahan bakar pada
proses pirolisis ini digunakan adalah gas elpiji. Bahan- bahan kimia yang digunakan untuk karakterisasi asap cair
antara lain larutan NaOH, KI, Na2S203, kanji, HCl pekat, metanol dan aquades. Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah alat reaktor pirolisis dan alat destilasi yang dilengkapi dengan kolom filtrasi zeolit aktif dan
kolom filtrasi karbon aktif. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
eksperimental laboratorium.
Peralatan untuk analisa hasil asap cair menggunakan antara lain pH meter merk Waterproof, Erlenmeyer
bertutup, termometer, botol pisah, perangkat titrasi, dan peralatan gelas yang umum terdapat di laboratorium
kimia, sedangkan peralatan utama yang digunakan adalah spektrometer Gas Chromatography and Mass
Spectrometri (GCMS) merk Hewlett Packard GC 6890 MSD 5973 yang dilengkapi data base sistem
Chemstation dan LCMS (Liquid Chromatography Mass Spectrometri) merk Shimadzu dengan kolom HP5
panjang 30 meter.
Pelaksanaan Penelitian
Mula-mula tempurung kelapa dan tongkol jagung dibersihkan dan dicacah dengan ukuran 6cm x 6cm,
selanjutnya dijemur dan ditimbang 3 kg kemudian dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis, dipanasi dengan suhu
yaitu 250 ºC selama 4 jam, akan diperoleh 3 fraksi yaitu fraksi padat berupa arang, fraksi berat berupa tar, dan
fraksi ringan berupa asap dan gas methane. Dari fraksi ringan kita alirkan ke pipa kondensasi sehingga diperoleh
asap cair sedangkan gas methane tetap menjadi gas tak terkondensasi (bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar)
Kemudian melakukan proses pemurnian. Proses tersebut dapat dilakukan dengan proses destilasi. Asap cair yang
diperoleh dari kondensasi asap pada proses pirolisis diendapkan lebih dahulu satu minggu kemudian cairan diatas
kita ambil untuk disaring dan dimasukkan ke dalam alat destilasi pada suhu sekitar 150 ºC, kemudian dilewatkan
proses filtrasi destilat dengan zeolit aktif. Caranya dengan mengalirkan asap cair distilat ke dalam kolom zeolit
aktif sehingga diperoleh filtrat asap cair yang benar-benar aman dari zat berbahaya seperti benzopyrene.
Kemudian melakukan proses filtrat zeolit aktif dengan karbon aktif dengan cara filtrat dari filtrasi zeolit aktif
dialirkan ke dalam kolom yang berisi karbon aktif sehingga filtrat yang kita peroleh berupa asap cair dengan bau
asap yang ringan dan tidak menyengat, maka sempurnalah asap cair sebagai bahan pengawet alami yang aman.
Parameter kualitas pada asap cair yaitu meliputi penetapan pH, total fenol, kadar asam dan benzo (A)pyrene.
Parameter kinerja alat asap cair yaitu melalui penetapan persentase asap cair, persentase arang, komponen yang
hilang dan kapasitas alat/kinerja alat.
Analisis Hasil Penelitian
Selanjutnya, dianalisis jenis komponen kimia penyusun asap cair dengan teknik GCMS menggunakan
kolom HP Ultra 2, temperatur oven 280 °C/10 menit,injeksi 250 °C, dan interface 280 °C, gas pembawa helium,
laju alir 0,6 µL/menit, dan volume injeksi I µL dan kandungan benzo(a)pyrene dianalisis dengan LCMS merk
13
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Shimadzu dengan kolom HP5 panjang 30 meter. Detektor yang digunakan Flame Ionozation Detector (FID)
dengan suhu 270 ºC, suhu injektor 260 ºC dan suhu kolom awal 50 ºC dan akhir 250 ºC dengan kenaikan 7,5 ºC
/menit. Gas pembawa adalah helium dengan kecepatan alir 40 ml/menit pada tekanan 60 KPa. Kecepatan kertas
adalah1 cm/menit dan banyaknya injeksi 0,08 µl serta pH meter merk Waterproof.
50,0
40,0
Tempurung Kelapa
30,0
Tongkol Jagung
20,0
10,0
0,0 Tanpa
Melalui Penjemuran
Penjemuran
Asap cair yang dihasilkan berwarna merah kecoklatan. Total asap cair yang tertampung (rendemen) dari
tempurung kelapa tanpa penjemuran (basah) dan melalui penjemuran (keri-ng) adalah 36% dan 28,8%
sedangkan tongkol jagung sebesar 61,2% dan 30,4%. Rendemen asap cair tempurung kelapa pada keadaan
basah lebih sedikit daripada tongkol jagung, hal ini karena tongkol jagung memiliki kadar air lebih besar yaitu
9,6% dari pada tempurung kelapa yaitu 8,0% sehingga menyebabkan persen kondensat yang didapatkan pada
tongkol jagung lebih besar. Hal ini disebabkan pada saat pembakaran berlangsung, kandungan air pada bahan
akan ikut menguap pada suhu 1000C dan mengalami kondensasi ketika uap air melalui kondensor sehingga
meningkatkan jumlah kondensat asap cair yang dihasilkan. Rendemen asap cair tempurung kelapa pada keadaan
lebih kering juga lebih sedikit yaitu 61,2 daripada tongkol jagung yaitu 30,4. Hal ini disebabkan karena kadar air
yang terkandung di dalam tempurung kelapa maupun tongkol jagung akan lebih banyak berkurang karena proses
penguapan kadar air saat proses penjemuran bahan baku. Perbedaan jumlah rendemen distilat asap disebabkan
oleh semakin tinggi kandungan air dalam bahan baku maka semakin tinggi pula jumlah rendemen distilat air
yang dihasilkan. Perbedaan rendemen asap cair lebih disebabkan oleh jenis kayu yang memiliki kadar lignin,
selulosa yang bervariasi.
Cairan, gas dan arang diperoleh dengan pirolisis. Cairan memiliki kelembaban tinggi yang berasal dari
kelembaban asli dan air yang dihasilkan, dan itu merupakan campuran air dan bahan organik polar nilai.
Hubungan antara viskositas dan nilai pemanasan cairan (12,5-21 MJ/Kg) ditunjukkan pada Gambar 1.
14
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
tinggi pada proses pembakaran menghasilkan viskositas rendah dan nilai pemanasan yang lebih rendah. Gas
pirolisis memiliki banyak CO2, CO, H2, Cl-5hidrokarbon sebagai gas yang mudah terbakar.
Komponen kimia utama dari biomassa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Gambar 2
menunjukkan komposisi yang berubah selama pirolisis. Selulosa, hemiselulosa dan lignin terdekomposisi seiring
dengan kenaikan suhu.
15
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
% Arang
60
50
40
% Arang
30 Tempurung Kelapa
20 Tongkol Jagung
10
0
Tanpa Penjemuran Melalui Penjemuran
Grafik 2. Hasil Persentase Arang dari Proses Pirolisis dalam kondisi tanpa
penjemuran dan melalui proses penjemuran dari tempurung kelapa
dan tongkol jagung
Pada persentase arang dari tempurung dalam keadaan basah lebih besar daripada tongkol jagung, hal ini
dikarenakan kandungan air yang terdapat pada tempurung lebih sedikit dari pada tongkol jagung sehingga hasil
residu dari sisa pembakaran akan tersisa persentase arang yang lebih besar. Persentase arang dari tempurung
kelapa pada keadaan kering lebih besar daripada tongkol jagung, hal ini disebabkan karena pada keadaan proses
penjemuran kandungan air yang terdapat pada tempurung lebih banyak kadar air yang berkurang sehingga
terdapat persentase arang tempurung kelapa lebih besar dengan adanya proses pemanasan sehingga terjadi proses
kondensasi.
Pada hasil komponen yang hilang dapat ditunjukkan di dalam Grafik 3 berikut di bawah ini.
30
Tempurung
Hilang
20 Kelapa
Tongkol Jagung
10
0
Tanpa Melalui
Penjemuran Penjemuran
Jenis Bahan Baku
Grafik 3. Hasil Komponen yang Hilang dari Proses Pirolisis dalam kondisi
penjemuran dan melalui proses penjemuran dari tempurung kelapa
dan tongkol jagung
Pada Grafik 3 menunjukkan hasil komponen yang hilang tempurung kelapa tanpa penjemuran (basah)
dan melalui penjemuran sebesar 31 dan 21,2 sedangkan tongkol jagung sebesar 22,1 dan 36,3. Hal ini disebabkan
karena pada proses pirolisis berlangsung banyak asap yang keluar melalui tempat penampung tar dan tempat
penampung asap cair yang keluar dari kondensor.Selain itu banyak komponen yang hilang saat proses
penyaringan dan proses redestilasi karena terjadinya heat loss.
16
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1. Besarnya Nilai pH, Fenol dan Keasaman (Asam Asetat) Asap Cair dari
Tempurung Kelapa dan Tongkol Jagung melalui proses penjemuran pada grade 1.
Keasaman Benzo(A)pyrene
No Bahan Baku Fenol (Asam Nilai pH (ppb)
Asetat)
1 Tempurung Kelapa 3,04 % 7,3 % 1,41 Tidak terdeteksi
2 Tongkol Jagung 1,38 % 1,3 % 2,47 Tidak terdeteksi
Kadar Fenol
Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair.
Kadar fenol asap cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa menunjukkan kadar tertinggi 3,04% dibandingkan
dengan tongkol jagung (1,38 %). Hasil pirolisis lignin akan menghasilkan senyawa fenol. Senyawa ini berperan
dalam pemberi aroma dan sebagai antioksidan. Tingginya kadar fenol asap cair tempurung kelapa memberikan
indikasi asap cair sangat baik digunakan sebagai bahan pengawet dan penghambat kerusakan yang disebabkan
karena oksidasi lemak.
Kadar Keasaman (Asam Asetat)
Kadar asam merupakan salah satu sifat kimia yang menentukan kualitas dari asap cair yang diproduksi.
Asam organik yang memiliki peranan tinggi dalam asap cair adalah asam asetat. Asam asetat terbentuk sebagian
dari lignin. Kadar asam asetat asap cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa lebih besar 7,3 % jika
dibandingkan dengan tongkol jagung (1,3 %). Asam asetat ini tergolong senyawa asam yang mempengaruhi pH
asap cair dan citarasa serta umur simpan produk asapan sekaligus mempunyai peranan sebagai anti bakter
(Girard, 1992). Senyawa-senyawa asam ini merupakan hasil pirolisis dari selulosa (Vivas, 2006).
Nilai pH Asap Cair
Pengukuran pH dilakukan terhadap asap cair yang telah dipisahkan dari tar dengan menggunakan pH
meter. Hasil pengukuran keasaman (pH) asap cair yang dihasilkan dari tempurung kelapa lebih kecil 1,41
dibandingkan dengan tongkol jagung (2,47). Hal ini menunjukkan bahwa asap cair yang dihasilkan bersifat
asam. Sifat asam ini berasal dari senyawa-senyawa asam yang terkandung dalam asap cair terutama asam asetat
dan juga kandungan asam lainnya. Selain itu kadar fenol juga mempengaruhi pH dari asap cair karena fenol
memiliki sifat asam yang merupakan pengaruh dari cincin aromatisnya. Hasil perbandingan kadar asam asetat
dan nilai pH dari ketiga asap cair dapat dilihat pada Tabel 1.
Pemanfaatan zeolit untuk menyerap benzo(a)pyrene
Zeolit mengalami dehidrasi apabila dipanaskan. Meskipun struktur kerangka zeolit akan menyusut,
kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan yang nyata, karena molekul H2O dapat dikeluarkan secara
reversibel. Sifat zeolit terdehidrasi sebagai adsorben dan penyaring molekul, dikarenakan strukturnya yang
berongga, sehingga mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran sesuai. Selektivitas dan efektivitas
adsorpsinya juga tinggi. Penggunaan zeolit aktif sebagai penyerap sangat efektif dalam menurunkan kandungan
benzo(a)pyrene yang terdapat di dalam asap cair grade 1.
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan zeolit aktif sebagai penyerap pada hasil penelitian
17
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
menunjukkan kandungan benzo(a)pyrene pada asap cair grade 1 setelah melewati proses filtrasi zeolit aktif tidak
terdeteksi. Penurunan ini disebabkan karena pada proses aktivasi akan menyebabkan peningkatan pelepasan
aluminium dari kerangka zeolit sehingga meningkatkan rasio Si/Al (Trisunaryanti, 1991). Rasio Si/Al yang
semakin besar akan meningkatkan adsorpsi molekul-molekul organik yang kurang polar dan berinteraksi lemah
dengan air dan molekul-molekul lain yang polar (Barrer, 1978). Proses aktivasi juga meningkatkan kristalinitas
dan luas permukaan zeolit, dengan demikian kemampuan adsorpsinya akan makin besar.
Asap cair yang digunakan untuk pengawet bahan pangan harus bebas dari senyawa-senyawa berbahaya
seperti hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic hydrocarbon) atau PAH. Menurut
Anonymousa(2016), senyawa PAH dapat bersifat karsinogenik. Diantara senyawa-senyawa PAH, yang sering
digunakan sebagai indikator tingkat keamanan PAH adalah benzopyrene karena paling tinggi sifat
karsinogeniknya. Di beberapa negara seperti Jerman telah menetapkan bahwa batas maksimum benzopyrene
dalam produk adalah 1 ppb (Anonymousa2016). Selain bebas dari senyawa-senyawa berbahaya, asap cair yang
digunakan sebagai pengawet bahan pangan haruslah memiliki flavor yang dapat diterima konsumen.
Zeolit bersifat adsorben karena memiliki struktur berongga-rongga, sehingga senyawa tar dan
benzo(a)pyrene yang terdapat dalam asap cair saat dilewati penyaring zeolit aktif akan terjebak di dalam rongga
zeolit, disini zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan
ukuran rongganya. Sedangkan asap cair yang molekulnya jauh lebih kecil dapat melewati rongga dari zeolit
keluar sebagai filtrat yang bebas senyawa tar dan benzo(a)pyrene, dan zeolit juga dapat melepaskan molekul air
dari dalam permukaan rongga sehingga menyebabkan medan listrik meluas ke dalam rongga utama yang
menyebabkan terjadinya interaksi saling mengikat antara zeolit dengan tar dan benzo(a)pyrene.
Kinerja Alat Penghasil Asap Cair
Dengan kondensor sepanjang 0,84 m dan lama pirolisis antara 2,5 sampai 4 jam maka diperoleh
besarnya kinerja alat dengan bahan baku tempurung kelapa pada keadaan basah dan kering adalah sebesar 4,37
g/(jam.m) dan 5,59 g/(jam.m), sedangkan tongkol jagung adalah sebesar 7,42 g/(jam.m) dan 7,37 g/(jam.m).
6,00
0,00
Tanpa Penjemuran Melalui Penjemuran
Jenis bahan Baku
Grafik 4. Hasil Komponen yang Hilang dari Proses Pirolisis dalam kondisi tanpa
penjemuran dan melalui proses penjemuran dari tempurung kelapa
dan tongkol jagung
Kinerja alat ini sudah tinggi dengan menghasilkan asap cair dengan kadar fenol, kadar asam, nilai pH dan
kadar benzo(a)pyrene yang baik (sesuai pembahasan pada masing-masing bagian diatas). Hasil kinerja alat
pirolisis pembuatan asap cair dapat di lihat pada Grafik 4 di atas.
18
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
KESIMPULAN
1. Rendemen asap cair dari tempurung kelapa tanpa penjemuran dan melalui penjemuran adalah 36% dan
28,8% sedangkan dari tongkol jagung adalah 61,2% dan 30,4%. Arang sisa pembakaran dari tempurung
kelapa 33% dan 50% sedangkan dari tongkol jagung adalah 16,7% dan 33,3%. Jumlah komponen yang
hilang dari tempurung kelapa adalah 31 % dan 21,2% sedangkan dari tongkol jagung adalah 22,1% dan
36,3% %. Kinerja alat asap cair dari tempurung kelapa adalah 4,37 g/(jam.m) dan 5,59 g/(jam.m) sedangkan
dari tongkol jagung adalah 7,42 g/(jam.m) dan 7,37 g/(jam.m). Kualitas asap cair yang dihasilkan untuk fenol
dari tempurung kelapa dan tongkol jagung adalah 3,04 % dan 1,38 %.
2. Kualitas kadar fenol tempurug kelapa dan tongkol jagung adalah 3,04% dan 1,38%; keasaman adalah 7,3 %
dan 1,3 %. Nilai pH adalah 1,41 dan 2,47.Asap cair pada grade 1 pada tempurung dan tongkol jagung tidak
terdeteksi adanya benzo(A)pyrene.
REFERENSI
19
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang berpengaruh signifikan
terhadap perekonomian nasional. Ia juga memiliki kandungan gizi yang bermanfaat, seperti protein, lemak, karbohidrat,
kalsium dan minyak esensial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh biochar, pupuk kandang dan campuran
keduanya terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah yang ditanam pada bedeng permanen. Penelitian
dilakukan di Desa Batujai Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah pada bulan April sampai dengan September
2015. Percobaan dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan diulang sebanyak 3
kali. Perlakuan tersebut meliputi: K0 (control), B10 (Biochar 10 ton/ha), PK10 (Pupuk Kandang 10 ton/ha), B5PK10
(Campuran biochar 5 ton/ha dan pupuk kandang 10 ton/ha), B10PK5 (Campuran biochar 10 ton/ha dan pupuk kandang 5
ton/ha), B15PK5 (Campuran biochar 15 ton/ha dan pupuk kandang 5 ton/ha), serta B5PK15 (Campuran biochar 5 ton/ha
dan pupuk kandang 15 ton/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan campuran B5PK15 memberikan pengaruh
yang nyata terhadap tinggi tanaman cabai merah pada umur 21 HST, 28 HST dan 35 HST. Perlakuan B15PK5 cenderung
memberikan jumlah dan berat buah per tanaman tertinggi. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada parameter berat
berangkasan (basah dan kering) tanaman.
PENDAHULUAN
Cabai merah merupakan tanaman hortikultura yang mampu mengendalikan perekonomian nasional. Hal
ini, antara lain, karena harganya dapat mencapai level tertinggi, pada saat di mana produksinya langka di pasaran.
Di samping itu, harga tinggi tersebut juga dipicu oleh kebutuhan masyarakat akan menu makanan bercabe yang
relative tinggi. Kenyataan ini menjadikan cabe sebagai salah satu tanaman hortikultura yang menempati posisi
strategis. Ditambah lagi (Santika, 2006; Herawati, 2012) melaporkan, bahwa cabe dapat dimanfaatkan bahan
baku obat-obatan tradisional dan industri.
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia penghasil cabai merah. Menurut Badan
Pusat Statistik NTB (2014) produksi cabai di provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2012 dan 2013, masing-
masing adalah 36.882 ton dan 35.324 ton. Produksi yang fluktuatif disebabkan oleh perubahan luas areal tanam
pada setiap musim. Di samping itu, disebabkan karena degradasi kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia
maupun biologi. Kondisi fisik tanah terkait dengan tekstur dan ketersediaan air (Kusnarta, 2011, Suwardji, 2013).
Pulau Lombok bagian Selatan didominasi oleh jenis tanah Vertisol dengan kandungan klei (clay) tinggi mencapai
50% atau lebih dan memiliki sumber air terbatas atau bersifat tadah hujan (Kusnarta, 2011), karena sumber air
pengairan hanya berasal dari air hujan. Kondisi ini diperparah oleh struktur tanahnya yang kurang bahkan tidak
stabil, sehingga membutuhkan rekayasa struktur tanah melalui aplikasi bahan organik. Kandungan bahan organik
tanah di kawasan tersebut sangat rendah yaitu sekitar 0,6-1,5% (Kusnarta et al, 2011).
Sifat dari tanah berordo Vertisol, antara lain, adalah penguapan lebih tinggi dibandingkan dengan daya
infiltrasi dan mudah mengalami erosi, sehingga menyebabkan bahan organik dan unsur-unsur hara mudah hilang
(Ma’shum et al., 2003). Kenyataan ini mendorong terlaksananya berbagai penelitian tentang pengelolaan
Vertisol, yang salah satunya menemukan teknologi bercocok tanam sistem bedeng permanen.
Sistem bedeng permanen merupakan teknik penyiapan lahan untuk budidaya tanaman dengan mengelola
tanah minimum (Minimum tillage) dan bisa digunakan dalam kurun waktu yang yang cukup lama (4 atau 5
tahun) (Kusnarta, 2012). Menurut Ma’shum, et al. (2005) keunggulan dari sistem bedeng permanen dapat
memperbaiki kemantapan agregat tanah, meningkatkan efisiensi penggunaan air dan mengurangi biaya
20
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
pengolahan tanah. Selanjutnya Kusnarta (2012) menyatakan bahwa teknologi bedeng permanen yang dipadukan
dengan pemberian bahan organik (pupuk kandang) lebih unggul dibandingkan dengan sistem konvensional cara
petani. Limbah pertanian seperti tempurung kelapa, batang tembakau dan sekam padi dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik dalam bentuk biochar (Sukartono, 2011), karena mengandung hara esensial seperti N, P,
K, Ca dan Mg, serta memiliki sifat karbon negatif yang mampu mengadsorpsi hara agar tidak mudah terlindih
(Yuwono, 2006, Ma’shum dan Sukartono, 2012). Pupuk kandang berperan sebagai bahan pembenah tanah yang
bermanfaat untuk memperbaiki struktur tanah, mengikat lengas, meningkatkan daya ikat ion, memacu aktivitas
mikroba pendaur hara dan pendekomposisi bahan organik di dalam tanah (Mulyati dan Susilowati, 2006).
Menurut Suwardji (2012) biochar lebih lambat dalam menyediakan hara bagi tanaman bila dibandingkan
dengan pupuk kandang. Hal ini karena biochar di dalam tanah relatif lebih tahan terhadap perombakan
mikroorganisme dibandingkan dengan bahan organik yang lain, sehingga pelepasan hara dari biochar berjalan
lebih lambat (Gani, 2010). Akan tetapi, mengingat bahan organik di dalam tanah yang bersifat labil, maka
aplikasi secara periodik menjadi suatu keharusan yang tentunya membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Dengan
demikian perpaduan antara aplikasi biochar dan pupuk kandang menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam
upaya saling melengkapi kelemahan masing-masing dari kedua sumber bahan organik tersebut dalam upaya
memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan unsur hara. Akan tetapi, takaran kombinasi dari biochar
dan pupuk kandang tersebut perlu mendapat kajian yang lebih mendalam, sehingga penelitian yang bertujuan
untuk mencari takaran kombinasi yang tepat antara biochar dan pupuk kandang dalam upaya memperbaiki
kesuburan Vertisol mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman cabai merah pada sistem bedeng permaen perlu
untuk dilakukan.
METODE PENELITIAN
Desain dan perlakuan
Penelitian dirancang menggunakan metode eksperimen di lapangan dengan rancangan acak kelompok
(Randomized Complete Block Design). Ada 7 perlakuan yang diuji, yaitu:
1. K0 = Kontrol (tanpa input bahan organik)
2. B10 = Biochar Sekam padi pada takaran 10 ton/ha
3. PK10 = Pupuk kandang sapi pada takaran 10 ton/ha
4. B5PK10 = Biochar sekam padi 5 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 10 ton/ha
5. B10PK5 = Biochar sekam padi 10 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 5 ton/ha
6. B15PK5 = Biochar sekam 15 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 5 ton/ha
7. B5PK15 = Biochar sekam 5 ton/ha dan pupuk kandang Sapi 15 ton/ha
Masing-masing perlakuan diulang 3 (tiga) kali, sehingga diperoleh 21 plot percobaan.
Pelaksanaan Percobaan
Tahapan penelitian ini meliputi pembuatan biochar, pembuatan bedeng permanen, aplikasi biochar,
pupuk kandang dan campuran keduanya, persemaian benih, penanaman, irigasi, pemupukan, penyiangan,
pengendalian hama dan penyakit, serta pemanenan. Pembuatan biochar dilakukan dengan cara pembakaran
tidak sempurna pada kondisi oksigen terbatas dengan suhu rata-rata 300 oC (Jaya, 2014). Bahan biochar yang
digunakan adalah sekam padi. Pembakaran dilakukan di dalam drum sampai membentuk arang. Biochar yang
telah jadi diletakkan di atas seng, kemudian disemprot menggunakan handsprayer sebelum dimasukkan ke dalam
karung.
Bedeng permanen dipersiapkan berukuran panjang 6 m x 1 m, dengan tinggi 20 cm dan kemiringan tepi
bedeng 60o. Antara dua bedeng dipisahkan oleh parit dengan lebar dasar 0,30 m (Kusnarta et al., 2012). Pada
permukaan bedeng tersebut kemudian biochar, pukan dan campuran keduanya ditebar merata pada permukaan
bedeng sesuai denan perlakuan.
Penyemaian cabai merah dilakukan pada lahan terpisah di dekat lahan percobaan, dengan menebar benih
21
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
cabai merah secara merata di permukaan bedeng persemaian, selanjutnya ditutup tipis dengan tanah. Setelah bbit
cabai di persemaian berumur 27 hari dipindahkan ke bedeng permanen yang sudah disiapkan, dan penanaman
dilakukan dengan jarak tanam 60 x 60 cm. Penanaman dilakukan di lubang tanam yang telah dibuat dan
diusahakan sebatas leher akar tanaman, sehingga tidak menyebabkan pembusukan pada perakarannya.
Penyiraman dilakukan secara rutin setiap hari, menggunakan air simpanan di dalam embung, dengan cara
mengalirkan air ke saluran antar bedeng menggunakan mesin pompa air. Tinggi air penyiraman adalah 10 cm
(separoh) tinggi bedeng.
Pemupukan diberikan dengan cara menugal pada jarak 5 cm dari titik tumbuh tanaman. Pupuk yang
digunakan adalah urea dan SP 36, masing-masing pada takaran 200 dan 150 kg/ha. Aplikasi SP 36 dilakukan
sebelum penanaman, sedangkan pupuk urea diberikan 2 kali, yaitu 1/3 dosis pada umur 7 hari setelah pindah
tanam, dan 2/3 dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 20 hari setelah pindah tanam.
Penyiangan dilakukan setiap minggu dengan cara manual, yaitu mencabut rumput atau gulma yang
tumbuh di sekitar tanman. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) baik hama maupun penyakit
dilakukan dengan pengendalian hama terpadu secara mekanik dan jika serangan melebihi ambang, maka
digunakan pestisida bersifat selektif sesuai dengan jenis hama atau penyakit yang menyerang. Pestisida yang
sempat digunakan adalah “Cyperin” konsentrasi 2 ml/liter air untuk hama (serangga) dan “Moltovin” konsentrasi
2 ml/liter air untuk pengendalian penyakit, yang disemprotkan pada seluruh bagian tanaman.
Cabai merah mulai dipanen umur 90 hari setelah tanam, dengan kriteria 90% bagian buah cabai berwarna
merah. Cara pemanen dengan memetik buah cabai dan menyertakan tangkai buahnya. Pemetikan buah cabai
dilakukan secara manual dan hati-hati untuk menghindari kerusakan atau luka batang. Cabai yang sudah dipetik
kemudian dikumpulkan, dan ditimbang sesuai dengan perlakuan.
22
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Keterangan : Notasi huruf yang sama pada setiap kolom menunjukan tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%.
Tinggi tanaman cabai pada perlakuan campuran B5PK15 nyata lebih tinggi daripada perlakuan kontrol,
namun tetap tidak berbeda dengan semua perlakuan penambahan bahan organic. Pengaruh perlakuan yang tidak
berbeda ini diduga akibat cara aplikasinya yang ditebarkan di permukaan. Selain itu juga diduga karena periode
pengamatan yang relatif singkat. Kenyataan yang dapat dijelaskan dari data tersebut adalah, bahwa penambahan
bahan organik pada perlakuan B5PK15 dapat meningkatkan bahan organik dalam tanah, sehingga meningkatkan
undur hara N yang dapat memacu pertumbuhan vegetatif tanaman (Sutedjo, 2008). Kenyataan ini didukung
oleh hasil analisis tanah setelah percobaan (Tabel 1), bahwa kadar N-total sebesar 0,17% pada perlakuan B5PK15
yang nyata lebih tinggi daripada K0 (0,13%).
23
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
24
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
energi hasil-hasil fotosintat pada proses fotosintesis. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rosman et al. (2012)
bahwa hara P memiliki peran penting dalam proses fotosintesis.
Kapasitas air tersedia tanah
Penambahan bahan organik dapat meningkatkan kapasitas air tersedia tanah. Uji statistik
menunjukkan bahwa perlakuan campuran B10PK5 menghasilkan air tersedia 34,83%, selanjutnya B15PK5
58% dan perlakuan B10 34,26% memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan PK10 dengan nilai
31,40% yang tidak berbeda dengan K0 30,70% (Tabel 5). Tingginya kapasitas air tersedia pada perlakuan
campuran B10PK5 dan B15PK5 serta perlakuan biochar B10 disebabkan oleh sifat dari bahan organik biochar
yang memiliki ukuran ukuran partikel sangat halus, dapat mengikat air lebih banyak (Ma’shum dan Sukartono,
2011). Pendapat ini didukung oleh Gani (2009) bahwa dalam hal menahan atau meretensi air pada tanah,
biochar lebih baik daripada bahan organik lainnya, seperti kompos dan pupuk kandang. Hal lain yang terungkap
dari data Tabel 5, bahwa bahan organic berupa biochar lebih tinggi kemampuannya dalam penyediaan air
dibandingkan pukan. Selanjutnya untuk meningkatkan efektivitas biochar dalam penyediaan air perlu di
kombinasikan dengan pupuk kandang, karena terbukti bahwa kombinasi pukan dan biochar menunjukkan nilai
yang lebih tinggi, seperti contohnya perlakuan B15PK5.
Tabel 5. Air Tersedia Setelah Percobaan Pada Semua Perlakuan
Perlakuan Kapasitas Air Tersedia (%)
K0 30,70 c
B10 34,26 ab
PK10 31,40 c
B5PK10 32,22 bc
B10PK5 34,83 a
B15PK5 35,58 a
B5PK15 32,43 bc
BNJ, 5% 2,12
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%.
Kondisi struktur tanah setelah percoban
Perlakuan biochar, pupuk kandang dan campuran keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap struktur tanah yang dinyatakan dengan nilai BV, BJ dan Porositas total tanah (Tabel 6). Hal ini
disebabkan karena penerapan perlakuan tersebut baru berjalan selama satu periode tanam, sehingga
pengaruhnya belum nampak. Akan tetapi, nilai BV tanah pada perlakuan campuran B15PK5 terindikasi
relative lebih rendah yaitu sebesar 1,12 g/cm3 disusul oleh perlakuan B10PK5, B5PK15,B5PK10, B10, PK10
dan K0. Rendahnya nilai BV pada perlakuan B15PK5, dimungkinkan karena, ruang pori total tanah (46,85%)
yang bernilai lebih tinggi. Total ruang pori yang yang lebih tinggi akan menghasilkan berat bongkah tanah per
satuan volume menjadi rendah, yang akhirnya menjadikan nilai BV yang lebih rendah. Sesungguhnya, nilai
BV yang rendah akan memudahkan pertumbuhan dan pergerakan akar menembus media tumbuh. Hal yang
sama terjadi pada nilai BJ yang lebih rendah (2,11 g/cm3), disebabkan karena berat partikel bahan organik per
satuan volume yang lebih rendah, sehingga semakin banyak bahan organic yang ditambahkan, maka akan
menurunkan nilai BJ. Kenyataan ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Juo and Franzluebbers (2003),
bahwa berat jenis tanah akan menurun ketika jumlah bahan organik yang diberikan ke dalam tanah semakin
tinggi. Hairiah (2000) menyatakan bahwa porousnya sifat dari bahan organik dapat membentuk pori-pori tanah
yang membuat berat jenis dan berat volume tanah menurun jika diaplikasikan pada tanah bertekstur klei.
Porositas total pada perlakuan B15PK5 juga relatif tinggi, yaitu 46,85%, disusul perlakuan B10PK5,
B5PK15, B5PK10, B10, PK10 dan K0. Menurut Suntoro (2003) bahan organik yang diaplikasikan pada tanah
bertekstur kleian dapat meningkatkan pori meso dan menurunkan pori mikro, sehingga menurunkan pori-pori
yang jenuh air dan meningkatkan pori-pori yang dapat diisi oleh oksigen. Selain itu interaksi bahan organik
dengan partikel tanah dapat memperbesar ruang pori dan membuat struktur tanah lebih baik (Zulkarnain et al.,
2013).
25
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
26
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 7. Analisis Sifat Kimia Tanah Setelah Percobaan Pada semua Perlakuan
Analisis Sifat Kimia Tanah Setelah Percobaan Pada Berbagai Perlakuan
C-organik N-total P-tersedia
Perlakuan pH (%) (%) (ppm)
K0 7,13 b 0,95 c 0,13 c 10,8 e
B10 7,21 ab 1,35 b 0,15 bc 14,1 d
PK10 7,15 b 1,41ab 0,16 ab 18,2 ab
B5PK10 7,19 ab 1,43 ab 0,16 ab 17 bc
B10PK5 7,22 ab 1,41 ab 0,16 b 16,4 c
B15PK5 7,24 a 1,44 ab 0,16 ab 16,9 c
B5PK15 7,18 ab 1,50 a 0,17 a 19 a
BNJ, 5% 0,086 0,107 0,020 1,232
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata menurut uji BNJ pada taraf nyata 5%
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa
hal, sebagai berikut:
1. Penambahan input organik biochar, pukan dan campuran keduanya dengan menempatkan
bahan-bahan tersebut di permukaan bedeng permanen dalam kurun waktu satu musim tanam,
belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai merah.
2. Ada kecenderungan peningkatan produktivitas tanah melalui aplikasi biochar, pukan dan
campuran kedua bahan tersebut, meskipun perbedaan baru nampak antara perlakuan dengan
input bahan organic tersebut dengan perlakuan tanpa input bahan organic (kontrol).
3. Terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa aplikasi bahan organik dalam bentuk biochar akan
lebih bermanfaat meningkatkan produktivitas tanah jika dikombinasikan dengan pupuk
kandang.
Saran
1. Aplikasi bahan organik (biochar, pukan, dan campuran keduanya) pada system bedeng
permanen, perlu mempertimbangkan kedalaman pembenaman untuk meningkatkan
efektifitasnya.
2. Penelitian jangka panjang sangat diperlukan untuk penyempurnaan terhadap jumlah dan
takaran masing-masing bahan organik yang akan diaplikasikan pada system bedeng
permanen.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik NTB, 2014. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka Tahun. 2013. Badan Pusat Statistik
NTB.
Balai Penelitian Tanah, 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Pupuk, Tanaman dan Air. Balai
Penelitian Tanah. Bogor.
Dwidjoseputro, D, 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan : PT Gramedia. Jakarta. 232 hlm.
27
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Gani, A. 2009,Potensi Arang Hayati Biochar Sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan
Pertanian. Iptek Tanaman Pangan. Vol. No. 1. Hal 33-48.
Gani, A. 2010, Multi Guna Arang Hayati (Biochar).Sinar Tani Edisi 13-19 oktober 2010.
Glaser. 2002, Ameliorating Physical and Chemical Properties of Highly Weathered Soils in The Tropiics With
Charcoal: A review, Biol. Fertil. Soils. (35): 219-230
Hairiah, K, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. International Centre For Research In
Agroforestry. Bogor.
Hanafiah, K.A, 2004.Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT RAJAGRAFINDO. Jakarta.
Hardjowigeno, S, 2006. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Presindo.
Hayati, E, Mahmud, T, Faizil, R, 2012. Pengaruh Jenis Pupuk Organik dan Varietas Terhadap Pertumbuhan
Cabai dan Hasil Tanaman Cabai (Capsicum annum L.). J.Floratek. Universitas Syiah Kuala Darussalam
Banda Aceh. Hlm 173-181.
Herawati, W.D, 2012.Budidaya Sayuran. Javalitera. Jogjakarta.
Jaya, W.J, 2014. Pengaruh Berbagai Macam Biochar dan Dosis N Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai.Skripsi. Universitas Mataram. Mataram.
Juo, A.S.R and Franzluebbers, K, 2003. Tropical Soils.Oxford University Press. New York
Kusnarta, I.G.M, B.P Kertonegoro, B.H. Sunarminto, dan D. Indradewa, 2011. Beberapa Faktor Yang
Berpengaruh Dominan Terhadap Struktur Vertiosol Tadah Hujan Lombok. Agroteksos Jurnal Ilmiah
Ilmu Pertanian, Vol 21, No. 2-3, 120-128.
Kusnarta, I.G.M, 2012. Kajian Sifat Tanah Penentu Stabilitas Bedeng Permanen Sawah Tadah Hujan Pada
Vertisol Lombok. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.
Lingga, P. dan Marsono. 2006,Petunjuk Penggunaan Pupuk : Penebar Swadaya. Jakarta.
Ma’shum dan Sukartono, 2012. Pengelolaan Tanah. Penerbit Arga Puji Press. Mataram.
Ma’shum, M, Kusnarta, I.G.M, Sukartono, Mahrup, Tisdall, Gill, J.S, 2005. Permanent Rasied Bed Used For
Farming In The Semi-and Tropics Of Southern Lombok. Indonesia : Performance and adaption.
ACIAR Workshop Procedings No. 121, Griffith, Australia.
Mulyati dan Susilowati, L.E.2006.Pupuk dan Pemupukan.UPT Mataram University Press. Mataram
Musnamar. 2006, Pupuk Organik : Cair dan Padat, Pemberian dan Aplikasi : Penebar Swadaya. Jakarta.
Notohadiprawiro, Soeprapto dan E. Susilowati, 2006.Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Efesiensi
Pemupukan : Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Prijatna, 2006.Buku Analisis Kimia Tanah : Universitas Mataram. Mataram
Priyono, J, 2005. Kimia Tanah: Universitas Mataram. Mataram
Rosman, R,. Tjokrowardojo, A.S, pradono, W, Hadi, U.K, 2012. Pengaruh Pemupukan N dan P Terhadap
Pertumbuhan, Produksi dan Kadar Piperin Tanama Kamandrah. Balai Penelitian Tanaman.
Santika, 2006.Agribisnis Cabai : Penebar Swadaya. Jakarta. 183 hlm.
Setyowati,N.,U.Nurjanah.,dan R. Korisma, 2009. Korelasi Antara Sifat-Sifat Tanah Dengan Hasil Cabai Merah
Pada Substitusi Pupuk N-Anorganik Dengan Bokashi Tusuk Konde (Wedelia trilobata L.). Akta
Agrosia Vol.12 No.2 hlm 184-194-Des 2009.ISSN 1410-3354.
Subroto, 2009. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian : Pustaka Buana. Bandung
Sukartono, 2011.Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Amendemen Tanah Untuk Meningkatkan Efisiensi
Penggunaan Air dan Nitrogen Tanaman Jagung (Zea mays) Di Lahan Kering Lombok Utara.
Universitas Brawijaya. Malang.
Sumarni, N dan Muharam, 2005.BudidayaTanaman Cabai Merah. Panduan Teknis.PTTCabai Merah No. 2.
Balai Penelitian TanamanSayuran, Lembang. 37 hlm.
Sutanto, R, 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah : Kanisius. Yogyakarta.
Suntoro, W.A, 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya.Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Solo
Susilowati, L.E, 2006. Prospek Penggunaan Pupuk Kandang Sebagai Amelioran Tanah Lapar. Makalah:
disampaikan pada Sarasehan Petani Organik se-Pulau Lombok. Mataram
Sutedjo, M.M, 2008. Pupuk dan cara pemupukan. Renika cipta. Jakarta
Suwardji, 2013.Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering. Universitas Mataram. Mataram.
Wahyudi, 2011.5 Jurus Sukses Bertanam Cabai. PT AGROMEDIA PUSTAKA. Jakarta
Yuwono, N.W, 2006. Pupuk Organik. Http//Nasih. Staff.Ugm.Ac. Id. [Diakses tanggal 21November 2015].
28
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Zaenal, A.M, Khotib, M, M. Anwar Nur dan Ahmad Sjahria, 2012. Pola pelepasan urea dari urea enriched soil
conditioner. Prosiding Insinas 2012. PG-248: 0220. Disajikan 29-30 November 2012.
Zulkarnain, M, Budi Prasetya, Soemarno, 2013. Pengaruh Kompos, Pupuk Kandang dan Custom-Bio
Terhadap Sifat Tanah, Pertumbuhan dan Hasil Tebu (Saccharum Officinarum L.) Pada Entisol di
Kebun Ngrangkah-Pawon, Kediri.Indonesian Green Technology Journal. Universitas Brawijaya.
Malang.
29
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRACT
These studies were done to investigate the effectiveness of empty fruit bunch and rice husk biochars that had been
pyrolysed at temperatures of 350, 500 and 650 oC in reducing the availability of As and Cu in the gold mine tailings.
Incubation experiment was conducted by adding 0, 5, 15 and 20% of EFBB and RHB in the tailings for 2, 8 and 24 weeks and
leaching experiment was done by adding the same amount of each biochar and leached using simulated rain water at day 1,
15, 30, 45 and 60. From the result, the amounts of extractable and leachable As were increased as the rate of each biochars
increased and incubated for a longer period. However, the amounts of extractable and leachable Cu were decreased.
EFBB650 and RHB650 were more effective in reducing the amount of extractable metals from the tailings, followed by 500
and 350 oC. Meanwhile, adding RHB had released leachable As to the smallest amount while Cu were by EFBB. The effects
of immobilisation of As and Cu were dependable with the large BET surface area, porosity and variety of functional groups in
each biochar.
INTRODUCTION
Over the past few years, there has been a dramatic increase in the potential of mining
operations to damage the environment due to the utilization of modern mining technique and
high-capacity processing plants. Many of the larger mining operations displace tonnes of rock
and produce an enormous amount of wastewater and tailings. Mine tailings often contain
sulphide minerals such as pyrite (FeS2), arsenopyrite (FeAsS), galena (PbS), chalcopyrite
(CuFeS2) and sphalerite [(Fe,Zn)S]. Oxidation of suphides minerals results in contamination of
the soil and groundwater from the release of As and other contaminants in sulphide-bearing
minerals [1]. Tailings need to be managed well otherwise the heavy metals will be released into
the environment, which could pose adverse health and ecosystem impacts.
A number of innovative treatment methods to remediate As and heavy metals in the
environment have been invented at the laboratory and/or field-scale. Among the treatment
methods include: soil excavation, electrokinetics, solidification/stabilisation, vitrification,
chemical oxidation, soil flushing surfactant foam technology, bioremediation and natural
attenuation [2]. However some of these methods would produce voluminous sludge that need to
be treated and disposed-off and very costly to maintain. Lately, interest has been shifted towards
the use of low cost materials such as biochars, which are produced from organic wastes and has
been applied as sorbents for the removal of heavy metals from the aqueous solutions [3-7].
Positive results regarding the immobilisation and stabilisation of heavy metals in soil by
biochars have reported [5, 8-9]. Several mechanisms have been suggested for sorption of heavy
metals by biochars, which includes the coordination of π-electrons from C=C bonds [10], intra-
particle diffusion [11], complexation with biochar surface group [12] and interaction with weak
organic acids that undergo dissociation within the normal pH range [13]. However the
mechanisms for the sorption and mobility of metals by biochars in soil and aqueous solution are
not fully understood yet. Investigation on soils from an embankment that separates two canals in
30
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Kidsgrove, Staffordshire found that Cd and Zn were immobilised, while Cu and As were
mobilized in soil samples amended with hardwood-derived biochars [5]. Using the same soil and
biochar through in a column-leaching experiment, the concentrations of Cd and Zn in the
leachates were reduced to 300 and 45 folds, respectively [14]. However, there are contrasting
reports in the literature on the effectiveness of biochars to reduce the availability of the metals in
the tailings. For example, the concentrations of extractable As and Zn in soil increased with
biochar application, whereas the concentration of extractable Cd showed an inconsistent trend
while research by Jiang and the colleagues reported that Cu and Pb were efficiently immobilised
in simulated polluted Ultisol in pristine area of Liuzhou, Guangxi Province as amended with rice
straw derived biochar while Cd was not [15,16]. Therefore, more studies are needed on the
effectiveness of biochars to reduce the availability of heavy metals in environment, especially in
the mine tailings.
Pyrolysis of biomasses greatly affects biochar physicochemical properties, hence its
potential usage. Pyrolysis processes can be divided into three classes depending on the pyrolysis
temperature range; conventional pyrolysis or carbonization (500 – 950 oC), fast pyrolysis (850 –
1250 oC) and flash pyrolysis (1050 – 1300 oC) [17]. Furthermore, there are four categories of
biochar based on their molecular structures upon pyrolysis; transitions, amorphous, composite
and turbostratic [18]. Transition char are dominated by precursor plant materials with evidence
of depolymerisation of lignin and cellulose, amorphous chars have lost most of the crystalline
character associated with cellulose comprised a random amorphous mix of heat-altered
molecules and aromatic poly condensates, composite chars consist of poorly ordered graphene
stacks embedded in amorphous phases and turbostratic chars are dominated by disordered
graphite domains. High treatment temperature (HTT) during pyrolysis affects the porosity and
surface area of the biochar. At the HTT, the micropores of biochars and the walls between the
adjacent pores are destroyed and expanded causing enlargement and swelling of pores. The HTT
is the most important factors studied due to the fundamental physical changes (i.e. the release of
volatiles, the formation of intermediate melts and the volatilization of the intermediate melts) are
all temperature dependant.
This study was undertaken to determine the effectiveness of empty fruit bunch (EFB) of
oil palm and rice husk (RH) biochars produced at different pyrolysis temperatures as biosorbents
to reduce the mobility and availability of As and Cu in gold mine tailings. The EFB and RH
biochars were used since both are the major agricultural residues in Malaysia and their
commercial utilizations are not fully developed.
31
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
of tailings (tailings/water – 1:5 (w/v) and the mixture was agitated for an hour and allowed to
settle for 24 hours. The pH and EC in the supernatant were determined using a pH meter
(Methrohm 827 pH Lab) and EC meter (Eutech Instruments CON 700 EC meter) respectively.
The CEC was determined using 1 M ammonium acetate at pH 7 [21]. The extracted NH4+ was
measured using an auto-analyzer (Lachat Instruments QuikChem 8000 Series FIA+ System) and
the concentrations of exchangeable cations (K, Ca and Mg) in the NH4OAc extract were
measured by atomic absorption spectrometry (PerkinElmer AAnalyst 400).
Acid neutralization capacity (ANC) of the tailings was measured by mixing 1 g of
tailings with 25 mL of 0.2 M HCl solution. The mixture was warmed for 3 hours at 90 oC. After
cooling, the remaining solution was titrated with 0.2 M NaOH and the ANC was calculated in
terms of kg of H2SO4/t [22]. The amount of CaCO3 and organic matter (OM) was determined
[23,24]. Total elements in the tailings were determined using a digestion method and the
elements in the digestion were determined by ICP-OES (PerkinElmer Optima 8300 ICP-OES
Spectrometer) [25].
32
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
The CEC of the tailings was 10.13 cmol+/kg and the pH was slightly alkaline (7.87). The EC of
the tailings was 148 μS/cm and it has an acid neutralization capacity (ANC) of 67 kg H2SO4/t.
The organic matter (OM) content in the tailings was 2.29% and the CaCO3 content was 5.7%.
The chemical analysis of the tailings showed that it has high concentrations of As (2080 mg/kg)
and Cu (78 mg/kg). The tailings was slightly alkaline due to the addition of liming materials in
the wastewater treatment process and the wastewater was pumped back into the tailings pond.
This is also the reason for the high concentrations of CaCO3 in the tailings. The EC of the
tailings was low compared to naturally acidic tailings (EC > 4000 μS/cm) [27]. The high ANC
value indicates the alkaline nature of the tailings which is caused by the presence of calcite and
dolomite, and exchangeable cations on clay and silicate materials [22]. The organic matter (OM)
content in the tailings was in the range which it below the detection level of 5.8%, and presence
of OM can contribute significantly to the retention of heavy metals [28,29]. The concentrations
of As and Cu were much higher than the values found in typical soil, which are 5 (As) and 25
(Cu) mg/kg [30]. The high concentration of heavy metals was due to the mining and mineral
processing practices that control the release of contaminants from mine sites and mine wastes. In
this particular mine, the gold is recovered using cyanidation process, and cyanide is known to
react with wide range of elements in solution, resulting in the formation of many cyanide-related
complexes. Large quantity of effluent which contain free cyanide and metal-cyanide complexes,
including Zn, Ni, Cd, Cu, As and Fe are produced during cyanidation process. These complexes
are released into the surrounding usually under very little control; hence they will flood the
tailings with large concentrations of metals.
33
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
biochars. By comparing the total cumulative values of each metal, the utilization of RH biochars
had extracted the least amount of As and Cu in the tailings other than application of EFB
biochars.
34
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Here, ferrous ions will precipitate in the form of ferric hydroxide by hydrating or
oxidizing as shown in equation 4 below:
Fe2+ + ¼O2 + 2½H2O Fe(OH)3 + 2H+ (4)
35
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Heavy metals released by oxidation can re-adsorbed onto the surface of the ferric
hydroxide, and adsorbed heavy metals can be separated from the surface of ferric hydroxide by
water [40]. The high leaching concentration in these experiments indicate that easing soluble
fraction of As and other contaminants might be already released by the oxidation of sulphide
minerals with air and water with the help of the physicochemical properties of EFB and RH
biochars.
REFERENCES
M. Lim, G. C. Han, J. W. Ahn, K. S. You, and H. S. Kim, “Leachability of arsenic and heavy metals from mine
tailings of abandoned metal mines,” International Journal of Environmental Research and Public Health,
vol. 6, no. 11, pp. 2865-2879, 2009.
C. N. Mulligan, R. N. Yong, and B. F. Gibbs, “An evaluation of technologies for the heavy metal remediation of
dredged sediments,” Journal of Hazardous Materials, vol. 85, no. 1-2, pp. 145-163, 2001.
J. Chen, D. Zhu, and C. Sun, “Effect of heavy metals on the sorption of hydrophobic organic compounds to
wood charcoal,” Environmental Science and Technology, vol. 41, no. 7, pp. 2536-2541, 2007.
D. Mohan, C. U. Pittman Jr, and P. H. Stelle, “Pyrolysis of wood biomass for bio-oil: a critical review,” Energy
and Fuels, vol. 20, no. 3, pp. 848-889, 2006.
L. Beesley, E. Moreno-Jimenez, and J. L. Gomez-Eyles, “Effects of biochar and greenwaste compost
amendments on mobility, bioavailability and toxicity of inorganic and organic contaminants in a multi-
element polluted soil,” Environmental Pollution, vol. 158, no. 6, pp. 2282-2287, 2010.
X. Chen, G. Chan, L. Chen, Y. Chen, J. Lehmann, M. B. McBride, and A. G. Hay, “Adsorption of copper and
zinc by biochars produced from pyrolysis of hardwood and corn straw in aqueous solution,” Bioresource
Technology, vol. 102, no. 9, pp. 8877-8884, 2011.
M. Kiliç, C. Kirbiyik, Ӧ. Çepelioğullar, and A. E. Pütün, “Adsorption of heavy metal ions from aqueous
solutions by bio-char, a by-product of pyrolysis,” Applied Surface Science, vol. 283, pp. 856-862, 2013.
G. Fellet, L. Marchiol, G. D. Vedove, and A. Peressotti, “Application of biochar on mine tailings: effects and
perspective for land reclamation,” Chemosphere, vol. 83, no. 9, pp. 1262-1267, 2011.
D. Houben, L. Evrard, and P. Sonnet, “Mobility, bioavailability and pH-dependent leaching of cadmium, zinc
and lead in contaminated soil amended with biochar,” Chemosphere, vol. 92, no. 11, pp. 1450-1457,
2013.
M. Uchimiya, I. M. Lima, K. T. Klasson, and L. H. Wartelle, “Contaminant immobilization and nutrient release
by biochar soil amendment: role of natural organic matter,” Chemosphere, vol. 80, no. 8, pp. 935-940,
2010.
F. Rees, M. O. Simonnot, and J. L. Morel, “Short-term effects of biochars in soil heavy metal mobility are
controlled by intra-particle diffusion and soil pH increase,” European Journal of Soil Science, vol. 65, no.
1, pp. 149-161, 2014.
X. Xu, X. Cao, and L. Zhao, “Comparison of rice husk and dairy manure derived biochars for simultaneously
removing heavy metals from aqueous solutions: role of mineral components in biochars,”
Chemosphere, vol. 92, no. 8, pp. 955-961, 2013.
J. Ni, J. J. Pignatello, and B. Xing, “Adsorption of aromatic carboxylate ions to black carbon (biochar) is
accompanied by proton exchange with water,” Environmental Science and Technology, vol. 45, no.21,
pp. 9240-9248, 2011.
L. Beesley and M. Marmiroli, “The immobilization and retention of soluble arsenic, cadmium and zinc by
biochar,” Environmental Pollution, vol. 159, no. 2, pp.474-480, 2011.
T. Namgay, B. Singh, and B. P. Singh, “Influence of biochar application to soil on the availability of As, Cd, Cu,
Pb and Zn to maize (Zea mays L.),” Soil Research, vol. 48, no. 7, pp. 638-647, 2010.
J. Jiang, R. K. Xu, T. Y. Jiang, and Z. Li, “Immobilization of Cu(II), Pb(II) and Cd(II) by the addition of rice
straw derived biochar to a simulated polluted Ultisol,” Journal of Hazardous Materials, vol. 229-230, pp.
145-150, 2012.
G. Maschio, C. Koufopanos, and A. Lucchesi, “Pyrolysis, a promising route for biomass utilization,”
Bioresource Technology, vol. 42, no. 3, pp. 219-231, 2003.
36
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
M. Keiluweit, P. S. Nico, M. G. Johnson, and M. Kleber, “Dynamic molecular structure of plant biomass-
derived black carbon (biochar),” Environmental Science and Technology, vol.44, no. 4, pp. 1247-1253,
2010.
N. Claoston, A. W. Samsuri, M. H. A. Husni, and M .S. M. Amran, “Effects of pyrolysis temperature on the
physicochemical properties of empty fruit bunch and rice husk biochars,” Waste Management and
Research, vol. 32, no. 4, pp. 331-339, 2014.
T. A. Kettler, J. W. Doran, and T. L. Gilbert, “Simplified method for soil particle-size determination to
accompany soil-quality analyses,” Soil Science of America Journal, vol. 65, no. 3, pp. 849-852, 1999.
H. D. Chapman, “Cation-exchange capacity,” in Methods of soil analysis – Part 2: Chemical and
microbiological properties, C. A. Black, Eds., pp. 891-901, Agronomy, Wisconsin, USA, 1965.
W. S. Shu, Z. H. Ye, C. Y. Lan, Z. Q. Zhang, and M. H. Wong, “Acidification of lead/zinc mine tailings and its
effect on heavy metal mobility,” Environmental International, vol. 25, no. 5-6, pp. 389-394, 2001.
T. B. Goh, R. J. St Arnaud, and A. R. Mermet, “Carbonates,” in Soil sampling and method of analysis, M. R.
Carter, Eds., pp. 177-185, Lewis Publishers, Florida, USA, 1993.
G. Frangipane, M. Pistolato, E. Molinaroli, S. Guerzoni, and D. Tagliapierta, “Comparison of loss on ignition
and thermal analysis stepwise methods for determination of sedimentary organic matter,” Aquatic
Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems, vol. 19, no. 1, pp. 24-33, 2009.
V. Cappuyns, R. Swennen, and M. Niclaes, “Application of the BCR sequential extraction scheme to dredged
pond sediments contaminated by Pb-Zn mining: A combined geochemical and mineralogical
approach,” Journal of Geochemical Exploration, vol. 93, no. 2, pp. 78-90, 2007.
J. Li, Z. M. Xie, Y. G. Zhu, and R. Naidu, “Risk assessment of heavy metal contaminated soil in the vicinity of a
lead/zinc mine,” Journal of Environmental Sciences (China), vol. 17, no. 6, pp. 881-885, 2005.
J. W. C. Wong, C. M. Ip, and M. H. Wong, “Acid-forming capacity of lead-zinc mine tailings and its
implications for mine rehabilitation,” Environmental Geochemistry and Health, vol. 20, no. 3, pp. 149-
155, 1998.
S. C. Wu, K. C. Cheung, Y. M. Luo, and M. H. Wong, “Effects of inoculation of plant growth-promoting
rhizobacteria on metal uptake by Brassica juncea,” Environmental Pollution, vol.140, no. 1, pp. 124-135,
2006.
P. Schwab, D. Zhu, and M. K. Banks, “Heavy metal leaching from mine tailings as affected by organic
amendments,” Bioresource Technology, vol. 98, no. 15, pp. 2935-2941, 2007.
P. Hazeton and B. Murphy, “Interpreting the soil test results: what do all the numbers mean?,” CSIRO
Publications, Australia, pp. 119-126, 2007.
E. A. Konradi, T. Frentiu, M. Ponta, and E. Cordos, “Use of sequential extraction to assess metal fractionation in
soils from Bozanta Mare, Romania,” Seria F Chemia, vol. 8, pp. 5-12, 2005.
D. Laird, P. Fleming, B. Wang, R. Horton, and D. Karlen, “Biochar impact on nutrient leaching from a
Midwestern agricultural soil,” Geoderma, vol. 158, no. 3-4, pp. 436-442, 2010.
W. Hartley, N. M. Dickinson, P. Riby, and N. W. Lepp, “Arsenic mobility in brownfield soils amended with
greenwaste compost or biochar and planted with Michantus,” Environmental Pollution, vol. 157, no. 10,
pp. 2564-2662, 2009.
S. C. Wilson, P. V. Lockwood, P. M. Ashley, and M. Tighe, “The chemistry and behaviour of antimony in the
soil environment with comparisons to arsenic: a critical review,” Environmental Pollution, vol. 158, no.
5, pp. 1169-1181, 2010.
R. E. Lucas, and J. F. Davis, “Relationships between pH values of organic soils and availabilities of 12 plant
nutrients,” Soil Science, vol. 92, no. 3, pp. 177-182, 1961.
M. Uchimiya, L. H. Wartelle, K. T. Klasson, C. A. Fortoer, and I. M. Lima, “Influence of pyrolysis temperature
on biochar property and function as a heavy metal sorbent in soil,” Journal of Agricultural and Food
Chemistry, vol. 59, no. 6, pp. 2501-2510, 2011.
J. W. Lee, M. Kidder, B. R. Evans, S. Paik, A. C. Buchanan III, C. T. Graten, and R. C. Brown,
“Characterization of biochars produced from cornstovers for soil amendment,” Environmental Science
and Technology, vol. 44, no. 20, pp. 7970-7974, 2010.
X. Cao, L. Ma, B. Gao, and W. Harris, “Dairy-manure derived biochar effectively sorbs lead and atrazine,”
Environmental Science and Technology, vol. 43, no. 9, pp. 3285-3291, 2009.
37
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
J. Major, C. Steiner, A. Downie, and J. Lehmann, “Biochar effects on nutrient leaching,” in Biochar for
environmental management: Science and Technology, J. Lehmann, and S. Lehmann, Eds., pp. 271-288,
Earthscan, London, 2009.
H. Holmstrom, J. Ljunberg, M. Ekstrom, and B. Ohlander, “Secondary copper enrichment in tailings at the
Laver mine, northern Sweden,” Environmental Geology, vol. 38, no. 4, pp. 327-342, 1999.
38
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Penelitian untuk mempelajari pengaruh biochar dan kompos yang dibuat dari kulit kakao dilakukan di “screen
house” Universitas Brawijaya, Malang. Bibit kakao ditanam dalam polybag yang diisi media tanah lempung berliat
sebanyak 5 kg. Ada 7 perlakuan yang diuji dalam penelitian ini, yaitu: (1) control (tanah tidak diperlakukan), (2) control + N,
tanah diberi kompos, (4) tanah dicampur kompos dan dipupuk nitogen, (5) tanah diberi biochar, (6) tanah diberi biochar dan
dipupuk nitrogen, (7) tanah diberi kompos dan biochar. Ke 7 perlakuan tersebut diatur dalam Rancangan Acak Lengkap
dengan 4 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian biochar, sebagaimana pemberian kompos dapat
memperbaiki kualitas media tumbuh bibit kakao. Biochar dibandingkan control tanpa pupuk dapat meningkatkan C
(82,18%), P (11,79%), KTK (15,48%) dan menurunkan BI (21,09%) serta menaikkan porositas (20,62%) dan kandungan
air tersedia (15,79%). Biochar dapat memperbaiki pertumbuhan bitit tanaman kakao. Dalam hal ini dapat meningkatkan
tinggi tanaman, luas daun dan berat kering tanaman. Walaupun demikian, pada tahap pertumbuhan awal, pemberian
biochar tanpa disertai pupuk N menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang baik. Jika ditambah kompos pengaruh negative
biochar tidak Nampak, bahkan bibit kakao tumbuh lebih baik. Kombinasi pemberian biochar dan kompos dibandingkan
perlakuan control (tanah tidak diperlakukan) memperbaiki kualitas tanah tertinggi dengan meningkatkan C (88,12%) , N
(137,50%), P (16,09%), KTK (21,70%) dan menurunkan BI (25, 78%) serta menaikkan porositas (20,91%).
Kata kunci: pupuk organic, bahan pembenah tanah, Carbon tanah, pemanfaatan limbah
PENDAHULUAN
Tanaman kakao (Theobroma cacao L), pada perkebunan rakyat menghasilkan limbah kulit buah
kakao (cangkang) yang cukup melimpah dan dapat dimamfaatkan sebagai, pakan ternak, kompos dan
pembenah tanah serta selalu tersedia sepanjang tahun. Buah Kakao terdiri dari kulit buah/cangkang (75,65%),
biji (21,74%), plasenta (2,59%). Keberadaan limbah kulit buah kakao belum banyak dimanfaatkan, padahal
memiliki potensi yang cukup besar sebagai bahan amandement tanah atau pembenah tanah (Biochar) dan
kompos. Bobot buah kakao yang dipanen per ha akan diperoleh 6200 kg kulit buah dan 2178 kg biji basah.
Limbah kulit buah kakao dapat diolah menjadi kompos untuk menambah bahan organik tanah. Kandungan
hara mineral kulit buah kakao cukup tinggi, khususnya hara Kalium dan Nitrogen. Dilaporkan bahwa 61% dari
total nutrien buah kakao disimpan di dalam kulit buah. Aplikasi kulit buah kakao dalam bentuk kompos secara
langsung kedalam tanah, maka hasil dekomposisinya berupa unsur hara dan emisi gas rumah kaca seperti
karbon dioksida. Pendekatan ini, setiap tahun untuk menambanhakan bahan organic perlu input pupuk
(Kamara et al, 2015). Alternative yang lebih berkelanjutan adalah mengkonversi limbah tanaman dalam bentuk
biochar yang diaplikasikan ke dalam tanah. Biochar merupakan bahan arang yang dibuat dari limbah pertanian
organik, yang bisa berasal dari sisa-sisa penebangan kayu, tempurung kelapa, dan kotoran sapi (Sukartono et al,
2011). Hasil penelitian terbaru menunjukkan kemampuan biochar untuk meningkatkan kualitas tanah,
menunjukkan adanyan peningkatan hasil produksi panen dan juga memiliki waktu tinggal yang lama di dalam
tanah (Lehmann et al, 2003;. Chan, Van Zwieten, Meszaros, Downie, Joseph, 2008; Chintala et al., 2014a).
Luas permukaan dan porositas biochar yang tinggi memungkinkan untuk menyerap atau mempertahankan
nutrisi dan air (Chintala et al, 2013a;. Chintala et al, 2013b.), menyediakan habitat yang menguntungkan bagi
mikroorganisme untuk berkembang biak dan mengurangi tingkat penipisan unsur hara tanah. Biochar juga
mempertahankan C yang tinggi di dalam tanah sebagai hasil yang stabil dari proses perombakan oleh
mikroorganisme. (Baldock & Smernik, 2002; Chintala et al, 2013a.; Chintala, 2014b). Retensi unsur hara
dalam tanah dapat ditingkatkan dengan menambahkan biochar sehingga mengurangi kebutuhan pupuk total
dan mengurangi efek samping yang berkaitan dengan pupuk (Yeboah et al. 2009). Menurut Lehmann (2007)
semua bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah mampu meningkatkan berbagai fungsi tanah tak
terkecuali retensi berbagai unsur hara esensial bagi pertumbuhan tanaman. Biochar lebih efektif menahan unsur
hara untuk ketersediaannya bagi tanaman dibandingkan bahan organik lain.
39
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Indonesia potensi limbah hasil pertanian seperti limbah kulit kakao, tempurung kelapa, sekam padi
untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembenah tanah cukup tinggi, sehingga penggunaan dan manfaat biochar
sebagai pembenah tanah berbahan limbah pertanian merupakan salah satu alternative yang dapat digunakan
untuk memperbaiki sifat fisik-kimia tanah dan pertumbuhan tanaman. Dalam pengeloaan limbah dikenal
dengan kosep 3R (reuse, reduse dan recicle) . mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan setiap panen Kakao
Reuse berarti menggunakan kembali limbah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama atau fungsi
yang lain. Reduse artinya mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan limbah. Recicle artinya mengolah
kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.
Dalam penelitian ini mencoba menerapkan konsep pengelolaan limbah dengan memanfaatkan limbah
kulit kakao untuk kompos dan biochar agar dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan setiap panen
Kakao sehingga apabila diaplikasikan ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik kima tanah dan
meningkatkan pertumbuhan bibit kakao itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian biochar dan kompos terhadap kualitas tanah dan petumbuhan bibit Kakao.
Perlakuan C N P K KTK
pH
(%) (%) % % cmol/kg
Tanah 6,7 0,92 0,08 8,25*) 1,81*) 11,25
Kompos kulit kakao 6,1 24,28 2,05 0,69 0,47 14,60
Biochar kulit kakao 7,8 29,55 0,03 0,72 0,56 19,38
_______________________________________________________________________
*) kandungan P dalam tanah dinyatakan dalam ppm dan K dalam cmol/kg
Benih kakao (varitas ICCRI 02) yang diperoleh dari PTPN XII disemaikan dan setelah berumur 1 bulan
dipindahkan ke media percobaan.
Pelaksanaan Percobaan.
Enam kg tanah lolos ayakan 2,0 mm dimasukkan ke dalam polybag, selanjutnya diperlakukan sebagai
berikut:
1. Kontrol (media tanah tanpa penambahan bahan lain)
2 .Diberi pupuk N (6 g N/polybag): Kontrol + N
3. Lima kg tanah diberi kompos kulit kakao (kadar air 70%) 1 kg per polybag: Kompos
4. Kompos + N
5. 5,9 kg tanah diberi biochar 0,1 kg/polybag: Biochar
6. Biochar + N
7. Biochar + kompos kulit kakao
40
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Ke tujuh perlakuan tersebut diatur dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 4 ulangan. Variabel yang
diamati meliputi sifat tanah (pH, C, N, P, K, KTK, Berat Isi, porositas, dan kandungan air tersedia), serta tinggi
tanaman, jumlah daun, luas daun, keliling batang, berat kering akar dan berat kering tanaman. Keliling tanaman
diukur pada keliling maksimum.
Analisa tanah dilakukan setelah bibit dipanen ( 4 bulan). pH dinalisa dalam larutan H2O (1:1), C dengan
metoda Walkley & Black, N dengan metode Kejldahl, P dengan Bray 2. Untuk menentukan kandungan K dan
KTK, tanah dijenuhi dengan Amonium Acetat 1 N, pH 7 kemudian kandungan K dibaca dengan AAS
(Shimatzu, Jepang). Karakteristik biochar dianalisis dengan yang dijelaskan oleh Ahmedna et al. (1998) dan
ASTM D 3176 (ASTM, 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sifat Kimia Tanah
Pengaruh pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 (empat) bulan terhadap pH, C, N, P, K dan
KTK dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ke 7 (tujuh) perlakuan berpengaruh
nyata terhadap pH, C, N, P dan KTK, sedangkan terhadap kandungan K tidak berpengaruh.
Tabel 2. Beberapa sifat kimia Tanah setelah 4 bulan pemberian kompos dan biochar
C N P K KTK
Perlakuan pH
(%) (%) (ppm) cmol/kg cmol/kg
Control (tanpa
6,8 1,01 0,08 8,14 1,21 12,21
pupuk)
Kontrol + N 6,7 0,98 0,11 7,98 1,35 11,60
Kompos (tanpa N) 6,3 1,25 0,16 8,84 1,60 12,03
Kompos + N 6,3 1,28 0,15 8,28 1,70 11,98
Biochar (tanpa N) 7,1 1,84 0.07 9,10 1,66 14,10
Biochar +N 6,9 1,79 0,18 8,90 1,70 15,06
Biochar + kompos 6,9 1,90 0,19 9,45 1,84 14,86
BNJ 5% 0,5 0,65 0,03 1,07 0,45 1,58
Pemberian Biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 bulan ternyata mampu meningkatkan kadar pH, C,
N, P, K dan KTK dibandingkan Control (tanpa pupuk) dan terutama pada kombinasi perlakuan biochar dan
kompos mampu meningkatkan kadar C, N, P dan K tertinggi yaitu berturut-turut sebesar 1,9%, 0,19%, 9,45
ppm, 1,84 cmol/kg. Namun demikian pemberian biochar pada tanah dibandingkan control (tanpa pupuk) juga
mampu meningkatkan kadar pH (4,41%), C (82,18%), P (11,79%) dan KTK (15,48%).
Nilai pH pada perlakuan pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 (empat) bulan apabila
dibandingkan dengan control (tanpa pupuk) meningkat dari 6,8 menjadi 6,9 (1,47%). Nilai pH 6,5 – 7,5 termasuk
dalam kriteria netral (Sulaeman et al ,2005), dimana pada tanah dengan kondisi pH netral akan mempengaruhi
perharaan menjadi tersedia bagi tanaman. Pada tanah yang diberi biochar dan kompos kulit kakao setelah 4
(empat) bulan mampu mempertahankan pH tanah pada kondisi netral, demikian juga untuk perlakuan tanah yang
hanya diberi biochar. Menurut Utomo et al (2012) biochars memiliki beberapa efek tidak langsung pada sifat
kimia tanah yang dapat berdampak pada mobilitas unsur dalam tanah. Efek penambahan biochar pada tanah akan
menyebabhan peningkatan pH tanah.
Nilai C pada perlakuan pemberian biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 (empat) bulan apabila
dibandingkan dengan control (tanpa pupuk) meningkat dari 1,01% menjadi 1,9% (88,12%) dan nilai KTK
meningkat dari 12,21 cmol/kg menjadi 14,86 cmol/kg (21,70%). Selain kompos, maka biochar juga berperan
41
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
dalam meningkatkan kadar C. Menurut Jose et al (2013) Pirolysis bahan organik untuk menghasilkan hasil
biochar yang diaplikasikan dalam tanah akan meningkatkan sifat seperti (i) luas permukaan internal, (ii) kapasitas
tukar kation (CEC), (iii) pH, dan menurunkan (iv) degradasi tanah.
Kalau dibandingkan sifat kimia tanah control (tanpa pupuk), maka kombinasi perlakuan biochar dan
kompos setelah 4 (empat) bulan meningkatkan kadar N dari 0,08% menjadi 0,19% (137,5%), kadar P dari 8,14
ppm menjadi 9,45 ppm (16,09%) dan kadar K dari 1,21 cmol/kg menjadi 1,84 cmol/kg (52,07%). Menurut
Yamoto et al (2006) aplikasi biochar dari kulit pohon Accasia mangium (37 ton/ha) pada lahan yang kurang
subur yang ditanamai Jagung dan kacang tanah hasilnya mampu meningkatkan N dan P tersedia. Tingginya K
tersedia dalam biochar yang di aplikasikan dalam tanah dapat meningkatkan K serapan (Lehmann et al,2003b;
Chan et al, 2007).
Dengan sifat kompos dan biochar yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah maka dengan kombinasi
antara biochar dan kompos kulit kakao akan semakin meningkatkan sifat kimia tanah seperti pH, C, N, P, K dan
CEC (Tabel 2).
Tabel 3. Beberapa sifat fisik tanah setelah 4 bulan pemberian kompos dan biochar
Berat Isi Porositas Air tersedia
Perlakuan
Mg/m3 (%) (%)
Control (tanpa pupuk) 1,28 48,78 13,68
Kontrol + N 1,22 51,21 13,05
Kompos (tanpa N) 1,05 55,82 15,33
Kompos + N 1,12 53,40 15,82
Biochar (tanpa N) 1,01 58,84 15,84
Biochar +N 1,02 56,70 16,14
Biochar + kompos kulit kakao 0,95 58,98 15,60
BNJ 5% 0,16 5,40 1,76
Pemberian Biochar dan kompos kulit kakao setelah 4 bulan ternyata mampu memperbaiki sifat fisik
tanah menurunkan berat isi dan meningkatkan porositas dan air tersedia dibandingkan dengan perlakuan control
(tanpa pupuk) terutama pada kombinasi perlakuan biochar dan kompos dimana berat isi tanah menurun dari 1,28
Mg/m3 menjadi 0,95 Mg/m3 (34,74%) dan meningkatkan porositas tanah dari 49,78% menjadi 58,98%
(17,29%) dan air tersedia dari 13,68% menjadi 15,60% (12,31%). Aplikasi biochar pada tanah dibandingkan
control (tanpa pupuk) dapat menurunkan berat isi (21,09%), meningkatkan porositas (20,62%) dan air tersedia
(15,79%). Hal ini diduga berhubungan dengan peran biochar dan kompos. Menurut Chan et al, (2007) ada
indikasi bahwa biochar akan mengubah sifat fisik tanah dan memiliki banyak manfaat yang sama dengan
amandemen organic lainnya. Biochar mempunyai permukaan spesifik, yang umumnya lebih tinggi dari pasir dan
sebanding dengan atau lebih tinggi dari tanah liat, sehingga akan menyebabkan kenaikan bersih total permukaan
tanah khusus ketika ditambahkan sebagai amandemen. Menurut Karen Hammes and Michael W. I. Schmidt,
2007 luas permukaan dari partikel tanah merupakan karakteristik tanah yang sangat penting karena
mempengaruhi kesuburan, termasuk air, udara, siklus nutrisi dan aktivitas mikroba. Biochar dapat memperbaiki
struktur tanah atau aerasi tanah di tanah bertekstur halus (Kolb, 2007) sehingga menurunkan persentase berat is
42
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Pada Tabel 4 dan 5. terlihat bahwa penambahan biochar dan kompos kulit buah Kakao meningkatkn
tinggi tanaman, luas daun dan keliling batang bibit kakao setelah umur 4 bulan secara signifikan dibandingkan
control dan perlakuan kompos dan biochar secara sendiri sendiri. Tinggi tanaman, luas daun dan keliling batang
bibit Kakao pada pelakuan pemberian kompos baik dengan maupun tanpa N pada umur bibit Kakao 4 (empat)
bulan dan perlakuan pemberian biochar+N dan Biochar+kompos tidak berbeda namun tinggi tanaman, luas daun
dan keliling batang tertinggi terdapat pada perlakuan biochar+kompos yaitu berturut turut sebesar 50,85 cm, 675
dan 3,05 cm.
43
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 6. Berat kering akar dan berat kering total tanaman umur 4 bulan
Berat kering akar Berat kering total
Perlakuan
(g/tanaman) (g/tanaman)
Control (tanpa pupuk) 4,20 16,00
Kontrol + N 5,00 20,20
Kompos (tanpa N) 6,17 19,00
Kompos + N 7,01 22,49
Biochar (tanpa N) 5,14 17,79
Biochar +N 6,60 24,50
Biochar + kompos 8,85 25,63
BNJ 5% 3,15 4,20
Pada Tabel 6. terlihat bahwa penambahan biochar dan kompos kulit buah Kakao meningkatkan
pertumbuhan tanaman ( berat kering akar dan berat kering total bibit Kakao setelah umur 4 bulan secara
signifikan dibandingkan control dan perlakuan kompos dan biochar secara sendiri sendiri. . Berat kering ajakar
dan berat kering total bibit Kakao pada pelakuan pemberian kompos baik dengan maupun tanpa N pada umur
bibit Kakao 4 (empat) bulan dan perlakuan pemberian biochar+N dan Biochar+kompos tidak berbeda namun
berat kering akar dan berat kering total tertinggi terdapat pada perlakuan biochar+kompos yaitu berturut turut
sebesar 8,85 g/tanaman dan 25,63 g/tanaman.
Pada tabel 4,5 dan 6 menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pemberian biochar dan kompos kulit buah
Kakao setelah 4 bulan ternyata meningkatkan pertumbuhan tanaman bibit Kakao (tinggi tanaman ,luas daun,
keliling batang, berat kering akar dan berat total tanaman). Kompos merupakan bahan organic yang dapat
meningkatkan kapasitas tukar kation, hal ini berhubungan dengan muatan-muatan negatif yang berasal dari
gugusan –COOH dan OH yang berdisosiasi menjadi COO- dan H+ dan O- + H+. Muatan negatif ini merupakan
potensi humus mengadsorbsi kation-kation seperti Ca, Mg dan K yang diikat dengan kekuatan sedang sehingga
mudah dipertukarkan atau mengalami proses pertukaran kation (Sutedjo, 1999). Jumlah dan ukuran daun
dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya serta ketersediaan unsur hara. Stevenson dalam Thamrin (2000)
menyatakan bahwa bahan organik merupakan sumber cadangan unsur hara N, P, K dan S serta unsur hara mikro
(Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, Ca) akan dilepaskan secara berlahan–lahan melalui proses dekomposisi dan mineralisasi
untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Senyawa N yang terkandung dalam bahan organik berperan dalam
sintesa asam amino dan protein secara optimal, selanjutnya digunakan dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Kekurangan unsur hara N menyebabkan pertumbuhan vegetatif terhambat dan tanaman
menjadi kerdil (Decoteau, 2000). Dengan penambahan biochar dalam kompos yang mempunyai kandungan N
yang tinggi akan mengurangi hilangnya N total sampai 52% (Steiner et al ,2010; Steiner et al, 2011), sehingga
pertumbuhan vegetatif tidak terhambat.
KESIMPULAN
Pemberian biochar dan kompos kulit kakao perpengaruh terhadap sifat kimia tanah (pH, C, N, P, K
dan KTK), sifat fisik tanah (berat isi, porositas dan air tersedia) dan pertumbuhan tanaman bibit kakao (tinggi
tanaman ,luas daun, keliling batang, berat kering akar dan berat total tanaman) sedangkan terhadap unsur hara
Kalium dan jumlah daun tidak berpengaruh. Aplikasi Biochar dan kompos secara sendiri sendiri dapat
meningkatkan kualitas tanah dan pertumbuhan tanaman, namun pemberian campuran biochar dan kompos
menghasilkan pH, C, N, P, K, KTK, berat isi, porositas, air tersedia, tinggi tanaman ,luas daun, keliling batang,
berat kering akar dan berat total tanaman tertinggi.
44
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Ahmedna, M., Johns, M.M., Clarke, S.J., Marshall, W.E. and Rao, R.M. 1977. Potential of agriculture by-
productbased activated carbons for use in raw sugar decolorization. J. Sci. Food Agric., 75: 117–124.
ASTM, 2006. Petroleum Products, Lubricants, and Fossil Fuels: Gaseous Fuels; Coal and Coke. ASTM Inter,
West Conshohocken, PA. Vol. 05.06: D 3178.
Baldock, J. A., & Smernik, R. J. (2002). Chemical composition and bioavailability of thermally altered Pinus
resinosa (Red pine) wood. Organic Geochemistry, 33(9), 1093-1109.
Chan, K.Y., Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A. and Joseph, S. (2007) Agronomic Values of Green
Waste Biocharas a Soil Amendment. Australian Journal of Soil Research, 45, 629-634. Chan, K. Y.,
Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A., & Joseph, S. (2008). Using poultry litter biochars as soil
amendments. Australian Journal of Soil Research, 46, 437-444.
Chintala, R., Mollinedo, J., Schumacher, T. E., Malo, D. D., Papiernik, S., Clay, D. E., … Gulbrandson, D.
W.(2013a). Nitrate sorption and desorption by biochars produced from microwave pyrolysis.
Microporous and Mesoporous Materials, 179, 250-257.
Chintala, R., Schumacher, T. E., McDonald, L. M., Clay, D. E., Malo, D. D., Clay, S. A., … Julson, J. L.
(2013b). Phosphorus sorption and availability in biochars and soil biochar mixtures. CLEAN-Soil Air
Water, 41(9999), 1-9.
Chintala, R., Mollinedo, J., Schumacher, T. E., Malo, D. D., & Julson, J. L. (2014a). Effect of biochars on
chemical properties of acidic soil. Archives of Agronomy and Soil Science, 60(3), 393-404.
Decoteau, D.R., 2000. Vegetable Crop Prentice Hall Upper Saddille River N3 07458.
Daniel Fischer and Bruno Glaser (2012). Synergisms between Compost and Biochar for Sustainable Soil
Amelioration, Management of Organic Waste, Dr. Sunil Kumar (Ed.), ISBN: 978-953-307-925-7,
InTech, Available from:
Kamara A., S.U. Kamara, M.S. Kamara.Effect of Rice Straw Biochar on Soil Quality and the Early Growth and
Biomass Yield of Two Rice Varieties. Journal Agricultural Sciences, 6. 798-806
Kolb, S.E., K.J. Fermanich and M.E. Dornbush. 2009. Effect of charcoal quantity on microbial biomass and
activity in temperate soils. Soil Science Society of America Journal, 73:1173–1181
Lehmann, J., da Silva, Jr., J. P., Steiner, C., Nehls,T., Zech,W. and Glaser, B. (2003b) ‘Nutrient availability and
leaching in an archaeological Anthrosol and a Ferralsol of the Central Amazon basin: fertilizer, manure
and charcoal amendments’,Plant and Soil, vol 249, pp343–357
Lehmann, J., 2007. Bioenergy in the black. Frontiers in Ecology and the Environment Vol. 5, Hal: 381—387.
Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis Kimia Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertania
Sutedjo, M.M., 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan Tanaman Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Sukartono, Utomo, W. H., Kusuma, Z. & Nugroho, W. H. (2011). Soil fertility status, nutrient uptake, and
maize(Zea mays L.) yield following biochar application on sandy soils of Lombok, Indonesia. Journal of
Tropical Agriculture, 49, 47-52.
Steiner, C., Das, K.C., Melear, N. and Lakely, D. (2010) Reducing Nitrogen Loss During Poultry
Litter Composting Using Biochar. Journal of Environmental Quality. 39:1236‐ 1242.
Steiner, C., Melear, N., Harris, K. and Das, K.C. (2011). Biochar as bulking agent for poultry litter composting.
Carbon Management. 2:227‐ 230
Utomo, W. H., Guritno, B., & Soehono, L. A. (2012). The Effect of Biochar on the Growth and N Fertilizer
Requirement of Maize (Zea mays L.) in Green House Experiment. Journal of Agricultural Science,
4(5),255-262.
Yamato, M., Okimori, Y., Wibowo, I. F., Anshori, S., & Ogawa, M. (2006). Effects of the application of charred
bark of Acacia mangium on the yield of maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in
South Sumatra, Indonesia. Soil Sci. Plant Nutr., 52, 489-495
Yeboah, E., Ofori, P., Quansah, G.W., Dugan, E. and Sohi, S. (2009) Improving soil productivity through
biochar amendments to soils. African Journal of Environmental Science and Technology 3(2): 34 – 41
45
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Budi Hariyono1,2, Wani Hadi Utomo3,4, Sri Rahayu Utami3 dan Titiek Islami5
1 Program Pascasarjana, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
2 Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat – Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jl. Karangploso PO.Box 199,
Malang 65152, Indonesia. Email: bdhariyono@yahoo.co.id
3 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
4 Pusat Penelitian Internasional untuk Pengelolaan Lahan Terdegradasi dan Pertambangan, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang
65145, Indonesia
5 Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl. Veteran, Malang 65145, Indonesia
ABSTRAK
Serasah tebu yang tersisa di lahan setiap panen dapat dikonversi menjadi biochar untuk bahan pembenah tanah.
Penelitian pot dilakukan di Malang, Jawa Timur (7o54’26” LS; 112o37’22” BT; 522 m dpl) pada Oktober 2013 hingga
Oktober 2014. Penelitian bertujuan untuk mempelajari perubahan sifat tanah bertekstur pasir akibat pemberian biochar
serasah tebu dan limbah tebu lainnya, serta pengaruhnya pada pertumbuhan tebu asal budchip. Penelitian disusun dalam
rancangan acak kelompok dengan 6 perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan meliputi: 1) Biochar serasah tebu 10 t ha-1; 2)
Abu ketel 10 t ha-1; 3) Kompos serasah tebu 10 t ha-1; 4) Biochar serasah tebu 5 t ha-1 + kompos serasah tebu 5 t ha-1; 5)
Abu ketel 5 t ha-1 + kompos serasah tebu 5 t ha-1; dan 6) Kontrol. Analisis FTIR menunjukkan biochar memiliki gugus
fungsional utama O-H, N-H, C=C, C-O, C=O, C-H, C-O-C, yang berpotensi sebagai sumber muatan. Analisis SEM
menunjukkan biochar memiliki struktur mikropori yang berpotensi untuk mengikat air dan hara. Aplikasi biochar serasah
tebu dan limbah tebu lainnya dapat memperbaiki sifat fisika tanah berpasir yakni berat isi, porositas total, kadar air tersedia
dan kemantapan agregat. Sifat kimia tanah berpasir juga dapat diperbaiki yakni C-organik, N-total, P-tersedia, K-dapat
ditukar dan KTK. Perbaikan sifat fisika dan kimia tanah yang terjadi belum dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tebu. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mempelajari pengaruh residu dari aplikasi biochar pada tebu ratoon, dan
penelitian di lahan pengembangan tebu.
Kata kunci: serasah tebu, biochar, kompos, tebu (Saccharum officinarum L.)
PENDAHULUAN
Dalam budidaya tebu (Saccharum officinarum L.), pada saat panen tersisa serasah tebu di lahan yang
jumlahnya berlimpah; yakni sekitar 6-8 t ha-1 (Singh et al., 2008; Chandel et al., 2012), bahkan mencapai 10-20 t
ha-1 (Leal et al., 2013). Hassuani et al. (2005) melaporkan bahwa rata-rata serasah yang tertingal di lahan setelah
panen tebu adalah 14% dari biomassa batang tebu yang diangkut sebagai bahan baku gula. Dengan perbandingan
tersebut, jika produktivitas tebu di Indonesia 85 t ha-1, maka ada 11,9 t serasah tebu yang tertinggal di lahan.
Di Indonesia, serasah yang berlimpah ini seringkali dipandang sebagai sampah yang menyulitkan petani
dalam mengelola lahannya untuk ratoon, sehingga serasah dibakar dan hanya menyisakan abu. Tidak banyak
yang menggunakannya sebagai mulsa, atau diproses menjadi kompos (Goenadi dan Santi, 2006; Chandel et al.,
2012). Serasah yang berlimpah ini berpotensi untuk dikonversi menjadi biochar, yang dapat dikembalikan ke
tanah sebagai pembenah tanah (Bonelli et al., 2006; Quirk et al., 2012). Dalam industri gula tebu, dihasilkan
limbah berupa ampas (bagasse) 28% (Almazan, 1998). Biasanya bagasse digunakan untuk bahan bakar ketel dan
menyisakan abu ketel 2-5% (Gartner, 2012). Abu ketel dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kualitas lahan tebu.
Biochar yang merupakan bahan padatan karbon hasil proses pyrolysis atau pembakaran biomassa dalam
kondisi oksigen terbatas pada suhu <700 oC, diketahui lebih efisien dalam memperbaiki kualitas tanah
dibandingkan dengan bahan organik pembenah tanah lainnya (Brown, 2009; Lehmann dan Joseph, 2009).
Biochar tahan terhadap degradasi oleh mikroorganisme sehingga karbon akan bertahan lebih lama (stabil) di
dalam tanah. Oleh karena itu, biochar sangat bermanfaat untuk memelihara kandungan karbon tanah (Kimetu
dan Lehmann, 2010).
Biochar diketahui dapat memperbaiki kualitas tanah baik karakter fisika, kimia dan biologi tanah (Chan et
al., 2007; Quilliam et al., 2012). Biochar dapat meningkatkan daya pegang air sehingga menghemat irigasi,
46
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
mendukung fiksasi dan retensi N sehingga mengurangi pencucian N dan emisi N2O. Aplikasi biochar dapat
meningkatkan KTK dan memperbaiki kemasaman tanah sehingga kesuburan meningkat. Aplikasi biochar dapat
meningkatkan jumlah mikrobia tanah yang menguntungkan. Aplikasi biochar ke dalam tanah berarti menyimpan
C dalam tanah sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan demikian aplikasi biochar dapat mengurangi
ketergantungan petani terhadap input pupuk, dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Barrow,
2012).
Dalam rangka peningkatan produksi tebu sebagai bahan baku pembuatan gula di Indonesia,
pengembangan tebu dilakukan juga ke lahan suboptimal, diantaranya lahan kering tadah hujan yang tanahnya
bertekstur pasir, yang biasanya kualitas tanahnya rendah. Dari sisi tanaman, selain penggunaan bibit tebu dalam
bentuk setek (bagal), dikembangkan pula budidaya tebu menggunakan bibit yang berasal dari satu mata tunas
(budchip). Mata tunas tebu disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam di lahan pengembangan. Untuk
keberhasilan budidaya tebu dengan sistem penanaman menggunakan bibit budchip di tanah berpasir diperlukan
dukungan teknologi pengelolaan tanah yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan
beberapa sifat tanah bertekstur pasir akibat pemberian biochar serasah tebu, kompos serasah tebu, abu ketel dan
kombinasinya, serta pengaruhnya pada pertumbuhan tebu asal budchip.
47
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
48
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Pengaruh aplikasi biochar, abu ketel, kompos dan kombinasinya terhadap sifat kimia tanah berpasir ialah
seperti pada Tabel 2. Perlakuan bahan pembenah tanah dapat meningkatkan kadar C organik tanah pada akhir
masa inkubasi hingga saat panen. Kadar C-organik dipertahankan lebih tinggi dibanding kontrol hingga saat
panen. Perlakuan biochar, kompos dan kombinasinya memberikan pengaruh terbaik. Perlakuan bahan
pembenah tanah meningkatkan N total tanah pada akhir masa inkubasi hingga pada saat panen tebu. Pada tanah
berpasir aplikasi biochar dapat meningkatkan retensi N sehingga tidak mudah tercuci karena adanya kapasitas
tukar anion dari biochar (Inyang et al., 2010; Uzoma et al., 2011; Sika, 2012; Lawrinenko, 2014). Aplikasi bahan
pembenah tanah menunjukkan pengaruhnya terhadap P tersedia tanah pada akhir masa inkubasi dan pada akhir
fase pertunasan, namun tidak nyata pengaruhnya pada saat panen. Perubahan ketersediaan P tanah dapat terjadi
karena perubahan reaksi tanah, demikian pula karena adanya pelepasan P dari biochar (Chan et al., 2007; Xu et
al., 2013).
Tabel 1. Pengaruh biochar serasah tebu dan limbah tebu lainnya terhadap sifat fisika tanah
berpasir sebagai media tanam tebu asal budchip.
Kadar air Kemantapan
Perlakuan Berat isi Porositas total
tersedia agregat
g cm-3 % % volume tetes hancur
Setelah inkubasi (saat tanam)
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1 1,26 b 43,77 a 10,57 11,50
2 Abu ketel 10 t ha-1 1,33 a 40,45 b 10,09 11,83
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1 1,32 a 40,99 b 10,43 12,50
4 Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 1,30 ab 41,94 b 11,06 12,17
5 Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 1,29 ab 42,21 ab 10,25 10,50
6 Kontrol 1,33 a 40,40 b 8,81 10,00
BNT 5% 0,05 1,83 tn tn
Saat akhir fase pertunasan
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1 1,25 ab 44,97 ab 15,55 19,11 a
2 Abu ketel 10 t ha-1 1,29 a 43,10 c 15,50 15,67 b
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1 1,26 ab 43,30 c 14,90 13,33 c
4 Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 1,24 bc 44,65 b 15,93 15,22 b
5 Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 1,20 c 46,12 a 14,96 15,67 b
6 Kontrol 1,29 a 42,22 c 12,71 8,11 d
BNT 5% 0,05 1,25 tn 1,59
Saat panen
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1 1,23 b 46,20 a 9,60 a 19,22 a
2 Abu ketel 10 t ha-1 1,22 bc 46,49 a 8,43 bc 18,33 ab
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1 1,18 bc 48,17 a 9,14 ab 14,67 d
4 Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 1,15 c 48,96 a 8,24 c 15,89 c
5 Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 1,22 bc 46,65 a 8,44 bc 17,56 b
6 Kontrol 1,32 a 41,29 b 7,35 d 10,11 e
BNT 5% 0,07 3,04 0,88 1,18
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNT 5%; tn: tidak berbeda nyata; Tetes hancur: jumlah tetesan air yang
dibutuhkan untuk menghancurkan agregat + 1 cm.
Pemberian biochar dan bahan pembenah lainnya meningkatkan kadar Kdd tanah pada akhir fase
pertunasan hingga saat panen seperti terlihat pada Tabel 2. Peningkatan K tersedia tanah dapat terjadi karena
pengaruh langsung dari aplikasi biochar (Sika, 2012; Xu et al., 2013). Dibanding dengan kontrol, perlakuan
pemberian bahan pembenah tanah yang diuji dapat mempertahankan Kdd tanah sehingga masih lebih tinggi
pada saat panen. Perlakuan hanya berpengaruh nyata meningkatkan KTK tanah berpasir pada akhir masa
inkubasi/saat tanam dan akhir fase pertunasan. Sifat biochar yang memiliki pori, luas permukaan yang tinggi,
gugus fungsional dan muatan permukaan menyebabkan terjadinya kenaikan KTK tanah (Liang et al., 2006;
Sukartono et al., 2011; Sika, 2012).
49
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Terjadinya perbaikan sifat fisika dan kimia tanah berpasir disebabkan karakter biochar serasah tebu
seperti pada Gambar 1. Spektrum FTIR menunjukkan gugus fungsional utama yang terkandung dalam biochar
serasah tebu adalah O-H, N-H (dengan bilangan gelombang 3443,66 cm-1), C=C aromatik, C-O karboksilat,
C=O keton (1627,81 cm-1), C-H alifatik (1416,62 cm-1), ester, fenol C-O-C, C-OH (1087,78 cm-1), dan C-H
aromatik (875,62-793,65 cm-1) (Derrick et al., 1999; Parikh et al., 2014). Permukaan biochar yang mengandung
O, H, OH ini jika teroksidasi atau terhidrolisis dapat menyebabkan muatan negatif atau positif, sehingga biochar
memiliki kapasitas tukar kation dan kapasitas tukar anion (Amonette dan Joseph, 2009; Larwinenko, 2014).
Potensi muatan negatif dari biochar juga berpeluang untuk berikatan dengan materi lain di dalam tanah seperti
partikel tanah, bahan organik tanah dan mikrobia tanah. Interaksi tersebut akan mendorong perbaikan agregasi
tanah (Joseph et al., 2010).
Tabel 2. Pengaruh biochar dan limbah tebu lainnya terhadap sifat kimia tanah berpasir
sebagai media tanam tebu asal budchip.
Perlakuan C-organik N-total P-tersedia K- dapat KTK
ditukar
...........% ......... mg kg-1 .... cmol kg-1 ....
Setelah inkubasi (saat tanam)
Biochar serasah tebu 10 t ha-1 0,92 a 0,047 cd 14,55 0,58 15,33 a
1
ab
Abu ketel 10 t ha-1 0,69 bc 0,047 cd 14,52 0,84 11,95 abc
2
ab
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1 0,89 a 0,070 a 17,49 a 0,59 12,69 abc
4 Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 0,80 ab 0,067 ab 18,33 a 0,85 11,25 bc
Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 0,88 a 0,057 bc 11,20 0,62 15,14 ab
5
bc
6 Kontrol 0,60 c 0,040 d 8,29 c 0,42 10,33 c
BNT 5% 0,13 0,013 5,84 tn 4,07
Saat akhir fase pertunasan
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1 0,71 a 0,050 b 14,00 a 0,98 a 15,73 a
Abu ketel 10 t ha-1 0,51 bc 0,048 b 13,44 a 0,75 13,94 a
2
ab
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1 0,53 bc 0,069 a 14,23 a 0,34 c 15,19 a
Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 0,58 b 0,053 b 14,97 a 0,48 15,85 a
4
bc
5 Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 0,48 c 0,059 ab 12,87 a 0,38 c 13,84 a
Kontrol 0,49 c 0,045 b 8,03 b 0,41 10,34 b
6
bc
BNT 5% 0,09 0,014 4,02 0,36 2,33
Saat panen
1 Biochar serasah tebu 10 t ha-1 0,70 a 0,052 ab 8,34 0,78 a 14,06
Abu ketel 10 t ha-1 0,48 b 0,048 bc 7,67 0,57 12,40
2
bc
3 Kompos serasah tebu 10 t ha-1 0,74 a 0,060 a 7,68 0,61 b 14,06
4 Biochar 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 0,79 a 0,051 b 9,13 0,60 b 14,49
5 Abu ketel 5 t ha-1 + Kompos 5 t ha-1 0,70 a 0,060 a 6,71 0,58 b 13,89
6 Kontrol 0,45 b 0,041 c 4,33 0,41 c 10,33
BNT 5% 0,16 0,008 tn 0,17 tn
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNT 5%; tn: tidak berbeda nyata.
Hasil scanning electron microscopy (SEM) biochar serasah tebu dengan perbesaran 500x menunjukkan
banyaknya pori mikro dengan bentuk permukaan yang tidak beraturan (Melo et al., 2013). Unsur yang terdeteksi
dengan analisa energy dispersive X-ray (EDX) dari area yang diblok pada SEM menunjukkan kandungan
50
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
karbon yang tinggi, yakni 68,81 % berat. Unsur lainnya yang terdeteksi ialah N, O, Si, P, S, K berturut-turut
7,35, 14,28, 3,74, 0,10, 1,13, 4,61 % berat.
90
6 1 2 .3 6
%T
5 6 1 .2 5
75
7 9 3 .6 5
60
8 7 5 .6 2
45
1 6 2 7 .8 1
1 4 1 6 .6 2
30
4 5 8 .0 6
15
3 4 4 3 .6 6
1 0 8 7 .7 8
0
4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
BHL 1/cm
Gambar 1. Spektrum FTIR biochar serasah tebu (kiri) dan mikrografik Scanning
Electron Microscopy (SEM) dengan perbesaran 500x (kanan).
Tabel 3. Pengaruh biochar dan limbah tebu lainnya terhadap pertumbuhan dan hasil tebu
asal budchip di tanah berpasir.
Jumlah
Tinggi Diameter Berat tebu Potensi
Perlakuan batang
tanaman batang*) terpanen Rendemen
terpanen
-1
cm mm pot kg pot-1 %
51
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Abel, S., Peters, A., Trinks, S., Schonsky, H., Facklam, M. and Wessolek, G. 2013. Impact of biochar and
hydrochar addition on water retention and water repellency of sandy soil. Geoderma 202-203:183-191.
Almazan, O., Gonzalez, L. and Galvez, L. 1998. The Sugar cane, its by-products and co-products. AMAS 98.
Food and Agricultural Research Council, Réduit, Mauritius. 13p.
Amonette, J.E. and Joseph, S. 2009. Characteristic of biochar: Microchemical properties. In Biochar for
environmental management: Science and technology, eds. Lehmann, J. and Joseph, S. Earthscan.
London, UK. p.33-52.
Atkinson, C.J., Fitzgerald, J.D. and Hipps, N.A. 2010. Potential mechanisms for achieving agricultural benefits
from biochar application to temperate soils: a review. Plant Soil 337:1-18.
Baronti, S., Vaccari, F.P., Miglietta, F., Calzolari, C., Lugato, E., Orlandini, S., Pini, R., Zulian, C. and Genesio,
L. 2014. Impact of biochar application on plant water relations in Vitis vinifera (L.). Europ. J. Agronomy
53:38-44 .
Barrow, C.J. 2012. Biochar: Potential for countering land degradation and for improving agriculture. Applied
Geography 34:21-28.
Bonelli, P.R., Ramos, M.E., Buonomo E.L. and Cukierman, A.L. 2006. Potentialities of the biochar generated
from raw and acid pre-treated sugarcane agricultural wastes. 8th Asia-Pacific International Symposium
on Combustion and Energy Utilization October 10-12, 2006, Sochi, Russian Federation. 6p.
Bronick, C.J. and Lal, R. 2005. Soil structure and management: a review. Geoderma 124:3-22.
Brown, R. 2009. Biochar production technology. In Biochar for environmental management: Science and
technology, eds. Lehmann, J. and Joseph, S. Earthscan. London, UK. p.127-146.
Bruun, E.W., Petersen, C.T., Hansen, E., Holm, J.K. and Hauggaard-Nielsen, H. 2014. Biochar amendment to
coarse sandy subsoil improves root growth and increases water retention. Soil Use and Management
30:109-118.
Chan, K.Y., Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A. and Joseph, S. 2007. Agronomic values of greenwaste
biochar as a soil amendment. Australian Journal of Soil Research 45:629-634.
Chandel, A.K., da Silva, S.S., Carvalho, W. and Singh, O.V. 2012. Sugarcane bagasse and leaves: foreseeable
biomass of biofuel and bio-products. J Chem Technol Biotechnol 87:11-20.
Chen, Y, Shinogi, Y and Taira, M. 2010. Influence of biochar use on sugarcane growth, soil parameters, and
groundwater quality. Australian Journal of Soil Research 48:526-530.
Derrick, M.R., Stulik, D. and Landry, J.M. 1999. Infrared spectroscopy in conservation science. The Getty
Conservation Institute. Los Angeles USA. 236p.
Gartner, S. 2012. Sustainable disposal of boiler ash. Proc S Afr Sug Technol Ass 85:278-294.
Gilbert, R.A., Morris, D.R., Rainbolt, C.R., McCray, J.M., Perdomo, R.E., Eiland, B., Powell, G. and Montes,
G. 2008. Sugarcane response to mill mud, fertilizer, and soybean nutrient sources on a sandy soil.
Agronomy Journal 100(3):845-854.
Githinji, L. 2014. Effect of biochar application rate on soil physical and hydraulic properties of a sandy loam.
Archives of Agronomy and Soil Science 60(4):457-470.
Goenadi, D.H and Santi, L.P. 2006. Aplikasi Bioaktivator SuperDec dalam Pengomposan Limbah Padat
Organik Tebu. Bul. Agron. 34(3):173-180.
Hassuani, S.J., Leal, M.R.L.V. and Macedo, I.C. 2005. Biomass power generation, sugar cane bagasse and
trash. PNUD-CTC, Piracicaba, Brazil. 217p.
52
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Inyang, M., Gao, B., Pullammanappallil, P., Ding, W. and Zimmerman, A.R. 2010. Biochar from anaerobically
digested sugarcane bagasse. Bioresource Technology 101:8868-8872.
Joseph, S.D., Camps-Arbestain, M., Lin, Y., Munroe, P., Chia, C.H., Hook, J., van Zwieten, L., Kimber, S.,
Cowie, A., Singh, B.P., Lehmann, J., Foidl, N., Smernik, R.J. and Amonette, J.E. 2010. An investigation
into the reactions of biochar in soil. Australian Journal of Soil Research 48:501-515.
Kimetu, J.M. and Lehmann, J. 2010. Stability and stabilisation of biochar and green manure in soil with different
organic carbon contents. Australian Journal of Soil Research 48:577-585.
Lawrinenko, M. 2014. Anion exchange capacity of biochar. Graduate Theses and Dissertations. Paper 13685.
Iowa State University. 85p.
Leal, M.R.L.V, Galdos, M.V., Scarpare, F.V., Seabra, J.E.A., Walter, A. and Oliveira, C.O.F. 2013. Sugarcane
straw availability, quality, recovery and energy use: A literature review. Biomass and Bioenergy 53:11-
19.
Lehmann, J. and Joseph, S. 2009. Biochar for environmental management: An introduction. In Biochar for
environmental management: Science and technology, eds. Lehmann, J. and Joseph, S. Earthscan.
London, UK. p.1-12.
Liang, B., Lehmann, J., Solomon, D., Kinyargi, J., Grossman, J., O’Neill, B., Skemjstad, J., Thies, J., Luizao, F.,
Peterson, J. and Noves, E. 2006. Black carbon increases cation exchange capacity in soil. Soil Science
Society of America Journal 70:1719-1730.
Lin, Y., Munroe, P., Joseph, S., Kimber, S. and Van Zwieten, L. 2012. Nanoscale organo-mineral reactions of
biochars in ferrosol: an investigation using microscopy. Plant Soil 357:369-380.
Melo, L.C.A., Coscione, A.R., Abreu, C.A., Puga, A.P. and Camargo, O.A. 2013. Influence of pyrolysis
temperature on Cadmium and Zink sorption capacity of sugar cane straw-derived biochar. BioResources
8(4):4992-5004.
Mukherjee, A. and Lal, R. 2013. Biochar impacts on soil physical properties and greenhouse gas emissions.
Agronomy 3:313-339.
Nelissen, V., Ruysschaert, G., Manka’Abusi, D., D’Hose, T., De Beuf, K., Al-Barri, B., Cornelis, W. and
Boeckx, P. 2015. Impact of a woody biochar on properties of a sandy loam soil andspring barley during
a two-year field experiment. Europ. J. Agronomy 62:65-78.
Parikh, S.J., Goyne, K.W., Margenot, A.J., Mukome, F.N.D. and Calderón, F.J. 2014. Soil chemical insights
provided through vibrational spectroscopy. Advances in Agronomy, Volume 126, Chapter one. 148p.
Quilliam, R.S., Marsden, K.A., Gertler, C., Rousk, J., DeLuca, T.H. and Jones, D.L. 2012. Nutrient dynamics,
microbial growth and weed emergence in biochar amended soil are influenced by time since application
and reapplication rate. Agriculture, Ecosystems and Environment 158:192-199.
Quirk, R.G., Van Zwieten, L., Kimber, S., Downie, A., Morris, S. and Rust, J. 2012. Utilization of biochar in
sugarcane and sugar-Industry management. Sugar Tech 14(4):321-326.
Sika, M.P. 2012. Effect of biochar on chemistry, nutrient uptake and fertilizer mobility in sandy soil. MSc.
Thesis of University of Stellenbosch. 139p.
Singh, P., Suman, A., Tiwari, P., Arya, N., Gaur, A. and Shrivastava, A.K. 2008. Biological pretreatment of
sugarcane trash for its conversion to fermentable sugars. World J Microbiol Biotechnol 24:667-673.
Sukartono, Utomo, W.H., Kusuma, Z. and Nugroho, W.H. 2011. Soil fertility status, nutrient uptake, and maize
(Zea mays L.) yield following biochar and cattle manure application on sandy soils of Lombok,
Indonesia. Journal of Tropical Agriculture 49(1-2):47-52.
Uzoma, K.C., Inoue, M., Andry, H., Zahoor, A. and Nishihara, E. 2011. Influence of biochar application on
sandy soil hydraulic properties and nutrient Retention. Journal of Food, Agriculture & Environment
9(3&4):1137-1143.
Xu, G., Wei, L.L., Sun, J.N., Shao, H.B. and Chang, S.X. 2013. What is more important for enhancing nutrient
bioavailability with biochar application into a sandy soil: Direct or indirect mechanism? Ecological
Engineering 52:119-124.
Zeelie, A. 2012. Effect of biochar on selected soil physical properties of sandy soil with low agricultural
suitability. MSc. Thesis of University of Stellenbosch. 145p.
53
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Most of the agricultural soil in Lombok are Sandy soils with very course in texture, low soil organic carbon (SOC),
fertility and poor water holding capacity (WHC). Using biochar would improve the soil quality in sub optimal (dryland) and
degraded land. Two set of experiments were carried out to evaluate the soil chemical properties after incubating for 15 and
30 days; and to investigate the response of growth and yield of soybean plants. Two factors were tested : the first factor was
three types of biochar ( without biochar, B0; tobacco stem, B1; rice husk, B2; and coconut shell, B3), and the second factor
consisted three rates of nitrogen fertilizers ( 0, 50, 100 kg urea ha-1). Pots were arranged in a Completely Randomized
Design (CRD) in the pattern of factorial, with three replicates under glass house condition. Data obtained were analyzed by
analysis of variance at 5% significance level. Results show that the application of biochar significantly enchanced the
changes of soil chemical properties or improve the soil quality especially for soil pH, soil carbon organic (SOC), cation
exchange capacity (CEC) at 15 days incubation. Soil without biochar added had the lowest levels of total N and the highest
total N was obtained in adding tobacco stem biochar. There was no interaction between the biochars and nitrogen rates on
soybean growth and yield. Adding biochar increased the number of leaves and seeds, but no significant effects on plant
height, days of flowering, shoot dry weight, number of pods and the weight of seeds. Therefore, further research should be
done to investigate if the application of biochar had a residual effect for the next cropping.
____________________________________________________
Keywords : biochar, soil quality, growth, yield,
INTRODUCTION
Soybean Glycine max (L.) Merr. is one of the major cash crop which is usually used as human food
and row material for food processing. The use of soybean product as human food has increased steadly, it is
due to their product is associated with their high nutrition quality and medicinal value. They are play an
important role in the human diet throughtout the world, they are recognized as an excellent source of dietary
protein and amino acids, which generally containing between 20 – 30% of energy, dietary fiber, and a variety
of micronutrients and phyto-chemicals (Onor, et al., 2014). Due to the high protein content it is highly suited for
infants and children growth and also for people who have chronic diseases such as HIV/Aids (Gandhi. 2006).
In addition, soybeans have a concentrated source of isoflavons, which have potential role in preventing and
treateing cancer and osteoporosis and also may decrease the risk of prostate (Onor et al., 2014).
Besides that, soybeans are a source of the isoflavons which have beneficial effect on heart and bone,
including cholesterol reduction and improve vascular health, preserved bone mineral bone density and
reduction of menopausal symptoms. A study by Umpieerrez et al. (2012) indicated that there is no different
effect between soybean oil and olive oil on clinical attention such as infectious and noninfectious
complications. Futhermore, soybeans are an excellent source of folate, it is also high in micronutrients content
such as iron, zinc and calcium. However, it is low in fat, with the predominant fatty acid is linoleic acid is about
5%. This fatty acid particularly eicosa pentaenoic acid (EPA) and decosa hexaenoic (DHA) have an important
role for health benefits (Gandhi, 2006).
Until now, the soybean production still low and national demand can not be covered by local
production, therefore soybeans are imported. To overcome this problem, there are several ways can be
conducted to increase the production. In West Nusa Tenggara, soybeans are mainly grown in dryland area with
very low in production due to the low soil fertility. Dryland farming system can be potentially used to increase
the soybean production by integrated nutrient management by using the anorganic and organic fertilizers to
increase the soil quality. There are many constraints for the use of these soil. Sandy soils are dominated in the
dryland of West Nusa Tenggara. The soil characteristics are low in nutrient content such as nitrogen,
phosphorus, potassium, calcium and magnecium, low in carbon organic content with less than 1%, cation
exchange capacity (CEC), poor soil aggregate and low in water and nutriens retention (Mulyati et al., 2014a;
54
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Sukartono et al., 2014). These soils characteristics mainly indicate a very poor for growth and yield of
soybean, which lead to low in nitrogen (N) fertilizer use efficiency. Hence, to overcome this constraint,
alternative can be used is soil management to increase and to maintain soil organic carbon (SOC) and improve
crop water and nutrients use efficiency (Lehmann et al., 2003).
The use of organic matter such as compost and manure to improve the sandy soil fertility in Northern
Lombok has been reported elsewhere. The result shows that the effects are very short-lived under cropping
system in dryland, therefore, there have to be applied in a large amount generally between 20 to 40 ton ha-1
and it means that famers have to spend more money. This practices are also become more expensive due to
the rapid and easely to decomposition and mineralization of organic substances in the tropical regions.
Recently, Glaser et al., (2002) propose the use of more stable substances and has the longterm effect such as
biochar, which can be used to sustain soil organic C sequestration, in order to improve the soil quality.
Biochar is a type of charcoal which is rich in carbon material and obtained from heating organic
biomass (agriculture waste) under limited oxygen conditions, which refers to a solid product that derived
from biomass pyrolysis (Lehman, 2007). Biochar contains an aromatic structure, therefore it is chemically
and biologically more stable in soil and it is resistant to decompose, as a result the use of biochar has the
longterm effect in the soil and would be stable for hundreds to thousands of years (Woolf, 2008). Application of
biochar into soil would change the soil physical (Glaser et al., 2002; Chan et al., 2008) and soil chemical
properties (Lehman et al ., 2003). Previous study showed that biochar can be used as soil amendment and will
be enchaned soil nutrients availability which lead to increase the soil productivity (Steiner et al., 2008; Mulyati
dkk., 2014).
Biochars can be made from a range of agriculture waste which under vary condition producing
difference characteristic that will influence the different of soil amendment value for soil. There are sufficient
amounts and types of biomass materials /agriculture waste (residue) to produce biochar. The characteristics of
biochar is depended on the source of agriculture waste (biomass) being used such as rice strow, maize stover,
wood biochar, tobacco stem, rice husk biochar and coconut shell biocahar. Biochar that produces from organic
materials from plant waste are usually low in nutrients content especially nitrogen compare with animal
waste. Hence, in order to obtain the optimal growth and yield of soybean, nitrogen fertilizers it should be
added.
Nitrogen (N) is an essential macronutrient generally required in the greatest amounts by plants.
Nitrogen plays an important role for plant development , growth and yield production (Machsner, 2002).
Lehmann et al., (2003) found the use of biochar can increase the nitrogen fertilizer efficiency and for
leguminous plant such as soybean the use of biochar can course the biological changes in the soil especial can
improve the ability of to aquire N for growth through N fixation (Rondon et al., 2007). The advantages effects
of biochar on soil and crop growth have been reported widely, however, the responses of biochar from some
agriculture waste (biomass) and the nitrogen supply efficiency on growth and the uptake of nitrogen by
soybean plant in the dryland Northern Lombok has not been investigated.
This study was conducted to evaluate the changes of soil chemical properties after incubating for 15
and 30 days; and also to investigate the response of growth and nitrogen content and uptake by soybean plants.
55
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Both of these factors were combined, and obtain 12 treatment combinations. Each treatment
combination comprised of three replications, so that 36 pot experiment were obtained. Pots were arranged in a
factorial completely randomized design (CRD). Representative soil were collected from the field on 0 – 20 cm
depth. Air dried soil were sieved with a 5 mm screen and mixed thoroughly, the place in 2.5 kg portion of the
plastic bags fitted inside plastic pots. All treatment (the first and the second sets) were received basic fertilizers of
150 kg SP36 ha-1 and 100 kg KCl ha-1 according to the famer practices. Each pot was added the water until
reached of the field capacity, then incubated for 15 and 30 days. Soil sampel was taken from each pot to test the
soil chemical properties. After that, Grobogan variety of soybeans were grown until their reached maximum
vegetative growth for measurement of nitrogen uptake by soybean plants. Some soil chemical properties of
soil that used in this experiments were presented in Table 1 and biochars in Table 2.
56
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Data collected were analyzed statistically using the analysis of variance (ANOVA) and the significant
difference among the treatments was tested by Honestly significant difference (P=0.05) using MINITAB
program.
57
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Table 4. Effect of biochar types and nitrogen rates on soil organic carbon (%) and nitrogen
total (%) at in 15 and 30 days after incubation (DAI).
Incubation (15 days)* Incubation (30 days)*
Treatments C-org (%) Total-N (%) C-org (%) Total-N (%)
B0 8.64 c 0.1367 c 10.95 b 0.13 c
B1 19.55 a 0.1711 a 16.60 ab 0.17 a
B2 13.87 b 0.1544 b 14.81 a 0.15 b
B3 15.71 b 0.1478 bc 14.83 a 0.15 b
BNJ (5%) 2.03 0.0072 2.29 0.001
N0 13.59 b 0.15 a 17.29 a 0.14 a
N1 13.74 b 0.15 a 15.69 a 0.15 a
N2 15.99 a 0.15 a 16.78 a 0.15 a
BNJ (5%) 1.75 ns Ns Ns
* Means followed by the same letter in the same column are not significantly different by HSD test
at 5%.
Growth and Sympton Development
Visible N deficiency symptoms was observed at soybean growth with absence of N and without
biochar supply. Plant height and the leaf numbers at maximum vegetative growth were shown in Table 5.
Both indicated that no significant difference among the treatment.
There were no significant difference among treatments for plant height and number of leaves both at
15 and 30 days after incubation ( Table 5). However, shoot dry weights for 15 and 30 DAI indicated that there
were a significant difference between the treatments. Application of coconut shell biochar has the highest shoot
dry weight compared with tobacco stem and rice husk biochars. On the other hand, application of N rates did
not affect the shoot dry weight.
Response of biochar applications and N rates on the number of soybean pods by day 15 and 30 after
incubation (DAI) can be seen at the Figure 1. Analysis variance indicated that there was no significant effect
between the number of soybean pods at 15 and 30 DAI. The lowerst number of soybean pods was found at
treatment without N application both at with or without biochar applied.
Table 5. Response of biochar applications and N rates on soybean growth at maximum
vegetative growth by day 15 and 30 after incubation (DAI).
Growth componens
Treatments Plant heght (cm) Leaf numbers Shoot dry weight (g)
15 DAI 30 DAI 15 DAI 30 DAI 15 DAI 30 DAI
B0 65.2 a 74.1 a 17.8 a 19.8 a 2.03 b 2.71 ab
B1 71.5 a 76.6 a 20.8 a 20.7 a 2.75 a 2.31 b
B2 67.2 a 78.2 a 18.7 a 22.7 a 2.36 ab 3.03 a
B3 69.4 a 76.6 a 20.9 a 20.4 a 2.38 ab 2.82 ab
HSD 5% ns ns ns ns 0.43 0.23
N0 65.8 a 71.8 a 20.3 a 20.3 a 2.33 a 2.67 a
N1 71.9 a 78.4 a 18.8 a 18.8 a 2.54 a 2.96 a
N2 67.3 a 76.0 a 19.5 a 19.5 a 2.26 a 2.53 a
HSD 5% ns ns ns ns Ns ns
* Means followed by the same letter in the same column are not significantly different by HSD test at
5%.
58
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
14 15 30 DAI
Treatments
12
10
Soybean pod weights (g)
8
6
4
2
0
Treatments
CONCLUSIONS
1 The application of biochar significantly improved the soil quality especially for soil pH, soil organic carbon
(SOC), cation exchange capacity (CEC) both at 15 days after incubation.
2 Soil without biochar added had the lowest levels of total N and the highest total N was obtained in tobacco
stem.
3 There was no interaction between the biochars and nitrogen rates on soybean growth and yield. Soil
59
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
without biochar added has the lowest levels of total N and the highest total N was obtained on tobacco
stem.
4 Adding biochar had significant effects on the number of leaves and seeds, but no significant effects on plant
height, shoot dry weight, number of soybean pods and the weight of pods.
Therefore, further research should be done to investigate if the application of biochar had a residual
effect for the next cropping.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors gratefully thanks for financial support from the directorate of higher education of
Indonesia for the research grant to conduct this research.
REFERENCES
Busscher, W., Novak, J., and Ahmedna, M. 2009. Biochar Addition to Southern USA Coastal Sand Decrease
Soil Strength and Improve Soil quality. ISTRO 18th Triennial Conference Proceedings, June 15-19,
Izmir Turkey.
Collino, D.J. 2000. Physiological responses of argentine peanut varieties to water stress, water uptake and water
use efficiency. Field Crops Research 68:133-142.
Demirbas, A. 2004. Effects of Temperature and Particle Size on Biochar Yield From Pyrolysis of Agricultural
Residues. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 72(2): 243-248.
Gandhi, A.P. 2006. Soybean-the greater bean, world grain (USA), February Issue, p. 59-62.
Glaser B. 2007. Prehistorically Modified Soils of Central Amazonia: A Model for Sustainable Agriculture in the
Twenty-first Century. Phil. Trans. R. Soc. B (2007) 362, 187–196
Hardjowigeno, S. 2002. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo. Jakarta.
Hairiah, K., Widianto, E. dan Sunaryo. 2002. Sstem Agroforestry di Indonesia. Dalam WaNulCas, Model
Simulasi Unuk Sistem Agroforestry International Centre For Research in Agroforestry. ICRAF.
Southeast Asia Indonesia.
Lehman J. 2007. Bio-energy in the black. Front Ecology Environment 5, 381–387.
Lehmann J. and Rondon, M., 2006. Biochar soil management on highly weathered soils in the humid tropics.
In: Uphoff, N., Ball, A.S., Palm, C., Fernandes, E., Pretty, J.,Herrren, H., Sanchez, P., Husson, O.,
Sanginga, N., Laing, M., Thies, J. (Eds.), Biological Approaches to Sustainable Soil Systems. CRC
Press, Boca Raton, FL,pp. 517–530.
Liang B., Lehmann, J., Kinyangi, D., Grossman, J., O’Neill, B., Skjemstad, JO., Thies, J., Luizao, FJ.,
Peterson, J., Neves, EG. 2006. Black carbon increases cation exchange capacity in soils. Soil Sci. Soc.
of America Journal 70, 1719–1730.
Marschner, H. 2002. Mineral nutrition on higher plant. Academic Press. USA.
Masulili A., Utomo W.H and Syechfani. 2010. Rice husk biochar for rice based cropping system in acid soil 1.
The characteristics of rice husk biochar and its influence on the properties of acid sulfate soils and rice
growth in West Kalimantan, Indonesia. Journal of Agriculture Science. 2 (1): 39-47.
Mulyati, Baharuddin, AB., Tejowulan, S., dan Muliatiningsih, 2014a. Penggunaan Biochar Limbah Pertanian
Sebagai Bahan Pembenah Tanah (Soil Ameliorant) Untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Pada
Tanaman Kedelai. Makalah disampaikan pada “ Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Terdegradasi”
pada Tanggal 5 Maret 2014 di Mataram.
Mulyati, Olivia, I. Y., Sukartono dan Dahlan, M. 2014b. Retensi hara pada tanah lempung berpasir akibat
pemberian biochar dan pupuk kandang pada sistem simulasi pelindian untuk tanaman jagung. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional : Pengelolaan Biomassa Untuk Konservasi Lahan dan Untuk
Sistem Pertanian Berkelanjutan, pada tanggal 18 Juni 2014.
Onor, I.O., Onor, Jr.G.I. and Kambhampati, M.S. 2014. Ecophysiological Effects of Nitrogen on Soybean
Glycine max (L.) Merr.. Open Journal of Soil Science, 4: 357-365.
60
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Pohan. 2002. Pengaruh suhu dan konsentrasi natrium hidroksida pada pembuatan karbon aktif dari sekam padi.
Fakultas MIPA Jurusan Kimia. Unvrsitas Indonesia. Jakarta.
Sohi, S., Lopez-Capel, E., Krull, E. and Roland Bol. 2009. Biochar, climate change and soil: A review to
guide future research. CSIRO Land and Water Science Report 05/09, 64 pp.
Steiner C., Teixeris, W.G., Lehmann, J. 2007. Long term effect of manure, charcoal and mineral fertilization on
crop production and fertility on a highly weathered Central Amazonian upland soil. Plant Soil 291: 257-
290.
Tejowulan, R.S., NWD. Dulur dan Suwardji. 2008. Evaluasi kapasitas jerapan dan pelepasan nitrogen urine
sapi pada arang (charcoal) dari berbagai limbah pertanian. Laporan Penelitian Fundamental. Fakultas
Pertanian UNRAM.
Umpieerrez, G.E., Splegelman, R., Zhao, V., Smilley, D.D., Pinzon, I., Griffith, D.P., Peng, L., Morris,T., Luo,
M., Garcia, H., Thomas, C., Newton, C.A. and Ziegler, T.R. 2012. A double –Blind, Randomized
Clinical Trial Comparing Soybean Oil-Based Lipid Emulsions in Adult Medical-Surgical Intensive Care
Unit Patients Requiring Parenteral Nutrition. Critical Care Medicine, 40, 1792 – 1798.
Verheijen F.G.A., Jeffery, S., Bastos, A.C., Van der Velde, M., and Diafas, I. 2009. Biochar Application to Soils
- A Critical Scientific Review of Effects on Soil Properties, Processes and Functions. EUR 24099 EN,
Office for the Official Publications of the European Communities, Luxembourg, 166pp.
Woolf, D. 2008. Biochar as a soil Amendment: A Rreview of the Environmental Implications.
61
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Studi ini mengamati pengaruh pemberian arang dan cuka kayu terhadap pertumbuhan benih cabai dan sawi. Rasio
arang yang digunakan pada studi ini 100 g dan 50 g dari total media tanam. Cuka kayu dibuat larutan menggunakan air
suling dengan konsentrasi 0,5% dan 1%. Kombinasi arang dan cuka kayu yang digunakan antara lain 100 g: 0,5%; 100 g:
1%; 50 g: 0,5%; 50 g: 1%. Sebagai pembanding diamati pula pertumbuhan benih yang hanya murni menggunakan tanah
(kontrol). Parameter pertumbuhan yang diamati adalah pertambahan tinggi semai, persentase hidup dan kandungan kimia.
Hasil analisis varian (ANOVA) menunjukkan variasi dosis arang dan cuka kayu berbeda nyata hanya pada pertumbuhan
tinggi sawi, namun untuk persentase hidup tidak berbeda nyata. Kemudian pada perlakuan yang berbeda nyata dianalisis
kandungan kimianya menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometre (GCMS). Pertambahan tinggi terbesar cabai
dan sawi pada dosis arang dan cuka kayu 100 g: 1%. Persentase hidup tertinggi cabai ada pada dosis arang dan cuka kayu
50 g: 0,5% sedangkan pada sawi ada pada dosis 100 g: 0,5%. Hasil analisis GCMS menunjukkan perbedaan kandungan
senyawa kimia antara kontrol dan yang diberi arang dan cuka kayu.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Arang merupakan pupuk hayati (biochar) yang diperoleh dari pembakaran yang tidak
sempurna. Arang memiliki banyak manfaat dalam bidang pertanian diantaranya sebagai agen
penyubur tanah (soil conditioning). Selain arang terdapat produk turunan berupa destilat yang
dihasilkan dari kegiatan produksi arang dan juga bermanfaat bagi tanaman. Destilat tersebut
dikenal dengan nama cuka kayu (asap cair). Komarayati et al. (2013) menyatakan bahwa arang
dan cuka kayu merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan serapan hara karbon. Dibidang pertanian dan kehutanan arang dan
cuka kayu sudah banyak dimanfaatkan dalam penelitian sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.
Siringoringo dan Siregar (2011) meneliti pengaruh aplikasi arang terhadap pertumbuhan awal
Michelia montana Blume dan perubahan sifat kesuburan tanah pada tipe tanah latosol. Selain
itu, Komarayati dan Pari (2012) juga melakukan penelitian pengaruh arang dan turunannya
sebagai stimulus pertumbuhan jabon dan sengon. Respon arang dan cuka kayu terhadap tanaman
memberikan hasil yang berbeda-beda. Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian tentang
pengaruh arang dan cuka kayu pada tanaman yang berbeda jenisnya.
Cabai dan Sawi merupakan jenis tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis
tinggi. Produksi cabai dan sawi nasional dari tahun 2010-2014 mengalami tren peningkatan.
Pada tahun 2010 produksi sawi sebesar 583.770 sedangkan tahun 2014 sebesar 800.484 ton.
Untuk produksi cabai tahun 2010 sebesar 521.704 ton dan tahun 2014 meningkat menjadi
sebesar 602.478 ton (BPS, 2015). Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis tanaman terebut
memiliki tingkat permintaan yang tinggi di masyarakat. Dengan demikian pola tanam dan
tindakan silvilkuktur yang benar dapat meningkatan produksi dan kualitas cabai dan sawi. Salah
satu tindakan silvikultur adalah pemberian stimulan atau pemupukan. Studi ini bertujuan untuk
mengetahui respon pemberian arang dan cuka kayu pada tanaman cabai dan sawi. Selain sebagai
pupuk hayati, arang dan cuka kayu juga diharapkan dapat mengurangi alokasi pupuk kimia yang
dapat memberikan dampak pencemaran lingkungan.
62
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon pemberian arang dan cuka kayu
terhadap pertumbuhan cabai dan sawi.
BAHAN DAN METODE
A. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di rumah kaca dan Laboratorium Proksimat Terpadu Puslitbang Hasil
Hutan, Bogor, Jawa Barat.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih cabai, benih sawi, arang pinus,
cuka kayu pinus dan tanah. Alat yang digunakan antara lain polybag, ayakan tanah, gelas ukur,
Gas Chromatography Mass Spectrometre (GCMS) dan X-Ray Defragtometre (XRD).
C. Prosedur Kerja
1 Persiapan media semai
2 Media semai yang digunakan adalah tanah. tanah diayak sampai halus dan dikeringudarakan. Sebelum
media tanah dimasukkan ke dalam polybag, tanah dicampur dengan arang terlebih dahulu sesuai dengan
perlakuan. Perlakuan arang yang diberikan sebesar 50g dan 100g.
3 Persiapan benih dan penanaman
4 Benih cabai dan sawi direndam selama 15 menit lalu disemaikan di media tanah. setelah itu, cabai dan sawi
disemaikan kedalam polybag. Masing-masing polybag ditanam 20 benih.
5 Penyemprotan cuka kayu
6 Cuka kayu pinus disemprotkan ke tanaman selama masa pengamatan (30 hari) dan dilakukan setiap
seminggu sekali. Masing-masing perlakuan disemprot cuka kayu sebanyak 10ml dengan konsentrasi 0,5%
dan 1%.
7 Pengukuran tinggi dan persentase hidup
8 Pengukuran tinggi tanaman dilakukan setiap seminggu sekali dengan menggunakan mistar sedangkan
persentase hidup dihitung berdasarkan jumlah tanaman yang hidup.
9 Waktu pengamatan
10 Pengamatan dilakukan selama 30 hari. Selama masa pengamatan dilakukan penyiraman sehari sekali.
11 Uji seyawa kimia
12 Pengujian senyawa kimia hanya dilakukan pada perlakuan yang berbeda nyata dan dibandingkan dengan
perlakuan kontrol. Sampel yang diuji adalah pada bagian daun. Alat pengujian menggunakan GCMS.
13 Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan,
yaitu kontrol, kombinasi arang dan cuka kayu (50g:0,5%), kombinasi arang dan cuka kayu (50g:1%),
kombinasi arang dan cuka kayu (100g:0,5%) dan perlakuan kombinasi arang dan cuka kayu (100g:1%).
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 unit.
63
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Perlakuan
Arang:Cuka Arang:Cuka
Tanaman Arang:Cuka kayu Arang:Cuka kayu
Kontrol kayu kayu
(100:0,5%) (100:1%)
(50g:0,5%) (50g:1%)
Sawi x X X X X
Cabe x X X X X
14 Analisis Data
Data dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (ANOVA) kemudian sampel yang berbeda nyata
dilakukan pengujian GCMS untuk mengamati perbedaan kandungan senyawa kimia antara sebelum dan
sesudah perlakuan.
64
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
65
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
A: Arang
CK: Cuka Kayu
3. Kandungan Senyawa Kimia
Salah satu cara untuk mengetahui respon perlakuan terhadap kontrol adalah dengan menguji
kandungan senyawa kimia. Pengujian kandungan senyawa kimia dilakukan pada perlakuan yang berbeda nyata
dan perlakuan kontrol. Hasil analisa statistik ANOVA, perlakuan kombinasi arang 100% dan cuka kayu 1%
pada sawi memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap parameter tinggi.
Pengujian kandungan senyawa kimia menggunakan GSMS dengan sampel berupa daun. Hasil
pengujian GCMS daun sawi dapat dilihat pada tabel 6.
66
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
sebagai pestisida sedangkan asam asetat dapat berperan sebagai anti mikrobial. Peranan sebagai
antimikrobial semakin meningkat ketika kedua senyawa tersebut ada secara bersamaan (Darmadji, 1995).
KESIMPULAN
1. Pertambahan tinggi terendah cabai terjadi Perlakuan kombinasi arang 50g arang dan cuka kayu 1% yaitu
sebesar 6,66% sedangkan pertambahan tinggi terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi 100g arang dan 1%
cuka kayu, yaitu sebesar 7,88cm.
2. Pertambahan tinggi terendah sawi terjadi pada perlakuan kontrol, yaitu sebesar sebesar 11,96 cm sedangkan
pertambahan tinggi terbesar terjadi pada perlakuan kombinasi 100g arang dan cuka kayu 1%, yaitu sebesar
15,40cm.
3. Hasil uji statistik ANOVA perlakuan kombinasi arang 100g dan cuka kayu 1% yang berbeda nyata terhadap
parameter tinggi sawi.
4. Beberapa senyawa kimia daun sawi mengalami kenaikan konsentrasi antara sebelum dan sesudah perlakuan
yaitu phenol, phytol dan asam palmitat sedangkan senyawa kimia yang mengalami penuruan konsentrasi
adalah I-limonene.
REFERENSI
67
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRACT
The potential use of biochar originated from palm kernel shell as soil ameliorant seems promising in the sustainability
development of oil palm plantation in marginal land. This study was conducted to investigate the effects of three biochar
dosages (50; 100; and 150 gram) in combination with 75% NPK-Mg dosages on the growth performance of oil palm
seedling, nutrient uptake and carbon sequestration in the main nursery stage. Research arrange in a randomized block design
(RBD) with five treatments and twenty replications. The best vegetative growth performance of oil palm seedlings in Lithic
Hapludults soil was shown by the application of 75% standard dosage of NPK-Mg fertilizers in combination with the addition
of 150 gram biochar/seed. These treatment increased height (33.9%); leaf number (36.2%); stem diameter (28.9%); length
and width of the leaf (22.6 and 33.3%), dry weight of oil palm seedlings, especially on root (65.2%), soil pH 4.3 to 6.0, CEC
(17.2%), and C-organic (26.9%) respectively. The results of this treatment was shown that the absorption N nutrient leaf of the
oil palm seedlings was highest and not significantly differences for P and K uptake than that obtained by standard 100%
dosage of NPK-Mg fertilizer.
PENDAHULUAN
Permasalahan yang memerlukan penanganan dalam perbaikan sifat fisik dan kimia
tanah untuk budidaya kelapa sawit secara umum yang ditemui di Sumatera, sebagian Jawa, dan
Kalimantan adalah agregat kurang stabil, permeabilitas, bahan organik dan tingkat kebasaan
rendah, serta pH tanah rata-rata 4,2-4,8. Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar produktivitas
tanaman tidak dapat dicapai secara optimal. Dalam hal pemenuhan bahan organik, pemanfaatan
cangkang kelapa sawit yang diproses melalui pirolisis (biochar) dapat mengoptimalkan sumber
daya alam. Aplikasinya sebagai pembenah tanah pada tanah Lithic Hapludults diharapkan dapat
mengefisiensikan penggunaan pupuk dan menjadi sumber penyimpanan karbon di dalam tanah.
Hasil penelitian Santi dan Goenadi (2010a; 2010b; dan 2012) menunjukkan aplikasi arang
pirolisis (biochar) asal cangkang kelapa sawit yang dilakukan pada tanaman jagung di Lampung
dengan tanah Typic Kanhapludults beragregasi rendah berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan vegetatif (tinggi) tanaman jagung varietas Bisma mengalami kenaikan 6,5-13,4%.
Pada perlakuan 100% dosis pupuk NPK tunggal yang dikombinasikan dengan 2,1 gram biochar
per tanaman, produktivitas tanaman jagung mengalami peningkatan dalam jumlah tongkol, bobot
kering tongkol dan pipilan jagung masing-masing sebesar 31,3%; 6,1% dan 15,7% dibandingkan
perlakuan 100% dosis pupuk NPK tunggal. Pemanfaatan arang pirolisis sebagai bahan
pembenah tanah juga dapat meningkatkan nilai indeks kemantapan agregat lahan uji. Hasil
penelitian Nurida et al. 2013 juga mendukung penelitian tersebut yang menyatakan bahwa
respon tanaman jagung terhadap perbedaan formula pembenah tanah biochar limbah pertanian
nyata terlihat pada tanah mineral non masam dimana formula dengan proporsi kompos lebih
besar (biochar lebih rendah) memberikan tanaman yang lebih tinggi.
Dalam upaya memperoleh justifikasi lebih lanjut mengenai potensi biochar sebagai
bahan pembenah tanah, kegiatan penelitian yang disampaikan ini dilakukan pada tanah tekstur
berpasir Lithic Hapludults. Permasalahan yang dijumpai pada tanah jenis ini dalam kapasitasnya
sebagai media tumbuh bibit kelapa sawit adalah memiliki kadar C-organik, KTK, dan pH
rendah, sehingga kapasitasnya dalam merentensi dan menyediakan unsur hara bagi tanaman juga
68
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
rendah. Pada musim kemarau, kelembaban tanah tidak mencukupi kebutuhan air untuk tanaman
kelapa sawit. Nilai kapasitas tukar kation yang rendah menjadi faktor penghambat dalam
kemampuan mengikat hara terutama kation-kation basa sehingga pemupukan menjadi tidak
efisien (Carvalho et al. 2014). Lithic Hapludult dicirikan oleh solum dangkal (< 50 cm), tekstur
kasar, memiliki pH masam sampai sangat masam, kandungan N-total rendah sampai sangat
rendah, ketersediaan P sangat rendah, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB)
rendah sampai sangat rendah.
Makalah ini menyampaikan hasil kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
potensi arang pirolisis (biochar) asal cangkang kelapa sawit untuk sekuestrasi hara dan karbon
pada tanah Lithic Hapludults di pembibitan kelapa sawit.
69
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Utara. Kecambah kelapa sawit terlebih dahulu ditumbuhkan dalam bak-bak persemaian ukuran
39 x 31 x 11 cm (50 benih/bak). Setelah disemaikan selama dua bulan, bibit kelapa sawit dipilih
untuk memperoleh bahan tanaman yang seragam. Bibit kelapa sawit selanjutnya ditanam dalam
polibag berisi 20 kg tanah. Pupuk an-organik yang diberikan untuk perlakuan biochar dan
kontrol adalah NPKMg 15.15.6.4.TE dan 12-12-17-2.TE (trace element) dengan dosis 75-100%
dari dosis anjuran untuk bibit umur 5-24 minggu (Tabel 2) yang berdasarkan bobot kering tanah
pada kondisi lapang. Untuk pemeliharaan bibit kelapa sawit dilakukan penyiraman setiap hari
sesuai kadar air kapasitas lapang. Perlakuan terdiri dari :
1. 100% dosis standar pupuk NPK majemuk per bibit (kontrol)
2. 75% dosis standar pupuk NPK majemuk per bibit
3. 75% dosis standar NPK majemuk + 50 g biochar/bibit
4. 75% dosis standar NPK majemuk + 100 g biochar/bibit
5. 75% dosis standar NPK majemuk + 150 g biochar/bibit
Tabel 2. Dosis penuh pupuk NPKMg-TE untuk bibit kelapa sawit.
Dosis
Minggu setelah Cara aplikasi Komposisi pupuk
(g)
tanam
per bibit
5 Siram (spray)1) 0,5 NPK 15.15.6.4.TE2) (150 ml/bibit)
6 Siram (spray) 1 NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
7 Siram (spray) 1,5 NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
8 Siram (spray) 1,5 NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
9 Tabur (spread) 3 NPK 15.15.6.4.TE
11 Tabur (spread) 3 NPK 15.15.6.4.TE
13 Tabur (spread) 4 NPK 15.15.6.4.TE
15 Tabur (spread) 4 NPK 15.15.6.4.TE
17 Tabur (spread) 5 NPK 12.12.17.2.TE
19 Tabur (spread) 5 NPK 12.12.17.2.TE
21 Tabur (spread) 7,5 NPK 12.12.17.2.TE
23 Tabur (spread) 7,5 NPK 12.12.17.2.TE
25 Tabur (spread) 7,5 NPK 12.12.17.2.TE + Kieserite 10 g
1)
Metode siram dan tebar = dilakukan dengan cara disiram atau ditebar di sekitar perakaran bibit kelapa
sawit dengan jarak kurang lebih 7-10 cm dari bibit.
2)
TE = trace element [Boron (B) dan Copper (Cu), 2 ppm]
Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan
dua puluh ulangan. Data yang diperoleh diolah dengan analisis ragam dan apabila ada beda
nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie 1980).
Adapun peubah yang diamati untuk mengetahui efektivitas perlakuan biochar meliputi : (i) kadar
hara tanah (N, P2O5, K2O, KTK, dan C-organik), (ii) serapan hara daun N (metode Kjeldahl,
menggunakan H2SO4 pekat dan Selenium mixture), P dan K (ekstraksi menggunakan HNO3
pekat dan HClO4 pekat), (iii) tinggi bibit, (iv) jumlah daun, (v) diameter batang, dan (vi) panjang
dan lebar daun ke-3. Analisis hara tanah dan daun mengacu pada metode yang dikemukakan
Balai Penelitian Tanah (2009). Kadar hara tanah ditetapkan sebelum dan setelah perlakuan,
sedangkan peubah lainnya ditetapkan setelah kegiatan penelitian berakhir yaitu pada saat bibit
berumur enam bulan di pembibitan utama. Pada akhir pengamatan ini, masing-masing sebanyak
lima ulangan dengan pertumbuhan bibit seragam dari lima perlakuan yang diuji tetap diteruskan
pengamatannya hingga dua belas bulan setelah aplikasi, khusus untuk melihat korelasi antara
waktu inkubasi biochar di dalam tanah terhadap sekuestrasi karbon dan kapasitas tukar kation.
70
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Aplikasi biochar pada bibit kelapa sawit dalam media tanah Lithic Hapludults
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini, penggunaan 150 gram
biochar/bibit yang dikombinasikan dengan 75% dosis pupuk NPK-Mg menghasilkan
pertumbuhan vegetatif (tinggi, jumlah daun, diameter batang, panjang dan lebar daun ke-3) bibit
kelapa sawit yang lebih baik serta berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan 75 dan
100% dosis pupuk NPK-Mg (kontrol). Persentase peningkatan pertumbuhan vegetatif terhadap
perlakuan 100% dosis NPK-Mg (kontrol) masing-masing 33,9 (tinggi); 36,2 (jumlah daun); 28,9
(diameter batang); 22,6 (panjang daun ketiga); dan 33,3% (lebar daun ketiga) (Tabel 3).
Pemberian 100-150g biochar + 75% dosis NPK-Mg menghasilkan bobot kering daun, pelepah,
batang, dan akar bibit kelapa sawit yang berbeda nyata terhadap perlakuan kontrol. Peningkatan
untuk bobot kering (%) mencapai 53,5 - 55,4 (daun); 53,3 – 57,4 (pelepah); 53,5-54,9 (batang);
dan 61,9 – 65,2 (akar) (Tabel 4). Persentasi peningkatan bobot kering akar dengan pemberian
biochar rata-rata di atas 60%. Dalam hal ini biochar dapat menginduksi perkembangan akar bibit
kelapa sawit yang ditanam pada media tanah jenis Lithic Hapludults yang didominasi fraksi
pasir. Fungsi biochar untuk menginduksi pertumbuhan akar tanaman dilaporkan oleh Lehmann et
al., (2011); Prendergast-Miller et al., (2011); dan Brennan et al., (2014). Dalam kegiatan
penelitian tersebut dilaporkan bahwa perkembangan akar yang lebih baik dapat terjadi karena
71
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
terdapat interaksi antara rambur-rambut akar tanaman dengan struktur pori mikro biochar.
Biochar juga memiliki kemampuan dalam meretensi hara dan air. Hasil penelitian tersebut
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Santi dan Goenadi (2010b) yang menunjukkan
bahwa kapasitas menahan air pada biochar lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bahan
organik lainnya seperti kompos dan gambut dengan nilai masing-masing 25,30% (Biochar);
9,7% (kompos); dan 10,10% (gambut). Ketersediaan hara karbon (C ) yang cukup tinggi di
dalam media Lithic Hapludults dengan penambahan biochar dapat memperbaiki agregat bahan
tanah dan mengurangi pencucian hara yang ditambahkan ke dalam media tanam ini sehingga
dapat dimanfaatkan oleh perakaran bibit kelapa sawit secara optimal.
Tabel 3. Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Umur Enam Bulan di Pembibitan Utama.
Perlakuan Peubah
Tinggi Jumlah Diameter Panjang Lebar
(cm) daun batang daun ke- daun ke-
(cm) 3 3
(cm) (cm)
100% dosis NPK-Mg 67,2 c*) 11,3 c 4,9 c 23,6 c 1,6 c
75% dosis NPK-Mg 86,7 b 14,0 bc 5,7 b 26,5 b 1,9 b
75%NPK-Mg+50g 95,3 ab 15,6 ab 6,4 a 27,6 b 2,2 b
biochar/bibit
75%NPK-Mg+100g 98,7 ab 16,3 ab 6,6 a 27,8 b 1,9 b
biochar/bibit
75%NPK-Mg+150g 101,8 a 17,7 a 6,9 a 30,5 a 2,4 a
biochar/bibit
Koefisien keragaman (%) 7,6 11,4 8,5 4,0 9,3
*)
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
jarak ganda Duncan (P<0,05).
Tabel 4. Bobot Kering Bibit Kelapa Sawit Umur Enam Bulan di Pembibitan Utama
Perlakuan Bobot kering (g)/bibit
Daun Pelepah Batang Akar
100% dosis NPK-Mg 42,7 c*) 32,8 c 32,3 c 12,9 e
75% dosis NPK-Mg 71,7 b 65,1 b 47,4 b 20,0 d
75%NPK-Mg+50g biochar/bibit 72,6 b 64,8 b 51,3 b 25,7 c
75%NPK-Mg+100g 91,9 a 77,0 a 69,4 a 33,9 b
biochar/bibit
75%NPK-Mg+150g 95,8 a 70,2 ab 71,7 a 37,1 a
biochar/bibit
Koefisien keragaman (%) 4,5 6,4 7,2 0,4
*)
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
jarak ganda Duncan (P<0,05).
Hasil yang cukup menarik dari kegiatan penelitian ini bahwa pemberian pupuk NPK-Mg
75% dari dosis standar menghasilkan pertumbuhan bibit yang lebih baik jika dibandingkan
dengan dosis 100% pupuk NPK-Mg. Dalam hal ini, rekomendasi dosis pupuk dapat ditinjau
kembali tidak hanya atas dasar jumlah hara yang tersedia dalam bahan tanah, namun juga
memperhatikan sifat fisik tanah lainnya seperti tekstur dan porositasnya.
Pemberian biochar yang dikombinasikan dengan pupuk NPK-Mg setelah enam bulan
aplikasi dapat meningkatkan pH tanah media dari 4,3 menjadi 5,8-6,0 atau setara 25,9 – 28,3%
(Tabel 5). Peningkatan pH tanah media akan mengoptimalkan ketersediaan nutrisi bagi bibit
kelapa sawit. pH tanah optimal untuk pertumbuhan tanaman rata-rata berkisar antara 6,0-6,5.
Pemberian 150 gram biochar/bibit yang dikombinasikan dengan 75% dosis pupuk NPK-Mg pada
72
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
pengukuran enam bulan setelah aplikasi dapat meningkatkan ketersediaan hara N, P, KTK dan
kadar C-organik di dalam tanah, serta berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Sementara itu untuk unsur hara K, ketersediaannya tidak berbeda nyata jika
dibandingkan dengan kontrol. Sifat kimia tanah lainnya yang meningkat dengan aplikasi 150
gram biochar/bibit adalah KTK dan kadar C-organik tanah, dengan nilai masing-masing
peningkatan sebesar 15,5 dan 26,9% jika dibandingkan perlakuan kontrol.
Tabel 5. pH, C-Organik, dan Kadar Hara Tanah Media Bibit Kelapa Sawit, Enam Bulan
Setelah Aplikasi dengan Biochar.
Perlakuan Peubah
p N
P2O5- P2O5
K2 O K2 O KTK C-organik
H (%) Bra (ppm)
(ppm) Bray [cmol(+)kg- (%)
1
y (ppm) ]
(pp
m)
100% dosis NPK-Mg 6,0 0,16 b*) 900 a 120,8 1010,8 1115,4 a 4,9 bc 1,9 c
a a
75% dosis NPK-Mg 5,8 0,15 c 600 b 80,6 c 694,8 c 725,7 b 4,6 c 1,9 c
75%NPK-Mg+50g biochar/bibit 5,9 0,14 c 700 b 100,9 849,9 b 773,7 b 4,7 c 2,1 b
b
75%NPK-Mg+100g 6,0 0,17 a 400 d 102,5 830,9 b 746,7 b 5,2 b 2,5 a
biochar/bibit b
75%NPK-Mg+150g 6,0 0,17 a 500 c 123,4 970,5 a 899,1 ab 5,8 a 2,6 a
biochar/bibit a
Koefisien keragaman (%) 2,4 2,9 3,8 1,9 9,9 2,6 3,1
*)
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
jarak ganda Duncan (P<0,05).
Pemberian biochar dengan dosis 50-150 gram biochar/bibit yang dikombinasikan dengan
75% dosis pupuk NPK-Mg dapat meningkatkan kadar hara N (Tabel 6). Kadar hara N daun bibit
kelapa sawit dengan pemberian biochar berbeda nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Sementara itu dosis pemberian 150 gram biochar/bibit yang dikombinasikan dengan 75%
dosis pupuk NPK-Mg kadar hara P dan K yang tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan
100% dosis pupuk NPK.
Tabel 6. Kadar hara daun bibit kelapa sawit enam bulan setelah aplikasi biochar
Perlakuan Peubah
N (%) P (%) K (%)
100% dosis NPK-Mg 3,7 b*) 0,14 a 2,5 a
75% dosis NPK-Mg 3,7 b 0,11 b 2,4 a
75%NPK-Mg+ 50g biochar/bibit 3,9 a 0,12 b 2,2 ab
75%NPK-Mg+ 100g biochar/bibit 3,8 a 0,12 b 1,9 b
75%NPK-Mg+ 150g biochar/bibit 3,9 a 0,14 a 2,5 a
Koefisien keragaman (%) 2,0 4,2 5,6
*)
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji jarak ganda Duncan (P<0,05).
Hasil analisis kadar C-organik dan kapasitas tukar kation terhadap media tanah Lithic
Hapludults 12 bulan setelah diaplikasi biochar menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis biochar
yang diberikan ke dalam media tanam, maka kadar C-organik yang terdapat di dalam media
tanam juga semakin meningkat, demikian halnya dengan kapasitas tukar kation (Gambar 1). Hasil
ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Steiner (2007). Peningkatan nilai kapasitas tukar
kation (KTK) dapat mempertahankan ion bermuatan positif seperti Ca2+, Mg2+, dan K+ melalui
gaya elektrostatik. Tanah yang memiliki KTK tinggi lebih dapat mempertahankan ion-ion
bermuatan positif tersebut di atas. Nilai KTK tinggi juga memungkinkan ditempati oleh kation
73
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
asam seperti H+ dan Al3+. Yamato et al. (2006) melaporkan bahwa aplikasi biochar ke dalam
tanah selain dapat meningkatkan pH, KTK, kadar N total dan P2O5 tersedia serta tingkat
kebasaan, biochar juga dapat menurunkan kandungan Al3+ yang dapat dipertukarkan.
Penambahan biochar diharapkan dapat meningkatkan kadar bahan organik di dalam tanah dan
dapat bertahan dalam periode yang cukup lama. Dampak yang diharapkan adalah KTK di dalam
tanah juga dapat dipertahankan tetap tinggi.
Gambar 1. Grafik hubungan antara perlakuan dosis pupuk dan biochar terhadap kandungan C-organik
dan kapasitas tukar kation di dalam tanah Lithic Hapludults.
REFERENSI
Blackwell, P., G. Riethmuller, dan M. Collins. 2010. Biochar Application to Soil. In . J. Lehmann and S.
Joseph (Eds.) Biochar for Environmental Management: Science and Technology. Earthscan Publishing,
UK and Washington DC. 416p.
Brennan, A., E.M. Jiménez, M. Puschenreiter, J.A. Alburquerque, dan C. Switzer. 2014. Effects of biochar
amendment on root traits and contaminant availability of maize plants in a copper and arsenic impacted
soil. Plant Soil. DOI 10.1007/s11104-014-2074-0. Springer International Publishing Switzerland. p.
351-360.
Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. ISBN 978-602-8039-21-5.
Bogor, Balai Penelitian Tanah. 234p.
Carvalho M T., A.H.N Maia, B.E. Madari, L. Bastiaans, P.A . van Oort , A. B. Heinemann, M.A. Soler da
Silva, F.A. Petter, B.H. Marimon Jr, dan H.Meinke. 2014. Biochar increases plant-available water in a
sandy loam soil under an aerobic rice crop system. Solid Earth 5: 939–952.
Eneje, R.C., P.C Oguike dan Osuaku. 2007. Temporal variations in organic carbon, soil reactivity and aggregate
stability in soils of contrasting cropping history. African J Biotechnol 6(4): 369-374.
74
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Fairhurst, T. dan R. Hardter. 2003. Management for Large and Sustainable Yields. Potash and Phosphate
Institute of Canada. 382p.
Lehmann, J., M.C Rillig, J. Thies, C.A. Masiello, W.C. Hockaday, dan D. Crowley. 2011 Biochar effects on soil
biota—a review. Soil Biol Biochem 43:1812–1836.
Nurida, N.L., Ai Dariah, dan A. Rachman. 2013. Peningkatan kualitas tanah dengan pembenah tanah biochar
limbah pertanian. Jurnal Tanah dan Iklim. 37 (2): 69-78.
Prakongkep, N., R. J. Gilkes, W. Wiriyakitnateekul, A. Duangchan, dan T. Darunsontaya. 2013. The effects of
pyrolysis conditions on the chemical and physical properties of rice husk biochar. Int. J. Material Sci.
3(3): 97-103.
Prendergast-Miller, M.T, M. Duvall, dan S.P. Sohi. 2011. Localisation of nitrate in the rhizosphere of biochar-
amended soils. Soil Biol Biochem 43:2243–2246.
Santi, L.P., dan D.H. Goenadi. 2012. The use of bio-char originated from palm kernel shell as a carrier of
aggregate stabilizing microbes. Seminar Nasional Pengelolaan Biomassa sebagai Sumber Energi
Terbarukan, Pertanian Berlanjut dan Mitigasi Pemanasan Global (Prospek Konversi Biomassa ke
Biochar di Indonesia) di UNITRI Malang, tanggal 26-27 Juni 2012.
Santi, L.P., dan D.H. Goenadi. 2010a. The potential use of pyrolysis charcoal (bio-char) for Ultisol soil bio-
ameliorant. Proceeding: 3 rd International Biochar Conference 2010, Rio de Janeiro, Brazil 12-15 Sept
2010.
Santi, L.P., dan D.H. Goenadi. 2010b. Pemanfaatan bio-char sebagai pembawa mikroba untuk pemantap
agregat tanah Ultisol dari Taman Bogo-Lampung. Menara Perkebunan 78(2): 11-22.
Soil Survey Division Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 11th Edition. United States Departement of
Agriculture. Natural Resources Conservation Service.
Solichin, M. 2009. Teknologi asap cair ”deorub” dalam industri karet alam. Technology Indonesia.
http://www.technologyindonesia.com.
Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2 nd ed.
McGraw-Hill, New York.
Steiner, C. 2007. Soil charcoal amendments maintain soil fertility and establish carbon sink-research and
prospects. Soil Ecology Res Dev, 1-6.
Yamato, M., Y. Okimori, I.F. Wibowo, S. Anshori, dan M. Ogawa. 2006. Effects of the application of charred
bark of Acacia mangium on the yield of maize, cowpea and peanut, and soil chemical properties in
South Sumatra, Indonesia. J. Soil Sci. Plant Nutrition 52: 489–495.
75
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Untuk mengetahui penampilan hiterosis, peran gen dan sifat kualitatif hibrada hasil persilangan IPB 3S dan
Fatmawati degan beberapa genotipe padi beras merah yang berpeluang sebagai gen pool pembentukan padi gogorancah
beras merah tipe ideal telah dilakukan penelitian melalui percobaan eksperimintal di lahan sawah desa Nyur Lembang,
Lombok Barat pada Agustus - Nopember 2015. Rancangan Acak Kelompok 12 genotipe padi (Fatmawati, IPB 3S, Inpago
Unram I, G9(F2BC4P19-36), F1 Fatmawati/Inpago Unram 1, F1 Fatmawiti/G9, F1 IPB 3S/Inpago Unram I, F1 IPB
3S/G9, F1Inpago Unram I/Fatmawati, F1 G9/Fatmawati, F1 Inpago unram I/IPB 3S, dan F1 G9/IPB 3 S) sebagai
perlakuan diulang lima kali. Penilian nilai hiterosis berdasarkan rerata kedua tetua dan tetua tertinggi, untuk peran gen
berdasarkan potence ratio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, berdasarkan nilai hiterosis dan Heterobeltiosis sebagian
besar penentu produksi, maka empat hibrida (F1 Fat/Inpago , F1 Fat/G9, F1 IPB 3S/Inpago serta F1 IPB 3S/G90
berpeluang sebagai varietas unggul tipe ideal. Hibrida hasil persilangan tersebut lebih mendominasi pada aksi gen
dominan sebagian positif dan negatif serta over dominan,sedangkan hibrida hasil silang tunggal dan resiprok memberikan
warna organ tanaman dan bentuk gabah yang bervariasi.
PENDAHULUAN
Beras merupakan sumber pangan yang memiliki kandungan protein, vitamin dan
mineral yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh manusia terutama beras merah dan sekaligus
sebagai salah satu pangan fungsional terutama karena kandungan antosianinnya yang berfungsi
sebagai antioksidan, kandungan asam folat, magnesium, niasin, Posfor, vitamin A, B, C, serta B
kompleks. Beras merah berkhasiat untuk mencegah penyakit kangker khusus, batu ginjal, beri-
beri, insomnia, sembelet, dan wasir, serta mampu menurunkan kadar gula dan kolesterol
(Suardi, 2005; Suliartini et al., 2011; Wijayanti, 2012) .
Perakitan varietas padi gogo rancah beras merah tipe baru di Indonesia sama sekali
belum mendapat perhatian, sehingga sampai saat ini satu varietaspun belum ada yang dilepas
sebagai varietas padi gogo rancah tipe baru. Dari 233 varietas padi unggul yang dilepas oleh
Kementrian Pertanian sebagian besar berupa varietas padi sawah, padi gogo, padi rawa pasang
surut. Sebagai padi sawah, beras merah baru beberapa varietas antaranya Aek Sibundong dan
Inpara 24 Gabusan, sedangkan sebagai padi gogo, baru satu varietas yaitu Inpago Unram1 (
Suprihatno, et al., 2010; Muliarta, et al., 2014). Oleh karena itu, sumber gen baru yang
berpotensi untuk pembentukan varietas unggul padi gogo rancah beras merah tipe baru yang
berpotensi hasil tinggi umur genjah sangat diperlukan mengingat masih banyak plasma nutfah
untuk sifat-sifat tersebut belum teridentifikasi. Penelitian Muliarta, et al.,(2010) melalui
persilangan back cross sebanyak 4 (empat) kali antara galur harapan padi beras merah toleran
kekeringan dengan kultivar Kala Isi Tolo yang memiliki kandungan antosian tinggi umur
genjah telah dihasilkan beberapa galur padi gogo beras merah. Galur-galur tersebut diseleksi
dilanjutkan dengan uji daya hasil pendahuluan dan Uji daya hasil lanjutan sehingga dihasilkan
beberapa galur harapan salah satunya galur harapan padi gogo beras merah F2BC4P19-36 yang
memiliki kandungan antosianin tinggi, umur genjah 107 hari namun masih memiliki daya hasil
relatif rendah yaitu 4,8 ton/ha. Inpago Unram I merupakan varietas unggul baru padi gogo
beras merah yang memiliki daya hasil 5 ton/ha juga merupakan salah satu sumber gen baru
yang dapat dipergunakan sebagai tetua (Muliarta et al., 2013)
Mengingat rendahnya potensi hasil yang dimiliki galur padi gogo beras merah
F2BC4P19-36 dan Inpago Unram I sehingga masih perlu ditingkatkan potensi hasilnya sebesar
> 7 ton/ha dan berumur genjah (<110 hari) melalui pembentukan varietas padi gogo rancah Tipe
76
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Baru yang adaptif pada lahan sawah tadah hujan pada system tanam gogo rancah. Peluang
tersebut dapat dilakukan dengan melakukan persilangan varietas padi tipe baru IPB 3S dan
Fatmawati. Varietas IPB 3S potensi hasilnya 11,2 ton/ha GKG, berumur 112 hari, tekstur nasi
pulen sedangkan Fatmawati potensi hasilnya 9 ton/ha GKG umur 115 hari dengan tekstur nasi
pulen.
Untuk dapat membentuk varietas unggul maka diperlukan metode seleksi pemuliaan
yang tepat dan benar. Penggunaan metode seleksi yang benar dan tepat dapat dilakukan bila
mana telah diketahui peran gen dan heteroris dari karakter-karakter kuantitatif tanaman padi
tersebut. Mengetahui peran gen tanaman tersebut maka efisiensi suatu program pemuliaan
tanaman dapat lebih di tingkatkan, karena peran gen menggambarkan kerja gen. Bila peran gen
aditif lebih menonjol dari peran gen dominan dalam pengendalian suatu karakter, maka seleksi
massa merupakan metode yang lebih tepat. Bila peran gen dominan lebih menonjol maka
program pemuliaan sebaiknya diarahkan untuk membentuk varietas hibrida (Gudoy et al., 1987)
Heterosis merupakan peningkatan atau penurunan nilai-nilai F1 jika dibandingkan
dengan nilai rerata tetuanya untuk karakter yang sama (Sukirman, 2005). Heterosis akan
terekspresikan dalam dua kondisi yaitu hadirnya beberapa tingkat dominansi dan perbedaan
relative frekwensi gen dari kedua tetua dalam menentukan besarnya heterosis yang dieksperikan
pada hasil persilangan. Bila salah satu atau kedua keadaan ini tidak terujud, maka hiterosis tidak
terekspresikan (Falconer.1989; Satono dan Suprihatno. 1997). Virnani et al.,(1991) dan Darlina
et al., (1992) menambahkan, pemilihan tipe kultivar padi yang digunakan sebagai tetua
menentukan besarnya heterosis yang diteliti. Efek heterosis pada F1 dalam hibridisasi
mempunyai arti yang sangat penting dalam pembentukan suatu varietas hibrida terutama dalam
menentukan pemilihanan suatu tetua yang potensial untuk membentuk varietas hibrida
berdaya hasil tinggi.
Penampilan karakter suatu tanaman baik berupa karakter kualitatif maupun kuantitatif
adalah penampilan sifat tanaman pada suatu lingkungan tubuh yang merupakan hasil kerjasama
antara faktor genetik dan lingkungan. Evaluasi terhadap karakter morfologi suatu tanaman
sangat membantu dalam kegiatan seleksi sifat-sifat unggul yang diinginkan dan sesuai dengan
tujuan kegiatan pemuliaan tanaman itu sendiri (Mangondidjoyo, 2000: Muliarta.et al., 2015)
Artikel ini memaparkan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penampilan
hiterosis , peran gen dan sifat kualitatif hibrada hasil persilangan IPB 3S dan Fatmawati degan
beberapa genotipe padi beras merah yang a berpeluang sebagai gen pool untuk pembentukan
padi gogorancah beras merah tipe ideal.
77
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
78
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1 : Rerata, heterosis dan heterobeltiosis karakter umur berbunga, tinggi tanaman
dan jumlah anakkan per rumpun hasil persilangan Fatmawati dan IPB 3S
dengan padi beras merah.
Umur berbunga Tinggi Tanaman Jumlah Anakan per rumpun
(hss) (cm) (buah)
Perlakuan
Rerata MPH HPH Rerata MPH HPH Rerata MPH HPH
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
F1 Fat/Inpago 85,67 4,58 0,98 125,17 3,94 -1,57 15,33 -21,38 -47,45
F1 Fat/G9 84,17 1,41 -1,68 116,83 0,50 2,79 14,67 4,47 -22,31
F1 Inpago/Fat 82,33 0,51 -2,95 131,00 8,79 3,01 18,50 -11,95 -41,14
F1 G9/Fat 87,83 5,82 3,54 122,00 4,95 7,33 16,83 13,33 -15,72
F1 IPB 3S/Inpago 82,33 -0,10 -0,10 124,67 1,08 -1,97 13,00 -35,00 -55,43
F1 IPB 3S/G9 82,17 -1,60 -1,60 123,50 3,64 3,35 11,83 -23,68 -41,35
F1 Inpago/IPB 3S 81,83 -0,71 -4,66 128,83 4,46 1,31 21,00 -5,00 -34,86
F1 G9/IPB 3S 82,17 -1,60 -4,27 131,50 10,35 10,04 14,83 -4,32 -26,47
FATMAWATI 84,83 113,67 9,83
IPB 3S 85,83 119,50 10,83
Inpago Unram 1 79,00 127,17 26,50
G9 81,17 118,83 20,17
Keterangan : MPH= heteroris berdasarkan rerata kedua tetua, HPH = heteroris berdasarkan
tetua tertinggi (Heterobeltiosis).
Tinggi tanaman pada padi umumnya diharapkan heterosis negatif atau rendah karena
dengan demikian akan diperoleh tanaman-tanaman yang lebih pendek dari rata-rata kedua
tetuanya. Pada Tabel 1 nampak semua hibrida memberikan nilai hiterosis positif pada tinggi
tanaman, dan tiga hibrida memberikan nilai heterobeltiosis negatif serta lima positif.
Heterobeltiosis terendah didapat pada hibrida F1Fat/Inpago sebesar -1,57 % dengan tinggi
125,17 cm, F1 Fat/G9 sebesar -2,79 % dengan tinggi 116,83 cm serta F1 IPB 3S/Inpago sebesar
-1,97 % dengan tinggi 124,67 cm. Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan bahwa pemulia
memfokuskan seleksi untuk tanaman yang lebih pendek untuk mengatasi kerebahan akibatan
tiupan angin kencang. Selanjutnya Yunnita et al., (2015) menambahkan bahwa tinggi tanaman
sangat berhubungan erat dengan tingkat kerebahan dan kemudaan saat panen.
Pada Karakter jumlah anakan produktif per rumpun nampak dari semua hibrida
memberikan nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif , kecuali pada hibrida F1 Fat/G9 dengan
jumlah anakan 14,67 buah dan F1 G9/Fat dengan jumlah anakan 16,83 buah memberikan nilai
heterosis positif yaitu sebesar 4,47 % dan 13,33 % . Pada jumlah anakan non produktif per
rumpun semua hibrida memberikan nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif artinya hibrida
yang dihasilkan memberikan jumlah anakan non produktif yang semakin rendah per rumpun
tanamannya. Jumlah anakan yang sedikit tanpa adanya anakan yang non produktif merupakan
salah satu ciri kreteria dari padi tipe ideal (Yunita dan Harnowo.2010)
Untuk karakter panjang malai nampak terdapat empat hibrida yang memiliki nilai
heterosis positif dan empat bernilai negatif. Namun berdasarkan nilai heterobeltiosis semua
kombinasi persilangan memberikan nilai negatif. Hibridayang memberikan nilai heterosis
positif adalah F1 Fat/Inpogo dengan rerata panjang malai 27,23 cm, F1 Fat/G9 dengan
panjang malai 27,15 cm, F1 IPB 3S/Inpago dengan panjang malai 27,26 cm serta F1 IPB 3S/G9
dengan panjang malai 27,32 cm secara berurutan bernilai 7,33 %; 8,51 %; 6,92 % dan 8,65
%. Panjang malai sangat erat kaitannya dengan jumlah gabah berisi. Pada pembentukan padi
tipe ideal sangat diharapkan dihasilkan malai yang panjang disertai dengan jumlah gabah berisi
yang tinggi. Dewi at al.,(2009) menyatakan bahwa panjang malai memiliki korelasi positif
dengan jumlah gabah permalai. Makarim dan Suhartatik (2009) menambahkan semakin
panjang malai tanaman padi maka semangkin banyak gabah yang akan dihasilkan.
Pada karakter jumlah gabah berisi per malai (Tabel 2) nampak bahwa terdapat empat
hibrida yang memberikan nilai heterosis positif dan empat hibrida memberikan nilai heterosis
negatif. Sedangkan berdasarkan nilai heterobeltiosis (HPH) semua hibrida memberikan nilai
79
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
negatif kecuali hibrida F1 Fat/Inpago dan F1 IPB 3S/Inpago memberikan nilai positif. Nilai
heterosis dan heterobeltiosis positif tertinggi jumlah gabah berisi per malai (223,70 butir) di
jumpai pada hibrida F1 IPB 3S/Inpago secara berurutan sebesar 17,07 % dan 2,48 %. Nilai
Hererosis positif lainnya nampak pada hibrida F1 IPB3S/G9 , F1 Fat/G9 dan F1 Fat/Inpago
secara berurutan sebesar 16,76 %, 15,96 % dan 14.11 %. Untuk karakter jumlah gabah hampa
per malai semua hibrida memiliki nilai heterosis dan heterobeltiosis negatif. Nilai heterosis
dan heterobeltiosis jumlah gabah hampa permalai terendah terdapat pada hibrida F1
G9/Fatmawati dengan rerata jumlah gabah hampa per malainya 17,83 butir sebesar -52,82 %
dan -65,43%. Adanya peningkatan jumlah gabah berisi yang dihasilkan dari hasil persilangan
ini sangat diharapkan dalam pembentukan padi tipe ideal. Hal ini sesuai dengan Ma et al.,
(2006) dalam Dewi et al., (2009) menyatakan bahwa salah satu karakter padi tipe ideal adalah
memiliki jumlah gabah antara 180 -240 butir per malai dengan jumlah gabah berisi lebih dari
85 persen. Yunita et al., (2015) menambahkan bahwa jumlah gabah berisi dan gabah hampa
permalai merupakan salah satu karakter agronomi yang pertama di seleksi dalam kreteria
membentuk padi tipe ideal.
Jumlah anakan Non Panjang Malai (cm) Jumlah Gabah Berisi per
Produktif per rumpun malai (butir)
Perlakuan (buah)
Rerata MPH HPH Rerata MPH HPH Rerata MPH HPH
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
F1 Fat/Inpago 0,00 -100,00 -100,00 27,23 7,33 -1,80 216,05 14,11 0,35
F1 Fat/G9 0,00 -100,00 -100,00 27,15 8,51 -2,09 214,07 15,96 -0,57
F1 Inpago/Fat 0,17 -77,33 -88,67 25,07 -1,18 -9,59 169,68 -10,38 -21,19
F1 G9/Fat 0,33 -56,00 -78,00 24,33 -2,76 -12,26 157,27 -14,80 -26,96
F1 IPB 3S/Inpago 0,00 -100,00 -100,00 27,26 6,92 -2,57 223,70 17,07 2,48
F1 IPB 3S/G9 0,00 -100,00 -100,00 27,32 8,65 -2,36 217,28 16,76 -0,46
F1 Inpago/IPB 3S 0,17 -77,33 -88,67 23,33 -8,49 -16,62 165,55 -13,37 -24,16
F1 G9/IPB 3S 0,17 -77,33 -88,67 22,99 -8,57 -17,83 144,17 -22,53 -33,95
FATMAWATI 0,00 27,73 215,30
IPB 3S 0,00 27,98 218,28
Inpago Unram 1 1,50 23,01 163,37
G9 1,50 22,31 153,90
Keterangan : MPH= heteroris berdasarkan rerata kedua tetua, HPH = heteroris berdasarkan
tetua tertinggi.
Pada berat 100 butir gabah nampak semua hibrida memberikan nilai heterosis positif
kecuali pada hibrida F1 Inpago/Fatmawati dan F1 Inpago /IPB 3S memberikan nilai heterosis
negatif. Sedangkan berdasarkan nilai heterobeltiosis (Tabel 3) menunjukkan semua hibridanya
memberikan nilai negatif kecuali hibrida F1 IPB 3S/G9 dan F1 G9/IPB 3S memberikan nilai
positip. Hibrida F1 IPB3S/Inpago yang memiliki bobot 100 butir 2,85 gram memberikan nilai
hetorosis positif sebesar 4,78 % sedangka berdasarkan nilai heterobeltiosis nampak hibrida
F1 IPB 3S/G9 memberikan nilai positif sebesar 1,05 %.
Berat gabah per rumpun merupakan faktor terpenting pada produksi hasil tanaman
padi. Pada Tabel 3 nampak bahwa ada empat hibridayang memberikan heterosis positif dan
empat hibrida yang memberikan heterosis negatif. Sedangkan berdasarkan penilaian
heterobeltiosis semua hibridamemberikan nilai negatif kecuali hibridaF1 Inpago /IPB 3S
bernilai heterobeltiosis positif. Munculnya efek heterosis ini disebabkan oleh akumulasi gen
80
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
dominan, sedangkan hetrobeltiosis tidak lepas dari adanya effek dominan lebih (over dominan)
pada karakter tersebut (Nasir, 1999). Tulu (2001) menambahkan bahwa nilai heterosis
dipengaruhi keragaman dan jarak genetik tetua yang digunakan. Nilai heterosis tinggi yang
melebihi rerata kedua tetuanya atau bahkan tetua terbaiknya menandakan keragaman genetik
yang luas di antara individu dalam populasi . Pada Tabel 3 nampak bahwa nilai heterosis
terbaik berat gabah per rumpun dimiliki oleh hibrida F1 Fat/G9 yaitu 5,47 % dengan rerata
69,17 gram; kemudian diikuti oleh F1 Inpago /IPB 3S yaitu 3,17 % dengan rerata 78,67 gram,
F1 IPB 3S/G9 yaitu 2,47 % dengan rerata 69,17 gram dan F1 IPB 3 S/Inpago yaitu 0,55 %
dengan rerata 76,67 gram. Sedangkan heterobeltiosis terbaik terjadi pada hibrida F1 Inpago/IPB
3S yaitu 1,08 %. Melalui persilangan antara CGMJI4PO2F/R114002R dihasilkan hibrida
terbaik terhadap nilai heterosis dan heribeltiosis tertinggi, positif dan melebih 15% pada
karakter hasil dan komponen hasil jumlah gabah berisi permalai, jumlah gabah total permalai
serta persentae gabah berisi permalai yang meningkat ( Sholekha et al.,2015)
Tabel 3 : Rerata, heterosis dan heterobeltiosis karakter jumlah gabah hampa per malai,
berat 100 butir gabah dan berat gabah per rumpun hasil persilangan Fatmawati
dan IPB 3S dengan padi beras merah.
Jumlah gabah hampa per Berat 100 butir gabah Berat gabah per rumpun
malai (butir) (butir) (gram)
Perlakuan
Rerata MPH HPH Rerata MPH HPH Rerata MPH HPH
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
F1 Fat/Inpago 26,90 -21,57 -47,84 2,75 0,55 -5,17 71,67 -3,58 -7,91
F1 Fat/G9 32,80 -13,27 -36,40 2,89 1,76 -0,34 69,17 5,47 -2,34
F1 Inpago/Fat 22,70 -33,82 -55,98 2,70 -1,28 -6,90 74,00 -0,44 -4,92
F1 G9/Fat 17,83 -52,86 -65,43 2,86 0,70 -1,38 56,17 -14,35 -20,70
F1 IPB 3S/Inpago 21,80 -27,25 -49,18 2,85 4,78 -0,70 76,67 0,55 -1,49
F1 IPB 3S/G9 28,90 -13,69 -32,63 2,90 2,65 1,05 69,17 2,47 -7,37
F1 Inpago/IPB 3S 17,33 -42,17 -59,60 2,62 -3,68 -8,71 78,67 3,17 1,08
F1 G9/IPB 3S 25,93 -22,56 -39,56 2,88 1,95 0,35 57,33 -15,07 -23,22
FATMAWATI 51,57 2,90 70,83
IPB 3S 42,90 2,87 74,67
Inpago Unram 1 17,03 2,57 77,83
G9 24,07 2,78 60,33
Keterangan : MPH= heteroris berdasarkan rerata kedua tetua, HPH = heteroris berdasarkan
tetua tertinggi
Berdasarkan hasil pengujian di atas dapat dilihat bahwa nilai heterosis tinggi tidak
selalu menjamin rataan hasil yang tinggi pada hibridanya. Hal yang sama juga dinyatakan
Hadiatmi et. al., (2001) bahwa nilai heterosis yang tinggi tidak selalu menunjukkan daya hasil
hibrida yang tinggi, tetapi masih dipengaruhi faktor lain, yaitu kemampuan daya gabung dari
tetuanya.
Heterosis rendah umumnya disebabkan karena tetua yang digunakan untuk persilangan
memiliki hubungan kekerabatan dekat sebaliknya heterosis yang tinggi memiliki kekerabatan
cukup jauh. Menurut Bohn et al., (1999) genotipe tetua yang berkerabat dekat akan menunjukkan
kesamaan genetik sehingga persilangan di antara mereka tidak akan menimbulkan efek heterosis
yang besar. Manjarrez et al., (1997) menambahkan bahwa jarak tetua yang semakin jauh akan
semakin memperbesar perbedaan gen-gen dan memperbesar interaksi gen-gen potensial dalam
bentuk epistasis dan dominan sehingga akhirnya akan memperbesar potensi heterosisnya.
Hasil penelitian yang telah dilakukan Cina maupun IRRI pada umumnya menunjukkan
bahwa tingkat heterosis pada berbagai hibridapadi ternyata mengikuti kecenderungan sebagai
berikut; Indica/Japonica > Indica/Javanica > Japonica/Javanica > Indica/Indica >
Japonica/Japonica. Tiga macam hibrida yang pertama adalah hibrida antar sub spesies sedangkan
dua hibrida berikutnya adalah hubungan antar varietas. Persilangan antara indica/japonica
81
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
menimbulkan gabah kurang bernas ( hampa / steril ), hal ini dapat diatasi dengan menggunakan
gen WC (Wide Compatibility Gene) Ikekashi et al., 1994.
Dalam melakukan kombinasi persilangan yang baik dengan memanfaatkan efek
heterosis maupun heterobeltiosis, hendaknya pemilihan di arahkan pada kombinasi persilangan
yang memiliki efek heterosis tinggi, Tapi perlu diingat bahwa nilai heterosis yang tinggi tidak
selalu diikuti oleh nilai rerata karakter yang tinggi pula (Tabel 1- 3). Oleh karena itu untuk
memanfaat efek heterosis dan heterobeltiosis untuk diarahkan dalam pembentukan varietas
padi tipe ideal yang berumur genjah maka kombinasi – kombinasi persilangan yang perlu
dipertimbangkan untuk dikembangkan lebih lanjut adalah hasil persilangan antara F1
Fat/Inpago , F1 Fat/G9, F1 IPB 3S/Inpago serta F1 IPB 3S/G9. Hasil persilangan di atas pada
umumnya memberikan jumlah gabah berisi per malai, panjang malai, jumlah anakan per
rumpun kearah ciri padi tipe ideal.
82
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 4 : Nilai nisbah potensi (hp) /aksi gen pada karakter kuantitatif hasil
persilangan padi Fatmawati dan IPB 3 S dengan padi beras merah.
Pada karakter jumlah gabah hampa per malai semua hibridnya menunjukkan peran gen
dominan sebagian negatif kecuali pada hibrida F1 G9/Fat menunjukan peran gen over dominan
negatif. Pada karakter berat 100 butir gabah peran gen dominan sebagian negatif nampak pada
hibrida F1 Inpago/Fat dan F1 Inpago/IPB 3S. Peran gen dominan sebagian negatif pada berat
gabah per rumpun di jumpai pada hibrida F1 Fat /Inpago serta F1 Inpago /Fat. Menurut
Sulistyowati dan Machfud (2009) menyatakan derajat dominansi negatif tidak sempurna
(dominan sebagian negatif) mengindikasikan adanya gen yang lemah yang diwariskan oleh
tetuanya dan pewarisan sifatnya dikendalikan oleh gen resesif. Penampilan aksi gen dominan
sempurna negatif (DP-) dengan nisbah potensinya (HP=-1) hanya dijumpai pada karakter
jumlah anakan non produktif per rumpun yaitu pada hibridaF1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, F1 IPB
3S/Inpago dan F1 Inpago/IPB 3S.
83
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Pengetahuan tentang peran gen sangat erat kaitannya dengan penentuan metode seleksi
pada materi yang ditangani (Salazar et al.,1997). Menurut Basuki (1995) apabila peran gen
aditif lebih berperan dibandingkan dengan gen dominan dalam pengendalian suatu karakter
maka seleksi massa lebih efektif diterapkan pada materi tersebut, sebaliknya jika peran gen
dominan lebih berperan dibandingan gen aditif dalam pengendalian suatu karakter maka
sebaiknya arah pembentukan varietas hibrida lebih cepat.
Karakter-karakter morfologi yang bersifat kualitatif yang diamati pada penelitian ini
bersifat sebagai cross check penampilan hibrida terhadap para tetuanya. Berdasarkan hasil
pengamatan, karakter kualitatif tetua dan hibrida yang muncul beragam. Ini disebabkan karena
keragaman tetua yang digunakan baik berdasarkan sifat kualitatif maupun kuantitatifnya.
Tetua IPB 3S dan Fatmawati dengan warna beras putih merupakan padi tipe baru dengan
jumlah anakan sedang, tanpa anakan non produktif, berbatang besar dan kuat, berbiji berat,
bertipe tegak, bermalai panjang dengan jumlah gabah isi permalai lebih dari 200 butir. Inpago
Unram 1 dan galur harapan G9 merupakan padi gogo beras merah tergolong padi unggul baru
dengan jumlah anakan banyak serta memiliki anakan non produktif, jumlah gabah per malai
dan panjang malai lebih pendek dibandingkan denga padi tipe baru. Pada pengamatan sifat
kualitatif hasil persilangan tunggal seperti warna kaki anakan, warna batang, warna daun, warna
lidah daun, warna bunga jantan dan bunga betina , telinga daun, warna gabah, bentuk gabah dan
warna beras dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 tersebut nampak pada hibridanya terjadi
perubahan warna kaki anakan, warna batang, warna daun, warna dan bentuk lidah daun,
keberadaan daun bendera, bentuk gabah, warna gabah serta warna beras. Sedangkan warna
bunga jantan, betina dan keberadaan telinga daun nampak hibridanya menyerupai kedua
tetuanya.
Tabel 5. Penampilan karakter kualitatif hasil persilangan padi varietas Fatmawati dan IPB
3S dengan padi beras merah.
Genotipe Warna Warna Warna Warna lidah Warna Warna
kaki batang daun daun bunga bunga
anakan betina jantan
F1 Fat/Inpago Ungu Hijau Hijau Putih Acute Hitam Kuning
keunguan bergaris
ungu
F1 Fat/G9 Ungu Hijau Hijau Ungu Hitam Kuning
keunguan
F1 Inpago/Fat Ungu Hijau Hijau Ungu Acute Hitam Kuning
keunguan bergaris
ungu
F1 G9/Fat Hijau Hijau Hijau Hijau Acute Hitam Kuning
F1 IPB 3S/Inpago Ungu Hijau Hijau Bergaris Hitam Kuning
keunguan bergaris ungu Acute
ungu
F1 IPB 3S/G9 Ungu Hijau Hijau Bergaris Hitam Kuning
keunguan bergaris Ungu Acute
ungu
F1 Inpago/IPB 3S Ungu Hijau Hijau Bergaris Hitam Kuning
keunguan bergaris ungu Acute
ungu
F1 G9/IPB 3S Ungu Hijau Hijau Putih Acute Hitam Kuning
keunguan
FATMAWATI Hijau Hijau Hijau Putih Acute Hitam Kuning
IPB 3S Ungu Hijau Hijau Putih Acute Hitam Kuning
Inpago Unram 1 Ungu Hijau Hijau Hijau Acute Kasar Kuning
keunguan
84
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Persilangan antara tetua yang memiliki warna kaki anakan hijau dengan tetua yang
memiliki warna kaki daun ungu, pada umumnya menyebakan hibridanya memberikan warna
ungu terhadap warna kaki daunnya. Kecuali nampak pada hasil persilangan padi beras merah
(G9) dengan Fatmawati memberikan warna kaki hijau. Warna ungu pada kaki daun
nampaknya memberikan pengaruh terhadap warna daun pada hibridnya dimana warna daunnya
hijau bergaris ungu kecuali pada F1G9/Fat dan F1 G9/IPB 3S memberikanan warna daun hijau.
Pada warna batang semua hibrida memberikan warna batang hijau keunguan walaupun salah
satu tetuanya memiliki warna batang hijau.
Pada warna lidah daun (Ligula) yang terletak pada ketiak daun nampak adanya variasi
warna lidah daunnya namun bentuknya semua ke acute walaupun salah satu tetuanya yaitu
beras merah G9 berbentuk split. Pada daun bendera nampak hibridanya menunjukan posisi
daun bendera yang beragam, posisi tegak (sudut antara daun bendera dengan batang < 300)
dijumpai pada hibrida F1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, dan F1 IPB 3S/Inpago, posisi sedang ( 300-
450) dijumpai pada hibrida F1 Inpago/Fat, F1 G9/Fat, F1 IPB 3S/G9 dan F1 G9/IPB 3S.
Sedangkan hibrida F1 Inpago/IPB 3S posisi datar. Warna gabah hibridanya nampak ada 2
warna gabah yang dihasilkan yaitu kuning jerami coklat pada hibrida F1 Fat/Inpago, F1 G9/Fat,
F1 IPB 3S/ Inpago serta F1 Inpago/IPB 3S sedangkan hibrida lainnya memberikan warna gabah
kuning jerami. Bentuk gabah yang di hasilkan juga bervariasi dimana dari bentuk tetua
Fatmawati dan IPB 3S ramping dan Inpago Unram I dan G9 sedang menghasilkan hibrida
dengan bentuk gabah sedang (P/l= 2,1 – 3). pada F1 Fat/Inpago, F1 Fat/G9, F1 G9/Fat dan F1
Inpago IPB 3S. Sedangkan pada hibrida F1 Inpago/Fat dan F1 G9/IPB 3S berbentuk gabah
agak bulat (p/l= 1,1 – 2). Sedangkan pada hibrida F1 IPB 3S/ Inpago dan F1 IPB 3S/G9
memberikan bentuk gabah ramping (P/l >3). Pada warna beras nampak dari hasil persilangan
padi beras putih yaitu IPB 3S dan Fatmawati dengan padi beras merah Inpago Unram I dan G9
serta resiproknya menunjukan semua hibridnya berwarna merah.
Karakter keragaman sifat morfologi suatu tanaman penting diketahui karena dapat
menjadi penciri yang paling mudah untuk mengidentifikasi tanaman, selain itu dapat juga
digunakan menentukan hubungan kekerabatan antar spesies (Titin, 2010). Lesmana et al., (2004)
dalam Purbayanti dan Irawan, ( 2008) menambahkan ciri morfologi yang sering digunakan
sebagai pembeda kultivar padi anatara lain warna batang, bentuk gabah, dan warna daun.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan nilai hiterosis dan Heterobeltiosis umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per
85
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
rumpun , panjang malai, jumlah gabah berisi per malai, berat gabah 100 butir dan berat gabah per rumpun
maka empat hibrida yaitu F1 Fat/Inpago , F1 Fat/G9, F1 IPB 3S/Inpago serta F1 IPB 3S/G9 berpeluang
untuk dijadikan varietas unggul tipe ideal
2. Hibrida hasil persilangan Fatmawari dan IPB3S dengan padi beras merah lebih mendominasi pada aksi gen
dominan sebagian positif dan negatif dan over dominan positif pada karakter umur berbunga, tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif dan non produktif , panjang malai, jumlah gabah berisi dan hampa
permalai, berat 100 butir gabah dan berat gabah per rumpun
3.
4. Pada hibrida hasil persilang tunggal dan resiprok memberikan warna merah pada beras, warna ungu pada
kaki anakan, hijau keunguan pada batang, hijau bergaris ungu pada daun, putih acute pada lidah daun,
kuning pada bunga jantan, hitam pada bunga betina, daun bendera tegak, sedang dan datar, warna gabah
kuning bercak coklat, kuning jerami, dan bentuk gabah sedang, agak bulat dan ramping
REFERENSI
Basuki, N. 1995. Pendugaan Peran Gen. (diktat) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 48 h.
Bohn, M., H.F. Utz and A.E. Melchinger. 1999. Genetik Similarities Winter Wheat cultivars Determined on
The Basic of RFLPs, AFLPs and SSRs and Their Use for Predicting Progency Shorgum, Crop Sci,
25(5): 749-752
Darlina, A., A. Baihaki, A.A. Darajat dan T. Herawati, 1992. Daya gabung dan heterosis karakter hasil dan
komponen hasil enam genotipe kedelai dalam silang dialele. Zuriat 3(2): 32-38
Dewi I.S. Purwoko B.S., dan Herawati R. 2009. Keragaman genetik dan dan karakter agronomi galur haploid
ganda padi gogo dengan sifat tipe baru hasil kuntur antera. J. Agron. Indonesia 37(2):87-94.
Falconer, D.S.1989. Quantitative genetik Studies and population improvement in maize and sorgum. Iowa
State Univ. press. Amess
Fehr.R.W. 1993. Principle of cultivar development Volume I. Theory and technique. Departemen of Agronomy
Iowa State University USA. 115-117
Gudoy,L.B., E.B. Venture and R.L. Rivere. 1987. Diallel Cross and Combining Abality in Burley Tobacco.
J.Tob.Sci. and Tech. I (1): 240-245
Hadiatmi, S.G. Budiarti, dan Sutoro. 2001. Evaluasi Heterosis tanaman jagung . Seminar hasil dan penelitian
rintisan dan bioteknologi tanaman .Bogor. 7 hal.
Ikehashi H., Jiang-shi Zou,H.P. Moon, and K. Murayama. 1994. Wide compatibility gene (s) and Indica-
Japonica heterosis in rice for temperate countries. Page 21-23. in: Hybrid Rice Technology: New
developments and future prospects. Selected papers from the Intl. Rice Res. Conference, IRRI
Philippines
Makarim A.K., dan Suhartatik E. 2009. Morfologi dan fisiologi tanaman padi. Di dalam : Suyanto, I Nyoman
Widiarta, Satoto (ed.). Padi : Inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku 1. LIPI Press. Jakarta p.
295-330.
Mangondidjoyo,W.200. Analisis interaksi genotipe x lingkungan tanaman perkebunan (studi kasus pada
tanaman the). Zuriat. 11(1):15-21
Manjjerez S,P., T.E. Carter, J,r., D.M., Web and J.W. Burton,1997. Heterosis in Soybean its Prediction by
Genetik Similirity Measures. Crop Sci. 37:1443-1452.
Muliarta A, Kisman, Zairin M. 2010. Perakitan varietas unggul padi beras merah toleran kekeringan serta
berdaya hasil dan kandungan antioksidan tinggi. Penelitian KKP3T. Deptan (tidak dipublikasikan) 51 h.
86
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Muliarta , 2012. Peranan Pemuliaan Padi Dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Seminar Nasional tentang
Peranan Pertanian dalam menunjang Ketahanan Pangan dn Enegi untuk Memperkuat Ekonomi
Nasional Berbais Smbe daya lokal . Unsoed Purwokerto. Prosiding
Muliarta IGP,Sudanta M. Bambang BS. 2013. Pengembangan padi gogo beras merah
potensi hasil tinggi dengan kandungan antosianin tinggi. Laporan penelitian insentif Riset Sinas RT-
2013-119 . Teknologi Pangan, Riset Terapan. 60 h.
Muliarta A ; AAK Sudharmawan; BB Santoso, 2015. Perakitan Varietas Padi Gogo Rancah Beras merah
fungsional tipe baru potensi hasil tinggi (> 7 ton/ha) serta berumur Genjah (<110 hari). Laporan
penelitian Strategis Nasional Tahun I
Nasir,M. 2009. Pengantar pemuliaan tanaman, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional. Jakarta. 325 h
Salazar, F.S. S. Panday., L.Naro., J.C. Perez,H.Ceballos,S.N. Parentoni and A.F.C. Bahian Filho.1997. Diallel
analisys of acid soil tolerant and in tolerant tropikal Maize populations. Crop Sci. 37: 1452-1462.
Satono dan Suprihatno. 1997. Beberapa alternatif pendekatan pemuliaan untuk peningkatan potensi hasil padi.
Pros. Simposium Nasional dan Kongres III, PERIPI. Bandung. Hal 101 –109
Sholekha U., Basuki N., dan Kuswanto.2015. Analisis daya gabung galur mandul jantan dan heterosis pada 12
padi hibrida (Oryza sativa L.).Jurnal Produksi Tanaman. 3 (3) :225-232.
Suardi,K.2005. Potensi beras merah untuk peningkatan mutu pangan pangan. Balai Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi Sumber Daya Genetik Pertanian. Bogor.
Suliartini S., Sadimantra W.N., Wijayanto. R.G.T., dan Muhidin. 2011. Pengujian kadar antosianin padi gogo
beras merah hasil seleksi plasma nutfah Sulawesi Tenggara. Crop Agro 4(2):43-48
Sulistyowati E. dan Machmud M. 2009. Pendugaan aksi gen dan daya waris ketahanan kapas terhadap
amarasca bigutta. Jurnal Litri 15(3): 131-138
Suprapto dan N.M. Kairudin. 2007. Variasi genetic, heritabilitas, tindak gen dan kemajuan genetic kedelai pada
Ultisol. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Vol 9(2): 183-190
Suprihatno, B, Aan A. Darajat, Satoto, Baehaki, Suprihatno, A Setyono, S. D. Indrasari, I.P. Wardana dan H.
Sembiring . 2010. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar penelitian Tanaman Padi. Balai Peneltian dan
Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. 114h
Tintin. S.2010. Keragaman karakter morfologi plasma nutfah spesies padi liar (Oryza spp). Buliten Plasma
Nutfah Vol. 16 N0.1 (17-28) Th 2010
Tulu.L. 2001. Hetrosis and genetic diversity in crosses of seven East African maize (Zea mays L.)
populations.pp.125-129. Dalam Seventh Eastern and Southern African Regional Maize Conference,
11th-15th February 2001.
Ujianto L. 2013. Pemuliaan tanaman kacang-kacangan melalui hibridisasi antar spesies. Arga Puji Press.
Mataram
Virnani,S.S., J.B. Young,H.P. Moon, I. Kumar and J.C. Flinn. 1991. Increasing rice yields through exploitation
of heterosis. IRRI.Res.P.Series. 156:136p.
Wijayanti, H.2012. Bedanya beras merah dan beras putih. http://www.Ibudanbalita.com
/diskusi/pertanyaan/78642/bedanyaberas-merah-dan-beras putih.{Diakses pada tanggal 2 September
2015]
Yunita R., Chaeruni, Lestari E.G., dan Dewi I.I. 2015. Penampilan galur harapan mutan diploid padi tipe baru
di Sulawesi Selatan. J.Agron.Indonesia 43(2): 89-98.
Yunita A. dan Harnowo.D. 2010. Teknologi Budidaya Padi sawah mendukung SI-PTT.BPTP. Sumatra Utara
Universitas.
87
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk: (1) mengetahui karakterisitik kedua bahan (pupuk)
organik sebagai bahan pembenah tanah, (2) mengetahui tanggapan tanaman jagung terhadap pemberian kedua pupuk
organik yang diperkaya dengan unsur mikro Fe dan Zn. Penelitian dilaksanakan di Rumahkaca Fakultas Pertanian Unram,
menggunakan tanah Inseptisol berkadar bahan organik rendah dan kahat hara mikro Fe dan Zn. Desain penelitian adalah
desain factorial 2x8 yang ditata secara acak lengkap. Faktor pertama adalah jenis bahan pupuk organik, yaitu Biochar
Serbuk Gergaji dan Pupuk Super(petro)ganik. Faktor kedua adalah dosis hara mikro (Fe – Zn) yang terdiri atas 8 taraf: (0-
0, 5-0, 0-5, 5-5, 10-0, 0-10, 5-10, dan 10-5 kg Fe-Zn per-ha), sehingga seluruhnya ada 16 kombinasi perlakuan yang
dilaksanakan dalam 3 ulangan. Variabel tanah yang dikaji adalah: C-organik, pH, KTK, kadar hara P, Fe, dan Zn. Variabel
tanaman meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, serta bobot kering tanaman. Data agronomis dianalisis dengan analisis
varians (anova) dan beda rata-rata perlakuan dibandingkan dengan uji BNJ pada taraf nyata 5%. Keefektifan penggunaan
bahan pupuk organik dikaji berdasarkan nilai persentase peningkatan pertumbuhan pada setiap perlakuan pengayaan unsur
hara mikro Fe-Zn
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Biochar serbuk gergaji dan pupuk Super(petro)ganik berpotensi sebagai
bahan pembenah tanah. Kedua bahan pupuk organik ini nyata mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung. Pupuk
Super(petro)ganik lebih efektif daripada Biochar serbuk gergaji dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung.
Pengayaan bahan organik dengan unsur hara mikro Fe dan Zn dapat meningkatkan nilai tambah keefektifan pupuk organik.
Pengayaan Biochar dengan 10 kg Zn/ha tanpa Fe dapat meningkatkan bobot brangkasan kering sebesar 22 % dan
pengayaan pupuk Super(petro)ganik dengan dosis hara mikro yang sama dapat meningkatkan bobot brangkasan kering
sebesar 19%.
____________________________________________________________________
Kata Kunci: keefektifan, Biochar, pupuk Super(petro)ganik, unsur hara mikro,
pertumbuhan jagung;
PENDAHULUAN
Degradasi lahan pertanian menyebabkan sifat-sifat tanah, terutama sifat kimia tanah
mengalami kemerosotan dan/atau penurunan kualitas. Kandungan bahan organik sebagian besar
lahan pertanian tergolong rendah sampai sangat rendah; kadar beberapa unsur hara, baik unsur
hara makro maupun mikro berkurang hingga tidak mencukupi kebutuhan untuk pertumbuhan
tanaman secara normal. Keadaan ini diperparah oleh kebiasaan petani yang membakar limbah
pertanian (jerami, sisa panen, dan bagian-bagian tanaman ) serta terangkutnya sebagian besar
hasil pertanian keluar dari area pertanian.
Rendahnya kualitas kesuburan tanah merupakan faktor pembatas biofisik yang dianggap
bertanggung jawab terhadap rendahnya produksi tanaman pangan. Sebagian besar lahan
pertanian terdiri atas tanah Inseptisol berpasir, berpori makro tinggi, miskin bahan organik,
sehingga kemampuan retensi hara dan air rendah. Dengan demikian maka pengelolaan tanah
berbasis bahan organik untuk meningkatkan kualitas kesuburan tanah merupakan upaya strategis
dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan yang diharapkan dapat menunjang peningkatan
produksi tanaman pangan. Bahan organik berperan sangat penting untuk memperbaiki kualitas
tanah Inseptisol berpasir, baik yang terkait dengan sifat fisik dan kimia tanah maupun biologi
tanah. Beberapa penelitian telah dilaksanakan untuk mengkaji respon tanaman pangan dengan
aplikasi bahan (pupuk) organik / biochar pada tanah-tanah pertanian di pulau Lombok, baik yang
dilaksanakan di lapangan maupun di rumahkaca, antara lain Surianingsun, Suwardji, dan
Baharuddin (2012) terhadap tanaman jagung, Baharuddin, dkk (2013) terhadap tanaman kedelai,
dan Sukartono, dkk (2013) terhadap tanaman ubikayu
88
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Peranan bahan organik terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah adalah jelas, namun
sumbangan bahan / pupuk organik terhadap ketersediaan /pelepasan unsur hara masih relatif
kecil sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi.
Hal ini akan lebih jelas tampak pada lahan pertanian dengan jenis tanah Inseptisol berpasir,
berkadar bahan organik rendah, dan kahat hara baik makro (N, P, K) maupun mikro mikro (Fe,
Cu, dan Zn). Oleh karena itu diperlukan penambahan unsur hara dari bahan-bahan (pupuk) yang
relatif cepat tersedia bagi tanaman. Untuk itu perlu diketahui jenis/macam bahan pupuk
organik yang lebih efektif dalam menyediakan hara dalam jumlah yang memadai bagi tanaman
dan apabila diperkaya dengan unsur hara (makro dan mikro), berapa banyak ditambahkan untuk
menopang pertumbuhan tanaman.
Penelitian ditujukan untuk mengetahui potensi biochar serbuk gergaji dan pupuk organik
Super(petro)ganik sebagai bahan pembenah tanah serta tanggapan tanaman jagung terhadap
pemberian bahan (pupuk) organik yang diperkaya dengan unsur hara mikro Fe dan Zn pada
tanah Inseptisol.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Rumahkaca Fakultas Pertanian Unram dengan menggunakan
tanah Inceptisol berkadar bahan organik rendah dan kahat hara mikro Fe dan Zn. Penelitian ini
adalah penelitian eksperimen faktorial 2x8 yang ditata secara acak lengkap. Faktor pertama
adalah Jenis bahan pupuk organik dan faktor kedua adalah dosis unsur hara mikro Fe dan Zn.
Faktor Jenis bahan pupuk organik terdiri atas 2 jenis: Pupuk Super(petro)ganik dan Biochar
Serbuk Gergaji. Faktor Dosis Hara Mikro (Fe dan Zn) terdiri atas 8 taraf: Dosis Fe – Zn : (0 –
0) , (0 – 5), (5 - 0), (5 – 5), (0 - 10), (10 –0), (5 – 10), dan (10 – 5) kg/ha. Dengan demikian
terdapat 16 kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan dilaksanakan dalam tiga
ulangan.
Tanah tempat percobaan disiapkan sesuai rancangan (desain) yang telah ditetapkan.
Pupuk dasar yang diberikan adalah pupuk urea dengan dosis setara 300 kg Urea/ha. Pupuk
perlakuan yang digunakan adalah pupuk Super(petro)ganik dan Biochar serbuk gergaji dengan
dosis setara 20 ton/ha. Sebagai sumber hara mikro Fe dan Zn digunakan bahan pupuk besi
klorida (FeCl3) dan seng klorida (ZnCl2) dengan dosis sesuai perlakuan. Benih jagung ditanam
pada tanah yang disiapkan pada pot-pot percobaan dengan jumlah benih 2-3 biji per pot.
Pengairan diatur sesuai kebutuhan tanaman jagung dan diberikan hingga mencapai kapasitas
lapang. Penyiangan dilakukan disesuaikan dengan kondisi yaitu ada tidaknya gulma yang
tumbuh. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai kebutuhan dan memperhatikan
keadaan gangguan/ serangan.
Variabel yang diukur adalah: Tinggi Tanaman (30 hari setelah tanam), Jumlah Daun,
Bobot Brangkasan kering tanaman, Kadar C-organik tanah, Kemasaman (pH) tanah, dan Kadar
hara N, P, Fe dan Zn tanah. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis keragaman
(anova) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap terhadap variabel pertumbuhan tanaman
. Apabila ada perlakuan yang berpengaruh nyata, akan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
pada taraf nyata 5%. Keefektifan jenis bahan pupuk organik yang diperkaya dengan hara mikro
(Fe dan Zn) dikaji berdasarkan persentase peningkatan pertumbuhan tanaman.
89
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
_________________________________________________________________________
Kadar lengas Gravimetri % 4,0
rendah*
pH pH meter - 7,4
netral**
C-organik Walkley&Black % 1,79
rendah**
N-total Kjeldahl % 0,18
rendah**
P-tersedia Bray 1 ppm 7,13
sedang*
KTK NH4-asetat me% 19,46
sedang**
Fe AAS ppb 25,66
rendah**
Zn AAS ppm 11,30
rendah**
Keterangan: *) Pusat Penelitian Tanah Bogor (1983) **) Balai Penelitian
Tanah (2005)
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa tanah yang digunakan untuk penelitian ini tergolong
ber pH netral, berkadar bahan organik (C-organik) dan Nitrogen-total rendah, kadar fosfor-
tersedia dan kapasitas tukar kation tergolong sedang. Kadar Fe dan Zn total tergolong rendah.
Dengan demikian tanah ini memerlukan penambahan nitrogen dan bahan organik dalam
budidaya tanaman. Penambahan bahan organik diharapkan dapat meningkatkan KTK dan kadar
bahan organik tanah yang rendah.
Selain itu penambahan bahan organik dapat meningkatkan kemampuan tanah meretensi
air (Baharuddin, dkk, 2013 dan Sukartono, dkk, 2013). Hasil analisis kadar Fe dan Zn tanah
setelah diinkubasi (Tabel 2) menunjukkan bahwa kandungan Fe dan Zn tanah secara umum
meningkat sebanding dengan penambahan bahan pupuk Fe dan Zn. Hal ini berdampak terhadap
pertumbuhan tanaman jagung yang ditanam setelah proses inkubasi. Hal yang menarik dari
data dalam Tabel 2 adalah adanya perubahan kemasaman (pH) tanah dari kondisi awal yang
tergolong netral (pH 7,4) menjadi agak masam (pH 5,6 – 6.5) setelah proses inkubasi akibat
pemberian bahan organik, baik bahan Biochar serbuk gergaji maupun pupuk Super(petro)ganik.
Hal yang mungkin terjadi adalah bertambahnya kemasaman tanah karena terlepasnya beberapa
ion hidrogen (H+) dari gugus karboksil (-COOH) dan fenol (-OH) baik dari tanah maupun dari
kedua sumber bahan organik tersebut selama proses inkubasi. Bertambahnya kemasaman tanah
akan meningkatkan kelarutan unsur-unsur hara mikro Fe, Mn, Cu, dan Zn (Lindsay, 1971 dalam
Baharuddin et.al., 1993).
Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa adanya peningkatan kandungan Fe dan Zn tanah
setelah inkubasi, dari kondisi awal sebesar 25,66 ppb dan 11,30 ppm (Tabel 1) menjadi 43,9 ppb
Fe dan 29,8 ppm Zn karena pemberian biochar serbuk gergaji serta menjadi 45,4 ppb Fe
dan 27,7 ppm Zn karena pemberian pupuk Super(petro)ganik. Selanjutnya data Tabel 2
menunjukkan bahwa adanya peningkatan kandungan Fe dan Zn tanah setelah inkubasi karena
pemberian bahan pupuk yang mengandung kedua unsur hara mikro tersebut. Sebagai contoh
90
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
pemberian 5 kg Fe/ha dapat meningkatkan kandungan Fe menjadi 49,5 ppb dan pemberian 10 kg
Fe/ha dapat meningkat kandungan Fe menjadi 45,6 ppb serta pemberian 5 kg Zn/ha dapat
meningkatkan kandungan Zn menjadi 35,9 ppm dan pemberian 10 kg Zn/ha dapat meningkatkan
kandungan Zn menjadi 41,6 ppm dalam kombinasi perlakuan dengan Biochar serbuk gergaji.
Sedangkan dalam kombinasi perlakuan dengan pupuk Super(petro) ganik, bahwa pemberian 5
dan 10 kg Fe/ha berturut-turut dapat meningkatkan kandungan Fe tanah menjadi 49,19 dan 50,66
ppb serta pemberian 5 dan 10 kg Zn/ha berturut-turut dapaat meningkatkan kandungan Zn tanah
mejadi 33,3 dan 46,3 ppm.
Tabel.2 Hasil Analisis Kadar Hara Fe dan Zn serta pH tanah setelah Inkubasi
91
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Hasil penelitian Baharuddin, et al. (2013) menunjukkkan bahwa setiap jenis limbah
pertanian mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sehingga dapat dipahami bahwa
perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan Biochar dalam menangkap, menjerap, dan
melepaskan ion sehingga berbeda kemampuannya sebagai bahan pembenah tanah.
Keragaman dosis unsur hara mikro Fe dan Zn yang diberikan, mempengaruhi ketersediaan
kedua unsur tersebut dalam tanah (Tabel 2). Perbedaan tingkat ketersedian kedua unsur mikro
ini berimplikasi terhadap perbedaan respon pertumbuhan tanaman, terutama terhadap tinggi
tanaman dan bobot brangkasan basah.
92
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Nilai keefektifan tertinggi terhadap jumlah daun tanaman dalam kombinasi pemberian
biochar dan dosis Fe-Zn, diperoleh pada perlakuan pemberian Zn 10 kg/ha tanpa Fe (0 – 10)
dengan peningkatan jumlah daun sebesar 11 persen; sedangkan dalam kombinasi pemberian
pupuk Super(petro)ganik dan Fe-Zn nilai keefektifan tertinggi diperoleh pada perlakuan Fe 10
kg/ha tanpa Zn (10 -0) atau pemberian Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 -10) dengan peningkatan
jumlah daun sebesar 11 persen. Pemberian dosis Fe-Zn yang lebih tinggi (10 -5) kg/ha
memperlihatkan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun yang lebih rendah.
93
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
daripada yang dikombinasikan dengan Biochar serbuk gergaji. Variasi dosis Fe-Zn
menghasilkan bobot brangkasan basah dan brangkasan kering yang beragam pula seiring dengan
perubahan dosis Fe-Zn yang diberikan (Tabel 6). Dari pengayaan Biochar dengan Zn 10 kg/ha
tanpa Fe (0 – 10) diperoleh nilai keefektifan tertinggi dengan persentase peningkatan bobot
basah dan bobot kering tanaman berturut-turut sebesar 30 dan 22 persen,sedangkan pada
kombinasi perlakuan dengan pupuk Super(petro)ganik, nilai keefektifan tertinggi diperoleh pada
pengayaan Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 – 10) dengan persentase peningkatan bobot basah
sebesar 29 persen atau pada pengayaan Fe 10 kg/ha dan Zn 5 kg/ha (10 -5) dengan persentase
peningkatan bobot kering tanaman sebesar 21 persen.
Berdasarkan hasil kajian terhadap data bobot brangkasan basah dan bobot brangkasan
kering (Tabel 6), bahwa untuk meningkatkan efisiensi (daya guna) bahan pupuk hara mikro Fe-
Zn, pemberian bahan untuk memperkaya pupuk organik adalah cukup dengan pemberian Zn 10
kg/ha tanpa Fe (0 – 10). Dari perlakuan ini didapatkan peningkatan bobot brangkasan kering
dari penggunaan Biochar serbuk gergaji dan pupuk organik Super(petro)ganik berturut-turut
sebesar 22 dan 19 persen. Namun, apabila ada interaksi antar Fe dan Zn yang memperkaya
pupuk organik Super(petro)ganik, maka pemberian Fe 5 kg/ha dan Zn 5 kg/ha (5 – 5) akan lebih
efisien (berdayaguna) dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Dari perlakuan ini
didapatkan peningkatan bobot brangkasan basah maupun bobot brangkasan kering sebesar 16
persen.
94
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
yang diberikan Biochar serbuk gergaji pada berbagai dosis (Fe –Zn) dikalikan 100 persen. Nilai
keefektifan adalah persentase peningkatan hasil dari setiap perlakuan dosis (Fe–Zn)
dibandingkan tanpa Fe dan Zn. Data dalam Tabel 7 menunjukkan bahwa pupuk
Super(petro)ganik lebih efektif daripada Biochar serbuk gergaji dalam memacu pertumbuhan
tanaman. Nilai tambah keefektifan pupuk Super(petro)ganik terhadap Biochar pada berbagai
dosis (Fe – Zn) dalam memacu pertumbuhan tinggi tanaman adalah berkisar dari 3 hingga 22
persen. Nilai tambah tertinggi diperoleh pada perlakuan Zn 5 kg/ha tanpa Fe (0 -5). Nilai
tambah yang diperoleh dalam memacu jumlah daun adalah bervariasi dari 1 hingga 13 persen
dengan nilai tambah tertinggi diperoleh pada perlakuan Fe 5 kg/ha dan Zn 10 kg/ha (5 – 10).
Hal yang menarik dari data dalam Tabel 7 adalah nilai tambah yang diperoleh dengan
penggunaan pupuk Super(petro)ganik dalam memacu pertambahan bobot brangkasan basah dan
brangkasan kering adalah cukup tinggi, yaitu sekitar 11 hingga 53 persen untuk bobot
brangkasan basah dan sekitar 28 hingga 57 persen untuk bobot brangkasan kering tanaman .
Apabila dicermati variasi data tingkat keefektifan (Tabel 7), bahwa pada
perlakuan tanpa unsur hara mikro Fe dan Zn (0 – 0), pupuk Super(petro)ganik menunjukkan
perbedaan tingkat keefektifan yang cukup tinggi yaitu sebesar 29 persen untuk bobot brangkasan
basah dan 31 persen untuk bobot brangkasan kering. Perbedaan hasil ini selain disebabkan oleh
perbedaan nilai karakterisitik kedua bahan pupuk organik (Tabel 3) bahwa pupuk
Super(petro)ganik lebih berpotensi sebagai bahan pembenah tanah dalam waktu cepat daripada
biochar serbuk gergaji, juga disebabkan oleh bertambahnya kelarutan / ketersediaan Fe dan Zn
tanah setelah diinkubasi (Tabel 2). Perubahan kemasaman tanah dari kondisi awal netral
sebelum diinkubasi menjadi tanah ber pH agak masam, akan meningkatkan kelarutan/
ketersediaan unsur hara mikro Fe dan Zn. Menurut Lindsay (1971) dalam Baharuddin, et.al
(1993) bahwa setiap unit penurunan pH akan meningkatkan kelarutan Zn dan Fe 100 kali.
KESIMPULAN
1. Biochar serbuk gergaji dan pupuk organik Super(petro)ganik berpotensi sebagai bahan pembenah tanah
Inseptisol berpasir.
2. Inkubasi tanah dengan Biochar serbuk gergaji dan pupuk Super(petro)ganik serta bahan pupuk hara mikro
Fe–Zn dapat meningkatkan kemasaman tanah dan meningkatkan kelarutan /ketersediaan unsur hara mikro
Fe dan Zn.
3. Pupuk Super(petro)ganik dan Biochar serbuk gergaji berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman
jagung. Pupuk Super(petro)ganik lebih efektif daripada Biochar serbuk gergaji dalam meningkatkan
95
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Baharuddin, J. Priyono, S. Mastar, Muhlis, dan E. Hendro. 1993. Penentuan status hara Daerah Irigasi Mamak-
Kakiang Sumbawa. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Mataram..
Baharuddin, Mulyati, dan S. Tejowulan. 2013. Ameliorasi Lahan Kering Bertekstur Pasir melalui Penggunaan
Biochar sebagai Alternatif Strategis untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai. Laporan Penelitian.
Universitas Mataram.
Jyung, W. H., A. Ehmann, K. K. Schilinder, and J. Skala. 1975. Zinc nutritional and starch metabolism in
Phaseolus vulgaris, L. Plant Physiol. 55:414-420.
Rondon, M. A., J. Lehmann, J. Ramirez, and M. Hurtado. 2007. Biological Nitrogen Fixation by Common
Beans (Phaseolus vulgaris l.) Increases with Biochar Additions. Biology and Fertility of Soils 43, 69-
708.
Sukartono, Suwardji, Mulyati, Baharuddin, S. Tejowulan. 2013. Modifikasi Rhizosfer menggunakan Biochar
sebagai Upaya meningkatkan Produktivitas Ubikayu di Tanah Lempung Berpasir Lahan Kering
Lombok Utara. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Mataram.
Surianingsun, B. I, Suwardji, dan Baharuddin. 2012. Kajian Biochar Tempurung Kelapa dalam
Meningkatkan Hasil dan Efisiensi Penggunaan Pupuk nitrogen pada tanaman Jagung serta Perbaikan
Sifat Tanah Berpasir Kabupaten L0mbok Utara. Tesis. Magister. Universitas Mataram.
96
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai
terhadap pemberian biochar dan berbagai dosis bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit
Trichoderma harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04. Penelitian
ini dilaksanakan di lahan kering Desa Banyu Urip Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat mulai
bulan Juni sampai Agustus 2015. Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot
Design) yang terdiri dari 2 faktor. Petak utama adalah pemberian biochar yang difermentasi dengan
jamur Trichoderma spp., yang terdiri dari dua aras yaitu tanpa pemberian biochar dan pemberian
biochar 10 kg/petak setara 20 ton/ ha. Anak petak adalah dosis bioaktivator yang difermentasi jamur
Trichoderma spp., yang terdiri dari lima aras yaitu: tanpa bioaktivator, dengan bioaktivator 2 g/lubang
tanam setara 200 kg/ ha, dengan bioaktivator 3 g/lubang tanam setara 300 kg/ ha, dengan bioaktivator
4 g/lubang tanam setara 400 kg/ ha, dan dengan bioaktivator 5 g/lubang tanam setara 500 kg/ ha.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Pemberian biochar sebanyak 20 ton/ha yang difermentasi
dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-
04 dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan kering. (2) Pemberian
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit
T. polysporum isolat ENDO-04 sebanyak 5 g/tanaman setara 500 kg/ ha dapat meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan kering.
___________________________________________________________
Kata Kunci: biochar, bioaktivator, Trichoderma spp., biochar dan kedelai
PENDAHULUAN
Tanaman kedelai (Glycine (L.) Merr.) merupakan komoditas pangan utama ketiga setelah
padi dan jagung serta menjadi salah satu komoditas yang diprioritaskan dalam program
Revitalisasi Pertanian. Selain mengandung protein nabati yang cukup tinggi yang dibutuhkan
untuk meningkatkan gizi masyarakat, kedelai juga aman dikonsumsi, dan harganya cenderung
terjangkau disemua lapisan masyarakat (Arsyad dan Syam, 1998: Direktorat Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian, 2004)
Di Indonesia, sekitar 60 % tanaman kedelai dibudidayakan di lahan sawah setelah
tanaman padi dan 40 % di lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia mencapai 32,9 juta ha,
dari total luas tersebut baru 25,2 juta ha (76 %) telah dapat dimanfaatkan, sedangkan sisanya 7,7
juta ha belum termanfaatkan. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), pengembangan pertanian lahan
kering merupakan unggulan dan andalan masa depan, karena sebagian besar wilayah NTB yaitu
84% dari luas wilayah NTB (1,8 juta hektar) merupakan lahan kering yang mempunyai potensi
dikembangkan menjadi lahan pertanian yang produktif untuk berbagai komoditi pertanian
tanaman pangan terutama tanaman kedelai (Suwardji et al., 2003).
Di NTB kedelai merupakan tanaman utama yang ditanam dengan pola tanam kedelai-
kedelai-jagung atau kedela-jagung-kedelai. Produktivitas hasil kedelai di tingkat petani baru
mencapai 1,0 ton/ha, dan hasil ini masih tergolong rendah karena potensi biologis hasil kedelai
pada lahan kering di NTB dapat mencapai 3,3 ton/ha, dan hasil penelitian rata-rata telah mencapai
2,5 ton/ha atau 75 persen dari potensi biologisnya. Hal ini berarti tanaman kedelai berpotensi
untuk dikembangkan dan ditingkatkan produktivitasnya (Sudantha et al., 1999).
97
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa salah satu faktor pembatas utama dalam
pengembangan tanaman kedelai pada lahan kering adalah kesehatan tanaman kedelai karena
adanya serangan patogen tular tanah, masalah yang lain adalah ketidak mampuan tanaman
kedelai beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan terutama pada fase perkecambahan,
pertembuhan vegetatif dan pembungaan dan kesuburan tanah (Sudantha dan Suwardji, 2013).
Dengan demikian untuk mengatasi permasalahan ini perlu adanya penerapan teknologi
hayati atau teknologi sepadan yang sesuai dengan kondisi lahan kering. Salah satu alternatif
untuk pemecahan masalah ini adalah memperbaiki kondisi fisik dan biologis tanah menuju
pertanian yang berkelanjutan berbasis pertanian organik dengan pengelolaan tanaman kedelai
secara terpadu, yaitu dengan memadukan berbagai komponen teknologi hayati yang memberikan
pengaruh sinergistik antara lain penggunaan bioaktivator dan biochar, sehingga tanaman kedelai
mampu menginduksi ketahanan terhadap cekaman kekeringan, sehingga mampu memacu
pertumbuhan dan pembungaan serta meningkatkan hasil kedelai.
Bioaktivator yang merupakan inokulan unggul lokal NTB (jamur saprofit T. harzainum
isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04) sebagai pemacu
pertumbuhan dan pembungaan berbagai tanaman (Sudantha, 2010a). Sudantha (2010b)
melaporkan bahwa percobaan di rumah kaca aplikasi jamur T. koningii isolat ENDO-02 dan T.
polysporum isolat ENDO-04 lebih memacu pertumbuhan tinggi tanaman kedelai, sedang jamur T.
harzianum isolat SAPRO-07 dan T. hamtum isolat SAPRO-09 lebih memacu keluarnya bunga
lebih awal, menambah polong isi dan bobot biji kering kedelai per tanaman.
Biochar atau arang biologis adalah arang hitam hasil proses pemanasan biomassa organik
pada keadaan oksigen terbatas (Tunggal, 2009). Hasil penelitian aplikasi biochar limbah arang
tempurung kelapa yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan
jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 pada tanaman jagung yang dilakukan di lahan
kering pada dosis 20 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung (Sudantha dan
Suwardji, 2015), namun pengaruhnya terhadap tanaman kedelai di lahan kering belum diketahui.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
respon pertumbuhan dan hasil kedelai terhadap pemberian biochar dan berbagai dosis
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur
endofit T. polysporum isolat ENDO-04 di lahan kering.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di lahan kering tadah hujan yang berpengairan High Level
Diversion di Desa Banyu Urip Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat NTB. Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan dua faktor. Sebagai
petak utama adalah pemberian biochar terdiri atas dua aras, yaitu: tanpa pemberian biochar dan
pemberian biochar (10 kg/petak setara 20 ton/ha). Sebagai anak petak adalah dosis bioaktivator
granula tediri atas lima aras, yaitu: tanpa pemberian bioaktivator, dosis 2 g/lubang tanam setara
200 kg bioaktivator/ha, dosis 3 g/lubang tanam setara 300 kg bioaktivator/ha, dosis 4 g/lubang
tanam setara 400 kg bioaktivator/ha, dan dosis 5 g/lubang tanam setara 500 kg bioaktivator/ha.
Perlakuan merupakan kombinasi antara aplikasi biochar dan dosis bioaktivator sehingga
terdapat 30 unit percobaan.
Penyediaan Bioakivator Granula
Formulasi granula/butiran dibuat dengan mencampur substrat daun kopi dengan tanah
liat/clay steril masing-masing berukuran 2 mm dengan perbandingan 10:1 (v/v), kemudian
difermentasi dengan suspensi biomasa konidia jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07
dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 selanjutnya dimasukkan ke dalam alat
pembuatan formulasi granula, dan diinkubasikan selama 14 hari.
Penyediaan Biochar
Biochar berasal dari sisa-sisa pembuatan arang tempurung kelapa dari Industri Kecil
Pembuatan Arang di Desa Bengkaung Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat. Biochar
98
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ditumbuk (grinding) sedemikian rupa kemudian diayak dengan ayakan mata saring 1,0 mm.
Selanjutnya biochar difermentasi dengan jamur konidia jamur saprofit T. harzainum isolat
SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04 selama 21 hari.
Penyedian Lahan
Pengolahan tanah dilakukan dengan cara pencangkulan sebanyak dua kali,
selanjutnya dibuat petakan berukuran 2 x 2,5 m2 sebanyak 30 petak.
Cara Pemberian Biochar dan Bioaktivator
Pemberian biochar dengan cara cara dibenamkan ke dalam tanah pada saat pengolahan
tanah sebanyak 20 ton/ha atau 10 kg/petak. Untuk biaoaktivator diberikan disebelah lubang tanam
bersamaan dengan penugalan benih sesuai dengan dosis perlakuan.
A B
Gambar 1. Bioaktivator granula (A) dan biochar limbah arang tempurung kelapa
(B) yang difermentasi dengan jamur saprofit T. harzainum isolat
SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
99
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
100
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
101
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 3. Pengaruh berbagai dosis bioaktivator yang difermentasi dengan jamur saprofit T.
harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-
04terhadap tinggi tanaman kedelai pada umur 5 mst, berangkasan basah/tanaman
dan berangkasan kering/tanaman.
Dosis bioaktivator formulasi Tinggi tanaman Bobot Bobot
granula kedelai (cm) berangkasan berangkasan
basah/tanaman kering/tanaman
(g) (g)
0 g/lubang tanam atau kontrol 25,00 a*) 14,13 a*) 2,85 a*)
2 g/lubang tanam setara 200 26,83 b 16,75 b 4,79 b
kg/ha
3 g/lubang tanam setara 300 26,86 b 17,81 b 4,99 b
kg/ha
4 g/lubang tanam setara 400 26,90 b 17,85 b 5,13 b
kg/ha
5 g/lubang tanam setara 500 28,55 c 19,72 c 6,66 c
kg/ha
BNJ 5% 1,63 1,81 1,52
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji
BNJ 5%.
Tabel 4. Pengaruh pemberian berbagai dosis bioaktivator yang difermentasi dengan jamur
saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat
ENDO-04 terhadap bobot polong kering/ tanaman
Dosis bioaktivator formulasi granula Bobot polong kering Bobot 100 biji Bobot biji kering
panen/ tanaman (g) kedelai (g) panen/ ha (ton)
0 g/lubang tanam atau kontrol 12,19 a*) 18,70 a*) 1,35 a*)
2 g/lubang tanam setara 200 kg/ha 14,74 b 20,53 b 2,43 b
3 g/lubang tanam setara 300 kg/ha 14,75 b 20,62 b 2,72 b
4 g/lubang tanam setara 400 kg/ha 15,02 b 20,70 b 2,75 b
5 g/lubang tanam setara 500 kg/ha 17,59 c 22,85 c 3,25 c
BNJ 5% 1,60 1,53 0,45
*) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ 5%.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa pengaruh pemberian bioaktivator yang difermentasi dengan
jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
berbeda nyata dengan tanpa pemberian bioaktivator terhadap varibel pertumbuhan tanaman
(tinggi tanaman kedelai pada umur 5 mst, bobot berangkasan basah/tanaman dan bobot
berangkasan kering/tanaman). Demikian juga pada Tabel 4 terlihat bahwa pengaruh pemberian
bioaktivator yang difermentasi menunjukkan beda nyata dengan tanpa pemberian bioaktivator
terhadap variabel hasil tanaman kedelai (bobot polong kering/ tanaman, bobot 100 biji dan bobot
biji kering/ha). Untuk bobot biji kering panen terjadi peningkatan 58% akibat penggunan
bioaktivator yang difermentasi dengan jamur Trichoderma spp., yaitu dari 1,35 ton/ha menjadi
3,25 ton/ha. Hal ini berarti bahwa pemberian bioaktivator yang difermentasi dengan jamur
Trichoderma spp. mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai mendekati
potensi biologisnya. Dosis bioaktivator yang terbaik yang dapat meningkatkan variabel
pertumbuhan tanaman kedelai dan hasil tanaman kedelai adalah 5 g/lubang tanam setara 500
kg/ha.
Ada beberapa hal yang menyebabkan meningkatnya pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai setelah diberikan bioaktivator yang difermentasi dengan jamur Trichoderma spp., yaitu:
102
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
(1) Jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat
ENDO-04 yang digunakan untuk fermentasi bioaktivator dapat berkolonisasi dengan baik
dalam bioaktivator formulasi granula yang kemudian diberikan ke dalam tanah. Pada
penelitian ini ditemukan populasi jamur Trichoderma spp. dalam bioaktivator adalah 20,0 x
106 propagul/g bahan dan di daerah perakaaran tanaman kedelai 15,0 x 106 propagul/g tanah.
Hal ini berarti bioaktivator dengan bahan dasar daun kopi dengan tanah liat/clay merupkan
host yang baik untuk jamur Trichoderma spp. Substrat daun kopi dan tanah liat yang
digunakan mengandung bahan organik yang berperan sebagai stater untuk pembiakan
massal kedua jamur ini di dalam tanah. Menurut Sudantha (2010b) bahwa peran jamur
endofit T. polysporum isolat ENDO-04 di dalam jaringan tanaman kedelai menstimulir
etilen dapat memacu pemanjangan sel sehingga bertambahnya tinggi tanaman, sedangkan
jamur saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 di rhizosfer atau daerah perakaran tanaman
kedelai mengeluarkan etilen yang didifusikan ke tubuh tanaman melalui silem yang berperan
memacu pertumbuhan generatif.
(2) Peran jamur endofit dan saprofit Trichoderma spp. dalam memacu pertumbuhan vegetatif
dan generatif tanaman pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Windham et al.
(1986) melaporkan bahwa jamur T. harzianum dapat meningkatkan perkecambahan benih
dan pertumbuhan tanaman. Tronsmo dan Dennis (1977 dalam Cook dan Baker, 1983)
melaporkan bahwa penyemprotan konidia jamur T. viride dan T. koningii untuk melindungi
tanaman strawberi dari penyakit busuk ternyata dapat memacu pembungaan lebih awal.
Salisbury dan Ross (1995) mengatakan bahwa dari empat macam auxin yaitu geberelin,
sitokinin, asam absisat dan etilen, diduga etilen merupakan hormon yang dihasilkan oleh
jamur Trichoderma spp. yang dapat memacu pembungaan pada tanaman. Lebih lanjut
Salisbury dan Ross (1995) mengungkapkan bahwa beberapa jenis jamur yang hidup di
tanah dapat menghasilkan etilen. Diduga etilen yang dilepaskan oleh jamur tersebut
membantu mendorong perkecambahan biji, mengendalikan pertumbuhan kecambah,
memperlambat serangan organisme patogen tular tanah, dan memacu pembentukan bunga.
Pada tumbuhan berbiji semua bagian tumbuhan menghasilkan etilen, baik pada akar, batang,
daun dan bunga. Etilen merupakan hormon yang mudah menguap sehingga mudah berpindah
dari satu organ tanaman ke organ lainnya. Pengaruh etilen dalam jaringan dapat
meningkatkan sintesis enzim, jenis enzimnya bergantung pada jaringan sasaran. Saat etilen
memacu gugur daun, sellulase dan enzim pengurai dinding sel lainnya muncul di lapisan
absisi. Jika sel terluka, fenilalanin amonialiase muncul, enzim ini penting dalam
pembentukan senyawa fenol yang berperan dalam pemulihan luka. Jika jamur patogenik
tertentu menyerang sel, etilen menginduksi tanaman untuk membentuk dua macam enzim
yang menguraikan dinding sel jamur tersebut, yaitu β-(1,3) glucanase dan chitinase (Boller,
1988 dalam Salisbury dan Ross, 1995).
103
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut tentang cara dan waktu aplikasi biochar dan bioaktivator yang difermentasi jamur
saprofit T. harzainum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. polysporum isolat ENDO-04
pada tanaman kedelai di lahan kering sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan potensi
biologis tanaman kedelai apabila ditanaman di lahan kering..
REFERENSI
Arsyad dan Syam, 1998. Kedelai Sumber Pertumbuhan Produksi dan Teknik Budidaya Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian 30 hal.
Cook, R. J. and K. F. Baker. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The
American Phytopathol. Society, St. Paul MN. 539 p.
Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2004. Program Bangkit Kedelai Tahun 2004. Dirjen Bina
Produksi Tanaman Pangan. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jakarta. 27 hal.
Islami, T. 2012. Pengaruh Residu Bahan Organik Pada Tanaman Jagung (Zea Mays L) Sebagai Tanaman Sela
Pertanaman Ubi Kayu (Manihot Esculenta L.). Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya, Malang. Buana Sains Vol 12 No 1:131 136,2012
http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/ viewFile/160/161 . [Diakses Sabtu 04 April
2015].
Nurida, NL., A, Dariah., A, Rachman. 2008. Kualitas Limbah Pertanian Sebagai Bahan Baku Pembenah Tanah
Berupa Biochar Untuk Rehabilitasi Lahan.
http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/eng/dokumentasi/ prosiding2008pdf/neneng_biochar.pdf
[Diakses Sabtu 04 april 2015].
Priyono, J. 2005. Kimia tanah. Mataram university press. Mataram
Salisbury, F. B. and C. W. Ross, 1995. Fisiology Tumbuhan Jilid 3. Perkembangan tumbuhan dan fisiologi
Tumbuhan (Terjemahan D. R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB Bandung.
Sudantha, I. M., B. Supeno, Tarmizi dan N. M. L. Ernawati. 1999. Pemanfaatan Jamur Trichoderma harzianum
Sebagai Fungisida Mikroba Untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah Pada Tanaman Kedelai dan
Tanaman Semusim Lainnya di Nusa Tenggara Barat. Laporan Penelitian Hibah Bersaing DP3M Dikti,
Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 52 hal.
Sudantha, I. M. 2007. Karakterisasi dan Potensi Jamur Endofit dan Saprofit Antagonistik Sebagai Agens
Pengendali Hayati Jamur Fusarium oxysporum f. sp. vanillae Pada Tanaman Vanili di Nusa Tenggara
Barat. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. http://prasetya.ub.ac.id/berita/I-Made-
Sudantha-Karakterisasi-dan-Potensi-Jamur-Pengendali-Fusarium-7407-id.html. [Diakses 2 Pebruari
2016].
Sudantha, I. M. 2010 a. Buku Teknologi Tepat Guna: Penerapan Biofungisida dan Biokompos pada Pertanian
Organik. Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram.
Sudantha, I. M. 2010 b. Pengujian beberapa jenis jamur endofit dan saprofit Trichoderma spp. terhadap penyakit
layu Fusarium pada tanaman kedelai. Jurnal Ilmu Pertanian Agroteksos, Fakultas Pertanian Universitas
Mataram, Mataram. Vol. 20 No. 2 Desember 2010. http: fp.unram.ac.id/data/2012/.../20-2-3_02-
Sudantha_Rev-Wangiyana__P.p... [Diakses 2 Pebruari 2016].
Sudantha, I. M. dan Suwardji. 2013. Pemanfaatan Bioaktivator dan Biokompos (Mengandung Jamur
Trichroderma spp. dan Mikoriza) Untuk Meningkatkan Kesehatan, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai di Lahan Kering. Laporan Penelitian Tim Pascasarjana DP2M Dikti. 170 hal.
Sudantha, I. M. dan Suwardji. 2014. Pemanfaatan Biokompos, Bioaktivator dan Biochar Untuk Meningkatkan
Hasil Jagung dan Brangkasan Segar pada Lahan Kering Pasiran dengan Sistem Irigasi Sprinkler Big
Gun. Laporan Penelitian Strategi Nasional DP2M Dikti. 150 hal.
Sukartono. 2011. Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Amendemen Tanah Untuk Meningkatkan Efisiensi
Penggunaan Air Dan Nitrogen Tanaman Jagung (Zea Mays) Di Lahan Kering Lombok Utara. Laporan
Hasil Penelitian Disertasi Doktor Tahun Anggaran 2011.
104
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Sukartono., W, H, Utomo. 2012. Peranan Biochar Sebagai Pembenah Tanah Pada Pertanaman Jagung Di
Tanah Lempung Berpasir (Sandy Loam) Semiarid TropIs Lombok Utara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Lahan kering Universitas Mataram. Buana Sains vol 12 No 1 : 9l-
98,2012 http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/buanasains/article/viewFile/ 155/156 [Diakses Sabtu 04
April 2015].
Suwardji, S. Tejowulan, A. Rakhman, dan B. Munir (2003) Rencana Strategis Pengembangan Lahan Kering
Provinsi NTB. Bappeda NTB. 157 halaman.
Tunggal, N., 2009. Biochar Suburkan Lahan dan Serap Karbon.
Windham, M., Y. Elad and R. Baker. 1986. A Mechanism of Increased Plant Growth Induced by Trichoderma
spp. Phytopathology 76: 518 - 521.
105
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Percobaan terdiri dari dua tahap yaitu percobaan laboratorium dan percobaan lapangan. Pada percobaan
laboratorium, sebanyak 5 kg tanah yang telah dikering anginkan dan diayak untuk mendapatkan butiran < 4 mm,
selanjutnya dimasukkan kedalam pot plastik dan dicampur dengan pembenah tanah sesuai perlakuan. Perlakuan terdiri dari
A. Biochar sekam padi dengan dosis 0, 5, dan 10 t ha-1; B. Dolomit dengan dosis 0, 1, dan 2 t ha-1. Perlakuan dirancang
dalam acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Setelah inkubasi selama satu bulan, tanah dianalisis terhadap sifat-sifat kimia
tanah, diantaranya sifat-sifat tanah indikator kemasaman (pH tanah, Al dd dan H dd), indikator salinitas dan Na-dd, serta C-
Organik tanah. Percobaan di lapangan, terdiri dari perlakuan : A. Varietas Unggul Baru (VUB) padi rawa (A1. Inpara 2
dan A2. Inpara 7); dan B. Pembenah tanah (B0. Tanpa/kontrol; B1. Dolomit 1 t ha-1; B2. Biochar 2 t ha-1; dan B3. Biochar
4 t ha-1). Perlakuan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan luas petakan sesuai ukuran petak lahan petani (sekitar
10 x 20 m). Dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan dan komponen hasil tanaman. Data produktivitas (t ha-1)
dikonversi dari hasil/petak. Data yang terkumpul dianalisis sidik ragamnya dan apabila menunjukkan perbedaan dilanjutkan
dengan uji Duncan menggunalan alat bantu SPSS/PASW Statistic 18. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian
bahan pembenah tanah (dolomit dan biochar) dapat memperbaiki sifat-sifat kimia tanah seperti kemasaman tanah (pH
tanah, Al dd dan H dd). Dengan aplikasi dolomit 1 atau 2 t ha-1 dan biochar 10 t ha-1 nyata meningkatkan pH tanah dan
salinitas tanah. Perlakuan dolomit dan biochar meningkatkan produktivitas padi dibandingkan kontrol, dimana hasil
tertinggi untuk kedua varietas tersebut diperoleh pada perlakuan dolomit 1 t ha-1 yaitu 6.32 t ha-1 dan 5.51 t ha-1 GKP.
PENDAHULUAN
Lahan rawa pasang surut cukup potensial sebagai penghasil padi, dengan luas potensial
di Sumatera 3.927.000 ha, dan yang telah di reklamasi 2.784.000 ha (Alihamsyah, 2004). Di
Lampung, luas lahan rawa sekitar 162.900 ha terdiri atas lahan rawa pasang surut 68.900 ha dan
rawa lebak 94.030 ha. Pada umumnya lahan rawa dimanfaatkan oleh petani untuk pertanaman
padi menggunakan varietas lokal yang cenderung sudah adaptif dengan teknologi seadanya,
sehingga produktivitasnya relatif rendah sekitar 4,0 ton/ha.
Fluktuasi air menjadi kendala pengembangan rawa pasang surut, terutama pada lahan
bertipe luapan A yang sering mengalami kebanjiran karena keadaan topografinya menyulitkan
pembuangan airnya. Kemasaman tanah yang tinggi mempengaruhi keseimbangan reaksi kimia
dalam tanah dan ketersediaan unsur hara dalam tanah terutama fosfat (Nazemi et al. 2012).
Rendahnya tingkat kesuburan alami tanah di lahan pasang surut berkaitan erat dengan
karakteristik lahannya, seperti fluktuasi rejim air, beragamnya kondisi fisiko-kimia tanahnya,
tingginya kemasaman tanah dan asam organik pada lahan gambut, adanya zat beracun, intrusi air
garam, dan rendahnya kesuburan alami tanahnya. Adanya intrusi air laut yang biasanya terjadi
pada bulan Juli-September menyebabkan salinitas yang tinggi pada zona perakaran yang bisa
menghambat penyerapan air dan unsur hara.
Untuk mengatasi kemasaman tanah tinggi dan ketersediaan unsur hara dalam tanah yang
relatif rendah, Nazemi et al. (2012) merekomendasikan ameliorasi dan pemupukan yang tepat,
dimana bahan amelioran yang telah banyak diuji adalah kapur atau abu sekam. Rendahnya
ketersediaan P merupakan salah satu masalah pada tanah masam yang berhubungan dengan
kesetimbangan sifat-sifat kimia tanah, dimana telah banyak penelitian untuk upaya peningkatan
ketersediaan P salah satunya dengan pengapuran (Sanchez and Uehara, 1980; Sarker et al.,
106
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
2014). Hasil penelitian Koesrini et. al. (2011) menunjukkan ameliorasi dapat memperbaiki
kualitas lahan (peningkatan pH tanah dan penurunan kejenuhan Al) serta meningkatkan
produktivitas kedelai di lahan rawa pasang surut. Aplikasi kapur 80% dari kejenuhan Al
awal meningkatkan hasil kedelai 47,4 % lebih tinggi dibandingkan tanpa kapur.
Pengaruh kapur umumnya sangat nyata musim pertama, namun residunya pada musim
kedua dan ketiga tidak terlalu terlihat. Berbeda dengan biochar yang lebih stabil di dalam tanah.
Stabilitas biochar dalam tanah mungkin tidak semata-mata disebabkan karakteristik kimianya,
tetapi juga dipengaruhi sifat-sifat tanah dimana biochar diaplikasikan (Fang et al., 2014), dimana
aksesibilitas juga berkurang ketika terlibat dalam asosiasi organo-mineral. Biochar dapat menjadi
stabil melalui interaksi kimia dengan mineral tanah dan oklusi fisik di fraksi organo-mineral,
sehingga membatasi aksesibilitas spasial untuk mikroorganisme tanah dan enzimnya (Lehmann
et al., 2011)
Limbah pertanian yang sulit didekomposisi seperti sekam padi, tongkol jagung,
tempurung kelapa, kulit buah kakao, kulit buah kelapa sawit, dll sangat melimpah tersedia
terutama saat musim panen sehingga sangat potensial untuk dikonversi menjadi pembenah tanah
biochar (Nurida, 2012). Biochar merupakan arang hayati yang berasal dari pembakaran
tidak sempurna (pirolisis) dari bahan organik sisa-sisa tanaman yang dapat meningkatkan
kualitas tanah dan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk pembenah tanah (Gani,
2009), dengan ciri luas permukaan per volume yang tinggi dan rendah residual resin (Hunt et al.,
2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aplikasi kapur (dolomit) dan
biochar sekam padi terhadap sifat-sifat kimia tanah dan hasil varietas unggul padi rawa Inpara 2.
METODOLOGI
Percobaan terdiri dari dua tahap yaitu percobaan laboratorium dan percobaan lapangan.
Percobaan laboratorium dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung pada bulan
Februari – April 2015, dan percobaan lapangan dilakukan di Desa Taman Sari, Kecamatan
Ketapang, Lampung Selatan.
Percobaan Laboratorium
Sebanyak 5 kg tanah yang telah dikering anginkan dan diayak untuk mendapatkan
butiran < 4 mm, selanjutnya dimasukkan kedalam pot plastik dan dicampur dengan pembenah
tanah sesuai perlakuan. Perlakuan terdiri dari A. Dolomit dengan dosis 0, 1, dan 2 t ha-1; B.
Biochar sekam padi dengan dosis 0, 5, dan 10 t ha-1. Biochar diproduksi dengan cara pyrolysis
menggunakan drum minyak dengan suhu 200 – 300 oC selama 6 – 8 jam. Perlakuan dirancang
dalam acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Perlakuan diinkubasi selama satu bulan, kemudian
diambil sampel tanah untuk dianalisis sifat-sifat kimia tanahnya. Analisis dilakukan terhadap
sifat-sifat tanah indikator kemasaman (pH tanah, Al dd dan H dd), kation-kation yang dapat
dipertukarkan, P dan K tersedia, C-Organik dan N-total tanah. Percobaan disusun dalam
rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan.
Percobaan Lapangan
Perlakuan yang diaplikasikan terdiri dari : A. Dolomit 0, 1 dan 2 t ha-1; B2. Biochar 0,
2 dan 4 t ha-1. Perlakuan pembenah tanah tersebut diaplikasikan pada saat pengolahan tanah
terakhir. Sebagai indikator adalah tanaman padi Varietas Inpara 2. Perlakuan disusun dalam
rancangan acak kelompok dengan luas petakan sesuai ukuran petak lahan petani (sekitar 10 x 20
m). Pengamatan dilakukan pada saat panen yaitu terhadap komponen hasil tanaman dan produksi
per hektar yang dikonversi dari produksi per plot. Data yang terkumpul dianalisis sidik ragamnya
dan apabila menunjukkan perbedaan dilanjutkan dengan uji Duncan.
107
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
sampai 2 t ha-1 nyata meningkatkan pH tanah. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada
biochar, dimana pH tertinggi diperoleh pada perlakuan A2B2 (Dolomit 2 t ha-1 dan biochar 4 t
ha-1). Maftu’ah et al. (2013) melaporkan dengan aplikasi pembenah tanah dolomit dan pupuk
kandang nyata meningkatkan pH dan ketersediaan hara pada tanah rawa gambut. Namun, Chan
et al. (2007) melaporkan aplikasi biochar dari limbah hijauan tanaman tidak nyata meningkatkan
pH tanah sampai dengan taraf 10 t ha-1.
Tabel 1. Sifat-sifat kimia tanah setelah inkubasi dolomit dan biochar selama satu bulan
Perlakua Jenis analisis
No
n pH H2O C-Org. N-Total (%) P2O5 (ppm)
1 A0B0 4,84 ±0,12b 1,12 ±0,04 a 0,11 ±0,015 a 26,55 ±2,33 b
2 A0B1 5,13 ±0,08ab 1,22 ±0,04 a 0,13 ±0,010 a 27,87 ±2,11b
3 A0B2 5,22 ±0,09ab 1,28 ±0,06 a 0,14 ±0,020 a 30,19 ±0,28 ab
4 A1B0 5,24 ±0,08ab 1,17 ±0,06 a 0,12 ±0,015 a 31,87 ±1,21 ab
5 A1B1 5,30 ±0,12ab 1,25 ±0,08 a 0,11 ±0,025 a 32,66 ±0,33 ab
6 A1B2 5,22 ±0,04ab 1,31 ±0,03 a 0,15 ±0,012 a 33,33 ±0,58 a
7 A2B0 5,35 ±0,11 a 1,16 ±0,04 a 0,12 ±0,057 a 35,34 ±1,52 a
8 A2B1 5,35 ±0,12 a 1,24 ±0,04 a 0,12 ±0,021 a 33,54 ±1,53 a
9 A2B2 5,52 ±0,10 a 1,21 ±0,07 a 0,13 ±0,018 a 35,45 ±1,03 a
Keterangan : A. Dolomit ( 0, 1, dan 2 t ha-1); B. Biochar sekam padi ( 0, 5, dan 10 t ha-1).
- Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0.05.
-
Aplikasi dolomit dan biochar sekam padi meningkatkan kadar kation tanah, terutama
basa-basa (Ca dan Mg) dibandingkan kontrol. Pengapuran mempengaruhi kesetimbangan kimia
di dalam tanah, dengan penambahan kation-kation basa akan mengikat kation-kation logam
seperti Al dan Fe. Moreira and Fageria (2010) melaporkan Peningkatan dosis kapur (0; 3,8; 6,6;
dan 10,3 t ha-1) berkorelasi positif dengan peningkatan kadar basa-basa, yaitu Ca, Mg, dan K di
dalam tanah dengan R2 masing-masing 0,99; 0,99, dan 0,63.
Pada Tabel 2 terlihat kadar Al-dd menurun dengan perlakuan dolomit dan biochar
dibandingkan kontrol. Pengapuran dan biochar mengurangi daya larut aluminium, dimana Al-dd
diikat baik oleh asam-asam organik maupun oleh kapur sehingga Al-dd di dalam tanah
makin rendah. Wahjudin (2006) melaporkan pengapuran dengan dosis setara 1 x Aldd pada
tanah Vertic Hapludult nyata menurunkan Al-dd dan kemasaman tanah.
Tabel 2. Kadar kation yang dapat ditukar dan KTK tanah setelah inkubasi dolomit dan
biochar selama satu bulan
N Perlakua Kation-kation dipertukarkan (Cmol(+)/kg)
KTK
o n Al-dd H-dd K-dd Na-dd Ca-dd Mg-dd
1 A0B0 0,27 0,06 0,37 0,56 5,13 0,94 6,29
2 A0B1 0,23 0,09 0,43 0,59 5,34 1,04 7,60
3 A0B2 0,19 0,08 0,48 0,43 6,11 1,12 8,34
4 A1B0 0,18 0,06 0,39 0,59 5,58 1,43 8,19
5 A1B1 0,15 0,11 0,42 0,42 6,24 1,28 8,58
6 A1B2 0,16 0,08 0,45 0,45 6,76 1,48 9,38
7 A2B0 0,13 0,07 0,41 0,46 6,12 1,36 8,55
8 A2B1 0,14 0,06 0,42 0,42 6,54 1,49 9,45
9 A2B2 0,11 0,08 0,46 0,39 7,11 1,67 9,83
Keterangan : A. Dolomit ( 0, 1, dan 2 t ha-1); B. Biochar sekam padi ( 0, 5, dan 10 t ha-1).
Aplikasi dolomit 1 t ha-1 dan biochar 2 atau 4 t ha-1 nyata meningkatkan jumlah
gabah/malai dan hasil padi Inpara 2 dibandingkan kontrol (Tabel 3). Penelitian yang
108
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
membandingkan pengaruh kapur (kalsit) dengan biochar telah dilaporkan oleh Mariati (2014).
Perlakuan terdiri dari a1. Kalsit; a2. Arang sekam; dan a3. Biochar tongkol jagung; serta d1.
dosis 3 t/ha; d2. 6 t/ha; dan d3. 9 t/ha. Hasil penelitian menunjukkan aplikasi ketiga macam
pembenah tanah tersebut nyata meningkatkan hasil berat tongkol jagung manis dibanding
kontrol. Pada aplikasi arang sekam dosis terbaik adalah 6 t/ha, dan pada aplikasi biochar tongkol
jagung, dosis terbaik adalah 9 t/ha.
Beberapa hasil penelitian terkait seperti yang dilaporkan oleh Koesrini et al. (2015) pada
lahan pasang surut sulfat masam, aplikasi dolomit setara 1 x Al-dd nyata meningkatkan tinggi
tanaman dan hasil kedelai. Cornellisen et al., (2013) melaporkan efek pemberian biochar dari
tongkol jagung dan kayu terhadap peningkatan hasil biji pada lima asal tanah berbeda pada
setiap lokasi, peningkatan hasil biji tertinggi diperoleh pada perlakuan biochar tongkol jagung 4 t
ha-1 dengan peningkatan hasil lebih dari 300 % dibandingkan kontrol (Cornellisen et al., 2013).
Kelebihan biochar dibandingkan pembenah tanah lainnya adalah lebih bertahan (persisten) di
dalam tanah, ditunjukkan dengan hasil penelitian Mawardiana et al., (2013) yaitu residu biochar
tongkol jagung 10 t ha-1 mempengaruhi dinamika nitrogen, sifat kimia tanah dan hasil
tanaman padi sampai musim tanam ketiga.
Tabel 3. Pengaruh aplikasi dolomit dan biochar terhadap jumlah gabah/malai dan
produktivitas padi varietas Inpara 2
Jumlah
No Perlakuan Hasil (t/ha)
gabah/malai
1 A0B0 105,3 b 5,25 b
2 A0B1 116,7 ab 5,36 ab
3 A0B2 118,4 ab 5,29 b
4 A1B0 111,6 ab 5,56 ab
5 A1B1 128,9 a 6,01 a
6 A1B2 127,9 a 6,32 a
7 A2B0 108,4 b 5,69 ab
8 A2B1 113,5 ab 5,35 ab
9 A2B2 116,8 ab 5,42 ab
Keterangan :- A. Dolomit (0, 1 dan 2 t ha-1); B2. Biochar (0, 2 dan 4 t ha-1)
- Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0.05.
KESIMPULAN
Aplikasi dolomit dan biochar mempengaruhi keseimbangan dan ketersediaan hara di
dalam tanah, menurunkan pH dan Al-dd tanah, meningkatkan jumlah basa-basa yang dapat
dipertukarkan dan KTK tanah, serta cenderung meningkatkan C-Organik tanah. Terhadap hasil
tanaman, aplikasi dolomit 1 t ha-1 dan biochar 2 atau 4 t ha-1 nyata meningkatkan jumlah
gabah/malai dan hasil padi Inpara 2 dibandingkan kontrol.
REFERENSI
Alihamsyah, T. 2004. Potensi dan Pendayagunaan Lahan Rawa untuk Peningkatan Produksi Padi. Ekonomi
Padi dan beras Indonesia. Dalam Faisal Kasrino, Effendi Pasandaran dan A.M. Fagi (Penyunting).
Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Chan, K.Y., L. Van Zwieten, I. Meszaros, A. Downie, and S. Joseph. 2007. Agronomic values of greenwaste
biochar as a soil amendment. Australian Journal of Soil Research 45 : 629–634
Cornelissen, G., V. Martinsen, V. Shitumbanuma, V. Alling, G. D. Breedveld, D. W. Rutherford ,M.
Sparrevik, S. E. Hale, A. Obia, and J. Mulder. 2013. Biochar Effect on Maize Yield and Soil
Characteristics in Five Conservation Farming Sites in Zambia. Agronomy J.(3) : 256-274;
doi:10.3390
109
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Fang, Y., B. Singh, B. P. Singh & E. Krull. 2014. Biochar Carbon Stability in Four Contrasting Soils. European
Journal of Soil Science 65 : 60–71
Gani, A. 2009. Potensi Arang Hayati Biochar sebagai Komponen Teknologi Perbaikan Produktivitas Lahan
Pertanian. Iptek Tanaman Pangan 4 (1) : 33 – 48
Hunt, J., M. DuPonte, D. Sato, and A. Kawabata. 2010. The Basics of Biochar : A Natural Soil Amendment.
Soil and Crop Management 30 : 1 – 6
Koesrini, K. Anwar, dan Nurita. 2011. Perbaikan Kualitas Lahan untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai di
Lahan Rawa Sulfat Masam Potensial. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus Rawa : 55-62.
Koesrini, K. Anwar dan E. Berlian. 2015. Penggunaan kapur dan varietas adaptif untuk meningkatkan hasil
kedelai di lahan sulfat masam aktual. Berita Biologi 14 (2): 155 – 161.
Lehmann, J., Rillig, M.C., Thies, J., Masiello, C.A., Hockaday, W.C. and Crowley, D. 2011. Biochar effects
on soil biota – A review. Soil Biology & Biochemistry, 43, 1812–1836
Maftu’ah, E., A. Maas, A. Syukur, dan B. H. Purwanto. 2013. Efektivitas Amelioran pada Lahan Gambut
Terdegradasi untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Serapan NPK Tanaman Jagung Manis (Zea mays
L. var. saccharata). J. Agron. Indonesia 41 (1) : 16 - 23 (2013)
Moreira, A and N.K. Fageria.2010. Liming influence on soil chemical properties, nutritional status and yield of
Alfafa grown in acid soil. R. Bras. Ci. Solo, 34:1231-1239.
Nazemi, D., A. Hairani, dan Nurita 2012. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut melalui
Pengelolaan Lahan Rawa dan Komoditas. Jurnal Agrovigor 5 (1) : 52 - 57.
Nurida, N. L., A. Rachman, and Sutono. 2012. Potensi pembenah tanah biochar dalam pemulihan sifat tanah
terdegradasi dan peningkatan hasil jagung pada Typic Kanhapludults Lampung. Buana Sains 12 (1): 69-
74.
Mariati, N. 2014. Utilization of maize cob biochar and rice husk charcoal as soil amendments for improving acid
soil fertility and productivity. Journal of Degraded and mining lands management. Volume 2 (1) : 223-
230.
Mawardiana, Sufardi, dan E. Husen. 2013. Pengaruh residu biochar dan pemupukan NPK terhadap dinamika
nitrogen, sifat kimia tanah dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) musim tanam ketiga. Jurnal
Manajemen Sumber Daya lahan 2 (3): 255-260.
Moreira, A., and N. K. Fageria. 2010. Liming influence on soil chemical properties, nutritional status and yield
of Alfafa grown in acid soil. R. Bras. Ci. Solo 34:1231-1239.
Sanchez, P.A. and Uehara, G. (1980) Management Considerations for Acid Soils with High Phosphorus
Fixation Capacity. In: Khasawneh, F.E., Sample, E.C. and Kamprath, E.J., Eds., The Role of
Phosphorus in Agriculture, American Society of Agronomy, Madison, 471-514.
Sarker, A., Md. A. Kashem, K. T. Osman, I. H., and F. Ahmed. 2014. Evaluation of Available Phosphorus by
Soil Test Methods in an Acidic Soil Incubated with Different Levels of Lime and Phosphorus. Open
Journal of Soil Science 4 : 103-108.
Wahjudin. U. M. 2006. Pengaruh pemberian kapur dan kompos sisa tanaman terhadap aluminium dapat
ditukar dan produksi tanaman kedelai pada tanah Vertic Hapludult dari Gajrug, Banten. Buletin
Agronomi. 34(3): 141 – 147.
110
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan pendapatan petani yang
menggunakan Varitas unggul nasional dan petani yang menggunakan varitas unggul lokal di lahan kering. Jumlah sampel
yang diambil sebesar 15 % dari seluruh jumlah petani (N) 247 orang petani, yaitu 37 orang. Penentuan sampel berdasarkan
rumus Stratified Random Sampling (SRS) proposional, sehingga diperoleh jumlah sampel dari pengguna varitas unggul
nasional adalah 17 orang dan yang menggunkan varitas unggul lokal sebanyak 20 orang. Hasil penelitian menunjukan rata-
rata penerimaan petani responden pengguna varitas unggul nasional sebesar Rp.15.223.529/Hektar/Musim tanam, rata-rata
biaya yang di keluarkan oleh responden Rp.7.363.391/Hektar/Musim tanam dan rata-rata pendapatan tenaga kerja keluarga
(TKDK) sebesar Rp. 12.678.238/Hektar/Musim tanam. Sedangkan rata-rata penerimaan pada responden yang
menggunakan varitas lokal sebesar Rp. 12.540.000/Haktar/Musim tanam, rata-rata biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.
4.944.700/Hektar/Musim tanam dengan rata-rata pendapatan tenaga kerja keluarga (TKDK) sebesar Rp.
7.595.300/Hektar/Musim tanam. Dari perhitungan uji-t dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan antara
petani yang menggunakan varitas unggul nasional dan petani yang menggunakan varitas unggul lokal di Desa Tanggerang
Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan teknologi pengembangan lahan suboptimal (tanaman, peternakan, dan
perikanan) saat ini adalah masih rendahnya adopsi teknologi oleh petani, peternak, atau nelayan
dan pembudidaya ikan. Rendahnya teknologi tersebut lebih sering bukan disebabkan oleh
rendahnya relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan atau persoalan petani tapi
lebih disebabkan oleh rendahnya kapasitas adopsi petani, terutama secara finansial.
Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil
kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini
mungkin karena ada anggapan bahwa meningkatkan produksi padi sawah lebih mudah dan lebih
menjanjikan dibanding padi gogo yang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi. Padahal lahan
kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk menghasilkan padi gogo > 5 ton/ha
(Abdurachman dkk,2008)
Oleh karena potensi lahan kering Indonesia juga cukup besar, Balitbangtan
mengembangkan varietas yang sesuai dengan keadaan tersebut, adapun varietas yang dilepas
adalah Inpago 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, Situ Patenggang, dan Situ Bagendit (Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, 2015). Sebagai salah satu daerah yang memiliki lahan kering, Desa Tanggerang
Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang diberikan inovasi dengan penggunaan varietas Situ
Bagendit. Namun varietas ini masih sangat rendah tingkat adopsinya oleh petani setempat. Untuk
memastikan keuntungan relatif dari varietas Situ Bagendit maka dilakukanlah penelitian ini
sebagai pembuktian.
Perkembangan pertanian di Desa Tanggerang apabila ditelusuri dari waktu ke waktu
mengalami berbagai pasang surut, lebih lanjut dinyatakan bahwa bidang pertanian sebagai dasar
perekonomian kerakyatan pada awalnya sangat diandalkan dalam menopang sendi-sendi
pembangunan di Desa Tanggerang, dan pada akhirnya mengalami gejolak permasalahan.
Realitas permasalahan keadaan pertanian di Desa Tanggerang yang menjadi latar belakang yang
penting adalah dimana petani tidak mau beralih menanam padi unggul mengingat hasil
pendapatan yang dicapai dari varietas lokal hampir sama dan tidak perlu adanya perlakuan
111
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
khusus terhadap padi lokal menurut petani desa tersebut (Mantri Tani dan Peternakan Kecamatan
Jelai Hulu, 2015).
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta permasalahan yang ada tujuan dari penelitian ini adalah
membandingkan pendapatan usaha tani padi varietas unggul nasional jenis Situ Bagendit dengan
varietas padi lokal jenis Senduak pada lahan kering di Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu
Kabupaten Ketapang.
Masalah Penelitian
Berdasarkan pengamatan di Desa Tanggerang ternyata dari aspek pelaksanaan di
lapangan Gambaran kondisi aktual usaha tani padi lahan kering di desa Tanggerang masih
banyak petani yang menanam padi dengan menggunakan benih lokal yang umurnya lebih
panjang yaitu tiga setengah bulan baru panen seperti Varietas Senduak.Dari luas areal 217 Ha
yang ada di Desa Tanggerang yang menanam padi Varietas Unggul Nasional Situ Bagendit 107
Ha, sedangkan padi varietas lokal Senduak sebanyak 110 hektar. Dari kondisi ini faktor modal
merupakan permasalahan dalam berusaha tani padi varietas unggul karena memerlukan biaya
yang besar untuk pembelian benih padi, pupuk dan obat-obatan. Dari aspek teknologi biaya
tanaman benih padi varietas unggul menghendaki perlakuan yang intensif seperti penyulaman,
pemupukan, penyiangan, pengendalian OPT dan pengairan. Namun pada padi varietas lokal
tidak memerlukan perlakuan yang intensif.
METODE PENELITIAN
Variabel Pengamatan
Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Kareteristik petani yang meliputi: nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, luas lahan, jumlah
tanaman (rumpun/hektar), jumlah produksi (kg/ha/mt), harga jual (Rp/kg)
2. Penggunaan sarana produksi yang meliputi: benih, pupuk urea, pupuk NPK, rodentisida
Klerat, herbisida Round up, insektisida Starfos 25 ec.
3. Penggunaan tenaga kerja dewasa keluarga petani yang meliputi: penebasan lahan,
pengolahan tanah, penanaman, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama penyakit,
panen/pasca panen.
4. Penggunaan peralatan perhektar petani yang meliputi: cangkul, parang, sabit bergerigi, hand
sprayer
5. Jumlah produksi yang dihasilkan petani selama satu kali musim tanam dalam bentuk Gabah
Kering Panen (GKP)
6. Harga jual produk yang diterima petani (Rp/Kg).
7. Pendapatan tenaga kerja keluarga petani (Rp)
Keterangan :
nhi = Jumlah sampel strata ke-i
Nhi = Jumlah petani tiap kelas kelompok tani
N = Jumlah populasi petani
n = Jumlah petani sampel
112
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Dengan demikian jumlah sampel yang akan diambil dari setiap kelas kelompok tani
adalah sebagai berikut :
Dimana :
x1 = Rata-rata pendapatan petani menggunakan varietas unggul
x2 = Rata-rata pendapatan petani menggunkan varietas unggul lokal
n1 = Sampel Petani menggunakan varietas unggul Nasional
n2 = Sampel petani yang mnggunakan varietas unggul lokal
S1/2 = Varian sampel petani yang mneggunakan varietas unggul nasional
S2/2 = Varian sampel petani yang menggunakan varietas unggul lokal
Adapun kaidah dari keputusannya adalah :
1. Jika t hitung ≤ t tabel, maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat perbedaan rata-rata
pendapatan petani yang menggunakan varietas unggul nasional dan petani yang
menggunakan varietas unggul lokal.
2. Jika t hitung ≥ t tabel, maka Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan rata-rata pendapatan
antara petani yang menggunakan padi varietas unggul nasional dan petani yang
menggunakan varietas unggul lokal.
HASIL
Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek
teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai
masalah tersebut dapat diatasi. Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang
memiliki luas tanah sawah 200 Ha, tanah kering 2.066 Ha, tanah basah 40 Ha, tanah perkebunan
2.500 Ha, tanah fasilitas umum 20 Ha, dan tanah hutan 25.500 Ha. Salah satu strategi yang
diterapkan di Desa Tanggerang Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang untuk meningkatkan
produksi padi adalah penggunaan varietas Situ Bagendit. Di Desa Tanggerang petani selain
menanam varietas unggul Situ Bagendit, mereka juga menanam padi lokal varietas Senduak.
Penanaman kedua jenis varietas ini menunjukkan adanya perbedaan produksi dan pendapatan.
Perbedaan pendapatan dari penanaman kedua jenis varietas ini dapat dilihat besaran saprotan
yang digunakan dan curahan tenaga kerja yang dipakai.
113
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
dalam satu musim tanam. Dari responden pada masing-masing kelompok responden baik yang
mengusahakan padi varietas unggul maupun yang mengusahakan padi varietas lokal rata-rata
biaya n dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rata-Rata Biaya
Jenis Unggul Lokal
Biaya (Rp) (Rp)
Saprodi 1.305.823 212.450
TKDK 5.517.647 3.972.500
Peralatan 471.617 218.000
Sumber : Analisis Data, 2015.
Sarana produksi merupakan tambahan input yang harus dikeluarkan dalam suatu proses
produksi pertanian, adapun tujuan dari penambahan input untuk mendapatkan produksi yang
maksimal. Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa sarana produksi yang digunakan oleh
responden terdiri atas benih, pupuk urea, NPK, pestisida, herbisida dan insektisida. Rata-rata
penggunaan biaya sarana produksi terhadap varietas unggul dalam satuan hektar/musim tanam
adalah sama seperti penggunaan benih, pupuk, pestisida karena dikelola dalam kelompok tani
namun untuk penggunaan benih pada varietas lokal sangat bervariatif setiap hektar/musim
tanamnya, untuk rata-rata penggunaan biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-Rata Biaya Penggunaan Sarana Produksi
Unggul Lokal
Saprodi (kg/ltr/btl (rupiah) (kg/ltr/btl) (rupiah)
Benih 50 392.647 30.35 212.450
Pupuk Urea 50 250.000 - -
Pupuk NPK 62.647 313.235 - -
Pestisida 1.2 58.823 - -
Herbisida 4.117 205.882 - -
Insektisida 1,764 80.882 - -
Total 1.301.470 212.450
Sumber : Analisis Data, 2015.
Selain biaya sarana produksi seperti terlihat pada tabel di atas, responden juga
mengeluarkan biaya lain yakni biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Penggunaan biaya
tenaga kerja dalam keluarga meliputi penebasan lahan, penyemprotan dengan herbisida Round
Up. Pada lahan varietas lokal ditebas dikeringkan kemudian dibakar kemudian ditanamai,
Sedangkan untuk varietas unggul setelah ditebas/disemprot dengan herbisida rumput mati
kemudian tanah diolah menggunakan cangkul atau mekanisasi kemudian diberakan dan diberi
pupuk kemudian baru ditanami. Penyiangan lahan dapat dilakukan apabila lahan tersebut
terdapat gulma demikian pula halnya dengan pengendalian hama maupun penyakit jika
ditemukan gejala serangan di atas ambang ekonomi baru dikendalikan. Upah tenaga kerja baik
laki-laki maupun perempuan dalam hitungan Hari Orang Kerja (HOK) adalah Rp. 70.000/HOK.
Rata-rata penggunaan biaya tenaga kerja dalam keluarga dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
114
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Untuk rata-rata produksi per musim tanam padi varietas unggul sebesar 3.806 ton/ha
GKP dan untuk rata-rata produksi padi varietas lokal 3.135 ton/ha GKP dengan harga di
penampung Rp. 4.000.
Rata-rata pendapatan tenaga kerja dalam keluarga responden yang mengusahakan padi
varietas unggul yakni sebesar Rp.13.451.029/hektar/musim tanam, sedangkan rata-rata
pendapatan tenaga kerja dalam keluarga responden yang mengusahakan padi varietas lokal yakni
sebesar Rp.12.109.550/ hektar/musim tanam. Hasil ini sejalan dengan penelitian Mustaqim, dkk
(2015) mengenai perbedaan pendapatan petani di lahan kering anatara padi lokal dan padi unggul
115
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
yaitu besarnya keuntungan Rp 6.034.134/Ha usahatani padi lahan kering menggunakan benih
Ciherang lebih tinggi daripada keuntungan usahatani padi lahan kering menggunakan benih
Segreng Rp 5.466.247/Ha.
116
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
(iv) aman lingkungan, dan (v) mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan.
Pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi yang
diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan dan faktor sosial budaya
masyarakat. Karena sifatnya yang unik makan pengelolaan lahan sub obtimal memerlukan peran
multi sektotoral dan multidisiplin agar pemanfaatan lahan ini dapat dilakukan secara optimal,
efektif, dan efesien.
KESIMPULAN
1. Rata-rata penerimaan responden yang menggunakan padi varietas unggul sebesar
Rp.15.223.529/hektar/musim tanam, dan responden yang menggunakan padi varietas lokal rata-rata
penerimaan sebesar Rp.12.540.000/hektar/musim tanam.
2. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh responden yang menggunakan padi varietas unggul sebesar
Rp.7.295.088/hektar/musim tanam, dan responden yang menggunakan padi varietas lokal rata-rata biaya
sebesar Rp. 4.402.950/hektar/musim tanam.
3. Rata-rata pendapatan tenaga kerja dalam keluarga responden yang menggunakan padi varietas unggul
sebesar Rp.13.451.029/hektar/musim tanam, sedangkan rata-rata pendapatan tenaga kerja keluarga yang
menggunakan padi varietas lokal sebesar Rp. 12.109.550/hektar/musim tanam.
4. Dari hasil uji t atau t- test dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan tenaga kerja dalam
keluarga responden yang menggunakan padi varietas unggul terhadap pendapatan tenaga kerja dalam
keluarga responden yang menggunakan padi varietas lokal.
REFERENSI
A. Abdurachman, A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Litbang Pertanian Vol 27. No.2.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat, 2009. Cara Bercocok Tanam Padi dan Palawija,
Pontianak
Lakitan, B dan Gofar, N. 2014. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan Suboptimal
Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang
Mantri Tani dan Peternakan, 2015. Analisis Data dan Pelaporan. Mantanak Kecamatan Jelai Hulu
Mustaqim, F.B.Y, Kusnandar, Widiyanti, E. Studi Komparasi Usahatani Padi Lahan Kering Menggunakan
Benih Padi Lokal (Segreng) Dengan Benih Padi Unggul Non Hibrida (Ciherang) Di Kecamatan
Pracimantoro Kabupaten Wonogiri. Jurnal Agrista Vol. 3. No. 3.
Murtilaksono, K. 2014. Teknologi Untuk Pengelolaan Lahan Suboptimal Kering Masam Dan Beriklim Kering
Secara Produktif, Inklusif, Dan Ekologis. Makalah Keynote Speaker Seminar Nasional Lahan
Suboptimal 2014.
Soekartawi, 2003. Teori Ekonomi Produksi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemarno. 2007. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering Dalam Rangka Pembangunan Daerah dan
Pemberdayaan Masyarakat. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id. Ragam Pilihan Varietas Unggul Padi untuk Lahan Kering. Diakses tanggal
4 Pebruari 2016.
117
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Wilayah Kalimantan Barat sebagian besar merupakan lahan sub-optimal, yang terdiri dari lahan kering, lahan
pasang surut dan lahan gambut dengan luas sekitar 1 juta Hektar. Kondisi lahan sub-optimal yang miskin unsur hara
mempengaruhi produktivitas tanaman yang diusahakan oleh petani menjadi rendah. Salahsatu upaya meningkatkan
produktivitas adalah dengan digunakannya inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi, sehingga inovasi dimaksud menjadi
pemacu meningkatnya produktivitas komoditas pertanian. Proses adopsi dan aplikasi teknologi spesifik oleh petani akan
berjalan baik apabila melibatkan penyuluh pertanian lapangan (PPL) sebagai agen inovasi di lapangan.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan rekonstruksi dinamika sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan
Barat pada masa lalu hingga saat ini, melakukan analisis rencana strategis sistem penyuluhan dan memberikan alternatif
pola dan sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang sesuai dengan kondisi lokal dan regional.
Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif untuk menjelaskan fenomena dinamika penyuluhan di
Kalimantan Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PPL di Kalimantan Barat pada tahun 2015 berjumlah 1.700 orang, yang
terdiri dari PPL PNS, THL TBPP dan PPL Swadaya, dominasi PPL berasal dari PPL PNS sebanyak 46,8% dari jumlah
PPL, sedangkan Kabupaten terbanyak yang memiliki PPL adalah Kabupaten Sambas. Kantor PPL di lapangan memiliki
nama yang berbeda-beda yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dan Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan (BP3K). Kondisi pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang
memiliki tiga aspek skenario, yaitu ; revitalisasi akses terhadap media penyuluhan, memaksimalkan peran THL TBPP
sebagai generasi penerus PPL PNS dan mengoptimalkan peran penyuluh swadaya.
Kata Kunci : Lahan sub-optimal, produktivitas rendah, inovasi teknologi spesifik, peran penyuluh dan Kalimantan
Barat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyuluhan pertanian tidak dapat terpisahkan dalam catatan pembangunan pertanian
nasional. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan kepada eksistensi
tanah atau lahan pertanian. Produktivitas komoditas pertanian yang diusahakan petani akan
sangat tergantung kepada potensi lahannya. Namun demikian, rekayasa teknologi yang tepat
guna dapat meningkatkan kapasitas dari lahan dan tanaman, sehingga dapat memperbaiki
produktivitas yang telah ada. Rekayasa teknologi yang telah teruji dan dapat meningkatkan
produktivitas komoditas pertanian tersebut menjadi sebuah inovasi. Inovasi tersebut akan
bermanfaat bagi penggunanya melalui proses adopsi dan difusi inovasi. Proses adopsi dan difusi
inovasi tersebut akan berjalan baik apabila dilakukan melalui media dan perantara yang
menyampaikan inovasi tersebut. Penyuluh pertanian merupakan salahsatu agen atau perantara
yang menyampaikan inovasi bagi penggunanya sehingga terjadi perubahan kapasitas sehingga
penyuluh pertanian disebut juga sebagai agen perubahan atau istilah Rogers (2003) sebagai
change agent, yaitu orang yang memengaruhi targetnya (petani) untuk mengambil keputusan
sesuai tujuan lembaganya, walaupun pada perkembangannya, istilah dan makna agen perubahan
tersebut mengalami pergeseran menjadi fasilitator, sesuai fungsi sistem penyuluhan dan azas
penyuluhan beradasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 Bab
II pasal 2 tentang sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutan, yang berazaskan
demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan keseimbangan dan partisipatif.
Kalimantan Barat sebagai daerah yang memiliki lahan pertanian potensial maupun telah
diusahakan yang cukup luas di samping lahan perkebunan dan kehutanan, menjadikan
118
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Kalimantan Barat memiliki potensi yang tinggi unyuk menjadi salahsatu sumber produksi
pertanian lokal maupun nasional. Potensi yang tinggi tersebut akan linier dengan potensi
produksi dan produktivitas hasil pertaniannya. Produktivitas hasil pertanian akan dipengaruhi
oleh daya dukung lahan, potensi produksi komoditas dan kemampuan petani dalam mengelola
usahataninya. Kemampuan petani dalam mengelola usahatani diawali dengan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilki dan kemampuan mengembangkannya. Upaya petani dalam
mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya tersebut tidak terlepas dari faktor eksternal,
salahsatunya adalah akses informasi, khususnya akses informasi mengenai inovasi pertanian.
Penyuluh pertanian memiliki peran yang strategis saat ini dalam melakukan difusi dan
diseminasi atau penyebar luasan inovasi teknologi. Inovasi teknologi yang akan disebarluaskan
tersebut merupakan teknologi yang telah teruji sesuai dengan agrosistem setempat atau disebut
sebagai teknologi pertanian spesifik lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
(2013) menguraikan bahwa teknologi spesifik lokasi adalah suatu hasil kegiatan pengkajian yang
memenuhi kesesuaian lahan dan agroklimat setempat. Inovasi teknologi pertanian merupakan
bagian integral dari peran dan fungsi penyuluh pertanian karena di dalam inovasi tersebut
terkandung hal, ide dan teknologi baru dan terus berkembang yang dibutuhkan oleh petani
sebagai pelaku utama dalam meningkatkan dan mengembangkan usahataninya. Sumber inovasi
teknologi pertanian yang akan disebarkan kepada petani sebagai pengguna dan pelaku utama dari
inovasi, merupakan lembaga yang terpercaya dalam menghasilkan inovasi tersebut, namun
demikian sumber inovasi tersebut dapat berasal dari kearifan lokal masyarakat setempat yang
merupakan bagian dari budaya atau kehidupan dari suatu kelompok masyarakat dan telah teruji
secara berkali-kali dalam aplikasinya dan memiliki hasil produksi atau output yang konsisten
dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Inovasi teknologi dari luar dan dalam sistem kehidupan masyarakat khususnya petani
tersebut memiliki sifat yang sama yaitu telah teruji, konsisten dan spesifik lokasi. Hal tersebut
dianggap penting sebagai materi dalam penyuluhan yang akan disampaikan, karena penyuluhan
memiliki salahsatu tujuan akhir yaitu untuk meningkatkan kemampuan produksi dari tanaman
yang diusahakan petani. Penyuluh pertanian sendiri memiliki peran yang strategis dan dinamis
seiring perkembangan isu, fisik dan lingkungan yang berkembang, sehingga diperlukan peran
dan fungsi penyuluh yang secara konsisten mendukung pembangunan pertanian melalui
penyuluhannya kepada pelaku utama pertanian, yaitu petani. Peran dan fungsi penyuluh
pertanian akan relatif berbeda dengan dinamika sistem penyuluhannya, sehingga diperlukan
suatu analisis dan kajian dalam mengamati, menganalisis, memetakan dan merancang strategi
sistem penuluhan yang tepat sesuai kebutuhan penggunanya dan tutntutan zamannya.
Permasalahan
1. Bagaimanakah dinamika sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada masa lalu
hingga saat ini?
2. Bagaimanakah posisi dan keberadaan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada saat
ini?
3. Bagaimanakan perencanaan strategis dari sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat
di masa mendatang?
Tujuan
Tujuan dalam kajian yang dilakukan adalah :
1. Merekonstruksi dinamika dari sistem penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada masa
lalu hingga saat ini.
2. Memetakan posisi dan keberadaan penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat pada saat ini.
3. Merancang rencana strategis sistem penyuluhan dan memberikan alternatif pola dan sistem
penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat di masa mendatang sesuai dengan kondisi lokal
dan regional.
119
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
120
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 15 Nopember 2006 yang
memuat hal-hal penting mengenai kebijakan, penyelenggaraan dan pengawasan penyuluhan
pertanian. Undang-undang tentang sistem penyuluhan tersebut memiliki nilai-nilai baru yang
dianggap sesuai dengan kondisi dan tuntutan pembangunan pertanian di Indonesia melalui
penyuluhan pertaniannya.
Pelaksanaan penyuluhan pertanian pada masa lalu, terutama pada masa keemasan
penyuluhan pertanian hingga dapat tercapainya swasembada beras, didorong oleh beberapa
faktor, diantaranya; 1) pembiayaan yang penuh (full financial) dari semua aspek kegiatan
penyuluhan, termasuk pembiayaan penuh untuk pemenuhan sarana dan prasarana pertanian
seperti bibit, pupuk dan lainnya, 2) media penyuluhan yang digunakan secara terintegrasi,
yaitu antara penyuluhan melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi dan brosur
dengan media pertemuan kelompok dan pertemuan perseorangan penyuluh dengan petani
sasaran, sehingga pesan yang disampaikan melalui media massa menjadi lebih kuat dengan
menggunakan media pertemuan kelompok tani dan diperkuat lagi dan diperjelas melalui
komunikasi perseorangan dengan petani, 3) sistem penyuluhan memiliki struktur dan
organisasi yang jelas dan kuat dari tingkat pusat hingga daerah sebagai konsekuensi dari pola
top-down, sehingga program dan output yang menjadi target dan sasaran dapat dilaksanakan
secara sistematis dan tegas, 4) penyuluh yang bertugas memiliki sumberdaya manusia yang
cukup dan memadai serta umumnya berusia muda, sehingga memiliki kekuatan yang besar
dalam menjalankan penyuluhan secara massal. Adapun kelemahan yang dimiliki pada sistem
penyuluhan pada masa tersebut adalah diantaranya 1) sistem penyuluhan menganggap target
penyuluhan bersifat homogen di semua tempat dalam aspek ekosistem maupun sosial, seperti
pola budidaya yang sama antara lahan di Jawa dengan di Kalimantan, media penyuluhan yang
sama untuk masyarakat yang memiliki budaya berbeda, 2) Model penyuluhan yang
menganggap bahwa penyuluh “lebih tahu” dari pada petani dan pihak penyuluh memiliki
otoritas yang dominan dalam penguasaan pengetahuan pertanian, sehingga Freire di dalam
Joebhaar (1984) mengistilahkan dengan sistem bank, yang secara umum berarti bahwa
penyuluh menempatkan dirinya dominan terhadap petani yang dianggap sub-ordinat.
Kelebihan dan kekurangan sistem penyuluhan di masa keemasannya, menjadi catatan
penting dan bermanfaat dalam merancang dan mengembangkan penyuluhan di masa kini dan
mendatang, agar tidak terjadi kesalahan yang berulang. Kelebihan atau keunggulan di masa
lalu tersebut dapat diaplikasikan kembali dengan beberapa modifikasi yang disesuaikan
dengan masa kini dan mendatang. Perencanaan dan pelaksanaan sistem penyuluhan di
Indonesia termasuk di Kalimantan Barat saat ini selayaknya memperhatikan kondisi regional,
yaitu dengan memperhatikan paradigma Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Millenium
Development Goal’s (MDG’s) dan Sustainable Developmen Goal’s (SDG’s), apalagi
Kalimantan Barat memiliki wilayah yang berbatasan langsung dan dekat dengan Malaysia.
121
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
lainnya, dengan demikian dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani di
daerah tersebut.
122
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Umur Jumlah
(tahun)
Orang Persentase
26 – 37 156 20,97
38 – 49 275 36,96
50 – 62 313 42,07
123
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 4. Perkiraan masa pensiun PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2016
1 – 10 313 42,07
11 – 22 275 36,96
23 – 34 156 20,97
Data yang didapatkan menunjukkan bahwa hampir setengah jumlah PPL PNS
diperkirakan akan mengalami pensiun pada masa 10 tahun mendatang, maka diperlukan suatu
perencanaan dalam menggantikan kelompok penyuluh tersebut, sehingga pada saatnya tidak
terdapat kekosongan Sumber Daya Manusia (SDM) penyuluh. Komposisi umur untuk THL-
TBPP dan penyuluh swadaya belum dapat diidentifikasi, namun demikian untuk THL TBPP
yang sebagian besar merupakan hasil rekrutmen tenaga sarjana yang dimulai pada tahun 2007,
maka diasumsikan sebagian besar THL TBPP merupakan tenaga muda dengan kisaran umur
termasuk dalam kelompok umur 26-37 tahun. Kondisi tersebut menjadi potensi dalam
pemberdayaan SDM, termasuk dalam melakukan regenerasi penyuluh di masa mendatang.
Pemanfaatan SDM penyuluh ini sangat penting dalam sistem penyuluhan saat ini seperti
menurut Sadono (2008) Paradigma baru penyu saat ini bergeser dari menekankan pada alih
teknologi ke paradigma baru yang mengutamakan pada sumberdaya manusianya, yang dikenal
dengan pendekatan farmer first, atau “mengubah petani” dan bukan “mengubah cara bertani”,
yang memungkinkan terjadi pemberdayaan pada diri petani.
Pendidikan PPL PNS di Provinsi Kalimantan Barat sebagian besar (49,19%) dari jumlah
keseluruhan adalah Sarjana atau sederajat dan sebesar 29,03% nya adalah SMA atau sederajat
(Tabel 5). Kondisi tersebut menunjukkan potensi yang cukup tinggi dalam mengembangkan
penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat melalui SDM yang dimilikinya. Potensi dari aspek
pendidikan SDM tersebut semakin tinggi apabila digabungkan dengan tenaga THL TBPP yang
sebagian besar berpendidikan sarjana atau sederajat dan berusia muda.
Sebagian PPL PNS lainnya sebesar 15,05% dari jumlah keseluruhan memiliki
pendidikan Diploma 3 (D-3), yang berarti kelompok penyuluh tersebut memiliki kesempatan
yang besar untuk meningkatkan tingkat pendidikannya menjadi sarjana, sehingga dapat
meningkatkan tingkat pendidikan keseluruhan PPL PNS di Kalimantan Barat. Kelompok PPL
124
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
PNS yang memiliki tingkat pendidikan paling tinggi adalah pasca sarjana S-2 sebanyak 0,81%
dari jumlah total. Kelompok SDM tersebut menjadi potensi dalam memanfaatkan pendidikan
dan wawasannya dengan menjadi sumber pengetahuan, guru atau mentor bagi kolega lainnya
yang memiliki tingkat pendidikan berbeda, sehingga menjadi sumber pendidikan informal
yang bermanfaat.
Latar belakang pendidikan dan bidang keahlian PPL PNS sebagian besar (81,85%)
adalah tanaman pangan (Tabel 6). Kondisi tersebut diduga karena pembangunan pertanian
selama ini fokus kepada tanaman pangan, terutama padi dan jagung, sehingga mempengaruhi
bidang minat yang dipilih dari sebagian orang yang ingin menjadi penyuluh pertanian pada
waktu tersebut. Kondisi tersebut dianggap kurang ideal, karena pembangunan pertanian saat
ini berorientasi kepada integrasi antar sub-bidang pertanian, sehingga memerlukan berbagai
SDM penyuluh pertanian di lapangan yang terdiri dari beberapa bidang keahlian.
Tabel 6. Bidang keahlian PPL PNS di Kalimantan Barat pada Tahun 2016
Orang Persentase
Peternakan 61 8,20
Perkebunan 49 6,59
Hortikultura 25 3,36
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa, umumnya petani selain berusaha tani dengan
tanaman pangannya, juga memiliki hewan ternak, termasuk yang banyak dipelihara adalah
ternak sapi, sehingga penyuluhan pertanian meliputi bidang peternakan dan memberikan
konsekuensi diperlukannya tenaga penyuluh pertanian dengan bidang ahli peternakan.
Demikian pula halnya dengan tenaga SDM penyuluh pertanian dengan bidang lainnya seperti
perkebunan dan hortikultura, sehingga keperluan informasi petani terhadap usahatani selain
tanaman pangannya dapat terpenuhi. Rivera dan Qamar (2003) mengungkapkan bahwa
salahsatu pendekatan baru bagi penyuluhan pertanian di negara berkembang, selayaknya tetap
melibatkan dukungan pemerintah dan melibatkan antar-subsektor pertanian di dalamnya yang
terintegrasi.
125
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
2) Pola penyuluhan sudah selayaknya bersifat dialogis atau bottom-up, sehingga penyuluh dan
petani dapat saling berbagi dalam pengetahun dan pengalaman yang pada akhirnya dapat
tercapai dengan baik pemahaman bersama dalam pengelolaan usahatani di suatu wilayah.
Hariadi (2009) menyebutnya dengan penyuluhan dialogis, yaitu penyuluh yang petani dan
petani yang penyuluh.
3) Komposisi kelompok umur penyuluh pertanian yang cenderung kurang akan SDM muda,
memerlukan rekrutmen yang seimbang, terutama merekrut tenaga-tenaga muda. Kondisi
tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan pengangkatan menjadi PPL PNS dari THL-
TBPP yang sebagian besar memiliki usia yang masih muda, pendidikan yang cukup baik dan
pengalaman yang cukup lama dan mumpuni, sehingga pada masa mendatang, komposisi
umur penyuluh seimbang antara tenaga muda dan lanjut, sehingga dapat meningkatkan
dinamika penyuluhan pertanian di Kalimantan Barat. Selain itu, apabila dimungkinkan
rekrutmen tenaga muda penyuluh pertanian tersebut, sebaiknya rekrutmen berasal dari bidang
keahlian yang berbeda, sehingga seimbang antar sub-bidang pertanian, bidang keahlian
lainnya seperti peternakan, perikanan dan kehutanan.
4) Upaya meningkatkan tingkat pendidikan penyuluh pertanian dirasakan sangat perlu dilakukan
demi meningkatkan kapasitas SDM penyuluh pertanian. Cara yang dapat dilakukan, yaitu
dengan memberikan kesempatan kepada penyuluh pertanian untuk melaksanakan tugas
belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
5) Penyuluh swadaya menjadi salahsatu potensi kunci atau penting di dalam meningkatkan
pembangunan pertanian di Kalimantan Barat melalui penyuluhan pertanian. Kondisi tersebut
perlu dilakukan karena penyuluh swadaya memiliki beberapa kelebihan, yaitu jumlahnya
yang banyak, pengalaman yang mumpuni, memiliki kepedulian untuk turut membangun
pertanian melalui penyuluhan. Pemberdayaan penyuluh swadaya dapat dilakukan dengan
lebih banyak dan lebih intensif mengikut sertakan penyuluh swadaya tersebut dalam beberapa
kegiatan dan diberikan porsi yang lebih banyak dalam merencanakan dan memecahkan
permasalahan pertanian di wilayah kerjanya.
126
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Badan Litbang Pertanian. 2013. Panduan Umum Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik
Lokasi. Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta
Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2015. Kalimantan Barat dalam Angka. BPS Kalimantan
Barat. Pontianak
Freire, P. di dalam Joebhaar, M. 1984. Pendidikan, Pembebasan, Perubahan Sosial. PT Sangkala Pulsar. Jakarta
Hariadi, S.S. 2009. Penyuluhan Dialogis Untuk Menjadikan Petani Penyuluh dan Mandiri. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Mardikanto, T. 2007. Sistem Penyuluhan Pertanian. Pusat Pengembangan Agrobisnis dan Perhutanan Nasional,
Surakarta.
Rivera, W.M dan M.K. Qamar. 2003. Agricultural Extension, Rural Development and The Food Security
Challenge. FAO, Rome.
Rogers, E.M. 2003. Diffusion of Innovations, fifth edition. Free Press. Newyork
Sadono, D. 2008. Pemberdayaan Petani : Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Jurnal
Penyuluhan Vol 4 No.1, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2013. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013
Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Jakarta
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang No.16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta
127
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Sagu merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomis tinggi karena selain sebagai bahan pangan, sagu
juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri modern. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi aci sagu di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan pada bulan
Juli hingga Oktober 2014 dengan jumlah responden 60 orang, yang merupakan pengolah sagu pada tiga Kecamatan di
Kabupaten Konawe, yaitu Kecamatan Sampara, Bondoala, dan Besulutu. Model analisis yang digunakan adalah fungsi
produksi Cobb-Douglas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah bahan baku yang diolah, jumlah tenaga kerja, bahan
bakar, dan jumlah air berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi. Sedangkan pengalaman mengolah tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pencapaian ketahanan pangan di suatu negara merupakan sasaran pembangunan pangan
yang dicirikan oleh meningkatnya ketersediaan pangan dan meningkatnya diversifikasi produk
pangan. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan, dimana
kebutuhan akan pangan terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Beras
merupakan salah satu jenis pangan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Bintoro,
et al. (1999) menjelaskan bahwa kebutuhan beras di Indonesia sekitar 30.2 juta ton/tahun untuk
jumlah penduduk sekitar 229 juta jiwa, hal ini berarti konsumsi beras orang Indonesia sekitar
132 kg/kapita/tahun. Apabila pertumbuhan populasi penduduk Indonesia sebesar 2% per tahun,
maka pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 300 juta jiwa. Apabila
produksi beras tidak meningkat, maka pada tahun 2025 kekurangan beras akan sebanyak 18 juta
ton.
Untuk menghadapi permasalahan kekurangan bahan pangan pokok, perlu dioptimalkan
pemanfaatan tanaman sumber karbohidrat lain. Sebagai negara yang terletak di daerah tropika
basah, Indonesia kaya akan tanaman penghasil karbohidrat dan mampu menjadi sumber
karbohidrat terbesar di dunia. Salah satu komoditas pertanian yang potensial dan punya nilai
ekonomi tinggi untuk dikembangkan adalah sagu. Sagu merupakan salah satu tanaman pangan
yang perlu menjadi perhatian. Sagu dapat menjadi pangan alternatif yang meringankan atau
bahkan mengatasi masalah ketahanan pangan nasional.
Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), tanaman sagu sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif bagi masyarakat selain padi. Pasalnya, sagu
menghasilkan pati kering sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Peran pati sagu tidak hanya
dapat digunakan sebagai bahan pangan, dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu
dapat dijadikan bahan baku berbagai jenis industri makanan, industri kayu lapis, berpeluang
sebagai salah satu sumber bahan baku bio-etanol. Abbas dan Ehara (2012) juga mengemukakan
hal yang sama bahwa produk terpenting dari palma sagu adalah aci (tepung) sagu yang
jumlahnya sangat besar dan digunakan untuk berbagai tujuan. Bahkan, menurut Gurusamy, et
al. (2011), di daerah Salem (Tamil Nadu, India) industri sagu saat ini merupakan tulang
punggung perekonomian di daerah pedesaan.
128
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Sagu (Metroxylon sp.) dapat tumbuh di daerah rawa atau tanah marjinal dimana tanaman
penghasil karbohidrat lainnya sukar untuk tumbuh dengan wajar. Taridala et al. (2013b)
mengemukakan bahwa dipusat-pusat pertumbuhan sagu, komoditas ini terutama digunakan
sebagai bahan pangan pokok. Padahal dalam perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sagu
dengan sifat fisis dan khemis yang dimilikinya dapat dimanfaatkan tidak terbatas pada bahan
baku untuk berbagai macam industri modern. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
produksi tidak hanya dilakukan pada lahan-lahan irigasi atau lahan-lahan yang secara intensif
telah dimanfaatkan, melainkan juga pada lahan-lahan alternatif seperti lahan rawa pasang surut,
gambut dan lahan kering.
Indonesia memiliki daerah-daerah sentra produksi sagu yaitu Papua, Maluku,
Kalimantan, Sumatra, Sulawesi (utara, tengah, tenggara, dan selatan), dan Jawa Barat. Menurut
Taridala, et al. (2013a), di daerah Sulawesi Tenggara, ketersediaan produksi aci sagu menjadi
semakin penting, karena aci sagu ini memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai bahan pangan pokok
sebagian masyarakat (disamping beras), juga sebagai bahan baku untuk agroindustri sagu.
Untuk wilayah Sulawesi Tenggara, salah satu sentra produksi sagu di wilayah ini adalah
Kabupaten Konawe.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kabupaten Konawe 2013, bahwa produksi sagu di
daerah ini berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 produksi sagu mencapai 1.184,1
ton, tahun 2010 produksi sagu mengalami penigkatan menjadi 2.285,4 ton dan pada tahun 2011
produksi sagu mengalami penurunan menjadi 1.398,0 ton. Kemudian pada tahun 2012 produksi
sagu kembali meningkat menjadi 2.402,9 ton. Hal ini dapat disebabkan oleh : 1) belum adanya
budidaya sagu secara intensif, dimana secara umum sagu tumbuh alami di hutan, 2) alih fungsi
lahan sagu menjadi lahan sawah, 3) kurang termanfaatkannya beberapa faktor produksi seperti
lahan dan pohon sagu yang siap panen, dan 4) dalam kegiatan ekstraksi sagu digunakan
teknologi pengolahan yang sederhana.
Jika dilihat dari luas lahan berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kabupaten
Konawe (2013) bahwa ada sekitar 10.567 ha lahan rawa yang tidak termanfaatkan, maka
berdasarkan hal tersebut di Kabupaten Konawe terdapat peluang untuk peningkatan produksi
sagu.
Seperti yang diketahui bahwa dalam kegiatan pengolahan aci sagu, terdapat beberapa
input (faktor) produksi yang diperlukan, seperti pohon atau batang sagu yang akan diolah,
tenaga kerja, bahan bakar untuk mesin pemarut, dan air. Disamping itu, jumlah produksi sagu
yang dihasilkan juga ditentukan oleh jenis pohon sagu, serta faktor internal pada diri petani
pengolah sebagai pelaku usaha, misalnya pengalaman. Sebagaimana usaha lainnya, usaha
pengolahan aci sagu di Kabupaten Konawe juga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
pendapatan maksimal, sehingga sumberdaya yang sifatnya terbatas harus dialokasikan dan
dikombinasikan dengan tepat. Oleh karena itu, informasi yang berhubungan dengan penggunaan
faktor-faktor produksi dan faktor lain yang mempengaruhi produksi aci sagu sangat dibutuhkan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
aci sagu di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di sentra produksi sagu di Kabupaten Konawe, yang dari tingkat
kabupaten dipilih beberapa kecamatan secara purposive, yaitu Kecamatan Besulutu, Bondoala,
dan Sampara. Ketiga kecamatan tersebut merupakan sentra produksi sagu terbesar di kabupaten
Konawe dengan penggunaan teknologi ekstraksi aci sagu yang relatif homogen. Pengambilan
data di lapangan dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2014. Responden pengolah sagu
yang berjumlah 60 orang keseluruhannya dijadikan responden dalam penelitian ini (metode
sensus).
129
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Data yang diperoleh dalam penelitian ini ditabulasi lalu dianalisis dengan menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas. Model persamaan Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah
sebagai berikut :
130
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
dimasukkan dalam karung-karung nilon yang sudah disediakan yang berat isinya adalah 18 – 20
kg aci basah, kemudian dijahit dengan tali rafia. Selanjutnya siap untuk dipasarkan.
Tabel 1. Penggunaan Tenaga Kerja pada Usaha Pengolahan Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun
2014
Uraian Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Bahan Baku Produksi
(HOK) (ton) (Kg)
Terendah 7 8,0 3.060
Tertinggi 18 33,0 13.050
Rata- rata 13 21,6 8.712
Tinggi atau rendahnya penggunaan tenaga kerja tergantung pada jumlah pohon sagu
yang akan diolah. Semakin tinggi jumlah bahan baku yang diolah, maka semakin banyak
jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan sampai pada tingkat tertentu sehingga produksi aci
sagupun akan meningkat.
131
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 2. Jumlah Penggunaan Bahan Bakar oleh Pengolah Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun
2014
Uraian Jumlah Bahan Baku (ton) Jumlah Bahan Bakar (liter)
Terendah 8,0 29
Tertinggi 33,0 85
Rata-rata 21,6 93
Penggunaan Air
Air juga merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan pengolahan aci
sagu. Air digunakan sebagai bahan untuk memisahkan pati sagu dengan ampasnya, sekaligus
sebagai media untuk mengendapkan acinya. Banyaknya air yang digunakan tergantung pada
banyaknya empulur sagu yang terkandung pada batang sagu yang diolah, yang merupakan
bahan baku dari aci sagu. Semakin banyak bahan baku yang diolah, maka semakin banyak air
yang dibutuhkan. Disamping jumlahnya, kualitas air juga sangat menentukan kualitas sagu
yang dihasilkan. Penggunaan air yang jumlahnya memadai dan kualitasnya baik, akan
mempengaruhi warna aci sagu yang dihasilkan. Aci sagu yang baik adalah berwarna putih
seperti susu, tidak kecoklatan dan tidak berbau asing. Hubungan antara jumlah batang sagu
yang diolah dan air yang dibutuhkan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Penggunaan Air oleh Pengolah Aci Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun 2014
Uraian Jumlah Bahan Baku (ton) Jumlah Air (m3)
Terendah 8, 0 66
Tertinggi 33,0 301
Rata-rata 21,6 189
Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin banyak bahan baku yang diolah (yang di dalamnya
terdapat empulur), maka semakin banyak air yang dibutuhkan (sampai pada batas tertentu). Air
yang digunakan umumnya bersumber dari rawa-rawa dan sumur gali yang dibuat di sekitar area
pengolahan sagu. Untuk menarik air dari sumbernya, sebagian besar pengolah sagu
menggunakan mesin pompa air. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan dalam proses
pemisahan aci sagu relatif lebih singkat. Juga aci sagu yang diperoleh akan berwarna putih, yang
merupakan salah satu indikator baik tidaknya kualitas aci sagu yang dihasilkan (Taridala, 1999).
132
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
kata lain bahwa kemampuan variabel bebas dalam memberikan informasi untuk memprediksi
variasi variabel terikat relatif tinggi. Sisanya sebesar 1% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan ke dalam model, seperti jenis sagu yang diolah1.
Tabel 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Aci Sagu di Kabupaten Konawe, Tahun 2014
Konstanta, Variabel Koefisie Signifikansi
n
Konstanta 0,000
X1= Jumlah bahan baku 141,17 0,000
X2=Jumlah tenaga kerja 4 0,013
X3= Bahan bakar 0,544 0,023
0,061 0,033
X4= Air
0,175 0,190
X5= Pengalaman 0,273
0,025
Keterangan :
Y = Produksi Aci Sagu (kg); X1= Jumlah bahan baku yang diolah (ton)
X2= Jumlah tenaga kerja (HOK); X3= Bahan bakar (liter)
3
X4= Air (m ); X5= Pengalaman (tahun)
Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa dari lima variabel bebas yang dimasukkan
ke dalam model, empat variabel berpengaruh positif dan nyata. Keempat variabel tersebut adalah
jumlah bahan baku yang diolah, tenaga kerja, air, dan jumlah bahan bakar. Sedangkan variabel
pengalaman mengolah sagu tidak pengaruh nyata terhadap jumlah aci sagu yang dihasilkan.
1
Variabel jenis sagu tidak dimasukkan dalam model karena pengolah sagu yang diolah merupakan campuran dari
beberapa jenis sagu. Umumnya jenis sagu yang diolah di lokasi penelitian adalah sagu roe (Metroxylon sagus Rottbol),
baruwila (Metroxylon sylvester Martius), dan rui (Metroxylon microcanthum Martius).
133
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
kerja merupakan faktor produksi yang mempengaruhi produksi. Semakin banyak jumlah tenaga
kerja yang digunakan semakin besar produksi yang diperoleh.
Proses pengolahan aci sagu sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja. Pada
usaha pengolahan sagu di Kabupaten Konawe, tenaga kerja yang digunakan umumnya berasal
dari luar keluarga pengolah. Tenaga kerja yang bersedia bekerja sebagai pengolah aci sagu
sangatlah terbatas. Dalam keadaan demikian, para pengolah sagu kadang menggunakan tenaga
kerja yang berasal dari luar Kabupaten Konawe. Umumnya tenaga kerja yang digunakan dalam
pengolahan aci sagu berkisar 2 – 5 jiwa (7 – 18 HOK), dengan besaran upah berkisar antara Rp
50.000 – 75.000 per hari.
Semakin banyak jumlah bahan baku yang diolah, maka semakin banyak tenaga kerja
yang dibutuhkan. Berpengaruh nyatanya tenaga kerja terhadap peningkatan produksi disebabkan
karena hampir semua proses dalam pengolahan aci sagu, menggunakan tenaga manusia. Semua
pekerja ikut terlibat dalam setiap tahap proses pengolahan sagu, mulai dari penebangan hingga
panen aci sagu.
Menurut Soekartawi (2003), salah satu aspek penting dalam pengelolaan produksi adalah
tenaga kerja. Kecenderungan yang terjadi di lokasi penelitian, pada usaha pengolahan sagu
kebanyakan dikelola oleh lelaki yang berusia diatas 31 tahun. Tenaga kerja dengan usia yang
lebih muda, lebih tertarik untuk bekerja pada perusahaan swasta, pegawai negeri, atau merantau
ke kota. Jika hal ini terjadi terus-menerus, dapat menyebabkan kelangkaan produksi aci sagu.
Menurut Retno, dkk. (2004) bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang
menyerap tenaga kerja cukup banyak. Oleh karena itu, kedepan perlu adanya terobosan baru
untuk dapat menarik minat tenaga kerja muda, untuk mau terjun ke usaha pertanian. Dengan
demikian sektor pertanian dapat betul-betul menjadi salah satu sektor di Kabupaten Konawe yang
mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak, dan disisi lain produksi aci sagu dapat
ditingkatkan.
c. Bahan Bakar
Hasil analisis regresi diperoleh tingkat signifikansi bahan bakar sebesar 0,023 yang
nilainya lebih kecil dari α = 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah bahan bakar
berpengaruh nyata terhadap produksi. Artinya setiap penambahan 1 % jumlah bahan bakar, maka
akan meningkatkan produksi sebesar 0,175 % (ceteris paribus). Besarnya produksi pada
pengolahan sagu yang diakibatkan oleh penambahan bahan bakar, pada hakekatnya disebabkan
oleh penggunaan bahan bakar pada mesin yang dilakukan pada hampir semua proses produksi.
Proses produksi yang dimaksud, mulai dari panen hingga pascapanen (penebangan, pemarutan,
dan pengambilan air dari sumbernya).
Pada sebagian proses produksi lainnya, dilakukan secara tradisional. Misalnya pada
pembelahan batang sagu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, digunakan kampak atau parang.
Demikian juga dengan proses pemisahan pati dengan ampasnya, masih dilakukan secara
tradisional, yaitu menggunakan tenaga manusia (tanpa menggunakan mesin pengaduk) yang
menginjak-injak empulur sagu sambil dilakukan penyiraman. Terdapat pengolah (dua responden)
yang masih menggunakan cara manual ketika mengambil air dalam proses pemisahan aci dengan
ampasnya. Cara ini membutuhkan waktu yang lebih lebih lama dan tenaga kerja yang relatif lebih
besar.
d. Air
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel air memiliki nilai signifikansi sebesar
0,033. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari α = 0,05, berarti variabel air berpengaruh nyata
terhadap produksi aci sagu. Artinya, setiap penambahan 1 % air, akan meningkatkan produksi
aci sagu sebesar 0,273 % (ceteris paribus).
Kuantitas air berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu karena air merupakan bahan
untuk memisahkan aci dengan ampasnya, sekaligus media pengendapan aci sagu (tanpa air sagu
tidak dapat mengendap). Penggunaan air tergantung pada banyaknya pati yang terdapat dalam
134
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
pohon sagu. Artinya, semakin banyak pati yang terdapat pada pohon sagu, maka semakin banyak
air yang dibutuhkan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat
ditarik adalah variabel jumlah bahan baku yang diolah (X1), tenaga kerja (X2), bahan bakar (X3),
dan air (X4) berpengaruh positif dan nyata terhadap produksi aci sagu. Sedangkan variabel
pengalaman (X5) tidak berpengaruh nyata terhadap produksi aci sagu.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan produksi dan
mendukung ketersediaan bahan pangan, maka perlu dilakukan budidaya sagu secara intensif
karena selama ini pengolah hanya bergantung pada ketersediaan pohon sagu yang tumbuh secara
alami tanpa upaya budidaya yang baik dan benar. Oleh karena itu, perlu ditumbuhkan dan
diajarkan tentang cara-cara budidaya sagu yang baik dan benar kepada para petani (yang juga
merupakan pengolah sagu). Dalam hal ini, sangat dibutuhkan kebersamaan antara pemerintah
sebagai motivator dan fasilitator, dan pihak swasta sebagai investor.
REFERENSI
Abbas, B. and H. Ehara. 2012. Assessment Genetic Variation and Relationship of Sago Palm (Metroxylon
sagu Rottb.) in Indonesia Based on Specific Expression Gene (Wx genes) Markers. African Journal of
Plant Science, 6(12),314-320.
BPS Kabupaten Konawe. 2012. Konawe Dalam Angka. BPS Kabupaten Konawe. Unaaha.
Gurusamy, M., A. Velsamy, dan DR.N.Rajasekar. 2011. A Study on Price Fluctuation in Sago Industry at
Salem City, Tamil Nadu. Zenith International Journal of Bussiness Economics and Management
Research, 1 (3), 147-166.
Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan
Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
……………….. 2008. Bercocok Tanam Sagu. IPB Press. Bogor.
Haryanto, B. dan Pangloli, P.1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Bogor.
Papilaya, E.C. 2009. Sagu untuk Anak Negeri. IPB Press. Bogor.
135
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Retno Widowati, Emilya, Hamsudin dan Dewa K.S Swastika. 2004. Dampak Kebijakan Penghapusan Subsidi
Pupuk terhadap Kinerja Usahatani dan Efektivitas Kebijakan Harga Dasar Gabah di Provinsi
Kalimantan Timur, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol 7, No 2, P 105-117.
Saediman, S. A. A. Taridala dan Ono M. 2006. Sago Marketing Problem and Practices in Kendari District of
Southeast Sulawesi. Majalah Ilmiah Agriplus (Terakreditasi), 16 ( 1), 1-7.
Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb Douglas. CV
Rajawali. Jakarta.
Taridala, S. A. A. 1999. Analisis Permintaan Sagu (Metroxylon sp.) dan Bahan Pangan Terpilih di Sulawesi
Tenggara (Studi Kasus di Kendari). Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
-----------, Saediman, dan I. Merdekawati. 2013a. Efisiensi Pemasaran Sagu (Metroxylon Sp.). Prosiding
Seminar Nasional pada Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertania, UTM Madura. Bangkalan.
-----------, K. Jusoff, M. Zani, W. G. Abdullah, Suriana dan I. Merdekawati. 2013b. Supply Chain in Sago
Agribusiness. World Applied Sciences Journal 26 (Natural Resources Research and Development in
Sulawesi Indonesia) : 7-12.
136
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Urai Suci Y.V.I1, Uray Edi Suryadi2, Azwar Maas3, Sri Nuryani H .U4, Eko Hanudin5
1.Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak
2.Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Gadjahmada, Yogyakarta e-mail : uraisuci@gmail.com
ABSTRAK
Biochar adalah produk pirolisis, yaitu pembakaran biomasa pada kondisi rendah oksigen atau tanpa oksigen.
Biochar merupakan senyawa karbon yang relatif stabil, lebih stabil dari bahan organik, disamping itu, biochar memiliki
afinitas yang tinggi terhadap kation.Pemberian biochar pada tanah gambut diharapkan dapat memperbaiki sifat kimia dan
kesuburan tanah gambut. Penelitian ini menggunakan 3 bahan organic sebagai bahan baku biochar yaitu serutan kayu
(tatal), sekam padi dan gambut asal Bengkalis lapisan atas (A1) dan lapisan bawah (A2). Tujuan penelitian adalah
mengetahui karakteristik masing masing biochar yang dipanaskan pada suhu 350oC dengan lama pirolisis yang berbeda
dan berpotensi sebagai amelioran pada tanah gambut. Lama waktu pirolisis yang digunakan adalah 3 jam (3’), 4 jam (4’)
dan 5 jam (5’). Setelah dianalisis sifat kimia bahan organic segar, kandungan hemiselulosa dan selulosa, penentuan gugus
funsional dari masing masing biochar dengan FITR dan ukuran pori dari masing masing biochar dengan SEM didapat 3
jenis biochar yang mempunyai karakteristik lebih baik dibanding lainnya, apabila digunakan sebagai amelioran pada tanah
gambut yaitu sekam dengan lama pirolisis 3 jam dan 4 jam dan gambut Bengkalis lapisan bawah (A2).
BAB I
PENDAHULUAN
Di daerah tropis tanah gambut penyusun utama tanahnya adalah robohan pohon ke
dalam rawa berair dan kondisi anaerob sehingga proses dekomposisinya terhambat, kejadian ini
terjadi berkesinambungan sehingga gambut menjadi semakin tebal dan dapat membentuk kubah.
Tanah gambut sebagai ekosistem berperan untuk pemendam karbon, penyimpan dan pelepas air,
disamping itu juga dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sumber energi atau dapat
diekstraks komponen humatnya. Kesuburan gambut lebih ditentukan oleh keadaan lingkungan,
relatif subur pada daerah cekungan (topogen) dan pantai, semakin rendah kesuburan pada
gambut yang telah membentuk kubah .
Untuk kegiatan budidaya tanaman, gambut perlu ditingkatkan kesuburannya, sehingga
penggunaan amelioran organik biasa digunakan oleh petani di tanah gambut, umumnya berupa
kompos dan pupuk kandang, kegiatan tersebut masih belum sepenuhnya memuaskan karena
pengaruh positifnya hanya berlangsung dalam rentang waktu singkat (satu sampai dua musim
tanam saja) dan penggunaan pembenah organik dengan kandungan karbon yang tinggi yang
bersifat stabil dan laju perombakan yang lambat sekarang ini menjadi obsesi ilmuan lingkungan.
(Lehman, 2007). Bahan yang bersifat demikian ialah Biochar, suatu bahan pengandung karbon
tinggi yang dihasilkan dari proses pemanasan biomassa organik dalam keadaan oksigen terbatas
(Lehman, 2007; Steiner, et.al., 2007). Manfaat biochar di bidang pertanian mulai banyak
dilaporkan, akan tetapi informasi yang berkenaan dengan penggunaannya sebagai amelioran dan
pengaruhnya terhadap komposisi kimia, stabilisasi bahan organik dan humifikasi dalam proses
pengomposan sangat terbatas (Hua et al., 2009). Sukartono, 2011, menjelaskan bahwa dengan
menggunakan Biochar, sebuah bahan arang pembenah tanah, kesuburan tanah pada tanah kering
dan berpasir bisa diperbaiki. Biochar lebih efektif digunakan karena aplikasi biochar mampu
meningkatkan kandungan C-organik tanah khususnya pada lapisan 0-10 cm. Disamping itu
aplikasi pada biocar lebih efektif digunakan karena pelapukan atau dekomposisinya sangat
lambat dan bertahan lama (3 tahun bahkan lebih) dibandingkan dengan bahan organik segar
137
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
seperti kompos dan pupuk kandang. Untuk mempertahankan ketersediaan unsur hara, pupuk
kandang harus diberikan secara berulang setiap musim tanam, sementara aplikasi tunggal
biochar dapat mempertahankan ketersediaan unsur hara dalam jangka waktu yang lebih lama.
Selain itu ditambahkan juga bahwa semakin tingginya konsentrasi hara (N, P, K, Ca dan Mg)
pada biochar, semakin menunjukkan adanya kontribusi positif pembenah organik terhadap
perbaikan ketersediaan hara tanah. Biochar juga bisa meningkatkan Kapasitas Tukar Kation
(KPK) tanah, sehingga dapat mengurangi resiko pencucian hara khususnya kalium dan N-NH4.
Kualitas biochar yang baik ditentukan oleh bahan baku dan cara pembuatannya.
Dalam penelitian ini, akan di dilihat karakteristik macam bahan baku untuk pembuatan
Biochar (tandan sawit, serutan kayu (tatal), gambut asal Bengkalis lapisan atas (A1) dan lapisan
bawah (A2)), sebagai amelioran tanah gambut. Ketiga bahan organik tersebut akan dipanaskan
pada suhu 350oC dengan lama waktu pemanasan yang berbeda yaitu 3, 4, dan 5 jam (3’, 4’ dan
5’)
BAB II.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah mengetahui karakteristik masing masing biochar dengan
lama pirolisis yang berbeda dan berpotensi sebagai amelioran pada tanah gambut
BAB III.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, dari 19 November 2015 sampai dengan 19 April 2016 .
A. HASIL PENGAMATAN
a. Karakterisasi sifat kimia bahan organic sebelum penelitian
138
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Tabel 1.
Karakterisasi sifat kimia bahan organic sebelum penelitian
Berdasarkan data Tabel 2, tanah ini kesuburannya rendah. Kesuburan tanah seperti ini,
jika akan digunakan sebagai lahan budidaya tanaman pertanian, lahan tersebut membutuhkan
amelioran tanah yang tepat sebelum pemupukan karena pemupukan tidak akan efektif jika sifat
kimia tanah belum diperbaiki. Tujuannya menciptakan kondisi tanah yang sesuai untuk
pergerakan akar, menurunkan tingkat kemasaman tanah, menekan pelindian hara setelah
pemupukan, mampu mempertahankan kandungan air pada kapasitas lapangan, yang dapat
meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman. Bahan amelioran seperti biochar memiliki sifat
kimia dan fisika yang baik untuk memperbaiki sifat alamiah Gambut yang kurang subur menjadi
lebih produktif. Sifat-sifat biochar tersebut tercermin pada karakteristik fisik dan kimianya.
Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relative tinggi dengan
kisaran pH 3 - 4. Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-
asam organik, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990).
Bahan organic yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif karboksil dan fenol
yang bersifat sebagai asam lemah. Diperkirakan 85-95% sumber kemasaman tanah gambut
disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut. Kemasaman tanah gambut
cenderung menurun seiring dengan kedalaman gambut. Pada lapisan atas pada gambut dangkal
cenderung mempunyai pH lebih tinggi dari gambut tebal (Suhardjo dan Widjaja-Adhi,1976).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation
basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal
gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam
139
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
(Driessen dan Suhardjo, 1976). Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah,
kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan
Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai kapasitas tukar
kation (KTK) yang tinggimenyebabkan ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya
kandungan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya
yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB) tanah
gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah.
Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi (90- 200 me/100 g).
Hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil
dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974)
dan Driessen (1978), kapasitas tukar kation tanah gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar
ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat. Tanah gambut di Indonesia, terutama tanah
gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut didominasi dari bahan
kayu-kayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam
proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994).
Sebelum bahan organic dijadikan biochar, perlu diketahui terlebih dahulu kandungan
selulosa dan lignin dari masing masing biochar. Dapat dilihat pada table 3 berikut ini :
Hemiselulosa terdegradasi pada suhu 200- 260°C, selulosa pada suhu 240-350°C, dan
lignin pada suhu 280°C sampai 500°C (Sjostrom, 1993 cit. Lehmann & Joseph, 2009).
Komponen kimia ini meningkatkan reaktivitas dan perubahan struktur fisik saat proses pirolisis.
Tingginya kandungan senyawa tersebut dalam bahan baku akan mengurangi kandungan abu
pada biochar. Kondisi proses pembuatan tertentu kadar abu yang dihasilkan mengakibatkan
terjadi perubahan sifat fisik dan komposisi struktural luas permukaan biochar (Lehmann &
Joseph, 2009). Menurut Lua et al.(2004); Zabaniotou et al. (2008) suhu dan lama waktu
pirolisis mempengaruhi luas permukaan. Pengaruh lain dari perlakuan suhu terhadap struktur
kompleks fisik biochar adalah terjadinya retak pori, akibatnya komposisi pori ini tersusun oleh
makro pori, makro retak dan mikro pori. Peristiwa patah dan retak akibat meningkatnya tekanan
pengembangan pori karena permukaan bahan terurai lebih cepat daripada interiornya.
Biochar dari gambut bengkalis dan sekam padi memiliki kandungan selulosa dan lignin
yang tinggi. Hal ini sangat menguntungkan karena mengandung karbon yang tinggi dan kadar
abu yang rendah, tidak mudah hancur (Schmidt & Noack, 2000). Biochar seperti ini dapat
diarahkan sebagai amelioran untuk pemulihan dan peningkatan kualitas tanah jangka panjang;
sedangkan biochar dari biomasa seperti jerami, empulur batang sagu, jagung dan residu
peternakan kandungan abu tinggi dengan karbon rendah, secara fisik mudah hancur. efek
pemberiannya di dalam tanah lebih cepat berlangsung dalam meningkatkan kesuburan tanah dan
pertumbuhan tanaman.
Dilihat dari kandungan selulosanya yang tinggi maka gambut bengkalis dan sekam padi
mempunyai potensi yang lebih baik sebagai amelioran dibanding tatal.
Gugus Fungsional Biochar
Identifikasi dan interpretasi gugus fungsional (Sastromijojo1992; Whittaker 2000;
Coates, 2000; Tan 2003) biochar dengan menggunakan spektroskopi infra merah dapat dilihat
pada (Gambar 1, 2, 3 dan tabel 3, 4, 5). Gugus-gugus fungsional yang terbaca dari biochar
140
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
suhu pirolisis 350oC dapat dibedakan menjadi gugus alifatik (> 2000 cm-1), gugus aromatik
(900 - 2000 cm-1) dan gugus anorganik (< 900 cm-1). Identifikasi gugus fungsional biochar
dilakukan dengan menggunakan spektroskopis inframerah berdasarkan serapan sinar infra merah
akibat getaran masing-masing gugus fungsional pada panjang gelombang tertentu (Tan, 2003)
dan interpretasinya berdasarkan Stevenson (1994).
Berikut adalah gugus fungsional dari masing masing Biochar :
141
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Dari gambut Bengkalis A1 terdapat 7 gugus fungsional yang didominasi oleh gugus
aromatic (5 gugus) dan gugus alifatik ( 2 gugus). Sedangkan gambut Bengkalis A2 terdapat 12
gugus fungsional yang didominasi oleh gugus aromatic (9 gugus) dan gugus alifatik (3 gugus)
serta 1 gugus anorganik (1 gugus).
2
.
Tabel 5. Susunan Gugus Fungsional Biochar Sekam dengan Lama Pirolisis 3, 4 dan 5 jam
142
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
1 617.22 3.45 Gugus anorganik: 702.09 3.69 Alkuna 802.39 8.13 Aromatic
C-Cl, SO42-, PO42-
, CO32-, NO3-
2 794.67 4.45 794.67 4.18 Alkuna 1103.28 11.18 C-O Alkohol
Eter
3 1103.28 6.17 Fluoride 1103.28 5.80 C-O Alkohol 1581.63 16.03 N-H Bending
Eter amino
1319.31 7.38 S=O sulfon 1473.62 7.75 R-NO2 2931.8 29.7
Garam dari asam
4 karboksilat
5 1373.32 7.68 1597.06 8.40 Aromatik 3448.72 34.95
N-H Amida
primer
6 1604.77 8.98 1851.66 9.74
7 1851.66 10.36 2276.00 11.97
8 2854.65 15.97 Asam arboksilat 2862.36 15.06
Pada Biochar sekam padi dengan semakin lama pirolisis dilakukan, maka gugus
fungsional semakin berkurang, dengan lama 3’ gugus fungsional berjumlah 10 gugus dan
didominasi oleh gugus aromatic (5 jenis), kemudian gugus alifatik (3 jenis) dan gugus anorganik
(2 jenis). Dengan lama pirolisis 4’, gugus fungsional berjumlah 10 jenis dengan 5 gugus alifatik,
3 jenis gugus aromatic dan 2 gugus anorganik. Pada lama pirolisis 5’ gugus fungsional berjumlah
5 gugus yang terdiri dari 2 gugus alifatik, 3 gugus aromatic.
Tabel 6. Susunan Gugus Fungsional Biochar Tatal dengan Lama Pirolisis 3, 4 dan 5 jam
143
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
5 1435.04 8.85 -CH3 1589.34 13.55 C=C aromatik 1705.07 13.96 C=O Keton
6 1604.77 9.90 C=C alkena 2924.09 24.93 C-H Alkena 2345.44 19.20 C=C Alkuna
7 2862.36 17.65 Asam 3448.72 29.41 O-H fenol 3425.58 28.05 O-H Ikatan H
karboksilat
8 2924.09 18.03 Asam
karboksilat
9 3425.58 21.12 OH Alkohol
fenol
16217.49 11727.2 12212.96
Pada Biochar tatal dengan semakin lama pirolisis dilakukan, maka gugus fungsional
berkurang, dengan lama 3’ gugus fungsional berjumlah 9 gugus dan didominasi oleh gugus
aromatic (5 jenis), kemudian gugus alifatik (3 jenis) dan gugus anorganik (1 jenis). Dengan lama
pirolisis 4’, gugus fungsional berjumlah 6 jenis dengan 2 gugus alifatik, 2 jenis gugus aromatic
dan 2 gugus anorganik. Pada lama pirolisis 5’ gugus fungsional berjumlah 7 gugus yang terdiri
dari 2 gugus alifatik, 3 gugus aromatic dan 1 gugus an organic.
Dari 8 biochar yang dihasilkan, didapatkan hasil bahwa jenis biochar terpilih dengan
assumsi dari bahan organic yang kandungan selulosanya tinggi dan mempunyai gugus fungsional
yang paling banyak, yaitu sekam 3 jam, sekam 4 jam dan gambut bengkalis lapisan bawah
(A2).
Kandungan C-organik yang tinggi pada biochar ini cocok sebagai amelioran untuk
memperbaiki kesuburan tanah jangka panjang. Penambahan biochar dengan kandungan C-
organik tinggi sebagai amelioran ke tanah mengindikasikan bahwa amelioran ini tahan terhadap
dekomposisi dan stabil dalam tanah untuk kurun waktu lama; meskipun biochar tahan
perombakan namun untuk waktu lama dapat mengalami reduksi dan oksidasi serta mineralisasi
pada permukaan biochar (Demirbas, 2004; Gaskin et al.,2008). Fakta ini menunjukkan bahwa,
makin tinggi terbentuk pori mikro menyebabkan luas permukaan biochar semakin tinggi. Luas
permukaan yang semakin tinggi, diduga sebagai penyebab peningkatan muatan negatif pada
permukaan biochar. Karakteristik amelioran seperti ini aplikasinya ke tanah diharapkan akan
meningkatkan kompleks jerapan; retensi air, pelepasan kation dan anion P di Gambut yang pada
gilirannya meningkatkan ketersediaan P bagi tanaman.
Analisis gugus fungsional dengan FTIR (Gambar 1-3 dan Tabel 4-6) bertujuan untuk
mengetahui kandungan gugus fungsional biochar, menunjukkan bahwa biochar sebagian besar
tersusun atas gugus aromatik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase luasan gugus aromatik yang
tinggi pada biochar. Komposisi ini dipengaruhi oleh proses pembuatan dan bahan baku. Bahan
baku sekam padi dan gambut bengkalis dengan kandungan selulosa (29.10 % dan 36.68 %) dan
lignin (40.57% dan 50.23%) lebih kuat terkonversi menjadi arang dibanding terbentuk kadar abu
yang dipanaskan sampai suhu pirolisis 350 °C (Demirbas, 2004; Gaskin et al.,2008). Menurut
Lehmann & Joseph, (2009) biomasa dengan kandungan selulosa dan lignin rendah lebih banyak
terbentuk abu saat proses pirolisis (tatal dan sekam padi). Kaitan bahan baku dan suhu pirolisis
adalah terbentuknya susunan pori mikro. Pori-pori mikro akan terbentuk seiring suhu pirolisis
meningkat.
Suhu pirolisis di atas 350 °C pembentukan pori mikro mengarah ke pembesaran ukuran
dan terbentuk sekat yang lebar antara susunan pori. Sekat yang terbentuk ini menyebabkan luas
permukaan partikel semakin tinggi. Sekat yang terbentuk diantara susunan pori mikro ini juga
144
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
menyebabkan pori-pori rentan runtuh akan menurunkan kemampuan adsorb dan mekanisme
lainnya di dalam tanah jika biochar diaplikasikan pada tanah (James et al., 2009). Brown, (2009)
mengilustrasikan hasil percobaan Rutherford et al. (2004) bahwa C alifatik dari biochar,
terkonversi membentuk cincin penghubung C aromatik. Selulosa disusun oleh C alifatik,
transformasi alifatik akan terjadi pada suhu minimal 300 oC;semakin tinggi suhu, C aromatik
secara bertahap hilang dan porositas mulai terbentuk dengan demikian akan terbentuk struktur
campuran cincin C aromatik yang menuju terciptanya sebuah matriks pori mikro
Penampakan permukaan pori biochar sekam 3’, sekam 4’ dan gambut bengkalis A2
menggunakan analisis SEM yang terbaca pada permbesaran 1000 kali, terhadap bentuk pori dan
ukuran pori disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4. bentuk pori dan ukuran pori biochar sekam 3’, 4’ dengan pembesaran
Penampakan pori permukaan biochar sekam padi yang dipirolisis pada suhu 350 °C
dengan lama waktu 3 jam, kokoh dan teratur susunannya, ukuran pori makro dan mikro lebih
kecil (1.612 µm; 1.800 µm ; 2.593 µm) dibanding pada biochar sekam yang dipirolisis selama 4
jam (6.956 µm ; 9.402 µm ; 5.012 µm). Susunan dan bentuk pori yang besar dan tersusun rapi
akan meningkatkan peranan biochar sebagai amelioran di dalam tanah. Menurut Lehmann &
Joseph, (2009) pembentukan pori permukaan biochar pada suhu pirolisis 250 – 500 °C susunan
pori belum teratur, pori biochar mulai teratur susunannya pada suhu pirolisis 800 – 2500 °C,
namun pori yang terbentuk ini mudah runtuh (Brown, 2009) sehingga rentan hancur akibatnya
susunan pori berantakan. Hal ini akan menurunkan peranan biochar sebagai amelioran tanah.
Biochar gambut bengkalis A2 masih berpotensi untuk dijadikan ameliorant pada tanah
gambut karena selain pori porinya yang masih utuh dan susunanya masih rapi dan teratur.
Selanjutnya bisa dilihat pada gambar di bawah ini.
145
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Gambar 5. bentuk pori dan ukuran pori biochar gambut Bengkalis A2 dengan
pembesaran 1000 x
Penampakan pori permukaan biochar gambut Bengkalis A2 pori makro dan mikro
dengan pembesaran 1000x kokoh dan teratur susunannya, ukuran porinya sebagian runtuh
sehingga ukurannya lebih kecil dan belum bisa terukur.
Peranan biochar dipertimbangkan sebagai amelioran tanah salah satunya adalah
kemampuannya didalam memperbaiki pori makro dan mikro tanah.Kesimbangan udara dan air
dibutuhkan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan untuk menopang kehidupan dan viabilitas
mikroba dalam tanah dalam waktu lama. Hal ini dipertegas dengan hasil analisis SEM (Gambar
4 dan 5) struktur pori mikro biochar dengan pembesaran 1000 kali menunjukkan keporian yang
relatif teratur, ;pada beberapa pori terlihat tunggal utuh dan beberapa bagian pori yang letaknya
berdampingan. Pembentukan pori yang utuh ini mejadikan biochar lebih baik dalam hal
kerapatan lindak, kerapatan partikel, dan aerasi. Kemampuan retensi air oleh biochar
dipengaruhi oleh luas permukaan, volume dan ukuran pori biochar yang tinggi.
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN
146
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
REFERENSI
Demirbas, A. 2004. Effects of temperature and Particle Size On Bio-Char Yield from Pyrolysis of Agricultural
Residues. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 72(2): 243-248.
Driessen, P.M. and Soepraptohardjo 1974. Organic soil.In: Soil for Agricultural
expansion in Indonesia. ATA 106 Bulettin.Soil Reseach Institute Bogor.
Driessen, P.M. 1978. Peat soils.pp. 763-779. In: IRRI. Soil and rice.IRRI. Los
Banos. Philippines.
Hua, L., W. Wu, Y. Liu, M.B. McBride, and Y. Chen. 2009. Reduction of nitrogen loss and Cu and Zn
mobility during sludge composting with bamboo charcoal amendment Environmental Science and
Pollution Research 16: 1–9.
Gaskin, J.W., C. Steiner, K. Harris, K.C. Das, K.C.and B. Bibens.2008. Effect of Low-Temperature Pyrolysis
Conditions on Biochar for Agricultural Use. Transactions of the ASABE 51(6): 2061-2069.
Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat Lahan Yang Tersedia Pada Daerah Transmigrasi.
Seminar Pemantapan Usaha-usaha Pembangunan di Daerah
Transmigrasi oleh JTKI-PPSM.
Lehmann, J. 2007. Bio-energy in the Black. Department of Crop and Soil Sciences, College of Agriculture and
Life Sciences, Cornell University, Ithaca, NY 14853 (CL273@cornell.edu). © The Ecological Society
of America. Front Ecol Environ 2007; 5(7): 381–387.
Lehmann, J &Joseph, 2009. Biochar for Environmental Management. First Published by Earthscan in the UK
and USA in 2009. P416.
Lima, I. M. and W. E. Marshall.2005. GranularActivated Carbons from Broiler Manure:Physical, chemical
and adsorptive properties,Bioresource Technology, vol 96, pp699–706
Lua, A. C., T. Yangand J. Guo.2004.Effects ofPyrolysis Conditions on The Properties of ActivatedCarbons
Prepared from Pistachio-NutShells’, Journal of Analytical and AppliedPyrolysis, vol 72, pp279–287.
Miller, R.M. and J.D. Jastrow. 1990. Hierarchy of root and mycorrhizal fungal interactions with soil
aggregation. Soil Bio. Biochem. 22: 579–584.
Schmidt, M.W.I., and A.G. Noack. 2000. Black Carbon in Soils and Sediments:Analysis, Distribution,
Implications, and Current Challenges.Global Biogeochem. Cycles 14:777–793.
Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30
cm of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst. Bogor.Driessen dan Suhardjo, 1976
Sukartono, W.H. Utomo, Z. Kusuma and W.H. Nugroho. 2011. Soil fertility status, nutrient uptake, and maize
(Zea mays L.) yield following biochar and cattle manure application on sandy soils of Lombok,
Indonesia. Journal of Tropical Agriculture 49 (1-2) : 47-52, 2011.
Steiner, C. 2007. Slash and Char as Alternative to Slash and Burn: soil charcoal Amendments Maintain Soil
Fertility and Establish A Carbon Sink. Cuvillier Verlag, Gottingen.
Stevenson, F. J. 1994. Humus Chemistry: Genesis, Composition and Reaction. Sec. Edition. John Willey&
Sons Inc. New York. 496 hlm.
Swiatkowski, A, M. Pakula, S. Biniak, M. Walczyk. 2004. Influence of TheSurface Chemistry of Modified
Activated Carbon on itsElectrochemical Behavior in The Presence of Lead (II) Ions. Carbon2004; 42:
3057-3069.
Tan, K.H. 1998. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Terjemahan D.h. Goenadi dan B. Radjagukguk, 1998. Edisi ke-8.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Zabaniotou, A., G. Stavropoulosand V. Skoulou. 2008. ‘Activated Carbon From Olive Kernels inA Two-Stage
Process: Industrial Improvement’,Bioresource Technology, vol 99, pp320–326
147
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
ABSTRAK
Kegiatan pembibitan tanaman merupaka salah satu cara untuk mendapatkan tanaman dengan kondisi sehat, yaitu
tanaman yang tidak terserang hama atau penyakit. Kegiatan pembibitan memerlukan kondisi lingkungan secara optimal,
salah satunya adalah terpenuhi unsur-unsur hara makro seperti nitrogen, phospor dan kalium, selain itu juga diperlukan
bahan organik tanah yang mencukupi. Tanah andosol dan aluvial adalah salah satu jenis tanah yang memiliki tingkat
kesuburan tinggi, tetapi akibat seringnya petani memanfaatkan tanah tersebt untuk sistem tanam monokultur tanpa adanya
pengembalian unsur hara kedalam tanah, menyebabkan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tersedia semakin
sedikit. Penggunaan biochar merupakan salah satu alternatif untuk menyediakan unsur hara tersebut dalam waktu cukup
panjang (sekitar 3 musim tanam). Penelitian dilakukan dengan menggunaan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan
tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis tanah (andosol dan aluvial),
faktor kedua adalah dosis biochar (0, 02,5, 0,5, 0,75, 1 tonha-1). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Aplikasi
biochar pada tanaman dengan dosis 0,25 tonha-
1 pada tanah andosol dan tanah aluvial dapat memberikan rata-rata tertinggi untuk tinggi tanaman dan jumlah
daun, meskipun perbedaan yang ada tidak berbeda secara signifikan berdasarkan hasil uji lanjut beda nyata jujur (BNJ) dan
Peningkatan dosis biochar pada kedua jenis tanah mampu meningkatkan jumlah unsur hara yang tersedia meliputi nitrogen,
phospor, kalium, dan bahan organik tanah
Kata Kunci: Biochar, Tanah Andosol, Tanah Aluvial, Pertumbuhan tanaman, dan Kesuburan Tanah
PENDAHULUAN
Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani pangan maupun
petani hortikultura. Pertanian komoditas pangan saat ini telah terbukti keberhasilannya menyediakan
kebutuhan pangan dalam jumlah yang memadai saat terjadi krisis ekonomi dan tingkat pertumbuhannya yang
positif dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Selain pertanian di bidang pangan, pertanian hortikultura
yang meilupti sayuran dan buah juga memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani,
perdagangan, industri, maupun penyerapan tenaga kerja. Secara Nasional pertanian hortikultura mampu
memberikan sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifika
Tanaman jeruk merupakan salah satu tanaman buah yang cukup menguntungkan untuk diusahakan
saat ini dan mendatang. Nilai keuntungan usaha tani sangat bervariasi tergantung kondisi lingkungan dan
varietas jeruk yang dibudidayakan. Tanaman jeruk dapat tumbuh dan dibudiayakan petani di dataran rendah
maupun dataran tinggi. Produksi jeruk di Indonesia menurut data BPS 2013 pada tahun 2007 mencapai
2.625.884 ton, tetapi pada tahun 2008 hingga tahun 2012 produksi jeruk terus mengalami penurunan hingga
mencapai 36,4%, dan diperkirakan akan terus mengalami penurunan setiap tahunnya, hal ini dikarenakan oleh
beberapa hal antara lain areal penanaman yang semakin menyempit serta tidak tersedianya benih jeruk yang
tahan tehadap hama dan penyakit. Semakin menyempitnya areal pertanian yang ada, memaksa petani untuk
mampu memanfaatkan lahan-lahan kurang produktif untuk pemenuhan kebutuhan komoditas jeruk. Akibatnya
tanaman jeruk tidak dapat berproduksi secara optimal.
Kegiatan pembibitan merupakan kegiatan penting untuk penyediaan tanaman-tanaman unggul.
Proses pembibitan memerlukan kondisi lingkungan yang optimal, sehingga bibit yang dihasilkan adalah
berupa bibit yang sehat tidak terserang hama maupun penyakit. Ketersediaan unsur hara makro berupa unsur
Nitrogen, Kalium dan Phopsor (N, P, dan K) dalam jumlah yang tinggi merupakan salah satu faktor penting
dalam pertumbuhan tanaman, selain itu bahan organik yang cukup juga berperan penting dalam pertumbuhan
tanaman. Tanah andosol dan aluvial merupakan salah satu jenis tanah yang mempunyai kandungan unsur
hara dan bahan organik yang tinggi, tetapi akibat seringnya petani di Indonesia memanfaatkan jenis tanah
tersebut untuk kegiatan pertanian secara monokultur tanpa adanya pengembalian unsur hara kedalam tanah,
menyebabkan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tersedia semakin sedikit, sehingga tanaman tidak
dapat tumbuh dengan baik.Pemberian pupuk dan bahan organic oleh petani harus terus
148
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
dilakukan setiap waktu, agar tanaman jeruk dapat tumbuh dengan baik. Hal tersebut menyebabkan modal
usaha pertanian yang dibutuhkan oleh petani semakin besar. Pemberian biochar merupakan salah satu
alternatif yang dapat digunakan oleh petani untuk memperkecil modal usaha kegiatan pertanian, hal ini
dikarenakan biochar adalah bahan organik yang mampu bertahan dalam tanah sampai tiga musim tanam.
Kemampuan biochar tersebut setara dengan kemampuan pupuk kandang yang diberikan pada setiap musim
tanam (Suwardji et al.,2012). Sehingga kebutuhan tanaman akan unsur hara dan bahan organik bisa terus
dipenuhi tanpa harus melakukan penambahan pupuk setiap waktunya.
149
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
Perbedaan pertumbuhan tanaman dapat dilihat secara nyata pada tanaman berumur 8 dan 10 minggu
setelah pembibitan, sedangkan pada pengamatan umur 4 dan 6 minggu setelah pembibitan perbedaan yang ada
tidak berbeda secara signifikan, hal ini dikarenakan tanaman tahunan membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk berkecambah, tumbuh, berbunga, dan berbuah untuk
menghasilkan biji dibandingkan dengan tanaman semusim. Menurut Syafrezani (2009), tumbuhan
semusim adalah tumbuhan yang mampu menyelesaikan siklus hidupnya hanya dalam waktu setahun atau
kurang dari setahun. Oleh karena itu aplikasi yang diberikan baru menunjukan adanya perbedaan pada umur
8 dan 10 minggu setelah pembibitan.
Berdasarkan hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ), pada parameter tinggi tanaman, dan jumlah daun
aplikasi biochar sebesar1 tonha-1 pada tanah aluvial dan tanah andosol menunjukkan rata-rata yang rendah,
sedangkan aplikasi biochar sebesar 0,25 tonha-1 pada tanah aluvial dan andosol menunjukan rata-rata yang
tinggi untuk parameter pertumbuhan karakter tinggi tanaman dan jumlah daun, meskipun perbedaan yang
muncul tidak menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistic dari hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
(Tabel 2). Pemberian biochar dengan dosis yang tepat mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyanto dan Fitrianingsih (2010) pemberian arang sekam
pada media semai tanaman tahunan yaitu tanaman jabon mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi semai
sebesar 18,31% - 28,36% dan meningkatkan berat pucuk, berat basah akar serta berat kering tanaman.
Peningkatan jumlah daun merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan
produktivias tanaman jeruk, hal tersebut dikarenakan semakin banyak jumlah daun maka aktivitas fotosintesis
yang terjadi pada tanaman tersebut akan terjadi semakin meningkat. Hal tersebut dikarenakan pada daun
terdapat kloroplas, menurut Salisbury dan Ross (1995) Kloroplas pada tanaman ditemukan dalam bentuk dan
ukuran yang berbeda-beda, kloroplas merupakan salah satu rangkain membran yang didalamnya mengandung
pigmen-pigmen fotosintetik. Setiap membran yang mengandung pigmen fotosintetik tersebut mempunyai
permukaan seperti tabung atau kantung yang disebut dengan thylakoid. Fotosintesis dapat dijelaskan sebagai
kecepatan penyerapan CO2 per unit nutrisi yang diakumulasi dalam jaringan daun, hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah daun serta semakin luas ukuran daun maka proses fotosintesis dapat terjadi secara
efisien.
Hasil pengamatan untuk kandungan unsur nitrogen, phopsor dan kalium serta bahan organik dalam
tanah menunjukkan bahwa perlakuan pada tanah andosol dan aluvial dengan pemberian dosis biochar semakin
150
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-72935-2-6
meningkat, menyebabkan peningkatan unsur- unsur hara yang terkandung dalam tanah (Tabel 3). Kandungan
unsur nitrogen dari hasil pengamatan terlihat bahwa pemberian biochar
sebesar 1 tonha-1 pada tanah andosol mempunyai rata-rata tertinggi, dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya, kecuali perlakuan dengan dosis biochar 0,75 tonha-1 pada tanah andosol. Pengamatan unsur
phospor dan kalium pada tanah aluvial dan tanah andosol dengan pemberian biochar sebesar 1 tonha-1
mempunyai rata-rata tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Kandungan Bahan organik tanah
berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa perlakua biochar sebesar 1 tonha-1 pada tanah aluvial
mempunyai kandungan bahan organik yang berbeda dengan perlakuan lainnya (Tabel 3).
Apliksi biochar dimakasudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman melalui perbaikan kualitas
tanah. Kekurangan bahan organik pada tanah akan berpengaruh terhadap ketersediaan unsur P dalam tanah.
Kedua hal tersebut akan mempengaruhi proses fisik, kimia dan aktivitas biologi dalam tanah. Menurut Vaccari
(2011), bahan organik dapat mempebaiki sifat fisik tanah seperti perubahan warna yang menjadi lebih gelap
dan struktur lembih gembur. Menurut Lehman (2011), bahan organik juga dapat meningkatkan aktivitas
organisme mikro di dalam tanah.
Bahan organik merupakan sistem zat yang paling rumit dan dinamik, menurut Harahap (2000)
menyatakan bahwa secara garis besar peranana bahan organik adalah menjaga kelembaban tanah, menawarkan
sifat racun dari Al dan Fe, Penyangga hara tanaman, membantu dalam meningkatkan penyediaan hara,
menstabilkan temperatur tanah, memperbaiki organisme dan strukutr tanah, serta meningkatkan efisiensi
pemupuakn dan mengurangi terjadinya erosi. Pemberian biochar menurut Nurida (2009) juga mampu
meningkatkan pH tanah yang rendah, sehingga tanah-tanah masam yang kurang produktif untuk kegiatan
pertanian, akan dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dengan produksi tetap optimal.
KESIMPULAN
1. Aplikasi biochar pada tanaman dengan dosis 0,25 tonha-1 pada tanah andosol dan tanah aluvial dapat
memberikan rata-rata tertinggi untuk tinggi tanaman dan jumlah daun, meskipun perbedaan yang ada
tidak berbeda secara signifikan berdasarkan hasil uji lanjut beda nyata jujur (BNJ).
2. Peningkatan dosis biochar pada kedua jenis tanah mampu meningkatkan jumlah unsur hara yang
tersedia meliputi nitrogen phospor, kalium, dan bahan organik tanah
151
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
3. Pemberian dosis biochar sebesar 1 ton/ha-1 pada tanah andosol mempunyai nilai rata-rata
tertinggi untuk kandungan nitrogen yang tersediada dan berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya kecuali perlakuan dosis sebesar 0,75 tonha-1 pada tanah andosol, sedangkan untuk
kandungan phospor dan kalium pemberian biochar sebesar 1 tonha-1 pada tanah andosol
dan aluvial memberikan rata-rata tertinggi dan berbeda dengan perlakuan lainnya
4. Bahan organik dengan pemberian dosis biochar sebesar 1 tonha-1 pada tanah
alluvial memberikan perbedaan yang nyata dengan semua perlakuan yang ada.
REFERENSI
152
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi biochar yang difermentasi dengan jamur Trichoderma
harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat ENDO-02 terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe
jagung di tanah Entisol. Penelitian ini dilaksanakan di tanah Entisol Desa Montong Are Kecamatan Kediri
Kabupaten Lombok Barat mulai bulan Maret sampai Agustus 2015. Penelitian menggunakan Rancangan Petak
Terbagi (Split Plot Design) yang terdiri dari 2 faktor. Sebagai petak utama yaitu genotipe jagung dengan 3 aras
perlakuan yaitu: Galur C2 unram, varietas Bisi 2, dan varietas Srikandi, dan sebagai anak petak yaitu biochar
dengan 3 aras perlakuan yaitu: tanpa biochar, biochar tanpa fermentasi dengan dosis 20 ton/ha, dan biochar
yang difermentasi jamur Trichoderma spp. dengan dosis 20 ton/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan biochar yang difermentasi dengan jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat ENDO-
02 lebih berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung dibandingkan dengan perlakuan biochar
tanpa fermentasi dan perlakuan tanpa biochar di tanah Entisol. Produktivitas hasil jagung pada perlakuan
biochar yang di fermentasi dengan jamur Trichoderma spp. adalah 8,28 ton/ha, sedangkan perlakuan biochar
tanpa fermentasi adalah 4,85 ton/ha, dan tanpa biochar adalah 2,62 ton/ha.
______________________________________________
Kata kunci: Jagung, Genotipe, Biochar, Trichoderma spp.
PENDAHULUAN
Provinsi NTB merupakan provinsi agraris, sehingga untuk pembangunan daerah
ke depan sektor pertanian tetap akan menjadi sektor andalan dan unggulan dalam
penerimaan pendapatan daerah. (Suwardji, 2005). Data menunjukkan bahwa produksi
jagung berdasarkan angka tetap 2013 adalah sebesar 633.773 ton pipilan kering, jumlah
produksi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan produksi pada tahun 2012 yang
mencapai angka 642.674 ton (BPS NTB, 2014). Banyak faktor yang mempengaruhi
menurunnya produksi jagung Provinsi NTB tersebut salah satunya adalah faktor kualitas
lahan yang kurang subur.
Untuk dapat memperbaiki kualitas lahan diperlukan pengelolaan tanah yang
berorientasi pada perbaikan sifat fisika-kimia tanah yang menunjang pertumbuhan
tanaman. Pemanfaatan biochar dapat menjadi pilihan altenatif yang sangat tepat untuk
membenahi kualitas tanah dan produktivitas tanaman jagung (Sukartono & Utomo,
2012).
Untuk meningkatkan efektivitas biochar terlebih dahulu dilakukan fermentasi.
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan mikrobia fermentatif. Ada beberapa jamur
fermentasi yang dapat digunakan salah satunya yaitu menggunakan jamur saprofit T.
harzianum isolat SAPRO-07 dan jamur endofit T. koningii isolat ENDO-02 sebagai
dekomposer (Sudantha, 2010).
Selain memperbaiki kualitas lahan, peningkatan hasil jagung juga dapat
dilakukan dengan penerapan teknologi tepat guna, salah satunya dengan penanaman
genotipe jagung yang unggul (Rukmana, 2007).
Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui pengaruh potensi biochar
yang difermentasi dengan jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T. koningii isolat
ENDO-02 terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe jagung di tanah Entisol.
153
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Pada Tabel 1 menunjukkan nilai pH tanah sebelum percobaan adalah 5,90 yang
menunjukkan bahwa tanah dengan pH demikian bereaksi agak masam. Nilai KTK dari
tanah sebelum percobaan adalah sebesar 21,33 me%, nilai KTK demikian tergolong
dalam harkat sedang (Balai Penelitian Tanah, 2009). Kadar N-total tanah sebelum
154
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
percobaan adalah sebesar 0,22 %, menurut Balai Penelitian Tanah (2009) Kadar N-total
demikian tergolong dalam harkat sedang, salah satu penyebab kurangnya kadar N dalam
tanah adalah rendahnya kandungan bahan organik (Hanafiah, 2005). Hal ini sesuai
dengan kandungan C-organik dalam tanah yang hanya 1,34 %, menurut Balai Penelitian
Tanah (2009) tergolong dalam harkat rendah. Kadar P-tersedia tanah sebelum percobaan
adalah 10,36 ppm. Kadar P-tersedia demikian tergolong dalam harkat sedang (Balai
Penelitian Tanah, 2009). Sedangkan Kadar K-tertukar tanah sebelum percobaan adalah
0,71 me%, kadar K-tertukar demikian tergolong dalam harkat tinggi (Balai Penelitian
Tanah, 2009). Ketersediaan K didalam tanah dipengaruhi salah satunya oleh pH tanah
(Hanafiah, 200).
Tabel 2. pH, C-organik, KTK, N Total, P Tersedia, dan K Tertukar pada tanah setelah
panen.
155
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNJ taraf 5%.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa perlakuan biochar baik yang di fermentasi maupun
tanpa fermentasi berbeda nyata dengan perlakuan tanpa biochar, sementara perlakuan
biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp. tidak berbeda nyata dengan
perlakuan biochar tanpa fermentasi.
Peningkatan tinggi tanaman pada perlakuan biochar disebabkan oleh
tersedianya unsur hara pada tanah setelah aplikasi biochar. Hasil analisis tanah setelah
panen pada perlakuan tersebut menunjukkan terjadi peningkatan kadar hara di dalam
tanah jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa biochar seperti yang di tunjukkan pada
Tabel Hasil Analisis Tanah setelah Panen (Tabel 2). Salah satunya dengan peningkatan
nitrogen didalam tanah, peningkatan nitrogen akan berdampak baik pada pertumbuhan
tanaman jagung, sebagaimana menurut Sutedjo (2008) nitrogen merupakan unsur hara
utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk
pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang
dan akar.
Secara umum perlakuan biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp.
lebih baik dalam memperbaiki sifat tanah jika dilihat dari hasil analisis tanah setelah
panen (Tabel 2). Namun, berdasarkan Tabel 3 perlakuan biochar yang di fermentasi
jamur Trichoderma spp. tidak berbeda nyata dengan perlakuan biochar tanpa fermentasi
terhadap peningkatan tinggi tanaman jagung. Hal ini di duga biochar yang di fermentasi
belum optimal dalam memperbaiki sifat tanah saat pertumbuhan tinggi tanaman jagung.
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ taraf 5%.
156
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Tabel 5. Pengaruh biochar terhadap berat berangkasan basah dan berat berangkasan
kering jagung
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ taraf 5%.
157
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Keterangan : Angka-angka pada setiap baris yang diikuti oleh huruf yang sama dalam masing-
masing perlakuan tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa peningkatan berat tongkol pada perlakuan biochar
dibandingkan dengan perlakuan tanpa biochar di sebabkan oleh peningkatan unsur hara
fosfor, sebagaimana dilihat dari hasil analisis tanah setelah panen (Tabel 2). Unsur fosfor
sangat dibutuhkan tanaman dalam pembentukan tongkol. Warisno (1998) menyatakan
untuk memperoleh pembentukan tongkol yang baik dan berisi penuh serta hasil jagung
yang bermutu tinggi dapat diperoleh dengan pemberian hara fosfor.
Hasil analisis tanah setelah panen menunjukkan perlakuan biochar yang di
fermentasi jamur Trichoderma spp. lebih baik dalam memperbaiki sifat tanah, hal ini
dapat dilihat pada Tabel Analisis Tanah setelah Panen (Tabel 2) sehingga kondisi
demikian berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung yang
lebih baik.
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan masing-masing genotipe tidak
berbeda nyata terhadap berat tongkol jagung. Perbedaan berat tongkol jagung antara
masing-masing genotipe dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Efendi
(2010) menyatakan perbedaan yang nyata antara masing masing varietas dikarenakan
oleh interaksi faktor lingkungan tumbuh dengan faktor genetik yang berbeda pula
Keterangan : *) Angka-angka pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
uji BNJ taraf 5%.
Pada Tabel 9 terlihat bahwa peningkatan berat pipilan jagung pada perlakuan
biochar secara umum di sebabkan oleh perbaikan sifat tanah. Salah satunya di tunjukkan
dengan peningkatan kadar fosfor di dalam tanah. Menurut Sutedjo (2008) bahwa unsur
158
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
fosfor didalam tanah dapat mempercepat pertumbuhan akar semai, dapat mempercepat
serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa, dapat
mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji dan gabah, dan dapat
meningkatkan produksi biji-bijian.
Adanya peningkatan berat pipilan jagung pada perlakuan biochar yang di
fermentasi jamur Trichoderma spp. dibandingkan dengan biochar tanpa fermentasi
menandakan biochar yang di fermentasi jamur Trichoderma spp. lebih baik dalam
menyediakan unsur hara yang di perlukan tanaman saat proses pertumbuhan dan
perkembangannya.
Berdasarkan analisis keragaman menunjukkan masing-masing genotipe tidak
berbeda nyata terhadap berat pipilan jagung. Umumnya perbedaan hasil antara masing
masing genotipe tersebut disebabkan oleh perbedaan faktor genetik. Sebagaimana
pernyataan Sitompul & Guritno, (1995) dalam Kuruseng & Kuruseng (2008), bahwa
faktor genetik tanaman merupakan salah satu penyebab perbedaan antara tanaman satu
dengan lainnya.
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perlakuan biochar yang difermentasi jamur T. harzianum isolat SAPRO-07 dan T.
koningii isolat ENDO-02 lebih berpotensi dalam meniingkatkan pertumbuhan dan
hasil jagung dibandingkan dengan perlakuan biochar tanpa fermentasi dan perlakuan
tanpa biochar di tanah Entisol. Produktivitas hasil jagung pada perlakuan biochar
yang di fermentasi dengan jamur Trichoderma spp. adalah 8,28 ton/ha, sedangkan
perlakuan biochar tanpa fermentasi adalah 4,85 ton/ha, dan tanpa biochar adalah 2,62
ton/ha.
2. Galur C2 Unram, varietas Bisi-2, dan varietas Srikandi memberikan hasil yang sama
terhadap berat berangkasan, berat tongkol, dan berat pipilan jagung.
REFERENSI
Balai Penelitian Tanah, 2009. Analisis kimia tanah, tanaman, air, dan pupuk. Balai
Penelitian Tanah, Bogor. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/juknis/juknis
_kimia2.pdf. [Diakses selasa 23 Juni 2015]
159
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
160
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
ABSTRAK
Aplikasi biochar telah terbukti dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara sehingga hasil panen
meningkat. Penelitian lanjutan musim tanam kedua telah dilakukan di tanah Inseptisol dengan tujuan untuk
mengevaluasi pengaruh residu dosis pupuk K dan biochar terhadap hasil tanaman jagung musim tanam kedua.
Penelitian diatur dalam Rancangan Acak Kelompok yang diulang 3 kali. Perlakuan pada tanaman jagung musim
tanam pertama terdiri atas biochar (30 t ha-1), biochar yang ditambah pupuk kalium (0, 50, 100, 150 dan 200 kg
KCl ha-1), dan pupuk kalium 200 kg KCl ha-1 tanpa biochar. Pada musim tanam pertama telah menggunakan
pupuk dasar 90 kg N ha-1 dan 100 kg P2O5 ha-1. Pada musim tanam kedua hanya menggunakan pupuk 90 kg N
ha-1 dan tIdak menggunakan pupuk P dan K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi biochar yang
ditambah pupuk P dan K pada tanaman jagung musim tanam pertama dapat memberi efek residu hara P dan K
pada musim tanam kedua. Residu hara (khususnya P dan K) dan biochar dari tanaman jagung musim tanam
pertama telah mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman jagung musim tanam kedua. Residu biochar secara
mandiri maupun yang dikombinasi dengan pupuk kalium berbagai dosis telah menghasilkan jagung yang tidak
berbeda (7,2 – 7,8 ton ha-1). Residu pupuk kalium dan biochar dapat berpengaruh pada kandungan karbohidrat
dalam biji. Residu biochar yang dikombinasi dengan pupuk kalium 200 kg KCl ha-1 telah menghasilkan kadar K
dalam biji yang tertinggi dan karbohidrat yang terendah kedua setelah perlakuan yang hanya menggunakan
biochar. Residu biochar meningkatkan ketersediaan hara N, P, K+, Ca++, Na+ di dalam tanah.
PENDAHULUAN
Penggunaan pupuk organik telah terbukti meningkatkan kesuburan tanah dan
efisiensi pemupukan. Hanya sebagian kecil dari pupuk organik akan stabil di dalam
tanah dalam jangka panjang sebab berturut-turut akan dilepaskan ke atmosfer sebagai
CO2 (Fearnside, 2000). Menurut Tiessen et al. (1994), mineralisasi bahan organik
berlangsung cepat dan unsur haranya rendah sehingga menjadi kendala pada pertanian
berkelanjutan di daerah tropis dan menyebabkan kapasitas tukar kation (KTK) dalam
tanah menjadi rendah. Dalam keadaan seperti itu, efisiensi pupuk mineral sangat rendah
karena hilangnya nutrisi mobil seperti NO3- atau K+ dari tanah, apalagi dengan curah
hujan yang tinggi (Cahn et al., 1993). Widowati et al. (2012) melaporkan penghematan
pemakaian pupuk urea lebih dari 70% ketika menggunakan biochar. Karena biochar
mampu mempertahankan N yang dilepaskan dari pupuk urea dalam bentuk NH4+
(Widowati et al., 2011). Kondisi ini disebabkan oleh tingginya muatan negatif pada
tanah yang diberi biochar sehingga NH4+ terjerap dan pencucian N berkurang.
Demikian pula pencucian kalium tidak meningkat pada 30-60 hari setelah aplikasi
biochar dan pupuk KCl dengan dosis yang semakin bertambah (Widowati et al., 2012).
Beberapa hasil penelitian telah membuktikan bahwa biochar dapat
meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman tertentu. Biochar merupakan arang
organik yang dihasilkan dari proses pirolisis. Pirolisis (konversi thermo dalam kondisi
tanpa oksigen) dapat memberikan suatu alternatif untuk menghasilkan energi,
mengembalikan karbon, dan nutrisi ke dalam tanah (Laird, 2008). Biochar merupakan
bentuk karbon amorf yang terdiri dari banyak senyawa karbon dan abu (Chun et al.,
2004). Kondisi selama pirolisis seperti suhu dan waktu dapat mempengaruhi
karakteristik biochar (Antal dan Gronli, 2003). Pada suhu rendah (<500°C), komposisi
bahan baku memiliki pengaruh besar terhadap karakteristik biochar dan berdampak pada
pertanian seperti kapasitas tukar kation dan kandungan nutrisi (Gaskin et al., 2008).
Konsentrasi karbon pada suhu rendah berkisar dari 380 g kg-1 untuk biochar limbah
161
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
unggas (Chan et al., 2008), 692 g kg-1 untuk brangkasan gandum (Chun et al., 2004) dan
790 g kg-1 untuk biochar chip pinus (Gaskin et al., 2008). Konsentrasi nitrogen dalam
biochar berkisar 1,4 g kg-1 (pinus), 19 g kg-1 (kacang tanah), 40 g kg-1 (limbah
unggas). Konsentrasi P dan K rendah pada biochar chip pinus masing-masing 0,089 dan
0,659 g kg-1 dan tinggi pada biochar unggas masing-masing 33,6 dan 45,6 g kg-1
(Gaskin et al., 2008). Konsentrasi P dan K pada biochar sampah organik kota masing-
masing 0.72% dan 0.93% (Widowati et al., 2011).
Arang karbon telah ditemukan berkisar dari 10-35% dari total karbon organik
tanah di tanah pertanian dari Amerika Serikat (Skjemstad et al., 2002). Arang juga
dilaporkan menjadi komponen penting dari Chernozems di Jerman (Schmidt et al.,
1999), Australia (Skjemstad et al., 1996), dan Terra Preta di daerah tropis Amerika
Selatan (Glaser et al., 2002). Mineralisasi dari biochar dalam lingkungan sangat lambat
(sekitar 2% lebih dalam 2 tahun) (Major et al., 2010). Biochar dianggap resisten
terhadap degradasi mikroba (Sombroek et al., 1993), akibatnya nitrogen yang
terkandung dalam matriks biochar polisiklik mungkin tidak tersedia untuk digunakan
tanaman. Beberapa dekomposisi biochar dapat terjadi yang tergantung pada kondisi
tanah dan penggunaan lahan (Czimczik dan Masiello, 2007). Mayor et al. (2010) yang
melaporkan bahwa hasil jagung tidak meningkat pada tahun pertama tetapi meningkat
pada tahun kedua, ketiga, dan keempat setelah aplikasi biochar.
Hasil penelitian Widowati et al. (2012) pada tanaman jagung musim tanam
pertama menunjukkan bahwa penggunaan biochar (30 t ha-1) secara mandiri, maupun
yang dikombinasi dengan pupuk kalium, dan tanpa biochar telah menghasilkan jagung
pipilan yang sama. Serapan dan kadar kalium meningkat akibat peningkatan dosis
kalium (100-150 kg ha-1). Secara mandiri, biochar mampu untuk menyediakan hara
kalium sebanding dengan pupuk kalium. Perubahan biomasa menjadi biochar masih
mengandung unsur hara (Widowati et al., 2011). Aplikasi biochar akan efektif apabila
ada informasi tentang dampak aplikasi biochar terhadap musim tanam berikutnya.
Bagaimana pengaruh residu pemupukan (khususnya K) dan biochar pada tanaman
jagung musim tanam kedua? Oleh karena itu, tujuan penelitian untuk mengevaluasi
pengaruh residu dosis pupuk K dan biochar terhadap hasil tanaman jagung pada musim
tanam kedua.
162
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
163
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Tabel 1. Tinggi Tanaman, Diameter Batang, dan Luas Daun pada Umur 10 mst
Tinggi Tanaman Diameter Batang
Perlakuan
(cm) (cm) Luas Daun (cm2)
B0 K200 233.82 b 2.46 a 5493.22 a
B30 K0 252.83 c 3.02 b 6712.51 b
B30 K50 250.69 c 2.80 b 6397.63 b
B30 K100 230.18 ab 2.93 b 6581.94 b
B30 K150 227.67 ab 2.87 b 6601.77 b
B30 K200 222.29 a 2.89 b 6310.49 b
BNT 0.05 10.99 0.20 487.68
Berat kering tanaman sejalan dengan diameter batang dan luas daun. Residu
dosis pupuk K dan biochar akan menghasilkan bobot kering daun, batang, akar, dan
produksi biomasa yang lebih baik daripada tanpa biochar (Tabel 2). Residu biochar
secara mandiri maupun yang kombinasi dengan pupuk kalium telah menghasilkan
bobot kering daun, batang, akar, dan produksi biomassa yang sama. Produksi
biomassa merupakan pembentukan biomassa sepanjang pertumbuhannya. Hal ini
sejalan dengan laporan Lehmann et al. (2003) bahwa dalam jangka pendek, pupuk
yang ditambahkan pada biochar dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun
ada hipotesis bahwa efek jangka panjang biochar pada ketersediaan hara karena
peningkatan permukaan oksidasi dan kapasitas tukar kation yang intensif dari waktu
ke waktu dan dapat menyebabkan retensi hara yang lebih besar (Liang et al., 2006).
164
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Tabel 2. Berat Kering Daun, Batang, dan Produksi Biomassa Tanaman Jagung pada
Umur 10 mst dan BK Akar Saat Panen
BK Produksi
Perlakuan Biomassa BK Akar (g
BK Daun (t ha-1) BK Batang (t ha-1) (t ha-1) tanaman-1)
B0 K200 1.90 a 2.81 a 4.71 a 18.69 a
B30 K0 2.69 cd 4.06 b 6.75 b 26.76 b
B30 K50 2.42 b 4.00 b 6.42 b 26.80 b
B30 K100 2.78 d 3.92 b 6.70 b 26.65 b
B30 K150 2.55 bcd 3.67 b 6.22 b 26.82 b
B30 K200 2.47 bc 3.79 b 6.27 b 26.01 b
BNT 0.05 0.25 0.43 0.58 4.65
165
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Uptake N in Seeds
(kg ha-1)
N Uptake (kg ha-1)
Uptake N in Leaves
(kg ha-1)
Uptake N in Seeds
and Leaves (kg ha-
1)
Treatment
40
35
30
P Uptake (kg ha-1)
25
20 Uptake P in Seeds (kg ha-1)
15
Uptake P in Leaves (kg ha-1)
10
Uptake P in Seeds and Leaves
5 (kg ha-1)
0
B0K200 B30K0 B30K50 B30K100 B30K150 B30K200
Treatment
45
40
35
K Uptake (kg ha-1)
166
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
tidak dibatasi oleh ketersediaan unsur hara P dan K dari residu panen jagung pertama.
Hal ini menunjukkan bahwa suplai hara P dan K dari pupuk mineral maupun biochar
pada musim tanam pertama lebih besar dari jumlah hara P dan K yang diserap
tanaman. Selanjutnya sebagian unsur hara tersebut masih tersisa di dalam tanah dan
mampu mencukupi kebutuhan hara P dan K bagi tanaman jagung musim tanam kedua.
Bahkan masih menyisakan hara yang lebih baik untuk digunakan pada musim tanam
berikutnya (Tabel 5). Hasil penelitian membuktikan bahwa residu biochar akan
memiliki efek yang lebih baik dalam menyediakan hara (khususnya P dan K),
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung pada musim tanam kedua.
Residu biochar secara mandiri maupun yang dikombinasi dengan pupuk
kalium akan mampu meningkatkan diameter biji dan tongkol, panjang tongkol, berat
kering biji per tanaman, berat kering tongkol per tanaman, BK 1000 butir, dan hasil
jagung pipilan kering. Hasil tanaman jagung ditentukan oleh komponen hasil jagung.
Komponen hasil mempengaruhi hasil tanaman masing-masing sebesar R2=0.80
(diameter tongkol berbiji), R2=0.65 (BK tongkol per tanaman), R2=0.59 (BK 1000
butri), R2=0.55 (panjang tongkol). Peningkatan hasil jagung dari residu biochar secara
mandiri lebih rendah (11%) daripada bila biochar dikombinasi dengan pupuk kalium
(18-20%). Hal ini menunjukkan perlunya tambahan pupuk mineral ketika
menggunakan biochar. Sementara itu aplikasi biochar belum meningkatkan hasil
jagung pada musim tanam pertama. Sebuah peningkatan yang progresif dalam efek
biochar yang menguntungkan dari waktu ke waktu juga diamati oleh Steiner et al.,
(2007). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi biochar akan dapat memberikan manfaat
yang meningkat seiring waktu. Hasil penelitian ini sejalan dengan Major et al., 2010
yang melaporkan bahwa hasil jagung tidak meningkat pada tahun pertama setelah
aplikasi biochar, namun meningkat pada tahun kedua, ketiga, dan keempat.
Residu pupuk kalium pada berbagai dosis akan memberi efek yang sama
terhadap komponen hasil dan hasil jagung pipilan kering (Tabel 5). Aplikasi biochar
secara mandiri menunjukkan hasil jagung yang sama bila biochar dikombinasi dengan
pupuk kalium pada berbagai dosis. Pupuk P dan K berbagai dosis yang
dikombinasikan dengan biochar pada musim tanam pertama dapat memberi efek
residu hara pada musim tanam kedua. Karena biochar mampu meretensi hara sehingga
sebagian pupuk masih tersisa/ tertinggal di dalam tanah. Selain itu, sebagian besar
kation dalam abu yang terkandung dalam biochar tidak terikat oleh gaya elektrostatik
tetapi hadir sebagai garam larut yang tersedia untuk serapan hara (Glaser et al., 2002).
Biochar batubara tidak hanya sebagai kondisioner tanah yang meningkatkan kapasitas
tukar kation (Glaser et al., 2001a) namun dapat bertindak sebagai pupuk sendiri.
Aplikasi biochar yang pasti mengandung abu yang menambahkan kation basa seperti
K, Ca, Mg ke dalam larutan tanah, meningkatkan nilai pH tanah dan memberikan
nutrisi tersedia untuk pertumbuhan tanaman (Glaser et al., 2001a). Residu biochar
memberi efek pada peningkatan bahan organik tanah (Tabel 5). Peningkatan bahan
organik tanah sebagian besar terkait dengan penambahan dekomposisi aktif bahan
organik (Wilhelm et al., 2004). Meningkatnya hasil tanaman dengan penambahan
biochar mungkin berhubungan dengan perubahan dalam siklus hara yang terlihat dari
bahan organik tanah yang meningkat. Steiner et al., (2007) melaporkan kumulatif
peningkatan hasil padi dan sorgum pada Oxisol Amazon Brazil sekitar 75% setelah
empat musim tanam lebih dari 2 tahun ketika digunakan 11 t ha-1 biochar. Dalam
Oxisol terdegradasi di Kenya, Kimetu et al.,(2008) ditemukan dua kali lipat dari
kumulatif produksi jagung setelah tiga aplikasi biochar berulang dari 7 t ha-1 lebih
dari 2 tahun.
167
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
Ketersediaan unsur hara (N, P, K tersedia, K total, Ca, Mg) meningkat setelah
aplikasi biochar pada panen jagung pertama. Peningkatan hara masing-masing sebesar
35-53% N, 179-208% P, 70-91% K, 9-184% K total, 61-70% Ca, 1-22% Mg.
Ketersediaan hara yang meningkat setelah panen pertama diduga sebagai akibat
pemberian pupuk mineral dan atau dengan biochar. Kondisi ini membuktikan
hipotesis dan meningkatnya hasil jagung pipilan kering pada musim tanam kedua
(meskipun tanpa masukan pupuk mineral P dan K). Hasil jagung pipilan kering pada
musim tanam pertama berkisar 5,46-7,02 t ha-1 yang lebih rendah dibanding musim
tanam kedua (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi biochar akan mampu
memberikan efek positif terhadap penyediaan unsur hara sehingga hasil panen jagung
meningkat pada musim tanam berikutnya. Demikian pula ditunjukkan bahwa aplikasi
biochar dapat meningkatkan ketersediaan hara setelah dua kali musim tanam jagung
(Tabel 5). Peningkatan hasil jagung pada musim tanam kedua juga disebabkan oleh
intensitas hujan yang lebih rendah daripada pertama. Glaser et al., (2002)
menyebutkan bahwa menambahkan biochar secara signifikan akan meningkatkan
ketersediaan kation basa dalam tanah. Demikian pula N total dan bentuk P tersedia
lebih tinggi setelah amandemen dengan biochar. Hasil penelitian Widowati et al.,
(2012) mengatakan bahwa penggunaan biochar secara mandiri dapat menekan
pencucian K dan garam larut, sedangkan kombinasi biochar dan dosis pupuk KCl
yang semakin banyak tidak akan meningkatkan pencucian K.
Meningkatnya hasil jagung pada musim tanam kedua dibandingkan pada
musim tanam pertama tentu tidak lepas dari pengaruh positif dari pemberian biochar.
Menurut Chan et al. (2007), kekuatan tanah berkurang setelah aplikasi biochar.
Biochar memiliki efek penting pada kapasitas pertukaran kation (Liang et al., 2006.),
retensi air tanah (Glaser et al., 2002), kesuburan tanah (Steiner et al., 2007), dan
biologi (Pietikainen et al., 2000), dan peningkatan akar koloni oleh jamur mikoriza
(Warnock et al., 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa biochar telah dapat
meningkatkan berat kering akar rata-rata sebesar 42% (Tabel 2). Di sisi lain juga
diketahui bahwa biochar memiliki luas permukaan yang tinggi dan memiliki struktur
berpori. Kishimoto dan Sugiura (1985) memperkirakan bahwa luas areal bagian
permukaan biochar berkisar 200-400 m2 g-1 yang terbentuk antara 400°C dan
1.000°C.
Tabel 5. Komponen Hasil dan Hasil Jagung pada Musim Tanam Kedua
BK Biji
Diameter BK per BK Jagung
Perlakuan Panjang Tongko BK 1000 Tong Tanam Pipilan
Tongkol l + Biji butir kol an (g) Kering
Efek residu dosis pupuk K dengan dan tanpa biochar sangat nyata pada kadar
karbohidrat dalam biji. Penggunaan biochar secara mandiri menunjukkan kadar
168
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISBN 978-602-
72935-2-6
karbohidrat terendah dan tertinggi dicapai oleh kombinasi biochar dan 150 kg KCl ha-
1. Residu pupuk kalium dan biochar dapat meningkatkan kadar karbohidrat dalam biji
jagung. Kenaikan kandungan karbohidrat lebih efektif jika biochar diterapkan dengan
pupuk kalium hingga dosis 150 kg KCl ha-1, aplikasi pupuk K dengan dosis yang
bertambah (200 kg KCl ha-1) akan menurunkan kandungan karbohidrat (Gambar 4).
60.00
50.00 e
Kadar Karbohidrat (%)
d
c c
b
40.00
30.00
a
20.00
10.00
0.00
B0K200 B30K0 B30K50 B30K100 B30K150 B30K200
Treatment
Gambar 4. Kadar Karbohidrat dalam Biji Saat Panen
Ketersediaan Unsur Hara Setelah Panen
Efek residu pupuk K dan biochar pada hasil tanaman dapat dikaitkan dengan
meningkatnya konsentrasi kation basa di dalam tanah (Tabel 5). Beberapa penelitian
telah melaporkan bahwa biochar dapat meningkatkan K, Ca, Mg (Major et al., 2010),
pertumbuhan tanaman, dan berbagai perubahan kesuburan tanah (Rondon et al., 2007;
Steiner et al, 2007; Topoliantz et al., 2005). Secara umum ketersediaan hara yang
meningkat dengan biochar (Tabel 5) akan dapat mendorong pertumbuhan tanaman
lebih baik sehingga hasil panen meningkat. Meskipun tanpa masukan pupuk P dan K,
kebutuhan hara P dan K tanaman jagung kedua masih tercukupi dari hara P dan K
yang tersedia di dalam tanah setelah panen jagung pertama, bahkan masih bisa
menyediakan unsur hara yang lebih baik (Tabel 5). Ketersediaan kalium dengan
aplikasi biochar telah meningkat 2-4 kali lipat pada musim tanam setelah
penerapannya. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Steiner et al., (2007) yang
menyampaikan tidak mendapati ketersediaan K yang lebih besar dengan biochar kayu
setelah satu musim tanam, meskipun biochar yang telah digunakan mengandung K
dalam jumlah yang kecil.
169
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
C
K Na+ (me org
Treatment
N total K+ (me 100 Tot Ca++ (me Mg++ (me 100 anik
(%) P (mg kg-1) g-1) al 100 g-1) 100 g-1) g-1) (%)
B0K200 0.11 a 41.84 a 0.35 a 284.01 b 15.94 a 3.26 c 0.82 a 1.93 a
B30K0 0.17 c 48.01 ab 1.03 c 234.57 a 22.36 cd 3.25 c 0.99 b 2.30 b
B30K50 0.16 bc 91.87 e 0.70 b 526.12 d 21.82 bc 3.14 bc 1.19 cd 2.27 b
B30K100 0.20 d 61.08 c 1.25 d 891.81 e 23.29 d 2.77 b 1.25 d 2.28 b
B30K150 0.16 b 71.04 d 0.99 c 355.85 c 22.02 bc 4.43 d 1.36 e 2.26 b
B30K200 0.16 b 51.63 b 1.17 d 334.35 c 21.18 b 1.99 a 1.15 c 2.27 b
BNT 0.05 0.01 8.99 0.13 27.99 1.11 0.41 0.06 0.16
Tabel 5. Ketersediaan Hara Setelah Panen
Aplikasi biochar yang ditambah pupuk P dan K pada tanaman jagung musim tanam
pertama dapat memberi efek residu hara P dan K pada musim tanam kedua. Efek residu hara
(khususnya P dan K) dan biochar telah mencukupi kebutuhan hara bagi tanaman jagung musim
tanam kedua. Residu biochar secara mandiri maupun kombinasi dengan pupuk K berbagai dosis
telah menghasilkan jagung yang tidak berbeda (7,2 – 7,8 ton ha-1). Residu pupuk K berpengaruh
pada kandungan karbohidrat dalam biji. Residu biochar yang dikombinasi dengan pupuk kalium
200 kg KCl ha-1 telah menghasilkan kadar K dalam biji yang tertinggi dan karbohidrat yang
terendah kedua setelah perlakuan yang hanya menggunakan biochar. Residu biochar meningkatkan
ketersediaan hara N, P, K+, Ca++, Na+ di dalam tanah.
Studi jangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan biochar tanpa
masukan P dan K pada hasil tanaman musim tanam ketiga.
REFERENSI
Antal, M.J., and M. Gronli. 2003. The art, science, and technology of charcoal production. Ind. Eng. Chem. Res.
42:1619–1640.
Cahn, M.D., Bouldin, D.R., Cravo, M.S., Bowen, W.T. 1993. Cation and nitrate leaching in an oxisol of the
Brazilian Amazon. Agron J. 85:334–340.
Chan, K.Y., Van Zwieten, L., Meszaros, I., Downie, A., Joseph, S. 2007. Agronomic values of greenwaste biochar
as a soil amendment. Aust J Soil Res 45:629–634.
Chan, K.Y., L.V. Zwieten, I. Meszaros, A. Downie, and S. Joseph. 2008. Using poultry litter biochars as soil
amendments. Aust. J. Soil Res. 46:437–444.
Chun, Y., G. Sheng, C.T. Chiou, and B. Xing. 2004. Compositions and sorptive properties of crop residue-derived
chars. Environ. Sci. Technol. 38:4649–4655.
Czimczik, C.I., and C.A. Masiello. 2007. Controls on black carbon storage in soils. Global Biogeochem. Cycles 21:3
doi:10.1029/2006GB002798.
Fearnside, P.M. 2000. Global warming and tropical land-use change: greenhouse gas emissions from biomass
burning, decomposition and soils in forest conversion, shifting cultivation and secondary vegetation. Climatic
Change 46:115–158.
170
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Gaskin, J.W., Steiner, C, Harris, K, Das KC, Bibens, B. 2008. Effect of low temperature pyrolysis conditions on
biochar for agricultural use. T Asabe 51:2061–2069
Glaser, B,, Haumaier, L,, Guggenberger, G,, Zech, W. 2001a. The Terra Preta phenomenon – a model for
sustainable agriculture in the humid tropics. Naturwissenschaften 88:37–41
Glaser, B.,Johannes, L., Wolfgang, Z. 2002. Ameliorating physical and chemical properties of highly weathered soils
in the tropics with charcoal – a review. Biol Fertil Soils 35:219–230. DOI 10.1007/s00374-002-0466-4.
Global Biogeochem. Cycles 14:777–794.
Julia, W. Gaskin, R. Adam, S., Keith, H. K., Das, R. Dewey Lee, Lawrence A. Morris, dan Dwight S. Fisher. 2010.
Effect of Peanut Hull dan Pine Chip Biochar on Soil Nutrients, Corn Nutrient Status, and Yield. Agron. J.
102:623-633. doi: 10.2134/agronj2009.0083
Kimetu, J., Lehmann, J., Ngoze, S.O., Mugendi, D.N., Kinyangi, J.M., Riha, S., Verchot L, Recha, J.W., Pell, A.N.
2008. Reversibility of soil productivity decline with organic matter of differing quality along a degradation
gradient. Ecosystems 11:726–739
Kishimoto, S., and Sugiura, G. 1985. Charcoal as a soil conditioner. Int Achieve Future 5:12–23.
Laird, D.A. 2008. The charcoal vision: A win-win-win scenario for simultaneously producing bioenergy,
permanently sequestering carbon, while improving soil and water quality. Agron. J. 100:178–181.
Lehmann, J., J. Pereira da Silva, Jr., C. Steiner, T. Nehls, W. Zech, and B. Glaser. 2003. Nutrient availability and
leaching in an archaeological Anthrosol and a Ferralsol of the Central Amazon basin: Fertilizer, manure and
charcoal amendments. Plant Soil 249:343–357.
Liang, B., Lehmann, J., Solomon, D., Kinyangi, J., Grossman, J., O’Neill, B., Skjemstad, J.O., Thies, J.E.,.Luizao,
F.J., Petersen, J. & Neves, E.G. 2006. ‘Black carbon increases cation exchange capacity in soils’, Soil Science
Society of America Journal 70: 1719–30.
Mayor, J., M. Rondon, D. Molina, Susan, J. R., J. Lehmann. 2010. Maize yield and nutrition during 4 years after
biochar application to a Colombian savanna oxisol. Plant Soil (2010) 333:117–128. DOI 10.1007/s11104-
010-0327-0.
Major, J. 2009. Biochar application to a Colombian savanna Oxisol: fate and effect on soil fertility, crop production
and soil hydrology. PhD Thesis, Cornell University, NY
Rondon, M., J. Lehmann, J. Ramírez, and M. Hurtado. 2007. Biological nitrogen fixation by common beans
(Phaseolus vulgaris L.) increases with biochar additions. Biol. Fertil. Soils 43:699–708.
Schmidt, M.W.I., J.O. Skjemstad, E. Gehrt, and I. Kagel-Knabner. 1999. Charred organic carbon in German
chernozemic soils. Eur. J. Soil Sci. 50:351–365.
Skjemstad, J.O., D.C. Reicosky, A.R. Wilts, and J.A. McGowan. 2002. Charcoal carbon in U.S. agricultural soils.
Soil Sci. Soc. Am. J. 66:1249–1255.
Skjemstad, J.O., P. Clarke, J.A. Taylor, J.M. Oades, and S.G. Mcclure. 1996. The chemistry and nature of protected
carbon in soil. Aust. J. Soil Res. 34:251–271.
Sombroek, W.G., F.O. Nachtergaele, and A. Hebel. 1993. Amounts, dynamics and sequestering of carbon in tropical
and subtropical Soils. Ambio 22:417–426.
Steiner, C, Teixeira, W.G, Lehmann, J., Nehls, T., de Macedo, J.L.V., Blum, W.E.H., Zech, W. 2007. Long term
effects of manure, charcoal and mineral fertilization on crop production and fertility on a highly weathered
Central mazonian upland soil. Plant Soil 291:275–290
Steiner, C., Glaser, B., Teixeira, W.G., Lehmann, J., Blum, W.E.H., Zech, W. 2008. Nitrogen retention and plant
uptake on a highly weathered central Amazonian Ferraisol amended with compost and charcoal. J Plant Nutr
Soil Sci 171:893–899.
Tiessen, H., Cuevas, E., Chacon, P. 1994. The role of soil organic matter in sustaining soil fertility. Nature 371:783–
785.
Warnock, D.D., Lehmann, J., Kuyper, T.W., Rillig, M.C. 2007. Mycorrhizal responses to biochar in soil—
concepts and mechanisms. Plant Soil 300:9–20.
Widowati, W.H. Utomo, L.A.Soehono, B.Guritno. 2011. Effect of biochar on the release and loss of nitrogen from
urea fertilization. Journal of Agriculture and Food Technology 1 (7) : 127 – 132.
Widowati, W. H. Utomo., B.Guritno, L.A.Soehono. 2012. The effect of biochar on the growth and n fertilizer
requirement of maize (Zea mays L.) in Green House Experiment. Journal of Agricultural Science 4(5) : 255 –
262.
171
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Widowati, Asnah, Sutoyo. 2012. The Effects of Biochar and Potassium Fertilizer to the Uptake and Potassium
Leaching. Buana Sains 12: 83 – 90.
Wilhelm, W.W., J.M.F. Johnson, J.L. Hatfield, W.B. Voorhees, and D.R. Linden. 2004. Crop and soil productivity
response to corn residue removal: A literature review. Agron. J. 96:1–17.
172
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRAK
Permasalahan budidaya tanaman buah naga di Kabupaten Mempawah adalah gejala penyakit busuk pangkal batang
pada tanaman buah naga, gejala serangan penyakit akar putih dan rendahnya produksi buah naga. Untuk itu dilakukan
pengkajian teknologi pengendalian penyakit dan peningkatan produks buah naga dengan meggunakan michoriza dan pupuk
organic. Adapun perlakuan yang akan diteliti berupa jenis pupuk organic dan trichoderma sebagai berikut : 1) Pupuk kandang :
Po = tanpa pukan, P1 = Pukan kotyoran ayam, P2 = Pukan kotoran sapi, P3 = pukan kambing dan 2). Trichoderma : Mo =
tanpa Trichoderma, M1 = 75 g trichoderma, M 2 = 25 g Tricoderma + 25 g Michgoriza dan M 3 = 50 g Michoriza. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dalam bentuk faktorial ulangan 3 kali dengan respon tanaman yang diamati
jumlah cabang, jumlah buah, berat buah, gejala penyakit busuk pangkal batang, busuk bakteri dan Fusarium.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeberian pupuk hayati (trichderma dan mikoriza) mengurangi serangan penyakit
busuk pangkal batang, busuk bakteri, dan Fusarium pada tanaman buah naga. Pemberian pupuk organik mengurangi serangan
gejala busuk pangkal batang, busuk bakteri dan Fusarium. Pupuk hayati nyata meningkatkan jumlah buah dan produksi buah
naga. jenis pupuk organik tidak beda nyata terhadap jumlah buah dan produksi buah naga, Pemberian pupuk kotoran sapi
disertai dengan trichoderma menghasilkan produksi buah naga tertinggi yaitu 3.36 ton/ha.
Kata kunci : pupuk kandang, pupuk hayati dan produksi buah naga
ABSTRAK
The Problems in dragon fruit cultivation in the Mempawah District are the symptoms of stem rot disease in the plant
dragon fruit, white root disease and the low production of dragon fruit. For that carried of the study of disease control and
produks improvement of dragon fruit with. Organic fertilizers and trichoderma as follows : 1) Manure: Po = without manure , P1
= Chicken manure, P2 = Cows manure, P3 = Goat manure 2). Trichoderma: Trichoderma Mo = without Trichoderma, M1 = 75
g trichoderma, M2 = 25 g Trichoderma + 25 g Michgoriza and M3 = 50 g Michoriza. The study using randomise complete block
design (RAK) factoral with plant responses observed number of branches, number of fruits, fruit weight, symptoms of stem rot
disease, root bacteria and Fusarium rotten.
The results showed that aplication of organic biological fertilizer (trichderma and mycorrhizal) reduces stem rot disease,
bacterial and Fusarium on dragon fruit plants. Biological fertilizer significantly increased the amount of fruit and production
dragon fruit. Type of organic fertilizer is not significantly different to the amount of fruit and production of dragon fruit. Aplication
of cow manure with Trichoderma produce the fragmest dragon fruit production 3.36 tonnes / ha.
PENDAHULUAN
Buah naga atau lazim juga disebut pitaya, terakhir ini menjadi salah satu buah yang popular
di kalangan masyarakat. Buah yang termasuk kelompok kaktus atau family cactaceae ini sangat
digemari oleh masyarakat untuk konsumsi. Rasa yang manis dan segar pada buah naga membuat
para konsumennya ketagihan, buah naga juga memiliki berbagai khasiat obat yang bermanfaatkan
bagi kesehatan tubuh.
Buah naga cukup banyak khasiat bagi kesehatan diantaranya untuk menurunkan kholesterol
dan gula darah ini memiliki kandungan protein 0,48-0,5 %, karbohidrat 4,33-4,98, lemak 0,17-0,18,
dan vitamin seperti karoten, thiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat (Morton, 1987) Tanaman
buah naga di Kalimantan Barat tersebar di Kabupaten Mempawah, Kota Singkawang dan Kabupaten
Sambas. Hasil identifikasi dan wawancara Bapak Ambok Angka petani buah naga adalah adanya
gejala penyakit busuk pangkal batang dan busuk bakteri dan rendahnya produksi buah naga.
Permasalahan budidaya tanaman buah naga di Kabupaten Mempawah adalah gejala penyakit busuk
pangkal batang pada tanaman buah naga, gejala serangan penyakit akar putih dan rendahnya
173
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
produksi buah naga. Untuk itu dilakukan pengkajian teknologi pengendalian penyakit dan
peningkatan produks buah naga dengan meggunakan michoriza dan pupuk organik. Pupuk hayati
(biofertilizer) didefinisikan sebagai substansI yang mengandung mikroorganisme hidup yang
mengkolonisasi rhizosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu pertumbuhan tanaman dengan
jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan atau stimulus pertumbuhan tanaman
target, bila dipakai pada benih, permukaan tanaman, atau tanah (FNCA Biofertilizer Project Group
2006).
Peranan mikoriza sangat penting terutama dapat meningkatkan nutrisi tanaman dan
menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin dan giberelin. Auksin berfungsi untuk
mencegah penuaan akar, sehingga akar dapat berfungsi lebih lama dan penyerapan unsur hara akan
lebih banyak (Husin (1994). Pengendalian biologi (hayati) menunjukkan alternative pengedalian
yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negative terhadap lingkungan dan
sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau
cendawan, bakteri atau aktiomisetes. Beberapa jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai
agens hayati dari dari jamur patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker dan Cook,1983
dalam Tindaon, 2008). Menurut Wiyono (2013) bahwa Penyakit busuk pangkal batang umumnya
menyerang pada awal penanaman buah naga, tanaman buah naga sering mengalami pembusukan
pada pangkal batang, berwarna kecokelatan dan terdapat bulu putih. Sedangkan gejala busuk bakteri
adalah tanaman tampak layu, kusam, terdapat lendir putih kekuningan pada tanaman yang
mengalami pembusukan, penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas sp. Mikoriza sangat diperlukan
untuk mengubah lahan yang semula tandus atau kering menjadi lahan subur. Karena dengan adanya
mikoriza dapat menyerap unsur hara. Jamur Trichoderma spp. digunakan sebagai jamur atau
cendawan antagonis yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses
mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi (Mukerji dan Garg, 1988 dalam Rifai, et. al., 1996).
Menurut Hartati dan Widowati (2006) bahwa Pupuk kandang/kotoran hewan yang berasal
dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, dan kambing. Komposisi
hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada jumlah dan jenis makanannya.
Secara umum, kandungan hara dalam kotoran hewan lebih rendah daripada pupuk kimia. Oleh
karena itu biaya aplikasi pemberian pupuk kandang (pukan) ini lebih besar daripada pupuk
anorganik.
METODOLOGI
Lokasi Pengkajian
Penelitian dilakukan di Desa Peniti Besar Kecamatan Segedong Kabupaten Mempawah
Kalimantan Barat. Waktu penelitian dilakukan Maret – Desember 2014. Adapun perlakuan yang
akan diteliti berupa jenis pupuk organic dan trichoderma sebagai berikut :
Pupuk kandang :
Po = tanpa pukan
P1 = Pukan kotyoran ayam
P2 = Pukan kotoran sapi
P3 = pukan kambing
Trichoderma :
Mo = tanpa Trichoderma
M1 = 75 g trichoderma
M 2 = 25 g Tricoderma + 25 g Michgoriza
M 3 = 50 g Michoriza
174
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan respon tanaman yang
diamati jumlah cabang, jumlah buah, berat buah, gejala penyakit busuk pangkal batang, busuh
bakteri dan Fusarium. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis ragam sesuai dengan
rancangan, sedangkan rata-rata perlakuan dibedakan dengan uji DMRT (Gomez dan Gomez,
1992).
Untuk menghitung persentase serangan penyakit tanaman Buah Naga ditentukan dengan
rumus sebagai berikut :
Sedangkan pemberian jenis pupuk kandang terhadap serangan penyakit busuk pangkal
batang, ternyata kotoran kambing dapat menekan serangan sebesar 3.88 % dibanding dengan kotoran
sapi dan ayam (2.76 % dan 1.60 %). Menurut Hartatik dan Widowati (2005) bahwa kadar hara
pukan kambing mengandung kalium yang relatif lebih tinggi dari pukan lainnya. Sementara kadar
175
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
hara N dan P hampir sama dengan pukan lainnya. Kalium (K) adalah salah satu hara makro yang
diserap dalam jumlah besar oleh tanaman termasuk buah naga dan berperan utama dalam pembukaan
dan penutupan stomata, transportasi hara-hara dari akar ke daun serta dalam aktivitas berbagai enzim
dalam pertumbuhan tanaman (Cherney, 2004).
Busuk Bakteri
Serangan penyakit ini desebabkan oleh infeksi bakteri Pseudomonas sp. Gejala tanaman yang
terserang penyakit busuk bakteri ditandai dengan adanya pembusukan pada pangkal batang, terdapat
lendir putih kekuningan pada daerah serangan, serta tanaman tanpak kusan dan layu. Pemberian
pupuk hayati dengan Trichoderma dan mikoriza dapat menurunkan gejala serangan busuk bakteri
seperti pada Tabel 2. Pemberian pupuk hayati mengurangi busuk bakteri pada tanaman buah naga
sebesar 4.56 % dan 5.45 %, namun bila dikombinasikan dengan kedua perlakuan tersebut maka dapat
mengurangi serangan busuk bakteri lebih tinggi yaitu 8.59 %. Pengendalian terhadap serangan bakteri
ini dilakukan dengan melakukan sanitasi kebun secara rutin, perbaikan drainase untuk mencegah
adanya genangan air, pencabutan tanaman terserang dan tanah disekitar titik tanam dibuang jauh dari
areal budidaya. Usahakan pembuangan tanah tersebut jangan sampai tercecer. Lubang bekas titik
tanam ditaburi dengan kapur agar pH tanah lokal meningkat. Mukerji dan Garg (1986) dalam
Djatmiko dan Rohadi (1997) melaporkan bahwa mikroorganisme antagonis terutama Trichoderma
spp.. mempunyai kemampuan berkompetisi dengan patogen terbawa tanah terutama dalam
mendapatkan nitrogen dan karbon.
Table 2. Hasil Pengamatan Penyakit Busuk Bakteri Tanaman Buah Naga
Perlakuan Sebelum Perlakuan Setelah Perlakuan Persentase penurunan
P0 33.45 31.79 1.66
P1 21.33 17.48 3.95
P2 20.15 13.19 6.94
P3 20.95 15.53 4.42
M0 24.15 22.15 2.0
M1 18.33 13.77 4.56
M2 25.66 17.07 8.59
M3 22.45 17.00 5.45
Pengaruh kotoran ternak, kotoran kambing dapat mengurangi gejala busuk bakteri terbaik
(6.94%) dibanding dengan kotoran ayam dan sapi, hal ini disebabkan karena kandungan pada kotoran
ini kandungan N, P2O5 dan CaO lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi proses fisiologi tanaman
dalam ketahanan tanaman terhadap penyakit (Lingga, 1991). Unsur Ca pada pupuk kandang berperan
penting dalam menyusun dinding sel baru pada tanaman selain itu unsur hara N juga cukup tersedia.
Selanjutnya Tisdale dan Nelson (1984) mengemukakan bahwa ketersediaan unsur hara yang baik
dapat meningkatkan berat kering yang dihasilkan oleh tanaman karena unsur hara mineral terutaman
N berperan dalam proses pembentukan berat kering dan salah satu komponen pembentuk berat kering
tanaman.
Fusarium
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hayati dapat menekan gejala
serangan Fusarium pada tanaman buah naga sebesar 8.36% - 12.58 %, hal ini disebabkan hasil
pengamatan dilapang penyakit ini disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporium. Gejala serangan
antara lain cabang tanaman berkerut, layu dan busuk berwarna cokelat. Secara umum gejala yang
tampak hampir sama dengan serangan penyakit busuk bakteri.
Pengendalian terhadap serangan bakteri ini dilakukan dengan melakukan sanitasi kebun
secara rutin, perbaikan drainase untuk mencegah adanya genangan air, pencabutan tanaman terserang
dan tanah disekitar titik tanam dibuang jauh dari areal budidaya. Lubang bekas titik tanam ditaburi
dengan kapur agar pH tanah lokal meningkat. Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan
pemanfaatan agensia hayati, seperti Trichoderma sp. dan Gliocldium sp.
176
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Menurut Ismujiyanto, et.al., (1996), aplikasi Trichoderma Sp dengan kompos jerami dapat
menurunkan intensitas serangan Fusarium oxysporum pada pangkal batang dan akar tanaman vanili
Beberapa jamur atau cendawan mempunyai potensi sebagai agens hayati dari dari jamur
patogenik diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker dan Cook,1983 dalam Tindaon, 2008).
Trichoderma spp. yang dinfestasikan kedalam tanah dilaporkan oleh Rifai,dkk., et al (1996) mampu
menekan serangan Phytium sp pada tanaman Kedelai. Data mereka menunjukkan bahwa semakin
panjangnya jarak antara infestasi T. viride dengan saat saat dating Phytium cenderung semakin
menurunkan intensitas dan persentase bibit dan benih yang terserang Phytium spp.
Pemberian pupuk organik, kotoran sapi menghasilkan penurunan gejala serangan Fusarium
terbaik dibanding dengan kotoran kambing dan ayam masing-masing 12.39 %; 6.03 % dan 9.12%
(Tabel 3).
Tabel 4. Pengaruh Pupuk Organik dan Pupuk Hayati terhadap Produktivitas Buah Naga
Perlakuan Jumlah buah/tanaman Produktivitas (ton/ha
M0 5.91 a 1.60 a
M1 6.74 ab 2.91 b
M2 7.98 bc 2.99 b
M3 8.25 c 2.74 b
P0 5.58 a 1.87 a
P1 7.65 b 2.64 b
P2 7.71 b 2.87 b
P3 7.94 b 2.90 b
177
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Pada tabel 4, ternyata pemberian jenis pupuk organik tidak beda nyata terhadap jumlah buah
dan produksi buah naga, namun pupuk organik berasal dari kotoran kambing produksi lebih tinggi
dibanding dengan kotoran sapi dan ayam. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) bahwa pupuk
kandang/kotoran hewan yang berasal dari usaha tani pertanian antara lain adalah kotoran ayam, sapi,
kerbau, dan kambing. Komposisi hara pada masing-masing kotoran hewan berbeda tergantung pada
jumlah dan jenis makanannya. Menurut Lingga (1991) bahwa diantara jenis pupuk kandang, pupuk
kandang kambing mengandung N, P2O5 dan CaO lebih tinggi dibanding kotoran ternak lainnya.
Pertumbuhan buah juga memerlukan unsur hara terutama nitrogen, fosfor dan kalium. Nitrogen
diperlukan untuk pembentukan klorofil yang berguna dalam proses fotosintesis, selain itu berfungsi
dalam pembentukan protein dan lemak. Unsur fosfor berguna untuk merangsang pertumbuhan akar,
membantu asimilasi dan pernafasan sekaligus mempercepat pembungaan, pembentukan buah dan
pemasakan buah dan biji.
Menurut Lingga dan Marsono (2002) Ca berfungsi dalam merangsang pembentukan bulu
akar, mengeraskan batang tanaman dan merangsang pertumbuhan biji. Ca yang terdapat pada batang
dan daun berkhasiat untuk menetralisasikan senyawa atau suasana yang tidak mengutungkan didalam
tanah.
Penyerapan P terus meningkat dari fase pembibitan sampai berbunga. Dalam keadaan
lingkungan kimiawi optimum, interaksi antara tanah dan unsur hara berbeda beda tergantung pada
macam unsur hara. Kesulitan akan bertambah kalau bahan pupuk mengandung lebih daripada satu
macam unsur hara (amonium sulfat) atau mengandung satu macam unsur hara dalam bentuk kimia
lebih daripada sebuah (amonium nitrat). Efisiensi pemupukan suatu unsur hara berubah menurut
umur tanaman (kelakuan fisiologi). Kelakuan fisiologi tanaman juga dipengaruhi oleh cuaca, musim
dan suhu. Keadaan lingkungan hayati juga mempengaruhi efisiensi pemupukan (Notohadiprawiro ,. et
al 2006).
Tabel 5. Pengaruh Kombinasi Michoriza dan Pupuk Kandang terhadap Produktivitas Buah Naga
Perlakuan Jumlah buah/tanaman Produktivitas (ton/ha
MoPo 4.44 a 1.16 a
MoP1 6.15 c 1.52 a
M0P2 6.59 c 1.88 bc
MoP3 6.44 c 1.85 bc
M1P0 5.04 ab 1.55 ab
M1P1 6.89 c 3.27 d
M1p2 7.08 c 3.36 d
M1P3 7.96 cd 3.45 d
M2P0 6.89 c 2.56 bcd
M2P1 9.00 f 3.13 d
M2p2 7.74 cd 3.11 d
M2P3 8.29 de 3.14 d
M3p0 5.96 b 2.04 abc
M3P1 8.55 def 2.65 cd
M3P2 9.41 f 3.12 d
M3P3 9.07 f 3.15 d
Pada tabel 5, ternyata perlakuan (M1P2) pemberian pupuk kotoran sapi disertai dengan
trichoderma menghasilkan produksi buah naga tertinggi yaitu 3.36 ton/ha dibanding dengan
perlakuan lainnya. Hal ini diduga hara berasal dari pupuk dan Trichoderma dapat dimanfaatkan
oleh pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya memperkuat tanaman terhadap serangan penyakit.
Sifat antagonis Cendawan Trichoderma spp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma spp. ke
dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini
disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan cendawan ini (Khaeruni,, 2010).
178
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
KESIMPULAN :
1. Pemeberian pupuk hayati dapat mengurangi serangan penyakit busuk pangkal batang, busuk bakteri, dan
Fusarium pada tanaman buah naga. Pemberian pupuk organik dapat mengurangi serangan gejala busuk pangkal
batang, busuk bakteri dan Fusarium.
2. Pupuk hayati nyata meningkatkan jumlah buah dan produksi buah naga, namun pemberian Trichoderma tidak
nyata dengan pemberian Michoriza. jenis pupuk organik tidak beda nyata terhadap jumlah buah dan produksi
buah naga, namun kotoran kambing produksinya lebih tinggi. Pemberian pupuk kotoran sapi disertai dengan
trichoderma menghasilkan produksi buah naga tertinggi yaitu 3.36 ton/ha.
REFERENSI
Darmono, T. W., 1994. Kemampuan beberapa isolat Trichoderma spp.. Dalam Menekan Inokulum Phytophthora
sp. di dalam Jaringan Buah Kakao. Menara Perkebunan 62 : 2 :25-29.
Djatmiko, H.A., dan Rohadi, S.S., 1997. Efektivitas Trichoderma harzianum Hasil Perbanyakan dalam Sekam Padi
dan Bekatul Terhadap Patogenesitas Plasmodiophora brassicae pada Tanah latosol dan Andosol. Majalah
Ilmiah UNSOED, Purwokerto 2 : 23 : 10-22.
Cherney, J.H.; Q.M. Ketterings & J.L. Orloski (2004). Plant and soil elemental status as influenced by multi-year
nitrogen and potassium fertilization. Journal of Plant Nutrition, 27, 991—1014.
FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Biofertilizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA).
Jurnal Lahan Suboptimal, 1(1) April 2012 39 Tokyo : Japan Atomic Industrial Forum.
Gomez, Kwanchai A, and Arturo A. Gomez. 2007. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition.
An International Rice Research Institute Book. A wiley Interscience Publication. P. 1-15; 97-116;121-156.
Hartati W dan L.R. Widowati . 2006. Pupuk organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Husin, E. F. 1994. Mikoriza. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas, Padang
Ismujiyanto, S. B., Aeny, T.N., Ginting, C., 1996. Pengaruh Cendawan Antagonis Trichoderma viride dan Kompos
Terhadap Intensitas Serangan Fusarium oxysporum Schl. F. Sp. Vanillae (TUCKER) Gordon Penyebab
Penyakit Busuk Batang pada Tanaman Panili (Vanilla plafolia Andrews). JPP. Vol. VIII. No 8 Agustus, hal
85-90
Khaeruni, A.R., 2010. Penyakit Hawar Daun Bakteri Pada Padi: Masalah dan Upaya Pemecahannya.
http://www.rudyct. com/PPS702- ipb/03112/andi_khaeruni.htm
Morton J., 1987. Strawberry Pear, in : Morton, J., Fruits of Warm Climates, Miami Florida, p. 347-348 Prihatini, T.,
A. Kenjtanasari, dan Subowo. 1996. Pemanfaatan Biofertilizer Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian XV (1).
Notohadiprawiro T, Soeprapto Soekodarmodjo dan Endang Sukana. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah dan
Peningkatan Efisiensi Pemupukan. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada
Prihatini, T., A. Kenjtanasari, dan Subowo. 1996. Pemanfaatan Biofertilizer Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan
Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian XV (1).
Rao, N.S.S. 1994. Soil Microorganism and Plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co. (Terjemahan H. Susilo.
Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia Press).
179
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Rifai, M., Mujim, S., dan Aeny, T.N., 1996. Pengaruh Lama Investasi Trichoderma viride Terhadap Intensitas
Serangan Pythium sp. Pada Kedelai. Jurnal Penelitian Pertama VII : 8 : 20-25
Sulistyowati, L., Estiejarini, M., Cholil, A., 1997. Tehnik Isolat Trichoderma spp. Sebagai Agen Pengendali Hayati
Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kacang Tanah. Lembaga Penelitian, Universitas Brawijaya, Malang.
Tindaon, H., 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum dan Pupuk Organik Untuk Mengendalikan
Patogen Tular Tanah Sclerotium roflsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa.
http://repository.usu.ac.id.pdf Akses 10 Agustus 2010
Pinus Lingga. 1991. Jenis dan Kandungan Hara pada Beberapa Kotoran Ternak. Pusat Pelatihan Pertanian dan
Pedesaan Swadaya (P4S) ANTANAN. Bogor (Tidak dipublikasikan).
Lingga, P. dan Marsono. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tombe, M. 2008. Teknologi aplikasi mikroba pada tanaman. http://www.google/sekilas pupuk hayati.html. [28
Desember 2009].
Wiyono, S. 2013. Mengendalikan Penyakit Buah Naga. Fakultas Pertanian IPB. Peneliti pada Pusat Kajian
Hortikultura – IPB
180
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRAK
Tanah merupakan media tumbuh alami yang menyediakan makanan (unsur hara) bagi kelangsungan hidup tumbuh-
tumbuhan (tanaman). Agar tanaman mampu berproduksi optimal berkesinambungan, kualitas tanah harus tetap dipertahankan.
Pada tanah asam serta miskin unsur hara (lahan sub optimal), pertumbuhan tanaman akan terganggu sehingga dapat
menurunkan produksi secara signifikan. Penggunaan bahan pembenah tanah Procal pada budidaya padi sebagai alternatif
amelioran terbaik bagi sustainable kesuburan tanah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas padi, sehingga perlu
dilakukan penelitian untuk melihat sampai seberapa efektif penggunaan bahan pembenah tanah tersebut bagi produktivitas padi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pembenah tanah PROCAL terhadap pertumbuhan dan produktifitas
padi sawah di sub optimal. Penelitian dilakukan di Desa Sungai Rengas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, pada
bulan April sampai Oktober 2015. Petak penelitian berjumlah 25 buah, dengan ukuran masing-masing petak 20 m x 25 m.
Terdapat empat perlakuan yaitu pemberian Procal 50 kg/ha, 75 kg/ha, 100 kg/ha dan 125 kg/ha, dan sebagai pembanding
digunakan kontrol (perlakuan petani). Varietas yang ditanam adalah Inpara 3. Pengamatan komponen pertumbuhan tanaman
(tinggi tanaman dan jumlah anakan) dilakukan pada umur tanaman 15, 30, 45 dan 60 hari setelah tanam, dengan ulangan
sebanyak 10 tanaman tiap petak perlakuan, dan komponen hasil (berta jerami dan provitas) dilakukan setelah panen. Rancangan
penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap, dan dilanjutkan uji F.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan tidak berbeda nyata, namun
pemberian pembenah tanah PROCAL dengan dosis 125 kg/ha berpengaruh nyata terhadap produktifitas tanaman
padi. Berdasarkan data produktifitas padi pemberian pembenah tanah PROCAL dapat meningkatan produksi ± 25% GKP/ha.
Hasil analisis tanah menyebutkan bahwa terjadi perubahan sifat kimia tanah dan pH tanah. Pada T0= kontrol P2O5 tersedia
18.48 ppm, sementara pada T4 P2O5 tersedia menjadi 58.01 ppm. Kalium pada T0 tersedia 2.81 cmol (+)kg-1, sedangkan pada
T4 tersedia 4.04 cmol (+)kg-1. Dosis pemberian 125 kg/ha pembenah tanah Procal sebelum olah tanah, dapat direkomendasikan
untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan sub optimal.
ABSTRACT
Soil is a natural growing medium which provides food (nutrients) to the survival of plants (plants). So that the plant is able
to produce optimal sustainable, soil quality must be maintained. On acid soils and poor in nutrients (sub-optimal land), plant
growth will be interrupted so as to reduce manufacturing costs significantly. Use sol conditioner of Procal in rice cultivation as
ameliorant best alternative for sustainable soil fertility is expected to increase rice productivity, so it is necessary to do some
research to see how effective until soil conditioner use of the land for rice production.
This study aims to determine the effectiveness of soil conditionerProcal on the growth and productivity of paddy in sub-
optimal. The study was conducted in Sungai Rengas, Sungai snapper, Kubu Raya, in April and October 2015. The study plots
totaling 25 pieces, with each block size of 20 m x 25 m. There are four treatments, giving Procal 50 kg / ha, 75 kg / ha, 100 kg / ha
and 125 kg / ha, and as a comparison-use controls (treatment of farmers). The varieties planted are Inpara 3. The observation
component of plant growth performed at the age of plants 15, 30, 45 and 60 days after planting, with replications of 10 plants per
plot treatment, and yield components performed after the harvest. Study design Randomized Complete Block Design, and its
continued test F.
The results showed that the parameters of plant height and number of tillers were not significantly different, but the
provision of soil conditioner Procal with 125 kg / ha significantly affect the productivity of rice plants. Based on data from the
productivity of paddy soil conditoner Procal can increase the production of ± 25% GKP / ha. The results of the soil analysis says
that the change of chemical properties of soil and soil pH. At T0 = control P2O5 available 18:48 ppm, while the T4 is available
P2O5 be 58.01 ppm. Available potassium at T0 2.81 cmol (+) kg-1, while the T4 is available 4:04 cmol (+) kg-1. The application of
125 kg / ha soil conditioner Procal before tillage, can be recommended to increase rice productivity in sub-optimal land.
181
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk peningkatan
produkivitas tanaman pangan khususnya tanaman padi. Beras sebagai salah satu sumber pangan
utama penduduk Indonesia dan kebutuhannya terus meningkat karena selain penduduk terus
bertambah dengan laju peningkatan sekitar 2% per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi
penduduk dari non beras ke beras. Disamping itu terjadinya penciutan lahan sawah irigasi akibat
konversi lahan untuk kepentingan non pertanian dan munculnya penomena degradasi kesuburan
lahan menyebabkan produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (Deptan, 2008). Berkaitan
dengan perkiraan terjadinya penurunan produksi tersebut maka perlu diupayakan
penanggulanggannya melalui peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas lahan sawah yang
ada, pencetakan lahan irigasi baru dan pengembangan lahan potensial lainnya termasuk lahan
marginal seperti lahan rawa pasang surut. Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk
dikembangkan menjadi lahan pertanian berbasis tanaman pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Lahan pasang surut Indonesia cukup luas sekitar 20,1 juta ha dan 9,3 juta
diantaranya mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan (Ismail et al. 1993).
Pemanfaatan lahan tersebut untuk pertanian merupakan alternatif yang dapat mengimbangi
berkurangnya lahan produktif terutama di pulau Jawa yang beralih fungsi untuk berbagai keperluan
pembangunan non pertanian. Hasil penelitian Ismail et al. (1993) menunjukkan bahwa lahan rawa ini
cukup potensial untuk usaha pertanian baik untuk tanaman pangan, perkebunan, hortikultura maupun
usaha peternakan. Kedepan lahan rawa ini menjadi sangat strategis dan penting bagi pengembangan
pertanian sekaligus mendukung ketahanan pangan dan usaha agribisnis (Alihamsyah, 2002).
Usahatani di lahan rawa pasang surut umumnya produktivitasnya masih rendah, karena
tingkat kesuburan lahannya rendah, mengandung senyawa pirit, masam, terintrusi air laut dan
dibeberapa bagian tertutup oleh lapisan gambut. Pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut
menghadapi berbagai kendala seperti kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara, salinitas serta
air yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman. Komoditas yang banyak diusahakan petani
adalah padi dengan teknik budidaya yang diterapkan masih sederhana dan menggunakan varietas
lokal serta pemupukan tidak lengkap dengan takaran rendah (Suwarno et al, 2000). Untuk
mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut, pemerintah melalui lembaga penelitian
dan perguruan tinggi telah melakukan kegiatan penelitian di beberapa lokasi pasang surut
Kalimantan dan Sumatera selama sekitar 20 tahun. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian
Tanaman Rawa dan berbagai proyek penelitian juga telah melakukan kegiatan penelitian secara
intensif sejak pertengahan tahun 1980 an. Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan
dan berbagai paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa untuk mendukung pengembangan
usahatani atau agribinis di lahan pasang surut. Litbang pertanian juga telah menghasilkan berbagai
komponen teknologi pengelolaan lahan dan komoditas serta model usahatani (Ismail et al., 1993 dan
Alihamsyah et al., 2003). Usaha pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut telah lama
digalakkan, namum belum memberikan hasil yang maksimal dan cenderung rendah. Hasil yang
rendah sangat berhubungan erat dengan kendala fisika dan kimia lahan. Sehingga penambahan
bahan organik harus dilakukan tiap tahun untuk mempertahankan produktivitas tanah. Oleh karena
itu, diperlukan bahan amelioran yang mudah tersedia dan mampu bertahan lama di dalam tanah atau
mempunyai efek yang relatif lama.
Pembenah tanah merupakan amelioran tanah yang mampu memperbaiki kemampuan jerap
dan tukar kation, air, dan hara mikro sehingga mengurangi kehilangannya di dalam tanah. Pembenah
tanah merupakan alternatif amelioran terbaik bagi sustainable kesuburan tanah agar nutrisi tanaman
yang ditambahkan menjadi terkontrol sehingga tidak hilang ke lingkungan, keseimbangan antar
kation terjaga, air dapat disimpan dalam tanah sebagai cadangan. Bahan pembenah tanah (soil
conditioner) adalah material-material yang ditambahkan kedalam tanah. Pembenah tanah mampu
memperbaiki struktur tanah, mengubah kapasitas tanah menahan dan melalukan air, sehingga dapat
mendukung pertumbuhan tanaman. Penambahan pembenah tanah dapat meningkatkan kapasitas
lapang dan pertumbuhan pada tanaman padi. Salah satu kunci perbaikan lahan pasang surut adalah
penambahan pembenah tanah. Bahan pembenah tanah merupakan bahan-bahan sintetis atau alami
yang berpotensi untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah. Tujuan penggunaan bahan
182
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
pembenah tanah adalah : 1. Memperbaiki agregat tanah, 2. Meningkatkan kapasitas tanah menahan
air (water holding capacity), 3. Meningkatkan kapasitas pertukaran kation (KPK) tanah dan 4.
Memperbaiki ketersediaan unsur hara tertentu. Pemanfaatan pembenah tanah harus memprioritaskan
pada bahan-bahan yang murah, bersifat insitu, dan terbarukan. Menurut Partoyo (2005) indikator
kualitas tanah harus mencerminkan 3 fungsi, yaitu; 1. Melestarikan aktivitas biologi, 2. Pengaturan
dan penyaluran air dan 3. Filter dan buffering.
Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakeristik fisika, kimia dan biologis tanah yang
menggambarkan kondisi tanah. Indeks kualitas tanah menggunakan parameter jeluk perakaran, berat
volume, porositas, debu dan lempung, C-organik, pH, P-tersedia, K-tertukar, N-tersedia dan N-total.
Menurut Yuniwati (2012) kualitas tanah dipengaruhi oleh kemampuan tanah menyediakan hara
tanaman dan fungsi tanah sebagai produksi tanaman.
Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah. Rata-rata produktivitas padi
4,4 ton/ha (Purba S dan Las, 2002) jagung 3,2 ton/ha dan kedelai 1,19 ton/ha. Jika dibanding dengan
negara produsen pangan lain di dunia khususnya beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada
peringkat ke 29. Australia memiliki produktivitas rata-rata 9,5 ton/ha, Jepang 6,65 ton/ha dan Cina
6,35 ton/ha (FAO, 1993). Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah
(a) penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) tingkat kesuburan lahan yang
terus menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum
optimal (Guedev S Kush, 2002 dalam Hutapea dan Mashar, 2005).
Lahan kritis adalah kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya kemampuan lahan
dengan penggunaan lahannya, sehingga mengakibatkan kerusakan lahan secara fisik, kimia, maupun
biologis. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan pemberian pembenah
tanah.
183
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Tabel 1. Keragaan komponen pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) pada umur
15, 30, 45 dan 60 hst.
Waktu Pengamatan
P 15 HST 30 HST 45 HST 60 HST
erlakuan Tinggi Jumlah Tinggi Jumlah Tinggi Jumlah Tinggi Jumlah
Tanaman Anakan Tanaman Anakan Tanaman Anakan Tanaman Anakan
(cm) (cm) (cm) (cm)
T0 48,06 a 15,64 a 74,14 a 23,28 a 79,68 a 23,62 a 94,16 a 27,1 a
T1 50,46 a 8,7 a 77,02 a 12,82 a 82,02 a 13,64 a 93,50 a 12,34 a
T2 49,34 a 12,08 a 77,26 a 12,5 a 81,36 a 13,58 a 94,46 a 11,76 a
T3 50,44 a 11,78 a 78,08 a 12,72 a 82,88 a 13,4 a 94,80 a 12,16 a
T4 50,18 a 9,82 a 77,18 a 12,42 a 81,74 a 14,26 a 95,32 a 12,54 a
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Berdasarkan anova pada tabel 1 ditunjukkan bahwa pemberian pembenah tanah Procal tidak
berpengaruh nyata pada parameter tinggi tanaman dan jumlah anakan. Tinggi tanaman sangat
dipengaruhi oleh faktor genetik varietas namun dapat dipengaruhi juga oleh sensitifitas tanaman
terhadap lingkungan seperti ketersediaan hara dalam tanah, namun belum menjamin tingkat
produksinya (Kaihatu dan Pesireron, 2011). Pemberian pembenah tanah Procal dengan berbagai
dosis yang diperlakukan tidak mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman padi.
Tabel 2. Keragaan hasil (berat jerami dan provitas) tanaman padi dengan pemberian pembenah tanah
Procal.
Perlakuan Berat jerami (gram) Provitas (ton/ha)
T0 64,04 b 1,68 c
T1 70,82 ab 1,92 b
T2 71,92 ab 2,02 ab
T3 79,48 a 2,05 ab
T4 73,82 ab 2,10 a
Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% DMRT.
Hasil anova pada tabel 2 menunjukkan bahwa pembenah tanah Procal berpengaruh nyata
pada berat jerami dan provitas. Terlihat bahwa dengan pemberian Procal dapat meningkatkan berat
kering jerami padi. Berat kering jerami berbanding lurus dengan berat brangkasan dan hasil panen,
sehingga semakin besar dosis Procal yang diuji, produksi juga makin tinggi. Pemberian Procal
dengan dosis 125 kg/ha mampu memberikan produktivitas tertinggi yaitu sebesar 2,10 ton/ha.
184
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Apabila tidak menggunakan Procal (kontrol) hanya mampu berproduksi 1,68 ton/ha. Penambahan
Procal mampu meningkatkan produksi 0,42 ton/ha atau meningkat sekitar 25% per hektar.
Pemberian Procal dengan dosis 125 kg/ha mampu memberikan produktivitas tertinggi yaitu
sebesar 2,10 ton/ha. Apabila tidak menggunakan Procal (kontrol) hanya mampu berproduksi 1,68
ton/ha. Penambahan Procal mampu meningkatkan produksi 0,42 ton/ha atau meningkat sekitar 25%
per hektar. Apabila diasumsikan harga jual gabah Rp.5.000,- per kilogram maka keuntungan yang
didapat sekitar Rp. 2.100.000,- per hektar.
Soil management atau pengelolaan tanah secara berimbang, sesuai dengan tingkat kesuburan
tanah dan kebutuhan tanaman menjadi penentu dalam peningkatan produksi. Fungsi pembenah tanah
PROCAL bagi tanaman padi yaitu, 1) Meningkatkan pH tanah yang asam. Di lokasi kegiatan
pengkajian pada TO (kontrol ) tidak menggunakan pembenah tanah PROCAL pH tanah 4,27,
terjadi peningkatan pH tanah 16,2% atau pH 4,96 pada perlakuan T4 (dosis 125 kg Procal/ha). Hal
ini disebabkan karena ion hidroksi OH dari hasil hidrolisa akan mengikat ion Hidrogen H di dalam
tanah yang masam sehingga pH tanah akan naik. Kondisi pH yang optimum, secara kimia akan
menurunkan daya larut Fe, Mn, dan Al sedangkan di sisi lain akan memperbaiki ketersediaan Fosfat,
Mo, dan Kalium. Selain itu secara biologi akan merangsang kegiatan mikroba, merangsang fiksasi
nitrogen dari udara, dan mempercepat proses aminisasi, amonifikasi, dan oksidasi belerang, 2)
Meningkatkan ketahanan dari hama dan penyakit tanaman. Hal tersebut disebabkan karena ion
Calsium (Ca2+) akan diserap tanaman untuk memperkuat dinding sel, sehingga daun tanaman padi
lebih tebal dan batang kokoh, 3) Meningkatkan warna daun (klorofil), hal ini karena dalam Procal
mengandung unsur Magnesium (Mg) yang berperan dalam proses fotosintesa, sehingga warna daun
akan menjadi lebih hijau dan, 4) mempercepat pertumbuhan tanaman padi karena PROCAL
mengandung unsur Nitrogen (N). Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi
atau hasil yaitu : 1) penggunaan VUB, 2) benih bermutu, 3) penggunaan bibit muda, 4) cara tanam
jajar legowo, dan 5) pengelolaan hara terpadu menjadi kunci keberhasilan peningkatan produksi padi
sawah. Kelima faktor tersebut merupakan komponen utama dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu
atau dikenal dengan istilah PTT (Anonim, 2010).
Untuk mendapatkan hasil produksi padi yang optimal, perlu dilakukan dengan memberikan
bahan pembenah tanah Procal dengan dosis 125 kg/ha yang ditebarkan sebelum pengolahan tanah.
Pengelolaan budidaya padi dianjurkan menggunakan komponen teknologi PTT.
185
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
REFERENSI
Ahmad Ansori Mattjik Ir., M. Sc., Ph.D dan Made Sumertajaya Ir., M.Si. (2000). Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS, MINITAB, dan SPSS. IPB PRESS, BOGOR.
Alihamsyah, T., Muhrizal Sarwani, and Isdianto Ar-Riza. 2002. "Komponen utama teknologi optimalisasi lahan
pasang surut sebagai sumber pertumbuhan produksi padi masa depan." Makalah disajikan pada Seminar
IPTEK Padi, Pekan Padi Nasional di Sukamandi. Vol. 5.
Anonim. http://www.petrokimia-gresik.com/SP-36.asp> Diakses tanggal 5 April 2011 Pukul 14.00 WIB 2002.
Pupuk SP-36 Sebagai Sumber Fosfor.
Hutapea, J., dan Ali Zum Mashar, 2007. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas menuju Kemandirian
Pertanian Indonesia. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi
22 Maret 2002.
Ismail, I. G., T. Alihamsyah, I.P. Widjaja-Adi, Suwarno, T. Herawati, R. Tahir dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu
Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Kaihatu, S. S. dan M. Pesireron. 2011. Adaptasi beberapa varietas unggul padisawah di Morokai. Jurnal Agrivigor
11(2): 174-184.
Partoyo. 2005. Analisis indeks kualitas tanah pertanian di lahan pasir pantai Samas Yogyakarta. Ilmu Pertanian Vol.
12 No.2, 2005 : 140 – 15
Sri Adiningsih J., M. Soepartini, A. Kusno, Mulyadi, dan Wiwik Hartati. 1994. Teknologi untuk Meningkatkan
Produktivitas Lahan Sawah dan Lahan Kering. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan Untuk
Pembangunan Kawasan Baratl Indonesia di Palu 17 – 20 Januari 1994
Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000.Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan
teknologi sistem usaha tani terpadu. Dalam E.E. Ananto, I.G. Ismail, Subagio, Suwarno, A. Djajanegara, dan
H. Supriyadi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa.
Cipayung. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan. Bogor.
Yuniwati, M., F. Iskarima, dan Adiningsih. P. 2012. Optimasi kondisi proses pembuatan kompos dari sampah
organk dengan cara fermentasi mengguakan EM4. Jurnal Teknologi. Volume 5 Nomor 2. 172-181
186
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRAK
Biochar is a new materials researched intensively within the last years in various parts of the world. This is fuelled by the
fact that the lands of Terra Preta in the Amazon region of South America, is known to be very fertile because it contains charchoal
that was formed from the minimal oxygen combustion (pyrolysis) at times thousands of years ago. Under the conditions of
technological advances like this now researchers tried to replicate in obtaining similar material which was then widely known by
the term biochar and test its usefulness mainly to improved soil conditions in order to generate growth and better crop production
and the same time capable of being a barrier to the release of carbon into the atmosphere (carbon sequestering). As a new
research topic of course understandable that it raises and the pro-cons, especially regarding the positive benefits widely. One of the
pro-was written by Lehman & Joseph (2010) entitled Biochar Environment Management-Science and Technology. Otherwise the
controversy are presented by F. Verheijen et al. (2010) entitled Biochar Application to Soils. The following description is trying to
look at it from two angles to give the real picture for the prospective applicants for research and or user of biochar to the benefit of
improved health and productivity of the soil. At the end of the description given the need for quality requirements of biochar to
obtain comparable results.
_________________________________________________________________________
Makalah disajikan pada Kongres Asosiasi Biochar Indonesia (ABI) dan Seminar Nasional
Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lahan Sub-Optimal untuk Mendukung Terwujudnya
Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional di Gedung Auditorium Universitas Panca Bhakti,
Pontianak, 2-3 Mei 2016.
ABSTRAK
Biochar merupakan material baru yang diteliti secara intensif dalam waktu sepuluh tahun terakhir di berbagai penjuru
dunia. Hal ini dipicu oleh fakta bahwa tanah-tanah Terra Preta di wilayah Amazon, Amerika Selatan, dikenal sangat subur
karena mengandung arang yang dibentuk dari pembakaran minim oksigen (pirolisis) di jaman ribuan tahun yang lalu. Dalam
kondisi kemajuan teknologi seperti sekarang ini para peneliti mencoba untuk meniru dalam memperoleh material serupa yang
kemudian dikenal secara luas dengan istilah biochar dan menguji manfaatnya terutama untuk perbaikan kondisi tanah agar
menghasilkan pertumbuhan dan produksi tanaman yang lebih baik dan sekaligus mampu menjadi penghambat lepasnya karbon
ke atmosfir (carbon sequestering).
Sebagai sebuah topik riset yang baru tentu saja dapat dipahami bahwa hal tersebut menimbulkan pro- dan kontra,
khususnya yang menyangkut manfaat positif secara luas. Salah satunya yang pro- adalah yang ditulis oleh Lehmann & Joseph
(2010) yang berjudul Biochar-Environment Management-Science and Technology. Sebaliknya yang kontra adalah yang disajikan
oleh F. Verheijen et al. (2010) yang berjudul Biochar Application to Soils. Uraian berikut ini mencoba untuk melihat dari dua
sudut tersebut untuk memberikan gambaran yang sebenarnya bagi para calon peminat riset dan/atau pengguna biochar untuk
kepentingan perbaikan kesehatan dan produktivitas tanah. Pada akhir uraian disampaikan perlunya persyaratan mutu bio-char
untuk memperoleh hasil yang dapat diperbandingkan.
PENDAHULUAN
Secara sederhana biochar adalah produk yang kaya dengan karbon yang diperoleh dari
biomas, seperti kayu, pupuk kandang, atau dedaunan dipanaskan dalam tempat tertutup dengan
187
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
sedikit atau tanpa tersedia udara. Secara lebih teknis, biochar dihasilkan melalui teknologi proses
yang disebut dekomposisi termal dari bahan organik di bawah kondisi pasokan oksigen yang terbatas
dan pada suhu yang tergolong rendah (< 7000 C ). Proses ini mirip dengan pembuatan arang, yang
merupakan teknologi kuno, kalau bukan yang tertua. Bagaimanapun juga proses produksi biochar
berbeda dengan produksi arang dari sisi tujuan penggunaannya di mana biochar ditujukan untuk
aplikasi ke tanah sebagai alat untuk memperbaiki produktivitas tanah, penyimpanan karbon, atau
filtrasi dari perkolasi air tanah.
188
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Standar Mutu
Seperti halnya produk-produk yang digunakan dalam bidang pertanian dan industri harus
memenuhi standar mutu tertentu. Tujuannya adalah memenuhi keinginan pelanggan tentang sifat-
sifat produk yang dibelinya dan menentukan pilihan jenis produk yang mana yang tepat untuk
memenuhi tujuan aplikasinya. Dengan kata lain, klasifikasi produk diperlukan sebagai referensi
jaminan mutu bagi pelanggan karena perbedaan kelas yang dibuat akan terkait erat dengan karakter
dari barang termaksud. Ketika sistem klasifikasi sudah dikembangkan, satu perangkat standar dapat
dibuat. Standar ini selanjutnya bisa diformalkan melalui sebuah forum internasional atau asosiasi
standar negara. Sebagai contoh adalah berkembangnya berbagai sistem klasifikasi kompos di
berbagai negara. Bagaimanapun juga, sistem klasifikasi harus bersifat terbuka dan mengakomodasi
kemungkinan perubahan sesuai dengan perkembangannya.
Untuk tujuan seperti itulah International Biochar Initiative (IBI), sebuah organisasi nir-laba
yang berpusat di Westerville, Ohio, AS, mencoba secara rutin melakukan perbaikan terhadap skema
standar mutu biochar. Standar mutu yang dikembangkan ini dari tahun ke tahun dievaluasi oleh
sebuah komisi penasehat yang beranggotakan berbagai peneliti biochar di berbagai negara, termasuk
Indonesia. Tujuan utama yang paling penting yang mendorong pengelolaan biochar untuk tanah
antara lain adalah (Joseph et al., 2009):
Meningkatkan kapasitas menahan air dan sifat-sifat fisik lain tanah,
Meningkatkan sumber karbon yang stabil
Jerapan/pengkompleksan bahan organik tanah dan senyawa beracun
Jerapan dan reaksi dengan gas-gas di antara tanah contohnya NO2
Pengikatan nutrisi dan penambahan (dalam kasus biochar mengandung abu mineral tinggi)
dan
Peningkatan pertumbuhan dari mikroba bermanfaat.
Berbagai peneliti dan pengguna menggunakan satu terminologi yang berbeda-beda di dalam
membahas biochar. Terdapat berbagai naman untuk untuk produk bahan organik yang telah diproses
secara pirolisis (karbonisasi) atau gasifikasi (oksidasi sebagian), dan penggunaan dalam tujuan
pertanian dan industri (seperti karbon amorf, arang, arang hitam, karbon aktif, biochar dan Agrichar
TM). Salah satu terminologi adalah yang diusulkan oleh Fitzer et al., (1995). Perbedaan istilah
terjadi untuk ‘char’ yang merupakan sisa pembakaran biomasa dari pembakaran alami dan arang
(charcoal) yang ditujukan untuk bahan bakar/energi. Komisi Penasehat IBI telah sepakat dengan
189
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
definisi biochar sebagai berikut: Biochar adalah arang hitamg berukuran halus yang mengandung
bahan karbon organik tinggi dan sangat tanah terhadap dekomposisi. Bahan ini diproduksi dari
pirolisis dari tanamanan dan limbah kayu sebagai bahan baku. Sebagai pembenah tanah, biochar
menciptakan kumpulan karbon tanah rekalsitran yang bersifat karbon negatif, yang berfungsi sebagai
suatu pelepasan bersih karbon dioksida atmosfir yang disimpan dalam cadangan karbon yang sangat
rekalsitran. Kapasitas retensi hara dari tanah yang diberi biochar tidak saja mengurangi kebutuhan
pupuk secara total , tetapi juga dampak iklim dan lingkungan dari lahan pertanaman.
Selain hal tersebut di atas, definisi yang lebih mendasar pernah diberikan oleh FAO (1983)
dan Clarke (2001) ketika ditujukan sebagai bahan bakar atau pereduksi. Bagaimanapun juga belum
ada klasifikasi untuk arang.
Penutup
Dari uraian di atas yang menyangkut kedua kelompok pandangan terhadap aplikasi biochar
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Keduanya memiliki pandangan yang sama tentang tingkat riset dan pengembangan biochar masih
tergolong dini, sehingga tidak cukup untuk membangun sebuah formulasi kebijakan untuk skala
luas.
2. Kelompok yang Kontra biochar kurang menyadari bahwa perkembangan riset biochar dalam
lima tahun terakhir telah cukup maju dan bukti-bukti tentang peran biochar dalam memacu
pertumbuhan tanaman telah muali banyak diperoleh.
3. Secara teori sifat fisiko-kimia biochar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap tanaman,
karena perannya dalam imobilisasi hara yang kemudian akan dapat diambil akar dan kapasitas
menahan air yang lebih baik.
4. Perlunya standar mutu biochar untuk menjamin manfaat yang akan dinikmati oleh pengguna di
berbagai bidang aplikasi, khususnya di bidang pertanian.
REFERENSI
Carter, S., S. Shackley, S. P. Soji, B. S. Tan & S. Haefele. 2013. The impact of biochar application on soil properties
and plant gowth of pot grown lettuce (Lactuca sativa) and cabbage (Brassica chinensis). Agron., 3:404-418.
Clarke, K. 2001. Alternatives Reductants of Silicon Smelting. Investigation Report CET/IR289, SCIRO, Sydney,
Australia.
FAO. 1983. Simple technology for charcoal making. FAO Forestry Paper 41. FAO, Rome, Italy.
190
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Fitzer, E., K-H. Kochling, H. P. Boem & H. Marsh. 1995. Recommended terminology for the description of carbon
as a solid. Pure Appl. Chem., 67:473-506
Joseph, S., C. Peacocke, J. Lehmann & P. Munroe. 2009. Developing a biochar classification and test methods. In:
Biochar for Environmental Management. J. Lehmaan & S. Joseph (eds). p.:107-126. Earthscan Pub. Co.
London, UK.
Lehmann, J. & S. Joseph. 2010. Biochar for Environmental Management. 2nd Ed. Earthscan Pub. Co. London,
UK. 416pp.
Prendergast-Miller, M. T., M. Duvall & S. P. Sohi.. 2014. Biochar-root interactions are mediated by biochar nutrient
content and impacts on soil nutrient availability. Eu. J. Soil Sci., 65:173-185.
Santi, L. P. & D. H. Goenadi. 2012. The use of bio-char originated from palm kernel shell as a carrier of aggregate
stabilizing microbes. Pros Seminar Nasional Biochar, Malang 26-27 Juni 2012
Verheijen, F., S. Jeffery, A.C. Bastos, M. van der Velde, I. Diafas. 2010. Biochar Application to Soils: A Critical
Scientific Review of Effects on Soil Properties, Processes and Function. European Commission, Joint
Research Centre Institute for Environment and Sustainability. 166pp.
Zagal, E., C. Cordova, S. P. Soji & D. S. Powlson. 2013. Free and intra-aggregate organic matter as indicators of
soil quality change in volcanic soils under contrasting crop rotations. Soil Use & Manag., 29:531-539.
[akhir dokumen]
191
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRAK
Luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non pertanian rata-rata 200.000 hektar setiap tahun. Upaya yang
telah dilakukan dengan pembukaan sawah baru yang luasannya telah mencapai 17.000 hektar di Kalimantan Barat. Namun
demikian masih banyak kendala dan masalah antara lain produktivitas lahan yang masih rendah. Tujuan penelitian untuk
mengkaji pengelolaan drainase dan pemberian arang hayati terhadap produktivitas tanaman padi di lahan sawah pasang surut
bukaan baru. Metoda yang digunakan berupa percobaan lapang di lahan sawah pasang surut bukaan baru dengan Rancangan
Acak Kelompok diulang 5 kali. Perlakuan yang dicobakan adalah pengelolaan drainase dengan cara pengeringan lahan sawah
selama 1 minggu dan penggenangan 1 minggu, pengeringan 1 minggu dan penggenangan 2 minggu, dan pemberian arang hayati
5 t ha-1 yang dibandingkan dengan cara petani atau anjuran setempat. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaan drainase
dengan cara pengeringan 1 minggu dan penggenangan 1 minggu dan pemberian arang hayati 5 t ha-1 pada lahan sawah pasang
surut bukaan baru dapat meningkatkan hasil gabah kering giling (GKG) sebesar 237 % atau dari 1,4 t ha-1 menjadi 4,7 t ha-1
GKG dan dapat menurunkan kadar Fe sebesar 50 % atau dari 384 ppm menjadi 192 ppm.
Kata Kunci : pasang surut, bukaan baru, unsur beracun, drainase, arang hayati, produktivitas, padi
PENDAHULUAN
Program swasembada beras dan pemantapan ketahanan pangan nasional terus dilakukan pemerintah
melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi tanaman padi di Pulau Jawa cukup berhasil dengan
adanya surplus beras 4,5 – 5 juta t pada tahun 2012, dan pemerintah telah mencanangkan pertumbuhan produksi
padi meningkat sebesar 5,22% per tahun (Perrmentan, 2011). Namun demikian kebutuhan beras nasional akan terus
meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin sempitnya lahan sawah karena telah beralih fungsi
menjadi lahan non pertanian. Badan Pusat Statistik (2015) melaporkan berdasarkan data Susenas tahun 2015, jumlah
penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 1,49 persen per tahun. Sementara itu luas
lahan pertanian yang beralih fungsi ke non-pertanian rata-rata 200.000 hektar per tahun. Kondisi demikian program
peningkatan produksi beras nasional menjadi sangat penting guna mendukung pencapaian swasembada beras yang
berkelanjutan dan pemantapan ketahanan pangan nasional. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk
mencapai target produksi atau peningkatan produksi padi 5,22% per tahun tersebut adalah dengan perluasan areal
(ekstensifikasi). Program ekstensifikasi dilakukan dengan pembukaan persawahan baru di luar Pulau Jawa antara
lain di Kalimantan Barat. Perluasan areal tanaman padi di Kalimantan Barat melalui pencetakan sawah baru telah
dilakukan di beberapa kabupaten dan luasannya telah mencapai 17.000 hektar (Ditjen PSP, 2012). Tahun 2016 telah
diprogramkan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Kalimantan Barat untuk mencetak sawah baru seluas
15.000 ha (Dinas TPH Provinsi Kalimantan Barat, 2015).
Perluasan lahan sawah baru untuk tanaman pangan terutama di lahan sawah pasang surut masih banyak
mengalami kendala dan masalah terutama produktivitas lahan yang masih rendah. Hal ini disebabkan adanya
konsentrasi unsur beracun di dalam tanah seperti Fe, Al, dan Mn, serta kahat akan unsur hara P, K, Ca, Mg, dan Zn.
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produktivitas lahan sawah pasang surut bukaan baru di
Kalimantan Barat adalah meningkatkan produktivitas lahannya dengan melakukan pengelolaan drainase dan hara
secara spesifik lokasi. Oleh karena itu penerapan teknologi spesifik lokasi yang berdasarkan kondisi dan karakteristik
lahan setempat, merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Upaya yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan peningkatan produktivitas tanaman padi di lahan sawah pasang surut bukaan
baru antara lain dengan pengelolaan drainase. Pengelolaan drainase ini dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi
kelarutan Fe2+ dan unsur-unsur beracun lainnya melalui proses perlindian. Sedangkan pemberian arang hayati
192
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
(biocharcoal) dimaksudkan untuk mengelola kesimbangan unsur hara dalam tanah sehingga dapat meningkatkan
kesuburan tanah.
Arang hayati (biochar) mampu meningkatkan retensi hara dalam tanah. Penggunaan arang hayati sebagai
penyubur tanah sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat tani di Kalimantan Barat, sering
masyarakat tani di Kalimantan Barat menyebutnya dengan tanah hitam/tanah bakar. Tanah hitam tersebut ternyata
disebabkan kandungan karbon hitam (biochar) dan sebagai sumber bahan organik tanah dan mepunyai retensi hara
yang tinggi. Karbon hitam tersebut berasal dari pembakaran tak sempurna biomassa karbon. Biomassa tersebut bisa
berasal dari kayu dapur atau mungkin juga dari pembakaran oleh penduduk di lahan. Menurut Lehmann dan
Rondon (2006) bahwa residu dari prosesing biji-bijian seperti sekam padi dan residu usaha perkayuan seperti serbuk
gergaji dapat digunakan untuk membuat arang hayati.
Arang hayati dapat menambah retensi air dan hara tanah dan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur hara
dalam tanah. Dilaporkan oleh Gani (2014) bahwa efek peningkatan kandungan karbon dalam tanah lebih permanen
pada penambahan biochar dibanding penambahan bentuk-bentuk bahan organik atau pemupukan lainnya.
Karakteristik fisiko – kimia dan pori – pori mikro pada arang hayati dapat meningkatkan penyimpanan maupun
pergantian nutrisi yang dibutuhkan tanaman sehingga dapat berpengaruh terhadap pengurangan kebutuhan pupuk
dan meningkatkan hasil panen. Selanjutnya dilaporkan bahwa biochar juga mempunyai beberapa efek positif dalam
kehidupan mikroba di dalam tanah, dan memainkan peran penting dalam menahan kelembaban. Hasil penelitian
Nisa (2010) menunjukkan bahwa tanah yang diberikan perlakuan biochar 10 t ha-1 dapat menaikkan nilai pH tanah
dari 6,78 menjadi 7,40 atau naik 9,14%. Hasil penelitian yang dilakukan Mawardiana, et al. (2013) melaporkan
bahwa pemberian residu biochar 10 t ha-1 arang hayati dapat menghasilkan padi rata-rata 6,07 t ha-1.
Tujuan peneitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh pengelolaan drainase dengan cara pengeringan dan
penggenangan pada petak sawah dan pemberian arang hayati terhadap peningkatan produktivitas padi di lahan
sawah pasang surut bukaan baru. Harapan yang diinginkan dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi pilihan
petani dan pengguna lainnya dalam pengelolaan lahan sawah pasang surut bukaan baru untuk usahatani tanaman
padi. Hasil penelitian juga dapat sebagai pilihan untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam
upaya optimalisasi lahan sawah pasang surut bukaan baru.
193
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
95,0
89,8
90,0
85,0
T0 T1 T2 T3 T4
Gambar 1. Rata – rata tinggi tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, T3 dan T4 di
lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah, Kab. Mempawah
Panjang Malai
Hasil pengamatan panjang malai pada tanaman padi masing – masing perlakuan T0, T1, T2, T3 dan T4
tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pengelolaan drainase dan pemberian arang
hayati pada sawah pasang surut bukaan baru tidak berpengaruh terhadap panjang malai pada tanaman padi.
Gambar 2. Rata – rata panjang malai tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, T3 dan T4
di lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah, Kab. Mempawah
194
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
30,0 27,8
25,4
25,0 22,0
18,6
20,0
14,7
15,0
10,0
5,0
0,0
T0 T1 T2 T3 T4
Gambar 3. Rata – rata berat gabah per rumpun tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
T3 dan T4 di lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah. Kab.
Mempawah.
Gambar 4. Rata – rata berat gabah 1000 butir tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
T3 dan T4 di lahan sawah pasang surut bukaan baru Desa Sei Nipah. Kab.
Mempawah
195
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Gambar 5. Rata – rata hasil gabah kering panen tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
T3 dan T4 di lahan sawah bukaan baru Desa Sei Nipah. Kab. Mempawah
Gambar 6. Rata – rata hasil gabah kering giling (Kadar Air 14%) tanaman padi perlakuan
T0 , T1, T2, T3 dan T4 di lahan sawah pasang surut bukaan baru desa Sei
Nipah. Kab. Mempawah.
Tabel 1. Beda nilai tengah Duncan’s Multiple Range Test taraf kepercayaan 5 % pada tinggi tanaman
padi, panjang malai, berat gabah per rumpun, berat gabah 1000 butir, gabah kering panen
dan kering giling (Kadar Air 14%) (Gomez, K,A. and A.A. Gomez. 1995)
Perlakuan*) Tinggi Panjang Berat Berat Gabah Gabah
Tanaman malai Gabah per Gabah kering kering
rumpun 1000 butir panen KA 14%
(cm) (cm) (gram) (gram) (t ha-1) (t ha-1)
T0: tanpa pengelolaan 89.84 a 16.80 a 14.74 a 12.26 a 1.66 a 1.40 a
drainase dan tanpa arang
hayati
T1: pengeringan 1 minggu 98.04 b 22.25 a 22.00 b 19.98 b 3.54 b 2.96 b
dan penggenangan 1
196
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
minggu
T2: pengeringan 1 minggu 97.48 b 21.07 a 18.60 c 16.02 c 2.68 c 2.25 c
dan penggenangan 2
minggu
T3: pengeringan 1 minggu 99.40 b 22.91 a 27.84 d 25.40 d 5.64 d 4.72 d
dan penggenangan 1
minggu + arang hayati
5 t ha-1
T4: pengeringan 1 minggu 97.92 b 22.84 a 25.38 e 23.84 e 4.74 e 3.97 e
dan penggenangan 2
minggu + arang hayati
5 t ha-1
*)Angka dalam kolom yang sama diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata
pada uji DMRT taraf 5%.
Hasil analisis beda nilai tengah (Tabel 1) menunjukkan bahwa perlakuan T0 dimana petak
sawah bukaan baru tidak diperlakuan pengelolaan drainase dan tanpa pemberian arang hayati (sesuai
kebiasaan petani setempat) menunjukkan hasil gabah yang paling rendah (1,40 t ha -1 GKG) dan
berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. perlakuan T1 dan T3 dengan pengeringan selama 1 minggu
dan penggenangan 1 minggu dari mulai saat tanam sampai dengan 30 hari sebelum panen,
memberikan peningkatan hasil padi yang nyata, apabila dibandingkan dengan perlakuan pengeringan
selama 1 minggu dan penggenangan 2 minggu (T2 dan T4). Perlakuan T1 hasil gabahnya lebih baik
dari pada T2 dimana masing – masing perlakuan tidak diberikan arang hayati (2,96 t ha-1 > 2,25 t ha-1
GKG), dan T3 lebih baik dari pada T4 dimana masing – masing perlakuan ditambahkan arang hayati
5 t ha-1 (4,72 t ha-1 > 3,97 t ha-1 GKG). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan drainase dengan
melakukan pelindian dan penggenangan di lahan sawah pasang surut bukaan baru yang frekuensinya
lebih sering (T1 dan T3) yaitu 7 kali pengeringan dan 6 kali penggenangan dalam satu musim tanam
padi, lebih efektif dalam melindi unsur hara yang bersifat meracuni tanaman padi dibandingkan
dengan yang frekuensi pengeringan dan penggenangan yang agak jarang (T2 dan T4) yaitu 5 kali
pengeringan dan 4 kali penggenangan dalam satu masim tanam padi. Hal ini terbukti dari hasil
pengukuran kadar Fe2+ pada masing – masing perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan T1 dan T3
menghasilkan kadar Fe2+ yang menurun yaitu 307 ppm dan 192 ppm (Gambar 7).
Menurunnya konsentrasi Fe tersedia pada perlakuan (T1 dan T3) pengeringan 1 minggu
dan penggenangan 1 minggu karena pada saat tanah dikeringkan keadaan tanah menjadi oksidatif
sehingga fero (Fe2+) dioksidasi menjadi ferri (Fe3+). Di samping itu, dengan pengairan terputus tidak
terjadi akumulasi ferro, karena yang terbentuk pada saat penggenangan ikut terbuang bersamaan
dengan air pengairan pada saat dilakukan pengeringan. Dengan demikian kandungan kadar Fe2+ yang
paling rendah di dalam petak percobaan tersebut pertumbuhan padi menjadi yang paling baik
sehingga produktivitasnya paling tinggi.
197
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Fe (ppm)
500
384
400
307 321
279
300
192
200
100
0
T0 T1 T2 T3 T4
Gambar 7. Rata – rata hasil kadar unsur Fe pada tanaman padi dengan perlakuan T0 ,
T1, T2, T3 dan T4 di lahan sawah bukaan baru Desa Sei Nipah.
Menurut Bremen dan Moorman (1978) konsentrasi besi terlarut di tanah yang menjadi batas
kritis keracunan adalah 300 sampai 500 ppm Fe2+. Sedangkan menurut Tanaka et al. (1970) sebesar
100 sampai 300 ppm Fe2+. Penggenangan pada tanah sawah bukaan baru menyebabkan terjadinya
reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+). Pada kondisi ini kadar Fe2+ pada tanaman padi bisa
lebih 300 ppm yang merupakan batas kritis keracunan besi pada tanaman padi (Yusuf et al., 1990).
Selanjutnya Yusuf (1992) melaporkan bahwa pada sawah bukaan baru yang digenangi secara
kontinyu konsentrasi Fe2+ meningkat sejak awal penggenangan hingga minggu ke-12 dan stabil pada
minggu ke-14. Menurut Zaini et al., (1997) melaporkan bahwa sistem pengairan terputus dapat
mengendalikan keracunan besi pada lahan sawah bukaan baru. Pengairan terputus dengan melakukan
pengeringan 1 minggu dan penggenangan 1 – 2 minggu mulai saat tanam sampai 30 hari sebelum
panen dapat meningkatkan hasil padi antara 37 – 51 % dibanding dengan penggenangan terus
menerus. Pada kondisi tertentu pengaruh sistem drainase lebih dominan untuk menurunkan
konsentrasi besi dalam tanah, kemudian dapat diikuti dengan penambahan bahan amalioran seperti
arang hayati.
Penambahan amelioran berupa arang hayati pada perlakuan T3 dan T4 juga dapat menambah
tingkat kesuburan tanahnya. Peningkatan hasil gabah pada T3 dan T4 tersebut disebabkan disamping
pengelolaan drainase juga disebabkan pemberian arang hayati yang diduga dapat meningkatkan
konsentrasi hara N, P, K dan Ca dan menurunkan Fe dalam tanah. Oleh karena itu pada perlakuan T3
dapat menghasilkan gabah yang paling tinggi. Arang hayati merupakan suatu bahan amelioran yang
mengandung Carbon (C) tinggi yaitu 85 - 95 % dan memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang
tinggi sehingga mampu mengikat kation-kation tanah yang dapat bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman padi. Arang hayati dapat memperbaiki sifat kimia dan hayati tanah, efektif dalam
meningkatkan sifat fisik tanah seperti agregat tanah dan kemampuan tanah mengikat air. Arang hayati
juga mempunyai pori-pori yang banyak karena luas permukaan yang besar sehingga memiliki daya
ikat air yang tinggi dan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan. Asai et al.(2009) melaporkan
bahwa pemberian arang hayati sebesar 16 ton ha-1 meningkatkan konduktifitas hidrolik tanah lapisan
atas. Pada tanah dengan ketersediaan P yang rendah arang hayati dapat meningkatkan hasil gabah.
Disamping itu respon terhadap pemupukan N meningkat, sehingga disimpulkan bahwa arang hayati
berpotensi untuk memperbaiki produktifitas tanah dan padi di Laos, namun efek dari arang hayati
tersebut tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan pengelolaan pemupukan.
Pada tanah berliat, arang hayati dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan
mempertinggi kemampuan pengikatan air tanah, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas
mikroorganisme tanah. Penggunaan arang hayati dilahan sawah dapat meningkatkan jumlah bakteri
fiksasi nitrogen (Azotobacter) di dalam tanah terutama di sekitar akar tanaman pangan (Badan Litbang
Pertanian, 2011).
198
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Saran
Penelitian ini dilakukan pada musim tanam gadu (kemarau), sehingga untuk mengetahui
pengaruh drainase dan konsentrasi Fe pada dua musim tanam, perlu dilakukan penelitian yang
sama pada musim rendengan (penghujan).
REFERENSI
Asai,H., B.K. Samson, H. M. Stephan, K. Songyikhangsuthor, K. Homma, Y. Kiyono, Y. Inoue, T.
Syiraiwa, & T. Horie. 2009. Biochar amandemen tecnigues for upland rice production in
Northern Laos: 1. Soil physical properties, leaf SPAD and grain yield. Field Crops Research
Volume 111 (1-2): 81-84.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Edisi 6-12 April
2011. No. 3400.
Bremen, V. N. and F.R. Moorman. 1978. Iron Toxic Soils. In: IRRI. 1978. Soils and Rice . Int.
Rice Res. Ist., Los Banos, The Philippines.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortiultura Kalbar. 2016. Laporan Tahunan 2015. Dinas
Pertanian Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortiultura Kalbar. Kalimantan Barat. 125 p.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Perluasan Areal Tanaman
Pangan : Cetak Sawah Tahun 2012. Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan. Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 76 p.
Gani, A. 2009. Iptek Tanaman Pangan (ISSN 1907-4263) Vol.4 No.1, Juli 2009. p. 33-48.
Gomez, K,A. and A. A. Gomez. 1995. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second
Edition. John Willey and Sons, New York.
Yusuf, A., S. Djakamihardja, G. Satari, dan S. Djakasutami. 1990. Pengaruh pH dan Eh terhadap
kelarutan Fe, Al dan Mn pada lahan sawah bukaan baru jenis Oxisol Sitiung. hlm. 237-269
dalam Prosiding Pengelolaan Sawah Bukaan Baru Menunjang Swasembada Pangan dan
Program Transmigrasi: Prospek dan Masalah. Padang, 17-18 September 1990. Fakultas
Pertanian Universitas Ekasakti dan Balai Penelitian Tanaman Pangan, Sukarami.
Yusuf, A. 1992. Pengaruh Redoks Potensial dan pH terhadap Ketersediaan Fe, Al, dan Mn pada
Tanah Sawah Bukaan Baru jenis Oxisols di Daerah Transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat.
Desertasi Universitas Padjadjaran Bandung. 223 hlm
199
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Lehmann, J. and M. Rondon. 2006. Biochar soil management on highly weathered soils in the humid
tropics. p: 517-530 In Biological Approaches to Sustainable Soil Systems (Norman Uphoff et
al Eds.). Taylor & Francis Group PO Box 409267Atlanta, GA30384-9267.
Mawardiana, Sufardi, dan Edi Husen, 2013. Pengaruh Residu Biochard dan Pemupukan NPK
Terhadap Dinamika Nitrogen. Jurnal Manajemen Sumber Daya Lahan. Volume 2, Nomor 3,
Juni 2013: hal. 255-260.
Nisa, K. 2010. Pengaruh Pemupukan NPK Dan Biochar Terhadap Sifat Kimia tanah, serapan Hara,
Dan Hasil Tanaman Padi sawah. Thesis. Universitas Syiah kuala. Banda Aceh.
Perrmentan, 2011. Tata Hubungan Kerja Antar Kelembagaan Teknis, Penelitian dan Pengembangan,
dan Penyuluhan Pertanian Dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN).
Kementerian Pertanian.
Tanaka, A. and S.Yoshida. 1970. Nutritional disorders of the rice plant in Asia. Tech. Bul. 10.The
International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.
Zaini Z. Burbey N. Jalid dan A. Kaher. 1987. Teknologi Pengendalian Keracunan Besi pada Sawah
Bukaan Baru. Balitan Sukarami. 16 – 21 p.
200
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Sutikarini
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan dosis terbaik dari busukan ikan terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman kedelai pada tanah alluvial. Penelitian dilaksanakan di kebun penelitian yang beralamat di Jalan Perintis No.21
Kelurahan Akcaya Kecamatan Pontianak Selatan selama 5 bulan yaitu dari bulan Juli sampai dengan Desember 2015.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen lapangan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor
tunggal yaitu busukan ikan yang terdiri dari 6 taraf perlakuan. Masing-masing taraf perlakuan diulang sebanyak 4 kali, dan
setiap perlakuan terdiri dari 3 sampel tanaman, sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 72 tanaman. Perlakuan busukan ikan yang
diberikan adalah b0 (tanpa busukan ikan), b1 (132 gram/polybag), b2 (264 gram/polybag), b3 (396 gram/polybag), b4 (528
gram/polybag), dan b5 (660 gram/polybag). Variabel pengamatan terdiri dari jumlah bintil akar (butir), volume akar (cm3), bobot
kering tanaman (g), jumlah polong isi (butir), bobot biji per tanaman (g) dan bobot 100 butir biji kering (g).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan busukan ikan berpengaruh tidak nyata terhadap volume akar, dan
berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman, jumlah polong isi, bobot biji per tanaman dan bobot 100 butir biji kering,
sedangkan bintil akar tidak terbentuk. Pemberian busukan ikan dengan dosis 528 g/polybag dalam penelitian ini memberikan
hasil terbaik.
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L. Merill) merupakan salah satu komoditas pertanian tanaman pangan
yang memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan diantaranya adalah sebagai bahan
pangan bagi manusia, bahan pakan ternak, bahan baku industri dan bahan minuman. Pada tatanan
perdagangan pasar internasional, kedelai merupakan komoditas ekspor berupa minyak nabati di
berbagai negara di dunia. Kedelai diminati oleh masyarakat luas karena di dalam biji kedelai
terkandung gizi yang tinggi, terutama kadar protein nabati yaitu lebih dari 40% dan kadar lemak 10-
15 %.
Kebutuhan kedelai akan semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan pertambahan
penduduk, perbaikan pendapatan per kapita, dan berkembangnya pabrik pakan ternak serta
meningkatnya kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi. Meningkatnya permintaan akan komoditi
kedelai ini belum mampu diimbangi oleh produksi yang dihasilkan di dalam negeri sehingga perlu
dilakukan impor kedelai. Hal tersebut terjadi karena produksi kedelai di Indonesia masih rendah.
Rendahnya produksi kedelai yang dicapai selama ini memerlukan tindakan yang tepat dan
efektif dalam mengatasinya agar sesuai dengan sasaran sehingga mendapatkan hasil yang optimal.
Tanah merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam budidaya kedelai. Kedelai dapat
ditanam pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerase yang baik.
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah alluvial dimana secara umum
permasalahan yang sering muncul adalah pada sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang kurang baik.
Berdasarkan hasil analisis tanah alluvial yang digunakan dalam penelitian menunjukkan C-organik
cukup tinggi namun belum mencukupi kebutuhan kedelai, pH tanah dan kandungan hara juga
tergolong masih rendah sehingga tanah tersebut masih perlu dilakukan perbaikan-perbaikan seperti
penambahan bahan organik.
Penambahan bahan organik ke dalam tanah diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia
maupun biologi tanah agar pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai menjadi optimal. Salah satu
sumber bahan organik yang dapat digunakan adalah busukan ikan. Berdasarkan Hasil analisis di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak
menunjukkan bahwa busukan ikan memiliki kandungan C-organik yang cukup tinggi yaitu mencapai
33,64% dengan C/N rasio 11,64 sehingga diharapkan mampu memperbaiki sifat tanah baik secara
fisik, kimia maupun biologinya.
201
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Pemberian busukan ikan memerlukan dosis yang tepat dalam pemakaiannya, karena bila
dosis yang diberikan terlalu rendah maka akan menyebabkan kurangnya daya hasil tanaman dan bila
pemberiannya dengan dosis yang terlalu tinggi maka akan menjadi tidak efisien. Oleh karena itu,
perlu dicari dosis optimal agar penggunaannya lebih efisien dan mendapatkan hasil yang terbaik.
Tujuan penelitan adalah untuk mengetahui pengaruh dan dosis terbaik dari busukan ikan terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah alluvial.
METODE PENELITIAN
2. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi arit, cangkul, ayakan tanah, palu,
gergaji, pisau tajam, hand sprayer, gembor, sekop, timbangan, termometer, higrometer, oven, ember,
alat tulis menulis, peralatan dokumentasi, dan alat-alat lain yang diperlukan.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang terdiri dari 6 taraf perlakuan dan 4 ulangan, setiap perlakuan terdiri dari 3 sampel tanaman.
Perlakuan yang dimaksud adalah :
b0 = tanpa busukan ikan / polybag
b1 = 132 g busukan ikan / polybag
b2 = 264 g busukan ikan / polybag
202
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
D. Pengamatan
1. Jumlah bintil akar (butir )
Perhitungan jumlah bintil akar tanaman dilakukan pada fase vegetatif maksimum yaitu pada
saat 60 % populasi tanaman sudah mengeluarkan bunga yaitu saat tanaman berumur 39 hari setelah
tanam, dimana setiap perlakuan diambil satu tanaman.
2. Volume akar (cm3)
Pengukuran volume akar dilakukan pada fase vegetatif maksimum. Volume akar diukur
dengan menggunakan metode penggantian volume (displacement), yaitu gelas ukur diisi dengan air
sampai volume tertentu kemudian akar yang telah dibersihkan dan dikeringanginkan dimasukkan ke
dalam gelas ukur tersebut. Penambahan volume yang terjadi merupakan volume dari akar yang
diamati. Dilakukan pada satu tanaman tiap perlakuan saat vegetatif maksimum dengan umur 39 hari
setelah tanam.
3. Bobot Kering Tanaman (g)
Perhitungan bobot kering tanaman dilakukan pada fase vegetatif maksimum yaitu pada saat
60 % populasi tanaman sudah mengeluarkan bunga yaitu saat tanaman berumur 39 hari setelah
tanam, dimana setiap perlakuan diambil satu tanaman.
4. Jumlah polong isi (butir)
Jumlah polong isi dihitung pada akhir penelitian yang diambil dari setiap tanaman perlakuan.
Polong yang dianggap berisi adalah apabila polong tersebut berisikan satu atau lebih, sedangkan
polong hampa tidak dihitung.
5. Bobot biji kering per tanaman (g)
Perhitungan bobot biji kering per tanaman dilakukan pada akhir penelitian yaitu dengan
menimbang semua biji kering yang dihasilkan tiap tanaman dalam setiap perlakuan.
6. Bobot 100 butir biji kering (g)
Bobot 100 butir biji kering diukur dengan menimbang 100 biji kering yang diambil secara
acak dalam setiap ulangan per perlakuan, kemudian ditimbang menggunakan timbangan elektrik.
Selain pengamatan terhadap variabel pertumbuhan dan hasil, juga dilakukan pengamatan
terhadap kondisi lingkungan penelitian, yaitu :
1. Suhu dan kelembaban udara
Suhu dan kelembaban udara diukur setiap hari dengan menggunakan termometer dan
higrometer yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB, siang hari pukul 12.00 WIB dan sore hari pukul
17.00 WIB.
2 xSuhupagi SuhuSiang SuhuSore
Suhu
4
2 xKelembaba nPagi Kelembeban Siang Kelembaban Sore
Kelembaban
4
2. Curah hujan
Curah hujan diukur setiap hari dengan menggunakan aplikasi sederhana yaitu wadah untuk
menampung air yang diatasnya diberi corong dengan diameter mulut corong 13,3 cm. Perhitungan
curah hujan dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
CH = Volume air yang tertampung
Luas mulut corong
E. Analisis Statistik
Model matematika untuk metode eksperimen lapangan dengan satu faktor dalam
Rancangan Acak Lengkap (RAL) menurut Gaspersz (1991:35) adalah sebagai berikut :
203
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Yij =µ + Ơi + ∑ij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan
µ = nilai tengah populasi
Ơi = pengaruh aditif dari perlakuan busukan ikan ke-i
∑ij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan busukan ikan ke-i pada pengamatan ke-j
Tabel .1. Analisis Keragaman Rancangan Acak Lengkap
Sumber
Derajat Jumlah Kuadarat
Keragam F Hitung F Tabel
Bebas Kuadrat Tengah
an
Perlakuan t–1 JKP KTP KTP/KTG
Galat t(r - 1) JKG KTG
Total t.r–1 JKT
Sumber : Gaspersz (1991 : 39).
Setelah didapat F hitung, maka hasilnya dibandingkan dengan F tabel taraf 0,05 sehingga
jika :
1. F hitung ≤ F tabel 0,05 maka perlakuan berpengaruh tidak nyata
2. F hitung > F tabel 0,05 maka perlakuan berpengaruh nyata
Untuk mengukur keragaman dari hasil penelitian dilakukan perhitungan koefisien keragaman
(KK) yang dinyatakan dalam % dengan rumus :
KK = √KTG x 100%
x
Dimana x : = rerata data
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan mana yang menunjukkan
perbedaan nyata dari perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 0,05
dengan rumus :
BNJ 5% = Q 5% x KTG / r
Dimana : Q = Nilai yang dipakai dalam tabel Q 0,05%
db = Derajat Bebas
KTG = kuadrat tengah galat
r = jumlah ulangan
204
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Tabel 5.Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Bobot Kering Tanaman Kedelai (gram)
Perlakuan(busukan ikan) Rata-rata Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan/polybag) 2.65 a
b1 (132 g /polybag) 3.55 ab
b2 (264 g /polybag) 3.73 ab
b3 (396 g /polybag) 3.78 ab
b5 (660 g /polybag) 4.38 ab
b4 (528 g /polybag) 5.90 b
BNJ 5% = 2,87
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
205
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Hasil analisis keragaman pengaruh busukan ikan terhadap jumlah polong isi tanaman kedelai
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Keragaman Busukan Ikan Terhadap Jumlan Polong Isi per Tanaman.
SK DB JK KT F Hit F Tabel 5%
Perlakuan 5 1354.83 270.97 3.24* 2.77
Galat 18 1507.63 83.76
Total 23 2862.46
KK = 17,34%
Keterangan : * = berpengaruh nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
jumlah polong isi per tanaman. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian
dosis busukan ikan, dilakukan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 7. Uji BNJ pada
tabel 7 menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0, sedangkan antar perlakuan
lainnya berbeda tidak nyata.
Tabel 7. Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Jumlah Polong Isi Tanaman Kedelai (butir)
Perlakuan (busukan ikan) Rata-rata Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan/polybag) 41.13 a
b1 (132 g /polybag) 47.88 ab
b2 (264 g /polybag) 48.63 ab
b3 (396 g /polybag) 57.88 ab
b5 (660 g /polybag) 58.13 ab
b4 ( 528 g /polybag) 63.13 b
BNJ 5% = 20,54
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak
nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Tabel 8. Analisis Keragaman Busukan Ikan Terhadap Bobot Biji Kering per Tanaman
SK DB JK KT F Hit F Tabel 5%
Perlakuan 5 169.40 33.88 3.38* 2.77
Galat 18 180.27 10.02
Total 23 349.67
KK = 16,08%
Keterangan : * = berpengaruh nyata
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
bobot biji kering per tanaman. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian dosis
busukan ikan, dilakukan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 9. Uji BNJ pada tabel 9
menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0, sedangkan antar perlakuan lainnya
berbeda tidak nyata.
Tabel 9. Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Bobot Biji Kering per Tanaman (gram)
206
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Berdasarkan hasil analisis keragaman, perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata terhadap
bobot 100 butir biji kering. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar taraf pemberian dosis
busukan ikan dilakukan uji BNJ yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 11. Uji BNJ pada tabel 11
menunjukkan bahwa perlakuan b4 berbeda nyata terhadap b0 b1, b2, dan b5, sedangkan pada
perlakuan b3 berbeda tidak nyata terhadap b4. Pada perlakuan b0 berbeda tidak nyata terhadap b1,
b2, b3 dan b5.
Tabel 11. Uji BNJ Pengaruh Busukan Ikan Terhadap Bobot 100 Butir Biji Kering (gram)
Perlakuan (busukan ikan) Rata-rata Notasi BNJ0,05
b0 (tanpa busukan ikan/polybag) 15.83 a
b1 (132 g /polybag) 15.90 a
b2 (264 g /polybag) 16.07 a
b5 (396 g /polybag) 16.14 a
b3 (528 g /polybag) 16.62 ab
b4 ( 660 g /polybag) 18.14 b
BNJ 5% = 1,69
Keterangan = angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda
tidak nyata pada taraf uji BNJ 5%
Sumber : Hasil Analisa Data, 2009
B. Pembahasan
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dilakukan dua tahap yaitu pada fase
pertumbuhan vegetatif saat tanaman berumur 39 hari setelah tanam dan fase generatif saat tanaman
berumur 96 hari setelah tanam. Variabel pengamatan pada fase vegetatif adalah jumlah bintil akar,
volume akar dan bobot kering tanaman, sedangkan variabel pengamatan pada fase generatif adalah
jumlah polong isi, bobot biji kering per tanaman dan bobot 100 biji kering.
Hasil pengamatan pada fase vegetatif terhadap jumlah bintil akar menunjukkan pada
perlakuan b0 (tanpa busukan ikan), bintil akar terbentuk namun tidak efektif dan pada perlakuan
yang lainnya bintil akar tidak terbentuk sama sekali. Bintil akar yang efektif dapat dilihat dengan
207
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
cara membelah bintil akar untuk melihat warna pada bagian tengahnya. Jika bagian tengah bintil
akar berwarna merah maka dapat dikatakan aktif sedangkan pada pengamatan yang dilakukan,
bagian tengah bintil akar berupa cairan yang berwarna coklat muda.
Bintil akar pada tanaman kedelai tidak terbentuk dengan efektif. Hal ini menunjukkan
ketidakserasian pada proses pembentukan bintil akar. Pembentukan bintil akar dipengaruhi oleh
beberapa faktor baik dari varietas tanaman kedelai itu sendiri, strain Rhizobium maupun dari
lingkungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ratna, Nurul dan Lilik (2015)
menunjukkan bahwa penggunaan rhizobium dan penambahan mulsa organik jerami padi
berpengaruh nyata terhadap bintil akar. Varietas tanaman kedelai sangat mempengaruhi dalam
pembentukkan bintil akar. Menurut Yutono (1993:218), pada kedelai terdapat galur-galur yang
berbakat tidak berbintil akar dan keserasian hubungan antara strain Rhizobium dan varietas kedelai
yang berbintil akar menentukan efektivitas fiksasi N2.
Diduga faktor lain yang mempengaruhi pembentukkan bintil akar adalah kondisi tanah baik
sifat fisik, kimia maupun biologinya. Penambahan busukan ikan yang digunakan sebagai sumber
bahan organik pada tanah akan mengubah komposisi dan aktivitas yang ada di dalamnya.
Penambahan busukan ikan dalam bentuk pasta pada tanah perlakuan b1, b2, b3, b4 dan b5
mengakibatkan terjadinya penggumpalan–penggumpalan. Kondisi ini bertambah buruk akibat curah
hujan pada awal penanaman hingga tanaman berumur 39 hari mencapai 244,88 mm yang telah
melebihi kondisi optimal yang dibutuhkan tanaman kedelai yaitu 100- 200 mm mengakibatkan
struktur tanah menjadi teguh dan konsistensinya lebih lekat. Pada perlakuan b0 sifat fisik tanahnya
juga jelek, meskipun tanpa penambahan busukan ikan. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang
cukup tinggi mengakibatkan struktur tanah menjadi teguh karena tekstur tanah alluvial yang
digunakan didominasi oleh debu mencapai 90,34%.
Curah hujan yang cukup tinggi juga akan mempengaruhi sifat biologi tanah karena
kandungan air tanah akan meningkat sehingga kelembaban tanah menjadi tidak optimal dan dapat
menghambat bakteri untuk melakukan proses fisiologi dalam tubuhnya sehingga bakteri tidak dapat
berkembangbiak membentuk bintil akar. Kondisi tanah yang cukup banyak mengandung air dapat
juga berpengaruh pada penurunan pH tanah, menghambat proses dekomposisi bahan organik dalam
tanah dan aerasi tanah menjadi kurang baik sehingga pembentukkan akar terhambat mengakibatkan
bintil akar juga terhambat.
Pembentukkan bintil akar juga dipengaruhi kandungan N karena bila nitrogen terlalu banyak
akan menekan jumlah dan ukuran bintil. Diduga kandungan N dalam tanah cukup banyak akibat
penggunaan busukan ikan dan penambahan urea sebagai pupuk dasar. Selain itu, berdasarkan hasil
analisis tanah alluvial yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan kandungan N cukup tinggi
mencapai 0,61%.
Hasil analisis keragaman perlakuan busukan ikan terhadap volume akar berpengaruh tidak
nyata, diduga karena sifat fisik tanah yang kurang baik sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan
akar. Menurut Adisarwanto (2007:9) perkembangan akar kedelai sangat dipengaruhi oleh kondisi
fisik dan kimia tanah, jenis tanah, cara pengolahan lahan, kecukupan unsur hara, serta ketersediaan
air di dalam tanah.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan busukan ikan berpengaruh nyata
terhadap bobot kering tanaman kedelai. Uji BNJ menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terjadi pada
perlakuan b4 (528 g/polibag). Hal ini diduga respons tanaman pada perlakuan b4 (528 g/polibag)
lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain karena ketersediaan unsur hara cukup optimal.
Menurut Setyadi (1991:10) tanaman yang memperoleh unsur hara yang optimal bagi
kebutuhan tanaman akan menyebabkan pertambahan bagian vegetatif berlangsung dengan baik.
Pertumbuhan bobot kering tanaman ini sangat membutuhkan unsur hara yang cukup agar dapat
berkembang dengan optimal. Unsur hara yang sangat dibutuhkan untuk fase vegetatif ini terutama
unsur N, walaupun tetap juga harus ditunjang dengan unsur-unsur yang lain. Unsur N sangat
diperlukan untuk pembentukkan dan pertumbuhan vegetatif terutama daun, mempertinggi kandungan
protein, meningkatkan kemampuan tanaman untuk menyerap unsur hara lain seperti P, K dan lain-
lain (Jumin, 1991: 100).
208
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Faktor lain yang mempengaruhi bobot kering tanaman adalah faktor lingkungan terutama
curah hujan dan naungan. Pada masa pertumbuhan fase vegetatif hujan sering terjadi, hal ini
menyebabkan intensitas cahaya matahari dan lama penyinaran yang diterima tanaman kedelai
rendah. Lama penyinaran dan intensitas cahaya matahari merupakan salah satu faktor penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena berpengaruh terhadap laju fotosintesis,
pertumbuhan memanjang dan pertumbuhan ke arah datangnya sinar.
Pertumbuhan memanjang dan pertumbuhan ke arah datangnya sinar, terjadi sebagai
pengaruh intensitas cahaya. Peristiwa ini berkaitan dengan cara kerja distribusi auksin. Proses kerja
auksin akan lebih baik apabila intensitas cahaya rendah sehingga menyebabkan pemanjangan sel
akan lebih cepat. Menurut Sumarno (1994:51), kekurangan sinar matahari dapat mengakibatkan ruas
tanaman menjadi lebih panjang, batang lebih tinggi, mudah rebah, dan polong sedikit. Penaungan
saat penelitian terjadi karena didirikannya pagar yang cukup tinggi sehingga menghalangi datangnya
sinar matahari bagi tanaman. Selain itu, disekitar tanaman kedelai terdapat tanaman tinggi yang
dapat menaungi kedelai. Hal tersebut mengakibatkan sinar matahari yang diterima tanaman tidak
merata.
Menurut Goldsworthy dan Fisher (1992 : 178) bahwa paling sedikit 90% bahan kering
tanaman adalah hasil fotosintesis. Jadi semakin besar bahan kering tanaman yang dihasilkan maka
hasil tanaman kedelai semakin baik pula. Hal ini terlihat dari korelasi yang cukup besar antara bobot
kering tanaman dengan bobot biji kering (r = 0,61) dan bobot 100 butir biji kering (r = 0,77) yang
berarti semakin tinggi bobot kering tanaman yang dihasilkan maka semakin tinggi pula bobot biji
kering dan bobot 100 butir biji kering.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pemberian busukan ikan yang semakin meningkat
sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai dan akan menurun lagi setelah
melewati batas optimum. Kondisi ini ditunjukkan pada perlakuan b5 (528 g/polybag) dimana hasil
rerata semua variabel pengamatan lebih rendah dari b4 (660 g/polybag).
Pengamatan pada fase generatif dilakukan terhadap variabel jumlah polong isi, bobot biji
kering dan bobot 100 butir biji kering. Hasil analisis keragaman menunjukkan busukan ikan
memberikan pengaruh nyata terhadap semua variabel tersebut.
Busukan ikan digunakan sebagai sumber bahan organik. Berdasarkan hasil pengamatan
busukan ikan memberikan pengaruh nyata terhadap semua variabel hasil, diduga karena busukan
ikan ini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah pada fase pertumbuhan generatif.
Kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara di dalam tanah yang tersedia bagi tanaman
dipengaruhi oleh sifat fisik tanah yang baik. Sifat fisik tanah yang baik akan mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme, sehingga semakin baik sifat fisik tanah maka akan semakin baik pula aktivitas
mikroorganisme di dalam tanah. Mikroorganisme yang berada di tanah akan menguraikan unsur hara
yang sulit diserap menjadi bentuk yang mudah diserap bagi tanaman. Hal ini akan menyebabkan
tersedianya unsur hara bagi tanaman yang menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai semakin
meningkat.
Suhu sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut
Baharsjah, Suardi dan Las (1993:89) suhu optimal saat pengisian polong adalah 26,6-32 0C dan suhu
pada saat tanaman berumur 39 hari setelah tanam hingga akhir penelitian ini berkisar 27-32 0C
sehingga kondisi optimal tersebut terpenuhi. Pada suhu optimal proses fotosintesis berjalan lancar
sehingga fotosintat dapat ditimbun pada bagian vegetatif kemudian akan ditranslokasikan kebagian
yang sedang aktif tumbuh yaitu polong.
Jumlah polong isi memberikan korelasi yang cukup besar terhadap bobot biji kering
tanaman (r = 0,95). Semakin tinggi jumlah polong isi yang terbentuk maka bobot biji kering juga
meningkat, begitu pula sebaliknya. Menurut Garner, Pearce dan Mitchell (1991:323) menyatakan
bahwa fotosintesis dalam periode pengisian biji biasanya menjadi sumber berat hasil panen karena
sebagian besar asimilat yang terbentuk maupun yang tersimpan digunakan untuk meningkatkan
bobot isi.
209
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Menurut Baharsjah, dkk (1993:89) lama penyinaran yang panjang dan suhu tinggi sampai
batas tertentu mengakibatkan terbentuknya biji-biji yang besar. Lama penyinaran yang pan 2jang
terjadi karena saat tanaman berumur 39 hari setelah tanam hingga akhir penelitian curah hujan
berkurang sehingga cahaya matahari lebih banyak yang tembus ke bumi dan suhu juga mencapai
optimum. Hal ini menyebabkan proses metabolisme tanaman berjalan lancar sehingga biji yang
terbentuk besar. Hasil pengamatan bobot 100 butir biji kering pada penelitian ini lebih besar dari
deskripsi tanaman yang digunakan sebagai benih. Bobot 100 butir biji kering hasil penelitian
berkisar antara 15,83-18,14 dan yang terbesar diperoleh pada perlakuan b4 dengan berat 18,14 g,
sedangkan pada deskripsi berkisar antara 14,78-15,3 g.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan selama penelitian berlangsung, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemberian busukan ikan dalam bentuk pasta ke dalam tanah alluvial mengakibatkan bintil
akar tidak terbentuk dan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap volume akar, sedangkan
pada bobot kering tanaman, jumlah polong isi, bobot biji kering per tanaman dan bobot 100
butir biji kering memberikan pengaruh nyata.
2. Penggunaan busukan ikan dengan dosis 528 g/ polybag (b 4) merupakan dosis terbaik yang
dapat digunakan dalam budidaya kedelai di tanah alluvial.
B. Saran
1. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebaiknya hindari naungan dalam budidaya kedelai
varietas Anjasmoro.
2. Sebaiknya inkubasi busukan ikan pada media tanam minimal 1 minggu sebelum penanaman
agar tidak menganggu perakaran tanaman.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk di lapangan.
4. Busukan ikan pada penelitian ini masih dalam bentuk pasta maka perlu dilakukan
pengenceran dalam aplikasi di lapangan agar hasilnya lebih baik dan lebih efisien.
REFERENSI
Jumin, H.B., 1991, Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi, Rajawali Press, Jakarta
Ratna, Nurul, dan Lilik, 2015, Pengaruh Penggunaan Rhizobium Dan Penambahan Mulsa Organik Jerami Padi
Pada Tanaman Kedelai Hitam (Glycine max (L) Merril) Varietas Detam 1, Jurnal Produksi Tanaman,
Volume 3, Nomor 8, 2015, hlm 689-696.
Salisbury, F.B., dan C.W Ross, 1995, Fisiologi Tumbuhan Jilid III, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Setyamidjaja, D., 1986, Pupuk dan Cara Pemupukan, Simplex, Jakarta
Sumarno, 1994, Kedelai dan Cara Budidayanya, Yasaguna, Jakarta
Yutono., 1993, Inokulasi Rhizobium pada Kedelai, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian, Bogor
210
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRACT
Budidaya ubijalar untuk penyediaan pangan dan pakan (dual purpose) penting bagi pembangunan pertanian berkonsep
bio-industri, namun hasil umbi dan brangkasanya selama ini masih rendah, diduga diakibatkan oleh ketersediaan kalium pada
tanah yang sangat rendah. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengevaluasi respon ubijalar terhadap peningkatan dosis
pemupukan kalium. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Universitas Brawijaya, berlokasi di Desa Jatikerto, Kec.
Kromengan, Kab. Malang. Rancangan percobaan strip plot dengan 3 ulangan digunakan dalam penelitian ini. Dua faktor
percobaan meliputi tiga klon (D67, 73 OP-8, 73 OP-5) dan 2 varietas (Boko dan Sari) sebagai faktor pertama dan diletakkan
sebagai vertical-strip; faktor kedua adalah dosis pupuk kalium sebagai horizontal-strip, terdiri dari 4 level KCl, yaitu K0 (0 kg
KCl/Ha), K1 (133 kg KCl/Ha), K2 (333 kg KCl/Ha) dan K3 (533 kg KCl/Ha). Seluruh tanaman diberikan pupuk dasar 100 kg N
dan 75 kg P2O dalam bentuk Urea dan SP-36. Tanaman dipanen pada umur empat bulan setelah tanam. Jumlah umbi, bobot
umbi, bobot brangkasan, bobot per umbi, bobot kering umbi, bobot kering brangkasan, bobot kering biomass dan indeks panen
(IP) diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon kelima kultivar berbeda-beda terhadap pemberian dosis kalium, terlihat
pada parameter bobot umbi dan brangkasan (segar maupun kering), bobot kering biomass, dan IP. Peningkatan pemupukan
kalium mampu meningkatkan hasil umbi dan ukuran umbi pada ubijalar melalui mekanisme peningkatan jumlah translokasi hasil
fotosintat ke umbi yang ditandai dengan meningkatnya ratio root/shoot dan korelasi positif antara ratio root/shoot terhadap nilai
indeks panen.
Kata kunci: dosis kalium, dual purpose, hasil umbi, hasil brangkasan, ubijalar
Pendahuluan
Tanaman ubijalar berpotensi dimanfaatkan untuk menyelesaikan berbagai masalah pangan,
pakan dan energi pada abad 21 (Islam, 2007). Tanaman ini dapat diusahakan pada tanah-tanah
marginal yang tidak subur. Dalam konsep pertanian bio-industri (Kementan, 2013), selain penghasil
pati dan tepung, ubijalar mampu menghasilkan hijauan (brangkasan) dalam jumlah besar yang bisa
dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak. Menurut Ahmed et al. (2012) memproduksi ubijalar
untuk tujuan ganda (dual purpose, untuk pangan dan pakan) perlu ditingkatkan, namun informasi
praktek-praktek agronomis untuk menghasilkan produksi umbi maupun hijauan/brangkasan secara
optimum masih terbatas.
Hasil penelitian Lestari dan Basuki (2013; 2014), hasil yang dicapai dari penelitian ubijalar
di lokasi Malang dan Blitar pada tahun 2012-2013 masih dibawah potensi hasil. Beberapa kultivar
ubijalar yang dapat diklasifikasikan sebagai dual purpose mampu menghasilkan hasil umbi segar
berkisar antara 2 – 6 t/ha dan brangkasan segar berkisar antara 6 – 13 t/ha pada kondisi tanah dengan
kandungan C-organik, N-total maupun K yang sangat rendah (Lestari dan Hapsari, 2015).
Kandungan C-organik dan kalium tanah yang rendah menjadi gambaran tanah-tanah pertanian yang
telah mengalami degradasi akibat praktek pertanian yang intensif dalam jangka panjang (Husnain et
al., 2010; Roy et al., 2003). Bahkan hasil penelitian Husnain et al. (2010) pada lahan-lahan pertanian
padi sawah di wilayah DAS Citarum telah menunjukkan terjadinya nilai kesetimbangan negatif pada
hara kalium yang diakibatkan oleh pengangkutan melalui hasil panen padi tanpa penggantian melalui
pemupukan kalium yang cukup. Menurut Agus dan Ruijter (2004) setiap ton hasil panen padi, unsur
kalium yang bisa terangkut berkisar antara 2.5 – 3.7 kg K. Dijelaskan pula bahwa tanaman ubijalar
mampu mengangkut jumlah kalium yang lebih besar dari pengangkutan oleh padi, yaitu sebesar 5.2
kg K dari setiap ton hasil panen umbi. Dengan demikian diperkirakan pengurasan unsur hara,
terutama kalium akan sangat besar ketika tanah-tanah pertanian ditanami ubijalar.
Mempertimbangkan kondisi ini maka dilakukan percobaan yang bertujuan mengevaluasi respon hasil
umbi dan brangkasan beberapa kultivar ubijalar terhadap peningkatan dosis kalium.
211
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Metode Percobaan
Rancangan percobaan strip plot dengan 3 ulangan digunakan dalam penelitian ini. Dua
faktor percobaan meliputi 5 kultivar ubijalar yang terdiri dri 3 klon (D67, 73 OP-8, dan 73 OP-5)
dan 2 varietas (Boko dan Sari) sebagai faktor pertama dan diletakkan sebagai vertical strip; sebagai
faktor kedua adalah dosis pupuk kalium, terdiri dari 4 level KCl, yaitu K0 (0 kg KCl /Ha), K1 (133
kg KCl /Ha), K2 (333 kg KCl /Ha) dan K3 (533 kg KCl /Ha) diletakkan sebagai horizontal strip.
Seluruh tanaman diberikan pupuk dasar 100 kg N dan 75 kg P2O dalam bentuk Urea dan SP-36.
Penelitian menggunakan plot percobaan berukuran 5m x 1,5m, terdiri dari 5 gulud, ditanami
dengan stek yang berukuran panjang + 25 cm, dengan jarak tanam dalam baris (gulud) 25 cm.
Dengan demikian setiap plot percobaan terdiri dari 30 tanaman. Populasi tanaman per Ha yang
digunakan untuk konversi hasil umbi per hektar sebesar 40 000 tanaman. Panen dilakukan setelah
tanaman berumur 4 bulan setelah tanam. Parameter pengamatan yang dievaluasi meliputi: jumlah
umbi, bobot umbi, bobot brangkasan, bobot per umbi, bobot kering umbi, bobot kering brangkasan,
bobot kering biomass dan indeks panen (IP) serta ratio root/shoot. Ratio root/shoot dihitung dengan
rumus bobot kering umbi dibagi dengan bobot kering brangkasan, digunakan untuk memperkirakan
jumlah fotosintat yang ditranslokasikan dari daun ke organ penyimpanan tanaman ubijalar, yakni
umbi (storage root). Analisis ragam dikerjakan untuk semua parameter pengamatan (Gomez dan
Gomez, 1984).
Pada lahan-lahan pertanian yang telah dikelola secara intensif seperti di wilayah DAS
Citarum telah menunjukkan terjadinya nilai kesetimbangan negatif pada hara kalium yang
diakibatkan oleh pengangkutan melalui hasil panen padi tanpa penggantian melalui pemupukan
kalium yang cukup (Husnain et al. (2010). Besarnya unsur kalium yang diangkut oleh setiap ton
hasil panen padi berkisar antara 2.5 – 3.7 kg K (Agus dan Ruijter, 2004). Oleh karena itu diduga
apabila lahan pertanian dengan ketersediaan kalium yang sangat rendah ditanami dengan tanaman
ubijalar akan memerlukan dosis kalium yang tinggi agar tidak terjadi kesetimbangan negatif untuk
kalium tersebut.
212
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Tabel 2. Keragaan hasil dan ukuran umbi pada beberapa kutivar bijalar
Jumlah umbi Bobot umbi segar Estimasi hasil Ukuran umbi
Kultivar
(buah/plot) (kg/plot) umbi (t/ha) (g/umbi)
D67 31 3.11 4.16 100.72
73 OP-8 68 11.38 15.42 165.03
73 OP-5 52 4.96 6.79 103.61
Boko 62 8.33 11.10 131.99
Sari 64 7.12 9.49 114.13
Dari Tabel 3 terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah umbi dan bobot umbi diantara kelima
kultivar yang dievaluasi, namun tidak berbeda dalam hal ukuran per umbinya. Kisaran ukuran per
umbi diantara kelima kultivar yang dievaluasi berkisar antara 100 – 165 g per umbi, semuanya
tergolong pada ukuran umbi sedang.
Tabel 3.Hasil Analisis Ragam pada parameter jumlah umbi, bobot umbi dan berat per umbi pada
percobaan pemupukan lima kultivar ubijalar dengan pemberian beberapa dosis kalium
jumlah
Sumber Keragaman db bobot umbi/plot berat/umbi (g/umbi)
umbi/plot
Kelompok 2 1354.85 53.64 13206.09
Pemupukan Kalium (K) 3 133.91 ns 6.92 ns 1667.28 ns
Galat a 6 339.96 11.73 1290.38
Varietas (V) 3 3605.86 * 293.40 * 11194.11 ns
Galat b 6 606.86 60.23 5895.04
VxK 9 134.49 ns 23.06 * 3314.85 *
Galat c 18 150.56 8.77 1382.38
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada level 5
213
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Tabel 4. Keragaan hasil brangkasan segar dan kering pada beberapa kutivar bijalar
Estimasi hasil Estimasi bobot
Bobot Bobot kering
brangkasan kering
Kultivar brangkasan brangkasan
segar (t/ha) bragkasan
segar (kg/plot) (kg/plot)
(t/Ha)
D67 2.63 3.50 0.71 1.59
73 OP-8 5.30 7.07 1.47 4.69
73 OP-5 3.71 4.94 0.90 2.21
Boko 8.22 10.96 1.81 4.23
Sari 3.25 4.33 0.70 2.40
Tabel 5. Hasil Analisis Ragam pada parameter bobot brangkasan segar, bobot umbi dan berat per
umbi pada percobaan pemupukan lima kultivar ubijalar dengan pemberian beberapa dosis kalium
Bobot
Bobot Bobot Kering
Kering Indeks Panen
Sumber Keragaman db Brangkasan Brangkasan
Biomass (IP)
per plot per plot
per plot
Kelompok 2 4.99 2.95 5.81 879.35
Pemupukan Kalium (K) 3 6.05 ns 1.01 ns 0.87 ns 452.86 ns
Galat a 6 2.45 0.60 1.14 161.03
Varietas (V) 3 80.35 * 3.96 ns 29.24 ns 710.63 ns
Galat b 6 12.32 1.61 6.85 428.46
VxK 9 5.03 * 0.97 * 2.09 * 306.81 *
Galat c 18 2.00 0.37 0.86 78.07
Keterangan: ns = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata pada level 5%
Tabel 6. Respon bobot segar umbi (t/ha) beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
Bobot umbi segar (t/ha)
Kultivar Pemberian dosis pupuk KCl
K0 (0kg/Ha) K1 (133 kg/Ha) K2 (333 kg/Ha) K3 (533 kg/Ha)
D67 2.80 4.48 4.45 4.93
73 OP-8 14.01 14.74 17.40 15.54
73 OP-5 4.92 9.31 7.24 5.71
Boko 9.78 16.00 8.89 9.73
Sari 10.62 5.33 10.67 11.33
Rerata 8.43 9.97 9.73 9.45
Rerata ukuran umbi (g/umbi) dari kelima kultivar pada berbagai dosis pemberian kalium
disajikan pada Tabel 7. Terlihat bahwa ada variasi respon kultivar terhadap pemberian dosis kalium
diantara kelima kultivar yang dikaji, namun ada kecenderungan peningkatn bobot per umbi ketika
214
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
diberikan peningkatan dosis kalium. Peningkatan ukuran per umbi disebabkan oleh peningkatan
ratio root/shoot (Tabel 8).
Tabel 7. Respon ukuran umbi (g/umbi) beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
Ukuran umbi (g/umbi)
Kultivar Pemberian dosis pupuk KCl
K0 (0kg/Ha) K1 (133 kg/Ha) K2 (333 kg/Ha) K3 (533 kg/Ha)
D67 86.46 97.48 110.85 108.08
73 OP-8 159.83 160.33 180.68 159.29
73 OP-5 65.34 162.69 112.45 73.97
Boko 121.69 166.92 125.31 114.04
Sari 132.77 65.90 138.86 118.97
Rerata 113.22 130.66 133.63 114.87
Tabel 9. Keragaan nilai IP (%) beberapa kultivar ubijalar terhadap pemberian kalium
IP (%)
Kultivar Pemberian dosis pupuk KCl
K0 (0kg/Ha) K1 (133 kg/Ha) K2 (333 kg/Ha) K3 (533 kg/Ha)
D67 45.04 57.91 49.31 57.41
73 OP-8 71.29 72.54 76.96 79.14
73 OP-5 36.26 74.35 78.10 77.85
Boko 64.73 65.20 49.49 64.97
Sari 77.86 56.84 83.17 75.90
Rerata 59.04 65.37 67.40 71.05
Dengan demikian peningkatan hasil umbi dan ukuran umbi tanaman ubijalar diakibatkan
oleh meningkatnya ratio root/shoot akibat peningkatan dosis kalium. Hasil ini sejalan dengan hasil
penelitian George et al. (2002). Meningkatnya pemberian kalium akan meningkatkan jumlah
fotosintat yang ditranslokasikan ke organ-organ penyimpanan yang berada di dalam umbi (storage
root). Ketika dihitung nilai korelasi antara ratio root/shoot terhadap nilai IP diperoleh nilai sebesar +
0.78 (data tidak disajikan). Nilai IP diantara kelima kultivar tidak berbeda nyata, namun nilai IP
tersebut meningkat sejalan dengan peningkatan dosis kalium dan perilaku kelima kultivar bervariasi
terhadap pemberian kalium (Tabel 9).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
1. Hasil ubijalar sangat rendah ketika ditanam pada kondisi lahan dengan tingkat ketersediaan kalium rendah
215
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada FP-UB yang mengijinkan penulis melaksanakan
penelitian dan menyimpan koleksi klon-klon ubijalar hasil penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini.
REFERENSI
Abonyi, F.O., E. O. Iyi and N. S. Machebe. 2012. Effects of feeding sweet potato (Ipomoea batatas) leaves on
growth performance and nutrient digestibility of rabbits. African Journal of Biotechnology Vol. 11(15), pp.
3709-3712.
Adewolu, M.A. 2008. Potentials of Sweet Potato (Ipomoea batatas) Leaf Meal as Dietary Ingredient for Tilapia zilli
Fingerlings. Pakistan Journal of Nutrition 7 (3): 444-449
Agus, F. dan J. Ruijter. 2004. Perhitungan kebutuhan pupuk. World Agroforestry Centre.
http://old.icraf.org/sea/Publications/files/leaflet/LE0018-04.pdf
Ahmed, M., R. Nigussie-Dechassa, and B. Abebie. 2012. Effect of planting methods and vine harvesting on shoot
and tuberous root yields of sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam.) in the Afar region of Ethiopia. African
J. Agric. Res. Vol 7 (7): 1129-1141.
Balittanah. 2005. Petunjuk Tenis Analisis tanah, Tanaman, Pupuk dan air. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Pertanian.
George, M.S., G. Lu, and W. Zhou. 2002. Genotypic vaiation for potassium uptake and utilization efficiency in
sweet potato (Ipomoea batatas L.). Field Crops Research 77: 7-15. http://www.proper.edu.cn.
Gomez, K. A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical procedures for Agricultural Research. 2nd Edition. John Wiley &
Sons. New York.
Husnain, H., T. Masunaga, and T. Wakatsuki. 2010. Field assessment of nutrient balance under intensive rice-
farming systems, and its effects on the sustainability of rice production in Java Island, Indonesia. J. Agric.
Food and Environmental Sci. Vol 4 (1): 1-11.
Islam, S. 2007. Nutritional and Medicinal Qualities of Sweetpotato Tops and Leaves. Cooperative Extension
Program. University of Arkansas at Pine Bluff. SA6135.
Kementan. 2013. Pertanian Bioindustri Berkelanjutan, Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan (Konsep
Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2013 – 2045). Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Lestari, S.U. and R.I. Hapsari. 2015. Dual-purpose Assessment for Sweet Potato. Agrivita, Vol 37, No 2: 123-129.
Lestari, S.U. dan N. Basuki. 2013. Variabilitas Kandungan Besi pada Beberapa Varietas Ubijalar di Indonesia.
Seminar Nasional 3 in 1 Agronomi, Hortikultura dan Pemuliaan Tanaman di FP-UB, 21-22 Agustus 2013.
Lestari, S.U. dan N. Basuki. 2014. Stabilitas Kandungan Besi pada Klon/Varietas Ubijalar. Seminar Nasional Hasil
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian 2014. Malang.
216
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Peters, D. 2008. Assessment of the Potential of Sweetpotato as Livestock Feed in East Africa: Rwanda, Uganda, and
Kenya. A report presented to The International Potato Center (CIP) in Nairobi.
Roy, R.N., R.V. Misra, J.P. Lesschen and E.M. Smaling. 2003. Assessment of soil nutrient balance. Approaches and
methodologies. FAO Fertilizer and Plant Nutrition Bulletin 14. Food and Agriculture Organization of the
United Nations. 101 pp. Available online at URL: http://www.fao.org/docrep/006/ y5066e/y5066e00.htm.
Sirait, J. Dan K. Simanihuruk. 2010. Potensi Dan Pemanfaatan Daun Ubikayu Dan Ubijalar Sebagai Sumber Pakan
Ternak Ruminansia Kecil. Wartazoa Vol. 20 No. 2 Th. 2010:75-84.
217
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRAK
Sebuah percobaan pot telah dilakukan untuk menguji efek biochar sekam padi yang diperkaya hara dan ketebalan mulsa
terhadap pertumbuhan dan hasil selada (Lactuca sativa L.) varietas Grand Rapids. Biochar sekam padi yang diperkaya
(direndam dalam pupuk organik cair) diaplikasikan dalam 3 aras yakni 0, 0,2 dan 0,4% dikombinasikan dengan mulsa alang-
alang 0, 2 dan 4 cm. Biochar dicampur merata dengan tanah Vertisol dimasukan ke dalam pot-pot percobaan, disusun dalam
sebuah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 ulangan, diinkubasikan pada kadar lengas 70% selama 2 minggu dan
ditanami bibit selada, dipelihara dan diamati hingga pertumbuhan vegatatif maksimum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
aplikasi biochar sekam padi dan mulsa berinteraksi positif (P≤0.01) dalam pengaruhi pertumbuhan selada (tinggi tanaman,
jumlah daun, berat segar tajuk, dan berat segar tanaman) dan meningkat hasil 3-7 kali lipat dibandingkan dengan kontrol. Hasil
tertinggi (berat segar tajuk) sebesar 37,2 g per tanaman diperoleh dari pemberian biochar sekam padi 2% yang dikombinasikan
dengan mulsa 2 cm.
PENDAHULUAN
2008) dan penurunan bobot volume tersebut dapat meningkatkan laju infiltrasi (Franzluebbers,
2002 Selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran daun yang berumur pendek (30 hari), dan dapat
ditanam di dataran tinggi atau dataran rendah (Edi dan Yusri, 2010). Sayuran ini biasa dikonsumsi
sebagai lalap mentah, salad, dan hamburger (Sastradiharja, 2011), atau dijadikan penghias hidangan
karena daunnya yang hijau segar dan bergerigi atau berombak. Kandungan mineral selada cukup
tinggi termasuk fosfor, zat besi, kalsium, kalium, natrium, magnesium, vitamin A, B dan C sehingga
berkhasiat dalam menjaga keseimbangan cairan elektrolit tubuh manusia (Wahyudi, 2005).
Di lahan kering penanaman selada di tanah Vertisol pada musim hujan dapat menjamin
ketersedian air, namun kondisi air yang berlebihan dan kondisi tanah Vertisol yang mengembang, dapat
menghambat perkembangan dan respirasi akar selada yang dangkal dan halus. Oleh karena itu, upaya
untuk memperbaiki aerasi tanah Vertisol agar dapat ditanami selada pada musim hujan perlu dilakukan.
Biochar sekam padi yang diperkaya hara merupakan biochar sekam padi yang direndam di dalam
larutan hara. Luas dan muatan permukaan biochar yang tinggi diproyeksikan dapat meretensi hara
selama perendamannya di dalam larutan hara. Ketika biochar sekam diberikan ke dalam tanah
diharapkan unsur-unsur hara yang telah diikat tersebut dilepaskan secara perlahan-lahan ke dalam tanah
dan dapat diserap oleh tanaman. Hal tersebut didukung oleh hasil-hasil penelitian bahwa pemberian
biochar ke dalam tanah dapat menurunkan kehilangan hara (Major et al., 2012, Venture et al., 2012, Liu
et al., 2014). Sebagai contoh, pemberian biochar campuran kayu keras 20 g/kg yang dikombinasikan
dengan pupuk kandang babi 5 g/kg pada tanah Molisol menekan pelindian total N dan total P terlarut
masing-masing 11% and 69% (Laird et al., 2010). Biochar juga memiliki bobot volume yang rendah
sehingga ketika diberikan ke dalam tanah dapat menurunkan bobot volume tanah dan memperbaiki
kapasitas infiltrasi. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan penurunan bobot volume tanah setelah
pemberian biochar karena rendahnya bobot volume biochar (Laird et al., 2010b; Oguntunde et al.,).
Aplikasi biochar di tanah Vertisol pada musim hujan diharapkan dapat memperbaiki aerasi dan
memperkaya hara tanaman. Selain itu, mulsa juga dapat berperan ganda ketika diaplikasikan pada
musim hujan, yakni menjaga fluktasi suhu tanah, mengurangi pemadatan tanah dan menutup
permukaan tanah sehingga menghindari daun-daun selada dari percikan tanah yang boleh jadi
membawa-serta soil-born pest, disamping fungsi-fungsi lainnya. Permasalahannya adalah belum
tersedia informasi tentang takaran biochar sekam padi yang diperkaya hara dan ketebalan mulsa yang
218
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
tepat yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil selada, sehingga tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui takaran biochar sekam padi yang diperkaya hara bagi tanaman selada darat
jika dikombinasikan dengan pemberian mulsa.
9
Tinggi tanaman (cm)
7 b bc
b b
6
d cd
5
Jumlah daun
Aplikasi biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan mulsa berinteraksi secara positif
(P<0.05) dalam mempengaruhi jumlah daun selada. Jumlah helai daun yang dihasilkan secara signifian
219
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
lebih banyak dari pada kontrol ( Tabel 2). Jumlah helai daun terbanyak hingga pertumbuhan vegetatif
maksimum adalah 7 helai diperoleh dari komibinasi biochar 2% dan mulsa 2 cm.
8
a
Jumlah daun 35 HST
b
6
220
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
50
a
Berat segar trubus (g)
45
40
35
b
30
b b
25
cbd
20 bcd
15 d
cd
10
5
0
221
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
3 a
berat kering trubus (g)
2 ba
bc
bcd
1
d
222
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
0,8 a
0,7
berat segar akar (g)
0,6
0,5
0,4
0,3 b
0,2
0,1
0
Tanah vertisol dengan pori mikro yang banyak menyebabkan aerasinya sangat kurang,
apabila tidak diberikan biochar akan menghambat penyerapan hara oleh akar dan pertumbuhan
tanaman. Ini terbukti pada rerata berat segar akar pada control (tanpa biochar) yang lebih rendah
dibandingkan perlakuan 2% dan 4% biochar. Demikian pula bila pemberian biochar yang
dikombinasikan dengan mulsa juga menunjukkan bahwa pemberian biochar dengan mulsa
menyebabkan berat kering akar lebih tinggi dari pada perlakuan kombinasi tanpa arang dengan
semua taraf mulsa (0, 2 dan 4 cm).
Demikian pula pemberian mulsa dengan ketebalan lebih dari 2 cm menyebapkan aerasi
dalam tanah tidak baik, berdampak pada respirasi akar yang tidak baik pula. Mulsa yang lebih
tebal dari 2 cm menyebabkan kelembaban tanah semakin tinggi, sekalipun diberikan bersama
biochar yang lebih dari 2% justeru semakin mengganggu pertumbuhan akar dan menyebapkan
pertumbuhan serta produksi tanaman tidak maksimal.
Pemberian arang dan mulsa memberikan pertumbuhan tanaman yang paling baik berupa
tinggi tanaman (8,22 cm), jumlah daun yang cukup banyak (7 helai), berat segar trubus (23,49),
berat kering tanaman (2,39), berat kering akar (0,61). Pemberian biochar sekam padi dan mulsa
meningkatkan pertumbuhan dan hasil selada dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini
disebabkan pemberian Biochar 2% lebih optimum dalam memperbaiki porositas tanah vertisol,
sehingga perakaran tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, penyerapan air dan
unsur hara pun menjadi lebih baik untuk pertumbuhan dan produksinya.
Kesimpulan
Dari analisis hasil dan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Pemberian biochar dan mulsa meningkatkan pertumbuhan dan hasil selada dibandingkan dengan kontrol.
2. Biochar sekam padi 2% dan mulsa alang-alang 2 cm memberikan pertumbuhan dan hasil terbaik bagi selada
REFERENSI
223
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Berek, A. K. 2015. Biochars as an amendment to acid soils. Dissertation. University of Hawaii at Manoa,
Hawaii, USA.
Dariah, A. dan N. L. Nurida. 2012. Pemanfaatam biochar untuk meningkatkan produktivitas lahan kering
beriklim kering. Buana Sains, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Kealaman, 12(1).
Dariah, A., N. L. Nurida, dan Sutono. 2013. The effect of biochar on soil quality and maize productivity in
upland in dry climate region. 11th International Conference The East and South East Asia Federation of
Soil Science Societies. 21-24 Octocer. Bogor Indonesia.
Demank. 2012. Mikro Organisme Lokal Dari Buah-Buahan. Jambi: Universitas Jambi Fakultas Pertanian
Jurusan Agroekoteknologi.
Edi dan Yusri. 2010. Budidaya Sawi Hijau. Jurnal Agrisistem. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Jambi.
Franzluebbers, A. J. 2002 . Water infiltration and soil structure related to organic matter and its stratification with
depth. Soil & Tillage Research 66 : 197-205.
Gomez, K. A. dan A. A. Gomes. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke 2. Jakarta:UI
Press.
Glaser, B., J. Lehmann, and W. Zech. 2002. Ameliorating physical and chemical properties of higly weathered
soils in the tropic with charcoal: A review. Biol. Fertil. Soils 35:219-230.
Hanolo, W. 1997. Tanggapan Tanaman Selada dan Sawi Terhadap Dosis dan Cara Pemberian Pupuk Cair
Stimulan. Jurnal Agrotropika Vol. 1 (1): 25-29
Hardjowinego, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademik Presido. Jakarata.
Harist, A. 2000. Petunjuk penggunaan mulsa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Haryanto, E., E. Rahayu, T. Suhartini. 1995. Sawi dan selada. Penebar Swadaya, Jakarta.
Indrakusuma. 2000. Pupuk Organik Cair Supra Alam Lestari. PT Surya Pratama Alam.Yogyakarta.
Laird, D. A. 2008. The charcoal vision: a winewinewin scenario for simultaneously producing bioenergy,
permanently,sequestering carbon, while improving soil and water quality, Agronomy Journal 100,178-
181.
Laird, D., P. Fleming, B. Wang, R. Horton, & D. Karlen. 2010a. Biochar impact on nutrient leaching from a
Midwestern agricultural soil. Geoderma, 158 : 436-442.
Laird, D., P. Fleming, D. Davis, R. Horton, B. Wang, & D. L. Karlen. 2010b. Impact of biochar amendments
on the quality of a typical Midwestern agricultural soil. Geoderma, 158 : 443-449.
Lingga, P. dan Marsono. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta : Penebar Swadaya.
Major, J. 2010. Soil Improvement from Application of Biochar. International Biochar Inititive. IBI Research
Summaries are intended to provide answers about biochar science for the general public. Soil
Improvement. 8 June 2010.
Marsono dan P. Sigit. 2008. Pupuk Akar: Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Matarirano, L. 1994. Liquid manure is good fertilizer. Developing Countries Farm Radio Network. Oktober
1994, Paket 34, Naskah 3 (Unpublished).
Ogawa, M. 1994. Sybiosis of people and nature in tropics. Farming. Japan 28:10-34.
Oguntunde, P. G., B. J. Abiodun, A. E. Ajayi, & N. van de Giesen. 2008. Effects of charcoal production on soil
physical properties in Ghana. Journal of Plant Nutrition and Soil Science, 171: 591-596.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Selada dan Andewi, PT Kanisius, Jakarta.
Saparinto, C. 2013. Gown Your Own Vegetables-Paduan Praktis Menenam Sayuran Konsumsi Populer di
Pekaranagan. Lily Publisher. Yogyakarta. 180 hal.
Sastradiharja, S. 2011. Praktis Bertanam Selada dan Ansewi Secara Hidroponik. Bandung: Penerbit Angkasa
Bandung. Hal. 1-17.
Sipahutar, D. 2010. Teknologi Briket Sekam Padi. Riau: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP).
Soares, B. 2002. Pengaruh Dosis Pupuk Kascing dan Jenis Mulsa terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang
Putih (Allium sativum L.). Varietas Lokal Sanur. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana, Denpasar.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah, Faperta, IPB. Bogor.
Sunarayono, 1998. Kunci Bercocok Tanam Sayur-sayuran Penting, Mulia, Jember.
224
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
225
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
ABSTRAK
Lahan rawa pasang surut mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah. Kandungan Al3+, Fe3+,
Mn dan ion H+ yang tinggi bersifat toksik pada tanaman padi dan menyebabkan kondisi tanah menjadi
masam. Kendala lainnya adalah kelarutan fosfat rendah, kejenuhan basa rendah, kekahatan unsur hara,
salinitas tinggi, pada kondisi tergenang menyebabkan toksisitas Fe2+, H2S, CO2, dan bahan organik
tanah yang masih lunak, dan drainase tanah sangat buruk. Sistem pengairan satu arah dan pemberian
bahan amelioran berupa bahan organik merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman padi di lahan sawah pasang surut. Penelitian bertujuan untuk
mengkaji teknologi pengairan satu arah dan pemberian bahan organik yang dapat meningkatkan
produktivitas padi di lahan pasang surut. Metoda yang digunakan adalah percobaan lapang di lahan
sawah pasang surut dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK), diulang 5 kali. Perlakuan yang
dicobakan antara lain: pengairan sistem satu arah, pemupukan berimbang, pemberian bahan organik
berupa kompos jerami dan pupuk organik granule. Hasil kajian menunjukkan bahwa teknologi
pengairan sistem satu arah, pemupukan berimbang (N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1),
pengapuran 500 kg ha-1 dan pemberian kompos jerami padi 5 t ha-1 memberikan hasil gabah kering
giling sebesar 5,4 t ha-1, atau meningkat 64 % dari hasil yang dilakukan petani yang sebesar 3,3 t ha-1
dan memberikan keuntungan sebesar Rp. 10.900.000,- per hektar per musim tanam.
Kata Kunci : Padi, sawah, pasang surut, tata air, amelioran, bahan organik
PENDAHULUAN
Peningkatan produktivitas lahan pasang surut untuk tanaman padi sangat layak
diprioritaskan karena kebutuhan pangan terus meningkat rata-rata sekitar 3,5 persen per tahun
(Dirjen Tanaman Pangan. 2011). Hal ini disebabkan peningkatan produksi pangan di lahan
pertanian non rawa melalui perluasan areal pangan maupun pemacuan produktivitas dirasakan
tidak cukup (Balittra, 2011). Luas tanaman padi pasang surut di Kalimantan Barat mencapai
92.250 ha. Potensi lahan pasang surut yang cukup besar ini masih belum mampu memberikan
kontribusi terhadap peningkatan produksi padi di Kalimantan Barat. Produktivitas padi lahan
pasang surut di Kalimantan Barat masih tergolong rendah yaitu berkisar 2 – 2,5 t ha-1 (BPS
Provinsi Kalimantan Barat, 2014). Rendahnya produktivitas padi tersebut antara lain disebabkan
belum diperhatikannya teknologi spesifik lokasi pada agroekosistem lahan sawah pasang surut.
Lahan rawa pasang surut mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah sampai sangat rendah.
Kandungan Al3+, Fe3+, Mn2+, dan ion H+ yang tinggi bersifat toksik pada tanaman padi dan
menyebabkan kondisi tanah menjadi masam. Kendala lainnya adalah kelarutan fosfat rendah,
kejenuhan basa rendah, kekahatan akan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, salinitas tinggi,
pada kondisi tergenang menyebabkan toksisitas Fe2+, H2S, dan CO2 (Dent, 1986; Noor, 2004).
Sifat fisika tanah belum matang, lapisan lempung (clay) dan bahan organik tanahnya masih
lunak, serta drainase tanah sangat buruk. Kendala dan permasalahan tersebut dapat diperbaiki
dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan dan air yang benar dan spesifik.
Pengelolaan air secara spesifik di lahan pasang surut bertujuan untuk menyediakan air yang
diperlukan untuk evapotranspirasi tanaman, membuang air berlebihan, mencegah terjadinya
elemen toksik dan melindi (leaching) elemen toksik. Pengelolaan air di lahan pasang surut dapat
berupa irigasi, drainase, konservasi ataupun intersepsi. Pengelolaan air tersebut dapat dilakukan
226
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
secara terpisah atau kombinasinya, dan dengan kultur teknis yang tepat dapat meningkatkan
produktivitas padi di lahan pasang surut.
Sistem pengairan yang tepat untuk tanaman padi pasang surut di Kalimantan Barat masih
belum banyak dilakukan. Demikian pula terhadap teknologi pemupukan dan ameliorasi yang
berimbang masih jarang ditemui. Oleh karena itu diperlukan teknologi dalam menentukan sistem
tata air dan ameliorasi padi sawah pasang surut yang lebih mudah, tepat, praktis, dan spesifik
lokasi. Sistem pengairan satu arah dan pemberian bahan organik merupakan teknologi yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatur keluar dan masuknya air ke dalam petakan sawah secara satu
arah dan menambahkan unsur hara ke dalam tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Teknologi ini
cukup sederhana dan mudah diadopsi dan dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi. Hasil
penelitian yang telah dilakukan di lahan pasang surut di Bintang Mas, Kabupaten Kubu Raya,
Provinsi Kalimantan Barat dengan pengelolaan lahan dan air yang baik dapat menghasilkan padi
5 - 6 t ha-1(Sutanto, 2009).
Pemberian bahan amelioran pada lahan sawah pasang surut sangat diperlukan dalam
upaya meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Nursyamsi, et al. (2001), bahan organik
merupakan parameter kesuburan tanah yang penting, karena di samping sebagai bahan amelioran,
bahan organik dalam tanah dapat menghasilkan hara N, P, K, Ca, Mg dan S tanah. Sedangkan
menurut Deturck dan Vlassak (1991), menyatakan bahwa dengan meningkatnya kadar bahan
organik tanah akan meningkatkan kemampuan KTK tanah yang pada gilirannya akan
meningkatkan daya pegang tanah terhadap hara sehingga terjadi kondisi yang baik disekitar
perakaran Keadaan ini akan merangsang pertumbuhan akar dalam meningkatkan kemampuan
mekanisme penolakan Fe (excluding Fe mechanishm) (Ottow et.al. 1991). Dengan membaiknya
suplai hara di sekitar perakaran dan meningkatnya kemampuan oksidasi akar, maka serapan Fe
yang berlebihan dapat teratasi.
Lahan rawa pasang surut secara spesifik mempunyai beberapa kelebihan terutama dengan
adanya air pasang yang dapat digunakan sebagai sumber irigasi dan adanya sumberdaya lokal
yang tedapat pada agroekosistem lahan pasang surut dapat dimanfaatkan secara optimal.
Pemberian bahan amelioran, berupa kapur dan bahan organik yang banyak terdapat disekitar
lahan pasang surut dapat dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu perlu model tata air dan
ameliorasi tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanah di lahan rawa pasang surut.
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan sistem pengairan satu arah dan pemberian bahan
amioran berupa kapur dan bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas tanah dan
sekaligus dapat meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut.
227
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Gambar 1. Rata – rata tinggi tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3
di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya
Panjang malai
Hasil pengamatan panjang malai pada masing – masing perlakuan seperti pada Gambar 2.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa panjang malai pada masing – masing perlakuan T0, T1,
T2, dan T3 tidak beda nyata (Tabel 1). Sistem pengairan satu arah dan pemberian kapur dan
bahan organik pada sawah pasang surut tidak mempengaruhi panjang malai (Gambar 2).
228
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Gambar 2. Rata – rata panjang malai tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3
di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Jumlah malai
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah malai pada masing – masing perlakuan T0
dan T1 tidak menujukkan beda nyata, namun perlakuan T0 dengan T2 dan T3 berbeda nyata.
Perlakuan T1 tidak berbeda nyata dengan T3 akan tetapi berbeda nyata dengan T2. Perlakuan T3
tidak menunjukkan beda nyata dengan T2 (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa sistem
pengairan satu arah dan pemberian amelioran berupa pemberian kapur dan kompos jerami
sebanyak 5 t ha-1 pada sawah pasang surut dapat mempengaruhi jumlah malai tanaman padi.
Hasil pengamatan jumlah malai pada masing – masing perlakuan seperti pada Gambar 3.
Jumlah Malai
12 11,16
11 9,6
10 9,16
9 8
8
7
6
5
4
3
2
1
0
T0 T1 T2 T3
Gambar 3. Rata – rata jumlah malai tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2,
dan T3 di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
229
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
sawah pasang surut dapat mempengaruhi terhadap berat gabah per rumpun Hasil pengamatan
berat gabah per rumpun masing – masing perlakuan seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Rata – rata berat gabah per rumpun tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1,
T2, dan T3 di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
22,0
T0 T1 T2 T3
Gambar 5. Rata – rata berat gabah per rumpun tanaman padi dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan
T3 di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
230
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Gambar 7. Rata – rata berat gabah kering panen dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3 di lahan
sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Gambar 8. Rata – rata berat gabah kering Kadar Air 14% dengan perlakuan T0 , T1, T2, dan T3 di
lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
Tabel 1. Beda nilai tengah DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf kepercayaan 5 %
pada tinggi tanaman, panjang malai, jumlah malai, berat gabah pe rumpun, berat gabah 1000
butir, gabah kering panen dan gabah kering KA 14% (Gomez, K,A. and A.A. Gomez. 1995).
231
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan introduksi teknologi sistem pengairan satu arah, pemupukan
berimbang dan pemberian bahan amelioran seperti kapur dan bahan organik menunjukkan hasil
yang lebih baik terhadap tinggi tanaman, panjang malai, berat gabah per rumpun dan berat gabah
seribu butir, dan hasil gabah kering panen maupun kering giling, apabila dibandingkan dengan
sistem usahatani yang biasa dilakukan petani. Sedangkan hasil yang paling baik dari beberapa
perlakuan tersebut di atas adalah teknologi sistem pengairan satu arah, pemupukan berimbang,
pemberian kapur 500 kg ha -1 dan kompos jerami 5 t ha-1 pada lahan sawah pasang surut
memberikan hasil gabah kering giling sebesar 5,4 t ha-1 atau dapat meningkatkan hasil sebesar
64%.
Sistem pengairan satu arah bertujuan agar aliran air pasang dan surut dapat mengalir satu arah dan
mengurangi unsur – unsur yang beracun bagi tanaman seperti H+, Al3+, Fe2+, dan Mn2+. Hal ini
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Widjaja Adhi dan Alihamsyah (1998) bahwa penerapan
pengelolaan air satu arah pada lahan rawa pasang surut di Karang Aung Ulu, Sumatera Selatan
dapat merubah kualitas air dari kondisi awal pH 4,2 dan Fe2+ larut sebesar 430 ppm menjadi pH
4,8 dan Fe2+ larut sebesar 160 ppm.
Pemberian amelioran berupa kapur dolomit dengan takaran 500 kg ha-1 bertujuan untuk
mengurangi kemasaman tanah. Beberapa hasil penelitian pada lahan sulfat masam dengan tipe
luapan B di Unit Tatas Kalimantan Tengah bahwa pemberian kapur 1,5 t ha-1 dapat meningkatkan
hasil padi sebesar 30 %, sedang pada lahan sulfat masam tipe luapan C di Barambai, Kalimantan
Selatan pemberian kapur 2 t ha-1 dapat meningkatkan hasil padi sebesar 20 %. Petak percobaan
yang tidak dikapur, tanahnya dalam kondisi ekstrim masam (pH 4,0). Pada tanah yang bereaksi
masam terjadi interaksi antara ion Al dan P, dimana Al akan mengikat P tanah ataupun P dari
hasil pemberian pupuk dalam bentuk persenyawaan yang tidak larut atau dalam ikatan yang
sangat kuat (Noor, 2004).
Pemberian bahan organik berupa kompos dari jerami padi berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan tanaman padi. Menurut Kertonegoro (2006) bahan organik mempunyai fungsi
keharaan, fungsi biologis, fungsi fisika dan fisiko-kimia di dalam tanah sehingga memberikan
sumbangan terhadap pertumbuhan tanaman. Fungsi keharaan, sebagai sumber hara N, P dan S
melalui proses mineralisasi. Fungsi biologis sebagai sumber energi bagi makro dan
232
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
mikroorganisme tanah. Fungsi fisika dan fisiko-kimia berpengaruh nyata terhadap struktur tanah,
aerasi, lengas dan permeabilitas tanah. Penambahan bahan organik cenderung menyebabkan
terbentuknya senyawa-senyawa organik kompleks yang dapat mengikat partikel – partikel tanah
dan membentuk agregat–agregat tanah. Agregat – agregat ini dapat membantu mempertahankan
kondisi tanah yang remah, terbuka, dan berbutir-butir (granuler). Air akan mudah masuk ke
dalam tanah dan mengalir meresap ke bawah di dalam tanah. Pasokan O 2 bagi akar-akar tanaman
untuk pernafasan menjadi lebih baik dan pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih baik pula.
Pori - pori berukuran besar meningkat jumlahnya sehingga menyebabkan pertukaran gas – gas di
dalam tanah dan di atmosfir menjadi lebih lancar.
Pemberian pupuk berimbang N 90 kg ha-1, P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 mengakibatkan
pertumbuhan tanaman padi menjadi optimal dan memberikan komponen hasil yang lebih baik. N
dan P diperlukan untuk sintesis protein dan asam nukleat, sedang K dan Mg untuk aktivasi enzim
dalam proses metabolisme tanaman.
Analisa Keuntungan
Hasil analisis keuntungan usahatani padi pada masing – masing perlakuan seperti pada
Gambar 9. Hasil analisis keuntungan menunjukkan bahwa takaran pemupukan N 90 kg ha-1,
P2O5 18 kg ha-1, K2O 75 kg ha-1 dan pengapuran 500 kg ha-1 dan kompos jerami 5 t ha-1 dan
sistem pengairan satu arah memberikan hasil berat gabah kering giling paling menguntungkan
yaitu sebesar Rp. 10.900.000,-.
6.000.000
4.000.000
2.000.000
-
T0 T1 T2 T3
Gambar 9. Nilai keuntungan usahatani padi pada masing – masing petak percobaan (T0 , T1, T2,
dan T3) di lahan sawah pasang surut di Sei Berembang. Kubu Raya.
233
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Tabel 2. Hasil Analisa Usahatani Padi Lahan Sawah Pasang Surut di Sei Berembang. Kubu Raya
Saran
Perlunya penelitian takaran pupuk organik yang berbeda mengingat potensi lahan sawah pasang
surut masih dapat ditingkat produktivitasnya, sehingga dapat mencapai hasil padi yang optimal.
REFERENSI
Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat. 2014. Kalimantan Barat Dalam Angka. BPS Propinsi
Kalimantan Barat.
Balittra, 2011. State of teha Art dan Grand Design Pengembangan Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian
Lahan Rawa. Banjarbaru
Dent, D., 1986. Acid Sulphate soils: a base line for research and development. ILRI Publication 44 Wageningen,
The Netherlands.
Deturck, P. and Vlassak. 1991. Potassium Management on wet Ultisols grown to rice. In: P. Deturck and F.N.
Ponnamperuma (eds.). Rice produktion on acid soils of the tropics. P. 191-196. Institute of Fundamental
Studies, Kandy, Sri Langka.
Dirjen Tanaman Pangan. 2011. Kebijakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Workshops P2BN
dalam Rangka Mengahdapi Dampak Perubahan Iklim, 11-13 Januari 2011 di Jakarta.
Gomez, K,A. and A. A. Gomez. 1995. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. John
Willey and Sons, New York.
Kertonegoro B. D. 2006. Bahan Humus Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.
Noor M. 2004. Upaya Perbaikan Produktivitas Tanah Sulfat Masam. Disertasi Doktor Fakultas Pertanian
bidang Studi Ilmu Tanah pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
234
Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Biochar Indonesia, Pontianak Mei 2016 ISSN1 693-5225
Noor M. 2004a. Lahan Rawa : Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Nursyamsi, D., M.E. Suryadi, A. Hasanudin, dan S. Abdulah. 2001. Pengaruh Pengelolaan Tanah dan Air
Terhadap Air Genangan dan Hasil Padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 20. N0. 1, 2001:
50 – 60.
Margaretha S. L., Ningsih W., Subandi, dan Zubachtiroddin. 2004. Respon Pemupukan Jagung Terhadap
Pupuk N, P Dan K Pada Lahan Kering Beriklim Kering di Sambelia, Lombok Timur. Balai Penelitian
Tanaman Serealia. Maros.
Ottow, J.C..G., K. Prade, W. Bertenbreiter, and V.A. Jack. 1991. Strategies to Alleviate Iron Toxicity of
Wetland Rice on Nutritionally Poor and/or Acid Sulphate Soils. In: P. P. Deturck and F.N.
Ponnamperuma (eds.). Rice Produktion on Acid Soils of the Tropics. P. 205-211. Institute of
Fundamental Studies, Kandy, Sri Langka.
Sutanto, R. H. 2009. Review Hasil Pembahasan Workshop Pengembangan dan Pengelolaan Rawa dalam
Mendukung Upaya Ketahanan Pangan Nasional, 16 Desember 2009, Hotel Nikko Jakarta. Kadiputian
Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinasi Bidang
Perekonomian. Jakarta. 27 hal.
Widjaja Adhi IPG dan Alihamsyah, T. 1998. Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan Rawa
untuk Usahatani dalam Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. dalam Proseding
Seminar Nasional dan Petermuan Tahunan Komda HITI. Buku I.
235